Anda di halaman 1dari 8

Kedudukan dan Konsekuensi Menjadi Turut Tergugat

Pertanyaan
Dh., Kantor saya mendapat panggilan untuk sidang di PN Jakpus, sebagai Turut Tergugat II. Panggilan
untuk sidang pertama, kami tidak hadir. Dalam gugatan yang dikirimkan, kantor kami hanya diminta
untuk menaati apapun putusan hakim. Pertanyaan saya: 1. Apa konsekuensinya jika kami tidak
menghadiri panggilan sidang tersebut? 2. Jika kami datang menghadiri sidang tersebut, apa peran kami?
Mungkinkah kami akan diminta untuk menjadi saksi atau hanya datang dan mengikuti jalannya proses
persidangan? Terima kasih banyak.
Ulasan Lengkap
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
 
1.    Sebagaimana yang pernah dijelaskan dalam artikel Menentukan Tergugat dan Turut Tergugat,
kualifikasi Tergugat dan Turut Tergugat ini tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Namun, hal tersebut telah menjadi suatu praktik yang diterapkan dari kasus per kasus. Perbedaan
Tergugat dengan Turut Tergugat adalah Turut Tergugat hanya tunduk pada isi putusan hakim di
pengadilan karena Turut Tergugat ini tidak melakukan sesuatu (perbuatan). Misalnya, dalam kasus
perbuatan melawan hukum (“PMH”), Tergugat melakukan suatu perbuatan sehingga digugat PMH,
namun Turut Tergugat ini hanyalah pihak terkait yang tidak melakukan suatu perbuatan. Tapi, pihak
tersebut oleh Penggugat turut digugat sebagai Turut Tergugat sehingga pada akhirnya turut tergugat
tunduk pada isi putusan pengadilan.
 
Selain itu, Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata dalam bukunya “Hukum Acara
Perdata Dalam Teori dan Praktek” mengatakan bahwa dalam praktik perkataan Turut Tergugat
dipergunakan bagi orang-orang yang tidak menguasai barang sengketa atau tidak berkewajiban untuk
melakukan sesuatu, hanya demi lengkapnya suatu gugatan harus diikutsertakan. Mereka dalam
petitum hanya sekedar dimohonkan agar tunduk dan taat terhadap putusan Hakim (hal. 2).
 
Dalam artikel Kedudukan Notaris Sebagai Turut Tergugat dijelaskan bahwa perlunya
diikutsertakan Turut Tergugat dalam gugatan menurut pendapat Mahkamah Agung dalam Putusan
No. 1642 K/Pdt/2005 adalah karena “dimasukkan sebagai pihak yang digugat atau minimal
didudukkan sebagai Turut Tergugat. Hal ini terjadi dikarenakan adanya keharusan para pihak
dalam gugatan harus lengkap sehingga tanpa menggugat yang lain-lain itu maka subjek gugatan
menjadi tidak lengkap.”
 
Jadi, dari uraian pada poin satu di atas dapat diketahui bahwa peran kantor Anda sebagai Turut
Tergugat sebenarnya adalah pelengkap gugatan saja, namun tetap wajib tunduk dan taat terhadap
putusan hakim. Yang harus dilakukan kantor Anda sebagai Turut Tergugat adalah cukup hadir
menjalani proses persidangan di persidangan dan menerima putusan yang dijatuhkan oleh hakim
karena sebenarnya pihak yang berkepentingan secara langsung adalah Penggugat dan Tergugat.
 
Namun, ada hal lain yang juga penting diperhatikan terkait ketidakhadiran pihak yang memang telah
dipanggil secara patut di pengadilan, sebagai contoh pihak yang tidak hadir tersebut adalah Tergugat.
Apabila Tergugat tidak datang pada hari perkara akan diperiksa di persidangan padahal sudah
dipanggil secara patut dan Tergugat juga sama sekali tidak mewakilkan kepada kuasanya, maka
berdasarkan Pasal 125 Herzien Indlandsch Reglement (HIR) (S.1941-44),hakim dapat
menjatuhkan putusan verstek. Bunyi selengkapnya pasal tersebut adalah:
“Jika tergugat tidak datang pada hari perkara itu akan diperiksa, atau tidak pula
menyuruh orang lain menghadap mewakilinya, meskipun ia dipanggil dengan
patut, maka gugatan itu diterima dengan tak hadir (verstek), kecuali kalau nyata
kepada pengadilan negeri, bahwa pendakwaan itu melawan hak atau tidak
beralasan.”
 
