Anda di halaman 1dari 2

Belajar dari Kegagalan Demokrasi Pancasila

Oleh: dpnspri

Rasa traumatik terhadap kata "Demokrasi Pancasila" setidaknya pernah dua kali terjadi.
Pertama, ketika pada masa Orde Lama. Saat itu, Demokrasi Pancasila beralih menjadi
Demokrasi Terpimpin. Kekuasaan berpusar pada Presiden Soekarno. Bahkan, diakhir
masa kekuasaannya, Soekarno diangkat menjadi presiden seumur hidup.

Sebagai penggali Pancasila yang di dalamnya terdapat prinsip demokrasi, Soekarno


justru memusuhi sistem multipartai. Ia membubarkan Majelis Konstituante yang terpilih
dari salah satu Pemilu paling demokratis dalam sejarah Indonesia modern. Selepas
pembubaran itu, Soekarno kemudian mendeklarasikan Demokrasi Terpimpin. Ia juga
melarang Masyumi dan PSI karena dianggap menyerang dirinya. Padahal saat itu
atmosfir demokrasi begitu semarak. Kenyataan tersebut tercermin dari Pemilu 1955
yang begitu sukses. Semua spektrum politik bisa terlibat bertarung di bilik suara untuk
mendapatkan dukungan dari rakyat. Sayangnya, dinamika tersebut dipangkas oleh
Soekarno dan menggantinya dengan Demokrasi Terpimpin yang berkecenderungan
otoriter. Tidaklah mengherankan kalau kemudian kekuasaan berpusat pada Soekarno
seorang diri. DPR dan MPR memang ada, tetapi posisinya sebatas simbolik semata.

Oleh Soekarno, kekuatan politik kemudian diringkus dalam Nasakom (Nasionalis-


Agama-Komunis). Rupa-rupanya ia berkeinginan mempratekkan tulisannya pada tahun
1926 di Suluh Idonesa Muda. Tulisan berjudul Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme
mengungkapkan cita-cita Soekarno untuk menyatukan ketiga kekuatan itu sebagai
baling-baling yang menggerakan Indonesia menuju kejayaan. [Soekarno, 1963:22]
Dalam prateknya, upaya “kawin paksa” dengan menggabungkan tiga spektrum ideologi
yang berbeda tersebut, justru berdampak buruk terhadap perpolitikan di Indonesia.
Politik di Indonesia terjebak dalam puting beliung polarisasi kiri-kanan yang merupakan
pengaruh Perang Dingin. Benturan akhirnya tidak dapat dielakkan. Ujungnya adalah
tragedi berdarah tahun 1965. [Bourchier&Hadiz-ed, 2006:7]

Pada masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), kekuasaan eksekutif Soekarno maha


luas. Seperti seorang raja pada zaman feodal, pidato Soekarno adalah sabda yang
mesti dijalankan oleh seluruh rakyat Indonesia. Istilah-istilah seperti Usdek, Manipol dan
lain-lainnya, merupakan pidato Soekarno yang kemudian dijadikan semacam Garis
Besar Haluan Negara (GBHN). Kondisi inilah yang menyebabkan demokrasi menjadi
timpang. Pada titik ini, Demokrasi Pancasila dipunggungi oleh penggagasnya sendiri.

Kedua, traumatik terhadap istilah Demokrasi Pancasila terjadi di era Orde Baru.
Demokrasi Pancasila justru dipakai untuk membonsai demokrasi itu sendiri. Partai-
partai politik dimampatkan hanya menjadi tiga. Partai berideologi Islam dipaksa berfusi
dalam wadah Partai Persatuan Pembangunan (PPP), sementara yang berideologi
nasionalis (PNI), sosialis (Murba) dan Kristen (Parkindo) digabungkan dalam Partai
Demokrasi Indonesia (PDI).

Pada masa Orde Baru, Pemilu memang dilakukan secara ajeg setiap lima tahun sekali.
Akan tetapi, pelaksanaannya sebatas sebagai formalitas semata. Pemilu seperti kisah
mitologi Yunani, Sisifus. Ia mendorong batu ke puncak bukit, setelah sampai ke atas
batu digelindingkan ke bawah. Begitu seterusnya sehingga menjadi rutinitas. Pun,
Pemilu pada masa Orde Baru. Setiap lima tahun digelar secara rutin dan pemenangnya
selalu rutin pula: Golongan Karya (Golkar).

Guna memangkas ruang gerak partai politik, Orde Baru membuat kebijakan massa
mengambang. Akibatnya, partai politik tidak diperbolehkan lagi sampai ke tingkat desa
di mana massa berada. Ibarat sebatang pohon, partai politik tidak lagi menjangkar ke
bumi, ia mengambang. Ibarat ikan, ia dipisahkan dengan air. Ali Moertopo
(Bourchier&Hadiz-ed, 2006:64) sebagai penggagas massa mengambang, membuat
dalih bahwa para pemilih yang ada di pedesaan belum rasional dan cenderung
emosional. Oleh sebab itu, menurutnya, rakyat jangan dilibatkan terlalu jauh dalam
masalah politik agar kehidupan mereka tetap tenang, jauh dari medan pertarungan
konflik horisontal. Argumentasi tersebut hanyalah apologi untuk membonsai partai
politik. Kenyataan ini bisa terlihat ketika Golkar yang ditopang birokrasi dan militer
diberikan keleluasaan untuk berada di mana-mana. Tidaklah mengherankan kalau
Golkar selalu tampil sebagai pemenang dalam Pemilu.

Seringkali pula dengan dalih Demokrasi Pancasila, Orde Baru menggunakan cara-cara
koesif dan represif untuk membungkam suara-suara kritis. Benturan antara pemerintah
dan rakyat seringkali terjadi. Kasus Tanjung Priok, Petisi 50, dan kasus-kasus yang lain,
mencuat karena terjadi sensor yang berlebihan terhadap suara kritis. Yang kritis
dianggap anti Pancasila. Akibatnya, dianggap mengganggu stabilitas nasional.
Tindakan selanjutnya, mereka yang vokal harus "diamankan" agar tidak menjadi
gangguan di masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai