Anda di halaman 1dari 88

RENCANA SUR

IMPLEMENTASI DRUG DEMAND REDUCTION,


PERANG MELAWAN NARKOBA MELALUI PENDEKATAN PERSPEKTIF
DI PROVINSI JAWA BARAT

I. Latar Belakang Masalah


1. Situasi Global
2. Situasi di Indonesia

II. Regulasi

III. Kerangka Teori /Kepustakaan

IV. Implementasi Kebijakan Pencegahan, Pemberantasan, Penyalahgunaan dan


Peredaran Gelap Narkotika (P4GN)
1. History
2. Institusi Framework
3. Jurnal/ Penelitian/ Disertasi yang berhubungan
4. Pelaksanaan DDR Oleh Pemerintah

V. Pengalaman Peneliti Dalam kegiatan DDR (PAR)


1. Menangani Pecandu Narkotika sebagai Perawat di RS. Sint Carolus (1992-2004)
2. Konseling Pecandu Narkotika sebagai Psikolog di BKS dan UPT T&R Lido BNN (2005-
2007)
3. Terlibat aktif dalam pendirian Community berbasis rumah Ibadah dari 5 Agama
sebagai Pilot Project Program Nasional BNN (2006) dan pembinaannya (2006-2010)
4. Pendiri dan Petugas Psikologi di Community Based Unit Kamboja Depok (2006 s.d
sekarang)
5. Terlibat Aktif dalam memberikan dukungan penguatan lembaga rehabilitasi sosial,
lapas (2008-2010). Terlibat sebagai anggota penentuan kebijakan dukungan
Penguatan Lembaga Rehabilitasi Komponen Masyarakat
6. Pendiri dan pembina Pos kesehatan Kampung Ambon (2010-2014)
7. Pengajar dalam TOT Penggiat Narkoba (2015-sekarang)
8. Aktif dalam organisasi BERSAMA dalam Perang Melawan Narkoba melalui Strategi
Sejuta lascar (2015-sekarang)

VI. Rencana Penelitian


1. Strategic Planning
2. Preparasi
3. Pro-curement
4. Project Implementasi
5. Conclusi
6. Disclosure Statemen
BAB I : LATAR BELAKANG MASALAH

Sejak Jaman dahulu, mulai dari akhir abad 18 hingga dasawarsa awal abad ke 20, narkoba
telah merupakan ancaman bagi bangsa Indonesia. Penyalahgunaan dan peredaran gelap
narkoba sudah terbukti merusak masa depan bangsa. Selain itu juga merusak karakter
manusia baik fisik maupun kesehatan masyarakat. Dalam jangka panjang, permasalahan ini
akan berpotensi mengganggu daya saing dan kemajuan suatu bangsa. Dampak kerusakan
yang ditimbulkan menjadi sangat besar. Kejahatan Narkoba adalah kejahatan kemanusiaan
yang berskala Internasional, terorganisir, dilakukan dengan konsepsional dan sistematis
serta menggunakan modus operandi yang berubah-ubah dengan dana yang tidak terbatas.
Peredaran gelap narkoba digolongkan dalam kejahatan luar biasa (extraordinary crime) dan
serius (serious crime). Peredaran gelap narkoba bersifat lintas negara (transnational) dan
terorganisir (organized) sehingga menjadi ancaman nyata yang membutuhkan penanganan
serius dan mendesak. Saat ini, situasi global perkembangan penyalahgunaan dan peredaran
gelap narkoba menunjukkan kecenderungan yang semakin mengkhawatirkan.

1. Situasi Global
Ditinjau dari aspek penyalahgunaan narkoba, ketergantungan narkoba yang dikategorikan
sebagai masalah kesehatan oleh United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC),
menempati ranking ke-20 dunia dalam daftar faktor penyebab terganggunya kesehatan.
Bahkan di kelompok negara berkembang penyalahgunaan narkoba tersebut menempati
posisi ke-10. Laporan Tahunan UNODC 2015, prevalensi penyalahgunaan narkoba di dunia
sejak tahun 2006-2013 mengalami peningkatan yang significan (UNODC, 2015).
Berdasarkan Laporan UNODC Asia Pasifik, Global Smart Update 2012, Produksi ATS gelap
juga berkembang di negara-negara yang sebelumnya menjadi negara transit untuk ATS
seperti Kamboja, Indonesia, dan Malaysia.

Maraknya produksi dan peredaran gelap ATS di kawasan Asia Pasifik, mengancam negara-
negara di kawasan Asia Tenggara termasuk Indonesia sebagai jalur peredaran gelap dan
pangsa pasar yang menjanjikan. Dengan nilai jual narkoba yang tinggi dan jumlah
permintaan yang terus tumbuh, menyebabkan kawasan ASEAN menjadi sasaran
penyelundupan narkoba dengan berbagai jenis dan kemasan. Di tingkat global, lembaga PBB
‘UNODC’ mencatat beredarnya lebih dari 739 NPS selama periode 2009 - 2016 yang sudah
dilaporkan dari 106 negara. dan di masa mendatang akan semakin bertambah jumlahnya.

2. Situasi di Indonesia
Eskalasi penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba di tingkat global turut
mempengaruhi kondisi penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba di Indonesia.
Peningkatan yang sangat tinggi menuntut penanggulangan yang serius dari semua pihak.
Berdasarkan Penelitian BNN-Puslitkes UI Tahun 2014, Hasil Survey Nasional Penyalahgunaan
Narkoba menunjukan bahwa angka prevalensi penyalah guna narkoba di Indonesia sebesar
2,2% atau sekitar 4,2 juta orang dan meningkat pada tahun 2015 jumlah penyalah guna
narkotika diproyeksikan 2,85% atau setara dengan 5,1-5,8 juta jiwa dari populasi penduduk
Indonesia (Jurnal BNN, 2015). Seluruh pecandu memerlukan layanan perawatan rehabilitasi.
Sementara lembaga layanan perawatan rehabilitasi yang tersedia baru sejumlah 340
lembaga pemerintah dan 132 lembaga rehabilitasi komponen masyarakat dan rumah
sakit/klinik swasta dengan total kapasitas layanan hanya 18.000 penyalah guna dan pecandu
per-tahunnya.

Bagaimana peredaran zat berbahaya ini dari waktu ke waktu dapat kita lihat pada proyeksi
berikut :
Peredaran narkoba jenis baru di Indonesia juga terus mengalami peningkatan. Pola
peredaran gelap narkoba di Indonesia selalu berubah-ubah tergantung kondisi pengamanan
yang ada. Narkoba ilegal tersebut sebagian besar masuk melalui jalur laut dan perairan
(80%). Narkoba ilegal juga diselundupkan melalui jalur darat khususnya perbatasan-
perbatasan, baik resmi maupun tidak resmi, dengan atau tanpa keterlibatan oknum aparat.
Daya tarik finansial dari bisnis peredaran gelap narkoba mengakibatkan banyak warga
masyarakat yang terjerumus sebagai kurir jaringan sindikat peredaran gelap narkoba.
Ditinjau dari aspek peredaran gelap narkoba, kenaikan angka prevalensi penyalah guna
narkoba sangat dipengaruhi oleh faktor kemudahan pecandu dalam memperoleh narkoba.
Indonesia yang merupakan great market dan great price dengan kebutuhan narkoba
tertinggi di kawasan ASEAN (48%) menjadi sebab maraknya peredaran gelap narkoba
(terutama ATS) dan NPS.

Para pengedar narkoba memang sangat masif menyusup ke berbagai kalangan, mulai kota
megapolitan hingga pelosok.Tantangan menjadi semakin berat karena orang Indonesia
dikenal bukan hanya sebagai pengguna, melainkan juga orang yang mampu mengolah,
memproduksi, membuat, atau mendistribusikan narkoba berbagai bentuk, seperti ganja,
metamfetamin, fensiklidin (PCP), dan LSD, serta zat adiktif lainnya. Baik pelaku maupun
produsennya seperti mabuk dalam bisnis ”uang mudah” ini. Hingga dengan saat ini telah
ditemukan 71 jenis NPS. Di antara yang sering ditemui adalah jenis flakka dengan nama
gorilla, hanoman, holyshit. Jenis ini mengandung canabinoit sintetis yang punya efek jauh
lebih dahsyat. Daya rusaknya 10 kali lipat dari jenis amphetamin type simultant (ATS) seperti
sabu dan ekstasi atau sejenis narkotika lainnya yang alami ataupun sintetis. Sampai dengan
tahun 2017, 18 jenis diantaranya telah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 13
Tahun 2014 tentang Perubahan Penggolongan Narkotika. Pemerintah Indonesia lewat
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 41/2017 tentang Perubahan Penggolongan Narkotika
sudah memasukkan 60 jenis zat narkoba sebagai obat terlarang.

Perkembangan Narkoba akan mengancam bonus demografi. Presiden Republik Indonesia,


Ir. Joko Widodo menyatakan dalam pidatonya dalam sebuah sidang kabinet terbatas di
istana, memerintahkan aparat kepolisian untuk bertindak tegas, termasuk memberikan
perintah "tembak di tempat" karena sudah dianggap darurat narkoba. Mencermati
perkembangan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkoba yang terjadi akhir-akhir ini,
menjadi situasi yang sangat mengkhawatirkan, sehingga menjadi persoalan kenegaraan
yang mendesak. Pada awal pemerintahan Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla, telah
menyatakan kepada seluruh bangsa Indonesia, bahwa Indonesia berada dalam situasi
darurat narkoba. Perang besar terhadap Narkoba yang diserukan Laporan Kinerja Badan
Narkotika Nasional Tahun 2017 2 pemimpin bangsa ini menuntut seluruh elemen bangsa
untuk bergerak melawan kejahatan terorganisir yang bersifat lintas negara tersebut. Korban
penyalahgunaan Narkoba tidak hanya menyasar orang dewasa.

BIADABNYA JARINGAN NARKOBA


Estimasi anggaran belanja narkoba oleh satu sindikat sebesar Rp 6,4 triliun. 10% (Rp 6,4
miliar) dari anggaran tersebut untuk biaya regenerasi pangsa pasar baru narkotika. Dana
tersebut digunakan untuk merekrut para pengguna narkoba baru mulai dari TK hingga orang
tua dan dari semua kelompok. Permasalahan lain adalah pecandu akan habis karena mereka
sadar dan tidak mau pakai narkoba lagi, pulih karena direhabilitasi dan taubat serta mati
karena over dosis. Survey BNN dan UI pada tahun 2017 jumlah pecandu narkoba di
Indonesia mati 33 orang/ per-hari, sementara di dunia ini oleh UNODC dihitung dalam
World Drug Repot 2017 bahwa angka pecandu mati per-hari sebesar 190.000 per tahun
atau sebesar 512 per hari.

Para sindikat menyadari gencar dan agresifnya masyarakat yang peduli narkoba oleh
kegiatan Pencegahan dan pembrantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba
(P4GN). Berkurangnya jumlah pecandu, membuat para bandar perlu mencari pengguna
baru. Indonesia saat ini menghadapi era perang proxy (proxy war), perang dimana serangan
dari negara kenegara lain dengan melemahkan generasi muda bangsa secara perlahan
melalui narkoba. Hasil survey ui dan BNN (2017) ternyata hanya 5% pecandu yang
mengakses layanan rehabilitasi, sementara 95% adalah target pecandu baru dengan dana
Rp 6,4 miliar.

Menurut Menteri Dalam Negeri Bapak Tjahyo Kumolo, bangsa Indonesia kini menghadapi 3
kejahatan luar biasa yang sungguh darurat, yaitu : korupsi, terorisme dan narkoba. ibarat
pohon, korupsi mengambil buahnya, teroris mengambil batangnya dan narkoba menyerang
akarnya. Jika pohon tak berbuah maka masih ada harapan berbuah dan pohon tetap hidup,
jika ditebang batangnya, pohon akan tetap tumbuh meski tak setinggi awalnya. namun jika
pohon dirusak dan dimatikan akarnya, maka buah dan pohonnya tidak akan tumbuh. Inilah
serangan yang melemahkan dan menghancurkan bangsa kita. Karenanya penulis tertarik
dengan meneliti lebih jauh pelaksanaan drug demand reduction, perang melawan narkoba
melalui pendekatan perspektif di provinsi Jawa Barat ini.
BAB II : REGULASI

Regulasi yang berhubungan dengan Drug demand Reduction adalah sebagai berikut :
1. PBB, yakni dengan mengeluarkan beberapa konvensi, antara lain UN Single Convention
on Narcotics Drugs (1961), UN Single Convention on Psychotropic Substance (1971), dan
UN Convention Against Illicit Traffic in Narcotics Drugs and Psychotropic Substance
(1988). Tak terkecuali Commision on Narcotics Drugs (UNCND) juga telah mengeluarkan
Political Declaration Againts Drugs (2009). UNODC melalui konvensi tahun 2009
menekankan negara-negara anggotanya untuk melakukan pendekatan berimbang antara
supply reduction dan demand reduction. Supply reduction tidak akan pernah berhasil
mengurangi jumlah penyalah guna narkoba. Tantangan terbesar adalah pelaksanaan
program pencegahan dan mendorong pecandu datang ke lembaga rehabilitasi atau
institusi penerima wajib lapor (IPWL). Berdasarkan konvensi dan deklarasi itulah disusun
lima pilar utama pemberantasan narkoba, yakni pencegahan, kerja sama,
pemberantasan, terapi dan rehabilitasi, serta pengembangan alternatif (alternative
development) sebagai upaya mengurangi pasokan (supply reduction) dan meminimalkan
permintaan (demand reduction).

2. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika


Pasal-Pasal yang mengatur Pencegahan, antara lain :
 Bagian ketiga Tugas dan wewenang BNN pada pasal 70 :
BNN mempunyai tugas: a.menyusun dan melaksanakan kebijakan nasional mengenai pencegahan
dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika;
b.mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor
narkotika; c.berkoordinasi dengan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam pencegahan
dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan Prekursor narkotika;
d.meningkatkan kemampuan lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial pecandu narkotika,
baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat; e.memberdayakan masyarakat
dalam pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika;
f.memantau, mengarahkan, dan meningkatkan kegiatan masyarakat dalam pencegahan
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika; g.melakukan kerja
sama bilateral dan multilateral, baik regional maupun internasional, guna mencegah dan
memberantas peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika; h. mengembangkan laboratorium
narkotika dan prekursor narkotika; i. melaksanakan administrasi penyelidikan dan penyidikan
terhadap perkara penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan j.
membuat laporan tahunan mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang.

 Bab XIII tentang peran serta masyarakat pada pasal 104-108


(104) Masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan serta membantu
pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor
narkotika. (105) Masyarakat mempunyai hak dan tanggung jawab dalam upaya pencegahan dan
pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan Prekursor narkotika. (106) Hak
masyarakat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap
narkotika dan prekursor narkotika diwujudkan dalam bentuk: a.mencari, memperoleh, dan
memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana Narkotika dan prekursor narkotika;
b. memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh, dan memberikan informasi tentang adanya
dugaan telah terjadi tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika kepada penegak hukum atau
BNN yang menangani perkara tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika; c.menyampaikan
saran dan pendapat secara bertanggungjawab kepada penegak hukum atau BNN yang menangani
perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika; d. memperoleh jawaban atas pertanyaan
tentang laporannya yang diberikan kepada penegak hukum atau BNN; e. memperoleh perlindungan
hukum pada saat yang bersangkutan melaksanakan haknya atau diminta hadir dalam proses
peradilan.(107) Masyarakat dapat melaporkan kepada pejabat yang berwenang atau BNN jika
mengetahui adanya penyalahgunaan atau peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.
(108)(1) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104, Pasal 105, dan Pasal 106
dapat dibentuk dalam suatu wadah yang dikoordinasi oleh BNN.(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Kepala BNN.

 Bab IX tentang pengobatan dan rehabilitasi pada pasal 54-58.


Bagian Kedua Rehabilitasi (54)Pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib
menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. (55)(1)Orangtua atau wali dari Pecandu narkotika
yang belum cukup umur wajib melaporkan kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit,
dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh pemerintah untuk
mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
(2)Pecandu narkotika yang sudah cukup umur wajib melaporkan diri atau dilaporkan oleh keluarganya
kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan
rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau
perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. (3)Ketentuan mengenai pelaksanaan
wajib lapor sebagaimana dimaksud pada ayat (1)dan ayat(2)diatur dengan peraturan
pemerintah.(56)(1) Rehabilitasi medis pecandu narkotika dilakukan di rumah sakit yang ditunjuk oleh
Menteri.(2)Lembaga rehabilitasi tertentu yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau
masyarakat dapat melakukan rehabilitasi medis pecandu narkotika setelah mendapat persetujuan
menteri.(57)Selain melalui pengobatan dan/atau rehabilitasi medis, penyembuhan pecandu narkotika
dapat diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau masyarakat melalui pendekatan keagamaan dan
tradisional. (58) Rehabilitasi sosial mantan pecandu narkotika diselenggarakan baik oleh instansi
pemerintah maupun oleh masyarakat.

3. Peraturan Pemerintah No 25 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu


Narkotika;

4. Permendagri no 21 tahun 2013 tentang Fasilitasi Pencegahan Penyalahgunaan Narkotika


:Gubernur/ Bupati/ Walikota/ Kepala SKPD melakukan fasilitasi Pencegahan
penyalahgunaan narkotika di provinsi atau kabupaten/kota; Menyusun Peraturan
Daerah: antisipasi dini, pencegahan, penanganan, rehabilitasi, pendanaan dan partisipasi
masyarakat; Meningkatkan Partisipasi masyarakat dan melakukan kemitraan/kerjasama
dengan ormas, swasta, Perguruan Tinggi, Sukarelawan, perorangan, Badan Hukum,
Forum Kerukunan umat beragama.
5. Peraturan Kepala Badan Narkotika Nasional
 Nomor 17 tahun 2016 Tentang Tata cara peningkatan kemampuan Lembaga rehabilitasi
medis dan lembaga rehabilitasi sosial bagi Pecandu dan korban penyalahgunaan
narkotikanomor 4 Tahun 2015 tentang Tata Cara Peningkatan Kemampuan Lembaga
Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial yang Diselenggarakan;

6. Keputusan Menteri Kesehatan yang berhubungan antara lain


 Kepmenkes No. 486/Menkes/SKIV/2007 tentang Kebijakan dan Rencana Strategi
Penanggulangan Penyalahgunaan NAPZA.
 Kepmenkes No. 420/Menkes/SK/III/2010 tentang Pedoman Layanan Terapi dan
Rehabililitasi Komprehensif pada Gangguan Pengguna NAPZA berbasis Rumah Sakit.
 Kepmenkes No. 421/Menkes/SK/III/2010 tentang Standar Pelayanan Terapi dan
Rehabilitasi Gangguan Penggunaan NAPZA.
 Keputusan Menteri Kesehatan No 1305 tahun 2011 tentang Instusi penerima Wajib Lapor
 Keputusan Menteri kesehatan No 2171 tahun 2011 tentang Tatacara Pelaksanaan Wajib
Lapor Pecandu Narkotika tahun 2011

7. Surat Edaran Mahkamah Agung No 7 Tahun 2009 tentang Menempatkan Pemakai


Narkoba Ke dalam Panti Terapi dan Rehabilitasi;

8. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan


Kebijakan Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan Peredaran
Gelap Narkoba Tahun 2011 – 2015;

9. Surat Edaran Kemenpan No 50 Tahun 2017 tentang pelaksanaan P4GN di lingkungan


Instansi pemerintah;

10.Perda Nomor 13 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Peredaran Gelap
Narkoba/ Napza;

11.Peraturan Gubernur Nomor 42 Tahun 2009 tentang Kawasan Dilarang Merokok


BAB III :
Implementasi Kebijakan Pencegahan, Pemberantasan, Penyalahgunaan dan
Peredaran Gelap Narkotika (P4GN)

Sebagai focal point penanggulangan Narkoba di tanah air, Badan Narkotika Nasional (BNN)
telah melakukan berbagai upaya penanggulangan dengan melakukan ekstensifikasi dan
intensifikasi P4GN kepada seluruh lapisan masyarakat melalui Pencegahan, Pemberdayaan
Masyarakat, Rehabilitasi, dan Pemberantasan serta meningkatkan kerjasama nasional dan
internasional. Pelaksanaan kerjasama Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan
Peredaran Gelap Narkoba (P4GN) di tingkat pusat dengan Kementerian/Lembaga/Instansi
didukung dengan adanya perubahan kebijakan pemerintah dalam sistem penganggaran dari
semula penganggaran berbasis fungsi (Money Follow Function) berubah menjadi
penganggaran
berbasis program (Money Follow Program) yang berdampak pada kemudahan bagi K/L/I
mengalokasikan anggaran masing-masing dalam pelaksanaan program P4GN.

Indonesia sudah mengadopsi kebijakan ala Portugal, yakni apabila pencandu melapor, akan
dibantu menyalurkan untuk rehabilitasi. Namun, kalau tidak melapor, akan tetap diproses
pidana jika tertangkap. Meskipun, bisa saja pengadilan memberikan putusan rehabilitasi,
seperti yang dialami para artis. Jadi, sebenarnya kita masih bisa menyelamatkan nyawa
pencandu. Tapi dengan catatan, perlakukan mereka bukan sebagai penjahat, melainkan
sebagai orang sakit, manusia yang menderita yang membutuhkan pertolongan, bukan
borgol. Namun, untuk pengedar narkoba, mereka memang jahat. Bagaimana kalau silakan
disingkirkan, dihukum mati ! Anda setuju ? Itu adalah cara memutuskan hubungan dengan si
Narkoba melalui tahapan pengobatan, tapi bagaimana memutuskan hubungan dengan
memutus jalur hadirnya si narkoba ?

Dengan memutus jaringan sindikatnya? Ini yang dikatakan Arman Depari Deputi
Pemberantasan Badan Narkotika Nasional BNN Salah satu pilar pemberantasan narkoba
adalah kerja sama internasional secara proaktif. Kerja sama proaktif dapat memperkuat
petugas perbatasan di lintas negara (land border), bandar udara, dan jalur laut. Ruang kerja
sama ini sebagai sarana tukar-menukar informasi intelijen terkait modus dan jejaring
peredarannya. Dengan demikian, target memutus jaringan sindikat narkoba mulai dari
sumbernya di luar negeri, perbatasan teritorial negara, sampai masuk ke Indonesia, dapat
dicapai. Termasuk dengan memutus peredaran narkoba di lembaga pemasyarakatan (lapas),
sebab narapidana di lapas menjadi pengendali peredaran narkoba di luar penjara dan sering
pula menjadi tempat produksi narkoba. Dengan demikian, target memutus jaringan sindikat
narkoba mulai dari sumbernya di luar negeri, perbatasan teritorial negara, sampai masuk ke
Indonesia, dapat dicapai. Termasuk dengan memutus peredaran narkoba di lembaga
pemasyarakatan (lapas), sebab narapidana di lapas menjadi pengendali peredaran narkoba
di luar penjara dan sering pula menjadi tempat produksi narkoba. Dewasa ini, dalam
memutus jaringan sindikat narkoba perlu ada prioritas untuk memutus pasokan (supply)
dengan cara mencari, menemukan, mencegat, dan menyita barang bukti. Upaya memutus
pasokan ini efeknya akan terlihat lebih masif dan membuahkan banyak hasil. Buktinya
adalah saat melumpuhkan sindikat-sindikat tertentu seperti sindikat Iran dan sindikat Afrika
Barat yang beberapa tahun lalu merajalela di Indonesia, meski sebetulnya kedua sindikat
masih terbilang kecil jika dibandingkan dengan sindikat internasional yang masih beroperasi
dan berkolaborasi dengan sindikat lokal yang eksis di sejumlah daerah di Indonesia.

