Anda di halaman 1dari 8

PRESIDENTIAL THRESHOLD :

MEMBATASI RUANG DEMOKRASI DAN PARTISIPASI

Indra Bastian
Indrabastian7@gmail.com
Program Studi Ilmu Pemerintahan

Abstrak

Dua ratus juta lebih rakyat indonesia berhak dipimpin sosok yang paling istimewa,
terbaik dari semua kandidat yang ada. Memimpin bukan pekerjaan main-main beban dan
tanggung jawabnya lansung kepada setiap nyawa ratusan juta rakyat Indonesia. Pilpres
merupakan puncak pertarungan politik, jalan menuju niscaya syarat intrik. Presidential
threshold 20 % menjadi syarat yang harus dipenuhi untuk usung capres kerap dituding
membatasi hak warga untuk berkontestasi, menyulitkan nama-nama baru untuk berkompetisi,
dimana presidential election hanya berlansung diantara para elit-elit atau oligarki politik yang
berkuasa saja, padahal maksud pemilihan presiden secara langsung adalah pesta demokrasi
rakyat dengan menghadirkan calon sebanyak-banyaknya dan setiap partai politik yang menjadi
peserta pemilu diberikan hak konstitusional untuk mengajukan pasangan capres dan cawapres
sesuai dengan ketentuan konstitusi UUD 1945. Rakyat harus mendapatkan kandidat-kandidat
yang luar biasa bukan yang itu-itu saja. Menyodorkan pilihan yang beraneka, rakyat niscaya
tahu yang terbaik untuk mereka.
Keywords : Presidential threshold, Pilpres, Oligarki.Konstitusi

I. PENDAHULUAN

Prinsip pertama didalam bernegara adalah mentaati aturan konstitusi, dijelaskan pada
pasal 6A Undang-Undang Dasar tahun 1945 ayat (3) “Pasangan calon Presiden dan Wakil
Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam
pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di
lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil
Presiden”. Memaknai perintah konstitusi yang dibunyikan pada pasal 6A tersebut jelaslah
bahwa pemilihan presiden secara lansung adalah pesta demokrasi rakyat dengan menghadirkan
calon sebanyak-banyaknya dan setiap partai politik yang menjadi peserta pemilu diberikan hak
konstitusional untuk mengajukan pasangan capres dan cawapres sesuai dengan ketentuan
konstitusi sehingga rakyat mendapatkan kandidat-kandidat yang luar biasa dan pilihan yang
tidak terbatas.
Penetapan ambang batas yang mensyaratkan pengusungan capres/cawapres yang
ditetapkan pada Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pilpres Dan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu yang berbunyi "Pasangan Calon diusulkan oleh Partai
Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan
kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua
puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden" atau lebih dikenal dengan Presidential Threshold.

Penetapan ambang batas yang menjadi persyaratan pencalonan presiden dan wakil
presiden ini selalu menjadi perdebatan dan rutin diuji dimahkamah konstitusi karena dianggap
sebagai alat kekuasaan yang membatasi hak warga untuk bisa berkompetisi dan mendapatkan
calon pasangangan pilihan yang beraneka.

