Anda di halaman 1dari 80

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Narkotika merupakan obat atau bahan yang bermanfaat bagi pengobatan

atau pelayanan kesehatan dan juga untuk kepentingan pengembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi di dalam dunia medis/kedokteran dan farmasi serta

untuk kepentingan pendidikan dan pelatihan. Namun di sisi lain dapat pula

menimbulkan akibat sampingan yang sangat merugikan apabila disalahgunakan

atau digunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan saksama

penggunaan tanpa hak dan melawan hukum serta dilakukan untuk maksud karena

ingin menikmati pengaruhnya, dalam jumlah berlebih, kurang teratur, dan

berlangsung cukup lama, sehingga menyebabkan gangguan kesehatan fisik

(berupa ketergantungan), mental dan kehidupan sosial serta diedarkan secara

illegal.1

Penyalahgunaan narkotika, psikotropika, obat–obatan berbahaya dan

bahan zat adiktif lain (narkoba) di Indonesia beberapa tahun terakhir ini

merupakan masalah serius dan telah mencapai keadaan yang memperihatinkan

sehingga menjadi masalah nasional. Korban penyalahgunaan narkoba telah

meluas sedemikian rupa sehingga melampaui lapisan strata sosial, umur dan jenis

kelamin. Tidak hanya di perkotaan tetapi juga merambah sampai ke pedesaan dan

menembus batas negara yang akibatnya sangat merugikan perorangan,

masyarakat, negara, khususnya generasi muda. Dampak buruk yang dapat

1
Akhmad Ali, 2008, Menguak Realitas Hukum, Rampai Kolom dan Artikel Pilihan
dalam Bidang Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, hal. 16.

1
ditimbulkan bahkan lebih besar lagi bagi kehidupan dan nilai-nilai budaya bangsa

yang pada akhirnya dapat melemahkan ketahanan nasional.

Bangsa Indonesia, saat ini sedang dihadapkan pada keadaan yang sangat

mengkhawatirkan akibat semakin tingginya penggunaan narkoba, kekhawatiran

ini semakin diperkuat akibat meluasnya peredaran narkoba di kalangan generasi

muda. Selain itu, Indonesia yang beberapa waktu lalu menjadi tempat transit dan

pasar bagi peredaran narkoba, saat ini sudah berkembang menjadi produsen

narkoba. Hal ini tentunya sangat berpengaruh terhadap ketahahan masyarakat dan

kehidupan bangsa dan negara khususnya generasi muda. Karena bagian

masyarakat pada kelompok ini lah yang akan meneruskan cita-cita bangsa dan

negara pada masa mendatang, oleh karena itu semua potensi bangsa harus serius

mencurahkan perhatian untuk berpartisipasi aktif dalam penanggulangan tindak

pidana penyalahgunaan narkotika demi kelangsungan hidup bangsa Indonesia.

Meningkattnya peredaran narkoba di masyarakat dan besarnya dampak

buruk serta kerugian baik secara ekonomi maupun segi sosial yang

ditimbulkannya membuka kesadaran berbagai kalangan untuk menggerakkan

‘‘perang’’ terhadap narkotika, psikotropika, obat-obatan terlarang dan zat adiktif

berbahaya lainnya (narkoba). Diproyeksikan akan terjadi peningkatan kerugian

biaya sosial dan ekonomi (sosek) akibat penyalahgunaan narkoba sekitar 2,3 kali

lipatnya atau meningkat dari Rp.63,1 trilyun menjadi 143,8 trilyun di tahun 2020. 2

Biaya yang terjadi pada kelompok laki-laki jauh lebih tinggi dibandingkan

kelompok perempuan.

2
Laporan Survei Perkembangan Penyalahguna Narkoba di Indonesia T.A 2014 – BNN.

2
Jika dipilah, diperkirakan sebesar Rp.56,1 trilyun untuk kerugian biaya

pribadi (private) dan Rp.6,9 trilyun untuk kerugian biaya sosial. 3 Pada biaya

private sebagian besar digunakan untuk biaya konsumsi narkoba (76%). 4

Sedangkan pada biaya sosial sebagian besar diperuntukan untuk kerugian biaya

akibat kematian karena narkoba (premature death) (78%).5

Berdasarkan data yang dihimpun Badan Narkotika Nasional (BNN),

jumlah kasus narkoba meningkat dari sebanyak 3.478 kasus pada tahun 2000

menjadi 8.401 di tahun 2004, atau meningkat 28,9% per tahun. Jumlah angka

tindak kejahatan narkoba pun meningkat dari 4.955 di tahun 2000 menjadi 11.315

kasus pada tahun 2004. Data pada bulan Juni 2005 menunjukkan kasus itu

meningkat semakin tajam.6 Kemudian pada tahun 2007 adanya data lain yang

menunjukkan bahwa terdapat sekitar 3,2 juta pengguna narkoba di Indonesia,

secara nasional dari total 111.000 tahanan, 30% karena kasus narkoba, perkara

narkoba telah menembus batas gender, kelas ekonomi bahkan usia.7

Pada tahun 2011 diperkirakan jumlah pengguna narkoba di Indonesia

berkisar antara 3,7 – 4,7 juta orang, atau sekitar 2,2% dari total penduduk usia

10-59 tahun.8 Diperkirakan pula bahwa tingkat penggunaan narkoba akan semakin

tinggi dalam beberapa tahun ke depan. Hasil proyeksi memperkirakan angka

prevalensi pengguna narkoba meningkat sekira 2,6% di tahun 2013.9 Kemudian

dalam sebuah Laporan Survei Perkembangan Penyalahguna Narkoba di Indonesia

3
Ibid
4
Ibid.
5
Idid.
6
Penelitian penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba di Indonesia tahun 2003 dan
2004, http/ www.bnn.go.id/konten. (diakses pada hari sabtu, 2 Januari 2016 pukul 22:54 Wib).
7
Berita Mahkamah Konstitusi, (ed) No.19, April-Mei, 2007, hal. 15.
8
BNN dan PPKUI 2011.
9
Studi Kasus 5 Kota Medan (Sumatera Utara), DKI Jakarta, Bandung (Jawa Barat),
Makassar (Sulawesi Selatan) dan Mataram (NusaTenggara Barat).

3
Tahun Anggaran 2014,10 diperkirakan jumlah penyalahguna narkoba sebanyak 3,8

juta sampai 4,1 juta orang atau sekitar 2,10% sampai 2,25% dari total seluruh

penduduk Indonesia yang berisiko terpapar narkoba di tahun 2014.

Jika dibandingkan studi tahun 2011, angka prevalensi tersebut relatif stabil

(2,2%) tetapi terjadi kenaikan bila dibandingkan hasil studi tahun 2008 (1,9%).

Hasil proyeksi perhitungan penyalahguna narkoba dibagi menjadi 3 skenario,

yaitu skenario naik, skenario stabil, dan skenario turun. Pada skenario naik,

jumlah penyalahguna akan meningkat dari 4,1 juta (2014) menjadi 5,0 juta orang

(2020). Sementara bila skenario turun akan menjadi 3,7 juta orang (2020).

Kontribusi jumlah penyalahguna terbesar berasal dari kelompok pekerja, karena

memiliki kemampuan finansial dan tekanan kerja yang besar sehingga tingkat

stres tinggi. Penyalahguna coba pakai memiliki proporsi terbesar, terutama dari

kelompok pelajar/mahasiswa. Sementara itu, pada kelompok pecandu suntik,

polanya cenderung stabil untuk 7 tahun ke depan. Hal yang perlu dikhawatirkan

pada penyalahguna narkoba suntik adalah pemakaian bersama alat suntik yang

beresiko tinggi tertular penyakit hepatitis dan HIV/AIDS.

Fakta bahwa sebagian besar penyalahguna merupakan remaja dan

berpendidikan tinggi yang merupakan modal bangsa yang tidak ternilai. Maka

sudah pasti menjadi suatu hal yang sangat urgent untuk di cermati. Bila

pemerintah tidak segera bertindak secara serius, maka dampak dan kerugian biaya

yang ditimbulkan akan jauh lebih besar lagi, besaran biaya yang sesungguhnya

jauh lebih besar dari biaya hitungan pelaksananaan sebuah studi/survei

penyalahgunaan narkoba di Indonesia. Dampak ekonomi dan sosial

10
Laporan Survei Perkembangan Penyalahguna Narkoba di Indonesia T.A 2014 – BNN.

4
penyalahgunaan narkoba yang sangat besar ini menggarisbawahi upaya

pencegahan dan penanggulangan narkoba sebagai upaya yang sangat mendesak.

Pemakai atau pecandu narkotika dalam perspektif hukum merupakan

seorang pelaku pidana. Namun bila dicermati dengan lebih seksama, banyak

kalangan berpendapat bahwa sebenarnya mereka merupakan korban dari sindikat

atau mata rantai peredaran dan perdagangan narkotika, psikotropika, obat-obatan

terlarang dan bahan adiktif lain (narkoba). Pecandu merupakan pangsa pasar

utama sebagai pelanggan tetap. Secara psikologis, mereka sulit melepaskan diri

dari ketergantungan, walaupun mungkin, sebenarnya mereka ingin lepas dari

jeratan narkotika yang membelitnya.

Pecandu memerlukan penanganan yang berbeda dalam proses

pemidanannya. Berdasarkan pandangan tersebut, maka penghukumannya pun

perlu dilakukan tersendiri, dengan pola penanganan, pembinaan, dan perlakuan

yang berbeda pula. Di sinilah fungsi institusi negara menjadi sangat penting dalam

memainkan peran yang sangat penting dalam kebijakan penanganan narkotika. Ia

digunakan untuk menghukum dan juga menjaga sejumlah besar orang yang

memiliki pengalaman memakai dan bermasalah dengan narkotika. Ia juga

memiliki peran penting dalam upaya mengurangi dampak buruk yang disebabkan

oleh (pemakaian) narkotika.

Berbicara tentang penegakan hukum pidana berarti kita membicarakan

usaha menanggulangi kejahatan di dalam masyarakat. Usaha menanggulangi

kejahatan di dalam masyarakat identik dengan pembicaraan Politik Kriminal atau

“Criminal Policy”. Politik kriminal adalah usaha yang rasional dari masyarakat

dalam menanggulangi kejahatan. Usaha menanggulangi kejahatan dalam

5
masyarakat secara operasional dapat dilakukan dengan menggunakan hukum

pidana (penal) dan non hukum pidana (non penal) usaha penal dan non penal

saling melengkapi. Pembangunan hukum pidana di Indonesia diwujudkan melalui

penegakan hukum pidana yang bekerja secara operasional melalui suatu sistem

yang disebut Sistem Peradilan Hukum Pidana (Criminal Justice System).11

Penanggulangan kejahatan melalui sarana penal secara operasional

dilakukan dengan melalui langkah-langkah perumusan norma-norma hukum

pidana baik hukum pidana materiil (substantive criminal law), hukum pidana

formil (procedural criminal law) maupun hukum pelaksanaan pidana

(penitentiary criminal law). Sistem hukum pidana selanjutnya akan beroperasi

melalui suatu jaringan (network) yang disebut “Sistem Peradilan Pidana” atau

“Criminal Justice System”.12

Menurut Muladi, “Sistem Peradilan Pidana” harus dilihat sebagai “The

network of court and tribunals which deal whih criminal law and its

enforcement”. Sistem Peradilan Pidana di dalamnya mengandung gerak sistemik

dari subsistem-subsistem pendukungnya ialah Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan

dan Lembaga Koreksi atau Pemasyarakatan, yang secara keseluruhan merupakan

satu kesatuan yang berusaha mentransformasikan masukan (input) menjadi

keluaran (output) yang menjadi tujuan Sistem Peradilan Pidana yang terdiri dari13:

(1) Tujuan jangka pendek berupa resosialisasi pelaku tindak pidana;


(2) Tujuan jangka menengah berupa pencegahan kejahatan; dan
(3) Tujuan jangka panjang berupa kesejahteraan sosial.

11
Diktat Akpol, Sisdil di Indonesia, (Semarang : Markas Besar Kepolisian Republik
Indonesia, 2005), hal. 46.
12
Nyoman Serikat Putra Jaya, Diktat Bahan Kuliah, Sistem Peradilan Pidana
(“Criminal Justice System”), (Semarang: Progam Magister Ilmu Hukum Universitas
Diponegoro, 2009), hal. 11.
13
Nyoman Serikat Putra Jaya, Op.cit. hal. 13.

6
Usaha penanggulangan kejahatan melalui undang-undang (hukum) pidana

pada hakikatnya merupakan bagian integral dari usaha perlindungan masyarakat

(social defence). Kebijakan sosial (social policy) dapat diartikan sebagai usaha

yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat sekaligus mencakup

perlindungan masyarakat. Jadi dalam pengertian ‘‘social politic” mencakup di

dalamnya “social welfare politic” dan “social defence politic”.14

Upaya penanggulangan tersebut secara garis besar dapat dilakukan dengan

dua cara yaitu penal dan non penal. Dalam hal menggunakan sarana penal, tidak

lain adalah menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum

pidana materil, hukum pidana formal maupun pelaksanaan pidana yang

dilaksanakan melalui sistem peradilan pidana untuk mencapai tujuan tertentu.

Tujuan tersebut dalam jangka pendek adalah resosialisasi (memasyarakatkan

kembali) pelaku tindak pidana, jangka menengah adalah untuk mencegah

kejahatan dan dalam jangka panjang yang merupakan tujuan akhir untuk

mencapai kesejahteraan sosial.15

Salah satu bentuk kebijakan yang menonjol dalam mengendalikan

penyalahgunaan narkoba adalah diberlakukannya sistem peradilan pidana

terhadap para pengguna. Walaupun demikian, besarnya sumber daya yang

diinvestasikan dalam upaya penegakkan hukum di seluruh dunia, dengan

melakukan penangkapan serta pemenjaraan terhadap pengguna narkoba, tidak

menunjukan penurunan angka pengguna dan angka penggunaan yang cukup

berarti. Data yang dikeluarkan oleh United Nations Office on Drugs and Crime

(UNODC) menunjukkan bahwa pasokan zat illegal turunan opiat, seperti heroin,
14
M. Hamdan. Politik Hukum Pidana, (Jakarta : Raja Grafindo Perkasa Persada, 1997)
hal. 24.
15
Ibid.

7
di seluruh dunia telah meningkat lebih dari 380% dalam beberapa dekade terakhir;

yaitu dari 1.000 metrik ton pada tahun 1980 menjadi lebih dari 4.800 metrik ton

pada tahun 2010. Peningkatan ini berbarengan dengan penurunan harga heroin

sebesar 79% di Eropa antara tahun 1990–2009. Fakta serupa juga terjadi di

Indonesia; data yang dikeluarkan oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) pada

tahun 2011 menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan angka sitaan dan

pengungkapan kasus narkotika. Pengungkapan kasus di tahun 2006 yang

berjumlah 17.326 kasus, meningkat menjadi 26.461 kasus di tahun 2010.

Peningkatan permasalahan narkoba di tingkat nasional dan global

membuat pemerintah Indonesia melakukan perubahan terhadap undang-undang

narkotika untuk merespon situasi tersebut. Undang-Undang Nomor 35 Tahun

2009 tentang Narkotika merupakan undang-undang yang disahkan untuk

memperbarui undang-undang narkotika sebelumnya yaitu Undang-Undang

Nomor 22 Tahun 1997. Undang-undang baru tentang narkotika ini memiliki

tujuan untuk mencegah terjadinya peningkatan kecenderungan penggunaan, baik

secara kualitatif maupun kuantitatif, yang disinyalir akan memakan lebih banyak

korban. Selain itu juga untuk melindungi masyarakat dari bahaya penyalahgunaan

dan mencegah serta memberantas peredaran gelap narkoba. Untuk mencapai

upaya tersebut undang-undang ini juga mengatur tentang kewajiban pecandu

narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika untuk menjalani rehabilitasi

medis dan rehabilitasi sosial sebagaimana tercantum dalam Pasal 54. Pada Pasal

55 yang mewajibkan Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur untuk

melakukan wajib lapor diri atau dilaporkan oleh keluarganya kepada pusat

kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan

8
rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh pemerintah agar bisa mendapatkan layanan

pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.16

Mengacu pada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

pasal 103 mengatur tentang kewenangan hakim dalam memutuskan vonis bagi

korban narkoba untuk menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui

rehabilitasi. Pengaturan lebih lanjut tentang pelaksanaan rehbilitasi diatur dalam

Peraturan Pemerintah Nomor. 25 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor

Bagi Pecandu Narkotika Pasal 13 ayat 4 yang menyatakan bahwa penyidik,

penuntut umum atau hakim, sesuai tingkat pemeriksaan masing-masing, memliki

kewenangan untuk menempatkan pengguna narkoba dalam lembaga rehabilitasi

medis dan rehabilitasi sosial. Hal ini diperkuat dengan Surat Edaran Mahkamah

Agung Nomor 4 tahun 2010 dan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 tahun

2011 serta Surat Edaran Jaksa Agung Nomor SE 002/A/JA/02/2013 dan ditambah

dengan petunjuk teknis dalam Surat Edaran Jaksa Agung Muda Pidana Umum

Nomor B 601/E/EJP//02/2013. Rangkaian peraturan ini secara terstruktur telah

mengatur dengan jelas hal-hal yang terkait dengan penempatan pecandu narkoba

dalam rehabilitasi medis dan/atau rehabilitasi sosial.

