Anda di halaman 1dari 22

Volume 3 Nomor 1, April 2014

Jurnal RechtsVi
TINJAUAN AMBANG BATAS PEROLEHAN SUARA BERDASARKAN
UNDANG- UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PEMILIHAN
ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH
DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH TERHADAP UNDANG-
UNDANG DASAR 1945

BPHN
(A Legal Analysis on Electoral Threshold in Law Number 8 Year 2012 On The Election for Members
of House of Representative, House of Regional Representative and Local House of Representative
against the Republic of Indonesian 1945 Constitution)

Yogo Pamungkas
Fakultas Hukum Universitas Trisakti Jakarta
Jalan Kyai Tapa Grogol Jakarta Barat
Email: pamungkasyogo@gmail.com

Naskah diterima: 21 Februari 2014; revisi: 11 April 2014; disetujui: 29 April 2014

Abstrak
Ambang batas perolehan suara adalah usaha memperoleh hasil pemilihan umum yang berkualitas dengan pengisian
kursi di parlemen dan juga untuk menghasilkan pengelolaan pemerintah yang stabil. Namun cara ini selalu terbentur
atau dibenturkan dengan persoalan demokrasi, disproporsionalitas pemilihan umum dan persoalan aspirasi rakyat.
Permasalahan yang diajukan dalam tulisan ini adalah apakah putusan Mahkamah Konstitusi atas permohonan uji materi
tentang Ambang batas perolehan suara pemilu 2014 sudah tepat dan bagaimana penerapan yang tepat atas ambang
batas perolehan suara pada pemilu 2014? Untuk menganalisis masalah ini menggunakan tipe penelitian normatif
dengan data sekunder yang dianalisis dengan pendekatan kualitatif dan deduktif. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa penetapan ambang batas perolehan suara ditentukan sebesar 3.5% suara nasional hanya berlaku di jenjang
nasional saja. Penetapan ambang batas perolehan suara tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Penerapan atas ambang batas perolehan suara ini juga tidak tepat karena hanya diterapkan pada tataran nasional saja,
karena sebaiknya penerapan ambang batas perolehan suara diterapkan di setiap jenjang.
Kata Kunci: Ambang Batas Perolehan Suara, Pemilihan Umum, Partai Politik

Abstract
Basically, Electoral threshold is the effort to achieve high quality election result by choosing representative person to
represent political party. Besides, in order to achieve secure governance management. Unfortunately electoral threshold
is often opposed with the issues of democracy, proportional principles of election and people’s aspiration. There are
questions in this research: is the verdict of constitutional court about parliamentary threshold has been right? How the
application of parliamentary threshold in the election 2014? This research use normative research method with
secondary data. This research finds that: first, Electoral threshold is 3.5% of total national votes and it is only enforce
within national scope; second, electoral threshold is in accordance within the Republic of Indonesia’s 1945 constitution;
third. It is not ideal to enforce electoral threshold only within national scope instead of local scope. Therefore, it is
suggested that Electoral threshold must be enforce within both national and local scopes.
Keywords: Electoral Threshold, Election, Political Party

Tinjauan Ambang Batas Perolehan Suara Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 (Yogo Pamungkas) 1
Volume 3 Nomor 1, April 2014

Jurnal RechtsVin
A. Pendahuluan membentuk saluran-saluran kelembagaan
Banyak negara-negara yang menyatakan yang diperlukan guna menampung partisipasi
bahwa negaranya adalah negara yang politik.2
demokratis dengan berbagai terminologi yang Sistem pemilu menurut Arend Lijphart
didefinisikan sendiri dan bahkan beberapa diartikan sebagai satu kumpulan metode

BPHN
negara yang jelas-jelas tidak menerapkan asas atau cara warga masyarakat memilih para
demokrasi pun masih tetap berusaha wakil mereka.3 Dalam membahas tentang
membuat sistem yang seolah-olah demokratis. sistem pemilu sangat perlu diperhatikan
Ciri dasar dari sebuah negara yang apa yang dinamakan electoral formula atau
menerapkan demokrasi adalah hidupnya formula pemilihan umum yang berarti sistem
partai politik dan berlangsungnya pemilihan apa yang hendak digunakan.4 Secara umum
umum secara periodik. Negara-negara yang terdapat dua kelompok sistem pemilu yaitu
menerapkan demokrasi biasa memiliki lebih sistem representasi-proposional (Propotional
dari dua partai baik yang bersistem dwi partai Representative) dan sistem Pluratitas-
maupun multi partai. Sementara bagai negara Mayoritas (Plurality-Majority) atau disebut
yang otoriter meski mempunyai partai politik Sistem Distrik.5 Problematika umum sebuah
biasanya hanya ada satu partai milik negara yang menerapkan sistem multi partai
pemerintah. Menurut Samuel Huntington, adalah stabilitas politik yang lemah akibat
pelembagaan partai adalah proses banyaknya jumlah partai. Pemerintahan yang
pemantapan partai politik baik dalam wujud disokong oleh beberapa partai yang tidak
perilaku yang mempola maupun dalam mencapai perolehan dukungan mayoritas
sikap maupun budaya1. tunggal, sehingga pemerintahan sering
Huntington menegaskan bahwa dalam konteks dijalankan secara transaksional sehingga
pembangunan politik, yang terpenting bukan berdampak pada kerugian rakyat.
jumlah partai yang ada, melainkan sejauh Oleh karena itu timbul pemikiran
mana kekokohan dan kemudahan beradaptasi tentang sistem multi partai sederhana untuk
sistem kepartaian yang berlangsung. Sistem memciptakan pengelolaan pemerintahan
kepartaian dapat dikatakan kokoh dan mudah yang baik. Cara yang paling alami untuk
beradaptasi apabila mampu menyerap dan menyederhanakan partai tersebut adalah
menyatukan semua kekuatan sosial baru yang dengan menentukan ambang batas perolehan
muncul sebagai akibat modernisasi. Dari sudut suara.
pandang ini jumlah partai hanya akan Pemberlakuan ambang batas atau batas
menjadi penting jika ia mempengaruhi representasi perwakilan sangat dimungkinkan
kapasitas sistem untuk

1
Samuel Huntington dalam Lili Romli, ”Reformasi Partai Politik dan Sistem Kepartaian di Indonesia,” Jurnal
Politica (2011):201
2
Ibid.
3
Arend Lijphart dalam Affan Gafar, Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2000), hlm. 255.
4
Ibid.
5
Ibid.

2 Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 1, April 2014, hlm. 33-50


Volume 3 Nomor 1, April 2014

Jurnal RechtsVi
dalam pemilihan umum. Artinya akan ada
pemilu. Hal ini juga membuat kualitas demokrasi
tingkatan dukungan minimal yang diperlukan
menjadi menurun.
partai untuk memperoleh perwakilan.
Data Komisi Pemilihan Umum8
Penerapannya bisa secara legal (legal
menunjukkan, pada pemilihan umum tahun
threshold) yaitu dicantumkan dalam undang-
1999 yang tidak menerapkan ambang batas,

