Anda di halaman 1dari 96

MODU

ASESMEN DAN RENCANA TERAPI


GANGGUAN PENGGUNAAN
NARKOTIKA
Edisi Revisi 2018

DIREKTORAT PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN


MASALAH KESEHATAN JIWA DAN NAPZA

KEMENTERIAN
KESEHATAN RI

DAFTAR
ISI

TIM PENYUSUN ............................................................ 3

1. MATERI DASAR 1 ............................................................ 4

2. MATERI DASAR 2 ............................................................ 19

3. MATERI INTI 1 ............................................................ 27

4. MATERI INTI 2 ............................................................ 46

5. MATERI INTI 3 ............................................................ 81

6. MATERI INTI 4 ............................................................ 94

7. MATERI INTI 5 ............................................................ 114

8. MATERI INTI 6 ............................................................ 124


2

TIM
PENYUSUN

1. dr. Parulian Sandy Noveria, MKK 2.


dr. Carlamia Lusikooy, SpKJ 3. dr.
Zulvia Oktanida Syarif, SpKJ 4. dr.
Arry Fadilah, MARS 5. Debby F.
Hernawaty, M.Psi, P.si 6. Drg. Luki
Hartanti, MPH 7. dr. Herbet Sidabutar,
Sp.KJ 8. dr. Lusy Levina 9. dr. Lucia
Maya Savitri, MARS 10. dr. Hans
Christian Dharma, SpKJ 11. Wini
Wulansari, S.Si, MKM
3

MATERI DASAR
1

KEBIJAKAN WAJIB LAPOR DAN REHABILITASI MEDIS PECANDU


NARKOTIKA

I. DESKRIPSI
SINGKAT

Perkembangan legislasi dan kebijakan terkait masalah NAPZA belakangan ini


mengarah pada upaya untuk mendekriminalisasi pecandu Narkotika, dimana
pecandu Narkotika diharapkan tidak lagi menjalani pemenjaraan, melainkan
menjalani terapi dan rehabilitasi, baik medis, psikologis maupun sosial. Hal ini
tertuang dalam Undang-Undang Narkotika No. 35/2009. Perubahan tersebut didasari
oleh fakta bahwa kondisi kesehatan mereka yang mengalami ketergantungan
NAPZA pada umumnya mengalami penurunan secara signifikan. Semangat untuk
mempersepsikan pecandu dari sudut pandang penyakit tentu sejalan dengan pasal 4
Undang-Undang Kesehatan No. 36/2009, yang menyatakan bahwa “setiap orang
berhak atas kesehatan”.

Undang-Undang Narkotika No. 35/2009 mengamanahkan dilakukannya proses wajib


lapor pecandu narkotika ke Puskesmas, Rumah Sakit dan/atau lembaga rehabilitasi
medis dan lembaga rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh pemerintah untuk
mendapat pengobatan dan perawatan. Untuk mendukung pelaksanaan wajib lapor
ini disusunlah Peraturan Pemerintah tentang Wajib Lapor Pecandu Narkotika dan
Peraturan Menteri Kesehatan tentang Rehabilitasi Medis Pecandu, Penyalahguna
dan Korban Penyalahgunaan Narkotika.Pelaksanaan proses wajib lapor ini
memerlukan koordinasi antara instansi-instansi yang terkait dan dukungan dari
masyarakat sehingga dapat mencapai hasil yang optimal.

Selain itu Undang-Undang no 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa pada pasal 54
menyebutkan setiap RS Jiwa wajib menyediakan ruang untuk pasien narkotika,
psikotropika dan zat adiksi dengan jumlah tempat tidur paling sedikit 10% dari jumlah
tempat tidur yang ada.

II. TUJUAN
PEMBELAJARAN

A​. Tujuan pembelajaran


umum:
Pada akhir sesi, peserta mampu memahami kebijakan wajib lapor dan
rehabilitasi medis pecandu narkotika di Indonesia

B. Tujuan pembelajaran
khusus:
Pada akhir sesi ini, peserta mampu: 1. Menjelaskan
kebijakan wajib lapor pada UU Narkotika

2. Menjelaskan teknis pelaksanaan wajib lapor 3.


Menjelaskan kebijakan rehabilitasi medis 4. Menjelaskan
kode etik 5. Menjelaskan peran dan fungsi petugas
penerima wajib lapor

III. POKOK
BAHASAN

Dalam modul ini akan dibahas pokok bahasan berikut: Pokok


Bahasan 1. Kebijakan wajib lapor UU Narkotika Pokok Bahasan 2.
Teknis Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika Pokok
Bahasan 3. Kebijakan Rehabilitasi Medis Pecandu Narkotika
Pokok Bahasan 4. Kode etik dan medikolegal Pokok Bahasan 5.
Peran dan Fungsi Petugas Penerima Wajib lapor

