Anda di halaman 1dari 5

Dampak dari eksekusi mati terhadap peredaran narkoba

1. Pengedar dan pemakai narkoba di Indonesia masih sangat tinggi. Mengalami kenaikan setiap
tahunnya. Badan Narkotika Nasional (bNN) menyatakan sampai November tahun 2015
mencapai 5,9 juta orang. jumlah ini meningkat tajam dari bulan juni 2015 yang hanya 4.2
juta. sedangkan pembelian atau pembelanjaan narkoba lebih dari Rp. 250 triliun setahun,
tentunya angka tersebut sangat menggiurkan para pengedar maupun produsen narkoba di
dalam negeri maupun di luar negeri
2. Posisi Indonesia yang dikenal sebagai produsen extassy nomor 1 di dunia dan sebagai
pengedar ganja terbesar di dunia. golongan pemakai maupun pengedar juga terus
berkembang mulai dari para pengangguran, ibu rumah tangga, anak-anak dan para penegak
hukum (TNI, PoLRI, dan PNs bahkan para petugas LaPas banyak yang terlibat sebagaimana
diatur dalam Pasal 111 s/d Pasal 116 UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika).
3. Ada perdebatan penerapan hukuman mati bagi pengedar narkoba di Indonesia. Perdebatan
tersebut antara lain dapat kita simak dalam kasus pengujian pasal tentang hukuman mati
dalam UU Narkotika yang lama yaitu UU No. 22 Tahun 1997 di Mahkamah Konstitusi (“MK”)
pada 2007. MK dalam putusan perkara tersebut akhirnya mempertahankan hukuman mati
karena kejahatan narkotika termasuk “kejahatan luar biasa serius terhadap kemanusiaan
(extra ordinary) sehingga penegakannya butuh perlakuan khusus, efektif dan maksimal”.
Salah satu perlakuan khusus itu, menurut MK, antara lain dengan cara menerapkan
hukuman berat yakni pidana mati.
4. Berbeda dengan tren yang menunjukkan bahwa lebih dari setengah negara dunia telah
menghapuskan pidana mati5 serta rekomendasi Pbb tahun 2007 yang menyerukan
moratorium eksekusi pidana mati, namun saat ini Indonesia termasuk negara yang masih
mempertahankan pidana mati dalam sistem hukum positif.
5. Eksekusi pidana mati di Indonesia selalu menjadi sorotan publik, baik dari dalam negeri
maupun dunia internasional. ditambah lagi, Presiden joko widodo menyatakan bahwa grasi
yang diajukan terpidana mati pengedar narkoba akan ditolak karena Indonesia tengah
menghadapi darurat narkoba.11 Hal ini tentu saja menimbulkan banyak perdebatan ada
yang pro maupun kontra.