Jaringan itu khususnya beroperasi di jalur perairan yang terbuka seperti di sepanjang pantai
timur Sumatera, mulai dari Aceh sampai ke Lampung, Kepulauan Riau, terus ke arah pantai
barat dan utara Kalimantan, tanpa terkecuali di beberapa wilayah di bagian timur Indonesia.
Selama ini 80 persen transportasi narkoba melalui jalur laut sehingga selagi rute laut ini
memberikan kesempatan untuk sindikat, mereka akan tetap melanjutkan penyelundupan-
penyelundupan ke Indonesia. Untuk menghentikan pasokan atau pengiriman narkoba dari
negara sumbernya (hulu) juga diperlukan kesamaan persepsi. Selama ini, banyak negara
Eropa yang tidak mau bekerja sama dengan Indonesia. Alasan mereka, hukum di Indonesia
masih memberlakukan hukuman mati. Negara itu misalnya Belanda dan Australia, setelah
dieksekusinya pelaku kejahatan narkoba kelompok ”Bali Nine”.
Selain harus menangkap dan memutus jaringan sindikat narkoba, penyidik BNN diwajibkan
pula untuk menyidik tindak pidana pencucian uang (TPPU)-nya. Caranya adalah dengan
membekukan serta menyita harta, uang, dan aset para sindikat narkoba. Hal ini
dimaksudkan untuk melumpuhkan kekuatan ekonominya sehingga jejaring sindikat itu tak
mampu lagi beroperasi. Saat ini, BNN sedang melakukan penyidikan terhadap transaksi yang
diduga berasal dari penjualan narkoba sebesar Rp 3,6 triliun dan Rp 7,3 triliun yang masih
terkait dengan sindikat almarhum Freddy Budiman. Transaksi itu sebagian besar mengalir ke
luar negeri. Ini cukup sulit untuk menemukan atau mengembalikannya sekalipun telah
dibuatkan permohonan bantuan secara legal (mutual legal assistance on criminal
matters/MLA) karena baru beberapa negara saja yang meresponsnya. Yang perlu juga
diwaspadai, ke depan jejaring sindikat narkoba akan terus mencari dan mengembangkan
pasarnya seiring dengan kemajuan dan peningkatan ekonomi di Indonesia, dengan asumsi
bahwa penyalah guna narkoba di Indonesia berlimpah uang dan tingginya jumlah
permintaan kebutuhan narkoba. Seperti kata pepatah, ada gula ada semut.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pun mengatakan, belanja narkoba itu akan
menggerus daya beli masyarakat. Uang hasil penjualan narkoba diboyong ke luar negeri dan
diganti dengan ”racun narkoba” yang dimasukkan ke Indonesia. Beberapa negara Asia lain,
seperti Iran, Filipina, dan Singapura, yang gencar serta keras mengatasi masalah narkoba itu
telah mengantisipasi lebih dulu. Jika Indonesia tidak mengambil langkah yang cepat dan
tepat, besar kemungkinan ”jatah” narkoba yang tadinya diperuntukkan ke negara-negara
tersebut bisa dipastikan akan beralih masuk ke Indonesia. Sementara itu, negeri jiran
(Malaysia) masih dikategorikan sebagai negara transit utama dalam jalur penyelundupan
narkoba. Adapun negara segi tiga emas yang dulu produsen utama heroin—kini untuk
kawasan tersebut berubah sebutan menjadi Delta Mekong (Laos, Myanmar, dan Thailand)—
menjadi tempat produksi massal narkoba jenis sabu dan ekstasi. Kalau begitu apa solusi
untuk mengatasi serangan virus narkoba dan memberantasnya?

Dengan melihat kompleksitas persoalan narkoba, maka dalam penanganannya pun perlu
sinergi di antara pemangku kepentingan di Indonesia. Setidaknya Kementerian Luar Negeri
perlu melakukan lobi atau pendekatan di kawasan Asia khususnya, dan dunia pada
umumnya. Dengan cara itu, diharapkan bertambahlah negara-negara yang akhirnya mau
diajak kerja sama dalam pemberantasan narkoba dari hulu hingga hilir, juga untuk
mempercepat penanganan aset dan uang hasil tindak pidana narkoba yang mengalir sampai
luar negeri. Di sinilah perlu pembicaraan khusus dalam semangat dan komitmen ASEAN
memberantas narkoba, mengingat karena narkoba tidak hanya menghancurkan rakyat
Indonesia, tetapi juga masyarakat dan bangsa-bangsa di dunia, terutama generasi muda.
Memikirkan mempertimbangkan dan menyimak apa yag dibicarakan oleh Djoko Santoso
Guru Besar Fakultas Kedokteran Unair serta Arman Depari Deputi Pemberantasan Badan
Narkotika Nasional BNN, Putera Astaman semakin yakin, bahwa dengan cara membuat
benteng pertahanan berbasis Laskar Perang Melawan Narkoba, banyak kerugian dapat
diatasi lebih awal. Memang mengajak orang bersedia menjadi Laskar bukan hal sederhana,
harus ada kesadaran betapa berbahayanya narkoba bila kita biarkan terus seperti ini, harus
ada komitmen untuk terus berada digarda paling depan dalam menjaga benteng
pertahanan anak anak bangsa dari jerat narkoba.
Langkah membentuk Laskar Perang Melawan Narkoba telah mulai berderap

Capaian Program P4GN dan Aspirasi Masyarakat


Terhadap kondisi perkembangan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narjoba di
Indonesia, Badan Narkotika Nasional terus meningkatkan upaya penyelamatan bangsa dari
ancaman penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba melalui pelaksanaan Program
Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba (P4GN)
secara intensif dan ekstensif dengan 5 melibatkan seluruh komponen masyarakat, bangsa,
dan negara. Upaya tersebut dilakukan dengan mengedepankan prinsip keseimbangan
antara demand reduction dan supply reduction berdasarkan prinsip “common and share
responsibility”. Keberhasilan pelaksanaan program P4GN diindikasikan dari tertahannya laju
peningkatan prevalensi penyalahgunaan narkoba dari 0,08% per tahun (periode 20082011)
menjadi -0,02% per tahun (periode 20112014). Adapun beberapa capaian Program P4GN
tersebut adalah sebagai berikut:

(1). Demand Reduction


Dalam upaya meningkatkan pengetahuan, pemahaman, dan kesadaran masyarakat di
kalangan pelajar/ mahasiswa, pekerja, keluarga, dan masyarakat rentan/ resiko tinggi
terhadap bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba, telah dilakukan
Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) P4GN secara masif melalui penggunaan media
cetak, media elektronik, media online, kesenian tradisional, dan tatap muka, serta media
luar ruang dengan menitikberatkan pada kerawanan penyalahgunaan narkoba di kalangan
pekerja dan pelajar/ mahasiswa. Hal tersebut sebagai wujud pemenuhan keinginan
masyarakat berupa kemudahan akses dalam memperoleh informasi tentang bahaya
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba dan berbagai upaya pencegahannya. Selain
itu, telah dibentuk tidak kurang dari 300 ribu kader anti narkoba dan telah dilakukan
pemberdayaan masyarakat di lebih dari 13 ribu lingkungan pendidikan, lingkungan kerja,
dan lingkungan masyarakat di seluruh Indonesia. Pemberdayaan masyarakat tersebut
dimaksudkan untuk membangun kesadaran, kepedulian, dan kemandirian masyarakat
dalam menjaga diri, keluarga, dan lingkungannya dari bahaya penyalahgunaan dan
peredaran gelap narkoba.

Sebagai implementasi prinsip common and share responsibility dalam penanganan


permasalahan narkoba di Indonesia, pada tanggal 27 Juni 2011 presiden mengeluarkan
Instruksi Presiden Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Kebijakan dan Strategi
Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba
Tahun 20112015 sebagai perekat para stake holder untuk bersama menangani
permasalahan narkoba. M enindak-lanjuti Inpres tersebut, Kementerian Dalam Negeri
mengeluarkan 6 Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 21 Tahun 2013 tentang
Fasilitasi Pencegahan Penyalahgunaan Narkotika dengan menginstruksikan kepada
gubernur, bupati, dan walikota di seluruh Indonesia agar memfasilitasi pelaksanaan Program
P4GN di wilayahnya masing-masing, di antaranya melalui penerbitan kebijakan strategis
serta pelaksaanan upaya-upaya konkret penanganan permasalahan narkoba. Sampai
dengan pertengahan tahun 2014, telah terdata 23 kementerian, 26 lembaga, 26 pemerintah
provinsi, 42 pemerintah kabupaten, dan 27 pemerintah kota, serta 160 instansi swasta/
kelompok masyarakat/ tokoh masyakarat/ LSM yang berperan serta aktif dalam Bidang
P4GN. Sampai pertengahan tahun 2014 pula, terhitung sejumlah 355 orang petani ganja
telah beralih profesi menjadi petani tanaman alternatif seperti nilam, jabon, cabe, jagung,
dan kopi.

Sementara dalam upaya pemulihan penyalah guna dan pecandu narkoba, selama kurun
waktu 20102014, telah direhabilitasi sebanyak 34.467 residen, baik melalui layanan
rehabilitasi medis maupun sosial. Selain itu telah dilakukan pula upaya pengembangan
kapasitas (capacity building) terhadap lebih dari 1.100 lembaga rehabilitasi milik pemerintah
dan masyarakat. BNN juga melakukan terobosan baru dalam penanganan penyalahgunaan
narkoba melalui program rehabilitasi dengan pendekatan konservasi alam sebagai upaya
pemulihan dan resosialisasi.

Pada awal tahun 2014 BNN melakukan pencanangan “ Tahun 2014 Sebagai Tahun
Penyelamatan Pengguna Narkoba” sebagai momentum perubahan cara pandang
masyarakat dan aparat penegak hukum dalam penanganan penyalah guna dan pecandu
narkoba. Dalam rangka menyukseskan program tersebut, dilakukan upaya sinergi program
dengan kementerian/ lembaga lain, pemerintah daerah, dan seluruh instansi vertikal BNN,
diantaranya melalui penambahan Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) yang memberikan
kemudahan bagi penyalah guna dan pecandu narkoba mengakses layanan rehabilitasi. Hal
tersebut sesuai dengan amanat Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2011 tentang
Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika.

Upaya tersebut juga didukung dengan dikeluarkannya peraturan bersama antara Ketua M
ahkamah Agung, M enteri Hukum dan Hak Azasi M anusia, 7 Menteri Kesehatan, M enteri
Sosial, Jaksa Agung, Kapolri, dan Kepala BNN tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan
Korban Penyalahgunaan Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi di bulan M aret 2014.
Implementasi dari peraturan bersama tersebut diantaranya dengan membentuk Tim-tim
Asesmen Terpadu (TAT) untuk melakukan upaya penanganan rehabilitasi bagi penyalah
guna dan pecandu yang sedang dalam proses hukum.
(2). Supply Reduction
Pemberantasan peredaran gelap narkoba bertujuan memutus rantai ketersediaan narkoba
gelap dalam rangka menekan laju pertumbuhan angka prevalensi. Ekspektasi masyarakat
terhadap kinerja BNN dalam aspek pemberantasan ini sangatlah besar. Hal tersebut tampak
pada tingginya animo masyarakat dalam liputan pemberitaan media massa nasional setiap
kali terjadi pengungkapan kasus narkoba. Selama kurun waktu empat tahun terakhir telah
terjadi peningkatan hasil pengungkapan kasus dan tersangka kejahatan peredaran gelap
narkoba serta pengungkapan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang berasal dari tindak
pidana narkoba. Hal tersebut ditunjukkan dengan terungkapnya 108.701 kasus tindak
pidana narkoba dengan jumlah tersangka sebanyak 134.117 orang. Kasus besar yang pernah
diungkap oleh BNN pada tahun 2012 adalah penyelundupan satu kontainer berisi Narkotika
Sintetis Golongan 1 berjenis ekstasi sebanyak 1.412.476 butir serta terungkapnya jaringan
peredaran gelap ganja pada tahun 2014 sebesar 8,527 ton melalui penggunaan Informasi
Teknologi (IT) Intelijen. Adapun jaringan tindak pidana narkoba yang berhasil diungkap
sebanyak 54 jaringan nasional dan 27 jaringan internasional. Sementara hasil pengungkapan
TPPU sebanyak 40 kasus dengan total nilai aset yang disita sebesar Rp 163,1 milyar.
Potensi dan Permasalahan
Penanganan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba terfokus pada 3 (tiga) hal
sebagai berikut:
Masyarakat Bersih Narkoba
Masyarakat Bersih Narkoba (MBN) adalah penduduk Indonesia yang tidak menyalahgunakan
narkoba. MBN merupakan penduduk berusia antara 1059 tahun dengan berbagai ragam
peran di seluruh sektor kehidupan. Penentuan rentang usia tersebut didasarkan oleh masa
usia rentan seseorang melakukan penyalahgunaan narkoba. Berdasarkan hasil penelitian
BNN dengan Puslitkes UI, estimasi angka prevalensi penyalahgunaan narkoba di Indonesia
pada tahun 2014 mencapai ±2,18% dari populasi penduduk berusia 1059 tahun. Hal ini
menunjukkan M BN mencapai ±97,82% dari total penduduk Indonesia.

Jumlah MBN yang demikian besar, ditambah tingkat pemahaman terhadap bahaya
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba yang tergolong rendah, menjadikan M BN
sebagai pangsa pasar potensial perdagangan narkoba ilegal oleh sindikat jaringan peredaran
gelap narkoba. Menghindarkan M BN dari aktivitas penyalahgunaan dan peredaran gelap
narkoba bukanlah upaya ringan karena berbagai faktor yang mempengaruhinya,
diantaranya gaya hidup, modus operandi jaringan sindikat, daya tarik finansial, dan lain
sebagainya.

Dalam upaya melindungi MBN sehingga memiliki pengetahuan, pemahaman, dan kesadaran
untuk tidak terlibat penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba, dibutuhkan
penyebarluasan informasi secara masif melalui berbagai media oleh BNN dan seluruh
instansi vertikal di bawahnya. Upaya lainnya adalah dengan pengintegrasian program
pencegahan penyalahgunaan narkoba ke dalam seluruh isu dan sektor pembangunan,
diantaranya melalui konsep penganggaran berwawasan anti narkoba dan penguatan
kebijakan berbasis anti narkoba. Hal yang sangat dimungkinkan mengingat penangan
permasalahan narkoba telah menjadi prioritas nasional dan BNN sebagai leading sector-nya.
Tidak kalah penting, dibutuhkan pula upaya keras penegak hukum dalam memutus mata
rantai pasokan narkoba oleh jaringan sindikat kepada MBN.

Penyalah Guna Narkoba


Penyalah guna narkoba adalah kelompok masyarakat yang menggunakan narkoba tanpa hak
dan melawan hukum. Berdasarkan tingkat ketergantungan, penyalah guna narkoba dibagi
dalam 4 (empat) kategori, yaitu : coba pakai, teratur pakai, dan pecandu (suntik/ bukan
suntik). Estimasi angka prevalensi penyalahgunaan narkoba di Indonesia di tahun 2014
mencapai ±2,18% dari populasi penduduk berusia 1059 tahun atau setara dengan ±4,02
juta orang terdiri dari : coba pakai 1,6 juta orang (39%); teratur pakai 1,4 juta orang (37%);
pecandu non suntik 875 ribu (23%); dan pecandu suntik 68 ribu (1%). Ditinjau dari profesi
penyalah guna, kalangan pekerja (70%) dan pelajar (22%) menempati peringkat tertinggi.

Dari data tersebut tergambar bahwa penyalah guna narkoba didominasi oleh kalangan
kategori coba pakai. Hal ini mengindikasikan lemahnya daya tangkal masyarakat terhadap
penyalahgunaan narkoba. Sedangkan, tingginya angka penyalah guna teratur pakai dan
pecandu diantaranya disebabkan oleh faktor minimnya fasilitas dan kapasitas tempat
rehabilitasi di Indonesia yang tidak sebanding dengan jumlah orang yang harus
direhabilitasi. Sampai saat ini baru tersedia 340 lembaga rehabilitasi pemerintah serta 132
lembaga rehabilitasi komponen masyarakat dan rumah sakit/ klinik swasta dengan total
kapasitas layanan rehabilitasi hanya bagi 18.000 pecandu per tahun (0,5%). Selain faktor
tersebut, karakteristik penyalah guna dan pecandu yang cenderung menutup diri menjadi
penghambat upaya rehabilitasi (wajib lapor). Hal ini semakin diperparah dengan stigma
negatif masyarakat terhadap mereka serta cara penanganan penyalah guna dan pecandu
narkoba oleh penegak hukum yang belum sepenuhnya dilaksanakan sesuai amanat Undang-
Undang 35/ 2009 tentang Narkotika. Permasalahan lainnya adalah ego sektoral yang
seringkali masih muncul dalam penanganan penyalah guna dan pecandu narkoba.

Ancaman juga datang dari derasnya pasokan narkoba oleh jaringan sindikat dalam dan luar
negeri dikarenakan tingginya angka penyalah guna dan pecandu sebagai great market dan
great price sehingga berimbas pada kemudahan akses dalam memperoleh narkoba. Kondisi
sebagaimana tersebut di atas menjadikan upaya penanganan penyalah guna dan pecandu
narkoba sebagai salah satu prioritas nasional. Dukungan dari pemerintah dan stakeholder
lainnya cukup besar. Hal tersebut tampak dari banyaknya regulasi nasional terkait
penanganan penyalah guna dan pecandu narkoba serta alokasi anggaran pemerintah untuk
program rehabilitasi penyalah guna dan pecandu narkoba. Menjadi sebuah agenda penting
untuk melakukan 10 pengembangan akses layanan rehabilitasi secara teritegrasi dan
berkelanjutan terhadap penyalah guna dan pecandu narkoba, selain melakukan peningkatan
kemampuan lembaga rehabilitasi instansi pemerintah dan komponen masyarakat yang
sudah ada. Dibutuhkan pula upaya ekstra keras untuk mengubah cara pandang masyarakat
dan aparat penegak hukum dalam penanganan penyalah guna dan pecandu narkoba
sebagai orang sakit yang harus diobati melalui informasi yang disebarluaskan secara masif
serta penggalakan program keberdayaan masyarakat. Komitmen dan ketegasan penegak
hukum memberantas peredaran gelap narkoba dalam memutus rantai pasokan narkoba
oleh jaringan sindikat kepada penyalah guna dan pecandu, juga sangat dibutuhkan.

Pelaku Peredaran Gelap Narkoba


Pelaku peredaran gelap narkoba adalah individu yang melakukan aktivitas peredaran
narkoba ilegal. Pelaku peredaran gelap narkoba biasanya dilakukan dalam kelompok
terorganisir/ terstruktur melalui sistem jaringan terputus. Dalam kurun waktu lima tahun
terakhir berhasil diungkap sebanyak 108.701 kasus tindak pidana narkoba yang melibatkan
tersangka pelaku sebanyak 134.117 orang dan 80 jaringan sindikat (54 sindikat nasional dan
27 sindikat internasional). Jaringan sindikat narkoba internasional yang beroperasi di
Indonesia diantaranya West Africa, Cina, Iran, Malaysia, dan India. Pada umumnya Narkoba
gelap yang masuk ke Indonesia berasal dari Malaysia dibawah kendali jaringan sindikat
internasional West Africa yang berada di M alaysia dan jaringan yang berada dalam lembaga
pemasyarakatan di Indonesia.

Maraknya peredaran gelap di Indonesia dengan beragam modus operandinya disebabkan


daya tarik bisnis yang menjanjikan karena Indonesia merupakan negara dengan kebutuhan
narkoba tertinggi di kawasan ASEAN (48%). Kondisi ini bertambah buruk dengan maraknya
perkembangan jenis narkotika baru (NPS). Padahal sistem pengawasan peredaran gelap
narkoba pada pintu-pintu masuk (entry point) di jalur udara, laut, perairan, darat, dan lintas
batas masih lemah. Hal tersebut diperparah dengan belum optimalnya penanganan tindak
pidana pencucian uang hasil kejahatan narkotika. Kewenangan penyelidikan dan penyidikan
tindak pidana narkoba yang dimiliki BNN menjadi modal utama dalam upaya menekan
tingkat peredaran gelap 11 narkoba. Namun hal tersebut mutlak memerlukan jalinan
kerjasama dan kemitraan yang sinergis dan harmonis dengan aparat penegak hukum
lainnya. Selain itu, diperlukan upaya-upaya lain diantaranya: penambahan dan
pemutaakhiran sarana/ prasarana intelijen berbasis teknologi informasi terbarukan;
penguatan sistem pengawasan pada pintu-pintu masuk (entry point) di jalur udara, laut,
perairan, darat, dan lintas batas; pemberdayaan masyarakat dalam melindungi
lingkungannya dari aktivitas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba; serta penguatan
komitmen dan integritas aparat penegak dalam memberantas tindak pidana peredaran
gelap narkoba dan tindak pidana pencucian uang hasil kejahatan narkotika.

Pelaksanaan program P4GN dengan sasaran masyarakat bersih narkoba, penyalah guna
narkoba, dan pelaku peredaran gelap narkoba mutlak memerlukan dukungan optimal
penatakelolaan organisasi dalam pelaksanaan tugas dan fungsi organisasi, sumber daya
manusia yang sesuai kualifikasi dan kebutuhan organisasi, sarana dan prasarana yang
memadai, serta regulasi organisasi yang memperkuat mekanisme pelaksanaan tugas.
Putera Astaman melihat terapi dan rehabilitasi yang dilakukan BNN dan swasta
sudah sangat membantu, namun selama permintaan masih tinggi, pencegahan terhambat ,
pemberantasan tersendat, maka kerja sama seluruh anak bangsa untuk bergandengan
tangan menjaga pertahanan melalui benteng yang dijaga ketat oleh Laskar tentu adalah
pilihan yang layak dipertimbangkan.
Bayangkan,kalau disetiap pintu masuk ada laskar penjaga, dirumah rumah,
disekolah sekolah, dikantor kantor, ada laskar, laskarnya laskar perang melawan narkoba
dengan komitmen dan sumpah seumur hidup , tidak akan membiarkan zat adiktif itu
mendekat merapat. Dan Laskar itu ada dimana mana, jumlahnya jutaan, bersama mitra
mitra yang dapat direngkuhnya untuk bersama sama menjaga anak bangsa ? Membangun
kesadaran bersama untuk kepentingan bersama akan sangat efektif. Setiap keluarga merasa
peduli dan bertanggung jawab terhadap semua anggota keluarganya. Begitu juga di sekolah-
2 dan di tempat tempat kerja. Secara berkala melakukan test Kit, bukan karena alasan
curiga,melainkan karena menjaga, siapa tahu tanpa sadar tubuh kita dan tau anak anak kita
telah tersusupi zat berbahaya tersebut melalui permen atau makanan lain.
Putuskan Mata Rantai !!
Kata “putus”, biasanya sangat membantu menyelesaikan urusan. Bisa jadi patah hati
hanya sesaat ketika kata “putus” ini muncul dalam hubungan percintaan. Orang akan
berusaha untuk ‘move on’ dengan berbagai cara, dan akhirnya menemukan pelabuhan baru.
Bagaimana halnya dengan narkoba ? Memutuskan mata rantai yang menghubungan orang
orang sebagai pengguna dengan mereka yang disebut pengedar ? Bandar ? Atau
memutuskan hubungan dengan si narkoba itu sendiri melalui rehabilitasi bertahap, atau
memutuskan hubungan dengan meniadakan narkoba didekat kita ?
Bila kita atau anggota keluarga kita mengalami ketergantungan pada narkoba,
kesabaran untuk memulihkan kondisi untuk menjadi benar benar bebas lepas , bukanlah hal
yang mudah dan sederhana, namun kesabaran dan kebijaksanaan akan membantu
mengatasinya. Karena dari tulisan Djoko Santoso Guru Besar Fakultas Kedokteran Unair di
harian Kompas dikatakan, bagaimanapun sulitnya, pencandu harus diobati. Pengobatan
pencandu merupakan elemen penting dalam penanganan gangguan jiwa. Sebaliknya,
pengobatan gangguan jiwa merupakan elemen penting pengobatan pencandu
(penyalahgunaan obat). Meskipun, untuk kedua jenis gangguan tersebut hanya sekitar 20
persen individu yang bisa diobati.
Dunia medis tak boleh putus asa untuk mengentas pencandu. Penatalaksanaan
terhadap pencandu memerlukan program terapi inovatif, misalnya pendekatan model
kombinasi pengobatan yang mencakup manajemen kasus, intervensi kelompok, dan
penjangkauan jelas dan terarah seperti menjangkau kelompok berbasis tertentu, agama
misalnya?
Tahap pertama adalah detoksifikasi. Detoksifikasi adalah suatu proses yang sulit
karena pencandu telah telanjur menggunakan berbagai obat (alkohol, opiat, kokain).
Biasanya karena pencandu tak ingat lagi atau tidak mau mengakui penggunaan berbagai
obat, mereka membutuhkan penilaian diagnostik. Di antaranya melalui pemeriksaan
urinalisis untuk mendeteksi secara kualitatif substansi obat psikoaktif dan metabolitnya.
Karena itulah dalam penggerebekan narkoba diadakan tes urine. Maksudnya agar para
pencandu yang menutupi keadaan dirinya bisa direhabilitasi. Disadarkan bahwa mereka
sebenarnya ”sakit”.
Berikutnya, dilakukan rawat inap di rumah sakit selama detoksifikasi dan fase awal
penghentian obat. Jika memungkinkan digunakan fasilitas khusus untuk merawat dan
menata laksana pencandu dengan ketergantungan bahan kimia. Dalam konteks ini, tidak
ada terapi tunggal yang khusus efektif untuk menghasilkan perbaikan. Pencandu merupakan
gangguan kronik dengan gambaran remisi (pengurangan kecanduan) dan rekrudensi
(kekambuhan) yang tidak dapat diramalkan.
Remisi sementara yang disertai kemajuan fisis, sosial, psikologis jelas akan lebih baik
daripada melanjutkan atau meneruskan penyalahgunaan obat secara progresif yang
mengakibatkan interpersonal yang merugikan. Para pencandu yang mau menyembuhkan
diri perlu didampingi berkelanjutan. Pada penyalahgunaan obat seperti pada gangguan
kronik, penyembuhan definitif jarang terjadi. Perhatian dokter sebaiknya berkelanjutan
dalam rangka untuk membantu pasien pencandu keluar dari lingkaran setan terhadap
gangguan yang kompleks, yang diakui bahwa kemungkinan besar penggunaan kembali obat
tersebut dapat terjadi. Kemungkinan akan kembali ke jalan yang salah ini yang perlu
diwaspadai.
Tahap kedua, adalah upaya pencegahan yang diperluas. Pencegahan
penyalahgunaan narkoba harus dimulai sejak taman kanak-kanak dan, bila perlu, termasuk
keluarga di mana ada riwayat penyalahgunaan obat.
Tahap ketiga, meskipun ada pengembangan sebuah paradigma penghukuman
sebagai metode utama untuk mengatasi penyalahgunaan obat, pembuat kebijakan harus
menerima kenyataan bahwa penyalahgunaan obat adalah gejala dari masalah lain yang
dihadapi pencandu, seperti kemiskinan, kesenjangan sosial, kurangnya pendidikan, dan
pengangguran. Jika penyimpangan penyalahgunaan obat harus dikurangi dan akhirnya
dihilangkan, kesenjangan lain ini harus ditangani. Narkoba harus diakui sebagai problem
sosial, selain problem hukum.
Tahap keempat, adalah perlunya pendekatan baru terhadap pencandu. Sebagai
gambaran yang diperoleh dari beberapa situs informasi, Portugal melakukan pendekatan
dekriminalisasi terhadap penggunaan semua obat-obatan terlarang (termasuk heroin dan
kokain). Sejak 1999, kecanduan narkoba diperlakukan lebih sebagai problem medis daripada
pidana. Hasil sementara, sekitar 25.000 orang menggunakan heroin, ini turun dari 100.000
pencandu. Jumlah pencandu mati karena overdosis turun lebih dari 85 persen, sepersepuluh
dari jumlah di Inggris atau Denmark dan sekitar satu per lima puluh dari AS. Pendekatan
dekriminalisasi membuat semua ini menjadi lebih mudah karena orang tidak lagi takut
ditangkap. Dalam konteks dekriminalisasi ini juga mempermudah memerangi penyakit
menular dan mengobati overdosis.
BAB IV : History