IV. URAIAN
MATERI

Pokok Bahasan 1 KEBIJAKAN WAJIB LAPOR UNDANG-UNDANG


NARKOTIKA NO. 35 TAHUN 2009

Upaya penanggulangan masalah gangguan penggunaan Napza dilakukan secara


komprehensif melalui 3 pilar yaitu ​supply reduction,​ ​demand reduction ​dan ​harm
reduction​. Salah satu upaya pengurangan permintaan adalah terapi dan rehabilitasi.
Dari data yang ada di Kementerian Kesehatan menunjukkan masih rendahnya
jumlah pecandu yang mencari pertolongan medis. Faktor penyebab rendahnya
pencarian pertolongan medis antara lain adalah terkait budaya, adanya stigma dan
diskriminasi yang dihadapi oleh para pecandu Narkotika. Pandangan masyarakat
bahwa perilaku ketergantungan Narkotika adalah amoral, membentuk anggapan
bahwa untuk dapat pulih yang diperlukan adalah hanya dengan meningkatkan iman
dan taqwa para pecandu. Kriminalisasi atas penggunaan Narkotika juga semakin
mempertegas pandangan ini, sehingga di mata masyarakat, para pecandu perlu
‘dihindari’ dan ‘disingkirkan’. Pandangan serupa tidak saja dimiliki oleh masyarakat,
melainkan juga para petugas kesehatan. Pemahaman bahwa adiksi Napza adalah
suatu penyakit otak belum sepenuhnya dipahami dan diterima oleh petugas
kesehatan. Akibatnya, sikap yang terbentuk dalam menghadapi pasien pecandu
cenderung negatif. Stigma dan diskriminasi sudah barang tentu menghambat
pecandu Narkotika untuk mencari pertolongan.

Hal lain yang berperan dalam perilaku mencari perawatan medis adalah minimnya
ketersediaan dana untuk mengakses layanan kesehatan. Kita semua tentu
memahami bahwa pola penggunaan Narkotika yang kronis secara perlahan akan
menurunkan sumber daya

5
seseorang, termasuk sumber daya finansial. Banyak dari mereka tidak lagi memiliki
kemampuan untuk mengakses layanan kesehatan. Terlebih jaminan kesehatan
masyarakat tidak selalu mudah diakses. Semua kondisi di atas ini berkontribusi atas
rendahnya perilaku mencari perawatan kesehatan pada para pecandu Narkotika.

Melihat rendahnya persentase cakupan pecandu Narkotika yang mengakses


layanan kesehatan dan mengingat perubahan perilaku tidak dapat mudah dilakukan
pada Lapas/Rutan, maka dirasakan perlu untuk mendorong para pecandu Narkotika
untuk lebih mengakses layanan Terapi Rehabilitasi. Salah satu caranya adalah
dengan mewajibkan mereka untuk melaporkan diri guna memperoleh layanan terapi
rehabilitasi Gangguan penggunaan Napza. Pecandu Narkotika atau keluarga dari
pecandu yang masih di bawah umur diharapkan melaporkan diri pada fasilitas
kesehatan sehingga dapat dilakukan proses asesmen dan penyusunan rencana
terapi untuk perubahan perilaku yang signifikan.

Kebijakan Wajib lapor tertuang dalam pasal 55 Undang-Undang No. 35 tahun 2009
tentang Narkotika, yang berbunyi sebagai berikut:

a. ​Orang tua atau wali dari pecandu yang belum cukup umur wajib melaporkan
kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit dan/atau lembaga rehabilitasi
medis dan lembaga rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk
mendapatkan pengobatan dan atau perawatan melalui rehablitasi medis dan
rehabilitasi sosial ​b. ​Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur wajib melaporkan
diri atau dilaporkan oleh kelurganya kepada kepada pusat kesehatan masyarakat,
rumah sakit dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan lembaga rehabilitasi sosial
yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan atau perawatan
melalui rehablitasi medis dan rehabilitasi sosial

Sekalipun terkesan menjadi “kewajiban”, namun filosofi dari wajib lapor ini adalah
untuk meningkatkan cakupan intervensi medis dan sosial bagi para pecandu dan
untuk mengidentifikasi masalah sedini mungkin.

Program ini juga mempertimbangkan hak azasi pecandu Narkotika, sehingga proses
wajib lapor juga tetap mempertahankan azas konfidensialitas dan memperlakukan
pecandu Narkotika sebagai pasien / pasien yang sungguh-sungguh membutuhkan
terapi terkait perilaku ketergantungan Narkotikanya.

Program wajib lapor mau tidak mau juga mendesak fasilitas kesehatan, lembaga
rehabilitasi medis dan sosial untuk siap dalam melayani pecandu Narkotika.
Keengganan petugas kesehatan/sosial dalam melakukan penatalaksanaan
Gangguan penggunaan Napza dapat diminimalisasi, sebab melakukan penolakan
untuk merawat dapat dianggap sebagai

pelanggaran Undang-undang. Diharapkan program wajib lapor dapat meminimalisasi


stigma/diskriminasi yang selama ini dialami pecandu Narkotika.