Namun hukuman mati ini dianggap kurang efektif dijalankan oleh negara Indonesia, karena:
a. Banyak pakar ahli mengatakan bahwa hukuman mati ini hanya membuat para terpidana
hukuman mati berusaha kabur dari penjara untuk terbebas dari hukuman tersebut.
Menimbulkan teradinya pelanggaran berikutnya lagi bagi para terpidana mati.
b. Penangkapan pelaku hanya akan menambah daftar panjang penghuni lapas jika sistem
rehabilitasi belum menjadi program prioritas pemerintah dalam menangani perkara
penyalahgunaan narkoba (ingat kasus kebakaran lapas penghuni terpidana narkotika yang
merenggut nyawa 41 orang di minggu lalu).
c. Pidana mati di Indonesia masih banyak menuai kontroversi, dan bahkan cenderung
menimbulkan perdebatan antara pihak yang pro dan kontra, khususnya mereka para aktivis
hak asasi manusia.
d. Walau pidana mati diberlakukan di Indonesia, dari hasil survei yang dilakukan para ahli,
menyatakan bahwa pidana mati tidak efisien dalam mencapai tujuan efek jera karena kasus
narkoba justru bertambah meskipun banyak terpidana yang dijatuhi hukuman mati.
e. Pertimbangan lain diantaranya: pidana mati melanggar hak asasi manusia, manusia bukanlah
tuhan yang menjadi penentu hidup atau mati seseorang, pidana mati tidak mendidik
masyarakat karena mengajarkan tindakan kejam dan bersifat balas dendam, serta putusan
hukuman dan kekeliruan tidak dapat dikoreksi pasca terpidana meninggal (apalagi dalam
kondisi pengadilan Indonesia yang belum terbukti bersih, independen, dan profesional)
f. Direktur eksekutif lembaga pemantau HaM, Poengky Indarti mengatakan bahwa eksekusi
hukuman mati bertentangan tidak hanya dengan HaM, tapi juga sistem hukum modern.
Karena, dalam sistem hukum modern, penghukuman harus bersifat koreksional untuk
memperbaiki dan bukan untuk balas dendam. bahkan, amnesty International menilai
hukuman mati melanggar hak untuk hidup seperti yang diakui dalam deklarasi Universal Hak
asasi Manusia dan merupakan hukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan.
g. Selain itu, kriminolog dan ahli penologi mengatakan dengan bukti empiris bahwa hukuman
mati tidak menibulkan efek jera dan negara-negara yang masih menggunakan hukuman mati
tidak lebih berhasil dalam mencegah pembunuhan daripada negara lain yang telah
menghilangkan hukuman mati
h. Hasil penelitian evaluasi efektivitas pidana mati, termasuk untuk pengedar dan produsen
narkoba, yang dilakukan oleh kementerian atau lembaga berwenang di Indonesia tidak
efektif. Karena hanya menimbulkan resiko mengetahui tanpa efek jera. Hal ini sejalan
dengan peningkatan kasus kejahatan narkoba dari tahun ke tahun yang dipublikasi baik oleh
badan Narkotika Nasional (bNN) maupun badan Pusat statistik (bPs). dengan melihat (data
dari jumlah kejadian kejahatan terkait narkotika di Indonesia pada tahun 2010-2014 yang
berfluktuasi dengan kecenderungan meningkat)

Note: Efektivitas penghukuman dapat diukur dengan adanya efek jera signifikan menghindari
keberulangan tindak pidana oleh pelaku dan efek mencegah bagi calon pelaku kejahatan. termasuk
di dalamnya persepsi terhadap resiko terhadap dirinya akibat terdeteksinya pelanggaran. jika
persepsi resiko hanya pada kadar mengetahui bahwa ada resiko, maka dampak jera dinilai lemah.
Namun, jika persepsi terhadap resiko bersifat nyata yakni jika melakukan pelanggaran akan
diketahui dan dikenakan hukuman, maka dampak penjeraan akan kuat. dengan demikian efektivitas
pilihan penghukuman tertentu kembali kepada penegakan hukum yang mampu mendeteksi
kejahatan dan menghukum pelaku.

Alternatif hukuman bagi pelaku penyalahgunaan narkoba selain hukuman mati

Perkembangan narkotika modern dimulai tahun 1805 ketika Friedrich Willhelm, seorang dokter
berkebangsaan Jerman, menemukan senyawa opium amoniak yang kemudian diberi nama morfin.
Morfin diperkenalkan sebagai pengganti opium yang merupakan candu mentah. Peredaran
narkotika dalam perkembangannya menembus level internasional yang semula tujuan awalnya
sebagai obat, kemudian bergeser menjadi konsumsi umum dikarenakan sifat ketergantungannya
yang masif.

Alternatif hukuman:
1. Rehabilitasi Narkoba
Ombudsman RI (ORI) pun menyoroti standar baku rehabilitasi tahanan kasus
penyalahgunaan narkoba. ORI menilai penangkapan pelaku penyalahgunaan narkoba hanya
akan membuat lembaga pemasyarakatan penuh jika rehabilitasi belum jadi prioritas.
pembentukan UU Narkotika menyadari harus ada perubahan pendekatan penanganan
terhadap pengguna narkotika, yaitu dari pendekatan pemidanaan kepada pendekatan
kesehatan masyarakat.

