Anda di halaman 1dari 7

GLOSARIUM PEMILU

Ambang Batas
Ambang batas atau threshold adalah batas minimal persentase perolehan suara untuk mendapatkan
kursi di daerah pemilihan. Konsep ini berangkat dari logika matematika sederhana.
Dalam sistem pemilu mayoritarian yang menyediakan 1 kursi perwakilan di setiap daerah pemilihan,
apabila berlaku formula mayoritas (A>B+C+D), maka untuk mendapatkan kursi tersebut partai politik
atau calon harus meraih suara minimal 50%+1. Namun jika berlaku formula pluralitas (A>B>C>D),
maka peluang untuk mendapatkan kursi tersebut baru terjadi apabila partai politik atau calon meraih
suara sedikitnya 37,5%.
Dalam sistem pemilu proporsional yang menyediakan kursi jamak (2 atau lebih) di setiap daerah,
logika matematika penentuan ambang batas perolehan kursi partai sedikit lebih rumit.
Apabila menggunakan formula kuota varian Hamilton/Hare/Niemeyer atau kuota murni, Rae,
Loosemore dan Hanby (1966) merumuskan: untuk mendapatkan kursi pertama, partai politik harus
menembus ambang batas atas (upper threshold); sedang untuk mendapatkan kursi sisa, partai politik
harus menembus ambang batas bawah (lower threshold).
Jika T adalah pesentase ambang batas, lalu m adalah besaran daerah pemilihan, maka ambang
batas atas adalah T = 1/2 m atau T = 100%: (1+m); sedangkan rumus ambang batas bawah adalah T
= 1/(m+1) atau T = 100%: 2m.
Karena sistem pemilu proporsional tidak hanya menggunakan formula kuota murni untuk menghitung
perolehan kursi partai politik, tetapi juga banya yang menggunakan formula lain, seperti kuota varian
Drop, divisor D'Hont dan divisor Webseter/ST Lague, maka Taagepera dan Shugart (1967),
mengeluarkan rumus ambang batas efektif atau threshold effective atau T. Rumus ini terletak antara
ambang batas atas dan ambang batas bawah. Dalam hal ini T = 75%: (m+1).
Konsep ambang batas atas, ambang batas bawah dan ambang batas efektif tersebut dengan
sendirinya berlaku pada setiap daerah pemilihan. Oleh karena itu konsep ini sering disebut sebagai
ambang batas matematis atau ambang batas terselubung. Istilah ini digunakan untuk membedakan
dengan ketentuan ambang batas yang dirumuskan oleh undang-undang ata ambang batas formal.
Dalam konsep ambang batas formal, misalnya undang-undang menentukan: untuk mendaptkan kursi
sisa, partai politik harus mendapatkan suara sedikitnya separuh dari kuota suara 1 kursi. Itu artinya,
jika partai politik tidak meraih suara sedikitnya separuh dari kuota suara 1 kursi di daerah pemilihan,
maka partai tersebut tidak bisa mendapatkan kursi di daerah pemilihan tersebut.
Dalam praktek pemilu di banyak negara, konsep ambang batas formal tersebut tidak hanya berlaku

pada daerah pemilihan, tetapi juga diberlakukan pada tingkat wilayah pemilihan. Misalnya,
sebagaimana diatur dalam UU No. 10/2008 bahwa partai politik yang berhak mendapatkan kursi
adalah partai politik yang memiliki suara minimal 2,5% suara nasional (suara untuk memilih anggota
DPR).
Itu artinya, partai politik yang meraih suara di bawah ambang batas 2,5% suara nasional berarti tidak
berhak mendapatkan kursi, meskipun bisa saja dalam penghitungan di setiap daerah pemilihan partai
politik tersebut mendapatkan kursi. Di Indonesia konsep ini biasa dikenal dengan istilah ambang
batas parlemen atau parliamentary threshold.
B

Bakal Calon Anggota Legislatif


Bakal calon anggota legislatif adalah anggota partai politik yang namanya diajukan partai politik untuk
menjadi calon anggota legislatif. Partai politik mengajukan nama-nama bakal calon anggota legislatif
kepada penyelenggara pemilu dalam bentuk daftar nama.
Daftar bakal calon anggota DPR diajukan oleh pengurus pusat partai politik kepada KPU; daftar bakal
calon anggota DPRD provinsi diajukan oleh pengurus partai politik provinsi kepada KPU provinsi, dan;
daftar bakal calon anggota DPRD kabupaten/kota diajukan oleh pengurus partai politik
kabupaten/kota kepada KPU kabupaten/kota.
Setelah diverifikasi pemenuhan persyaratannya, daftar bakal calon tersebut ditetapkan oleh KPU,
KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota, sebagai daftar calon sementara anggota DPR, daftar calon
anggota DPRD provinsi dan daftar calon anggota DPRD kabupaten/kota. Lihat UU No. 8/2012 Pasal
51-60.
Ketentuan adanya daftar bakal calon anggota legislatif baru berlaku pada Pemilu 2009 sebagaimana
diatur oleh UU No. 10/2008 dan dilanjutkan oleh UU No. 8/2012. Undang-undang pemilu sebelumnya
hanya mengenal daftar calon sementara dan daftar calon tetap.

Calon Anggota Legislatif


Calon anggota legislatif adalah anggota partai politik yang namanya telah ditetapkan secara resmi
oleh penyelenggara pemilu sebagai calon anggota legislatif untuk mengikuti pemilu legislatif di daerah
pemilihan masing-masing.
Nama-nama calon anggota legislatif disusun dalam bentuk daftar calon anggota legislatif, yang terdiri
dari daftar calon legislatif sementara dan daftar calon legislatif tetap. Daftar calon anggota DPR
sementara/tetap ditetapkan oleh KPU; daftar calon anggota DPRD provinsi sementara/tetap
ditetapkan oleh KPU provinsi, dan; daftar calon anggota DPRD kabupaten/kota sementara/tetap
ditetapkan oleh KPU kabupaten/kota.

Daftar calon anggota legislatif sementara ditetapkan setelah penyelenggara pemilu memverfikasi
pemenuhan persyaratan setiap nama bakal calon anggota legislatif yang diajukan oleh partai politik.
Pengumuman daftar calon anggota legisaltif sementara bertujuan memberikan kesempatan kepada
pemilih untuk memastikan bahwa semua nama calon anggota legislatif benar-benar telah memenuhi
peryaratan.
Atas laporan masyarakat, apabila penyelenggara pemilu menemukan nama calon yang tidak
memenuhi persyaratan, maka nama calon tersebut dicoret dari daftar anggota legislatif sementara
dan tidak dimasukkan ke dalam daftar calon anggota legisaltif tetap. Apabila semua nama dalam
daftar calon anggota legisaltif sementara tidak ada yang tidak memenuhi persyarata, maka daftar
tersebut ditetapkan sebagai daftar calon anggota legislatif tetap. Lihat UU No. 8/2010 Pasal 62-67.

Daftar Calon Anggota Legislatif


Daftar calon anggota legislatif adalah daftar yang berisi nama-nama calon anggota legislatif yang
sudah ditetapkan oleh penyelenggara pemilu. Daftar calon anggota legisaltif terdiri atas daftar calon
anggota legislatif sementara dan daftar calon anggota legislatif tetap.

Electronic Voting atau E-Voting


Electroninc voting atau e-voting adalah proses pemungutan suara dan penghitungan suara yang
menggunakan perangkat elektronik atau teknologi informasi. Tujuan penggunaan e-voting tidak saja
untuk mempercepat proses pemungutan dan penghitungan suara, tetapi yang lebih penitng adalah
untuk menjaga otentisitas atau keaslian suara pemilih, sekaligus menjaga akurasi penghitungan
suara.
Penerapan e-voting dalam pemilu membutuhkan proses panjang, mulai dari uji coba berkali-kali
perangkat teknologi yang digunakan, menumbuhkan kepercayaan pemilih, menunggu persetujuan
partai politik dan calon, sampai dengan pengesahan undang-undang. Dalam praktek penerapan evoting biasanya dimulai dari penghitungan suara atau e-counting, baru setelah sukses dilanjutkan
dengan pemungutan suara atau e-voting.

Formula Pemilu
Formula pemilu atau formula penghitungan kursi adalah metode menghitung perolehan kursi partai
politik atau calon. Dalam sistem pemilu mayoritarian, formula penghitungan kursi lebih sederhana jika
dibandingkan dengan sistem pemilu proporsional.
Dalam sistem pemilu mayoritarian, kursi yang tersedia di setiap daerah pemilihan adalah tunggal atau
1, sehingga perebutan kursi lebih merupakan persaingan antarcalon. Dalam sistem ini dikenal dua
jenis metode penghitungan kursi: pluralitas dan mayoritas.
Pertama, dalam metode pluralitas calon yang meraih suara terbanyak secara langsung ditetapkan
sebagai peraih kursi. Di sini A mendapatkan kursi karena rumus A>B>C>D>E.
Kedua, dalam metode mayoritas, calon yang meraih 50% lebih suara berhak mendapatkan kursi,
sehingga berlaku rumus A>B+C+D+E. Apabila tidak ada calon yang meraih suara 50% lebih, maka
dilakukan pemungutan suara putaran kedua, yang diikuti oleh peraih suara terbanyak pertama dan
peraih suara terbanyak kedua.
Sementara itu, dalam sistem pemilu proporsional yang menyediakan kursi jamak, 2 atau lebih pada
setiap daerah pemilihan, perebutan kursi lebih merupakan persaingan antarpartai politik. Prinsip
pokok sistem pemilu proporsional adalah menghitung perolehan kursi secara proporsional sesuai
dengan perolehan suara.
Dalam merealisasi prinsip tersebut, dikenal dua metode penghitungan kursi, yaitu metode kuota dan
metode divisor. Masing-masing metode memiliki dua varian pokok, sehingga terdapat empat metode
penghitungan kursi: kuota murni, kuota Drop, divisor d'Hont dan divisor Webster.
Pertama, metode kuota, atau metode kuota murni, atau metode kuota Hamilton/Hare/Niemayer, atau
disebut juga metode kuota-LR (largest remainders), atau sisa terbanyak.
Metode ini memiliki dua tahap. Tahap pertama, membagi perolehan suara masing-masing partai
dengan kuota suara 1 kursi (di mana kuota suara 1 kursi adalah hasil bagi total suara dengan jumlah
kursi yang tersedia, atau q = V/S; atau dalam bahasa undang-undang disebut bilangan pembagi
pemilih). Pada tahap ini, partai politik yang mendapat bilangan utuh berarti mendapat kursi sebanyak
bilangan utuh tersebut. Tahap kedua, membagi sisa kursi berdasarkan bilangan pecahan terbanyak
(atau, dalam bahasa undang-undang disebut sisa suara terbanyak).
Kedua, metode kuota Drop. Metode ini merupakan respon atas kritik, bahwa metode kuota murni
cenderung merugikan partai politik peraih suara besar dan menguntungkan partai politik peraih suara
menengah pada masing-masing daerah pemilihan. Ilustrasinya ini seperti ini: jika kuota suara satu
kursi sama dengan 1.000, partai yang memiliki 1.500 suara, sama-sama mendapatkan 1 kursi dengan
partai politik yang memiliki 600 suara.

Oleh karena itu agar partai peraih suara besar tidak dirugikan maka penentuan kuota suara 1 kursi,
bukan lagi total suara dibagi jumlah kursi, melainkan total suara dibagi dengan jumlah kursi +1 atau
dalam bentuk rumus menjadi q = S/V+1. Selanjutnya cara menghitungnya sama dengan metode
kuota murni, yaitu tahap pertama menentukan partai politik yang mendapatkan kursi utuh, dan tahap
kedua menentukan partai politik yang mendaptkan sisa kursi yang belum terbagi.
Ketiga, metode divisor d'Hondt/Jefferson sesungguhnya merupakan respons lain atas metode kuota
murni, yang dianggap merugikan partai politik peraih suara besar di setiap daerah pemilihan.
Cara menghitung perolehan kursi ke partai politik metode ini adalah membagi perolehan suara setiap
partai politik dengan bilangan pembagi 1, 2, 3, 4, dst. Selanjutnya hasil pembagian suara setiap partai
politik itu dirangking, dan angka tertinggi secara berturut-turut mendapatkan kursi pertama, kursi
kedua, kursi ketiga dst, sesuai dengan jumlah kursi yang tersedia.
Keempat, metode divisor St Lague/Webster. Metode ini merupakan kritik terhadap metode kuota Drop
dan divisor d'Hondt/Jeferson, yang terlalu menguntungkan partai politik peraiah suara besar, dan
merugikan partai politik peraih suara menengah dan kecil. Kedua metode itu sering menyalahi prinsip
proporsionalitas matematika ini: partai politik yang memiliki kuota 0,4 sampai dengan 1,4 hanya
mendapatkan 1 kursi; atau, pertai yang memiliki kuota 0,4 seharusnya tidak dapat kursi; partai politik
yang memilki kuota 1,4 seharusnya tidak mendapatkan lebih dari 1 kursi.
Metode ini tetap menggunakan bilangan pembagi, hanya tidak 1, 2, 3, 4, dst melainkan 1, 3, 5, 7 dst
atau bilangan ganjil. Adapun cara menghitungnya tetap sama dengan metode divisor d'Hondt, yaitu
membagi perolehan suara setiap partai politik dengan bilangan pembagi 1, 3, 5, 7, dst. Hasilnya
baginya dirangking, dan angka tertinggi secara berturut-turut mendapatkan kursi pertama, kursi
kedua, kursi ketiga dst, sesuai dengan jumlah kursi yang tersedia.

Dari empat metode penghitungan perolehan kursi partai politik tersebut, baik secara matematika
maupun berdasarkan pengalaman pemilu banyak negara, metode divisor St Lague/Webster adalah
metode yang paling adil, paling fair. Metode ini tidak menguntungkan partai peraiah suara menengah
kecil, juga tidak menguntungkan partai peraih suara besar.

Gakkumdu Pemilu
Gakumdu Pemilu adalah kepanjangan dari Penegakan Hukum Terpadu Pemilihan Umum. Gakumdu
merupakan forum bersama yang terdiri dari pengawas pemilu, kepolisian dan kejaksaan untuk
membahas kasus-kasus pelanggaran pidana pemilu, dengan tujuan agar proses penanganan kasus
pidana pemilu lebih mudah dan cepat. Kemudahan dan kecepatan penangan kasus-kasus pidana

pemilu sangat dibutuhkan mengingat undang-undang membatasi waktu penanganan kasus


pelanggaran pidana pemilu.
Gakkumdu pertama kali di bentuk pada Pemilu 2004 atas kesepakatan bersama Panwas Pemilu,
Mabes Polri dan Kejaksaan Agung. Gakkumdu Pemilu 2004 relatif berhasil menangani kasus-kasus
pelanggaran pidana pemilu jika dibandingkan dengan Pemilu 1999. Oleh karena itu Gakkumdu
dilanjutkan pada Pemilu 2009, meskipun hasilnya tidak sebagus dari yang diharapkan.