BAB V : Institusi Framework


BAB VI : Tinjauan Teoretik/ kepustakaan
Bab dua thesis ini berisi diskusi teoretik konsep dasar kebijakan publik, khususnya pada
ranah wacana implementasi kebijakan. Bab ini juga akan mendiskusikan pro dan kontra
tentang bagaimana sebuah kebijakan publik merespon isu narkoba, menyoal debat atau
pergeseran paradigma narcotics, controlled substances, drugs, addictions mengkaji
jangkauan strategi atau solusi kebijakan yg ada saat ini (telah ter-implementasi), dimana
penekanan lebih pada 'users' dan polemik perdebatan perspektif legal-action: legalisasi;
kriminalisasi; dekriminalisasi pada sub-bab tertentu. Thesis ini juga mencoba merangkul
perspektif Etika (ethics) dalam memandang implementasi kebijakan pada isu narkoba yaitu
konsepsi justice (keadilan) dan moralitas religious. Sebagai bagian dari langkah PAR berpadu
dengan studi kebijakan publik, langkah aksi dilakukan melalui upaya penegakan hukum
merujuk pada SKB tujuh Lembaga Negara. Cermatan varian pemahaman condong pada
varian interpretasi penerapan SKB tersebut menjadi dasar refleksi teoretik pada Bab dua ini
dalam ranah implementasi Kebijakan Publik

2.1.1 Kebijakan Publik


Kebijakan Publik merupakan salah satu output atau hasil dari proses penyelenggaraan
pemerintah, disamping pelayanan publik, barang publik, dan regulasi. Oleh karena itu,
substansi dan proses kebijakan publik akan selalu berkaitan dengan berbagai aspek
keberadaan pemerintahan, dan sistem pemerintahan. Bentuk negara memberi pengaruh
pada substansi dan proses kebijakan publik, terutama karena peranan negara sebagai
wadah dari proses kebijakan publik. Suatu negara merupakan bangunan pengelolaan
kekuasaan, yang strukturnya akan menjadi saluran bagi mengalirnya proses kebijakan,
demikian juga dengan bentuk dan sistem pemerintahan. Kedua aspek tersebut menjadi
pembingkai bagi dinamika proses pembuatan kebijakan publik. Kebijakan umumnya
dipahami sebagai keputusan yang diambil untuk menangani hal-hal tertentu. Namun,
kebijakan bukanlah sekedar suatu keputusan yang ditetapkan. Rose (1996:x) mengartikan
kebijakan lebih sebagai suatu rangkaian panjang dari kegiatan-kegiatan yang berkaitan dan
akibatnya bagi mereka yang berkepentingan, dari pada hanya sekedar suatu keputusan.
Pendapat lainnya dikemukakan oleh fredrich (1963:79) yang memandang kebijakan sebagai
suatu tindakan yang disarankan mengenai perorangan, kelompok atau pemerintahan dalam
suatu lingkungan tertentu yang berisikan hambatan dan kesempatan yang akan diatasi atau
di manfaatkan melalui kebijakan yang disarankan dalam upaya mencapai suatu tujuan atau
mewujudkan sesuatu yang dimaksud. (Anderson: 1994: 5) mengartikan kebijakan sebagai
suatu rangkaian tindakan bertujuan yang diikuti oleh seseorang atau sekelompok aktor
berkenan dengan suatu masalah atau suatu hal yang menarik perhatian (Muchlis Hamdi:
2014: 35). Anderson mencatat lima implikasi dari konsepnya kebijakan publik tersebut.
Pertama, kebijakan publik adalah tindakan yang berorientasi tujuan. Kedua, kebijakan publik
berisikan rangkaian tindakan yang diambil sepanjang waktu. Ketiga, kebijakan publik
merupakan tanggapan dari kebutuhan akan adanya suatu kebijakan mengenai hal-hal
tertentu. Keempat, kebijakan publik merupakan gambaran dari kegiatan pemerintah
senyatanya, dan bukan sekedar keinginan yang akan dilaksanakan. Kelima, kebijakan
pemerintah dapat merupakan kegiatan aktif atau pasif dalam menghadapi suatu masalah.

Dari berbagai pandangan tentang kebijakan publik dapat disimpulkan bahwa kebijakan
publik adalah pola tindakan yang ditetapkan oleh pemerintah dan terwujud dalam bentuk
peraturan perundang-undangan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara.
Karakter utama dari kebijakan publik adalah sebagai beikut.
1. Setiap kebijakan publik selalu memiliki tujuan, yakni untuk menyelesaikan masalah
publik. Setiap kebijakan publik akan selalu mengandung makna sebagai upaya
masyarakat untuk mencari pemecahan masalah yang mereka hadapi dalam kehidupan
sehari-hari. Dalam konteks ini, kebijakan publik juga dapat dipandang sebagai suatu
upaya untuk meyelesaikan masalah bersama warga negara yang tidak dapat mereka
tanggulangi secara perorangan. Senyatanya, kebijakan publik dikenali secara sektor per
sektor atau menurut urusan pemerintahan. Saat sekarang, misalnya, berdasarkan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dikenali adanya 31 urusan pemerintahan atau 26
urusan wajib dan 8 urusan pilihan. Kebjakan publik secara lebih konkret dikenali dengan
istilah sesuai dengan penyebutan urusan pemerintahan, misalnya: kebijakan kesehatan,
keijakan pendidikan, kebijakan pertanian, dan sebagainya. Oleh karena itu, persoalan
yang diharapkan dapat diselesaikan melalui kebijakan publik adalah persoalan yang
berkaitan dengan kebijakan secara spesifik tersebut.
2. Setiap kebjakan publik selalu merupakan pola tindakan yang terjabarkan dalam program
dan kegiatan. Oleh karena itu, suatu kebijakan publik secara lebih konkret dan diamati
dalam wujud rencana, program, dan kegiatan. Dalam konteks ini, aspek khas dari
kebijakan publik adalah esensinya sebagai suatu upaya untuk menemukan jawaban
terhadap persoalan atau masalah yang sulit. Kenyataan ini akan memunculkan berbagai
implikasi. Pertama, tidak akan ada suatu jawaban yang dirumuskan yang akan dapat
memenuhi semua keinginan dari masyarakat atau warga negara. Dengan kata lain, tidak
akan pernah suatu kebijakan publik yang akan menghasilkan suatu kesepakatan
menyeluruh warga negara mengenai manfaatnya sebagai suatu jalan terbaik
penyelesaian masalah.

3. Setiap kebijakan publik selalu termuat dalam hukum positif. Keberadaan suatu sistem
politik atau suatu pemerintahan akan selalu mencerminkan dua keistimewaan. Pertama
pemerintah merupakan badan yang memiliki kewenangan untuk membuat aturan yang
mengikat atau mesti di patuhi oleh semua warga negara. Kedua, untuk menegakan
keberlakuan aturan yang telah di buatnya, pemerintahan juga memiliki kewenangn untuk
memberikan sangsi kepada para pelanggarnya, sangsi tersebuat dapat berwujud dalam
berbagai bentuk, mulai dari pengenaan denda sampai pada penghilangan kemerdekaan
seseorang pada batas waktu tertentu (hukuman kurungan).

Kebijakan publik pada dasarnya merupakan sarana sekaligus pembingkai pelaksanaan


fungsi-fungsi pemerintah. Dengan sifat ini, kebijakan publik merupakan gambaran dari arah
dan isi pelaksanaan fungsi pemerintahan tersebut. Dalam hal ini, Kebijakan publik
merupakan produk dari lingkungan pemerintahan, dan dapat memberikan pengaruh
terhadap perkembangan lingkungan tersebut. Sebagai produk dari lingkungannya, kebijakan
publik adalah gambaran pola tindakan pemerintah untuk menyelesaikan masalah-masalah
yang terdapat dilingkungannya. Dengan pemahaman ini, suatu pemerintahan selalu di
persyaratkan untk bersifat responsif terhadap setiap dukungan ataupun kebutuhan yang
datang dari warga negara. Pada gilirannya, suatu pemerintahan juga diharapkan memiliki
kemampuan untuk mengelola dukungan dan kebutuhan warga negara secara efesien,
efektif dan berkesinambungan.
Menurut Budi Winarno (2007:15), istilah kebijakan (policy term) mungkin digunakan secara
luas seperti pada “kebijakan luar negeri Indonesia” , “kebijakan ekonomi Jepang”, dan atau
mungkin juga dipakai untuk menjadi sesuatu yang lebih khusus, seperti misalnya jika
kita mengatakan kebijakan pemerintah tentang debirokartisasi dan deregulasi. Namun baik
Solihin Abdul Wahab maupun Budi Winarno sepakat bahwa istilah kebijakan ini
penggunaanya sering dipertukarkan dengan istilah lain seperti tujuan (goals) program,
keputusan, undang-undang, ketentuan- ketentuan, standar, proposal dan grand design
(Suharno :2009 : 11). Irfan Islamy sebagaimana dikutip Suandi (2010: 12) kebijakan
harus dibedakan dengan kebijaksanaan. Policy diterjemahkan dengan kebijakan yang
berbeda artinya dengan wisdom yang artinya kebijaksanaan. Pengertian kebijaksanaan
memerlukan pertimbangan pertimbangan lebih jauh lagi, sedangkan kebijakan mencakup
aturan-aturan yang ada didalamnya. James E Anderson sebagaimana dikutip Islamy
(2009: 17) mengungkapkan bahwa kebijakan adalah “ a purposive course of action
followed by an actor or set of actors in dealing with a problem or matter of concern”
(Serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan
oleh seorang pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan suatu masalah
tertentu). Konsep kebijakan yang ditawarkan oleh Anderson ini menurut Budi Winarno
(2007: 18) dianggap lebih tepat karena memusatkan perhatian pada apa yang
sebenarnya dilakukan dan bukan pada apa yang diusulkan atau dimaksudkan. Selain itu
konsep ini juga membedakan secara tegas antara kebijakan (policy) dengan keputusan
(decision) yang mengandung arti pemilihan diantara berbagai alternatif yang ada.

Richard Rose sebagaimana dikutip Budi Winarno (2007: 17) juga menyarankan bahwa
kebijakan hendaknya dipahami sebagai serangkaian kegiatan yang sedikit banyak
berhubungan beserta konsekuensi- konsekuensi bagi mereka yang bersangkutan daripada
sebagai keputusan yang berdiri sendiri. Pendapat kedua ahli tersebut setidaknya dapat
menjelaskan bahwa mempertukarkan istilah kebijakan dengan keputusan adalah keliru,
karena pada dasarnya kebijakan dipahami sebagai arah atau pola kegiatan dan bukan
sekadar suatu keputusan untuk melakukan sesuatu. Berdasarkan pendapat berbagai ahli
tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan adalah tindakan-tindakan atau
kegiatan yang sengaja dilakukan atau tidak dilakukan oleh seseorang, suatu kelompok
atau pemerintahan yang di dalamnya terdapat unsur keputusan berupa upaya pemilihan
diantara berbagai alternatif yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan tertentu dalam
memecahkan masalah yag ada.

2.1.2 Unsur-unsur Kebijakan


Karena kebijakan publik merupakan konsekuensi sebuah upaya kolektif warga negara dalam
menuntut hak-hak kepada negara, maka kebijakan secara umum mempunyai 5 (lima) unsur
utama, yaitu
a. Masalah publik (Public Issue);
Adanya masalah atau persoalan merupakan isu sentral yang akan diselesaikan dengan
sebuah kebijakan. Seperti dijelaskan sebelumnya, bahwa kebijakan selalu diformulasikan
untuk mengatasi ataupun mencegah timbulnya masalah, khususnya masalah yang bersifat
isu publik. Masalah disebut sebagai isu publik manakala masalah itu menjadi keprihatinan
(Concern) masyarakat luas dan mempengaruhi hajat hidup masyarakat luas.
b. Nilai Kebijakan (Value);
Setiap kebijakan selalu mengandung nilai tertentu dan juga bertujuan untuk menciptakan
tata nilai baru atau norma baru dalam organisasi. Seringkali nilai yang ada di masyarakat
atau anggota organisasi berbeda dengan nilai yang ada di pemerintah. Oleh karena itu perlu
partisipasi dan komunikasi yang intens pada saat merumuskan kebijakan.
c. Siklus Kebijakan;
Proses penetapan kebijakan sebenarnya adalah sebuah proses yang siklis dan bersifat
kontinum, yang terdiri atas tiga tahap: (1) perumusan kebijakan (Policy Formulation), (2)
penerapan kebijakan (Policy Implementation), dan (3) evaluasi kebijakan (Policy Review).
Ketiga tahap atau proses dalam siklus tersebut saling berhubungan dan saling tergantung,
kompleks serta tidak linear, yang ketiganya disebut sebagai Policy Analysis.
d. Pendekatan dalam Kebijakan;
Pada setiap tahap siklus kebijakan perlu disertai dengan penerapan pendekatan
(Approaches) yang sesuai. Pada tahap formulasi, pendekatan yang banyak dipergunakan
adalah pendekatan normatif, valuatif, prediktif ataupun empirik. Pada tahap implementasi
banyak menggunakan pendekatan struktural (organisasional) ataupun pendekatan
manajerial. Sedangkan tahap evaluasi menggunakan pendekatan yang sama dengan tahap
formulasi. Pemilihan pendekatan yang digunakan sangat menentukan tingkat efektivitas dan
keberhasilan sebuah kebijakan.
e. Konsekuensi Kebijakan;
Pada setiap penerapan kebijakan perlu dicermati akibat yang dapat ditimbulkan. Dalam
memantau hasil kebijakan kita harus membedakan dua jenis akibat; luaran (Output) dan
dampak (Impact). Apapun bentuk dan isi kebijakan pada umumnya akan memberikan
dampak atau konsekuensi yang ditimbulkan. Tingkat intensitas konsekuensi akan berbeda
antara satu kebijakan dengan yang lain, juga dapat berbeda berdasar dimensi tempat dan
waktu. Konsekuensi lain yang juga perlu diperhatikan adalah timbulnya resistensi
(penolakan) dan perilaku negatif.
2.1.3 Proses Kebiajakan Publik
Proses pembuatan kebijakan publik merupakan suatu konsep yang komplek karena
melibatkan banyak alur proses. Tahap penilaian kebijakan seperti yang tercantum dalam
bagan ini, bukan termasuk proses akhir dari kebijakan publik, sebab masih ada satu
tahap lagi, yakni tahap perubahan kebijakan dan terminasi atau penghentian kebijakan.
Di dalam setiap proses terdapat tahap-tahap kebijakan publik (Dunn:2003).

Tahap-tahap kebijakan publik menurut William Dunn adalah sebagai berikut:


a) Penyusunan Agenda
Agenda setting adalah sebuah fase dan proses yang sangat strategis dalam realitas kebijakan
publik. Dalam proses inilah memiliki ruang untuk memaknai apa yang disebut sebagai
masalah publik dan prioritas dalam agenda publik dipertarungkan. Jika sebuah isu berhasil
mendapatkan status sebagai masalah publik, dan mendapatkan prioritas dalam agenda
publik, maka isu tersebut berhak mendapatkan alokasi sumber daya publik yang lebih
daripada isu lain.

Dalam agenda setting juga sangat penting untuk menentukan suatu isu publik yang akan
diangkat dalam suatu agenda pemerintah. Issue kebijakan (policy issues) sering disebut juga
sebagai masalah kebijakan (policy problem). Policy issues biasanya muncul karena telah
terjadi silang pendapat di antara para aktor mengenai arah tindakan yang telah atau akan
ditempuh, atau pertentangan pandangan mengenai karakter permasalahan tersebut.
Menurut William Dunn (1990), isu kebijakan merupakan produk atau fungsi dari adanya
perdebatan baik tentang rumusan, rincian, penjelasan maupun penilaian atas suatu masalah
tertentu. Namun tidak semua isu bisa masuk menjadi suatu agenda kebijakan.
Ada beberapa Kriteria isu yang bisa dijadikan agenda kebijakan publik (Kimber, 1974;
Salesbury 1976; Sandbach, 1980; Hogwood dan Gunn, 1986) diantaranya:
1. Telah mencapai titik kritis tertentu, jika diabaikan akan menjadi ancaman yang serius;
2. Telah mencapai tingkat partikularitas tertentu berdampak dramatis;
3. Menyangkut emosi tertentu dari sudut kepentingan orang banyak (umat manusia) dan
mendapat dukungan media massa;
4. Menjangkau dampak yang amat luas ;
5. Mempermasalahkan kekuasaan dan keabsahan dalam masyarakat ;
6. Menyangkut suatu persoalan yang fasionable (sulit dijelaskan, tetapi mudah dirasakan
kehadirannya)
7. Karakteristik : Para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah pada
agenda publik. Banyak masalah tidak disentuh sama sekali, sementara lainnya ditunda
untuk waktu lama.
8. Ilustrasi : Legislator negara dan kosponsornya menyiapkan rancangan undang-undang
mengirimkan ke Komisi Kesehatan dan Kesejahteraan untuk dipelajari dan disetujui.
Rancangan berhenti di komite dan tidak terpilih.
9. Penyusunan agenda kebijakan seyogianya dilakukan berdasarkan tingkat urgensi dan
esensi kebijakan, juga keterlibatan stakeholder. Sebuah kebijakan tidak boleh
mengaburkan tingkat urgensi, esensi, dan keterlibatan stakeholder.
b) Formulasi kebijakan
Formulasi kebijakan menunjuk pada proses perumusan pilihan-pilihan atau alternatif
kebijakan yang dilakukan pemerintahan. Masalah yang sudah masuk dalam agenda
kebijakan kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi
didefinisikan untuk kemudian dicari pemecahan masalah yang terbaik. Pemecahan masalah
tersebut berasal dari berbagai alternatif atau pilihan kebijakan yang ada. Sama halnya
dengan perjuangan suatu masalah untuk masuk dalam agenda kebijakan, dalam tahap
perumusan kebijakan masing-masing slternatif bersaing untuk dapat dipilih sebagai
kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah.
c) Adopsi/ Legitimasi Kebijakan
Tujuan legitimasi adalah untuk memberikan otorisasi pada proses dasar pemerintahan. Jika
tindakan legitimasi dalam suatu masyarakat diatur oleh kedaulatan rakyat, warga negara
akan mengikuti arahan pemerintah. Namun warga negara harus percaya bahwa tindakan
pemerintah yang sah.Mendukung. Dukungan untuk rezim cenderung berdifusi - cadangan
dari sikap baik dan niat baik terhadap tindakan pemerintah yang membantu anggota
mentolerir pemerintahan disonansi.Legitimasi dapat dikelola melalui manipulasi simbol-
simbol tertentu. Di mana melalui proses ini orang belajar untuk mendukung pemerintah.
d) Evaluasi Kebijakan
Evaluasi atau penilaian kebijakan menyangkut pembahasan kembali terhadap implementasi
kebijakan. Tahap ini berfokus pada identifikasi hasil-hasil dan akibat-akibat dari
implementasi kebijakan. Dengan fokus tersebut, evaluasi kebijakan akan menyediakan
umpan balik bagi penentuan keputusan menegenai pakah kebijakan yang ada perlu
diteruskan atau dihentikan. Namun, terdapat juga pandangan bahwa evaluasi kebijakan
tidak sekedar mentukan berhasil tidaknya suatu implementasi kebijakan. Evaluasi kebijakan
daapat menyangkut perspektif yang lebih luas, antara lain sebagaimana dinyatakan oleh
Thomas R. Dye (dalam Parson, 1995: 545) bahwa evaluasi kebijakan merupakan
pembelajaran mengenai konsekeunsi dari kebijakan.

Secara umum, Rossi & Freeman (1985: 13) menyatakan empat alasan mengapa evaluasi
kebijakan dilakukan.
1. Evaluasi dilakukan untuk menilai kelayakan program yang sedang berlangsung dan untuk
mengestimasi kemanfaatan upaya-upaya untuk memperbaiki.
2. Evaluasi dilakukan untuk menaksir kemanfaatan dari inisiatif dan program yang bersifat
inovatif.
3. Evaluasi dilakukan untuk meningkatkan efektivitas dari administrasi dan manajemen
program.
4. Evaluasi dilakuakn untuk memenuhi berbagai persyaratan akuntabilitas.

Secara umum evaluasi kebijakan dapat dikatakan sebagai kegiatan yang menyangkut
estimasi atau penilaian kebijakan yang mencakup substansi, implementasi dan dampak.
Dalam hal ini , evaluasi dipandang sebagai suatu kegiatan fungsional. Artinya, evaluasi
kebijakan tidak hanya dilakukan pada tahap akhir saja, melainkan dilakukan dalam seluruh
proses kebijakan. Dengan demikian, evaluasi kebijakan bisa meliputi tahap perumusan
masalh-masalah kebijakan, program-program yang diusulkan untuk menyelesaikan masalah
kebijakan, implementasi, maupun tahap dampak kebijakan (Wahyudiyanto). Perlu kita
ketahui mengapa kita harus mengetahui serta memahami setiap kebijakan yang ada, karena
kebijakan tidak bisa dipahami secara tekstual, namun banyak sekali hal-hal yang
tersirak(kontekstual) yang tidak diketahui oleh public dalam menetapkan kebijakan.
Disinilah peran media sebagai fasilitator untuk tranformasi informasi kepada rakyat. Maka
haruslah setiap menia yang ada bersifat independen atau tidak terpengaruhi oleh kekuasaan
politik tertentu. Selain media sebagai alat, masyarakan berperan utuk dapat menganalisis
setiap kebijakan dan mampu membantu menyusun kebijakan yang ada. Inilah 2 tujuan
mempelajari kebijakan pemerintah.

Ada 2 akibat yang timbul dari penetapan kebijakan, yaitu: kebijakan yang berorientasi pada
pelayanan publik dalam arti sesuai dengan makna demokrasi dan kebijakan yang meracuni
publik/ kebijakan yang ditetapkan hanya untuk kepentingan beberapa kalangan saja, dan hal
dampak yang kedua ini sangatlah kontraproduktif terhadap nilai-nilai demokrasi. Seperti
yang telah kita ketahui, salah sau fungsi politik adalah untuk membuat kebijakan dan
kebijakan ada karena 2 faktor yaitu; adanya masalah sosial dan adanya pergantian
kekuasaan yang megakibatkan kebijakan pun berubah-ubah. Kebijakan dapat diwujudkan
dengan cara; Pembuatan Peraturan UU, Perencanaan Kegiatan, Aneka intervensi terhadap
ekonomi/social masyarakat. Karena kebijakan itu merupakan tindakan dan keputusan
pemerintah maka kebijakan tersebut dicirikan dengan kekuasaan yang didominasi oleh
pemerintah serta sesuai hukum dan wewenang pemerintah.
2.1.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembuatan kebijakan
Menurut Suharno (2010: 52) proses pembuatan kebijakan merupakan pekerjaan yang
rumit dan kompleks dan tidak semudah yang dibayangkan. Walaupun demikian, para
adsministrator sebuah organisasi institusi atau lembaga dituntut memiliki tanggung
jawab dan kemauan, serta kemampuan atau keahlian, sehingga dapat membuat
kebijakan dengan resiko yang diharapkan (intended risks) maupun yang tidak diharapkan
(unintended risks).Pembuatan kebijakan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Hal
pemting yang turut diwaspadai dan selanjutnya dapat diantisipasi adalah dalam
pembuatan kebijakan sering terjadi kesalahan umum. Faktor-faktor yang mempengaruhi
pembuatan kebijakan adalah:
a. Adanya pengaruh tekanan-tekanan dari luar
Tidak jarang pembuat kebijakan harus memenuhi tuntutan dari luar atau membuat
kebijakan adanya tekanan-tekanan dari luar.
b. Adanya pengaruh kebiasaan lama
Kebiasaan lama organisasi yang sebagaimana dikutip oleh Nigro disebutkan dengan
istilah sunk cost, seperti kebiasaan investasi modal yang hingga saat ini belum
professional dan terkadang amat birikratik, cenderung akan diikuti kebiasaan itu oleh para
administrator, meskipun keputusan/kebijakan yang berkaitan dengan hak tersebut
dikritik, karena sebagai suatu yang salah dan perlu diubah. Kebiasaan lama tersebut sering
secara terus-menerus pantas untuk diikuti, terlebih kalau suatu kebijakan yang telah ada
tersebut dipandang memuaskan.
c. Adanya pengaruh sifat-sifat pribadi
Berbagai keputusan/kabijakan yang dibuat oleh para pembuat keputusan/kebijakan
banyak dipengaruhi oleh sifat-sifat pribadinya. Sifat pribadi merupakan faktor yang
berperan besar dalam penentuan keputusan/kebijakan.
d. Adanya pengaruh dari kelompok luar
Lingkungan sosial dari para pembuat keputusan/kebijakan juga berperan besar.
e. Adanya pengaruh keadaan masa lalu
Maksud dari faktor ini adalah bahwa pengalaman latihan dan pengalaman sejarah
pekerjaan yang terdahulu berpengaruh pada pembuatan kebijakan/keputusan.
Misalnya,orang mengkhawatirkan pelimpahan wewenang yang dimilikinya kepada orang
lain karena khawatir disalahgunakan (Suharno: 2010: 52-53).

