Anda di halaman 1dari 53

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENCEGAHAN

PENYALAHGUNAAN NARKOBA PADA GENERASI Z

KARYA TULIS ILMIAH

Oleh:

Aryagaluh Prahara Wilwatikta

JAKARTA
2021
ABSTRAK

(A) Aryagaluh Prahara Wilwatikta

(B) Tinjauan Yuridis Terhadap Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba Pada


Generasi Z

(C) 50 halaman, 2021.

(D) Kata Kunci : Pencegahan, Penyalahgunaan Narkoba, Generasi Z

(E) War on Drugs menuju Indonesia Bersinar. Dengan program Pencegahan,


Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba (P4GN) perlu
dilakukan dengan berfokus pada kegiatan pencegahan sebagai upaya
menjadikan para pemuda-pemudi memiliki pola pikir, sikap, dan terampil
menolak penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba. Bagaimana
Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba pada generasi Z dan Bagaimana aturan
Hukum bagi Penyalahgunaan Narkoba pada generasi Z. Pencegahan
Penyalahgunaan Narkoba pada generasi Z dapat dilakukan dengan beberapa
cara salah satunya yaitu dengan cara Pencegahan Primer, pencegahan dapat
mencangkup semua sektor masyarakat yang berpotensi membantu generasi
muda untuk tidak menyalahgunakan narkoba. Kegiatan, Kegiatan pencegahan
primer terutama dilaksanakan dalam bentuk penyuluhan, penerangan dan
pendidikan. Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba harus bergerak secara
dinamis dan mengikuti berkembangan pada tiap generasi, agar makna yang
terkandung dapat sampai pada tiap orang. Pemidanaan bagi Penyalahgunaan
Narkoba pada generasi Z yang merujuk pada usia 12 tahun hingga usia 24
tahun, apabila anak yang berhadapan dengan hukum dalam hal ini
penyalahgunaan narkoba yang sudah berumur 12 tahun sampai dengan berusia
21 tahun, maka akan mengikuti sidang anak. Pemidanaan seorang anak yang
berkonflik hukum diancam pidana kumulatif berupa pidana penjara dan denda,
maka pidana denda diganti denan pelatihan kerja paling singkat 3 bulan dan
paling lama 1 tahun. Pidana pembatasan kebebasan yang dijatuhkan terhadap

2
anak paling lama ½ dari maksimun pidana penjara yang diancamkan terhadap
orang dewasa.

(F) 6 buku (2010-2020), 3 peraturan perundang-undangan

(G) Aryagaluh Prahara Wilwatikta ( )

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


War on Drugs menuju Indonesia Bersinar. Dengan program Pencegahan,
Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba (P4GN) perlu
dilakukan dengan berfokus pada kegiatan pencegahan sebagai upaya
menjadikan para pemuda-pemudi memiliki pola pikir, sikap, dan terampil
menolak penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba. Dalam beberapa Tahun
terakhir Kasus Narkoba pada anak-anak dan remaja semakin meningkat,
dibuktikan oleh pernyataan Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian
PPPA) yang bernama Lenny N Rosalin mengatakan, meningkatnya kasus
narkotika pada anak-anak dan remaja harus menjadi alarm bagi para orangtua
untuk selalu mengawasi dan mengedukasi anak-anak dan remaja.
Berdasarkan data BNN, penyalahgunaan narkoba di Indonesia pada 2017
sebanyak 3.376.115 orang pada rentang usia 10-59 tahun. Kemudian pada 2019
penyalahgunaan narkotika pada anak dan remaja meningkat sebesar 24-28
persen. 1 Dengan Meningkatnya Peredaran Narkoba terutama pada anak-anak
maka sangat di perlukan langkah tegas dalam Memerangi Narkoba di
Indonesia.
Peraturan Hukum Tindak Pidana yang ada di Indonesia dibagi menjadi dua
bagian yaitu tindak pidana umum dan tindak pidana khusus. Tindak pidana
umum dapat diartikan sebagai perundang-undangan pidana dan berlaku umum,
yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sedangkan tindak pidana
khusus dimaknai sebagai perundang-undangan dibidang tertentu yang
memiliki sanksi pidana, atau tindak pidana yang diatur dalam perundang-
undangan khusus, berada di luar KUHP, baik perundang-undangan pidana

1
https://nasional.kompas.com/read/2020/06/26/17590051/kementerian-pppa-naiknya-kasus-
narkoba-anak-jadi-alarm-bagi-orangtua?page=all (di akses pada tanggal)

4
maupun bukan pidana, akan tetapi memiliki sanksi pidana.2 Tujuan dari
pengaturan tindak pidana yang bersifat khusus adalah untuk mengisi
kekurangan ataupun kekosongan hukum yang tidak tercakup pengaturannya
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, namun dengan pengertian bahwa
pengaturan itu masih tetap dan berada dalam batas yang diperkenankan oleh
hukum pidana.
Dalam tindak pidana khusus salah satunya adalah Undang-Undang Nomor
35 Tahun 2009 tentang Narkotika, bahwa tindak pidana Narkotika telah
bersifat transnasional yang dilakukan dengan menggunakan modus operandi
yang tinggi, teknologi canggih, didukung oleh jaringan organisasi yang luas,
dan sudah banyak menimbulkan korban, terutama di kalangan generasi muda
bangsa yang sangat membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan
negara.
Generasi muda maupun generasi tua, tiap generasi memiliki karakteristik
tersendiri. Karena pada umumnya suatu generasi dipengaruhi oleh lingkungan
yang dihadapi semasa hidup mereka. Maka setiap generasi akhirnya memiliki
perbedaan tabiat yang turut menghadirkan pola adaptasi dan pendekatan yang
juga berbeda.
Pendekatan pada generasi penerus bangsa sangat di butuhkan untuk
menyuarakan Genderang perang terhadap penyalahgunaan dan peredaran
gelap Narkoba di Indonesia agar terus ditabuh. Salah satunya bentuk yang
dilakukan oleh BNNP Riau bekerjasama dengan Pemerintah Provinsi Riau dan
Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Provinsi Riau yang ngemupulkan
Sebanyak 3.500 generasi milenial dan generasi Z, yang merupakan relawan
anti Narkoba, bersatu mendeklarasikan anti penyalahgunaan dan peredaran
gelap narkoba. Aksi ribuan generasi milenial Riau ini merupakan wujud nyata
komitmen masyarakat dan pemerintah Provinsi Riau dalam upaya Pencegahan
dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba (P4GN).3

2
Aziz Syamsuddin, Tindak Pidana Khusus, (Jakarta: Sinar Grafika, 2017), h. 8.
3
https://bnn.go.id/3-500-generasi-riau-siap-bentengi-diri-dari-narkoba/ (di akses pada
tanggal 24 April 2021 jam 00.28)

5
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis tertarik untuk mengadakan
penelitian dengan judul “TINJAUAN YURIDIS TERHADAP
PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA PADA GENERASI
Z”.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka yang menjadi rumusan
masalah adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba pada generasi Z?
2. Bagaimana aturan Hukum bagi Penyalahgunaan Narkoba pada generasi Z?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk memberikan gambaran Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba pada
generasi Z.
2. Untuk memberikan gambaran mengenai aturan hukum bagi
penyalahgunaan Narkoba pada generasi Z.

D. Manfaat Penelitian
Dalam penelitian ini adanya manfaat yang bertujuan untuk menjelaskan
kegunaan hasil penelitian bagi para pihak, maka manfaat penelitian ini dapat
dibagi menjadi 2 (dua) yaitu:
1. Manfaat Teoritis
Diharapkan pada penelitian ini dapat memberikan pengetahuan baru
terhadap pengembangan ilmu hukum. Khususnya dalam hal yang terkait
dengan tindak pidana Penyalahgunaan Narkoba.
2. Manfaat Praktis
Diharapkan hasil penelitian ini dapat berguna secara praktis terhadap
perkembangan penegakan hukum di masa yang akan datang agar tercipta
keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum bagi masyarakat.

6
7

BAB II
KAJIAN TEORITIS DAN METODOLOGI

A. Kajian Teoritis
1. Definisi Narkoba
Narkoba adalah singkatan dari narkotika dan obat/bahan berbahaya.
Selain “narkoba”, istilah lain yang diperkenalkan khususnya oleh
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia adalah Napza yang merupakan
singkatan dari narkotika, psikotropika dan zat adiktif. Narkotika berasal dari
bahasa Yunani, dari kata Narke, yang berarti beku, lumpuh dan dungu.
Menurut Undang-undang RI Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika pada
Bab I Pasal I, narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau
bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan
penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai
menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan. Prekursor
Narkotika adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat
digunakan dalam pembuatan Narkotika. 4

2. Jenis-Jenis Narkoba
Sesuai dengan Undang-undang Narkoba Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika, Narkoba dibagi dalam tiga jenis yaitu Narkotika, Psikotropika dan
Zat adiktif lainnya. UU tersebut juga mengatur tentang penggolongan
narkotika. Peningkatan penyalahgunaan beberapa zat baru yang memiliki
potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan yang belum termasuk
dalam Golongan Narkotika (UU tentang Narkotika) maka diterbitkan
Permenkes Nomor 5 Tahun 2020 Tentang Perubahan Penggolongan
Narkotika.5
1. Narkotika Golongan I adalah Narkotika yang hanya dapat digunakan
untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan

4
Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
5
Permenkes Nomor 7 Tahun 2018 Tentang Perubahan Penggolongan Narkotika
8

dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan


ketergantungan, contoh: Opium, Opium Mentah, Tanaman ganja,
Tanaman koka, daun koka, kokain mentah, Tanaman Papaver
Somniferum L, Heroina, MDMA, STP, Amfetamina, Metamfetamina,
Metakualon, Karisoprodol dan lain-lain.
2. Narkotika Golongan II adalah Narkotika berkhasiat pengobatan
digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi
dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta
mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan, contoh:
Dekstromoramida, Dihidroetorfin, Fentanil, Metadona, Morfina,
Petidina, Oripavin dan lain-lain.
3. Narkotika Golongan III adalah Narkotika berkhasiat pengobatan dan
banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan
ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan
ketergantungan, contoh: Kodeina, Norkodeina, Buprenorfina, Propiram,
Polkodina dan lain-lain.

Selanjutnya mengenai Psikotropika Menurut Undang-Undang RI


Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika pada Bab I Pasal I, psikotropika
adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang
berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat
yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. 6
Peningkatan penyalahgunaan beberapa zat baru yang memiliki potensi
sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan yang belum termasuk dalam
Golongan Psikotropika (UU tentang Psikotropika) maka diterbitkan
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2021 Tentang Perubahan
Penggolongan, Pembatasan, dan Kategori Obat. PMK No 3 Tahun 2021 ini
dikeluarkan dengan menimbang bahwa untuk menjamin keselamatan pasien
dan melindungi masyarakat dari peredaran obat yang tidak memenuhi

6
Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1997
9

persyaratan keamanan, mutu dan kemanfaatan, perlu disusun perubahan


penggolongan, pembatasan, dan kategori obat berdasarkan risiko keamanan
dan manfaat. Psikotropika digolongkan menjadi 4 kelompok yaitu:
1. Psikotropika golongan I, adalah psikotropika dengan daya adiktif yang
sangat kuat, belum diketahui manfaatnya untuk pengobatan dan sedang
diteliti khasiatnya, contoh: Brolamfetamin, Mekatinona, Tenoksilidina
dan lain-lain.
2. Psikotropika golongan II, adalah psikotropika dengan daya adiktif kuat
serta berguna untuk pengobatan dan penelitian, contoh: Amineptina,
Metilfenidat dan Sekobarbital.
3. Psikotropika golongan III, adalah psikotropika dengan daya adiktif
sedang serta berguna untuk pengobatan dan penelitian, contoh:
Buprenofrin, Butalbital, Flunitrazepam, Pentobarbital dan lain-lain.
4. Psikotropika golongan IV, adalah psikotropika yang memiliki daya
adiktif ringan serta berguna untuk pengobatan dan penelitian, contoh:
Allobarbital, Alprazolam, Amfepramona, Aminoreks, Barbital,
Diazepam, Fenobarbital, Ketazolam dan lain-lain.
Zat adiktif adalah bahan yang menyebabkan adiksi atau ketergantungan
yang membahayakan kesehatan dengan ditandai perubahan perilaku,
kognitif, dan fenomena fisiologis, keinginan kuat untuk mengonsumsi
bahan tersebut, kesulitan dalam mengendalikan penggunaannya, memberi
prioritas pada penggunaan bahan tersebut daripada kegiatan lain.