II. ANALISIS
2.1.Landasan Yuridis Presidential Threshold di Indonesia
• UUD 1945
Sistem pemilihan presiden (Pilpres) mengalami berbagai perubahan. Hal ini merupakan
implikasi dari adanya reformasi yang merubah (amandemen) UUD 1945. Menurut Pasal
6A ayat (2) UUD 1945 menjelaskan bahwa “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden
diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu sebelum
pelaksanaan pemilu.”25 Kemudian dalam Pasal 6A ayat (5) lebih lanjut menjelaskan
mengenai tata cara pelaksanaan Pilpres, yakni “Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden
dan Wakil Presiden diatur lebih lanjut dalam Undang-undang.”26 UUD NRI 1945 tersebut
memang tidak diatur mengenai tata cara pelaksanaan secara jelas, akan tetapi dengan
adanya pasal tersebut memberikan kewenangan kepada lembaga legislatif untuk membuat
peraturan yang komprehensif berkaitan dengan tata cara pelaksanaan Pilpres.
• Pasal 9 Undang-Undang NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PILPRES Dan Pasal 222
Undang-Undang NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILU Yang Berbunyi Sama :
“Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu
yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari
jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional
dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden”.
2.2.Tinjauan Literatur
Presidential Threshold sebagai ambang batas perolehan suara yang harus diperoleh
oleh partai politik dalam suatu pemilu untuk dapat mengajukan calon presiden. Dalam Bahasa
hukum tidak dijelaskan terminologi dari istilah tersebut. Sebelum membahas tentang
presidential threshold dalam Pemilihan Umum (“Pemilu”) serentak, perlu untuk membedakan
beberapa varian ambang batas atau threshold yang sering digunakan dalam penyelengggaraan
pemilu. Varian tersebut adalah Electoral Threshold, Parliamentary Threshold, dan
Presidential Threshold. Secara sederhana, ambang batas atau threshold dipahami sebagai batas
minimal dukungan atau suara yang mesti dimiliki untuk memperoleh hak tertentu dalam
pemilu. Dari segi fungsi dan kegunaanya, penerapan threshold adalah untuk mengurangi
jumlah peserta pemilu; jumlah parpol yang duduk di lembaga perwakilan; dan jumlah
parpol/kelompok parpol dalam pencalonan presiden dan wakil presiden. (Khairul Fahmi yang
dikutip oleh Saldi Isra, dalam bukunyaPemilu dan Pemulihan Daulat Rakyat, hal. 197).
Istilah presidential threshold merupakan istilah yang berasal dari bahasa Inggris. Istilah
tersebut memiliki dua kata, yakni “presidential” dan “threshold.”Gotfridus Goris Seran
mendefinisikan Presidential Threshold sebagai ambang batas perolehan suara yang harus
diperoleh oleh partai politik dalam suatu pemilu untuk dapat mengajukan calon presiden.
(Gotfridus Goris Seran dalam bukunya Kamus Pemilu Populer: Kosa Kata Umum, Pengalaman
Indonesia dan Negara Lain hal.260).
2.3.Presidential Threshold di Indonesia
Ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold) pertama
kali dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden (sekarang tidak berlaku lagi). Pembatasan tersebut dirumuskan
dalam Bab II tentang Peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, tepatnya pada Pasal 5 ayat
(4), yang menyatakan bahwa:
Pasangan calon sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diusulkan oleh
partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh sekurang-kurangnya 15% (lima
belas persen) jumlah kursi DPR atau 20% (dua puluh persen) dari perolehan suara sah nasional
dalam Pemilu anggota DPR.
Pemilihan presiden dan wakil presiden yang dilakukan pada tahun 2004, 2009, dan
2014 menggunakan perolehan jumlah kursi DPR dan suara sah nasional pada hasil pemilihan
legislatif yang telah dilaksanakan sebelumnya sebagai ambang batas pencalonan presiden dan
wakil presiden (presidential threshold) karena pemilihan legislatif dilakukan sebelum
pelaksanaan pemilihan calon presiden dan wakil presiden. Hal tersebut berbeda dengan
ketentuan yang terdapat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum
(“UU Pemilu”), karena pelaksaan pemilihan presiden dan pemilihan legislatif dilaksanakan
secara serentak pada April 2019, sehingga ambang batas yang digunakan adalah perolehan
jumlah kursi DPR dan suara sah nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.
Sebagai suatu kebiasaan umum dalam pemilihan Presiden Republik Indonesia
Presidential Threshold merupakan istilah yang sering dikorelasikan dengan Pasal 9 Undang-
Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU
Pilpres). Pasal 9 UU Pilpres tersebut tidak menegaskan terminologi presidential threshold
secara eksplisit namun telah menjadi kebiasaan umum dalam pemilu di Indonesia mengartikan
bahwa presidential threshold atau ambang batas yaitu syarat bagi calon presiden dan wakil
presiden untuk maju dalam pemilihan umum. Syarat tersebut yakni perolehan kursi paling
sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR-RI atau memperoleh 25 persen dari suara sah nasional
dalam pemilu anggota DPR-RI, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Presidential Threshold dapat dimaknai sebagai rule of game alat yang menentukan
partai politik mana yang bisa mengusung calon pasangan presiden dan wakil presiden dalam
pemilu. Ambang batas atau presidential threshold ini banyak dikritik oleh beberapa pihak salah
satunya ialah partai-partai kecil yang perolehan suaranya tidak mencukupi ketentuan
presidential threshold, partai-partai kecil menganggap mekanisme ini bertentangan dengan hak
konstitusional warga negara dan juga oleh beberapa pemerhati politik yang menganggap
ambang batas ini hanya menjadikan Demokrasi menjadi demorasi kriminal .Demokrasi Jual
beli perahu, demokrasi yang menggunakana kekuatan finansial untuk memenangkan kompetisi
pemilihan capres/cawapres.