2.2 Kerangka Kerja Kebijakan Publik


Menurut Suharno (2010: 31) kerangka kebijakan publik akan ditentukan oleh
beberapa variabel dibawah ini, yaitu:
a. Tujuan yang akan dicapai, hal ini mencakup kompleksitas tujuan yang akanm dicapai.
Apabila tujuan kebijakan semakin kompleks, maka semakin sulit mencapai kinerja
kebijakan. Sebaliknya, apabila tujuan kebijakan semakin sederhana, maka untuk
mencapainya juga semakin mudah.
b. Prefensi nilai seperti apa yang perlu dipertimbangkan. Suatu kabijakan yang
mengandung berbagai variasi nilai akan jauh lebih sulit untuk dicapai dibanding dengan
suatu kebijakan yang hanya mengejar satu nilai.
c. Sumber daya yang mendukung kebijakan. Kinerja suatu kebijakan akan ditentukan oleh
sumber daya finansial, material, dan infrastruktur lainnya.
d. Kemampuan aktor yang terlibat dalam pembuatan kebijakan.
e. Kualitas dari suatu kebijakan akan dipengaruhi oleh kualitas aktor kebijakan yang
terlibat dalam proses penetapan kebijakan. Kualitas tersebut ditentukan oleh tingkat
pendidikan, kompetensi dalam bidangnya, pengalaman kerja dan integritas moralnya.
f. Lingkungan yang mencakup lingkungan sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya.
Kinerja dari suatu kebijakan akan dipengaruhi oleh konteks sosial, ekonomi, maupunp
olitik tempat kebijakan tersebut diimplementasikan.
g. Strategi yang digunakan untuk mencapai tujuan. Strategi yang digunakan untuk
mengimplementasikan suatu kebijakan akan mempengaruhi kinerja suatu kebijakan.
Stretegi yang digunakan dapat bersifat top/down approach atau bottom approach,
otoriter atau demokratis (Suharno: 2010: 31).
2.3 Ciri-Ciri Kebijakan Publik
Menurut Suharno (2010: 22-24), ciri-ciri khusus yang melekat pada kebijakan publik
bersumber pada kenyataan bahwa kebijakan itu dirumuskan. Ciri-ciri kebijakan publik
antara lain:
a. Kebijakan publik lebih merupakan tindakan yang mengarah pada tujuan daripada
sebagai perilaku atau tindakan yang serba acak dan kebetulan. Kebijakan-kebijakan
publik dalam system politik modern merupakan suatu tindakan yang direncanakan.
b. Kebijakan pada hakekatnya terdiri atas tindakan-tindakan yang saling berkait dan
berpola yang mengarah pada tujuan tertentu yang dilakukan oleh pejabat-pejabat
pemerintah dan bukan merupakan keputusan yang berdiri sendiri. Kebijakan tidak
cukup. mencakup keputusan untuk membuat undang-undang dalam bidang tertentu,
melainkan diikuti pula dengan keputusan-keputusan yang bersangkut paut dengan
implementasi dan pemaksaan pemberlakuan.
c. Kebijakan bersangkut paut dengan apa yang senyatanya dilakukan pemerintah dalam
bidang tertentu.
d. Kebijakan publik mungkin berbentuk positif, munkin pula negatif, kemungkinan meliputi
keputusan-keputusan pejabat pemerintah untuk tidak bertindak atau tidak melakukan
tindakan apapun dalam masalah-masalah dimana justru campur tangan pemerintah
diperlukan.
2.4 Jenis Kebijakan Publik
Banyak pakar yang mengajukan jenis kebijakan publik berdasarkan sudut pandang masing-
masing. James Anderson sebagaimana dikutip Suharno (2010: 24-25) menyampaikan
kategori kebijakan publik sebagai berikut:
a. Kebijakan substantif versus kebijakan prosedural
Kebijakan substantif yaitu kebijakan yang menyangkut apa yang akan dilakukan oleh
pemerintah. Sedangkan kebijakan prosedural adalah bagaimana kebijakan substantif
tersebut dapat dijalankan.
b. Kebijakan distributif versus kebijakan regulatori versus kebijakan redistributif
Kebijakan distributif menyangkut distribusi pelayanan atau kemanfaatan pada masyarakat
atau individu. Kebijakan regulatori merupakan kebijakan yang berupa pembatasan atau
pelarangan terhadap perilaku individu atau kelompok masyarakat. Sedangkan, kebijakan
redistributif merupakan kebijakan yang mengatur alokasi kekayaan, pendapatan, pemilikan
atau hak-hak diantara berbagai kelompok dalam masyarakat.
c. Kebijakan materal versus kebijakan simbolik
Kebijakan materal adalah kebijakan yang memberikan keuntungan sumber daya komplet
pada kelompok sasaran. Sedangkan, kebijakan simbolis adalah kebijakan yang
memberikan manfaat simbolis pada kelompok sasaran.
d. Kebijakan yang barhubungan dengan barang umum (public goods) dan barang privat
(privat goods)
Kebijakan public goods adalah kebijakan yang mengatur pemberian barang atau
pelayanan publik. Sedangkan, kebijakan privat goods adalah kebijakan yang mengatur
penyediaan barang atau pelayanan untuk pasar bebas.

2.5 Model Kebijakan Penanggulangan Narkoba

2.6 Implementasi Kebijakan Publik


Dalam konteks kebijakan suatu implementasi sangatlah penting, tanpa adanya suatu
implementasi dari kebijakan yang telah ditetapkan maka tidak akan mungkin tujuan yang
telah ditetapkan bisa tercapai. Pada tahap ini menentukan apakah kebijakan yang ditempuh
oleh pemerintah benar-benar aplikabel dilapangan dan berhasil untuk menghasilkan output
dan outcomes seperti yang telah direncanakan. Daniel A. Mazmanian serta Paul A. Sabatier
menjelaskan makna dari implementasi yaitu :
“Memahami apa yang senyatanya terjadi setelah suatu program dinyatakan berlaku
atau dirumuskan merupakan fokus perhatian implementasi kebijakan, yakni
kebijakan-kebijakan dan kegiatan-kegiatan yang timbul setelah disahkan pedoman-
pedoman kebijakan negara, yang mencakup baik usaha-usaha untuk
mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan akibat atau dampak nyata
pada masyarakat atau kejadian-kejadian.” (Wahab, 2005:65).

Sedangkan disisi lain Van Meter dan Van Horn merumuskan dan mendefinisikan
implementasi sebagai berikut :

“Tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu atau pejabat-pejabat


atau kelompok-kelompok pemerintah maupun swasta yang diarahkan pada
tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijaksanaan”
(Agustino, 2006:139).

Implementasi kebijakan pada dasarnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai
tujuannya. Tujuan kebijakan adalah melakukan intervensi terhadap permasalahan publik,
dan implementasi kebijakan sebenarnya adalah tindakan (action) intervensi itu sendiri
(Nugroho, 2004:161). Dengan demikian maka implementasi dapat diartikan sebagai upaya
menafsirkan dan melaksanakan keputusan pemerintah tersebut kedalam bentuk tindakan-
tindakan. Ripley dan Franklin berpendapat bahwa implementasi adalah apa yang terjadi
setelah undang-undang ditetapkan yang memberikan otoritas program, kebijakan,
keuntungan (benefit), atau suatu jenis keluaran yang nyata (tangible output). Istilah
implementasi menunjuk pada sejumlah kegiatan yang mengikuti pernyataan maksud
tentang tujuan-tujuan program dan hasil-hasil yang diinginkan oleh para pejabat
pemerintah. Implementasi mencakup tindakan-tindakan (tanpa tindakan-tindakan) oleh
berbagai aktor, khususnya para birokrat, yang dimaksudkan untuk membuat program
berjalan. Sementara itu, Grindle juga memberikan pandangannya tentang implementasi
dengan mengatakan bahwa secara umum, tugas implementasi adalah membentuk suatu
kaitan (linkage) yang memudahkan tujuan-tujuan kebijakan bisa direalisasikan sebagai
dampak dari suatu kegiatan pemerintah. Oleh karena itu, tugas implementasi mencakup
terbentuknya ”a policy delivery system,” dimana sarana-sarana tertentu dirancang dan
dijalankan dengan harapan sampai pada tujuan-tujuan yang diinginkan (Winarno, 2012: 148-
149).

Dari definisi diatas, dapat dilihat bahwa implementasi kebijakan menyangkut tiga hal, yaitu :
1. Adanya tujuan atau sasaran kebijakan;
2. Adanya aktivitas pencapaian tujuan;
3. Adanya hasil kegiatan. (Agustino, 2006:139)

Selain itu terdapat hal pokok dalam implementasi, yaitu ;


a. Adanya kebijakan yang dilaksanakan;
b. Adanya target group/kelompok sasaran yang merupakan kelompok masyarakat yang
diharapkan menerima manfaat dari kebijakan;
c. Adanya unsur pelaksana (implementer) baik organisasi atau perorangan yang
bertanggungjawab dalam pengelolaan, pelaksanaan, dan pengawasan dari proses
implementasi.

Implementasi melibatkan usaha dari policy makers untuk mempengaruhi apa yang oleh
Lipsky disebut “street level bureaucrats” untuk memberikan pelayanan atau mengatur
perilaku kelompok sasaran (target group) (Subarsono: 2011: 88). Implementasi dalam
penelitian ini diartikan sebagai serangkaian tindakan yang dilakukan oleh pemerintah
sebagai bentuk realisasi suatu kebijakan yang diwujudkan dalam sebuah program, dan
dilaksanakan oleh seperangkat pelaksana kebijakan untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan. Secara sederhana implementasi bisa diartikan pelaksanaan atau penerapan.
Browne dan Wildavsky (dalam Nurdin dan Usman, 2004:7) mengemukakan bahwa:
“implementasi adalah perluasan aktivitas yang saling menyesuaikan”Implementasi
melibatkan usaha dari policy makers untuk memengaruhi apa yang oleh Lipsky disebut
“street level bureaucrats” untuk memberikan pelayanan atau mengatur prilaku
kelompok sasaran (target group).

Untuk kebijakan yang sederhana, implementasi hanya melibatkan satu badan yang
berfungsi sebagai implementor, misalnya, kebijakan komite sekolah untuk mengubah
metode pengajaran guru dikelas. Sebaliknya untuk kebijakan makro, misalnya, kebijakan
pengurangan kemiskinan di pedesaan, maka usaha-usaha implementasi akan melibatkan
berbagai institusi, seperti birokrasi kabupaten, kecamatan, pemerintah desa.

Pelaksanaan suatu kebijakan, menurut Grindle (1980:8:12) sangat ditentukan oleh isi
kebijakan dan konteks kebijakan. Isi kebijakan mencakup :
1. kepentingan yang terpengaruhi oleh kebijakan.
2. jenis manfaat yang akan dihasilkan
3. derajat perubahan yang akan diinginkan.
4. kedudukan pembuat kebijakan.
5. siapa pelaksana program.
6. sumberdaya yang dikerahkan.

Sedang konteks kebijakan mencakup :


1. kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat.
2. karakteristik lembaga dan penguasa.
3. kepatuhan serta daya tangkap pelaksana terhadap kebijakan. Di sini kebijakan yang
menyangkut banyak kepentingan yang berbeda akan lebih sulit diimplementasikan
dibanding yang menyangkut sedikit kepentingan. Oleh karenanya tinggi-rendahnya
intensitas keterlibatan berbagai pihak (politisi, pengusaha, masyarakat, kelompok
sasaran dan sebagainya) dalam implementasi kebijakan akan berpengaruh terhadap
efektivitas implementasi kebijakan.

Proses implementasi sekurang-kurangnya terdapat tiga unsur yang penting dan mutlak,
seperti dikemukakan oleh Syukur Abdullah (1987;11), yaitu:
a. Adanya program atau kebijakan yang dilaksanakan;
b. Target groups, yaitu kelompok masyarakat yang menjadi sasaran, dan diharapkan dapat
menerima manfaat dari program tersebut, perubahan atau peningkatan;
c. Unsur pelaksana (implementor), baik organisasi atau perorangan, yang bertanggungjawab
dalam pengelolaan, pelaksanaan, dan pengawasan dari proses implementasi tersebut.

Adapun makna Implementasi menurut Daniel A. Mazmanian dan Paul Sabatier (1979)
sebagaimana dikutip dalam buku Solichin Abdul Wahsab (2008; 65 ), mengatakan bahwa
,yaitu:
“Implementasi adalah memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program
dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian implementasi
kebijaksanaan yakni kejadian-kejadian dan kegiatan-kegiatan yang timbul sesudah
disahkannya pedoman-pedoman kebijaksanaan negara, yang mencakup baik usaha-usaha
untuk mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan akibat/dampak nyata pada
masyarakat atau kejadian kejadian”. Dari pandangan kedua ahli diatas dapat dikatakan
bahwa suatu proses implementasi kebijaksanaan itu sesungguhnya tidak hanya menyangkut
perilaku badan-badan administratif yang bertanggung jawab untuk melaksanakan suatu
program yang telah ditetapkan serta menimbulkan ketaatan pada diri kelompok sasaran,
melainkan pula menyangkut jaringan kekuatan politik, ekonomi, dan sosial yang secara
langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi segala pihak yang terlibat, sekalipun
dalam hal ini dampak yang diharapkan ataupun yang tidak diharapkan. Sementara Budi
Winarno (2002), yang mengatakan bahwa:
“implementasi kebijakan dibatasi sebagai menjangkau tindakan-tindakan yang
dilakukan oleh individu-individu pemerintah dan individu-individu swasta (kelompok-
kelompok) yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam
keputusan- keputusan kebijaksanaan sebelumnya”.

Model proses implementasi kebijakan


1. Ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan kebijakan
2. Sumber-sumber kebijakan
3. Karakteristik badan-badan pelaksana
4. Kondisi-kondisi ekonomi, sosial, dan politik :
5. Kecendrungan pelaksana (implementors)
6. Kaitan antara komponen-komponen model
7. Masalah kapasitas.

2.7 Model Implementasi Kebijakan


2.7.1 Implementasi Kebijakan Publik Model Merilee S. Grindle
Model ini berpendekatan top-down dikemukakan oleh grindle (Agustino:2014:154).
Pedekatannya tersebut dikenal dengan Implementation as a political and administrative
process. Menurut grindle ada dua variabel yang mempengaruhi implementasi kebijakan
publik. Keberhasilan implementasi suatu kebijakan publik dapat diukur dari proses
pencapaian hasil akhir (outcomes), yaitu tercapai atau tidaknya tujuan yang ingin diraih. Hal
ini dikemukakan oleh grindle, dimana pengukuran keberhasilan implementasi kebijakan
tersebut dapat dilihat dai dua hal, yaitu:
1. Dilihat dari prosesnya dengan mempertanyakan apakah pelaksanaan kebijakan sesuai
dengan yang ditentukan (design) dengan merujuk pada aksi kebijakan.
2. Apakah tujuan kebijakan tercapai. Dimensi ini diukur dengan melihat dua faktor, yaitu:
a. Impak atau efeknya pada masyarakat secara individu dan kelompok.
b. Tingkat perubahan yang terjadi serta penerimaan kelompok sasaran dan perubahan
yang terjadi.

Keberhasilan suatu implementasi kebijakan publik, juga menurut Grindle, amat ditentukan
oleh tingkat Implementability kebijakan itu sendiri, yang terdiri atas Content of Policy dan
Context of Policy. (Agustino: 2014: 154)
2.7.1.1 Content of Policy menurut Grindle adalah:
a. Interest Affected (Kepentingan-kepentingan yang mempengaruhi)
Interest affected berkaitan dengan berbagai kepentingan yang mempengaruhi suatu
impelementasi kebijakan. Indikator ini berargumen bahwa suatu kebijakan dalam
pelaksanaannya pasti melibatkan banyak kepentingan, dan sejauh mana kepentingan-
kepentingan tersebut membawa pengaruh terhadap implementasinya, hal inilah yang ingin
deketahui lebih lanjut.
b. Type of benefits ( tipe manfaat)
Pada poin ini conten of policy berupaya untuk menunjukan atau menjelaskan bahwa dalam
suatu kebijakan harus terdapat beberapa jenis manfaat yang menunjukan dampak positif
yang dihasilkan oleh pengimplementasikan kebijakan yang hendak dilaksanakan.
c. Extent of Change Envision (derajat perubahan yang ingin dicapai)
Setiap kebijakan mempunyai target yang hendak dan ingin dicapai. Content of policy yang
ingin dijelaskan pada poin ini adalah bahwa seberapa besar perubahan yang hendak atau
ingin dicapai melalui suatu implementasi kebijakan harus mempunyai skala yang jelas.
d. Site of Decision Making (Letak pengambilan keputusan)
Pengambilan keputusan dalam suatu kebijakan memegang peranan penting dalam
pelaksanaan suatu kebijakan, maka pada bagian ini harus dijelaskan dimana letak
pengambilan keputusan dari suatu kebijakan yang akan diimplementasikan.
e. Program Implementer (pelaksana program)
Dalam menjalankan suatu kebijakan atau program harus didukung dengan adanya
pelaksana kebijakan yang kompeten dan kapabel demi keberhasilan suatu kebijakan. Dan,
ini harus sudah terdata atau terpapar dengan baik pada bagian ini.
f. Resources Commited (sumber-sumber daya yang digunakan)
Pelaksana suatu kebijakan juga harus didukung oleh sumberdaya-sumberdayayang
mendukung agar pelaksanaanya berjalan dengan baik.

2.7.1.2 Context of Policy menurut Grindle adalah:


a. Power, Interes, and Strategy of Actor Involved (kekuasaan, kepentingan-kepentingan,
dan strategi dari aktor yang terlibat)
Dalam suatu kebijakan perlu diperhitungkan pula keuatan atau kekuasaan, kepentingan,
serta strategi yang digunakan oleh para aktor yang terlibat guna memperlancar jalannya
pelaksanaan suatu implementasi kebijakan. Bila hal ini tidak diperhitungkan dengan matang
sangat besar kemungkinan program yang hendak diimplementasikan akan jauh dari arang
dan api.
b. Institution and Regime Characteristic (karakteristik lembaga dan rezim yang berkuasa)
Lingkungan dimana suatu kebijakan tersebut dilaksanakan juga terpengaruh terhadap
keberhasilannya, maka pada bagian ini ingin dijelaskan karakteristik dari suatu lembaga yang
akan turut mempengaruhi suatu kebijakan.
C. Complience and Responsiveness (tingkat kepatuhan dan adanya respon dari
pelaksana)
Hal lain yang dirasa penting dalam proses penelaksanaan suatu kebijakan adalah kepatuhan
dan respon dari pada pelaksana, maka yang hendak dijelaskan pada poin ini adalah sejauh
mana kepatuhan dan respon dari pelaksana dalam menanggapi suatu kebijakan.
Setelah kegiatan pelaksanaan kebijakan yang dipengaruhi oleh isi atau konten dan
lingkungan atau konteks di terapkan, maka akan dapat di ketahui apakah para pelaksana
kebijakan dalam membuat sebuah kebijakan sesuai dengan apa yang di harapkan, juga
dapat di ketahui pada apakah suatu kebijakan di pengaruhi oleh suatu lingkungan, sehingga
terjadinya tingkat perubahan yang terjadi.

Sedangkan pendekatan bottom up, memandang implementasi kebijakan di rumuskan tidak


oleh lembaga yang tersentralisir dari pusat. Pendekatan bottom up berpangkal dari
keputusan-keputusan yang di tetapkan di level warga atau masyarakat yang merasakan
sendiri persoalan dan permasalahan yang mereka alami. Jadi intinya pendekatan bottom up
adalah model implementasi kebijakan dimana formulasi kebijakan berada di tingkat warga,
sehingga mereka dapat lebih memahami dan mampu menganalisis kebijakan-kebijakan apa
yang cocok dengan sumberdaya yang tersedia di daerah nya, sistem sosio kultur yang
mengada agar kebijakan tersebut tidak kontraproduktif, yang dapat menunjang
keberhasilan kebijakan itu sendiri.

2.8 Aspek Ethics-Religious Kebijakan Narkoba: Moralitas religius dan Justice Kebijakan
Narkoba
Setiap individu adalah anggota dari suatu masyarakat sesuai kodratnya sebagai makhluk
sosial. Dalam interaksi pergaulannya dengan anggota masyarakat yang lainnya atau dengan
lingkungannya, ada kecenderungan proses yang semakin terbuka, bebas dan leluasa. Namun
hal ini tidak lantas dapat diartikan bahwa dalam suatu masyarakat tidak ada batasan-
batasan sama sekali. Tetap saja kemudian ada norma-norma yang mengatur supaya tetap
terjaga hak-hak asasi diantara warga masyarakat atau individu yang satu dengan individu
yang lainnya. Karena pada dasarnya tidak satupun individu yang menginginkan hak asasinya
dilanggar.

Batasan-batasan nilai normatif yang berlaku dalam masyarakat akan cenderung mengalami
perubahan sesuai dengan perubahan pola pikir dan perilaku serta kondisi dalam masyarakat
itu sendiri. Batasan-batasan nilai normatif dalam interaksi dengan masyarakat dan
lingkungannya inilah yang kemudian dapat kita katakan sebagai nilai-nilai etika.
1. Etika sebagai Sistem Nilai
Etika berasal dari bahasa Yunani “ethos” yang berarti sifat, watak, kebiasaan. Sehingga etika
diberi pengertian sebagai kebiasaan hidup yang baik, perilaku hidup yang baik, baik pada diri
seseorang atau pada suatu masyarakat. Etika berisi nilai-nilai tentang tata cara bagaimana
manusia harus hidup dengan berperilaku dan berbuat baik sebagai manusia. Dengan
demikian etika menjadi pedoman dan pegangan hidup manusia dalam kehidupannya.
Sebagai pedoman etika langsung memberi perintah atau larangan konkrit sebagai hal yang
siap pakai, sehingga etika dalam pengertian ini lebih normatif dan mengikat setiap pribadi
manusia.
Sebagai contoh nilai kejujuran sebagai padanan etika. Dalam pengertian etika sebagai
sistem nilai, maka seseorang itu jujur karena perintahnya demikian, bahwa hidup itu harus
jujur. Jadi semata-mata mengikuti perintah saja tanpa mengkaji lebih mendalam mengapa
saya harus jujur.

2. Etika sebagai Filsafat Moral


Etika sebagai salah satu cabang filsafat dan dengan demikian etika disebut sebagai filsafat
moral. Moral sebagai obyek filsafat dan dengan demikian moral sebagai obyek etika. Filsafat
yang padanannya adalah “falsafah” (bahasa Arab) atau “philosophy” (bahasa Inggris),
berasal bahasa Yunani yaitu “philosophia”. “Philosophia” terdiri dari dua kata “philos” yang
artinya kekasih atau sahabat, sedangkan “shopia” artinya kebenaran atau kearifan sehingga
secara utuh berarti sahabat kebenaran atau cinta akan kebenaran. Mencintai kebenaran
dengan kesadaran dalam tindakan atau perilaku dalam menghadapi berbagai masalah yang
makin berat dan kompleks.

Etika sebagai filsafat moral membahas dan mengkaji norma dan nilai moral pada etika
sebagai sistem nilai. Contohnya, seorang anak dikatakan mempunyai moral yang baik,
ukuran “baik” disini bukan karena anak itu selalu patuh pada perintah orang tuanya. Etika
sebagai filsafat moral akan mengkaji apakah kepatuhan anak itu karena ia memang benar-
benar mentaati perintah orang tuanya atau apakah karena ia takut pada orang tuanya.
Mungkin anak itu patuh karena menghormati orang tua merupakan pedoman untuk
berperilaku baik. Si anak tidak pernah mengevaluasi seberapa jauh pandangan dan perintah
orang tuanya itu telah sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia. Bagaimana
kalau seandainya anak tersebut tahu bahwa orang tua yang dihormatinya ternyata adalah
seorang pendusta, pecandu narkoba atau koruptor. Apakah si anak tersebut masih akan
menghormati atau taat kepada perintah orang tuanya?

Jadi etika sebagai filsafat moral atau ilmu menitikberatkan refleksi kritis dan rasional.
Dengan perkataan lain etika sebagai filsafat moral menuntut seseorang untuk bersikap dan
berperilaku secara kritis dan rasional. Seseorang harus tahu dan sadar bahwa sikap dan
perilakunya tersebut baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain. Menurut Emmanuel
Kant (dalam Matondang, 2005:4) etika berusaha menggugah kesadaran manusia untuk
bertindak secara otonom dan bukan secara heteronom karena bertindak berdasarkan
kesadaran sendiri akan memberikan kebebasan dan dapat dipertanggungjawabkan bahwa
tindakan yang diambilnya adalah etis.

2.8.1 Konsep justice (keadilan) sebagai aspek primer implementasi SKB tujuh lembaga
negara
I. Pengertian nilai
Nilai mempunyai peranan penting dalam kehidupan manusia, bahkan pada dasarnya seluruh
kehidupan manusia berkisar pada usaha-usaha menciptakan, memperjuangkan dan
mempertahankan sesuatu nilai. Nilai mempunyai beragam makna dan beragam dimensi.
Misalnya menurut H.Osborne (The Liang Gie,1994:2.3) nilai mempunyai beragam makna
dari yang bercorak etis, psikologis, sosial sampai metafisis dan religius. Dalam bidang etika,
nilai berkenaan dengan pengertian baik dan buruk. Secara psikologis nilai dapat berarti
kepuasan atau kenikmatan. Dari konsepsi sosial nilai merupakan obyek dari cita atau tujuan
bersama yang disepakati masyarakat. Menurut konsepsi metafisis nilai terdapat dalam
kekonkretan eksistensi yang nyata dan dalam konsepsi religius mengkaitkan nilai dengan
kepercayaan pada keselamatan.

II.KONSEPSI KEADILAN SEBAGAI NILAI


Sebagaimana dinyatakan diatas, menurut konsepsi sosial nilai merupakan “the object of
socially approved ideal or purpose” (obyek dari cita atau tujuan yang disepakati bersama
dalam masyarakat). Keadilan dalam kenyataannya menjadi suatu obyek dari keinginan yang
didambakan dalam kehidupan masyarakat dan diusahakan terwujud pada perilaku anggota
masyarakat yang bersangkutan. Dengan demikian keadilan adalah sebuah nilai. Dalam
bidang ilmu sosial pada umumnya disetujui bahwa nilai merupakan suatu obyek dari
keinginan bersama dengan segenap kebutuhan, minat dan sikap dalam kehidupan bersama.
Diperlukan sebuah landasan yang ideal untuk mengatur tata kehidupan bersama dalam
masyarakat dan salah satunya adalah mewujudkan sebuah keadilan karena sifatnya yang
luhur, layak dijunjung tinggi dan merupakan sesuatu yang diharapkan pula dapat menjadi
pengikat kehidupan bersama dalam masyarakat.
Adanya beragam kepentingan, kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda-beda,
kemampuan yang berlainan serta mekanisme pengaturan penyelenggaraan kehidupan
bernegara yang amat rumit, memerlukan landasan keadilan sebagai sebuah keharusan.
Dalam kehidupan bernegara keadilan diperlukan untuk menciptakan ketertiban,
mempersatukan segenap komponen bangsa, serta mewujudkan kehidupan masyarakat
sejahtera. Selalu dituntut adanya pemerintahan yang adil dalam sebuah negara, hukum
yang adil serta berbagi bentuk keadilan lainnya dalam segenap aspek kehidupan
masyarakat. Kalau keadilan tidak dijunjung tinggi sebagai suatu nilai luhur oleh seluruh
penguasa dan rakyat, maka semua mekanisme pemerintahan dan kehidupan bernegara
akan penuh dengan kekacauan, kezaliman, pertikaian, kecemasan dan lain sebagainya. Jadi
untuk menciptakan penyelenggaraan kehidupan bernegara serta pemerintahan yang damai,
aman dan sejahtera akan tercapai bila semua pihak mengindahkan keadilan. Keadilan
merupakan nilai sosial yang luhur dan sebagai “summum bonum” atau hal baik yang
terluhur dari kehidupan negara. James Wilson (The Liang Gie, 1994:2.15) dalam Dictionary
of Political Science and Law menyatakan bahwa “the state was formed for the purposed of
achieving justice” atau negara dibentuk untuk tujuan mencapai keadilan.

Selain itu keadilan ternyata juga merupakan “principle of behavior” atau asas perilaku yang
menjadi ukuran standar dalam menilai tindakan nyata setiap penguasa serta warga negara.
Jika nilai ini diterapkan dalam tindakan nyata sehari-hari akan menciptakan suatu kebajikan
moral berkaitan dengan watak yang luhur dalam kehidupan bersama, baik dalam
masyarakat maupun kehidupan bernegara. Dapat disimpulkan bahwa adanya nilai keadilan
serta bentuk keadilan dan perwujudannya dalam berbagai bidang kehidupan antara lain
terdapat dalam hal:
a. Konsep keadilan dalam penyelenggaraan negara atau pemerintahan merupakan keadilan
politik
b. Konsep keadilan sebagai suatu cita, asas dan unsur yang terdapat dalam hukum
merupakan keadilan hukum
c. Konsep keadilan yang berkenaan dengan proses produksi, distribusi dan pertukaran
dalam bidang ekonomi disebut keadilan ekonomi (setara dengan kelayakan)
d. Konsep keadilan sebagai suatu asas perilaku dan ukuran tindakan akan menciptakan
kebajikan dan watak yang luhur
III. MAKNA KEADILAN
Terdapat beberapa definisi tentang keadilan (The Liang Gie, 1994: 3.2) antara lain adalah:

The Encyclopedia Americana, 1973


“The term has not fixed meaning, but its substantially equivalent to equity, fairness, or
equality treatment” (Istilah ini tidak memiliki makna yang pasti tetapi sepadan artinya
dengan kepantasan, kelayakan atau persamaan perlakuan)
Dictionary of Philosophy, Peter A.Angeles, 1981
a. Fairness. Equitableness
b. Correct treatment. Merited reward or punishment
c. Rectitude. Correctness and impartiality in the application of principles of rightness and
sound of judgement
d. The embodiment of the virtues (ideals, values, principles) of a society
e. The establishment of a harmony between one’s rights and the rights of others (society,
the public, government or individuals)
a. Kelayakan. Kepantasan
b. Perlakuan tepat. Hukuman yang patut
c. Kelurusan. Ketepatan dan sikap tak memihak dalam penerapan asas-asas dari
kebenaran dan dari pertimbangan yang sehat
d. Perwujudan kebajikan-kebajikan (cita-cita, nilai-nilai, asas-asas) dalam suatu
masyarakat
e. Penciptaan suatu keselarasan antara hak-hak seseorang dengan hak-hak pihak lain
(Masyarakat, publik, pemerintah atau individu yang lain)

Keadilan dalam bahasa Inggris berasal dari kata “justice”, bahasa Latin “justitia”, yang
mempunyai akar kata “jus” yang berarti hukum atau hak. Salah satu maknanya adalah “law”
(hukum). Misalnya digunakan dalam menyebut berbagai lembaga peradilan seperti “Court
of Justice” dan “Court of Law”. Selanjutnya makna ini berkembang dari makna keadilan
menjadi makna sah secara hukum atau “lawfulness”. Hal ini terjadi karena hukum dalam
masyarakat adalah hukum yang berlaku sah. Dengan demikian segala hal yang sah menurut
hukum yang berlaku sah adalah merupakan keadilan atau “justice” Keadilan selanjutnya
dianggap sebagai tujuan dari semua hukum yang ada di masyarakat dan hal ini harus
tercapai dalam setiap putusan pengadilan atau putusan hakim dalam persoalan hukum.
Keadilan dapat tercapai jika keputusan pengadilan atau keputusan hakim tidak memihak
atau “impartial”. Dengan ini lahirlah makna keadilan dalam arti sikap tidak memihak atau
“impartiality”
Sikap tidak memihak dari badan peradilan atau hakim akan terwujud kalau semua pihak
dalam persoalan hukum diperlakukan secara sama. Keadilan sebagai tujuan hukum akan
tercapai jika terdapat persamaan dalam perlakuan atau “equality of treatment” terhadap
semua pihak. Hal ini lebih lanjut juga diterapkan secara luas di bidang lain seperti pelayanan
jasa pemerintahan, pemberian ijin dan penyediaan fasilitas untuk rakyat. Maka ide keadilan
ini mempunyai makna persamaan atau “equality”.

Makna lain yang juga melekat dalam ide keadilan adalah kelayakan atau “fairness”.
Kelayakan berarti ciri atau sifat yang sepantasnya terhadap sesuatu hal berdasarkan
pertimbangan akal sehat atau penilaian masyarakat pada umumnya. Arti ini terutama
adalah dalam bidang ekonomi, sehingga dikenal pengertian-pengertian seperti “fair wage”
(upah yang layak), “fair price” (harga yang layak), “fair exchange” (pertukaran yang layak)
dan sebagainya. Bila pertimbangan kelayakan ini dikaitkan dengan nilai moral terdapat
istilah lain yaitu kepantasan atau “equity”, yaitu sesuatu yang sepatutnya menurut
pertimbangan moral atau nilai moral yang berlaku dalam masyarakat. Jika seluruh cita
moralitas atau segenap kebajikan sebagai suatu keseluruhan dianggap tercakup dalam ide
keadilan maka keadilan lalu mempunyai makna sebagai kebenaran atau “righteousness”
yaitu kebenaran yang berdasarkan pertimbangan kebaikan/kebajikan dan bukan menurut
kaidah logika atau penelitian ilmiah.

IV. DEFINISI KEADILAN


Definisi keadilan yang tertua dirumuskan pada jaman Romawi dalam bahasa Latin, yaitu:
“Justice is the constant and perpetual will to render to each man what is his due” (Keadilan
adalah kemauan yang tetap dan kekal untuk memberikan kepada setiap orang apa yang
semestinya). Dalam pemahaman bangsa Romawi bertindak adil adalah memberikan kepada
setiap orang apa yang semestinya. Tetapi keadilan diakui sangat sulit untuk dirumuskan
secara tepat, sebagaimana A.L. Goodhart dalam bukunya “Law” yang menyatakan adanya
kerumitan dalam mendefinisikan apa itu keadilan. Satu hal yang bisa diterima dalam konsep
ini adalah memberikan kepada setiap orang apa yang semestinya, maka rumusan untuk ‘apa
yang semestinya’ inilah yang perlu jawaban lebih lanjut.

Dalam perkembangan selanjutnya keadilan dianggap sebagai suatu tujuan dari hukum
disamping tujuan yang lain seperti perdamaian dan ketertiban. Misalnya dalam definisi Nels
Anderson dalam “Justice” yaitu “ the ideal in law by which judges are expected to be
guided” (Tujuan hukum dimana hakim-hakim dibimbing untuk mewujudkannnya). Juga ada
Rudolph Heimanson (Dictionary of Political Science and Law) menegaskan bahwa keadilan
memberikan nilai dan tujuan pada hukum dan kini diakui secara erat berkaitan dengan
hukum. Definisinya adalah “Concept of achieving a rigthful result, satisfying a proper claim,
redressing a wrong, finding a balance between legitimate but conflicting interest” (Konsep
untuk mencapai suatu hasil yang sah, memuaskan tuntutan yang layak, memperbaiki
kesalahan, menemukan keseimbangan diantara kepentingan-kepentingan yang sah tetapi
saling bertentangan).

Glenn Negley dalam “Justice” memberikan definisi keadilan yangn juga masih berkaitan
dengan hukum yaitu “ the logical, almost mechanical, assessment of an act or acts according
to the criteria of an accepted and mandatory value structure represented by the law”
(Penilaian yang logis, bahkan hampir mekanis, terhadap suatu tindakan atau lebih sesuai
dengan ukuran-ukuran dari sebuah struktur nilai yang diterima dan bersifat wajib yang
tercermin dalam hukum).

Terdapat pula rumusan dari J.P. Plamenatz yaitu:


a) Giving every man his due; and (memberikan setiap orang yang semestinya)
b) The setting of wrong either by compensating the victim of wrong or by punishing who
do it (memperbaiki kesalahan dengan memberikan ganti rugi kepada korban atau
menghukum pelaku pembuat kesalahan)

Dalam bidang lain terdapat definisi Thomas Ford Hoult dalam Dictionary of Modern
Sociology yang intinya adalah:
a) elimination of arbitrariness especially arbitrary inequality and arbitrary power
b) equitable distribution of the means to that which is associated with well-being
c) adequate provision for the rectification of that is defined as wrong; distributive justice is
distinguished from retributive justice, the former denoting equity in the distribution of
goods and services, the latter pertaining to the fair treatment of law-breakers and of the
victims of law-breakers

Yang artinya adalah:


a) Penghapusan kesewenang-wenangan, dalam ketidaksamaan kewenangan dan kekuasaan
b) Pembagian yang pantas dari sarana-sarana yang berhubungan dengan kesejahteraan
c) Pengaturan yang memadai bagi perbaikan terhadap hal apa saja yang mengandung
kesalahan, keadilan pembagian dibedakan dengan keadilan penggantian dimana yang
pertama menunjukkan kepantasan dalam pembagian barang-barang dan jasa, yang
kedua adalah menganai penanganan yang adil kepada para pelanggar hukum dan kepada
korban-korban dari para pelanggar hukum itu.

The Encyclopedia Americana mencatat enam definisi yang merumuskan “justice” yaitu:
a) the constant and perpetual disposition to render every man his due (kecenderungan
yang tetap dan kekal untuk memberikan setiap orang yang semestinya)
b) the end of civil society (tujuan dari masyarakat)
c) the right to obtain a hearing and decision by a court which is free of prejudice and
improper influence (hak memperoleh suatu pemeriksaan dan keputusan oleh badan
peradilan yang bebas dari prasangka dan pengaruh yang tidak selayaknya)
d) all recogniced equitable rights as well as technical legal rights (semua hak yang
sepantasnya diakui maupun hak-hak teknis secara hukum)
e) the dictate of right according to the consent of mankind generally (suara kebenaran
menurut persetujuan umat manusia pada umumnya)
f) conformity with the principle of integrity, rectitude and just dealing (kesesuaian dengan
asas-asas integritas, kelurusan dan perlakuan yang adil)

V. BIDANG KEADILAN
a. Keadilan Hukum
Jenis keadilan ini berkaitan dengan keadilan sebagai tujuan dan cita dalam hukum, ukuran
keadilan dalam hukum, keabsahan menurut hukum, sikap tidak memihak dari badan
peradilan, keadilan hukum bagi pelanggar hukum dan langkah pembetulan terhadap
keadilan hukum seperti misalnya dengan pemberian ampunan atau penerapan kepantasan.
b. Keadilan Politik
Jenis keadilan ini menyangkut antara lain keadilan dalam pemerintahan, keadilan antar
negara, keadilan pada organisasi politik, ukuran keadilan dalam berbagai bentuk
pemerintahan dan konstitusi, hubungan penguasa dengan rakyat dan bentuk tindakan
terhadap keadilan politik seperti pemberian suaka dan amnesti.
c. Keadilan Ekonomi
Jenis keadilan ini meliputi keadilan dalam produksi, distribusi dan pertukaran. Filsuf Yunani
Kuno, Aristoteles, menyebutnya dengan keadilan niaga atau “Commercial Justice”.
Persoalan yang dibahas antara lain tentang upah yang layak, harga yang pantas dan
pertukaran barang/jasa dengan adil.
d. Keadilan Rumah Tangga
Jenis keadilan ini menyangkut berbagai persoalan dalam kehidupan kehidupan rumah
tangga (antara orang tua dengan anak) misalnya kekuasaan kepala keluarga dalam rumah
tangga, hubungan suami istri dalam berbagai segi serta pembagian hak dan kewajiban
antara anggota keluarga.
e. Keadilan Illahi
Jenis keadilan ini menyangkut segenap hubungan antara manusia dengan Tuhannya
misalnya rahmat dan karunia Tuhan, kewajiban menjalankan semua perintah-Nya dan
menjauhi larangan-Nya.

Pembagian lainnya dikemukakan oleh Aristoteles, yaitu:


a. Keadilan Pembagian (Distributif)
Ragam keadilan ini dikenal pula sebagai keadilan distributif yang menunjuk pada kepantasan
dalam pembagian barang dan jasa kepada anggota masyarakat.
b. Keadilan Penggantian (Retributif)
Ragam keadilan ini menyangkut penanganan yang adil terhadap pelaku kesalahan
(pelanggar hukum) maupun pihak korban dari kesalahan/pelanggaran itu dengan
memberikan hukuman yang setimpal dan ganti rugi yang layak (reward and punishment).
Aristoteles menyebutnya dengan keadilan perbaikan (remedial justice) yang bertujuan
memelihara ketertiban masyarakat.
c. Keadilan Timbal Balik (Komutatif)
Ragam keadilan ini menyanngkut pertukaran benda atau jasa antar anggota masyarakat
yang harus timbal balik secara proporsional. Setiap pertukaran yang adil harus mewujudkan
persamaan yang seimbang antara barang dan jasa dari kedua belah pihak. Aristoteles
menyebutnya dengan keadilan komutatif (commutative justice) yang bertujuan memelihara
kesejahteraan umum.
d. Keadilan Prosedural
Ragam keadilan ini menunjuk pada keadilan sebagai tujuan yang harus dicapai dalam hukum
berupa suatu keputusan yang ditetapkan berdasarkan pelaksanaan secara layak segala
aturan hukum yang berlaku. Lambang keadilan dalam hukum berupa dewi keadilan dengan
pedang, timbangan dan penutup mata mencerminkan keadilan prosedural itu.
e. Keadilan Kontributif
Ragam keadilan ini dikemukakan oleh Mortimer Adler yang menyangkut kewajiban moral
setiap anggota masyarakat untuk melakukan tindakan yang memberikan sumbangan atau
menunjang kebaikan bersama dan kesejahteraan umum dari masyarakatnya. Bilamana
seseorang tidak bertindak untuk kesejahteraan masyarakatnya, maka sebagai anggota
masyarakat tersebut dia dianggap mengingkari keadilan kontributif (contributive justice)

Ide keadilan dengan segenap seginya termasuk dalam bidang kebaikan (domain of
goodness). Keadilan merupakan kebaikan dari perbuatan dimana bertindak adil berarti
berbuat baik. Memberikan kepada setiap orang apa yang semestinya berarti juga melakukan
perbuatan baik atau mewujudkan ide kebaikan secara konkret. Kebaikan dalam masyarakat
dapat diwujudkan dengan keadilan dalam perbuatan atau dilaksanakan melalui perbuatan
yang adil.
Menurut Mortimer Adler konsep ‘pemberian terhadap setiap orang apa yang semestinya’
sesungguhnya mengandung dua segi penting dimana ‘apa yang semestinya’ bagi setiap
orang dapat ditentukan dengan:
Ukuran hak dari seseorang, baik itu hak alamiah maupun hak yang bersumber pada
hukum yang berlaku
Perbandingan kemampuan atau jasa dari orang yang satu dengan yang lain
Berdasarkan dua aspek hak dan perbandingan itu pengertian ‘apa yang semestinya’ bagi
setiap orang mempunyai dua bentuk sebagai berikut:
Jaminan terhadap hak-hak agar bebas dari pelanggaran (securing rights from
violation)
Perlakuan yang layak (fair treatment) yaitu memperlakukan hal-hal yang sama secara
sama dan hal-hal yang tidak sama secara seimbang dengan ketidaksamaan itu.
Berbuat adil dapat terlaksana apabila tidak ada pelanggaran terhadap hak orang lain serta
memperlakukan sesama manusia dengan sepantasnya (fair). Berbuat adil juga terlaksana
dengan melakukan perbuatan-perbuatan yang menunjang kebaikan bersama (common
good) atau kesejahteraan umum (social welfare) dari masyarakat dimana hal ini
menimbulkan keadilan kontributif. Ciri khusus yang perlu dipahami dalam keadilan adalah
bahwa keadilan itu merupakan kebaikan yang tidak mempunyai batas. Keadilan juga tidak
mempunyai derajat perbandingan karena merupakan kebaikan yang bulat dan utuh.

2.8.3. TEORI KEADILAN (THEORY OF JUSTICE)


A. PENGERTIAN
Sebelum membahas lebih jauh tentang teori keadilan perlu dibedakan pengertian-
pengertian antara istilah-istilah yang menjadi pokok bahasan tentang keadilan ini yaitu
antara konsep keadilan, makna keadilan, definisi keadilan dan teori keadilan yang
penggunaannya berbeda-beda.
Konsep keadilan menunjuk kepada suatu kategori pengertian tertentu dalam pemikiran
manusia dan kedudukan entitas keadilan dalam suatu kelompok orang. Sebagai kategori
maupun entitas keadilan merupakan sebuah ide bahkan merupakan ide agung yang
didambakan sebagai sebuah tujuan bagi kehidupan manusia. Maka selanjutnya terdapat
konsep keadilan sebagai sebuah nilai. Keadilan juga merupakan sebuah nilai kebajikan atau
kebajikan moral, maka dalam hal ini konsep keadilan adalah sebagai sebuah kebajikan.

Makna keadilan berhubungan dengan arti atau maksud yang melekat pada istilah keadilan.
Makna dapat menyamakan atau membedakan keadilan dengan hal-hal lain. Rumusan
makna ini antara lain adalah keadilan sebagai sikap tidak memihak, kelayakan, kepantasan
dan persamaan perlakuan. Jadi dalam pandangan masyarakat atau pendapat umum suatu
tindakan, keputusan atau hubungan dikatakan adil kalau tidak memihak, layak, pantas atau
sama dalam memperlakukan setiap orang.

Definisi keadilan adalah sebuah perumusan yang cukup terperinci untuk menerangkan
sehingga orang dapat mengetahui apa yang disebut keadilan. Contohnya antara lain:
Keadilan adalah hak memperoleh suatu pemeriksaan dan keputusan oleh badan
peradilan yang bebas dari prasangka (jadi sikap tidak memihak) dan pengaruh yang tidak
selayaknya.
Keadilan adalah suara kebenaran menurut persetujuan dari umat manusia pada
umumnya (jadi benar menurut pertimbangan kebajikan atau ide kebaikan yang diterima
oleh masyarakat umum)

Teori keadilan adalah suatu uraian yang berusaha secara rinci dan sistematis menjelaskan
dasar alasan, ukuran pembenaran, sifat dasar atau asal mula dari keadilan. Jadi suatu teori
keadilan menguraikan apa alasannya atau mengapa suatu hal merupakan keadilan atau
dianggap adil sehingga orang dapat membenarkan hal itu. Berdasarkan uraian itu seseorang
dapat memperbesar pemahamannya dan sekaligus juga meningkatkan keyakinan terhadap
keadilan dan hal yang adil. Teori adalah suatu rangkaian keterangan yang saling berkaitan
secara logis dan sistematis untuk menjelaskan gejala apapun, dengan fungsi utama adalah
menjelaskan (to explain).

B. TEORI KEADILAN PLATO


Menurut pendapat Plato keadilan adalah kebajikan yang tertinggi dari negara yang baik.
Dalam suatu negara yang sempurna terdapat empat kebajikan utama (cardinal virtues)
yaitu:
Kearifan (wisdom)
Ketabahan (courage)
Disiplin (discipline or temperance)
Keadilan (justice)

Keadilan pada suatu negara tercipta bilamana masing-masing warga negara menjalankan
suatu fungsi dalam masyarakat yang paling selaras baginya menurut kemampuannya. Fungsi
penguasa adalah membagi-bagikan fungsi-fungsi kepada masing-masing orang sesuai
dengan asas keselarasan itu. Penguasa yang baik harus memiliki watak dan budi rohani yang
baik, harus senantiasa jujur, berpandangan luas dan berdisiplin. Dengan kata lain penguasa
yang baik harus memiliki empat kebajikan yang utama tersebut.
Teori keadilan Plato merupakan sebuah uraian penjelasan mengenai keadilan moral. Bagi
Plato keadilan adalah kebajikan yang tertinggi dari negara yang baik. Dasar pembenaran
bagi keadilan adalah keselarasan (harmony) Keadilan tercipta bilamana ada keselarasan.
Keadilan pada negara terwujud bilamana masing-masing anggota masyarakat melakukan
satu fungsi yang selaras baginya dan tidak mencampuri fungsi dari anggota lainnya. Campur
tangan terhadap pihak lain yang menjalankan fungsi yang paling cocok baginya akan
menimbulkan pertentangan dan ketidakselarasan yang menjadi intisari dari ketidakadilan.

C. TEORI KEADILAN JOHN RAWLS


Teori ini dikemukakan dalam bukunya yang berjudul “A Theory of Justice” (1917). Dalam
teori ini dikembangkan tata cara yang menghasilkan asas-asas keadilan (principles of
justice). Menurutnya persoalan-persoalan tentang keadilan timbul bilamana suatu
masyarakat menilai aturan-aturan dan praktek pelaksanaannya dengan tujuan
menyumbangkan kepentingan-kepentingan saling bersaing (competing interest) dan
tuntutan-tuntutan yang saling bertentangan (conflicting claims) yang sah dari para anggota
masyarakat. Untuk itu dalam penyelesaiannya diperlukan serangkaian prosedur yang adil
(just procedurs) sehingga hasilnya juga adil. Hasil yang dimaksud adalah asas-asas keadilan
yang berlaku untuk berbagai pranata (institutions) dan praktek (practices) dalam
masyarakat. Jadi persoalan keadilan yang perlu dicari jawabannya adalah prosedur apa yang
diperlukan bagi anggota masyarakat dengan tuntutan-tuntutan yang saling bertentangan
dapat menetapkan asas-asas bagi berbagai pranata dan praktek yang adil.

