Anda di halaman 1dari 7

RADIO RIMBA RAYA

Oleh
Drs. H. MAHMUD IBRAHIM

Seluruh rakyat Indonesia serentak merebut dan mempertahankan Kemerdekaan


Republik Indonesia yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945. Pada tanggal 19 Desember
1948 Ibu Kota Negara Yogyakarta diduduki musuh, presiden dan wakil presiden ditawan.
Tampuk pemerintahan darurat dipimpin oleh Mr. Syarifudin Parawinegara.
Sementara itu, Belanda menyerang dan menduduki wilayah-wilayah Indonesia
lainnya, kecuali wilayah Aceh. Sebab itu Aceh merupakan Daerah Modal perjuangan
mempertahankan Kemerdekaan Indonesia.
Pemimpin-pemimpin bersama rakyat berjuang dimana-mana secara gerilya dan
serangan musuh semakin gencar dari udara dan laut untuk menguasai basis gerilyawan baik
dikota maupun didesa.
Belanda menyatakan kepada dunia, bahwa Negara dan pemerintahan Indonesia tidak
ada lagi dan wilayah Republik Indonesia sepenuhnya dikuasai Belanda. Untuk
mengantisipasi pernyataan tersebut, mutlak diperlukan alat pemancar radio diwilayah Aceh
yang bebas dari pendudukan Belanda. Karena pemancar RRI pusat di Yogyakarta tidak
berfungsi lagi.
Serangan Belanda keseluruh pelosok Indonesia, sudah diperhitungkan oleh pemimpin
kita di seluruh Indonesia, setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia. Di Aceh dipersiapkan
perang Sabillilah berpusat di Kuta Raja (sekarang Banda Aceh) dan cadangan pusat
perjuangan dikota Biruen.
Menjelang agresi militer Belanda pertama yang dimulai tanggal 21 juli 1945, Mayor
John Lie dari komando Tentara RI Divisi Gajah I, berhasil memasukkan ke Aceh sebuah
pemancar radio merk Marconi dari Malaya (Malaysia). John Lie menggunakan 2 buah speed
boat. Satu diantaranya memuat alat pemancar radio sedangkan satu buahnya lagi memuat
kelontong dan makanan. Ditengah selat sumatra rombongan John Lie berpapasan dengan
patroli tentara Belanda. Speed boat yang memuat kelontong dan makanan menancap gas,

marinir Belanda dengan menggunakan sekoci-sekoci bermesin ganda mengejar dan


menangkapnya serta merampas barang-barang muatannya. Sementara speed boat yang
memuat pemancar radio, meningkatkan kecepatannya menuju pantai sumatra di Tanjung
Pura. Pemancar radio beserta onderdil lengkap untuk pemancar cadangan, segera dipugah dan
dikawal oleh prajurit-prajurit TRI (Tentara Republik Indonesia) dan Laskar Rakyat.
Pada tanggal 23 juli 1947, dua hari setelah Belanda melancarkan serangan besarbesaran dalam aksi militer I, pemancar radio itu diselamatkan ke Langsa Aceh Timur,
kemudian dibawa ke kota Biruen Aceh Utara, dimanfaatkan oleh komandan divisi X kolonel
Husin Yusuf menjadi pemancar siaran umum, memonitor dan menyampaikan pengumuman
dan intruksi.
Pada mulanya, pemancar ini dipasang Krueng Simpor 20 Km dari kota Biruen jurusan
Takengon, studionya disalah satu kamar rumah jabatan komanda divisi X kolonel Husin
Yusuf di Biruen.
Beberapa bulan kemudian, pemancar tersebut dipindahkan kedesa Cot Gue, 8 Km
arah selatan Kuta Raja yaitu pusat pemerintahan dan perjuangan. Penyiaran dilakukan dari
studio disebuah gedung peninggalan Belanda dikawasan Peunayong Kuta Raja. Di Cot Gue
disiapkan pemancar cadangan, apabila Kuta Raja diduduki musuh.
Pemancar radio di Cot Gue tidak sempat melakukan siaran, karena dalam proses
persiapan studio siaran, terjadi aksi militer Belanda ke II tanggal 19 Desember 1948. Setelah
Yogyakarta Ibu Kota Negara RI diduduki musuh, serangan tentara-tentara Belanda ke Aceh
semakin gencar baik dari laut maupun udara. Hampir setiap hari terjadi pertempuran di Kuta
Raja. Karena itu Gubernur militer Kuta Raja memerintahkan supaya pemancar radio itu
dipindahkan dari Cot Gue ke tempat yang setrategis dan aman didataran tinggi Gayo Aceh
Tengah dan segera dipasang serta segera memancar, karena RRI pusat di Yogyakarta tidak
berfungsi lagi.
Dipilihnya dataran tinggi Gayo sebagai tempat pemancar radio, adalah dalam rangka
program perjuangan jangka panjang mempertahankan Kemerdekaan RI melalui sistem
gerilya, sampai kemerdekaan diperoleh secara penuh dan nyata.
Pada tanggal 20 Desember 1948, pemancar diberangkatkan dari Kuta Raja ke Aceh
Tengah dengan tujuan Burni Bius di Kecamatan Silih Nara 10 Km arah barat kota Takengon.
Tempat ini sangat setrategis untuk penyiaran yang aman, namun dalam perjalanan terjadi