III. METODOLOGI
Penelitian ini menggunakan metode analisis debat beberapa tokoh publik tentang "Pasar
Bebas Capres" pada acara Mata Najwa (Najwa Shihab, 2018:7) dan webinar yang digelar oleh
Forum Guru Besar dan Doktor Insan Cita bertajuk ”Pilpres 2024: Menyoal Presidential
Threshold”, (Minggu14/11/2021) untuk meninjau pro kontra diberlakukannya sistem
presidential threshold dengan melihat beberapa aspek: pertama, aspek Tindakan dalam wacana
yang dipahami sebagai sesuatu bentuk ekspresi sadar dan terkontrol. Kedua, Konteks dari
wacana, seperti latar, situasi, peristiwa, dan kondisi yang harus ditafsirkan dalam situasi dan
kondisi yang khusus. Ketiga, Historis wacana dalam konteks sosial yang diproduksi dalam
konteks tertentu dan tidak dapat dimengerti tanpa menyertakan konteks yang menyertainya.
Keempat, wacana yang muncul, dalam bentuk teks, tidak dipandang sebagai sesuatu yang
alamiah, wajar dan netral, tetapi merupakan bentuk pertarungan kekuasaan. Kelima, melihat
unsur ideologi dalam wacana yang dibangun oleh kelompok yang dominan.
Teknik pengumpulan data menggunakan studi pustaka dan penelusuran data online. Uji
keabsahan data dalam penelitian kualitatif meliputi beberapa pengujian. Peneliti menggunakan
Uji Kredibilitas Data atau uji kepercayaan terhadap hasil penelitian.
Teknik analisis data dalam penelitian ini meliputi: pertama, Data Collection merupakan
kegiatan pengumpulan data-data. Kedua, Data Reduction merupakan kegiatan mereduksi data-
data yang diperoleh, menggolongkan, mengarahkan, membuang data yang tidak diperlukan
dan mengorganisasi data. Ketiga, Data display merupakan kegiatan memperlihatkan data yang
diperoleh setelah direduksi terlebih dahulu. Keempat, Conclusing drawing atau verification
merupakan kegiatan membuat kesimpulan dengan menggambarkan, memverifikasi dan
menyajikan data-data yang diperoleh dalam bentuk kalimat.

