Anda di halaman 1dari 124

[Type text]

MODUL
ASESMEN DAN RENCANA TERAPI
GANGGUAN PENGGUNAAN NARKOTIKA
Edisi Revisi 2014

DIREKTORAT BINA KESEHATAN JIWA


KEMENTERIAN KESEHATAN RI

[Type text]

TIM PENYUSUN

1. dr. Diah Setia Utami, Sp. KJ, MARS


2. Dra. Riza Sarasvita, MSi, MHS, PhD
3. dr. Satya Joewana, Sp. KJ
4. dr. Sandy Noveria, MKK
5. dr. Rahmi Handayani, Sp. KJ, MARS
6. dr. Prasetiyawan, Sp. KJ
7. dr. K. Siste, Sp. KJ
8. dr. Linna Juniar
9. dr. Herbet Sidabutar, Sp. KJ
10. dr. Lucia Maya Savitri
11. dr. Budi Raharjo. M. Epid
12. dr. Lusy Levina
13. dr. Edih Suryono

[Type text]

MATERI DASAR 1
PERKEMBANGAN MASALAH GANGGUAN PENGGUNAAN NAPZA DAN KEBIJAKAN
WAJIB LAPOR PECANDU NARKOTIKA

I. DESKRIPSI SINGKAT
Penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, psikotropika, dan bahan berbahaya
lainnya merupakan suatu kajian yang menjadi masalah dalam lingkup nasional maupun
secara internasional. Pada kenyataanya, kejahatan narkotika memang telah menjadi
sebuah kejahatan transnasional yang dilakukan oleh kelompok kejahatan terorganisir
(organized crime). Masalah ini melibatkan sebuah sistem kompleks yang berpengaruh
secara global dan akan berkaitan erat dengan Ketahanan Nasional sebuah bangsa.Masalah
gangguan penggunaan narkotika berkembang mengikuti trend, yang dipengaruhi oleh
berbagai faktor, diantaranya adalah ketersediaan zat, kebutuhan masyarakat dan faktor
penegakan hukum. New Psychoactive Substances (NPS) menjadi salah satu perhatian dunia
karena maraknya peredaran dan kurangnya penelitian dan pemahaman terkait efek
sampingnya.
Pada tahun 1998, sesi khusus pada pertemuan sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) bersepakat untuk bekerjasama dalam memberantas atau mengurangi dengan
signifikan produksi narkotika illegal dan penyalahgunaannya pada tahun 2019. Hal ini
tentu bukanlah target yang mudah dicapai. UNODC mencatat bahwa sebagian negaranegara di dunia ada yang telah mampu mengontrol situasi masalah narkotikanya dalam
kurun waktu yang relatif singkat, namun sebagian besar justru tidak atau belum mampu
mengontrol situasi tersebut.
Perkembangan legislasi dan kebijakan terkait masalah Napza di Indonesia dalam
upaya penanggulangan masalah gangguan Napza belakangan ini mengarah pada upaya
untuk mendekriminalisasi pecandu Narkotika, dimana pecandu Narkotika diharapkan
tidak lagi menjalani pemenjaraan, melainkan menjalani terapi dan rehabilitasi, baik medis,
psikologis maupun sosial. Hal ini tertuang dalam Undang-Undang Narkotika No. 35/2009.
Perubahan tersebut didasari oleh fakta bahwa kondisi kesehatan mereka yang
mengalami ketergantungan NAPZA pada umumnya mengalami penurunan secara
signifikan. Semangat untuk mempersepsikan pecandu dari sudut pandang penyakit tentu
sejalan dengan pasal 4 Undang-Undang Kesehatan No. 36/2009, yang menyatakan bahwa
setiap orang berhak atas kesehatan.
3

[Type text]

Undang-Undang Narkotika No. 35/2009 mengamanahkan dilakukannya proses wajib


lapor pecandu narkotika ke Puskesmas, Rumah Sakit dan/atau lembaga rehabiltasi medis
dan lembaga rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh pemerintah untuk mendapat
pengobatan dan perawatan. Untuk mendukung pelaksanaan wajib lapor ini disusunlah
Peraturan Pemerintah tentang Wajib Lapor Pecandu Narkotika dan Peraturan Menteri
Kesehatan tentang Rehabilitasi Medis Pecandu, Penyalahguna dan Korban Penyalahgunaan
Narkotika.Pelaksanaan proses wajib lapor ini memerlukan koordinasi antara instansiinstansi yang terkait dan dukungan dari masyarakat sehingga dapat mencapai hasil yang
optimal
II. TUJUAN PEMBELAJARAN
A. Tujuan pembelajaran umum:
Pada akhir sesi, peserta mampu :
Memahami perkembangan masalah gangguan penggunaan Napza dan kebijakan
wajib laporpecandu narkotika di Indonesia
B.

Tujuan pembelajaran khusus:


Pada akhir sesi ini, peserta mampu:
1. Menjelaskan perkembangan masalah gangguan penggunaan Napza di kawasan
global
2. Menjelaskan perkembangan masalah gangguan penguunaan Napza di kawasan
regional.
3. Menjelaskan perkembangan masalah gangguan penggunaan Napza di kawasan
nasional
4. Menjelaskan kebijakan wajib lapor pada UU Narkotika
5. Menjelaskan teknis wajib lapor
6. Menjelaskan Permenkes rehabilitasi medis
7. Menjelaskan kode etik
8. Menjelaskan peran dan fungsi petugas penerima wajib lapor

III. POKOK BAHASAN


Dalam modul ini akan dibahas pokok bahasan berikut:
Pokok Bahasan 1.
Epidemiologi dan perkembangan penggunaan narkotika dikawasan
global

[Type text]

Pokok Bahasan 2.
Pokok Bahasan 3.
Pokok Bahasan 4.
Pokok Bahasan 5.
Pokok Bahasan 6.
Pokok Bahasan 7.
Pokok Bahasan 8.

Epidemiologi dan perkembangan penggunaan narkotika dikawasan


regional
Epidemiologi dan perkembangan penggunaan narkotika dikawasan
nasional
Kebijakan wajib lapor UU Narkotika
Peraturan Pemerintah tentang Wajib Lapor Pecandu Narkotika
Peraturan Menteri Kesehatan tentang Rehabilitasi Medis Pecandu
Narkotika
Kode etik dan medikolegal
Peran dan Fungsi Petugas Penerima Wajib lapor

IV. URAIAN MATERI


POKOK BAHASAN 1 : Epidemiologi dan perkembangan penggunaan narkotika
dikawasan global
Berbicara masalah epidemi gangguan penggunaan narkotika tidak dapat terlepas dari
masalah produksi dan peredarannya. Sejarah terkini mencatat bahwa hampir 74%
konsumsi heroin di seluruh dunia disumbangkan oleh produksi opium yang berasal dari
daerah Bulan Sabit Emas (Golden Crescent), terutama Afghanistan. Peringkat kedua adalah
produksi opium dari daerah Segitiga Emas (Golden Triangle), yaitu Laos, Myanmar dan
Thailand. Sementara itu negara pemasok kokain terutama berasal dari Amerika Latin,
seperti Columbia dan Meksiko. UNODC pada tahun 2013 mencatat bahwa dari segi
produksi :
- Area pertanian tanaman opium global meningkat 15 % di tahun 2012 karena
peningkatan di Afganistan dan Myanmar, namun produksi opium
global
mengalami penurunan sekitar 30% ( sekitar 5000 ton)
- Area penanaman koka secara global di tahun 2011 juga mengalami penurunan
sekitar 14% dari tahun 2007.
Sukses atas pengendalian produksi opium (dan heroin) serta kokain tersebut harus
dilihat pada konteks tantangan yang bersifat jangka panjang. Dalam 10 tahun belakangan
ini peningkatan produksi narkotika justru mencolok pada ganja dan amphetamine-type
stimulants (ATS) seperti shabu dan ecstasy. Masalahnya, pencatatan atas produksi zat-zat
ini amatlah kompleks karena pada umumnya produksi dilakukan di dalam negeri negaranegara yang bersangkutan. Misalnya, produksi ganja di Aceh pada umumnya dikonsumsi
5

[Type text]

oleh masyarakat Indonesia sendiri. Kontrol atas peredarannya amat sangat bergantung
pada upaya yang dilakukan oleh negara-negara tersebut.
Peredaran gelap narkotika yang bersifat jarak jauh (long-distance trafficking)
umumnya menyangkut zat jenis kokain dan heroin. Dalam skala yang jauh lebih kecil,
termasuk pula resin ganja dan ecstasy. Penyitaan atas penyelundupan kokain secara global
menunjukkan upaya yang relatif stabil. Penyitaan yang dilakukan pada wilayah Amerika
Utara dan Eropa menunjukkan penurunan, namun penyitaan yang dilakukan di Amerika
Selatan dan Amerika Tengah menunjukkan peningkatan. Peredaran melalui Afrika Barat
yang meningkat diantara tahun 2004 2007 menunjukkan penurunan pada tahun 2008
2009, namun hal ini selalu patut dimonitor karena tren peredaran selalu menunjukkan
perubahan dan selalu ada upaya untuk membuat jalur-jalur baru. Penyitaan atas peredaran
produk-produk opium mengalami peningkatan, terutama pada negara-negara tetangga
Afghanistan, yaitu Pakistan dan Republik Iran. Sementara itu melacak peredaran ATS
menjadi lebih kompleks karena sifat produksinya yang umumnya bersifat lokal. Namun
demikian dari laporan negara-negara anggota PBB, tercatat adanya penyitaan ATS yang
sangat tinggi sejak tahun 2006. Penyitaan atas daun ganja secara global meningkat pada
periode 2006 2008, terutama di Amerika Selatan. Penyitaan resin ganja yang meningkat
pada 2008 terutama tercatat di regional Timur Tengah, dan juga Eropa dan Afrika.

Zat psikoatif baru (NPS) saat ini juga menarik perhatian dunia. NPS didefinisikan
sebagai senyawa bentuk tunggal atau sediaan berupa campuran yang marak
disalahgunakan dan belum diatur dalam Konvensi Internasional, tetapi memiliki efek yang
sama dengan obat yang diatur. NPS mengalami peningkatan, yang sebelumnya sebanyak
166 di tahun 2009 menjadi 251 di pertengahan tahun 2012. Jenis Jenis NPS : Sintetik

[Type text]

Cannabinoid (23%), Penethylamine(23%), Sintetik Katinon (18%) Trypthamine (10%),


Plant-based substances(8 %), Piperazine (5% ).
UNODC memperkirakan antara 167 juta hingga 315 juta orang di dunia dunia yang
berusia 15 64 tahun di dunia pernah menggunakan narkotika, psikotropika dan zat
adiktif lainnya setidaknya sekali di tahun 2011. Sebagian dari populasi pengguna ini sekitar
10 13% diantaranya mengalami masalah medis, psikologis dan sosial. Sayangnya, hanya
sekitar 12 30% dari jumlah ini yang pernah menerima terapi dan rehabilitasi. Pada
pengguna Napza suntik, estimasi yang menderita HIV sebesar 11,5%, Hepatitis C sebesar
51% dan Hepatitis B sebesar 8,4 % .Secara global, narkotika jenis ganja adalah yang paling
banyak disalahgunakan, dimana sekitar 129 hingga 190 juta orang menggunakannya.
Ranking kedua adalah jenis zat amfetamin, kemudian diikuti oleh kokain dan opiat (mis.
heroin).
Persoalan pada banyak negara, terutama di negara berkembang adalah kurang
tersedianya data-data yang akurat terkait dengan penggunaan narkotika, psikotropika dan
zat adiktif lainnya. Oleh karenanya data secara internasional (global) lebih sering bersifat
estimasi, karena minimnya data yang dapat dijadikan patokan untuk melihat besaran
masalah yang diakibatkan gangguan penggunaan NAPZA. Salah satu sumber data yang
dapat diandalkan adalah data yang berasal dari fasilitas layanan terapi dan rehabilitasi.
Sekalipun mungkin tidak menggambarkan besaran masalah yang ada, tetapi dapat
menunjukkan kecenderungan persoalan penyalahgunaan narkotika yang terjadi pada suatu
negara.

[Type text]

POKOK BAHASAN 2 : Epidemiologi dan perkembangan penggunaan narkotika


dikawasan regional
Penanggulangan dan pemberantasan bahaya NAPZA bukanlah sebuah pekerjaan
yang mudah. Banyak negara yang cukup kesulitan bahkan nyaris kewalahan dalam
menangani tindak kejahatan narkotika ini. Dalam lingkup Asia Tenggara sendiri, negaranegara yang tergabung dalam ASEAN telah menunjukkan sikap yang sama dalam
pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba, dengan
merumuskan kesepakatan untuk mempercepat menjadikan Asean bebas narkoba. Untuk
mencapai hal tersebut, oleh ACCORD (Asean and China Cooperative Operations in Response
to Dangerous Drugs), telah disusun empat pilar sebagai pokok kegiatan sebagai berikut :
1. Secara proaktif membangkitkan kesadaran dan mendorong peran masyarakat
dalam menangkal penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba.
2. Membangun kesepakatan bersama dan bertukar pengalaman terbaik dalam upaya
pencegahan.
3. Mempertegas penegakan hukum dan peraturan melalui kerjasama yang lebih baik
dalam pengawasan dan peningkatan kerjasama aparat penegak hukum, serta
peninjauan pembuatan undang-undangyang berlaku.
4. Menghapus persediaan narkotika gelap dengan mendorong program-program
pengembangan alternatif dalam membasmi penanaman gelap narkotika.
Sejak awal tahun 2000, penggunaan zat jenis amfetamin (ATS) marak di berbagai
negara di Asia Tenggara, yaitu pada negara-negara Cambodia, China, Indonesia, Laos,
8

[Type text]

Myanmar, Filipina dan Thailand. Produksi ATS umumnya dilakukan di dalam negeri,
seperti yang tercatat di China, Myanmar dan Indonesia. Penyitaan beberapa pabrik ATS
rumahan dengan kapasitas produksi hingga ribuan kilogram setiap bulannya
menunjukkan tingginya kebutuhan yang juga mencerminkan tingginya potensi
penyalahgunaan. Salah satu zat yang digunakan untuk memproduksi metamfetamin adalah
efedrin, yang banyak diselundupkan dari China dan India. Sementara itu penggunaan zat
jenis opiat, khususnya heroin, tetap memiliki pangsa pasar yang tetap di wilayah ini.
Pengguna NAPZA suntik masih menyumbang angka penularan HIV yang cukup tinggi pada
banyak negara di Asia. Walaupun demikian, jenis zat yang paling banyak disalahgunakan di
wilayah Asia Tenggara adalah ganja.
POKOK BAHASAN 3 : Epidemiologi dan perkembangan penggunaan narkotika di
kawasan nasional
Letak geografis negara Republik Indonesia sebagaimana tergambar di dalam peta
dunia terbentang di antara dua benua, yaitu Benua Asia dan Benua Australia serta dua
samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik yang keduanya memiliki posisi
silang yang sangat strategis. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Indonesia
mempunyai kedudukan penting ditengah-tengah lalu lintas dunia international. Namun
demikian, permasalahan letak dan kedudukan ini selain memberikan dampak positif, pada
kenyataanya dapat pula memberikan dampak negatif. Peredaran gelap narkotika dan obatobatan terlarang lainnya adalah salah satu bentuk dampak negatif dari keberadaan
Indonesia pada posisi geografisnya. Kontrol atas masuknya berbagai jenis NAPZA ke
Indonesia menjadi lebih sulit. Pengaruh sosial budaya juga sulit dibendung mengingat tamu
asing dapat masuk dari berbagai belahan nusantara ini.
Penyalahgunaan dan peredaran gelap NAPZA merupakan suatu keprihatinan global.
Kejahatan narkotika telah menjadi sebuah kejahatan transnasional yang dilakukan oleh
kelompok kejahatan terorganisir (organized crime). Masalah ini melibatkan sebuah sistem
kompleks yang berpengaruh secara global dan akan berkaitan erat dengan ketahanan
nasional sebuah bangsa. Hal ini karena kecenderungan peningkatan penyalahgunaan
NAPZA pada kelompok usia produktif.
Di Indonesia sendiri, masalah penyalahgunaan NAPZA tidak pernah mereda,
sekalipun jenis zat yang digunakan menunjukkan perbedaan dari waktu ke waktu. Secara
resmi pemerintah awalnya mencatat masalah penyalahgunaan NAPZA dari laporan yang
diberikan oleh Kementerian Kesehatan, khususnya Rumah Sakit Ketergantungan Obat
(RSKO) dan berbagai panti rehabilitasi sosial yang berada dalam tanggungjawab
Kementerian Sosial. Pada tahun 70an jenis zat yang marak disalahgunakan dan menggiring
9

[Type text]

penggunanya mencari pertolongan medis, adalah zat morfin / heroin. Tahun 80an berubah
menjadi barbiturat yang kemudia diikuti oleh golongan benzodiazepin. Penggunaan kedua
jenis zat tersebut biasanya dikombinasi dengan penggunaan alkohol. Sempat terjadi trend
penggunaan obat-obat yang mengandung Ephedrin sebagai obat asma, walaupun hal ini
hanya berlangsung singkat. Tahun 90an menjadi awal dari penggunaan ekstasi yang
kemudian diikuti oleh masuknya heroin. Penggunaan heroin dengan cara suntik memicu
cepatnya penularan HIV di Indonesia, dimana prevalensi HIV di kalangan pengguna NAPZA
suntik berkisar 50%. Sekitar tahun 1998 mulai marak penggunaan metamfetamin (shabu).
Sejak tahun 2002 penyalahgunaan heroin tidak menunjukkan peningkatan pengguna baru
yang berarti, namun penggunaan zat jenis amfetamin, baik ekstasi maupun metamfetamin
(shabu) justru semakin meningkat. Saat ini shabu dan ektasi menjadi zat nomor 2 yang
terbanyak disalahgunakan setelah ganja. Diluar zat-zat tersebut diatas, penyalahgunaan
ganja sudah dilakukan semenjak tahun 1960an hingga saat ini. Data tentang penggunaan
kokain dan ketamin sangat sedikit. Pada pertengahan tahun 2000 sampai sekarang tercatat
adanya penyalahgunaan Buprenorfin, alprazolam, DMP, trihexyphenidyl, krokodil, YABA,
katinona dan metkatinona.
Indonesia sendiri adalah produsen ganja sejak awal abad ke 20 dan ganja yang
berasal dari Aceh adalah salah satu dari yang berkualitas baik di dunia. Sediaan heroin
berasal dari segitiga emas dan tidak berasal dari dalam negeri. Sementara konsumsi
metamfetamin sejak tahun 2000 tampaknya dipenuhi oleh produksi dalam negeri, terbukti
dari laporan penyitaan dan penggerebekan laboratorium-laboratorium klandestin di
Indonesia memproduksi metamfetamin dalam jumlah yang besar.

10

[Type text]

Survei yang dilakukan oleh Badan Narkotika Nasional bekerjasama dengan Pusat
Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia pada tahun 2011 menunjukkan bahwa estimasi
penyalahguna NAPZA adalah sebesar 3.7 juta hingga 4.7 juta orang, atau sekitar 2,2% dari
total seluruh penduduk Indonesia berusia 10-59 tahun di tahun 2011. Dari sejumlah
penyalahguna tersebut, terdistribusi atas 27% coba pakai, 45% teratur pakai,27% pecandu
bukan suntik, dan 2% pecandu suntik. Penelitian juga menunjukkan bahwa jenis zat utama
yang disalahgunakan di seluruh Indonesia adalah ganja, diikuti dengan penggunaan
amfetamin, benzodiazepin dan heroin . Penyalahguna Narkoba kebanyakan berada pada
kelompok umur 20 29 tahun. Penyalahgunaan narkoba pada kelompok pekerja (70%)
lebih tinggi dibandingkan kelompok pelajar/mahasiswa (22%). Menurut jenis kelamin,
laki-laki (88%) jauh lebih besar dari perempuan (12%). Data BNN tahun 2012 menyatakan
jumlah pecandu yang mendapatkan terapi dan rehabilitasi sebanyak 14.510 orang.
Sedangkan hasil proyeksi menunjukan kerugian biaya ekonomi akibat penyalahgunaan
narkoba meningkat dari Rp.32,4 trilyun di tahun 2008 menjadi Rp.57,0 trilyun di tahun
2013.
Berbagai upaya baik berupa pencegahan, pemberantasan maupun penanggulangan
permasalahan peredaran gelap Narkotika dan obat-obatan terlarang lainnya telah
dilakukan oleh segenap elemen bangsa ini. Sebut saja upaya pembaharuan undang-undang
11

[Type text]

tentang Narkotika dari UU Nomor 22 tahun 1997 menjadi UU Nomor 35 tahun 2009.
Undang-undang terbaru itu diyakini dapat memberikan efek jera yang diiringi harapan
semakin berkurangnya jumlah penyalahgunaan Narkotika dan obat-obatan terlarang
lainnya di Indonesia.

Pokok Bahasan 1.
KEBIJAKAN WAJIB LAPOR UNDANG-UNDANG NARKOTIKA NO. 35 TAHUN 2009
Upaya penanggulangan masalah gangguan penggunaan Napza dilakukan secara
komprehensif melalui 3 pilar yaitu supply reduction, demand reduction dan harm reduction.
Salah satu upaya pengurangan permintaan adalah terapi dan rehabilitasi. Dari data yang
tersebut di atas menunjukkan masih rendahnya jumlah pecandu yang mencari
pertiolongan medis. Faktor penyebab rendahnya pencarian pertolongan medis antara lain
adalah terkait kultur, adanya stigma dan diskriminasi yang dihadapi oleh para pecandu
Narkotika. Pandangan masyarakat bahwa perilaku ketergantungan Narkotika adalah
amoral, membentuk anggapan bahwa untuk dapat pulih yang diperlukan adalah hanya
dengan meningkatkan iman dan taqwa para pecandu. Kriminalisasi atas penggunaan
Narkotika juga semakin mempertegas pandangan ini, sehingga di mata masyarakat, para
pecandu perlu dihindari dan disingkirkan. Pandangan serupa tidak saja dimiliki oleh
masyarakat, melainkan juga para petugas kesehatan. Pemahaman bahwa adiksi Napza
adalah suatu penyakit otak belum sepenuhnya dipahami dan diterima oleh petugas
kesehatan. Akibatnya, sikap yang terbentuk dalam menghadapi pasien pecandu cenderung
negatif. Stigma dan diskriminasi sudah barang tentu menghambat pecandu Narkotika
untuk mencari pertolongan.
Hal lain yang berperan dalam perilaku mencari perawatan medis adalah minimnya
ketersediaan dana untuk mengakses layanan kesehatan. Kita semua tentu memahami
bahwa pola penggunaan Narkotika yang kronis secara perlahan akan menurunkan sumber
daya seseorang, termasuk sumber daya finansial. Banyak dari mereka tidak lagi memiliki
kemampuan untuk mengakses layanan kesehatan. Terlebih jaminan kesehatan masyarakat
tidak selalu mudah diakses. Semua kondisi di atas ini berkontribusi atas rendahnya
perilaku mencari perawatan kesehatan pada para pecandu Narkotika.
Melihat rendahnya persentase cakupan pecandu Narkotika yang mengakses layanan
kesehatan dan mengingat perubahan perilaku tidak dapat mudah dilakukan pada
Lapas/Rutan, maka dirasakan perlu untuk mendorong para pecandu Narkotika untuk lebih
12

[Type text]

mengakses layanan Terapi Rehabilitasi. Salah satu caranya adalah dengan mewajibkan
mereka untuk melaporkan diri guna memperoleh layanan terapi rehabilitasi Gangguan
penggunaan Napza. Pecandu Narkotika atau keluarga dari pecandu yang masih di bawah
umur diharapkan melaporkan diri pada fasilitas kesehatan sehingga dapat dilakukan
proses asesmen dan penyusunan rencana terapi untuk perubahan perilaku yang signifikan.

Kebijakan Wajib lapor tertuang dalam pasal 55 Undang-Undang No. 35 tahun 2009
tentang Narkotika, yang berbunyi sebagai berikut :
(1) Orang tua atau wali dari pecandu yang belum cukup umur wajib melaporkan kepada
pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan
lembaga rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan
pengobatan dan atau perawatan melalui rehablitasi medis dan rehabilitasi sosial
(2) Pecandu Narkotika yang sudah culup umur wajib melaporkan diri atau dilaporkan
oleh kelurganya kepada kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit dan/atau
lembaga rehabilitasi medis dan lembaga rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh
Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan atau perawatan melalui
rehablitasi medis dan rehabilitasi sosial
Sekalipun terkesan menjadi kewajiban, namun filosofi dari wajib lapor ini adalah
untuk meningkatkan cakupan intervensi medis dan sosial bagi para pecandu dan untuk
mengidentifikasi masalah sedini mungkin.
Program ini juga mempertimbangkan hak azasi pecandu Narkotika, sehingga proses
wajib lapor juga tetap mempertahankan azas konfidensialitas dan memperlakukan
pecandu Narkotika sebagai klien / pasien yang sungguh-sungguh membutuhkan terapi
terkait perilaku ketergantungan Narkotikanya.
Program wajib lapor mau tidak mau juga mendesak fasilitas kesehatan / lembaga
rehabilitasi sosial untuk siap dalam melayani pecandu Narkotika. Keengganan petugas
kesehatan/sosial dalam melakukan penatalaksanaan Gangguan penggunaan Napza dapat
diminimalisasi, sebab melakukan penolakan untuk merawat dapat dianggap sebagai
pelanggaran Undang-undang. Diharapkan program wajib lapor dapat meminimalisasi
stigma / diskriminasi yang selama ini dialami pecandu Narkotika.
Melalui program wajib lapor, pecandu Narkotika diharapkan setidaknya
memperoleh konseling dasar terkait perilaku ketergantungan Narkotikanya, memperoleh
13

[Type text]

informasi yang diperlukan untuk meminimalisasi risiko yang dihadapinya dan memperoleh
rujukan untuk perawatan lanjutan yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan yang
bersangkutan. Dengan demikian program wajib lapor diharapkan dapat berperan serta
dalam penanggulangan dampak buruk yang seringkali dialami pecandu Narkotika..
Manfaat wajib lapor diharapkan tidak saja dirasakan oleh para pecandu Narkotika,
melainkan juga bagi masyarakat secara umum dan pemerintah secara khusus. Program
wajib lapor pecandu Narkotika untuk kepentingan rehabilitasi medis dan sosial dapat
mendukung agenda pencapaian Millenium Development Goals (MDGs) yang ke 6, yaitu
pengendalian HIV/AIDS, Malaria, dan TB.

Pokok Bahasan 2.
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG WAJIB LAPOR PECANDU NARKOTIKA
A. Definisi
Wajib Lapor adalah kegiatan melaporkan diri yang dilakukan oleh Pecandu
Narkotika yang sudah cukup umur atau keluarganya, dan/atau orang tua atau wali dari
Pecandu Narkotika yang belum cukup umur kepada Institusi Penerima Wajib Lapor
untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan
rehabilitasi sosial.

B. Tujuan
Pengaturan Wajib Lapor Pecandu Narkotika bertujuan untuk:
a. memenuhi hak Pecandu Narkotika dalam mendapatkan pengobatan dan/atau
perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial;
b. mengikutsertakan orang tua, wali, keluarga, dan masyarakat dalam
meningkatkan tanggung jawab terhadap Pecandu Narkotika yang ada di bawah
pengawasan dan bimbingannya; dan

14

[Type text]

c.

memberikan bahan informasi bagi Pemerintah dalam menetapkan kebijakan di


bidang pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap
Narkotika.

C. Penyelenggaraan Wajib Lapor


Wajib Lapor Pecandu Narkotika dilakukan di Institusi Penerima Wajib Lapor
(IPWL). IPWL adalah pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga
rehabilitasi medisserta lembaga rehabilitasi sosial yang ditetapkan oleh Pemerintah
IPWL harus memenuhi persyaratan:
1. ketenagaan yang memiliki keahlian dan kewenangan di bidang ketergantungan
Narkotika. Tenaga tersebut sekurang-kurangnya memiliki :
- pengetahuan dasar ketergantungan narkotika;
- keterampilan melakukan asesmen ketergantungan narkotika;
- keterampilan melakukan konseling dasar ketergantungan narkotika; dan
- pengetahuan penatalaksanaan terapi rehabilitasi berdasarkan jenis narkotika
yang digunakan.
2.

sarana yang sesuai dengan standar rehabilitasi medis atau standar rehabilitasi
sosial yang masing-masing ditetapkan oleh Menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang kesehatan dan Menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang sosial.

IPWL wajib melakukan asesmen yang meliputi aspek medis dan aspek sosial
terhadap Pecandu Narkotika untuk mengetahui kondisi Pecandu Narkotika. Asesmen
dilakukan dengan cara :
1. Wawancara meliputi riwayat kesehatan, riwayat penggunaan narkotika, riwayat
pengobatan dan perawatan, riwayat keterlibatan pada tindak kriminalitas,
riwayat psikiatris,serta riwayat keluarga dan sosialPecandu Narkotika.
2. Observasi meliputi observasi atas perilaku Pecandu Narkotika baik verbal
maupun non verbal
3. Pemeriksaan fisik dan psikis terhadap Pecandu Narkotika

15

[Type text]

Hasil asesmen tersebut dicatat padarekam medis yang bersifat rahasia dan merupakan
dasar dalam rencana rehabilitasi terhadap Pecandu Narkotika yang bersangkutan.
Kerahasiaan hasil asesmen dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Selanjutnya Rencana rehabilitasi yang telah disusun berdasarkan hasil
asesmen harus disepakati oleh pecandu Narkotika, orang tua, wali, atau keluarga Ppecandu
Narkotika dan pimpinan IPWL.
Pecandu Narkotika yang telah melaporkan diri atau dilaporkan kepada IPWL diberi
kartu lapor diri setelah menjalani asesmen. Kartu lapor diri tersebut berlaku untuk 2 (dua)
kali masa perawatan. Yang dimaksud dengan masa perawatan adalah suatu layanan
program rencana terapi dibuat berdasarkan hasil asesmen yang komprehensif yang sesuai
dengan kondisi klien dengan jenis gangguan penggunaan Narkotika dan kebutuhan
individu/klien/Pecandu Narkotika dengan program yang dijalankan mengikuti program
yang tersedia di layanan, dengan waktu minimal 1 (satu) sampai 6 (enam) bulan sesuai
dengan Standar Pelayanan Terapi dan Rehabilitasi Gangguan Penggunaan Narkotika yang
ditetapkan Menteri. Standar Pelayanan Terapi dan Rehabilitasi Gangguan Penggunaan
Narkotika, antara lain meliputi: pelayanan detoksifikasi, pelayanan gawat darurat,
pelayanan rehabilitasi (model: terapi komunitas, minnesota, model medis), pelayanan
rawat jalan non rumatan, pelayanan rawat jalan rumatan, dan pelayanan penatalaksanaan
dual diagnosis.

