Anda di halaman 1dari 20

JEMBATAN MERAH

(Perlawanan Rakyat Pulau Tengah Kerinci Terhadap Belanda


Pada Masa Agresi II 1949)

A. Pendahuluan.
Setelah proklamasi kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 Belanda yang merasakan
bahwa Indonesia adalah miliknya, datang kembali untuk mengambilnya.. Menghadapai
pasukan Belanda yang berusaha menjajah kembali itu, bangsa Indonesia telah berjuang
pula baik secara fisik (bersenjata) maupun lewat diplomasi (perundingan). Lewat jalur
diplomasi pada 6 Maret 1947 lahirlah Persetujuan Linggarjati yang gagal
pelaksanaannya. Belanda lalu melancarkan agresi I pada 21 Juli 1947. Berikutnya pada
tanggal 17 Januari 1948 lahir lagi Persetujuan Renville, yang juga mengalami kegagalan
dan Belanda melancarkan pula agresi II pada tanggal 19 Desember 1948.
Di Sumatera Barat dengan agresi II Belanda berhasil meluaskan kekuasaannya.
Ke arah utara kota Padang mereka berhasil sampai ke Lubuk Alung dan kemudian
menduduki Padang Panjang, Bukit Tinggi sampai ke Palupuh (Pasaman). Demikian pula
Payakumbuh, Pariaman dan Maninjau dapat pula dikuasainya. Ke arah timur mereka
sampai ke Solok, Sawah Lunto/Sijunjung, Alahan Panjang dan Muara Labuh. Sedangkan
ke arah selatan mereka berhasil pula menerobos sampai ke Sungai Penuh , Kerinci 1
(sekarang masuk Provinsi Jambi ).
Pada masa perang kemerdekaan, bersama-sama dengan rakyat Indonesia di
daerah lainnya, rakyat negeri Pulau Tengah2, Kerinci, juga ikut berjuang melawan
Belanda. Posisi Pulau Tengah waktu itu penting sekali sebagai pusat pertahanan sektor
Kerinci Hilir 3. Di sebelah barat Pulau Tengah terdapat Sungai Buai dengan sebuah
jembatan darurat (sekarang sudah jembatan besi, dibangun tahun 1954). Jembatan
darurat itu kemudian terkenal dengan julukan jembatan merah karena merah oleh
tumpahan darah para pejuang yang ditembak Belanda di atasnya, sebelum disepak-
terjunkan ke dalam sungai yang mengalir deras di bawahnya.
Hebatnya perlawanan rakyat Pulau Tengah melawan Belanda ketika agresi II
1949 itu di samping didukung oleh keadaan alamnya yang strategis untuk perang gerilya
adalah karena penduduknya yang fanatik beragama Islam. Negeri ini pernah menjadi
pusat persebaran Islam di Kerinci masa lalu. Faktor lain yang menyokong semangat
perjuangan adalah karena mereka mewarisi jiwa dan semangat para pendahulu mereka
yang telah berjuang pula dengan hebatnya melawan Belanda pada tahun 1903.

1
Fatimah Enar, dkk, Sumatera Barat 1945-1949, Padang, Pemerintah Daerah Sumatera Barat, 1978, hal.
171 dan 226-241.
2
Masa itu negeri Pulau Tengah terdiri atas 3 dusun yakni Koto Tuo, Koto Dian dan Dusun Baru.
3
Dewan Harian Angkatan 45 Propinsi Jambi, Sejarah Perjuangan Kemerdekaan RI (1945-1949) di
Propinsi Jambi, hal. 67.

1
Dengan kehadiran tulisan ringkas ini penulis harapkan dapat menjadi sumbangan
berharga bagi para generasi muda, khususnya bagi generasi muda daerah Kerinci. Jiwa
dan semangat juang para pendahulu kita, moga-moga dapat menjiwai semangat generasi
muda dalam meneruskan perjuangan bangsa yang masih terbentang panjang di
hadapan….
.
B. Sekilas Tentang Negeri dan Penduduk Pulau Tengah
Masa lalu, Pulau Tengah berstatus sebagai sebuah negeri dalam Kecamatan
Kerinci Hilir, Kabupaten Pesisir Selatan dan Kerinci, bagian dari Sumatera Barat. Negeri
ini terdiri dari dusun Koto Tuo, Koto Dian dan Dusun Baru. Negeri yang sekarang
terletak dalam Kecamatan Keliling Danau, Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi, berjarak
15 km dari Sungai Penuh, ibu kota Kabupaten Kerinci itu. Saat sekarang penduduknya
sekitar 6.000 jiwa, dengan mata pencarian pokok bertani, di samping pegawai, nelayan
dan berternak. Beras dan kulit manis, merupakan hasil utama negeri ini, di samping
cabe, bawang, kentang dan sayur-sayuran. Binatang ternak adalah kerbau, jawi, kambing,
ayam dan itik.
Negeri yang terletak di pinggir hutan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) ini,
hawanya sejuk dan alamnya indah. Di sebelah utara terletak Danau Kerinci, di sebelah
selatan berbatasan dengan perbukitan (bagian bukit barisan) yang ditumbuhi oleh
pepohonan hutan belantara dan sebahagiannya telah menjadi peladangan rakyat. Di
sebelah barat berbatasan dengan negeri Lempur Danau dan sebelah timur setelah melalui
daerah Koto Putih, Telago dan Tanjung, dengan jalan yang berliku-liku sepanjang kira-
kira 3 km yang kiri kanannya ditumbuhi tumbuhan semak belukar dan perladangan
rakyat, bersualah dengan desa Benik dan kemudian Jujun.. Di sekeliling Pulau Tengah
terdapat persawahan rakyat.
Penduduk Pulau Tengah penganut agama Islam yang fanatik. Masa lalu yakni
pada abad 18 sampai pada paroan pertama abad 19, negeri ini pernah menjadi pusat
kegiatan Islam di Kerinci. Keberadaan masjid kuno yang didirikan tahun 1785 yang
disebut penduduk Masjid Keramat adalah bukti akan kejayaan Islam di negeri ini masa
lalu itu . Kuatnya penduduk berpegang kepada ajaran Islam telah menyebabkan mereka
benar-benar anti kapir. Pada tahun 1903 di negeri ini telah terjadi perang melawan
Belanda, yakni peperangan terhebat dalam sejarah perang Kerinci 1901-19064. Perang ini
diselesaikan Belanda yang naik pitam itu dengan membakar Dusun Baru.
Demikianlah alam negeri Pulau Tengah cocok sekali sebagai lapangan perang
gerilya. Kuat dan fanatiknya penduduk memeluk dan melaksanakan ajaran Islam

4
Thahar Ramli, Perlawanan Rakyat Kerinci Menentang Imperislisme Belanda (1903-1906), Skripsi,
Padang, Fakultas Keguruan Pengetahuan Sosial, Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan, hal.70 dan 89.

2
merupakan faktor utama yang menjiwai semangat penduduk dalam perang jihad
melawan kapir.

C.. Kedatangan Pasukan Belanda ke Pulau Tengah.