M. Yahya Harahap dalam bukunya yang berjudul Hukum Acara Perdata mengatakan bahwa
maksud utama sistem verstek dalam hukum acara adalah untuk mendorong para pihak menaati tata
tertib beracara sehingga proses pemeriksaan penyelesaian perkara terhindar dari anarki atau
kesewenangan (hal. 383). Penjelasan lebih lanjut mengenai putusan ini dapat Anda simak dalam
artikel Putusan Verstek dan Ketidakhadiran Kuasa Hukum.
 
Dalam praktiknya, putusan verstek itu sendiri tidak hanya dijatuhkan kepada Tergugat saja, tetapi juga
kepada Turut Tergugat. Contohnya dapat kita temukan dalam Putusan PN Yogyakarta No.
123/Pdt.G/2011/PN.Yk. Di dalam putusan tersebut dikatakan bahwa oleh karena pihak Tergugat dan
Turut Tergugat tidakhadir, maka berdasarkan ketentuan Pasal 130 HIR dan Pasal 7 ayat 1 Perma
No. 01 Tahun 2008, perdamaian melalui prosedur mediasi tidak dapat dilangsungkan, sehingga
Majelis melanjutkan perkara ini dengan tanpa hadirnya pihak Tergugat dan Turut Tergugat (verstek).
 
Jadi, konsekuensi yang dapat diperoleh pihak kantor Anda sebagai Turut Tergugat adalah menerima
putusan verstek yang dijatuhkan hakim. M. Yahya Harahap mengatakan bahwa penjatuhan putusan
atas perkara yang disengketakan memberi kepada hakim menjatuhkan putusan tanpa hadirnya
penggugat atau tergugat. Berdasarkan Pasal 125 HIR, hakim diberi wewenang menjatuhkan putusan
di luar hadir atau tanpa hadirnya tergugat, dengan syarat (hal. 381-382):
a.    apabila tergugat tidak datang menghadiri sidang pemeriksaan yang ditentukan tanpa alasan
yang sah (default without reason)
b.    dalam hal seperti itu, hakim menjatuhkan putusan verstek yang berisi diktum:
1)    mengabulkan gugatan seluruhnya atau sebagian
2)    menyatakan gugatan tidak dapat diterima apabila gugatan tidak mempunyai dasar
hukum
 
Lebih lanjut, M. Yahya Harahap mengatakan bahwa bentuk putusan verstek yang dijatuhkan
pengadilan terdiri dari (hal. 397-399):
a.    mengabulkan gugatan penggugat
b.    menyatakan gugatan tidak dapat diterima
c.    menolak gugatan penggugat
 
Jadi, kemungkinan konsekuensi yang dapat diterima pihak kantor Anda sebagai Turut Tergugat
apabila tidak pernah hadir di persidangan adalah dikabulkannya gugatan yang diajukan oleh
penggugat melalui putusan verstek yang dijatuhi oleh hakim di persidangan. Sebagai contoh, untuk
gugatan PMH, isi gugatan bisa saja berupa kewajiban ganti rugi sehingga mewajibkan Tergugat dan
Turut Tergugat membayar sejumlah ganti rugi yang diminta Penggugat. Hal ini dimungkinkan karena
dari pihak kantor Anda tidak hadir sidang dan tidak memberikan pembelaannya sehingga
melemahkan posisi Anda.
 