Melalui program wajib lapor, pecandu Narkotika diharapkan setidaknya memperoleh


konseling dasar terkait perilaku ketergantungan Narkotikanya, memperoleh informasi
yang diperlukan untuk meminimalisasi risiko yang dihadapinya dan memperoleh
rujukan untuk perawatan lanjutan yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan yang
bersangkutan. Dengan demikian program wajib lapor diharapkan dapat berperan
serta dalam penanggulangan dampak buruk yang seringkali dialami pecandu
Narkotika.

Manfaat wajib lapor diharapkan tidak saja dirasakan oleh para pecandu Narkotika,
melainkan juga bagi masyarakat secara umum dan pemerintah secara khusus.
Program wajib lapor pecandu Narkotika untuk kepentingan rehabilitasi medis dan
sosial dapat mendukung agenda pencapaian ​Sustainable Development Goals
(SDGs) yang ke 3 yaitu Kehidupan yang sehat dan sejahtera. Target pada tujuan ke
3 yang terkait dengan penanggulangan masalah penyalahgunaan Napza adalah
Memperkuat pencegahan dan pengobatan penyalahgunaan zat, termasuk
penyalahgunaan narkotika dan penggunaan alkohol yang membahayakan. Salah
satu indikator untuk pencapaian target tersebut adalah Jumlah penyalahguna
narkotika dan pengguna alkohol yang merugikan, yang mengakses layanan
rehabilitasi medis.

Pokok Bahasan 2 TEKNIS PELAKSANAAN WAJIB LAPOR


PECANDU NARKOTIKA

Beberapa regulasi terkait wajib lapor pecandu narkotika sebagai amanat dari UU
NO. 35 tahun 2009 tentang Narkotika telah disusun oleh Pemerintah antara lain
Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor
Pecandu Narkotika dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 50 tahun 2015 tentang
Petunjuk Teknis Pelaksanaan Wajib Lapor dan Rehabilitasi Medis Pecandu,
Penyalahguna dan Korban Penyalahgunaan Narkotika.

A. Definisi
Wajib Lapor adalah kegiatan melaporkan diri yang dilakukan oleh Pecandu
Narkotika yang sudah cukup umur atau keluarganya, dan/atau orang tua atau
wali dari Pecandu Narkotika yang belum cukup umur kepada Institusi Penerima
Wajib Lapor untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui
rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

B. Tujuan
Pengaturan Wajib Lapor Pecandu Narkotika bertujuan untuk: a. memenuhi hak
Pecandu Narkotika dalam mendapatkan pengobatan dan/atau
perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi
sosial;

b. mengikutsertakan orang tua, wali, keluarga, dan masyarakat dalam


meningkatkan tanggung jawab terhadap Pecandu Narkotika yang ada di bawah
pengawasan dan bimbingannya; dan c. memberikan bahan informasi bagi
Pemerintah dalam menetapkan kebijakan di bidang pencegahan dan
pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika.

C. Penyelenggaraan Wajib
Lapor
Wajib Lapor Pecandu Narkotika dilakukan di Institusi Penerima Wajib Lapor
(IPWL). IPWL adalah pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau
lembaga rehabilitasi medis serta lembaga rehabilitasi sosial yang ditetapkan
oleh Pemerintah

IPWL harus memenuhi persyaratan: 1. ketenagaan yang memiliki keahlian dan


kewenangan di bidang ketergantungan
Narkotika. Tenaga tersebut sekurang-kurangnya memiliki: - pengetahuan
dasar ketergantungan narkotika; - keterampilan melakukan asesmen
ketergantungan narkotika; - keterampilan melakukan konseling dasar
ketergantungan narkotika; dan - pengetahuan penatalaksanaan terapi
rehabilitasi berdasarkan jenis narkotika
yang digunakan. 2. sarana yang sesuai dengan standard rehabilitasi medis atau
s8tandard rehabilitasi sosial yang masing-masing ditetapkan oleh Menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan dan Menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial.
Proses penetapan failitas pelayanan kesehatan (fasyankes) sebagai IPWL oleh
Menteri Kesehaan diawali dengan pengusulan pemilik fasyankes (Kepala Dinas
Kesehatan Provinsi/Kab/Kota, pimpinan TNI/Polri atau pimpinan instansi
pemerintah lainnya) kepada Menteri Kesehatan. Fasyankes yang diusulkan
harus memenuhi satu dari dua syarat berikut, yaitu:

1. telah memberikan pelayanan terapi rehabilitasi Napza sebelumnya 2.