Baru saja kemerdekaan Indonesia diproklamasikan 17 Agustus 1945, ancaman
segera datang. Pasukan sekutu yang ditugaskan untuk mengurus pasukan Jepang yang
kalah telah mendarat di Jakarta 29 September 1945 dengan memboncengi pasukan
Belanda yang berkedok NICA (Netherland’s Indie Civil Administration). Kedatangan
NICA yang dalam persetujuan Civil Affair Agreement tanggal 24 Agustus 1945, adalah
untuk menyelesaikan urusan-urusan sipil, dalam kenyataannya mereka bermaksud untuk
menegakkan kembali pemerintahan kolonialnya di Indonesia.
Setelah tiba di Indonesia NICA segera mempersenjatai anggota-anggota KNIL
(Koninklik Nederlan’s Indies Leger) yaitu orang-orang Indonesia yang menjadi tentara
Belanda, tawanaan Jepang yang dilepaskan sekutu. Hal itu telah menyebabkan terjadinya
bentrokan antara mereka dengan bangsa Indonesia. Dalam pada itu bentrokan dengan
sekutu (Inggeris) tidak pula dapat dielakkan, karena sekutu tidak menepati janjinya
untuk tidak mencampuri urusan dalam negeri Indonesia. Demikianlah pertempuran-
pertempuran telah terjadi di mana-mana seperti di Surabaya, Semarang, Medan, Padang
dan lain-lainnya.
Melihat kenyataan di Indonesia dan setelah terjadinya peristiwa Surabaya 10
November 1945, Sir P. Christison, pimpinan tentara sekutu yang telah menyadari
kekeliruan politiknya itu, lalu menyarankan kepada Gubernur Jenderal Belanda untuk
Indonesia yakni Van Mook, mengadakan perundingan dengan Indonesia. Atas prakarsa
Christison itu terjadilah perundingan antara Indonesia yang diwakili oleh Perdana
Menteri Syahrir dengan pihak Belanda yang diwakili oleh Van Mook. Hasilnya pada
tanggal 6 Maret 1947 ditandatanganilah Perjanjian Linggarjati5
Persetujuan Linggarjati ternyata tidak dapat menyelesaikan masalah. Kelainan
interpretasi yang muncul antara kedua pihak telah menyebabkan Belanda melancarkan
serangannya yang dikenal dengan agresi I pada 21 Juli 1947. Serangan Belanda dalam
agresi I itu tidak sampai ke Kerinci karena gerak pasukan Belanda dari Padang dapat
ditahan oleh pasukan RI di Siguntur Muda (Pesisir Selatan).
Pelanggaran Belanda terhadap kedaulatan RI melalui agresinya itu dikutuk oleh
dunia. Atas desakan India, Australia dan Amerika Serikat yang disokong oleh Uni
Sovyet dan Cina, PBB lalu menyerukan caese fire pada 1 Agustus 1948. Dengan Komisi
Tiga Negara (KTN) sebagai penengah,. perundingan Indonesia-Belanda dilanjutkan lagi
sejak Desember 1947. Hasilnya adalah ditandatanganinya Persetujuan Renvile 17 Januari
1948.

5
Fatimah Enar, dkk, Ibid, hal. 105-109.

3
Sama halnya dengan persetujuan Linggarjati, persetujuan Renvile pun tidak
dapat menyelesaikan masalah. Kelainaan interpretasi antara Indonesia dengan Belanda
tentang isi persetujuan baru itu menyebabkan Belanda melancarkan pula agresi II pada
19 Desember 1948. Pada agresi ke II itu pasukan Belanda yang telah menduduki
Siguntur Muda (Pesisir Selatan) dapat menerobos sampai ke Painan–Tapan–Sako dan
setelah berhasil mematahkan pertahanan pasukan RI di Barung Talang dengan dukungan
pesawat terbang, Belanda berhasil mamasuki kota Sungai Penuh pada 25 April 1949 6.
Pagi hari itu pasukan RI Sub Komando C yang bertugas mempertahankan front selatan
(Pesisir Selatan dan Kerinci) yang dipimpin oleh Mayor Alwi Sutan Marajo menyingkir
ke Kerinci Hilir.
Dari Sungai Penuh, pasukan Belanda segera bergerak ke daerah-daerah
sekitarnya Untuk memperkuat diri, pada 2 Mei 1949 Belanda mendaratkan pesawat
Catalina di Danau Kerinci, menurunkan pasukan tambahannya di Sanggaran Agung dan
membuat pos di sana. Tidak lama setelah itu rombongan Alwi Sutan Marajo yang
dikawal pasukan Gati (Gabungan Tentera Indonesia) itu, yang berada beberapa hari di
Pulau Tengah lalu menyingkir ke Lempur untuk seterusnya menuju Tetanggo, Kambang
(Pesisir Selatan).
Ketika meninggalkan Pulau Tengah pasukan Alwi Sutan Marajo telah membuang
sebuah meriam parit milik pasukan Gati ke dalam Danau Kerinci dekat Telago. Meriam
tersebut lalu diambil bersama-sama oleh para pejuang. Penyelamnya adalah seorang
pemuda asal Dusun Baru, Pulau Tengah, yang bernama Yusuf Usman. Ketika itu di
semak pinggir jalan ditemui pula pelurunya satu kotak (18 buah). Dengan senjata berat
yang disebut penduduk meriam gati itu, maka semangat perjuangan di Pulau Tengah
tambah bergelora. Meriam Gati yang ternyata rusak dapat diperbaiki oleh seorang
penduduk Koto Dian yang bernama Suin7.
Dari Sanggaran Agung pasukan Belanda mengadakan patroli terutama untuk
mengamankan jalan ke Sungai Penuh lewat Tanah Kampung. Didukung oleh pasukan
tambahan yang didaratkan dengan Catalina, dari arah Sungai Penuh pasukan Belanda
bergerak ke arah Kerinci Hilir dan samapailah mereka ke Pulau Tengah pada hari Rabu 4
Mai 1949.

D. Perlawanan Rakyat Pulau Tengah


1 .Persiapan Menghadapai Perang
Jauh sebelum kedatangan Belanda, rakyat Kerinci termasuk Pulau Tengah sudah
mengetahui peristiwa nasional yang terjadi. Propaganda Jepang bahwa mereka adalah
saudara tua yang akan menyelamatkan bangsa Indonesia dari penindasan Belanda, juga

6
Wawancara dengan Alamsyah di Sungai Penuh, 15 Desember 1999.
7
Wawancara dengan Yusuf Usman dan Abd. Manaf di Pulau Tengah, 20 Juni 1995.

4
bergema sampai ke negeri ini. Sebelum Jepang datang ke Kerinci, di Pulau Tengah telah
terjadi peristiwa pajak. Rakyat tidak mau lagi membayar pajak yang dikumpulkan oleh
kaki tangan Belanda8 dengan jalan peristiwa seperti berikut.
Pada bulan Maret 1942, kira-kira satu bulan menjelang kedatangan Jepang,
petugas pajak kolonial Belanda yang dipimpin oleh Depati Anom (Wali Negeri yang
diangkat Belanda untuk daerah Keliling Danau) telah datang untuk memungut pajak di
negeri Pulau Tengah ini. Hari itu, Jum/at, penduduk laki-laki dan sebahagian perempuan
dewasa pergi bergotong-royong menghela pekayuan buat pembangunan masjid Koto
Dian. Barangkali mereka menganggap penduduk telah bersembunyi karena tidak mau
membayar pajak maka dengan beraninya para petugas pajak itu memasuki dan
mengeledah rumah-rumah penduduk di Koto Dian dan Koto Tuo. Mereka menyita
barang-barang yang mereka temui seperti piring, periuk, kuali, jam dinding, tikar dan apa
saja yang mereka temui yang dianggap berharga. Barang-barang tersebut mereka
kumpulkan di rumah kepala dusun Koto Dian dan di Koto Tuo sedangkan sebahagian
telah sampai di halaman rumah Depai Anom sendiri (dekat jembatan besi sekarang, yang
masa agresi II menjadi pos Belanda). Mereka akan meminta penduduk menebusnya
dengan sejumlah uang pajak yang harus dibayar. Jika tidak barang-barang sitaan itu akan
dibawanya ke Sungai Penuh yang ketika itu dua buah pedati telah siap menunggu di
pinggir jalan dekat rumah Depati Anom itu.
Menjelang shalat Jum’at ketika penduduk pulang dari gotong-royong mereka
tidak dapat menahan amarah. Secara spontan setelah sholat Jum’at tabuh larangan 9
dibunyikan. Pendudukpun berduyun-duyun menuju rumah Depati Anom mengepung
para petugas pajak yang ada di sana. Dinding rumah Depati Anom pun menjadi sasaran
batu dan para petugas pajak yang mengurung diri itu terpaksa minta ampun setelah pintu
rumah berhasil didobrak dengan sebatang balok kayu oleh seorang pemuda asal Koto
Dian yang bernama Haji Midin. Dengan minta ampun itu berakhirlah peristiwa itu
dengan perdamaian. Pendudukpun mengambil barang-barang mereka yang dirampas.
Dengan tidak diduga-duga sore harinya sampai malam, selama satu minggu
berturut-turut, polisi telah dikerahkan Belanda menggeledah negeri Pulau Tengah.
Seorang penduduk yang bernama Haji Syarif mati tertembak, seorang lagi bernama
Alaikum luka kakinya karena tembakan, dan lebih 50 orang penduduk ditangkap dan
dipenjarakan di Sungai Penuh. Derita mereka yang dipenjarakan selama kira-kira satu
bulan itu berakhir dengan kedatangan Jepang yang bermurah hati melepaskan mereka.
Berita proklamasi kemerdekaan Indonesia yang sampai ke Kerinci pada awal
September 1945 dan penaikan sang merah putih pertama kali tanggal 7 September di