Ada beberapa masalah yang harus diperhatikan oleh pemerintah berkaitan dengan masalah
ini, yaitu Overcrowding Lapas. Kebijakan yang menggunakan pendekatan punitif terhadap
pengguna narkotika ini nyatanya tidak juga menyelesaikan permasalahan narkotika.
Masalah-masalah yang timbul akibat hal ini salah satunya adalah overcrowding rumah
tahanan negara (rutan) dan lapas kasus narkotika memberikan sumbangsih yang tinggi
terhadap situasi overcrowding.

Kelebihan beban lapas merupakan salah satu masalah paling serius di Indonesia. Ada dua
unsur paling penting dari besarnya jumlah penghuni lapas, yaitu unsur penahanan yang
begitu besar (20% dari total penghuni) dan tingginya pemidanaan yang berujung pada
pemenjaraan. Kondisi ini juga berlaku bagi pengguna narkotika yang dipidana negara. Surat
Edaran Mahkamah Agung dan Surat Edaran Jaksa Agung terkait penempatan pengguna dan
pecandu narkotika di tempat-tempat rehabilitasi tidak berjalan. Dari data Direktorat
Jenderal Pemasyarakatan via http://smslap.ditjenpas.go.id/ tanggal 13 Juli 2020, total
penghuni lapas mencapai 231.978 dengan kapasitas di seluruh Indonesia hanya mampu
menampung 132.107, sedangkan kasus narkotika sejumlah 124.618 (data tersebut belum
teridentifikasi sebagai pengguna).

Angka jumlah penghuni rutan dan lapas yang teridentifikasi sebagai kasus narkotika tidak
mengalami banyak perubahan meskipun negara memberlakukan hukum pidana yang sangat
keras. Data ini sesungguhnya cukup menjelaskan secara utuh bahwa penggunaan
pidana tidak memberikan banyak perubahan berarti dalam menekan angka penguna
narkotika di Indonesia. Asumsi bahwa pidana dan pemberatan hukuman bagi pengguna akan
memberikan efek jera nyata-nyata tidak pernah terbukti semenjak UU Narkotika dikeluarkan
pada 2009.

2. Dekriminalisasi
Dalam model dekriminalisasi tersebut, pengguna narkotika (biasanya juga kepemilikan napza
dalam jumlah tertentu) tidak lagi menjadi objek hukum pidana. Di Indonesia sendiri, praktik
dekriminalisasi sangat jamak terjadi. Dalam ranah judicial review, banyak juga
dekriminalisasi yang dilakukan Mahkamah Konstitusi (MK) dengan jalan membatalkan
suatu materi dalam UU, misalnya ketika MK membatalkan delik penghinaan Presiden dan
Wakil Presiden dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana melalui Putusan MK No. No.
013-022/PUU-IV/2006.

International Drug Policy Consortium mendefinisikan dekriminalisasi sebagai penghapusan


atau pengambilan jalur non-hukum pidana pada aktivitas tertentu. Dekriminalisasi pengguna
narkotika mengacu pada penghapusan atau pengambilan jalur non-hukum pidana bagi kasus
penggunaan narkotika, kepemilikan narkotika, kepemilikan peralatan untuk penggunaan
narkotika, serta budidaya narkotika untuk tujuan konsumsi pribadi. Konsep dekriminalisasi
penggunaan narkotika juga sangat memungkinkan untuk menghapus semua bentuk
penghukuman. Pilihan lain adalah penjatuhan sanksi perdata atau administratif
dibandingkan hukuman pidana.
Sebagai contoh, negara bagian di Australia juga menerapkan pendekatan dekriminalisasi
pada kasus penggunaan narkoba melalui program diversi oleh kepolisian. Sebuah sistem
peringatan atau diversi kepada pengobatan, Pendidikan, dan konseling dilakukan sebagai
bentuk alternatif dari putusan pidana.

Konsep dekriminalisasi pengguna narkotika dilaksanakan dalam konsep kesehatan


masyarakat. Ini merupakan kunci utama dari pergeseran pandangan kriminalisasi pengguna
narkotika ke dekriminalisasi. Pondasinya sederhana dan kuat, yaitu kriminalisasi tidak lagi
mampu menjawab persoalan yang susungguhnya dihadapi dalam masalah narkotika, yaitu
masalah kesehatan masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai