KEMENTERIAN
KESEHATAN RI
DAFTAR
ISI
TIM
PENYUSUN
MATERI DASAR
1
I. DESKRIPSI
SINGKAT
Selain itu Undang-Undang no 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa pada pasal 54
menyebutkan setiap RS Jiwa wajib menyediakan ruang untuk pasien narkotika,
psikotropika dan zat adiksi dengan jumlah tempat tidur paling sedikit 10% dari jumlah
tempat tidur yang ada.
II. TUJUAN
PEMBELAJARAN
B. Tujuan pembelajaran
khusus:
Pada akhir sesi ini, peserta mampu: 1. Menjelaskan
kebijakan wajib lapor pada UU Narkotika
III. POKOK
BAHASAN
IV. URAIAN
MATERI
Hal lain yang berperan dalam perilaku mencari perawatan medis adalah minimnya
ketersediaan dana untuk mengakses layanan kesehatan. Kita semua tentu
memahami bahwa pola penggunaan Narkotika yang kronis secara perlahan akan
menurunkan sumber daya
5
seseorang, termasuk sumber daya finansial. Banyak dari mereka tidak lagi memiliki
kemampuan untuk mengakses layanan kesehatan. Terlebih jaminan kesehatan
masyarakat tidak selalu mudah diakses. Semua kondisi di atas ini berkontribusi atas
rendahnya perilaku mencari perawatan kesehatan pada para pecandu Narkotika.
Kebijakan Wajib lapor tertuang dalam pasal 55 Undang-Undang No. 35 tahun 2009
tentang Narkotika, yang berbunyi sebagai berikut:
a. Orang tua atau wali dari pecandu yang belum cukup umur wajib melaporkan
kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit dan/atau lembaga rehabilitasi
medis dan lembaga rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk
mendapatkan pengobatan dan atau perawatan melalui rehablitasi medis dan
rehabilitasi sosial b. Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur wajib melaporkan
diri atau dilaporkan oleh kelurganya kepada kepada pusat kesehatan masyarakat,
rumah sakit dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan lembaga rehabilitasi sosial
yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan atau perawatan
melalui rehablitasi medis dan rehabilitasi sosial
Sekalipun terkesan menjadi “kewajiban”, namun filosofi dari wajib lapor ini adalah
untuk meningkatkan cakupan intervensi medis dan sosial bagi para pecandu dan
untuk mengidentifikasi masalah sedini mungkin.
Program ini juga mempertimbangkan hak azasi pecandu Narkotika, sehingga proses
wajib lapor juga tetap mempertahankan azas konfidensialitas dan memperlakukan
pecandu Narkotika sebagai pasien / pasien yang sungguh-sungguh membutuhkan
terapi terkait perilaku ketergantungan Narkotikanya.
Program wajib lapor mau tidak mau juga mendesak fasilitas kesehatan, lembaga
rehabilitasi medis dan sosial untuk siap dalam melayani pecandu Narkotika.
Keengganan petugas kesehatan/sosial dalam melakukan penatalaksanaan
Gangguan penggunaan Napza dapat diminimalisasi, sebab melakukan penolakan
untuk merawat dapat dianggap sebagai
Manfaat wajib lapor diharapkan tidak saja dirasakan oleh para pecandu Narkotika,
melainkan juga bagi masyarakat secara umum dan pemerintah secara khusus.
Program wajib lapor pecandu Narkotika untuk kepentingan rehabilitasi medis dan
sosial dapat mendukung agenda pencapaian Sustainable Development Goals
(SDGs) yang ke 3 yaitu Kehidupan yang sehat dan sejahtera. Target pada tujuan ke
3 yang terkait dengan penanggulangan masalah penyalahgunaan Napza adalah
Memperkuat pencegahan dan pengobatan penyalahgunaan zat, termasuk
penyalahgunaan narkotika dan penggunaan alkohol yang membahayakan. Salah
satu indikator untuk pencapaian target tersebut adalah Jumlah penyalahguna
narkotika dan pengguna alkohol yang merugikan, yang mengakses layanan
rehabilitasi medis.
Beberapa regulasi terkait wajib lapor pecandu narkotika sebagai amanat dari UU
NO. 35 tahun 2009 tentang Narkotika telah disusun oleh Pemerintah antara lain
Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor
Pecandu Narkotika dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 50 tahun 2015 tentang
Petunjuk Teknis Pelaksanaan Wajib Lapor dan Rehabilitasi Medis Pecandu,
Penyalahguna dan Korban Penyalahgunaan Narkotika.
A. Definisi
Wajib Lapor adalah kegiatan melaporkan diri yang dilakukan oleh Pecandu
Narkotika yang sudah cukup umur atau keluarganya, dan/atau orang tua atau
wali dari Pecandu Narkotika yang belum cukup umur kepada Institusi Penerima
Wajib Lapor untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui
rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
B. Tujuan
Pengaturan Wajib Lapor Pecandu Narkotika bertujuan untuk: a. memenuhi hak
Pecandu Narkotika dalam mendapatkan pengobatan dan/atau
perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi
sosial;
C. Penyelenggaraan Wajib
Lapor
Wajib Lapor Pecandu Narkotika dilakukan di Institusi Penerima Wajib Lapor
(IPWL). IPWL adalah pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau
lembaga rehabilitasi medis serta lembaga rehabilitasi sosial yang ditetapkan
oleh Pemerintah
IPWL wajib melakukan asesmen yang meliputi aspek medis dan aspek sosial
terhadap Pecandu Narkotika untuk mengetahui kondisi Pecandu Narkotika.
Asesmen dilakukan dengan cara:
1. Wawancara meliputi riwayat kesehatan, riwayat penggunaan narkotika,
riwayat pengobatan dan perawatan, riwayat keterlibatan pada tindak
kriminalitas, riwayat psikiatris, serta riwayat keluarga dan sosial Pecandu
Narkotika. 2. Observasi meliputi observasi atas perilaku Pecandu Narkotika baik
verbal maupun
non verbal 3. Pemeriksaan fisik dan psikis terhadap Pecandu
Narkotika
Hasil asesmen tersebut dicatat pada rekam medis yang bersifat rahasia dan
merupakan dasar dalam rencana rehabilitasi terhadap Pecandu Narkotika yang
bersangkutan. Kerahasiaan hasil asesmen dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang- undangan. Selanjutnya Rencana rehabilitasi
yang telah disusun berdasarkan hasil asesmen harus disepakati oleh pecandu
narkotika, orang tua, wali, atau keluarga pecandu narkotika dan pimpinan IPWL
Pecandu narkotika yang telah melaporkan diri atau dilaporkan kepada IPWL
diberi kartu lapor diri setelah menjalani asesmen. Kartu lapor diri tersebut
berlaku untuk 2 (dua) kali masa perawatan. Yang dimaksud dengan “masa
perawatan” adalah suatu layanan program rencana terapi dibuat berdasarkan
hasil asesmen yang komprehensif yang sesuai dengan kondisi pasien dengan
jenis gangguan penggunaan narkotika dan kebutuhan individu/pasien/Pecandu
narkotika dengan program yang dijalankan
D.
Pembiayaan
Berdasarkan PP No. 25 tahun 2011, pembiayaan wajib lapor bagi yang tidak
mampu ditanggung oleh pemerintah dan pemerintah derah melalui APBN dan
APBD
1
0
A. Fasilitas rehabilitasi
medis
Rehabilitasi medis dilaksanakan di fasilitas rehabilitasi medis yang
diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat meliputi
rumah sakit, puskesmas atau lembaga rehabilitasi tertentu yang
menyelenggarakan rehabilitasi medis. Lembaga rehabilitasi medis tertentu
meliputi:
1
1
1
2
1
3
C.
Pembiayaan
Terkait pembiayaan yang sering menjadi masalah implementasi di lapangan
maka salah satu pasal dalam Permenkes No. 2415 tahun 2011 menyatakan
bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab atas biaya
pelaksanaan rehabilitasi medis bagi pecandu, penyalahguna dan korban
penyalahgunaan Narkotika yang tidak mampu sesuai peraturan
perundang-undangan. Selain itu Pemerintah juga bertanggung jawab atas biaya
pelaksanaan rehabilitasi medis bagi pecandu, penyalahguna dan korban
penyalahgunaan Narkotika yang yang telah diputus oleh pengadilan. Namun
sejak diberlakukan Permenkes No. 50 tahun 2015 untuk mendukung Gerakan
Rehabilitasi 100.000 Pecandu maka pembiayaan rehabilitasi medis bagi
pecandu, penyalahguna dan korban penyalahgunaan Narkotika secara sukarela
maupun yang sedang dalam proses hukum dan yang telah diputuskan
pengadilan ditanggung oleh Pemerintah. Pembiayaan rehabilitasi medis yang
dilakukan di IPWL yang telah ditetapkan oleh Menteri Kesehatan dibebankan
kepada anggaran Kementerian Kesehatan.
D.
Pelaporan
Fasilitas rehabilitasi medis wajib melakukan pelaporan dalam bentuk rekapitulasi
data secara berkala kepada Menteri melalui mekanisme sistem pelaporan
mengikuti sistem informasi kesehatan nasional. Rekapitulasi data yang telah
dilaporkan dapat diakses oleh pihak yang berkepentingan dalam pengembangan
kebijakan dan program baik lembaga pemerintah maupun masyarakat.
E. Pembinaan dan
Pengawasan
Pembinaan dilakukan oleh Menteri Kesehatan, Kepala Dinas Kesehatan dan
atau Menteri/Kepala Lembaga lainnya yang membawahi lembaga rehabilitasi
untuk: 1. Pembinaan dalam rangka meningkatkan kemampuan fasilitas
rehabilitasi medis yang
dilakukan oleh Menteri dan Kepala Dinas Kesehatan sedangkan 2. Pembinaan
dalam rangka peningkatan kemampuan fasilitas rehabilitasi medis juga dilakukan
oleh BNN, berkoordinasi dengan Kementerian Kesehatan dan Pemerintah
Daerah. 3. Pengawasan dilakukan guna menjamin kualitas penyelenggaraan
rehabilitasi medis. 4. Dalam melakukan kegiatan pembinaan dan pengawasan
Menteri dapat membentuk suatu tim dengan melibatkan unsur Pemerintah
daerah provinsi/kabupaten/kota melalui kepala dinas kesehatan/kepala biro
NAPZA, organisasi profesi di bidang kesehatan, BNN Provinsi/Kabupaten/Kota
atau organisasi kemasyarakatan terkait lainnya. 5. Dalam rangka pembinaan
dan pengawasan, Menteri dapat mengambil tindakan
administratif kepada fasilitas rehabilitasi medis,
berupa: a. teguran lisan;
1
4
b. teguran tertulis;
atau c. pencabutan
izin.
Saat ini Pemerintah sedang merevisi beberapa kebijakan terkait rehabilitasi yang
tercantum dalam UU No. 35 tahun 2009 tentag Narkotika. Beberapa kementerian
dan lembaga terkait dikoordinir oleh Kemenko PMK telah menyusun Rencana AKsi
Nasional Rehabilitasi dengan konsep rehabilitasi yang berkelanjutan dan tidak ada
lagi dikotomi istilah rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Petugas penerima wajib lapor dalam menjalankan tugasnya tetap terikat pada kode
etik sesuai profesi masing-masing. Profesi dalam bahasa Latin berarti
’mengumumkan kepada dunia luar’ (Bond, 2005). Seseorang dapat dianggap
profesional apabila dia dengan sumpahnya kepada publik bertanggungjawab atas
apa yang dikerjakannya, sesuai dengan aturan dan prinsip-prinsip yang berlaku,
yang umumnya dikeluarkan oleh ikatan profesi. Menjalankan tindakan sesuai
dengan aturan dan prinsip adalah upaya menjaga kode etik yang berlaku.
Seorang dokter pada lembaga penerima wajib lapor tetap harus mematuhi Kode Etik
Kedokteran Indonesia. Beberapa Prinsip Etika Kedokteran yaitu:
• Beneficiency: mengutamakan kepentingan
pasien
• Autonomy: menghormati hak pasien dalam mengambil
keputusan
• Non-Malefeciency: tidak memperburuk keadaan
pasien
• Justice: tidak mendiskriminasikan pasien, apapun
dasarnya.
Tujuan etik didasari oleh filosofi kemanusiaan, dimana setiap tindakan profesional
hendaknya dilandasi oleh pertimbangan yang kuat tentang hak azasi manusia.
Secara rinci, tujuan etik adalah:
1
5
gangguan penggunaan Napza namun tidak melaporkan kepada pejabat berwenang
dapat dikenakan sanksi pidana. Hal ini bisa menempatkan petugas kesehatan pada
situasi dilematis dalam menjaga kerahasiaan pecandu yang melakukan wajib lapor.