Namun ternyata implementasi dari undang-undang tersebut belumlah

optimal, karena berdasarkan sistem database pemasyarakatan (SDP) Direktorat

Jenderal Pemasyarakatan, pada tahun 2013 tercatat sebanyak 26.906 orang atau

sebanyak 38,7 % dari jumlah total warga binaan yang berada di dalam penjara

adalah pengguna narkoba.17

16
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
17
Sistem Database Pemasyarakatan (SDP) DitJenPas–KeMenHukHam, 2013 :
http://smslap.ditjenpas.go.id/public/krl/current/monthly/kanwil/all/year/2013/month/4.

9
Situasi hunian di dalam penjara Indonesia pada saat ini sudah jauh

melebihi kapasitas. Dan menurut Sistem Database Pemasyarakatan terdapat 463

penjara di Indonesia, termasuk 13 penjara yang dibuat khusus untuk tindak pidana

narkotika, memiliki jumlah kapasitas total 110.102 narapidana. Data yang

dikeluarkan oleh Sistem Database Pemasyarakatan pada bulan Januari 2014

menunjukkan bahwa jumlah hunian penjara mencapai 161.169 narapidana, yang

artinya penjara tersebut memiliki kelebihan jumlah hunian sebesar 146%.18

Kondisi ini menyebabkan masalah kesehatan yang serius, termasuk risiko

penyebaran penyakit menular seperti HIV, Tuberculosis, kolera, dan penyakit

diare lain yang terkait dengan masalah sanitasi yang tidak memadai, gizi buruk

dan gangguan psikologis.19 Penahanan dan pemenjaraan terhadap pengguna

narkoba dalam proses hukum oleh aparat penegak hukum dianggap sebagai upaya

yang tepat untuk mengurangi angka penggunaan narkoba merupakan bentuk

adanya kriminalisasi terhadap pengguna (terutama pemakai). Perbedaan

pemahaman antara permasalahan kriminal dalam sistem peradilan pidana dan

permasalahan kesehatan ini berdampak besar pada implementasi upaya

penanggulangan permasalahan narkoba di Indonesia terkait adanya “mandat”

diberikannya tindakan rehabilitasi bagi penyalahguna dan/atau pemakai/pecandu.

Dari sudut pandang kesehatan masyarakat, upaya penangkapan dan

pemenjaraan terhadap pengguna narkoba dianggap akan menjauhkan pengguna

narkoba dari upaya penanganan kesehatan dan pemulihan ketergantungan, serta

meningkatkan risiko penyebaran penyakit menular. Penghuni tahanan memiliki

18
Sistem Database Pemasyarakatan (2014), available from :
http://smslap.ditjenpas.go.id/public/grl/current/monthly/kanwil/all/year/2014/month/1.
19
Open Society Foundation (2011). Petrial Detention and Health : Unintended
Consequences, Deadly Result.

10
kebutuhan kesehatan yang jauh lebih besar dari pada populasi umum. Gangguan

kesehatan mental tinggi, penggunaan narkoba, penyakit kronis, penyakit menular

dan kecacatan (ABS 2010; Condon et al.2007b; Buttler et al.2011; Hockings et

al.2002) adalah beberapa permasalahan kesehatan yang dihadapi oleh warga

binaan di dalam penjara. Gangguan kesehatan mental dan narkoba sangat lazim

terjadi dikalangan penghuni penjara. Hanya sekira seperempat dari total jumlah

tahanan yang tidak memiliki masalah tersebut (Friestad & AMP; Kjelsberg 2009;

Smith & AMP; Trimboli 2010). Pemidanaan terhadap pengguna narkoba juga

membuka peluang untuk meningkatkan tindak kejahatan. Selain itu, kurangnya

akses ke sumber daya, pola penggunaan narkoba serta kesenjangan kesehatan juga

dapat menjadi faktor yang saling memperkuat. Sejumlah besar orang yang dikirim

ke penjara atas pelanggaran narkoba sekarang telah menyelesaikan persyaratan

masa hukuman mereka dan kembali ke masyarakat. Program persiapan untuk

kembali ke masyarakat (reintegrasi) yang tidak proporsional, tanpa sumber daya

(pendidikan, kesempatan kerja, asuransi, perawatan kesehatan, perumahan, dan

hak untuk memilih) membuat pengguna narkoba menghadapi risiko lebih tinggi

mengalami kepulangan dalam keadaan sakit dan meningkatkan beban keluarga

serta masyarakat.20

Berdasarkan uraian tersebut di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian dengan judul “TINJAUAN YURIDIS TERHADAP REHABILITASI

KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA/PSIKOTROPIKA (DI

YAYASAN CARITAS – PSE, MEDAN)” sebagai latar belakang pada skripsi ini

20
Iguchi, Y. Martin,PHD Jennifer A. London Nell Griffith Forge, PhD Laura Hickman,
PhD Terry Fain, MS, MA Kara Riehman, PhD. (2002). Elements of Well-Being Affected by
Criminalizing the Drug User. Public Health Report : Volumen 117, Supplement 1.

11
agar kelak dapat berguna sebagai materi yang bersifat referensi bagi pihak-pihak

yang membacanya.

1.2. Identifikasi Masalah

Secara umum gambaran permasalahan dalam penelitian ini adalah tentang

tinjauan hukum pidana terhadap rehabilitasi korban penyalahguna sebagai sanksi

dan upaya penanggulangan penyalahgunaan narkotika/psikotropika. Berdasarkan

latar belakang masalah tersebut diatas, maka identifikasi masalah dalam

penelitian ini adalah :

1. Bagaimana pengaturan sistem pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana

penyalahgunaan narkoba di Indonesia.

2. Bagaimana penerapan sistem pemidanaan oleh aparat penegak hukum

terhadap pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkoba.

3. Bagaimana hambatan-hambatan di dalam menerapkan sistem pemidanaan

terhadap pelaku penyalahgunaan narkoba .

4. Bagaimana penerapan rehabilitasi bagi korban penyalahgunaan narkoba.

1.3. Pembatasan Masalah

Disebabkan keterbatasan waktu, dan proses yang panjang dalam hal ini

penelitian dilakukan :

1. Penelitian hanya meneliti tentang proses penerapan rehabilitasi korban

penyalahguna sebagai sanksi dan upaya penanggulangan penyalahgunaan

narkotika/ psikotropika di Yayasan Caritas – PSE Medan dan,

12
2. Meneliti tentang pelaksanaan model alternatif pembinaan korban

penyalahguna dalam upaya penanggulangan penyalahgunaan narkoba

secara non penal di Yayasan Caritas – PSE, Medan

1.4. Perumusan Masalah

Adapun permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah proses penerapan rehabilitasi korban penyalahguna sebagai

sanksi dan upaya penanggulangan penyalahgunaan narkoba serta

hambatan yang dihadapi oleh Yayasan Caritas – PSE Medan?

2. Bagaimanakah pelaksanaan model alternatif pembinaan korban

penyalahguna dalam upaya penanggulangan penyalahgunaan narkoba

secara non penal di Yayasan Caritas – PSE Medan?

1.5. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan secara keseluruhan yang hendak di capai dalam penelitian ini

sesuai dengan pokok permasalahan yang ada, sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui dan kajian yuridis proses penerapan rehabilitasi korban

penyalahguna sebagai sanksi dan upaya penanggulangan penyalahgunaan

narkoba.

2. Untuk mengetahui dan mengkaji model alternatif pembinaan korban

penyalahguna dalam upaya penanggulangan penyalahgunaan narkoba secara

non penal.

13
Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini antara lain:

1. Manfaat Teoritis

a. Diharapkan penelitian ini dapat menambah pengetahuan dan pengembangan

ilmu hukum terutama di bidang hukum pidana, khususnya penerapan

rehabilitasi korban penyalahgunaan narkoba.

b. Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran

dan manfaat akademis bagi penelitian selanjutnya mengenai

penyalahgunaan narkoba.

2. Manfaat Praktis

a. Memberikan masukan mengenai persoalan-persoalan yang berkaitan dengan

pemasalahan yang terdapat dalam penelitian ini.

b. Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan ilmu

pengetahuan di bidang hukum yang didasarkan pada fakta di lapangan dan

disertai dengan teori-teori maupun peraturan-peraturan hukum positif.

c. Sebagai stimulan serta sumbangan bagi masyarakat ilmiah pada umumnya

untuk mencari, meneliti, menemukan dan memecahkan masalah-masalah

hukum yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, khususnya masalah

narkotika.

14
BAB II

LANDASAN TEORI

2.1. Uraian Teori

2.1.1. Pengertian Tindak Pidana

Pengertian tentang tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum

Pidana (KUHP) dikenal dengan istilah Strafbaar Feit dan dalam kepustakaan,

hukum pidana sering dipergunakan istilah delik, sedangkan pembuat undang-

undang merumuskannya didalam suatu undang-undang dengan mempergunakan

istilah peristiwa pidana atau perbuatan pidana atau tindak pidana. Tindak pidana

merupakan suatu istilah yang mengandung suatu pengertian dasar dalam ilmu

hukum, sebagai istilah yang dibentuk dengan kesadaran dalam memberikan ciri

tertentu pada peristiwa hukum pidana. Tindak pidana mempunyai pengertian yang

abstrak dari peristiwa-peristiwa yang kongkrit dalam lapangan hukum pidana,

sehingga tindak pidana haruslah diberikan arti yang bersifat ilmiah dan ditentukan

dengan jelas untuk dapat memisahkan dengan istilah yang dipakai sehari-hari

dalam kehidupan masyarakat.21 Seperti yang diungkapkan oleh seorang ahli

hukum pidana yaitu Moeljatno yang berpendapat bahwa pengertian tindak pidana

yang menurut istilah beliau yakni perbuatan pidana adalah: ”Perbuatan yang

dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang

berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.”22

Jadi berdasarkan pendapat tersebut di atas, maka pengertian dari tindak

pidana yang dimaksud adalah bahwa perbuatan pidana atau tindak pidana

senantiasa merupakan suatu perbuatan yang tidak selaras atau melanggar suatu
21
Wiryono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, PT Refika Aditama,
Bandung : 2003, hal. 1.
22
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta : 1987, hal. 54.

15
aturan hukum atau perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum yang disertai

dengan sanksi pidana yang mana aturan tersebut ditujukan kepada perbuatan

sedangkan ancamannya atau sanksi pidananya ditujukan kepada orang yang

melakukan atau orang yang menimbulkan kejadian tersebut. Dalam hal ini, maka

terhadap setiap orang yang melanggar aturan-aturan hukum yang berlaku, dengan

demikian dapat dikatakan bahwa orang tersebut adalah pelaku perbuatan pidana

atau pelaku tindak pidana. Akan tetapi harus selalu diingat bahwa aturan larangan

dan ancaman mempunyai hubungan yang erat, oleh karenanya antara kejadian

dengan orang yang menimbulkan kejadian juga mempunyai hubungan yang erat

pula. Sehubungan dengan hal pengertian tindak pidana ini, Bambang Poernomo

berpendapat bahwa perumusan mengenai perbuatan pidana akan lebih lengkap

apabila tersusun sebagai berikut: “Bahwa perbuatan pidana adalah suatu perbuatan

yang oleh suatu aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana bagi

barang siapa yang melanggar larangan tersebut.”23

Adapun perumusan tersebut yang mengandung kalimat “Aturan hukum

pidana” dimaksudkan akan memenuhi keadaan hukum di Indonesia yang masih

mengenal kehidupan hukum yang tertulis maupun hukum yang tidak tertulis.

Bambang Poernomo juga berpendapat mengenai kesimpulan dari perbuatan

pidana yang dinyatakan hanya menunjukan sifat perbuatan terlarang dengan

diancam pidana.24 Maksud dan tujuan diadakannya istilah tindak pidana,

perbuatan pidana, maupun peristiwa hukum dan sebagainya itu adalah untuk

mengalihkan bahasa dari istilah asing Strafbaar Feit namun belum jelas apakah

disamping mengalihkan bahasa dari istilah Strafbaar Feit dimaksudkan untuk


23
Bambang Purnomo, Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta : 1992, hal.
130.
24
Ibid, hal. 130.

16
mengalihkan makna dan pengertiannya, juga oleh karena sebagian besar kalangan

ahli hukum belum jelas dan terperinci menerangkan pengertian istilah, ataukah

sekedar mengalihkan bahasanya, hal ini yang merupakan pokok perbedaan

pandangan, selain itu juga ditengah-tengah masyarakat juga dikenal istilah

kejahatan yang menunjukan pengertian perbuatan melanggar norma dengan

mendapat reaksi masyarakat melalui putusan hakim agar dijatuhi pidana.25

Tindak pidana merupakan suatu dasar yang pokok dalam menjatuhi pidana

kepada orang yang telah melakukan perbuatan pidana atas dasar pertanggung

jawaban seseorang atas perbuatan yang telah dilakukannya, tapi sebelum itu,

mengenai dilarang dan diancamnya suatu perbuatan yaitu mengenai perbuatan

pidananya sendiri, yaitu berdasarkan azas legalitas (Principle of legality), yakni

asas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam

dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan,

biasanya ini lebih dikenal dalam bahasa latin sebagai Nullum delictum nulla poena

sine praevia lege (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu),

ucapan ini berasal dari Von Feurbach, sarjana hukum pidana Jerman. Asas

legalitas ini dimaksud mengandung tiga pengertian yaitu:26

1. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu
terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang.
2. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi.
3. Aturan-aturan hukum pidana tidak boleh berlaku surut.

Tindak pidana merupakan bagian dasar dari pada suatu kesalahan yang

dilakukan terhadap seseorang dalam melakukan suatu kejahatan. Jadi untuk

adanya kesalahan, hubungan antara keadaan dengan perbuatannya yang


25
Wiryono Projodikoro, Op Cit, hal. 59.
26
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta : 2007, hal. 111.

17
menimbulkan celaan harus berupa kesengajaan atau kealpaan. Dikatakan bahwa

kesengajaan (dolus) dan kealpaan (culpa) adalah bentuk-bentuk kesalahan,

sedangkan istilah dari pengertian kesalahan (schuld) yang dapat menyebabkan

terjadinya suatu tindak pidana adalah karena seseorang tersebut telah melakukan

suatu perbuatan yang bersifat melawan hukum sehingga atas`perbuatannya

tersebut dia harus mempertanggung jawabkan segala bentuk tindak pidana yang

telah dilakukannya untuk dapat diadili dan bilamana telah terbukti benar bahwa

telah terjadinya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh seseorang, maka

dengan begitu dapat dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan ketentuan pasal yang

mengaturnya.27

2.1.2. Pengertian Narkotika

Sesuai dengan pengertian menurut undang-undang yang berlaku, yang

dimaksud dengan narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau

bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan

penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai

menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan.28

Yang harus di pahami adalah bahwa narkotika tidak sama dengan

psikotropika. Banyak masyarakat yang keliru dengan menganggap bahwa

narkotika sama halnya dengan psikotropika. Pada pengertian narkotika, jelas

tersirat tentang bahaya yang ditimbulkan olehnya adalah dapat menurunkan

hingga merubah kesadaran, menghilangkan rasa, mengurangi sampai

menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan. Sedangkan

27
Moejliatno, Op Cit, hal. 156.
28
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, Bab I,
pasal I, ayat 1.

18
pengertian psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah atau sintetis bukan

narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan

syaraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan

perilaku.29 Di dalam pengertian psikotropika jelas terkandung kalimat yang

menyatakan bahwa psikotropika bukan narkotika. Jadi, mutlaklah bahwa

psikotropika memang bukan merupakan narkotika.