BPHN
undang atau semata de facto secara matematis
terdapat 3.755.383 atau 3,55% suara terbuang.
(efektif).6
Jika ambang batas diterapkan jumlah suara
Nohlen7 berpendapat terdapat empat
terbuang akan bertambah. Dengan besaran
kriteria dalam menentukan ambang batas
ambang batas 2,5% maka jumlah suara
pertama, prosentase perolehan suara.
terbuang melonjak lima kali lipat menjadi
Pertama, besaran prosentase perolehan suara
14.195.221 atau 13,41% namun jumlah suara
yang paling umum adalah 3% (Spanyol) hingga
terbuang tidak bertambah ketika ambang batas
5% (Jerman), sementara prosentase yang
dinaikkan menjadi 3% atau 4% atau 5% .
terendah diterapkan di Belanda, yakni sebesar
Di negara lain, penerapan ambang batas
0.5% dan negara yang paling tinggi
juga mengakibatkan suara terbuang. Turki
menerapkan, yakni Turki sebesar 10%. Kedua,
sebagai negara yang menerapkan ambang
ambang batas berdasar lokasi penerapan yaitu
batas paling tinggi yaitu 10%, pada pemilihan
penentuan ambang batas berdasar lokasi
umum 2002 terdapat suara terbuang sebesar
daerah pemilihan (Spanyol), atau diterapkan
45%, pada pemilihan umum tahun 1993 di
secara nasional (Jerman) atau di dua tingkat
Polandia dengan ambang batas 5% untuk
daerah pemilihan (daerah dan nasional)
partai politik dan 8% untuk koalisi terdapat
sebagaimana di Swedia. Ketiga, ambang batas
22% suara terbuang, sementara di Ukraina
didasarkan pada tahap awal sebelum
dengan ambang batas 3% pada pemilihan
penghitungan perolehan kursi atau berdasar
umum 2006 terdapat 22% suara terbuang
tahap penghitungan kursi. Keempat, ambang
sedang di Lithuania dengan ambang batas 5%
batas dengan obyek partai atau koalisi partai.
pada pemilihan umum tahun 2000 terdapat
Pelaksanaan pengurangan jumlah partai
23% suara terbuang.9 Oleh karena itu
politik dengan menggunakan ambang batas
diperlukan rumusan yang tepat tentang
perolehan suara secara positif akan
prosentase ambang batas yang pada satu sisi
mengurangi partai politik, namun pada sisi lain
dapat secara signifikan mengurangi jumlah
terdapat sekian suara terbuang dan tidak
partai namun pada sisi lain tidak menambah
terwakili. Penambahan jumlah suara terbuang
disproporsionalitas suara sehingga kualitas
berakibat pada meningkatnya
demokrasi masih tetap dapat dipertahankan
disproporsionalitas hasil
demokratisasi dalam pemilihan umum.

6
Harun Husein et.al., Politik Hukum Sistem Pemilu: Potret Keterbukaan dan Partisipasi Publik Dalam Penyusunan
Undang-Undang Nomor 8 tahun 2012 tentang pemilihan umum anggota DPR, DPD dan DPRD (Jakarta:
Perludem, 2013), hlm. 116.
7
Nohlen dalam Didik Supriyanto dan August Mellaz, Ambang Batas Perwakilan (Jakarta: Perludem, 2011), hlm.
19.
8
Ibid., hlm. 59.
9
Ibid.

Tinjauan Ambang Batas Perolehan Suara Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 (Yogo Pamungkas) 3
Volume 3 Nomor 1, April 2014

Jurnal RechtsVin
Undang-Undang yang mengatur tentang
dimungkinkan adanya partai politik yang
Pemerintahan daerah, pemerintahan Indonesia
secara nasional tidak memenuhi PT 3,5%,
dibagi dua jenjang pemerintahan daerah
namun menang mutlak di daerah tertentu. Hal
yaitu provinsi sebagai pemerintah derah yang
demikian akan menyebabkan calon anggota
berada satu jenjang dari pemerintah pusat
DPRD yang akhirnya duduk di DPRD bukanlah

BPHN
dan kabupaten atau kota yang merupakan
calon anggota DPRD yang seharusnya jika
jenjang pemerintah daerah di bawah provinsi.
merunut pada perolehan suaranya, atau
Oleh karena setiap jenjang tersebut memiliki
dengan kata lain, calon anggota DPRD yang
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, maka dalam
akhirnya menjadi anggota DPRD tersebut tidak
pemilihan umum selain memilih wakil rakyat di
merepresentasikan suara pemilih di
tingkat pusat (DPR) juga memilih wakil rakyat
daerahnya. Politik hukum sebagaimana yang
di tingkat daerah provinsi maupun kabupaten
ditentukan dalam Pasal 208 Undang-Undang
dan kota.
Nomor 8 Tahun 2012 dan Penjelasannya
Oleh karena ada tiga jenjang dalam
tersebut justru bertentangan dengan
pemilihan umum ini maka penerapan ambang
kebhinekaan dan kekhasan aspirasi politik yang
batas perolehan suara dapat dilakukan dengan
beragam di setiap daerah. Sementara pada
dua cara yaitu, ambang batas perolehan
poin 3.25.1, menyatakan bahwa pemberlakuan
suara hanya diberlakukan untuk DPR saja.
ambang batas perolehan suara secara nasional
Pendapat ini didukung Mahkamah Konstitusi
yang mempunyai akibat pada hilangnya kursi-
dalam putusan Putusan Mahkamah Konstitusi
kursi partai politik yang tidak memiliki kursi di
Nomor 52/PUU-X.2012, yang menyatakan
DPR namun partai politik bersangkutan
bahwa pemberlakuan ambang batas ”secara
memenuhi ketentuan bilangan pembagi
nasional” adalah inkonstitusional. Dasar
pemilih di daerah dan menjadikan kursi-kursi
pemikiran Mahkamah Konstitusi pada poin
tersebut dimiliki partai politik lain yang
3.25, mengatakan bahwa, Pasal 208 Undang-
sebenarnya tidak memenuhi bilangan pembagi
Undang Nomor 8 Tahun 2012 dan
pemilih namun memiliki kursi di DPR, justru
Penjelasannya bertujuan untuk
bertentangan dengan kedaulatan rakyat, hak
penyederhanaan kepartaian secara alamiah,
politik, dan rasionalitas, sehingga bertentangan
namun dari sudut substansi, ketentuan
pula dengan tujuan pemilihan umum itu
tersebut tidak mengakomodasi semangat
sendiri yaitu untuk memilih wakil rakyat mulai
persatuan dalam keberagaman. Ketentuan
dari tingkat pusat hingga daerah.
tersebut berpotensi menghalang- halangi
Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 52/
aspirasi politik di tingkat daerah, padahal
PUU-X/2012 menyatakan kebijakan terkait
terdapat kemungkinan adanya partai politik
pemberlakuan PT secara nasional diharapkan
yang tidak mencapai PT secara nasional
dapat menciptakan sinergitas program yang
sehingga tidak mendapatkan kursi di DPR,
dijalankan pemerintah pusat dan daerah. Fakta
namun di daerah- daerah, baik di tingkat
yang terjadi sebelumnya sering kali program
provinsi atau kabupaten/ kota, partai politik
yang dicanangkan pemerintah pusat tidak
tersebut memperoleh suara signifikan yang
sejalan dengan kebijakan yang ada di daerah.
mengakibatkan diperolehnya kursi di lembaga
Hal ini disebabkan masing-masing keterwakilan
perwakilan masing-masing daerah tersebut.
partai politik di DPR dan DPRD berbeda latar
Bahkan secara ekstrim

4 Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 1, April 2014, hlm. 33-50


Volume 3 Nomor 1, April 2014

Jurnal RechtsVi
belakangnya dikarenakan dalam pemilu Tahun
dengan mengurai secara deskriptif dan
2009, partai politik yang terwakili di DPR belum
preskriptif.
tentu mempunyai keterwakilan di DPRD,
begitu juga sebaliknya. Hal ini sangat
D. Pembahasan
mempengaruhi sinergitas program
International IDEA menjelaskan bahwa