IV. HASIL ANALISIS


4.1.Penerapan presidential threshold 20% pada pemilu di Indonesia
Ambang batas syarat pencalonan pasangan calon presiden dan wakil presiden kembali
diperbincangkan. Di tengah persaingan pemilihan presiden yang terbuka dan lebar di Pemilu
2024 karena berakhirnya pemerintahan periode 2019 - 2024 dimana presiden menjabat telah
memenuhi masa kepemimpinan selama dua periode dan sesuai dengan perintah konstitusi
bahwa presiden menjabat hanya dua periode.
Semua kekuatan partai politik berpeluang mengajukan pasangan calon yang
diinginkannya. Namun Keputusan pemerintah dan DPR tidak melakukan revisi terhadap
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum mempertegas bahwa
pelaksanaan Pemilu 2024 tak akan jauh berbeda dengan Pemilu 2019.
Dengan basis regulasi yang sama, peluang hadirnya sosok pasangan calon presiden dan
wakil presiden yang lebih banyak, sebagai alternatif pilihan buat rakyat, kecil kemungkinan
akan terjadi.
Meskipun demikian, harapan untuk memperjuangkan hadirnya banyak calon alternatif
untuk pemilihan presiden tak berhenti meskipun di Pemilu 2024 peluangnya sudah tertutup
dengan tidak adanya revisi Undang-Undang pemilu tersebut.
Pemilihan presiden dan wakil presiden yang dilakukan pada tahun 2004, 2009, dan
2014 menggunakan perolehan jumlah kursi DPR dan suara sah nasional pada hasil pemilihan
legislatif yang telah dilaksanakan sebelumnya sebagai ambang batas pencalonan presiden dan
wakil presiden (presidential threshold) karena pemilihan legislatif dilakukan sebelum
pelaksanaan pemilihan calon presiden dan wakil presiden.
4.2.Jajak pendapat presidential threshold
Soal ambang batas pemilihan presiden ini, 17-20 Juni 2020 Litbang Kompas melakukan
penelitian dengan pengumpulan pendapat (jajak pendapat) secara daring. Sebanyak 687
responden yang berpartisipasi berasal dari 33 provinsi di Indonesia.
Merujuk hasil jajak pendapat Kompas Juni 2020 disebutkan perlunya pemilih diberikan
banyak pilihan calon presiden. Namun, dukungan yang kuat dari partai politik tetap tidak bisa
dilupakan sebagai basis politik kekuatan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Berikut pertanyaan dan hasil jajak pendapat yang dilakukan oleh Litbang Kompas :
➢ Masih perlukah diterapkan ambang batas kursi atau suara sebagai syarat partai politik bisa
mengajukan pasangan calon pilpres 2024 nanti ?

Masih Perlu Tidak Perlu Tidak Tahu


53,8% 39,8% 6,4%
Alasan perlu/tidak perlunya penerapan ambang batas
43,4% Untuk membatasi jumlah 46,0% Agar capres tidak otomatis
capres dari partai peraih kursi
terbanyak
33,1% Agar capres memiliki 36,5% Agar banyak pilihan calon
dukungan kuat partai politik presiden
19,6% Agar ada koalisi partai politik 12,0% Agar semua partai bisa
sejak awal mengajukan capres
2,1% Lainnya 5,0% Lainnya
1,8% Tidak Tahu 0,5% Tidak Tahu

Hasil jajak pendapat diatas merekam bahwa ambang batas pemilihan presiden masih
perlu untuk diterapkan pada Pemilu 2024. Meskipun demikian, respons ini tidak tunggal
karena dari kelompok responden lainnya justru berharap pemilihan presiden berikutnya bisa
memunculkan lebih banyak pasangan calon.
Bagi kelompok yang setuju masih diberlakukan, ambang batas bertujuan untuk
membatasi jumlah pasangan calon presiden. Sebaliknya, bagi kelompok responden yang
cenderung menganggap tidak perlu lagi diterapkan beralasan, agar pasangan calon presiden
lebih banyak dan tidak dimonopoli oleh kekuatan partai politik besar atau pemenang pemilu.
Jika kita kembali pada konteks pemilihan presiden, secara sederhana bisa kita baca ada
keinginan untuk mempertahankan agar ambang batas pemilihan presiden tetap ada, tetapi bisa
jadi jangan sampai ambang batas itu justru menghalangi munculnya pasangan calon alternatif.
Ada harapan agar ambang batas pemilihan presiden bisa tetap menjamin iklim
kontestasi yang sehat dengan membuka ruang bagi pemilih untuk memilih presiden yang lebih
baik. Namun, banyak pihak meragukannya karena dengan ambang batas pemilihan presiden,
ruang kontestasi semakin terbatas.
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran Susi Dwi Harijanti yang juga
menjadi salah satu narasumber dalam webinar menyebutkan, norma ambang batas parlemen
melahirkan gap antara pembuat UU dan publik, dengan seringnya norma ambang batas
pemilihan presiden ini diuji di Mahkamah Konstitusi, berarti ada yang salah dengan norma
tersebut. ”Dengan banyaknya norma itu dimintakan pengujian, itu potret bahwa rakyat tidak
puas dengan norma tersebut, artinya norma tersebut bermasalah. Terjadi gap keberterimaan
norma tersebut antara rakyat dan DPR".