Pokok Bahasan 5 PERAN DAN FUNGSI PETUGAS Sampai saat ini kompetensi
tenaga kesehatan dilayanan terapi dan rehabilitasi masih sangat terbatas baik dari
sisi ketenagaannya maupun keterampilan petugas dalam penatalaksanaan pasien
dengan gangguan penggunaan napza dan pemahaman yang benar tentang
gangguan penggunaan napza. Selain hal diatas aksesibilitas pecandu narkotika
yang mencari pertolongan medis masih kurang karena masih adanya stigma dan
diskriminasi yang dihadapi pecandu narkotika dari masyarakat dan petugas
kesehatan sendiri.
1
6
Pada pelatihan ini diharapkan petugas mengetahui peran dan fungsi mereka
nantinya dalam melaksanakan proses wajib lapor yang terdiri dari:
1. Melakukan asesmen
klinis
Instrumen yang digunakan dalam melakukan asesmen untuk wajib lapor ini sesuai
dengan yang terdapat dalam lampiran peraturan menteri yang ditetapkan. Penting
bagi petugas untuk dapat menentukan atau meninjau besar atau beratnya masalah
penggunaan narkotika yang dialami pecandu. Dari asesmen ini juga petugas mampu
mengidentifikasi perilaku penggunaan narkotika mereka, serta menemukan
batas-batas masalah kesehatan akibat efek penggunaan narkotikanya. 2.
Menegakkan diagnose
Sesuai dengan asesmen yang telah dilakukan di awal proses penerimaan pecandu
narkotika. 3. Menyusun rencana terapi dan rujukan
Rencana terapi disusun dengan mempertimbangkan hasil pemeriksaan awal dan
diagnosis yang diperoleh berdasarkan hasil asesmen. Tidak semua institusi wajib
lapor memiliki modalitas terapi yang lengkap, pada layanan yang tidak tersedia
perawatan khusus maka petugas tersebut wajib untuk melakukan rujukan ke
tempat lain sesuai dengan kebutuhan pecandu narkotika tersebut. Tidak jarang
pecandu narkotika yang datang tidak murni hanya dengan masalah napzanya
saja tapi juga banyak diantara mereka dengan masalah dual diagnosis atau triple
diagnosis yang tentunya membutuhkan penanganan lebih khusus.
Peran dan fungsi petugas kesehatan dalam memberikan pelayanan sebagai petugas
penerima wajib lapor merupakan kontribusi yang penting oleh karena itu dibutuhkan
beberapa kriteria dalam memberikan layanan terapi dan rehabilitasi gangguan
penggunaan napza.
Petugas kesehatan penerima wajib lapor idealnya juga memenuhi beberapa kriteria
lainnya seperti magang di pusat layanan terapi rehabilitasi gangguan penggunaan
napza baik rawat inap maupun rawat jalan dan mempunyai motivasi untuk
memberikan layanan bagi pasien yang mengalami gangguan penggunaan napza.
1
7
DAFTAR PUSTAKA 1. P eraturan Menteri Kesehatan No. 269 Tahun 2008 tentang
Rekam Medis 2. Peraturan Menteri Kesehatan No. 2415 Tahun 2011 tentang
Rehabilitasi Medis Pecandu,
Penyalahguna dan Korban Penyalahgunaan Narkotika 3. Keputusan Menteri
Kesehatan No. 486 Tahun 2007 tentang Kebijakan & Rencana Strategi
Penanggulangan Penyalahgunaan NAPZA 4. Keputusan Menteri Kesehatan No. 421
Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Terapi dan
Rehabilitasi Gangguan Penggunaan NAPZA 5. Sarasvita, R. and A. Anwar. (2002). Kilas
Balik 30 Tahun RS Ketergantungan Obat. J akarta:
RSKO 6. Marc Stauch and Kay Wheat. (2005). Text, Cases and materials on Medical Law third
edition
1
8
MATERI DASAR
2
I. DESKRIPSI
SINGKAT
Penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, psikotropika, dan bahan berbahaya
lainnya merupakan suatu kajian yang menjadi masalah dalam lingkup nasional
maupun secara internasional. Pada kenyataanya, kejahatan narkotika memang telah
menjadi sebuah kejahatan transnasional yang dilakukan oleh kelompok kejahatan
terorganisir (organized crime). Masalah ini melibatkan sebuah sistem kompleks yang
berpengaruh secara global dan akan berkaitan erat dengan Ketahanan Nasional
sebuah bangsa. Masalah gangguan penggunaan narkotika berkembang mengikuti
trend, yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya adalah ketersediaan zat,
kebutuhan masyarakat dan faktor penegakan hukum. New Psychoactive Substances
(NPS) menjadi salah satu perhatian dunia karena maraknya peredaran dan
kurangnya penelitian dan pemahaman terkait efek sampingnya.
Pada tahun 1998, sesi khusus pada pertemuan sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) bersepakat untuk bekerjasama dalam “memberantas atau mengurangi
dengan signifikan” produksi narkotika illegal dan penyalahgunaannya pada tahun
2019. Hal ini tentu bukanlah target yang mudah dicapai. UNODC mencatat bahwa
sebagian negara-negara di dunia ada yang telah mampu mengontrol situasi masalah
narkotikanya dalam kurun waktu yang relatif singkat, namun sebagian besar justru
tidak atau belum mampu mengontrol situasi tersebut.
II. PEMBELAJARAN
A. Tujuan pembelajaran
umum:
Pada akhir sesi, peserta mampu memahami perkembangan masalah gangguan
penggunaan Napza
B. Tujuan pembelajaran
khusus:
Pada akhir sesi ini, peserta mampu: 1. Menjelaskan perkembangan masalah
gangguan penggunaan Napza di kawasan global 2. Menjelaskan perkembangan
masalah gangguan penguunaan Napza di kawasan
regional. 3. Menjelaskan perkembangan masalah gangguan penggunaan Napza di
kawasan
nasion
al
1
9
III. POKOK
BAHASAN
Dalam modul ini akan dibahas pokok bahasan berikut: Pokok Bahasan 1.
Epidemiologi dan perkembangan penggunaan narkotika dikawasan
global Pokok Bahasan 2. Epidemiologi dan perkembangan penggunaan narkotika
dikawasan
regional Pokok Bahasan 3. Epidemiologi dan perkembangan penggunaan narkotika
dikawasan
nasion
al
IV. URAIAN
MATERI
2
0
Zat psikoatif baru (New Psychoactive Substances, NPS) saat ini juga menarik
perhatian dunia. NPS didefinisikan sebagai senyawa bentuk tunggal atau sediaan
berupa campuran yang marak disalahgunakan dan belum diatur dalam Konvensi
Internasional, tetapi memiliki efek yang sama dengan obat yang diatur. NPS
mengalami peningkatan, yang sebelumnya sebanyak 260 di tahun 2012 menjadi 483
di pertengahan tahun 2015. Diagram di bawah ini menunjukkan jumlah NPS dan
jenisnya yang dilaporkan tipa tahun sejak 2009 sampai 2015. Jumlah NPS yang
paling banyak dilaporkan adalah jenis kanabinoid sintetik.
Sumber: UNODC, World Drug Report
2017
2
1
Studi beban global akibat penyakit tahun 2015 menyatakan bahwa sekitar 17 juta
disability adjusted life years d iakibatkan karena gangguan penggunaan Napza.
Beban penyakit yang terkait dengan Hepatitis C karena penggunaan zat lebih besar
dibandingkan dengan HIV. Orang dengan penggunaan napza suntik merupakan
populasi kunci yang berisiko terkena infeksi HIV pada tahun 2015 diperkirakan
infeksi baru HIV diantara orang dengan penggunaan Napza suntik sebesar 152.000
dengan prevalensi HIV di kalangan pengguna napza suntik sebesar 13,1 Pada tahun
2015 UNODC/WHO/UNAIDS memperkirakan 51,5% orang dengan penggunaan
napza suntik terinfeksi Hepatitis C.
Opioid adalah jenis Napza yang menyebabkan dampak negatif kesehatan tertinggi
meskipun secara global, jenis narkotika yang paling banyak disalahgunakan, adalah
ganja dimana diperkirakan sekitar 183 juta orang menggunakannya. Dan kedua
terbanyak digunakan adalah jenis amfetamin,
2
2
Sejak awal tahun 2000, penggunaan zat jenis amfetamin (ATS) marak di berbagai
negara di Asia Tenggara, yaitu pada negara-negara Cambodia, China, Indonesia,
Laos, Myanmar, Filipina dan Thailand. Produksi ATS umumnya dilakukan di dalam
negeri, seperti yang tercatat di China, Myanmar dan Indonesia. Penyitaan beberapa
pabrik ATS rumahan dengan kapasitas produksi hingga ribuan kilogram setiap
bulannya menunjukkan tingginya kebutuhan yang juga mencerminkan tingginya
potensi penyalahgunaan. Salah satu zat yang digunakan untuk memproduksi
metamfetamin adalah efedrin, yang banyak diselundupkan dari China dan India.
Sementara itu penggunaan zat jenis opiat, khususnya heroin, tetap memiliki pangsa
pasar yang tetap di wilayah ini. Pengguna NAPZA suntik masih menyumbang angka
penularan HIV yang cukup tinggi pada banyak negara di Asia. Walaupun demikian,
jenis zat yang paling banyak disalahgunakan di wilayah Asia Tenggara adalah ganja.
2
3
2
4
Indonesia sendiri adalah produsen ganja sejak awal abad ke 20 dan ganja yang
berasal dari Aceh adalah salah satu dari yang berkualitas baik di dunia. Sediaan
heroin berasal dari segitiga emas dan tidak berasal dari dalam negeri. Sementara
konsumsi metamfetamin sejak tahun 2000 tampaknya dipenuhi oleh produksi dalam
negeri, terbukti dari laporan penyitaan dan penggerebekan
laboratorium-laboratorium klandestin di Indonesia memproduksi metamfetamin
dalam jumlah yang besar.
Survei yang dilakukan oleh Badan Narkotika Nasional bekerjasama dengan Pusat
Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia pada tahun 2014 menunjukkan bahwa
estimasi penyalahguna NAPZA adalah sekitar 2,18% dari total seluruh penduduk
Indonesia berusia 10- 59 tahun. Pada tahun 2016 diproyeksikan angka prevalensi
sebesr 2,21% atau setara dengan 4.173.633 orang. Dari sejumlah penyalahguna
tersebut, terdistribusi atas 0,87% coba pakai, 0,82% teratur pakai, 0,49% pecandu
bukan suntik, dan 0,04% pecandu suntik.. Berdasarkan survei BNN tahun 2016 di
kalangan pelajar dan mahasiswa diketahui, hampir semua (91%) pelajar dan
mahasiswa pernah mendengar jenis narkoba di tahun 2016, dengan proporsi
terendah pada kelompok SMP (88%). Semakin tinggi tingkat pendidikan, maka
semakin banyak yang mengenali jenis-jenis narkoba.Lebih dari separuh responden
memiliki tingkat pengetahuan baik (53%). Namun, masih ada 30% dari responden
yang memiliki pengetahuan narkoba kurang. Bila dibandingkan tingkat pengetahuan
antara penyalahguna dan bukan penyalahguna, ternyata tingkat pengetahuan
penyalahguna lebih baik dibandingkan yang bukan penyalahguna, baik pada laki-laki
maupun perempuan. Mereka yang bukan penyalahguna memiliki tingkat
pengetahuan kurang yang lebih besar, misalkan dikalangan laki-laki (37% vs 26%)
dan perempuan (24% vs 14%).Data BNN tahun 2017 menyatakan jumlah pecandu
yang mendapatkan terapi dan rehabilitasi sebanyak 33.267 orang. Sedangkan hasil
proyeksi menunjukan kerugian biaya ekonomi akibat penyalahgunaan narkoba
meningkat dari Rp.57,0 trilyun di tahun 2012 menjadi Rp.63,1 trilyun di tahun 2014.
2
5
DAFTAR
PUSTAKA
MATERI INTI
1
KETERGANTUNGAN
NARKOTIKA
I. DESKRIPSI SINGKAT
Seseorang dapat menggunakan zat karena berbagai alasan, salah satu di antaranya
adalah untuk mendapatkan rasa senang atau kenikmatan (to feel good). Sebagian
besar zat dapat menimbulkan rasa nikmat yang sangat tinggi. Zat dapat
menimbulkan sensasi awal berupa eforia, yang kemudian diikuti dengan berbagai
efek lainnya, bergantung pada jenis zat yang digunakan. Alasan lain menggunakan
ebagian orang menggunakan
zat adalah untuk merasa lebih baik (to feel better). S
zat untuk mengurangi kecemasan, rasa tertekan, dan depresi. Dalam hal ini, stres
memiliki peran yang sangat penting untuk membuat seseorang mulai menggunakan,
melanjutkan, atau kembali menggunakan zat.
Penggunaan napza juga dapat ditujukan untuk mendapatkan performa yang lebih
baik (to do better). Sebagai contoh, penggunaan stimulansia untuk meningkatkan
fungsi kognitif dan atletik. Pada beberapa orang, khususnya remaja, penggunaan zat
dapat didasari rasa ingin tahu yang kuat, atau karena yang lain juga melakukannya
(curiosity and “because others are doing it”). Remaja merupakan populasi yang
paling rentan akan hal ini akibat kuatnya pengaruh dari tekanan sebaya (peer
pressure).