mempunyai tenaga kesehatan yang sekurang-kurangnya terdiri dari dokter dan
perawat yang telah menerima pelatihan di bidang gangguan penggunaan Napza
yang tercatat di Kementerian Kesehatan. Selain syarat tersebut di atas
fasyankes yang akan memberikan layanan rehabiltasi medis secara rawat jalan
dan atau rawat inap juga harus memenuhi kriteria sebagai berikut: 1. Rawat
Jalan
a. Mempunyai ruang periksa dan intervensi
psikososial

b. Mempunyai program rawat jalan berupa layanan simtomatik da


intervensi
psikososial sederhana c. Mempunyai prosedur operasional yang baku untuk layanan
rehabilitasi medis
Napza rawat jalan 2. Rawat
Inap
a. Mempunyai tempat tidur untuk durasi perawatan sesingkatnya tiga
bulan b. Mempunyai program rehabilitasi medis Napza rawat inap c.
Mempunyai prosedur operasional yang baku untuk layanan rehabilitasi
medis
Napza rawat inap dan d. Mempunyai prosedur keamanan minimal yang terdiri dari
pencatatan pengunjung yang masuk dan keluar, pemeriksaan fisik dan
barang bawaan setiap masuk program agar tidak membawa Napza dan
benda tajam ke dalam fasilitas rehabilitasi medis, tugas penjaga
keamanan dan sarana /prasarana yang aman agar pasien terhindar dari
kemungkinan melukai dirinya sendiri/orang lain dan melarikan diri.

IPWL wajib melakukan asesmen yang meliputi aspek medis dan aspek sosial
terhadap Pecandu Narkotika untuk mengetahui kondisi Pecandu Narkotika.
Asesmen dilakukan dengan cara:
1. Wawancara meliputi riwayat kesehatan, riwayat penggunaan narkotika,
riwayat pengobatan dan perawatan, riwayat keterlibatan pada tindak
kriminalitas, riwayat psikiatris, serta riwayat keluarga dan sosial Pecandu
Narkotika. 2. Observasi meliputi observasi atas perilaku Pecandu Narkotika baik
verbal maupun
non verbal 3. Pemeriksaan fisik dan psikis terhadap Pecandu
Narkotika

Hasil asesmen tersebut dicatat pada rekam medis yang bersifat rahasia dan
merupakan dasar dalam rencana rehabilitasi terhadap Pecandu Narkotika yang
bersangkutan. Kerahasiaan hasil asesmen dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang- undangan. Selanjutnya Rencana rehabilitasi
yang telah disusun berdasarkan hasil asesmen harus disepakati oleh pecandu
narkotika, orang tua, wali, atau keluarga pecandu narkotika dan pimpinan IPWL

Pecandu narkotika yang telah melaporkan diri atau dilaporkan kepada IPWL
diberi kartu lapor diri setelah menjalani asesmen. Kartu lapor diri tersebut
berlaku untuk 2 (dua) kali masa perawatan. Yang dimaksud dengan “masa
perawatan” adalah suatu layanan program rencana terapi dibuat berdasarkan
hasil asesmen yang komprehensif yang sesuai dengan kondisi pasien dengan
jenis gangguan penggunaan narkotika dan kebutuhan individu/pasien/Pecandu
narkotika dengan program yang dijalankan

mengikuti program yang tersedia di layanan, dengan waktu minimal 1 (satu)


sampai 6 (enam) bulan sesuai dengan Standar Pelayanan Terapi dan
Rehabilitasi Gangguan Penggunaan Narkotika yang ditetapkan Menteri. Standar
Pelayanan Terapi dan Rehabilitasi Gangguan Penggunaan Narkotika, antara lain
meliputi: pelayanan detoksifikasi, pelayanan gawat darurat, pelayanan
rehabilitasi (model: terapi komunitas, minnesota, model medis), pelayanan rawat
jalan non rumatan, pelayanan rawat jalan rumatan, dan pelayanan
penatalaksanaan dual diagnosis.

Berdasarkan rencana rehabilitasi yang telah disepakati, IPWL melakukan


rangkaian pengobatan dan/atau perawatan guna kepentingan pemulihan
Pecandu Narkotika. Bila IPWL tidak memiliki kemampuan untuk melakukan
pengobatan dan/atau perawatan tertentu sesuai rencana rehabilitasi atau atas
permintaan Pecandu Narkotika, orang tua, wali dan/atau keluarganya, maka
IPWL harus melakukan rujukan kepada institusi yang memiliki kemampuan
tersebut.

Pecandu narkotika yang sedang menjalani pengobatan dan/atau perawatan di


rumah sakit, fasilitas pelayanan kesehatan lainnya, lembaga rehabilitasi medis
dan lembaga rehabilitasi sosial serta terapi berbasis komunitas ​(therapeutic
community) ​atau melalui pendekatan keagamaan dan tradisional tetap harus
melakukan wajib lapor kepada IPWL.

D.
Pembiayaan
Berdasarkan PP No. 25 tahun 2011, pembiayaan wajib lapor bagi yang tidak
mampu ditanggung oleh pemerintah dan pemerintah derah melalui APBN dan
APBD

E. Pelaporan, Monitoring dan


Evaluasi
IPWL wajib melaporkan mengenai informasi Pecandu Narkotika kepada
Kementerian terkait melalui tata cara pelaporan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang- undangan. Selanjutnya Kementerian terkait memberikan
informasi ke BNN yang menyelenggarakan sistem informasi pecandu narkotika.
Informasi yang dilaporkan dalam bentuk rekapitulasi data.