2.    Menjawab pertanyaan Anda kedua mengenai apa peran Anda sudah terjawab di poin pertama yang
kami jelaskan di atas. Sebelumnya kami sudah menjelaskan bahwa Turut Tergugat wajib tunduk dan
taat pada putusan hakim. Hal ini juga berlaku untuk putusan verstek. Apabila dalam putusan verstek
tersebut juga disebutkan bahwa ada sejumlah hal yang perlu dilaksanakan oleh Turut Tergugat, maka
kantor Anda juga harus melaksanakan isi putusan itu. Pada intinya adalah kantor Anda sebagai Turut
Tergugat diimbau untuk terus menjalani proses persidangan dan menaati putusan hakim.
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar hukum:
1.    Herzien Indlandsch Reglement (HIR)(S.1941-44)
2.    Peraturan Mahkamah Agung No. 01 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan
Turut Tergugat Dalam Pusaran Sengekta Perdata
Written by Sulfadli on 27 March 2017. Posted in Popular Articles
TURUT TERGUGAT
DALAM PUSARAN SENGKETAPERDATA AGAMA
Oleh: H. A. Zahri, S.H, M. HI
(Wakil Ketua Pengadilan Agama Polewali)
A.      Pengertian Turut Tergugat
Istilah Turut Tergugat tidak kita jumpai dalam peraturan perundang-undangan, namun muncul dalam
praktek pengadilan. Kebutuhan hukum meniscayakan subyek hukum Turut Tergugat, dia tidak memenuhi kriteria
legal standing sebagai Penggugat maupun Tergugat dalam suatu perkara perdata, namun kehadirannya
dibutuhkan, bahkan tanpa dia terkadang perkara dinyatakan kurang pihak dan berakhir NO (niet ontvenkelijke
verklaard).
Meskipun eksistensi Turut Tergugat dalam peraturan perundang-undangan belum diatur, namun telah
banyak pakar/ahli hukum yang membahasnya dan banyak pula yurisprudensi Mahkamah Agung yang bisa kita
jadikan pijakan, antara lain pendapat Mahkamah Agung dalam Putusan No. 1642 K/Pdt/2005 yang menggariskan
kaidah hukum, “Dimasukkan seseorang sebagai pihak yang digugat atau minimal didudukkan sebagai Turut
Tergugat dikarenakan adanya keharusan  para pihak dalam gugatan harus lengkap  sehingga tanpa menggugat
yang lain-lain itu maka subjek gugatan menjadi tidak lengkap.”
Pakar hukum yang mengupas perihal Turut Tergugat diantaranya adalah Retnowulan Sutantio dan
Iskandar Oerip Kartawinata dalam bukunya “Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek” (hlm. 2). Keduanya
menggariskan, “Dalam praktek perkataan Turut Tergugat dipergunakan bagi orang-orang yang tidak menguasai
barang sengketa atau tidak berkewajiban untuk melakukan sesuatu, hanya demi lengkapnya suatu gugatan
harus diikutsertakan. Mereka dalam petitum  hanya sekedar dimohonkan agar tunduk dan taat terhadap putusan
Hakim”.
Dari rumusan tersebut di atas diperoleh tiga kriteria bahwa Turut Tergugat adalah orang/pihak yang:
1. Tidak menguasai objek sengketa;
2. Tidak berkewajiban melakukan sesuatu;
3. Diikutsertakan untuk melengkapi gugatan;
Kendatipun demikian, dalam praktek pengadilan perdata modern yang kasusnya semakin kompleks
memungkinkan munculnya Turut Tergugat di luar tiga kriteria tersebut. Hal-hal yang belum diatur dalam aturan
formal bahkan belum terpikirkan saat ini tidak mustahil akan muncul di kemudian hari, olehnya menjadi
keharusan bagi kita untuk senantiasa mengikuti dengan seksama perkembangan hukum.
B.       Kedudukan Turut Tergugat
Berangkat dari kriteria Turut Tergugat di atas ternyata melahirkan kedudukan Turut Tergugat
yang tidak tunggal. Ada Turut Tergugat yang benar-benar pasif, baik dalam proses persidangan maupun
setelah putusan dijatuhkan dan memiliki kekuatan hukum tetap. Dalam proses persidangan meskipun
mereka tidak datang menghadap tidak mempengaruhi jalannya persidangan dan setelah putusan
dijatuhkan juga tidak terkait langsung dalam proses pelaksanaanya. Akan tetapi ada Turut Tergugat yang
harus mengambil peran dalam persidangan dan terlibat dalam proses selanjutnya sampai eksekusi.
Dalam perkara kewarisan misalnya, kedua kemungkinan itu bisa terjadi, yakni ada Turut
Tergugat pasif dan Turut Tergugat aktif, baik berdiri sendiri atau bersama-sama dalam suatu perkara.
Seorang Notaris/PPATdapat didudukkan sebagai Turut Tergugat dalam suatu gugatan waris terhadap
objek sengketa yang telah ia buat akta peralihan haknya. Ia tidak punya kepentingan hukum langsung
terhadap perkara yang diajukan, hanya berkedudukan sebagai pelengkap saja. Notaris/PPAT tersebut
dijadikan Turut Tergugat agar gugatan menjadi lengkap, sehingga ia dapat dimohonkan agar tunduk dan
taat terhadap putusan. Maksimal pengadilan menyatakan bahwa akta yang ia buat tidak mempunyai