Teori keadilan Rawls berusaha menjawabnya dengan semacam proses perjanjian (contract)
diantara anggota-anggota masyarakat untuk menetapkan asas-asas keadilan itu. Proses
perjanjian dilaksanakan dengan mengindahkan asumsi-asumsi mengenai:
Kerjasama manusia (human cooperation)
Pilihan yang rasional (rational choice)
Hal-hal baik yang bersifat utama (primary goods)
Moralitas yang minimal (minimal morality)
Rasa keadilan (sense of justice)

Pengertian ‘primary goods’ adalah hal-hal yang baik yang semua anggota masyarakat ingnin
memilikinya meliputi hak-hak (rights) dan kebebasan-kebebasan (liberties), kesempatan-
kesempatan (opportunities) dan kekuasaan-kekuasaan (powers), penghasilan (income) dan
kekayaan (wealth), pendeknya berbagai hal umum yang utama untuk memperoleh segala
hal yang bersifat personal bagi masing-masing anggota masyarakat. Selanjutnya Rawls
menciptakan dua konsep baru untuk melaksanakan proses tersebut, yang disebutnya
sebagai ‘the original position’ (kedudukan semula) dan ‘ignorance principle’ (asas
ketidaktahuan). Konsep kedudukan semula dan asas ketidaktahuan akan menjamin bahwa
dalam melakukan suatu pilihan rasional untuk menetapkan asas-asas keadilan dalam
perjanjian itu para anggota masyarakat tidak berada dalam sebuah kedudukan untuk
membuat pengecualian demi keuntungan mereka sendiri atau membelokkan keputusan
menurut kepentingan mereka.

Berdasarkan prosedur yang adil dalam proses perjanjian itu Rawls menyimpulkan bahwa
ada dua asas keadilan yang akan disetujui secara bulat oleh para anggota masyarakat. Kedua
asas itu menetapkan bahwa:
1) Setiap orang harus memiliki suatu hak yang sama terhadap kebebasan-kebebasan dasar
(basic liberties) yang berlaku sama untuk semua orang
2) Ketidaksamaan sosial dan ekonomi harus diatur sedemikian hingga:
Memberikan manfaat yang terbesar (greatest benefit) bagi mereka yang
berkedudukan paling tidak beruntung
Berkaitan dengan jabatan dan kedudukan (positions) yang terbuka bagi semua orang
berdasarkan persyaratan berupa persamaan kesempatan yang layak (fair equality of
opportunity)

Asas keadilan yang pertama diatas menyangkut pembagian kebebasan-kebebasan dasar


yang harus diberikan secara sama kepada setiap orang. Berbagai kebebasan dasar itu
sebagai hal-hal baik yang terpenting meliputi:
Kebebasan politik (political liberty) yaitu hak memilih dan memegang jabatan negara
Kebebasan berbicara dan berkumpul (freedom of speech and assembly)
Kebebasan hati nurani (liberty of conscience)
Kebebasan berpikir (freedom of thougt)
Kebebasan diri pribadi (freedom of the person)
Hak memiliki harta benda pribadi (the right to hold personal property)
Kebebasan dari penahanan dan penangkapan yang sewenang-wenang (freedom from
arbitrary arrest and seizure)

Asas keadilan yang kedua tersebut diatas menyangkut ‘primary goods’ yang lainnya yaitu
kesempatan dan kekuasaan, penghasilan dan kekayaan. Berkaitan dengan hal-hal baik ini
teori keadilan Rawls menganut asas perbedaan (difference principle). Dalam kerjasama
manusia satu-satunya asas yang layak adalah asas yang menerima ketidaksamaan hanya
kalau itu berlangsung bagi keuntungan dari mereka yang paling tidak beruntung. Kalau
dalam hal-hal tersebut diatas diterapkan asas persamaan seperti halnya pada kebebasan-
kebebasan dasar maka timbullah ketidaklayakan.

Misalnya jika semua tersangka menerima dakwaan atau perlakuan hukum yang sama tanpa
membedakan perbedaan antara pecandu dan pengedar ketika memiliki barang bukti
masing-masing maka hal ini bukan keadilan melainkan ketidakadilan. Maka Rawls secara
tegas menyatakan:
‘There is no injustice in the greater benefits earned by a few provided that the situation of
persons not so endowed is there by improved’ (Tidak terdapat ketidakadilan dalam
kemanfaatan lebih besar yang diperoleh oleh sekelompok kecil orang asal keadaan dari
orang yang kurang beruntung itu dapat ditingkatkan)

Setelah kedua asas keadilan itu ditetapkan selanjutnya perlu diterapkan dalam praktek
dengan penyusunan berbagai pranata sosial dan politik yang diperlukan. Menurut Rawls
tugas dari berbagai pranata sosial dan politik (social and political intitutions) ialah
pemeliharaan dan peningkatan kebebasan dan kesejahteraan perorangan. Kebebasan yang
berdasarkan asas persamaan akan terjamin dalam penyusunan sebuah konstitusi sedang
pelaksanaan asas perbedaan dapat tercapai melalui perundang-undangan yang telah
ditetapkan.
3.KEADILAN SOSIAL
Tolok ukur keberhasilan pranata publik yang harus diperhatikan adalah terwujudnya
keadilan sosial. Nilai keadilan sosial ingin dicapai dengan tujuan tersusunnya suatu
masyarakat yang seimbang dan teratur sehingga seluruh warga negara memperoleh
kesempatan guna membangun kehidupan yang layak dan mereka yang lemah
kedudukannya akan mendapat bantuan seperlunya. Keadilan sosial merujuk kepada
masyarakat (society) atau negara yang dapat berfungsi sebagai subyek maupun obyek.
Dengan demikian konsep keadilan sosial di satu pihak mewajibkan negara untuk
mewujudkan kesejahteraan umum serta membagi beban dan manfaatnya kepada warga
negara secara proporsional seraya membantu warga negara yang lemah dan di lain pihak
mewajibkan warga negara untuk membantu negara dalam mencapai tujuannya.

Jika ditelusuri dari awal nilai keadilan pada mulanya muncul dari gagasan tentang negara
kesejahteraan (welfare state). Asas pokok negara kesejahteraan adalah:
a. Setiap warga negara, semata-mata karena dia manusia, berhak atas kesejahteraan dasar
atau taraf hidup minimum
b. Negara merupakan persatuan orang-orang yang bertanggung jawab atas taraf hidup
minimum semua warga negaranya
c. Penempatan pekerja secara penuh (full employment) merupakan puncak tujuan sosial
yang harus didukung oleh kebijakan pemerintah.

Bisa disimpulkan bahwa sistem negara kesejahteraan ingin menempatkan kesejahteraan


sebagai prioritas tertinggi. Negara kesejahteraan juga merupakan cita-cita bangsa Indonesia.
Dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa pemerintah bertugas
“memajukan kesejahteraan umum” serta “mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia”. Disamping itu pasal-pasal didalamnya juga banyak menuangkan ketentuan-
ketentuan mengenai pentingnya kesejahteraan dalam negara misalnya dalam pasal 27 ayat
(1) dan (2) tentang kedudukan dan hak warga negara; pasal 28 A sampai dengan 28 J dalam
amandemen keempat tentang hak asasi manusia; pasal 30 mengenai pertahanan dan
keamanan negara; pasal 31 dan 32 tentang pendidikan dan kebudayaan; pasal 33 dan 34
tentang perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial. Jelaslah bahwa penyelenggaraan
administrasi pemerintahan yang menuju cita-cita kesejahteraan atau keadilan sosial
merupakan kewajiban bagi seluruh aparatur negara di setiap jenjang.

Sesuai dengan prinsip keadilan distributif, keadilan sosial mengandaikan adanya distribusi
barang dan sumber daya secara adil (the justice of distributing goods and resources).
Kebijakan-kebijakan publik harus menjamin pemerataan sumber daya yang terdapat di
suatu negara dan yang lebih penting ialah bahwa ia harus menguntungkan kelompok atau
kelas yang paling tidak beruntung yaitu fakir miskin. Hal ini harus diperhatikan karena masih
terdapatnya kelompok-kelompok yang sangat tertinggal dalam mengembangkan diri. Para
pejabat hendaknya menyadari adanya ketimpangan sosial ini sehingga tidak berlarut-larut
dan menimbulkan keresahan, ketidakpuasan atau keputusasaan yang suatu saat dapat
menjadi gejolak yang sulit dikendalikan. Untuk itu agar terselenggara administrasi negara
yang berwibawa di setiap jenjang, kita wajib mencegah selalu timbulnya distribusi yang
tidak adil (unjust distribution) dari sumber daya politis, sosial maupun ekonomis.

2.8.4 KONSEP Islamic religious MEMERANGI NARKOBA (Narkotika, alcohol dan zat adiktif
lainnya)
Artinya: “Hal orang-orang yang beriman, sesungguhnya minuman keras, berjudi, berkurban
untuk berhala dan mengundi nasib, hanyalah barang barang keji buatan setan. Maka
jauhilah agar kamu mendapat keberuntungan. Maksud setan hanyalah menimbulkan
permusuhan dan kebencian di antara kamu. Karena minuman keras dan judi menghalangi,
kamu mengingat Allah dan mengerjakan sembahyang, maka tidaklah kamu menahan diri
(berhenti)?” (Al Quran surah Al-Maaidah ayat 90-91).
Artinya : “Rasulullah SAW melarang setíap zat yang memabukkan dan melemahkan”.(Hadis
diriwayatkan oleh Umim Salamah ra.).

Pendahuluan
Penyalahgunaan Narkotika, Alkohol (minuman keras) dan Zat Adiktif lainnya (“obat”
berbahaya/terlarang) yang disingkat NARKOBA, akhir-akhir ini kembali mencuat
kepermukaan setelah korban demi korban berjatuhan sebagaimana diberitakan mass
media. Yang memprihatinkan adalah “korban” penyalahgunaan NARKOBA pada umumnya
remaja dan dewasa muda usia 16-25 tahun, justru mereka yang sedang dalam usia produktif
dan merupakan sumber daya manusia atau aset bangsa di kemudian hari.
Bapak Presiden, sebagai mana di sampai kan oleh Menko Polkam Soesilo Soedarman
beberapa waktu lalu, beliau merasa prihatin terhadap semakin meningkatnya
penyalahgunaan NARKOBA ini dan minta agar pengawasannya lebih diperketat lagi
(Republika,29/2/94). Penelitian (Hawari, 1990) membuktikan bahwa penyalahguna
NARKOBA menimbulkan dampak negatif dan merugikan. antara lain merusak hubungan
kekeluargaan, menurunkan kemampuan belajar, ketidakmampuan untuk membedakan
mana yang baik dan mana yang buruk, perubahan perilaku menjadi antisosial, merosotnya
produktivitas kerja, gangguan kesehatan; mempertinggi kecelakaan lalu lintas, kriminalitas
dan tindak kekerasan lainnya baik kuantitatif maupun kualitatif. Cidera, cacad hingga
kematian akibat penyalahgunaan NARKOBA adalah hal yang sia-sia sebagai akibat kelebihan
takaran/keracunan (overdosis/intoksikasi), perkelahian/tindak kekerasan dan kecelakaan
lalu lintas. penyalahgunaan NARKOBA merupakan “penyakit kronik” yang berulang kali
kambuh, yang hingga sekarang belum ditemukan upaya penanggulangan secara universal
memuaskan, baik dari sudut pencegahan, terapi maupun rehabilitasi.

Pengalaman di negara negara maju (Barat), menunjukkan bahwa semakin modern dan
industrial suatu masyarakat, maka penyalahgunaan NARKOBA semakin cenderung
meningkat. Masyarakat Amerika misalnya, sudah merupakan masyarakat yang tidak lepas
dari “obat” disebut sebagai “drug oriented society”. Penyalahunaan NARKOBA sudah
merata diseluruh lapisan masyarakat, khususnya di kalangan remaja dan dewasa muda
sebagaimana dilaporkan oleh National Institute of Drug Abuse (NIDA, 1986), yang
menyebutkan bahwa 1 dari 6 remaja adalah penyalahguna NARKOBA berat (Cummings,
1979 ,Thorne, 1986). Penyalahgunaan NARKOBA di Amerika Serikat merupakan satu dari
empat gangguan jiwa utama (gangguan jiwa lainnya adalah kecemasan, depresi dan
skizofrenia). Oleh karena itu bagi masyarakat dan bangsa Indonesia yang sedang
membangun menuju masyarakat modern dan industri, maka antisipasi penyalahgunaan
NARKOBA di masa datang sudah waktunya dibuat dari langkah langkah di bidang
pencegahan, terapi dan rehabilitasi sudah waktunya dievaluasi kembali serta dapat disusun
strategi baru dalam menghadapi tantangan Pembangunan Jangka Panjang Tahap II (PJPT-ll)
dengan pendekatan keagamaan (“religious approach”). Pendekatan keagamaan di bidang
kesehatan yang bersifat holistik baru adalah bahwa unsur agama merupakan salah satu
unsur kesehatan selain unsur ketiga lainnya, yaitu kesehatan fisik, psikologik dan sosial.
Unsur agama peringkatnya setara dengan ketiga unsur kesehatan lainnya tadi (WHO, 1984).
Khususnya di bidang penyalahgunaan NARKOBA, peran agama penting bagi upaya upaya
pencegahan, terapi, rehabilitasi dan hal-hal lain yang terkait (Clinebell, 1980).
Kilas Balik

Penyalahgunaan NARKOBA di Indonesia mulai 1969 dari “bahan” atau “zat” yang
disalahgunakan tidak terbatas pada jenis narkotik saja (morfin. heroin, kokain dan ganja),
melainkan juga alkohol (minuman keras), obat perangsang/stimulansia (amfetamin) dan
obat tidur/hipnotika (nitrazepam, barbiturat). Tidak jarang penyalahguna memakai “zat”
atau “bahan” tadi silih berganti atau mencampur satu dengan lainnya.

Dari hasil pengamatan penulis diperoleh gambaran sebagai berikut.


1969-1973 terbanyak atau hampir sel urub nya penyalahguna memakai morfin dan ganja;
1973-1976 penyalahguna memakai selain morfin dan ganja, juga beberapa jenis obat tidur;
1976-1979 penyalahgunaan morfin menurun, sedangkan penyalahgunaan ganja dan obat
tidur tetap;
1979-1985 penyalahguna masih memakai ganja, obat tidur dan kemudian alkohol;
sedangkan pemakaian morfin mulai naik lagi ditambah dengan jenis baru yaitu heroin,
1985-1990 pnyalahguna memakai ganja, obat tidur, alkohol, heroin, sabu ditambah dengan
pethidin (masih serumpun dengan sabu)
1990-1995 idem di atas, ditambah dengan amfetamin dan turunannya (misalnya yang
terkenal dengan ,ecstasy/XTC) Selain dari pada itu penyalahgunaan “zat” atau “bahan”
golongan psikodesleptika miSalnya LSD dan sejenisnya juga mulai muncul, peyalahguna
jenis Ini akan mengalami halusinasi yaitu suatu pengalaman indra tanpa ada sumbernya
(misalnya dengar suara suara tanpa ada sumber/stimulus suara itu)
Penyalahgunaan NARKOBA adalah suatu kondisi yang dapat dikonseptualisasikan sebagai
bentuk gangguan jiwa, sehingga penyalahguna NARKOBA (penderita) tidak lagi mampu
berfungsi secara wajar dalam masyarakat dan menunjukkan perilaku maladaptif (gangguan
penyesuaian diri terhadap lingkungan) Kondisi demikian dapat dilihat pada adaya
(impairment) dalam fungsi sosial, pekerja atau sekolah, ketidakmampuan untuk
mengendalikan diri dan menghentikan pemakaian NARKOBA karena mereka sudah jatuh
dalam keadaan ketergantungan (dependency).
Dari PAR awal peneliti sebagai professional polisi terbukti bahwa kondisi social keluarga
yang tidak harmonis memberikan peluang (risiko relatif) terlibat penyalahgunaan NARKOBA
bila dibandingkan dengan remaja yang dibesarkan dalam kondisi sosial keluarga yang
harmonis. Dari interaksi kepolisian dengan masyarakat termasuk reaksi keluarga tersangka
pecandu penyalahgunaan NARKOBA sering berkaitan dengan kelainan dalam sistim
keluarga, yang mencerminkan adanya kelainan psikopatologik dan satu atau lebih anggota
keluarga. Sehubungan dengan itu, masalah penyalahgunaan NARKOBA juga diidentifikasikan
sebagai penyakit endemik dalam masyarakat modern dan sebagai “penyakit keluarga”.
Ketidakharmonisan keluarga/rumah tangga berarti terganggunya tali kasih sayang
(silaturahmi) antara ayah-ibu-anak. Betapa pentingnya tali kasih sayang ini dalam keluarga,
Allah berfirman dalam surah Asy Syuuraa ayat 23. Dimensi Orang Tua merujuk pada hadis
Nabi Muhammad SAW Di muka yang menyatakan bahwa semua kita orang tua adalah
pemimpin yang akan dimintai pertanggungjawabannya maka siapakah yang dimaksudkan
“orang tua” di sini Dalam hal ini penyalahgunaan NARKOBA, maka pengertian “orang tua”
mengandung tiga arti/dimenSi yaitu (1) orang tua di rumah (ayah dan ibu), (2) orang tua di
sekolah (bapak dan ibu guru) dan (3) orang tua di masyarakat (tokoh masyarakat, pejabat,
agamawan, pengusaha dan aparat). Kunci keberhasilan pencegahan dan penanganan
penyalahgunaan NARKOBA tergantung sejauh mana kita menyadari fungsi serta
tanggungJawab dalam tiga dimensi tersebut di atas, yaitu peran orang tua di rumah, di
sekolah dan di masyarakat. Atas dasar itulah kita semua sebagai orangtua wajib
menciptakan iklim yang baik bagi perkembangan remaja, yaitu suasana rumah
tangga/keluarga harmonis (sakinah), proses belajar mengajar yang baik di sekolah dan
kondisi masyarakat/lingkungan sosial yang tidak rawan.

Remaja kita dalam kehidupannya sehari-hari berada dalam ketiga dimensi tadi, yaitu
dimensi keluarga, sekolah dan masyarakat. Kondisi masing-masing dimensi dan interaksi
antara ketiga dimensi itu akan menghasilkan dampak posïtif maupun negatif pada remaja,
berikut skema penyalahgunaan NARKOBA:
Dampak positif misalnya prestasi sekolah baik, tidak “drops out”, dan tidak menunjukkan
perilaku antisosial Sedangkan dampak negatjf misalnya prestasi sekolah merosot, “drops
out”, dan menunjukkan perilaku antisosial antara lain penyalahgunaan NARKOBA. Oleh
karena itu Pencegahan dan penangana dampak hendaknya ditujukan pada ketiga dimensi
tadi secara utuh, menyeluruh serta tidak sepotong-potong.

Bila terjadi NARKOBA di kalangan remaja kita, maka yang sering terjadj adalah
masing_masing “orang tua” yang berada di ketiga dimensi tadi saling menyalahkan satu
dengan lainnya serta menyangkalnya Bila kita kaji dengan jujur, maka kesalahan terjadi pada
orang tua di dimensi tidak ada dimensi (faktor) yang berdiri sendiri satu dengan Iainnya
saling berkaitan Semakin merebaknya Penyalahgunaan NARKOBA di kalangan remaja kita
merupakan kegagalan ketidakberdayaan dan ketidakpedulian selaku orang tua baik di
rumah, di sekolah, maupun di masyarakat Remaja penyalahguna NARKOBA pada hakikatya
adalah “korban” dan kondisi sosial yang kita Ciptákan, yaitu tatanan masyarakat yang serba
boleh dan longgar (“permissive Society”) serta diabaikannya kaidah-kaidah agama NARKOBA
akhir-akhir ini begitu transparan kita seolah olah “menutup mata” dan “menyangkaliya”
terhadap ulah sementara “orang tua” yang tidak bertanggung jawab, yaitu mereka
pengedar NARKOBA, mereka yang menyediakan sarana/tempat transaksi NARKOBA dan kita
yang memberi peluang sehingga remaja yang masih lugu tidak tahu apa-apa menjadi korban
karenanya justru remaja yang tidak bersalah dan tidak berdosa. Ayat (pasal) dimana
orangtua wajib melaporkan

Bilamana para orang tua dan ketiga dimensi tadi tidak bertindak terhadap mereka yang
tidak bertanggung jawab, maka jangan menyesal manakala korban demi korban akan
semakin bertambah merupakan beban dan penderitaan yang tiada terperikan bagi si remaja
itu sendiri, keluarga dan akhimya masyarakat secara keseluruhan. Bukankah Nabi
Muhammad SAW telah rnemperingatkan, sebuah hadis riwaya At Tirmidzi menyatakan
Artinya:
“Apabila kamu melihat orang yang zalimn dan tidak bertindak terhadapnya, maka
dikhawatirkan Allah menimpakan siksa yang sifatnya menyeluruh “.

Allah berfirman dalam surah Al Maaidah ayat 90-91 sebagai berikut:


Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya minuman keras, judi, berkorban
untuk berhala, dan undian nasib (ramal-meramal) adalah kekejian dan perbuatan
setan. Karena itu jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu peroleh ke
beruntungan. Maksud setan hanyalah menimbulkan permusuhan dan kebencian
antara kamu, karena minuman keras dan judi menghalangi kamu mengingat Allah
dan lengah menunaikan salat. Maka tiadakah kamu berhenti?”.

Dalam surah Al Báqarah ayat 219 Allah berfirman sebagai berikut :


Artinya :
“Mereka menanyakan kepadamu tentang minuman keras dan judi. Katakanlah,
“Pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, sedang
dosa keduanya lebih besar daripada manfaatnya”.

Sebagai ilustrasi penyalahgunaan minuman keras (alkohol), penelitian yang teiah dilakukan
di Amerika Serikat (Cahalan & Cisin 1979) menemukan dampak yang amat luas, yaitu
I. Satu pertiga kecelakaan lalu-iintas disebabkan karena pengemudi di bawah pengaruh
alkohol.
II. Kecelakaan lalu-lintas tersebut menyebabkan kematian sebanyak 25.000 jiwa setiap
tahunnya.
III. Tercatat kematian 15.000 jiwa setiap tahunnya yang berkaitan dengan pembunuhan atau
bunuh diri di bawah pengaruh alkohol
IV. Tercatat kematian 20.000 jiwa setiap tahunnya yang berkaitan dengan penyakit yang
disebabkan oleh penyalahgunaan alkohol.
V. Empat puluh juta anak dan suami/istri menanggung derita mental karena salah seorang
atau lebih anggota keluarganya mendenta ketergantungan alkohol.
VI. Setiap tahunnya terdapat 5 Juta kasus penahanan yang dilakukan oleh polisi yang
berkaitan dengan penyalahgunaan alkohol. Hal ini merupakan 50% dan seluruh kasus
penahanan oleh pihak kepolisian.

Selain dan hal tersebut di atas, berbagai komplikasi medik sebagai akibat penyalahgunaan
alkohol, dikemukakan oleh banyak ahli di bidangnya masing-masing, misalnya gangguan
metabolisme tubuh (Peter, 1982) nutrisi (morgan, 1982), kanker (sistem endokrin (Morgen,
1982), gangguan seksual dan perkembanganjanin (Pratt, 1982). sistem otot (Martin, Slavin,
Levi. 1982) kelenjar pankreas (Bakaar, 1982), penyakit liver (Scheuer, Scherlock, 1982),
system pencernaan (Langman. Bell, 1982). Dan kerusakan jaringan otak (Thomson, Ronn.
1982)
Bagaimanakah dengan narkotika dan zat adiktif lainnya yaltu zat atau bahan yang
menimbulkan ketagihan dan ketergantungañ seperti beberapa jenis ‘obat
terlarang/berbahaya’ yang sekarang ini banyak disalahgunakan oleh sebahagian remaja kita.
Apakah juga harus dilarang dan ‘diharamkan” Bukankah narkotika dan zat adiktif tersebut
bukan termasuk golongan alkohol/minuman keras sebagaimana diutarakandalam kitab suci
AI Quran (surah AI Maaidah 90-91 dan Al Baqarah 219). Untuk menjawab pertanyaan ini,
manlah kita simak hadis Nabi Muhammad S. A. W. sebagaimana di riwayatkan oleh Abdullah
bin Umar ra., sabdanya:
Artinya:
“Tiap zat/bahan yang memabukkan adalah khamr “alkohol” dan sejenisnya.) dan tiap
zat/bahan yang memabukkan adalah haram “.

Sebuah hadis lain yang diriwayatkan oleh Ummi Salamah ra. yaitu:
Artinya:
“Rasulullah SAW. melarang setiap zat/bahan yang memabukkan dan melemahkan”.
Merujuk pada ayat dan hadis tersebut dimuka, maka jelaslah bahwa dan sudut pandang
agama Islam .NARKOBA (Narkotika, Alkohol dan Zat Adiktif lainnya) adalah “haram”
hukumnya padanya ada kegunaan dan kerugian, tetapi kerugiannya jauh lebih besar
daripada kegunaannya.

2.8.5 Dampak Penyalahgunaan NARKOBA pada Kesehatan Jiwa Pecandu


Penyalahgunaan NARKOBA dapat mengakibatkan gangguan mental/jiwa yang dalam istilah
kedokteran jiwa (psikiater) disebut Gangguan Mental. Organik. Disebut “organik” karena
NARKOBA ini bila masuk ke dalam tubuh langsung bereaksi dengan sel-sel saraf pusat (otak)
dan menimbulkan gangguan pada alam pikir, perasaan dan perilaku. Kondisi demikian dapat
dikonseptualisasikan sebagai gangguan jiwa karena NARKOBA. Paling sedikit terdapat 10
jenis zat (NARKOBA) yang sering digunakan secaa non medik (disalahgunakan) untuk
rnèngubah alam perasaan (afek/mood) dan perilaku. Meskipun beberapa dan zat ini
mempunyal kegunaan medik, tetapi bila digunakan dalam situasi yang tidak diawasi dapat
menimbulkan Gangguan Mental Organik.
Gangguan Mental Organik di sebabkan karena efek langsung NARKOBA terhadap susunan
saraf pusat (otak), hal ini dapat dilihat pada perubahan-perubahan neuro-fisiologik dan
psiko-fisiologik pada si pemakai dalam keadaan keracunan (overdosis/intoksikasi) atau
dalam keadaan ketagihan (putus NARKOBA/ “withdrawal”) Dalam kenyataannya terbukti
bahwa kerugian/bahaya pemakaian NARKOBA jauh lebih besar dan kegunaan manfaatnya.
Selain dampak pada diri si pemakai, penyalahgunaan NARKOBA juga berdampak
psikososial/kemasyarakatan sebagai akibat gangguan perilaku yang bercorak antisosial.
Permasalahan yang timbul akibat penyalah gunaan NARKOBA ini (Hawaii, 1990) antara lain:
Pertengkaran-ribut dengan keluarga (93,3%), terlibat perkelahian tindak kekerasan (65,3%),
prestasi sekolah merosot (96%), kecelakaan/kecelakaan lalu-lintas (58,7%).

Bertitik tolak dari hasil penelitian ilmiah yang telah dilakukan, maka badan duma (PBB dan
WHO) telah mengeluarkan berbagai konvensi yang bertujuan terhadap pengawasan serta
larangan NARKOBA berikut segala aspek yang terkait dengan Undang-Undang.
“Pelarangan/Pengawasan” ini dan sudut pandang Islam dapat dianggap sebagai
“pengharaman” sesuai dengan firman Allah dan hadis Nabi tersebut di muka.
Penderitaan dan kerusakan akibat penyalahgunaan NARKOBA ini berdampak luas, tidak
hanya pada diri si pemakai tetapi juga keluarga dan masyarakat secara keseluruhan, yang
pada gilirannya dapat mengganggu ketertiban dan keamanan lingkungan hidup.

2.8.6 ANTISIPASI PENYALAHGUNAAN NARKOBA


(Aspek medic psikiatrik, Psikososial dan Psikoreligius)
Sebagaima telah diuraikan terdahulu bahwa penyalahgaan NARKOBA mempunyai dimensi
yang cukup luas dan sudut medik, psikiatrik kesehatan jiwa maupun psikososial (ekonomi,
politik, sosial-budaya kriminalitas dan lain sebagainya) Penyalahgunaan NARKOBA sangat
kronik, sudah merupakan penyakit endemik dalam masyarakat modern saat ini dan belum
ditemukan upaya penanggulangan secara universal yang memuaskan baik dan sudut
prevensi, terapi maupun rehabilitasi.

Fakta dan data telah banyak berbicara bahwa semakin modern dan industrial suatu negara
maka semakin tinggi masyarakatnya menyalahgunakan NARKOBA. OIeh karena itu, kita
sebagai bangsa dan negara yang sedang berkembang, sudah saatnya mengevaluasi kembali
apa yang telah kita perbuat untuk penyalahgunaan NARKOBA ini, baik dalam bentuk
prevensi terapi dan rehabilitasi. Antisipasi Masa Datang. Perubahan perubahan sosial yang
serba cepat sebagai konsekuensi modernisasi dan industrialisasi telah mempengaruhi
kehidupan manusia, sebagai individu, keluarga, masyarakat dan bangsa. Dalam masyarakat
modern dan industri yang bercorak sekuler, terdapat ketidskpastian fundamental di bidang
hukum, nilai, moral dan etika kehidupan Oleh karena itu, maka satu-satunya kepastian
dewasa ini dan terlebih lagi untuk masa datang adalah ketidakpastian itu sendiri. Terhadap
perubahan-perubahan social tersebut dengan serba ketidakpastiannya tidak semua orang
mampu (terutama remaja) untuk menyesuaikan diri (adaptasi), yang pada giliranya yang
bersangkutan akan jatuh sakit dan salah satu bentuknya adalah penyalahgunaan NARKOBA.
Untuk memperoleh rasa sejahtera (“wellbeing”) masyarakat modern mencarinya dengan
jalan menggunakan NARKOBA dan mengesampingkan agama karena agama dianggap tidak
“rasional” dan penghambat kemajuan serta modernisasi Bagi bangsa Indonesia, maka asas
keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan YME, sebagaimana yang diamanatkan oleh GBHN
(1993) adalah sebagai jawabannya

Sebagai ilustrasi misalnya masyarakat Amerika Masyarakat Amerika sudah merupakan


masyarakat yang berorientasi kepada zat/obat (“drug oriented society”) The National
Institute of Drug Abuse (NIDA), melaporkan bahwa satu dan 11 orang dewasa Amerika
adalah penyalahguna NARKOBA yang berat. Penyalahguna NARKOBA sudah merupakan
penyakit endemik dalam masyarakat modern dan industri Selanjutnya dikemukakan bahwa
satu dari enam remaja Amerika adalah penderita penyalahguna NARKOBA yang berat.
Mengantisipasi tantangan masa datang, bila pada masa lalu negara Indonesia dianggap
sebagai tempat “transit” maka gejala dewasa ini dan yang akan datang akan menjadi
sasaran “marketing” bagi peredaran narkotika, psikotropika, alkohol dan zat adiktif lainnya.
BAB VII : Penelitian Terdahulu

No Nama Penulis Judul Hasil


1
2 Marcelina Resti Implementasi Berdasarkan hasil penelitian ini mengenai
Permata Kebijakan analisis Implementasi Kebijakan Peraturan
Peraturan Daerah Daerah Nomor 8 Tahun 2005 tentang
(universitas Nomor 8 Tahun Pelarangan Pelacuran di Kota Tangerang,
Indonesia, ilmu 2005 Tentang dapat disimpulkan bahwa penertiban yang
Sosial dan Pelarangan dilakukan oleh Satpol PP Kota Tangerang telah
Politik) Pelacuran Di Kota mengikuti SOP (Standard Operational
Tangerang Procedur) yang ditentukan, oleh sebab itu
kegiatan operasi atau razia yang dilakukan
selama empat kali dalam sebulan di hotel-
hotel serta ruas jalan telah dapat mengurangi
jumlah pelacur atau PSK di Kota Tangerang
sejak tahun 2006 hingga tahun 2012. Hasil
penertiban Perda Nomor 8 Tahun 2005
menunjukkan tingkat pelacuran atau prostitusi
berkurang sejak tahun 2006 hingga 2012
meskipun terjadi perbedaan persepsi antara
data tersebut dengan hasil penelitian penulis
di lapangan pada narasumber berbeda yang
menunjukkan bahwa tahun 2012 terjadi
operasi penertiban yang menghasilkan
beberapa PSK “wajah lama” diciduk kembali.
Selain itu, hasil penertiban yang dilakukan
oleh petugas satpol PP menunjukan fenomena
maraknya kasus perselingkuhan.

Dari dua penelitian terdahulu diatas dapat disimpulkan bahwa kedua penelitian tersebut
hanya membahas sebatas impelementasi kebijakan dalam penertiban kegiatan prostitusi
dan penanggulan pekerja seks komersial. Dalam penelitian Implementasi Kebijakan
Pemerintah Daerah dalam Penindakan kegiatan prostitusi provinsi banten ini, peneliti
mencoba melakukan kajian lebih dalam dari segi bagaimana proses Implementasi Kebijakan
tersebut dalam menanggulangi kegiatan prostitusi di provinsi banten.
BAB VIII : Kerangka Berfikir

Pengetahuan yang didapat dari pelatihan fungsional bidang keahlian khusus Kepolisian dan
wawasan praktis pemahaman lebih akan zat adiktif berbahaya, penyalahgunaan obat-
obatan, reaksi kimia dalam tubuh pengguna (abuser/ user), wawasan pengalaman
peredarannnya di masyarakat berkontribusi skill analisis bangunan formuliasi derajat
abusive drugs yg beredar di masyarakat. Kelebihan PAR dalam thesis ini dimanfaatkan
peneliti untuk merekonstruksi framework kebijakan yang ada baik terkait langsung maupun
tidak langsung dg SKB tujuh menteri. Peneliti berargumen dalam PAR ini bahwa tanpa
sinkronisasi dan daya koordinatif tepat, baik PP, Perda maupun turunanya sebagai alat
eksekusi UU Narkoba akan menjadi malfungsi dan bahkam mungkin membuka celah 'grey
area' bagi eksekutor mengambil benefit yang tidak semestinya dengan alasan mispersepsi
dan atau perbedaan interpretasi.

Bagan Kerangka Berfikir Penjelasan Penelitian PAR


(Sumber: Adapsi dari Stephen Kemmis and Robin McTagart Rhonda Nixon: 2014:21)
1. BAGAIMANA IMPLEMENTASI PERBER DI WILY HUKUM POLDA BANTEN ?
2. BAGAIMANA KEBIJAKAN PEMDA PROP. BANTEN (PERDA, PERGUB) ?
3. BAGAIMANA MUNCULNYA ARTIFICIAL DRUG ?
4. SIAPAKAH YG SEBENARNYA DAN SEHARUSNYA MENDAPAT DAMPAK KEBIJAKAN ?

1. UU 35 2009 4. SEMA 4 2010


DOCUMENT 2. UU 36 2009 5. SEJA 002/A/JA/02 2013
3. PP 25 2011 6. PERBER 7 LN 2014
BEFORE

1. FGD
SHARE 2. NARRATIVE INTERVIEW
3. CRITICAL REFLECTION

1. MENGGUNAKAN PARADIGMA CST (CRITICAL SYSTEMIC


THINKING)
2. PENCARIAN AKAR MASALAH DARI AKAR-AKAR MASALAH YG
DISCUSS ADA MENUJU PEMECAHAN MASALAH
3. MENGKAJI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN YG ADA-EKSPLORASI
PERMASALAHAN IMPLENTASI

1. MENCARI RESOLUSI ALTERNATIF UTK PECANDU NARKOTIKA


2. MEMBUAT RANCANGAN USULAN PERDA/PERGUB NARKOBA
RECOMEND DI PROP BANTEN
3. MENGKAJI PELUANG PENDEKATAN LEGAL ACTION LAIN

1. PENYELIDIKAN TP NARKOBA
2. PENYIDIKAN TP NARKOBA
3. ASSESMENT TSK
4. PENGGUNAAN IT DLM UNGKAP KASUS
ACTION8 5. KOORDINASI DAN SINERGITAS CJS
6. KOORDINASI LINTAS SEKTOR (BNN, BPOM)
END

7. KOORDINASI DGN AKADEMISI PEGIAT -ANALIS KEBIJAKAN


8. KOORDINASI DGN TOMA DAN TOMAS
9. KOORDINASI DGN LSM ANTI NARKOBA

1. MELAKUKAN EVALUASI KRITIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN


PERBER 7 LN 2014,
2. MENGAWAL LANGKAH AKSI EKSEKUSI KEBIJAKAN LAPANGAN
REFLECT
3. MENERAPKAN KONSEP USUNGAN PERBER 7 LN DIPADU
TELAAHAN KONSEPTUAL DLM RANAH EKSEKUSI KEBIJAKAN DI
RESNARKOBA DLM PENYELIDIKAN DAN PENYIDIKAN TP NARKOBA

1. TERWUJUDNYA KOORDINASI DAN KERJASAMA DALAM MENURUNKAN JUMLAH PECANDU


NARKOTIKA MELALUI PROGRAM PENGOBATAN,PERAWATAN, DAN PEMULIHAN.
2. TERLAKSANAANNYA PROSES REHABILITASI MEDIS/SOSIAL DI TINGKAT PENYIDIKAN,
PENUNTUTAN, PERSIDANGAN DAN PEMIDANAAAN SECARA SINERGIS DAN TERPADU.
3. TERDUKUNGNYA IMPLEMENTASI PERBER 7 LN OLEH PEMDA DENGAN PERDA/PERGUB
2.9 Asumsi Dasar
Penafsiran definisi 'kebijakan publik' yang oversimplified (terlalu menyederhanakan)
cenderung menghasilkan produk kebijakan dengan solusi sementara, dan hanya
menyelesaikan sebagian masalah dari kompleksitas permasalahan sebenarnya. 'Policy cycle'
adalah tahapan proses pembuatan kebijakan (policy-making) yg tidak terputus (Agustino
dan Riswanda 2017). Artinya tahapan formulasi, analisis, implementasi, evaluasi (dan
berujung ke re-formulasi) tidak dapat dipahami secara terpisah. Saling keterkaitan diantara
tahapan tersebut justru yang terkadang menjadi 'missing link' (penyambung uraian benang
kusut permasalahan) re-solusi kebijakan dari sebuah isu publik terutama saat kajian
dihadapkan pada polemik fenomena isu sosial dengan karakter 'sistemik'.
Fenomena Gunung Es Penyalahgunaan Narkoba

Simpang-siur dan bauran pemahaman akan


illicit/ illegal drugs, narcotics, drugs, drugs
abuse, abusive, abuser, user terciptanya

Pemahaman
Perber 7 penegak hukum
LN sendiri

Missing links, akar masalah (root


problems) dari Strategi kebijakan
penanganan isu Narkoba di masyarakat,
Artificial
merujuk pada rumusan masalah yang ada
drugs
Typologi salah satunya adalah grey areas dimana
motivasi Penyalahguna,
interpretasi tidak sehaluan pengedar celah
membuka
akan terus ber-regenerasi
individu malfungsi kebijakanterdapat benefit
(masyarakat) (keuntungan) dari kedua sisi
sampai kepada Strategi kebijakan penanganan isu Narkoba
mereka menjadi di masyarakat dimulai dari rantai supply
Sumber DEMAND
penyalahguna peredaran: “Bandar Besar”-“Broker”-
drugs terus
s/d pecandu Sumber SUPPLY drugs “kurir”-“pemesan”penyalahguna
berganti, dimana
Critical
Termasuk reflection
terusdalam hal ini,
berganti selain kekuatan reserse
penambahan
typology ‘sporadis’ jumlah apparat
motivasi
pengedar
narkoba progresif melakukan counter act aksi peredaran, pemilikan dan penggunaan, dapat
juga dimaknasi besar atau tingginya demand pasar atas konsumsi narkotika dan obat-obatan
terlarang. Pandemic masyarakat atau lebih dikenal dengan jargon 'penyakit masyarakat'
tampaknya tepat dilabelkan melihat fenomena narkoba saat ini. Artinya, seperti juga
'penyakit masyarakat' lainnya seperti prostitusi, fenomena gunung es juga berlaku untuk
penganan narkoba, lebih lagi jika penekanan pada 'penanganan' adalah pokok tujuan sesuai
amanat UU Narkotika. Lebih tepatnya, masalah baru muncul dimana masalah lama belum
(tuntas) terselesaikan. Fenomena gunung es ini dapat dilihat dari munculnya artificial drugs
sebagai masalah baru sementara solusi strategis kebijakan penanganan jenis drugs yang ada
beredar terus berjalan, dan belum juga menghasilkan kapabilitas solusi pada capaian bebas
narkoba salah satunya. Produksi lokal narkoba jenis amphetamine type stimulan, contoh
bisa dikatakan berhasil ditekan untuk kemudian digantikan supply import siap edar maupun
bahan baku dari luar Indonesia.

Bab dua telah memuat kajian teoretik seputar pendekatan kebijakan publik dihubungkan
dengan fokus dan lokus Surat Keputusan Bersama tujuh Lembaga Negara tahun 2014.
Diskusi konseptual-prasktis (‘praxis’) nantinya akan mengarah pada pencarian pendekatan-
pendekatan resolutif langkah aksi dalam pro-kontra kritik 'kriminalisasi' pengguna narkoba.
Pemaparan diskusi merunut dari kajian literatur perspektif justice, religious etis dan langkah
strategis kebijakan anutan pemerintah Indonesia menghadapi permasalahan narkoba,
khususnya perlakuan terhadap 'pengguna'.
Poros diskusi adalah pada ‘continuum’ legalisasi, kriminalisasi, dekriminalisasi dan pencarian
pendekatan alternatif progresif menyesuaikan lingkup kontekstual Indonesia, khususnya
regional Banten dengan warna kelokalan tersendiri.

BAB IX : Pelaksanaan DDR Oleh Pemerintah


BAB X : Pengalaman Peneliti Dalam DDR (PAR)/ Metode Penelitian

PAR (Partisipatory Action Research)


Fokus dan sub fokus PAR, Penafsiran definisi 'kebijakan publik' yang oversimplified (terlalu
menyederhanakan) cenderung menghasilkan produk kebijakan dengan solusi sementara,
dan hanya menyelesaikan sebagian masalah dari kompleksitas permasalahan sebenarnya.
'Policy cycle' adalah tahapan proses pembuatan kebijakan (policy-making) yg tidak terputus
(Agustino dan Riswanda 2017). Artinya tahapan formulasi, analisis, implementasi, evaluasi
(dan berujung ke re-formulasi) tidak dapat dipahami secara terpisah. Saling keterkaitan
diantara tahapan tersebut justru yang terkadang menjadi 'missing link' (penyambung uraian
benang kusut permasalahan) resolusi kebijakan dari sebuah isu publik terutama saat kajian
dihadapkan pada polemik fenomena isu sosial dengan karakter 'sistemik'. Apa, bagaimana
dan mengapa knowledge dan experience Polisi, terutama dalam satuan reskrim Narkoba
kontributif (termasuk sebelum dimulainya riset/ thesis ini) adalah sbb:

Polisi sebagai
bagian Pengalaman
(integral) dari Profesional
masyarakat Peneliti di
Direktorat
Satker Narkoba

Pola pikir, pemahaman


dan pengetahuan
prosesional yang
dituangkan secara
konseptual-praktis dalam

Mackay, M. (2016). Making sense of critical participatory action research. Reflections on the Action
Research Planner: Doing Critical Participatory Action Research. International Practice Development
Journal, 6 (2), 1-3.
Permasalahan narkoba di tengah masyarakat bagi satker narkoba adalah sebuah dinamika.
mengapa?
Cycle 1, Jenis narkotik terus silih berganti seiring bergulirnya waktu dan berubahnya pola
hidup masyarakat. Semisal, dari jenit halusinotik opiat ke amphetamik stimulan
Cycle 2, pun pola peredarannya. Pengedar, bandar, broker dan kemudian sampai ke
pengguna secara progresif terus mengembangkan metoda, bahkan sistem, baru peredaran
narkoba. Perkembangan teknologi informatika misal menjadi salah satu indikator
pengbangan.
Cycle 3, sejalan berubahnya rantai supply, diikuti perkembangan rantai demand. Tipologi
pengguna dan penggunaan berubah, misal dominasi hedonistik (pencarian kesenangan
total) ke 'pendampingan' atau penyokong daya tahan tubuh untuk bekerja diluar ambang
batas ketahanan normal. Meskipun pada hampir semua (kasus) penggunaan drugs lebih
merupakan rekayasa dan atau modifikasi fungsi syaraf, baik itu jenis halusinogen maupun
stimulan (dua kategori abuse umum ditemukan di Indonesia), and uniknya kebanyakan
penyalahguna (abuser) sampai ke tingkat pecandu (addicts) tidak menyadari apalagi
memahami fakta sebenarnya dari drugs yang digunakan.

Siklus ‘pengembangan’ refleksi langkah aksi PAR

Paparan paragraph dan ilustrasi diatas menjelaskan aspek gubahan PAR yang digunakan
peneliti selama berdinas di Kepolisian, khususnya saat berada di satuan (penanganan)
narkoba. 'Study and plan', polisi dibekali konsep dan strategi melalui pelatihan. Lalu 'take
action' adalah dimana polisi terjun langsung ke lapangan dan ‘testing out' konsep-strategi
tadi. 'Analyse and Collect Evidence' yaitu dimana progres pemahaman polisi bertambah
seiring knowledge yang didapat dari pemahaman perkembangan di masyarakat terpaut
'dinamisasi' isu narkotika seperti dalam paparan sebelumnya (cycle 1-cycle 2-cycle 3).
Reflective inquiry yang dapat ditarik adalah bagaimana (how) dan mengapa (why) strategi
kepolisian pun turut mengalami dinamika perkembangan kaitannya dengan penanganan isu
narkoba, seperti ilustrasi berikut:
P

Penyelidika Penyidikan: Penahanan:


n:
- -
-
- -

Simpulan gambaran ‘pengembangan’ pola aksi PAR thesis ‘Kriminalisasi Pecandu Narkotika:
Implementasi Peraturan Bersama Tujuh Lembaga Negara di Wilayah Hukum Polda Banten’

PAR thesis ini mengusung Participative Narrative Inquiry dengan jenis wawancara 'narrative
interview' untuk menghasilkan 'reflective inquiry' jeda dengan in-depth interview / sering
disebut wawancara mendalam. Bedanya pada narrative interview peneliti PAR melalukan
'making sense of story' secara partisipatif ikut terlibat dalam cerita bukan sebagai
pewawancara dengan panduan catatan pertanyaan, tapi lebih kepada misal seorang kawan
mendengarkan kawannya bercerita dengan antusias, disitulah term 'participatory' lahir. Sisi
lain, mereka yang menjadi sumber informan kita juga tidak dalam keaadaan 'diwawancara'
(dan memang bukan).

Hasilnya peneliti (pendengar) konseptualisasi sebagai hasil temuan penelitian, sebagai salah
satu kelebihan PAR dibanding tools kualitatif lainnya, menempatkan peneliti secara definitif
adalah tools itu sendiri. Oleh sebab itu peneliti PAR adalah mereka yang wholeheartedly
ingin melalukan sebuah perubahan pada sebuah keadaan.

Action, berangkat dari keprihatinan, kekecewaan, kemarahan, kemuakan, kesabaran,


kemauan, kegigihan, kekaguman dan afeksi emosional lainnya. Emotions menurut
(McIntyre-Mills 2009, 2011) adalah salah satu variabel penting dalam kita mengkaji sebuah
masalah sosial secara kualitatif, dimana unsur subjektifitas tidak dapat dihindari, karena
dengan ini akan muncul variabel lain seperti empathy.

Dalam studi penelitian, penggunaan pendekatan metodologis PAR merupakan suatu langkah
yang harus ditempuh, agar hasil-hasil yang sudah terseleksi dapat terjawab secara valid,
reliabel dan obyektif, dengan tujuan dapat ditemukan, dibuktikan dan dikembangkan suatu
pengetahuan, sehingga dapat digunakan untuk mamahami, memecahkan, dan
mengantisipasi masalah dalam bidang administrasi publik. Pada penelitian tesis ini, metode
penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif kualititatif. Penelitian kualitatif yaitu
suatu pendekatan penelitian yang menggunakan data berupa kalimat tertulis atau lisan,
perilaku, fenomena, peristiwa-peristiwa dan pengetahuan atau obyek studi. Pendekatan ini
menitikberatkan pada pemahaman, pemikiran dan persepsi peneliti.

Penelitian dalam tesis ini menggunakan pendekatan metodologis penelitian kualitatif


dengan pendekatan ‘Kriminalisasi Pecandu Narkotika: Implementasi Peraturan Bersama
Tujuh Lembaga Negara di Wilayah Hukum Polda Banten’. Penelitian kualitatif dilakukan pada
kondisi alamiah dan bersifat penemuan. Dalam penelitian kualitatif instrumen adalah kunci.
Oleh karena itu, penelitian harus memiliki bekal teori dan wawasan yang luas jadi bisa
bertanya, menganalisis, dan mengkonstruksi obyek yang diteliti menjadi lebih jelas.
Penelitian kualitatif digunakan jika masalah belum jelas, untuk mengetahui makna yang
tersembunyi, untuk memahami interaksi sosial, untuk mengembangkan teori, untuk
memastikan kebenaran data.