Meninjau efek yang ditimbulkan oleh narkotika, maka terhadap kalimat

‘‘dapat menimbulkan penurunan hingga sampai kepada perubahan kesadaran,

hilangnya rasa dan mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri”, dapat

disimpulkan bahwa zat yang terkandung didalam narkotika dapat menghilangkan

kesadaran seorang manusia normal kearah yang abnormal atau dengan kata lain

membuat manusia menjadi mabuk. Disamping itu juga dapat berakibat membuat

kebal seseorang terhadap rasa sakit atau nyeri pada saat efek pemakaian sedang

berlangsung. Namun apabila efek dari zat narkotika itu telah habis masanya, maka

kesadaran pun segera kembali normal dan tiada lagi kebal bagi tubuh si pengguna

terhadap rasa sakit ataupun nyeri.

Hal-hal inilah yang menyebabkan mengapa narkotika sangat dilarang

penggunaannya oleh Pemerintah Indonesia. Karena akibat yang ditimbulkan oleh

narkotika diatas dapat membuat manusia menjadi rentan dan tanpa sadar

melakukan tindak pidana seperti penganiayaan, pembunuhan, pemerkosaan,

pencurian dan lain sebagainya yang dapat membahayakan ketertiban umum,

apalagi, efek yang didapatkan dari penggunaannya berupa kebal dari rasa nyeri

29
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika, Bab
I, pasal I, ayat 1.

19
ataupun sakit, maka terasa semakin menunjang seseorang untuk melakukan aksi

tindak pidana.

2.1.3. Pengertian Tindak Pidana Khusus

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang selanjutnya biasa disingkat

dengan KUHP, dahulu bernama Wetboek van Strafrecht (WvS). Kitab tersebut

merupakan sebuah kitab hukum yang dibuat pada zaman Hindia Belanda yang

telah berusia lebih dari 100 tahun. Sesuai dengan perkembangan zaman dengan

cepat, maka seiring itu juga telah terjadi perubahan sosial didalam masyarakat.

Dari perubahan-perubahan dalam masyarakat tersebut diikuti pula oleh lahirnya

peraturan perundang-undangan baru di bidang hukum pidana. Karena pada

kenyataannya hukum itu sendiri memang berfungsi sebagai sosial kontrol

terhadap masyarakat. Maka terhadap perubahan itu dibuatlah peraturan-peraturan

khusus diluar KUHP untuk menanggulangi perubahan sosial tersebut. Di samping

KUHP ada pula peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus, dan salah

satu nya adalah hukum yang mengatur tentang Tindak Pidana Narkotika.

Menurut pandangan Scholten seperti yang dikutip dalam buku yang ditulis

oleh DR. Moh. Hatta S.H,30 ia membagi hukum pidana itu atas hukum pidana

umum dan hukum pidana khusus. Dikatakan semua hukum pidana yang berlaku

umum disebut dengan hukum pidana umum. Sedangkan hukum pidana khusus

adalah perundang-undangan bukan pidana yang bersanksi pidana yang juga

disebut dengan hukum pidana pemerintah.

Untuk lebih memperjelas tentang pengertiannya, Penulis sendiri

memberikan sebuah pendapat singkat sebagai definisi dari tindak pidana khusus
30
DR. Moh. Hatta, S.H., Beberapa Masalah Penegakan Hukum Pidana Umum Dan
Pidana Khusus, Liberty Yogyakarta, Yogyakarta : 2009, hal. 146.

20
ini. Menurut penulis, tindak pidana khusus adalah suatu tindakan atau perbuatan

melawan hukum yang dilarang, dan bagi yang melakukannya akan dikenakan

sanksi pidana yang di atur oleh peraturan perundang-undangan khusus di luar

KUHP. Dimaksud dengan bersifat khusus, karena memang merupakan suatu

tindak pidana yang pengaturannya tidak diatur didalam KUHP. Itu karena Negara

Indonesia mengadopsi hukum warisan dari Belanda, sementara, seiring dengan

berjalannya waktu, perkembangan zaman pun ikut serta memajukan diri, dan

disela prosesnya, kehidupan sosial masyarakat juga turut berubah. Dalam hal

perubahan sosial masyarakat ini, termasuk juga kedalam perubahan yang bersifat

timbulnya pola-pola baru didalam masyarakat itu sendiri, termasuk dalam hal

modus dari tindak pidana yang dilakukan. Demi untuk menanggulangi kejahatan

atau tindak pidana yang di akibatkan oleh perkembangan zaman ini, maka

pengaturan yang berkaitan dengan tindak pidana yang tidak di atur oleh KUHP, di

aturlah pada peraturan lain di luar KUHP yang dikenal dengan peraturan

perundang-undangan bagi tindak pidana khusus. Hal ini pun sesuai dengan

pernyataan yang tersirat dalam KUHP yang berbunyi, ”Ketentuan-ketentuan

dalam Bab I sampai dengan Bab VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan-

perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan yang lain di ancam dengan

pidana, kecuali bila oleh undang-undang ditentukan lain.”31

2.1.4. Pengertian Tindak Pidana Narkotika

Tindak Pidana Narkotika merupakan salah satu golongan tindakan pidana

yang oleh peraturan perundang-undangan ditetapkan sebagai tindak pidana khusus

karena pengaturannya yang bersifat khusus dan tidak di atur di dalam KUHP.

31
Solahuddin, SH, KUHP & KUHAP, Visimedia, Jakarta, 2007.

21
Hukum positif Indonesia melalui undang-undangnya tidak menyebutkan secara

tegas tentang pengertian tindak pidana narkotika. Akan tetapi, dengan

berpedoman kepada peraturan perundangan serta teori hukum yang berlaku, maka

penulis mencoba memberikan sebuah pendapat mengenai pengertian tindak

pidana narkotika ini. Menurut hemat penulis, tindak pidana narkotika adalah suatu

perbuatan melawan hukum bersifat khusus yang dilakukan oleh individu atau

kelompok dalam hal yang berkaitan dengan narkotika yang disalahgunakan diluar

kepentingan yang telah ditentukan dan bagi yang melanggarnya akan diancam

sanksi pidana.

Pada kalimat ‘‘disalahgunakan diluar kepentingan” dapat disamakan

dengan suatu pengertian yang oleh undang-undang memang telah ditentukan

eksplisit bahwa narkotika hanya boleh digunakan dalam hal pengobatan dan

kepentingan ilmu pengetahuan saja. Apabila ada perbuatan yang dilakukan di luar

kepentingan tersebut, dapat dianggap sudah merupakan kejahatan, mengingat

besarnya akibat yang ditimbulkan dari pemakaian narkotika secara tidak sah

sangat membahayakan bagi jiwa manusia.

Di luar uraian singkat di atas, banyak lagi hal-hal yang sekiranya dapat di

tarik kesimpulannya untuk mendefinisikan tindak pidana narkotika ini. Kesemua

hal-hal tersebut dirangkum dalam suatu pernyataan yang bersifat teoritis, yaitu

melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang dan tidak selaras dengan

perundang-undangan narkotika merupakan suatu esensi dari pengertian implisit

tentang tindak pidana narkotika.

22
2.1.5. Jenis-jenis Tindak Pidana Narkotika

Sama halnya dengan tindak pidana umum, maka tindak pidana narkotika

pun memiliki jenis-jenisnya tersendiri yang telah digariskan oleh peraturan

perundang-undangan Indonesia. Jenis-jenis tersebut dikelompokkan dari segi

bentuk dan perbuatannya, yaitu menjadi sebagai berikut:32

1. Kejahatan yang menyangkut produksi narkotika.


2. Kejahatan yang menyangkut jual beli narkotika.
3. Kejahatan yang menyangkut pengangkutan dan transito narkotika.
4. Kejahatan yang menyangkut penguasaan narkotika.
5. Kejahatan yang menyangkut penyalahgunaan narkotika.
6. Kejahatan yang menyangkut tidak melaporkan pecandu narkotika.
7. Kejahatan yang menyangkut label dan publikasi narkotika.
8. Kejahatan yang menyangkut jalannya peradilan narkotika.
9. Kejahatan yang menyangkut penyitaan dan pemusnahan narkotika.
10. Kejahatan yang menyangkut keterangan palsu.
11. Kejahatan yang menyangkut penyimpangan fungsi lembaga.
12. kejahatan yang menyangkut pemanfaatan anak dibawah umur.

Untuk selanjutnya guna memperjelas sedikit mengenai bentuk masing-

masing kejahatan tersebut, maka dapat diuraikan secara singkat dan sistematis,

yaitu sebagai berikut :

1. Kejahatan yang menyangkut produksi narkotika.

Kejahatan yang menyangkut produksi narkotika diatur dalam peraturan

perundang-undangan. Disini, yang diatur tentang kejahatan dalam jenis ini bukan

hanya sebatas perbuatan produksinya saja melainkan perbuatan yang sejenis

dengan itu, berupa mengolah, mengekstraksi, mengkonversi, merakit dan

menyediakan narkotika untuk semua golongan.

32
Gatot Supramono, S.H., M.Hum., HUKUM NARKOBA INDONESIA, DJAMBATAN,
Jakarta : 2007, hal. 200.

23
2. Kejahatan yang menyangkut jual beli narkotika.

Kejahatan jenis ini bukan hanya berbatas kepada jual beli dalam arti

sempit melainkan termasuk pula perbuatan seperti ekspor, impor dan tukar

menukar narkotika. Kejahatan jenis ini juga diatur oleh hukum positif Indonesia.

3. Kejahatan yang menyangkut pengangkutan narkotika.

Dalam arti luas kejahatan dalam hal ini termasuk juga perbuatan

membawa, mengirim dan mentransito narkotika.

4. Kejahatan yang menyangkut penguasaan narkotika.

Dalam hal kejahatan ini undang-undang membedakan antara tindak

pidana menguasai narkotika golongan I dengan tindak pidana penguasaan

narkotika golongan II dan III. Untuk tindak pidana penguasaan narkotika

golongan I diatur dalam pasal 111 dan 112 Undang-Undang Narkotika.

Sedangkan untuk tindak pidana penguasaan terhadap narkotika golongan II diatur

dalam pasal 117, dan sedangkan untuk penguasaan terhadap narkotika golongan

III diatur dalam pasal 122 Undang-Undang Narkotika.

Untuk mengetahui ciri-ciri dari kejahatan jenis ini, maka didalam undang-

undang dapat dilihat dari penggunaan kata-kata seperti menanam, memelihara,

mempunyai, memiliki dan menyimpan untuk dimiliki. Maka dalam hal ini dapat

dianggap telah melakukan kejahatan terhadap penguasaan narkotika.

5. Kejahatan yang menyangkut penyalahgunaan narkotika.

Tindak pidana penyalahgunaan narkotika dibedakan menjadi dua

macam, yaitu perbuatan yang ditujukan untuk orang lain dan perbuatan yang

ditujukan untuk diri sendiri. Untuk tindak pidana yang ditujukan terhadap orang

lain diatur dalam pasal 116, 121 dan 126.

24
6. Kejahatan yang menyangkut tidak melaporkan pecandu narkotika.

Dalam hal kejahatan jenis ini, maka harus berpedoman kepada

Undang-Undang Narkotika yang menyatakan bahwa pecandu narkotika wajib

melaporkan dirinya sendiri atau keluarganya yang melaporkan dirinya kepada

pihak yang berwenang. Pasal dalam undang-undang narkotika yang mengatur

tentang kejahatan jenis ini adalah pasal 55. Apabila kewajiban yang terdapat pada

pasal 55 undang-undang narkotika tidak dipenuhi ataupun tidak dijalankan, maka

dapat merupakan tindak pidana bagi orang tua, wali dan pecandu yang

bersangkutan. Untuk sanksi dari tindak pidana yang disebabkan orang tua, wali

dan pecandu itu sendiri tidak melaporkan pecandu narkotika karena kewajiban,

maka undang-undang menggariskannya pada pasal 128.

Kejahatan dalam pasal 128 diatas seluruhnya adalah delik dolus, yaitu

perbuatan harus dilakukan dengan unsur kesengajaan. Sebagai gambaran

singkatnya adalah orang tua atau wali dengan sengaja tidak melaporkan pecandu

narkotika. Oleh karena itu orang tua atau wali dan keluarga pecandu narkotika

yang lalai tidak melaporkan kepada pihak yang berwenang untuk mendapatkan

pengobatan/perawatan, maka untuk hal itu tidak dipidana.

Lain halnya dengan pecandu narkotika yang sudah cukup umur,

kemungkinan besar sangatlah sulit untuk melakukan kelalaian untuk melaporkan

dirinya sendiri, karena yang bersangkutan mengetahui dan menyadari bahwa

dirinya adalah pecandu narkotika. Apabila ia tidak melaporkan diri sedangkan ia

tahu betul keadaan dirinya sendiri, maka merupakan perbuatan yang disengaja.

Terhadap orang tua atau wali pecandu narkotika yang belum cukup umur dan

telah melaporkan tidak dapat dituntut pidana karena didasarkan pada

25
pertimbangan bahwa tindakan tersebut mencerminkan itikad baik sebagai wujud

peran serta masyarakat.

7. Kejahatan yang menyangkut label dan publikasi.

Seperti diketahui bahwa menurut ketentuan undang-undang narkotika

pasal 45, pabrik obat diwajibkan mencantumkan label pada kemasan narkotika

baik dalam bentuk obat maupun bahan baku narkotika. Kemudian menurut pasal

46, untuk dapat dipublikasikan harus dilakukan pada media cetak ilmiah

kedokteran atau media cetak ilmiah farmasi. Bila tidak dilaksanakan demikian,

maka akan dikenakan ketentuan pidana oleh undang-undang narkotika pasal 135.

8. Kejahatan yang menyangkut jalannya peradilan.

Yang dimaksud dengan proses peradilan meliputi pemeriksaan perkara

ditingkat penyidikan, penuntutan dan pengadilan. Didalam undang-undang

narkotika perbuatan menghalang-halangi atau mempersulit jalannya proses

peradilan merupakan suatu tindak pidana yang sebagaimana diatur oleh pasal 138.

9. Kejahatan yang menyangkut penyitaan dan pemusnahan narkotika

Sudah diketahui bahwa barang yang ada hubungannya dengan tindak

pidana akan dilakukan penyitaan terhadapnya untuk dijadikan barang bukti

perkara yang bersangkutan dan barang bukti kelak harus diajukan dalam

persidangan pengadilan. Apabila barang bukti tersebut terbukti dipergunakan

dalam tindak pidana, maka akan ditetapkan dan dirampas oleh negara untuk

dimusnahkan.

Dalam perkara narkotika, barang bukti dapat berupa tanaman yang

jumlahnya sangat banyak, hingga barang bukti tersebut tidak mungkin diajukan ke

persidangan seluruhnya. Maka berdasarkan ketentuan pasal 90 barang bukti yang

26
demikian dilakukan penyisihan yang wajar dan selebihnya barang bukti itu

dimusnahkan. Semua tindakan penyidik tersebut yang berupa penyitaan,

penyisihan dan pemusnahan wajib membuat berita acara dan dimasukkan kedalam

berkas perkara. Sehubungan dengan tidak dilaksanakannya tindakan diatas oleh

penyidik dalam perkara narkotika, maka menurut ketentuan pasal 140 dianggap

telah melakukan tindak pidana.

10. Kejahatan yang menyangkut keterangan palsu

Sebelum seorang saksi memberikan keterangannya dimuka sidang

persidangan, maka saksi tersebut wajib mengucapkan sumpah sesuai dengan

agama dan keyakinannya, yaitu bahwa ia akan memberikan keterangan yang

sebenarnya.33 Sejalan dengan hal diatas, apabila dalam perkara narkotika seorang

saksi tidak memberikan keterangan dengan benar dan jujur, maka berdasarkan

pasal 143 undang-undang narkotika dianggap telah melakukan tindak pidana.

11. Kejahatan yang menyangkut penyimpangan fungsi lembaga

Lembaga-lembaga yang diberikan wewenang oleh Undang-Undang

Narkotika untuk memproduksi, menyalurkan atau menyerahkan narkotika yang

ternyata melakukan suatu tindakan diluar ketentuan perundang-undangan atau

tidak sesuai tujuaan penggunaannya, maka pimpinan lembaga yang bersangkutan

dapat dijatuhi pidana sebagaimana yang diatur oleh pasal 147.