Monitoring dan evaluasi pelaksanaan Wajib Lapor dilaksanakan oleh


Kementerian terkait dan BNN yang meliputi:
a. penerapan prosedur Wajib Lapor; b.
cakupan proses Wajib Lapor; dan c.
tantangan dan hambatan proses wajib lapor

1
0

Pecandu Narkotika yang telah selesai menjalani rehabilitasi dilakukan


pembinaan dan pengawasan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang sosial dan Badan Narkotika Nasional dengan
mengikutsertakan partisipasi masyarakat.
Pokok Bahasan 3 KEBIJAKAN REHABILITASI MEDIS PECANDU,
PENYALAHGUNA DAN KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA

Undang-Undang No. 35 tahun 2009 mengamanahkan penyusunan Permenkes


tentang Rehabilitasi Medis. Beberapa regulasi yang telah ditetapkan oleh Menteri
Kesehatan terkait rehabilitasi medis peacandu narkotika yaitu: Permenkes No
2415/MENKES/PER/XII/2011 tentang Rehabilitasi Medis Pecandu, Penyalahguna
dan Korban Penyalahgunaan Narkotika dan Permenkes No.50 tahun 2015 tentang
Petujuk Teknis Pelaksanaan Wajib Lapor dan Rehabilitasi Medis Pecandu,
Penyalahguna dan Korban Penyalahgunaan Narkotika. Selain itu pada tahun 2011
juga telah disusun Peraturan Bersama Kementerian dan Lembaga (Mahkamah
Agung, Kementerian Hukum dan HAM, Kejaksaan Agung, Kepolisian RI, BNN,
Kementerian Kesehatan dan Kementerian Sosial tentang Penanganan Pecandu
Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika Ke Dalam Lembaga Rehabilitasi.

A. Fasilitas rehabilitasi
medis
Rehabilitasi medis dilaksanakan di fasilitas rehabilitasi medis yang
diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat meliputi
rumah sakit, puskesmas atau lembaga rehabilitasi tertentu yang
menyelenggarakan rehabilitasi medis. Lembaga rehabilitasi medis tertentu
meliputi:

1. lembaga rehabilitasi NAPZA milik Pemerintah atau Pemerintah


Daerah; dan 2. klinik rehabilitasi medis NAPZA yang diselenggarakan
oleh masyarakat.

Rumah sakit atau puskesmas yang menyelenggarakan rehabilitasi medis


ditetapkan oleh Menteri. Penetapan rumah sakit milik pemerintah daerah atau
masyarakat dan puskesmas sebagai penyelenggara rehabilitasi medis dilakukan
setelah mendapatkan rekomendasi dari pemerintah daerah. Sedangkan
Lembaga rehabilitasi tertentu yang menyelenggarakan rehabilitasi medis wajib
mendapatkan izin dari Menteri.

Fasilitas rehabilitasi medis mempunyai


kewajiban:

1. ​menyelenggarakan rehabilitasi medis sesuai standar profesi, standar


pelayanan dan
standar prosedur operasional; ​2. ​melaksanakan fungsi sosial; 3​ .
berperan serta dalam jejaring dan melaksanakan fungsi
rujukan;

1
1

4. ​melaksanakan serangkaian terapi dan upaya pencegahan penularan penyakit


pada
penggunaan narkotika suntik; ​5. ​menyusun standar prosedur operasional
penatalaksanaan rehabilitasi sesuai dengan modalitas yang digunakan dengan
mengacu pada standar dan pedoman penatalaksanaan medis. ​6. ​melakukan
pencatatan dan pelaporan dalam penyelenggaraan rehabilitasi medis.

B. Penyelenggaraan Rehabilitasi Medis ​1. Rehabilitasi medis dapat dilaksanakan


melalui rawat jalan dan/atau rawat inap sesuai dengan rencana rehabilitasi yang
telah disusun dengan mempertimbangkan hasil asesmen sesuai dengan standar dan
pedoman yang ditetapkan oleh Menteri. 2. Pelaksanaan rawat jalan meliputi:
a. intervensi medis antara lain melalui program detoksifikasi, terapi simtomatik,
dan/atau terapi rumatan medis serta terapi penyakit komplikasi sesuai indikasi; dan b.
intervensi psikososial antara lain melalui konseling adiksi narkotika, wawancara
motivasional, terapi perilaku dan kognitif (​Cognitive Behavior Therapy​)​, d
​ an
pencegahan kambuh. 3. Pelaksanaan rawat inap sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), meliputi:
a. intervensi medis antara lain melalui program detoksifikasi, terapi simtomatik,
dan
terapi penyakit komplikasi sesuai indikasi; b. intervensi psikososial antara lain melalui
konseling individual, kelompok, keluarga, dan
vokasional; c. pendekatan filosofi ​therapeutic community (​ TC) dan/atau metode 12
(dua belas)
langkah dan pendekatan filosofi lain yang sudah teruji secara
ilmiah.