Pada awal penggunaan zat, seseorang dapat merasakan efek yang “tampaknya”
positif. Selain itu, biasanya pengguna zat beranggapan bahwa mereka dapat
mengendalikan penggunaan zatnya. Namun demikian, zat dapat dengan cepat
mengambil alih kehidupan seseorang dalam berbagai aspek, misalnya kesehatan
dan keuangan. Seiring waktu, bila penggunaan zat berlanjut, aktivitas yang
sebelumnya menyenangkan menjadi tidak lagi menyenangkan, sehingga zat
digunakan hanya untuk membuat pengguna zat merasa “normal”. Mereka kemudian
mulai mencari zat secara kompulsif meskipun paham mengenai risiko untuk dirinya
dan keluarga.
2
7
A. Tujuan Pembelajaran
Umum
Pada akhir sesi ini peserta mampu menjelaskan pengetahuan dasar mengenai
gangguan penggunaan napza. B. Tujuan Pembelajaran Khusus
Pada akhir sesi ini, peserta mampu 1. menjelaskan berbagai terminologi yang berkaitan
dengan gangguan penggunaan zat 2. menyebutkan penggolongan zat. 3.
menjelaskan patofisiologi gangguan penggunaan zat. 4. menjelaskan berbagai
pendekatan mengenai gangguan penggunaan zat.
Pokok bahasan 1
TERMINOLOGI
2
8
Adiksi, merupakan istilah umum lainnya yang juga sering digunakan. Menurut The
National Institute on Drug Abuse (NIDA), adiksi didefinisikan sebagai penyakit otak
kronis dan kambuhan yang ditandai dengan perilaku mencari dan menggunakan zat
yang kompulsif, meskipun memiliki konsekuensi yang merugikan. Adiksi dianggap
sebagai suatu penyakit otak karena zat yang digunakan dapat mengubah struktur
dan cara kerja otak. Perubahan pada otak tersebut dapat bersifat jangka panjang
dan menyebabkan perilaku merugikan yang tampak pada orang yang menggunakan
zat. Istilah adiksi yang dimaksud di sini dapat dianggap ekivalen dengan istilah
gangguan pengunaan zat berat (severe subtance use disorder) pada DSM-5.
Berikut ini beberapa istilah yang sering digunakan pada pembahasan masalah dan
gangguan penggunaan napza beserta definisi operasionalnya masing-masing.
• Zat. Diterjemahkan dari kata substance, adalah segala bentuk zat kimia yang
memiliki efek spesifik terhadap otak dan tubuh.
alam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai obat, adalah setiap zat
• Drug.D
kecuali makanan, minuman dan oksigen yang apabila masuk ke dalam tubuh akan
memengaruhi fungsi fisik maupun psikologis individu.
• Narkotika. Menurut Undang-Undang no. 35 tahun 2009 tentang narkotika, yang
disebut narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan
atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa
nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. Jenis zat yang dimasukkan kedalam
kelompok narkotika didalam UU tersebut tidak sejalan dengan terminologi dalam
farmakologi. Salah satu hal yang mendasari adalah dari besaran masalah
penggunaannya. Jenis zat yang dimasukkan ke dalam kelompok narkotika di dalam
Undang-Undang (UU) tersebut tidak sejalan dengan terminologi dalam farmakologi.
Narkotika berasal dari kata Yunani narkotikaos, yaitu obat
2
9
apa pun yang menginduksi tidur. Narkotika juga sering diartikan dalam lingkup
yang lebih sempit, yaitu sebagai opioda; dalam konteks hukum seperti pada UU
tersebut di atas, narkotika diartikan sebagai senyawa yang sering disalahgunakan
dan bersifat adiktif.
enurut Undang Undang RI nomor 5 tahun 1997 tentang psikotropika, yang
• Psikotropika. M
dimaksud psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika,
yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat dan
meyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.
• Zat Psikoaktif. Istilah psikoaktif dipakai dalam buku International Classification of Diseases
edisi 10 (ICD 10) dan dalam buku Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa
edisi III (PPDGJ III). Zat psikoaktif adalah zat yang bekerja pada susuanan saraf pusat
secara selektif sehingga dapat menimbulkan perubahan pada pikiran, perasaan, perilaku,
persepsi maupun kesadaran (Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Zat
Psikoaktif, Joewana, EGC, 2004).
• NAPZA. Akronim dari Narkotika, Ps ikotropika, Zat Adiktif lain. Akronim ini banyak
digunakan oleh jajaran Kementerian Kesehatan.
• Narkoba. Akronim dari Narkotika dan Ba
han adiktif lain. Akronim ini disukai oleh jajaran
penegak hukum.
• Opium. Dalam bahasa Yunani opos, artinya getah (juice), maksudnya getah dari kotak biji
tanaman Papaver somniferum (pohon candu).
• Opiat. Semua senyawa yang berasal dari produk yang terdapat dalam opium, baik yang
alami seperti morfin, kodein dan tebain, maupun yang semi-sintetik seperti heroin.
• Opioda. Semua senyawa yang mempunyai fungsi dan sifat farmakologis seperti opiat, jadi
metadon.
• Zat Psikedelik (Psychedelic agent). Senyawa yang dapat menimbulkan gangguan persepsi
seperti halusinasi, ilusi dan waham, termasuk di dalamnya adalah senyawa halusinogenik
yaitu senyawa yang dalam dosis kecil menimbulkan gangguan persepsi, pikiran, perasaan,
akan tetapi pengaruhnya terhadap daya ingat dan orientasi minimal
• Club drug. Zat yang banyak digunakan di klub-klub (allnite dance) seperti ecstasy, LSD,
PCP, ketamin.
• Amfetamin. Zat jenis stimulansia kuat yang bekerja pada sistim saraf pusat. Zat
stimulansia bekerja dengan cara memercepat proses penyampaian pesan di otak
dan tubuh. Beberapa jenis amfetamin diresepkan secara legal oleh dokter untuk
an narkolepsi.
pengobatan attention deficit hyperactivity disorder (ADHD) d
• Amphetamine-type stimulants (ATS). i stilah yang digunakan untuk amfetamin
dan sekelompok zat yang secara kimiawi menyerupai amfetamin dan memiliki effek
stimulansia seperti amfetamin.
• New Psychoactive Substances (NPS). Z at jenis baru yang muncul dalam
peredaran napza, biasanya merupakan designer drug ( lihat keterangan designer
drug)
• Designer drug. zat yang memiliki struktur atau fungsi menyerupai zat original,
dibuat dengan tujuan untuk menghindari klasifikasi sebagai zat atau obat ilegal dan
untuk menghindari deteksi pada pemeriksaan tes zat yang standar.
3
0
3
1
3
2
Istilah
Gaul
Para pengguna zat psikoaktif merupakan suatu subkultur yang biasanya mempunyai
bahasa gaul tersendiri. Bahasa gaul ini bisa berbeda untuk setiap daerah dan
senantiasa mengalami perubahan, artinya yang lama sudah tidak digunakan lagi,
sebaliknya muncul istilah gaul yang baru. Berikut ini disajikan beberapa istilah gaul
yang umum dan masih sering terdengar dengan tujuan agar petugas kesehatan
lebih mudah membina rapport. - Acid : LSD, zat golongan halusinogen - Amper :
amplop - Bokul : beli - Cimeng, gele, budha stick : ganja, kanabis - Cucau :
menggunakan putau dengan cara menyuntik kedalam
pembuluh darah balik (intravena) - Ekstasi (ecstacy) , XTC :
MDMA - Elsid : pelafalan slank dari LSD - Etep : heroin dalam peredaran ilegal,
isinya tidak murni heroin; slank
putau/w yang disingkat PT, ditulis sesuai pelafalan: pete, lalu dibaca dari belakang -
Gau : gram (satuan berat, khususnya untuk putau) - Giting, mabok, beler :
intoksikasi - Insul, Spidol : alat suntik, spuit, syringe - Linting : ukuran jumlah, untuk
ganja - Ngedrag : menggunakan putau dengan cara inhalasi asap putau yang
dibakar - Ngelem : mengonsumsi inhalansia, seperti lem
dan bensin - Ngive : (lihat cucau) - Ngubas : mengonsumsi sabu-sabu
(metamfetamin) - Nyabu : (lihat ngubas) - Nyepet : (lihat cucau) - Pakau/w :
singkatan dari pakai putau/w, istilah sedang mengonsumsi
putau - Paket : satuan jumlah putau - Parno :
paranoid, salah satu gejala intoksikasi metamfetamin - Pedau/w : intoksikasi
putau/w - Pil anjing, gedek, koplo : MDMA, zat golongan halusinogen - PT,
pete : (lihat etep) - Putau/w : (lihat etep) - Riv, rivotril : clonazepam, obat
golongan benzodiazepine
3
3
Pokok bahasan 2
PENGGOLONGAN
ZAT
Dalam buku PPDGJ III atau ICD 10, zat psikoaktif dikelompokkan menjadi sebagai
berikut: 1. Alkohol, yaitu semua minuman yang mengandung etanol seperti bir, wiski,
vodka, brem,
tuak, saguer, ciu, arak. 2. Opioid, termasuk di dalamnya adalah candu, morfin,
heroin, petidin, kodein, metadon. 3. Kanabinoid, yaitu ganja atau marihuana,
hashish. 4. Sedatif dan hipnotik, misalnya nitrazepam, klonasepam, bromazepam.
5. Kokain, yang terdapat dalam daun koka, pasta kokain, bubuk kokain. 6. Stimulan
lain, termasuk kafein, metamfetamin, MDMA. 7. Halusinogen, misalnya LSD,
meskalin, psilosin, psilosibin. 8. Tembakau yang mengandung zat psikoaktif nikotin.
9. Inhalansia atau bahan pelarut yang mudah menguap, misalnya minyak cat, lem,
aseton. 10. Lainnya, yang tidak/belum dapat dikelompokkan ke salah satu dari 9
kelompok di atas.
3
4
• Aminoindanes, contoh
MDAI
• Synthetic cannabinoids, contoh
JWH-018
• Synthetic cathinones, contoh
4-MEC
• α-pyrrolidinopentiophenone
(α-PVP)
• Zat tipe phencyclidine, contoh methoxetamine
(MXE)
• Phenethylemanine, contoh
25H-NBOME
• Piperazine, contoh BZP,
mCPP
• Zat berbasis tanaman, contoh kratom,
khat
• Typtamine, contoh AMT
• Zat lainnya, seperti dimethylamylamine
(DMAA)
Tiap zat memiliki efek yang berbeda, sebagai contoh BZP dan MDAI, termasuk tipe
stimulansia, menyerupai efek amfetamin, kokain dan ekstasi. Synthetic cannabinoid
sesuai dengan namanya, memiliki efek seperti kanabis, sedangkan 25H-NBOME
memiliki efek halusinogenik menyerupai LSD.
Menurut Badan Narkotika Nasional (BNN), sebagian NPS telah beredar di Indonesia
dengan berbagai jenis. Beberapa di antaranya telah diatur oleh Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia tentang perubahan penggolongan narkotika, dan
masuk ke dalam daftar narkotika golongan I.
3
5
Otak dan fungsinya Untuk memahami patofisiologi gangguan penggunaan zat, hal
pertama yang perlu dipelajari adalah otak dan fungsinya. Otak manusia terdiri dari
beberapa bagian yang bekerja sama layaknya sebuah tim. Tiap bagian otak
bertanggung jawab untuk mengkoordinasikan dan melakukan suatu fungsi spesifik.
Zat psikoaktif dapat mengubah fungsi area-area penting pada otak yang
berhubungan dengan kelangsungan hidup, serta dapat mendorong penggunaan zat
yang bersifat kompulsif yang menandai terjadinya adiksi. Area otak yang dipengaruhi
oleh zat antara lain:
3
6
Komunikasi antar sel otak Otak merupakan pusat komunikasi yang terdiri dari jutaan
sel otak yang disebut neuron. Tiap neuron mengirim dan menerima pesan dalam
bentuk sinyal elektrik dan kimiawi. Pesan antar neuron ini diantarkan oleh
neurotransmiter. Neurotransmiter yang membawa pesan, akan berikatan dengan
tempat tertentu pada neuron lainnya yang disebut reseptor. Neurotransmiter dan
reseptor bekerja dengan analogi menyerupai kunci dan lubang kunci. Reseptor
diumpamakan seperti lubang kunci sedangkan neurotransmiter sebagai kunci.
Setelah neurotransmiter berikatan dengan reseptor, pesan kemudian akan
diteruskan.
