Oleh: dpnspri
Rasa traumatik terhadap kata "Demokrasi Pancasila" setidaknya pernah dua kali terjadi.
Pertama, ketika pada masa Orde Lama. Saat itu, Demokrasi Pancasila beralih menjadi
Demokrasi Terpimpin. Kekuasaan berpusar pada Presiden Soekarno. Bahkan, diakhir
masa kekuasaannya, Soekarno diangkat menjadi presiden seumur hidup.
Kedua, traumatik terhadap istilah Demokrasi Pancasila terjadi di era Orde Baru.
Demokrasi Pancasila justru dipakai untuk membonsai demokrasi itu sendiri. Partai-
partai politik dimampatkan hanya menjadi tiga. Partai berideologi Islam dipaksa berfusi
dalam wadah Partai Persatuan Pembangunan (PPP), sementara yang berideologi
nasionalis (PNI), sosialis (Murba) dan Kristen (Parkindo) digabungkan dalam Partai
Demokrasi Indonesia (PDI).
Pada masa Orde Baru, Pemilu memang dilakukan secara ajeg setiap lima tahun sekali.
Akan tetapi, pelaksanaannya sebatas sebagai formalitas semata. Pemilu seperti kisah
mitologi Yunani, Sisifus. Ia mendorong batu ke puncak bukit, setelah sampai ke atas
batu digelindingkan ke bawah. Begitu seterusnya sehingga menjadi rutinitas. Pun,
Pemilu pada masa Orde Baru. Setiap lima tahun digelar secara rutin dan pemenangnya
selalu rutin pula: Golongan Karya (Golkar).
Guna memangkas ruang gerak partai politik, Orde Baru membuat kebijakan massa
mengambang. Akibatnya, partai politik tidak diperbolehkan lagi sampai ke tingkat desa
di mana massa berada. Ibarat sebatang pohon, partai politik tidak lagi menjangkar ke
bumi, ia mengambang. Ibarat ikan, ia dipisahkan dengan air. Ali Moertopo
(Bourchier&Hadiz-ed, 2006:64) sebagai penggagas massa mengambang, membuat
dalih bahwa para pemilih yang ada di pedesaan belum rasional dan cenderung
emosional. Oleh sebab itu, menurutnya, rakyat jangan dilibatkan terlalu jauh dalam
masalah politik agar kehidupan mereka tetap tenang, jauh dari medan pertarungan
konflik horisontal. Argumentasi tersebut hanyalah apologi untuk membonsai partai
politik. Kenyataan ini bisa terlihat ketika Golkar yang ditopang birokrasi dan militer
diberikan keleluasaan untuk berada di mana-mana. Tidaklah mengherankan kalau
Golkar selalu tampil sebagai pemenang dalam Pemilu.
Seringkali pula dengan dalih Demokrasi Pancasila, Orde Baru menggunakan cara-cara
koesif dan represif untuk membungkam suara-suara kritis. Benturan antara pemerintah
dan rakyat seringkali terjadi. Kasus Tanjung Priok, Petisi 50, dan kasus-kasus yang lain,
mencuat karena terjadi sensor yang berlebihan terhadap suara kritis. Yang kritis
dianggap anti Pancasila. Akibatnya, dianggap mengganggu stabilitas nasional.
Tindakan selanjutnya, mereka yang vokal harus "diamankan" agar tidak menjadi
gangguan di masyarakat.