situasi yang sangat menegangkan, karena pesawat-pesawat Belanda terbang rendah mengejar
dan menyerang pasukan pembawa dan pengawal pemancar, keadaan alam berbukit dan
berhutan lebat sangat membantu penyembunyian sehingga terbang Belanda berulang-ulang
kehilangan sasaran.
Dalam suasana tegang itu, rencana pemasangan pemancar di Burni Bius, mendadak
terpaksa dibatalkan dan dialihkan ke Rimba Raya yang belum bertuan, 61 Km dari Biruen
atau 49 Km dari kota Takengon.
Rimba Raya pada saat pembangunan pemancar ini, belum mempunyai nama karena
dari Krueng Simpor sampai Reronga belum dihuni manusia. Daerah ini terletak dilereng
sebelah barat pegunungan Gerdong (Bur-Kul) karena ditumbuhi hutan yang sangat lebat,
terletak tidak jauh dari jalan provinsi Biruen-Takengon diwiliyah kecamatan Timang Gajah.
Ketika Brigade pembangunan para pejuang bersenjata dipimpin kolonel Husin Yusuf
membuka daerah ini menjadi perkebunan dan pemukiman tahun 1950, beliau memberi nama
daerah ini dengan Rimba Raya dengan code RR.
Dalam suasana mencekam dan dalam waktu singkat, pemancar radio Rimba Raya
selesai di pasang oleh W.sohultz kepala kantor pos, telegram dan telephon Kuta Raja, seorang
warga Negara RI keturunan Indo-Jerman bersama R.Sarsono dan tehnisi lainnya.
Ketika pemancar-pemancar RRI di berbagai kota di Indonesia tidak mengudara lagi
karena dikuasai Belanda, Radio Rimba Raya mengisi kekosongan itu dengan hasil yang baik
sekali menurut ukuran waktu itu. Sewaktu radio Belanda Batavia dan Hilversum memberi
tahukan bahwa Republik Indonesia tidak ada lagi,radio Rimba Raya membantahnya dengan
tegas. Pemancar gerilya itu menandaskan bahwa Republik Indonesia masih ada, Tentara
Republik Indonesia masih ada, dan wilayah Republik Indonesia masih ada, disini adalah
Aceh salah satu wilayah Republik Indonesia yang tetap utuh sepenuhnya.
Berita itu di kutip oleh All India Radio kemudian menyiarkannya lagi dan duniapun
mengetahui kebohongan Belanda.berita-berita dari penerangan divisi disampaikan ke Rimba
Raya melalui berbagai saluran menurut fungsinya. Di samping itu, berita-berita di terima
lebih banyak dari pemerintah pusat di Sumatra, dari pimpinan perjuangan di jawa, lembagalembaga pemerintah,organisasi masyarakat dan dari pimpinan perjuangan.

Berita-berita dari front Sumatra Timur di terima di Rimba Raya secara


beranting.korespoden perang atau petugas penerangan menelephonnya ke Kuala Simpang, di
teruskan ke Langsa, ke pidi, lhokseumawe, Bireun, dan akhirnya ke Rimba Raya.
Berita-berita dari medan perang,komentar-komentar dan pengumuman yang di siarkan
radio Rimba Raya, di terbitkan dalam berbagai median cetak di Kutaraja dan Bireun.selain
dalam bahasa Indonesia, radio Rimba Raya menyiarkan berita dalam bahasa inggris, urdu,
hindustani, Arab, Cina, dan bahasa Belanda.
Tim kerabat kerja radio Rimba Raya sangat kompak terdiri dari pemuda Indonesia
dan orang-orang asing yang menggabungkan diri pada Republik.
Pimpinan umum

: colonel Husin Yusuf,komandan Divisi X

Pimpinan administrasi dan policy penyiaran :kapten A.G Mutiara,kepala penerangan Tentara
Divisi X .
Pimpinan tehnik

:W.sohultz dan sasono.

Penerangan

:Letda T.Ali basyah Talsy, staf penerangan


Divisi X.

Penyiaran berbahasa:
-Arab

:Letda Abdullah Arif.

-Inggris

:Abdullah, orang inggris.

-Urdu

:Abu Bakar, orang india.

-Hindustani

:Chandra,orang india.
Ketiganya bekas tentara inggris divisi-26 yang
berpihak

ke

Indonesia

di

tengah-tengah

berkecamuknya pertempuran di Medan Area


-Cina

:Hie Wan Fie

-Belanda

:Syarifudin.

Pemancar radio Rimba Raya berkekuatan satu kilowatt, mempergunakan signal calling
Suara Radio Republik Indonesia dan Suara Indonesia Merdeka bekerja pada frekuensi
19,25 dan 61 meter. Kadang-kadang dipergunakan signal calling Radio Rimba
Raya,-Radio Divisi X dan Radio Republik Indonesia.
Jadwal waktu penyiaran dibagi 5 bagian :
1. Pukul 16.00 s/d 18.00 wib, mengadakan hubungan telegrafi dengan setasiun-setasiun
pemancar greilya didalam dan luar kota-kota pendudukan Belanda.
2. Pukul 19.00 s/d 21.00 wib, melakukan siaran dalam negeri, menggunakan calling signal
Suara Radio Republik.
3. Pukul 21.00 s/d 23.00 wib, siaran khusus keluar negeri dengan signal calling Radio
Republik Indonesia.
4. Pukul 23.00 s/d 24.00 wib, siaran khusus kegaris depan, menggunakan calling signal
Suara Indonesia Merdeka.
5. Pukul 24.00 s/d pagi, mengadakan hubungan radio, telephon dengan perwakilanperwakilan Republik Indonesia di luar negeri.

Siaran radio Rimba Raya dapat didengar jelas diberbagai kota disemenajung Malaya,
Singapura, Manila, New Dehli bahkan di Australia dan dibeberapa bagian Eropah.
Pada tengah malam, penyiar menghubungi sudarsono, perwakilan Indonesia di New
Dehli dan L.N Palar perwakilan Indonesia di PBB dengan mengatakan Hallo Sudarsono,
hallo Palar, kirimkan kami mentega, susu atau beras. Dimaksudkan adalah barang-barang
keperluan perjuangan termasuk senjata. Kode Beras adalah khusus alat senjata.
Radio Rimba Raya dapat menyampaikan pesan-pesan Indonesia kepada Diplomatik
Indonesia di PBB, menyebabkan perhatian PBB terhadap perjuangan bangsa Indonesia
semakin serius.
Pemancar ini tetap mengadakan hubungan dengan luar negeri dan berhasil mematahkan
propaganda Belanda. Pada aksi militer I dan II Belanda, terutama ketika di Yogyakarta
diduduki, presiden dan wakil presiden RI ditawan, Belanda sering menyiarkan bahwa
Republik Indonesia dan pemerintahannya tidak ada dan Aceh telah dikuasai, Aceh Tengah
sudah diduduki.