3. Penyalahgunaan Narkoba
Penyalahgunaan narkoba atau NAPZA adalah suatu pola perilaku di mana
seseorang menggunakan obat-obatan golongan narkotika, psikotoprika, dan
zat aditif yang tidak sesuai fungsinya. Penyalahgunaan NAPZA umumnya
terjadi karena adanya rasa ingin tahu yang tinggi, yang kemudian menjadi
kebiasaan. Selain itu, penyalahgunaan NAPZA pada diri seseorang juga bisa
dipicu oleh masalah dalam hidupnya atau berteman dengan pecandu NAPZA.
Terdapat 4 kelas obat yang paling sering disalahgunakan, yakni:
10

 Halusinogen, seperti lysergic acid diethylamide (LSD), phencyclidine


dan ecstasy (inex). Efek yang dapat timbul dari penyalahgunaan obat
halusinogen beragam, di antaranya adalah halusinasi, tremor, dan mudah
berganti emosi.
 Depresan, seperti diazepam, alprazolam, clonazepam, dan ganja. Efek
yang ditimbulkan dari penyalahgunaan obat depresan adalah sensasi
rileks dan mengalihkan stres akibat suatu pikiran.
 Stimulan, seperti dextroamphetamin, kokain, methamphetamine (sabu),
dan amphetamin. Efek yang dicari atas penyalahgunaan obat stimulan
adalah bertambahnya energi, membuat penggunanya menjadi fokus.
 Opioid, seperti morfin dan heroin yang sebenarnya adalah obat penahan
rasa sakit, namun digunakan untuk menciptakan rasa kesenangan. Jika
tidak dihentikan, penyalahgunaan NAPZA dapat menyebabkan
kecanduan. Ketika kecanduan yang dialami juga tidak mendapat
penanganan, hal itu berpotensi menyebabkan kematian akibat overdosis.
Penanganan penyalahgunaan NAPZA, terutama yang sudah mencapai
fase kecanduan, akan lebih baik dilakukan segera. Dengan mengajukan
rehabilitasi atas kemauan dan kehendak sendiri, pasien yang telah
mengalami kecanduan NAPZA tidak akan terjerat tindak pidana.

4. Pencegahan Narkoba
a) Pemeriksaan
Pemeriksaan dilakukan tidak hanya oleh dokter tetapi juga terapis.
Pemeriksaan bertujuan untuk mengetahui sejauh mana kecanduan yang
dialami dan adakah efek samping yang muncul. Jika si pemakai
mengalami depresi atau bahkan gangguan perilaku, maka terapis akan
menyembuhkan efek tersebut baru melakukan rehabilitasi.

b) Detoksifikasi
Mengatasi kecanduan harus melalui beberapa tahapan dan salah satu
yang cukup berat adalah detoksifikasi. Di sini pengguna harus 100%
11

berhenti menggunakan obat-obatan berbahaya tersebut. Reaksi yang


akan dirasakan cukup menyiksa mulai dari rasa mual hingga badan terasa
sakit. Disamping itu pecandu akan merasa tertekan karena tidak ada
asupan obat penenang yang dikonsumsi seperti biasa.

Selama proses detoksifikasi, dokter akan meringankan efek yang


tidak mengenakkan tersebut dengan memberikan obat. Di samping itu,
pecandu juga harus memperbanyak minum air agar tidak terkena
dehidrasi serta mengkonsumsi makanan bergizi untuk memulihkan
kondisi tubuh. Lamanya proses ini sangat bergantung pada tingkat
kecanduan yang dialami serta tekad yang dimiliki oleh si pemakai untuk
sembuh.

c) Stabilisasi
Setelah proses detoksifikasi berhasil dilewati, selanjutnya dokter
akan menerapkan langkah stabilisasi. Tahapan ini bertujuan untuk
membantu pemulihan jangka panjang dengan memberikan resep dokter.
Tidak hanya itu, pemikiran tentang rencana ke depan pun diarahkan agar
kesehatan mental tetap terjaga dan tidak kembali terjerumus dalam
bahaya obat-obatan terlarang.

d) Pengelolaan Aktivitas
Jika sudah keluar dari rehabilitasi, pecandu yang sudah sembuh akan
kembali ke kehidupan normal. Diperlukan pendekatan dengan orang
terdekat seperti keluarga dan teman agar mengawasi aktivitas mantan
pemakai. Tanpa dukungan penuh dari orang sekitar, keberhasilan dalam
mengatasi kecanduan obat terlarang tidak akan lancar.

Banyak pemakai yang sudah sembuh lantas mencoba menggunakan


kembali obat-obatan tersebut karena pergaulan yang salah. Karena itulah
12

pengelolaan aktivitas sangat penting agar terhindar dari pengaruh


negatif. 7

5. Pencegahan Penyalahguna Narkoba


Pencegahan penyalahguna Narkoba adalah seluruh usaha yg ditujukan untuk
mengurangi permintaan dan kebutuhan gelap Narkoba.
a) Pencegahan Primer
1) Pencegahan Primer adalah:
Ditujukan pada anak-anak dan generasi muda yang belum pernah
menyalahgunakan narkoba. Semua sektor masyarakat yang berpotensi
membantu generasi muda untuk tidak menyalahgunakan narkoba.
2) Kegiatan, Kegiatan pencegahan primer terutama dilaksanakan dalam
bentuk penyuluhan, penerangan dan pendidikan. (Sumber: Pedoman
P4GN, 2007, hal:70)
b) Pencegahan Sekunder
1) Pencegahan Sekunder adalah pencegahan yang ditujukan pada: Anak-
anak atau generasi muda yang sudah mulai mencoba-coba
menyalahgunakan narkoba. Sektor-sektor masyarakat yang dapat
membantu anak-anak, generasi muda berhenti menyalahgunakan
narkoba.
2) Kegiatan, Kegiatan pencegahan sekunder menitikberatkan pada
kegiatan deteksi secara dini terhadap anak yang menyalahgunakan
narkoba, konseling perorangan dan keluarga pengguna, bimbingan
sosial melalui kunjungan rumah. (Sumber: Pedoman P4GN, 2007, hal:
71)
c) Pencegahan Tertier
1) Pencegahan Tertier ditujukan pada: Korban Narkoba atau bekas
korban narkoba. Sektor-sektor masyarakat yang bisa membantu
bekas korban Narkoba untuk tidak menggunakan Narkoba lagi.

7
https://bnn.go.id/4-langkah-cara-mengatasi-kecanduan-narkoba/ (diakses pada tanggal 3 Mei
2021, pukul 21:52 WIB)
13

2) Kegiatan, Kegiatan pencegahan tertier dilaksanakan dalam bentuk


bimbingan sosial dan konseling terhadap yang bersangkutan dan
keluarga serta kelompok sebayanya, penciptaan lingkungan sosial
dan pengawasan sosial yang menguntungkan bekas korban utk
mantapnya kesembuhan, pengembangan minat, bakat dan
keterampilan kerja, pembinaan orang tua, keluarga, teman dmn
korban tinggal, agar siap menerima bekas korban dgn baik jangan
sampai bekas korban kembali menyalahgunakan Narkoba. (Sumber:
Pedoman P4GN, 2007, hal: 73). 8

6. Penyalahgunaan Napza (Narkotika, Psikotropika, dan Zat-zat Adiktif)


Penyalahgunaan Napza Merupakan suatu pola perilaku yang bersifat
patologik, dan biasanya dilakukan oleh individu yang mempunyai
kepribadian rentan atau mempunyai resiko tinggi, dan jika dilakukan dalam
jangka waktu tertentu akan menimbulkan gangguan bio-psiko-sosial-
spiritual. Sifat Napza tersebut bersifat psikotropik dan psikoaktif yang
mempunyai pengaruh terhadap sistem syaraf dan biasanya digunakan sebagai
analgetika (pengurang rasa sakit) dan memberikan pengaruh pada aktifitas
mental dan perilaku serta digunakan sebagai terapi gangguan psikiatrik pada
dunia kedokteran. Obat-obatan ini termasuk dalam daftar obat G yang artinya
dalam penggunaannya harus disertai dengan control dosis yang sangat ketat
oleh dokter.Secara farmakologik, yang termasuk Napza antara lain ganja,
morfin, sabu, ekstasi, marijuana, putau, kokain, pil koplo, dan sebagainya.
Akan tetapi obat-obat pengurang rasa sakit yang dijual bebas mengandung
Napza, dalam dosis yang telah diatur secara ketat.
Beberapa jenis Napza terbuat dari tumbuhan koka yang dihasilkan hari
hutan di Amerika Selatan, ada juga yang terbuat dari zat kimia seperti sabu,
putau, morfin dan ekstasi. Ganja dihasilkan dari tanamanganja yang banyak
dimasukkan dari daerah perbatasan Thailand, Birma dan Vietna sedangkan

8
https://bnn.go.id/satuan-kerja/cegah/ (di akases pada tanggal 3 Mei 2021 pukul 22:27 WIB)
14

sabu diselundupkan dari Cina sedangkan ekstasi dari Belanda.Para pengguna


Napza biasanya individu yang mempunyai masalah psikologis dan
makepribadian yang rentan, serta mempunyai harga diri rendah. Tahapan
individu dalam penyalahgunaan Napza dari tahap coba-coba, artinya individu
sekedar ingin tahu dan merasakannya serta terpaksa menggunakannya karena
mendapat tekanan dari teman-temannya.Faktor-faktor penyebab timbulnya
penyalahgunaan Napzadapat berasal dari dalam diri individu dan dari luar diri
individu.
Faktor yang berasal dari dalam diri individu, seperti individu yang
memiliki kepribadian beresiko tinggi, tidak dewasa, tidak sabaran,
mempunyai toleransi frustasi yang rendah, tertutup, senang mengambil resiko
yang berlebihan dan mempunyai kepercayaan diri yang rendah. Faktor yang
berasal dari luar individu seperti lingkungan keluarga yang tidak sakinah,
lingkungan sekolah yang tidak memadai, lingkungan masyarakat dan nilai
obat-zat. Ada beberapa langkah pencegahan dan penanggulangannya antara
lain:
1. Program Informasi Dalam hal memberikan informasi sebaiknya
dilakukan secara hati-hati, dan menghindari informasi yang sifatnya
sensasional dan ambisius, karena dalam hal ini justru akan menarik bagi
mereka untuk menguji kebenarannya dan merangsang keberaniannya.
Teknik menakut-nakuti dari segi fisik, psikologis, sosial dan hukum
hanya efektif dalam keadaan sangat terbatas.
2. Program Pendidikan Efektif Pada program ini bertujuan untuk
pengembangan kepribadian pendewasaan pribadi meningkatkan
kemampuan dalam mengambil keputusan yang bijak, mengatasi tekanan
mental secara efektif, meningkatkan kepercayaan diri, menghilangkan
gambaran negatif mengenai diri sendiri dan meningkatkan kemampuan
komunikasi. Hasil pendidikan ini dapat berupa pengenalan tentang diri,
perilaku asertif, berfikir positif, dan pemecahan masalah secara efektif.
3. Program Penyediaan Pilihan Yang Bermakna Konsep ini bertujuan
untuk mengalihkan penggunaan zat adiktif pada pilihan lain yang
15