kekuata hukum mengikat, ya semacam pemberitahuan saja karena pada hakikatnya yang berkepentingan
secara langsung adalah Penggugat dan Tergugat. Inilah gambaran Turut Tergugat pasif.
Hal berbeda terjadi pada Turut Tergugat yang berasal dari ahli waris dalam perkara yang
diajukan. Dia ahli waris yang tidak ikut menggugat dan tidak menguasai objek sengketa, tapi dia
berkepentingan terhadap objek sengketa karena ia termasuk ahli waris yang mendapat porsi. Dalam hal
Turut Tergugat seperti ini, ia bisa aktif terlibat mediasi, memberikan jawaban, mengajukan bukti dan
sebagainya dan jika perkara sudah putus ia dapat terlibat dalam proses berikutnya.
Mengambil makna subtansial Pasal 132 [a] HIR, Turut Tergugat aktif bahkan dapat mengajukan gugatan
balik (rekonvensi) apabila ternyata Turut Tergugat merasa bahwa dengan dijadikannya ia sebagai Turut Tergugat
telah merugikan kepentingannya. Hal ini karena pada prinsipnya setiap orang dapat mengajukan gugatan apabila
kepentingannya dirugikan. Gugatan balik tersebut harus diajukan kepada Penggugat dengan disertai atau
bersama jawaban Tergugat (vide Pasal 132b HIR), tidak dibenarkan apabila Turut Tergugat melakukan gugatan
balik kepada Tergugat lainnya.
Dari contoh di atas dapat disimpulkan bahwa kedudukan Turut Tergugat ada dua macam, yaitu
Turut Tergugat pasif dan Turut Tergugat aktif. Contoh-contoh berikutnya akan kita temukan dalam
pemeriksaan kasus-kasus yang lain.
C.      Tehnik Menentukan Urutan para Tergugat dan Turut Tergugat
Para pihak sendiri dan atau kuasa hukumnya yang harus seksama dan cermat menentukan kualifikasi
pihak-pihak dalam suatu perkara. Siapa yang seharusnya menurut hukum duduk sebagai Penggugat, Tergugat dan
Turut Tergugat. Bila mereka tidak cermat menentukan para pihak dalam sebuah gugatan, maka gugatan akan
kandas di tengah jalan.
Dalam hal ada lebih dari satu Tergugat, maka untuk menentukan siapa Tergugat I, Tergugat II dan
seterusnya harus melihat pada derajat perbuatan dan pertanggungjawaban masing-masing Tergugat. Tapi,
derajat perbuatan dan pertanggungjawaban di antara para Tergugat tidak terlalu jauh perbedaannya. Adapun
yang berbeda atau bahkan krusial adalah ketika menentukan antara (para) Tergugat dan Turut Tergugat.
Diperlukan kehati-hatian, terutama Hakim dalam memeriksa perkara yang ada subjek hukum Turut
Tergugat. Kita takar keberadaan Turut Tergugat dengan tiga kriteria tersebut di atas. Takaran pertama untuk
membedakan Tergugat dan Turut Tergugat tidaklah rumit. Jika pihak itu menguasai objek sengketa, apakah
dengan alas hak atau tidak, secara melawan hukum atau tidak sudah barang tentu posisinya adalah Tergugat.
Adapun terhadap takaran kedua, tidak berkewajiban melakukan sesuatu haruslah dilihat dengan jeli. Dalam suatu
kasus yang diajukan, apakah benar Turut Tergugat tidak melakukan sesuatu (perbuatan), baik wanprestasi (ingkar
janji) atau perbuatan melawan hukum yang merugikan Penggugat. Misalnya, dalam kasus perbuatan melawan
hukum (“PMH”), Tergugat melakukan suatu perbuatan sehingga digugat PMH, namun Turut Tergugat ini hanyalah
pihak terkait yang tidak melakukan suatu perbuatan. Tapi, pihak tersebut oleh Penggugat turut digugat sebagai
Turut Tergugat sehingga pada akhirnya Turut Tergugat tunduk pada isi putusan pengadilan.
Sekali lagi, kualifikasi Tergugat dan Turut Tergugat ini tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Namun, hal tersebut telah menjadi suatu praktik yang diterapkan dari kasus per kasus.
D.  Turut Tergugat dalam Pusaran Sengketa Perdata Agama
Turut Tergugat memiliki karateristik yang unik sesuai kasusnya masing-masing dan terkadang
memunculkan perdebatan (debatable) terhadap kehadiran dan perannya. Sebagai bahan diskusi penulis
kemukakan contoh-contoh sebagai berikut:
1.    Turut Tergugat dalam Isbat Nikah
Buku II tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan pada bab II huruf b
angka 2, halaman 144 merumuskan: “Jika dalam proses pemeriksaan permohonan isbat nikah dalam
angka (2) dan (3) tersebut di atas diketahui bahwa suaminya masih terikat dalam perkawinan yang
sah dengan perempuan lain, maka istri terdahulu tersebut harus dijadikan pihak dalam perkara. Jika
pemohon tidak mau merubah permohonannya dengan memasukkan istri terdahulu sebagai pihak,
permohonan tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima”.
Rumusan tersebut menimbulkan pertanyaan, kapan keterikatan itu berlaku, apakah pada waktu
pernikahan yang sekarang diajukan isbat atau ketika mengajukan permohonan/gugatan?
