Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU) persentase golongan putih (golput)
atau suara tidak sah dalam setiap pesta demokrasi nyaris terus mengalami peningkatan
khususnya pemilu tahun 2004 hingga 2014. Pada pemilu tahun 2004 yang merupakan pemilu
pertama kali yang memisahkan antara pemilu legislatif (Pileg) dan pemilu presiden (Pilpres)
Pada Pileg 2004 angka golput mencapai 15,9 persen. Sementara di ajang Pilpres 2004
putaran pertama golput meningkat hingga 21,8 persen. Kemudian pada Pilpres 2004 putaran
kedua angka golput melonjak menjadi 23,4 persen. Pada Pileg 2009 angka golput terus
meningkat menjadi 29,1 persen, di ajang Pilpres 2009 turun sedikit menjadi 28,3 persen.
Pada Pileg 2014 lalu angka golput mencapai 28 persen, di Pilpres 2014 meningkat
menjadi 30,42 persen. Dengan demikian partisipasi pemilih pada Pilpres 2014 sebesar 69,58
persen, sedangkan pada Pilpres 2009 partisipasi sebesar 71,17 persen. Sebagaimana diketahui,
angka partisipasi memilih itu dihitung dari total pengguna hak pilih dibagi pemilih yang
terdaftar. Sehingga partisipasi memilih ini berbanding lurus dengan besarnya angka golput.
Bahkan berdasarkan penelusuran data yang ada sejak pasca reformasi sebetulnya angka
golput dari pemilu ke pemilu terus mengalami peningkatan. Pada Pemilu 1999 jumlah golput
mencapai 7,3 persen. Angka golput pada pemilu pertama pasca reformasi itu masih rendah
karena masyarakat menaruh harapan besar terhadap pemimpin baru. Kepercayaan dan budaya
Lantas bagaimana potensi golput di pemilu 2019 ini, nampaknya akan mengalami
peningkatan walaupun tidak terlalu signifikan. Hal ini setidaknya terlihat dari masih maraknya
peredaran hoax, ujaran kebencian, black campaign, serta kesalahan mencoblos dalam simulasi
pemungutan suara yang telah dilakukan. Mungkin ini menjadi tugas KPU di daerah untuk lebih
giat lagi dalam melakukan simulasi terkait kesalahn mencoblos khususnya di daerah pedalaman
atau pedesaan.
Tentu kita pun berharap persentase golput di tahun 2019 ini mengalami penurunan.
Meskipun sebetulnya golput dalam teori politik dan demokrasi suatu negara merupakan salah
satu bentuk hak politik dari warga negara. Sementara jika ditinjau dari budaya politik, golput pun
Ada empat dimensi yang menjadi ukuran dalam menentukan budaya politik suatu
masyarakat, yaitu sebagai berikut : (1) Tingkat pengetahuan umum masyarakat mengenai sistem
politik negaranya, seperti pengetahuan tentang sejarah, letak geografis, dan konstitusi negara. (2)
Pemahaman masyarakat mengenai struktur dan peran pemerintah dalam membuat kebijakan. (3)
Pemahaman mengenai penguatan kebijakan yang meliputi masukan opini dari masyarakat dan
media massa kepada pemerintah. (4) Sejauh mana partisipasi masyarakat dalam berpolitik dan
bernegara.
Budaya politik itu sendiri memiliki makna sebagai suatu sistem nilai bersama suatu
masyarakat yang memiliki kesadaran untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan kolektif
dan penentuan kebijakan publik untuk masyarakat seluruhnya. Budaya politik yang dimaksud
adalah budaya politik parokial (apatis) yaitu budaya politik yang tingkat partisipasi politiknya
sangat rendah. Budaya politik suatu masyarakat dapat dikatakan parokial apabila frekuensi
orientasi mereka terhadap empat dimensi penentu budaya politik mendekati nol atau tidak
budaya politik kaula dan budaya politik partisipan. Budaya politik kaula (subjek),yaitu budaya
politik yang masyarakatnya sudah relatif maju baik sosial maupun ekonominya tetapi masih
bersifat pasif. Sedangkan budaya politik partisipan,yaitu budaya politik yang ditandai dengan
kesadaran politik yang sangat tinggi dari masyarakatnya. Ketika sebagian besar masyarakat kita
telah menunjukan budaya partisipan tentu tingkat partisipasi memilihnya akan tinggi dan
Sebenarnya ada beberapa faktor yang berpotensi meningkatkan persentase golput pada
pemilu tahun 2019 ini. Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah (1) persoalan teknis dan
administratif, (2) Banyak beredarnya berita bohong (hoax) dan black campaign, yang
menyebabkan simpati masyarakat menurun bahkan antipati terhadap calon legislatif maupun
capres/cawapres. (3) Anggapan masyarakat tentang janji-janji yang belum terpenuhi pada
kampanye sebelumnya dari para calon. (4) Waktu pelaksanaan pemilu yang berdekatan dengan
hari libur nasional. Sehingga hal ini memicu masyarakat untuk memilih pergi berlibur (long
Sementara menurut Nyarwi Ahmad, staf pengajar Jurusan Ilmu Komunikasi UGM ada
beberapa jenis golput di Indonesia, yakni: Pertama, golput teknis, yakni mereka yang tidak
menggunakan hak pilih karena sebab-sebab teknis berikut, (1) ada kepentingan sehingga tidak
dapat hadir ditempat pemungutan suara (TPS), (2) terjadi kesalahan dalam mencoblos sehingga
suaranya dinyatakan tidak sah, (3) atau namanya tidak terdaftar sebagai pemilih akibat kesalahan
penyelenggara pemilu.
Kedua, golput ghost voter, yakni pemilih yang namanya yang tercantum dalam Daftar
Pemilih Tetap (DPT), namun setelah dicek ternyata tidak memenuhi syarat sebagai pemilih
karena berbagai alasan. Misalnya nama yang terdaftar di DPT ternyata sudah meninggal, atau
nama pemilih ternyata terdaftar ganda dan sudah mencoblos di TPS lain.
Ketiga golput ideologis, yakni mereka yang tidak mencoblos karena ketidakpuasan
terhadap pemerintahan yang ada atau tidak percaya pada sistem ketatanegaraan yang tengah
berlaku. Menurut pengamat politik Indra J. Piliang, kelompok golput ideologis ini menganggap
negara sebagai korporat yang dikuasai sejumlah elit dan tidak memegang kedaulatan rakyat
secara mutlak. Golput ideologis juga digambarkan sebagai bagian dari gerakan anti-state yang
Keempat, golput pragmatis, yakni mereka yang tidak ikut mencoblos karena menganggap
pemilu tidak memberi keuntungan langsung bagi pemilih. Sehingga mereka tidak menganggap
pemilu sebagai pesta demokrasi rakyat, melainkan hanya sebagai proses rutinitas lima tahunan
saja. Golput jenis ini menilai bahwa mencoblos ataupun tidak mencoblos, diri mereka tidak akan
merasakan pengaruh atau perubahan apapun. Kelompok seperti sudah sangat apatis terhadap
kepemimpinan dan penyelenggaran negara. Tentu kelompok ini yang perlu mendapat bimbingan
atau pendekatan khusus dari pihak-pihak yang terkait khususnya KPU di daerah.
Kelima, golput politis, adalah orang-orang yang percaya pada negara dan pemilu. Hanya
saja, kelompok ini tidak mau mencoblos karena merasa kandidat-kandidat dalam Pemilu tidak
mampu mewadahi kepentingan serta preferensi politik mereka. Biasanya kelompok ini
merupakan orang yang memang berkecimpung dalam dunia politik. Kemudian mereka kecewa
karena kandidat yang maju bukan berasal dari kelompok atau partai politiknya.