Berdasarkan rencana rehabilitasi yang telah disepakati, IPWL melakukan rangkaian


pengobatan dan/atau perawatan guna kepentingan pemulihan Pecandu Narkotika. Bila
IPWL tidak memiliki kemampuan untuk melakukan pengobatan dan/atau perawatan
tertentu sesuai rencana rehabilitasi atau atas permintaan Pecandu Narkotika, orang tua,
wali dan/atau keluarganya, maka IPWLharus melakukan rujukan kepada institusi yang
memiliki kemampuan tersebut.
PP ini juga mengatur untuk Pecandu Narkotika yang sedang menjalani pengobatan
dan/atau perawatan di rumah sakit, fasilitas pelayanan kesehatan lainnya, lembaga
rehabilitasi medis dan lembagarehabilitasi sosial serta terapi berbasis komunitas
(therapeutic community) atau melalui pendekatan keagamaan dan tradisional tetap harus
melakukan wajib lapor kepada IPWL.

16

[Type text]

D. Pelaporan, Monitoring dan Evaluasi


IPWL wajib melaporkan mengenai informasi Pecandu Narkotika kepada
Kementerian terkait melalui tata cara pelaporan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Selanjutnya Kementerian terkait memberikan informasi ke BNN
yang menyelenggarakan sistem informasi pecandu narkotika. Informasi yang
dilaporkandalam bentuk rekapitulasi data.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan Wajib Lapor dilaksanakan oleh kementerian
terkait dan BNNyang meliputi:
a. penerapan prosedur Wajib Lapor;
b. cakupan proses Wajib Lapor; dan
c. tantangan dan hambatan proses Wajib Lapor.
Pecandu Narkotika yang telah selesai menjalani rehabilitasi dilakukan pembinaan dan
pengawasan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
sosial dan Badan Narkotika Nasionaldengan mengikutsertakan partisipasi masyarakat.
Pokok Bahasan 3
PERATURAN MENTERI KESEHATAN TENTANG REHABILITASI MEDIS PECANDU,
PENYALAHGUNA DAN KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA
Undang-Undang No. 35 tahun 2009 mengamanahkan penyusunan Permenkes tentang
Rehabilitasi Medis. Pada tahun 2011 telah diterbitkan Permenkes No
2415/MENKES/PER/XII/2011 tentang Rehabilitasi Medis Pecandu, Penyalahguna dan
Korban Penyalahgunaan Narkotika.Permenkes ini mengatur mengenai fasilitas,
penyelenggaraan, pelaporan, pembinaan dan pengawasan rehabilitasi medis.
A. Fasilitas rehabilitasi medis
Rehabilitasi medis dilaksanakan di fasilitas rehabilitasi medis yang diselenggarakan
oleh pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat meliputirumah sakit, puskesmas
atau lembaga rehabilitasi tertentu yang menyelenggarakan rehabilitasi medis. Lembaga
rehabilitasi medis tertentu meliputi:
1.
lembaga rehabilitasi NAPZA milik Pemerintah atauPemerintah Daerah; dan
2.
klinik rehabilitasi medis NAPZA yang diselenggarakan oleh masyarakat.

17

[Type text]

Rumah sakit atau puskesmas yang menyelenggarakan rehabilitasi medis ditetapkan


oleh Menteri. Penetapan rumah sakit milik pemerintah daerah atau masyarakat dan
puskesmas sebagai penyelenggara rehabilitasi medis dilakukan setelah mendapatkan
rekomendasi dari pemerintah daerah. Sedangkan Lembaga rehabilitasi tertentu yang
menyelenggarakan rehabilitasi medis wajib mendapatkan izin dari Menteri.
Fasilitas rehabilitasi medis mempunyai kewajiban:
1. menyelenggarakan rehabilitasi medis sesuai standar profesi, standar pelayanan dan
standar prosedur operasional;
2. melaksanakan fungsi sosial;
3. berperan serta dalam jejaring dan melaksanakan fungsi rujukan;
4. melaksanakan serangkaian terapi dan upaya pencegahan penularan penyakit melalui
penggunaan narkotika suntik;
5. menyusun standar prosedur operasional penatalaksanaan rehabilitasi sesuai dengan
modalitas yang digunakan dengan mengacu pada standar dan pedoman
penatalaksanaan medis.
6. melakukan pencatatan dan pelaporan dalam penyelenggaraan rehabilitasi medis.
B. Penyelenggaraan Rehabilitasi Medis
1. Rehabilitasi medis dapat dilaksanakan melalui rawat jalan dan/atau rawat inap sesuai
dengan rencana rehabilitasi yang telah disusun dengan mempertimbangkan hasil
asesmensesuai dengan standar dan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri.
2. Pelaksanaan rawat jalan meliputi:
a. intervensi medis antara lain melalui program detoksifikasi, terapi simtomatik,
dan/atau terapi rumatan medisserta terapi penyakit komplikasi sesuai indikasi; dan
b. intervensi psikososial antara lain melalui konseling adiksi narkotika, wawancara
motivasional, terapi perilaku dan kognitif (Cognitive Behavior Therapy), dan
pencegahan kambuh.
3. Pelaksanaan rawat inap sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
a. intervensi medis antara lain melalui program detoksifikasi, terapi simtomatik, dan
terapi penyakit komplikasi sesuai indikasi;
b. intervensi psikososial antara lain melalui konseling individual, kelompok, keluarga,
dan vokasional;
c. pendekatan filosofi therapeutic community (TC) dan/atau metode 12 (dua belas)
langkah dan pendekatan filosofi lain yang sudah teruji secara ilmiah.

18

[Type text]

Proses pemulihan pecandu, penyalahguna dan korban penyalahgunaan Narkotika yang


diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau masyarakat melalui pendekatan keagamaan
dan tradisional harus bekerjasama dengan Rumah Sakit dan Puskesmas yang ditetapkan
oleh Menteri.
Fasilitas rehabilitasi medis dalam menyelenggarakan pelayanan rehabilitasi medis
wajib membuat rekam medis yang dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundangundangan. Selain itu terkait mediko legal maka pelayananrehabilitasi medis harus
memperoleh persetujuan (informed consent)sesuai ketentuan peraturan perundangundangan.Fasilitas rehabilitasi medis dilarang menggunakan kekerasan fisik dan kekerasan
psikologis/mental dalam melaksanakan pelayanan rehabilitasi medis.
Terkait pembiayaan yang sering menjadi masalah implementasi di lapangan maka
salah satu pasal dalam Permenkes ini menyatakan bahwa Pemerintah dan Pemerintah
Daerah bertanggung jawab atas biaya pelaksanaan rehabilitasi medis bagipecandu,
penyalahguna dan korban penyalahgunaan Narkotika yang tidak mampu sesuai peraturan
perundang-undangan. Selain itu Pemerintah juga
bertanggung jawab atas biaya
pelaksanaan rehabilitasi medis bagipecandu, penyalahguna dan korban penyalahgunaan
Narkotika yang yang telah diputus oleh pengadilan.

1.

2.

3.

4.
5.

Penyelenggaraan Rehabilitasi Medis Terkait Putusan Pengadilan :


Rehabilitasi medis terhadap pecandu, penyalahguna dan korban penyalahgunaan
narkotika yang telah diputus oleh pengadilan diselenggarakan di fasilitas rehabilitasi
medis milik pemerintah yang telah ditetapkan oleh Menteri.
Rehabilitasi medis terhadap pecandu, penyalahguna dan korban penyalahgunaan
narkotika yang telah diputus oleh pengadilan dilaksanakan melalui tahapan:program
rawat inap awal; program lanjutan; dan program pasca rawat.
Program rawat inap awal dilaksanakan selama minimal 3 (tiga) bulan untuk
kepentingan asesmen lanjutan, serta penatalaksanaan medis untuk gangguan fisik
dan mental.
Program lanjutan meliputi program rawat inap jangka panjang atau program rawat
jalan yang dilaksanakan sesuai standar prosedur operasional.
Pelaksanaan program lanjutan dengan program rawat jalan hanya dapat
dilaksanakan untuk pecandu, penyalahguna dan korban penyalahgunaan narkotika
yang telah diputus bersalah oleh pengadilan dengan pola penggunaan rekreasional
(penggunaan narkotika hanya untuk mencari kesenangan pada situasi tertentu dan
belum ditemukan adanya toleransi serta gejala putus zat) dan jenis narkotika
19

[Type text]

6.
7.

amfetamin, dan ganja, dan/atau berusia di bawah 18 tahun.


Program rawat jalan dilaksanakan sekurang-kurangnya 2 (dua) kali seminggu dengan
pemeriksaan urin berkala atau sewaktu-waktu.
Program pasca rawat meliputi rehabilitasi sosial dan program pengembalian kepada
masyarakat.

Penyelenggaraan Rehabilitasi Medis Terhadap Pecandu, Penyalahguna dan Korban


Penyalahgunaan Narkotika yang sedang Menjalani Proses Penyidikan, Penuntutan, dan
Persidangan Pengadilan adalah sebagai berikut :

3.

Penetapan rehabilitasi medis terhadap pecandu, penyalahguna dan korban


penyalahgunaan narkotika yang sedang menjalani proses penyidikan, penuntutan, dan
persidangan pengadilan dilakukan oleh tim dokter yang terdiri dari dokter dari
fasilitas rehabilitasi medis dan rumah sakit kepolisian.
Diselenggarakan di fasilitas rehabilitasi medis milik pemerintah yang memenuhi
standar keamanan tertentu sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sesuai standar dan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri.

C.

Pelaporan

1.

2.

Fasilitas rehabilitasi medis wajib melakukan pelaporan dalam bentuk rekapitulasi data
secara berkala kepada Menteri melalui mekanisme sistem pelaporan mengikuti sistem
informasi kesehatan nasional.Rekapitulasi data yang telah dilaporkan dapat diakses
oleh pihak yang berkepentingan dalam pengembangan kebijakan dan program baik
lembaga pemerintah maupun masyarakat.
D. Pembinaan dan Pengawasan
Pembinaan dilakukan oleh Menteri Kesehatan dan Kepala Dinas Kesehatan untuk
1. Pembinaanuntuk meningkatkan kemampuan fasilitas rehabilitasi medis dilakukan
oleh Menteri dan Kepala Dinas Kesehatan sedangkan
2. Pembinaan dalam rangka peningkatan kemampuan fasilitas rehabilitasi medis juga
dilakukan oleh BNN, berkoordinasi dengan Kementerian Kesehatan dan
Pemerintah Daerah.
3. Pengawasan dilakukan guna menjamin kualitas penyelenggaraan rehabilitasi
medis.

20

[Type text]

4. Dalam melakukan kegiatan pembinaan dan pengawasan Menteri dapat


membentuk suatu tim dengan melibatkan unsur Pemerintah daerah
provinsi/kabupaten/kota melalui kepala dinas kesehatan/kepala biro NAPZA,
organisasi profesi di bidang kesehatan, BNN Provinsi/Kabupaten/Kota atau
organisasi kemasyarakatan terkait lainnya.
5. Dalam rangka pembinaan dan pengawasan, Menteri dapat mengambil tindakan
administratif kepada fasilitas rehabilitasi medis, berupa:
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis; atau
c. pencabutan izin.

Pokok Bahasan 4
KODE ETIK DAN ASPEK MEDIKOLEGAL WAJIB LAPOR PECANDU NARKOTIKA
Petugas penerima wajib lapor dalam menjalankan tugasnya tetap terikat pada kode
etik sesuai profesi masing-masing. Profesi dalam bahasa Latin berarti mengumumkan
kepada dunia luar (Bond, 2005). Seseorang dapat dianggap profesional apabila ia dengan
sumpahnya- kepada publik bertanggungjawab atas apa yang dikerjakannya, sesuai dengan
aturan dan prinsip-prinsip yang berlaku, yang umumnya dikeluarkan oleh ikatan profesi.
Menjalankan tindakan sesuai dengan aturan dan prinsip adalah upaya menjaga kode etik
yang berlaku.
Seorang dokter pada lembaga penerima wajib lapor tetap harus mematuhi Kode
Etik Kedokteran Indonesia.Beberapa Prinsip Etika Kedokteran yaitu :

Beneficiency : mengutamakan kepentingan pasien


Autonomy : menghormati hak pasien dalam mengambil keputusan
Non-Malefeciency : tidak memperburuk keadaan pasien
Justice: tidak mendiskriminasikan pasien, apapun dasarnya.

Tujuan etik didasari oleh filosofi kemanusiaan, dimana setiap tindakan profesional
hendaknya dilandasi oleh pertimbangan yang kuat tentang hak azasi manusia. Secara rinci,
tujuan etik adalah:

21

[Type text]

1. Menyediakan dasar bertindak yang adekuat untuk melindungi masyarakat dari


berbagai kemungkinan dampak buruk yang terjadi akibat malpraktik atau perilaku
yang salah dari profesional.
2. Menjadi acuan untuk identifikasi perilaku yang disadari ataupun tidak disadari, yang
secara potensial dapat mengakibatkan kerugian bagi diri sendiri maupun orang lain

Petugas penerima wajib lapor harus menjaga profesionalisme, apalagi terkait


dengan undang-undang No. 35/2009 tentang narkotika yang menyebutkan orang yang
mengetahui adanya gangguan penggunaan Napza namun tidak melaporkan kepada pejabat
berwenang dapat dikenakan sanksi pidana. Hal ini bisa menempatkan petugas kesehatan
pada situasi dilematis dalam menjaga kerahasiaan pecandu yang melakukan wajib lapor.
Dalam pelaksanaannya petugas kesehatan penerima wajib lapor harus :
1. Mengutamakan kepentingan dan keselamatan pasien
2. Bertanggung jawab dan bebas dari konflik kepentingan manapun.
3. Senantiasa meningkatkan kompetensinya yaitu pengetahuan dan keterampilan tentang
gangguan penggunaan Napza sesuai dengan perkembangan ilmu terbaru.
4. Menjaga kerahasiaan pecandu Narkotika. Pada situasi khusus ada kalanya petugas
penerima wajib lapor membuka tentang data pecandu narkotika pada pihak yang
berwajib untuk kepentingan hukum.
5. Menjaga hubungan profesional antara petugas itu sendiri baik kepada pimpinan atau
bawahannya dan kepada pecandu Narkotika yang melakukan wajib lapor, serta
terhadap lintas sektoral terkait.
6. Bersedia melakukan rujukan bila institusi yang menerima wajib lapor tidak memiliki
kemampuan untuk melaksanakan pengobatan/perawatan yang sesuai dengan rencana
terapi yang telah disepakati antara petugas dengan pecandu narkotika yang
melaporkan diri.
Mengingat pasien dengan gangguan penggunaan Napza yang kerap berhubungan
dengan tindak kriminalitas maka tak jarang petugas kesehatan, dalam hal ini dokter
sebagai profesi yang tersumpah diminta keterangan sebagai ahli. Keterangan ahli dapat
diberikan secara lisan maupun tertulis. Keterangan ahli secara lisan bisa diberikan pada
saat sidang di pengadilan maupun pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut
umum yang dituangkan dalam satu bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah
diwaktu menerima jabatan atau pekerjaan. Keterangan ahli secara tertulis adalah surat

22

[Type text]

keterangan dari ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu
hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi kepadanya.
Pokok Bahasan 5
PERAN DAN FUNGSI PETUGAS
Sampai saat ini kompetensi tenaga kesehatan dilayanan terapi dan rehabilitasi
masih sangat terbatas baik dari sisi ketenagaannya maupun keterampilan petugas dalam
penatalaksanaan pasien dengan gangguan penggunaan Napza dan pemahaman yang benar
tentang gangguan penggunaan Napza. Selain hal diatas aksesibilitas pecandu narkotika
yang mencari pertolongan medis masih kurang karena masih adanya stigma dan
diskriminasi yang dihadapi pecandu narkotika dari masyarakat dan petugas kesehatan
sendiri.
Pada pelatihan ini diharapkan petugas mengetahui peran dan fungsi mereka
nantinya dalam melaksanakan proses wajib lapor yang terdiri dari :
1. Melakukan asesmen klinis
Instrumen yang digunakan dalam melakukan asesmen untuk wajib lapor ini sesuai
dengan yang terdapat dalam lampiran peraturan menteri yang ditetapkan. Penting
bagi petugas untuk dapat menentukan atau meninjau besar atau beratnya masalah
penggunaan Narkotika yang dialami pecandu. Dari asesmen ini juga petugas mampu
mengidentifikasi perilaku penggunaan narkotika mereka, serta menemukan batasbatas masalah kesehatan akibat efek penggunaan narkotikanya.
2. Menegakkan diagnosa
Sesuai dengan asesmen yang telah dilakukan di awal proses penerimaan pecandu
narkotika.
3. Menyusun rencana terapi dan rujukan
Rencana terapi disusun dengan mempertimbangkan hasil pemeriksaan awal dan
diagnosis yang diperoleh berdasarkan hasil asesmen. Tidak semua institusi wajib
lapor memiliki modalitas terapi yang lengkap, pada layanan yang tidak tersedia
perawatan khusus maka petugas tersebut wajib untuk melakukan rujukan ke
tempat lain sesuai dengan kebutuhan pecandu narkotika tersebut. Tidak jarang
pecandu narkotika yang datang tidak murni hanya dengan masalah Napzanya saja
tapi juga banyak diantara mereka dengan masalah dual diagnosis atau triple
diagnosis yang tentunya membutuhkan penanganan lebih khusus.
23

[Type text]

4. Melakukan rehabilitasi medis minimal sesuai dengan rencana terapi yang


ditentukan.
Dalam rehabilitasi minimal ini diharapkan juga dapat dipergunakan pada layanan
dasar seperti di puskesmas, tidak hanya dalam bentuk rawat inap, tapi juga bisa
melalui rawat jalan.
5. Melakukan monitoring dan evaluasi dari penyelenggaraan proses wajib lapor
Peran dan fungsi petugas kesehatan dalam memberikan pelayanan sebagai petugas
penerima wajib lapor merupakan kontribusi yang penting oleh karena itu dibutuhkan
beberapa kriteria dalam memberikan layanan terapi dan rehabilitasi gangguan
penggunaan Napza.
Petugas kesehatan penerima wajib lapor idealnya juga memenuhi beberapa kriteria
lainnya seperti magang di pusat layanan terapi rehabilitasi gangguan penggunaan Napza
baik rawat inap maupun rawat jalan dan mempunyai motivasi untuk memberikan layanan
bagi pasien yang mengalami gangguan penggunaan Napza.

DAFTAR PUSTAKA
Kep Menkes No. 996/MENKES/SK/VIII/2002 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sarana
Pelayanan Rehabilitasi Penyalahgunaan dan Ketergantungan NAPZA
Kep Menkes No. 486/MENKES/SK/IV/2007 tentang Kebijakan & Rencana Strategi
Penanggulangan Penyalahgunaan NAPZA
Permenkes No. 269 tahun 2008 tentang Rekam Medis
Kep Menkes No. 421/MENKES/SK/III/2010 tentang Standar Pelayanan Terapi dan
Rehabilitasi Gangguan Penggunaan NAPZA
Permenkes No. 2415 tahun 2011 tentang Rehabilitasi Medis Pecandu, Penyalahguna dan
Korban Penyalahgunaan Narkotika
Sarasvita, R. and A. Anwar. (2002). Kilas Balik 30 Tahun RS Ketergantungan Obat. Jakarta:
RSKO
Marc Stauch and Kay Wheat. (2005). Text, Cases and materials on Medical Law third edition
24

MI-1

25

[Type text]

MATERI INTI 1
KETERGANTUNGAN NARKOTIKA

BAB I. DESKRIPSI SINGKAT


Dalam masalah ketergantungan narkotika banyak terdapat istilah untuk suatu
obyek atau kondisi yang sama atau hampir sama, misalnya narkoba, napza dan narkotika.
Sebaliknya satu istilah bisa mempunyai pengertian yang berbeda karena sudut pandang
yang berbeda, misalnya istilah ketergantungan (dependence) dapat diartikan
ketergantungan fisik dan tidak ada kaitannya dengan penyalahgunaan (abuse), tetapi ada
pula yang mengartikan sebagai adiksi, yaitu penggunaan yang tak terkendali.
Narkotika dalam buku panduan ini meliputi berbagai zat psikoaktif yang secara
farmakologik sangat berbeda namun menurut Undang-Undang yang berlaku sama-sama
termasuk narkotika.Untuk memahami bagaimana mekanisme terjadinya interaksi
narkotika dan otak di mana narkotika itu berpengaruh sehingga bisa terjadi toleransi,
gejala putus narkotika dan ketergantungan, dibahas secara singkat patofisiologi
ketergantungan.
Masalah ketergantungan narkotika merupakan suatu masalah yang sangat
kompleks termasuk di dalamnya terdapat aspek moral, psikologis, sosial, kultural, medis
dan biologis. Oleh karena itu dalam modul ini dibahas berbagai pendekatan terhadap
masalah ketergantungan narkotika dan berbagai macam faktor kontributifnya.

BAB II. TUJUAN PEMBELAJARAN


A. Tujuan Pembelajaran Umum
Pada akhir sesi ini peserta mampu menjelaskan pengetahuan dasar ketergantungan
narkotika.
B. Tujuan Pembelajaran Khusus
Pada akhir sesi ini, peserta mampu
1. menjelaskan
berbagai
terminologi
yang
berkaitan
ketergantungannarkotika.
2. menyebutkan berbagai jenis narkotika menurut PPDGJ III

dengan

26

[Type text]

3. menyebutkan penggolongan narkotika menurut UU RI Nomor 35 tahun


2009tentang Narkotika
4. menjelaskan patofisiologi ketergantungan narkotika
5. menjelaskan faktor-faktor kontribusi pada terjadinya ketergantungan
narkotika.
6. menjelaskan berbagai pendekatan terhadap masalah ketergantungan narkotika.

BAB III. POKOK BAHASAN DAN SUB POKOK BAHASAN


Dalam modul ini akan dibahas pokok bahasan sebagai berikut:
Pokok Bahasan 1. Terminologi.
Pokok Bahasan 2. Klasifikasi zat psikoaktif menurut PPDGJ III.
Pokok Bahasan 3. Penggolongan narkotika menurut UU RI nomor 35 tahun 2009
tentang Narkotika
Pokok Bahasan 4. Patofisiologi ketergantungan narkotika
4.1. Anatomi otak
4.2. Fisiologi neurotransmiter & reseptor
4.3. Perubahan neurobehavioral
Pokok Bahasan 5. Faktor-faktor kontribusi
5.1. Faktor genetik
5.2. Faktor risiko tinggi
5.3. Faktor lingkungan keluarga
5.4. Faktor lingkungan sekolah
5.5. Faktor lingkungan sosial
Pokok Bahasan 6. Pendekatan terhadap masalah ketergantungan narkotika
6.1. Pendekatan moral.
6.2. Pendekatan psikososiokultural.
6.3. Pendekatan penyakit.
6.4. Pendekatan biopsikososial.

27

[Type text]

BAB IV. URAIAN MATERI


Pokok Bahasan 1 : TERMINOLOGI

Narkotika. Menurut Undang Undang RI nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika, yang
disebut narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman,
baik sintetis maupun semisintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan
kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat
menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana
terlampir dalam undang-undang tersebut diatas.
Penggolongan zat atau tanaman kedalam jenis narkotika tidak sejalan dengan terminologi
dalam farmakologi. Salah satu hal yang mendasari adalah dari besaran masalah
penggunaannya.
Narkotika berasal dari kata Yunani narkotikos yaitu obat apa saja yang menginduksi tidur.
Narkotika sering diartikan untuk lingkup yang lebih sempit, yaitu sebagai opioda dan
dalam konteks legal seperti pada undang-undang tersebut di atas sebagai senyawa yang
sering disalahgunakan dan bersifat adiktif.
Psikotropika. Menurut Undang Undang RI nomor 5 tahun 1997 tentang psikotropika, yang
dimaksud psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan
narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat
dan meyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.
Zat Psikoaktif. Istilah psikoaktif dipakai dalam buku International Classification of Diseases
edisi 10 (ICD 10) dan dalam buku Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa
edisi III (PPDGJ III). Zat psikoaktif adalah zat yang bekerja pada susuanan saraf pusat
secara selektif sehingga dapat menimbulkan perubahan pada pikiran, perasaan, perilaku,
persepsi maupun kesadaran (Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Zat
Psikoaktif, Joewana, EGC, 2004).
Napza. Akronim dari Narkotika, Psikotropika,Zat Adiktif lain. Akronim ini banyak
digunakan oleh jajaran Kementerian Kesehatan.
Narkoba. Akronim dari Narkotika dan Bahan adiktif lain. Akronim ini disukai oleh jajaran
penegak hukum.
28

[Type text]

Opium. Dalam bahasa Yunani opos, artinya getah (juice), maksudnya getah dari kotak biji
tanaman Papaver somniferum (pohon candu).
Opiat. Semua senyawa yang berasal dari produk yang terdapat dalam opium, baik yang
alami seperti morfin, kodein dan tebain, maupun yang semi-sintetik seperti heroin.
Opioda. Semua senyawa yang mempunyai fungsi dan sifat farmakologis seperti opiat, jadi
metadon.
Zat Psikedelik (Psychedelic agent). Senyawa yang dapat menimbulkan gangguan persepsi
seperti halusinasi, ilusi dan waham, termasuk di dalamnya adalah senyawa halusinogenik
yaitu senyawa yang dalam dosis kecil menimbulkan gangguan persepsi, pikiran, perasaan,
akan tetapi pengaruhnya terhadap daya ingat dan orientasi minimal
Club drug. Zat yang banyak digunakan di klub-klub (allnite dance) seperti ecstasy, LSD, PCP,
ketamin.
Ketergantungan zat (termasuk narkotika) memiliki dua pengertian: 1) sesuai dengan yang
tertera pada ketentuan umum UU No. 35/2009 tentang Narkotika dan 2) sesuai dengan
pengertian ilmiah.
Ketergantungan narkotika menurut UU tersebut adalah kondisi yang ditandai oleh
dorongan untuk menggunakan narkotika secara terus menerus dengan takaran yang
meningkat agar menghasilkan efek yang sama dan apabila penggunaannya dikurangi / atau
dihentikan secara tiba-tiba, menimbulkan gejala fisik dan psikis yang khas. Sedangkan
menurut pemahaman ilmiah, ketergantungan zat (termasuk narkotika) terjadi karena
penggunaan zat berulang kali secara teratur sehingga terjadi toleransi dan gejala putus zat.
Keadaan ini dapat terjadi sekalipun penggunaannya bertujuan terapeutik. Ketergantungan
ini mudah disembuhkan.
Karena pada saat putus zat timbul gejala fisik, maka sering disebut ketergantungan fisik.
Pada tahun 1987, American Psychiatric Association (APA) menggunakan istilah
ketergantungan zat bagi penggunaan zat yang tak terkendali dan lazim disebut sebagai
adiksi. Istilah adiksi ditinggalkan karena mengandung konotasi negatif bagi pasien.
Penyalahgunaan Zat. Menurut PPDGJ II atau DSM III, penyalahgunaan zat adalah pola
penggunaan zat yang bersifat patologis paling sedikit 1 bulan lamanya sehingga
menimbulkan hendaya dalam fungsi sosial atau pekerjaan.Yang dimaksud dengan
29

[Type text]

penggunaan yang patologis misalnya sampai terjadi intoksikasi sepanjang hari, tidak
mampu mengendalikan atau menghentikan penggunaan tersebut, ada usaha untuk
abstinensi berulang kali, terus menggunakan zat tersebut walaupun mengetahui bahwa
penggunan zat tersebut menyebabkan eksaserbasi penyakit fisik akibat zat tersebut.
Yang dimaksud paling sedikit 1bulan, tidak harus setiap hari dalam 1 bulan tetapi cukup
sering sehingga menimbulkan hendaya fungsi sosial dan pekerjaan.Yang dimaksud dengan
hendaya fungsi sosial misalnya tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai anggota
keluarga, mengalami masalah hukum akibat menggunakan zat.
Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Zat psikoaktif ( ICD 10, PPDGJ III )
adalah kelompok gangguan mental yang berkaitan dengan penggunaan zat psikoaktif, jadi
bukan suatu diagnosis. Dalam kelompok gangguan mental ini terdapat 8 kondisi klinik
yaitu: intoksikasi akut, penggunaan yang merugikan, sindroma ketergantungan, keadaan
putus zat, keadaan putu zat dengan delirium, gangguan psikosis akibat zat, sindroma
amnestik akibat zat, gangguan psikosis residual dan onset lambat akibat zat.
Intoksikasi akut : suatu kondisi yang timbul akibat penggunaan zat psikoaktif sehingga
terjadi gangguan kesadaran,fungsi kognitif,persepsi, afek, perilaku atau fungsi dan respons
psikofisiologis lainnya.
Penggunaan yang merugikan: suatu pola penggunaan zat psikoaktif yang menyebabkan
terganggunya kesehatan, dapat berupa gangguan kesehatan fisik maupun gangguan
kesehatan mental.
Sindroma ketergantungan : adalah sindroma yang terdiri paling sedikit 3 dari yang berikut
ini: (1) adanya keinginan yang kuat untuk menggunakan zat psikoaktif, (2) ganguan dalam
mengendalikan perilaku penggunakan zat psikoaktif, (3) adanya gejala putus zat, (4)
toleransi, (5) preokupasi terhadap zat psikoaktif, (6) tetap menggunakan zat psikoaktif
walaupun menderita gangguan yang nyata akibat zat psikoaktif yang digunakannya.
Keadaan putus zat: kumpulan gejala yang timbul sebagai akibat berhenti atau mengurangi
jumlah zat psikoaktif yang biasa digunakan secara cukup teratur dan sering dalam jumlah
yang banyak.
Keadaan putus zat dengan delirium: sama dengan putus zat tersebut di atas tetapi disertai
delirium,dapat diserta kejang atau tanpa kejang.

30

[Type text]

Gangguan psikotik akibat zat psikoaktif: psikosis yang muncul pada waktu menggunakan
zat psikoaktif yang menetap lebih dari 48 jam dan berlangsung paling lama 6 bulan.
Ketergantungan psikis atau ketergantungan emosional atau habituasi : suatu keadaan bila
berhenti menggunakan zat psikoaktif tertentu yang biasa digunakan akan mengalami
kerinduan yang sangat kuat untuk menggunakan zat tersebut walaupun tidak mengalami
gejala fisik.
Toleransi : adalah suatu keadaan ketika untuk memperoleh efek yang sama dari suatu zat
psikoaktif, makin lama makin dibutuhkan dosis yang makin banyak.
Toleransi silang : keadaan di mana seseorang yang toleran terhadap satu jenis zat
psikoaktif, juga toleran terhadap zat psikoaktif lain yang sifat farmakologiknya sama.
Contoh toleransi silang antara alkohol dan obat tidur.
Adverse tolerance: suatu keadaan di mana untuk memperoleh efek suatu zat makin lama
makin dibutuhkan jumlah yang lebih sedikit. Contoh: pada penggunaan ganja, sebab
adanya efek kumulatif dari zat psikoaktif dalam ganja ( THC ).