Respon terhadap persoalan di atas melahirkan dua pendapat berbeda yang agaknya sama-sama kuat.
Pendapat pertama, keterikatan suami dengan istri sah yang terdahulu itu ketika peristiwa akad itu terjadi,
bukan ketika permohonan isbat diajukan ke pengadilan. Meskipun ketika perkara isbat diajukan telah terjadi
perceraian secara legal formal melalui pengadilan, istri yang telah dicerai itu tetap harus didudukkan sebagai
pihak. Agurmentasi yang disodorkan pendapat pertama ini antara lain:
a. Bahwa akad nikah yang ditindaklanjuti hubungan sebadan memiliki dampak yang luas terhadap hak dan
kewajiban masing-masing. Dalam hal kebendaan, lahir hukum harta bersama dan hukum kewarisan dan
dalam kaitan dengan non kebendaan hadir hubungan nasab, perwalian dan lain sebagainnya.
b. Meskipun istri terdahulu telah dicerai, tidak adil kiranya jika istri yang lebih dulu ada diabaikan begita saja,
padahal dengan isbat nikahnya suami dengan istri berikutnya terkait erat dengan harta bersama yang
boleh jadi belum dituntaskan ketika suami menceraiakan istri pertama yang ketika itu sudah ada
hubungan akad syar’i dengan istri kedua.
c. Demikian pula masalah warisan, jika dengan istri pertama memiliki keturunan (anak). Ketika suami suatu
ketika meninggal, tentu ahli warisnya bukan hanya istri kedua dengan keturunannya, tapi juga anak-anak
dari istri pertama.
d. Untuk memperjelas nasab dan perwalian pihak istri pertama wajar ditarik sebagai pihak untuk digali
keterangannya.
Pendapat kedua menyatakan bahwa yang dimaksud rumusan Buku II “memasukkan istri terdahulu
sebagai pihak” adalah jika istri terdahulu belum dicerai ketika isbat diajukan. Maka disebut “istri terdahulu”,
bukan mantan istri, yakni sebelum dicerai melalui proses pengadilan. Dalil-dalil yang mendasari alasan ini
antara lain:
a. Tidak ada hubungan hukum yang bermuara pada hak dan kewajiban lagi antara mantan istri dan mantan
suaminya.
b. Jika ada akibat hukum karena perkawinan yang telah dilalui, banyak tersedia penyelesaian hukum sesuai
dengan mekanismenya masing-masing di luar isbat nikah.
c. Isbat nikah dalam rangka perceraian, penyusun Buku II tidak menggariskan istri terdahulu ditarik sebagai
pihak, apalagi yang sudah dicerai.
Banyak praktisi hukum yang cendrung pada pendapat pertama dan mendudukkan istri terdahulu
sebagai pihak, tanpa mempersoalkan apakah istri terdahulu sudah dicerai atau belum. Persoalan muncul saat
memposisikan istri terdahulu atau mantan istri, apakah sebagai Tergugat atau Turut Tergugat. Kalau sebagai
Penggugat kemungkinannya kecil,. karena lazimnya istri terdahulu tidak mau dimadu sehingga perkawinan
suaminya dengan wanita baru dilalui dengan kawin sirri.
Dalam kasus isbat poligami atau isbat terkait dengan istri terdahulu/mantan istri, formasi pihak dalam
kasus ada tiga kemungkinan. Pertama, jika kompak suami dengan istri sirrinya sebagai Penggugat I dan
Penggugat II melawan istri terdahulu sebagai Tergugat. Kedua, Suami sebagai Penggugat, istri sirri Tergugat I
dan istri terdahulu Tergugat II dan formasi ketiga, Suami sebagai Pengugat, istri sirri Tergugat dan istri
terdahulu sebagai Turut Tergugat.
Argumen diposisikan istri terdahulu sebagai Turut Tergugat karena ia tidak berkewajiban melakukan
tindakan hukum, hubungan hukum perkawinan dengan suaminya sudah putus dan juga tidak menguasai objek
sengketa/harta bersama. Meskipun bukan sengketa harta bersama, tapi kita harus ingat bahwa isbat poligami
mengharuskan kumulasi dengan penetapan harta bersama. Boleh jadi bagian harta bersama istri terdahulu
lebih besar daripada istri yang kemudian, disamping karena dia mendapatkan separo bagian ketika suaminya
belum ta’dud/berbilang istri dan mendapat bagian pula setelah suaminya nikah lagi dan ia belum dicerai.
Sekiranya ia tidak ditarik sebagai Turut Tergugat akan terjadi kedloliman karena tidak bisa mempertahankan
haknya. Ditarik sebagai Tergugat tidak memenuhi persyaratan karena ia tidak berkewajiban melakukan
perbuatan dan tidak menguasai barang.
2.    Turut Tergugat dalam Sengketa Harta Bersama
Dalam sengketa harta bersama terbuka juga kemungkinan adanya Turut Tergugat. Turut Tergugat dalam
hal ini biasanya instansi terkait, sebut saja perbankan, PPAT, Notaris, Badan Pertanahan Nasional dsb.
Pihak perbankan sering didudukkan sebagai Turut Tergugat dikarenakan harta bersama kedua belah pihak
disimpan di bank, baik berupa tabungan, deposito atau giro. Atau kerena kedua belah pihak punya kridit atau