V. KESIMPULAN DAN SARAN


Pemilihan presiden dan wakil presiden merupakan puncak pertarungan politik, Pesta
demokrasi yang diharapkan oleh dua ratus juta lebih rakyat indonesia untuk dapat memilih
pemimpin yang dipercaya bisa membawa kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Rakyat
berhak mendapatkan segala hak-haknya yang dijamin oleh konstitusi salah satunya hak untuk
memperoleh penghidupan yang layak yang sangat dimungkinkan bisa terwujudkan oleh
pemimpin yang bertanggung jawab pada rakyatnya, amanah menjalankan amanat dan menepati
janji-janji kepada rakyatnya bukan janji terhadap partai politik pengusung serta mampu
mengemban amanat konstitusi untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Presidential Threshold yang dimaksudkan untuk membatasi pencalonan Presiden dan
Wakil Presiden demi mendapatkan calon yang berkualitas, kenyataannya justru membuka
peluang menjadikan demokrasi yang kriminal. Demokrasi Jual beli perahu, demokrasi yang
menggunakan kekuatan finansial untuk memenangkan kompetisi pemilihan capres/cawapres.
PT 20% syarat menjadi permufakatan jahat demokrasi, dimana presidential election
hanya berlansung diantara para elit-elit atau oligarki politik yang berkuasa saja, bukan tidak
mungkin “dibawah kendali” oligarki semua partai pemilik suara untuk mengusung pasangan
capres/cawapres bergabung menjadi satu, sehingga hanya muncul satu pasangan calon yang
tentunya pilihan (ditunjuk) kendali oligarki.
Pengalaman terpahit sepanjang sejarah pesta demokrasi sejak era reformasi salah
satunya pada Pemilu Serentak 2019, akibat calon presiden dan wakil presiden yang hanya ada
dua calon muncul pembelahan yang luar biasa dalam kehidupan masyarakat sehingga muncul
istilah "cebong", "kampret" yang perseteruannya tidak kunjung usai walaupun pemilu telah
menentukan pemenang, hal ini tidak bisa dibiarkan terus berlanjut karena mengancam masa
depan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Oleh karena itu, hasil penelitian ini mendorong satu rekomendasi saja yaitu "nol kan
Presidential threshold" agar Rakyat mendapatkan kandidat-kandidat yang luar biasa dengan
menyodorkan pilihan yang beraneka. Presiden itu milik seluruh rakyat bukan milik para elit-
elit atau oligarki politik yang berkuasa saja, berilah banyak pilihan niscaya rakyat tahu yang
terbaik untuk mereka.

VI. DAFTAR PUSTAKA


LITBANG KOMPAS Menyoal Kembali ”Presidential Threshold”, 2021
Dwi Rianisa Mausili, Presidential Threshold Anomaly in Indonesian Government
System: Parlementer Reduction in Indonesian Presidential System, Bappenas Working
Papers Vol II No. 1 – Maret 2019
Agus Adhari. (2019). Eksistensi Presidential Threshold Pada Pemilihan Umum
Serentak. (ebook), hlm. 3.
Denny, Indrayana. (2008). Negara Antara Ada dan Tiada Reformasi Hukum
Ketatanegaraan. Jakarta: Kompas.
Eriyanto. (2001). Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKiS.
Haris, Syamsuddin, dkk. (2015). Position Paper: Pemilu Nasional Serentak 2019. Jakarta:
Electoral Research Institute-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Pamungkas, Sigit. (2009). Perihal Pemilu, Yogyakarta: Laboratorium Jurusan Ilmu
Pemerintahan dan Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM.
Partono. (2010). Sistem Multi Partai, Presidensial dan Persoalan Efektivitas Pemerintah.
makalah hlm. 3.

Anda mungkin juga menyukai