Istilah Gaul
Para pengguna zat psikoaktif merupakan suatu subkultur yang biasanya mempunyai
bahasa gaul tersendiri. Bahasa gaul ini bisa berbeda untuk setiap daerah dan senantiasa
mengalami perubahan, artinya yang lama sudah tidak digunakan lagi, sebaliknya muncul
istilah gaul yang baru. Berikut ini disajikan beberapa istilah gaul yang umum dan masih
sering terdengar dengan tujuan agar petugas kesehatan lebih mudah membentuk rapport.
Acid / Elsid : adalah LSD, sejenis zat halusinogenik.
Amper : amplop
Bokul : beli
Cimeng : ganja, gele, budha stick
Cucau, ngive: menggunakan putau dengan cara menyuntik ke dalam urat darah,
intravena.
- Putau, pete, etep: heroin dalam peredaran ilegal, isinya tidak murni heroin.
- Gau : satuan berat, khususnya untuk putau.
- Giting : intoksikasi, mabok, beler
-

31

[Type text]

Insul, Spidol: alat suntik, spuit, syringe.


Linting:ukuran jumlah, untuk ganja.
Ngedrag: menggunakan putau dengan cara inhalasi asap putau yang dibakar.
Ngelem : mengonsumsi inhalansia seperti lem,minyak cat, aseton.
Ngubas: nyabu, mengonsumsi sabu-sabu/ SS atau susu/ Ubas (metamfetamin)
Nyepet : mengonsumsi putau dengan cara menyuntik = ngive = cucau.
Pakau, Wakap : paka(u)w, intoksikasi putau
Paket : satuan jumlah putau.
Parno: sedang mengonsumsi sabu-sabu, intoksikasi metamfetamin
Pedau : sedang mengonsumsi putau.
Pil gedek : ekstasi
Pil koplo = pil anjing: sedatin, sejenis obat tidur.
Riv: rivotril : obat anti kejang.
Sakau, Wakas : saka(u)w, sakit karena putau, sindroma putus opioida
Seperempi : seperempat (gau)
Setengki : setengah (gau)
Syut: satu syut = satu isapan

Pokok Bahasan 2 :KLASIFIKASI ZAT PSIKOAKTIF MENURUT PPDGJ III


Dalam buku PPDGJ III atau ICD 10, zat psikoaktif dikelompokkan menjadi sebagai
berikut:
1. Alkohol, yaitu semua minuman yang mengandung etanol seperti bir, wiski, vodka,
2. brem, tuak, saguer, ciu, arak.
3. Opioida, termasuk di dalamnya adalah candu, morfin, heroin, petidin, kodein,
metadon.
4. Kanabinoid, yaitu ganja atau marihuana, hashish.
5. Sedatif dan hipnotik, misalnya nitrazepam, klonasepam, bromazepam.
6. Kokain, yang terdapat dalam daun koka, pasta kokain, bubuk kokain.
7. Stimulan lain, termasuk kafein, metamfetamin, MDMA.
8. Halusinogen, misalnya LSD, meskalin, psilosin, psilosibin.
9. Tembakau yang mengandung zat psikoaktif nikotin.
10. Inhalansia atau bahan pelarut yang mudah menguap, misalnya minyak cat, lem,
aseton.

Pokok Bahasan 3 : PENGGOLONGAN NARKOTIKA MENURUT UNDANG-UNDANG RI


NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA
32

[Type text]

Dalam Undang-undang ini, narkotika dibedakan menjadi 3 golongan, tanpa


memperhatikan struktur molekul maupun khasiat farmakologiknya.

Golongan I :
o Dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan
o Dalam jumlah terbatas, narkotika golongan I dapat digunakan untuk
kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan untuk
reagensia diagnostik, serta reagensia laboratorium setelah mendapatkan
persetujuan menteri atas rekomendasi Kepala Badan Pengawas Obat dan
Makanan ( pasal 8 ).
o Termasuk narkotika golongan I adalah opium, heroin, kokain, ganja,
metakualon, metamfetamin, amfetamin, MDMA, STP, fensiklidin.
Golongan II :
o Berpotensi tinggi menyebabkan ketergantungan dan digunakan dalam
pengobatan sebagai pilihan terakhir.
o Termasuk dalam golongan ini adalah morfin,petidin, metadon.
Golongan III:
o Berpotensi ringan menyebabkan ketergantungan dan digunakan dalam
terapi.
o Termasuk dalam golongan ini adalah kodein, bufrenorfin.

Pokok Bahasan 4 : PATOFISIOLOGI


1.1. Anatomi Otak
Manusia cenderung mengulangi pengalaman atau sensasi yang menyenangkan dan
menghindari pengalaman yang tidak menyenangkan. Bagian otak yang mencatat
pengalaman atau sensasi yang menyenangkan disebut brain reward system, yang meliputi
NucleusAccumbens (Nac), VentralTegmentalArea (VTA), LocusCoeruleus (LC),
PeriaqueductalGrey(PAG), amygdala, medial fore-brain bundle yang berisi serabut
dopaminergik dari Nac dan VTA ke korteks pra-frontal.

1.2. Fisiologi neurotransmiter dan reseptor

33

[Type text]

Stimulus pada otak dijalarkan secara elektrik di dalam sel otak (neuron) dan secara
kemikal dari satu neuron ke neuron lain pada celah sinaps dengan perantaraan
neurotransmiter. Ada banyak jenis neurotransmiter, antara lain dopamin, serototin,
epinefrin, norepinefrin, asetilkolin, endorfin dan enkefalin. Dalam hal adiksi
neurotransmiter yang paling penting berperan adalah dopamin (neurotransmiter
kenikmatan).
Neurotransmiter, narkotika dan zat psikoaktif lain berpengaruh pada kerja otak
melalui reseptor yang terdapat pada sinaps dan dinding sel saraf.
Di dalam otak terdapat senyawa endogen yang berkaitan dengan rasa nyaman termasuk
menghilangkan rasa nyeri dan kecemasan seperti endorfin (= morfin), anandamida (=
marihuana/ THC), dopamin (= kokain, amfetamin), asetilkolin (= nikotin).
4.3.Perubahan Neurobehavioral
Setiap jenis narkotika dan zat psikoaktif lainnya memengaruhi kinerja
neurotransmiter tertentu sehingga terjadi perubahan perilaku (menjadi lebih aktif atau
menjadi lamban), perasaan (euforia), proses pikir (lebih cepat atau lebih lamban), isi pikir
(waham), persepsi (halusinasi), dan kesadaran (menurun atau lebih siaga). Bila zat
psikoaktif yang dikonsumsi berlebih dapat terjadi intoksikasi akut sampai overdose. Bila
pemakaian narkotika berlangsung lama maka akan terjadi toleransi, artinya reseptor
menjadi kurang responsif terhadap narkotika itu sehingga untuk timbulnya sensasi
(euforia) seperti semula diperlukan jumlah yang lebih banyak (toleransi seluler). Toleransi
juga bisa terjadi karena metabolisme narkotika oleh hepar menjadi lebih cepat (toleransi
metabolik). Secara psikologis orang yang menerima kenaikan gaji beberapa kali lipat akan
merasa sangat senang pada mulanya, tetapi setelah beberapa bulan kenaikan itu makin
kurang dirasakan sebagai sesuatu yang menggembirakan. Demikian pula orang yang
semula cukup menikmati efek euforik dengan1 linting ganja, secara psikologis ingin
menambah rasa euforik dengan menambah jumlah linting ganja (toleransi behavioral).
Bila seseorang telah lama menggunakan morfin atau opioida pada umumnya, maka
produksi endorfin dalam tubuh orang itu akan berkurang. Bila pada suatu saat orang itu
menghentikan atau mengurangi jumlah morfin yang dikonsumsinya, maka tubuh orang itu
akan kekurangan morfin / endofin, yang secara klinis akan bermanifestasi dalam bentuk
gejala putus opioida.

Pokok Bahasan 5: FAKTOR-FAKTOR KONTRIBUSI


34

[Type text]

Faktor kontribusi meliputi faktor etiologik (yang sebenarnya belum diketahui


dengan pasti), faktor konstitusi, faktor peluang dan faktor pencetus, dari yang bersifat
genetik, psikologik, maupun sosial dan kultural.

5.1.Faktor genetik.
Penelitian pada pengguna, penyalahguna dan ketergantungan kokain dengan
membandingkan angka konkordan antara kembar monozigot dan kembar dizigot
memperlihatkan perbedaan yang signifikan
Pengguna Penyalahguna Ketergantungan
Monozigot 54%
47%
35%
Dizigot
42%
8%
0%
Terbukti faktor genetik juga berperan dalam terjadinya ketergantungan ganja,
psikostimulan (ecstasy, metamfetamin) dan opioida.
5.2. Faktor risiko tinggi
Anak dengan ciriciri berikut termasuk kelompok risiko tinggi menjadi ketergantungan
narkotika di kemudian hari:
Hiperaktif
Tidak tekun
Sulit memusatkan perhatian
Mudah kecewa dan menjadi agresif atau destruktif
Mudah murung
Cenderung makan berlebihan
Merokok mulai pada usia dini (saat masih di SD)
Sadis (terhadap saudara atau hewan piaraan)
Sering berbohong, mencuri dan melanggar tata tertib
Memiliki taraf kecerdasan perbatasan
Remaja dengan ciri-ciri berikut termasuk kelompok risiko tinggi:
35

[Type text]

Identitas jender kabur


Sedih atau cemas
Mempunyai kecenderungan melawan norma yang berlaku
Memliki sifartidak sabar yang menyolok
Sering melakukan perbuatan yang mengandung risiko berbahaya
Kurang religius
Motivasi belajar lemah
Kurang berminat kepada kegiatan positif (olah raga, kesenian, dll)

5.3 Faktor lingkungan keluarga

Ada anggota keluarga, terutama orangtua yang mengonsumsi narkotika


Keluarga yang disharmonis
Orangtua yang terlalu mengatur anak
Orangtua yang kurang komunikatif dengan anak
Orangtua yang terlalu menuntut anak untuk berprestasi
Orangtua yang terlalu sibuk dan kurang perhatikan anak

5.4 Faktor lingkungan sekolah


Sekolah yang tidak tertib dan tidak menegakkan disiplin dengan baik.
5.5 Faktor lingkungan sosial
Masyarakat yang anomik.
Mudah diperolehnya narkotika.

Pokok Bahasan 6: BERBAGAI PENDEKATAN TERHADAP MASALAH


KETERGANTUNGAN NARKOTIKA
Masalah ketergantungan narkotika merupakan masalah yang sangat rumit, bukan sematamata masalah kesehatan atau medis, tetapi juga merupakan masalah moral,hukum,
psikologis, sosial, kultural dan pendidikan, yang terkait satu dengan yang lainnya.
Oleh karena itu dalam masalah ketergantungan narkotika terdapat berbagai pendekatan.
Berikut ini disampaikan beberapa pendekatan yang patut diketahui.
6.1.Pendekatan Moral
36

[Type text]

Pendekatan ini berpendapat bahwa adiksi adalah konsekuensi dari pilihan pribadi
seseorang. Pilihan itu merupakan pilihan yang menimbulkan masalah walaupun
sebenarnya orang itu mampu melakukan pilihan lain yang tidak menimbulkan masalah.
Pendekatan ini dianut oleh banyak agama dan penegak hukum. Intoksikasi dinilai sebagai
suatu dosa oleh beberapa agama dan konsumsi alkohol dilarang oleh agama tertentu
(Muslim, Mormon). Kejahatan yang dilakukan oleh seorang yang mengalami adiksi adalah
dibawah kehendaknya, bukan karena penyakit.

6.2. Pendekatan Psiko-sosio-kultural


Pendekatan model ini berpendapat bahwa adiksi terjadi karena faktor eksternal seperti
budaya, keluarga, teman, atau karena faktor psikologik. Model ini tidak sependapat dengan
model penyakit dan menunjukkan bahwa di kalangan bangsa Cina dan bangsa Yahudi,
prevalensi alkoholisme rendah, sebab pada kedua kebudayaan tersebut konsumsi alkohol
dalam jumlah yang wajar tidak dilarang, tetapi penggunaan berlebihan dilarang. Pada
kedua kebudayaan tersebut, anak muda mengonsumsi alkohol dalam konteks sosial atau
seremonial bersama sama orang dewasa. Di kalangan orang Amerika keturunan Irlandia
prevalensi alkoholime tinggi karena mengonsumsi jumlah banyak alkohol dapat diterima
dalam kebudayaan mereka. 30% anak dari orangtua yang alkoholik juga menjadi alkoholik
dan hanya 10 % anak dari orangtua yang peminum alkohol dalam jumlah moderat menjadi
alkoholik. Pada keluarga yang ikatan emosionalnya lemah, keluarga yang kaku, atau
keluarga yang terlalu moralistik mengakibatkan keturunannya cenderung menjadi
alkoholik.
Adiksi terjadi sebagai akibat adanya masalah psikologis yang mendasarinya, misalnya
kecewa, sedih dan kecemasan.
Menurut pendekatan ini, tidak semua pola penggunaan narkotika termasuk
penyalahgunaan.
Experimental user adalah mereka yang menggunakan narkotika atau zat psikoaktif lain
sekedar untuk memenuhi rasa ingin tahu saja, yang biasanya dipicu oleh tawaran orang
lain (kawan). Sebagian besar experimental user berhenti sampai pada keinginan untuk
mencoba saja.

37

[Type text]

Recreational user adalah sebagian dari experimental user yang di kemudian hari
menggunakan narkotika atau zat psikoaktif lain dengan tujuan sosialisasi, tidak beda
dengan orang yang menikmati kopi, merokok atau minum bir pada saat berkumpul
bersama sama teman-temannya.
Situational user adalah mereka yang menggunakan narkotika atau zat psikoaktif lain untuk
menghilangkan rasa tidak nyaman seperti rasa nyeri, kecewa, cemas dan depresi.
Abuser adalah mereka yang menggunakan narkotika atau zat psikoaktif lain secara
patologis paling singkat 1 bulan lamanya sehingga menimbulkan gangguan fungsi sosial
atau pekerjaan (lihat istilah penyalahgunaan pada pokok bahasan terminologi)
Compulsive dependent user adalah mereka yang sudah mengalami ketergantungan (lihat
istilah ketergantungan pada pokok bahasan terminologi)
6.3. Pendekatan Penyakit
Model ini pertama kali dikemukakan oleh Jellinek (1960) berkaitan dengan terjadinya
alkoholisme. Pendapat ini didukung dengan penelitian pada biokimia otak, di mana pada
adiksi terjadi perubahan kimiawi di otak sama seperti pada penyakit kronis lain : diabetes,
asma dan hipertensi. Model ini berpendapat bahwa adiksi adalah penyakit primer, bukan
disebabkan karena adanya gangguan jiwa lain. Pendekatan ini banyak mendapat kritik,
antara lain ialah bahwa jumlah sampel dalam penelitian Jellinek sangat sedikit.Model ini
mendatangkan profit dan secara politis berhasil sebab meluas kepada masalah lain yang
juga dianggap sebagai penyakit seperti eating problem, child abuse, judi, shopping addiction,
ketegangan pra-menstruasi, compulsive love affair.
Kelebihan model penyakit adalah menghilangkan stigma terhadap penderita adiksi,
memberi peluang untuk terapi dan rehabilitasi dan kesempatan terbuka untuk melakukan
penelitian terhadap adiksi.
Kelemahan model penyakit adalah bahwa pasien menjadi merasa tidak bertanggung jawab
atas perbuatan kriminal atau kekerasan terhadap orang lain sebab perbuatannya
diakibatkan karena penyakitnya. Sebaliknya bila seorang penderita adiksi tidak mengalami
masalah pekerjaan, keuangan maupun kriminal tidak dianggap sebagai seorang penderita
adiksi sehingga tidak dianjurkan berobat sebab tidak memperlihatkan gejala klasik seorang
dengan adiksi.
38

[Type text]

6.4. Pendekatan Biopsikososial


Para pakar dalam adiksi saat ini berpendapat bahwa adiksi adalah suatu sindroma
multivariat, artinya terdapat berbagai pola penggunaaan zat psikoaktif yang bersifat
disfungsional, yang dialami oleh orang dengan berbagai tipe kepribadian,dengan berbagai
akibat yang berbeda-beda, dengan prognosis yang berbeda-beda serta membutuhkan
intervensi terapeutik yang berbeda pula.

Daftar referensi
1. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia ( PPDGJ ) II, Departemen Kesehatan RI, 1985.
2. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia ( PPDGJ ) III, Departemen Kesehatan RI, 1993.
3. The ICD 10 Classification of Mental and Behavioural Disorders, WHO, 1992.
4. Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Zat Psikoaktif, Satya Joewana,
EGC, 2004.
5. Substance Abuse: Information for School Counselors, Social Workers, Therapists and
Counselors, 4th ed, Fisher & Harrison ,Allyn &Bacon Publ., 2009.
6. 4 Undang-Undang Bidang Hukum dan Sosial Budaya, CV Eko Jaya, Jakarta, 2009.

39

[Type text]

MATERI INTI 2
ASESMEN DAN DIAGNOSIS KETERGANTUNGAN NARKOTIKA

BAB I : DESKRIPSI SINGKAT


Gangguan penggunaan narkotika/NAPZA secara umum, merupakan suatu masalah
kompleks yang meliputi aspek fisik, psikologis dan sosial. Untuk menentukan besaran
masalah pada diri seseorang, diperlukan asesmen klinis secara komprehensif, dimana hasil
asesmen ini merupakan dasar untuk menentukan intervensi atau rencana terapi yang
sesuai untuk individu yang bersangkutan. Dari segi terminologi, asesmenketergantungan
narkotika/NAPZA adalah suatu proses mendapatkan informasi menyeluruh pada individu
dengan gangguan penggunaan narkotika/NAPZA, baik pada saat awal masuk program,
selama menjalani program dan setelah selesai program.
Asesmen dilakukan dengan cara observasi, wawancara maupun pemeriksaan fisik.
Dalam mengobservasi klien, asesor/terapis perlu mendengarkan dengan seksama respons
yang diberikan klien, baik yang bersifat verbal (apa yang dikatakan), maupun yang bersifat
non verbal (bahasa tubuh, mimik muka, intonasi suara, dan lain-lain). Seringkali apa yang
40

[Type text]

dikatakan bukan hal yang sungguh-sungguh dialami oleh klien. Untuk itulah seorang
asesor/terapis perlu terlatih dalam membaca bahasa tubuh klien.Dalam melakukan
wawancara, teknik bertanya dengan pertanyaan terbuka perlu dikuasai oleh
asesor/terapis.Setiap informasi yang diberikan oleh klien merupakan faktor baru yang
perlu ditambahkan untuk memperoleh gambaran tentangklien secara utuh. Sementara itu
pemeriksaan fisik dilakukan untuk melengkapi informasi tentang klien, baik pemeriksaan
umum seperti tekanan darah, nadi dan suhu badan, maupun pemeriksaan penunjang
lainnya yang diperlukan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi klien (misalkan, urinalisis,
laboratorium lain, radiologi, dan sebagainya).
Untuk mendapatkan hasil asesmen yang komprehensif digunakan berbagai
instrumen yang sudah terstandarisasi dan dilakukan oleh petugas yang sudah terlatih.
Mengingat bahwa asesmen adalah salah satu syarat yang sangat penting dalam penegakan
diagnose dan menentukan tindak lanjut terapi untuk klien, maka diperlukan suatu
pemahaman tentang masalah gangguan penggunaan narkotika/NAPZA dan ketrampilan
berkomunikasi dari petugas kesehatan.

BAB II : TUJUAN PEMBELAJARAN


A. Tujuan pembelajaran umum:
Pada akhir sesi, peserta mampu :
Melakukan asesmen dan diagnosis ketergantungan Napza

B. Tujuan pembelajaran khusus:


Pada akhir sesi ini, peserta mampu:
1. Menjelaskan pengertian dan tujuan asesmen
2. Menjelaskan pertanyaan dan komponen yang penting dalam asesmen klinis
3. Menjelaskan jenis instrumen yang sering digunakan dalam skrining dan asesmen
4. Menjelaskan langkah-langkah asesmen dan prinsip-prinsip penegakan diagnosis
ketergantungan Napza
5. Menjelaskan tujuan pengisian formulir
6. Menjelaskan prosedur pengisian formulir
41

[Type text]

7. Mampu melakukan wawancara sesuai dengan pertanyaan didalam formulir


8. Mampu melakukan pengisian formulir
BAB III. POKOK BAHASAN
Dalam modul ini akan dibahas pokok bahasan berikut:
Pokok Bahasan 1. Pengertian dan tujuan asesmen klinis
Pokok Bahasan 2. Komponen klinis dalam asesmen dan kaitannya dengan rencana terapi
Pokok Bahasan 3. Jenis instrumen dalam skrining dan asesmen Napza
Pokok Bahasan 4. Persiapan dalam melaksanakan asesmen klinis dan prinsip penegakkan
diagnosis
Pokok Bahasan 5. Tujuan pengisian formulir
Pokok Bahasan 6. Prosedur pengisian formulir
Pokok Bahasan 7. Teknik wawancara dan pengisian formulir

BAB IV. URAIAN MATERI


POKOK BAHASAN 1 : PENGERTIAN DAN TUJUAN ASESMEN KLINIS
Dalam menentukan diagnosis gangguan penggunaan narkotika/NAPZA ada dua
langkah yang bisa dilakukan, yang pertama adalah skrining dengan menggunakan
instrumen tertentu. Tujuan skrining ini hanya untuk mendapat informasi adakah suatu
faktor risiko dan atau masalah yang terkait dengan penggunaan narkotika. Sedangkan
untuk mendapatkan gambaran klinis dan masalah yang lebih mendalam dilakukan
asesmen klinis yang bertujuan untuk :
1. Menginisiasi komunikasi dan interaksi terapeutik
2. Mendapat gambaran klien secara lebih menyeluruh dan akurat
3. Meningkatkan kesadaran tentang besar dan dalamnya masalah yang
dihadapi oleh klien terkait penggunaan narkotika
4. Membangun diagnosis
5. Memberikan umpan balik
42

[Type text]

6. Memotivasi perubahan perilaku


7. Menyusun rencana terapi
Skrining umumnya diterapkan pada kasus-kasus dimana dibutuhkan informasi
cepat terkait penggunaan narkotika/NAPZA, seperti pelaksanaan urinalisis disertai
wawancara singkat pada siswa atau karyawan yang diduga mengalami masalah gangguan
penggunaan narkotika/NAPZA. Skrining umumnya menjadi bagian awal dari proses
asesmen. Skrining dapat dilakukan oleh pihak-pihak non kesehatan (misalnya, kepolisian,
sekolah, tempat kerja, dan sebagainya) sebagai langkah awal, dan selanjutnya akan
dilakukan proses rujukan kepada fasilitas layanan kesehatan (fasyankes). Pihak
fasyankespun dapat melakukan skrining, terutama untuk pasien / klien pada poliklinik
umum atau spesialis yang diduga mengalami gangguan penggunaan NAPZA sebagai
penyulit atas proses kesembuhan penyakitnya.
Sesuai dengan tujuannya, asesmen dilakukan untuk memperoleh gambaran klien
secara lebih menyeluruh (komprehensif).Penyedia layanan terapi rehabilitasi NAPZA harus
melakukan asesmen untuk setiap klien yang datang, bukan sekedar skrining. Hal ini sangat
diperlukan mengingat hasil asesmen menjadi alat bantu dalam menyusun rencana terapi
dan menegakkan diagnosa. Selain itu asesmen yang dilakukan secara berkala (misalkan,
setiap 6 bulan) dapat membantu memperoleh gambaran hasil terapi rehabilitasi terhadap
diri klien. Yang tidak kalah pentingnya adalah hasil asesmen merupakan dokumen otentik
resmi yang dapat menjadi dasar bagi petugas kesehatan dalam memberikan keterangan
bagi penegak hukum apabila klien tertangkap tangan karena menggunakan NAPZA.

POKOK BAHASAN 2 : KOMPONEN KLINIS DALAM ASESMEN DAN KAITANNYA DENGAN


RENCANA TERAPI
Komponen penting yang perlu dinilai dalam asesmen meliputi empat kelompok besar,
yaitu :
43

[Type text]

a.

Riwayat penggunaan narkotika lengkap

Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan status mental

Pemeriksaan penunjang/laboratorium

Riwayat Penggunaan narkotika


-

Riwayat penggunaan narkotika (misal ; usia pertama kali pakai, zat yang
digunakan, perubahan yang drasakan, riwayat toleransi, overdosis, percobaan
untuk berhenti, keinginan menggunakan dan sugesti)

Riwayat pengobatan (misal ; pengobatan yang dilakukan sebelumnya, metode


pengobatan yang pernah dicoba, hasil dari pengobatan yang telah dilakukan)

Riwayat psikiatris (misal ; diagnosis psikiatrik, pengobatan yang telah dijalani,


hasil pengobatan)

Riwayat keluarga (misal ; penggunaan narkotika dalam keluarga, riwayat medis


dan psikiatrik keluarga)

Riwayat Medik (misal ; sistem pengobatan yang diterima, riwayat trauma dan
pembedahan sebelumnya, riwayat seksual, pengobatan saat ini dan lampau,
riwayat nyeri)

Riwayat Sosial (misal ; kualitas lingkungan dalam pemulihan, lingkungan tempat


tinggal keluarga, penggunaan narkotika pada lingkungan pendukung)

Riwayat legal (misal ; dalam urusan polisis, pernah dipenjara, menunggu


putusan pengadilan)

Kesiapan berubah (misal ; pemahaman masalah penggunaan narkotika pada


klien, tahapan perubahan klien, ketertarikan klien untuk oengobatan saat ini,
pengobatan secara sukarela atau dipaksa)

b. Pemeriksaan Fisik
-

Kondisi umum (keadaan umum, tanda-tanda vital)

Perilaku (tanda-tanda intoksikasi)


44

[Type text]

Keadaan kulit (basah, kemerahan, bekas suntikan, peradangan, kekuningan, dll)

Mata, Telinga, Hidung dan Tenggorokan (warna conjunctiva, pupil mata,


pembengkakan mucosa, septum nasi, rhinitis dan lain-lain)

Saluran pencernaan (Hepatomegali)

Paru dan Jantung

Reproduksi pria dan wanita

Neurologi (sensori, refleks patologis, fungsi saraf lainnya)

c. Pemeriksaan Status Mental (Dalam bentuk Checklist)


-

Penampilan umum

Perilaku dan interaksi dengan asessor

Pembicaraan

Aktivitas motorik

Mood dan afek

Persepsi (halusinasi)

Proses pikir

Isi pikir (ide-ide bunuh diri, menyakiti orang, waham)

Pemahaman diri (insight)

Kemampuan menilai

Motivasi untuk berubah

Fungsi kognitif (orientasi, daya ingat, konsentrasi, intelegensia)

Karakteristik kepribadian

Mekanisme defensif

d. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan ini merupakan bagian penting dari asesmen klinis pada klien ketergantungan
narkotika, meskipun hasil pemeriksaan laboratorium dan penunjang lainnya tidak tidak
dapat memberikan diagnosis namun berbagai hasil pemeriksaan laboratorium atau
penunjang lain berguna bagi pengembangan rencana terapi yang komprehensif. Beberapa
pemeriksaan laboratorium yang direkomendasikan untuk klien dengan gangguan
penggunaan narkotika, antara lain :
45

[Type text]

Pemeriksaan darah dan urin rutin


Tes Fungsi Hati (setidaknya SGOT dan SGPT)
Tes HIV melalui VCT atau PITC
Hepatitis B dan C
Serologi untuk Infeksi Menular Seksual
Tes untuk jenis zat (Toksikologi)
Tes kehamilan untuk klien wanita
Apabila secara klinis ada indikasi untuk melakukan pemeriksaan lainnya maka
dapat dilakukan pemeriksaan Rongent Foto Thorax, EKG atau EEG dan pemeriksaan
penunjang lain yang lebih canggih seperti CT scan atau MRI.

KAITAN ASESMEN DENGAN RENCANA TERAPI


a. Pertanyaan Dalam Asesmen
Saat memulai asesmen, asesor perlu memahami beberapa pertanyaan yang penting
agar tidak terjadi kesalahan dalam menyimpulkan apa yang sebenarnya menjadi masalah
bagi klien dan bagaimana mengatasi masalah tersebut. Beberapa daftar pertanyaan ini
dapat dipertimbangkan saat kita melakukan asesmen klinis :
1.

Apa yang dianggap suatu masalah bagi klien?

2.

Apa yang menjadi tujuan klien dalam terapi?

3.

Apa saja dukungan yang tersedia

yang dapat dipilih oleh klien untuk

mencapai tujuan klien?


4.

Hambatan apa saja yang mungkin menghalangi tujuan tersebut?

5.

Cara apa saja yang mungkin dilakukan untuk mengatasi hambatan yang akan
dihadapi?
46

[Type text]

6.

Apakah individu dapat menyelesaikan fase krisis dalam kehidupannya? Dan


bagaimana dampaknya terhadap efikasi diri klien?

7.

Apa saja kekuatan dan sumber daya yang dimilki oleh klien dalam mencapai
tujuan klien?

8.

Dukungan luar apa saja dari luar klien yang membantu klien untuk mencapai
tujuan terapi?

9.

Apa jalan yang terbaik yang bisa digunakan klien baik kekuatan klien sendiri
maupun dukungan sumber daya luar?

10.

Apa keinginan klien untuk melakukan sesuatu yang berbeda?

Salah satu model yang bisa digunakan dalam merencanakan program terapi bagi
klien adalah dengan melihat tahapan perubahan perilaku sesuai dengan teori
Prochaska dan DiClemente (1986) dan Davidson, dkk (1991). Meyakini waktu yang
tepat untuk melakukan intervensi merupakan salah satu kunci kesuksesan
tercapainya program. Meskipun klien masih dalam tahap ambivalens/kebimbangan
,ketrampilan terapis dapat mendorong klien untuk menerima suatu intervensi.
b.

Karakteristik asesor

Agar diperoleh hasil asesmen yang akurat, diperlukan hubungan yang baik atau terapeutik
antara asesor/terapis dengan klien. Beberapa sikap dan ketrampilan yang sebaiknya
dimiliki oleh asesor antara lain:
1. Kemampuan interpersonal yang baik: bersikap hangat, ramah, menghargai dan
empati
2. Ketulusan dalam menolong klien
3. Mampu memberikan afirmasi
4. Memberikan dukungan
5. Mampu menjadi pendengar yang baik melalui teknik reflective listening
6. Mampu memberikan pertanyaan terbuka dan menggali jawaban klien tanpa
menginterogasi

47

[Type text]

Sikap tubuh sebagaimana yang dipersyaratkan dalam melaksanakan konseling juga


merupakan salah satu alat untuk membina hubungan yang baik dengan klien.
c.