Proses pemulihan pecandu, penyalahguna dan korban penyalahgunaan narkotika


yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau masyarakat melalui pendekatan
keagamaan dan tradisional harus bekerjasama dengan Rumah Sakit dan
Puskesmas yang ditetapkan oleh Menteri.
Fasilitas rehabilitasi medis dalam menyelenggarakan pelayanan rehabilitasi medis
wajib membuat rekam medis yang dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan. Selain itu terkait mediko legal maka pelayanan rehabilitasi
medis harus memperoleh persetujuan (​informed consent​) sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan. Fasilitas rehabilitasi medis dilarang menggunakan
kekerasan fisik dan kekerasan psikologis/mental dalam melaksanakan pelayanan
rehabilitasi medis.

1
2

Penyelenggaraan Rehabilitasi Medis Terkait Putusan Pengadilan: 1. Rehabilitasi


medis terhadap pecandu, penyalahguna dan korban penyalahgunaan narkotika yang
telah diputus oleh pengadilan diselenggarakan di fasilitas rehabilitasi medis milik
pemerintah yang telah ditetapkan oleh Menteri. 2. Rehabilitasi medis terhadap
pecandu, penyalahguna dan korban penyalahgunaan narkotika yang telah diputus
oleh pengadilan dilaksanakan melalui tahapan: program rawat inap awal; program
lanjutan; dan program pasca rawat. 3. Program rawat inap awal dilaksanakan
selama minimal 3 (tiga) bulan untuk kepentingan
asesmen lanjutan, serta penatalaksanaan medis untuk gangguan fisik dan mental. 4.
Program lanjutan meliputi program rawat inap jangka panjang atau program rawat
jalan
yang dilaksanakan sesuai standar prosedur operasional. 5. Pelaksanaan program
lanjutan dengan program rawat jalan hanya dapat dilaksanakan untuk pecandu,
penyalahguna dan korban penyalahgunaan narkotika yang telah diputus bersalah
oleh pengadilan dengan pola penggunaan rekreasional (penggunaan narkotika
hanya untuk mencari kesenangan pada situasi tertentu dan belum ditemukan
adanya toleransi serta gejala putus zat) dan jenis narkotika amfetamin, dan ganja,
dan/atau berusia di bawah 18 tahun. 6. Program rawat jalan dilaksanakan
sekurang-kurangnya 2 (dua) kali seminggu dengan
pemeriksaan urin berkala atau sewaktu-waktu. 7. Program pasca rawat meliputi
rehabilitasi sosial dan program pengembalian kepada
masyaraka
t.

Penyelenggaraan Rehabilitasi Medis Terhadap Pecandu, Penyalahguna dan Korban


Penyalahgunaan Narkotika yang sedang Menjalani Proses Penyidikan, Penuntutan,
dan Persidangan Pengadilan adalah sebagai berikut:

1. Penetapan rehabilitasi medis terhadap pecandu, penyalahguna dan korban


penyalahgunaan narkotika yang sedang menjalani proses penyidikan, penuntutan,
dan persidangan pengadilan dilakukan oleh tim dokter yang merupakan bagian dari
Tim Asesmen Terpadu (TAT) yang terdiri dari dokter dari fasilitas rehabilitasi medis
dan rumah sakit kepolisian. 2. Diselenggarakan di fasilitas rehabilitasi medis milik
pemerintah yang memenuhi standar
keamanan tertentu sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. 3. Rehabilitasi
pada pecandu, penyalahguna dan korban penyalahgunaan narkotika yang sedang
menjalani proses penyidikan, penuntutan, dan persidangan pengadilan tergantung
pada wewenang pihak penyidik dan dilaksanakan maksimal 3 (tiga) bulan. 4. Sesuai
standar dan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri.

1
3

C.
Pembiayaan
Terkait pembiayaan yang sering menjadi masalah implementasi di lapangan
maka salah satu pasal dalam Permenkes No. 2415 tahun 2011 menyatakan
bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab atas biaya
pelaksanaan rehabilitasi medis bagi pecandu, penyalahguna dan korban
penyalahgunaan Narkotika yang tidak mampu sesuai peraturan
perundang-undangan. Selain itu Pemerintah juga bertanggung jawab atas biaya
pelaksanaan rehabilitasi medis bagi pecandu, penyalahguna dan korban
penyalahgunaan Narkotika yang yang telah diputus oleh pengadilan. Namun
sejak diberlakukan Permenkes No. 50 tahun 2015 untuk mendukung Gerakan
Rehabilitasi 100.000 Pecandu maka pembiayaan rehabilitasi medis bagi
pecandu, penyalahguna dan korban penyalahgunaan Narkotika secara sukarela
maupun yang sedang dalam proses hukum dan yang telah diputuskan
pengadilan ditanggung oleh Pemerintah. Pembiayaan rehabilitasi medis yang
dilakukan di IPWL yang telah ditetapkan oleh Menteri Kesehatan dibebankan
kepada anggaran Kementerian Kesehatan.