diharapkan dapat memberikan kepuasaan bagi kebutuhan manusiawi


yang mendasar yaitu bio-psiko-sosial-spiritual. Kebutuhan yang
dimaksud antara lain ingin tau kebutuhan mengalami hal-hal baru dalam
hidupnya, kebutuhan terbentuknya identitas diri, kebutuhan akan bebas
berfikirdan berbuat, kebutuhan akan penghargaan, kebutuhan untuk
mengaktualisasikan diri serta kebutuhan diri serta kebutuhan diri
diterima dalam kelompok.
4. Pengenalan Diri dan Intervensi Dini Mengenal dengan baik cirri-ciri
anak yang mempunyai resiko tinggi untuk menggunakan Napza
merupakan suatu langkah yang bijaksana, baik yang berada dalam taraf
coba-coba, iseng, pemakai tetap maupun yang telah ketinggalan,
kemudian segera memberikan dukungan moril dan penanganan,apabila
anak mengalami atau mengghadapi masa krisis dalam hidupnya. Dalam
hal ini kerjasama antara orang tua, guru serta masyarakat sangat penting
jika tidak teratasi segera dirujuk ke tenaga ahli psikolog maupun
psikiater.
5. Program Pelatihan Ketrampilan Psikososial Program latihan ini
diterapkan atas dasar teori belajar, yang mengatakan bahwa gangguan
penyalahgunaan Napza merupakan perilaku yang dipelajari individu
dalam lingkup pergaulan sosialnya. Perilaku ini mempunyai maksud dan
arti tertentu bagi yang bersangkutan.Dalam pelatihan ini terdiri dari dua
golongan yaitu,pertama Psychological Inoculation dalam pelatihan ini
diputar film yang memperlihatkan bagaimana remaja mendapatkan
tekanan dari pergaulannya, kemudian dalam hal ini dikembangkan sikap
remaja untuk menentang dorongan dan tekanan tersebut. Kedua Personal
and Social Skill training kepada remaja dikembangkan suatu ketrampilan
dalam menghadapi problema hidup umum termasuk merokok dan
penyalahgunaan Napza. Ketrampilan ini mengajarkan kepada remaja
agar mampu mengatakan tidak, serta mengembangkan keberanian dan
ketrampilan untuk mengekspresikan kebenaran, sehingga remaja
terbebas dari bujukan atau tekanan kelompoknya.
16

7. Pendekatan Dalam Pencegahan Penyalahgunaan NAPZA


Menurut (BNN, 2020b) ada beberapa pendekatan yang dapat dijadikan
solusi alternatif yang dapat dilakukan untuk mencegah penyalahgunaan
NAPZA pada masa pandemi Covid-19 karena sosialisasi tidak
memungkinkan dilakukan pada saat pandemi sepeperti saat ini.
• Pendekatan Agama, menjadi pribadi yang menaati peraturan setiap
agamanya untuk menjauhi pengaruh NAPZA sanngat penting
dilakukan untuk membentuk pribadi yang tidak mudah tergoda iming-
iming kesenangan duniawi. Karena pada hakikatnya, tidak ada agama
yang menghendaki pemeluknya untuk melakukan hal-hal yang dapat
merusak dirinya.
• Pendekatan Psikologis, dengan pendekatan ini orang-orang terdekat
dapat memberikan nasihat dari hati ke hati sesuai dengan karakter
kepribadiannya masing-masing. Langkah presuasif ini dapat dilakukan
untuk menanamkan kesadaran dari dalam hati mereka. Dan jika bagi
orang yang telah terlanjur terjurumus dalam penyalahgunaan NAPZA
pendekatan ini dapat melihat latar belakang seseorang yang telah
terjerumus ini, apakah dia tipe ekstrovert (terbuka), introvert (tertutup),
atau sensitif. Dengan melihat latar belakang ini dapat mengetahui
pribadi masing-masing dan dapat diajak untuk kembali ke jalan yang
benar sesuai dengan kepribadian masing-masing. Orang terdekat dapat
memotivasi orang yang sudah terjerumus untuk melaukan pemulihan
secara mandiri atau mengikuti program rehabilitasi.
• Pendekatan Sosial, dengan pendekatan ini baik mereka yang belum atau
sudah menggunakan NAPZA perlu disadarkan bahwa diri mereka
berarti dan penting bagi seseorang, entah itu untuk keluarga, teman,
atau lingkungannya. Menanamkan kepada diri mereka bahwa diri
mereka sangatlah penting kehadirannya ditengah keluarga dan
masyarakat dapat membentuk Assertiveness dan Self Regulation dalam
17

dirinya. Pendekatan ini juga memerlukan bantuan masyarakat untuk


dapat merangkul dan menerima orang itu di dalam komunitas sosialnya.

8. Layanan Rehabilitasi BNN


a) Rehabilitasi Medis
Rehabilitasi secara medis meliputi detoksifikasi, pemeriksaan
kesehatan, penanganan efek buruk dari penyalahgunaan narkoba, psiko
terapi, rawat jalan, dan lain-lain.

b) Rehabilitasi Sosial
Aktivitas yang dilakukan pada tahapan rehabilitasi ini meliputi
seminar, konseling individu, terapi kelompok, static group, dan
sebagainya.

c) Kegiataan Kerohanian
Tahapan ini bertujuan untuk mempertebal mental pecandu agar
semakin kuat mempertahankan niat untuk sembuh dari kecanduan.

d) Peningkatan Kemampuan
Kegiatan di lembaga rehabilitasi juga diisi oleh aktivitas positif salah
satunya adalah mengasah skill yang dimiliki oleh pecandu agar rasa tak
enak karena tidak mengkonsumsi obat-obatan teralihkan.
Selain layanan-layanan yang disebutkan di atas, disediakan juga
konseling untuk keluarga, terapi psikologi, hiburan, rekreasi, dan sebagainya.
Semua layanan dan fasilitas yang diberikan oleh balai besar rehabilitasi BNN
ini tidak dipungut biaya sama sekali kecuali penyediaan keperluan yang
bersifat pribadi. Pendaftaran pun semakin dimudahkan via online atau datang
ke instansi kesehatan terdekat.9

9
https://bnn.go.id/4-langkah-cara-mengatasi-kecanduan-narkoba/ (diakses pada tanggal 03
Mei 2021 pukul 21:59)
18

9. Pemidanaan Penyalahgunaan Narkoba


Hukum Narkotika di Indonesia berdasarkan Undang-Undang No. 35
Tahun 2009 tentang Narkotika, melarang dan mengancam pidana terhadap
penyalahguna Narkotika, yang dapat berupa orang perorangan maupun badan
hukum (korporasi). Penyalahguna dapat berupa orang perorangan maupun
badan hukum (korporasi). Penyalahguna dapat berupa orang yang
menggunakan Narkotika tanpa hak atau melawan hukum, seperti pecandu,
yakni orang yang sudah kecanduan Narkotika, yang menurut Undang-
Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dirumuskan pada Pasal 1
angka 13, Bahwa “Pecandu Narkotika adalah orang yang menggunakan atau
menyalahgunakan Narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada
Narkotika, baik secara fisik maupun psikis.” 10
Selanjutnya pemidanaan pada orang yang menanam, memelihara,
memiliki, menyimpan, menguasai dan menyediakan Narkotika dapat di
hukum penjara paling lama 12 tahun serta denda maksimal delapan miliar
rupiah, dengan dasar hukum pada Pasal 111 sebagai berikut:

(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara,
memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan
I dalam bentuk tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4
(empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda
paling sedikit Rp. 800.00.000.00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp. 8.000.00.000,00 (delapan miliar rupiah).

(2) Dalam hal perbuatan menanam, memelihara, memiliki, menyimpan,


menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk
tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 1 (satu)
kilogram atau melebihi 5 (lima) pohon, pelaku dipidana dengan pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun

10
Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (Pasal 1 Angka 13)
19

dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

Selain pasal mengenai tindak pidana terkait narkotika diatas, ada juga
Pasal yang bisa dikenai yaitu Pasal 112 ayat (1) UU
Narkotika tentang penguasaan narkotika.
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki,
menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan
tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun
dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.
800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.
8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).

Walaupun demikian, dalam artikel Istilah Bezit dalam Perkara


Narkotika Pengadilan Tinggi Sumatera Barat berpendapat bahwa ada dua
unsur penting yang harus dibuktikan atas dakwaan penguasaan suatu
narkotika berdasarkan Pasal 112 UU Narkotika. Yaitu harus terpenuhinya
unsur ‘kekuasaan atas suatu benda’, dan ‘adanya kemauan untuk memiliki
benda itu’. Bila si tersangka atau terdakwa tidak mengetahui bagaimana ia
sampai kedapatan membawa narkotika dan apalagi tidak menghendaki untuk
memiliki benda itu, maka rumusan Pasal 112 UU Narkotika menjadi tidak
terbukti.
Perlu Anda ketahui, ancaman pidana penjara yang dapat dijatuhkan
kepada Anak paling lama 1/2 (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana
penjara bagi orang dewasa. Jadi, ancaman pidana bagi anak yang menjadi
kurir narkotika adalah setengah dari ancaman pidana yang terdapat dalam UU
Narkotika.11

11
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt52f93ee68a431/perlindungan-
hukum-bagi-anak-yang-dijadikan-kurir-narkotika/ (diakses pada hari kamis, tanggal 27 Mei 2021
pukul 12:42 WIB)
20

Pemidanaan untuk perantara dalam transaksi narkotika golongan I,


terhadap pelakunya dapat diancam sesuai Pasal 114 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (“UU Narkotika”): Tindak pidana
menurut Pasal 114 dari Undang-Undang No. 35 Tahun 2009, dinyatakan
sebagai berikut:
(1) Setiap orang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual,
menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli,
menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan
penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun
dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp.
10.000.00.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli
menjadi perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan, atau
menerima Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
yang dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau
melebihi 5 (lima) pohon atau dalam bentuk bukan tanaman bertanya 5
(lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur
hidup, atau pidana penjara paling singkat 6 (enam) tahun dan paling lama
20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

10. Pemidanaan terhadap Anak


Penanganan anak berhadapan hukum berbeda dengan penanganan
terhadap orang dewasa yang berhadapan hukum, dalam sistem peradilan
pidana anak sangat mengutamakan penanganan perkara anak mengedepankan
keadilan restoratif. Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak (“UU 35/2014”), anak adalah seseorang yang
belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan.
21

Sistem peradilan pidana anak adalah keseluruhan proses penyelesaian


perkara anak yang berhadapan hukum mulai tahap penyidikan sampai dengan
tahap pembimbingan setelah menjalani proses pidana yang berdasarkan
perlindungan, keadilan, non diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak,
penghargaan terhadap anak, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak,
proporsional, perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya
terakhir dan penghindaran balasan (vide Pasal 1 angka 1 dan Pasal 2 Undang-
Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Dalam sistem peradilan pidana anak bahwa terhadap anak adalah anak
yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban dan anak yang
menjadi saksi dalam tindak pidana. Anak yang berkonflik dengan
hukum adalah anak yang yang telah berumur 12 tahun tetapi belum berumur
18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana; Anak yang menjadi
korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas tahun) yang
mengalami penderitaan fisik, mental dan atau kerugian ekonomi yang
disebabkan tindak pidana; Anak yang menjadi saksi adalah anak yang belum
berumur 18 (delapan belas tahun) yang dapat memberikan keterangan guna
kepentingan proses hukum mulai tingkat penyidikan, penuntutan dan sidang
pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat dan atau
dialami;
Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh anak sebelum genap berumur
18 tahun dan diajukan ke sidang pengadilan setelah anak melampaui batas
umur 18 tahun tetapi belum mencapai umur 21 tahun anak tetap diajukan ke
sidang anak (Pasal 20 Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 Tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak).
Selanjutnya dalam hal anak belum berumur 12 tahun melakukan atau
diduga melakukan tindak pidana, maka penyidik, pembimbing
kemasyarakatan, mengambil keputusan untuk menyerahkanan kepada orang
tua/wali atau mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan
pada instansi pemerintah atau lembaga penyelenggaraan kesejahteraan sosial
yang menangani bidang kesejateraan sosial (Pasal 21 Undang Undang Nomor
22

11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak jo, Pasal 67 Peraturan
Pemerintah RI Nomor 65 Tahun 2015 tentang Pelaksanaan Diversi dan
Penanganan Anak yang Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun).
Kalau dalam perkara dewasa (usia 18 tahun ke atas) setiap tingkatan
pemeriksaan tidak perlu didampingi orang tua/wali namun dalam perkara
anak berhadapan hukum perlu didampingi orang tua/wali.