Rencana Terapi Multivariat

Hasil asesmen adalah dasar untuk menentukan intervensi atau rencana terapi bagi
klien. Hal yang perlu diketahui bahwa dalam mengembangkan suatu rencana terapi tidak
mudah, perlu melihat berbagai faktor yang akan mempengaruhi rencana terapi tersebut.
Setiap faktor berperan dalam mempengaruhi masalah gangguan penggunaan Napza yang
kompleks pada klien, penting untuk menentukan rencana terapi secara individualis sesuai
dengan kebutuhan klien dengan berdasarkan hasil asesmen yang akurat. Dibawah ini
beberapa hal yang dapat menjadi petunjuk agar rencana terapi dapat berhasil
dilaksanakan, yaitu :
a.

Bersifat individual

b.

Mengembangkan kolaborasi dengan klien

c.

Isu tentang kerahasiaan harus dipegang teguh

d.

Menjaga dan fokus yang jelas terhadap agenda terapi

e.

Pemahaman yang luas oleh klien tentang bagaimana memperoleh informasi


untuk asesmen dan wawancara klinis tentang semua yang terkait dengan
masalah gangguan penggunaan NARKOTIKA

f.

Hindari berprasangka buruk tentang stereotipi pengguna NARKOTIKA

g.

Sensitif dalam mempertimbangkan isu-isu terkait perbedaan setiap orang baik


dalam diagnosis dan juga terapi

h.

Jelaskan abstinen bukan merupakan satu-satunya tujuan terapi

i.

Menerima bahwa berbagai variabel akan menjadi gelombang masalah pada


klien gangguan pengguna NARKOTIKA yang kompleks

j.

Menyediakan berbagai modalitas terapi

Asemen harus mencari pemahaman sebagai berikut : (1). Apa arti narkotika bagi
klien? (2). Manfaat apa yang diperoleh mereka menggunakan narkotika? (3).
Apakah penggunaan NARKOTIKA menciptakan masalah bagi klien?. Dengan melihat
48

[Type text]

penggunaan

NARKOTIKA

merupakan

suatu

masalah,

pendekatan

yang

komprehensif akan meningkatkan kualitas hidup klien.

POKOK BAHASAN 3 : JENIS INSTRUMEN DALAM SKRINING DAN ASESMEN


NAPZA
Pengenalan beberapa instrumen untuk Skrining Gangguan Penggunaan narkotika :
1.

ASSIST (Alcohol, Smoking, and Substance Involvement Screening Test )

2.

CAGE (Cut down, Annoyed, Guilty, Eye opener)

3.

TWEAK (Tolerance, Worried, Eye opener, Amnesia, Cut down)

4.

AUDIT ( Alcohol Use Disorders Identification Test )

5.

DAST 10 ( Drug Abuse Screening Test )

6.

CRAFFT (Car driven, Relax, Alone, Forget, Family and Friends, Trouble)

7.

ASI (Addiction Severity Index)

Skrinin
g

Target
Populasi

Jumlah
domai
n

Informasi yang diperoleh

Tatanan
(paling
sering)

Tehnik

ASSIST
(WHO)

-Orang
dewasa
-Sudah
divalidasi
dalam
berbagai
budaya dan
bahasa
termasuk di
Indonesia

Tingkat bahaya penggunaan,


dampak buruk, atau
ketergantungan penggunaan
NARKOTIKA (termasuk
NARKOTIKA suntik)

Puskesmas

Wawancar

CAGE

Dewasa dan
remaja >16
tahun

-Tingkat bahaya minum


alkohol
-Menanyakan kebutuhan
untuk berhenti minum
alkohol, tanda dan gejala
ketergantungan serta

Puskesmas

Wawancar
a

dan

mengisi
sendiri
49

[Type text]

Skrinin
g

Target
Populasi

Jumlah
domai
n

Informasi yang diperoleh

Tatanan
(paling
sering)

Tehnik

-Risiko minum alkohol saat


hamil. Berdasar instrumen
CAGE.
-Menanyakan ttg banyaknya
minum alkohol dan
toleransinya, ketergantungan
alkohol serta masalah yang
ditimbulkan

Puskesmas,

Mengisi

Organisasi

sendiri,

wanita dan

wawancara

lain-lain.

dan

Identifikasi masalah
penggunaan dan
ketergantungan alkohol.
Dapat digunakan sebagai pra
skrining untuk identifikasi
skrining penuh dan
intervensi singkat.

-Berbagai

Mengisi

tatanan

sendiri,

masalah yang timbul terkait


dengan minum alkohol

TWEAK

AUDIT
(WHO)

DAST-10

CRAFFT

Wanita
Hamil

-Dewasa dan
dewasa
muda
-sudah
divalidasi
oleh
berbagai
bangsa dan
budaya

10

Dewasa

10

Dewasa
muda

komputeris
asi

-AUDIT

C-

Puskesmas
(3
pertanyaan)

wawancara
dan
komputeris
asi

Untuk mengidentifikasi
masalah penggunaan
NARKOTIKA pada tahun
sebelumnya

Berbagai

Mengisi

tatanan

sendiri,

Untuk identifikasi
penggunaan alkohol dan
NARKOTIKA, perilaku
berisiko dan konsekuensi
penggunaan

Berbagai

Wawancar

tatanan

wawancara

50

[Type text]

Skrinin
g

Target
Populasi

Jumlah
domai
n

Informasi yang diperoleh

Tatanan
(paling
sering)

Tehnik

ASI

Dewasa

7
Aspek
dengan
item
berbed
a untuk
tiap
aspek

Sebagai asesmen dan dapat


sebagai informasi follow up
atau rencana intervensi
sesuai tingkat keparahan
ketergantungan klien

Berbagai

Wawancar

tatanan

POKOK BAHASAN IV : PERSIAPAN DALAM MELAKSANAKAN ASESMEN KLINIS DAN


PRINSIP PENEGAKAN DIAGNOSIS
A. PERSIAPAN DALAM MELAKSANAKAN ASESMEN KLINIS
Penyakit kecanduan (adiksi) adalah suatu penyakit otak, dimana zat aktif
mempengaruhi area pengaturan perilaku. Sebagai akibatnya, gejala dan tanda utama
dari penyakit adiksi adalah perilaku. Berbeda dengan kebanyakan penyakit lainnya,
pada adiksi, morbiditas dari penyakit ini berawal dari pencitraan diri (self-image, self
respect, self-concept, sense of self-efficacy dan bahkan adanya gejala-gejala psikiatrik
sering merupakan bukti awal dari penyakit), kepada hubungan interpersonal (keluarga,
teman dekat serta hubungan sosial), kegemaran atau hobi, status finansial, aspek
hukum, prestasi sekolah atau pekerjaan, dan akhirnya kepada kerusakan organ atau
fisik. Sehingga mengapa proses asesmen merupakan aspek penting dari pendekatan
penyakit adiksi.
Asesmen mengungkap banyak hal yang hampir sama dengan yang dilakukan dalam
skrining, namun dilakukan dengan lebih mendalam dan penekanan pada area masalah
yang didapat selama skrining. Tujuan asesmen adalah untuk mengembangkan rencana
terapi dan untuk menentukan waktu dan program atau layanan spesifik yang dapat
diterapkan. Dengan asesmen dapat dikembangkan rencana penatalaksanaan individual
atau rencana manajemen kasus dan untuk memilih berbagai tipe metode layanan terapi
yang cocok untuk partisipan. Tahapan untuk asesmen meliputi riwayat penggunaan
narkotik, pola penggunaan saat ini, riwayat kesehatan mental dan gejala saat ini, riwayat
51

[Type text]

dan status kriminalitas, dan area fungsi psikososial lain, defisit dari ketrampilan saat ini,
dan tipe penatalaksanaan dan layanan dukungan yang dibutuhkan.
Asesmen terhadap klien adalah suatu ketrampilan klinis dasar dan salah satu landasan
dari perawatan klien yang berkualitas. Asesmen yang berkualitas menghubungkan
diagnosis dengan penatalaksanaan awal, memastikan akurasi dari diagnosis awal, dan
mengidentifikasi perawatan yang paling efisien dan efektif. Asesmen sangat penting
dalam menangani klien gangguan penggunaan narkotika demikian juga untuk penyakit
medik atau psikiatrik lainnya.
A.1. PENEMUAN KASUS DAN SKRINING
Informasi klinis yang rutin sendiri akan dapat mengidentifikasi klien dengan masalah
narkotika. Beberapa klien mungkin dengan suka rela mengakui bahwa masuknya klien
ke rumah sakit berhubungan dengan penyalahgunaan narkotik atau alkohol (misalnya
dok, saya abis pakaw jadi saya jatuh terkena kepala). Pada keadaan yang lain,
penyakitnya jelas berhubungan dengan gangguan penggunaan narkotik (misalnya,
delirium tremens atau luka tembak akibat tembakan polisi saat dikejar karena masalah
ganja) atau terdokumentasi di catatan medik. Pada keadaan-keadaan tersebut, tidak
perlu dilakukan pertanyaan skrining tambahan. Pada penemuan kasus secara klinis
masih mempunyai keterbatasan, misalnya klinisi bahkan dapat gagal untuk mengenali
klien-klien dengan keadaan intoksikasi akut.
Tes narkotika dalam tubuh yang dilakukan dapat dijadikan skrining awal yang penting
untuk mendeteksi gangguan penggunaan narkotik diantara klien dengan kondisi akut.
Sensitivitas, spesivisitas dan nilai prediktif dari toksikologi sebagai marker untuk
gangguan penggunaan narkotika pada klien yang dirawat belum diteliti dengan baik.
Hasil tes narkotika dapat sulit diinterpretasi karena sering hanya mendeteksi
penggunaan yang baru saja, dan sering tidak mudah untuk membedakan antara
penggunaan legal atau tidak legal, dan terdapat beberapa keterbatasan dari uji tersebut.
(misalnya, banyak opioid yang tidak bereaksi silang dengan uji urin opiat yang biasanya
standar untuk uji morfin). Untuk kepastian adanya zat yang memang ilegal harus
dilakukan uji konfirmasi dengan menggunakan alat Gas Chromatography Mass
Spectrometry (GCMS)
Resep klien yang dapat dilihat dari farmasi / apotik dapat dijadikan informasi
mengenai jenis obat dan dosis yang diberikan pada klien.

52

[Type text]

Jika informasi klinis atau hasil dari asesmen menyatakan suatu diagnosis gangguan
penggunaan narkotika, dibutuhkan informasi tambahan untuk menentukan
adanyakeinginan untuk berubah pada klien. Beberapa klien dapat mengatakan dengan
jujur keadaannya (misalnya, dok, saya mempunyai masalah narkotika), sementara yang
lain menunjukkan penyangkalan yang kuat dari masalahnya. Keparahan dari gangguan
penggunaan narkotikaklien dapat bervariasi dari masalah penggunaan kepada
penyalahgunaan atau ketergantungan. Oleh karena itu, intervensi klinis yang sesuai
juga dapat bervariasi dari suatu sesi konseling singkat sampai merujuk pada
pengobatan gangguan penyalahgunaan yang berat.
Hasil asesmen klinis yang menyatakan klien ketergantungan narkotika atau alkohol
harus segera dirujuk untuk dapat segera ditangani keadaan putus zatnya. Riwayat dari
penggunaan psikotropika legal atau ilegal harus menjadi perhatian karena keadaan
gejala putus zat dapat membahayakanhidupnya. Pada klien dengan ketergantungan
multiple drug dapat terjadi reaksi yang sinergi sehingga memperberat efek toksisitas
narkotika satu dengan narkotika atau zat lainnya, misalnya menggunakan heroin
dicampur dengan obat penenang dapat terjadi penekanan pernafasan.
A.2. ASESMEN AWAL
Asesmen bisa didahului oleh skrining, dan saat awal masuknya klien dalam program.
Dengan waktu berjalan akan nampak adanya gejala putus zat pada klien. Asesmen awal
sering dilakukan pada dua sampai empat minggu pertama, untuk selanjutnya proses
asesmen lanjutan tetap harus dilaksanakan dan perlu memperhatikan masalah-masalah
baru yang muncul atau informasi baru yang didapat selama penatalaksanaan.
Contohnya, adanya kekerasan fisik atau seksual yang sering tidak dilaporkan sampai
individu merasa lebih nyaman dalam mengungkap informasi yang sensitif terhadap
konselor dan petugas partisipan lainnya. Relaps yang muncul selama masa pengobatan,
perubahan dalam rencana kehidupan atau pekerjaan, dan masalah baru lainnya sering
terungkap oleh tim selama pengobatan, dapat dimodifikasi dengan membuat suatu
rencana terapi yang disesuaikan dengan ketersediaan penyedia layanan yang
berhubungan untuk memfokuskan pada masalah tersebut.
A.3. MOTIVATIONAL INTERVIEWING
Miller dan Rollnick (1991) mengembangkan suatu teknik wawancara alternatif yang
langsung, sering konfrontatif, secara umum digunakan untuk asesmen penyalahgunaan
narkotika yang dinamakan sebagai motivational interviewing (MI). Tujuan dari MI
adalah untuk menggali pandangan klien menghadapi permasalahannya, menyokong
53

[Type text]

perubahan dengan menghindari label, menyatakan bahwa yang bertanggung-jawab


untuk target pengobatan dan pembuat keputusan terletak pada klien. Terapis dengan
hati-hati melengkapi seluruh asesmen, mendiskusikan hasilnya dengan klien sehingga
rencana terapi dapat dimulai dengan suatu upaya kolaborasi dengan klien. Mengikat
klien dengan cara ini akan memberikan hasil yang positif. Miller dan Rollnick
memperkenalkan proses MI berikut ini dengan pendekatan client-centered untuk
melakukan asesmen pada individu dengan penyalahgunaan narkotika dan masalahmasalah adiksi.
1. Prasyarat untuk berubah adalah bukan dengan menerapkan label seperti pecandu
2. Pengobatan adalah pilihan pribadi
3. Yang bertanggung-jawab untuk berubah adalah individu itu sendiri
4. Resistensi harus dipandang sebagai suatu hubungan oleh karena pengaruh dari sikap
terapis atau sikap terhadap individu
5. Mendorong perencanaan terapi yang kolaboratif
6. Memandang ambivalensi versus penyangkalan sebagai suatu masalah pengobatan
utama
Hal yang paling mendasar, dan kadang-kadang paling mengungkap dari asesmen
adalah observasi dari individu dan atau orang yang paling signifikan atau keluarga.
Selama asesmen perlu diperhatikan komunikasi verbal maupun nonverbal, sikap, dan
secara keseluruhan status mental untuk menghasilkan sejumlah hipotesis yang relevan
untuk motivasi dan pilihan-pilihan terapi.

B. PRINSIP PRINSIP PENEGAKKAN DIAGNOSIS


Penegakan diagnosis merupakan suatu proses yang menjadi dasar dalam menentukan
rencana terapi selanjutnya. Pada awal asesmen seringkali banyak informasi yang belum
dapat digali baik disebabkan oleh karena kondisi klien yang dibawah pengaruh
narkotika atau juga akibat ketrampilan asesor dalam melakukan wawancara yang masih
terbatas. Beberapa prinsip dalam menegakkan diagnosis bagi pengguna narkotika,
antara lain :
1. Diagnosis tidak selalu dapat diperoleh pada asesmen awal
54

[Type text]

2. Diperlukan informasi tambahan dari keluarga atau orang yang mengantar


3. Yakinkan klien dalam kondisi sadar penuh tidak dibawah pengaruh narkotik,
sehingga tidak mengacaukan informasi yang diperoleh
4. Asesmen perlu dilakukan berulang, karena diagnosis bisa saja berubah
setelah dilakukan pemeriksaan ulang (mis ; adanya dual diagnosis yang
belum terlihat pada asesmen awal)
5. Pemeriksaan tes narkotika pada kondisi akut dapat membantu diagnosis
6. Perlu diperhatikan area-area lain yang terkait dengan penggunaan narkotika
untuk menjadi perhatian dalam rencana terapi
Oleh karena sering terjadi komorbiditas penyalahgunaan narkotika dengan masalah
kesehatan mental, maka sangat penting untuk mendapatkan riwayat penggunaan
narkotika yang akurat. Untuk mengenali hubungan diantaranya, apakah hal tersebut
akibat dari pengobatan diri sendiri, atau dari mekanisme coping yang buruk yang
berhubungan dengan diagnosis psikiatrik, atau gejala-gejala mood/perilaku yang
berhubungan dengan stimulasi atau depresan susunan saraf pusat, maka perlu melihat
pada penggolongan diagnosis menurut DSM-IV.
Hubungan antara penyalahgunaan narkotika dengan gangguan kepribadian atau
gangguan mood atau gangguan cemas pada orang dewasa, dan dengan gangguan
pemusatan perhatian dan gangguan mood pada remaja adalah sering terjadi. Pada
banyak kasus penyalahgunaan narkotika tidak akan terdiagnosis jika asesmen tidak
menjadi bagian dari setiap evaluasi kesehatan mental.
Adapun seluruh zat yang dimaksud dalam DSM-IV, kategori gangguan penggunaan zat
berhubungan dengan suatu keadaan intoksikasi yang patologis, zat tersebut bervariasi
apakah keadaan patologis berhubungan dengan keadaan putus zat atau hilangnya
pengaruh zat dalam tubuh. Dalam sistem DSM-IV, klien yang mengalami intoksikasi atau
putus zat bersamaan dengan gejala psikiatrik tetapi tidak memenuhi kriteria untuk
suatu pola sindrom spesifik dari gejala (misalnya depresi) didiagnosis dengan
intoksikasi zat atau putus zat, kemungkinan bersamaan dengan ketergantungan atau
penyalahgunaan.
Komorbiditas atau disebut sebagai dual-diagnosis adalah diagnosis dari dua atau lebih
gangguan psikiatrik pada satu klien. Suatu survey dalam komunitas yang besar
melaporkan bahwa 76% laki-laki dan 65% perempuan dengan diagnosis
penyalahgunaan atau ketergantungan zat mempunyai diagnosis gangguan psikiatrik.
55

[Type text]

Komorbiditas yang paling sering terjadi mengenai penyalahgunaan dua macam zat,
biasanya alkohol dan zat lainnya. Diagnosis psikiatrik lainnya umumnya berhubungan
dengan penyalahgunaan zat adalah gangguan kepribadian antisosial, fobia (dan
gangguan cemas lainnya), gangguan depresi berat, dan gangguan distimia. Secara umum,
zat yang paling potensial dan berbahaya mempunyai angka komorbiditas yang tinggi.
Contohnya, komorbiditas gangguan psikiatrik lebih sering pada pengguna opioid dan
kokain dari pada mariyuana.
KRITERIA DIAGNOSIS UNTUK INTOKSIKASI SESUAI DSM IV
A. Perkembangan dari suatu sindrom zat spesifik yang reversibel disebabkan karena
penggunaan yang baru. (catatan: zat yang berbeda dapat memperlihatkan sindrom
yang sama atau identik)
B. Secara klinis, perubahan perilaku dan psikologik maladaptif yang signifikan
disebabkan karena efek dari zat didalam sistem saraf pusat (misalnya, agresif, mood
yang labil, gangguan kognitif, daya nilai terganggu, fungsi pekerjaan atau sosial
terganggu) dan berkembang selama atau segera sesudah penggunaan zat
C. Gejala-gejala tersebut bukan disebabkan oleh karena suatu kondisi medis umum dan
tidak diperhitungkan untuk suatu gangguan mental lainnya.
KRITERIA DIAGNOSIS UNTUK PUTUS ZAT SESUAI DSM-IV
A. Perkembangan dari suatu sindrom zat spesifik disebabkan karena penghentian
(atau pengurangan) penggunaan zat yang berat dan lama.
B. Sindrom zat spesifik secara klinis menyebabkan penderitaan atau gangguan yang
signifikan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau area penting lainnya.
C. Gejala-gejala tersebut bukan disebabkan oleh karena suatu kondisi medis umum
dan tidak diperhitungkan untuk suatu gangguan mental lainnya.

KRITERIA DIAGNOSIS KETERGANTUNGAN ZAT SESUAI DSM-IV


56

[Type text]

Suatu pola penggunaan zat yang maladaptif, secara klinis mengarah pada gangguan atau
penderitaan yang signifikan, diperlihatkan dengan 3 atau lebih dari item dibawah ini,
muncul kapanpun selama periode 12 bulan.
(1) Toleransi, ditentukan oleh berikut ini:
(a) Kebutuhan yang jelas untuk meningkatkan sejumlah zat untuk mendapatkan efek
yang diinginkan atau intoksikasi.
(b) Secara jelas efeknya berkurang jika penggunaan dilanjutkan dengan jumlah zat
yang sama
(2) Putus zat, ditunjukkan oleh berikut ini:
(a) Karakteristik sindrom putus zat (merujuk pada Kriteria Diagnosis Putus Zat
Spesifik A dan B).
(b) Menggunakan zat yang sama (atau berhubungan dekat) untuk mengurangi atau
menghindari gejala putus zat
(3) Zat sering digunakan dalam jumlah besar atau selama periode yang lebih lama dari
yang diharapkan
(4) Terdapat suatu keinginan yang kuat atau upaya yang tidak berhasil untuk
mengurangi atau mengontrol penggunaan zat
(5)

Sejumlah besar waktu digunakan untuk aktivitas mencari zat (misalnya


mengunjungi berbagai dokter atau perjalanan jarak jauh), menggunakan zat, atau
pulih dari efek zatnya.

(6) Aktivitas-aktivitas sosial, pekerjaan, atau rekreasional penting lain ditinggalkan atau
dikurangi karena penggunaan zat.
(7) Penggunaan zat diteruskan walaupun telah mengetahui dirinya telah mempunyai
permasalahan fisik atau psikologik berulang atau menetap yang disebabkan atau
dieksaserbasi oleh zat (misalnya, terus menggunakan kokain walaupun mengetahui
kokain menyebabkan depresi atau terus minum alkohol walaupun mengetahui
bahwa luka lambungnya diperberat oleh konsumsi alkohol).

57

[Type text]

Tentukan jika:
-

Dengan ketergantungan fisiologik: terbukti dari toleransi atau putus zat


(diperlihatkan dengan adanya item 1 atau 2)

Tanpa ketergantungan fisiologik: tidak ada bukti toleransi atau putus zat (tidak
diperlihatkan dengan adanya item 1 atau 2)

Tentukan perjalanan penyakitnya:


-

Remisi total awal: minimal 1 bulan - kurang dari 12 bulan, tidak memenuhi kriteria
ketergantungan atau penyalahgunaan.

Remisi parsial awal: minimal 1 bulan - kurang dari 12 bulan, memenuhi satu atau
lebih kriteria ketergantungan atau penyalahgunaan, tetapi tidak memenuhi semua
kriteria ketergantungan.

Remisi total berkelanjutan: tidak memenuhi kriteria ketergantungan atau


penyalahgunaan selama periode 12 bulan atau lebih.

Remisi parsial berkelanjutan: tidak memenuhi semua kriteria ketergantungan


atau penyalahgunaan selama periode 12 bulan atau lebih, akan tetapi memenuhi satu
atau lebih kriteria ketergantungan atau penyalahgunaan.

Dalam terapi agonis: jika individu dalam pengobatan agonis yang diresepkan, dan
tidak memenuhi kriteria ketergantungan atau penyalahgunaan untuk golongan
pengobatan minimal selama 1 bulan terakhir (kecuali toleransi atau putus zat dari
agonis) demikian pula untuk yang menggunakan parsial agonis atau suatu antagonis.

Dalam lingkungan terkontrol: jika individu berada dalam lingkungan dimana akses
zat atau alkohol yang dikontrol terbatas, dan tidak memenuhi kriteria
ketergantungan atau penyalahgunaanuntuk minimal 1 bulan (misalnya dalam
tahanan dengan supervisi bebas zat yang ketat, therapeutic communities, unit rumah
sakit tertutup)

POKOK BAHASAN 5 :TUJUAN PENGISIAN FORMULIR


Formulir ini merupakan interview yang relatif singkat dan merupakan adaptasi dari
rangkaian pertanyaan dalam instrument ASI ( Addiction Severity Index ) atau Indeks
58

[Type text]

Keparahan Adiksi. Sebagaimana diketahui bahwa ASI merupakan instrument yang sudah
semi-terstruktur dan dirancang untuk memberikan informasi penting tentang aspek-aspek
kehidupan klien yang dapat memberi kontribusi pada sindrom penyalahgunaan zat. Dalam
pelaksanaannya, penting sekali diingat bahwa klien memahami tujuan dari interview.
Interview ini merupakan sebagai langkah pertama dalam pemahaman rentang keseluruhan
masalah untuk mana klien yang melaksanakan wajib lapor dan membantu menyusun
untuk rencana rehabilitasi medik yang sesuai dengan kebutuhan klien. Rehabilitasi medik
yang dimaksud adalah terapi yang ditujukan untuk masalah penggunaan zatnya dan
kondisi medis lain yang terkait.
Pewawancara harus memperkenalkan dirinya sendiri dan secara singkat
menyatakan bahwa ia ingin mengajukan beberapa pertanyaan berkenaan dengan rencana
untuk terapi. Pewawancara juga harus menambahkan bahwa interview akan sungguhsungguh bersifat rahasia, dan bahwa informasi tidak akan keluar dari setting terapi.
Catatan: Hal ini harus ditekankan kembali di sepanjang interview.
Pewawancara kemudian harus menggambarkan disain interview, menekankan ke
tujuh area masalah potensial. Area ini adalah: Medis, Pekerjaan/Dukungan, Zat/Alkohol,
Legal, Keluarga/Sosial, dan Psikiatris. Penting juga pewawancara menekankan sifat
alamiah dari kontribusi klien. Misalnya, pewawancara harus menyatakan: Kami telah
memperhatikan bahwa ketika seorang klien mempunyai masalah zat,ternyata banyak
masalah lain yang signifikan seperti medis, pekerjaan, keluarga, dll. Oleh karena itu, saya
akan mengajukan beberapa pertanyaan yang mungkin terkait dengan masalah penggunaan
zat anda saat ini.....
Klien sebaiknya dipersiapkan untuk berkonsentrasi pada tiap area secara
independen. Berkenaan dengan hal ini penting supaya klien tidak mengacaukan masalah di
area tertentu dengan kesulitan yang dialami di area lain, seperti mengacaukan masalah
psikiatris dengan masalah akibat efek langsung dari intoksikasi zat. Pewawancara dapat
memperkenalkan tiap pergantian area pertanyaan, misalnya : Kami telah berbicara
dengan anda tentang masalah medis anda, sekarang saya akan mengajukan beberapa
pertanyaan tentang pekerjaan atau dukungan lain yang mungkin anda miliki.
POKOK BAHASAN 6 : PROSEDUR PENGISIAN FORMULIR
Skala Penilaian Klien
Hal penting bahwa klien mengembangkan kemampuan untuk mengkomunikasikan
sejauh mana ia telah mengalami masalah di tiap area terpilih, dan sejauh mana ia merasa
59

[Type text]

terapi untuk masalah ini adalah penting. Perkiraan subyektif adalah penting
keikutsertaan klien dalam asesmen kondisi dirinya.

untuk

Untuk menstandarkan asesmen ini digunakan sebuah skala 5 poin (0-4) bagi klien
menilai keparahan masalah mereka dan sejauh mana mereka merasa terapi penting untuk
mereka.
0
1
2
3
4

tidak sama sekali


ringan
sedang
berat
sangat berat

Bagi beberapa klien mampu menggambarkan kondisinya dengan menggunakan skala ini,
namun pada beberapa kasus penting juga untuk membujuknya menggunakan bahasa
mereka sendiri dalam mengungkapkan pendapatnya daripada memaksa menentukan
sebuah pilihan dari skala.
Penilaian klien akan luas atau parahnya masalahnya di satu area harus tidak
didasarkan pada persepsinya akan masalah-masalah lain. Pewawancara harus berusaha
untuk mengklarifikasi masing-masing penilaian sehingga satu area masalah yang terpisah,
dan memfokuskan periode waktu pada 30 hari sebelumnya. Jadi, penilaian harus dibuat
berdasarkan masalah aktual saat ini, bukan masalah potensial. Jika seorang klien
melaporkan tidak ada masalah selama 30 hari sebelumnya, lalu sejauh mana dia telah
diganggu oleh masalah-masalah itu harus 0 dan pewawancara harus menanyakan sebuah
pertanyaan penegasan sebagai pemeriksaan pada informasi sebelumnya.Contoh penegasan
yang dapat diungkapkan : Karena anda telah mengatakan anda tidak mempunyai masalah
medis dalam 30 hari terakhir, dapatkah saya mengasumsikan bahwa pada saat ini anda
tidak merasakan kebutuhan untuk terapi medis apapun?

Klarifikasi
Selama wawancara diupayakan untuk klarifikasi mengenai pertanyaan-pertanyaan
dan respons-respons yang dianggap perlu sekali untuk menghasilkan wawancara yang
valid. Untuk memastikan kualitas informasi, pastikan maksud dari tiap pertanyaan jelas
bagi klien. Cara mengajukan pertanyaan tidak perlu persis seperti ditulis, dapat
menggunakan penyusunan kata-kata sendiri (paraphrasing) atau sinonim yang sesuai .

60

[Type text]

Di sebuah kasus dimana klien tampak mempunyai kesukaran dalam memahami


banyak pertanyaan, mungkin bermanfaat untuk tidak melanjutkan interview. Dalam hal ini
jauh lebih baik untuk menunggu sehari atau lebih agar klien pulih dari kebingungan awal,
efek disorientasi dari penyalahgunaan zat akhir-akhir ini daripada mencatat respons yang
membingungkan. Demikian juga pada klien yang dalam kondisi putus zat atau intoksikasi
maka proses wawancara dapat ditunda sampai kondisi stabil.
Jika klien merasa tidak nyaman memberikan sebuah jawaban, maka klien dapat
menolak untuk menjawab. Tolong jangan memberikan informasi yang tidak akurat!.
Maka beri tanda silang di depan nomor pertanyaan.
Penilaian oleh Pewawancara
Penilaian yang diperoleh pewawancara pada tiap-tiap area masalah individual dapat
berguna secara klinis. Penting diingat bahwa penilaian dalam tiap area didasarkan hanya
pada respons terhadap pertanyaan obyektif dan subyektif di dalam area itu dan bukan
informasi ekstra yang diperoleh di luar wawancara. Untuk meningkatkan reliabilitas dan
perkiraan, semua pewawancara harus mengembangkan sebuah metode sistematis yang
umum untuk memperkirakan keparahan dari tiap masalah.
Untuk tujuan interview ini, keparahan akan diberi definisi sebagai kebutuhan untuk
terapidimana saat ini tidak ada; atau untuk sebuah bentuk tambahan atau jenisterapi
dimana sekarang ini sudah menerima beberapa bentuk terapi. Penilaian ini harus
didasarkan pada jumlah, lama, dan intensitas simtom di dalam satu area problem. Berikut
adalah petunjuk umum untuk penilaian;
0 1 Tidak ada masalah nyata, terapi
tidak diusulkan
2 3 Masalah ringan, terapi mungkin
tidak diusulkan
4 5 Masalah sedang, beberapa terapi
diusulkan
6 7 Masalah sungguh-sungguh ada,
terapi diperlukan
8 9 Masalah ekstrim, terapi mutlak
diperlukan
Adalah penting untuk dicatat bahwa penilaian ini dimaksudkan sebagai perkiraan
sejauh mana beberapa bentuk intervensi efektif diperlukan tanpa memperhatikan apakah
61

[Type text]

terapi itu tersedia atau bahkan yang belum ada. Misalnya, seorang klien dengan TB paru
aktif akan memerlukan sebuah penilaian keparahan 9, menunjukkan bahwa terapi
memang sepenuhnya diperlukan. Klien yang menunjukkan sedikit simtom masalah dapat
dinilai dengan taraf keparahan masalah yang rendah. Penilaian keparahan yang sangat
tinggi harus menjadi indikasi yang berhubungan dengan kebutuhan tinggi untuk terapi.