8
Wawancara dengan Haji Dahlan di Pulau Tengah, 15 Juni 1999.
9
Tabuh larangan yang disebut juga tabuh besar ini khusus dibunyikan jika terjadi peristiwa-peristiwa amat
penting atau adanya bahaya, seperti hari raya, gempa hebat, penduduk hilang, kebakaran dan sebagainya.

5
puncak masjid raya Sungai Penuh10 diketahui secara meluas oleh rakyat Pulau Tengah
yang secara spontan terutama penduduk yang memiliki rumah di pinggir jalan raya,
mengibarkan pula merah putih. Peristiwa serangan Jepang dalam usaha mendapatkan
senjata dan mengusir Jepang yang kalah perang itu dari Sungai Penuh tanggal 9
September juga diikuti rakyat Pulau Tengah bersama-sama rakyat negeri lainnya 11
Berikutnya peristiwa pembunuhan Wali Kota Padang Bgd. Aziz Chan oleh
Belanda tanggal 19 Juli 1947 dan pecahnya Agresi I dua hari kemudian, juga menggema
sampai ke Pulau Tengah. Penulis sendiri yang masih kanak-kanak waktu itu masih ingat
dan ikut bersama kawan-kawan dan para pemuda menyorak pekikan kata-kata populer
ketika itu:
Satu dua tiga
Tacampak topi waja
Balanda kurang aja
Membunuh Wali Kota

Menghadapi kemungkinaan perang yang akan terjadi dengan Belanda itu,


penduduk Pulau Tengah telah melakukan persiapan-persiapan. Untuk mengatur
perlawanan itu pimpinan dipercayakan kepada A.Thalib, Wali Negeri Keliling Danau
yang pada masa agresi II menjadi Wali Negeri Perang. Pimpinan operasional di
lapangan adalah Moh. Rasyid. M. Rasyid adalah warga Malaysia menantu Haji Husin
wakil Haji Ismail (tokoh utama Perang Pulau Tengah 1903) yang setelah perang selesai
menyingkir ke tanah seberang itu.. Pada masa itu kebetulan M. Rasyid bersama anak dan
isterinya kembali ke kampung asal mertuanya. Ia memiliki pengalaman perang gerilya di
Malaysia malawan Inggris. Dalam perang melawan Belanda itu Moh. Rasyid dibantu
oleh Sersan Abdullah Kari dan Kopral Usman Jaafar ( keduanya dari TNI, bekas
Gyugun).
Menghadapi kemungkinan perang dengan Belanda itu, para pemuda Pulau
Tengah dilatih baris-berbaris, taktik perang gerilya dan menggunakan senjata terutama
bambu runcing, Dalam pada itu para pemuda telah pula membekali diri dengan senjata
tajam seperti pisau, keris, tombak (kujeu), parang, pedang di samping ada yang pandai
membuat senjata api rakitan dengan mesiu buatan sendiri pula (bahan dasarnya adalah
kotoran kambing) 12.
Dalam pembinaan mental dan semangat rakyat menghadapi kemungkinaan
perang yang akan pecah itu, para ulama tidak ketinggalan. Wirid-wirid tentang jihad dan
perang sabil dilakukan di masjid dan tempat-tempat pengajian. Setelah shalat magrib, di
masjid-masjid penduduk beribadah bersama, mengucapkan tasbih, tahmid dan tahlil.

10
Dewan Harian Angkatan 45 Propinsi Jambi, Sejarah Perjuangan Kemerdekaan RI (1945-1949) di
Propinsi Jambi, hal 221.
11
Wawancara dengan Abd. Rachman Harun di Pulau Tengah, 7 Oktober 1974.
12
Wawancara dengan M. Ramli Yusuf di Pulau Tengah,20 Juli 1999.

6
Ibadah ditutup dengan doa ke hadirat Tuhan agar penduduk diberi kekuatan dalam
menghancurkan musuh.
Demikian menjelang kedatangan pasukan Belanda itu, suasana emosional
semangat penduduk untuk melawan Belanda telah tinggi sekali. Sementara itu keamanan
negeri dijaga dari kemungkinaan masuknya mata-mata Belanda. Setiap orang yang tidak
dikenal masuk ke Pulau Tengah diperiksa oleh para pejuang 13.

2. Perlawanan Rakyat.
a. Periode I : 4 sampai dengan 13 Mei 1949
Dalam serangannya pada agresi II itu pasukan Belanda sampai ke negeri Pulau
Tengah pada 4 Mei 1949. Ketika itu negeri telah dikosongkan. Penduduk telah
mengungsi ke hutan-hutan ataupun ke tempat yang dirasa aman. Malam sebelum
kedatangan Belanda itu, jembatan Sungan Buai yang merupakan pintu masuk ke negeri
Pulau Tengah dari arah Sungai Penuh telah dihancurkan penduduk. Jalan ke jurusan
timur ke arah Jujun telah dihampang pula dengan pohon-pohon kayu yang ditebang, dan
dibelintangkan di tengah jalan.
Pada hari pertama kedatangan pasukan Belanda itu, kontak senjata dengan para
pejuang Pulau Tengah termasuk beberapa orang anggota TNI yang mundur dari Sungai
Penuh, telah terjadi di sekitar daerah jembatan Sungai Buai yang telah hancur.
Pertempuran pertama itu tidak berlangsung lama karena para pejuang yang tidak
mengharapkan pertempuran di medan terbuka dengan senjata yang minim itu lalu
mundur ke arah timur, ke daerah Koto Putih dan Telago 14.
Belanda pun berhasil memasuki negeri Pulau Tengah.. Di daerah bagian timur
yakni di Koto Putih mereka dihadang pula oleh para pejuang. Menyadari medan yang
berhutan dan berbahaya serta jalan ke timur yang tidak mungkin dilalui karena tertutup
oleh pohon-pohon kayu yang direbahkan oleh penduduk maka pasukan Belanda tersebut
lalu memilih langkah mundur.
Ternyata kemudian bahwa target operasi Belanda hari itu dari Sungai Penuh ke
arah timur hanya sampai ke Pulau Tengah saja. Untuk mematahkan perlawanan rakyat
Kerinci Hilir rupanya mereka melakukan konsentrasi lebih dahulu di Pulau Tengah. Pos
di negeri Semerap mereka tinggalkan. Dengan kekuatan sekitar 20 orang mereka telah
membuat pos baru di Pulau Tengah, di rumah Depati Anom. Rumah penduduk yang ada
di sebelah barat posnya dan sebuah heler padi di bagian utara, mereka bakar. Kecuali
komandannya yang dikenal dengan panggilan Kopral Vat yang pandai Bahasa Indonesia
semuanya adalah Belanda Hitam (KNIL) asal Maluku 15.

13
Ibid.
14
Wawancara dengan A. Manaf di Pulau Tengah, 20 Juli 1995.
15
Wawancara dengan Abdullah Latif di Pulau Tengah, 15 Juni 1997.

7
Usaha pertama yang dilakukan Belanda pada hari berikutnya adalah
mengembalikan penduduk dari pengungsian dengan meyakinkan lewat kaki tangannya,
bahwa Belanda adalah orang baik. Usaha mereka berhasil dan pendudukpun kembali ke
rumahnya. Lalu Belanda memaksa penduduk laki-laki bergotong-royong membuang
pohon-pohon yang menghambat gerakan mereka ke timur dan pembangunan kembali
jembatan sungai Buai yang telah hancur. Jembatan inilah yang kemudian terkenal
dengan nama jembatan merah Dalam pada itu pasukan Belanda terus mengadakan
operasi mencari tokoh-tokoh pejuang yang mereka sebut orang jahat.
Dalam minggu pertama kehadirannya di Pulau Tengah, pasukan Belanda yang
berada di posnya masih merasa aman. Penduduk belum mengganggu mereka karena
sedang mempersiapkan serangan gerilya. Sementara itu pasukan Belanda terus
melakukan operasi untuk menangkap para pejuang. Dari kaki-tangannya mereka telah
memiliki daftar hitam, nama-nama tokoh penting para pejuang yang harus ditangkap.
Pada 8 Mai dan 12 Mai 1947, tertangkaplah 2 orang pejuang. Kedua mereka sama-sama
bernama Haji Istambul, pertama penduduk Koto Tuo dan kedua dari Koto Dian. Haji
Istambul Koto Tuo tokoh yang mengambil inisiatif membunyikan tabuh larangan waktu
peristiwa pajak sebelum kedatangan Belanda, dengan tak diduganya ditangkap tak jauh
dari pos Belanda. Haji Istambul Koto Dian yang menghardik Depati Anom dalam
peristiwa Pajak serta mengajaknya berduel16, ditangkap dekat masjid Koto Dian. Setelah
disiksa Belanda di posnya, kedua mereka lalu ditembak di atas jembatan Sungai Buai .
Jasad korban pertama dan kedua jembatan merah ini dimakamkan oleh keluarga di
pinggir timur sungai tak jauh dari tempat penembakan.
Sementara itu para pejuang telah siap dan sepakat untuk mulai melakukan
serangan gerilya ke pos Belanda di Pulau Tengah itu. Pos Belanda yang terletak
terpencil di bagian barat itu amat menguntungkan sebab akan mudah mengepung dan
melepaskan tembakan bebas dari segala arah. Padi yang sedang menguning waktu itu
dapat pula dijadikan perlindungan.
Pada serangan pertama yang akan dilakukan 13 Mai malam, ada kesepakatan
dengan pejuang negeri tetangga yang akan ikut membantu menyerang. Meriam Gati
yang berat beroda yang tersimpan dalam semak-belukar di sebelah timur negeri,
dipindahkan bersama-sama ke posisi pinggir bukit sebelah selatan, kira-kira 500 meter
dari pos Belanda dan disembunyikan di dalam semak 17. Malam menjelang serangan
serentak itu, penduduk kembali mengungsi untuk kedua kalinya.

16
Wawancara dengan Haji Dahlan di Pulau Tengah, 15 Desember 1999.
17
Wawancara dengan A.Manaf di Pulau Tengah, 20 Juli 1995.

8
b. Priode II : 13 sampai dengan 19 Mei 1949.
Sesuai dengan rencana, pada 13 Mai malam serangan serentak lalu dilancarkan ke
pos Belanda . Dari negeri Jujun pejuang yang ikut gerilya malam itu dipimpin oleh
Hamid Arifin (Ketua BPNK Keliling Danau). Dari Semerap adalah Mansyur Gazali,
Ibrahim dan Salam, dari Lolo adalah H. Madin dan Serma Buyung Kapas dan dari
Keluru adalah Serma Baharuddin)18
Serangan gerilya ke pos Belanda 13 Mei itu diatur oleh pejuang-pejuang dari
Pulau Tengah sendiri yang mengetahui medan19. Sejak jam 19.30 sesudah shalat Isya para
pejuang sudah mulai bergerak dari tempat persembunyian masing-masing menuju posisi
tertentu. Pasukan yang akan menembakkan meriam Gati berada di sebelah selatan di
posisi kira-kira 300 meter dari pos Belanda. Pasukan lain ada yang mengambil posisi
bagian timur, di mana bergabung pasukan-pasukan dari Jujun, Keluru, Lolo dan Lempur.
Ada lagi yang mengambil posisi sebelah utara dan barat, di mana bergabung pula
pasukan dari Semerap. Kata-kata babi apo kandek atau Gunung apo rayo adalah kalimat
kode yang digunakan pejuang untuk membedakan kawan dengan lawan dalam
perjuangan di malam gelap itu. Kalau yang ditanya tidak atau salah menjawab ucapan itu
berarti musuh dan baleh dihantam20 .
Cuaca pada malam serangan pertama itu kurang bersahabat, sebab malam itu
Pulau Tengah diguyur hujan lebat. Walaupun demikian serangan ke pos Belanda tetap
diteruskan. M. Isa dan kawan-kawannya memang kesulitan menembakkan meriam Gati
yang rusak itu. Hampir kira-kira jam 24.00 barulah meriam itu meletus mencabik
kesunyian malam. Karena para pejuang tidak terlatih dan tidak pernah dilatih
menggunakan meriam itu, peluru yang keluar tidak mengenai sasaran, tetapi melayang
tinggi ke udara dan jatuh di Danau Kerinci. Namun letusan meriam telah menambah
berkobarnya semangat juang. Para pejuang makin bergerak mendekati pos Belanda. Ada
pejuang yang berani sampai dekat sekali ke pos musuh itu dengan bergerak di sela-sela
tumbuhan padi yang sedang menguning, dan melepaskan tembakan ke arah pasukan
Belanda yang bertugas ronda di halaman pos. Dari pasukan yang kena tembak itu
terdengar jeritan tangis keras sekali21 .
Serangan gerilya malam pertama itu sungguh-sungguh menakutkan dan
menggentarkan Belanda. Mereka membayangkan para pejuang menyerang dengan
senjata lengkap yang didukung oleh beberapa buah senjata berat. Seperti mereka
ketahui dalam peperangan, senjata meriam selalu kiri-kanannya diapit oleh beberapa
buah senjata raf dan senjata-senjata ringan lainnya22. Kenyataan sebenarnya dalam
serangan itu, di samping meriam Gati para pejuang hanya memiliki beberapa buah

18
Dewan Harian NasionalAngkatan 45, hal 227.
19
Wawancara dengan Buyung Kapas di Sungai Penuh, 6 Oktober 1974.
20
Wawancara dengan Muhammad di Pulau Tengah, 20 Juli 1999.
21
Wawancara dengan M. Ramli Yusuf di Pulau Tengah, 22 Juli 1999.
22
Wawancara dengan Abdullah Latif di Pulau Tengh, 15 Juni 1997.