Menurut Kirk dan Miller (1986), penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu
pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan pada manusia
baik dalam kawasannya maupun dalam peristilahannya.Menurut Danzin dan Lincoln (1987),
penelitian kualitatif adalah penelitian yang menggunakan latar alamiah, dengan maksud
menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai
metode yang ada. Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan
untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, (sebagai lawannya adalah eksperimen) di
mana peneliti adalah sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara
triangulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif
lebih menekankan makna dari pada generalisasi. Menurut Yoland Wadworth, Participatory
Action Research (PAR) (1998: 2) adalah deskripsi penelitian sosial per se (meskipun
penelitian sosial yang lebih sadar asumsi yang mendasarinya, dan alam kolektivis,
konsekuensi aksinya dan nilai-nilai penggerak.
Pilihan sekat penelitian antara kajian administrative kelembagaan negara dan investigasi
kebijakan pemerintah cenderung membatasi penliti dan pegiat administrasi publik di aspek
tertentu saja dari sebuah permasalahan publik yang justru sistemik. Pada tataran tertentu,
kompleksitas permasalahan publik kontemporer memerlukan solusi kebijakan yang
progresif, wadah pendekatan kebijakan yang diusulkan, semesetinya sanggup menampung
varian wacana dan kemajemukan sudut pandang terhadap sebuah permasalahan kebijakan
(Riswanda : 2016)

Pada dasarnya, PAR merupakan penelitian yang melibatkan secara aktif semua pihak-pihak
yang relevan (stakeholders) dalam mengkaji tindakan yang sedang berlangsung (dimana
pengalaman mereka sendiri sebagai persoalan) dalam rangka melakukan perubahan dan
perbaikan ke arah yang lebih baik. Untuk itu, mereka harus melakukan refleksi kritis
terhadap konteks sejarah, politik, budaya, ekonomi, geografis, dan konteks lain-lain terkait.
Yang mendasari dilakukannya PAR adalah kebutuhan kita untuk mendapatkan perubahan
yang diinginkan (Agus Afandi, dkk, 2013:41). Didalam Wikipedia PAR adalah : adalah sebuah
pendekatan untuk penelitian dalam masyarakat yang menekankan partisipasi dan tindakan.
Ini berusaha untuk memahami dunia dengan mencoba untuk mengubahnya, kolaboratif dan
mengikuti refleksi. PAR menekankan penyelidikan kolektif dan eksperimen didasarkan pada
pengalaman dan sejarah sosial. Dalam proses PAR, "komunitas penyelidikan dan tindakan
berkembang dan pertanyaan alamat dan masalah yang signifikan bagi mereka yang
berpartisipasi sebagai co-peneliti".

Menurut Reason, P. and Bradbury, H. (2008), PAR kontras dengan banyak metode
penelitian, yang menekankan peneliti tertarik dan reproduktifitas temuan. Menurut
Chevalier, J.M. and Buckles, D.J. (2013), praktisi PAR melakukan upaya untuk
mengintegrasikan tiga aspek dasar pekerjaan mereka: partisipasi (hidup dalam masyarakat
dan demokrasi), tindakan (keterlibatan dengan pengalaman dan sejarah), dan penelitian
(kesehatan dalam pemikiran dan perkembangan ilmu pengetahuan).

3.2. SUBJEK PENELITIAN(PAR)


Dalam prakteknya. PAR, peneliti/praktisi PAR tidak memisahkan diri dari situasi masyarakat
yang diteliti, melainkan melebur kedalamnya dan bekerja bersama warga dalam melakukan
PAR. PAR membahas kondisi masyarakat berdasarkan sistem makna yang berlaku di situ,
bukan menurut disiplin ilmu tertentu di luar budaya masyarakat tersebut. PAR tak bisa lagi
berposisi “bebas nilai” dan tidak memihak seperti yang dituntut ilmu pengetahuan sebagai
syarat obyektivitas, melainkan harus memihak pada kelompok yang lemah, miskin,
dirugikan, dan menjadi korban. Selain itu, PAR tidak berhenti pada publikasi hasil riset
(laporan) dan rekomendasi untuk riset berikutnya, melainkan berorientasi pada perubahan
situasi, peningkatan pengetahuan dan kemampuan masyarakat warga untuk memahami dan
mengubah situasi mereka menjadi lebih baik.

Penentuan Informan
Jenis Informan Nama Informan Lokasi Wawancara

Informan pemegaang otoritas eksekusi


kebijakan dari sektor Kepolisian, BNN, Lembaga sektoral
Pemangku Kejaksaan, Kehakiman, Kumham, informan tetulis
Kebijakan Kesehatan, Sosial
Informan eksekutor kebijakan lapangan
Lembaga sektoral
dari sektor Kepolisian, BNN, Kejaksaan,
informan tetulis
Kehakiman, Kumham, Kesehatan, Sosial
Lapas, Lokasi
Penyalahguna: pengguna dan pecandu
Penyidikan
Pengedar, kurir narkoba Provinsi banten
Pengguna
(User)
Masyarakat keluarga korban narkoba Provinsi banten
Tokoh Agama (MUI, Kemenag—Bidang
Pembinaan Kerukunan Antar Umat Provinsi banten
Beragama)
Gerakan Anti Narkoba Nasional (GANNAS) Provinsi banten
Sumber: Data diolah peneliti

3.3. METODE DAN ALAT KERJA PAR


PAR diartikan sebagai kegiatan riset yang dilaksanakan secara partisipatif di antara
masyarakat warga dalam suatu komunitas/lingkup sosial yang lebih luas untuk mendorong
terjadinya aksi-aksi transformatif (perubahan kondisi hidup yang lebih baik). Dengan
demikian, PAR tidak berhenti pada kegiatan riset semata, namun berlanjut pada
pemberdayaan anggota komunitas secara partisipatif untuk melakukan sejumlah aksi demi
perbaikan kondisi hidup mereka sendiri.

PAR muncul sebagai pengembangan riset-riset konvensional sebelumnya. Perbedaannya


dari riset-riset konvensional adalah bahwa peneliti/praktisi PAR tidak mengambil jarak dari
situasi masyarakat yang diteliti seperti dalam riset-riset konvensional, melainkan melebur ke
dalamnya dan bekerja bersama warga masyarakat setempat dalam melakukan PAR,
membahas kondisi implementasi kriminalisasi pecandu narkoba berbasis keputusan
bersama tujuh lembaga negara, sistem makna yang berlaku di situ, bukan menurut disiplin
ilmu tertentu di luar budaya masyarakat tersebut. RAP tak bisa lagi berposisi “bebas nilai”
dan tidak memihak seperti yang dituntut ilmu pengetahuan sebagai syarat obyektivitas,
melainkan harus memihak pada kelompok yang lemah, miskin, dirugikan, dan menjadi
korban.

Selain itu, PAR tidak berhenti pada publikasi hasil riset (laporan) dan rekomendasi
pengembangan atau usulan riset berikutnya, melainkan berorientasi pada perubahan
situasi, peningkatan pengetahuan dan kemampuan masyarakat warga untuk memahami dan
mengubah situasi mereka menjadi lebih baik. Singkatnya, PAR sungguh-sungguh mengambil
bagian dalam proses penyadaran dan pemberdayaan masyarakat seperti yang diteladankan
Paulo Freire dari Brasil sejak tahun 1960-an dan para pengikutnya yang terus berkembang
dewasa ini (Freire, 1972; Freire, 2001).
Sesuai istilahnya, PAR memiliki tiga pilar utama, yakni metodologi riset, dimensi partisipasi,
dan dimensi aksi. Sebagai sebuah riset, PAR mengacu pada sejumlah metodologi ilmiah yang
sudah dikembangkan selama ini, khususnya dalam pendekatan fenomenologis dan
kualitatif. Seluruh pengumpulan dan pengolahan data dilakukan bersama anggota
komunitas secara partisipatif. Peneliti/praktisi RAP tidak pernah bekerja sendirian. Ia lebih
memfungsikan dirinya sebagai fasilitator bagi anggota komunitas dalam memahami situasi
mereka sendiri dalam rangkaian kegiatan RAP.

Semakin banyak anggota komunitas terlibat dalam RAP, semakin baik. Selanjutnya, RAP
harus melahirkan gagasan-gagasan, rencana-rencana, dan kesepakatan-kesepakatan di
antara anggota komunitas untuk melakukan aksi-aksi tertentu untuk memperbaiki kondisi
hidup mereka bersama, berdasarkan temuan-temuan bersama pula dari kegiatan
pengumpulan dan pengolahan data.
PAR lebih didasari paradigma (cara berpikir) fenomenologis, atau seringkali pula disebut
paradigma interpretivisme, subyektifisme atau definisi sosial. Paradigma ini didasari asumsi
bahwa realitas sosial berlaku secara khas, subyektif dan kontekstual secara ruang dan
waktu, sehingga peneliti perlu memahaminya dengan cara menginterpretasikan fenomena
tersebut secara mendalam dalam konteksnya yang khas, tanpa perlu merisaukan
representasinya atas fenomena lain yang sejenis, yang biasa dilakukan dengan analisis
statistika sesuai paradigma fungsionalisme, obyektifisme atau fakta sosial (Sanapiah Faisal.
Dalam Bungin, 2003, 3-17) Pendekatan ini dipilih karena situasi dan masalah yang diteliti
bukan berujud sesuatu yang sangat terukur secara kuantitatif, melainkan situasi dan
masalah yang masih sedang berkembang dan mungkin memiliki beragam aspek sosial.

Berdasar paradigma tersebut, pendekatan PAR sesungguhnya lebih bersifat kualitatif


daripada kuantitatif. Namun, hal ini tidak menghalangi dimanfaatkan data-data yang
bersifat kuantitatif dan metode-metode pengumpulan dan analisis data kuantitatif dalam
PAR, dengan catatan kuantifikasi situasi sekadar sebagai alat bantu dan tidak boleh
mereduksi fenomena sosial yang faktual terjadi dan dipahami melalui PAR itu sendiri. Jadi,
metode PAR terbagi dalam duatipe, yakni Eksplanatif dan Tematik. PAR Eksplanatif
memfasilitasi komunitas/masyarakat untuk berpartisipasi dalam menganalisis kebutuhan,
permasalahan, dan solusinya sebelum merencanakan aksi transformatif. Sedangkan PAR
Tematik menganalisis program aksi transformatif yang sudah berjalan, sebagai alat evaluasi
dan pengamatan (monitoring). Dengan memanfaatkan kekayaan riset-riset konvensional
yang masih terus berkembang, PAR melengkapi diri dengan banyak metode dan alat
kerja.Untuk mengumpulkan data lapangan dan menganalisisnya, PAR memiliki metode
berbagi cerita (sharing), wawancara mendalam(in-depth interview) dan diskusi kelompok
terfokus (focus group discussion/FGD). Dalam FGD misalnya, partisipan atau informan tidak
sebatas berdiskusi dalam posisi duduk, melainkan bisa berdiskusi dalam dinamika tertentu
dengan menggunakan alat kerja tertentu, misalnya pemetaan gagasan (mind mapping),
diagram pohon masalah (problem tree), grafik kecenderungan (trend lines), matriks
peringkat atau skala prioritas (ranking), dsb. Bahkan, penggalian informasi dari partisipan
bisa dilakukan melalui permainan peran(role-play).Dalam dinamika tersebut,
partisipan/informan berpeluang lebih besar mengungkapkan pengalaman, gagasan, dan
refleksi mereka secara lebih terbuka karena terbantu dengan sejumlah alat kerja yang
memudahkan pengamatan (visual) dan kegiatan yang dinamis/tidak kaku.

3.2. PROSEDUR PAR


3.2.1. Riset Pendahuluan
Riset pendahuluan secara praktis sudah dilaksanakan peneliti dikarenakan peneliti
merupakan bagian atau anggota lembaga atau pegawai pada Pemangku Kebijakan, terpaut
hubungan profesionalitas kerja dengan :
Informan pemegaang otoritas eksekusi kebijakan dari sektor Kepolisian, BNN, Kejaksaan,
Kehakiman, Kumham, Kesehatan, Sosial; Informan eksekutor kebijakan lapangan dari sektor
Kepolisian, BNN, Kejaksaan, Kehakiman, Kumham, Kesehatan, Sosial Lembaga sektoral
informan tetulis; Pengguna (User), Penyalahguna: pengguna dan pecandu Lapas, Lokasi
Penyidikan Pengedar, kurir narkoba Provinsi banten
1) Masyarakat keluarga korban narkoba Provinsi banten
2) Tokoh Agama (MUI, Kemenag — Bidang Pembinaan Kerukunan Antar Umat
Beragama) Provinsi banten
3) Gerakan Anti Narkoba Nasional (GANNAS) Provinsi banten
Dalam riset pendahuluan peneliti melakukan observasi aktivitas profesional satker narkoba
yang dilaksanakan sehari-hari, hubungan dengan orang lain diluar komunitas/komunikasi
antar pegawai dengan sub bidang lain, perilaku dan kebiasaan, pelaksanaan pekerjaan dan
yang paling utama dari riset pendahuluan ini adalah upaya mengendus atau melihat
permasalahan yang ada. Dalam langkah ini, peneliti juga akan melakukan proses pendekatan
sebagai upaya trust building (membangun kepercayaan). Maka dari itu, peneliti akan
berusaha untuk bersikap netral, pendekatan yang akan peneliti lakukan melalui strategi
diatas.
Riset pendahuluan ini berguna sebagai pijakan untuk masuk pada analisis lebih jauh, riset ini
juga akan mempermudah peneliti untuk memperoleh data dan menentukan langkah
penelitian selanjutnya.
Dalam riset pendahuluan peneliti mengumpulkan data melalui wawancara (interview),
Fokus Grup Diskusi, untuk melihat seberapa besar kapasitas dan kapabilitas anggota
lembaga serta mengeksplorasi kebutuhan stakeholder.
3.2.2 Pengorganisasian Anggota Komunitas Untuk Agenda Riset
1. Membentuk Kelompok
Setelah riset pendahuluan dilalui, peneliti akan membangun kelompok yang beranggotakan
2(dua) orang pelaksana, 2(dua) orang pejabat kepolisian level AKBP, 2(dua) orang pejabat
BNN, Kelompok yang baik di sini bukan berarti yang memiliki banyak anggota tetapi kurang
solid. Sebaliknya, enam orang sudah dianggap cukup asalkan benar-benar solid dan aktif.
Kelompok-kelompok yang akan dibangun bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan,
wawasan dan membangun kesamaan persepsi mengenai Implementasi Kriminalisasi
Pecandu Narkotika kaitannya dengan SKB tujuh lembaga negara di wilayah hukum Banten.
2. Melakukan Analisis Masalah
Dalam pertemuan keompok akan diadakan Focus Group Discussion (FGD), yaitu diskusi
mengenai permasalahan tertentu sesuai dengan permasalahan yang telah disepakati
sebelumnya dalam FGD inilah pendidikan populer dilancarkan, para partisipan diajak untuk
mengkaji permasalahannya, mencari penyebab, dan melihat dampaknya. Pelaksanaan
teknik-teknik PAR seperti daily routines, kalender musim, analisis kelembagaan, consumer
needs dan lainnya juga berupa diskusi. Dialog interaktif yang terbangun diharapkan dapat
membuka wawasan, pemahaman, serta kesadaran pegawai dan stakeholderr akan hak dan
kewajibannya.
3. Merumuskan Masalah
Dari hasil FGD biasanya akan muncul beberapa masalah, anggota kelompok merumuskan
masalah mendasar khususnya yang berkaitan dengan Kriminalisasi Pecandu Narkoba dengan
analisis tematik adalah cara mengidentifikasi tema-tema yang terpola dalam suatu
fenomena. Tema-tema ini dapat diidentifikasi, dikodekan secara induktif (data driven) dari
data kualitatif mentah (transkrip wawancara, biografi, rekaman video, dan sebagainya)
maupun secara deduktif (theory driven) berdasarkan teori maupun hasil penelitian
terdahulu (Boyatzis, 1998, dalam Hendriani Wiwin 2012). Penggunaan masing-masing teknik
secara khusus akan berbeda, tergantung dari tujuan penelitian. Namun demikian penelitian
ini mencoba menerapkan kedua langkah analisis tematik tersebut dalam mengkaji 1 kasus
tentang Implementasi Peraturan Bersama Tujuh Lembaga Negara terpaut Kriminalisasi
Pecandu Narkoba di Wilayah Hukum Polda Banten.
3.2.3. Merencanakan Tindakan/Aksi
1. Mengorganisir Gagasan
Hasil-hasil FGD khususnya dalam pelaksanaan teknik-teknik PAR akan dianalisis sebagai
dasar untuk melakukan perencanaan pemecahan masalah, setelah matrik ranking masalah
ditetapkan bersama, maka langkah selanjutnya adalah merencanakan bersama upaya
pemecahan masalah. Dalam tahap perencanaan ini, ide dan gagasan dari partisipan
diinventarisir terlebih dahulu, untuk kemudian diputuskan bersama-sama gagasan yang
dipilih.
2. Mengorganisir Sumber Daya/Potensi
Gagasan pemecahan masalah yang telah ditetapkan harus mempertimbangkan potensi dan
sumber daya yang dimiliki, koordinator sebelumnya harus sudah menginventarisir siapa
memiliki potensi dan sumber daya apa, begitu seterusnya hingga keragaman sumber daya
yang dimiliki dapat saling melengkapi guna mendukung jalannya aksi.
3. Menyusun Strategi Gerakan
Lembaga dan stakeholder menyusun strategi gerakan untuk memecahkan problem wajib
belajar pendidikan sembilan tahun yang telah dirumuskan, di dalamnya, lembaga
menentukan langkah-langkah sistematik, menentukan pihak yang terlibat diluar anggota
lembaga misalnya stakeholders, dan merumuskan kemungkinan keberhasilan dan kegagalan
program yang direncanakan serta mencari resolusi kebijakan.
3.2.4. Tindakan/Aksi
Hasil perencanaan aksi selanjutnya diimplementasikan secara simultan dan partisipatif
antara lembaga dan stakeholder Pemecahan persoalan wajib belajar pendidikan sembilan
tahun bukanlah sekedar untuk menyelesaikan persoalan itu sendiri, tetapi merupakan
proses pembelajaran anggota, sehingga terbangun pranata baru dalam komunitas dan
sekaligus memunculkan community organizer (pengorganisir dari komunitas) dan akhirnya
akan muncul local leader (pemimpin lokal) yang menjadi pelakudan pemimpin perubahan.
3.4.5. Evaluasi
Evaluasi dilakukan dengan mengkroscek apakah yang telah dilaksanakan tetap berada dalam
jalur yang ditentukan, bagaimana impresi dan efek yang dihasilkan.Jika ternyata langkah
yang telah dilakukan membawa implikasi negatif dan destruktif, maka bukan tidak mungkin
peneliti harus merubah arah kebijakan, karena sebenarnya PAR menghendaki pendekatan
yang fleksibel dan multidimensional untuk menunjang progresifitas pelaksanaan promosi.
3.4.6. Refleksi
Informasi yang telah terkumpul ditinjau secara terus-menerus, kemudian diklasifikasi,
diverifikasi, disistematisasikan, dan terakhir diambil kesimpulan-kesimpulannya.Dengan
demikian data-data lengkap yang telah tersusun menjadi bermakna. Berdasarkan hasil riset,
proses pelaksanaan wajib belajar pendidikan sembilan tahun, dan program-program aksi
yang sudah terlaksana, peneliti bersama anggota lembaga (sesama pegawai) dan
stakeholder merefleksikan semua proses dan hasil yang diperolehnya (dari awal sampai
akhir). Refleksi teoritis dirumuskan secara bersama, sehingga menjadi sebuah teori
akademik yang dapat dipresentasikan pada khalayak publik sebagai pertanggungjawaban
akademik.
3.5. Triangulasi
Tidak semua data yang diperoleh bisa langsung dipercaya validitasnya. Untuk
mengetahui kebenaran data bisa menggunakan prinsip triangulasi informasi, yaitu
pemeriksaan dan periksa ulang melalui :
1. Keragaman Tehnik PAR
Setiap teknik PAR punya kelebihan dan kekurangan.Tidak semua informasi yang
dikumpulkan dan dikaji dalam satu teknik PAR dapat dipercaya. Melalui teknik-teknik yang
lain, informasi tersebut dapat dikaji ulang untuk melihat apakah benar dan tepat. Teknik-
teknik PAR pada umumnya adalah saling melengkapi dan digunakan sesuai dengan proses
belajar yang diinginkan dan cakupan informasi yang dibutuhkan.Tehnik PAR bisa dilakukan
dengan metode Observasi, wawancara, FGD, Dokumentasi kegiatan dan lainnya.
2. Keragaman Sumber Informasi dan Validitas Data
PAR harus dilakukan dengan menggunakan berbagai sudut pandang, metode, alat kerja yang
berbeda untuk memahami situasi yang sama agar pemahaman peneliti bersama anggota
komunitas terhadap situasi semakin lengkap dan sesuai fakta. Setiap informasi yang
diperoleh harus diperiksa ulang lintas kelompok (cross check) prinsip ini menurut PAR
mengandalkan data-data primer yang dikumpulkan sendiri oleh peneliti bersama anggota
lembaga (observasi, wawancara, dokumentasi) di lapangan sedangkan data-data sekunder
(riset lain, kepustakaan) dimanfaatkan sebagai pembanding
Anggota Lembaga dan stakeholder selalu memiliki bentuk hubungan yang kompleks dan
memiliki berbagai kepentingan yang sering berbeda bahkan bertentangan.Informasi yang
berasal dari sumber tunggal atau terbatas tidak jarang diwarnai oleh kepentingan
pribadi.Karena itu, sangat perlu mengkaji silang informasi dari sumber yang berbeda. Dalam
melaksanakan PAR perlu diperhatikan bahwa tidak didominasi oleh beberapa orang atau
pejabat saja tetapi melibatkan semua pihak, termasuk pelaksana dengan golongan terendah
dan stakeholder Sumber informasi lain juga dapat dimanfaatkan seperti sumber sekunder
yang berada di luar.

Data yang didapat peneliti sangat mudah didapatkan dikarenakan peneliti bagian dari
anggota lembaga, permintaan data kepada bidang lain dapat diakses dan dikelola sesuai
kebutuhan. Validitas data dapat dipertanggungjawabkan karena beberapa data juga dapat
diakses melalui website.
Landasan dalam cara kerja PAR adalah gagasan-gagasan yang datang dari lembaga dan
stakeholder Oleh karena itu, peneliti PAR harus melakukan langkah-langkah berikut :
 Memperhatikan secara sungguh-sungguh gagasan yang datang dari anggota
komunitas/pegawai dan stake holderyang masih terpenggal dan belum sistematis;
 Mempelajari gagasan tersebut secara bersama-sama dengan mereka
sehingga menjadi gagasan yang sistematis;
 Menyatu dengan partisipan/anggota komunitas/pegawai;
 Mengkaji kembali gagasan yang datang dari mereka, sehingga mereka
sadar dan memahami bahwa gagasan itu milik mereka sendiri;
 Menerjemahkan gagasan tersebut dalam bentuk aksi;
Menguji kebenaran gagasan melalui aksi

3.6. Tempat dan Waktu Penelitian


3.6.1. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Serang. Adapun yang menjadi penelitian
yaitu Partisipatory Action Reseach (PAR) Kriminalisasi Pecandu Narkoba: Implementasi
Kebijakan Peraturan Bersama Tujuh Lembaga Negara di Wilayah Hukum Polda Banten.
3.2.2. WaktuPenelitian
A. Partisipatory Action Research (PAR):
Continuum Timelines
Personal & Profesional Knowledge, Experiences of the Researcher

PAR
2008 20 20 20
No AKSI Ket
13 15 17

DVI (dicaster victi Kedokteran


Kepolisian
identification)
Kasubbid Dokpol
VER.
1 Autopsi Biddokkes Polda
banten.
Frod. Security
Rik. PemeriksaanUrin
Nakoba
DVI (disaster victi
2
identification)
3 VER.
4 Autopsy
5 Frod. Security
6 Rik. Urine narkoba

7 Observasi
8 Mapping Penyelidikan
9 Interogasi/wawancara Tindak Pidana
Kanit Subdit 1
10 Undercover buy
Ditresnarkoba
Control delivery Polda Banten.
11

12
13 pemeriksaan Penyidikan
penangkapan Kasubdit 3
Ditresnarkoba
14 Polda Banten

15 penggeledahan
16 penyitaan
17 Interogasi/assesment
18 Pemeriksaan BB/LAB
19 penahanan
Pengajuan berkas
20
perkara / tahap 1
21 Penyerahan

Critical reflections PAR coming from related ‘lived Current critical Participatory Action
experiences’ results in knowledges and experiences during Research merging critical facts and
former and current professionals (McIntyre-Mils 2003, values from formers years with the
Riswanda 2017) actual existing research (McIntyre-Mills
2008, 2013; Riswanda 2016, Mackay
2016)
Penulisan tesis ini direncanakan selama 6 (Enam) bulan yaitu dimulai dari bulan Desember
2016 sampai dengan bulan Juni 2017, seperti terlihat pada tabel berikut :

Tabel 3.2 :Jadwal Penelitian


Bulan
No Kegiatan
Des. Januari Februari Maret April Mei
1 Persiapan
2 Bimbingan
Seminar
3
UP
4 Penelitian
Penulisan&
5
Bimbingan

8 SidangTesis
9 Refisi

9. Menangani Pecandu Narkotika sebagai Perawat di RS. Sint Carolus (1992-2004)


10. Konseling Pecandu Narkotika sebagai Psikolog di Balai Kasih Sayang Pamardisiwi (2005-
2007)
11. Pendiri dan Petugas Psikologi di Community Based Unit Kamboja Depok (2006 s.d sekarang)
12. Bu made
13. Memberikan Dukungan Penguatan Lembaga Rehabilitasi Komponen Masyarakat
14. Kampung Ambon

VII. Kesempatan
VIII. Rencana Penelitian
7. Strategic Planning
8. Preparasi
9. Pro-curement
10. Project Implementasi
11. Conclusi
12. itu, maka kita warga negara yang dititipkan masa depan generasi muda bangsa
harus melek dan waspada dini, jaga diri dan keluarga kita dari narkoba, perilaku
madat dan senantiasa ciptakan lingkungan yang bersih narkoba. Rentannya
penyalahgunaan narkoba dan maraknya peredaran gelap narkoba menempatkan
Indonesia pada status “darurat narkoba”.
13. Disclosure Statemen

Anda mungkin juga menyukai