pembiayaan di bank. Tidak ditariknya bank sebagai Tergugat karena sesungguhnya bank tidak menguasai objek
sengketa, hanya menerima titipan sementara atau karena kedua pihak mempunyai tanggungan bersama di
bank. Walaupun uang di bank milik nasabah tapi nasabah tidak boleh semaunya mengambil uangnya, tentu
ada aturan khusus sesuai kesepakatan yang di tanda tangani..
Sebagai Turut Tergugat bank harus tunduk putusan, sekiranya diputus oleh Pengadilan pihak suami atau
istri yang berhak atas uang tabungan misalnya, maka bank harus mematuhinya. Demikian pula seandainya
Pengadilan memutus salah satu pihak yang berkewajiban membayar kridit, maka pihak bank harus menagih
kepada pihak yang telah ditentukan oleh Pengadilan.
Turut Tergugat berikutnya dalam sengketa harta bersama biasanya PPAT, Notaris atau Kantor
Pertanahan. PPAT dan atau Notaris ditarik sebagai Turut Tergugat terkait dengan akta peralihan hak yang telah
mereka buat terhadap objek sengketa. Hal yang sama berlaku bagi Kantor Pertanahan terhadap objek
sengketa yang telah diterbitkan sertipikat tanahnya. Mereka dituntut tunduk pada putusan Pengadilan
manakala akta/sertipikat yang mereka keluarkan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum atau tidak
mengikat.
3.    Turut Tergugat dalam Sengketa Kewarisan
Dalam sengketa kewarisan instansi terkait sebagaimana tersebut di atas juga bisa ditarik sebagai Turut
Tergugat. Disamping itu, tentu ahli waris yang tidak melakukan suatu perbuatan hukum dan tidak menguasai
objek sengketa. Ahli waris yang didudukkan sebagai Turut Tergugat dalam sengketa waris ada dua jenis.
Pertama, pihak yang enggan atau tidak tega menggugat keluarganya sendiri, boleh jadi yang ia gugat adalah
ibu/ayah kandungnya, sauadara kandung dsb, namun sebenarnya ia berkeinginan atau setidaknya senang bila
mendapat bagian hak waris lewat gugatan yang diajukan ahli waris lain. Ahli waris demikian dapat disebut
Penggugat pasif, ia berkeinginan mendapat porsi warisan tapi tidak mau merusak hubungan kekerabatan.
Jenis kedua adalah Turut Tergugat yang dalam proses persidangan aktif membela kepentingan salah satu
pihak, Ada kemungkinan dia membela kepentingan Penggugat atau Tergugat. Jangan heran dalam sengketa
waris yang Tergugatnya lebih dari satu terkadang ada Tergugat yang membela Penggugat, apalagi Turut
Tergugat, logis saja jika ia membela salah satu pihak. Hal pihak memihak dalam kasus waris sering kita jumpai
dalam keluarga hasil perkawinan poligami atau perkawinan berseri. Keluarga sekandung biasanya ikatan
emosionalnya lebih kental daripada keluarga seayah atau seibu. Bila berhadapan keluarga sekandung dengan
keluarga seayah/seibu lazimnya Turut Tergugat membela kepentingan keluarga yang sekandung dan ia akan
bertindak aktif membela kepentingan mereka.
4.    Turut Tergugat dalam Sengketa Perbankan Syariah
Pada umumnya sengketa perbankan yang terkait dengan usaha bank disebakan oleh adanya wanprestasi
(ingkar janji) atau perbuatan melawan hukum. Menurut pasal 1238 KUH Perdata yang dimaksud dengan
wanprestasi adalah adanya pelanggaran terhadap perjanjian, sedangkan menurut pasal 1365 KUH Perdata
perbuatan melawan hukum adalah tindakan dari pihak yang melakukan pelanggaran terhadap suatu
ketentuan hukum yang berakibat merugikan orang.
Jika ada pihak terkait dalam sengketa perbankan, namun tidak menguasai objek sengketa dan tidak
berkewajiban melakukan sesuatu perbuatan sehingga dia tidak berpotensi wanprestasi atau perbuatan
melawan hukum, maka dalam gugatan posisi yang tepat untuknya adalah sebagai Turut Tergugat.
Dengan batasan tersebut diatas maka Notaris selaku pihak yang membuat akta perjanjian pembiayaan,
apakah murabahan, mudhorobah, ijarah atau lainnya dapat ditarik sebagai Turut Tergugat. Ada pula
perusahaan semacam asuransi takaful yang menjamin pembiayaan nasabah apabila menghadapi resiko karena
bencana alam atau kematian/jiwa dapat dijadikan Turut Tergugat terhadap tertanggung yang wanpretasi atau
melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan lembaga keuangan yang memberikan kepercayaan
padanya.
Kehadiran Turut Tergugat secara nyata akan kita temukan dalam proses di persidangan Pengadilan bukan
dalam teori beracara. Semakin banyak kita tangani perkara yang beragam jenis maupun karakternya akan
menambah khazanah perbendaharaan ilmu hukum kita. Kiranya dapat ditemukan contoh-contoh yang lain
dalam berbagai kasus sengketa perdata di Pengadilan Agama yang semakin hari secara kualitas maupun
kualitas semakin meningkat. Semoga bermanfaat!
 
Daftar Pustaka
 
1. Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oerip Kartawinata. 1995. Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan
Praktek. Bandung: Mandar Maju.
 
2. Prof. Dr. Wiryono Prodjodikoro, SH., Azas-Azas Hukum Perjanjian, Mandar Maju, Bandung, 2000.
 
3. Dr. Muhammad Firdaus, dkk, Konsep dan Implementasi Bank Syri”ah, Renaisan, Jakarta, 2005.
 
4. Prof. R. Subekti, SH dan R. Tjitrosudibio, SH, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, PT. Pradnya Paramita,
Jakarta.
 
5.      Yahya Harahap,. 2009. Hukum Acara Perdata. Jakarta: Sinar Grafika;
6. Undang-Undang Nomor 03 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.07 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama.
7. Inpres No.01 Tahun 1991 tentang Pemberlakuan Kompilasi Hukum Islam;
8. Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor: KMA/032/SK/IV/2006 tentang Pemberlakuan Buku II
Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan;
Pengajuan Ganti Kerugian oleh Turut Tergugat
Pertanyaan
Apakah mungkin jika Turut Tergugat dalam suatu perkara menggugat ganti rugi Tergugat atas kerugian
yang dideritanya akibat kalahnya Tergugat dalam suatu Perkara? Jika mungkin, apakah Turut Tergugat
dapat langsung mengajukan gugatan atau ia harus menunggu proses perkara selesai (saat ini sedang
proses Kasasi di MA)?
Ulasan Lengkap
Intisari:
 
 
Mengenai apakah mungkin Turut Tergugat dalam suatu perkara menggugat ganti rugi terhadap
Tergugat atas kerugian yang dideritanya (akibat dikalahkannya Tergugat dalam suatu perkara),
maka perlu dilihat terlebih dahulu substansi kerugiannya. Sebab pada umumnya Turut Tergugat
biasanya tidak turut menanggung putusan yang bersifat penghukuman (condemnatoir),
melainkan hanya tunduk dan patuh atas putusan pengadilan tersebut, yang sesungguhnya hanya
berakibat langsung bagi pihak Tergugat.
 
Selanjutnya, mengenai apakah Turut Tergugat dapat langsung mengajukan gugatan atau ia harus
menunggu proses perkara selesai, sebaiknya Turut Tergugat mengikuti proses perkara utamanya
terlebih dahulu sampai perkara tersebut berkekuatan hukum tetap. Kemudian setelah itu, ia dapat
mengajukan gugatan ganti kerugiannya terhadap Tergugat. Hal ini penting agar Tergugat tidak
menggunakan tangkisan (eksepsi) litis pendentis, karena perkara utamanya belum selesai dan
untuk mencegah putusan yang saling bertentangan, sebagai alasan untuk mengajukan peninjauan
kembali (civil request).
 
Penjelasan lebih lanjut, silakan baca ulasan di bawah ini.
 
 
 
 
Ulasan:
 
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
 
Istilah Turut Tergugat tidak dapat kita temukan dalam peraturan hukum acara perdata Indonesia
peninggalan kolonial Belanda, yang tersebar di Herzien Inlandsch Reglement (HIR)/Reglement voor de
Buitengewesten (RBG) dan Reglement op de Rechtvordering (“RV”), yang sampai saat ini masih berlaku
sebagai “hukum positif”.
 
Sebaliknya istilah Turut Tergugat, justru dapat ditemukan dalam kebiasaan praktik hukum acara perdata,
sebagaimana dimuat dalam Yurisprudensi Tetap Mahkamah Agung No: 201 K/SIP/1974 tertanggal 28
Januari 1986 yang dikumpulkan oleh Chidir Ali, S.H. dalam bukunya Yurisprudensi Hukum Acara
Perdata, terbitan CV Nur Cahaya, Yogyakarta, yang mempunyai kaidah hukum:
 
“Dalam hukum acara perdata tidak dikenal pengertian turut penggugat, yang dikenal adalah
sebutan turut tergugat, yaitu orang-orang, bukan penggugat dan bukan pula tergugat, akan tetapi
demi lengkapnya pihak-pihak harus disertakan sekedar untuk tunduk dan taat terhadap putusan
pengadilan.”
 