12. Kejahatan yang menyangkut pemanfaatan anak dibawah umur

Kejahatan di bidang narkotika tidak selalu dilakukan oleh orang

dewasa, akan tetapi adakalanya kejahatan ini dilakukan oleh anak dibawah umur

(belum genap 18 tahun usianya). Anak-anak yang belum dewasa sangat rentan

dan mudah untuk dipengaruhi untuk melakukan perbuatan yang berkaitan dengan
33
Ibid. h. 215.

27
narkotika. Hal itu dikarenakan jiwa anak dibawah umur belum stabil akibat

perkembangan fisik dan psikis. Oleh karena itu, perbuatan memanfaatkan anak di

bawah umur guna melakukan kegiatan narkotika adalah suatu tindak pidana yang

diatur dalam pasal 133 Undang-Undang Narkotika.

2.1.6. Pelaku Tindak Pidana Narkotika

Seperti ulasan sebelum-sebelumnya, maka secara harfiah dengan tetap

berpegang teguh kepada jenis dan bentuk tindakan penyimpangan yang dilakukan

dapat diketahui bahwa pelaku-pelaku dalam hal tindak pidana narkotika dilakukan

oleh orang perorangan (individu) sebagai pengedar dan pengkonsumsi narkotika,

dan yang satunya lagi adalah yang dilakukan oleh kelompok atau secara yuridis

disebut dengan korporasi yang dapat berupa lembaga pemerintahan dan badan

hukum atau tidak berbadan hukum.

Secara eksplisit dengan berdasar kepada ketentuan perundang-undangan

yang berlaku, maka pelaku dalam hal tindak pidana narkotika dibagi menjadi dua

golongan, yaitu :

1. Pecandu Narkotika, yaitu orang yang menggunakan atau


menyalahgunakan narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada
narkotika, baik secara fisik maupun psikis.
2. Penyalah Guna Narkotika, yaitu orang yang menggunakan narkotika tanpa
hak atau melawan hukum.
Meskipun telah ditentukan sedemikian seperti yang tersebut diatas, akan

tetapi seperti ulasan sebelumnya, telah kita ketahui bahwa jenis-jenis dari tindak

pidana narkotika ini beragam adanya. Secara hakekat dengan berpedoman kepada

undang-undang narkotika, yang dikatakan pelaku tindak pidana narkotika adalah

pecandu dan penyalah guna narkotika. Akan tetapi apabila kita menelaah tiap

28
butir pasal yang tercantum pada ketentuan pidananya, maka akan didapati banyak

sekali jenis pelaku-pelakunya. Seperti yang kita tahu melalui ketentuan pengertian

tentang penyalah guna narkotika, sebenarnya penyalah guna narkotika adalah

pelaku dari tindak pidana narkotika dan padanya dibagi-bagi lagi menjadi 3 jenis

pelaku, yaitu seperti di bawah ini :

1. Penyalah Guna Narkotika Murni.

Penyalah Guna Narkotika Murni adalah seseorang atau suatu badan hukum

atau tidak berbadan hukum yang melakukan tindak pidana narkotika dengan

cara mengedarkannya secara ilegal kepada orang lain.

2. Penyalah Guna Narkotika Tidak Murni.

Penyalah Guna Narkotika Tidak Murni adalah seseorang yang melakukan

tindak pidana narkotika dengan cara mengkonsumsi narkotika karena

kecanduan dirinya terhadap narkotika.

3. Penyalah Guna Narkotika Gabungan

Penyalah guna narkotika gabungan adalah seseorang yang melakukan tindak

pidana narkotika dengan cara mengedarkannya kepada orang lain dan juga

mengkonsumsi narkotika karena kecanduannya terhadap narkotika.

Bila kita memetik apa yang telah disebutkan oleh poin-poin di atas, maka

dapat disimpulkan bahwa sebenarnya pelaku dari tindak pidana narkotika tidak

lain adalah penyalah guna narkotika. Sedangkan pecandu narkotika lebih

dianggap sebagai korban dari penyalahgunaan narkotika, karena memang

merupakan akibat yang ditimbulkan oleh salah satu jenis penyalahguna narkotika.

Lebih lengkapnya, secara umum, pecandu narkotika adalah orang yang

29
mengkonsumsi narkotika karena kecanduan atau ketagihannya terhadap narkotika

itu dan oleh undang-undang ia diberikan alasan pemaaf.

2.1.7. Penyelidik dan Penyidik Tindak Pidana Narkotika

Salah satu rangkaian dari proses penyelesaian tindak pidana adalah dengan

melakukan suatu penyelidikan, yaitu suatu proses pencarian bukti permulaan guna

menemukan dugaan tindak pidana. Setelah diadakan penyelidikan dan hasilnya

menyatakan bahwa dengan bukti permulaan yang cukup seseorang diduga telah

melakukan tindak pidana narkotika, maka diadakanlah proses rangkaian kedua

untuk membuat terang hasil penyelidikan yang telah didapatkan tersebut.

Berangkat dari kenyataan di atas, dalam hal tindak pidana narkotika juga

dilakukan hal yang sama agar dapat segera menyelesaikan suatu tindak pidana

narkotika. Jika pada tindak pidana umum penyelidik dan penyidik yang diberikan

wewenang untuk melakukan rangkaian mencari dan menemukan bukti tersebut

adalah pihak kepolisian, namun lain halnya dalam bidang tindak pidana narkotika.

Dalam hal tindak pidana narkotika yang oleh undang-undang diberikan wewenang

untuk melakukan penyelidikan serta penyidikan adalah Badan Narkotika

Nasional.

Badan Narkotika Nasional untuk selanjutnya disingkat BNN adalah suatu

badan yang secara khusus dibentuk dalam rangka pencegahan, pemberantasan

penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika. Seperti

yang tersirat didalam undang-undang narkotika, BNN berkedudukan di ibukota

negara dengan wilayah kerja meliputi seluruh wilayah Negara Republik

Indonesia. Untuk mempermudah pencegahan, pemberantasan penyalahgunaan dan

peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika, BNN memiliki perwakilan di

30
setiap daerah provinsi dan kota. Untuk BNN tingkat provinsi berkedudukan di

ibukota provinsi, sedangkan BNN tingkat kota berkedudukan di ibukota

kabupaten atau kota.

BNN tingkat provinsi biasa disebut dengan Badan Narkotika Nasional

Provinsi (BNNP), sedangkan BNN tingkat Kota/Kabupaten biasa disebut dengan

Badan Narkotika Nasional Kota (BNNK). Tugas dan wewenang yang diberikan

oleh undang-undang kepada BNN adalah sebagai berikut :

1. Menyusun dan melaksanakan kebijakan nasional mengenai pencegahan dan


pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor
narkotika.
2. Mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran narkotika dan
prekursor (bahan pemula) narkotika.
3. Berkoordinasi dengan kepala kepolisian negara republik indonesia dalam
pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap
narkotika dan prekursor narkotika.
4. Meningkatkan kemampuan rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial pecandu
narkotika, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah atau masyarakat.
5. Memberdayakan masyarakat dalam pencegahan penyalahgunaan dan
peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika.
6. Memantau, mengarahkan dan meningkatkan kegiatan masyarakat dalam
pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor
narkotika.
7. Melakukan kerja sama bilateral dan multilateral, baik regional maupun
internasional, guna mencegah dan memberantas peredaran gelap narkotika dan
prekursor narkotika.
8. Mengembangkan laboratorium narkotika dan prekursor narkotika.
9. Melaksanakan administrasi penyelidikan dan penyidikan terhadap perkara
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika.
10. Membuat laporan tahunan mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang.

31
Sekalipun pihak BNN diberikan wewenang untuk melakukan penyelidikan

dan penyidikan seperti yang terdapat dalam tugas dan wewenang di atas, akan

tetapi dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan, BNN juga harus selalu

berkoordinasi dengan pihak kepolisian demi kelancaran dari proses penyelidikan

dan penyidikan.

2.1.8. Sanksi Tindak Pidana Narkotika

Secara garis besar sanksi bagi tindak pidana narkotika diatur melalui

rumusan pada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Oleh

karena tindak pidana narkotika merupakan tindak pidana yang bersifat khusus,

maka Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak mengatur sanksi dari

perbuatan-perbuatan melawan hukum dalam hal narkotika ini.

Sanksi bagi pelaku tindak pidana narkotika di atur didalam undang-undang

narkotika pada Bab XV tentang Ketentuan pidana. Namun pengaturan pada

ketentuan pidana tersebut masih berkewajiban melakukan korelasi dengan Bab-

bab lainnya agar dapat mengaitkan antara hal-hal yang dimaksudkan oleh

sebagian pasal yang ada didalam ketentuan pidana tersebut.

Berdasarkan undang-undang narkotika, sanksi bagi pelaku tindak pidana

narkotika meliputi pidana penjara, rehabilitasi, pidana denda dan pidana

tambahan. Untuk mendapatkan penjelasan ruang lingkup dari beberapa sanksi

pidana yang diterapkan pada undang-undang tersebut, maka di adakan penguraian

sebagai berikut :

1. Pidana Penjara

Ruang lingkup dari terapan pidana penjara ini adalah jika suatu tindak

pidana narkotika dilakukan oleh individu atau korporasi. Namun bagi tindak

32
pidana narkotika yang dilakukan oleh korporasi, yang dikenakan pidana

penjaranya adalah pimpinan dan atau pengurus dari korporasi tersebut. Terapan

pidana penjara ini diberlakukan untuk seluruh tindak pidana narkotika yang

dilakukan oleh orang perseorangan atau pengurus dari suatu korporasi. Pidana

penjara dikecualikan bagi perseorangan yang hanya berstatus sebagai pecandu

narkotika.

2. Rehabilitasi

Ruang lingkup dari terapan rehabilitasi ini adalah apabila suatu tindak

pidana dilakukan oleh Individu dalam hal si individu merupakan Penyalah Guna

Narkotika yang hanya merupakan Korban Penyalahgunaan Narkotika dan

Pecandu Narkotika.

Dalam hal telah dilaksanakannya rehabilitasi, maka secara otomatis

pecandu narkotika maupun korban penyalahgunaan narkotika telah menjalani

hukuman sebagai ganti daripada pidana penjara, karena selama masa rehabilitasi

berlangsung, maka dianggap sebagai penjelmaan dari pidana penjara. Berdasarkan

alasan tadi, seorang pecandu yang telah selesai menjalani masa rehabilitasi tidak

lagi dapat di pidanakan dengan pidana penjara.

3. Pidana Denda

Didalam undang–undang narkotika, penjatuhan pidana denda

dilaksanakan juga bersamaan dengan penjatuhan pidana penjara. Secara

psikologis diterapkannya pidana denda ini adalah untuk memberikan rasa takut

yang luar biasa bagi masyarakat terhadap tindak pidana narkotika, baik bagi yang

belum, sedang atau telah selesai melakukan tindak pidana narkotika ini.

Kesemuanya itu juga dilakukan untuk memberikan efek jera bagi para pelaku

33
tindak pidana narkotika agar tidak lagi berani untuk mengulangi perbuatannya.

Pidana Denda terhadap tindak pidana narkotika ini diterapkan bagi orang ataupun

korporasi yang melakukan tindak pidana narkotika, sesuai dengan ketentuan

pidana yang terdapat didalam undang-undang narkotika. Menurut KUHP, apabila

pidana denda tidak di bayar, maka akan digantikan dengan pidana kurungan.

4. Pidana Tambahan

Pidana tambahan merupakan suatu sanksi yang diberikan bagi pelaku

tindak pidana narkotika dalam hal dilakukan oleh korporasi. Bentuk dari pidana

tambahan ini seperti pencabutan izin usaha dan pencabutan status badan hukum.

Seperti halnya pidana denda, penerapan dari pidana tambahan ini biasanya juga

dilaksanakan bersamaan dengan pidana penjara dan pidana denda.

2.2. Kerangka Pemikiran

Dalam hal kerangka pemikiran akan dikaitkan dengan judul isi skripsi ini

yaitu akibat hukum dari tindak pidana penyalahgunaan narkoba, yang membahas

bagaimana mengkaji proses penerapan rehabilitasi korban penyalahguna sebagai

sanksi dan upaya penanggulangan penyalahgunaan narkoba, dan pengaturan

sistem pemidanaan (oleh aparat penegak hukum) terhadap pelaku tindak pidana

penyalahgunaan narkoba.

2.3. Hipotesis

Hipotesis merupakan jawaban sementara atau dugaan yang dianggap

benar, tetapi masih perlu dibuktikan. Hipotesa pada dasarnya dugaan peneliti

tentang hasil yang akan dicapai. Tujuan ini dapat diterima apabila ada cukup data

untuk membuktikannya.

34
Dalam sistem berfikir yang teratur, maka hipotesa sangat perlu dalam

melakukan penyidikan suatu penulisan skripsi jika ingin mendapat suatu

kebenaran yang hakiki. Hipotesa dapat diartikan suatu yang berupa dugaan-

dugaan atau perkiraan-perkiraan yang masih harus dibuktikan kebenaran atau

kesalahanya, atau berupa pemecahan masalah untuk sementara waktu.34 Dalam hal

ini peneliti juga akan membuat hipotesa. Adapun hipotesa dalam penelitian ini:

1. Proses penerapan rehabilitasi korban penyalahguna sebagai sanksi dan

upaya penanggulangan penyalahgunaan narkoba yaitu Bagi para pelaku

tindak pidana narkotika yang dikategorikan sebagai pecandu dan korban

penyalahgunaan narkotika (masyarakat Sumatera Utara, khususnya kota

Medan) akan dilakukan proses rehabilitasi yang dihitung sebagai masa

hukuman pidana, dan untuk sementara perehabilitasian bagi mereka akan

dilakukan di Yayasan Caritas–PSE, Medan salah satu contohnya. Hal ini

merupakan implementasi dari Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009

tentang Narkotika, sehingga pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkoba

mendapatkan sanksi pidana berupa rehabilitasi sebagai bentuk sanksi dan

upaya penanggulangan penyalahgunaan narkoba. Adapun hambatan yang

dihadapi oleh Yayasan Caritas–PSE Medan dalam melakukan rehabilitasi

Bagi para pelaku tindak pidana narkotika yang dikategorikan sebagai

pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika adalah kurangnya sarana

dan perasarana yang dimiliki dan adanya keterbatasan Sumberdaya

Manusia untuk melaksanakan pengelolaan program di Yayasan Caritas –

PSE Medan tersebut.

34
Samsul Arifin, “Metode Penulisan Karya Ilmiah dan Penelitian Hukum”, Medan Area
Universiti Press, 2012, hlm. 38.

35
2. Pelaksanaan model alternatif pembinaan korban penyalahguna dalam

upaya penanggulangan penyalahgunaan narkoba secara non penal di

Yayasan Caritas–PSE Medan dengan cara melaksanakan program

rehabilitasi berbasiskan metode TC (Therapeutic Community) adalah

metode dan lingkungan yang tersetruktur untuk mengubah prilaku

pemakai narkoba dalam konteks komunitas yang hidup dan bertanggung

jawab untuk saling menolong satu sama lain, dengan menolong orang lain

ia sekaligus juga menolong dirinya sendiri. Komunitas yang saling

membantu ini diyakini dapat mengembalikan seorang pecandu pada

kehidupan yang benar (right living).

BAB III

METODE PENELITIAN

36
Metode berarti cara yang tepat untuk melakukan sesuatu, sedangkan

penelitian berarti suatu kegaiatan untuk mencari, mencatat, merumuskan dan

menganalisa sampai menyusun laporannya.35 Dengan menggunakan metode,

seseorang diharapkan mampu untuk menemukan dan menganalisis masalah

tertentu, sehingga dapat mengungkapkan suatu kebenaran, karena metode

memberikan pedoman tentang cara bagaimana seorang ilmuwan mempelajari,

memahami dan menganalisa permasalahan yang dihadapi.

3.1. Jenis, Sifat, Lokasi dan Waktu Penelitian

3.1.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan peneliti adalah secara normatif empiris,

yaitu dengan cara melakukan pengumpulan data dari Yayasan Caritas–PSE

Medan dan juga dengan mencari sumber-sumber lain yang bersifat ilmiah sebagai

referensi yang berkaitan dengan masalah dan tujuan penelitian.