3
7
Pengaruh zat pada otak Satu jaras yang penting dalam memahami efek zat pada otak
adalah jaras reward (reward pathway). Jaras ini melibatkan beberapa bagian otak,
antara lain: ventral tegmental area (VTA), nucleus accumbens (NAc), d an prefrontal
cortex (PFC). Saat teraktivasi oleh suatu rangsang yang menyenangkan (rewarding
isalnya makanan atau aktivitas seksual, informasi berjalan dari VTA ke
stimulus) m
NAc dan naik ke PFC.
Gambar 3. Brain reward
system
Manusia, demikian juga organisme lain, melakukan perilaku yang sifatnya rewarding.
Perasaan senang memberikan penguatan positif (positive reinforcement) sehingga
perilaku tertentu akan diulang kembali. Reward d apat bersifat alami seperti
tau reward b
makanan, air, seks, dan juga pengasuhan (nurturing), a uatan (artificial)
seperti zat.
i
Pada tahap-tahap awal proses penggunaan zat, stimulasi zat pada sistim reward d
otak merupakan alasan utama seseorang menggunakan zat secara berulang.
Namun demikian, seiring berjalannya waktu, dorongan untuk menggunakan zat
meningkat melampaui sekedar
3
8
dorongan untuk merasakan rasa senang. Peningkatan dorongan ini kemudian akan
berkaitan dengan toleransi dan ketergantungan.
Paparan berulang terhadap peningkatan dosis zat mengubah fungsi otak sehingga
fungsi menjadi normal saat terdapat zat dan tidak normal saat tak menggunakan zat.
Dua dampak klinis yang penting dari perubahan ini adalah toleransi (kebutuhan
untuk menggunakan dosis lebih tinggi untuk mencapai efek zat yang sama) dan juga
ketergantungan (dependence), k ecenderungan untuk mengalami gejala putus zat.
Gejala putus zat muncul hanya bila pasien telah mengalami toleransi.
Toleransi zat terjadi karena sel-sel otak yang memiliki reseptor untuk zat tertentu
secara bertahap menjadi kurang responsif terhadap stimulasi zat, sehingga lebih
banyak zat yang dibutuhkan untuk menstimulasi sel otak pada VTA di sistim reward
untuk melepaskan jumlah dopamin yang sama ke NAc. Dengan demikian,
dibutuhkan zat dalam jumlah lebih banyak untuk menimbukan rasa senang/nikmat
yang sama pada penggunaan.
Ketergantungan zat dan gejala putus zat berkaitan dengan sistem lainnya di otak
yang juga penting yaitu Locus Ceruleus (LC). Neuron pada LC memproduksi
senyawa kimiawi noradrenalin (NA) dan mendistribusikannya ke area lain di otak yag
berhubungan dengan keterjagaan, pernapasan, tekanan darah, kewaspadaan dan
fungsi-fungsi lainnya. Sebagai contoh, pada penggunaan opioida, saat opioida
berikatan dengan reseptor mu p ada sel otak di LC, terjadi penekanan pelepasan NA
yang menyebabkan kantuk, pernapasan melambat, dan tekanan darah turun – suatu
kondisi yang sesuai dengan keadaan intoksikasi opioida. Dengan paparan opioida
berulang, neuron LC kemudian menyesuaikan dengan meningkatkan akitivas
kerjanya. Sehingga, bila opioida muncul, NA dalam jumlah normal dilepaskan dan
pasien merasa kurang lebih normal. Saat opioida tidak muncul untuk menekan
peningkatan aktivitas LC, neuron meningkatkan pelepasan NA dalam jumlah besar,
memicu kegelisahan, kecemasan, kram otot dan diarea. Area brain reward system
juga berperan dalam gejala putus zat. Toleransi terhadap zat mengurangi pelepasan
dopamin dari VTA ke NAc sehingga mencegah seseorang merasa senang dari
aktivitas rewarding yang normal seperti makan.
Rasa senang yang berasal dari aktivasi zat pada brain reward system mendukung
penggunaan zat secara kontinyu pada tahap awal adiksi zat. Selanjutnya, paparan
berulang terhadap zat mencetuskan mekanisme ketergantungan pada otak, yang
mengakibatkan penggunaan zat harian untuk menghindari gejala putus zat yang
tidak menyenangkan. Penggunaan zat yang memanjang selanjutnya akan
mengakibatkan perubahan otak yang bertahan lama yang menjadi dasar dari
perilaku mencari zat yang kompulsif dan berbagai konsekuensi negatif yang
berkaitan yang merupakan hallmark dari adiksi.
3
9
Berbagai pendekatan untuk memahami GPN, dikenal juga sebagai model atau
paradigma, telah ada sejak beratus tahun lalu. Sebelum abad ke 16, pendekatan
seperti pendekatan moral dan pendekatan kriminal, paling sering digunakan untuk
menjelaskan mengapa seseorang mengalami GPN. Masyarakat sebelum abad ke
16, menganggap seseorang yang menggunakan napza sebagai individu yang lemah
secara moral dan berdosa, karena terus menerus membuat keputusan buruk untuk
dirinya. Berawal dari pemahaman ini, berbagai pendekatan terapi berbasis religi
muncul dan memberi solusi abstinensia total sebagai satu- satunya penyelesaian.
Kita ketahui bahwa hal ini tidak lagi dapat diterapkan saat ini. Pendekatan kriminal
memiliki hubungan erat dengan pendekatan moral, memandang perilaku adiktif
sebagai tindakan kriminal yang melawan hukum dan masyarakat. Segala sesuatu
yang berhubungan dengan penggunaan zat pada saat itu akan mendapatkan
hukuman.
4
0
2. Pendekatan Biopsikososial
Berbagai model atau pendekatan muncul dalam upaya memahami mengenai adiksi
atau gangguan penggunaan zat. Pada prinsipnya, tak ada satu pendekatan yang
paling tepat dalam menjeaskan mengenai fenomena gangguan penggunaan zat.
Model-model baru terus muncul dalam menjelaskan mengenai penggunaan zat.
Satu pendekatan yang sering dan lebih banyak digunakan saat ini adalah
pendekatan biopsikososial yang akan dijelaskan berikut ini.
Ilmu pengetahuan yang ada hingga saat ini belum dapat menemukan satu faktor
tunggal yang menentukan mengapa seseorang dapat menggunakan zat tanpa
berlanjut ke adiksi, dan mengapa sebagian lagi menyalahgunakan zat dan berlanjut
pada ketergantungan. Bukti dari penelitian yang ada saat ini menunjukkan bahwa
gangguan penggunaan zat merupakan hasil interaksi dari berbagai faktor biologis,
genetik, kepribadian, psikologis, kognitif, sosial, budaya dan lingkungan.
Gambar 4. Diagram
Biopsikososial
• Faktor
Biologis
Sosi
al
1
memiliki risiko 3 kali lipat lebih tinggi dibanding anak dari orang tua yang tidak
ketergantungan alkohol.
4
2
kurang fleksibel, orientasi tugas yag rendah, mood yang tidak stabil, dan
penarikan diri dari sosial, merupakan beberapa faktor prediktif penyalahgunaan
zat pada masa remaja.
Menurut teori operant conditioning, suatu perilaku didorong oleh reward atau
punishment (hukuman). Reward merupakan bagian dari reinforcement (penguat),
yaitu penguat untuk mencapai konsekuensi positif tertentu (positive
reinforcement/reward), sedangkan negative reinforcement adalah penguat untuk
menghindari konsekuensi negatif tertentu. Sebagai contoh, penggunaan zat
dapat memunculkan sensasi kenikmatan yang merupakan reward, selain itu
terdapat penguat negatif (negative reinforcement) d ari penggunaan zat yaitu
untuk menghindari gejala putus zat (sakaw). Proses pembelajaran ini akan terus
berlangsung membentuk suatu perilaku adiktif.
• Faktor
Sosial
Keluarga Selain berkaitan dengan faktor genetik, perilaku adiktif diturunkan dari
generasi ke generasi berdasarkan pengaruh sosial. Teori pembelajaran sosial
enganggap bahwa modeling akan memengaruhi suatu
(social learning theory) m
perilaku. Remaja yang mengamati perilaku orang tua dalam menggunakan zat
memiliki kecenderungan untuk
4
3
mengalami masalah dengan penggunaan zat itu sendiri. Pengawasan orang tua
dan penerapan disiplin yang konsisten dapat menurunkan risiko penggunaan zat
pada anak.
Teman sebaya Teman sebaya dapat memengaruhi nilai, sikap, dan perilaku
remaja pada berbagai hal, termasuk penggunaan zat. Memiliki kelompok sebaya
yang menggunakan zat, merupakan prediktor kuat penggunaan zat pada remaja,
demikian juga persepsi bahwa kelompok sebaya mendukung penggunaan zat.
Kelompok sebaya juga diketahui memengaruhi penggunaan zat melalui interaksi
dengan faktor risiko lain seperti masalah keluarga, stres, kesehatan mental, dan
kepercayaan diri.
Pengaruh teman sebaya tidak hanya kuat pada kelompok remaja. Pada orang
dewasa, sebagai contoh perilaku minum alkohol, juga sangat dipengaruhi oleh
teman sebaya. Hal ini ditunjukkan oleh hasil beberapa penelitian pada
mahasiswa dan pekerja.
Pasangan Pada orang dewasa, pasangan merupakan faktor sosial yang penting
dan paling berpengaruh. Penelitian menunjukkan adanya perilaku yang serupa
pada pasangan suami istri dalam hal penggunaan zat. Suami istri cenderung
menggunakan zat yang sama, dan penggunaan zat yang tinggi pada salah satu
pasangan merupakan prediktor penggunaan zat pada pasangannya. Namun
demikian, pernikahan dapat menjadi faktor protektif, karena berhubungan dengan
penurunan risiko penggunaan alkohol.
4
4
penentuan batasan usia legal untuk minum alkohol di suatu negara atau daerah,
akan memengaruhi kecenderungan munculnya masalah terkait penggunaan zat.
DAFTAR
REFERENSI
4
5
MATERI INTI
2
I. DESKRIPSI SINGKAT
4
6
II. TUJUAN
PEMBELAJARAN
A. Tujuan Pembelajaran
Umum
Pada akhir sesi, peserta mampu melakukan asesmen dan menegakkan
diagnosis penggunaan napza
B. Tujuan Pembelajaran
Khusus
Pada akhir sesi ini, peserta mampu: 1. Menjelaskan pengertian dan tujuan
asesmen 2. Menjelaskan pertanyaan dan komponen yang penting dalam
asesmen klinis 3. Menjelaskan langkah-langkah asesmen dan prinsip-prinsip
penegakan diagnosis
gangguan penggunaan napza 4. Menjelaskan prosedur pengisian formulir 5. Mampu
melakukan wawancara sesuai dengan pertanyaan didalam formulir dan
melakukan pengisian
formulir
III. POKOK
BAHASAN
Dalam modul ini akan dibahas pokok bahasan berikut: Pokok Bahasan 1. Pengertian
Dan Tujuan Asesmen Klinis Pokok Bahasan 2. Komponen Klinis Dalam Asesmen
Dan Kaitannya Dengan Rencana Terapi Pokok Bahasan 3. Persiapan Pelaksanaan
Asesmen Gangguan Penggunaan Napza Pokok Bahasan 4. Prosedur Pengisian
Formulir Asesmen Wajib Lapor Pokok Bahasan 5. Teknik Wawancara Dan
Pengisian Formulir Asesmen Wajib Lapor Pokok Bahasan 6. Prinsip Penegakan
Diagnosis Gangguan Penggunaan Napza
IV. URAIAN
MATERI
4
7
Tes narkotika dalam tubuh dapat menjadi skrining awal untuk mendeteksi masalah
terkait- penggunaan narkotika. Sayangnya, sensitivitas, spesifisitas, dan nilai
prediktif dari toksikologi sebagai marker untuk gangguan penggunaan narkotika
pada pasien yang dirawat belum diteliti dengan baik. Terlebih lagi, hasil tes tersebut
menjadi sukar diinterpretasi karena hanya mendeteksi penggunaan yang baru dan
tidak mampu membedakan antara penggunaan legal dan penggunaan ilegal, serta
beberapa keterbatasan lain dari uji tersebut (misalnya, banyak opioid yang tidak
bereaksi silang dengan uji urin opiat yang biasanya standar untuk uji morfin).
Identifikasi status kesehatan jiwa secara umum dan penggunaan napza secara
khusus serta masalah yang ditimbulkannya bisa dilakukan dengan cara yang sangat
sederhana seperti pemeriksaan urin dan darah sewaktu atau yang lebih kompleks
yang meliputi wawancara terstruktur, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang,
dan sebagainya. Seringkali penilaian masalah tersebut melibatkan satu atau lebih
instrumen. Cara yang lebih sederhana biasanya menggunakan instrumen yang
sederhana pengoperasiannya, cepat, dan berbiaya relatif murah, tetapi hasilnya
sangat terbatas atau kurang akurat sehingga tidak bisa dijadikan dasar pengobatan.
Cara ini sering disebut dengan skrining. Skrining bermanfaat untuk mengidentifikasi
riwayat penggunaan napza seseorang. Selanjutnya, untuk mendapatkan gambaran
klinis dan masalah yang lebih mendalam dari orang tersebut dipakai cara yang lebih
kompleks, yang sering disebut juga telaah, kajian, atau asesmen. Karena lebih
kompleks, asesmen memerlukan waktu yang lebih lama dan biaya yang lebih mahal,
tetapi hasilnya lebih akurat sehingga dapat dijadikan dasar pengobatan. Asesmen
bermanfaat untuk mengidentifikasi masalah-masalah yang diakibatkan penggunaan
napza secara menyeluruh.
4
8
Skrining Asesmen
Hasil Sewaktu dan final Tidak final, hasil dapat dimodifikasi dengan adanya bukti baru
4
9
Salah satu modifikasi yang membedakan antara ASI dan FAWL adalah ranah ketiga,
yang mana dalam ASI penggunaan alkohol dipisah dari pengunaan zat adiktif
lainnya (sehingga ada tujuh ranah dalam ASI). Keenam ranah kehidupan di atas
tertuang dalam formulir sebagai enam komponen klinis, selain komponen tambahan
yang merupakan modifikasi dalam FAWL.
Sama halnya dalam praktik klinis sehari-hari, seorang tenaga medis (dokter) akan
melakukan anamnesis (baik auto- maupun allo-) tentang riwayat medis lengkap,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan status mental, dan pemeriksaan
penunjang/laboratorium (sebagaimana diperlukan) sebagai bagian dari asesmen
terhadap pasiennya. Berikut ini dijabarkan lebih rinci setiap tindakan tersebut:
5
0
• Riwayat medis umum (misal; sistem pengobatan yang diterima, riwayat trauma dan
pembedahan sebelumnya, riwayat seksual, pengobatan saat ini dan lampau, riwayat
nyeri) b. Pemeriksaan fisik/sistem-organ di dalam asesmen meliputi:
• Kondisi umum (keadaan umum, tanda-tanda
vital)
• Perilaku (tanda-tanda
intoksikasi)
• Keadaan kulit (basah, kemerahan, bekas suntikan, peradangan,
kekuningan, dll)
• Organ mata, telinga, hidung, dan tenggorokan (warna konjungtiva, pupil mata,
pembengkakan selaput lendir, septum nasi, dan lain-lain)
• Sistem pencernaan
(Hepatomegali)
• Sistem respirasi dan kardiovaskular: paru, jantung, dan organ lainnya yang
berhubungan
• Organ reproduksi
• Neurologi (sensori, refleks patologis, fungsi saraf
lainnya) c. Pemeriksaan Status Mental (Dalam bentuk
Checklist)
• Penampilan umum
• Perilaku dan interaksi dengan
asessor
• Pembicaraan
• Aktivitas motorik
• Mood dan afek
• Persepsi
(halusinasi)
• Proses pikir
• Isi pikir (ide-ide bunuh diri, menyakiti orang,
waham)
• Kemampuan menilai: diri (tilikan),
sosial
• Fungsi kognitif (orientasi, daya ingat, konsentrasi, intelegensia) d. Pemeriksaan
penunjang merupakan bagian penting dari asesmen klinis pada pasien
ketergantungan narkotika karena, meskipun tidak dapat dipakai untuk menegakkan
diagnosis, berguna bagi pengembangan rencana terapi yang komprehensif.
Beberapa pemeriksaan penunjang yang direkomendasikan untuk pasien dengan
gangguan penggunaan napza meliputi:
• Pemeriksaan darah dan urin
rutin
• Tes Fungsi Hati (setidaknya SGOT dan
SGPT)
• Tes HIV melalui VCT atau
PITC
• Hepatitis B dan C
• Serologi untuk Infeksi Menular
Seksual
• Tes untuk jenis zat
(Toksikologi)
• Tes kehamilan untuk pasien wanita Jika terdapat indikasi untuk melakukan
pemeriksaan foto Rongent Thorax, EKG, EEG, CT scan, atau MRI, maka
pemeriksaan tersebut dapat pula dilakukan.
5
1
Riwayat penggunaan zat adiktif dan riwayat psikiatrik dalam praktik klinis sehari-hari
merupakan bagian dari riwayat medis yang lengkap, tetapi FAWL memisahkan
ketiganya menjadi tiga komponen terpisah.
5
2
Adiksi dan gangguan jiwa akibat pemakaian zat lainnya merupakan suatu penyakit
otak yang mana zat aktif memengaruhi area pengaturan perilaku. Dengan demikian,
gejala dan tanda utama dari penyakit tersebut adalah perubahan perilaku. Berbeda
dari kebanyakan penyakit lainnya, morbiditas pada adiksi bermula dari pencitraan
diri (self-image, self respect, self-concept, dan sense of self-efficacy s erta
gejala-gejala psikiatrik yang menjadi awal dari penyakit); berlanjut pada hubungan
interpersonal (keluarga, teman dekat, dan hubungan sosial lainnya), kegemaran atau
hobi, status finansial, aspek hukum, prestasi sekolah atau pekerjaan; dan berakhir
pada kerusakan organ atau fisik.
Asesmen mengungkap banyak hal, termasuk hal yang terungkap dalam skrining
tetapi dilakukan secara mendalam dan ditekankan pada area masalah yang
terungkap. Tujuan asesmen adalah untuk mengembangkan rencana terapi dan
untuk menentukan program atau layanan spesifik yang sesuai. Tahapan untuk
asesmen meliputi riwayat penggunaan narkotika, pola penggunaan saat ini, riwayat
kesehatan mental dan gejala saat ini, riwayat dan status kriminalitas, dan area fungsi
psikososial lain, tipe penatalaksanaan dan layanan dukungan yang dibutuhkan.
Dari berbagai manfaat tersebut, asesmen dirasa sangat penting. Dengan
demikian, asesmen menjadi suatu ketrampilan klinis dasar dan salah satu landasan
bagi perawatan pasien yang berkualitas. Asesmen yang baik mampu
menghubungkan diagnosis dengan penatalaksanaan awal, memastikan akurasi dari
diagnosis awal, dan mengidentifikasi perawatan yang paling efisien dan efektif.
Asesmen awal biasanya dilakukan pada saat pasien datang ke layanan. Meskipun
demikian, asesmen awal bisa dilakukan dalam dua minggu pertama perawatan bila
pasien datang dalam kondisi yang tidak memungkinkan asesmen dilakukan (misal,
intoksikasi akut). Asesmen perlu diulang secara periodik untuk mengidentifikasi
masalah-masalah yang baru muncul setelah menjalani penatalaksanaan, contohnya
riwayat kekerasan fisik atau seksual yang baru dilaporkan setelah pasien merasa
lebih nyaman berbicara kepada konselor dan petugas partisipan lainnya. Relaps
yang terjadi, perubahan rencana kehidupan atau pekerjaan, dan masalah baru
lainnya yang terjadi dalam masa pengobatan dapat menjadi dasar untuk melakukan
modifikasi rencana terapi awal menjadi lebih spesifik sesuai dengan kemampuan
penyedia layanan.
5
3
Untuk menstandarkan asesmen ini digunakan sebuah skala 5 poin (0-4) bagi
pasien menilai keparahan masalah mereka dan sejauh mana pasien merasa
terapi adalah penting untuk dirinya.
0 tidak sama sekali 1
ringan 2 sedang 3
berat 4 sangat berat
Penilaian pasien terhadap luas atau parahnya masalahnya di satu area tidak
didasarkan pada persepsinya terhadap masalah-masalah lain. Pewawancara
harus berusaha untuk mengklarifikasi masing-masing penilaian sehingga satu
area masalah yang terpisah, dan memfokuskan periode waktu pada 30 hari
sebelumnya. Jadi, penilaian harus dibuat berdasarkan masalah aktual saat ini,
bukan masalah potensial. Jika seorang pasien melaporkan tidak ada masalah
selama 30 hari sebelumnya, lalu sejauh mana dia telah diganggu oleh
masalah-masalah itu harus 0 dan pewawancara harus menanyakan sebuah
pertanyaan penegasan sebagai pemeriksaan pada informasi sebelumnya.
Contoh penegasan yang dapat diungkapkan, ”Karena anda telah mengatakan
anda tidak mempunyai masalah medis dalam 30 hari terakhir, dapatkah saya
mengasumsikan bahwa pada saat ini anda tidak merasakan kebutuhan untuk
terapi medis apapun?
5
4
5. Klarifikasi
Selama wawancara, upayakan untuk mengklarifikasi respons atau jawaban yang
dianggap penting untuk menghasilkan wawancara yang sahih. Untuk
memastikan kualitas jawaban, pastikan maksud dari tiap pertanyaan ditangkap
jelas oleh pasien. Cara mengajukan pertanyaan tidak harus persis seperti yang
tertulis, pewawancara boleh menggunakan kata-kata sendiri (rephrasing) a tau
sinonim yang sesuai .
Jika pasien merasa tidak nyaman memberikan sebuah jawaban, maka pasien
boleh menolak untuk menjawab. Beri tanda silang di depan nomor pertanyaan.
”Tolong jangan memberikan informasi yang tidak akurat!”.
5
5
Skor Interpretasi
0 – 1 Tak ada masalah nyata, terapi tak dianjurkan
Contoh kasus. Seorang pasien dengan TB paru aktif yang mendapat penilaian
akhir keparahan adalah 9 untuk area medis mengartikan bahwa terapi OAT
(misalnya) memang sangat diperlukan.
Pasien yang menunjukkan sedikit gejala penyakit dapat dinilai dengan taraf
keparahan masalah medis yang rendah. Penilaian keparahan yang sangat tinggi
harus menjadi indikasi yang berhubungan dengan kebutuhan tinggi untuk terapi.
Langkah 1 Dapatkan sebuah rentang skor (dua atau tiga skor) yang paling baik
menggambarkan kebutuhan pasien akan terapi pada saat ini berdasarkan data
obyektif saja 1. Bentuklah sebuah gambaran kondisi pasien berdasarkan butir
obyektif. 2. Formulasikan sebuah rentang perkiraan – kira-kira.
Langkah 2 Pilihlah satu skor di dalam rentang di atas menggunakan hanya data
subjektif di ranah/komponen tersebut. 1. Jika pasien menganggap masalah
sungguh-sungguh dan merasa terapi adalah penting,
pilih skor yang tinggi di dalam rentang itu. 2. Jika pasien menganggap masalah
kurang serius dan menganggap kebutuhan untuk
terapi kurang penting, pilihlah skor yang
rendah.
5
6
1. Teknik Wawancara
Untuk mendapatkan hasil asesmen yang akurat, diperlukan hubungan yang baik atau
terapeutik antara asesor/terapis dengan pasien. Enam sikap dan ketrampilan yang
sebaiknya dimiliki oleh asesor yaitu:
1. Medis 2.
Pekerjaan/Dukungan
3. Zat/Alkohol 4.
Hukum 5.
Keluarga/Sosial 6.
Psikiatris
Penting juga pewawancara menekankan sifat alamiah dari kontribusi pasien.
Misalnya, pewawancara harus menyatakan: “Saya memahami saat seseorang
mempunyai masalah penggunaan narkotika, ternyata banyak masalah lain yang
secara signifikan berpengaruh
5
7
pada penggunaan narkotikanya seperti kondisi medis, pekerjaan, keluarga, dll. Oleh
karena itu, saya akan mengajukan beberapa pertanyaan yang mungkin terkait
dengan masalah penggunaan narkotika anda saat ini.....”
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah jangan memaksakan pasien untuk
memberikan jawaban untuk tiap pertanyaan yang dilakukan, buatlah tanda ’X’ bila
pasien menolak memberikan jawaban.
5
8
Nomor rekam medik : Cantumkan nomor rekam medik pasien atau nomor barcode bila
sudah tersedia
Nama : Cantumkan nama lengkap sesuai dengan tanda identitas diri pasien (KTP) atau identitas
lain serta sama dengan nama yang tertulis dalam status rekam medis. Untuk anak dibawah umur
maka identitas sesuai dengan yang diberikan oleh orang tua atau wali anak tersebut, dan
lampirkan identitas orangtua atau wali anak.
Alamat tempat tinggal : Cantumkan alamat terakhir pasien atau alamat tujuan setelah pasien
selesai terapi. Bila pasien tidak memiliki tempat tinggal tetap, cantumkan alamat dimana pasien
paling sering tinggal
Telepon/HP : Cantumkan nomor telepon rumah atau telepon genggam pasien atau nomor
telepon keluarga/teman terdekat yang dapat dihubungi oleh petugas
Jenis Kelamin : Cantumkan jenis kelamin laki-laki atau perempuan, sesuai yang
terliha
t
1. Informasi Demografis:
1. Status perkawinan:
Cantumkan kode status perkawinannya pada kotak yang diarsir sebelah kanan, sesuai kondisinya saat ini.
Misalkan pasien menjadi sudah menikah, maka tulis angka 2 di kotak yang diarsir
sebelah kananya.