BPHN
pembangunan di pusat dan daerah, sehingga
penyelenggaraan Pemerintah kurang efektif. ambang batas adalah jumlah minimal yang
harus diperoleh partai politik untuk
B. Permasalahan mendapatkan perwakilan. Ambang batas dapat
dikategorikan menjadi dua yaitu ambang batas
Berdasarkan uraian tersebut di atas,
natural atau efektif, biasanya tercantum dalam
menimbulkan dua masalah krusial yaitu
undang- undang dan ambang batas
apakah putusan Mahkamah Konstitusi yang
tersembunyi (hidden), karena salah satu yang
menentukan ambang batas perolehan suara
termasuk ambang batas tersembunyi adalah
pada pemilu berdasar Undang-Undang
ukuran daerah pemilihan, karena
Nomor 8 tahun 2012 hanya ada pada jenjang
keberlakuannya juga mempengaruhi jumlah
nasional saja sudah tepat? Masalah kedua
partai politik yang mendapatkan kursi di
adalah bagaimana penerapan ambang batas
parlemen.10
perolehan suara sehingga memenuhi aspirasi
Penggunaan metode konversi suara hasil
masyarakat sekaligus dapat menjadi cara untuk
pemilihan umum ke perolehan kursi,
menyederhanakan jumlah partai politik?
setidaknya terdapat tiga metode yaitu Kuota
murni, kuota drop, divisor Webster, d’ hondt.
C. Metode Penelitian
Kuota murni atau metode kuota
Kajian ini mengambil obyek Undang- Hamilton/Hare/Niemayer, atau disebut juga
Undang Nomor 8 Tahun 2012 dan putusan metode kuota-LR (largest remainders), atau
Mahkamah Konstitusi sehingga pola kajian sisa terbanyak adalah metode konversi suara
yang dilakukan adalah yuridis normatif dengan ke kursi, yakni setelah ditetapkan angka BPP,
melakukan pendekatan berupa kajian tentang ditetapkan perolehan jumlah kursi tiap Partai
kesesuaian ketentuan ambang batas perolehan Politik Peserta Pemilu di suatu daerah
suara pemilihan umum yang diatur dalam pemilihan, dengan ketentuan:11
Undang-Undang Nomor 8 tahun 2012 tentang a. Apabila jumlah suara sah suatu Partai
pemilihan umum Anggota DPR, DPRD dan DPD Politik Peserta Pemilu sama dengan atau
dengan Undang-Undang Dasar 1945 dengan lebih besar dari BPP, maka dalam
seluruh data pendukung didapat melalui studi penghitungan tahap pertama diperoleh
kepustakaan yang dianalisis secara kualitatif sejumlah kursi dengan kemungkinan
terdapat sisa suara yang akan dihitung
dalam penghitungan tahap kedua;
b. Apabila jumlah suara sah suatu Partai
Politik Peserta Pemilu lebih kecil dari pada
BPP,

Tinjauan Ambang Batas Perolehan Suara Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 (Yogo Pamungkas) 5
Volume 3 Nomor 1, April 2014

10
Harun Husein, Op.Cit., hlm. 141.
11
Undang-Undang Nomor 8 tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

6 Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 1, April 2014, hlm. 33-50


Volume 3 Nomor 1, April 2014

Jurnal RechtsVin
maka dalam penghitungan tahap pertama
tahap kedua menentukan partai politik yang
tidak diperoleh kursi, dan jumlah suara sah
mendaptkan sisa kursi yang belum terbagi.12
tersebut dikategorikan sebagai sisa suara
Ketiga, metode divisor d’Hondt/Jefferson
yang akan dihitung dalam penghitungan
sesungguhnya merupakan respons lain atas
tahap kedua dalam hal masih terdapat sisa
metode kuota murni, yang dianggap merugikan

BPHN
kursi di daerah pemilihan yang
partai politik peraih suara besar di setiap
bersangkutan;
daerah pemilihan. Cara menghitung perolehan
c. Penghitungan perolehan kursi tahap kedua
kursi ke partai politik metode ini adalah
dilakukan apabila masih terdapat sisa kursi
membagi perolehan suara setiap partai politik
yang belum terbagi dalam penghitungan
dengan bilangan pembagi 1, 2, 3, 4, dst.
tahap pertama, dengan cara membagikan
Selanjutnya hasil pembagian suara setiap
jumlah sisa kursi yang belum terbagi
partai politik itu diranking, dan angka tertinggi
kepada Partai Politik Peserta Pemilu satu
secara berturut- turut mendapatkan kursi
demi satu berturut-turut sampai habis,
pertama, kursi kedua, kursi ketiga dst, sesuai
dimulai dari Partai Politik Peserta Pemilu
dengan jumlah kursi yang tersedia.13
yang mempunyai sisa suara terbanyak.
Keempat, metode divisor St Lague/Webster.
Metode ini merupakan kritik terhadap metode
Kedua, metode kuota Drop. Metode ini
kuota Drop dan divisor d’Hondt/Jeferson, yang
merupakan respon atas kritik, bahwa metode
terlalu menguntungkan partai politik peraih
kuota murni cenderung merugikan partai
suara besar, dan merugikan partai politik
politik peraih suara besar dan menguntungkan
peraih suara menengah dan kecil. Kedua
partai politik peraih suara menengah pada
metode itu sering menyalahi prinsip
masing-masing daerah pemilihan. Ilustrasinya
proporsionalitas matematika ini: partai politik
ini seperti ini: jika kuota suara satu kursi sama
yang memiliki kuota 0,4 sampai dengan 1,4
dengan 1.000, partai yang memiliki 1.500
hanya mendapatkan 1 kursi; atau, pertai yang
suara, sama-sama mendapatkan 1 kursi dengan
memiliki kuota 0,4 seharusnya tidak dapat
partai politik yang memiliki 600 suara. Oleh
kursi; partai politik yang memilki kuota 1,4
karena itu agar partai peraih suara besar tidak
seharusnya tidak mendapatkan lebih dari 1
dirugikan maka penentuan kuota suara 1 kursi,
kursi. Metode ini tetap menggunakan bilangan
bukan lagi total suara dibagi jumlah kursi,
pembagi, hanya tidak 1, 2, 3, 4, dst melainkan
melainkan total suara dibagi dengan jumlah
1, 3, 5, 7 dst atau bilangan ganjil. Adapun cara
kursi +1 atau dalam bentuk rumus menjadi q =
menghitungnya tetap sama dengan metode
S/V+1. Selanjutnya cara menghitungnya sama
divisor d’Hondt, yaitu membagi perolehan
dengan metode kuota murni, yaitu tahap
suara setiap partai politik dengan bilangan
pertama menentukan partai politik yang
pembagi 1, 3, 5, 7, dst. Hasilnya baginya
mendapatkan kursi utuh, dan
dirangking, dan angka tertinggi secara
berturut-

12
Rumah Pemilu, ”Formula Pemilu”, http://www.rumahpemilu.org/index.php/read/16/Formula-Pemilu
(diakses 1 Juni 2013).

Tinjauan Ambang Batas Perolehan Suara Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 (Yogo Pamungkas) 7
Volume 3 Nomor 1, April 2014

13
Ibid.

8 Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 1, April 2014, hlm. 33-50


Volume 3 Nomor 1, April 2014

Jurnal RechtsVi
turut mendapatkan kursi pertama, kursi kedua,
1. Putusan Mahkamah Konstitusi tentang
kursi ketiga dst, sesuai dengan jumlah kursi
ambang batas perolehan suara
yang tersedia.14
Penyederhanakan partai politik tidak hanya Amar putusan Mahkamah Konstitusi
dilakukan melalui pengaturan tentang ambang tentang permohonan uji materi atas Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang

BPHN
batas perolehan suara atau keterwakilan
dalam parlemen, namun juga dapat dilakukan Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan
dengan menerapkan persyaratan yang Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
memadai untuk menjadi partai politik peserta Perwakilan Rakyat Daerah, antara lain
pemilihan umum. Persyaratan yang mudah menyatakan :
akan mendorong masyarakat untuk membuat a. Pasal 8 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 8 ayat
partai politik dan tidak hanya menjadikan (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012
partai politik sebagai alat untuk tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
memeprjuangkan kepentingan politiknya, Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
namun dalam tataran praktek sering hanya Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
dijadikan untuk memperjuangkan kepentingan Daerah (Lembaran Negara Republik
pragmatisnya. Indonesia Tahun 2012 Nomor 117
Apabila dilihat dari jumlah partai politik Tambahan Lembaran Negara Repulik
maka pemilihan umum tahun 1955, 1999 dan Indonesia Nomor 5316) bertentangan
2004 merupakan pemilhan umum dengan dengan UUD 1945;
peserta yang cukup banyak. Banyaknya jumlah b. Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor
peserta pemilihan umum ini lebih dikarenakan 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum
terlalu mudahnya persyaratan untuk membuat Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
partai politik dan ikut sebagai peserta Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
pemilihan umum dan sedikitnya partai politik Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik
peserta pemilihan umum 1977 sampai 1997 Indonesia Tahun 2012 Nomor 117
lebih dikarenakan rezim otoriter saat itu, Tambahan Lembaran Negara Repulik
sementara pemilihan umum tahun 2014 lebih Indonesia Nomor 5316) sepanjang frasa
dikarenakan ketatnya persyaratan partai politik ”yang tidak memenuhi ambang batas
sebagai peserta pemilihan umum. perolehan suara pada Pemilu sebelumnya
Pemberian syarat yang berat ini atau partai politik baru” dan Penjelasan
sesungguhnya cukup efektif untuk membatasi Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8
jumlah partai politik tanpa harus ikut dalam Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum
pemilihan umum terlebih dahulu dengan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
demikian energi untuk menyaring jumlah Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
partai yang akan ada di dalam parlemen juga Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik
tidak sebesar pada penerapan electoral Indonesia Tahun 2012 Nomor 117
threshold maupun parliamentary threshold. Tambahan Lembaran Negara Repulik
Indonesia Nomor 5316) sepanjang frasa
”yang dimaksud dengan ”partai politik

Tinjauan Ambang Batas Perolehan Suara Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 (Yogo Pamungkas) 9
Volume 3 Nomor 1, April 2014

14
Ibid.

10 Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 1, April 2014, hlm. 33-50


Volume 3 Nomor 1, April 2014

Jurnal RechtsVin
baru” adalah partai politik yang belum Tambahan Lembaran Negara Repulik Indonesia Nomor
pernah mengikuti Pemilu” bertentangan
dengan UUD 1945;
c. Pasal 17 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 17
ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun

BPHN
2012 tentang Pemilihan Umum Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, 102 Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2012 Nomor 117
Tambahan Lembaran Negara Repulik
Indonesia Nomor 5316) bertentangan
dengan UUD 1945;
d. Pasal 208 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2012 Nomor 117
Tambahan Lembaran Negara Repulik
Indonesia Nomor 5316) sepanjang frasa
”DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota” bertentangan dengan
UUD 1945;
e. Pasal 209 ayat (1) dan ayat (2) Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang
Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2012 Nomor 117
Tambahan Lembaran Negara Repulik
Indonesia Nomor 5316) sepanjang frasa
”DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/
kota” bertentangan dengan UUD 1945;
f. Pasal 8 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 8 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012
tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2012 Nomor 117

Tinjauan Ambang Batas Perolehan Suara Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 (Yogo Pamungkas) 11
Volume 3 Nomor 1, April 2014

5316) tidak mempunyai Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 117


kekuatan hukum mengikat; Tambahan Lembaran Negara Repulik
g. Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor Indonesia Nomor 5316) tidak mempunyai
8 Tahun 2012 tentang Pemilihan kekuatan hukum mengikat;
Umum Anggota Dewan i. Pasal 208 Undang-Undang Nomor 8
Perwakilan Rakyat, Dewan Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum
Perwakilan Daerah, dan Dewan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
(Lembaran Negara Republik Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2012 Nomor Indonesia Tahun 2012 Nomor 117
117 Tambahan Lembaran Tambahan
Negara Repulik Indonesia
Nomor 5316) sepanjang frasa
”yang tidak memenuhi ambang
batas perolehan suara pada
Pemilu sebelumnya atau partai
politik baru” dan Penjelasan
Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2012 tentang
Pemilihan Umum Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2012
Nomor 117 Tambahan
Lembaran Negara Repulik
Indonesia Nomor 5316)
sepanjang frasa 103 ”yang
dimaksud dengan ”partai politik
baru” adalah partai politik yang
belum pernah mengikuti
Pemilu” tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat;
h. Pasal 17 ayat (1) serta Penjelasan Pasal
17 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2012 tentang
Pemilihan Umum Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (Lembaran Negara

12 Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 1, April 2014, hlm. 33-50


Volume 3 Nomor 1, April 2014

Jurnal RechtsVi
Lembaran Negara Repulik Indonesia Nomor
dengan pembatalan Pasal 208 yaitu partai
5316) sepanjang frasa ”DPRD provinsi, dan
politik peserta pemilihan umum yang tidak
DPRD kabupaten/kota” tidak mempunyai
lolos dalam ambang batas perolehan suara
kekuatan hukum mengikat;
tidak secara otomatis tidak disertakan dalam
j. Pasal 209 ayat (1) dan ayat (2) Undang-
penghitungan perolehan kursi di seluruh

BPHN
Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang
jenjang. Partai politik tersebut hanya tidak
Pemilihan Umum Anggota Dewan
diikutkan dalam penghitungan perolehan kursi
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
di tingkat nasional. Dengan demkian partai
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
politik peserta pemilihan umum yang tidak
Daerah (Lembaran Negara Republik
lolos dalam ambang batas masih diikutsertakan
Indonesia Tahun 2012 Nomor 117
dalam penghitungan perolehan kursi di tingkat
Tambahan Lembaran Negara Repulik
provinsi dan kabupaten atau kota.
Indonesia Nomor 5316) sepanjang frasa
Ambang batas perolehan suara
”DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/
sebagaimana diatur dalam Pasal 208 sekurang-
kota” tidak mempunyai kekuatan hukum
kurangnya adalah tiga koma lima persen dari
mengikat;
jumlah suara nasional. Ambang batas ini
meskipun mengambil patokan suara nasional
Putusan tentang pembatalan Pasal 8 ayat
namun berlaku untuk tingkat provinsi dan
(1) dan revisi pada ayat (2) ini memberi
kabupaten dan kota sehingga berapapun
konsekuensi bahwa partai politik yang pada
perolehan suara di tingkat provinsi dan
saat pemilihan umum tahun 2009 memenuhi
kabupaten dan kota akan sangat tergantung
persyaratan ambang batas dapat langsung
dari ambang batas perolehan suara di tingkat
menjadi peserta pemilihan umum tanpa harus
nasional.
memenuhi persyaratan sebagaimana
Sesuai dengan teori bahwa semakin besar
ditentukan di dalam Undang-Undang Nomor 8
angka ambang batas maka akan semakin besar
tahun 2012, harus dibatalkan sehingga seluruh
indeks disproporsionalitas pemilihan umum
partai politik baik yang pernah mengikuti
dengan kata lain besaran angka ambang batas
pemilihan umum atau yang sama sekali baru
akan berbanding lurus dengan hilangnya
harus memenuhi pensyaratan.
suara. Ketentuan Pasal 208 dan 209 Undang-
Pembatalan atas Pasal 208 Undang-Undang
Undang pemilu 2012 yang menerapkan angka
Nomor 8 tahun 2012 ini mengakibatkan
ambang batas di seluruh jenjang akan semakin
penetapan ambang batas peroleh suara hanya
memperbesar disproporsionalitas dalam
diberlakukan pada suara secara nasional.
pemilihan umum.
Dengan demikian, sebuah partai politik yang
Mahkamah Konstitusi tidak menyatakan
akan memperoleh kursi di DPR pusat hanya
bahwa penentuan ambang batas itu
partai politik yang memperoleh suara nasional
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
(suara untuk kursi DPR pusat) di atas ambang
1945. Hanya saja ketika pemberlakuan atas
batas.
ambang batas suara nasional itu juga
Untuk Pasal 209 yang dinyatakan
diterapkan di tingkat daerah propvinsi dan
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
kabupaten kota, maka suara yang hilang di
1945, memiliki akibat hukum yang relatif sama
daerah dikarenakan faktor nasional bukan
karena faktor daerah.