Prosedur Perolehan Penilaian Keparahan


Langkah 1 : Dapatkan sebuah rentang skor (dua poin) yang paling baik menggambarkan
kebutuhan klien akan terapi pada saat ini berdasarkan data obyektif saja
1. Bentuklah sebuah gambaran kondisi klien berdasarkan aitem
obyektif.
2. Formulasikan sebuah rentang perkiraan kira-kira.
Langkah 2: Pilihlah satu poin di dalam rentang di atas menggunakan hanya data subyektif
di seksi itu.
1. Jika klien menganggap masalah sungguh-sungguh dan merasa terapi adalah
penting, pilih poin yang tinggi di dalam rentang itu.
2. Jika klien menganggap masalah kurang serius dan menganggap kebutuhan untuk
terapi kurang penting, pilihlah penilaian yang rendah.
POKOK BAHASAN 7 : TEKNIK WAWANCARA DAN PENGISIAN FORMULIR
Teknik Interview yang Dianjurkan:
Penting buat klien untuk memahami tujuan dilakukannya asesmen dalam wajib lapor
sehingga mendorong kesungguhan klien untuk menjawab tiap pertanyaan. Klien akan
lebih terbuka untuk menjawab pertanyaan jika pertanyaan diajukan dalam cara yang
langsung dan tidak konfrontasional. Pewawancara dapat hanya membaca pertanyaan
seperti ditulis atau dapat dengan cara yang lebih efektif menguraikan dengan kata-kata
sendiri sehingga memperoleh informasi yang diinginkan.

Pertanyaan Tambahan:
62

[Type text]

Pertanyaan tambahan adalah pertanyaan yang tidak muncul dalam formulir wajib lapor.
Pertanyaan tambahan mungkin memberikan informasi yang menolong untuk memahami
masalah klien sepenuhnya karena pertanyaan dalam formulir ini sangat minimal untuk
memulai sebuah rencana terapi. Kadang-kadang, menanyakan banyak pertanyaan
tambahan di bagian pertama dari seksi masalah menolong wawancara untuk mengalir
lebih alamiah.

63

[Type text]

Bagian kepala kuesioner :


Tanggal Kedatangan

: Cantumkan tanggal-bulan-tahun kedatangan pasien

Nomor rekam medik

: Cantumkan nomor rekam medik pasien atau nomor barcode bila


sudah tersedia

Nama

: Cantumkan nama lengkap sesuai dengan tanda identitas diri pasien


( KTP ) atau identitas lain serta sama dengan nama yang tertulis
dalam status rekam medis. Untuk anak dibawah umur maka
identitas sesuai dengan yang diberikan oleh orang tua atau wali
anak tersebut, dan lampirkan identitas orangtua atau wali anak.

Alamat tempat tinggal

: Cantumkan alamat terakhir pasien atau alamat tujuan setelah


pasien selesai terapi. Bila pasien tidak memiliki tempat tinggal
tetap, cantumkan alamat dimana pasien paling sering tinggal

Telepon/HP

: Cantumkan nomor telepon rumah atau telepon genggam pasien


atau nomor telepon keluarga/teman terdekat yang dapat dihubungi
oleh petugas

Usia

: Cantumkan usia saat tanggal kedatangan

Jenis Kelamin

: Cantumkan jenis kelamin laki-laki atau perempuan, sesuai yang


terlihat

1.

InformasiDemografis :
1. Status perkawinan:
Cantumkan kode status perkawinannya pada kotak yang diarsir sebelah kanan, sesuai
kondisinya saat ini. Misalkan pasien menjadi sudah menikah, maka tulis angka 2 di
kotak yang diarsir sebelah kananya.
2. Riwayat pendidikan:
Cantumkan kode pendidikan terakhir yang pernah ditempuh pada kotak yang diarsir
sebelah kanan, sebagaimana pencatuman kode perkawinan di atas.

Catatan Skala Penilaian Pasien:


Pada pertanyaan tentang Status Medis hingga Status Psikiatrik, terdapat skala penilaian pasien
pada sebelah kiri masing-masing domain. Skala penilaian pasien wajib diisi dengan cara
bertanya pada pasien setiap asesmen untuk masing-masing domain selesai dilakukan. Hal ini
didasari pertimbangan bahwa pendapat pasien merupakan masukan yang penting.
Tanyakan pada pasien, seberapa pentingnya ia membutuhkan terapi terkait kondisi medisnya.
Mintalah pasien untuk memberi nilai sebagai berikut;
0 = Tidak membutuhkan sama sekali
1 = Agak membutuhkan
2 = Cukup membutuhkan
3 = Membutuhkan
4 = Sangat membutuhkan

64

[Type text]

2.

Status Medis :
Cantumkan kapan wawancara tentang status medis pasien dilakukan. Mohon diingat bahwa
wawancara mungkin saja dilakukan tidak bersamaan dengan tanggal kedatangan pasien.
1. Riwayat rawat inap yang tidak terkait masalah Narkotika:
Cantumkan jenis penyakit, tahun rawat dan lamanya perawatan (dalam hari).
Yang dimaksud disini adalah jumlah hari menginap di rumah sakit karena masalah medis,
misalnya karena penyakit typhus, demam berdarah, kecelakaan, atau perawatan medis
lainnya, termasuk over dosis dan delirium tremens. Tidak termasuk: detoksifikasi atau
bentuk lain terapi rehabilitasi alkohol dan napza; perawatan kejiwaan; atau perawatan
karena kelahiran anak secara normal (tanpa komplikasi)
Catatan: elaborasi jawaban pasien secara rinci, dengan menanyakan tahun ketika
perawatan terjadi, kejadian lain dalam kehidupan pasien pada waktu itu, untuk setiap
perawatan. Informasi tambahan membuat proses wawancara lebih mengalir sebagai
sebuah percakapan. Selain itu juga membantu kita melihat kemungkinan keterkaitan
masalah medis dengan waktu-waktu pemakaian Napzanya. Catatlah keterangan ini di
bagian yang kosong dari formulir tersebut.
2. Riwayat penyakit kronis:
Cantumkan penyakit kronis yang diderita pasien terutama yang memerlukan perawatan
berkesinambungan (misal: pengobatan, pengaturan diet, ketidakmampuan untuk
menjalankan kegiatan normal). Beberapa contoh dari penyakit kronis adalah: hipertensi,
diabetes, epilepsi, cacat fisik atau penderita HIV yang telah membutuhkan terapi Anti
Retroviral (ARV).
3. Saat ini sedang menjalani terapi medis? Catat kode jawaban pasien pada kotak yang
diarsir sebelah kanan pertanyaan.
Jenis terapi medis: Cantumkan bila pasien saat ini dalam program terapi tertentu, terkait
kondisi medis apa dan jenis terapi medis yang dijalani saat ini, misalnya pengobatan
insulin karena kondisi diabetis.
4. Status kesehatan:
Tanyakan apakah pasien pernah menjalankan tes HIV, Hepatitis B dan C? Tulis kode
jawaban pada kotak yang diarsir sebelah kanan pertanyaan. Apabila pasien tidak
keberatan, tanyakan bagaimana hasilnya.

65

[Type text]

3.

Status Pekerjaan/Dukungan Hidup :


Cantumkan kapan wawancara tentang status pekerjaan/dukungan hidup pasien dilakukan.
Mohon diingat bahwa wawancara mungkin saja dilakukan tidak bersamaan dengan tanggal
kedatangan pasien.
1. Status pekerjaan:
Tanyakan apakah pada saat sekarang pasien mempunyai kegiatan atau pekerjaan tertentu.
Tulislah kodenya dikotak yang diarsir. Eksplorasi informasi tambahan dimana dia bekerja dan
sudah berapa lama dia menjalani pekerjaan tersebut. Tuliskan info tambahan di bagianbagian yang kosong. Bila tidak ada pekerjaan/kegiatan, langsung ke nomor 4.
2. Bila bekerja, pola pekerjaan:
Pewawancara harus menentukan pekerjaan yang paling mewakili kondisi pasien saat ini.
Pekerjaan penuh waktu adalah yang teratur, 35 jam/minggu. Pekerjaan paruh waktu
dimana pasien mempunyai jadwal kerja 35 jam /minggu, tapi teratur dan terus menerus.
Yang dimaksud dengan pekerjaan tidak tentu adalah pekerjaan dimana jumlah jam kerja
kurang dari 35 jam/minggu, tetapi tidak memiliki jadwal tetap. Bila terdapat waktu yang sama
untuk lebih dari satu kategori, catatlah yang paling mewakili situasi saat ini.
3. Kode pekerjaan:
Pilihlah kode pekerjaan sesuai dengan pekerjaan pasien sehari-hari. Tentukan jenis
pekerjaan pasien masuk kelompok yang mana ( kategori Holingshead) dan beri tanda dengan
dilingkari.
4. Ketrampilan teknis yang dimiliki:
Tanyakan pasien tentang pendidikan teknis formal atau pelatihan yang pernah mereka ikuti
dan dapat dituliskan dalam aplikasi pekerjaan (curiculum vitae).
5. Adakah yang memberi dukungan hidup bagi anda?
Tulis kode sesuai jawaban pasien di kotak yang diarsir.
Yang dimaksud dukungan hidup adalah pemberian uang, tempat tinggal, makanan, biaya
pengobatan/perawatan secara teratur dari berbagai sumber, kecuali institusi (mis. yayasan).
Catatan: Pasien yang tinggal dengan orang tua diatas usia 18 tahun, dianggap juga
menerima dukungan hidup, setidaknya dari segi tempat tinggal dan/atau makanan).
6. Bila ya, siapakah?
Tuliskan pemberi dukungan hidup bagi pasien, seperti orangtua, keluarga, teman saudara,
dan bukan sebuah institusi

66

[Type text]

Kategori Holingstead
1. Eksekutif pengambil keputusan tertinggi, profesional utama, pemilik perusahaan besar
2. Manajer bisnis ukurang menengah; profesi (mis. dokter, perawat, apoteker, pekerja sosial profesional,
guru, psikolog, dll
3. Tenaga administratif, penyelia (supervisor, pemilik perusahaan kecil (mis. perusahaan roti, show room
mobil kecil, dll), dekorator, aktor, agen perjalanan, dll
4. Klerk, sales, teknisi, bisnis kecil (kasir bank/teller, petugas pembukuan, juru gambar, pencatat waktu,
sekretaris)
5. Manual terlatih (biasanya dalam menjalankan tugas, perlu menerima pelatihan), misalnya tukang roti,
tukang cukur, montir, juru masak, montir, tukang cat, penjahit, dll)
6. Semi-terlatih, mis. pembantu rumah sakit, tukang cat, pelayan, pelayan, supir, dll
7. Tidak terlatih (pembantu, penjaga, buruh, tukang parkir, dll)
DAFTAR ZAT YANG UMUM DIGUNAKAN:
Alkohol :
Heroin :
Metadon:
Opiat:

Bir, anggur (wine), liquor, grain (metil alcohol),sopi,tuak,ciu


Smack,H,Horse,Brown Sugar
Dolophine, LAAM
Opium, Fentanyl, Buprenorphine, pereda nyeri -Morfin, Dilaudid, Demerol,
Percocet, Darvon, dll.
Barbiturat:
Nembutal, Seconal, Tuinal, Amytal, Pentobarbital, Secobarbital, Fenobarbital,
Fiorinal, Doriden, dll.
Sed/Hip/:
Benzodiazepin = diazepam, lorazepam, chlordiazepoxide,oxazepam
Trankuil
clorazepate, flurazepam,triazolam,alprazolam, meprobamat,
Lain-lain = Kloral Hidrat, Quaaludes
Kokain:
Kristal Kokain, Free-Base Cocaine, Crack, Rock,dll.
Amfetamin/:
Monster, Crank, Benzedrine, Dexedrine, methylphenidate/,
Stimulan
Preludin, Metamfetamin, Speed, Ice, Crystal,Khat
Kanabis:
Marijuana, Hashish,Pot,Bango Igbo, Indian Hemp, Bhang, Charas, Ganja, Mota,
Anasha
Halusinogen: LSD (Acid), Meskalin, Psilocybin (Mushrooms), Peyote, PCP, MDMA,Ekstasi,
Angel Dust
Inhalan:
Nitrous Oxide (Whippits), Amyl Nitrite (Poppers), Lem, Solvents, Gasoline,
Toluene, Etc.
Zat-zat lain yang juga disalahgunakan di Indonesia adalah dekstrometrofan, triheksifenidil (THP),
gama-hidroksibutirit asid (GHB), ketamin, dan beberapa zat lain yang tidak dapat digolongkan pada
jenis zat-zat di atas, karena lebih sebagai prekursor (bahan dasar). Apabila klien menggunakan zatzat yang tidak dapat digolongkan pada golongan besar di atas, silakan ditulis pada bagian yang
kosong di sekitar domain riwayat penggunaan Napza.

67

[Type text]

4.

Status Penggunaan Narkotika :


Cantumkan kapan wawancara tentang status penggunaan narkotika pasien dilakukan. Mohon diingat
bahwa wawancara mungkin saja dilakukan tidak bersamaan dengan tanggal kedatangan pasien.
D1 D11. Pertanyaan tentang status penggunaan narkotika terdiri dari 3 komponen:
- Penggunaan 30 hari terakhir
Tanyakan apakah pasien menggunakan zat terkait (D1 D12) dalam 30 hari terakhir atau
sebulan terakhir. Bila ya, berapa harikah dalam sebulan lalu pasien menggunakannya.
Penekanan adalah pada jumlah hari, bukan dosis harian. Tuliskan jawaban pasien dalam format
dua digit. Misalkan 8 hari, maka ditulis 08 pada kolom-kolom jawaban
-

Penggunaan sepanjang hidup (dalam tahun)


Mencatat periode penggunaan tetap Napza. Yang dimaksud penggunaan tetap adalah:
frekuensi 3 kali atau lebih tiap minggunya;
penggunaan hanya dua hari seminggu atau tidak tentu, tetapi selalu dalam kondisi mabuk
berat atau menimbulkan problem pekerjaan, sekolah, atau kehidupan keluarga
minum alkohol sesekali tetapi setiap kali minum dalam frekuensi terus menerus hingga
menimbulkan intoksikasi berat.
Perhitungan waktu menggunakan half rule time yaitu enam bulan ke bawah dihitung 0 (nol)
tahun dan enam bulan atau lebih dihitung 1 (satu) tahun.

Cara pakai
Terdapat lima cara pakai Napza, yaitu:
Oral (kode 1);
Nasal/suppositoria/sublingual (kode 2);
Dirokok (kode 3);
Suntik intra muskular (kode 4) dan
Suntik intravena (kode 5).

Tulislah kodenya pada kotak cara pakai. Risiko penggunaan dicerminkan dari kode
yang ada. Semakin besar nilai kodenya, semakin berisiko. Bila pasien menggunakan
dua cara, misalnya oral (kode 1) dan suntik intravena (kode 5), maka yang ditulis dalam
kotak cara pakai adalah kode 5. Namun demikian pewawancara diharapkan menulis
catatan penggunaan lainnya pada bagian yang kosong.
Catatan: Penting menanyakan riwayat semua jenis zat (dari D1 hingga D12) yang pernah digunakan
tanpa memperhatikan masalah saat ini (misal, pengguna alkohol mungkin menggabungkan zat
dengan minum alkohol; seorang pengguna kokain mungkin tanpa menyadari akan masalah minum
alkohol).
Sebagai informasi tambahan tanyakan Kuantitas penggunaan tiap hari, perkiraan jumlah uang
yang dihabiskan untuk zat perhari dan bagaimana pola penggunaannya (hanya pada akhir minggu,
misalnya).
D12. Zat Multipel
Untuk mencatat informasi tentang kombinasi penggunaan zat. Dalam 30 hari terakhir, tanyakan
berapa hari pasien menggunakan lebih dari satu macam zat termasuk alkohol. Dalam penggunaan
sepanjang hidup tanyakan pasien berapa lama ia secara tetap (umumnya 3 kali per minggu selama
satu bulan atau lebih) menggunakan lebih dari satu zat per hari termasuk alkohol.

68

[Type text]

13. Jenis zat utama yang disalahgunakan: ...........................................


Pewawancara harus menentukan zat utama yang disalahgunakan berdasarkan tahun-tahun
penggunaan, seringnya terapi, riwayat jumlah mengalami Delirium Tremens (DTs) atau Ovedosis. Jika
informasi memberikan tidak ada indikasi yang jelas tentang masalah zat, lalu tanyakan pada pasien
apa yang ia anggap adalah masalah zat utama (pilih dari kelompok zat di atas : D1 D12)
14. Pernahkah menjalani terapi rehabilitasi?
Tulis kode pilihan pasien pada kotak diarsir sebelah kanan
15. Jenis terapi rehabilitasi yang dijalani
Catat riwayat pasien menjalani program terapi rehabilitasi: misalkan detoksifikasi; program terapi
rumatan metadon; program terapi rumatan buprenorfin; rehabilitasi rawat inap jangka pendek;
rehabilitasi rawat inap jangka panjang; AA/NA, dan lain-lain.
16. Pernahkah mengalami overdosis?
Tulis kode pilihan pasien pada kotak diarsir sebelah kanan
18. Waktu overdosis
Catat kapan hal tersebut terjadi
19. Cara penanggulangan overdosis:
Tulis kode pilihan pasien pada kotak diarsir sebelah kanan

5. Status Legal :
Berapa kali kah dalam hidup anda ditangkap dan dituntut dengan hal berikut
Catatlah jumlah penangkapan dengan tuduhan resmi (tidak selalu harus berakibat pemenjaraan)
yangdialami pasien sepanjang hidupnya, untuk masing-masing jenis tindakan yang tertera pada
nomor 1 hingga 14.
Misalkan, pasien mengalami penangkapan karena pemalsuan resep sebanyak 10 kali sepanjang
hidupnya. Maka, tuliskan dalam format dua digit pada kotak di sebelah kanannya
Catatan: Jangan masukkan kejahatan remaja (sebelum usia 18), kecuali jika pengadilan mengadili
pasien sebagai orang dewasa, yang terjadi dalam kasus kejahatan yang sangat serius.
15. Berapa kali tuntutan di atas berakibat vonis hukuman?
Catatlah berapa kali penangkapan dan penuntutan pada poin 1 14 berakibat pada vonis
hukuman. Dalam hal ini termasuk denda, masa percobaan, penundaan hukuman dan juga
hukuman yang memerlukan penahanan. Tuntutan untuk pembebasan bersyarat dan/atau
pelanggaran masa percobaan dianggap vonis hukuman.

69

[Type text]

6.

Riwayat Keluarga :
1. Dalam situasi seperti apakah anda tinggal 3 tahun belakangan?
Tulislah kode pilihan pasien pada kotak yang diarsir sebelah kanan. Pilihan menggambarkan dalam
situasi apa pasien hidup selama 3 tahun terakhir. Bila terdapat berbagai situasi, pilihlah yang paling
mewakili periode 3 tahun terakhir. Jika jumlah waktu atas masing-masing situasi kurang lebih sama,
pilihlah situasi yang paling terakhir.
2. Apakah anda hidup dengan seseorang yang mempunyai masalah penyalahgunaan zat
sekarang ini?
Tulislah kode pilihan pasien pada kotak yang diarsir sebelah kanan. Apabila jawabannya tidak,
dapat langsung bertanya pertanyaan nomor 4.
3. Jika ya, siapakah mereka?
Tulislah kode pilihan pasien pada kotak yang diarsir sebelah kanan.
Catatan: perjelas hubungan pasien dengan orang yang menggunakan zat
(ayah/ibu,abang/kakak/adik, suami/istri/pasangan, keluarga,lainnya)
4. Apakah anda memiliki konflik serius dalam berhubungan dengan:
Yang dimaksud dengan konflik serius adalah suatu hubungan yang buruk, mencakup . hambatan
komunikasi yang serius, ketidakpercayaan, tidak adanya saling pengertian, kebencian atau rasa
permusuhan.
Tulislah kode 1 untuk ya dan kode 0 untuk tidak pada kolom waktu berikut ini:
30 hari terakhir:
Tanyakan apakah pasien mengalami konflik dengan pihak-pihak yang tertera pada pilihan no 1
sampai 9, dalam 30 hari terakhir atau sebulan terakhir.
Sepanjang hidup:
Tanyakan apakah pasien sebelumnya mengalami konflik dengan pihak-pihak yang tertera pada
pilihan no 1 sampai 9, sepanjang hidupnya. Bila pasien menjawab ya untuk 30 hari terakhir, tidak
berarti otomatis ia mengalami konflik yang sama sepanjang hidupnya. Atau sebaliknya, apabila ia
mengalami konflik sepanjang hidupnya, belum tentu ia mengalaminya dalam 30 hari terakhir.

70

[Type text]

7.

Status Psikiatris :
Apakah anda pernah mengalami hal-hal berikut ini (yang tidak merupakan akibat langsung
dari penggunaan zat):
1 9 : Tulislah kode 1 untuk ya dan kode 0 untuk tidak pada kolom waktu berikut ini:

30 hari terakhir:
Tanyakan apakah pasien mengalami kondisi yang tertera pada pilihan no 1 sampai 9, dalam 30
hari terakhir atau sebulan terakhir.
Sepanjang hidup:
Tanyakan apakah pasien sebelumnya mengalami kondisi yang tertera pada pilihan no 1 sampai 9,
sepanjang hidupnya. Bila pasien menjawab ya untuk 30 hari terakhir, tidak berarti otomatis ia
mengalami situasi tersebut sepanjang hidupnya. Atau sebaliknya, apabila ia mengalami situasi
tertentu sepanjang hidupnya, belum tentu ia mengalaminya dalam 30 hari terakhir.

Pemeriksaan Fisik :
Tuliskan kondisi fisik pasien (tekanan darah, nadi, pernapasan dan suhu) sesuai pemeriksaan yang
dilakukan.
Untuk pemeriksaan sistemik, terdiri dari
a. Sistem pencernaan : inspeksi bentuk abdomen, ada luka atau skar; palpasi perbagaan otot
perut, hati, limpa, adanya massa, asites; auskultasi bunyi usus
b. Sistem Jantung dan Pembuluh Darah :inspeksi bentuk thorax, kemungkinan adanya tanda
sianosis; palpasi daerah precortex; auskultasi frekuensi denyut jantung.
c. Sistem Pernapasan: inspeksi bentuk thorax, jenis pernapasan, retraksi iga; palpasi krepitasi;
perkusi; auskultasi suara napas
d. Sistem Saraf Pusat: tes sensorik rangsang nyeri atau panas ekstremitas atas dan bawah; tes
motorik ada tidaknya parese atau plegia; tes keseimbangan.
e. THT dan Kulit: apakah ada penurunan pendengaran, cairan telinga, membran timpani utuh /
tidak; bagaimana kondisi hidung; kondisi tenggorokan; kondisi kulit apakah ada rash, erupsi,
skar, tato, atau kelainan kulit lain.
Hasil Urinalisis:
Melalui prosedur skrining, tuliskan hasil urinalisis untuk masing-masing jenis zat yang diperiksa dengan
kode 1 untuk hasil positif dan kode 0 untuk hasil negatif pada kotak yang diarsir sebelah kanan.

71

Kesimpulan:
Buatlah kesimpulan tentang pasien untuk masing-masing domain yang ada dengan mempertimbangkan
hasil asesmen dan pendapat subyektif pasien dalam skala penilaian.
Penilaian dapat berkisar pada satu hingga tiga nilai, bergantung pada pertimbangan pewawancara:
0-1: Tidak ada masalah yang berarti, pasien tidak membutuhkan intervensi / bantuan
2-3: Ada sedikit masalah, tetapi intervensi / bantuan tidak terlalu penting
4-5: Masalah tergolong sedang, dibutuhkan beberapa intervensi
6-7: Masalah serius, dibutuhkan intervensi / terapi / bantuan
8-9: Masalah sangat serius, pasien sangat membutuhkan intervensi / terapi /

72

MATERI INTI 3
PENATALAKSANAAN TERAPI DAN REHABILITASI

DESKRIPSI SINGKAT
Masalah Gangguan penggunaan narkotika merupakan problema kompleks yang
penatalaksanaannya melibatkan banyak bidang keilmuan (medik dan non-medik).
Penatalaksanaan seseorang dengan ketergantungan narkotika merupakan suatu proses
panjang yang memakan waktu relatif cukup lama dan melibatkan berbagai pendekatan dan
latar belakang profesi. Gangguan penggunaan narkotika merupakan masalah bio-psikososio-kultural yang sangat rumit sehingga perlu ditanggulangi secara multidisipliner dan
lintas sektoral dalam suatu program yang menyeluruh (komprehensif) serta konsisten.
Gangguan penggunaan narkotika pada pasien jarang ditemukan berdiri sendiri
melainkan terdapat bersama dengan gangguan lain (komorbiditas) seperti depresi atau
ansietas, yang dapat terjadi karena kondisi predisposisi ataupun sebagai akibat
penggunaan narkotika dalam jangka waktu tertentu. Sedangkan pola penggunaan
narkotika itu sendiri, khususnya penggunaan dengan cara suntik, dapat membuat
seseorang menderita penyakit penyulit (komplikasi) seperti infeksi HIV/AIDS, Infeksi
Menular Seksual (IMS), hepatitis B atau C dan lain-lain
Ada dua hal yang harus ikut menjadi pertimbangan dalam memberikan terapi dan
rehabilitasi
1.terkait dengan kompetensi fasilitas kesehatan ( lihat buku tentang clinical patyway )
Fasilitas kesehatan di Indonesia dikategorikan menjadi PPK 1 , PPK 2, dan PPK 3.
Walaupun demikian pada saat ini setiap kategori belum tentu mempunyai kompetensi
yang sama sebab sumberdaya yang dimiliki belum merata. Secara garis besar PPK 1 dapat
melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan psikiatrik, penatalaksanaan gawat darurat
untyuk menjaga agar tanda-tanda vital dalam batas normal, mengatasi keadaan gaduh
gelisah, selanjutnya bila perlu merujuk ke PPK 2 atau PPK 3. , misalnya bila terdapat ide
bunuh diri atau terdapat komplikasi medik yang memerlukan rawat inap. Beberapa PPK 1
dapat memberikan layanan terapi rumatan metadon., PPK 2, selain memiliki kommpetensi
PPK 1 dapat merawat inap pasien dengan komplikasi medik yang memerlukan perawatan
inap. Misalnya bila terdapat ide bunuh diri atau komplikasi medik berat, intervensi
psikososial, serta dapat melakukan pemeriksaan penunjang. PPK 3, selain memiliki
kompetensi PPK 2 / 1, juga dapat memberikan intervensi psikososial yang lebih

73

bervariasi/ lengkap ( CBT, MET / MI, terapi perilaku, terapi kognitif, terapi kelompok
,terapi keluarga ).
2. terkait dengan Jaminan Kesehatan Nasional ( JKN ).
Percobaan Bunuh Diri sejauh ini tidak mendapat penggantian biaya perawatan dan
pengobatan dalam program JKN. Adiksi sebagai penyakit otak sering terdapat bersamasama dengan penyakit lain baik fisik maupun psikiatrik. Gangguan ini juga belum jelas
dapat penggantian biaya perawatan dan pengobatan dalam program JKN. Selain itu, dalam
program JKN hanya pasien rawat inap yang tergolong berat yang dapat penggantian biaya
perawatan dan pengobatan.
Modul ini diharapkan menjadi acuan bagi penerima wajib lapor pecandu narkotika pada
institusi yang telah ditetapkan oleh pemerintah untuk dapat melakukan penatalaksanaan
terapi dan rehabilitasi sesuai dengan kemampuan fasilitas kesehatan yang dimiliki

TUJUAN PEMBELAJARAN
A. Tujuan Pembelajaran Umum
Setelah mengikuti materi ini, peserta mampu melakukan penatalaksanaan terapi dan
rehabilitasi ketergantungan narkotika sesuai dengan kemampuan fasilitas kesehatan yang
dimiliki ketergantungan narkotika ( kalimat / kata warna biru diusulkan dihapus )
B. Tujuan Pembelajaran Khusus
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Menjelaskan prinsip dan konsep dasar proses terapi.


Menjelaskan berbagai jenis modalitas terapi pada pasien ketergantungan narkotika.
Menjelaskan terapi pasca detoksifikasi (rehabilitasi).
Menjelaskan tentang harm reduction.
Menjelaskan teknik peningkatan motivasi.
Menyusun rencana terapi.

BAB III. POKOK BAHASAN DAN SUB POKOK BAHASAN


Dalam modul ini akan dibahas pokok bahasan sebagai berikut:
Pokok bahasan 1. prinsip dan konsep dasar proses terapi
Pokok bahasan 2. berbagai jenis modalitas terapi pada pasien ketergantungan narkotika
74

Pokok bahasan 3. terapi pasca detoksifikasi (rehabilitasi)


Pokok bahasan 4. harm reduction
Pokok bahasan 5. teknik meningkatkan motivasi
Pokok bahasan 6. rencana terapi

URAIAN MATERI
POKOK BAHASAN 1
PRINSIP DASAR TERAPI
Tujuan terapi ketegantungan narkotika:
1. Abstinensia atau penghentian total penggunaan narkotika
Tujuan terapi ini tergolong sangat ideal. Sebagian besar pasien ketergantungan
narkotika tidak mampu atau kurang termotivasi untuk mencapai tujuan ini.
2. Pengurangan frekuensi dan keparahan relaps.
Pelatihan relapse prevention program, cognitive behavior therapy, opiate antagonist
maintenance therapy merupakan beberapa alternatif untuk mencapai tujuan terapi
ini.
3. Memperbaiki fungsi psikologi dan fungsi adaptasi sosial
Tujuan utama terapi ini agar dampak buruk akibat ketergantungan narkotika dapat
dikendalikan dan pasien dapat meneruskan kebiasaannya yang positif. Terapi
substitusi rumatan metadon merupakan pilihan untuk mencapai sasaran terapi
golongan ini.