2. Riwayat pendidikan:
Cantumkan kode pendidikan terakhir yang pernah ditempuh pada kotak yang diarsir
sebelah kanan, sebagaimana pencatuman kode perkawinan di atas.
Pada pertanyaan tentang Status Medis hingga Status Psikiatrik, terdapat skala penilaian pasien
pada sebelah kiri masing-masing domain. Skala penilaian pasien wajib diisi dengan cara
bertanya pada pasien setiap asesmen untuk masing-masing domain selesai dilakukan. Hal ini
didasari pertimbangan bahwa pendapat pasien merupakan masukan yang penting. Tanyakan
pada pasien, seberapa pentingnya ia membutuhkan terapi terkait kondisi medisnya. Mintalah
pasien untuk memberi nilai sebagai berikut; 0 = Tidak membutuhkan sama sekali 1 = Agak
membutuhkan 2 = Cukup membutuhkan 3 = Membutuhkan 4 = Sangat membutuhkan
5
9
2. Status Medis:
Cantumkan kapan wawancara tentang status medis pasien dilakukan. Mohon diingat bahwa
wawancara mungkin saja dilakukan tidak bersamaan dengan tanggal kedatangan pasien.
Cantumkan jenis penyakit, tahun rawat dan lamanya perawatan (dalam hari).
Yang dimaksud disini adalah jumlah hari menginap di rumah sakit karena masalah medis,
misalnya karena penyakit typhus, demam berdarah, kecelakaan, atau perawatan medis
lainnya, termasuk over dosis dan delirium tremens. Tidak termasuk: detoksifikasi atau
bentuk lain terapi rehabilitasi alkohol dan napza; perawatan kejiwaan; atau perawatan
karena kelahiran anak secara normal (tanpa komplikasi)
Catatan: elaborasi jawaban pasien secara rinci, dengan menanyakan tahun ketika
perawatan terjadi, kejadian lain dalam kehidupan pasien pada waktu itu, untuk setiap
perawatan. Informasi tambahan membuat proses wawancara lebih mengalir sebagai
sebuah percakapan. Selain itu juga membantu kita melihat kemungkinan keterkaitan
masalah medis dengan waktu-waktu pemakaian Napzanya. Catatlah keterangan ini di
bagian yang kosong dari formulir tersebut.
Cantumkan penyakit kronis yang diderita pasien terutama yang memerlukan perawatan
berkesinambungan (misal: pengobatan, pengaturan diet, ketidakmampuan untuk
menjalankan kegiatan normal). Beberapa contoh dari penyakit kronis adalah: hipertensi,
diabetes, epilepsi, cacat fisik atau penderita HIV yang telah membutuhkan terapi Anti
Retroviral (ARV).
3. Saat ini sedang menjalani terapi medis? Catat kode jawaban pasien pada kotak yang diarsir
sebelah kanan pertanyaan.
Jenis terapi medis: Cantumkan bila pasien saat ini dalam program terapi tertentu, terkait
kondisi medis apa dan jenis terapi medis yang dijalani saat ini, misalnya pengobatan
insulin karena kondisi diabetis.
4. Status kesehatan:
Tanyakan apakah pasien pernah menjalankan tes HIV, Hepatitis B dan C? Tulis kode
jawaban pada kotak yang diarsir sebelah kanan pertanyaan. Apabila pasien tidak
keberatan, tanyakan bagaimana hasilnya.
6
0
Cantumkan kapan wawancara tentang status pekerjaan/dukungan hidup pasien dilakukan. Mohon
diingat bahwa wawancara mungkin saja dilakukan tidak bersamaan dengan tanggal kedatangan
pasien.
1. Status pekerjaan:
Tanyakan apakah pada saat sekarang pasien mempunyai kegiatan atau pekerjaan tertentu.
Tulislah kodenya dikotak yang diarsir. Eksplorasi informasi tambahan dimana dia bekerja dan
sudah berapa lama dia menjalani pekerjaan tersebut. Tuliskan info tambahan di
bagian-bagian yang kosong. Bila tidak ada pekerjaan/kegiatan, langsung ke nomor 4.
3. Kode pekerjaan:
Pilihlah kode pekerjaan sesuai dengan pekerjaan pasien sehari-hari. Tentukan jenis pekerjaan
pasien masuk kelompok yang mana (kategori Holingshead) dan beri tanda dengan dilingkari.
4. Keterampilan teknis yang dimiliki:
Tanyakan pasien tentang pendidikan teknis formal atau pelatihan yang pernah mereka ikuti
dan dapat dituliskan dalam aplikasi pekerjaan (curiculum vitae).
Yang dimaksud dukungan hidup adalah pemberian uang, tempat tinggal, makanan, biaya
pengobatan/perawatan secara teratur dari berbagai sumber, kecuali institusi (mis. yayasan).
Catatan: Pasien yang tinggal dengan orang tua diatas usia 18 tahun, dianggap juga
menerima dukungan hidup, setidaknya dari segi tempat tinggal dan/atau makanan).
6
1
Kategori
Holingstead
1. Eksekutif pengambil keputusan tertinggi, profesional utama, pemilik perusahaan besar 2. Manajer
bisnis ukurang menengah; profesi (mis. dokter, perawat, apoteker, pekerja sosial
profesional, guru, psikolog, dll 3. Tenaga administratif, penyelia (supervisor, pemilik perusahaan kecil
(mis. perusahaan roti, show
room mobil kecil, dll), dekorator, aktor, agen perjalanan, dll 4. Klerk, sales, teknisi, bisnis kecil (kasir
bank/teller, petugas pembukuan, juru gambar, pencatat
waktu, sekretaris) 5. Manual terlatih (biasanya dalam menjalankan tugas, perlu menerima pelatihan),
misalnya tukang
roti, tukang cukur, montir, juru masak, montir, tukang cat, penjahit, dll) 6. Semi-terlatih,
mis. pembantu rumah sakit, tukang cat, pelayan, pelayan, supir, dll 7. Tidak terlatih
(pembantu, penjaga, buruh, tukang parkir, dll)
DAFTAR ZAT YANG UMUM DIGUNAKAN:
Zat-zat lain yang juga disalahgunakan di Indonesia adalah dekstrometrofan, triheksifenidil (THP),
gama-hidroksibutirit asid (GHB), ketamin, dan beberapa zat lain yang tidak dapat digolongkan pada
jenis zat-zat di atas, karena lebih sebagai prekursor (bahan dasar), demikian juga penggunaan
napza baru (NPS/New Psychoactive Substance) . Apabila pasien menggunakan zat-zat yang tidak
dapat digolongkan pada golongan besar di atas, silakan ditulis pada bagian paling bawah jenis
Napza dalam domain riwayat penggunaan NAPZA.
6
2
4. Status PenggunaanNarkotika :
Cantumkan kapan wawancara tentang status penggunaan narkotika pasien dilakukan. Mohon diingat
bahwa wawancara mungkin saja dilakukan tidak bersamaan dengan tanggal kedatangan pasien. D1 –
D11. Pertanyaan tentang status penggunaan narkotika terdiri dari 3 komponen: - Penggunaan 30
hari terakhir
Tanyakan apakah pasien menggunakan zat terkait (D1 – D12) dalam 30 hari terakhir atau sebulan
terakhir. Bila ya, berapa harikah dalam sebulan lalu pasien menggunakannya. Penekanan adalah
pada jumlah hari, bukan dosis harian. Tuliskan jawaban pasien dalam format dua digit. Misalkan 8
hari, maka ditulis 08 pada kolom-kolom jawaban
- Penggunaan sepanjang hidup (dalam tahun)
Mencatat periode penggunaan tetap NAPZA. Yang dimaksud penggunaan tetap adalah: ✓ frekuensi
3 kali atau lebih tiap minggunya; ✓ penggunaan hanya dua hari seminggu atau tidak tentu, tetapi
selalu dalam kondisi mabuk berat
atau menimbulkan problem pekerjaan, sekolah, atau kehidupan keluarga ✓ minum alkohol sesekali tetapi
setiap kali minum dalam frekuensi terus menerus hingga
menimbulkan intoksikasi berat. Perhitungan waktu menggunakan ”half rule time” yaitu enam
bulan ke bawah dihitung 0 (nol) tahun dan enam bulan atau lebih dihitung 1 (satu) tahun.
- Cara pakai
Terdapat lima cara pakai NAPZA, yaitu: ✓
Oral (kode 1); ✓
Nasal/suppositoria/sublingual (kode 2); ✓
Dirokok (kode 3); ✓ Suntik intra muskular
(kode 4) dan ✓ Suntik intravena (kode 5).
Tulislah kodenya pada kotak cara pakai. Risiko penggunaan dicerminkan dari kode yang ada.
Semakin besar nilai kodenya, semakin berisiko. Bila pasien menggunakan dua cara, misalnya oral
(kode 1) dan suntik intravena (kode 5), maka yang ditulis dalam kotak cara pakai adalah kode 5.
Namun demikian pewawancara diharapkan menulis catatan penggunaan lainnya pada bagian yang
kosong.
Catatan: Penting menanyakan riwayat semua jenis zat (dari D1 hingga D12) yang pernah digunakan
tanpa memperhatikan masalah saat ini (misal, pengguna alkohol mungkin menggabungkan zat
dengan minum alkohol; seorang pengguna kokain mungkin tanpa menyadari akan masalah minum
alkohol).
Sebagai informasi tambahan tanyakan Kuantitas penggunaan tiap hari, perkiraan jumlah uang
yang dihabiskan untuk zat perhari dan bagaimana pola penggunaannya (hanya pada akhir minggu,
misalnya).
D12. Zat Multipel Untuk mencatat informasi tentang kombinasi penggunaan zat. Dalam 30 hari
terakhir, tanyakan berapa hari pasien menggunakan lebih dari satu macam zat termasuk alkohol.
Dalam penggunaan sepanjang hidup tanyakan pasien berapa lama ia secara tetap (umumnya 3 kali
per minggu selama satu bulan atau lebih) menggunakan lebih dari satu zat per hari termasuk alkohol.
6
3
5. Status Legal :
Berapa kali kah dalam hidup anda ditangkap dan dituntut dengan hal berikut Catatlah jumlah
penangkapan dengan tuduhan resmi (tidak selalu harus berakibat pemenjaraan) yangdialami pasien
sepanjang hidupnya, untuk masing-masing jenis tindakan yang tertera pada nomor 1 hingga 14.
Misalkan, pasien mengalami penangkapan karena pemalsuan resep sebanyak 10 kali sepanjang
hidupnya. Maka, tuliskan dalam format dua digit pada kotak di sebelah kanannya Catatan: Jangan
masukkan kejahatan remaja (sebelum usia 18), kecuali jika pengadilan mengadili pasien sebagai orang
dewasa, yang terjadi dalam kasus kejahatan yang sangat serius.
Catatlah berapa kali penangkapan dan penuntutan pada poin 1 – 14 berakibat pada vonis
hukuman. Dalam hal ini termasuk denda, masa percobaan, penundaan hukuman dan juga
hukuman yang memerlukan penahanan. Tuntutan untuk pembebasan bersyarat dan/atau
pelanggaran masa percobaan dianggap vonis hukuman.
6
4
6. Riwayat Keluarga/Sosial:
1. Dalam situasi seperti apakah anda tinggal 3 tahun belakangan?
Tulislah kode pilihan pasien pada kotak yang diarsir sebelah kanan. Pilihan menggambarkan dalam
situasi apa pasien hidup selama 3 tahun terakhir. Bila terdapat berbagai situasi, pilihlah yang paling
mewakili periode 3 tahun terakhir. Jika jumlah waktu atas masing-masing situasi kurang lebih
sama, pilihlah situasi yang paling terakhir.
2. Apakah anda hidup dengan seseorang yang mempunyai masalah penyalahgunaan zat
sekarang
ini?
Tulislah kode pilihan pasien pada kotak yang diarsir sebelah kanan. Apabila jawabannya tidak,
dapat langsung bertanya pertanyaan nomor 4.
Tulislah kode pilihan pasien pada kotak yang diarsir sebelah kanan.
Catatan: perjelas hubungan pasien dengan orang yang menggunakan zat
(ayah/ibu,abang/kakak/adik, suami/istri/pasangan, keluarga,lainnya)
Tulislah kode 1 untuk ya dan kode 0 untuk tidak pada kolom waktu berikut ini: 30 hari terakhir:
Tanyakan apakah pasien mengalami konflik dengan pihak-pihak yang tertera pada pilihan no 1 sampai
9, dalam 30 hari terakhir atau sebulan terakhir. Sepanjang hidup: Tanyakan apakah pasien
sebelumnya mengalami konflik dengan pihak-pihak yang tertera pada pilihan no 1 sampai 9, sepanjang
hidupnya. Bila pasien menjawab ya untuk 30 hari terakhir, tidak berarti otomatis ia mengalami konflik
yang sama sepanjang hidupnya. Atau sebaliknya, apabila ia mengalami konflik sepanjang hidupnya,
belum tentu ia mengalaminya dalam 30 hari terakhir.