Hukum Pemilu
Hukum pemilu adalah seperangat peraturan yang bertujuan menjamin penyelenggaraan pemilu
berjalan sesuai dengan asas pemilu: langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Secara
operasional, hukum pemilu mencegah dan memberikan sanksi agar tidak terjadi pelanggaran
peraturan pemilu. Hukum pemilu juga mengatur penyelesaikan kasus-kasus sengketa atau
perselisihan pemilu yang melibatkan para pihak.
Berdasarkan pengaturan pemilu yang tersebar dalam undang-undang pemilu dan peraturan lainnya,
serta berdasar praktek penyelenggaraan pemilu selama ini, maka masalah hukum pemilu bisa
dibedakan atas: tindak pidana pemilu, pelanggaran administrasi pemilu, perselisihan administrasi
pemilu, perselisihan hasil pemilu, dan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu.
Tindak pidana pemilu adalah pelanggaran terhadap ketentuan pidana pemilu sebagaimana diatur
dalam undang-undang pemilu. Kasus-kasus tindak pidana pemilu ditangani pengawas pemilu, lalu
diproses oleh kepolisian dan dilimpahkan ke pengadilan oleh kejaksaan. Hakim akan mengadili dan
menghukum para tersangka sesuai dengan ketentuan pidana pemilu, berupa sanksi hukuman penjara
dan atau denda.
Pelanggaran administrasi pemilu adalah pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan administrasi
(biasanya menyangkut kriteria dan persyaratan) sebagaimana diatur dalam undang-undang pemilu
maupun peraturan lainnya. Pelanggaran administrasi ditangani oleh pengawas pemilu dan diserahkan
kepada KPU dan jajarannya untuk dijatuhi sanksi. Sanksinya bisa berupa teguran lisan, teguran
tertulis, larangan melakukan kegiatan tertentu, sampai dengan pencoretan dari daftar peserta pemilu
atau daftar calon.
Perselisihan adminstrasi pemilu adalah perselisihan yang timbul karena munculnya ketidakpuasan
beberapa pihak atas keputusan penyelenggara pemilu. Pemilih, peserta pemilu dan calon anggota
legisaltif dan calon pejabat eksektuif, yang merasa dirugikan oleh keputusan KPU dapat mengajukan
gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Hakim yang akan menentukan benar tidaknya keputusan
penyelenggara pemilu tersebut.
Perselisihan hasil pemilu adalah perselisihan yang timbul karena partai politik perserta pemilu, calon
anggota DPD, dan pasangan calon pejabat eksekutif merasa dirugikan oleh hasil penghitungan suara

yang dilakukan KPU sehingga mereka tidak mendapatkan kursi yang diperebutkan. Kasus
perselesihan hasil pemilu diselesaikan oleh Mahkamah Konstitusi. Dalam perjalannya kemudian,
Mahkamah Konstitusi tidak hanya menerima gugatan akibat salah hitung suara oleh KPU, tetapi juga
gugatan akibat terjadinya pelanggaran yang masif, sistematis dan terstruktur.
Pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu adalah pelanggaran terhadap kode etik penyelenggara
pemilu yang dilakukan oleh jajaran KPU dan Bawaslu. Kasus-kasus pelanggaran kode etik ditangani
oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, yang bisa memberikan sanksi berupa teguran
hingga pemecatan.

Intimidasi Pemilih
Intimidasi pemilih adalah kegiatan menakut-nakuti dan atau mengancam pemilih agar pemilih tidak
menggunakan hak pilih, menyerahkan hak pilihnya kepada orang lain, tidak memilih partai politik atau
calon tertentu, atau memilih partai politik atau calon tertentu. Intimidasi merupakan tindak pidana
pemilu, sehingga pelakunya bisa dijatuhi hukuman penjara dan atau denda.

Jadwal Pemilu
Jadwal pemilu adalah rincian waktu pelaksanaan tahapan pemilu. Jadwal pemilu mengatur kapan
masing-masing tahapan itu dilakukan. Batas akhir suatu tahapan pemilu menjadi titik paling krusial,
karena waktu itu menandai selesainya suatu proses pemilu, untuk menuju proses pemilu berikutnya.
Proses pemilu berjalan dalam tahapan pemilu yang bergerak linier, sehingga kalau jadwal pemilu
dilanggar akan mengacaukan proses dan tahapan pemilu berikutnya.
Tahapan pemilu legislatif meliputi pendaftaran pemilih, pendaftaran partai politik peserta pemilu,
penetapan daerah pemilihan, pecalonan, kampanye, pemungutan suara, penghitungan suara,
penetapan hasil, penetapan perolehan kursi, penetapan calon terpilih, dan pelantikan calon terpilih.
Sedang tahapan pemilu eksekutif meliputi pendaftaran pemilih, pendaftaran pasangan calon,
kampanye, pemungutan suara, penghitungan suara, penetapan hasil pemilu, penetapan calon terpilih,
dan pelantikan calon terpilih.

Dikutip dari: http://www.rumahpemilu.org/in/glosarium/A/8/

Anda mungkin juga menyukai