Menjawab pokok pertanyaan Anda, yang menanyakan apakah mungkin jika Turut Tergugat dalam suatu
perkara menggugat ganti rugi terhadap Tergugat atas kerugian yang dideritanya (akibat dikalahkannya
Tergugat dalam suatu perkara), maka perlu dilihat terlebih dahulu substansi kerugiannya. Sebab pada
umumnya Turut Tergugat biasanya tidak turut menanggung putusan yang bersifat penghukuman
(condemnatoir), melainkan hanya tunduk dan patuh atas putusan pengadilan tersebut, yang sesungguhnya
hanya berakibat langsung bagi pihak Tergugat.
 
Selain itu, Yurisprudensi Tetap Mahkamah Agung sudah menggariskan bahwa suatu tuntutan ganti rugi
haruslah diperinci untuk menghindari gugatan tidak dapat diterima (niet on vankelijkverklaard).
 
Selanjutnya, menjawab pertanyaan Anda yang menanyakan apakah Turut Tergugat dapat langsung
mengajukan gugatan atau ia harus menunggu proses perkara selesai, atas pertanyaan tersebut saya
berpendapat bahwa sebaiknya Turut Tergugat mengikuti proses perkara utamanya terlebih dahulu sampai
perkara tersebut berkekuatan hukum tetap. Kemudian setelah itu, ia dapat mengajukan gugatan ganti
kerugiannya terhadap Tergugat. Hal ini penting agar Tergugat tidak menggunakan tangkisan (eksepsi)
litis pendentis, karena perkara utamanya belum selesai dan untuk mencegah putusan yang saling
bertentangan, sebagai alasan untuk mengajukan peninjauan kembali (civil request).
 
Dalam kesempatan ini, saya juga hendak menyampaikan bahwa hukum acara perdata yang tersebar dalam
beberapa peraturan peninggalan Belanda sudah cukup usang untuk digunakan. Meskipun Mahkamah
Agung melalui Peraturan Mahkamah Agung (Perma) dan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA)
mencoba untuk menutupi kekosongan hukum yang ada, nampaknya upaya tersebut belum cukup
mengakomodir kepentingan pencari keadilan dalam perkara perdata untuk memperoleh apa yang menjadi
haknya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
 
Sebagai contoh kecil yang kiranya masih relevan dengan pembahasan topik ini, yaitu “eksistensi“ Turut
Tergugat, yang menurut hemat saya tidak perlu ada istilah tersebut, cukup istilah Penggugat dan Tergugat
saja. Karena Penggugatlah yang berhak menentukan pihak-pihak mana yang ia inginkan untuk dihukum
pengadilan membayar ganti kerugian (Vide: Putusan Mahkamah Agung No: 305 K SIP/1971 Tertanggal
16 Juni 1971).
 
Selain itu, dalam praktik, istilah Turut Tergugat juga seringkali dikaitkan dengan eksepsi dari Tergugat
mengenai gugatan Penggugat kurang pihak (exception plurium litis consortium), yang menurut hemat
saya juga sudah kurang relevan dengan asas peradilan cepat, sederhana biaya ringan. Karena eksepsi
gugatan kurang pihak tersebut akan diputus pada putusan akhir (bukan dalam putusan sela). Padahal Pasal
70 RV, yang pada waktu itu hanya berlaku untuk Golongan Eropa, sudah memberikan solusi akan hal ini
dengan konsep penanggungan (pemanggilan) pihak ketiga untuk meminimalisir berlarut-larutnya
pemeriksaan perkara perdata, dengan tujuan agar kepastian hukum dapat dicapai dalam waktu yang
sesingkat-singkatnya, justice delayed is justice denied.
 
Saya berharap semoga pembaharuan hukum acara perdata Indonesia dapat diprioritaskan sebagaimana
halnya pembaharuan hukum acara pidana, sehingga dapat memperbaiki kualitas proses peradilan
(perdata) dan menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat pada pengadilan (perdata), untuk
memperoleh apa yang menjadi haknya dengan menggunakan upaya hukum yang benar. Bukan dengan
memidanakan wanprestasi atau dengan menggunakan cara-cara kekerasan (vandalisme) untuk
memperoleh hak-hak keperdataannya.
 
Demikian jawaban saya, semoga dapat memberikan pencerahan untuk Anda.

Anda mungkin juga menyukai