6
5
7. Status Psikiatris :
Apakah anda pernah mengalami hal-hal berikut ini (yang tidak merupakan akibat langsung
dari penggunaan zat):
1 – 9 : Tulislah kode 1 untuk ya dan kode 0 untuk tidak pada kolom waktu berikut ini:
30 hari terakhir:
Tanyakan apakah pasien mengalami kondisi yang tertera pada pilihan no 1 sampai 9, dalam 30 hari
terakhir atau sebulan terakhir.
Sepanjang hidup:
Tanyakan apakah pasien sebelumnya mengalami kondisi yang tertera pada pilihan no 1 sampai 9,
sepanjang hidupnya. Bila pasien menjawab ya untuk 30 hari terakhir, tidak berarti otomatis ia
mengalami situasi tersebut sepanjang hidupnya. Atau sebaliknya, apabila ia mengalami situasi
tertentu sepanjang hidupnya, belum tentu ia mengalaminya dalam 30 hari terakhir.
Pemeriksaan Fisik :
1 – 4 Tuliskan kondisi fisik pasien (tekanan darah, nadi, pernapasan dan suhu) sesuai pemeriksaan yang
dilakukan.
Sistem pencernaan : inspeksi bentuk abdomen, ada luka atau skar; palpasi perbagaan otot perut,
hati, limpa, adanya massa, asites; auskultasi bunyi usus
Sistem Jantung dan Pembuluh Darah :inspeksi bentuk thorax, kemungkinan adanya tanda
sianosis; palpasi daerah precortex; auskultasi frekuensi denyut jantung.
Sistem Pernapasan: inspeksi bentuk thorax, jenis pernapasan, retraksi iga; palpasi krepitasi;
perkusi; auskultasi suara napas
Sistem Saraf Pusat: tes sensorik rangsang nyeri atau panas ekstremitas atas dan bawah; tes
motorik ada tidaknya parese atau plegia; tes keseimbangan.
THT dan Kulit: apakah ada penurunan pendengaran, cairan telinga, membran timpani utuh / tidak;
bagaimana kondisi hidung; kondisi tenggorokan; kondisi kulit apakah ada rash, erupsi, skar, tato,
atau kelainan kulit lain.
6. Hasil Urinalisis:
Melalui prosedur skrining, tuliskan hasil urinalisis untuk masing-masing jenis zat yang diperiksa
dengan kode 1 untuk hasil positif dan kode 0 untuk hasil negatif pada kotak yang diarsir sebelah
kanan.
6
6
Kesimpulan:
Buatlah kesimpulan tentang pasien untuk masing-masing domain yang ada dengan mempertimbangkan
hasil asesmen dan pendapat subyektif pasien dalam skala penilaian.
Penilaian dapat berkisar pada satu hingga tiga nilai, bergantung pada pertimbangan pewawancara:
0-1: Tidak ada masalah yang berarti, pasien tidak membutuhkan intervensi / bantuan
2-3: Ada sedikit masalah, tetapi intervensi / bantuan tidak terlalu penting 4-5:
Masalah tergolong sedang, dibutuhkan beberapa intervensi 6-7: Masalah serius,
dibutuhkan intervensi / terapi / bantuan 8-9: Masalah sangat serius, pasien sangat
membutuhkan intervensi / terapi /
Gangguan jiwa penyerta adalah adalah gangguan jiwa bukan akibat penggunaan zat
psikoaktif yang menyertai gangguan mental dan perilaku akibat pengunaan zat
uatu survey dalam
psikoaktif. Kondisi ini populer dengan sebutan dual diagnoses. S
komunitas yang besar melaporkan bahwa 76% laki-laki dan 65% perempuan dengan
gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat psikoaktif menderita gangguan
jiwa lainnya. Gangguan jiwa yang banyak menyertai gangguan mental dan perilaku
akibat penggunaan zat psikoaktif antara lain gangguan kepribadian antisosial, fobia
(dan gangguan cemas lainnya), gangguan depresi berat, dan
6
7
gangguan distimia. Secara umum, makin poten suatu zat makin tinggi frekuensi
gangguan jiwa penyertanya. Contoh, orang dengan ketergantungan metamfetamin
sering ditemukan juga menderita gangguan depresi mayor.
Komorbiditas gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat psikoaktif dan
ganguan jiwa lainnya bisa dijelaskan melalui beberap fenomena. Fenomena pertama,
zat psikoaktif (napza) bekerja di susunan saraf pusat dan bermanifestasi pada
perubahan pikiran, perasaan, dan perilaku sampai dengan taraf gangguan jiwa. Contoh,
gangguan psikotik pada orang dengan ketergantungan aktif kokaina. Fenomena ini
tidak dapat disebut kondisi dual diagnoses k arena gangguan psikotiknya disebabkan
oleh kokaina. Fenomena kedua, orang yang menggunakan napza untuk mengurangi,
bahkan menghilangkan, ketidaknyamanan yang ditimbulkan oleh gangguan jiwa yang
sudah ada sebelumnya (sering disebut juga self-medication). Fenomena lainnya adalah
pengguna napza yang menderita gangguan jiwa tetapi hubungan patogenesis diantara
keduanya tidak dapat dijelaskan (serupa dengan orang dengan kencing manis yang
terinfeksi virus influenza). Kedua fenomena terakhir ini dapat disebut kondisi dual
diagnoses. Untuk dapat memastikan sifat hubungan antara penggunaan narkotika dan
gangguan jiwa yang menyertainya dibutuhkan ketelitian dalam melakukan anamnesis
untuk mendapatkan riwayat penyakit sekarang dan terdahulu.
Penggolongan Dan Kriteria Diagnostik Gangguan Mental Dan Perilaku Akibat Pemakaian
Zat Psikoaktif
6
8
Selain delapan kondisi di atas, PPDGJ III membuka kemungkinan untuk kondisi klinis
yang terinci lainnya (gangguan mental dan perilaku lainnya akibat pemakaian zat
psikoaktif) dan kondisi klinis yang tak terinci (gangguan mental dan perilaku YTT akibat
pemakaian zat psikoaktif).
Gejala intoksikasi tidak selalu mencerminkan aksi primer dari zat. Sebagai contoh,
zat depresan dapat menimbulkan gejala agitasi atau hiperativitas, dan zat stimulan
menimbulkan penarikan diri secara sosial atau perilaku introvert. Efek zat sepserti
kanabis dan halusinogenika mungkin sukar diramal. Lebih-lebih, banyak zat
psikoaktif mampu menimbulkan berbagai bentuk efek ayng berbeda pada tingkat
dosis yang berbeda. Sebagai contoh, alkohol rupanya dapat mempunyai efek
stimulan pada perilaku dalam dosis yang lebih rendah, namun dapat meyebabkan
agitasi dan agresi dengan meningkatnya dosis, dan menimbulkan sedasi yang jelas
pada dosis yang sangat tinggi.
6
9
2. Pedoman diagnostik PPDGJ III untuk penggunaan yang
merugikan:
Untuk menegakkan diagnosis harus ada cedera nyata pada kesehatan jiwa atau
fisik pengguna.
Pola penggunaan yang merugikan sering dikecam oleh pihak lain dan sering kali
disertai berbagai konsekuensi sosial yang tidak diinginkan. Bila suatu pola
penggunaan atau suatu zat tertentu tidak disetujui oleh orang lain atau oleh budaya
setempat, atau menjurus kepada konsekuensi yang negatif secara sosial seperti
penahanan atau cekcok dalam perkawinan bukanlah merupakan bukti dari adanya
penggunaan yang merugikan.
Intoksikasi akut atau “hangover” sendiri bukanlah merupakan bukti cukup untuk
pemberian kode pengunaan yang merugikan.
7
0
Ciri khas penting dari sindrom ketergantungan ialah penggunaan atau keinginan
untuk menggunakan zat psikoaktif. Kesadaran subjektif adanya kompulsi untuk
menggunakan zat biasanya ditemukan ketika berusaha untuk menghentikan atau
mengatasi penggunaan zat. Syarat diagnostik ini mengecualikan pasien pasca
bedah yang mendapatkan opioida untuk menghilangkan rasa nyeri dan kemudian
menunjukkan tanda-tanda keadaan putus zat bila zat tidak diberikan, namun mereka
sebenarnya tidak menginginkan untuk melanjutkan penggunaan zat.
Sindrom ketergantungan dapat juga terjadi terhadap bahan/zat yang spesifik, atau
pada golongan zat tertentu, atau pada aneka ragam zat.
Keadaan putus zat hendaknya dicatat sebagai diagnosis utama, bila hal ini
merupakan alasan rujukan dan cukup parah sehingga memerlukan perhatian medis
secara khusus.
Gejala fisik bervariasi sesuai dengan zat yang digunakan. Gangguan psikologis
merupakan gambaran umum dari keadaan ptuts zat ini. Yang khas ialah pasien
akan melaporkan bahwa gejala putus zat akan mereda dengan meneruskan
penggunaan zat.
Perlu diingat bahwa gejala putus zat dapat diinduksi dengna rangsang yang
terkondisi/ dipelajari walaupun tanpa penggunaan zat sebelumnya. Pada kasus
yang demikian, diagnosis keadaan putus zat hendaknya dibuat hanya apabila taraf
keparahaan putus obatnya cukup berarti.
7
1
Pedoman diagnostik PPDGJ III untuk masing-masing kondisi klinis di atas agak sukar
digunakan karena penjabarannya sebagian besar berupa kalimat dalam alinea. Untuk
kepentingan praktis, dapat dipakai kriteria diagnostik untuk penelitian (DCR-10), yang
merupakan penyerta ICD-10 (sumber PPDGJ III) atau kriteria diagnostik dari Diagnostic
and Statistical Manual of Mental Disorders e disi keempat dengan revisi teks
(DSM-IV-TR).
a. Bukti jelas dari penggunaan baru zat psikoaktif pada tingkat dosis yang cukup tinggi
yang
konsisten dengan intoksikasi. b. Gejala atau tanda dari intoksikasi sesuai dengan
kerja dari zat dan cukup parah untuk menyebabkan gangguan dalam tingkat kesadaran,
kognisi, persepsi, afek, atau perilaku yang bermakna klinis. c. Bukan disebabkan oleh
suatu gangguan medis yang tak berhubungan dengan penggunaan
zat, dan bukan disebabkan oleh gangguan mental atau perilaku
lainnya.
Intoksikasi akut sering timbul pada orang-orang dengan masalah terkait-alkohol atau
–zat yang menetap. Bila ada masalah-masalah tersebut, seperti penggunaan yang
merugikan, sindrom ketergantungan, atau gangguan psikotik akibat penggunaan zat
psikoaktif, masalah tersebut harus dicatat.
Intoksikasi alkohol akut ditandai dengan kriteria umum untuk intoksikasi akut terpenuhi;
perilaku disfungsional yang terbukti dengan sedikitnya satu dari tujuh perilaku berikut:
disinhibisi, argumentatif, agresi, suasana perasaan labil, perhatian terganggu, daya nilai
terganggu, dan gangguan fungsi personal; dan sedikitnya satu dari tanda berikut: jalan
sempyongan, kesukaran berdiri, slurred speech, nystagmus, penurunan tingkat
kesadaran (misalnya stupor, koma), wajah memerah, dan injeksi konjungtival.
Intoksikasi alkohol akut yang parah bisa disertai dengan hipotensi, hipotermia, dan
depresi refleks muntah.
Intoksikasi opioida akut ditandai dengan kriteria umum untuk intoksikasi akut yang
terpenuhi; perilaku disfungsional yang terbukti dengan sedikitnya satu dari enam
perilaku berikut: apati dan sedasi, disinhibisi, retardasi psikomotor, hendaya perhatian,
hendaya daya nilai, dan gangguan fungsi personal; dan sedikitnya satu dari empat
tanda berikut: mengantuk, slurred speech, konstriksi pupil (kecuali pada anoksia akibat
dosis berlebih yang berat dimana terjadi dilatasi pupil), dan penurunan tingkat
kesadaran (misalnya stupor, koma). Intoksikasi opioida akut yang parah bisa disertai
dengan depresi pernafasan (dan hipoksia), hipotensi, dan hipotermia.
7
2
Intoksikasi kanabinoida akut ditandai dengan kriteria umum untuk intoksikasi akut
terpenuhi; perilaku disfungsional atau gangguan persepsi yang meliputi sedikitnya satu
dari dua belas berikut: euforia dan disinhibisi, kecemasan atau agitasi, curiga atau
ide-ide paranoid, perlambatan waktu (rasa seperti waktu berjalan sangat lambat,
dan/atau pengalaman ide-ide mengalir cepat), hendaya daya nilai, hendaya perhatian,
hendaya waktu reaksi, ilusi auditori, visual, atau taktil, halusinasi dengan orientasi baik,
depersonalisasi, derealisasi, dan gangguan fungsi personal; dan sedikitnya satu dari
empat tanda berikut: peningkatan nafsu makan, mulut kering, injeksi konjungktival, dan
takikardia.