Pihak-pihak yang terlibat dalam proses peradilan pidana anak


yakni Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, Pembimbing Kemasyarakatan
dan Pekerja Sosial
 Penyidik adalah Penyidik Anak;
 Penuntut Umum adalah Penuntut Umum Anak;
 Hakim adalah Hakim Anak;
 Pembimbing Kemasyarakatan adalah pejabat fungsional penegak hukum
yang melaksanakan penelitian kemsyarakatan, pembimbingan,
pengawasan, pendampingan terhadap anak di dalam dan di luar proses
peradilan pidana;
 Pekerja Sosial adalah seseorang yang bekerja baik pada lembaga
pemerintah maupun swasta yang memiliki kompetensi dan profesi
pekerjaan sosial serta kepedulian dalam pekerjaan sosial yang diperoleh
melalui pendidikan, dan atau pengalaman praktik pekerjaan sosial untuk
melaksanakan masalah sosial;

Dalam melakukan pemeriksaan terhadap anak korban penyidik wajib


meminta laporan sosial dari pekerja sosial atau tenaga kesejahtaraan sosial
setelah tindak pidana dilaporkan; selanjutnya terhadap anak yang diajukan
sebagai anak yang berkonflik hukum (ABH) pada tingkat penyidikan,
penuntutan dan dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan wajib
diupayakan diversi.
23

Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses


peradilan pidana di luar proses peradilan pidana, dan terhadap proses tersebut
dengan syarat-syarat sebagai berikut:
1. Diancam pidana penjara dibawah 7 (tujuh) tahun;
2. Dan bukan pengulangan tindak pidana;
Selanjutnya selain ketentuan tersebut, berlaku pula terhadap anak yang
didakwa melakukan tindak pidana yang diancam pidana penjara dibawah 7
(tujuh) tahun dan didakwa pula dengan tindak pidana yang diancam pidana
penjara (tujuh) tahun atau lebih dalam bentuk dakwaan subsidiaritas,
alternatif, kumulatif maupun kombinasi (gabungan) (Pasal 7 PERMA Nomor
4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam Sistem Peradilan
Pidana Anak))
Diversi bertujuan:
 Mencapai perdamaian anatara korban dan anak;
 Menyelesaikan perkara anak diluar proses peradilan;
 Menghindarkan anak dari dari perampasan kemerdekaan;
 Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi ;
 Dan menanamkan rasa tanggung jawab pada anak;
Dalam proses Diversi itu sendiri tentunya ada pihak yang dilibatkan
yakni anak, orang tua, korban, dan atau orang tua/wali, pembimbing
kemasyarakatan dan pekerja sosial profesional berdasarkan pendekatan
keadilan restorative justice yang mengadung arti bahwa penyelesain perkara
tindak pidana yang melibatkan pelaku, korban dan pihak-pihak lain terkait
untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan
pemulihan kembali pada keadaan semula.
Dari hasil kesepakatan diversi: perdamaian dapat berupa: dengan atau
ganti kerugian, penyerahan kembali kepada orang tua/wali, keikut sertaan
dalam pendidikan/pelatihan dilembaga pendidikan atau LPKS, pelayanan
masyarakat. Dalam hal kesepakatan tercapai, maka setiap pejabat yang
bertanggung jawab dalam pelaksanaan diversi untuk diterbitkan penghentian
penyidikan, penghentian penuntutan, penghentian pemeriksaan perkara dan
24

bilamana tercapai maka proses pemeriksaan dilanjutkan. Selanjutnya dalam


hal tidak terjadi kesepakatan dalam waktu yang ditentukan maka pembimbing
kemasyakatan segera melaporkan kepada pejabat untuk menindaklanjuti
proses pemeriksaan.
Proses Pemeriksaan Anak, Penyidik, Penuntut Umum, Pembimbing
Kemasyarakatan dan atau pemberi bantuan hukum dan petugas lainnya dalam
memeriksa perkara anak, anak korban dan atau anak saksi tidak memakai toga
atau atribut kedinasan (Pasal 22 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak), kemudian dalam setiap tingkatan
pemeriksaan anak wajib diberikan bantuan hukum dan didampingi oleh
pembimbing kemasyarakatan atau pendamping dengan ketentuan yang
berlaku;
Bahwa terkait penahanan terhadap anak (Pasal 32 UU Nomor 11
Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak) adalah sebagai
berikut:
 Penahanan terhadap anak tidak boleh dilakukan dalam hal memperoleh
jaminan dari orang tua atau lembaga bahwa anak tidak melarikan diri,
menghilangkan barang bukti atau merusak barang bukti atau tidak akan
mengulangi tindak pidana;
 Penahananan dapat dilakukan dengan syarat:
o Umur anak 14 (empat belas) tahun;
o Diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara
selama 7 tahun atau lebih.
Penahanan terhadap anak tentunya berbeda pula dengan terdakwa
{dewasa} dan terhadap penahanan terhadap anak yang berkonflik hukum
tersebut yakni sebagai berikut:
1. Penahanan oleh Penyidik paling lama 7 hari dan dapat diperpanjang oleh
Penuntut Umum, selama 8 hari; sedangkan terhadap terdakwa dewasa 20
hari dengan perpanjangan 40 hari;
25

2. Penahanan oleh Penuntut Umum, paling lama 5 hari kemudian dapat


diperpanjang oleh Hakim selama 5 hari sedangkan terhadap terdakwa
dewasa 20 Hari dan diperpanjang selama 30 hari;
3. Penahanan Hakim selama 10 hari kemudian diperpanjang selama 15 hari
oleh Ketua PN, sedangkan terdakwa dewasa adalah 30 hari dan dapat
diperpanjang selama 60 hari.

Proses pemeriksaan pada sidang pengadilan


Pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap anak dalam tingkat pertama
dilakukan dengan hakim tunggal, namun Ketua Pengadilan dalam
pemeriksaan perkara anak dengan hakim majelis dalam hal tindak pidana
yang diancam pidana penjara 7 tahun atau lebih sulit pembuktiannya. Hakim
dalam memeriksa perkara anak dalam sidang anak dinyatakan tertutup untuk
umum kecuali pembacaan putusan. Kemudian dalam peroses persidangan
(Pasal 55 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak) Hakim wajib memerintahkan orang tua/wali atau pendamping
atau pemberi bantuan hukum lainnya; dalam hal orang tua,wali atau
pendamping tidak hadir, sidang dilanjutkan dengan didampingi advokat atau
pemberi bantuan hukum lainnya dan atau pembimbing kemsyarakatan.
Bahwa pada saat memeriksa anak korban atau anak saksi, hakim dapat
memerintahkan agar anak dibawa keluar (Pasal 58 Undang-Undang R.I.
Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak). Dalam hal
anak korban atau anak saksi tidak dapat untuk memberikan keterangan di
depan sidang pengadilan, hakim dapat memerintahkan anak korban atau anak
saksi didengar keterangannya di luar persidangan melalui perekaman
elektronik yang dilakukan oleh pembimbing kemasyarakatan dengan dihadiri
penyidik atau Penuntut Umum dan Advokat atau pemberi bantuan hukum,
melalui pemeriksaan jarak jauh atau teleconference (Pasal 58 Undang-
Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak).
Hakim sebelum menjatuhkan putusan memberikan kesempatan kepada
orang tua/wali/pendamping untuk mengemukakan hal yang bermanfaat bagi
26

anak, kemudian pada saat pembacaan putusan pengadilan dilakukan dalam


sidang terbuka untuk umum dan dapat tidak dihadiri oleh anak.
Penjatuhan hukuman terhadap anak yang berkonflik hukum dapat
dikenakan pidana dan tindakan, dan anak hanya dapat dijatuhi pidana atau
dikenai berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini.
Bahwa terhadap anak yang berkonflik hukum yang belum berusia 14
tahun hanya dapat dikenai tindakan bukan pemidanaan, yang meliputi
pengembalian kepada orang tua, penyerahan kepada seseorang, perawatan di
rumah sakit jiwa, dan perawatan di Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan
Sosial (LPKS), kewajiban mengikuti pendidikan formal dan atau pelatihan
yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta dan pencabutan Surat Ijin
Mengemudi, dan perbaikan akibat tindak pidananya. Sedangkan anak yang
sudah berusia 14 tahun ke atas tersebut dapat saja dijatuhi pidana dengan
macam-macam pidana sebagaimana dalam Pasal 71 Undang-Undang RI
Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yakni sebagai
berikut:
1. Pidana pokok yang terdiri dari
a. pidana peringatan;
b. pidana bersyarat (pembinaan pada lembaga, pelayanan masyarakat,
pengawasan);
c. pelatihan kerja;
d. pembinaan dalam lembaga dan penjara;
2. Pidana tambahan berupa perampasan keuntungan yang diperoleh dari
tindak pidana, pemenuhan kewajiban adat.
Apabila dalam hukum materil seorang anak yang berkonflik hukum
diancam pidana kumulatif berupa pidana penjara dan denda, maka pidana
denda diganti denan pelatihan kerja paling singkat 3 bulan dan paling lama 1
tahun. Pidana pembatasan kebebasan yang dijatuhkan terhadap anak paling
lama ½ dari maksimun pidana penjara yang diancamkan terhadap orang
dewasa (Pasal 79 ayat 2 Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak), sedangkan terhadap ketentuan minimum
27

khusus pidana penjara tidak berlaku terhadap anak (Pasal 79 Undang-Undang


RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak).
Penahanan terhadap anak yang berkonflik hukum ditempatkan pada
Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS), sedangkan tempat anak
menjalani masa pidananya ditempatkan pada Lembaga Pembinaan Khusus
Anak (LPKA). Kemudian terhadap tempat anak mendapatkan pelayanan
sosial berada pada Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS).
Terhadap putusan Hakim pada tingkat pertama, baik anak yang
berkonflik hukum mapun Penuntut Umum tentunya dapat melakukan upaya
hukum selanjutnya yakni banding, kasasi dan peninjauan kembali.
Terhadap anak yang diajukan sebagai anak yang berkonflik hukum, yakni
anak korban dan anak saksi berhak atas semua perlindungan dan hak yang
diatur dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

