Anda di halaman 1dari 1

Sebelumnya, sebagaimana yang pernah dijelaskan dalam artikel Menentukan Tergugat dan Turut

Tergugat, kualifikasi Tergugat dan Turut Tergugat ini tidak diatur dalam peraturan perundang-
undangan. Namun, hal tersebut telah menjadi suatu praktik yang diterapkan dari kasus per
kasus. Perbedaan Tergugat dengan Turut Tergugat adalah Turut Tergugat hanya tunduk pada isi
putusan hakim di pengadilan karena Turut Tergugat ini tidak melakukan sesuatu (perbuatan).

Yang harus dilakukan Turut Tergugat adalah cukup hadir menjalani proses persidangan di
persidangan dan menerima putusan yang dijatuhkan oleh hakim karena sebenarnya pihak yang
berkepentingan secara langsung adalah Penggugat dan Tergugat. Selengkapnya mengenai Turut
Tergugat dapat Anda simak dalam artikel Kedudukan dan Konsekuensi Menjadi Turut
Tergugat dan Kedudukan Notaris Sebagai Turut Tergugat.

Selain itu, Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata dalam bukunya “Hukum Acara
Perdata Dalam Teori dan Praktek” (hal. 2) mengatakan bahwa dalam praktik, perkataan Turut
Tergugat dipergunakan bagi orang-orang yang tidak menguasai barang sengketa atau tidak
berkewajiban untuk melakukan sesuatu, hanya demi lengkapnya suatu gugatan harus diikutsertakan.
Mereka dalam petitum hanya sekedar dimohonkan agar tunduk dan taat terhadap putusan Hakim.

Dari sini kita dapat menarik kesimpulan bahwa Turut Tergugat selama proses persidangan tidak
diwajibkan untuk melakukan sesuatu.Menurut hemat kami ini berlaku pula dalam hal Turut Tergugat
membuat jawaban.

M. Yahya Harahap dalam bukunya yang berjudul Hukum Acara Perdata (hal. 462)mengatakan
bahwa jawaban atau yang dikenal dengan istilah bantahan terhadap pokok perkara (ver weer ten
principale atau materiel verweer) adalah tangkisan atau pembelaan yang diajukan tergugat terhadap
pokok perkara. Dapat juga berarti:
· jawaban tergugat mengenai pokok perkara, atau
· bantahan yang langsung ditujukan tergugat terhadap pokok perkara

Esensi bantahan terhadap pokok perkara berisi alasan dan penegasan yang sengaja dibuat dan
dikemukakan Tergugat, baik dengan lisan atau tulisan dengan maksud untuk melumpuhkan
kebenaran dalil gugatan yang ditaungkan Tergugat dalam jawaban.

Lebih lanjut, Yahya Harahap (Ibid, hal. 462-463) menjelaskan bahwa pada dasarnya, mengajukan
jawaban bukanlah suatu kewajiban bagi Tergugat, melainkan suatu hak. Menurut Pasal 121 ayat (2)
HIR, pada saat juru sita menyampaikan surat panggilan sidang, dalam surat itu harus tercantum
penegasan memberi hak kepada tergugat untuk mengajukan jawaban secara tertulis.

Berdasarkan hak ini, tergugat menyusun jawaban yang berisi tanggapan menyeluruh terhadap
gugatan. Jawaban seperti itu dalam praktik disebut sebagai jawaban pertama. Dalam
sistem Common Law disebut dengan counterclaim, yaitu tangkisan atau bantahan tergugat atau
disebut defence. Hakikatnya pemberian hak bagi Tergugat mengajukan jawaban sesuai dengan
asas audi alteram partem atau auditur et altera pars, yaitu pemberian hak yang sama kepada
Tergugat untuk mengajukan pembelaan kepentingannya.

Sebenarnya, melihat dari kedudukan Turut Tergugat yang tidak tersangkut dengan pokok perkara
seperti halnya Tergugat dan sifat jawaban yang tidak wajib, dari sini kita bisa melihat bahwa Turut
Tergugat tidak perlu memberikan bantahan terhadap pokok perkara. Akan tetapi, menurut hemat
kami, Turut Tergugat bisa saja mengajukan jawaban selama dipandang perlu. Hal ini berkaitan
dengan urgensi kepentingan hukum yang perlu dibela. Artinya, urgensi dibuatnya jawaban oleh Turut
Tergugat disesuaikan dengan pembelaan kepentingan Turut Tergugat itu sendiri.

Anda mungkin juga menyukai