Intoksikasi kokain akut ditandai dengan kriteria umum untuk intoksikasi akut terpenuhi;
perilaku disfungsional atau abnormalitas persepsi yang terbukti dengan sedikitnya satu
dari sebelas berikut: euforia dan sensasi peningkatan energi, hypervigilance, keyakinan
atau tindakan grandios (kebesaran), kekerasan atau agresi, argumentatif, kelabilan
suasana perasaan, perilaku stereotipik repetitif, ilusi (auditori, visual, atau taktil),
halusinasi biasanya dengan orientasi intak, ide-ide paranoid, dan gangguan fungsi
personal (sudah terlihat jelas dari interaksi sosial pengguna, mulai dari gregariousness
yang ekstrem sampai dengan withdrawal s osial); dan sedikitnya dua dari sebelas tanda
berikut: takikardia (terkadang bradikardia), aritmia kardiak, hipertensi (terkadang
hipotensi), berkeringat dan menggigil, mual atau muntah, bukti penurunan berat badan,
dilatasi pupil, agitasi (terkadang retardasi) psikomotor, kelemahan otot, nyeri dada, dan
kejang.
Intoksikasi akut akibat penggunaan stimulan selain kokain ditandai dengan kriteria
umum untuk intoksikasi akut terpenuhi; perilaku disfungsional atau abnormalitas
persepsi yang terbukti dengan sedikitnya satu dari sebelas berikut: euforia dan sensasi
peningkatan energi, hypervigilance, keyakinan atau tindakan grandios (kebesaran),
kekerasan atau agresi, argumentatif, kelabilan suasana perasaan, perilaku stereotipik
repetitif, ilusi (auditori, visual, atau taktil), halusinasi biasanya dengan orientasi intak,
ide-ide paranoid, dan gangguan fungsi
7
3
personal (sudah terlihat jelas dari interaksi sosial pengguna, mulai dari gregariousness
yang ekstrem sampai dengan withdrawal s osial); dan sedikitnya dua dari sebelas tanda
berikut: takikardia (terkadang bradikardia), aritmia jantung, hipertensi (terkadang
hipotensi), berkeringat dan menggigil, mual atau muntah, bukti penurunan berat badan,
dilatasi pupil, agitasi (terkadang retardasi) psikomotor, kelemahan otot, nyeri dada, dan
kejang.
Intoksikasi halusinogen akut ditandai dengan kriteria umum untuk intoksikasi akut
terpenuhi; perilaku disfungsional atau abnormalitas persepsi yang terbukti dengan
sedikitnya satu dari sebelas berikut: kecemasan dan ketakutan, ilusi atau halusinasi
(auditori, visual, atau taktil) yang timbul dalam keadaan terjaga penuh, depersonalisasi,
derealisasi, ide-ide paranoid, ide-ide rujukan, kelabilan suasana perasaan,
hiperaktivitas, tindakan impulsif, hendaya perhatian, dan gangguan fungsi personal; dan
sedikitnya dua dari tujuh tanda berikut: takikardia, palpitasi, berkeringat dan menggigil,
tremor, pandangan buram, dilatasi pupil, dan inkoordinasi.
Intoksikasi nikotin akut ditandai dengan kriteria umum untuk intoksikasi akut terpenuhi;
perilaku disfungsional atau abnormalitas persepsi yang terbukti dengan sedikitnya satu
dari lima berikut: insomnia, mimpi aneh (bizarre), kelabilan suasana perasaan,
derealisasi, dan gangguan fungsi personal; dan sedikitnya satu dari empat tanda
berikut: mual atau muntah, berkeringat, takikardia, dan aritmia jantung.
Intoksikasi akut akibat penggunaan pelarut yang mudah menguap ditandai dengan
kriteria umum untuk intoksikasi akut terpenuhi; perubahan perilaku yang meliputi
sedikitnya satu dari delapan perilaku berikut: apati dan letargi, argumentatif, kekerasan
atau agresi, kelabilan suasana perasaan, hendaya daya nilai, hendaya perhatian dan
daya ingat, retardasi psiko-motor, dan gangguan fungsi personal; dan sedikitnya satu
dari tujuh tanda berikut: jalan sempoyongan, kesukaran berdiri, slurred speech,
nystagmus, penurunan tingkat kesadaran, kelemahan otot, dan pandangan buram atau
diplopia. Intoksikasi akut akibat penggunaan inhalansia dicatat di sini. Intoksikasi akut
akibat penggunaan pelarut yang mudah menguap bila parah bisa disertai dengan
hipotensi, hipotermia, dan depresi refleks muntah.
Kriteria intoksikasi akut akibat penggunaan m ulti zat dan z at psikoaktif lainnya
dipakai ketika terdapat bukti intoksikasi yang disebabkan oleh penggunaan baru zat
psikoaktif lain (misalnya phencyclidine) atau multi zat psikoaktif yang tidak pasti zat
mana yang menonjol.
7
4
a. Bukti yang jelas penghentian atau pengurangan baru dari penggunaan zat setelah
penggunaan berulang, dan biasanya berkepanjangan dan/atau dosis-tinggi dari zat
tersebut. b. Gejala dan tanda sesuai dengan gambaran dari keadaan putus zat dari zat
tersebut. c. Tidak disebabkan oleh suatu gangguan medis yang tak berhubungan
dengan penggunaan zat,
dan tidak disebabkan oleh gangguan mental atau perilaku
lainnya.
Keadaan putus alkohol ditandai dengan kriteria umum untuk keadaan putus zat
terpenuhi disertai adanya tiga dari sepuluh hal berikut: tremor (dari tangan yang
direntangkan, lidah, atau kelopak mata), berkeringat, mual atau muntah, takikardia atau
hipertensi, agitasi psikomotor, sakit kepala, insomnia, lesu atau kelemahan, halusinasi
atau ilusi (visual, taktil, atau auditori) yang hilang-timbul, dan kejang grand-mal.
Keadaan putus opioida ditandai dengan kriteria umum untuk keadaan putus zat
terpenuhi disertai adanya tiga dari dua belas hal berikut: nagih obat opioida, rinorea
atau bersin-bersin, lakrimasi, nyeri atau kram otot, kram perut, mual atau muntah, diare,
dilatasi pupil, piloereksi atau menggigil berulang, takikardia atau hipertensi, menguap,
dan tidur gelisah.
7
5
lidah, atau kelopak mata), mual atau muntah, takikardia, hipotensi postural, agitasi
psikomotor, nyeri kepala, insomnia, lesu atau kelemahan, halusinasi atau ilusi (visual,
taktil, atau auditori) yang hilang-timbul, ide-ide paranoid, dan kejang grand mal. Bila ada
delirium, harus dibuat diagnosis keadaan putus sedatifa-hipnotika dengan delirium.
Keadaan putus kokain ditandai dengan kriteria umum untuk keadaan putus zat
terpenuhi; suasana perasaan disforik (contohnya kesedihan atau anhedonia); dan dua
dari enam gejala dan tanda berikut: letargi dan kelelahan, retardasi psikomotor atau
agitasi, nagih kokain, peningkatan nafsu makan, insomnia atau hipersomnia, dan mimpi
tau yang tak menyenangkan.
bizarre a
Keadaan putus stimulan selain kokain ditandai dengan kriteria umum untuk keadaan
putus zat terpenuhi; suasana perasaan yang disforik (contohnya kesedihan atau
anhedonia); dan dua dari enam gejala dan tanda berikut: letrgi dan kelelahan, retardasi
psikomotor atau agitasi, nagih obat-obat stimulan, peningkatan nafsu makan, insomnia
atau hipersomnia, dan mimpi bizarre atau yang tidak menyenangkan.
Keadaan putus nikotin ditandai dengan kriteria umum untuk keadaan putus zat
terpenuhi disertai dua dari sepuluh gejala dan tanda berikut: nagih tembakau (atau
produk yang mengandung nikotin lainnya), lesu atau kelemahan, kecemasan, suasana
perasaan yang disforik, mudah tersingggung atau gelisah, insomnia, peningkatan nafsu
makan, peningkatan batuk, ulserasi mulut, dan kesukaran berkonsenterasi.
7
6
d. Bukti toleransi terhadap efek zat, seperti adanya kebutuhan untuk meningkatkan
secara jelas jumlah zat untuk mencapai intoksikasi atau efek yang dikehendaki, atau
terjadi penurunan efek yang nyata dengan penggunaan berkelanjutan dengan jumlah
yang sama dari zat. e. Praokupasi dengan penggunaan zat, yang termanifestasi
dengan: kesenangan atau minat alternatif yang penting dikurbankan atau dikurangi
dikarenakan penggunaan zat, sejumlah besar waktu dipakai dalam aktivitas yang
diperlukan untuk mendapatkan zat, mengonsumsi zat, atau pulih dari efeknya. f. Tetap
menggunakan zat meskipun terdapat bukti jelas adanya konsekuensi yang merugikan,
yang terbukti dengan penggunaan berlanjut ketika orang tersebut sebenarnya
menyadari, atau diharapkan sudah menyadari sifat kerugiannya.
Kriteria diagnosis DSM-IV-TR untuk ketergantungan zat: Suatu pola penggunaan zat
yang maladaptif, secara klinis mengarah pada gangguan atau penderitaan yang
signifikan, diperlihatkan dengan 3 atau lebih dari hal dibawah ini, muncul kapanpun
dalam periode 12 bulan.
7
7
7
8
gejala-gejala psikotik tersebut menetap selama lebih dari 48 jam; dan durasi gangguan
tak lebih dari enam bulan.
A. kondisi dan gangguan memenuhi kriteria untuk sindrom individual tercantum dibawah
harus berhubungan jelas dengan penggunaan zat. Bila awitan dari kondisi tersebut
timbul setelah penggunaan zat psikoaktif, harus dapat ditunjukkan bukti kuat yang
mendemonstrasikan hubungannya. a. Kilas balik b. Gangguan kepribadian atau
perilaku c. Gangguan afektif residual d. Demensia e. Hendaya kognitif menetap lainnya
f. Gangguan psikotik awitan-lambat
7
9
Klasifikasi PPDGJ III dan ICD-10 untuk gangguan jiwa akibat penggunaan
narkotika
Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Zat Psikoaktif (F1x.xx) Gangguan mental dan perilaku akibat
penggunaan alkohol (F10.xx) Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan opioida (F11.xx) Gangguan
mental dan perilaku akibat penggunaan kanabinoida (F12.xx) Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan
sedativa atau hipnotika (F13.xx) Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan kokain (F14.xx) Gangguan
mental dan perilaku akibat penggunaan stimulansia lain termasuk kafein (F15.xx) Gangguan mental dan
perilaku akibat penggunaan halusinogenika (F16.xx) Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan
tembakau (F17.xx) Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan pelarut yang mudah menguap (F18.xx)
Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat multipel dan penggunaan zat psikoaktif lainnya
(F19.xx) Intoksikasi akut (F1x.0x) Tanpa komplikasi (F1x.00) Dengan trauma atau cedera tubuh lainnya
(F1x.01) Dengan komplikasi medis lainnya (F1x.02) Dengan delirium (F1x.03) Dengan distorsi persepsi (F1x.04)
Dengan koma (F1x.05) Dengan konvulsi (F1x.06) Intoksikasi patologis alkohol (F10.07) Penggunaan
yang
merugikan (F1x.1) Sindrom ketergantungan (F1x.2x) Kini abstinen (F1x.20) Kini abstinen tetapi
dalam lingkungan terlindung (F1x.21) Kini dalam pengawasan klinis atau dengan pengobatan pengganti
(ketergantungan terkendali) (F1x.22) Kini abstinen tetapi mendapat terapi aversif atau obat penyekat (F1x.23) Kini
sedang menggunakan zat (ketergantungan aktif) (F1x.24) Penggunaan berkelanjutan (F1x.25) Penggunaan
putus zat (F1x.3x) Tanpa komplikasi (F1x.30) Dengan komplikasi (F1x.31)
episodik (F1x.26) Keadaan
Keadaan putus zat dengan delirium (F1x.4x) Tanpa konvulsi (F1x.40) Dengan konvulsi (F1x.41)
Gangguan psikotik (F1x.5x) Lir-skizofrenia (F1x.50) Predominan waham (F1x.51) Predominan halusinasi
(F1x.52) Predominan polimorfik (F1x.53) Predominan gejala depresif (F1x.54) Predominan gejala manik (F1x.55)
Campuran (F1x.56) Sindrom Amnestik (F1x.6) Gangguan psikotik residual dan onset
lambat (F1x.7x) Kilas balik (F1x.70) Gangguan kepribadian atau perilaku (F1x.71) Gangguan afektif residual
(F1x.72) Demensia (F1x.73) Hendaya kognitif menetap lainnya (F1x.74) Gangguan psikotik onset lambat (F1x.75)
Gangguan mental dan perilaku lainnya (F1x.8) Gangguan mental dan perilaku yang
tak terinci (F1x.9)
8
0