Tinjauan Ambang Batas Perolehan Suara Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 (Yogo Pamungkas) 13
Volume 3 Nomor 1, April 2014

Jurnal RechtsVin
Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
wakil rakyat mulai dari tingkat pusat hingga
Nomor 52/PUU-X/2012 poin 3.25.1
daerah” ini memberi makna bahwa penerapan
menyatakan ”menurut Mahkamah,
ambang batas peroleh suara sampai di tingkat
pemberlakuan ambang batas secara nasional
daerah dinilai bertentangan Undang-Undang
yang mempunyai akibat hukum pada hilangnya
Dasar 1945.

BPHN
kursi-kursi partai politik yang tidak memiliki
Mahkamah Konstitusi tidak mempersoalkan
kursi di DPR namun partai politik bersangkutan
apakah penentuan angka ambang batas
memenuhi ketentuan bilangan pembagi
perolehan suara itu bertentangan atau tidak
pemilih di daerah dan menjadikan kursi-kursi
bertentangan dengan konstitusi, namun lebih
tersebut dimiliki partai politik lain yang
diarahkan pada pertanyaan apakah penerapan
sebenarnya tidak memenuhi bilangan pembagi
ambang batas tersebut bertentangan atau
pemilih namun memiliki kursi di DPR, justru
tidak bertentangan dengan kedaulatan rakyat,
bertentangan dengan kedaulatan rakyat, hak
hak politik, dan rasionalitas, dan tujuan
politik, dan rasionalitas, sehingga bertentangan
pemilihan umum itu sendiri yaitu untuk
pula dengan tujuan pemilihan umum itu
memilih wakil rakyat mulai dari tingkat pusat
sendiri yaitu untuk memilih wakil rakyat mulai
hingga daerah.
dari tingkat pusat hingga daerah.
Persoalan hilangnya suara di dalam
Kedua diterapkan secara keseluruhan
pemilihan umum sesungguhnya, ada atau tidak
baik di tingkat pusat maupun daerah, hal ini
ada ambang batas, hampir dipastikan akan ada
disampaikan pemerintah dalam penjelasan
suara yang hilang. Sebagai ilustrasi ketika
pemerintah nomor 10. Putusan MK nomor 52/
sebuah pemilihan umum tidak ada ambang
PUU-X/2012 menyatakan ”Kebijakan terkait
batas perolehan suara maka bagi partai politik
pemberlakuan PT secara nasional diharapkan
yang tidak memenuhi syarat dalam perolehan
dapat menciptakan sinergitas program yang
kursi atau suara yang diperolehnya di bawah
dijalankan pemerintah pusat dan daerah. Fakta
bilangan pembagi maka secara otomatis suara
yang terjadi sebelumnya sering kali program
itu akan hilang. Hilangnya suara tersebut
yang dicanangkan pemerintah pusat tidak
bukan karena ada ketentuan tentang ambang
sejalan dengan kebijakan yang ada di daerah.
batas namun dihilangkan oleh batas bilangan
Hal ini disebabkan masing-masing keterwakilan
pembagi.
partai politik di DPR dan DPRD berbeda latar
Logika terdapat hak rakyat atau kedaulatan
belakangnya dikarenakan dalam Pemilu Tahun
rakyat yang hilang oleh karena ketetapan
2009, partai politik yang terwakili di DPR belum
ambang batas sesungguhnya tidak tepat.
tentu mempunyai keterwakilan di DPRD,
Dalam sistem pemilihan umum di Indonesia
begitu juga sebaliknya. Hal ini sangat
terutama dua pemilihan umum terakhir
mempengaruhi sinergitas program
seluruh rakyat diberi kesempatan yang sama
pembangunan di pusat dan daerah, sehingga
dalam menggunakan hak pilihnya. Persoalan
penyelenggaraan Pemerintah kurang efektif.
apakah rakyat menggunakan hak pilihnya
Kata-kata, ”justru bertentangan dengan
atau kedaulatannya atau tidak (golongan
kedaulatan rakyat, hak politik, dan rasionalitas,
putih) maka itu bukan lagi kewajiban undang-
sehingga bertentangan pula dengan tujuan
undang pemilihan umum untuk memastikan
pemilihan umum itu sendiri yaitu untuk
rakyat menggunakan kedaulatannya. Logika
memilih
ini akan sama dengan sesorang yang sudah

14 Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 1, April 2014, hlm. 33-50


Volume 3 Nomor 1, April 2014

Jurnal RechtsVi
menggunakan hak pilihnya namun oleh karena
Undang-Undang pemilu tahun 2012
aspirasi rakyat yang lain lebih besar maka
telah memberikan seluruh hak rakyat dalam
suara kecil ini harus tersingkir oleh suara yang
menyalurkan aspirasinya dengan atau tanpa
besar dengan kata lain kehendak mayoritas
ambang batas dan ketika seluruh aspirasi
dapat mengalahkan atau menghilangkan
sudah tersalur maka yang ada adalah apakah

BPHN
pendapat minoritas walaupun minoritas tetap
aspirasi itu merupakan aspirasi sebagian besar
dijamin haknya.
rakyat Indonesia? Ketika aspirasi itu
Dengan demikian tidak masuk akal kalau
merupakan aspirasi masyoritas maka itulah
sebuah kekalahan dalam pemilihan umum dan
yang dinamakan aspirasi atau kedaulatan
mengakibatkan suara mereka tidak tersalur
rakyat dan sebaliknya.
atau dalam bahasa lain suaranya hilang karena
tidak memenuhi syarat maka disalahkan 2. Penerapan ambang batas perolehan
persyaratan tersebut. suara
Ada beberapa penyebab sebuah partai
Penetapan ambang batas perolehan suara
politik peserta pemilihan umum itu mengalami
pada dasarnya dilakukan dengan dua macam
kehilangan suara yaitu:
cara yaitu secara natural atau efektif (legal
a. suara yang diperoleh tidak memenuhi
threshold) dan ambang batas tersembunyi
syarat ambang batas peroleha suara. Hal ini
(hidden threshold).
telah diatur pada Pasal 208 yang
Ambang batas yang dikategorikan sebagai
menetapkan ambang batas perolehan
ambang batas natural dalam Undang-Undang
suara 3,5%;
pemilu tahun 2012 terdapat pada Pasal 208
b. cara mengkonversi suara ke kursi baik di
yang menyatakan bahwa Partai Politik Peserta
tingkat nasional maupun daerah. Pasal
Pemilu harus memenuhi ambang batas
212 Undang-Undang nomor 8 tahun 2012
perolehan suara sekurang-kurangnya 3,5%
mengatur konversi tersebut dengan
(tiga koma lima persen) dari jumlah suara sah
metode kuota murni. Penghitungan ini
secara nasional untuk diikutkan dalam
memberi kesempatan bagi partai politik
penentuan perolehan kursi anggota DPR, DPRD
peraih sisa suara terbanyak untuk
provinsi,dan DPRD kabupaten/kota. Pasal ini
memperoleh kursi namun tetap saja akan
memberi pengertian bahwa partai politik
terdapat sisa suara yang hilang. Begitu juga
peserta pemilihan umum yang tidak memenuhi
dengan metode divisor Webster atau
3.5% jumlah suara sah secara nasional (suara
metode d’Hondt akan selalu mengorbankan
untuk DPR RI) secara otomatis tidak diikutkan
sebagian sisa suara tersebut.
dalam penentuan perolehan kursi di seluruh
jenjang. Dengan demikian seluruh suara baik di
Penulis beranggapan bahwa hilangnya
tingkat pusat maupun daerah akan hilang.
suara sisa tersebut merupakan konsekuensi
Ketentuan ini memungkinkan sebuah partai
logis dari sebuah kompetisi dan akan terjadi
yang mendapat suara secara mayoritas di
secara alamiah sehingga tidak perlu untuk
daerah tidak mendapat kursi oleh karena
dikaitkan dengan persoalan pengabaian
partainya tidak lolos ambang batas secara
terhadap kedaulatan rakyat sebagaimana
nasional, sebaliknya sebuah partai yang
diatur di dalam Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 22E
memperoleh suara minimal di sebuah daerah
ayat (1) UUD 1945.
akan mendapatkan kursi

Tinjauan Ambang Batas Perolehan Suara Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 (Yogo Pamungkas) 15
Volume 3 Nomor 1, April 2014

Jurnal RechtsVin
hanya karena perolehan suara secara nasional
efektif sehingga hanya partai besar dan
memenuhi ambang batas.
mungkin juga partai menengah yang akan
Konsekuensi logis dari ketentuan ini adalah
berperan dalam mengelola pemerintahan baik
partai yang dapat bertahan untuk dapat duduk
dalam yang akan mengelola eksekutif maupun
di parlemen adalah partai yang memiliki
yang legislative sebagai partai oposisi.15

BPHN
jaringan luas dan sumber daya manusia yang
Sedikitnya partai yang duduk dalam parlemen
memadai baik dari aspek jumlah maupun
juga akan mengurangi friksi yang ada dalam
kualitas, sementara partai kecil meskipun
pengelolaan eksekutif maupun di parlemen.
punya basis massa di beberapa tempat
Penentuan ambang batas efektif ini
tertentu akan tidak akan mendapatkan bagian
secara otomatis memberi peluang yang besar
kursi.
untuk mengurangi partai yang akan duduk di
Ketentuan lebih lanjut terhadap ambang
parlemen. Pada saat hasil pemungutan suara
batas ini terdapat pada Pasal 209 ayat (1)
terdapat partai politik yang tidak lulus ambang
yang secara lengkap menyatakan bahwa partai
batas tersebut maka secara otomatis suara
Politik Peserta Pemilu yang tidak memenuhi
yang diperoleh partai tersebut menjadi hilang
ambang batas perolehan suara sebagaimana
karena tidak ikut dihitung.
dimaksud dalam Pasal 208, tidak disertakan
Pasal 209 ayat (2) Undang-Undang Nomor
pada penghitungan perolehan kursi DPR , DPRD
8 Tahun 2012 menyatakan menyatakan suara
provinsi, dan DPRD kabupaten/kota di setiap
untuk penghitungan perolehan kursi DPR,
daerah pemilihan.
DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota di
Ketentuan ambang batas ini akan sangat
suatu daerah pemilihan ialah jumlah suara sah
menguntungkan partai besar. Semakin besar
seluruh Partai Politik Peserta Pemilu dikurangi
angka ambang batas dalam pemilihan umum
jumlah suara sah Partai Politik Peserta Pemilu
maka akan semakin menguntungkan partai
yang tidak memenuhi ambang batas perolehan
besar. Penentuan ambang batas sebesar 3,5
suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 208.
% ini walaupun membatasi namun batasan
Selanjutnya pada ayat (3) menyatakan
tersebut tidak terlalu besar sehingga masih
bahwa dari hasil penghitungan suara sah
memungkinkan partai menengah untuk dapat
yang diperoleh Partai Politik Peserta Pemilu
memperoleh kursi. Namun bagi partai kecil
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) di suatu
tidak akan mendapat kesempatan untuk
daerah pemilihan ditetapkan angka BPP DPR ,
duduk di parlemen baik di tingkat pusat
BPP DPRD provinsi, dan BPP DPRD kabupaten/
maupun daerah. Ketentuan ini memang dapat
kota dengan cara membagi jumlah suara sah
mengurangi partai yang akan duduk di
parlemen secara

15
Istilah oposisi ini sesungguhnya tidak dikenal di dalam system presidensiil, namun praktek politik dan
ketatanegaraan Indonesia mendorong keadaan partai atau di parlemen menjadi dua kutub (bipolar) yaitu
partai yang mendukung presiden terpilih baik partai itu berasal dari presiden terpilih atau partai yang ikut
mendukung presiden terpilih dengan berbagai kompensasi. Sementara bagi partai yang tidak mendukung
presiden terplih akan memposisikan sebagai partai oposisi walaupun tidak sepenuhnya memiliki kekuatan
untuk untuk mengganti kepala pemerintahan sebagaimana sistem parlementer. Dalam menempatkan sebagai
oposisi pun tidak selalu berada pada ststusnya sebagai oposisi. Akan sangat mungkin partai itu berubah haluan
menjadi pendukung pemerintah sehingga kalaupun diistilahkan sebagai oposisi akan lebih tepat disebut
sebagai partai quasi oposisi.

16 Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 1, April 2014, hlm. 33-50


Volume 3 Nomor 1, April 2014

Jurnal RechtsVi
Partai Politik Peserta Pemilu sebagaimana
Sebaliknya pada daerah pemilihan yang
dimaksud pada ayat (2) dengan jumlah kursi di
jumlah penduduk yang memiliki hak pilihnya
satu daerah pemilihan.
padat atau tinggi sedang jumlah golongan
Ketentuan ini memberi kemungkinan
putih rendah serta sedikit partai politik yang
bahwa harga kursi disetiap daerah pemilihan
tidak lolos ambang batas maka nilai kursi

BPHN
akan sangat bervariasi. Hal ini selain karena
parlemen menjadi sangat tinggi. Keadaan ini
jumlah penduduk yang berhak memilih, jumlah
bervariasi tergantung dari keadaan variabel
penduduk yang tidak menggunakan haknya
yang ada pada daerah pemilihan tersebut.
(golongan putih (golput)), juga oleh karena
Pada saat bilangan pembagi (jumlah suara
jumlah suara yang hilang akibat partai politik
untuk satu kursi) sudah dapat ditentukan maka
tertentu tidak lolos ambang batas.
kursi dapat ditetapkan. Undang-Undang ini
Bagi daerah pemilihan yang jumlah
menggunakan metode untuk menetapkan kursi
penduduk yang mempunyai hak pilih sedikit
dengan metode quota murni. Metode kuota
serta jumlah golongan putihnya besar
murni adalah penentuan kursi dengan
ditambah banyak suara hilang akibat partai
membagi habis suara di daerah pemilihan.
politik tidak lolos ambang batas maka nilai
Sebagai ilustrasi disampaikan simulasi
sebuah kursi di parlemen menjadi sangat
penetapan kursi di daerah pemilihan Nusa
murah.
Tenggara Barat pada pemilihan umum tahun
2009.

Tabel 1: simulasi penetapan kursi di NTB pada Pemilu 2009


Perolehan Suara
Suara sah HANURA GERINDRA PKS PAN PPP GOLKAR PDIP DEMOKRAT
1.962.300 92.756 74.613 157.591 94.355 102.370 291.452 92.052 352.801
4.73% 3.80% 8.03% 4.81% 5.22% 14.85% 4.69% 17.98%

Masuk ambang batas 64.11%


Terhapus ambang batas 35.89%
Suara terhapus 704.310.00
Suara sah setelah dipotong 1.257.990.00
ambang batas

Bilangan pembagi 125.799


Putaran 1 kursi suara sisa
Democrat 2 251.598 101.103
Golkar 2 251.598 39.854
PKS 1 125.799 31.792

Putaran II (warna merah)


Demokrat 1 Kursi ke 6
PPP 1 Kursi ke 7
PAN 1 Kursi ke 8
HANURA 1 Kursi ke 9
PDIP 1 Kursi ke 10

Partai HANURA GERINDRA PKS PAN PPP GOLKAR PDIP DEMOKRAT


Kursi 1 1 1 1 1 2 1 3
Sumber: Harja Saputra, Apa dan Bagaimana Metode Perhitungan Kursi Kuota Murni, Voice of humanism http://www.
harjasaputra.com/opini/polhukam/apa-dan-bagaimana-metode-perhitungan- kursi- kuota-murni.html (diakses 3 Juli
2013).

Tinjauan Ambang Batas Perolehan Suara Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 (Yogo Pamungkas) 17
Volume 3 Nomor 1, April 2014

Jurnal RechtsVin
Metode kuota murni memang cenderung
Jika dilihat dari pemilihan umum tahun
menguntungkan partai menengah- kecil
2009 yang menerapkan ambang batas 2.5%
dan merugikan partai besar. Partai seperti
dan pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun
PAN,PPP,PKB, Gerindra dan Hanura sejak awal
2012 ambang batas dinaikkan menjadi 3,5%
mengusulkan metode kuota murni karena
sesungguhnya para pembuat undang-undang

BPHN
partai mereka akan diuntungkan dengan
sedang berusaha untuk lebih
metode ini. Metode kuota murni berbanding
menyederhanakan partai politik yang akan
terbalik dengan metode d’Hondt yang justru
berpartisipasi dalam mengelola pemerintahan.
menguntungkan partai besar dan merugikan
Peningkatan ambang batas yang tinggi
partai menengah –kecil.
memang dimaksudkan sebagai upaya untuk
Membandingkan kedua metode itu,
menyederhanakan sistem kepartaian, tetapi
metode divisor varian Webster dinilai paling
di lain pihak, peningkatan ambang batas
proposional dan lebih adil, karena itu PDIP,
yang tinggi dan kurang wajar itu juga akan
Golkar dan PKS mengusulkan metode Webster.
menambah jumlah suara terbuang. Padahal
Metode ini tidak mengandung bias terhadap
penambahan jumlah suara terbuang berakibat
partai besar maupun kecil.16
pada meningkatnya disproporsionalitas hasil
Melihat politik hukum pemilihan hukum
Pemilu dan hal ini yang seharusnya dihindari
Undang-Undang pemilihan umum tahun 2012
dalam sistem Pemilu proporsional. Untuk
ini sangat terlihat bahwa sesungguhnya,
mengetahui sejauh mana pengaruh penerapan
meskipun partai politik sepakat tentang
ambang batas perwakilan terhadap bekerjanya
penyederhanaan partai politik untuk efisiensi
sistem Pemilu proporsional, perlu dilakukan
dan efektifitas pemerintahan namun tidak
simulasi penghitungan besaran ambang batas
pernah terlepas dari kepentingan eksistensi
yang berpengaruh terhadap suara terbuang
seluruh partai politik itu, terutama partai yang
sehingga meningkatkan disproporsionalitas.
duduk di kursi parlemen.
Dalam perspektif ini, dapat dikemukakan data
Pandangan Fraksi atas cara penghitungan
KPU yang menggambarkan bahwa pada Pemilu
ini dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut:
1999 yang tidak menerapkan ambang batas,
Tabel 2. Pandangan Fraksi tentang metode terdapat 3.755.383 (3,55%) suara terbuang.
penghitungan/konversi suara Jika ambang batas diterapkan, jumlah suara
No Partai Politik Usulan
1 Partai Golongan Karya Divisor Webster terbuang akan bertambah. Misalnya dengan
2 Partai Demokrat Kuota murni besaran ambang batas 2,5%, yang diterapkan
3 Partai demokrasi Indonesia Perjuangan Divisor Webster
4 Partai Keadilan Sejahtera Divisor Webster pada Pemilu 2009, maka jumlah suara
5 Partai Amanat Nasional Kuota murni
6 Partai Persastuan Pembangunan Kuota murni terbuang melonjak lima kali lipat menjadi
7 Partai Kebangkitan Bangsa Kuota murni
8 Partai Gerakan Indonesia Raya Kuota murni 14.195.221 (13,41%). Hal ini berarti ambang
9 Partai Hati Nurani Rakyat Kuota murni
batas mempunyai pengaruh positif terhadap
Sumber: Harun Husein (dkk), Politik Hokum Sistem
Pemilu:Potret Keterbukaan dan paratisipasi public peningkatan disproporsionalitas hasil Pemilu
dalam penyusunan Undang-Undang Nomor 8 tahun dan secara umum dapat digambarkan sebagai
2012 tentang pemilihan umum anggota DPR, DPD dan
DPRD (Perludem, Jakarta, 2013), hlm 147.

16
Harun Husein, Op.Cit. hlm. 148.

18 Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 1, April 2014, hlm. 33-50


Volume 3 Nomor 1, April 2014

Jurnal RechtsVi
berikut,pertama, Pemilu 2004 menghasilkan
perlakuan antara perwakilan pusat dan daerah.
5.223.845 (4,60%) suara terbuang. Jumlah
Meskipun di daerah memiliki keragaman yang
suara terbuang bertambah menjadi 19.662.644
tinggi bukan berarti kemudian tidak mungkin
(17,33%) jika ambang batas 2,5% diberlakukan.
ditetapkan ambang batas perolehan suara.
Jumlah suara terbuang melonjak 5 kali lipat
Dengan demikian sesungguhnya penetapan

BPHN
menjadi lebih dari 22.633.131 (19,95%) jika
angka ambang batas natural itu tidak
ambang batas ditingkatkan menjadi 3% yang
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
kedua, dengan ambang batas 2,5%, Pemilu
1945 hanya saja penerapan yang tidak tepat
2009 menghasilkan 19.047.481 (18,13%) suara
di tataran nasional maupun daerah membuat
terbuang. Sehingga secara teoretis dan dengan
ambang batas ini menjadi banyak mengalami
penalaran sederhana, dengan peningkatan
deviasi.
ambang batas menjadi 3,5%, jumlah suara
Sedang penentuan jumlah kursi di setiap
terbuang itu akan semakin bertambah.17
jenjang ini secara tidak langsung juga akan
Dengan demikian perlu pula untuk
menyeleksi partai politik yang akan masuk
dipikirkan bagaimana membuat system dengan
ke DPR, DPRD provinsi dan DPRD Kabupaten
partai sederhana namun tidak mengurangi
atau Kota karena dengan kuota yang terbatas
kualitas demokrasi khususnya dalam menjaga
tersebut maka tidak mungkin semua partai
suara dalam pemilu agar tidak sia-sia dan
akan memperoleh kursi.
memenuhi rasa keadilan. Kalau kemudian
Secara umum ketentuan ini memang
mengkaji Pasal 208 dan Pasal 209, maka
berlaku di negara-negara di seluruh dunia dan
penulis berpendapat bahwa penetapan angka
dianggap sebagai sebuah ketentuan yang wajar
ambang batas tidak bertentangan dengan
meskipun pada hakekatnya adalah
Undang-Undang Dasar hanya saja
pembatasan. Persoalan jumlah pun tidak
penerapannya harus berjenjang.
pernah dipersoalkan apakah jumlah tersebut
Penerapan yang berjenjang itu artinya alat
dirasa bertentangan dengan atau tidak dengan
ukur terhadap ambang batas itu juga sesuai
konstitusi.
dengan jenjang masing-masing oleh karena
Konsep demokrasi langsung memang
itu penulis setuju dengan putusan Mahkamah
tidak mengenal pembatasan karena tidak ada
Konstitusi bahwa ambang batas perolehan
perwakilan dalam forum demokrasi tersebut
suara hanya untuk nasional karena memang
setiap rakyat dapat secara langsung menjadi
alat ukur ambang batas itu adalah suara
anggota parlemen sehingga keputusan-
nasional. Penerapan ambang batas secara
keputusan besar selalu melibatkan parlemen
nasional ke perwakilan di tingkat daerah
yang beranggotakan seluruh rakyat. Maka
tentang saja tidak sesuai dan banyak
menjadi wajar kalau demkroasi langsung tidak
menimbulkan deviasi.
pernah ada pembatasan.
Putusan Mahkamah konstitusi dengan
Penetapan rentang jumlah kursi DPR,
tidak menerapkan ambang batas di tingkat
DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten dan
daerah sesungguhnya memberikan
pembedaan

Tinjauan Ambang Batas Perolehan Suara Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 (Yogo Pamungkas) 19
Volume 3 Nomor 1, April 2014

17
Mas Isharyanto, ”Ambang Batas Parlemen Untuk Penyederhanaan Partai”, http://hukum.kompasiana.com
/2013/05/27/ambang- batas-parlemen-untuk-penyederhanaan- partai-563798. html (diakses 4 Juni 2013).