1) Teori Pemidanaan
Pandangan tujuan pemidanaan secara umumnya lebih dikenal dengan
ajaran pembalasan dan ajaran tujuan atau pencegahan atau menakutkan
dan juga gabungan dari kedua ajaran tersebut. Setidaknya ada tiga
golongan utama teori untuk mebenarkan penjatuhan pidana yakni: 12
1. Teori absolute atau teori pembalasan (vergeldings theorien);
2. Teori relative atau tujuan (doeltheorien);
3. Teori gabungan (vereningtheorien).
Berikut penjelasan dari ketiga teori tersebut:13
1. Teori absolute atau teori pembalasan (vergeldings theorien)
Pemikiran-pemikiran yang digolongkan ke dalam ajaran absolut
sebetulnya memiliki perbedaan antara yang dengan lainnya. Persamaan
yang mempertautkan mereka adalah pandangan bahwa syarat dan
pembenaran penjatuhan pidana tercakup di dalam kejahatan itu sendiri,
terlepas dari kegunaan praktikan yang diharapkan darinya. Dalam

12
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2014)., h. 31.
13
Ibid., h. 31-38.
28

konteks ajaran ini pidana merupakan res absolute ab effectu future


(keniscayaan yang terlepas dari dampaknya di masa depan). Karena
dilakukan kejahatan, maka harus dijatuhkan hukuman, quia peccatum
(karena telah dilakukan dosa).14
Maka tidak mengherankan apabila pidana menurut ajaran
pembalasan merupakan suatu tuntutan mutlak yang harus dijatuhkan
kepada seorang pelaku yang melakukan perbuatan kejahatan. Namun
patut juga disebut bahwa tujuan dari ajaran absolut tidaklah semata-mata
sebagai pembalasan. Maksud dan tujuannya terkadang juga lebih ideal,
misalnya berkenaan dengan mendemonstrasikan keberlakuan hukum
terhadap mereka yang melanggarnya atau mengembalikan keseimbangan
kekuatan-kekuatan social yang terganggu atau penderitaan korban
maupun masyarakat.15
Ada beberapa macam pendapat yang memiliki dasar atau alasan
pertimbangan tentang adanya keharusan adanya pembalasan, diantaranya
yaitu:
a. Pendapat dari sudut pandang Estetika
Pandangan estetika diberikan oleh Herbart, berpokok pangkal pada
pikiran bahwa apabila kejahatan tidak dibalas maka akan menimbulkan
rasa yang tidak puas pada masyarakat. Agar kepuasan masyarakat dapat
tercapai atau terpulihkan, maka dari sudut pandang estetika harus
dibalas dengan penjatuhan pidana yang setimpal pada penjahat.
Setimpal artinya pidana harus dirasakan sebagai penderitaan yang sama
berat atau besarnya dengan penderitaan korban atau masyarakat yang
diakibatkan oleh kejahatan.16
b. Pendapat dari sudut pandang Ketuhanan

14
Jan Remmelink, Hukum Pidana Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting Dari Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya Dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2003), h. 600.
15
Ibid., h. 601.
16
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, (Jakarta: Raja Grafindo,2013),
h. 160.
29

Bahwa pandangan ini mendasarkan hukum adalah suatu aturan yang


bersumber pada aturan Tuhan yang diturunkan melalui pemerintahan
Negara sebagai abdi atau wakil Tuhan di dunia. Oleh maka dari itu,
negara wajib memelihara dan melaksanakan hukum dengan cara setiap
pelanggaran terhadap hukum wajib dibalas setimpal dengan pidana
terhadap pelanggarnya. Keadilan Ketuhanan yang dicantumkan dalam
undang-undang duniawi harus dihormati secara mutlak, dan
barangsiapa yang melanggarnya harus dipidana oleh wakil Tuhan di
dunia yaitu pemerintahan Negara. Pemerintahan Negara harus
menjatuhkan dan menjalankan pidana sekeras-kerasnya bagi
pelanggaran atas keadilan ketuhanan itu. Pidana merupakan suatu
penjelmaan duniawi dari keadilan Ketuhanan dan harus dijalankan pada
setiap pelanggar terhadap keadilan Tuhan tersebut. Adapun penganut
pandangan ini adalah Thomas Aquino, Stahl dan Rambonet. 17

2. Teori relatif atau tujuan (doeltheorien)


Teori relatif atau tujuan artinya mencari dasar hukum pidana dalam
menyelenggarakan suatu tertib masyarakat dan akibatnya yakni tujuan
untuk prevensi terjadinya suatu kejahatan. Wujud pidana ini berbeda-
beda yaitu menakut-nakuti (afschrikking), memperbaiki
(verbetering/reclasering), dan membinasahkan (onschadelijk maken).
Setelah itu dibedakan prevensi umum (general preventive) dan prevensi
khusus (special preventive). Prevensi umum menghendaki agar orang-
orang pada umumnya untuk tidak melakukan suatu delik. Bentuk tertua
dari prevensi umum dipraktekan sampar revolusi Prancis. Prevensi
umum dilakukan dengan menakutkan orang-orang lain dengan jalan
pelaksanaan pidana yang diperlihatkan.18
Dalam perkembangan muncul berbagai pendapat terhadap ajaran
relatif ini, salah satunya pendapat yang dikemukakan oleh Paul Anselm

17
Ibid., h. 159.
18
Ibid., h. 161-165.
30

von Feuerbach. Von Feuerbach berpendapat bahwa sifat menakut-


nakuti dari pidana, bukan terdapat pada penjatuhan pidana inkonkrito,
melainkan pada ancaman yang ditentukan dalam Undang-Undang.
Ancaman pidana harus diberlakukan terlebih dahulu dan harus
diketahui oleh khalayak umum. Ketentuan mengenai ancaman pidana
dan diketahui oleh khalayak umum ini yang bisa membuat siapapun itu
akan berfikir untuk melakukan suatu perbuatan kejahatan. Ancaman
pidana dapat menimbulkan tekanan atau pengaruh jiwa bagi setiap
orang untuk menjadi takut melakukan kejahatan. Ancaman pidana
dapat menimbulkan suatu kontra motif yang menahan kehendak setiap
orang untuk melakukan kejahatan. 19
Pendapat yang di ungkapkan oleh von Feuerbach ini dapat juga
disebut dengan psychologische zwang atau paksaan psikologis. Sesuai
dengan namanya, teori ini mendasarkan pada ancaman dalam peraturan
perundang-undangan yang telah diketahui oleh masyarakat umum.
Letak dari menakutkan pidana bukan pada penjatuhan pidana,
melainkan pada ancaman pidana yang diatur dalam perundang-
undangan dan diketahui oleh khalayak umum. Maka dengan ancaman
pidana yang diberikan dalam peraturan perundang-undangan membuat
masyarakat atau calon pelaku kejahatan akan berfikir dan
mengurungkan niat mereka untuk melakukan suatu perbuatan
kejahatan.
Adapun prevensi khusus yang dianut oleh van Hamel (Belanda) dan
von Liszt (Jerman) mengatakan bahwa tujuan dari prevensi khusus
yaitu mencegah niat buruk pelaku (dader) bertujuan untuk mencegah
pelanggar mengulangi perbuatannya atau mencegah pelanggar
melaksanakan perbuatan jahat yang direncanakannya. Van Hamel
membuatu suatu gambaran berikut mengenai pemidanaan yang bersifat
pencegahan atau prevensi khusus: 20

19
Ibid., h. 163-164
20
Ibid., h. 165-166
31

a. Pidana selalu dilakukan untuk pencegahan khusus, yaitu untuk


menakut-nakuti seseorang yang cukup dapat dicegah dengan cara
menakut-nakutinya melalui penjatuhan pidana itu agar ia tidak
melakukan niat suatu perbuatan kejahatan;
b. Akan tetapi, bila ia tidak dapat lagi di takut-takuti dengan cara
menjatuhkan pidana, penjatuhan pidana harus bersifat
memperbaiki dirinya;
c. Apabila bagi penjahat tersebut tidak dapat lagi diperbaiki
penjatuhan pidana harus bersifat membinasakan atau membuat
mereka tidak berdaya;
d. Tujuan satu-satunya suatu pidana yaitu mempertahankan tata tertib
hukum.

3. Teori gabungan (verenigingtheorien)


Teori gabungan antara pembalasan dan prevensi bervariasi pula.
Ada yang menitikberatkan pembalasan, ada pula juga yang ingin agar
unsur pembalasan dan prevensi menjadi seimbang. Pendapat pertama
yang menitikberatkan pada unsur pembalasan diantaranya yaitu
pendapat yang dikemukakan oleh Pompe, yang berpandangan bahwa
pidana tiada lain adalah pembalasan pada penjahat, tetapi juga
bertujuan untuk mempertahankan suatu tata tertib hukum agar
kepentingan umum dapat diselamatkan dan terjamin dari suatu
kejahatan. Pidana yang bersifata pembalasan dapat juga dibenarkan
apabila memiliki manfaat bagi pertahanan tata tertib (hukum)
masyarakat. Kemudian pendapat teori gabungan yang menitikberatkan
pada pembalasan selain Pompe adalah pendapat yang dikemukakan
oleh Zevenbergen yang berpandangan bahwa makna setiap pidana yaitu
suatu pembalasan, tetapi mempunyai maksud untuk melindungi suatu
tata tertib hukum sebab pidana itu mengembalikan dan
mempertahankan ketaatan pada hukum dan pemerintah. Oleh maka dari
32

itu, pidana baru akan dijatuhkan jika memang tidak ada jalan untuk
mempertahankan tata tertib hukum. 21
Teori gabungan yang kedua yakni menitikberatkan pertahanan tata
tertib masyarakat. Teori ini tidak boleh lebih berat daripada yang
ditimbulkannya dan kegunaannya juga tidak boleh lebih besar daripada
yang seharusnya. Teori ini sejajar dengan teori yang dikemukakan oleh
Thomas Aquinas yang berpendapat bahwa kesejahteraan umum
menjadi dasar hukum undang-undang pidana khususnya. Pidana
bersifat pembalasan karena pidana hanya dijatuhkan terhadap delik-
delik, yakni perbuatan yang dilakukan secara sukarela, pembalasan
adalah sifat suatu pidana tetapi bukan tujuan. Tujuan pidana yaitu
melindungi kesejahteraan masyarakat.22
Simons berpandangan bahwa dasar primer pidana yaitu pencegahan
umum, sedangkan data sekundernya adalah pencegahan khusus. Pidana
pada umumnya ditujukan pada ancaman pidananya dalam undang-
undang. Apabila hal ini tidak cukup kuat dan tidak efektif dalam hal
pencegahan umum, maka barulah diadakan pecegahan khusus yang
terletak dalam hal menakut-nakuti, memperbaiki dan membuat tidak
berdayanya seorang penjahat yang melakukan suatu perbuatan
kejahatan. Dalam hal ini perlu diingat bahwa pidana yang dijatuhkan
haruslah sesuai dengan atau berdasarkan atas hukum dari elemen
masyarakat

11. Generasi-generasi manusia


1. Traditionalists or Silent Generation
Kebanyakan orang yang berasal dari generasi ini lahir pada masa
'Depresi Hebat'. Pada masa itu, kebanyakan orang yang merupakan
bagian dari silent generation lahir pada tahun 1925 hingga 1945. Orang

21
Ibid., h. 167.
22
Andi Hamzah, Op.Cit., h. 37.
33

tua dari generasi ini kebanyakan berasal dari Lost Generation (Generasi
yang ada pada saat perang dunia I).

Generasi ini tumbuh dengan sebuah anggapan bahwa kehidupan yang


mereka miliki di masa depan akan sulit untuk dijalani. Pada era ini,
hadiah Natal biasanya hanya berupa hal sederhana seperti buah Jeruk
atau makanan lengkap.

Generasi ini juga disebut sebagai Silent Generation karena sebagai


kelompok mereka tidak berani untuk menyuarakan pendapat atau suara
mereka akan suatu hal. Generasi ini merasa bahwa menyuarakan suara
atau pendapat adalah hal yang berbahaya bagi diri mereka sendiri.

2. Baby Boomers
Baby Boomers adalah sebutan bagi orang-orang yang lahir pada
tahun 1946 hingga 1964. Generasi ini sering dikaitkan sebagai generasi
dengan hak istimewa, karena banyak yang tumbuh selama periode
peningkatan kemakmuran--sebagian karena subsidi pemerintah pasca-
perang yang meluas dalam perumahan dan pendidikan.

Sebagai sebuah kelompok, Generasi Baby Boomer dikatakan lebih


kaya, lebih aktif dan lebih bugar secara fisik daripada generasi
sebelumnya dan merupakan generasi pertama yang tumbuh dengan
anggapan bahwa dunia akan membaik seiring berjalannya waktu.

Mereka juga merupakan generasi yang mencapai tingkat pendapatan


tertinggi di tempat kerja dan dapat menikmati manfaat dari makanan
berlimpah, pakaian, program pensiun, dan bahkan produk "krisis paruh
baya". Namun, generasi ini juga sering dikritik karena peningkatan
konsumerisme yang dianggap berlebihan.
34

3. Generation X
Istilah Generation X diberikan pada orang-orang yang lahir pada
awal tahun 1960an hingga awal tahun 1980an, banyak orang juga setuju
bahwa tahun 1965 hingga tahun 1980 merupakan tahun yang tepat bagi
generasi ini.

Pada masa pergeseran nilai-nilai sosial, Generation X kebanyakan


masih berusia anak-anak dan disebut sebagai "generasi kunci". Pada
generasi ini, terjadi berkurangnya pengawasan orang dewasa pada anak-
anak dibandingkan dengan generasi sebelumnya dan juga meningkatnya
tingkat perceraian dan peningkatan partisipasi wanita dalam angkatan
kerja.

Pada tahun 1990-an mereka kadang-kadang disebut sebagai generasi


pemalas, sinis dan tidak puas. Beberapa pengaruh budaya pada pemuda
Gen X adalah genre musik grunge,hip hop, dan film independen.

Namun, berlawanan dengan anggapan generasi sebelumnya pada


generasi X, penelitian memperkirakan bahwa kebanyakan generasi X
akan menghabiskan masa tua mereka sebagai orang yang aktif, bahagia,
dan mencapai keseimbangan kerja-kehidupan.

4. Generation Y atau Millennials


Millenials mungkin merupakan salah satu istilah yang paling sering
kamu dengar. Generasi ini terdiri dari orang-orang yang lahir pada tahun
1981 hingga 1996. Generasi Millenial kadang-kadang disebut sebagai
"echo boomers" karena adanya lonjakan besar dalam tingkat kelahiran
pada 1980-an dan 1990-an, dan juga karena millennials seringkali
merupakan anak-anak dari baby boomers.
35

Karakteristik millennials berbeda-beda untuk setiap wilayah dan juga


individu, dan kelompok ini mengalami berbagai kondisi sosial dan
ekonomi, tetapi mereka umumnya ditandai oleh kemahiran yang mereka
miliki karena besar di zaman perkembangan informasi.

Generasi ini juga identik dengan kepiawaian mereka dalam


menggunakan teknologi digital, serta terlibat aktif dalam media sosial.

5. Generation Z
Generasi ini melambangkan orang-orang yang lahir pada tahun 1996
hingga tahun 2010. Generasi ini biasanya merupakan anak dari Generasi
X dan juga millenials.

Anggota Generasi Z biasanya telah menggunakan teknologi digital


sejak usia muda dan merasa nyaman dengan Internet dan media sosial,
tetapi belum sepenuhnya terlibat dalam pengembangan teknologi yang
membangun sistem canggih yang mereka gunakan.

6. Generation Alpha
Generation Alpha adalah generasi paling muda yang hidup saat ini.
Nama generasi ini diberikan pada anak-anak yang lahir pada tahun 2010
hingga tahun 2025 mendatang. Biasanya, Generation Alpha adalah anak-
anak dari para Millenials.

Generasi ini tumbuh dengan dikelilingi oleh teknologi sebagai


hiburan saat mereka berusia masih sangat dini. Kebanyakan dari orang
tua mereka adalah pengguna teknologi dan media sosial, sehingga
generasi ini akan mengenali masa kecil mereka dengan tren-tren yang
terjadi belakangan ini.
36

Tumbuh dalam generasi yang dipenuhi dengan berbagai jenis


informasi yang merebak dengan luas, generasi ini akan memiliki
tantangannya sendiri dalam memilah-milah mana yang benar dan salah.
Walau begitu, Generation Z diharapkan dapat membimbing generasi
baru ini untuk bijaksana dalam menggunakan teknologi di masa depan. 23

B. Metode Penelitian
Metode penelitian guna memberikan gambaran rancangan penelitian
yang meliputi antara lain prosedur dan langkah-langkah yang harus
ditempuh, waktu penelitian, sumber data dan dengan langkah apa data
tersebut diperoleh kemudian diolah dan dianalisis. Penelitian hukum adalah
suatu kejadian ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan
pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa
gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya.24

1. Obyek Penelitian
Penelitian tentang “Tinjauan Yuridis Terhadap Pencegahan
Penyalahgunaan Narkoba Pada Generasi Z” dan peraturan perundang-
undangan yang akan di gunakan oleh penulis dalam penulisan skripsi ini
adalah Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

2. Tipe Penelitian
Tipe penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah tipe
penelitian Yuridis Normatif, yakni penelitian hukum yang didasarkan
dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder, yang mencangkup

23
https://www.ef.co.id/englishfirst/kids/blog/generasi-milenial-alfa-boomer/ (di akses pada
tanggal 3 Mei 2021 pada pukul 22:11 WIB)
24
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: Universitas Indonesia,
2015), h.43.
37

penelitian terhadap asas-asas hukum yang terdapat di Undang-undang


Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika..25

3. Sifat Penelitian
Sifat penelitian yang digunakan oleh penulis adalah Deskriptif Analisis,
yaitu yang dimaksudkan untuk menggambarkan mengenai data yang seteliti
mungkin tentang kaidah-kaidah, norma-norma, asas-asas dan peraturan
hukum yang berlaku kemudian dianalisis untuk mencari jawaban atas
permasalahan yang diajukan pada pokok permasalahan. 26

4. Data dan Sumber Data


Berdasarkan tipe penelitian, penulis menggunakan Data Sekunder
dalam penelitian ini. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber
yang sudah dikumpulkan oleh para pihak lain baik melalui bahan hukum
primer (peraturan perundang-undangan) dan bahan hukum sekunder
(literature, hasil penelitian). Data sekunder yang dipergunakan dalam skripsi
ini terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang
diuraikan sebagai berikut:
a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan peraturan perundang-
undangan yang mengikat. Dalam penelitian ini bahan hukum primer yang
digunakan adalah Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika.
b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan yang mendukung dan memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer. Peneliti akan menggunakan
buku-buku ilmu hukum dan internet yang berkaitan dengan penulisan
ini. 27

25
Soerjono Soekanto, Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan
Singkat (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), h.14.
26
Ibid., h. 10
27
Ibid., h. 52
38

c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum penelitian yang terdiri atas
buku teks bukan hukum yang terkait dengan penelitian seperti kamus
bahasa Indonesia.

5. Pengumpulan Data
Kegiatan pengumpulan data yang dilakukan adalah dengan studi
kepustakaan (Library Research). Yaitu penulis akan mengumpulkan dan
mempelajari literatur yang ada kaitannya dengan penulisan skripsi ini,
mempelajari buku-buku karya tulis dari para ahli, peraturan perundang-
undangan dan internet.28 Cara pengambilan data ini dilakukan oleh penulis
di berbagai tempat seperti Perpustakaan Nasional, maupun mengakses
melalui internet.

6. Analisis Data
Dari hasil–hasil pengumpulan dan pengkajian data yang di peroleh
dalam pengumpulan data, maka data penelitian ini akan diolah untuk
dianalisis menggunakan metode analisis kualitatif untuk memperoleh
jawaban yang dapat menjadi suatu kesimpulan. Metode secara kualitatif
artinya data kepustakaan dianalisis secara mendalam dan lebih ditekankan
pada isi kualitas dari isi data. Tujuan dari pada analisis data dengan
menggunakan metode kualitatif yaitu bertujuan untuk mengerti atau
memahami gejala yang diteliti. 29

E. Definisi Oprasional
Dalam penelitian ini akan menggunakan beberapa penjelasan mengenai
Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba.
1. Tinjauan Yuridis

28
E. Zaenal Arifin, Metode Penulisan Ilmiah (Tangerang: Pusat Mandiri, 2017), h. 11.
29
Soerjono Soekanto, Op.Cit., h. 32.
39

Menurut kamus besar bahasa Indonesia, pengertian tinjauan adalah


mempelajari dengan cermat, memeriksa (untuk memahami), pandangan,
pendapat (sesudah menyelidiki, mempelajari, dan sebagainya). 30
Menurut kamus hukum, kata yuridis berasal dari kata Yuridisch yang
berarti menurut hukum atau dari segi hukum. dapat disimpulkan tinjauan
yuridis berarti mempelajari dengan cermat, memeriksa (untuk memahami),
suatu pandangan atau pendapat dari segi hukum. 31
2. Penyalahgunaan
Penyalahgunaan adalah suatu pola perilaku di mana seseorang
menggunakan obat-obatan golongan narkotika, psikotoprika, dan zat aditif
yang tidak sesuai fungsinya.
3. Narkoba
Narkoba adalah singkatan dari narkotika dan obat/bahan berbahaya.
4. Generasi Z
Generasi Z adalah Generasi yang melambangkan orang-orang yang lahir
pada tahun 1996 hingga tahun 2010.

F. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan ini terdiri dari 5 (lima) bab penulis akan
menjelaskan hasil penelitian dengan sistematika penulisan sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN
Didalam bab ini diuraikan tentang latar belakang, pokok
permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian.

BAB II : KAJIAN TEORITIS DAN METODELOGI


Pada bab ini penulis akan membahas mengenai tinjauan umum
mengenai pengertian Narkoba, jenis-jenis Narkoba,

30
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa
(Edisi Keempat), (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2012), h. 1470.
31
M. Marwan dan Jimmy P., Kamus Hukum, (Surabaya: Realiti Publisher, 2009), h.
651
40

Penyalahgunaan Narkoba, Pencegahan Penyalahgunaan


Narkoba, Layanan Rehabilitasi BNN, Pemidanaan
Penyalahgunaan Narkoba, Pemidanaan terhadap Anak, Generasi-
generasi Manusia. Metode Penelitian, Definisi Operasional dan
Sistematika Penulisan.

BAB III : PEMBAHASAN


Dalam bab ini akan menganalisis dan membahas mengenai
Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba pada generasi Z dan aturan
hukum bagi Penyalahgunaan Narkoba pada generasi Z.

BAB IV : PENUTUP
Dalam bab ini merupakan bagian akhir dari seluruh kegiatan
penulisan. Dalam bab berisi kesimpulan yang didasarkan pada
hasil analisis dan pembahasan penelitian serta saran yang sesuai
dengan pembahasan.
41

BAB III
PEMBAHASAN

A. Deskripsi Masalah
1) Bagaimana Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba pada generasi Z?
2) Bagaimana aturan hukum bagi Penyalahgunaan Narkoba pada generasi Z?

B. Analisa Masalah
Indonesia darurat Narkoba, dengan semakin meningkatnya jumlah
peredaran gelap narkoba, generasi penerus bangsa terancam akan bahaya
penyalahgunaan narkoba, maka untuk mewujudkan Indonesia bersinar tanpa
Narkotika, kita selaku orang dewasa harus selalu mengingatkan anak-anak
muda bangsa, dengan membuat target sasaran kepada pemuda-pemudi
penerus bangsa untuk memerangi narkoba. Pada tiap generasi pemuda dan
pemudi selalu berbeda-beda dalam kebiasaan dan pemikirannya. Pada saat ini
kita sedang melewati masa generasi milenial, generasi milenial lahir pada
tahun 1981 hingga tahun 1996, karakteristik millennials berbeda-beda untuk
setiap wilayah dan juga individu, dan kelompok ini mengalami berbagai
kondisi sosial dan ekonomi, tetapi mereka umumnya ditandai oleh kemahiran
yang mereka miliki karena besar di zaman perkembangan informasi.
Generasi milenial telah menjadi anak remaja dan orang yang beranjak
menjadi orang dewasa, sudah saatnya generasi milenial untuk mendidik dan
mengajarkan generasi selanjutnya yaitu generasi Z. Generasi Z memiliki
rentan waktu orang-orang yang lahir pada tahun 1996 hingga tahun 2010 yang
memiliki kebiasaan berbeda dengan pertumbuhan anak generasi milenial,
anggota Generasi Z biasanya telah menggunakan teknologi digital sejak usia
muda dan merasa nyaman dengan Internet dan media sosial. Maka dengan ini
saya tertarik untuk meneliti atau membahas mengenai cara-cara efektif
Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba pada generasi Z.
Berdasarkan Data dari BNN, penyalahgunaan narkoba di Indonesia pada
2017 sebanyak 3.376.115 orang pada rentang usia 10-59 tahun. Kemudian
42

pada 2019 penyalahgunaan narkotika pada anak dan remaja meningkat


sebesar 24-28 persen. Dengan ini menjelaskan bahwa semakin meningkatnya
penyalahgunaan Narkoba, dan melibatkan pada anak-anak. Dengan
menggerakan tagar War On Drug atau Perang terhadap narkoba maka suatu
bentuk kepedulian kita demi penerus generasi bangsa, salah satu hal yang bisa
dilakukan yaitu dengan cara Pencegahan, Edukasi Bahaya Narkoba salah
sebentuknya dengan membuat karya tulis imliah dengan tema “War on Drugs
menuju Indonesia Bersinar” ini.
Pencegahan penyalahguna Narkoba adalah seluruh usaha yg ditujukan
untuk mengurangi permintaan dan kebutuhan gelap Narkoba. Dalam hal
pencegahan penyalahgunaan Narkoba ada beberapa cara Pencegahan yaitu
Pencegahan Primer, Pencegahan Sekunder, dan Pencegahan Tertier.
a) Pencegahan Primer, Pencegahan Primer adalah: Ditujukan pada anak-
anak dan generasi muda yang belum pernah menyalahgunakan narkoba.
Semua sektor masyarakat yang berpotensi membantu generasi muda
untuk tidak menyalahgunakan narkoba. Kegiatan, Kegiatan pencegahan
primer terutama dilaksanakan dalam bentuk penyuluhan, penerangan dan
pendidikan. (Sumber: Pedoman P4GN, 2007, hal:70)
b) Pencegahan Sekunder, Pencegahan Sekunder adalah pencegahan yang
ditujukan pada: Anak-anak atau generasi muda yang sudah mulai
mencoba-coba menyalahgunakan narkoba. Sektor-sektor masyarakat
yang dapat membantu anak-anak, generasi muda berhenti
menyalahgunakan narkoba. Kegiatan-kegiatan pencegahan sekunder
menitikberatkan pada kegiatan deteksi secara dini terhadap anak yang
menyalahgunakan narkoba, konseling perorangan dan keluarga
pengguna, bimbingan sosial melalui kunjungan rumah. (Sumber:
Pedoman P4GN, 2007, hal: 71)
c) Pencegahan Tertier, Pencegahan Tertier ditujukan pada: Korban
Narkoba atau bekas korban narkoba. Sektor-sektor masyarakat yang bisa
membantu bekas korban Narkoba untuk tidak menggunakan Narkoba
lagi. Kegiatan-Kegiatan pencegahan tertier dilaksanakan dalam bentuk
43

bimbingan sosial dan konseling terhadap yang bersangkutan dan


keluarga serta kelompok sebayanya, penciptaan lingkungan sosial dan
pengawasan sosial yang menguntungkan bekas korban utk mantapnya
kesembuhan, pengembangan minat, bakat dan keterampilan kerja,
pembinaan orang tua, keluarga, teman dmn korban tinggal, agar siap
menerima bekas korban dgn baik jangan sampai bekas korban kembali
menyalahgunakan Narkoba. (Sumber: Pedoman P4GN, 2007, hal: 73).32
Berdasarkan uraian di atas yang lebih terkait dengan rumusan
masalah yaitu Pencegahan Primer, pencegahan yang menitikberatkan
pada generasi-generasi muda penerus bangsa yang pada saat ini yaitu
generasi Z yang rentan waktu kelahiran pada tahun 1999 hingga 2010
dengan teknologi yang sudah berkembang pesat sejak mereka di lahirkan,
maka usia anak-anak akan lebih mudah menerima kemajuan zaman dan
kecanggihan teknologi, salah satunya adalah media sosial. Perang
melawan Narkoba bukan saja untuk masyarakat golongan tua, namun
juga untuk semua generasi manusia, baik itu generasi milenial, Z, Alpha.
Dengan saling mengingatkan akan bahaya narkoba bagi generasi muda,
maka Indonesia akan menjadi Negara yang maju.

Aturan hukum bagi Penyalahgunaan Narkoba pada generasi Z, Generasi


Z memiliki rentan waktu orang-orang yang lahir pada tahun 1996 hingga
tahun 2010. Dengan begitu Generasi Z yaitu anak yang berusia anak dan
beranjak remaja pada saat ini. Penanganan anak berhadapan hukum berbeda
dengan penanganan terhadap orang dewasa yang berhadapan hukum, dalam
sistem peradilan pidana anak sangat mengutamakan penanganan perkara anak
mengedepankan keadilan restoratif. Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU

32
https://bnn.go.id/satuan-kerja/cegah/ (di akases pada tanggal 3 Mei 2021 pukul 22:27 WIB)
44

35/2014”), anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas)


tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Sistem peradilan pidana anak adalah keseluruhan proses penyelesaian
perkara anak yang berhadapan hukum mulai tahap penyidikan sampai dengan
tahap pembimbingan setelah menjalani proses pidana yang berdasarkan
perlindungan, keadilan, non diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak,
penghargaan terhadap anak, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak,
proporsional, perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya
terakhir dan penghindaran balasan (vide Pasal 1 angka 1 dan Pasal 2 Undang-
Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Dalam sistem peradilan pidana anak bahwa terhadap anak adalah anak
yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban dan anak yang
menjadi saksi dalam tindak pidana. Anak yang berkonflik dengan
hukum adalah anak yang yang telah berumur 12 tahun tetapi belum berumur
18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana; Anak yang menjadi
korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas tahun) yang
mengalami penderitaan fisik, mental dan atau kerugian ekonomi yang
disebabkan tindak pidana; Anak yang menjadi saksi adalah anak yang belum
berumur 18 (delapan belas tahun) yang dapat memberikan keterangan guna
kepentingan proses hukum mulai tingkat penyidikan, penuntutan dan sidang
pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat dan atau
dialami;
Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh anak sebelum genap berumur
18 tahun dan diajukan ke sidang pengadilan setelah anak melampaui batas
umur 18 tahun tetapi belum mencapai umur 21 tahun anak tetap diajukan ke
sidang anak (Pasal 20 Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 Tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak). Kalau dalam perkara dewasa (usia 18 tahun
ke atas) setiap tingkatan pemeriksaan tidak perlu didampingi orang tua/wali
namun dalam perkara anak berhadapan hukum perlu didampingi orang
tua/wali
45

Dalam proses perdilan anak para pihak-pihak yang terlibat dalam yakni
Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, Pembimbing Kemasyarakatan dan
Pekerja Sosial. Dengan ketentuan Penyidik adalah Penyidik Anak, Penuntut
Umum adalah Penuntut Umum Anak, Hakim adalah Hakim Anak,
Pembimbing Kemasyarakatan adalah pejabat fungsional penegak hukum
yang melaksanakan penelitian kemsyarakatan, pembimbingan, pengawasan,
pendampingan terhadap anak di dalam dan di luar proses peradilan pidana,
Pekerja Sosial adalah seseorang yang bekerja baik pada lembaga pemerintah
maupun swasta yang memiliki kompetensi dan profesi pekerjaan sosial serta
kepedulian dalam pekerjaan sosial yang diperoleh melalui pendidikan, dan
atau pengalaman praktik pekerjaan sosial untuk melaksanakan masalah
sosial.
Dalam melakukan pemeriksaan terhadap anak korban penyidik wajib
meminta laporan sosial dari pekerja sosial atau tenaga kesejahtaraan sosial
setelah tindak pidana dilaporkan; selanjutnya terhadap anak yang diajukan
sebagai anak yang berkonflik hukum (ABH) pada tingkat penyidikan,
penuntutan dan dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan wajib
diupayakan diversi. Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari
proses peradilan pidana di luar proses peradilan pidana, dan terhadap proses
tersebut dengan syarat-syarat yaitu Diancam pidana penjara dibawah 7 (tujuh)
tahun dan bukan pengulangan tindak pidana. Selanjutnya selain ketentuan
tersebut, berlaku pula terhadap anak yang didakwa melakukan tindak pidana
yang diancam pidana penjara dibawah 7 (tujuh) tahun dan didakwa pula
dengan tindak pidana yang diancam pidana penjara (tujuh) tahun atau lebih
dalam bentuk dakwaan subsidiaritas, alternatif, kumulatif maupun kombinasi
(gabungan) (Pasal 7 PERMA Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pedoman
Pelaksanaan Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak). Tujuan Diversi
adalah untuk Mencapai perdamaian anatara korban dan anak, Menyelesaikan
perkara anak diluar proses peradilan, Menghindarkan anak dari dari
perampasan kemerdekaan, Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi, dan
menanamkan rasa tanggung jawab pada anak. Dalam proses Diversi itu
46

sendiri tentunya ada pihak yang dilibatkan yakni anak, orang tua, korban, dan
atau orang tua/wali, pembimbing kemasyarakatan dan pekerja sosial
profesional berdasarkan pendekatan keadilan restorative justice yang
mengadung arti bahwa penyelesain perkara tindak pidana yang melibatkan
pelaku, korban dan pihak-pihak lain terkait untuk bersama-sama mencari
penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan
semula.
Dari hasil kesepakatan diversi: perdamaian dapat berupa: dengan atau
ganti kerugian, penyerahan kembali kepada orang tua/wali, keikut sertaan
dalam pendidikan/pelatihan dilembaga pendidikan atau LPKS, pelayanan
masyarakat. Dalam hal kesepakatan tercapai, maka setiap pejabat yang
bertanggung jawab dalam pelaksanaan diversi untuk diterbitkan penghentian
penyidikan, penghentian penuntutan, penghentian pemeriksaan perkara dan
bilamana tercapai maka proses pemeriksaan dilanjutkan. Selanjutnya dalam
hal tidak terjadi kesepakatan dalam waktu yang ditentukan maka pembimbing
kemasyakatan segera melaporkan kepada pejabat untuk menindaklanjuti
proses pemeriksaan.
Proses Pemeriksaan Anak, Penyidik, Penuntut Umum, Pembimbing
Kemasyarakatan dan atau pemberi bantuan hukum dan petugas lainnya dalam
memeriksa perkara anak, anak korban dan atau anak saksi tidak memakai toga
atau atribut kedinasan (Pasal 22 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak), kemudian dalam setiap tingkatan
pemeriksaan anak wajib diberikan bantuan hukum dan didampingi oleh
pembimbing kemasyarakatan atau pendamping dengan ketentuan yang
berlaku. Selanjutnya terkait penahanan terhadap anak (Pasal 32 UU Nomor
11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak) adalah sebagai
berikut:
 Penahanan terhadap anak tidak boleh dilakukan dalam hal memperoleh
jaminan dari orang tua atau lembaga bahwa anak tidak melarikan diri,
menghilangkan barang bukti atau merusak barang bukti atau tidak akan
mengulangi tindak pidana;
47