Data dalam penelitian ini dilihat dari sumbernya meliputi:

a. Data Primer

Data primer atau data dasar dalam penelitian ini diperlukan untuk memberi

pemahaman secara jelas dan lengkap terhadap data sekunder mengenai

Rehabilitasi Korban Penyalahgunaan Narkotika/Psikotropika di Yayasan

Caritas–PSE Medan yang diperoleh atau yang bersumber langsung dari

intansi terkait yaitu dari Yayasan Caritas–PSE Medan yang merupakan

lokasi penelitian.

b. Data sekunder

35
Cholid Narbuko dan H. Abu Achmadi, Metodologi Penelitian, (Jakarta : PT Bumi
Aksara,2002), hal 1

37
Dalam penelitian ini data sekunder merupakan data pokok yang diperoleh

dari perpustakaan, terhadap berbagai macam bahan bacaan seperti buku-

buku, jurnal, artikel ilmiah, pendapat ahli hukum dan akademisi, serta

peratuaran perundang-undangan yang berlaku, maupun sumber lainnya

yang berkaitan dengan masalah dan tujuan penelitian.

3.1.2. Sifat Penelitian

Sifat penelitian ini dianalisis secara kualitatif sehingga diperoleh

gambaran yang jelas dengan pokok permasalahan. Dengan analisis kualitatif maka

data yang diproleh dari responden atau informasi menghasilkan data deskriptif

analisis sehingga diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh.

3.1.3. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan secara langsung di Yayasan Caritas –PSE, Medan

yaitu dengan cara mengambil data dan wawancara terkait mengenai masalah

Rehabilitasi Korban Penyalahgunaan Narkotika/Psikotropika di Yayasan Caritas–

PSE, Medan.

3.1.4. Waktu Penelitian

Waktu penelitian yang dilakukan di Yayasan Caritas–PSE, Medan akan

dilaksanakan secara singkat, setelah diadakannya seminar outline pertama dan

terlebih dahulu telah disetujui perbaikan seminar proposal pertama, untuk

melakukan wawancara terkait mengenai masalah Rehabilitasi Korban

Penyalahgunaan Narkotika/Psikotropika di Yayasan Caritas–PSE Medan yang

dipaparkan berdasarkan table berikut:

Tabel : 1

38
Waktu kegiatan / Bulan

No Kegiatan Januari – Maret – Mei – Juli– Ket


September
Februari April Juni Agustus
2016
2016 2016 2016 2016
Pengajuan
1
Judul
Acc/judul
2 Pembimbing
Pengajuan
3 Seminar
Proposal
Seminar
4 Proposal

Perbaikan
5 Seminar
Proposal
Wawancara
6 Narasumber
Penulisan
7 Skripsi
Bimbingan
8 Skripsi
Seminar
9 Hasil

Dalam penelitian diatas Penulis menganalisis hasil pengambilan data dan

wawancara, pada saat melakukan riset sebagai pembahasan untuk melengkapi

penulisan skripsi ini.

3.2. Teknik Pengumpulan Data

39
Tekhnik pengumpulan data yang digunakan adalah berupa studi literatur

dan studi lapangan. Studi literatur digunakan untuk mengumpulkan dan

menganalisis bahan-bahan primer, bahan sekunder maupun bahan tertier,

sedangkan studi lapangan digunakan untuk memperoleh data primer yang

diperoleh dari instansi-instansi yang terkait dengan masalah penelitian.

Adapun teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara sebagai berikut:

1. Penelitian keperpustakaan (Library research). Metode ini dengan melakukan

penelitian terhadap berbagai sumber bacaan tertulis dari para sarjana yaitu

buku-buku teori tentang hukum, majalah hukum, jurnal-jurnal hukum, dan

juga bahan-bahan kuliah serta peratura-peraturan tentang hukum kepidanaan.

2. Penelitian Lapangan (Field research) yaitu dengan melakukan studi

penelitian langsung ke Yayasan Caritas–PSE Medan yaitu salah satu lembaga

rehabilitasi sosial dan IPWL yang ditunjuk oleh Kementrian Sosial Republik

Indonesia, dengan cara melakukan observasi, wawancara dan mengumpulkan

bahan materi lain yang akan turut serta dianalisis sebagai pembahasan untuk

melengkapi penulisan skripsi ini.

Pengumpulan data pada penelitan skripsi ini menggunakan teknik studi

dokumen, artinya data yang diperoleh melalui penelurusan kepustakaan berupa

data sekunder ditabulasi yang kemudian disistematisasikan dengan memilih

perangkat-perangkat hukum yang relevan dengan objek penelitian. Di samping itu

untuk melengkapi data pustaka, juga dilakukan wawancara terhadap informan

yang dianggap memahami permasalahan penyalahgunaan Narkoba dan Lembaga

Rehabilitasi Narkoba, tekhnik yang digunakan adalah mengunjungi langsung

objek penelitian. Data wawancara pada metode pengumpulan data ini digunakan

40
sebagai data pelengkap dari data pustaka. Dengan kerangka teoritis merupakan

alat untuk menganalisis data yang diperoleh baik berupa bahan hukum sekunder,

pendapat-pendapat atau tulisan para ahli atau pihak lain berupa informasi baik

dalam bentuk formal maupun melalui naskah resmi yang dijadikan sebagai

landasan teoritis.

3.3. Analisis Data

Data sekunder dari bahan hukum primer disusun secara sistematis dan

kemudian substansinya dianalisis secara yuridis (contens analysis) untuk

memperoleh gambaran tentang pokok permasalahan.

Sedangkan data-data berupa teori yang diperoleh dikelompokkan sesuai

dengan sub bab pembahasan, selanjutnya dianalisis secara kualitatif sehingga

diperoleh gambaran yang jelas dengan pokok permasalahan. Dengan analisis

kualitatif maka data yang diproleh dari responden atau informasi menghasilkan

data deskriptif analisis sehingga diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh.

41
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

4.1.1 Proses Penerapan Rehabilitasi Korban Penyalahguna Sebagai

Sanksi Dan Upaya Penanggulangan Penyalahgunaan Narkotika/

Psikotropika.

Pemerintah telah memberlakukan Undang–Undang Nomor 35 Tahun 2009

Tentang Narkotika yang menjadi landasan penerapan sanksi hukum bagi

penyalahguna/pecandu dan/atau korban penyalahgunaan narkotika/psikotropika

untuk direhabilitasi. Undang–undang ini memberikan kesempatan bagi para

pecandu yang sudah terjerumus dalam penyalahgunaan narkotika agar dapat

terbebas dari kondisi tersebut dan dapat kembali melanjutkan hidupnya secara

sehat dan normal. Ketentuan mengenai hal itu diatur didalam :

Pasal 54 yang berbunyi;

‘‘Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani


rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial’’

Pasal 55 yang berbunyi;

(1) Orang tua atau wali dari Pecandu Narkotika yang belum cukup umur wajib
melaporkan kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau
lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh
Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui
rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

(2) Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur wajib melaporkan diri atau
dilaporkan oleh keluarganya kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah

42
sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang
ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau
perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

Pasal 103 yang berbunyi;

(1) Hakim yang memeriksa perkara Pecandu Narkotika dapat :

1. Memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan


dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika pecandu narkotika tersebut
terbukti bersalah melakukan tidak pidana narkotika; atau

2. Menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani


pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika pecandu
Narkotika tesebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidan
Narkotika.
(2) Masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi Pecandu Narkotika
sebagaimna dimaksud pada ayat (1) huru a diperhitungkan sebagai masa
menjalanani hukuman
.
Pasal 127 yang berbunyi;

(1) Setiap Penyalah Guna:


a. Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara
paling lama 4 (empat) tahun;
b. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara
paling lama 2 (dua) tahun; dan
c. Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun.

(2) Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim wajib
memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksdu dalam pasal 54, pasal 55,
dan pasal 103.

43
(3) Dalam hal Penyalah Guna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat

dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan Narkotika,

Penyalah Guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi

sosial. dan,

Pasal 128 yang berbunyi;

(1) Orang tua atau wali dari pecandu yang belum cukup umur, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) yang sengaja tidak melapor, dipidana
dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda
paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).

(2) Pecandu Narkotika yang belum cukup umur dan telah dilaporkan oleh orang
tua atau walinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) tidak
dituntut pidana.

(3) Pecandu Narkotika yang telah cukup umur sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 55 ayat (2) yang sedang menjalani rehabilitasi medis 2 (dua) kali masa
perawatan dokter dirumah sakit dan/atau lembaga rehabilitasi medis yang
ditunjuk oleh pemerintah tidak dituntut pidana.

(4) Rumah sakit dan/atau lembaga rehabilitasi medis sebagaimana dimaksud


pada ayat (3) harus memenuhi standar kesehatan yang ditetapkan oleh
Menteri.

Pasal 54, 55, dan 103 undang–undang nomor 35 tahun 2009 tentang

narkotika, lebih mengutamakan para pecandu dan korban penyalahgunaan

narkotika/psikotropika untuk direhabilitasi. Hal ini bertujuan untuk

menanggulangi masalah penyalahgunaan narkotika/psikotropika, karena cara

menangani penyalahguna/pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika/

psikotropika berbeda dengan menangani tindak pidana yang lainnya. Maka

44
dengan melalui penerapan rehabilitasi medis dan sosial, diharapkan dampak buruk

yang ditimbulkan narkotika/psikotropika yang saat ini semakin parah kedepannya

dapat diselessaikan secara sustainable.

Program Negara untuk merehabilitasi penyalahguna/pecandu dan/atau korban

penyalahgunaan narkotika/psikotropika sangat serius, agar program tersebut dapat

berjalan dengan mulus dan lancar harus didukung oleh beberapa aturan yang

merupakan petunjuk teknis dalam menerapkan ketentuan–ketentuan dalam

undang–undang nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika, yang mengatur mengenai

syarat–syarat rehabilitasi terhadap pecandu/penyalahguna maupun korban

penyalahgunaan narkotika/psikotropika untuk direhabilitasi. Adapun asas legalitas

tersebut antara lain:

1. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011Tentang Pelaksanaan Wajib

Lapor Pecandu Narkotika;

2. Peraturan Menteri Sosial R.I Nomor 56 Tahun 2009 Tentang Pelayanan dan

Rehabilitasi Sosial Korban Penyalagunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat

Adiktif lainnya;

3. Peraturan Menteri Sosial R.I Nomor 03 Tahun 2012 Tentang Standar

Lembaga Rehabilitas Sosial Korban Penylahgunaan Narkotika, Psikotropika

dan Zat Adiktif lainnya;

4. Peraturan Menteri Sosial R.I Nomor 26 Tahun 2012 Tentang Standar

Lembaga Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika

dan Zat Adiktif lainnya;

45
5. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 tahun 2010 Tentang Penempatan

Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan Dan Pecandu Narkotika Ke Dalam

Lembaga Rehabailitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial;

6. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 03 Tahun 2011 Tentang Penempatan

Korban Penyalahgunaan Narkotika Di Dalam Lembaga Rehabailitasi Medis

dan Rehabilitasi Sosial;

7. Surat Edaran Jaksa Agung Nomor 002 Tahun 2013 Tentang Penempatan

Korban Penyalahgunaan Narkotika Ke Lembaga Rehabilitas Medis Dan

Rehabilitas Sosial.

8. Peraturan Bersama 7 Kementerian/Lembaga yaitu Mahkamah Agung R.I,

Kementerian Hukum dan Ham R.I, Kementerian kesehatan R.I, Kementerian

Sosial R.I, Kejaksaan Agung R.I, Kepolisian Negara R.I dan Kepala BNN R.I

Tahun 2014 Tentang Penanganan Pecandu Narkotika Dan Korban

Penyalagunaan Narkotika Diberikan Pengobatan, Perawatan Dan Pemulihan

Pada Lembaga Rehabilitasi Medis Maupun Sosial;

4.1.2 Pelaksanaan Model Alternatif Pembinaan Korban

Penyalahgunaan Narkotika/Psikotropika Secara Non Penal di

Lembaga Rehabilitasi.

Menurut Badan Narkotika Nasional (BNN) dalam Buku Standar Pelayanan

Minimal Terapi Medik Ketergantungan Narkotika, Psikotropika, dan Bahan Aditif

Lainnya, terbitan tahun 2003 perlu adanya standar pelayanan minimal diperlukan

sebagai panduan bagi pemerintah dan masyarakat dalam penyelenggaraan

rehabilitasi sosial korban narkoba secara lebih profesional.

46
Pusat atau Lembaga Rehabilitasi yang baik haruslah memenuhi persyaratan

antara lain :

1. Sarana dan prasarana yang memadai termasuk gedung, akomodasi, kamar

mandi/WC yang higienis, makanan dan minuman yang bergizi dan halal,

ruang kelas, ruang rekreasi, ruang konsultasi individual maupun kelompok,

ruang konsultasi keluarga, ruang ibadah, ruang olah raga, ruang ketrampilan

dan lain sebagainya;

2. Tenaga yang profesional (psikiater, dokter umum, psikolog, pekerja sosial,

perawat, agamawan/ rohaniawan dan tenaga ahli lainnya/instruktur). Tenaga

profesional ini untuk menjalankan program yang terkait;

3. Manajemen yang baik;

4. Kurikulum/program rehabilitasi yang memadai sesuai dengan kebutuhan;

5. Peraturan dan tata tertib yang ketat agar tidak terjadi pelanggaran ataupun

kekerasan;

6. Keamanan (security) yang ketat agar tidak memungkinkan peredaran

Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya di dalam pusat rehabilitasi

(termasuk rokok dan minuman keras).

Adapun aspek-aspek yang harus dipenuhi terkait pelayanan dan standarisasi

dalam penyelenggaraan rehabilitasi adalah :

1. Legalitas Institusi Pengelola.

Institusi pengelola pelayanan dan rehabilitasi sosial korban penyalahgunaan

narkoba wajib mempunyai legalitas. Sebuah panti pelayanan dan rehabilitasi

sosial korban narkoba tercatat di instansi sosial terkait (Dinas Sosial setempat,

47
Departemen Sosial R.I), mempunyai struktur organisasi, anggaran dasar dan

anggaran rumah tangga (AD/ART) dan akte notaris.

2. Pemenuhan Kebutuhan Klien/Residen

Kebutuhan pokok klien/residen dipenuhi oleh pengelola panti pelaksana

pelayanan dan rehabilitasi sosila, dengan mempertimbangkan kelayakan dan

proporsionalitas. Kebutuhan yang harus dipenuhi adalah:

a. Makan 3 kali sehari ditambah dengan makanan tambahan (bubur

kacanghijau, dan sebagainya, dengan mempertimbangkan kecukupan gizi

dengan menu gizi seimbang.

b. Pelayanan kesehatan, untuk pelayanan kesehatan dapat dilaksanakan dengan

kerjasama Puskesmas, dokter praktek, dan rumah sakit setempat yang

menguasai masalah penyalahgunaan narkoba.

c. Pelayanan rekreasional, dalam bentuk penyediaan pesawat televisi, alat

musik sederhana, rekreasi di tempat terbuka, dan lain–lain.

3. Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial

Kegiatan pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi korban penyalahguna narkoba

dilaksanakan dengan tahap yang baku/standar, meliputi :

a. Pendekatan Awal

Pendekatan awal adalah kegiatan yang mengawali keseluruhan proses

pelayanan dan rehabilitasi sosial yang dilaksanakan dengan penyampaian

informasi program kepada masyarakat, instansi terkait, dan organisasi sosial

(lain) guna memperoleh dukungan dan data awal calon klien/residen dengan

persyaratan yang telah ditentukan.

48
b. Penerimaan

Pada tahap ini dilakukan kegiatan administrasi untuk menentukan apakah

diterima atau tidak dengan mempertimbangkan hal–hal sebagai berikut:

1. Pengurusan administrasi surat menyurat yang diperlukan untuk

persyaratan masuk panti (seperti surat keterangan medical check up, test

urine negatif, dan sebagainya).

2. Pengisian formulir dan wawancara dan penentuan persyaratan menjadi

klien/residen.

3. Pencatatan klien/residen dalam buku registrasi.

c. Asesmen

Asesmen merupakan kegiatan penelaahan dan pengungkapan masalah untuk

mengetahui seluruh permasalahan klien/residen, menetapkan rencana dan

pelaksanaan intervensi. Kegiatan asesmen meliputi :

1. Menelusuri dan mengungkapkan latar belakang dan keadaan

klien/residen.

2. Melaksanakan diagnosa permasalahan.

3. Menentukan langkah–langkah rehabilitasi.

4. Menentukan dukungan pelatihan yang diperlukan.

5. Menempatkan klien/residen dalam proses rehabilitasi.

d. Bimbingan Fisik

Kegiatan ini ditujukan untuk memulihkan kondisi fisik klien/residen,

meliputi pelayanan kesehatan, peningkatan gizi, baris–berbaris dan

olahraga.

49
e. Bimbingan Mental dan Sosial

Bimbingan mental dan sosial meliputi bidang keagamaan/spritual, budi

pekerti individual dan sosial/kelompok dan motivasi klien/residen

(psikologis).

f. Bimbingan Orang Tua dan Keluarga

Bimbingan bagi orang tua/keluarga dimaksudkan agar orang tua/keluarga

dapat menerima keadaan klien/residen memberi support, dan menerima

klien/residen kembali di rumah pada saat rehabilitasi telah selesai.

g. Bimbingan Keterampilan

Bimbingan keterampilan berupa pelatihan vokalisasi dan keterampilan

usaha (survival skill), sesuai dengan kebutuhan klien/residen.

h. Resosialisasi/Reintegrasi

Kegiatan ini merupakan komponen pelayanan dan rehabiltasi yang

diarahkan untuk menyiapkan kondisi klien/residen yang akan kembali

kepada keluarga dan masyarakat. Kegiatan ini meliputi:

1. Pendekatan kepada klien/residen untuk kesiapan kembali ke lingkungan

keluarga dan masyarakat tempat tinggalnya.

2. Menghubungi dan memotivasi keluarga klien/residen serta lingkungan

masyarakat untuk menerima kembali klien/residen.

3. Menghubungi lembaga pendidikan bagi klien yang akan melanjutkan

sekolah.

50
i. Penyaluran dan Bimbingan Lanjut (Aftercare)

Dalam penyaluran dilakukan pemulangan klien/residen kepada orang

tua/wali, disalurkan ke sekolah maupun instansi/perusahaan dalam rangka

penempatan kerja.

Bimbingan lanjut dilakukan secara berkala dalam rangka pencegahan

kambuh/relapse bagi klien dengan kegiatan konseling, kelompok dan

sebagainya.

j. Terminasi

Kegiatan ini berupa pengakhiran/pemutusan program pelayanan dan

rehabilitasi bagi klien/residen yang telah mencapai target program (clean

and sober).

4. Sumber Daya Manusia

Pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi korban penyalahgunaan narkoba adalah

kegiatan yang harus dilaksanakan oleh para profesional. Dalam rangka

mencapai target yang baik, maka diperlukan sumber dayamanusia yang

mempunyai kualifikasi tertentu.

Dalam bidang administrasi kegiatan pelayanan dan rehabilitasi sosial korban

penyalahgunaan narkoba membutuhkan tenaga pimpinan/kepala/direktur,

petugas tata usaha, keuangan, pesuruh/office boy, petugas keamanan/security.

Dalam bidang teknis diperlukan tenaga pekerja sosial, bekerja sama dengan

psikologi, psikiater/dokter, paramedik/perawat, guru/instruktur, konselor, dan

pembimbing keagamaan.

51
5. Sarana Prasarana (Fasilitas)

Sesuai dengan fungsi panti, maka sarana dan prasarana dapat dikelompokkan

menjadi:

a. Sarana bangunan gedung, misalnya: kantor, asrama, ruang kelas, ruang

konseling, ruang keterampilan, aula, dapur, dan sebagainya.

b. Prasarana, misalnya: jalan, listrik, air minum, pagar, saluran air/drainage,

peralatan kantor, peralatan pelayanan, dan sebagainya.

Untuk terlaksananya tugas dan fungsi panti secara efektif dan effisien, diperlukan

sarana dan prasarana yang memadai, baik jumlah maupun jenisnya termasuk letak

dan lokasi panti, yang disesuaikan dengan kebutuhan.

Untuk pembangunan panti pelayanan dan rehabilitasi korban penyalahgunaan

narkoba sebaiknya dicari dan ditetapkan lokasi luas tanah dan persyaratan sesuai

kebutuhan, sehingga dapat menunjang pelayanan, dengan memperhatikan hal–hal

sebagai berikut :

 Pada daerah yang tenang, aman dan nyaman.

 Kondisi lingkungan yang sehat.

 Tersedianya sarana air bersih.

 Tersedianya jaringan listrik.

 Tersedianya jaringan komunikasi telepon.

 Luas tanah proporsional dengan jumlah klien/residen yang ada.

Sebelum menetapkan lokasi panti sebaiknya dilakukan studi kelayakan tentang :

a. Statusnya, agar hak pemakaian jelas dan sesuai dengan peruntukan lahan,

sehingga tidak terjadi hal–hal yang kurang menguntungkan;

52
b. Mendapatkan dukungan dari masyarakat terhadap keberadaan panti, sehingga

proses resosialisasi dan reintegrasi dalam masyarakat dapat dilaksanakan.

6. Aksesibilitas

Di dalam masyarakat, panti pelayanan dan rehabilitasi sosial korban

penyalahgunaan narkoba tidaklah berdiri sendiri. Panti ini terkait dengan

seluruh aspek penanggulangan penyalahgunaan narkoba. Oleh karena itu panti

ini harus membuka diri dan menciptakan kerja sama dengan pihak terkait lain,

seperti dalam pelaksanaan sistem referal/rujukan. Bentuk aksesibilitas

semacam itu harus pula bersifat baku/standar.

4.1.3 Faktor-Faktor Yang Menghambat Dalam Proses Pelaksanaan

Rehabilitasi Sosial Bagi Para Korban Penyalahgunaan

Narkotika/Psikotropika.

Di dalam melakukan proses pelaksanaan rehabilitasi sosial bagi para korban

penyalahgunaan narkotika/psikotropika ada beberapa hal yang menjadi kendala

dan menghambat penyalahguna/pecandu dan/atau korban penyalahgunaan

narkotika/psikotropika untuk direhabilitasi, antara lain yaitu :

1. Faktor Substansi Hukum

Adanya potensi pemahaman yang salah terhadap beberapa aturan yang

merupakan petunjuk teknis dalam menerapkan ketentuan–ketentuan dalam

Undang–Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, yang mengatur

mengenai syarat–syarat rehabilitasi terhadap pecandu/penyalahguna maupun

korban penyalahgunaan narkotika/psikotropika untuk direhabilitasi. Misalnya

dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011 Tentang Pelaksanaan

53
Wajib Lapor Pecandu Narkotika. Dimana dalam Pasal 13 ayat (3) Peraturan

Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011 Tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu

Narkotika menyebutkan bahwa pecandu narkotika yang sedang menjalani

proses peradilan dapat ditempatkan dalam lembaga rehabilitasi medis dan/atau

rehabilitasi sosial. Selanjutnya disebutkan dalam ayat (4) bahwa penempatan

dalam lembaga rehabilitasi medis dan/atau rehabilitasi sosial bagi pecandu

narkotika yang sedang menjalani proses peradilan merupakan kewenangan

penyidik, penuntut umum, atau hakim sesuai dengan tingkat pemeriksaan

setelah mendapatkan rekomendasi dari Tim Dokter.

Contoh lainnya terkait Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2010

Tentang Korban Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika ke dalam Lembaga

Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial. Berdasarkan Surat Edaran

Mahkamah Agung ini maka korban penyalahgunaan dan/atau pecandu

narkotika atau kuasa hukumnya dapat membela diri dengan menyatakan bahwa

ia adalah korban penyalahgunaan atau pecandu narkotika. Sehingga kuasa

hukum dapat mengajukan pembelaan kepada majelis hakim agar kliennya

ditempatkan dalam lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial, bukan

dihukum dengan pidana penjara atau denda.

2. Faktor Aparat Penegak Hukum

Adanya kecenderungan dari Penuntut Umum dan Hakim yang lebih

memandang para pengguna, pecandu/penyalahguna dan/atau korban

penyalahgunaan narkotika sebagai pelaku kejahatan. Dengan pemahaman

tersebut maka otomatis penerapan pasal-pasal rehabilitasi sulit untuk

54
diterapkan, meskipun dalam Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009

Tentang Narkotika dengan jelas menyatakan bahwa “Pecandu Narkotika dan

Korban Penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan

rehabilitasi sosial”. Jadi, bagi pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan

narkotika, rehabilitasi bersifat wajib. Seharusnya sifat rehabilitasi yang wajib

ini menjadi patokan utama bagi aparat penegak hukum serta hakim dalam

melakukan tindakan terhadap pengguna narkotika.

3. Faktor Sumber Daya Manusia

Yaitu masih adanya Stigma (anggapan) masyarakat dan juga keluarga dari

seorang pecandu yang menganggap bahwa hal tersebut merupakan aib bagi

keluarga yang harus ditutupi padahal penanganan rehabilitasi lebih cepat akan

lebih baik, karena pecandu narkotika jika tidak ditangani dengan baik

resikonya adalah kematian. Stigma masyarakat sering kali menganggap

penyalah guna dan pecandu itu adalah seorang pelaku tindak pidana yang harus

dipenjarakan dan mengancam keselamatan bagi orang lain, dengan demikian

banyak kasus-kasus penggrebekan yang dilakukan oleh warga lalu diserahkan

kepada pihak kepolisian dan dilakukan penyidikan, tindakan-tindakan warga

yang kurang paham tentang penyalah guna dan pecandu sebagai korban ini

menjadikan rehabilitasi menjadi tidak efektif, sehingga banyak putusan pidana

penjara dari pada putusan rehabilitasi bagi penyalah guna narkotika.

4. Faktor Sarana Prasarana (Fasilitas)

Tidak terlaksananya tugas dan fungsi panti secara efektif dan effisien,

dikarenakan sarana dan prasarana yang tidak memadai, baik jumlah maupun

55
jenisnya termasuk letak dan lokasi panti, yang tidak disesuaikan dengan

kebutuhan sehingga tidak dapat menunjang pelayanan dikarenakan hal–hal

seperti berikut ini :

 Panti rehabilitasi berada di daerah yang ricuh/ tidak tenang, aman dan nyaman.

 Kondisi lingkungan lembaga/ panti pusat rehabilitasi yang kumuh/ tidak sehat.

 Adanya keterbatasan/ kurang tersedianya pasokan sarana air bersih.

 Tidak tersedianya jaringan listrik dan jaringan komunikasi telepon.

 Luas tanah dan bangunan lembaga/ panti pusat rehabilitasi yang tidak

proporsional dengan jumlah klien/residen yang ada.

 Statusnya lembaga/ panti pusat rehabilitasi yang tidak jelas dan tidak sesuai

dengan peruntukannya, sehingga dapat menimbulkan konflik atau terjadinya

hal–hal yang kurang menguntungkan;

 Tidak mendapatkan dukungan dari masyarakat sekitar terhadap keberadaan

lembaga/ panti pusat rehabilitasi, sehingga proses resosialisasi dan reintegrasi

dalam masyarakat tidak dapat dilaksanakan.

4.2 Pembahasan

4.2.1 Proses Penerapan Rehabilitasi Korban Penyalahgunaan Sebagai

Sanksi Dan Upaya Penanggulangan Penyalahgunaan Narkotika/

Psikotropika di Yayasan Caritas–PSE, Medan.

Dalam proses penerapan rehabilitasi korban penyalahgunaan sebagai sanksi

dan upaya penanggulangan penyalahgunaan narkotika/psikotropika pihak Yayasan

Caritas–PSE, Medan pada tahapan awal melakukan langkah-langkah/ tindakan

seperti mengobservasi dan mewawancari korban guna mendapatkan data yang

berkaitan dengan bakat, minat serta potensi korban. Mereka juga melakukan tes

56
psikologis, pelajaran dan ketrampilan sebagai bahan untuk merencanakan

penempatan, pembinaan dan jadwal rutin bagi korban penyalahgunaan napza. Guna

kebutuhan segi psikologisnya mereka juga memberikan bekal keagamaan secara

mendalam. Setelah semua rencana pembinaan dan penempatan selesai, barulah

mereka membuat jadwal kegiatan rutin bagi korban penyalahgunaan napza.

Adapun tahapan proses pelaksanaan pelayanan dan rehabilitasi bagi korban

penyalahgunaan Napza di Yaysan Caritas–PSE, Medan, sebagai berikut :

1. Pendekatan awal (engagement, intake, contact and contract)

a. Pra seleksi dan seleksi

1) Orientasi dan konsultasi

2) Identifikasi

3) Motivasi

4) Seleksi

5) Case conference

b. Penerimaan

1) Pemanggilan calon klien

2) Pengecekan surat-surat, kesepakatan kontrak pelayanan

3) Pencatatan ke dalam buku registrasi

4) Spotcheck (pemeriksaan fisik/gejala klinis dan barang-barang pribadi)

5) Tes urine

6) Detoksifikasi

7) Penempatan dalam asrama

8) Case conference

c. Pra rehabilitasi

57
1) Pengenalan program rehabilitasi

2) Perbaikan kondisi fisik

3) Pengenalan lingkungan rehabilitasi

4) Pembangkitan motivasi (misalnya outbond, emotional interview untuk

klien therapeutic community, dan lain-lain)

5) Pengenalan program (walking paper untuk therapeutic community dan

pencegahan kekambuhan)

6) Case conference

2. Pengungkapan dan pemahaman masalah (assessment)

a. Observasi dan wawancara klien

b. Penggalian bakat, minat serta potensi dan rencana masa depan klien

c. Tes psikologi

d. Tes tulis semua pelajaran termasuk keterampilan

e. Case conference

f. Penempatan pada program pelayanan sesuai dengan minat dan bakat

3. Penyusunan rencana pemecahan masalah (planning)

a. Penyusunan kurikulum dan jadwal kegiatan

b. Menyusun kebutuhan instruktur

c. Membuat kontrak dengan instruktur

d. Rapat penjelasan program kepada semua pemangku kepentingan

e. Merencanakan semua kebutuhan penunjang

f. Case conference

4. Tahap pemecahan masalah/tahap pembinaan dan bimbingan (intervention)

a. Pembinaan

58
1) Bimbingan Fisik

Permakanan, pemeliharaan kesehatan-kebersihan dan kerapian diri, tes

urine secara berkala, spot check-registrasi dan pengasramaan, VCT, olah

raga, senam SKJ/jalan-jalan pagi, aerobik, baris berbaris, permainan

kreatifitas, kesehatan lingkungan, dll)

2) Bimbingan Mental-Spiritual (keagamaan)

Ceramah agama, belajar Al-qur’an/iqro, ceramah agama/etika beragama,

belajar shalat, imam tarawih dan kultum, shalat tahajud/shalat dhuha,

peringatan hari besar agama, ruqyah, dan lain-lain.

3) Bimbingan Mental-Intelektual

Penyuluhan kesehatan, Penyadaran hukum, pengenalan program Yayasan

Caritas–PSE, pencegahan NAPZA, perpustakaan dan mading, untuk

therapeutic community berbagai seminar di kelas, testimoni.

4) Bimbingan Mental-Psikologi

Konsultasi psikologi, penyuluhan psikologi, tes psikologi, kedisiplinan.

5) Bimbingan sosial

Pra outbond, outbond, morning meeting, pembekalan, magang, terapi

kelompok/dinamika kelompok, etika dan budi pekerti, relasi dan

komunikasi, pemberian motivasi dan bimbingan hidup, manusia dan

perkembangannya, perilaku menyimpang, khusus therapeutic community 4

strucrures 5 pillars, unwritten philosophy, dan lain-lain.

6) Bimbingan dan pelatihan keterampilan

59
Keterampilan montir service sepeda motor dan tambal ban, service mobil

dan stir, las (listrik dan asetilin), dan kewirausahaan. Tambahan TC

survival skill untuk recovery.

b. Home visit

c. Resosialisasi/re-integrasi

1) Family support group (FSG)

2) Peer Support group

3) Kos, magang, kembali ke sekolah, kuliah, bekerja, membuka usaha

sendiri.

d. Case conference

5. Evaluasi, terminasi dan rujukan

a. Penilaian kekurangan dan kelebihan program sebelumnya dan rencana

perbaikan ke depan.

b. Upacara penutupan

c. Pemberian sertifikat dan bantuan barang stimulant

d. Pengembalian pada orang tua dan instansi pengirim

e. Case conference

f. Melanjutkan sekolah/kuliah, kursus/kerja atau wiraswasta

6. Pembinaan lanjut (aftercare)

a. Monitoring eks klien, keluarga dan tempat kerja/usaha/sekolah

b. Komunikasi via surat, alat elektronik lain dan hotline service

c. Bantuan pengembangan usaha

d. VCT (Voluntary Counseling and Testing)

60
e. Family & Peer support group (untuk Therapeutic Community Narcotic

Anonymous dan 12 Steps)

4.2.2 Pelaksanaan Model Alternatif Pembinaan Korban Penyalahgunaan

Narkotika/Psikotropika Secara Non Penal di Yayasan Caritas–PSE,

Medan.

Pada hakikatnya berkaitan dengan maksud dan tujuan dari usaha Pelaksanaan

Model Alternatif Pembinaan Korban Penyalahgunaan Narkotika/Psikotropika

Secara Non Penal yang biasa disebut dengan usaha preventif atau dalam bahasa

hukum biasa disebut dengan upaya non penal (prevention without punishment)

Yayasan Caritas–PSE, Medan dalam melakukan pembinaan untuk

penyalahguna/pecandu, korban penyalahgunaan Narkotika/psikotropika adalah

dengan cara melaksanakan program rehabilitasi berbasiskan metode TC

(Therapeutic Community).

4.2.2.1 Pengertian Terapi Komunitas (Therapeutic Community)

Terapi Komunitas adalah grup atau sekelompok orang yang memiliki prinsip

interpersonal yang cukup tinggi, sehingga mampu mendorong orang lain untuk

belajar berinteraksi di suatu komunitas. Terapi komunitas terdiri dari staf yang

pernah mengalami rasa sakit dan memiliki perilaku yang timbul akibat

ketergantungan narkoba, namun telah mampu dan mengetahui cara mengatasinya

serta telah melalui pendidikan dan pelatihan khusus yang memenuhi syarat dan

konselor. Tenaga professional hanya sebagai konsultan saja.

Di lingkungan khusus ini pasien dilatih ketrampilan mengelola waktu dan perilaku

secara efektif serta kehidupan sehari–hari, sehingga dapat mengatasi keinginan

mengonsumsi narkoba. Dalam komunitas ini semua aktif dalam proses terapi.

61
Teori yang mendasari metode Therapeutic Community adalah pendekatan

behavioral dimana berlaku sistem reward (penghargaan/penguatan) dan

punishment (hukuman) dalam mengubah suatu perilaku. Selain itu digunakan juga

pendekatan kelompok, dimana sebuah kelompok dijadikan suatu media untuk

mengubah suatu perilaku.

Konsep Therapeutic Community yaitu menolong diri sendiri, dapat dilakukan

dengan adanya keyakinan bahwa:

1. Setiap orang bisa berubah.


2. Kelompok bisa mendukung untuk berubah.
3. Setiap individu harus bertanggung jawab.
4. Program terstruktur dapat menyediakan lingkungan aman dan kondusif bagi
perubahan.
5. Adanya partisipasi aktif.

4.2.2.2 Program Terapi Komunitas (Therapeutic Community)

Pelaksanaan program disusun untuk membuat residen terlibat secara penuh

dalam setiap kegiatan, sesuai dengan job function-nya masing–masing. Kedudukan

petugas hanya sebagai pengawas, yang mengawasi program. Kategori struktur

program utama dari Therapeutic Community, terdiri dari 4 (empat), yaitu:

a. Behaviour Management Shaping (Pembentukan Tingkah Laku)

Perubahan perilaku yang diarahkan pada kemampuan untuk mengelola

kehidupannya sehingga terbentuk perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai,

norma–norma kehidupan masyarakat.

b. Emotional and Psychological (Pengendalian Emosi dan Psikologi)

62
Perubahan perilaku yang diarahkan pada peningkatan kemampuan penyesuaian

diri secara emosional dan psikologis.

c. Intellectual and Spiritual (Pengembangan Pemikiran dan Kerohanian)

Perubahan perilaku yang diarahkan pada peningkatan aspek pengetahuan,

nilai–nilai spiritual, moral dan etika, sehingga mampu menghadapi dan

mengatasi tugas–tugas kehidupannya maupun permasalahan yang belum

terselesaikan. Perubahan perilaku yang diarahkan pada peningkatan

kemampuan dan keterampilan residen yang dapat diterapkan untuk

menyelesaikan tugas-tugas sehari–hari maupun masalah dalam kehidupannya.

d. Intellectual Vocational and Survival (Keterampilan Kerja dan

Keterampilan Bersosial Serta Bertahan Hidup)

Perubahan perilaku yang diarahkan pada peningkatan kemampuan dan

keterampilan residen yang dapat diterapkan untuk menyelesaikan tugas-tugas

sehari–hari maupun masalah dalam kehidupannya.

4.2.2.3 Fase Penanganan Progam Therapeutic Community

Fase penanganan progam Therapeutic Community terdiri atas 5 tahap, yaitu :

1. Entry/Orientation Phase

Perkiraan waktu 2 sampai 4 minggu

Tahap awal berupa orientasi terhadap aturan, norma, ritual dan tugas di TC.

Pengenalan terhadap komunitas dan staf pegawai. Kegiatan yang dilakukan

berupa pekerjaan sederhana dan mudah sehingga tidak perlu

mengambil keputusan penting, tetapi perlu pengawasan tingkat tinggi.

63
2. Core Treatment Phase

Perkiraan waktu antara 3 sampai 6 bulan

Belajar untuk mengidentifikasi isu-isu klinis atau pengobatan misalnya

psikologis, sosial atau keluarga, kesehatan, pendidikan, pelatihan, dan lain–

lain. Pengelolaanemosi dan belajar ekspresi perasaan yang tepat dalam

kelompok dan bentuk lain dari konseling. Selain itu praktek dalam

mengartikulasikan dan mengungkapkan masalah kritis kehidupan atau

masalah pribadi yang belum terselesaikan dalam sesi kelompok atau sesi

pribadi.

3. Intellectual Pre – Reentry Phase

Perkiraan waktu antara 2 sampai 3 bulan

Pada tahap ini fokus terhadap pengejaran karier, pendidikan dan kegiatan

produktif lainnya yang meningkatkan kemandirian, sebagai wujud

resosialisasi secara bertahap untuk persiapan kegiatan di luar TC. Proses

Internalisasi yang baru untuk memperoleh norma, nilai-nilai pribadi dan

gaya hidup bebas narkoba. Keberhasilan dari proses ini perlu melibatkan

peran manajerial dan pengawasan.

4. Intellectual Reentry Phase

Perkiraan waktu antara 2 sampai 6 bulan

Dalam usaha pengembalian diri ke masyarakat di luar kehidupan

komunitas, maka perlu belajar untuk menangani isu-isi jika terjadi

kekambuhan dan menemukan gaya hidup yang stabil. Oleh karena itu perlu

dukungan dari keluarga, teman, komunitas, dll. Melatih kemampuan

64
dengan gaya hidup baru seperti mengelola uang, manajemen waktu,

manajemen stress, kesehatan dan praktek seks yang aman.

5. Intellectual Aftercare Phase

Perkiraan waktu antara 6 sampai 12 bulan

Melakukan kunjungan ke komunitas TC untuk berhubungan kembali

dengan komunitas atau memberi waktu pribadi sebagai pembicara atau

fasilitator dari kelompok-kelompok khusus dalam upaya mempertahankan

gaya hidup bebas dari narkoba.

4.2.2.4 Kegiatan Terapi Komunitas (Therapeutic Community)

Terapi yang dilakukan dengan metode Terapi Komunitas (Therapeutic

Community) berupa kegiatan–kegiatan yang dilaksanakan secara rutin dan teratur.

Adapun kegiatan yang rutin dilakukan, yaitu :

1. Perbaikan Perilaku Sehari-hari (Behavior Management)

Setiap hari, residen diharuskan beraktivitas mengikuti jadwal yang telah

ditentukan, kecuali ada kendala seperti residen dalam keadaan sakit. Setiap

kegiatan sudah dijadwal secara padat dan teratur. Tujuannya agar pasien diberi

kesibukan sehingga tidak memiliki waktu untuk berdiam diri dan berkhayal.

Semua aktivitas dilakukan secara bersama–sama, antara para residen dan staf

yang bertugas. Tujuannya untuk meningkatkan kedisiplinan dan rasa

kebersamaan dalam suatu komunitas.

2. Pertemuan (Meeting)

65
Pada terapi komunitas pertemuan berdasarkan tujuannya, dibedakan menjadi 4

(empat) macam, yaitu :

a. Morning Meeting

Kegiatan yang bersifat formal dilakukan pada pagi hari, sesudah makan,

selama 30-45 menit. Kegiatan ini diikuti oleh staf dan residen dengan

mengenakan pakaian formal dan bersepatu, kemudian mengucapkan moto

hidup dari terapi komunitas agar memberi semangat dan bebas dari

ketergantungan narkoba. Tujuan kegiatan ini yaitu mempengaruhi aspek

psikologi, dengan mengawali hari dengan baik, meningkatkan rasa keakraban

dan persaudaraan dalam komunitas dan yang terutama adalah memotivasi

agar aktivitas sepanjang hari dapat berlangsung dengan baik.

b. Seminar

Pertemuan formal yang dilakukan setiap sore selama 60-90 menit. Kegiatan

seminar dilakukan untuk mengasah kemampuan mendengarkan, berbicara

dan memperhatikan. Pada kegiatan ini pasien diberi kesempatan untuk

mengungkapkan pendapat secara bebas sehingga merangsang kemampuan

berkomunikasi. Tujuan seminar adalah sebagai stimulasi intelektual, yaitu

merangsang kreatifitas untuk memberi ide dan tanggapan terhadap hal-hal

yang baru, dan membentuk pola berpikir yang benar dan sarana berinteraksi

sosial serta merupakan partisipasi aktif dalam kegiatan berkomunikasi.

Penataan ruang biasanya disusun seperti susunan ruang kelasagar terkesan

formal.

c. House Meeting

66
Pertemuan informal yang dilakukan setiap malam hari, setelah makan malam.

Sifat pertemuan lebih akrab. Lama pertemuan sekitar 45-60 menit. Situasi

pada saat pertemuan adalah pasien dalam keadaan santai, duduk tenang, pasif

atau cenderung mendengarkan. Tujuan house meeting adalah mengevaluasi

semua kegiatan yang telah dilakukan sepanjang hari, baik yang positif

maupun yang negatif.

d. General Meeting

Pertemuan ini bersifat santai namun kekeluargaan. Lama pertemuan tidak

ditentukan. Tujuannya merayakan hal-hal yang membanggakan atas prestasi

residen sehingga memotivasi dan meningkatkan kesadaran untuk berperilaku

positif. Hal ini akan meningkatkan rasa percaya diri merupakan bagian yang

sangat berarti bagi proses kesembuhan.

3. Permainan

Berbagai permainan yang dapat meningkatkan kemampuan bekerja sama

dalam kelompok, mengasah kreativitas dan intelektual, mengembangkan

kemampuan untuk mengungapkan pendapat dan lain-lain.

4. Ibadah

Perbaikan mental spiritual sangat dibutuhkan oleh pasien. Memiliki hubungan

yang dekat dengan Tuhan dapat membantu pasien dalam mengendalikan

perilaku dan pola berpikir. Beribadah secara rutin akan dapat membantu proses

penyembuhan. Kegiatan beribadah dilakukan bersama-sama.

5. Ketrampilan Untuk Bertahan Mandiri Lepas Dari Ketergantungan Dengan

Narkoba (Vocational/Survival Skill)

67
Pelatihan yang diberikan untuk mampu bertahan mandiri lepas dari

ketergantungan narkoba dengan pemberian tugas secara bertahap mulai dari

yang mudah hingga kompleks dan menuntut tanggung jawab dari setiap

individu. Pelatihan kepemimpinan dan penerapannya di lingkungan komunitas,

meliputi evaluasi dan pengambilan keputusan yang telah dibuat dalam

komunitas.

4.2.3 Faktor-Faktor Yang Menghambat Dalam Proses Pelaksanaan

Rehabilitasi Sosial Bagi Para Korban Penyalahgunaan

Narkotika/Psikotropika di Yayasan Caritas–PSE, Medan.

Dalam penyelenggaraan rehabilitasi sosial korban penyalahgunaan narotika/

psikotropika secara lebih profesional perlu adanya standar pelayanan minimal

sebagai panduan bagi pemerintah dan masyarakat.

Pusat atau Panti/Lembaga Rehabilitasi yang baik haruslah memenuhi persyaratan

antara lain :

1. Sarana dan prasarana yang memadai termasuk gedung, akomodasi, kamar

mandi/WC yang higienis, makanan dan minuman yang bergizi dan halal,

ruang kelas, ruang rekreasi, ruang konsultasi individual maupun kelompok,

ruang konsultasi keluarga, ruang ibadah, ruang olah raga, ruang ketrampilan

dan lain sebagainya;

2. Tenaga yang profesional (psikiater, dokter umum, psikolog, pekerja sosial,

perawat, agamawan/rohaniawan dan tenaga ahli lainnya/instruktur). Tenaga

profesional ini untuk menjalankan program yang terkait;

3. Manajemen yang baik; dan Kurikulum/program rehabilitasi yang memadai

sesuai dengan kebutuhan;

68
4. Peraturan dan tata tertib yang ketat agar tidak terjadi pelanggaran ataupun

kekerasan;

5. Keamanan (security) yang ketat agar tidak memungkinkan peredaran

Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya di dalam pusat rehabilitasi

(termasuk rokok dan minuman keras).

69
BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

1. Pada permasalahan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa penanganan

para penyalahguna narkotika di Indonesia masih rancu. Para pecandu

narkotika yang merupakan korban pada akhirnya banyak divonis pidana

penjara dan ditempatkan dalam Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), yang

mana dalam lapas tersebut para pecandu narkotika disatukan dengan para

bandar, sindikat, dan pengedar gelap narkoba. Padahal fakta empiris tegas

melihat bahwa peredaran narkotika di dalam lapas juga marak. Itu artinya,

vonis pidana penjara dan penempatan para pecandu Narkotika di dalam

lapas tidaklah efektif, belum tentu pula menimbukan efek jera. Yang

terjadi, para pecandu tersebut akan semakin kecanduan dan makin mudah

memakai barang haram tersebut karena berbaur dengan para bandar,

sindikat, dan pengedar narkotika.

2. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, mengingat tindak pidana narkotika

merupakan kejahatan yang luar biasa, maka diperlukan penanganan yang

luar biasa pula. Sebagaimana yang dilakukan oleh Badan Narkotika

Nasional, adanya strategi Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan

dan Peredaran Gelap Narkotika (P4GN), yang diperkuat lagi oleh Instruksi

Presiden No.11 Tahun 2011 Tentang Pelaksanaan Kebijakan dan Strategi

Nasional P4GN. Dalam strategi tersebut, tahun 2014 ditetapkan sebagai

70
tahun penyelamatan para pecandu narkotika demi menurunkan prevalensi

pecandu narkotika dan sebagai salah satu cara untuk mewujudkan tahun

2015 Indonesia bebas dari narkoba.

3. Selain itu terdapat juga program dekriminalisasi dan depenalisasi terhadap

para pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika, dimana dekriminalisasi

itu adalah proses penghapusan tuntutan pidana kepada para pecandu dan

korban penyalahgunaan narkotika dalam tahap penyidikan, penuntutan, dan

pengadilan.

4. Sedangkan depenalisasi adalah suatu keadaan dimana para pecandu dan

korban penyalagunaan narkotika melaporkan diri kepada Institusi Penerima

Wajib Lapor (IPWL) yang ditunjuk oleh Pemerintah yang kemudian para

pecandu dan korban penyalahguna narkotika tersebut diberikan perawatan

berupa rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

5.2 Saran

1. Kedepan diharapkan, para pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika

akan bermuara di Lembaga Rehabilitasi. Karena hukuman bagi pengguna

disepakati berupa pidana rehabilitasi. Hakim mempunyai peran yang sangat

penting dalam rangka mendekriminalisasikan pengguna narkotika dengan

menjatuhkan hukuman rehabilitasi. Untuk lebih memfungsikan peran hakim

tersebut perlu dukungan dari aparat penegak hukum berupa peraturan

bersama.

2. Dalam peraturan bersama tersebut dibentuk Tim Asessmen Terpadu yang

berkedudukan di tingkat pusat, tingkat provinsi, tingkat kabupaten/kota.