Namun radio Rimba Raya segera membantahnya dengan tegas bahwa Republik
Indonesia tetap utuh, Belanda tidak ada di Aceh. Berita-berita perjuangan rakyat Indonesia
disiarkan oleh radio Rimba Raya dengan signal Ini Suara Republik Indonesia.
Radio Rimba Raya dan RRI Kutaraja serentak menyiarkan pukul 16.00 wib rapat
raksasa melepas para pejuang ke medan perang, medan area di Belang Padang Kutaraja dan
lapangan Tugu Proklamasi di Takengon. Siaran ini sekaligus untuk membantah berita bohong
Belanda.
Kedua pemancar radio ini tetap terhubung dengan radio pemerintahan darurat RI
terutama ketika Mr. Syarifudin Parawinegara pimpinan PDRI, berada di Burni Bius Aceh
Tengah selama satu bulan.
Selain itu, radio Rimba Raya berhubungan dengan kepala staf angkatan perang RI
kolonel T.B Simatupang di Banaran keluar negeri tetap berhubungan dengan All India radio
di India dan Australia Broadcasting Corporation, kedua pemancar radio itu kerap
menayangkan suasana perjuangan bangsa Indonesia kepada pimpinan Rimba Raya.
Ketika perang grilya Indonesia mencapai puncaknya setelah agresi Belanda yang ke-II,
radio Rimba Raya berperan sangat aktif menghubungkan PDRI dengan wakil-wakil Republik
Indonesia diluar negeri sambil menyiarkan berita-berita perang grilya sehingga Belanda tidak
dapat mengelabui dunia.
Salah satu pengiriman melalui radio Rimba Raya berita yang bersejarah adalah
penyampaian intruksi PDRI tanggal 31 Januari 1949 nomor kode 93 disampaikan kepada
wakil Indonesia diluar negeri Dr. Sudarsono dan Mr. Maramis. Intruksi itu dibacakan dari
Rimba Raya ketempat kedudukan Dr. Sudarsosno di New Dehli, diluar jadwal waktu yang
biasa. Isinya Berkenaan dengan keputusan dewan keamanan PBB yang memerintahkan
panitia PBB untuk Indonesia, mengadakan perundingan dengan Indonesia dan Belanda guna
untuk pelaksanaan penghentian tembak menembak dan pengambilan pemerintah RI ke
Yogyakarta. PDRI mengintruksikan menteri luar negeri Mr. Maramis, wakil RI di dewan
keamanan PBB L.N Palar dan wakil Indonesia di New Dehli Dr. Sudarsono yaitu sebagai
berikut Pemerintah Indonesia tidak keberatan diadakannya perundingan itu dan pengambilan
pemerintahan RI ke Yogyakarta berarti meliputi pengakuan Belanda terhadap kekuasaan
pemerintah RI atas seluruh Jawa dan Sumatra dan pulau-pulau disekitarnya.

Pada tanggal 20 sampai 23 Januari 1949 atas kepercayaan Nehru di New Dehli
dilangsungkan komprensi Asia tentang Indonesia, kerabat kerja radio Rimba Raya amat sibuk
dalam jam kerja yang diperpanjang, karena banyaknya berita-berita yang harus dikirim
kepada wakil-wakil Indonesia yang menghadiri komprensi itu.
Komprensi itu membahas dan mancari jalan membantu Indonesia antara lain menuntut
supaya Yogyakarta dikembalikan kepada RI, tentara Belanda ditarik kembali dan pimpinan
Indonesia yang ditawan dibebaskan.
Tepat pada hari pembukuannya, RR mengirimkan ucapan selamat kepada ketua PDRI
dan berterima kasih kepada negara Asia yang memenuhi undangan PN India Nehru.
Ketika serangan umum terhadap Belanda yang menduduki Yogyakarta tanggal 1 maret
1949 dipimpin Letkol Suharto, radio Rimba Raya turut berperan aktif meyakinkan dunia
bahwa Republik Indonesia tetap ada dan pejuang-pejuang RI bukan hanya bisa bertahan,
tetapi juga mampu menyerang.
Pada tanggal 10 maret 1949, radio Rimba Raya memancarkan radiogram pemerintah
darurat RI kepada Mr. Mohd Rum, ketua delegasi RI dalam perundingan dengan Belanda,
tentang kekejaman Belanda dan serangan umum 1 maret 1949 merupakan pembalasan
kekejaman itu.
Pimpinan perjuangan RI mengakui dengan jujur bahwa pemancar radio Rimba Raya
berperan amat besar mensukseskan perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Kementerian
penerangan RI menyatakan bahwa radio Rimba Raya dan petugas-petugasnnya telah
melaksanakan serangkaian kemerdekaan RI. Kenyataan dan pernyataan itu harus dihayati
generasi penerus untuk meningkatkan perjuangan pembangunan mengisi kemerdekaan.
Demikianlah cerita tentang sejarah radio Rimba Raya, semoga kelak dapat bermanfaat
bagi generasi penerus, dan juga penulis mohon maaf apabila terdapat kata-kata yang salah
letak penulisannya maupun salah menyebutkan nama-nama para pelakunya, mungkin cerita
sejarah ini masih ada kakurangannya maka penulis berpesan tolong disempurnakan tulisan
cerita ini. Terima kasih atas perhatiannya dan wasalam......

Anda mungkin juga menyukai