 Penahananan dapat dilakukan dengan syarat: Umur anak 14 (empat belas)


tahun, Diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara
selama 7 tahun atau lebih.
Penahanan terhadap anak tentunya berbeda pula dengan terdakwa
{dewasa} dan terhadap penahanan terhadap anak yang berkonflik hukum
tersebut yakni sebagai berikut:
 Penahanan oleh Penyidik paling lama 7 hari dan dapat diperpanjang oleh
Penuntut Umum, selama 8 hari; sedangkan terhadap terdakwa dewasa 20
hari dengan perpanjangan 40 hari;
 Penahanan oleh Penuntut Umum, paling lama 5 hari kemudian dapat
diperpanjang oleh Hakim selama 5 hari sedangkan terhadap terdakwa
dewasa 20 Hari dan diperpanjang selama 30 hari;
 Penahanan Hakim selama 10 hari kemudian diperpanjang selama 15 hari
oleh Ketua PN, sedangkan terdakwa dewasa adalah 30 hari dan dapat
diperpanjang selama 60 hari.

Proses pemeriksaan pada sidang pengadilan, Pemeriksaan di sidang


pengadilan terhadap anak dalam tingkat pertama dilakukan dengan hakim
tunggal, namun Ketua Pengadilan dalam pemeriksaan perkara anak dengan
hakim majelis dalam hal tindak pidana yang diancam pidana penjara 7 tahun
atau lebih sulit pembuktiannya. Hakim dalam memeriksa perkara anak dalam
sidang anak dinyatakan tertutup untuk umum kecuali pembacaan putusan.
Kemudian dalam peroses persidangan (Pasal 55 Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak) Hakim wajib
memerintahkan orang tua/wali atau pendamping atau pemberi bantuan
hukum lainnya; dalam hal orang tua,wali atau pendamping tidak hadir, sidang
dilanjutkan dengan didampingi advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya
dan atau pembimbing kemsyarakatan.
Bahwa pada saat memeriksa anak korban atau anak saksi, hakim dapat
memerintahkan agar anak dibawa keluar (Pasal 58 Undang-Undang R.I.
Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak). Dalam hal
48

anak korban atau anak saksi tidak dapat untuk memberikan keterangan di
depan sidang pengadilan, hakim dapat memerintahkan anak korban atau anak
saksi didengar keterangannya di luar persidangan melalui perekaman
elektronik yang dilakukan oleh pembimbing kemasyarakatan dengan dihadiri
penyidik atau Penuntut Umum dan Advokat atau pemberi bantuan hukum,
melalui pemeriksaan jarak jauh atau teleconference (Pasal 58 Undang-
Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak).
Hakim sebelum menjatuhkan putusan memberikan kesempatan kepada
orang tua/wali/pendamping untuk mengemukakan hal yang bermanfaat bagi
anak, kemudian pada saat pembacaan putusan pengadilan dilakukan dalam
sidang terbuka untuk umum dan dapat tidak dihadiri oleh anak. Penjatuhan
hukuman terhadap anak yang berkonflik hukum dapat dikenakan pidana dan
tindakan, dan anak hanya dapat dijatuhi pidana atau dikenai berdasarkan
ketentuan Undang-Undang ini.
Bahwa terhadap anak yang berkonflik hukum yang belum berusia 14
tahun hanya dapat dikenai tindakan bukan pemidanaan, yang meliputi
pengembalian kepada orang tua, penyerahan kepada seseorang, perawatan di
rumah sakit jiwa, dan perawatan di Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan
Sosial (LPKS), kewajiban mengikuti pendidikan formal dan atau pelatihan
yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta dan pencabutan Surat Ijin
Mengemudi, dan perbaikan akibat tindak pidananya. Sedangkan anak yang
sudah berusia 14 tahun ke atas tersebut dapat saja dijatuhi pidana dengan
macam-macam pidana sebagaimana dalam Pasal 71 Undang-Undang RI
Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yakni sebagai
Pidana pokok yang terdiri dari, pidana peringatan, pidana bersyarat
(pembinaan pada lembaga, pelayanan masyarakat, pengawasan), pelatihan
kerja, pembinaan dalam lembaga dan penjara, Pidana tambahan berupa
perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, pemenuhan
kewajiban adat.
Apabila dalam hukum materil seorang anak yang berkonflik hukum
diancam pidana kumulatif berupa pidana penjara dan denda, maka pidana
49

denda diganti denan pelatihan kerja paling singkat 3 bulan dan paling lama 1
tahun. Pidana pembatasan kebebasan yang dijatuhkan terhadap anak paling
lama ½ dari maksimun pidana penjara yang diancamkan terhadap orang
dewasa (Pasal 79 ayat 2 Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak), sedangkan terhadap ketentuan minimum
khusus pidana penjara tidak berlaku terhadap anak (Pasal 79 Undang-Undang
RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak).
Penahanan terhadap anak yang berkonflik hukum ditempatkan pada
Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS), sedangkan tempat anak
menjalani masa pidananya ditempatkan pada Lembaga Pembinaan Khusus
Anak (LPKA). Kemudian terhadap tempat anak mendapatkan pelayanan
sosial berada pada Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS).
Terhadap putusan Hakim pada tingkat pertama, baik anak yang berkonflik
hukum mapun Penuntut Umum tentunya dapat melakukan upaya hukum
selanjutnya yakni banding, kasasi dan peninjauan kembali.Terhadap anak
yang diajukan sebagai anak yang berkonflik hukum, yakni anak korban dan
anak saksi berhak atas semua perlindungan dan hak yang diatur dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Apabila seorang anak tharus di
laksakan rehabilitasi, maka dapat menggunakan layanan Rehabilitasi BNN
meliputi Rehabilitasi Medis, Rehabilitasi Sosial, Kegiataan Kerohanian, dan
Peningkatan Kemampuan.
Berdasarkan keterangan di atas, generasi Z merujuk pada usia 12 tahun
hingga usia 24 tahun, apabila anak yang berhadapan dengan hukum dalam hal
ini penyalahgunaan narkoba yang sudah berumur 12 tahun sampai dengan
berusia 21 tahun, maka akan mengikuti sidang anak dengan mengikuti
pedoman dalam Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem
Peradilan Anak seperti penjelasan di atas. Terkait dengan pemidanaan anak
sebagai pelaku penyalahgunaan seorang anak yang berkonflik hukum
diancam pidana kumulatif berupa pidana penjara dan denda, maka pidana
denda diganti denan pelatihan kerja paling singkat 3 bulan dan paling lama 1
tahun. Pidana pembatasan kebebasan yang dijatuhkan terhadap anak paling
50

lama ½ dari maksimun pidana penjara yang diancamkan terhadap orang


dewasa.
51

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba pada generasi Z dapat dilakukan
dengan beberapa cara salah satunya yaitu dengan cara Pencegahan Primer,
pencegahan dapat mencangkup semua sektor masyarakat yang berpotensi
membantu generasi muda untuk tidak menyalahgunakan narkoba. Kegiatan,
Kegiatan pencegahan primer terutama dilaksanakan dalam bentuk
penyuluhan, penerangan dan pendidikan. Pencegahan Penyalahgunaan
Narkoba harus bergerak secara dinamis dan mengikuti berkembangan pada
tiap generasi, agar makna yang terkandung dapat sampai pada tiap orang.
Pemidanaan bagi Penyalahgunaan Narkoba pada generasi Z, generasi Z
merujuk pada usia 12 tahun hingga usia 24 tahun, apabila anak yang
berhadapan dengan hukum dalam hal ini penyalahgunaan narkoba yang sudah
berumur 12 tahun sampai dengan berusia 21 tahun, maka akan mengikuti
sidang anak. Pemidanaan seorang anak yang berkonflik hukum diancam
pidana kumulatif berupa pidana penjara dan denda, maka pidana denda
diganti denan pelatihan kerja paling singkat 3 bulan dan paling lama 1
tahun. Pidana pembatasan kebebasan yang dijatuhkan terhadap anak paling
lama ½ dari maksimun pidana penjara yang diancamkan terhadap orang
dewasa.

B. Saran
Dengan demikian untuk melakukan Pencegahan Penyalahgunaan
Narkoba pada saat ini sangat di butuhkan dalam media sosial dan tidak
menutup kemungkinan dalam bentuk poster, slogan yang ada pada
lingkungan umum dan pada lingkungan sekolah.
Pemidanaan bagi anak yang berhadapan dengan hukum harus sesuai
dengan ketentuan Peradilan Anak. dan Anak yang berhadapan dengan hukum
harus mendapatkan perlindungan hukum dengan maksimal.
52

DAFTAR PUSTAKA

BUKU
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2014).
Aziz Syamsuddin, Tindak Pidana Khusus, (Jakarta: Sinar Grafika, 2017).
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: Universitas Indonesia,
2015).
Jan Remmelink, Hukum Pidana Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting Dari Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya Dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2003)
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, (Jakarta: Raja Grafindo,2013)
Soerjono Soekanto, Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan
Singkat (Jakarta: Rajawali Pers, 2014)
E. Zaenal Arifin, Metode Penulisan Ilmiah (Tangerang: Pusat Mandiri, 2017)
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa
(Edisi Keempat), (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2012)
M. Marwan dan Jimmy P., Kamus Hukum, (Surabaya: Realiti Publisher, 2009)

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika
Permenkes Nomor 7 Tahun 2018 Tentang Perubahan Penggolongan Narkotika

ONLINE DARI INTERNET


https://nasional.kompas.com/read/2020/06/26/17590051/kementerian-pppa-
naiknya-kasus-narkoba-anak-jadi-alarm-bagi-orangtua?page=all (di akses pada
tanggal)
https://bnn.go.id/3-500-generasi-riau-siap-bentengi-diri-dari-narkoba/
https://bnn.go.id/4-langkah-cara-mengatasi-kecanduan-narkoba/
https://bnn.go.id/satuan-kerja/cegah/
53

https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt52f93ee68a431/perlindungan
-hukum-bagi-anak-yang-dijadikan-kurir-narkotika/
https://www.ef.co.id/englishfirst/kids/blog/generasi-milenial-alfa-boomer/

Anda mungkin juga menyukai