20 Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 1, April 2014, hlm. 33-50


Volume 3 Nomor 1, April 2014

Jurnal RechtsVin
kota sebagaimana diatur di dalam Undang-
kepada seluruh partai politik perserta
Undang Nomor 8 Tahun 2012 merupakan rasio
pemilihan umum untuk mendapatkan suara
proporsional antara jumlah penduduk dengan
dan kursi se- maksimal mungkin sesuai dengan
jumlah kursi. Semakin besar jumlah penduduk
aturan main. Pengaturan ambang batas
di satu wilayah maka akan semakin besar pula
perolehan suara nasional yang diterapkan di

BPHN
kuota jumlah kursi yang tersedia.
seluruh jenjang memang telah
Menurut penulis, ditetapkannya kuota
dikoreksi oleh Mahkamah Konstitusi
kursi di setiap lembaga perwakilan tersebut
dengan hanya memberlakukan
tidak bertentangan dengan konstitusi
jenjang di tingkat nasional saja. Putusan
karena pembatasan jumlah kursi merupakan
Mahkamah Konstitusi ini masih menyisakan
keniscayaan dalam demokrasi tidak
persoalan di jenjang provinsi dan kabupaten-
langsung. Banyaknya jumlah penduduk tidak
Kota karena di jenjang Kabupaten dan
memungkinkan demokrasi dijalan secara
Kotamadya tidak diterapkan ambang batas.
langsung sebagaimana negara kecil atau
Akibat tidak diterapkan ambang batas di
Negara Yunani zaman dahulu. Demokrasi
tingkat daerah masalah yang muncul akibat
perwakilan membutuhkan pembatasan
tidak ada ambang batas perolehan suara yang
sebagai representasi dari rakyat secara
terjadi di tingkat nasional justru akan bergeser
keseluruhan.
ke daerah.
Bentuk ambang batas tersembunyi yang
Bagaimanapun undang-undang tidak boleh
kedua adalah kuota jumlah kursi yang ada di
hanya memperhatikan stabilitas social politik
daerah pemilihan. Di tingkat DPR pusat
hanya pada tataran nasional saja dengan
rentang jumlah kursi di tiap daerah pemilihan
mengabaikan daerah. Instabilitas social politik
adalah ditentukan paling sedikit 3(tiga) kursi
di daerah yang merata juga akan sangat mem-
dan paling banyak 10 (sepuluh) kursi. Hal ini
pengaruhi stabilitas nasional oleh karena itu
diatur pada Pasal 22 ayat (2). Sedangkan kuota
penyederhanaan partai dalam rangka untuk
kursi tiap daaerah pemilihan DPRD Provinsi dan
mendapatkan sistem politik dan demokrasi
Kabupaten atau kota adalah provinsi paling
yang kuat dan stabil harus dilakukan di seluruh
sedikit 3 (tiga) kursi dan paling banyak 12 (dua
jenjang.
belas) kursi. Ketetapan ini diatur pada Pasal 24
Penerapan ambang batas perolehan suara
ayat (2) dan Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang
di setiap jenjang akan menghasilkan komposisi
Nomor 8 tahun 2012.
partai politik di di DPR dan DPRD yang
Sebagaimana Penetapan jumlah kursi di
bervariasi. Meskipun tidak terjadi kesamaan
DPR dan DPRD, penetapan ambang batas ini
komposisi partai politik di tingkat nasional,
tidak bertentangan dengan konstitusi dengan
provinsi maupun kabupaten dan kota
logika yang sama bahwa demokrasi tidak lang-
sesungguhnya komposisi tersebut tidak
sung memang diperlukan pembatasan. selain
membuat pemerintahan menjadi labil.
merupakan konsekuensi logis dari demokrasi
Penulis mengusulkan bahwa agar tercapai
tidak langsung. Selain itu, hal yang membuat
kehidupan politik dan ketatanegaraan yang
ketentuan ini tidak bertentangan dengan UUD
sehat maka penerapan ambang batas serta alat
1945 khususnya Pasal 22E adalah diberikanya
ukurnya harus disesuaikan dengan jenjangnya.
hak dan kewajiban serta peluang secara sama
Ambang batas nasional harus diterapkan

Tinjauan Ambang Batas Perolehan Suara Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 (Yogo Pamungkas) 21
Volume 3 Nomor 1, April 2014

Jurnal RechtsVi
dengan alat ukur berupa perolehan suara
efektif dan efisien di tingkat daerah sebaiknya
secara nasional demikian juga ambang batas
ketentuan ambang batas juga diterapkan di
perolehan suara pada perwakilan di daerah
perwakilan tingkat provinsi dan kabupaten
harus diterapkan dengan alat ukur berupa
atau kota.
perolehan suara di daerah sesuai dengan

BPHN
jenjangnya masing-masing.
DAFTAR PUSTAKA

E. Penutup Buku
Gafar, Affan, Politik Indonesia Transisi Menuju
1. Kesimpulan
Demokrasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000).
Pengaturan ambang batas perolehan suara Didik, Supriyanto & August Mellaz, Ambang batas
perwakilan (Jakarta: Perludem, 2011).
pada Undang-Undang nomor 8 tahun 2012
Husein, Harun, et.al., Politik Hokum Sistem
tidak bertentangan dengan Undang-Undang Pemilu:Potret Keterbukaan dan paratisipasi
Dasar 1945. Setelah putusan Mahkamah public dalam penyusunan Undang-Undang
Konstitusi keluar maka penetapan ambang Nomor 8 tahun 2012 tentang pemilihan umum
anggota DPR, DPD dan DPRD (Jakarta:
batas ini hanya diberlakukan pada perwakilan Perludem, 2013).
di tingkat nasional saja Sementara perwakilan
di jenjang daerah tidak diberlakukan. hal ini Makalah / Artikel / Prosiding / Hasil Penelitian
berarti Mahkamah Konstitusi memberikan Lili Romli, ”Reformasi Partai Politik dan Sistem
pengaturan yang berbeda tentang ambang Kepartaian di Indonesia” Jurnal Politica, Volume
batas perolehan suara antara perwakilan di 2 November (2011).
tingkat nasional dengan yang ada di daerah.
Internet
Padahal bukan tidak mungkin pengelolaan di
Harja Saputra, ”Apa dan Bagaimana Metode
tingkat daerah menjadi tidak efektif dan efisien
Perhitungan Kursi Kuota Murni”, http://www.
yang disebabkan oleh terlalu majemuknya harjasaputra.com/opini/polhukam/apa-dan-
partai politik yang duduk di Dewan Perwakilan bagaimana-metode-perhitungan-kursi- kuota-
Rakyat Daerah. Ambang batas perolehan suara murni.html, (diakses 3 Juli 2013).
Mas Isharyanto, ”Ambang Batas Parlemen Untuk
seharusnya diterapkan di setiap jenjang Penyederhanaan Partai”, http://hukum.
sehingga seleksi partai politik juga terjadi pada kompasiana.com/2013 /05 /27 /
setiap jenjang. ambang- batas-parlemen-untuk-
penyederhanaan- partai-563798 html
(diakes 4 Juli 2013).
2. Saran Rumah Pemilu, ”Formula Pemilu”, http://www.
Ambang batas perolehan suara memang rumahpemilu.org/index.php/read/16/ Formula-
Pemilu (diakses 1 juni 2013).
harus diterapkan agar pengelolaan
pemerintahan dapat dijalankan secara efektif Peraturan
dan efisien namun dalam penerapannya
Undang-Undang Dasar 1945
juga harus disesuaikan dengan jenjangnya Undang-Undang Nomor 8 tahun 2012 tentang
agar tidak terjadi penyimpangan. Apabila Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan
pengaturan ambang batas ditingkat nasional Rakyat,
berdasar perolehan suara nasional maka untuk
Putusan Pengadilan
menciptakan pengelolaan pemerintahan yang
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PU-
X/2012

22 Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 1, April 2014, hlm. 33-50

Anda mungkin juga menyukai