9
senjata api saja, kurang dari 10 buah termasuk pistol23. Kebanyakan pejuang hanyalah
bersenjata bambu runcing, parang, pedang, keris dan tombak.
Menghadapi serangan gerilyawan malam itu, dari pos Belanda terdengar letusan
gencar sekali, tak putus-putus. Keadaan itu menyebabkan para pejuang yang sudah
selama kira-kira dua jam mengepung pos itu dengan basah kuyup memilih langkah
mundur. Diketahui kemudian bahwa letusan gencar dari pos Belanda malam serangan
pertama itu bukan suara senapan, tetapi letusan mercon24. Berapa korban pasukan
Belanda malam itu tidak diketahui, sebab Belanda merahasiakannya. Korban-korbannya
yang meninggal dimasukkannya ke dalam tong dan dibawa ke Sungai Penuh dengan
kendaraan jip. Dari pihak pejuang malam itu tidak ada korban 25, kecuali Buyung Kapas
yang diceritakan luka kakinya karena sabit seorang kaki tangan Belanda yang
menyelusup di antara pejuang 26.
Pengalaman pahit pasukan Belanda dengan serangan pertama di Pulau Tengah
itu, menyebabkan mereka lebih hati-hati dan waspada. Kawat berduri yang mereka
pasang di sekeliling posnya yang telah dirusak oleh para pejuang, mereka perbaiki dan
perkuat. Lampu-lampu penerangan di pekarangan mereka tambah.
Pada esok harinya tanggal 14 Mai 1949, pasukan Belanda lebih mengaktifkan
operasinya untuk mencari para pejuang. Dengan berbaris teratur dan senjata lengkap,
mereka mondar-mandir dari posnya ke arah timur namun mereka tidak berani memasuki
negeri yang lengang itu. Hari itu operasi pasukan Belanda tanpa hasil.
Pada malam berikutnya para pejuang kembali mengepung pos Belanda. Gerilya
dilaksanakan oleh pejuang Pulau Tengah saja sebab pejuang negeri tetangga telah
mengkosolidasi diri pada perjuangan negeri masing-masing. Seperti malam sebelumnya,
strategi perjuangan telah diatur siang hari dan telah ditentukan di mana masing-masing
pejuang harus mengambil posisi. Jumlah pejuang yang bergerilya di negeri Pulau Tengah
masa agresi II itu ada sekitar 75 orang27. Selain senjata, para pejuang yang bergerak
malam hari itu dibekali pula dengan ransum berupa ih ndoa (beras rendang). Ih ndoa
adalah beras yang dimasak (direndang) dalam kuali sampai kuning dan pecah, tanpa ada
resep seperti minyak, garam, bawang, gula dan lainnya. Itulah ransum yang disiapkan
oleh para ibu rumah tangga melepaskan suami atau putranya ke medan juang, yang
digunakan untuk mengatasi kemungkinan lapar dan masuk angin karena berembun dan
kadang-kadang hujan. Air minum tidak dibawa, jika haus, air jernih mudah didapatkan,
tak putus-putusya mengalir di sungai.
Seperti halnya pada malam pertama, gerilya malam-malam berikutnya meriam
Gati yang lebih banyak berfungsi sebagai pemberi semangat, tetap digunakan. Namun

23
Wawancara dengan Abd. Rachman Harun di Pulau Tengah, 20 Juni 1995.
24
Dewan Harian Nasional Angkatan 45, hal 228.
25
Wawancara dengan A. Manaf di Pulau Tengah, 20 Juli 1995.
26
Dewan Harian Angkatan 45, Propinsi Jambi, hal. 149.
27
Wawancara dengan M. Ramli Yusuf di Pulau Tengah, 22 Juli 1999.

10
meriam yang rusak itu banyak yang tak meletus ketika ditembak. Dalam gerilya lima
malam berturut-turut itu, juga banyak berulang peristiwa seperti malam pertama. Para
pejuang ada yang sampai mendekati pos Belanda dengan bersembunyi melepaskan
tembakan dengan sasaran utama pasukan Belanda yang ronda di pekarangan. Sementara
itu ada lagi pejuang yang berhasil memutuskan kembali kawat-kawat berduri pagar pos
tersebut dengan kapak atau parang28.
Karena gigihnya perlawanan gerilya yang dilakukan, maka pasukan Belanda
banyak yang jatuh mentalnya. Itulah sebabnya “pasukan yang bertugas di Pulau Tengah
itu, kecuali komandannya Kapten Vat, selalu bertukar tukar29. Dari pihak rakyat perang
lima malam itu tanpa korban, tetapi di pihak Belanda korban–korbannya seperti biasa
secara sembunyi di bawanya ke Sungai Penuh.

c. Priode III: 19 Mei Sampai dengan 28 Desember 1949


Hebatnya perjuangan gerilya dan banyaknya korban serta gagalnya operasi-
operasi gencar selama hampir satu minggu yang dilakukan oleh pasukan Belanda pada
siang hari dalam usaha mengamankan Pulau Tengah, telah menyebabkan mereka
kemudian mengeluarkan ancaman keras akan membakar negeri Pulau Tengah 30. Melalui
kaki tangannya, Belanda menyampaikan kepada para pemuka rakyat bahwa mereka akan
membakar semua rumah penduduk, kecuali kalau penduduk segera pulang menghuni
rumahnya dan perlawanan dihentikan.
Ancaman yang amat serius itu mengingatkan penduduk akan derita para
pendahulu mereka dalam perang tahun 1903 dengan korban penduduk lebih-kurang
300 orang karena Dusun Baru dibakar Belanda pada 10 Agustus 1903 31. Mufakat para
pimpinan dengan para pejuang akhirnya memutuskan rakyat harus kembali ke rumah.
Perang gerilya tetap dilanjutkan sampai Belanda pergi, tapi akan dihindari agar
perlawanan tidak dilakukan dekat pos Belanda atau di daerah tempat tinggal penduduk.
Dengan demikian sasaran gerilya berikutnya adalah pasukan Belanda yang melakukan
operasi ke timur (ke arah Jujun) atau ke barat (ke arah Lempur Danau). Di timur
tempat yang strategis untuk mencegat pasukan Belanda itu adalah di daerah Koto Putih,
Telago atau di Tanjung. Sedangkan di bagian barat adalah di daerah tanah merah
(perbatasan dengan Lempur Danau). Walaupun begitu para perjuang yang akan
meneruskan gerilya tetap hati-hati dan tetap tinggal di pengungsian. Dengan kembalinya
penduduk secara berangsur-angsur dari pengungsian, negeripun makin ramai. Belanda
mulai memata-matai penduduk untuk mencari yang mereka sebut orang jahat

28
Ibid.
29
Wawancara dengan Abdullah Latif di Pulau Tengah, 15 Juni 1997.
30
Wawancara dengan Abd. Rachman Harun di Pulau Tengah, 20 Juni 1995.
31
Tholen, H. van der, 1987, hal 97.

11
Taktik Belanda berikutnya adalah mengeluarkan peraturan bahwa setiap
penduduk dewasa harus memiliki tanda pengenal yang ketika itu populer dengan nama
pas. Secara tiba-tiba, pagi atau sore, mereka melancarkan operasi pas dan setiap saat
orang-orang yang mereka temui atau curigai diperiksa pasnya. Bagi penduduk yang tidak
memiliki pas atau yang namanya sesuai atau mirip dengan nama orang yang dicari, lalu
mereka tahan dan banyak yang dibawa ke posnya.
Ada sejumlah penduduk Pulau Tengah yang ditahan Belanda dalam operasi pas
itu. Di antaranya adalah Haji Mat Radi, penduduk Koto Tuo. Orang tua ini ditangkap
karena disangka Muradi, pimpinan utama perjuangan rakyat Kerinci melawan Belanda
waktu itu. Haji Mat Radi dilepaskan dengan jaminan Kepala Dusun yang meyakinkan
bahwa orang yang bersangkutan bukanlah Muradi. Satu lagi yang lucu adalah Mat Suki,
juga penduduk Koto Tuo, yang membawa pas isterinya yang bernama Ramaisiah.
Karena laki-laki ini nama perempuan, iapun ditahan dan diintrogasi. Ia kemudian disuruh
meronggeng (menari) lebih dahulu sebelum dilepaskan Belanda..
Dalam tahap-tahap awal itu Belanda belum berhasil menangkap seorangpun dari
para pejuang. Untuk itu di samping meneruskan gerakan operasi dan operasi pas,
Belanda lebih mengaktifkan kegiatan kaki tangannya, serta mengancam akan
menangkap keluarga para pejuang.
Satu bulan kira-kira setelah peristiwa enam malam pengepungan pos Belanda,
pada 1 Juli 1949, pasukan Belanda telah dihadang pasukan gerilya di daerah Telago.
Dalam peristiwa itu mereka berhasil menawan seorang pejuang penduduk Koto Tuo asal
Minangkabau yang bernama Makhudum Tawanan pertama ini mereka perlakukan di
luar pri-kemanusiaan. Setelah puas mereka siksa dengan pukulan dan tendangan,
hidung dan telinga pejuang yang malang itu mereka potong. Terakhir Makhudum
dipaksa berenang di Danau Kerinci dan setelah sedikit jauh ke tengah lalu mereka
tembak32.
Operasi hari itu juga ke arah barat, pasukan Belanda berhasil pula menangkap
seorang pejuang di daerah tanah merah dekat Lempur Danau. Pejuang yang tertangkap
itu bernama Perahu, asal Koto Tuo juga. Setelah puas menyiksanya, konon pejuang yang
sial itu dipaksa memanjat dan setelah sampai di atas pohon yang cukup tinggi, lalu ia
ditembak33.
Berikutnya dalam kegiatan operasi ke arah timur pada tanggal 7 Juli pasukan
Belanda telah terlibat kontak senjata dengan para pejuang di daerah Keluru (sekitar 5
km dari Pulau Tengah). Dalam peristiwa itu telah tewas beberapa orang pejuang, seorang
di antaranya berasal dari Dusun Baru Pulau Tengah yang bernama M. Samad 34.

32
Wawancara dengan M. Nur di Pulau Tengah, 15 Juni 1999.
33
Wawancara dengan M. Rasyid di Pulau Tengah, 20 September 1999.
34
Wawancara dengan M. Ramli Yusuf di Pulau Tengah, 2 Juli 1999.

12
Tidak lama setelah peristiwa di atas, tertangkap pula Kopral Usman Jaafar, salah
seorang anggota inti pejuang gerilya. Dia digiring ke pos dan diinterogasi, namun
kemudian karena kepintaran menjawab, iapun dilepaskan35.
Sementara itu pertempuran terus berkecamuk di seluruh Indonesia. PBB telah
mengeluarkan resolusi yang memuat perintah penghentian tembak-menembak dan
supaya Belanda mengembalikan Presiden dan Wakil Presiden RI (Soekarno dan Hatta)
yang mereka tawan ke Jokjakarta. Namun resolusi itu tidak dihiraukan oleh Belanda.
Dalam pada itu Komisi Jasa-Jasa Baik PBB yang telah berubah nama dari KTN
menjadi UNCI (United Nations Commission for Indonesia) mulai mengadakan
perundingan pada tanggal 14 April 1949, dengan delegasi Indonesia yang dipimpin oleh
Moh. Roem SH dan Belanda oleh Dr. van Royen. Pada 7 Mai lahirlah persetujuan
Roem-Royen yang anatara lain memuat kesediaan Belanda untuk mengembalikan
pimpinan-pimpinan RI ke Jokjakarta. Dua bulan setelah persetujuan tersebut yakni pada
16 Juli, barulah Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta dikembalikan ke
Jokjakarta. Pada sidang kabinet pertama setelah kembali ke Jokja tanggal 13 Juli,
Syafruddin Prawiranegara sebagai ketua PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia)
menyerahkan kembali mandatnya.
Setelah pemerintah RI Jokjakarta dipulihkan maka pada tanggal 3 Agustus 1949
Presiden RI dan Wakil Mahkota Kerajaan Belanda di Indonesia secara serentak
mengeluarkan perintah penghentian permusuhan di seluruh Indonesia. Dengan perintah
itu di beberapa daerah di Indonesia termasuk di Sumatera Barat rakyat dapat
menyelenggarakan acara peringatan hari kemerdekaan RI ke 4 tanggal 17 Agustus
194936, namun di Kerinci hal itu tidak dapat dilaksanakan karena dihalangi oleh
Belanda37. Demikian gencatan senjata tidak pernah terjadi di Kerinci.
Selanjutnya sesuai dengan persetujuan Linggarjati dan Renville maka pada 23-
29 Oktober 1949 berlangsunglah Konferensi Meja Bundar ( KMB ) di Den Haag, Negeri
Belanda. Konferensi telah melahirkan Piagam Penyerahan Kedaulatan dari Kerajaan
Belanda kepada RIS yang harus dilaksanakan sebelum tanggal 1 Januari 1950. Untuk
itu pada tanggal 17 Desember, KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) telah
menobatkan Soekarno sebagai Presiden RIS dan pada tanggal 27 Desember
berlangsunglah acara penyerahan kedaulatan.
Sementara pada tingkat atas terjadi usaha-usaha ke arah perdamaian, malahan
kadang-kadang perdamaian telah disetujui, pada di daerah-daerah peperangan
berlangsung terus. Di Pulau Tengah, setelah perintah penghentian permusuhan tanggal 3
Agustus itu pasukan Belanda malah semakin meningkatkan kegiatan operasinya. Pada
23 Sertember 1949 tertangkaplah seorang pejuang yang bernama Haji Rain. Dengan

35
Wawancara dengan Rusydi Usman di Pulau Tengah, 25 Oktober 1999.
36
Fatimah Enar, dkk, 1978, hal. 306.
37
Wawancara dengan Alamsyah di Sungai Penuh, 7 Oktober 1974.

13
tangan terikat beliau digiring ke pos dan diinterogasi, disiksa, lalu ditembak di atas
jembatan Sungai Buai. Mayat korban jembatan Sungai Buai nomor tiga itu dimakamkan
oleh keluarga di tempat pemakaman korban sebelumnya.
Dua hari setelah Haji Rain, disusul dengan tertangkapnya Haji Mat Seri, juga
penduduk Koto Tuo yang masih keluarga dekat dari Haji Rain. Seperti korban
sebelumnya dengan tangan diikat ia dibawa ke pos. Setelah disiksa, iapun digiring ke
atas jembatan Sungai Buai lalu ditembak dan diterjunkan ke dalam sungai. Korban
jembatan Sungai Buai keempat tersebut juga dikebumikan di tempat korban sebelumnya.
Sampai pada pertengahan bulan Desember 1949, tidak ada para pejuang yang
berhasil ditangkap Belanda lagi, walaupun mereka terus melakukan operasi dengan
gencarnya. Tanggal 27 Nopember 1949 adalah hari pertama bulan suci Ramadhan.
Beberapa hari dalam bulan puasa itu para pejuang cukup merasa aman tanpa dimata-
matai oleh kaki-tangan musuh. Situasi demikian meyakinkan para penjuang bahwa
sikap Belanda sudah melunak karena mereka mengetahui adanya perdamaian (KMB)
dan mereka tidak lama lagi akan meninggalkan Indonesia. Namun peristawa-peristiwa
yang terjadi berikutnya membuktikan bahwa perkiraan para pejuang itu tidak benar sama
sekali.
Hari Senin tanggal 12 Desember 1949 bertepatan dengan tanggal 16 Ramadhan.
Sore hari itu secara diam-diam Moh. Rasyid, pimpinan operasioanal perang gerilya Pulau
Tengah, mencoba kembali ke rumah kediaman keluarganya untuk berkumpul dengan
anak-isterinya. di rumah familinya (Mat Ridin) di Koto Tuo, kira-kira 50 meter sebelah
utara Mesjid Keramat. Kira-kira pukul 18.30 setelah magrib, saat kaum muslimin sedang
asyik berbuka puasa, tiba-tiba penduduk dikejutkan oleh dua kali letusan yang cukup
keras. Diketahuilah kemudian letusan itu bersumber dari rumah M. Ridin. Ada 3 orang
korban dalam peristiwa senja berdarah itu di antaranya Moh. Rasyid sendiri. Korban
kedua adalah Abu Hasan, seorang pemuda pejuang juga, umur kira-kira 16 tahun.
Sedangkan korban ketiga adalah kaki-tangan Belanda yang dikenal dengan panggilan
Pak Bu, asal dari negeri Semerap, yang akan menangkap Moh. Rasyid. Ia terbusai
perutnya karena pisau kecil Moh. Rasyid yang memberi perlawanan sebelum tewas
ditembak Belanda.
Menjelang Hari Raya Idul Fitri yang jatuh tanggal 26 Desember 1949, para
tokoh pejuang makin banyak yang mencoba kembali ke rumahnya dengan tetap hati-
hati. Di balik itu, rupanya pasukan Belanda yang tidak akan lama lagi berada di
Indonesia (sesuai dengan KMB), tetap dengan ganas dan gencar melakukan operasinya
di Pulau Tengah. Mereka berhasil menangkap lagi beberapa orang tokoh penting
perjuangan.
Pada 19 Desember 1949, pasukan Belanda mengepung rumah Haji Abdullah di
Koto Dian (Jalan Batu Hampar sekarang) dan berhasil menangkapnya.. Setelah