Tim tersebut terdiri dari tim dokter dan tim hukum yang bertugas:

71
melaksanakan analisis peran tersangka yang berkaitan dengan peredaran

gelap narkotika (terutama pengguna); melaksanakan analisis hukum,

analisis medis dan analisis psikososial; serta membuat rencana jangka waktu

rehabilitasi yang diperlukan. Hasil asessmen tersebut kemudian menjadi

pendukung dalam hal pembuktian bagi pelaku tindak pidana narkotika

untuk dikategorikan sebagai pacandu atau pengedar.

3. Persamaan persepsi antar penegak harus menjasi satu. Dalam hal

pelaksanaan rehabilitasi dan wajib lapor kepada para pecandu dan

penyalahguna narkotika diperlukan upaya yang luar biasa, yakni peran serta

dari seluruh elemen masyarakat untuk ikut menyosialisasikan dan

mendorong agar para pecandu dan korban penyalahguna narkotika secara

sukarela melaporkan dirinya ke Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL)

yang ditunjuk oleh Pemerintah sebagaimana amanat dari Pasal 55 UU No.

35 Tahun 2009 Tentang Narkotika dan PP No. 11 Tahun 2012 Tentang

Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika.

Pasal 55 UU No. 35 Tahun 2009, menyatakan bahwa;

(1) Orang tua atau wali dari Pecandu Narkotika yang belum cukup
umur wajib melaporkan kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit,
dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk
oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan
melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

(2) Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur wajib melaporkan diri
atau dilaporkan oleh keluarganya kepada pusat kesehatan masyarakat,
rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial
yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau
perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

72
4. Oleh karena amanat dari pasal 55 UU No. 35 Tahun 2009 tersebut, maka

diperlukan pula peran dari si pecandu/korban penyalahgunaan narkotika,

keluarga dan masyarakat untuk mendorong para pecandu tersebut agar

secara sukarela melaporkan dirinya ke Institusi Penerima Wajib Lapor

untuk mendapatkan perawatan berupa rehabilitasi medis dan sosial.

73
DAFTAR PUSTAKA

A. Sumber Buku

Alfi, Fahmi. (2002). Sistem Pidana di Indonesia. Surabaya: PT. Akbar Pressindo.

Ali, Akhmad. (2008). Menguak Realitas Hukum. Rampai Kolom dan Artikel
Pilihan dalam Bidang Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Andi Hamzah. (2010). Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta.

Arifin, Samsul. (2012). Metode Penulisan Karya Ilmiah dan Penelitian Hukum.
Medan : Medan Area University Press.

Arikunto, S. (1990). Penelitian Suatu Pendekatan Praktis. Edisi Revisi, Jakarta:


Bina Aksara.

Badan Narkotika Nasional RI. (2004). Buku Pedoman Pencegahan


Penyalahgunaan Narkoba Bagi Pemuda. Jakarta.

Barda Nawawi Arief. (2011). Kebijakan Hukum Pidana. Semarang : Kencana.

Chazawi, Adami. (2008). Pelajaran Hukum Pidana 1. Stelsel Pidana, Tindak


Pidana, Teori-teori Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana.
Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI. (2006). Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan. Jakarta.

Dep. Kes RI. (2001). Mengenai Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat
Adiktif Lainnya (NAPZA). Jakarta.

Dep. Kes RI. (2006). Pedoman Pelaksanaan Pengurangan Dampak Buruk


Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif (NAPZA). Jakarta.

Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. (2006). Penanggulangan HIV/AIDS dan


Penyalahgunaan Narkoba pada LAPAS/RUTAN di Indonesia.

Erdianto Effendi. (2011). Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Refika Aditama

Gatot Suparmo. (2007). Hukum Narkoba Indonesia. Jakarta : Djambatan.

Gerald. C Davison, John M. Neale, Ann M. Kring. (2006). Psikologi Abnormal.


Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. DSM IV-TR. Diagnostic and Statistic
Manual of Mental Disorders, fourth edition text revision.

74
Joewana, S. (2004). Gangguan Mental dan perilaku akibat penggunaan zat
psikoaktif: penyalahgunaan napza/narkoba. Ed.2. Jakarta: EGC

John M. Echols dan Hassan Shadiily. (1996). Kamus Inggris – Indonesia. Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Edisi Ke-4. (2008). Kementerian


Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Kanter dan Sianturi. (2002). Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia dan


Penerapannya. Jakarta : Storia Grafika.

Kencana, Gita dkk. Buku 2, Materi Pelatihan Pendidikan Bahaya Penyebaran


HIV/AIDS Dan Penyalahgunaan Narkoba. Kerjasama warung saHIVa –
Universitas Sumatera Utara dengan Komisi Penanggulangan AIDS dan
Penyalahgunaan Narkoba Daerah (KPAND) Sumatera Utara.

M. Hamdan. (1997). Politik Hukum Pidana. Jakarta: Raja Grafindo Perkasa


Persada.

M. Hamdan. (2012). Alasan Penghapusan Pidana. Bandung : Refika Aditama.

Mien Rukmini. (2003). Perlindungan HAM Melalui Asas Praduga Tidak


Bersalah Dan Asas Persamaan Kedudukan Dalam Hukum Pada Sistem
Peradilan Pidana Indonesia. Bandung : Alumni.

Mochtar Kusumaatmadja. (2002). Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan.


Bandung : Alumni.

Muladi dan Barda Nawawi Arief. (2010). Teori-Teori Kebijakan Hukum Pidana.
Bandung : PT Alumni.

Nyoman Serikat Putra Jaya. (2009). Diktat Bahan Kuliah, Sistem Peradilan
Pidana (“Criminal Justice System”). Semarang: Progam Magister Ilmu
Hukum Universitas Diponegoro.

Open Society Foundation. (2011). Petrial Detention and Health: Unintended


Consequences, Deadly Result.

P.A.F Lamintang. (1996). Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung :


Citra Aditya Bakti.

Peter Mahmud Marzuki. (2008). Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada


Media Group.

Pusat Penelitian Kesehatan UI. Buku Saku Informasi Bahaya Narkoba dan Upaya
Penanganannya. Depok, April 2015.

75
Razak. A. (2007). Remaja dan Bahaya Narkoba. Edisi Pertama, Jakarta: Prenada.

R. Subekti dan Tjitrosudibio. (1999). Kamus Hukum. Jakarta: Pradnya Paramita.

Rena Yulia. (2010). Viktimologi. Yogyakarta : Graaha ilmu.

Ronny Hanitjo Soemitro. (1998). Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumetri.


Semarang : Ghalia Indonesia.

Soejono Soekanto dan Sri Mahmudji. (2001). Penelitian Hukum Normatif. Jakarta
: PT. Raja Grafindo Persada.

Sofyan Sastrawidjaja. (1990). Hukum Pidana. Bandung : CV Armico.

Taufik makarao. (2003). Tindak Pidana Narkotika. Ghalia Indonesia.

Wirawan S, Sarlito. (2012). Pengantar Psikologi Umum. Jakarta: Rajawali Pers.

Yan Pramadya Puspa. (1977). Kamus Hukum Edisi Lengkap - Bahasa : Belanda -
Indonesia – Inggris. Semarang: CV. Aneka

Yurliani, R. (2005). Gambaran Sosial Support Pecandu Narkoba. Skripsi strata


satu Program Studi Psikologi. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara. Medan. Tidak dipublikasikan.

B. Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Stratbaar Feit).

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum


Acara Pidana

Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 04 Tahun 2010


Tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan dan
Pecandu Narkotika Ke Dalam Lembaga Rehabilitasi Medis Dan
Rehabilitasi Sosial.

Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 03 Tahun 2011


Tentang Penempatan Korban Penyalahgunaan Narkotika Di Dalam
Lembaga Rehabilitasi Medis Dan Rehabilitas Sosial.

76
Surat Edaran Jaksa Agung Nomor 002 Tahun 2013 Tentang Penempatan Korban
Penyalahgunaan Narkotika Ke Lembaga Rehabilitas Medis Dan
Rehabilitas Sosial.

Peraturan Presiden Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Badan Narkotika Nasional.

Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011 Tentang Pelaksanaan Wajib Lapor


Pecandu Narkotika.

Peraturan Menteri Sosial RI Nomor 56 TAhun 2009 Tentang Pelayanan dan


Rehabilitasi Sosial Korban Penyalagunaan Narkotika Psikotropika dan Zat
Adiktif lainnya.

Peraturan Menteri Sosial Nomor 03 Tahun 2012 Tentang Standar Lembaga


Rehabilitasi Sosial Korban Penylahgunaan Narkotika Psikotropika dan Zat
Adiktif lainnya.

Peraturan Menteri Sosial Nomor 26 Tahun 2012 Tentang Standar Rehabilitasi


Sosial Korban Penyalahgunaan Narkotika Psikotropika dan Zat Adiktif
lainnya.

Peraturan Bersama; Ketua Mahkamah Agung Nomor 01/PB/MA/III/2014,


Menteri Hukum dan HAM Nomor 01/PB/MA/III/2014, Menteri Kesehatan
Nomor 11/TAHUN 2014, Menteri Sosial Nomor 03 TAHUN 2014, Jaksa
Agung Nomor PER-005/A/JA/03/2014, Kepala Kepolisian R.I Nomor 1
Tahun 2014, dan Kepala BNN R.I Nomor PERBER/01/III/2014/BNN
Tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan
Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi.

C. Sumber Internet

http:// www.bnn.go.id/konten. (diakses pada hari sabtu, tanggal 2 Januari 2016 pukul
22:54 Wib).

http://www.polreskotacimahi.com/ (diakses pada hari sabtu, tanggal 2 Januari 2016


pukul 23:21 Wib).

http://www.datastatistik-indonesia.com/ (diakses pada hari sabtu, tanggal 2 Januari


2016 pukul 23:45 Wib).

http://www.psychiatryonline.com/resourceTOC.aspx?resourceID=1 (diakses pada


hari minggu, tanggal 3 Januari 2016 pukul 09:14 Wib).

http://www.negarahukum.com/hukum/latar-belakang-regulasi-narkotika.html.
(diakses pada hari minggu, tanggal 3 Januari 2016 pukul 12: 25 Wib).

77
http://www.gepenta.com/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,12-id,57-lang,id-
c,artikel-t,Rehabilitasi+Korban+Pengguna+Narkoba-.phpx. (diakses pada
hari minggu, tanggal 3 Januari 2016 pukul 12: 55 Wib).

http://cirebonnews.com/berita/item/5558-bnn-pecandu-narkoba-capai-42-juta?
tmpl=component&print=1#.U6ljq6NPiVp. (diakses pada hari minggu,
tanggal 3 Januari 2016 pukul 13: 11 Wib).

http://dedihumas.bnn.go.id/read/section/artikel/2013/11/19/813/dekriminalisasi-
penyalah-guna-narkotika-dalam-konstruksi-hukum-positif-di-indonesia.
(diakses pada hari minggu, tanggal 3 Januari 2016 pukul 13: 40 Wib).

http://dedihumas.bnn.go.id/read/section/artikel/2013/11/19/813/dekriminalisasi-
penyalah-guna-narkotika-dalam-konstruksi-hukum-positif-di-indonesia.
(diakses pada hari minggu, tanggal 10 Januari 2016 pukul 14: 05 Wib).

http://www.gepenta.com/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,12-id,57-lang,id-
c,artikel-t,Rehabilitasi+Korban+Pengguna+Narkoba-.phpx. (diakses pada
hari minggu, tanggal 10 Januari 2016 pukul 14: 38Wib).
.
http://www.indoganja.com/2013/12/Konvensi-Tunggal-PBB-Tentang-Narkotika-
1961.html. (diakses pada hari minggu, tanggal 10 Januari 2016 pukul 15:
01 Wib).

http://dedihumas.bnn.go.id/read/section/artikel/2013/11/19/813/dekriminalisasi-
penyalah-guna-narkotika-dalam-konstruksi-hukum-positif-di-indonesia.
(diakses pada hari minggu, tanggal 10 Januari 2016 pukul 16: 21 Wib).

www.scribd.com/doc/93201942/Tujuan-BNN. (diakses pada hari minggu, tanggal


17 Januari 2016 pukul 16: 55 Wib).

http://id.wikipedia.org/wiki/Badan_Narkotika_Nasional. (diakses pada hari


minggu, tanggal 17 Januari 2016 pukul 17: 25 Wib).

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt50f7931af12dc/keterkaitan-uu-
narkotika-dengan-uu-psikotropika. (diakses pada hari kamis, tanggal 28
Januari 2016 pukul 19:50 Wib)

http://smslap.ditjenpas.go.id/public/krl/current/monthly/kanwil/all/year/2013/
month/4. (diakses pada hari sabtu, tanggal 30 Januari 2016 pukul 23:25
Wib).

http://smslap.ditjenpas.go.id/public/grl/current/monthly/kanwil/all/year/2014/
month/1. (diakses pada hari sabtu, tanggal 30Januari 2016 pukul 23:55
Wib).

D. Sumber Lain

78
Badan Narkotika Nasional RI. (2015). Laporan Akhir Survei Nasional
Perkembangan Penyalahguna Narkoba Tahun Anggaran 2014. Jakarta.

Berita Mahkamah Konstitusi, (ed) No.19, April-Mei, 2007, hal 15. (dikutip pada
hari minggu, tanggal 3 Januari 2016 pukul 09:27 Wib).

BNN dan Puslitkes UI. Studi Baiaya Ekonomi dan Sosial Penyalahgunaan
Narkoba Di Indonesia Tahun 2004. Depok: Puslitkes UI. 2004.

BNN dan Puslitkes UI. Survei Nasional Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap
Narkoba pada Kelompok Rumah Tangga di Indonesia Tahun 2005.
Depok: Puslitkes UI, 2005.

BNN dan Puslitkes UI. Survei Nasional Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap
Narkoba pada Kelompok Pelajar dan Mahasiswa di Indonesia Tahun
2006. Depok: Puslitkes UI, 2006.

Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI. (2006). Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan. Jakarta.

DitJenPas–KeMenHukHam. (2013). Sistem Database Pemasyarakatan (SDP).


Jakarta: DitJenPas–KeMenHukHam.

DitJenPas–KeMenHukHam. (2014) Sistem Database Pemasyarakatan (SDP).


Jakarta: DitJenPas–KeMenHukHam.

Iguchi, Y. Martin, PhD; Jennifer A. London; Nell Griffith Forge, PhD; Laura
Hickman, PhD; Terry Fain, MS, MA; Kara Riehman, PhD. (2002).
Elements of Well-Being Affected by Criminalizing the Drug User. Public
Health Report: Volumen, 117, Supplement 1.

Jurnal Data Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap


Narkoba (P4GN) Tahun 2013 Edisi Tahun 2014.

Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia. (2005). Diktat Akpol, Sisdil di


Indonesia. Semarang: MABES POLRI.

Persaudaraan Korban Napza Indonesia (PKNI) dan Rumah Cemara. (2012). Studi
Kasus 5 Kota. Dampak Pengabaian Hak Rehabilitasi Bagi Pengguna
Napza Dalam Proses Peradilan. Medan (Sumatera Utara), DKI Jakarta,
Bandung (Jawa Barat), Makassar (Sulawesi Selatan) dan Mataram
(NusaTenggara Barat).

Suplai, Buletin PKNI. Pemulihan Adiksi Berbasis Masyarakat sebagai Pilihan


Terapi Pemulihan Adiksi bagi Pengguna Napza. Persaudaraan Korban
Napza Indonesia (PKNI). Jakarta. (ed) No.05, Januari 2013, hlm 8-10.
(dikutip pada hari minggu, tanggal 3 Januari 2016 pukul 09:46 Wib).

79
Tim Warta AIDS. (2002). Pengurangan Dampak Buruk Narkoba. Edisi pertama,
Jakarta.

E. Sumber Penelitian dan Wawancara

Wawancara Pribadi, Peneliti dengan Bapak Frans Judea Barus, yang sekarang
menjadi Project Manager; Wawancara dilakukan pada tanggal 26 Agustus
2016, pukul 15.00–17.00 Wib., di Yaysan Caritas–PSE, Medan.

Wawancara Pribadi, Peneliti dengan Bapak Andreas S.H, yang sekarang menjadi
Konselor Adiksi dan Advokasi; Wawancara dilakukan pada tanggal 31
Agustus 2016, pukul 16.00–17.00 Wib., di Yaysan Caritas–PSE, Medan.

80

Anda mungkin juga menyukai