KONSEP DASAR PROSES TERAPI


1. Tidak ada satu bentuk terapi yang sesuai untuk semua individu. Masing-masing
pasien ketergantungan narkotika memerlukan jenis terapi yang sesuai dengan
kebutuhannya.
2. Kebutuhan guna mendapatkan terapi harus selalu tersedia sepanjang waktu, karena
pasien ketergantungan narkotika tidak mempunyai pendirian yang stabil.

75

3. Terapi yang efektif harus mampu memenuhi banyak kebutuhan individu, tidak hanya
semata-mata karena kebutuhan menggunakan narkotika.
4. Rencana pelayanan dan terapi seorang individu harus dinilai secara kontinyu dan
sewaktu-waktu perlu dimodifikasi guna memastikan bahwa rencana terapi telah
sesuai dengan perubahan kebutuhan orang tersebut.
5. Mempertahankan pasien dalam periode terapi yang adekuat merupakan sesuatu yang
penting guna menilai apakah terapi efektif atau tidak
6. Konseling dan terapi perilaku merupakan komponen kritis sebagai bagian penting
terapi ketergantungan narkotika
7. Medikasi merupakan elemen penting pada terapi kebanyakan pasien ketergantungan
narkotika
8. Seorang pasien ketergantungan narkotika yang secara bersama-sama juga menderita
gangguan mental harus mendapatkan terapi untuk kedua-duanya secara integratif
9. Detoksifikasi hanya merupakan taraf permulaan terapi ketergantungan narkotika dan
kalau dianggap sebagai satu-satunya cara maka hanya mendatangkan sedikit
keberhasilan terapi.
10. Terapi yang dilakukan secara sukarela tidak menjamin menghasilkan suatu bentuk
terapi yang efektif
11. Kemungkinan penggunaan narkotika kembali selama terapi berlangsung harus
dimonitor secara kontinyu
12. Program terapi harus menyediakan assesment untuk HIVAIDS, Hepatitis B dan C,
Tuberkulosis dan penyakit infeksi lain serta harus dilakukan konseling untuk
membantu pasien ketergantungan narkotika memodifikasi atau merubah tingkah
lakunya, agar tidak menyebabkan dirinya atau diri orang lain pada posisi yang
berisiko mendapatkan infeksi.
13. Pemulihan dari ketergantungan narkotika merupakan proses jangka panjang dan
sering membutuhkan episode terapi berulang-ulang

POKOK BAHASAN 2
Berbagai jenis modalitas terapi pada pasien ketergantungan narkotika
1. Terapi detoksifikasi (terapi gejala putus narkotika). Detoksifikasi merupakan langkah
awal proses terapi ketergantungan opioida dan merupakan intervensi medik jangka
singkat.

76

Tujuan terapi detoksifikasi adalah:


Untuk mengurangi, meringankan atau meredakan keparahan gejala- gejala putus
opioda.
Untuk mengurangi keinginan, tuntutan dan kebutuhan pasien untuk mengobati
dirinya sendiri dengan menggunakan zat-zat ilegal.
Mempersiapkan untuk proses terapi lanjutan yang dikaitkan dengan modalitas
terapi lainnya, seperti: therapeutic community, berbagai jenis terapi rumatan atau
terapi lain.
Menentukan dan memeriksa komplikasi fisik dan mental, serta mempersiapkan
perencanaan terapi jangka panjang.
2. Terapi pasca detoksifikasi (lihat pokok bahasan 3)
3. Harm Reduction Program (lihat pokok bahasan 4)
4. Dual Diagnosis Treatment Program
Dual diagnosis adalah istilah klinis untuk penyebutan diagnosis ganda atau
multiple pada pasien ketergantungan narkotika dan terdapat bersama-sama dengan
gangguan psikiatri lain secara independen. Pasien-pasien dengan kombinasi
ketergantungan narkotika dan gangguan psikiatri membutuhkan terapi khusus, dan
guna mempersiapkan dirinya dalam program pemulihan yang sesuai dan adekuat.
5. Penatalaksanaan komorbiditas penyakit fisik (HIV/AIDS, Hepatitis, Tuberkulosis, dll)
Gangguan penggunaan narkotika pada pasien jarang ditemukan berdiri sendiri
melainkan terdapat bersama dengan gangguan lain (komorbiditas atau co-occurant
disease ). Penggunaan narkotika dengan cara suntik, dapat membuat seseorang
menderita penyakit penyulit (komplikasi) seperti HIV/AIDS, Infeksi Menular Seksual
(IMS), hepatitis B atau C dan lain-lain.
Sesuai dengan konsep dasar proses terapi, program terapi harus menyediakan
asesmen untuk HIV / AIDS, Hepatitis B dan C, Tuberkulosis dan penyakit infeksi lain
serta harus dilakukan konseling untuk membantu pasien ketergantungan narkotika
memodifikasi atau merubah tingkah lakunya, agar tidak menyebabkan dirinya atau
diri orang lain pada posisi yang berisiko mendapatkan infeksi.
6. Penatalaksanaan kedaruratan medik dan psikiatrik yang terjadi akibat
ketergantungan narkotika
77

Seringkali kondisi kedaruratan medik dan psikiatrik yang terjadi akibat


ketergantungan narkotika perlu mendapatkan prioritas utama untuk diatasi,
misalnya pasien ketergantungan narkotika dengan percobaan bunuh diri harus
diatasi terlebih dulu depresinya yang menjadi penyebab percobaan bunuh diri.
.Pasien ketergantungan narkotika yang psikotik harus diobati terlebih dulu sehingga
gejala dapat dikuasai. Termasuk kedaruratan medik yang terjadi akibat Gangguan
penggunaan narkotika dan zat adiktif lain adalah:
Overdosis
Intoksikasi akut
Keadaan putus zat
Keadaan putus zat dengan delirium
Gangguan psikotik / Gangguan psikotik residual / onset lambat
Gaduh gelisah
Gangguan cemas/panik
Depresi berat dan percobaan bunuh diri
Overdosis
Overdosis akibat penggunaan narkotika dan zat adiktif lain apapun adalah kondisi medik
yang berat dan dapat berakibat fatal. Oleh karena itu harus dirawat inap. Terapi overdosis
adalah simptomatik dengan tujuan menjaga agar sistem kardiovaskuler dan respirasi tetap
berfungsi normal. Selain daripada itu bertujuan agar tidak terjadi kejang serta pasien sadar
kembali. Untuk overdosis opioida dapat diberikan antagonis opioida yaitu naloxone dan
untuk overdosis benzodiazepin dapat diberikan flumazenil.
Intoksikasi akut
Intoksikasi akut adalah kondisi yang timbul akibat penggunaan narkotika / zat adiktif lain
sehingga terjadi gangguan kesadaran, fungsi kognitif, persepsi, afek, perilaku, atau fungsi
dan respons psikofisiologik lainnya.Pada saat terjadi intoksikasi akut narkotika / zat adiktif
lain pasien akan mengalami euforia sehingga pasien tidak datang berobat kecuali dipaksa
oleh keluarga atau penegak hukum.Intoksikasi narkotika dan zat adiktif dapat
membahayakan karena dapat terjadi agresivitas, impulsivitas, agitatif kecuali intoksikasi
akut tembakau yang jarang terjadi. Intoksikasi akut kokain, amfertamin, dan beberapa jenis
halusinogen dapat menyebabkan kejang, tekanan darah naik, gangguan irama jantung,
hipertermia, dehidrasi. Secara umum, intoksikasi akut dapat dikategorikan kondisi medik
sedang, kecuali intoksikasi tembakau termasuk kondisi medik ringan. Pada intoksikasi
kafein terjadi gangguan irama jantung, agitasi Pada intoksikasi PCP dapat terjadi kejang.
78

Inti. Oleh karena itu pasien dengan intosikasi akut sebaiknya dirawat inap kecuali
intoksikasi akut tembakau.
Keadaan Putus Zat / Keadaan putus Zat dengan delirium
Keadaan putus zat adalah kondisi klinis yang terjadi bila seseorang mengurangi atau
mengehntikan penggyunaan narkotika atau zat adiktif lain setelah ia menggunakan zat
tersebut berulang kali biadanya untuk waktu yang lama dan / atau dalam jumlah yang
banyak. Bila disertai delirium maka disebut Keadaan putus zat dengan delirium.
Keadan putus alkohol dan keadaanputus sedativa-hipnotika dapat disertai kejang, agitasi,
hipotensi postural serta delirium,oleh karena itu sebagai kondisi medik yang berat maka
harus dirawat inap.
Keadaan putus kokain, amfetamin ( met-amfetamin, MDMA ) dapat disetai agitasi dan ide
bunuh diri. Oleh karena itu tergolong kondisi medik berat dan karenanya harus dirawat
inap.
Keadan putus tembakau dan keadaan putus ganja pada umumnya termasuk kondisi medik
ringan, oleh karenanya tidak perlu rawat inap.
Keadaan putus opioda bukan keadaan yang gawat tetapi pasien menderita antara lain
karena rasa nyeri seluruh badan. Pasien ini tidak harus diirawat inap, tetapi bila pasien
menghendaki dirawat inap maka sebaiknya dirawat inap Pada Keadaan putus kafein
dapat terjadi depresi atau iritablitas sehingga perlu dirawat inap
Gangguan psikotik
Gejala psikotik yang muncul pada waktu atau dalam waktu dua minggu penggunaan
narkotika / zat adiktif lain, berlangsung paling sedikit 48 jam dan lamanya tidak lebih dari
6 bulan
Bila disertai agresivitas harus dirawat inap
Penatalaksanaan Gangguan psikotik residual atau onset lambat sama dengan
penatalaksanaan gangguan psikotik akibat zat
Gaduh gelisah
Pasien gaduh gelisah harus dirawat inap karena kemungkinan akan mengganggu
ketertiban umum.
Gangguan cemas / panik
Ganguan cemas / panik pada umumnya tidak memerlukan rawat inap

79

Depresi berat dan Percobaan Bunuh Diri


Pasien dengan Depresi berat dan Percobaan Bunuh Diri harus dirawat inap.

POKOK BAHASAN 3
Terapi Pasca Detoksifikasi (Rehabilitasi)
1. Program terapi rumatan (rawat jalan)
a.

Metadon
Sejak tahun 1960an di Amerika dan Eropa penggunaan metadon sebagai suatu
substitusi opioida yang bersifat agonis dan long acting adalah terapi baku untuk
pasien-pasien ketergantungan opioda. Kelemahan terapi metadon:
Harus datang ke fasilitas rumatan metadon sekali sehari
Dapat terjadi overdosis, ketergantungan metadon dan kemungkinan
peredaran ilegal metadon.

b.

Naltrekson
Farmakoterapi rumatan dapat dilakukan dengan naltrekson yang dikenal dengan
istilah Opamat-ED (Opiate Antagonist Maintenance Therapy) yang harus
diberikan bersama dengan konseling.

c.

Bufrenorfin

Bufrenorfin adalah partial agonis opioida, yang diberikan secara sublingual. Pada
dosis tinggi bufrenorfin bersifat antagonis
d.

Kombinasi bufrenorfin dan naltrekson

Kombinasi ini juga diberikan secara sublingual. Lebih aman sebab bila disalahgunakan
dengan cara menyuntikkan maka efek naltrekson akan bekerja lebih dulu sehingga akan
timbul gejala putus zat

80

2. Residential treatment (rawat inap)


a.

b.

General hospital based program


Rehabilitasi dilaksanakan di rumah sakit yang diselenggarakan oleh pemerintah
atau pemerintah daerah. Program rehabllitasi di rumah sakit umum pada
umumnya adalah rehabiltasi fisik atau medik, yaitu mengobati penyakit
komorbiditas dan pemulihan kondisi fisik
psychiatric hospital
Rehabilitasi dilaksanakan di rumah sakit jiwa yang diselenggarakan oleh
pemerintah atau pemerintah daerah. Program rehabilitasi yang ada adalah
rehabilitasi mental yaitu mengobati gangguan jiwa lain yang terdapat bersamasama dengan Gangguan penggunaan narkotika/ zat adiktif lain ( dual diagnosis ).

c. Rumah sakit khusus untuk gangguan penggunaan narkotika


Misalnya Rumah Sakit Ketergantungan Obat di Jakarta mempunyai fasilitas IGD,
unit rawat inap detoksifikasi, unit rawat inap untuk rehabiloitasi, unit pasien
dengan diagnosis ganda, terapi rumatan metadon
3. Pemulihan Adiksi Berbasis Komunitas.
Rehabilitasi dilaksanakan di fasilitas rehabilitasi yang diselenggarakan oleh
masyarakat baik yang residensial maupun yang non-residensial.
Terapi yang diberikan pada program rehabilitasi berupa:
1. Terapi penyakit komplikasi sesuai indikasi (penatalaksanaan medis untuk fisik
dan mental)
2. Intervensi psikososial antara lain melalui konseling adiksi narkotika, wawancara
motivasional, terapi kognitif dan perilaku (Cognitive Behavior Therapy), dan
pencegahan kambuh.

POKOK BAHASAN 4 : HARM REDUCTION


Harm reduction adalah suatu kebijakan atau program yang ditujukan untuk
menurunkan konsekuensi kesehatan, sosial dan ekonomi yang merugikan sebagai akibat
penggunaan narkotika tanpa kewajiban abstinensia dari penggunaan narkotika.

81

1.

2.

3.

4.

5.

Beberapa program harm reduction :


Syringe Exchange Program
Tersedianya tempat penukaran semprit dan jarum suntik bekas dengan yang steril.
Atau tersedianya semprit dan jarum suntik steril tanpa penukaran dengan semprit
dan jarum suntik bekas.
Methadone Maintenance Treatment Program (MMTP)
MMTP telah dikembangkan sejak tahun 60an sebagai suatu cara untuk mengurangi
angka kriminalitas, konsekuensi sosial yang merugikan dan infeksi HIV/AIDS.
Education, Outreach Program And Bleach Kits
Ini adalah suatu program edukasi membersihkan jarum suntik yang sudah dipakai
untuk mencuci-hamakan jarum bekas.
Tolerance Areas
Tolerance areas adalah suatu tempat yang diperkenankan untuk melakukan
kebiasaan menggunakan narkotika melalui suntikan tanpa mendapatkan hukuman.
Cara tersebut memerlukan koordinasi dan pengawasan yang ketat.
Kawasan Bebas Asap Rokok
kawasan bebas asap rokok merupakan tempat-tempat atau gedung-gedung yang
tidak diperkenankan orang untuk merokok.

POKOK BAHASAN 5 : TEKNIK MENINGKATKAN MOTIVASI


Terapi untuk meningkatkan motivasi disebut dengan Motivational Enhancement
Therapy (MET). Elemen utama dari MET adalah Wawancara Motivational (Motivational
Interview).
Konsep utama MET:
1. Ambivalensi
Ambivalensi adalah salah satu bentuk gangguan perasaan, dalam satu saat yang sama
mempunyai perasaan yang saling bertentangan.
Misalnya pada satu saat seorang pasien merasa sangat ingin berhenti menggunakan
putauw, namun pada saat yang sama ia juga merasakan adanya keinginan besar
untuk menggunakan putaw.

82

2. Reflective Listening
Reflective listening adalah semua pernyataan atau ucapan terapis yang ditujukan
kepada pasien untuk menunjukkan bahwa terapis betul-betul memahami apa yang
dikatakan oleh pasien.
3. Open-Ended Questions
Open ended questions mengundang pasien untuk memberikan jawaban yang bersifat
menerangkan. Untuk mengembangkan timbulnya motivasi seorang terapis harus
menggunakan open ended questions.

POKOK BAHASAN 6: RENCANA TERAPI


Rencana terapi merupakan salah satu bekal untuk berhasilnya suatu terapi. Rencana terapi
dibuat berdasarkan hasil asesmen komprehensif yang sesuai dengan kondisi pecandu
narkotika dengan jenis gangguan penggunaan narkotika dan kebutuhan pecandu
narkotika, antara lain meliputi:
Pelayanan detoksifikasi.
pelayanan gawat darurat.
pelayanan rehabilitasi (model: terapi komunitas, minnesota, model medis).
pelayanan rawat jalan non rumatan.
pelayanan rawat jalan rumatan.
pelayanan penatalaksanaan dual diagnosis/ komorbiditas
rujukan untuk pengobatan atau perawatan tertentu.
Rencana terapi disusun dengan mempertimbangkan hasil pemeriksaan awal dan
diagnosis yang diperoleh berdasarkan hasil asesmen. Tidak semua institusi wajib lapor
memiliki modalitas terapi yang lengkap. Pada layanan yang tidak tersedia perawatan
khusus maka petugas tersebut wajib untuk melakukan rujukan ke tempat lain sesuai
dengan kebutuhan pecandu narkotika tersebut.
Salah satu model yang bisa digunakan dalam rencana terapi bagi pecandu narkotika
adalah dengan melihat tahapan perubahan perilaku sesuai dengan teori Prochaska dan
DiClemente (1986) dan Davidson, dkk (1991).
Selanjutnya rencana terapi yang telah disusun berdasarkan hasil asesmen harus
disepakati oleh pecandu narkotika, orang tua, wali, atau keluarga pecandu narkotika dan
pimpinan institusi penerima wajib lapor.

83

Melalui program wajib lapor pecandu narkotika diharapkan setidaknya memperoleh


konseling dasar terkait perilaku ketergantungan narkotikanya. Melalui program ini juga
diharapkan pecandu narkotika memperoleh informasi yang diperlukan untuk
meminimalisasi risiko yang dihadapinya dan memperoleh rujukan untuk perawatan
lanjutan yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan yang bersangkutan. Melalui
program ini pula pecandu narkotika mendapatkan pengobatan dan atau perawatan
melalui rehablitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Rehabilitasi medis dapat dilaksanakan melalui rawat jalan dan/atau rawat inap
sesuai dengan rencana terapi yang telah disusun. Rehabilitasi rawat inap dimulai dengan
program rawat inap selama 3 (tiga) bulan untuk kepentingan asesmen lanjutan, serta
penatalaksanaan medis untuk gangguan fisik dan mentalnya. Pelaksanaan rehabilitasi
dilanjutkan dengan program rawat inap jangka panjang atau dialihkan pada program
rawat jalan. Pelaksanaan rehabilitasi lanjutan dengan program rawat jalan hanya dapat
dilaksanakan untuk terpidana dengan pola penggunaan rekreasional atas jenis
narkotika amfetamin, ganja dan benzodiazepin, dan/atau berusia di bawah 18 tahun.
Pelaksanaan rehabilitasi lanjutan yang dilakukan dengan rawat jalan mewajibkan
pecamdu narkotika untuk datang pada lembaga rehabilitasi sesuai ketentuan yang
berlaku dan dilakukan pemeriksaan urin sewaktu-waktu
Sesuai dengan konsep dasar proses terapi, rencana terapi seorang pecandu narkotika
harus dinilai secara kontinyu dan sewaktu-waktu perlu dimodifikasi guna memastikan
bahwa rencana terapi telah sesuai dengan perubahan kebutuhan orang tersebut.

84

DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 422/MENKES/SK/III/2010


tentang Pedoman Penatalaksanaan Medik Gangguan Penggunaan Napza.
Modul Pelatihan Teknis Medis Penanggulangan Penyalahgunaan Napza Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jendral Bina Kesehatan Masyarakat
Kep Menkes No. 486/MENKES/SK/IV/2007 tentang Kebijakan & Rencana Strategi
Penanggulangan Penyalahgunaan NARKOTIKA
Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III, Departemen
Kesehatan RI, 1993
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders 5th edition,American Psychiatric
Association, 2013.

85

MATERI INTI 4
KONSELING DASAR ADIKSI NAPZA

DESKRIPSI SINGKAT
Masalah adiksi Napza melibatkan aspek fisik, psikologik dan sosial. Oleh karena itu
dalam penatalaksanaannya harus bersifat komprehensif dengan memberikan
farmakoterapi dan intervensi psikososial. Konseling merupakan salah satu jenis intervensi
psikososial. Konseling merupakan suatu dialog interaktif antara terapis dan klien yang
berdasarkan pada hubungan kolaborasi antara konselor dan klien yang membantu klien
untuk menyadari adanya masalah dalam perilaku penggunaan Napza. Konseling
melibatkan berbagai keterampilan konselor, teknik mengajar, dan dukungan emosional
yang membantu seseorang menuju kemandiriannya, mengembangkan keterampilan dalam
menghadapi masalah, mengembangkan fungsi sosial, dan menjadi pengambil keputusan
yang baik.
Untuk memberikan konseling secara profesional, maka terapis harus mengetahui
prinsip dasar konseling dan penerapannya dalam keterampilan tersebut untuk
memberikan terapi yang komprehensif terhadap klien.
TUJUAN PEMBELAJARAAN
A. Tujuan Pembelajaran Umum
Setelah mengikuti materi ini, peserta mampu melakukan konseling dasar adiksi.
B. Tujuan Pembelajaran Khusus
1. Menjelaskan cara membangun hubungan klien - konselor
2. Menjelaskan tahap-tahap perubahan perilaku dan wawancara motivasional
3. Menjelaskan dan menerapkan teknik dasar konseling Napza
4. Menjelaskan dan menerapkan teknik mengatasi resistensi

POKOK BAHASAN
Dalam modul ini akan dibahas pokok bahasan sebagai berikut:
Pokok bahasan 1.
Pokok bahasan 2.
Pokok bahasan 3.
Pokok bahasan 4.

Membangun hubungan klien - konselor


Tahap perubahan perilaku & wawancara motivasional
Teknik dasar konseling Napza
Teknik mengatasi resistensi

86

URAIAN MATERI
POKOK BAHASAN 1 : MEMBANGUN HUBUNGAN KLIEN - KONSELOR
Konseling dalam tata laksana gangguan penggunaan Napza (GPN) merupakan intervensi
psikososial yang sangat penting. Berbagai penelitian terdahulu menunjukkan bahwa
konseling berhubungan secara signifikan dengan perubahan perilaku positif pada orang
dengan gangguan penggunaan Napza. Ada banyak jenis konseling yang dapat diterapkan
pada klien dengan GPN, seperti misalnya konseling individual, pasangan, keluarga, marital,
vokasional, dan lainnya. Salah satu yang mendasar adalah konseling gangguan penggunaan
Napza yang lebih dikenal sebagai konseling adiksi Napza. Prinsip dasar konseling ini sama
dengan prinsip dasar konseling secara umum. Yang berbeda adalah fokus masalah yang
diangkat pada umumnya berkisar pada masalah gangguan penggunaan Napza.
Konseling merupakan proses membantu seseorang untuk belajar menyelesaikan masalah
interpersonal, emosional dan memutuskan hal tertentu, yang merupakan proses yang
dinamis berdasarkan hubungan kolaboratif. Tugas konselor adalah memberdayakan klien
melalui berbagai teknik:
Memfasilitasi
Mengajarkan
Mendukung
Tujuan konseling adalah:
1. Membantu kemampuan klien untuk mengambil keputusan yang bijaksana dan realistik.
2. Menuntun perilaku klien agar mampu mengemban konsekuensinya.
3. Memberikan informasi dan edukasi.

Hasil konseling sangat tergantung pada hubungan antara klien dengan konselor.
Pertemuan antara konselor dan klien akan tergantung dengan situasi dan kenyamanan
yang dirasakan oleh klien sehingga penting bagi konselor untuk membuat klien merasa
nyaman sehingga klien percaya dan konselor dapat memberikan informasi yang
dibutuhkan tentang diri klien. Hubungan konselor dan klien perlu bersifat terapeutik,
hingga dapat memfasilitasi suatu perubahan perilaku. Konselor perlu bertindak sebagai
seorang fasilitator yang memfasilitasi identifikasi masalah yang dialami klien, potensi yang
dimiliki, alternatif jalan keluar serta strategi perilaku yang perlu ditampilkan.
Membangun hubungan baik dalam konteks konseling membutuhkan karakter khusus,
yaitu:
87

1. Bersikap hangat: ramah, menjabat tangan (sesuai konteks), menyambut klien secara
wajar, mempersilakan duduk, senyum dan bersahabat
2. Mampu menjadi pendengar yang baik: mendengarkan apa yang dikatakan klien, baik
secara verbal maupun non verbal, memberi penguat bicara, tidak menyela perkataan
klien kecuali memang diperlukan.
3. Mampu memahami apa yang dirasakan klien (berempati): konselor mencoba merasakan
apa yang dirasakan klien. Menerima perasaan klien yang subyektif yang ditunjukkan
dengan ekspresi wajah, respons verbal maupun bahasa tubuh konselor yang adekuat.
4. Tidak bersikap menghakimi (judgmental): tidak mengambil kesimpulan secara cepat
atas apapun yang diutarakan atau ditampilkan klien, menghargai klien dengan segala
atribut yang ada padanya.
5. Bertanggungjawab: konselor mematuhi janji pertemuan, memberitahu klien apabila
berhalangan, melakukan pencatatan dan menyimpan segenap informasi yang diperoleh
dengan baik sesuai aturan yang berlaku.
6. Tulus: konselor bersikap terbuka dan sungguh-sungguh dalam membantu klien. Tidak
didasari oleh agenda lain selain keinginan untuk menolong atau memfasilitasi
perubahan pada diri klien.
7. Fleksibel: konseling tidak bisa dijalankan secara kaku. Topik-topik yang telah
direncanakan konselor berdasarkan identifikasi yang sebelumnya dilakukan dapat
berubah sewaktu-waktu seiring dengan berjalannya proses konseling.
Hubungan baik konselor klien harus dipertahankan dalam konteks hubungan profesional,
agar fungsi konseling tetap berjalan secara optimal. Ruang lingkup batasan hubungan
konselor klien meliputi:
Menetapkan batasan perilaku: hindari hubungan ganda (dual relationship), baik
dari sisi:
o Sosial: misalnya, menjalin hubungan asmara, menganggap klien sebagai anak
o Finansial: misalnya, meminjam atau memberikan uang, membuat bisnis
bersama klien, dan sebagainya.
Dalam situasi dimana hubungan ganda tidak dapat dihindari, upayakan untuk
meminimalisasi keterlibatan konselor. Misalnya, sudah terlanjur berbisnis bersama,
upayakan agar mengalihkan pelaksanaan bisnis tersebut pada orang lain.
Mengklarifikasi berbagai harapan dan memberikan aturan tentang peran konselor
Melindungi konselor, klien dan mitra kerja lainnya
POKOK BAHASAN 2 : TAHAP PERUBAHAN PERILAKU & WAWANCARA
MOTIVASIONAL
Psikolog James O. Prochaska, John C. Norcross dan Carlo C. DiClemente menulis dan
meneliti tentang bagaimana orang berubah selama lebih dari 20 tahun. Mereka
88

mengembangkan sebuah model dari proses perubahan. Kesiapan untuk berubah dan
dinamik dari tahap-tahap perubahan dikembangkan oleh Prochaska, Norcross, dan
Diclemente (1994); Mereka mengidentifikasi enam tahap perubahan: precontemplation,
contemplation, preparation, action, maintenance, dan recycling dan relapse. Konselor
tidak hanya perlu untuk memahami tahap kesiapan, tapi harus mengetahui bagaimana
berespons secara tepat untuk memfasilitasi individu bergerak ke sebuah tahap kesiapan
yang lebih tinggi. Tahap perubahan dapat dideskripsikan dalam model diagram dibawah
ini:

Relaps
e

Maintenance

Action

Precontemplation

Contemplation

Determination/
Preparation

A. Tahap pra-perenungan (Precontemplation).


Di tahap pertama ini terdapat penyangkalan atau kurangnya kesadaran akan
kebutuhan untuk berubah. Di tahap pra-perenungan, klien tidak mempunyai pikiran
untuk berhenti dari penyalahgunaan Napza, klien menggunakan penyangkalan sebagai
mekanisme pertahanan diri yang paling utama. Pada saat ini biasanya klien menolak
berbicara tentang masalah yang dimilikinya atau tidak merasa perlu konseling
kesehatan. Precontemplation merupakan taraf kesiapan paling rendah untuk berubah.
Pada tahap ini, strategi paling baik adalah memberikan informasi, membentuk
89

hubungan baik dan menciptakan keragu-raguan tentang perilaku penggunaan


Napzanya.

Tugas konselor menghadapi klien di tahap pra-perenungan:


1. Konselor dapat memberi informasi tentang efek ketergantungan Napza, bahaya yang
berhubungan dengan ketergantungan Napza.
2. Konselor membangkitkan keinginan klien untuk sebuah gaya hidup yang berbeda,
mengidentifikasikan hambatan untuk pemulihan dan membantu klien untuk
mengidentifikasi cara untuk memperkuat harga diri (self esteem).
B. Tahap Perenungan (Contempalation).
Di tahap ini biasanya klien memiliki kesadaran bahwa perilaku penggunaan
Napzanya mungkin bermasalah. Iapun mungkin mempertimbangkan untuk menerima
atau menolak perubahan perilaku dalam mengatasi masalahnya tersebut. Pada tahap ini
dapat dilakukan proses mendengar aktif pada klien dan mengidentifikasi hal-hal yang
bersifat positif dan negatif dari perubahan yang akan dibuat. Sebuah pertanyaan yang
dianjurkan pada tahap ini adalah: apakah perubahan perilaku yang akan dilakukan
sungguh-sungguh bermanfaat?.
Tugas konselor menghadapi klien di tahap perenungan:
1. Memelihara proses perubahan dengan memberikan dukungan.
2. Memberikan umpan balik, melakukan konfrontasi dengan ramah, lemah lembut,
humor
3. Memberikan penghargaan (reward) untuk perjuangan dan keberhasilan klien.

C. Tahap persiapan (Preparation)


Pada tahap ini keputusan untuk berubah biasanya telah diambil klien, sehingga
diperlukan adanya suatu persiapan. Klien tidak hanya mengakui adanya masalah dan
kebutuhan untuk melakukan sesuatu terhadap masalah tersebut, tetapi ia juga
memutuskan untuk berubah dan mulai membuat rencana untuk berubah.
Tugas konselor menghadapi klien di tahap persiapan:
1. Membantu klien untuk melakukan perubahan.
2. Mengidentifikasi hambatan yang ada.
3. Membantu klien untuk perencanaan perubahan.

90

D. Tahap aksi (Action)


Tahap aksi merupakan permulaan dari proses pemulihan. Di tahap aksi ini individu
secara aktif terlibat di dalam proses perubahan, dan mengambil langkah pertama ke
arah pemulihan. Pada tahap ini, klien dapat bekerjasama dengan konselor untuk
mengevaluasi, merencanakan, dan mengimplementasikan sebuah rencana konseling.
Tugas utama konselor adalah mendukung usaha-usaha perubahan dan menguatkan
komitmen dan keterlibatan klien. Sebuah pertanyaan mendasar untuk diajukan pada
tahap ini adalah: Apakah yang akan anda lakukan?. Selama tahap aksi, dapat terjadi
kekambuhan, namun hal ini biasa terjadi.
Tugas konselor menghadapi klien di tahap aksi:
a. Membantu klien untuk mematuhi rencana terapi
b. Membantu klien mengidentifikasikan berbagai kekuatan yang dimiliki klien,
mengidentifikasi masalah yang dihadapi dan mengembangkan berbagai strategi
untuk mengatasi masalah tersebut.