14
diinterogasi, ia disiksa dengan sepak terjang, pukulan dan disentrum dengan arus listrik.
Seorang kaki-tangan Belanda memberi informasi bahwa Haji Abdullah itu adalah dari
keluarga kaya. Hasil negosiasi dengan pihak keluarga akhirnya ia dilepaskan dengan
imbalan pihak keluarga menyerahkan sebentuk cincin brilian kepada Belanda 38.
Walaupun dilepaskan namun sejak hari itu Haji Abdullah terpaksa tidur saja di
rumah karena menderita sakit. Leher bagian kirinya membengkak akibat pukulan gagang
senapan. Derita jasmaniah yang dialaminya itu tidak pernah sembuh sampai ia wafat
tanggal 26 Desembar 1949, seminggu kemudian.
Pada tanggal 24 Desember, 4 hari sebelum Belanda meninggalkan posnya di
Pulau Tengah, mereka menggeledah rumah A. Thalib (di Jalan Pasar Mambo Koto Tuo
sekarang). A.Thalib, tokoh nomor satu dalam jajaran pimpinan perjuangan rakyat di
Pulau Tengah itu, sudah sejak lama pula menjadi intaian Belanda. Nasib Thalib amat
menyedihkan sekali. Walaupun ia telah menggugat penangkapannya dengan
menyampaikan bahwa telah terjadi perdamaian di mana Belanda akan menyerahkan
kedaulatan kepada Indonesia tidak beberapa hari lagi, pasukan Belanda tetap mengikat
dan membawanya ke pos. Ia disiksa pula dengan biadab, disepak, ditendang, diinjak,
dipukul dengan gagang senapan dan disentrum dengan arus listrik Setelah disiksa dua
hari, lalu ia dibawa ke Sanggaran Agung, ibukota Kewalian Keliling Danau waktu itu
(sekitar 15 km dari Pulau Tengah) dengan kendaraan jip (jeep), di mana siksaan yang
paling sadis ia terima dalam perjalanana itu. Beberapa kali ia telah dihela dengan
kendaraan yang membawanya ke Sanggaran Agung itu. Hari itu juga beliau ditembak di
atas jembatan Batang Merangin, Sanggaran Agung 39. Mayatnya yang dihanyutkan
Belanda kemudian dimakamkan di Koto Putih, Pulau Tengah.
Pada hari tertangkapnya Thalib, tertangkap pula Mat Kumpuh (Makumpah),
yang terkepung di rumah saudara perempuannya yang terletak pada jalan yang sama
dengan A.Thalib (tapi agak jauh di ujung utara). Mat Kumpuh yang pandai silat itu
tidak menyerah begitu saja. Ketika tiba di halamam ia dapat melepaskan diri dan
beberapa kali dapat melayangkan kaki dan tinjunya ke arah pasukan Belanda. Namun
perlawanannya dapat dihentikan, dan setelah diikat kembali ia dibawa ke pos. Setalah
disiksa dengan biadabnya ia pun dibawa ke atas jembatan Sungai Buai dan ditembak 40.
Sama halnya dengan korban sebelumnya, ia juga dikuburkan keluarga di pinggir timur
Sungai Buai, sekitar 300 meter utara jembatan tempat ia ditembak.

Hari Selasa 26 Desember 1949 bertepatan dengan 1 Syawal, adalah hari Raya
Idul Fitri. Bagi penduduk Pulau Tengah hari itu bukan hari gembira tatapi hari duka
sebab di samping A.Thalib tewas ditembak Belanda di Sanggaran Agung, Haji Abdullah

38
Wawancara dengan Abd. Kahar di Pulau Tengah, 17 Desember 1999.
39
Semua responden mengetahuinya.
40
Wawancara denga Haji Dahlan di Pulau Tengah, 15 Desember 1999.

15
yang sakit menderita karena siksaan Belanda telah meninggal dunia pula hari itu. Dalam
pada itu telah ditangkap pula dua orang tokoh pejuang, yaitu Mat Derai (Madroa) dan
Abd. Rachman Harun (keduanya asal Koto Dian). Dengan tangan terikat Mat Derai
dibawa ke pos, disiksa di luar pri-kemanusiaan dan lalu ditembak pula di tas jembatan
Sungai Buai. Mayat korban jembatan merah keenam ini juga dimakamkan keluarga di
tempat korban sebelumnya.
Abd. Rachman Harun, pejuang kedua yang juga ditangkap Belanda di rumahnya
2 hari sebelum mereka pergi itu, juga dengan tangan terikat digiring ke pos. Ia juga
diinterogasi dan disiksa. Namun tokoh pejuang yang satu orang ini, seperti Haji
Abdullah, rupanya belum takdir Tuhan untuk mengikuti teman-temann di atas jembatan
merah. Setelah disiksa sehari semalam ia dilepaskan dengan imbalan harus menyerahkan
sejumlah barang berharga berupa perhiasan emas kepada Belanda 41. Setelah dilepaskan
ia lama sekali menderita sakit, kurus dan lemah akibat siksaan Belanda yang bersengatan
terutama akibat siksaan dengan sentrum listrik 42.
Keganasan Belanda dengan tindakan tidak berprikemanusiaan menyiksa dan
menembak para pejuang di atas jembatan Sungai Buai yang ramai dilalui penduduk itu,
sengaja mereka lakukan sebagai shock terapi untuk menjatuhkan mental dan semangat
juang rakyat. Di samping itu Belanda tidak lupa pula berusaha mengambil hati rakyat.
Sekolah (ketika itu Sekolah Rakyat atau SR setingkat SD) dibuka kembali dengan
menyampaikan bahwa anak-anak penting bersekolah. Dalam pada itu mereka
memberikan obat-obatan gratis kepada penduduk. Namun dengan tindakan-tindakannya
itu tidaklah mempengaruhi sikap rakyat terhadap Belanda. Perjuangan terus
berlangsung.

E. Akhir Perlawanan
Sementara pertempuran terus berlangsung di mana-mana, PBB telah berusaha
mempertemukan pihak Indonesia dan Belanda di meja perundingan. Pada bulan Oktober
1949 berlangsunglah KMB di Negeri Belanda, yang menghasilkan Piagam Penyerahan
Kedaulatan. Sesuai dengan piagam tersebut, maka pada tanggal 27 Desember terjadilah
secara serentak acara penyerahan kedaulatan yaitu di :
1) Amsterdam, dari Kerajaan Belanda kepada RIS.
2) Jokjakarta, dari RI kepada RIS.
3) Jakarta, dari Lovink sebagai wakil Belanda kepada Sri Sultan
Hamengku Buwono sebagai wakil Indonesia43.
Di Kerinci , serah terima kota Sungai Penuh baru dilaksanakan Belanda kepada
Mayor A. Thalib sebagai wakil Indonesia pada tanggal 29 Desember 1949. Sehari

41
Wawancara dengan Abd. Rachman Harun di Pulau Tengh, 20 Juni 1995.
42
Wawancara dengan M. Ramli Yusuf di Pulau Tengah, 22 Juli 1999.
43
Susanto Tirtoprojo, Drs, 1963, hal 28.