D.
Pelaporan
Fasilitas rehabilitasi medis wajib melakukan pelaporan dalam bentuk rekapitulasi
data secara berkala kepada Menteri melalui mekanisme sistem pelaporan
mengikuti sistem informasi kesehatan nasional. Rekapitulasi data yang telah
dilaporkan dapat diakses oleh pihak yang berkepentingan dalam pengembangan
kebijakan dan program baik lembaga pemerintah maupun masyarakat.

E. Pembinaan dan
Pengawasan
Pembinaan dilakukan oleh Menteri Kesehatan, Kepala Dinas Kesehatan dan
atau Menteri/Kepala Lembaga lainnya yang membawahi lembaga rehabilitasi
untuk: 1. Pembinaan dalam rangka meningkatkan kemampuan fasilitas
rehabilitasi medis yang
dilakukan oleh Menteri dan Kepala Dinas Kesehatan sedangkan 2. Pembinaan
dalam rangka peningkatan kemampuan fasilitas rehabilitasi medis juga dilakukan
oleh BNN, berkoordinasi dengan Kementerian Kesehatan dan Pemerintah
Daerah. 3. Pengawasan dilakukan guna menjamin kualitas penyelenggaraan
rehabilitasi medis. 4. Dalam melakukan kegiatan pembinaan dan pengawasan
Menteri dapat membentuk suatu tim dengan melibatkan unsur Pemerintah
daerah provinsi/kabupaten/kota melalui kepala dinas kesehatan/kepala biro
NAPZA, organisasi profesi di bidang kesehatan, BNN Provinsi/Kabupaten/Kota
atau organisasi kemasyarakatan terkait lainnya. 5. Dalam rangka pembinaan
dan pengawasan, Menteri dapat mengambil tindakan
administratif kepada fasilitas rehabilitasi medis,
berupa: a. teguran lisan;

1
4

b. teguran tertulis;
atau c. pencabutan
izin.

Saat ini Pemerintah sedang merevisi beberapa kebijakan terkait rehabilitasi yang
tercantum dalam UU No. 35 tahun 2009 tentag Narkotika. Beberapa kementerian
dan lembaga terkait dikoordinir oleh Kemenko PMK telah menyusun Rencana AKsi
Nasional Rehabilitasi dengan konsep rehabilitasi yang berkelanjutan dan tidak ada
lagi dikotomi istilah rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

Pokok Bahasan 4 KODE ETIK DAN ASPEK MEDIKOLEGAL WAJIB LAPOR


PECANDU NARKOTIKA

Petugas penerima wajib lapor dalam menjalankan tugasnya tetap terikat pada kode
etik sesuai profesi masing-masing. Profesi dalam bahasa Latin berarti
’mengumumkan kepada dunia luar’ (Bond, 2005). Seseorang dapat dianggap
profesional apabila dia dengan sumpahnya kepada publik bertanggungjawab atas
apa yang dikerjakannya, sesuai dengan aturan dan prinsip-prinsip yang berlaku,
yang umumnya dikeluarkan oleh ikatan profesi. Menjalankan tindakan sesuai
dengan aturan dan prinsip adalah upaya menjaga kode etik yang berlaku.

Seorang dokter pada lembaga penerima wajib lapor tetap harus mematuhi Kode Etik
Kedokteran Indonesia. Beberapa Prinsip Etika Kedokteran yaitu:
• ​Beneficiency​: mengutamakan kepentingan
pasien
• ​Autonomy:​ menghormati hak pasien dalam mengambil
keputusan
• ​Non-Malefeciency:​ tidak memperburuk keadaan
pasien
• ​Justice:​ tidak mendiskriminasikan pasien, apapun
dasarnya.

Tujuan etik didasari oleh filosofi kemanusiaan, dimana setiap tindakan profesional
hendaknya dilandasi oleh pertimbangan yang kuat tentang hak azasi manusia.
Secara rinci, tujuan etik adalah:

1. Menyediakan dasar bertindak yang adekuat untuk melindungi masyarakat dari


berbagai kemungkinan dampak buruk yang terjadi akibat malpraktik atau perilaku
yang salah dari profesional. 2. Menjadi acuan untuk identifikasi perilaku yang
disadari ataupun tidak disadari, yang
secara potensial dapat mengakibatkan kerugian bagi diri sendiri maupun
orang lain

Petugas penerima wajib lapor harus menjaga profesionalisme, apalagi terkait


dengan undang- undang No. 35/2009 tentang narkotika yang menyebutkan orang
yang mengetahui adanya

1
5
gangguan penggunaan Napza namun tidak melaporkan kepada pejabat berwenang
dapat dikenakan sanksi pidana. Hal ini bisa menempatkan petugas kesehatan pada
situasi dilematis dalam menjaga kerahasiaan pecandu yang melakukan wajib lapor.