E. Tahap Mempertahankan (Maintenance)


Di dalam tahap mempertahankan, klien mempelajari perilaku yang dapat
mendukung mereka untuk bebas dari penggunaan Napza yang merugikan. Klien diajak
untuk memiliki keterampilan dalam menghadapi masalah yang dihadapi sehari-hari
sehinggan hal ini dapat mendukung mereka untuk mempertahankan perubahan.
Keterampilan yang diberikan termasuk untuk mempertahankan pekerjaan dan
mengembangkan hubungan-hubungan yang akan mendukung kepulihan.
Tugas konselor menghadapi klien di tahap mempertahankan:
1. Mengidentifikasi berbagai situasi berisiko tinggi yang dapat menggiring
kekambuhan
2. Memfasilitasi ketrampilan yang diperlukan dalam memecahkan masalah,
komunikasi efektif, hubungan interpersonal yang sehat
Sebuah pertanyaan dasar pada tahap ini adalah: Apa yang dapat menolong anda ketika
menghadapi masalah itu?. Tahap mempertahankan tidak mempunyai batas waktu
khusus, karena terus berlangsung selama hidup klien.
F. Kekambuhan ( Recyling and Relapse).
Kekambuhan berarti bahwa hasil perubahan belum menetap karena individu terlibat
di dalam situasi risiko tinggi dimana kekambuhan tidak dapat dihindarkan, misalnya
karena tidak mendapatkan dukungan sosial. Situasi berisiko ini membuat klien
91

tergelincir kembali pada tahap yang lebih rendah, biasanya kembali pada tahap
perenungan. Selama tahap ini klien memiliki ambivalensi untuk mencoba lagi.
Tugas konselor bila terjadi kekambuhan:
1. Membantu klien untuk menghadapi ambivalensi
2. Mengevaluasi komitmen untuk berubah, mengidentifikasi dan mengatasi hambatan
yang ada.
Sebuah pertanyaan penting untuk diajukan di tahap ini adalah: Apakah tujuan dari
perubahan saat ini? .

WAWANCARA MOTIVASIONAL
Miller dan Rollnick (1991) mengembangkan suatu teknik wawancara motivasional yang
secara umum digunakan untuk asesmen penyalahgunaan Napza. Proses wawancara
motivasional dilakukan dengan pendekatan client-centered yang bertujuan untuk
membantu seseorang menggali dan mengatasi ambivalensi penggunaan Napzanya.
Dasar dari wawancara motivasional adalah memahami tahapan perubahan perilaku pada
klien dan kapan serta bagaimana mereka masuk ketahapan perubahan selanjutnya.
Wawancara motivasional ini sangat berguna pada tahap perubahan prekontemplasi dan
kontemplasi, walaupun begitu dapat pula diterapkan pada setiap tahap perubahan
perilaku.
Tujuan dari wawancara motivasional adalah untuk menggali pandangan klien menghadapi
permasalahannya, menyokong perubahan dengan menghindari label, menyatakan bahwa
yang bertanggung-jawab untuk target terapi dan pembuat keputusan terletak pada klien.
Prinsip wawancara motivasional :
1.

Mengekspresikan empati
Suatu gambaran bahwa konselor menerima klien apa adanya, dapat memahami klien
dengan permasalahannya, tidak memberikan suatu label kepada klien (misal:
alkoholik, jungkie, dll).

2.

Membangun ketidakcocokan/kesenjangan (develop discrepancy)


Memotivasi perubahan perilaku klien dengan menggambarkan perbedaan antara
penyalahgunaan Napza beserta permasalahan yang berhubungan dengan perilaku
mereka saat ini.

3.

Menghindari argumentasi
92

Menerima ambivalensi klien sebagai sesuatu yang wajar / normal. Ambivalensi dan
kesenjangan yang muncul dapat menimbulkan perdebatan yang tidak nyaman bagi
klien. Jangan menyerang klien atas penggunaan Napza dan permasalahannya, tetapi
gali pengetahuan klien tentang risiko terkait perilakunya dan bantu klien memahami
secara akurat konsekuensi negatif dari penggunaan Napzanya.

4.

Dukungan keyakinan diri


Konselor memberikan dukungan bahwa klien mampu merubah perilaku mereka dalam
penggunaan zatnya. Hal ini merupakan motivator penting dan mengingatkan klien
untuk bertanggungjawab dalam memilih dan mengadakan perubahan personal.

5.

Ketrampilan khusus
Ketrampilan ini bertujuan untuk mendorong klien mau berbicara, menggali
ambivalensi dan menjelaskan alasan mereka untuk mengurangi atau berhenti dari
penggunaan Napzanya.
a. OARS
Open ended questions (pertanyaan terbuka)
Affirmations (penegasan)
Reflective Listening (mendengarkan dengan cara merefleksikan)
Summarizing (membuat kesimpulan)
b. Berbicara mengenai perubahan
Ada empat kategori penting dalam membicarakan perubahan:
Mengenali kerugian bila tetap menyalahgunakan Napza
Mengenali manfaat bila tidak menyalahgunakan Napza
Menyampaikan optimisme tentang perubahan
Menyampaikan tujuan untuk perubahan

STRATEGI MEMOTIVASI SESUAI TAHAPAN PERUBAHAN


Tahapan Perubahan Klien
Precontemplation :
Klien :
Belum mempertimbangkan
untuk berubah atau tidak
punya keinginan untuk

Strategi Memotivasi yang Sesuai


(1)
Bina hubungan baik, minta persetujuan,
bangun kepercayaan.
(2)
Bangkitkan keragu-raguan atau fokuskan
pikiran klien tentang penyalahgunaan zatnya
melalui:
93

berubah.
Belum mengkhawatirkan pola
penggunaan narkobanya,
berapa jumlah dan frekuensi
yang mereka konsumsi.
Tidak mau menerima dan
tidak mengetahui seberapa
seriusnya masalah yang
ditimbulkan atas penggunaan
narkobanya dan mereka
masuk dalam pengguna
berisiko.

Contemplation :
Klien mengenali dan
mempertimbangkan
kemungkinan untuk
mengubah perilaku, namun
masih ambivalen dan belum
memiliki kepastian.
Faktor ekstrinsik lebih
banyak mendominasi
pemikiran mereka untuk
berubah.

- Eksplorasi kejadian yang membawa klien


berobat atau hasil dari pengobatan yang
sebelumnya.
- Timbulkan persepsi klien tentang masalah
yang ada terkait penggunaan narkoba.
- Jelaskan informasi faktual tentang risiko
penggunaan narkoba.
- Sediakan umpan balik personal tentang
asesmen yang diperoleh.
- Eksplorasi tentang keuntungan dan kerugian
penggunaan narkoba.
- Bantu untuk intervensi lain yang bermakna.
- Uji adanya kesenjangan antara persepsi
klien dengan persepsi orang lain tentang
masalah perilaku.
- Tunjukkan perhatian dan biarkan pintu
selalu terbuka untuk klien.
Menormalisasi sikap ambivalen.
Bantu klien untuk berubah melalui :
- Hubungkan manfaat dan kerugian tetap
menyalahgunakan napza dan bila berhenti
menggunakan napza
- Ubah motivasi intrinsik maupun ekstrinsik.
- Kaji nilai-nilai personal klien dan
hubungannya dengan perubahan.
- Yakinkan klien bebas memilih, bertanggung
jawab, dan mampu memberdayakan diri
sendiri untuk berubah.
a. Dorong klien memberdayakan diri dan
bangkitkan harapan mereka tentang pentingya
terapi
b. Simpulkan pernyataan motivasi diri.

Preparation :
Perjelas tujuan dan strategi klien untuk
berubah.
Klien memiliki komitmen dan
mempunyai rencana untuk Berikan beberapa menu untuk berubah atau
94

berubah dalam waktu dekat


namun masih belum jelas apa
yang akan dilakukan.
Klien sudah menemukan
resolusi
dan
membuat
pernyataan
yang
dapat
bertujuan untuk memotivasi
dirinya sendiri.

mendapatkan terapi
Dengan persetujuan klien, berikan pendapat
atau saran
Negosiasi kontrak rencana perubahan perilaku
Pertimbangkan kendala yang ringan dalam
perubahan.
Bantu klien dapatkan daftar untuk dukungan
sosial.
Eksplorasi harapan dari rencana terapi dan
peran klien dalam perubahan perilaku.
Identifikasi apa yang sebelumnya telah
dikerjakan dan siapa yang dapat diajak
bekerjasama di masa datang.
Bantu klien untuk menghadapi kendala dalam
masalah
keuangan,
perawatan
anak,
transportasi, atau kendala yang lainnya.

Action :
(1)
Dukung klien dalam menjalani proses
Klien secara aktif telah
pemulihan.
mengambil satu langkah untuk (2)
Dukung upaya perubahan melalui
berubah tetapi belum mencapai
langkah-langkah
kecil
tetapi
realistis
kestabilan.
dikerjakan
(3)
Kenali kesulitan-kesulitan klien pada
tahap awal perubahan.
(4)
Bantu klien untuk mengenali situasi
risiko tinggi melalui analisis fungsional dan
kembangkan strategi yang untuk menghadapi
situasi tersebut.
(5)
Bantu klien memperoleh penguatan baru
untuk perubahan positif.
(6)
Bantu klien untuk mengkaji kekuatan
keluarga dan dukungan sosial.
Maintenance :
Bantu klien untuk mengidentifikasi kegiatan
Klien sudah mencapai tujuan
yang terkait dengan kondisi bebas zat
awal seperti abstinensia dan Dukung perubahan gaya hidup klien.
sekarang bekerja untuk dapat Afirmasi kemampuan klien untuk lepas dari
mempertahankannya.
masalah dan kemampuan memberdayakan
diri.
Pertahankan kontak untuk dukungan.
Bantu klien menerapkan dan menggunakan
strategi untuk terhindar dari kekambuhan.
95

Kembangkan rencana untuk lari dari api agar


tidak menggunakan narkoba kembali.
Tinjau tentang rencana jangka panjang klien
Slip dan kambuh :
Bantu klien untuk masuk kembali dalam
Klien mengalami gejala-gejala
lingkaran perubahan dan puji keinginannya
kembali menggunakan narkoba
untuk melakukan perubahan positif.
dan
harus
mengatasi Eksplorasi makna dan kenyataan dari
konsekuensinya
dan
kekambuhan sebagai kesempatan untuk
memutuskan apa yang akan
belajar.
dilakukan selanjutnya.
Bantu klien untuk memperoleh strategi
alternatif dalam memecahkan masalah.
Pertahankan kontak untuk dukungan.
POKOK BAHASAN 3 : PRINSIP DASAR KONSELING
Kriteria Konseling
Fokus pada masalah klien.
Percakapan dua arah.
Terstruktur: menyambut, membahas, membantu menetapkan pilihan, mengingatkan.
Bertujuan membantu klien untuk mengenal dirinya, memahami permasalahannya,
melihat peluang dan mencari alternatif penyelesaiannya.
Memerlukan kemampuan melakukan komunikasi interpersonal.
Dilakukan dalam suasana yang menjamin rasa aman dan nyaman.

Lama dan frekuensi konseling


Proses konseling hendaknya dijalankan dengan durasi waktu 30 hingga 60 menit.
Upayakan untuk selalu memulai konseling dengan mengulas apa yang telah diperoleh pada
sesi sebelumnya dan sejauh mana keterampilan baru telah diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari. Klien sebaiknya diberitahu bila waktu konseling akan habis. Proses konseling
yang optimal dilakukan minimal 8 kali pertemuan untuk setiap klien. Pada klien yang
memiliki masalah personal yang kompleks dapat dilakukan sesi konseling hingga 20 kali
pertemuan atau lebih, tergantung pada kompleksitas yang dialami dan karakteristik klien
itu sendiri. Jarak antara satu sesi dengan sesi lain idealnya 1 minggu.

Keterampilan dasar dalam konseling meliputi:


96

Mendengar aktif
Mengajarkan
I. Mendengar secara aktif.
Konselor yang baik memang harus dapat menjadi pendengar, namun tidak secara
pasif. Kemampuan untuk mendengar disini harus bersifat aktif yang akan mendorong
klien untuk berbagi informasi baik secara verbal maupun ekspresi non verbal.
Mendengar aktif berarti kemampuan untuk mendengar apa yang dikatakan oleh klien
baik secara verbal maupun non verbal, memahaminya dan mengkomunikasikan
pemahaman itu dengan menunjukkan empati kepada klien. Mendengar secara aktif juga
dapat memberikan respon yang tepat kepada klien, yaitu:
a. Membangun dan mempertahankan hubungan baik (rapport)
b. Membantu klien merasa lebih dekat.
c. Membantu klien untuk mengekspresikan perasaan.
d. Menciptakan pengetahuan yang saling mendukung antara klien dengan konselor.
Seorang konselor tidak serta merta mampu mendengarkan klien secara aktif.
Ketrampilan mendengar aktif harus dilatih. Adapun faktor-faktor yang menjadi
penghambat mendengar aktif diantaranya adalah:
Bersikap reaktif secara emosional
Berpikir bagaimana merespons klien sementara klien masih berbicara
Memberikan perhatian pada berbagai hal yang ada di sekitar kita
Adanya sikap praduga yang ada dalam pikiran kita
Berpikir tentang masalah kita sendiri
Melamun
Adapun bagian mendengar aktif adalah sebagai berikut:
1. Hadir
Kehadiran artinya konselor menunjukkan ekspresi kesadaran dan ketertarikan apa
yang dikomunikasikan oleh klien baik verbal maupun non verbal. Jadi konselor
memperhatikan komunikasi verbal dan non verbal dari klien dan
mengkomunikasikan kembali kepada klien. Hadir membantu konselor untuk
memahami klien lebih baik dengan mengobservasi secara lebih hati-hati. Hadir
membantu klien untuk menjadi relaks dan nyaman, merasa bebas mengekspresikan
ide-ide dan perasaannya, dapat mempercayai konselor sehingga membuat klien
memiliki peranan yang lebih aktif. Kehadiran dapat ditandai oleh:
a. Kontak mata dan ekspresi wajah yang sesuai.
97

b. Mempertankan postur yang relaks dengan menggunakan gerakan tangan dan


bahu.
c. Secara verbal memberikan dukungan atas perkataan klien dengan memberikan
kata-kata seperti um-hmm atau ya atau dengan mengulang kata kunci.
d. Melakukan observasi pada bahasa tubuh klien.

2. Parafrase
Parafrase dilakukan dengan mengucapkan kembali isi dari pernyataan klien dengan
menggunakan kata-kata yang mirip diucapkan oleh klien. Tujuan dari parafrase
adalah mengkonfirmasi kepada klien bahwa konselor mengerti apa yang dikatakan
oleh klien. Parafrase dapat membantu konselor untuk:
a. Memperjelas persepsi tentang pernyataan klien.
b. Menggarisbawahi isu penting.
Sedangkan untuk klien, parafrase membuat klien:
a. Mengerti bahwa konselor memahami apa dikatakan oleh klien.
b. Mengklarifikasi pernyataan klien.
c. Fokus pada apa yang penting dan berkaitan.
Parafrase memungkinkan konselor untuk melakukan verifikasi terhadap persepsi
mereka akan pernyatan klien yang menjadi fokus dari isu sehingga membuat klien
dapat menceritakan lebih lanjut.

3. Refleksi perasaan
Refleksi perasaan adalah ekspresi konselor terhadap perasaan klien, baik verbal
maupun non verbal. Konselor mencoba mengetahui emosi klien dan merespon untuk
menunjukkan pemahaman tentang kondisi emosi klien. Konselor menggunakan
tehnik merefleksikan perasaan, mengekspresikan perasaan klien yang terlihat dari
pernyataan verbal dan non verbal. Pada refleksi perasaan, elemen yang menjadi fokus
adalah emosi klien.
Refleksi perasaan membantu konselor untuk:
a. Memahami apakah konselor sudah memahami emosi klien.
b. Membawa masalah yang ada pada klien tanpa klien merasa terpaksa.
Refleksi perasaan membantu klien untuk:
a. Mengetahui bahwa konselor memahami perasaannya.
98

b. Meningkatkan kesadaran tentang perasaan klien.


c. Mempelajari hubungan antara perasaan dan perilaku.
Secara teknis, refleksi perasaan juga disebut sebagai mendengar reflektif. Ada 3 tipe
refleksi:
1. Refleksi sederhana: mendengarkan isi pembicaraan klien dan mengamati
perilaku klien. Sangat bermanfaat untuk membina hubungan baik.
Contoh A:
- Klien: saya belum ingin berhenti dalam waktu dekat
- Konselor: jadi anda belum siap untuk tidak pakai napza saat ini
Contoh B:
- Klien: sekarang ini saya udah ngerasa lebih enak, tapi saya nggak tau apa
istri saya udah bisa mempercayai saya sekarang ini
- Konselor: tampaknya perasaan anda campur aduk, di satu sisi fisik merasa
lebih baik, tetapi di sisi lain merasa sangsi dengan hubungan anda dengan
istri anda
2. Refleksi yang diamplifikasi: menambahkan atribut pada refleksi sederhana

tetapi tidak dalam bentuk yang sarkastik. Mohon hati-hati untuk tidak
menggunakan bentuk refleksi ini pada tahap awal dan hati-hati apabila klien
merasa lebih buruk.
Contoh A:
- Klien: saya tahu saya buat salah, tapi tuntutan orangtua kan juga nggak
masuk akal
- Konselor: hmm...sepertinya anda tidak bisa menerima tuntutan apapun
- Klien: wah bukan gitu...saya nerima kalo saya harus berhenti, tapi orangtua
tuntutannya kan lebih dari itu, gak realistis, bikin males....

3. Refleksi dua sisi: menerima apa yang diucapkan klien, tetapi juga

mengutarakan apa yang pernah dikatakan klien sebelumnya. Bentuk refleksi


ini juga tidak sesuai pada tahap-tahap awal konseling.
Contoh A:
- Klien: kenapa sih harus berhenti? Orang kalo nggak pernah coba-coba
make tuh gampang tua, gak menikmati hidup

99

- Konselor: sebentar....jadi menurut anda dengan make itu artinya bagian


dari cara menikmati hidup ya?. Tapi minggu lalu anda bilang bahwa anda
capek dan merasa menyia-nyiakan waktu dengan kehidupan kayak begini

4. Rangkuman
Rangkuman merupakan bagian dimana konselor dan klien menyatukan bersamasama apa yang sudah dibicarakan, meyakinkan bila klien sudah memahami isi sesi
dengan baik, dan menyiapkan klien untuk berpindah dari suatu tahapan perubahan
ke tahapan perubahan selanjutnya.
Rangkuman membantu konselor untuk:
a.
b.
c.
d.

Fokus pada isi sesi yang sudah berlangsung.


Melakukan konfirmasi persepsi dari klien.
Fokus pada satu isu sambil meningkatkan pemahaman masalah lainnya.
Terminasi sesi secara logik.

Sedangkan untuk klien, rangkuman berguna untuk:


a. Melakukan klarifikasi apa yang mereka maksud.
b. Memahami bahwa konselor mengerti dengan kondisi klien.
c. Memiliki keinginan untuk berpindah dari suatu tahap perbahan ke tahap
perubahan selanjutnya.

II. Mengajarkan klien


Mengajarkan suatu keterampilan baru membutuhkan waktu dan praktek untuk setiap
orang. Konselor harus dapat mengenali kesulitan klien dalam mengubah pola perilaku
penggunaan Napza, khususnya dalam keadaan putus zat. Penggunaan Napza dalam
jangka panjang juga akan menganggu fungsi neurokognitif, yaitu meliputi gangguan
perhatian dan memori, yang mempengaruhi proses belajar suatu keterampilan baru.
Oleh karena itu pengulangan setiap sesi diperlukan sesuai dengan kebutuhan.
Pengulangan dilakukan oleh konselor dengan menyatakan kembali informasi dan
mempraktekan keterampilan yang diperlukan klien dalam mengontrol penggunaan
Napza.
Mempelajari keterampilan baru membutuhkan waktu dan praktek. Proses
pembelajaran seringkali membutuhkan kesalahan untuk kemudian dikenali kesalahan
100

itu dan menjadi referensi yang lebih baik dalam pematangan keterampilan. Hal-hal yang
perlu diperhatikan oleh konselor adalah:
1. Mempraktekan merupakan komponen yang penting dalam pembelajaran. Dalam
proses pembelajaran seringkali terjadi kesalahan, sehingga penting untuk membuat
perubahan berdasarkan kesalahan yang terjadi dan kemudian dicoba lagi sampai
terbentuk keterampilan yang diinginkan.
2. Konselor harus menyediakan banyak kesempatan bagi klien untuk mempraktekan
keterampilan tersebut, baik dalam maupun luar sesi. Pada setiap sesi harus
memberikan kesempatan klien untuk berlatih, meninjau kembali ide-idenya,
meningkatkan perhatian dan mendapatkan umpan balik dari konselor. Hal yang
dapat dilakukan lagi adalah memberikan pekerjaan rumah sehingga klien akan
semakin dapat meningkatkan keterampilan tersebut.
3. Praktek akan berguna apabila klien melihat ada nilai tambah dan kegiatan yang
nyata.
Klien tidak akan melatih keterampilan dan melakukan tugas rumah tanpa mereka
memahami mengapa keterampilan itu dapat membantu mereka pulih dari
ketergantungan Napza. Konselor harus secara konstan menekankan bagaimana
pentingnya klien berlatih keterampilan baru yang baik dan alasan mengapa ia harus
melakukan hal itu.
a. Memberikan alasan yang rasional dan jelas kepada klien tentang tugas-tugas atau
latihan di rumah yang harus dikerjakan merupakan hal yang penting. Banyak klien
yang keluar dari sesi konseling karena tidak tahu pentingnya melakukan hal itu.
b. Klien akan melakukan praktek keterampilan baru atau tugas rumah apabila mereka
mengetahui manfaat keterampilan baru untuk mereka. Jadi pada sesi pertama,
konselor harus menekankan manfaat praktek yang harus dikerjakan di luar sesi.
Ketika klien memberikan informasi maka konselor harus menggunakan informasi
tersebut untuk memotivasi mereka dengan memberikan umpan balik yang membangun
dengan fokus pada klien tentang:
a. Gaya klien dalam menghadapi masalah.
b. Menggunakan sumber-sumber yang tersedia.
c. Melihat kelemahan dan kelebihan klien.
Dalam memberikan umpan balik konselor:

101

1. Menjelaskan bahwa bila klien mempraktekan keterampilan baru tesebut maka secara
langsung akan meningkatkan kesejahteraan mereka.
2. Menjelaskan pada klien mengenai monitoring tugas. Penjelasan dapat dilakukan
secara sederhana, yaitu dengan memperlihatkan secara singkat pemahaman tentang
kosnep dasar pengobatan, tingkat kemampuan kognitif, fleksibilitas, pemahaman
tentang perilaku klien, motivasi, mekanisme koping, impulsivitas, kemampuan verbal,
dan kondisi emosional
3. Konselor harus mengekplorasi pembelajaran apa yang didapatkan oleh klien dari
penerapan tugas tersebut. Hal ini akan membantu konselor untuk memilih topik di
sesi selanjutnya.
4. Konselor dapat memberikan pujian terhadap hal-hal yang sudah dilakukan oleh klien
walaupun hal kecil, karena dengan dukungan seperti itu maka klien akan tertarik
untuk kembali menerapkan tugas tersebut.
5. Kegagalan dapat disebabkan oleh banyak faktor, misalnya rasa putus asa atau klien
tidak melihat manfaat dari keterampilan tersebut. Konselor harus mengeksplorasi
kesulitan yang dihadapioleh klien dan membantu mereka dalam menghadapi
kesulitan tersebut.

POKOK BAHASAN 4: TEKNIK MENGATASI RESISTENSI


Klien yang berada pada tahap pra-perenungan (precontemplation) dan perenungan
(contemplation) atau bahkan saat mengalami kekambuhan, seringkali menampilkan sikap
resisten atau melawan yang umumnya hadir dalam bentuk-bentuk berikut ini:
Mendebat (arguing)
Menyela / menginterupsi
Menyangkal
Mengabaikan
Dalam proses konseling, sikap-sikap di atas sangat umum terjadi. Untuk itu konselor perlu
mencermati timbulnya resistensi klien dan tidak terjebak pada perdebatan panjang dengan
klien. Perdebatan tidak dapat lagi dianggap sebagai konseling, bahkan menjadi
kontraproduktif dalam perubahan perilaku.
Resistensi adalah tanda bahwa konselor perlu merubah arah dengan lebih mendengarkan
klien secara hati-hati.
Prinsip dasar dalam mengatasi resistensi adalah:
-

Hindari argumentasi
Tidak bersikap menghakimi dan tetap menghargai klien
Mendorong klien untuk tetap mengemukakan pendapatnya dan bertahan dalam
proses perubahan
102

Strategi untuk mengatasi resistensi disebut sebagai bergulir dengan resistensi (rolling
with resistance). Adapun tekniknya adalah sebagai berikut:
-

Mendengar reflektif

Memindahkan fokus pembicaraan: alihkan energi dan perhatian klien dari yang
awalnya hanya memikirkan hambatan dan tantangan, menjadi lebih
memperhatikan potensi dan kekuatan yang dimiliki

Menyetujui dengan berputar: menyetujui apa yang dikatakan klien tetapi dengan
sedikit memutar isinya agar diskusi dapat berjalan lebih lanjut. Serupa dengan
refleksi yang teramplifikasi.

Mengubah kerangka pikir: tawarkan interpretasi baru dan positif dari informasi
negatif yang disediakan klien. Terimalah validitas persepsi klien seberapapun
subyektifnya, tetapi di saat yang bersamaan, tawarkan persepsi baru pada klien
agar dapat ia pertimbangkan.

Menekankan pilihan personal dan kontrol personal: kembali ingatkan klien


bahwa diri merekalah yang paling bertanggungjawab dalam membuat pilihan.
Bangunlah efikasi diri (keyakinan diri klien untuk mampu membuat keputusan).

103

DAFTAR PUSTAKA
American Psychiatric Association.1994. Diagnostic and statistical manual of mental
disorders. 4 th..ed. Washington D.C: Author.175-191;175-272.
Asian Centre for Certification and Education of Addiction Professional (ACCE) Colombo
Plan Curricula 4 Counseling, Colombo Plan, 2012.
Departemen Kesehatan R.I. Direktorat Jenderal Pelayanan Medik.1993. Pedoman
Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III (PPDGJ III).
Doweiko, Harold E, Concepts of Chemical Dependency (6th Ed.), Brooks/Cole, CA
93950 USA, 20029
Groth-Marnat, Gerry, 2003. Handbook of Psychological Assesment. New York: Van
Nostrand Reinhold Company. Inc. 638.
Meier, S.T. & Davis, S. R. 2001. 4th.ed. The Elements of Counseling. United Kingdom:
Brooks/Cole. Thomson Learning. .:58-59).
Turning Point Alcohol and Drug Centre, Inc.2001. Training Handbook. Stages of
Change.Fitzroy Vic 3065
Ivey, A.E.; Ivey, M.B.; Smeke-Morgan, L.1997. Counseling and Psychotherapy. A
Multicultural Perseptive. Boston: Allyn & Bacon.50-88;380-403.
Panduan konseling adiksi bagi petugas kesehatan, Depkes, 2010
Marsh A, Dale A. Addiction Counselling. IP Communication. Melbourne. 2006

104

MATERI INTI 5
SISTEM RUJUKAN

DESKRIPSI SINGKAT
Sistem rujukan pelayanan kesehatan merupakan penyelenggaraan pelayanan kesehatan
yang mengatur pelimpahan tugas dan tanggung jawab pelayanan kesehatan secara timbal
balik baik vertikal maupun horizontal dan dilakukan secara rasional.
Menurut tata hubungannya, sistem rujukan terdiri dari : rujukan internal dan rujukan
eksternal.

Rujukan Internal adalah rujukan horizontal yang terjadi antar unit pelayanan di
dalam institusi tersebut. Misalnya dari jejaring puskesmas (puskesmas pembantu) ke
puskesmas induk
Rujukan Eksternal adalah rujukan yang terjadi antar unit-unit dalam jenjang
pelayanan kesehatan, baik horizontal (dari puskesmas rawat jalan ke puskesmas
rawat inap) maupun vertikal (dari puskesmas ke rumah sakit umum daerah). Rujukan
eksternal juga dapat dilakukan dari unit pelayanan kesehatan kepada lembaga
rehabilitasi sosial.

Sehubungan dengan penatalaksanaan wajib lapor, institusiinstitusi yang ditunjuk oleh


Kementrian Kesehatan yaitu rumah sakit umum, rumah sakit jiwa, RSKO, puskesmas,
rehabilitasi medis diharapkan dapat memberikan Pelayanan untuk gangguan
ketergantungan Narkotika dengan kondisi klinis tertentu sesuai sarana, prasarana yang
tersedia.

TUJUAN PEMBELAJARAN
A. Tujuan Pembelajaran Umum
Peserta mampu menjelaskan proses rujukan.
B. Tujuan Pembelajaran Khusus
1. Peserta mampu menjelaskan sistem rujukan.
2. Peserta mampu mengidentifikasikan fasilitas kesehatan dan fasilitas sosial rujukan
layanan narkotika .
3. Peserta mampu mengisi formulir rujukan.
105

POKOK BAHASAN DAN SUB POKOK BAHASAN


Pokok bahasan 1 : Sistem rujukan
Pokok bahasan 2 : Fasilitas kesehatan dan fasilitas sosial rujukan layanan narkotika
Pokok bahasan 3 : Formulir rujukan

URAIAN MATERI
POKOK BAHASAN 1 : SISTEM RUJUKAN
Dalam melaksanakan program pengobatan diperlukan suatu sistem rujukan yang
berfungsi di antara berbagai tingkat layanan kesehatan yang berbeda. Klien perlu
dirujuk apabila terdapat kondisi klinis yang sulit diatasi baik secara fisik maupun
psikiatris. Sistem rujukan untuk pengguna narkotika lebih kepada fasilitas yang tersedia
di suatu layanan bukan karena klien memerlukan tindakan atau intervensi yang lebih
canggih. Dalam merujuk klien yang perlu diperhatikan adalah rumah sakit yang kita
jadikan rujukan memang menyediakan layanan untuk kasus narkotika karena
kadangkala rumah sakit menolak bila mengetahui klien yang dikirim adalah pengguna
narkotika. Untuk itu setiap rumah sakit maupun puskesmas sebaiknya mempunyai
informasi mengenai layanan kesehatan yang bersedia menerima klien dengan
penggunaan narkotika seperti misalnya Rumah Sakit Jiwa (RSJ), Rumah Sakit
Ketergantungan Obat (RSKO) ataupun RSU.
Apabila klien yang dirujuk sudah mendapatkan perawatan di RSU atau RS Jiwa/RSKO
dan kondisi klinis sudah stabil maka RS yang menjadi rujukan dapat mengirim kembali
ke rumah sakit awal/puskesmas yang mengirim agar pengobatan bisa berlanjut. Dengan
kata lain sistem rujukan ini dapat terjadi secara timbal balik. Sistem rujukan harus
menjamin bahwa kepindahan klien dari satu tempat layanan ke tempat layanan yang
lain tidak mengalami hambatan dan kerumitan demi kelangsungan pengobatan
maksud dari hambatan dan kerumitannya apakah administrasi atau yg lainnya.