16
sebelum itu , yakni pada tanggal 28 Desember pasukan Belanda telah meninggalkan
Pulau Tengah untuk bergabung dengan pasukan induknya di Sungai Penuh . Pada
tanggal 29 Desember setelah serah-terima kota Sungai Penuh, semua pasukan Belanda
yang berada di Kerinci berangkat menuju Padang 44.
Demikian perlawanan rakyat di Pulau Tengah telah berlangsung selama pasukan
Belanda berada di negeri tersebut yaitu dari tanggal 4 Mai sampai dengan 28 Desember
1949 atau selama 239 hari. Selama itu di Kerinci tidak pernah ada gencatan senjata atau
perdamaian dengan Belanda 45. Demikian pula di Pulau Tengah, perlawanan baru
berakhir setelah pasukan Belanda pergi tanggal 28 Desember 1949.
F. Penutup.
1. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapatlah kita simpulkan bahwa alam negeri Pulau Tengah
cocok sekali sebagai medan perang gerilya. Dalam menghadapi Belanda, penduduk
negeri ini telah melakukan persiapan-persiapan yang diperlukan. Di samping latihan
baris-berbaris, taktik perang gerilya dengan menggunakan bambu runcing, penduduk
telah membekali diri pula dengan senjata di samping persiapan pangan. Sedangkan
dalam aspek moril, para ulama dengan giatnya melakukan wirid atau pengajian-
pengajian untuk meningkatkan semangat penduduk menghadapi perang sabil.
Dalam serangannya pada agresi II 1949, pasukan Belanda telah sampai ke Pulau
Tengah pada 4 Mai dan membuat posnya di sini.. Dalam minggu pertama Belanda dapat
dikatakan belum mendapat perlawanan dari para pejuang karena mereka menyiapkan
serangan gerilya. Serangan gerilya malam hari terhadap pos Belanda telah dilakukan
para pejuang selama enam malam berturut-turut sejak tanggal 13 sampai dengan 19 Mai
1949. Kehadiran meriam Gati, walaupun tidak pernah mengenai sasaran, telah
menambah semangat para pejuang . Serangan gerilya itu lalu dihentikan karena Belanda
mengancam akan membakar negeri Pulau Tengah jika para pejuang terus malakukannya.
Setelah 19 Mai 1949, sasaran utama gerakan gerilya adalah pasukan Belanda
yang mengadakan operasi ke arah barat (Lempur Danau–Semerap) atau timur (Jujun).
Sampai Belanda meninggalkan Pulau Tengah tanggal 28 Desembaer 1949 gencatan
senjata atau perdamaian dengan Belanda tidak pernah ada di daerah itu.
Selama perang gerilya melawan Belanda di Pulau Tengah itu, jumlah korban
pasukan Belanda tidak diketui kerena mereka merahasiakannya. Sedang pada pihak
pejuang telah jatuh korban beberapa orang, 6 orang di antaranya setelah disiksa ditembak
di atas jembatan Sungai Buai. Jembatan itu benar-benar merah berlumuran darah
sehingga dinamai dengan jembatan merah.

44
Dewan Nasional Angkatan 45, hal 237.
45
Wawancara dengan Mansyur Gazali di Sungai Penuh, 6 Oktober 1974.

17
Di samping dengan tindakan kejamnya, Belanda berusaha pula menghentiksn
perlawanan dengan membujuk penduduk dengan mengatakan Belanda orang baik-baik,
membuka sekolah, memberikan obat-obatan gratis. Namun tindakanitu tidaklah
mempengaruhi semangat perjuangan rakyat. Perlawanan gerilya berlangsung terus
sampai pasukan Belanda meninggalkan Pulau Tengah 28 Desember 1949.

2. Saran
Sehubungan dengan peristiwa sejarah yang terjadi di negeri Pulau Tengah masa
agressi II itu, penulis mengajukan saran-saran sebagai berikut:
1. Agar dilakukan penelitian yang lebih mendalam tentang perlawan rakyat ini,
sehingga dapat mengungkapkannya secara lebih mendalam lagi..
2. Agar pihak berwenang mengabadikan peristiwa perjuangan rakyat Pulau
Tengah pada masa agresi II itu dalam bentuk sebuah tugu perjuangan.
Moga-moga saran kami mendapat perhatian dari para generasi muda atau pihak-
pihak yang berwenang.

KEPUSTAKAAN

Ali, R. Moh, Drs. (1962). Peranan Bangsa Indonesia Dalam Sejarah Asia Tenggara,
Djakarta, Penerbit Bharatara.

18
Dewan Harian Angkatan 45 Provinsi Jambi, Sejarah Perjuangan Kemerdekaan RI (1945
– 1949) di Provinsi Jambi.
Dep. P dan K Provinsi Jambi, Sejarah Revolusi Kemerdekaan Daerah Jambi
Dewan Harian Nasional Angkatan 45, Seri Pengalaman dan Pandangan tentang
Perjuangan 45, Penerbit Aries Lima.
Fatimah, Enak, dkk (1978), Sumatera Barat 1945 – 1949), Padang, Pemerintah Daerah
Sumatera barat.
Susanto Tirtoprojo, Drs (1963), Sejarah Revolusi Nasional Indonesia, Djakarta. Balai
Pustaka.
Thahar Ramli, Drs, dkk (1999), Sejarah dan Bentuk Bangunan Mesjid Keramat Koto
Tuo, Pulau Tengah, Pemerintah Desa Koto Tuo, Pulau Tengah.
Thahar Ramli (1970). Perlawanan Rakyat Kerinci Menentang Imperialisme Belanda
(1901 – 1906), Skripsi, Padang, Fakultas Keguruan Pengetahuan Sosial,
Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan.
Tholen, H.V Van Der (1987), De Expeditic naar Korintji in 1902-1903: Imperialisme of
ethische politiek.

Nama-nama Informan

No. Nama Umur Tempat dan tanggal wawancara


1. Abd. Kahar Abdullah 61 tahun Pulau Tengah,17 Desember 1999
2. Abdullah Latif 79 tahun Pulau Tengah, 15 Juni 1997
3. Abd. Manaf 77 tahun Pulau Tengah, 20 Juli 1995
4. Abd. Rachman Harun 76 tahun Pulau Tengah, 20 Juni 1995
5. Alamsyah Almarhum Sungai Penuh, 7 Oktober 1974
6. Buyung Kapas Almarhum Sungai Penuh, 6 Oktober 1974
7. Haji Dahlan 75 tahun Pulau Tengah, 15 Desember 1999
8. Mansyur Gazali 79 tahun Sungai Penuh, 6 Oktober 1974
9. Mat Nur 73 tahun Pulau Tengah, 15 Juni 1999
10. M.Rasyid 65 tahun Pulau Tengah, 20 September 1999
11. M. Ramli Yusuf 74 tahun Pulau Tengah, 22 Juli 1999
12. Muhammad 69 tahun Pulau Tengah, 20 Juli 1999
1 3. Rusydi Usman 47 tahun Pulau Tengah, 25 Oktober 1999
14 Selanjah Radi 61 tahun Pulau Tengah, 12 Oktober 1999
15 Yusuf Usman Almarhum Pulau Tengah , 20 Juni 1995

Padang, Juni 2004

19
20

Anda mungkin juga menyukai