Tata Cara Rujukan


Rujukan dapat dilakukan secara vertikal dan horizontal. Rujukan vertikal adalah
rujukan yang dapat dilakukan antar pelayanan kesehatan yang berbeda tingkatannya,
seperti dari puskesmas ke RS atau sebaliknya, sedangkan rujukan horizontal
merupakan rujukan antara pelayanan kesehatan dalam satu tingkatan, misalnya seperti
106

antara puskesmas atau antara RS. Rujukan horizontal dilakukan apabila fasilitas
kesehatan atau IPWL asal tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan
modalitas terapi yang dibutuhkan pasien atau karena keterbatasan fasilitas, peralatan,
ketenagaan yang sifatnya sementara atau menetap.
Sesuai dengan Pasal 11 Permenkes No.1 tahun 2012 tentang sistem rujukan pelayanan
kesehatan perorangan,
menyebutkan bahwa setiap fasilitas kesehatan wajib
melakukan rujukan apabila pasien memerlukannya, kecuali dengan alasan yang sah dan
mendapat persetujuan pasien dan keluarganya, alasan yang sah adalah pasien tidak
dapat ditransportasikan atas alasan medis, sumber daya atau geografis.
Pada saat melakukan rujukan petugas harus memberikan penjelasan terlebih dahulu
dan harus mendapatkan persetujuan dari pasien atau keluarganya. Penjelasan yang
diberikan petugas minimal meliputi :
1. Diagnosis dan terapi dan/atau tindakan medis yang diperlukan
2. Alasan dan tujuan dilakukan rujukan
3. Risiko yang timbul apabila rujukan tidak dilakukan
4. Transportasi rujukan
5. Risiko atau penyulit yang dapay timbul selama dalam perjalanan

Proses rujukan mengikuti mekanisme sebagai berikut:


a. Sebelum melakukan rujukan lakukan pertolongan pertama dan/atau stabilisasi
kondisi pasien sesuai indikasi medis
b. Institusi penerima wajib lapor melakukan kontak komunikasi terlebih dahulu
dengan institusi rehabilitasi medis atau rehabilitasi sosial yang dimaksud guna
kesiapan penerimaan .
c. Institusi penerima wajib lapor membuat surat rujukan kepada institusi rehabilitasi
medis / rehabilitasi sosial tersebut.
d. Institusi rehabilitasi medis atau rehabilitasi sosial yang dituju memberi konfirmasi
penerimaan klien kepada institusi penerima wajib lapor.
Kriteria Klien berdasarkan tempat rujukan
1. Klien Gangguan Penggunaan narkotika Yang Dapat Dirawat di Puskesmas :
Kondisi klien dalam keadaan intoksikasi.
Kondisi klien putus zat ringan maupun sedang.
Tidak memiliki kondisi komorbiditas fisik dan atau psikiatrik yang berat.
107

Tidak mengalami penurunan kesadaran yang berat.

2. Klien Gangguan Penggunaan narkotika Yang Dapat Dirawat di RSU:


Kondisi klien dalam keadaan intoksikasi.
Kondisi klien putus zat ringan sampai berat.
Memiliki kondisi komorbiditas fisik dan atau psikiatrik yang berat.
Mengalami penurunan kesadaran yang berat (bila tersedia fasilitas ICU)
Merujuk Standar Terapi dan Rehabilitasi Gangguan Penggunaan Napza yang dalam proses
revisi, maka berbagai jenis terapi gangguan penggunaan Napza yang dapat dilakukan pada
pusat pelayanan kesehatan adalah:
1. Pusat Pelayanan Kesehatan tingkat I
- kegawatdaruratan (penanganan awal sebelum dirujuk)
- Terapi simtomatik
- Rawat jalan rumatan
- Asesmen dan Konseling dasar adiksi pada PPK I yang sudah mendapatkan pelatihan
khusus yang terakreditasi dan sertifikasi
- Pemeriksaan penunjang (rapid test Napza, Darah Perifer Lengkap, Screening faktor
risiko, Rapid Test HIV)

2. Pusat Pelayanan Kesehatan Tingkat II


-

kegawatdaruratan (penanganan awal sebelum dirujuk)

Terapi simtomatik

Rawat jalan rumatan

Asesmen dan Konseling dasar adiksi pada PPK I yang sudah mendapatkan pelatihan
khusus yang terakreditasi dan sertifikasi

Pemeriksaan penunjang (rapid test Napza, Darah Perifer Lengkap, Screening faktor
risiko, Rapid Test HIV)

Detoksifikasi

Konseling dasar dan psikoterapi

rawat inap jangka pendek

penanganan pasien dengan komorbiditas fisik


108

Pemeriksaan penunjang (Rapid Test Napza 5 zat, Kimia Darah, Thorax Photo,
Screening faktor risiko, Rapid Test HIV, Psikotest)

3. Pusat Pelayanan Kesehatan Tingkat III


-

kegawatdaruratan (penanganan awal sebelum dirujuk)

Terapi simtomatik

Rawat jalan rumatan

Asesmen dan Konseling dasar adiksi pada PPK I yang sudah mendapatkan pelatihan
khusus yang terakreditasi dan sertifikasi

Pemeriksaan penunjang (rapid test Napza, Darah Perifer Lengkap, Screening faktor
risiko, Rapid Test HIV)

Detoksifikasi

Konseling dasar dan psikoterapi

rawat inap

integrated dual diagnosis treatment

rehabilitasi dan pasca rehab

penanganan pasien dengan komorbiditas fisik

Pemeriksaan penunjang (ELISA, Rapid test HIV, Serologi: (Hep-C, Hep-B), EKG, EEG,
Rontgen Thorax, Kimia Darah: (Fungsi Hati, fgs ginjal, GD, UL, DPL, elektrolit),
Mikrobiologi, Psikotest)

109

Di bawah ini bisa di lihat alur rujukan pada pengguna narkotika

POKOK BAHASAN 2 : FASILITAS KESEHATAN DAN FASILITAS SOSIAL RUJUKAN


LAYANAN NARKOTIKA
Kemampuan layanan
Sehubungan dengan PP wajib lapor, pecandu narkotika melaporkan dirinya pada
tempatfasilitas kesehatan yang sudah ditentukan yaitu pusat kesehatan masyarakat
(puskesmas), rumah sakit dan atau lembaga rehabilitasi medis yang ditentukan oleh
menteri dan rehabilitasi sosial yang ditentukan oleh menteri sosial. Hingga saat ini
semua institusi tersebut merupakan milik pemerintah, semua IPWL harus memenuhi
persyaratan ketenagaan dan memiliki keahlian dan kewenangan di bidang gangguan
penggunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya (Narkotika). Fasilitas
110

rehabilitasi medis yang tidak mampu memberikan pelayanan yang dibutuhkan oleh
pecandu narkotika harus melakukan rujukan.
Tidak semua puskesmas akan menjadi tempat wajib lapor bagi pengguna narkotika.
Hanya puskesmas yang berada di kantong-kantong pecandu narkotika saja yang akan
menjadi tempat wajib lapor.
Ada dua level puskesmas yang menjadi tempat wajib lapor. (1) tempat wajib lapor
yang melayani rehabilitasi ketergantungan lewat program terapi rumatan metadon
(PTRM), dan (2) puskesmas tempat wajib lapor yang hanya menjadi tempat konseling
saja.
Untuk mendukung keberhasilan proses wajib lapor perlu dibentuk jaringan
kerjasama atas dasar saling menghormati dan menghargai baik antara layanan baik
secara horizontal maupun vertikal.
Sistem rujukan untuk klien gangguan penggunaan narkotika perlu suatu koordinasi.
Koordinasi tersebut menjadi bagian dan tanggung jawab Kementrian Kesehatan
/Kementrian Sosial/ BNN/Pusdokkes pada kelompok kerjanya yang sebaiknya
melibatkan Dinas Kesehatan Provinsi, Rumah Sakit Umum, RSJ, puskesmas, klien sendiri,
organisasi berbasis keagamaan dan LSM setempat.
Kemitraan di tingkat kabupaten/ kota meliputi:

Dinas kesehatan setempat yang bertanggung jawab atas pelayanan medis


Layanan klinik di RSU, RSJ seperti rawat inap dan rawat jalan
Puskesmas yang di tunjuk untuk rawat jalan
Rehabilitasi medis dan sosial yang ditunjuk
Kelompok pengguna narkotika dan dukungan sebaya
Organisasi masyarakat,keagamaan dan LSM terkait
Unsur pemerintah setempat

Kapasitas
Ketersediaan layanan rehabilitasi dalam jajaran /dukungan kemenkes:
1. Rehabilitasi rawat jalan, rawat inap dan detoksifikasi:
RSKO dan 16 RSJ di beberapa provinsi ( kecuali NTT, papua barat, maluku utara,
Gorontalo, sulawesi barat, Banten,kepulauan Riau) rehabilitasi ini mencakup rawat
jalan jangka pendek maupun rawat jalan jangka panjang, Rehabilitasi yang di
selenggarakan oleh BNN / Kemensos.

111

2. Program terapi rumatan metadona ( 91 klinik di 17 provinsi):


Tersedia di DKI,Jabar,Jateng, DIY, Jatim , Banten, Bali, Sulsel, Kalbar, Kaltim, Jambi,
Pekan Baru, Sumut, Kep Riau, Lampung, Sumbar, Sumsel.
RSKO, 7 RSJ , 26 RSU, 48 Puskesmas, 9 lapas /rutan

Kemudahan akses
Tempat dan lokasi rehabilitasi medis dan sosial serta mempunyai sarana pelayanan
yang memadai sesuai dengan kebutuhan pasien, mudah dijangkau oleh masyarakat dan
dapat memanfaatkan tehnologi dan informatika adalah yang diharapkan dari tempat
tempat rujukan wajib lapor.

Pokok bahasan 3 : FORMULIR RUJUKAN


Surat pengantar rujukan harus memuat identitas pasien, hasil pemeriksaan (anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang) yang telah dilakukan, diagnosis kerja dan
terapu dan/atau tindakan yang telah diberikan. Khusus pada proses wajib lapor, pasien
yang sudah dilakukan asesmen maka rencana terapi yang akan dijalankan oleh pasien atau
yang sudah dijalankan pasien harus dicantumkan.

112

DAFTAR PUSTAKA

1. 4 macam sistem rujukan kesehatan, Putu Sudaryasa


2. Pedoman pengembangan jejaring layanan,dukungan, perawatan dan pengobatan
HIV dan AIDS ,depkes 2007
3. Pedoman Penatalaksanaan Medik Gangguan pengunaan Napza, kepmenkes no 442
/2010
4. Permenkes No.1 tahun 2012 tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan
Perorangan
5. PP pelaksanaan wajib lapor narkotika tahun 2010
6. SKN ,Azrul Anwar
7. Formulir rujukan ,RSKO
8. Peranan kementrian kesehatan dalam kebijakan nasional rehabilitasi penyalah guna
NARKOTIKA,dr Supriyanto, Sp P MARS
9. Kepmenkes no 421 /2010 tentang pelayanan dan terapi rehabilitasi Napza

113

MATERI INTI 7
PENCATATAN DAN PELAPORAN

DESKRIPSI SINGKAT
Pencatatan dan pelaporan dalam rangka penerapan wajib lapor, merupakan bagian yang
tak terpisahkan dari isi rekam medis pecandunarkotika. Oleh karena itu, alur pencatatan
dan pelaporan terkait wajib lapor mengikuti kaidah danaturan Rekam Medis baik di Rumah
Sakit ataupun Puskesmas.
Rekam medis adalah keterangan baik yang tertulis maupun terekam tentang identitas,
anamnesa, pemeriksaan fisik, laboratorium, diagnosa, segala pelayanan dan tindakan
medik yang diberikan kepada klien dan pengobatan baik yang dirawat inap, rawat jalan
maupun yang mendapatkan pelayanan gawat darurat
Rekam medis juga merupakan kompilasi fakta tentang kondisi kesehatan dan penyakit
seorang klien yang meliputi :
Keadaansakitsekarangdanwaktulampau
Pengobatan yang telah dan yang akan dilakukan oleh tenaga kesehatan professional
secara tertulis.
Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dan Peraturan
Menteri Kesehatan No 269/2008 tentang Rekam Medis menyatakan bahwa informasi
tentang identitas, riwayat penyakit, riwayat pemeriksaan dan riwayat pengobatan harus
dijaga kerahasiaannya oleh dokter, dokter gigi, petugas kesehatan tertentu, petugas
pengelola dan pimpinan fasilitas kesehatan. Informasi tersebut di atas dapat dibuka dalam
hal :
1.
2.
3.
4.
5.

Untuk kepentingan kesehatan pasien


Memenuhi permintaan aparatur hukum dalam rangka penegakkan hukum atas
perintah pengadilan
Permintaan atau persetujuan pasien sendiri
Permintaan institusi atau lembaga berdasarkan ketentuan perundang-undangan
Untuk kepentingan pendidikan, penelitian dan audit medis sepanjang tidak
menyebutkan identitas pasien

Permintaan rekam medis sebagaimana tersebut diatas disampaikan secara tertulis


kepada pimpinan fasilitas kesehatan.
Institusi wajib lapor akan mengeluarkan kartu lapor pecandu narkotika apabila
petugas sudah selesai melaksanakan proses asesmen dan penyusunan rencana terapi yang
disepakati oleh petugas dan pasien. Petugas kesehatan juga tetap melakukan pengawasan
dalam bentuk pendampingan dan pemberian motivasi secara berkesinambungan agar
114

proses pemulihan bagi pecandu narkotika dapat bertahan. Pengawasan ini tidak hanya
menjadi tanggung jawab petugas kesehatan saja, tapi hendaknya juga dilakukan oleh pihakpihak terkait lainnya serta masyarakat.
Mengingat pasien dengan gangguan penggunaan Napza yang kerap berhubungan
dengan tindak kriminalitas maka tak jarang petugas kesehatan, dalam hal ini dokter
sebagai profesi yang tersumpah diminta keterangan sebagai ahli. Keterangan ahli dapat
diberikan secara lisan maupun tertulis. Keterangan ahli secara lisan bisa diberikan pada
saat sidang di pengadilan maupun pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut
umum yang dituangkan dalam satu bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah
diwaktu menerima jabatan atau pekerjaan. Keterangan ahli secara tertulis adalah surat
keterangan dari ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu
hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi kepadanya.Rekam Medis sesuai
dengan Pasal13 Permenkes 269/2008, dapat dijadikan alat bukti dalam proses penegakan
hukum, disiplin kedokteran dan kedokteran gigi dan penegakkan etika kedokteran dan
etika kedokteran gigi. Oleh karena itu pencatatan hasil asesmen (yang merupakan bagian
dari rekam medis) harus mencantumkan segala informasi yang diperlukan dan
dibuatsecaraotentik (diantaranya mencantumkan tanggal pelaksanaan dan tanda tangan
pelaksananya).
Rumah Sakit dan Puskesmas menyampaikan laporan dalam periode tertentu ke dinas
kesehatan dan Kementerian Kesehatan sesuai dengan aturan yang berlaku. Data ini
merupakan data penting yang termasuk dalam Sistem Informasi Kesehatan. Untuk
mempermudah pencatatan dan pelaporan pasien pecandu narkotika, Kementerian
Kesehatan membangun sistem pelaporan berbasis web yang disebut Sistem Informasi
Narkotika, Psikotropika dan Zat adiktif lainnya (SINAPZA). Melalui SINAPZA kerahasiaan
data pasien terjamin karena pelaporan dari fasilitas layanan kesehatan termasuk Institusi
Penerima Wajib Lapor (IPWL) dalam format enkripsi sehingga hanya pelapor dan
penerima laporan saja yang bisa membuka data yang telah terenkripsi tersebut. Fasyankes
atau IPWL lain yang berbeda pengguna dan passwordnya juga tidak dapat membuka file
dari sesama IPWL meskipun mempunyai aplikasi SINAPZA yang sama sehingga
kerahasiaan pasien benar-benar terjamin.
Aplikasi SINAPZA yang dikembangkan dapat membantu IPWL dalam pengajuan klaim
ke Kementerian Kesehatan. Data pelaporan dapat menjadi bahan untuk melakukan
verifikasi pasien sehingga akan menghemat kertas karena IPWL tidak perlu melakukan
fotocopy berkas sebagai bahan untuk verifikasi. Upaya ini juga membantu dalam
mewujudkan go green dalam penyelenggaraan upaya kesehatan.

115

TUJUAN PEMBELAJARAN
A. Tujuan Pembelajaran Umum
Setelah mengikuti materi ini, peserta mampu melaksanakan pencatatan dan pelaporan
B. Tujuan Pembelajaran Khusus
Setelah mengikuti materi ini, peserta latih mampu:
1. Menjelaskan mengenai pencatatan dan pelaporan sebagai bagian dari rekam medis
2. Menjelaskan pengisian format pencatatan pelaporan
3. Menjelaskan mekanisme pelaporan
4. Melakukan pengelolaan data
5. Melakukan pencatatan dan pelaporan menggunakan aplikasi SINAPZA
POKOK BAHASAN DAN SUB POKOK BAHASAN
Dalam modul ini akan dibahas pokok bahasan sebagai berikut:
Pokok bahasan 1. Pencatatandanpelaporansebagaibagiandarirekammedis
Pokok bahasan 2. Format Pelaporan
Pokok bahasan 3. MekanismePelaporan
Pokokbahasan 4.Pengelolaan data
4.1 Pengumpulan Data
4.2 Rekapitulasi Data
4.3 Pengolahan Data
4.4 Pencatatan dan Pelaporan menggunakan SINAPZA

URAIAN MATERI
POKOK BAHASAN 1 :PENCATATAN DAN PELAPORAN SEBAGAI BAGIAN DARI REKAM
MEDIS
Pencatatan
Pencatatan adalah cara yang dilakukan oleh petugas kesehatan untuk mencatat data
yang penting mengenai pelayanan kesehatan atau pelayanan penggunaan Narkotika yang
selanjutnya disimpan sebagai arsip baik di Puskesmas, RS/RSJ maupun di klinik layanan
bagikorbanpenyalahgunaan narkotika.
1. Macam-macam pencatatan dalam pelayanan kesehatan:
Pencatatan rawat jalan untuk mencatat data pengunjung atau klien
116

Pencatatan rawat inap untuk mencatat perhitungan klien rawat inap yang
dilakukan setiap hari pada suatu ruang rawat inap
Pencatatan harian rutin untuk mencatat data pengunjung atau klien yang
dikumpulkan selama sehari.
Pencatatan dan pelaporan pelayanan gangguan penggunaan narkotika di RSU/RSJ
memakai formulir RL2a (suatu sistem pencatatan dan pelaporan terpadu di RSU/RSJ yang
seragam untuk seluruh RSU/RSJ di Indonesia) dan formulir data klien penyalahgunaan
narkotika. Untuk fasilitas pelayanan kesehatan yang sudah dapat menggunakan SINAPZA,
pencatatan dan pelaporan dapat dilakukan melalui Sistem Informasi Napza (SINAPZA).
Melalui sistem informasi ini, diharapkan kendala pengiriman data dapat diatasi. Selama
sistem ini belum berjalan seperti yang kita inginkan, petugas pengisi data IPWL mencatatat
data PENGUNJUNG (dan bukan data kunjungan). Sebagai contoh : Ari mendapat konseling
adiksi setiap 2 minggu sekali selama 4 bulan. Pada data Kunjungan tercatat bahwa Ari
mendapat pelayanan sebanyak 8x sedangkan pada data pengunjung, Ari hanya tercatat 1x.
Formulir Data Klien Penyalahgunaan narkotika yang dikeluarkan oleh Direktorat
Bina Kesehatan Jiwa, Ditjen Bina Upaya Kesehatan Kementerian Kesehatan Rl dilaporkan
tiga kali dalam setahun meliputi data Pengunjung (nama, jenis kelamin, umur, kasus
baru/lama, pendidikan, pekerjaan, pekerjaan orangtua, status perkawinan, zat yang sering
digunakan, cara penggunaan zat, mulai penggunaan, cara masuk institusi, cara keluar
institusi, sumber zat dan motivasi penggunaan narkotika)
Pelaporan
Pelaporan adalah mekanisme yang digunakan oleh petugas kesehatan untuk
melaporkan kegiatan pelayanan yang dilakukannya kepada institusi yang lebih tinggi
(dalam hal ini Dinas Kesehatan dan atau Kementerian Kesehatan) .
Sistem pelaporan menggunakan format yang telah disiapkan, dilakukan berjenjang
dengan alur :
RSJ/RSU Vertikal : melaporkan secara langsung ke Kementerian Kesehatan dengan
tembusan ke Dinas Kesehatan Provinsi.
RSU/RSJ Provinsi : melaporkan secara langsung ke Dinas Kesehatan Provinsi
RSU dan Puskesmas melaporkan secara langsung ke Dinas Kesehatan kabupaten
/kota.
Dinas Kesehatan kabupaten /kota kemudian melaporkan kedinas kesehatan Provinsi.
Dinas kesehatan Provinsi kemudian melaporkan ke Kementerian Kesehatan cq/
Direktorat Bina Kesehatan Jiwa.
117

Tujuan Pelaporan
Pelaporan dari instansi kesehatan (seperti Puskesmas, RSU/RSJ maupun Klinik
Layanan bagi penyalahgunaan Narkotika) merupakan suatu alat untuk memantau
pelayanan kesehatan, baik bagi kepentingan klien yang bersangkutan, petugas
kesehatan yang melayani maupun pihak perencana dan penyusun kebijakan.
Untuk memperoleh informasi semua klien penyalahguna Narkotika yang masuk dan
keluar rumah sakit selama 24 jam.
Untuk mengetahui jumlah klien penyalahguna Narkotika yang masuk/ keluar/
meninggal di Rumah Sakit selama sebulan, triwulan, semester dan setahun.
Format Pelaporan
Bilamana fasyankes/IPWL belum dapat menggunakan SINAPZA, data rekapitulasi
pengunjung dilaporkan menggunakan format dibawah sambil menunggu
berfungsinya Sinapza.
*Jika Sistem Informasi Pecandu Narkotika telah selesai dibangun dan telah berfungsi
sepenuhnya, maka Catatan Pasien Penyalahgunaan Napza dilaporkan secara langsung
oleh sistem.

118

CATATAN PASIEN PENYALAHGUNAAN NAPZA


TAHUN
BULAN
INSTITUSI
NAMA INSTITUSI
ALAMAT
DAERAH / KOTA
PROVINSI
NO REKMED
1

:
:
: RSJ/RSU/PUSKESMAS/PANTI REHABILITASI
:
:
:
:
STATUS
PASIEN
2

MODALITAS
TERAPI
3

JENIS
KELAMIN
4

USIA
5

STATUS
PENDIDIKAN PEKERJAAN
PERNIKAHAN
6
7
8

NAPZA YANG
DIGUNAKAN
9

USIA PERTAMA KALI


CARA PAKAI
DIAGNOSA
PAKAI NAPZA
NAPZA
10
11
12

KETERANGAN
No Rekmed / WL 1. Lama
2. Baru

1. < 15 tahun

1. Asesmen lanjutan

1. Laki-laki

1. Belum kawin

2.EvaluasiPsikologis

2. Perempuan 2. 15-19 tahun 2. Kawin

1. Tidak sekolah

1. Alkohol

1. < 15 tahun

Isi sesuai kode

1. Oral

2. SD

2. Heroin

2. 15-19 tahun

PPDGJ - III

2. Mukosa

3.Programdetoksifikasi

3. 20 - 24 tahun 3. Duda / Janda

3. SLTP

3. Metadon / Buprenorfin

3. 20 - 24 tahun

3. Sal Pernapasan

4.Wawancara
Motivasional

4. 25 - 29 tahun

4. SMU / SMK

4. Opiatlain/analgesik

4. 25 - 29 tahun

4. Injeksi Non IV

5. Intervensi Singkat

5. 30 - 34 tahun

5. Akademi / D3

5. Barbiturat

5. 30 - 34 tahun

5. IV

6. Terapi rumatan

6. 35 - 39 tahun

6. Perguruan Tinggi

6. Sedatif/Hipnotik/

6. 35 - 39 tahun

7.Rehabilitasir awatinap

7. > 40 tahun

7. Kokain

7. > 40 tahun

8. Konseling

8. Amfetamin

9. Lain-lain

9. Kanabis
10. Halusinogen
11. Inhalan
12. Lebih dari1 zat per hari

119

POKOK BAHASAN 2 : MEKANISME PELAPORAN

Jenis-Jenis Pelaporan
1). Pelaporan bulanan
a) Pelaporan bulanan rutin dari Puskesmas, RS/RSJ ke Dinas Kesehatan
Kabupaten/kota merupakan laporan kegiatan pelayanan yang dilakukan oleh
Puskesmas, RS/RSJ selama satu bulan, sebagai hasil kompilasi atau
pengolahan dari kumpulan pencatatan harian selama satu bulan, kemudian
dibuat laporan bulanan. Laporan yang disampaikan menggunakan format
pelaporan RL 2a dan RL 2b.
b) Bulanan dari Dinas Kesehatan (Dinkes) baik Kabupaten/Kota maupun Dinkes
Propinsi ke Pusat atau Kementerian Kesehatan, yang merupakan hasil
rekapitulasi yang dilakukan oleh Dinkes baik Kabupaten/Kota maupun
DinkesPropinsi sebagai hasil pelaporan dari kumpulan pelaporan bulanan
rutin setiap Puskesmas, RS/RSJ maupun klinik di wilayahnya.
2). Laporan tiga bulanan
Pelaporan tri bulanan dari Puskesmas, RS/RSJ ke Kementerian Kesehatan melalui
Direktorat Bina Kesehatan Jiwamerupakan laporan kegiatan pelayanan triwulanan yang
dilakukan oleh Puskesmas, RS/RSJ selama tiga bulan, sebagai hasil kompilasi atau
pengolahan dari kumpulan pencatatan harian selama tiga bulan. Laporan yang
disampaikan menggunakan format pelaporan catatan pasien penyalahgunaan NAPZA
seperti contoh diatas.
120

POKOK BAHASAN 3 : PENGELOLAAN DATA


Pengumpulan data
Data yang akan dilaporkan, bersumber dari formulir asesmen wajib lapor. Data
yang dikumpulkan berupa data :
Status klien :
Modalitas terapi
Jenis Kelamin
Usia
Status Pernikahan
Pendidikan
Pekerjaan
Narkotika yang Digunakan
Usia Pertama Kali Pakai Narkotika
Diagnosa
Cara Pakai Narkotika
Rekapitulasi data
Dari data yang telah dikumpulkan diatas, di rekapitulasi menggunakan catatan
klien penyalahgunaan Narkotika. Kolom-kolom diisi dengan angka-angka sesuai dengan
keterangan dibawah ini :
No Rekmed :merupakan identitas klien berdasarkan nomor rekam medis danatau
bar code dari kartu wajib lapor.
Status klien :
1. Baru : Jika klien baru mendapatkan layanan di institusi pemberilayanan
2. Lama: Jika klien pernah mendapatkan layanan di institusi pemberi layanan
Modalitas terapi
1. Asesmenlanjutan
2. Evaluasi Psikologis
3. Program detoksifikasi
4. Wawancara Motivasional
5. Intervensi Singkat
6. Terapi rumatan
7. Rehabilitasi rawat inap
8. Konseling
9. Lain-lain
Jenis Kelamin
1. Laki-laki
121

2. Perempuan
Usia
1. <15 Tahun
2. 15 19 tahun
3. 20 24 tahun
4. 25 29 tahun
5. 30 34 tahun
6. 35 59 tahun
7. > 60 tahun
Status Pernikahan
1. Belum kawin
2. Kawin
3. Duda/Janda
Pendidikan
1. Tidak Sekolah
2. SD
3. SLTP
4. SMU/SMK
5. Akademi / D3
6. PerguruanTinggi
Pekerjaan
1. PNS
2. TNI/POLRI
3. Swasta
4. Wiraswasta
5. Pelajar
6. Mahasiswa
7. Buruh
8. PekerjaSeks
9. AnakJalanan
10. Lain-lain
NAPZA yang Digunakan
1. Alkohol
2. Heroin
3. Metadon / Buprenorfin
4. Opiatlain/analgesik
5. Barbiturat
6. Sedatif/Hipnotik/
7. Kokain
122

8.
9.
10.
11.

Amfetamin
Kanabis
Halusinogen
Inhalan

12. Lebih dari1 zat per hari


UsiaPertama Kali PakaiNarkotika
1. <15 Tahun
2. 15 19 tahun
3. 20 24 tahun
4. 25 29 tahun
5. 30 34 tahun
6. 35 39 tahun
7.

> 40 tahun

Diagnosa
Ditulis sesuaikodifikasi PPDGJ -III
Cara Pakai Narkotika
1. Oral
2. Mukosa
3. Sal Pernapasan
4. Non IV Injection
5.

IV Injection

Pengolahan data
Data yang telah direkapitulasi kemudian diolah menggunakan spread sheet atau
program lain yang disediakan untuk memudahkan penghitungan.
Penyusunan laporan
Laporan kemudian disusun menurut waktu yang telah ditentukan. Laporan
kemudian dikirimkan sesuai denganwaktu yang telah ditentukan
POKOK BAHASAN 4 : PENCATATAN DAN PELAPORAN MENGGUNAKAN SINAPZA
Pencatatan dan pelaporan dalam sistem informasi narkotika, psikotropika, dan zat
adiktif lainnya (SINAPZA) dilakukan seperti tercantum dalam BUKU PANDUAN
OPERASIONAL SINAPZA. (terlampir)

123

DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
6.

7.

Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran


UU No 35 tahun 2009 tentang Narkotika
RPP Wajib Lapor bab IV pasal 18-21
Permenkes Rehabilitasi medis
Kepmenkes 422/MENKES/SK/III/2010
Departemen Kesehatan RI., Pedoman Sistem Pencatatan Rumah Sakit (Rekam
medis/Medical Record , 1994
Manual Rekam Medis , Konsil Kedokteran Indonesia 2006

124

Anda mungkin juga menyukai