Dalam pelaksanaannya petugas kesehatan penerima wajib lapor


harus:

1. Mengutamakan kepentingan dan keselamatan pasien 2. Bertanggung jawab dan


bebas dari konflik kepentingan manapun. 3. Senantiasa meningkatkan
kompetensinya yaitu pengetahuan dan keterampilan tentang
gangguan penggunaan Napza sesuai dengan perkembangan ilmu terbaru. 4.
Menjaga kerahasiaan pecandu Narkotika. Pada situasi khusus ada kalanya petugas
penerima wajib lapor membuka tentang data pecandu narkotika pada pihak yang
berwajib untuk kepentingan hukum. 5. Menjaga hubungan profesional antara
petugas itu sendiri baik kepada pimpinan atau bawahannya dan kepada pecandu
Narkotika yang melakukan wajib lapor, serta terhadap lintas sektoral terkait. 6.
Bersedia melakukan rujukan bila institusi yang menerima wajib lapor tidak memiliki
kemampuan untuk melaksanakan pengobatan/perawatan yang sesuai dengan
rencana terapi yang telah disepakati antara petugas dengan pecandu narkotika yang
melaporkan diri.

Mengingat pasien dengan gangguan penggunaan Napza yang kerap berhubungan


dengan tindak kriminalitas maka tak jarang petugas kesehatan, dalam hal ini dokter
sebagai profesi yang tersumpah diminta keterangan sebagai ahli. Keterangan ahli
dapat diberikan secara lisan maupun tertulis. Keterangan ahli secara lisan bisa
diberikan pada saat sidang di pengadilan maupun pada waktu pemeriksaan oleh
penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam satu bentuk laporan dan
dibuat dengan mengingat sumpah diwaktu menerima jabatan atau pekerjaan.
Keterangan ahli secara tertulis adalah surat keterangan dari ahli yang memuat
pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan
yang diminta secara resmi kepadanya.

Pokok Bahasan 5 PERAN DAN FUNGSI PETUGAS ​Sampai saat ini kompetensi
tenaga kesehatan dilayanan terapi dan rehabilitasi masih sangat terbatas baik dari
sisi ketenagaannya maupun keterampilan petugas dalam penatalaksanaan pasien
dengan gangguan penggunaan napza dan pemahaman yang benar tentang
gangguan penggunaan napza. Selain hal diatas aksesibilitas pecandu narkotika
yang mencari pertolongan medis masih kurang karena masih adanya stigma dan
diskriminasi yang dihadapi pecandu narkotika dari masyarakat dan petugas
kesehatan sendiri.

1
6

Pada pelatihan ini diharapkan petugas mengetahui peran dan fungsi mereka
nantinya dalam melaksanakan proses wajib lapor yang terdiri dari:

1. ​Melakukan asesmen
klinis
Instrumen yang digunakan dalam melakukan asesmen untuk wajib lapor ini sesuai
dengan yang terdapat dalam lampiran peraturan menteri yang ditetapkan. Penting
bagi petugas untuk dapat menentukan atau meninjau besar atau beratnya masalah
penggunaan narkotika yang dialami pecandu. Dari asesmen ini juga petugas mampu
mengidentifikasi perilaku penggunaan narkotika mereka, serta menemukan
batas-batas masalah kesehatan akibat efek penggunaan narkotikanya. ​2.
Menegakkan diagnose
Sesuai dengan asesmen yang telah dilakukan di awal proses penerimaan pecandu
narkotika. ​3. ​Menyusun rencana terapi dan rujukan
Rencana terapi disusun dengan mempertimbangkan hasil pemeriksaan awal dan
diagnosis yang diperoleh berdasarkan hasil asesmen. Tidak semua institusi wajib
lapor memiliki modalitas terapi yang lengkap, pada layanan yang tidak tersedia
perawatan khusus maka petugas tersebut wajib untuk melakukan rujukan ke
tempat lain sesuai dengan kebutuhan pecandu narkotika tersebut. Tidak jarang
pecandu narkotika yang datang tidak murni hanya dengan masalah napzanya
saja tapi juga banyak diantara mereka dengan masalah ​dual diagnosis ​atau ​triple
diagnosis ​yang tentunya membutuhkan penanganan lebih khusus.

4. ​Melakukan rehabilitasi medis minimal sesuai dengan rencana terapi yang


ditentukan.
Dalam rehabilitasi minimal ini diharapkan juga dapat dipergunakan pada layanan
dasar seperti di puskesmas, tidak hanya dalam bentuk rawat inap, tapi juga bisa
melalui rawat jalan.

5. ​Melakukan monitoring dan evaluasi dari penyelenggaraan proses wajib


lapor

Peran dan fungsi petugas kesehatan dalam memberikan pelayanan sebagai petugas
penerima wajib lapor merupakan kontribusi yang penting oleh karena itu dibutuhkan
beberapa kriteria dalam memberikan layanan terapi dan rehabilitasi gangguan
penggunaan napza.

Petugas kesehatan penerima wajib lapor idealnya juga memenuhi beberapa kriteria
lainnya seperti magang di pusat layanan terapi rehabilitasi gangguan penggunaan
napza baik rawat inap maupun rawat jalan dan mempunyai motivasi untuk
memberikan layanan bagi pasien yang mengalami gangguan penggunaan napza.

1
7

DAFTAR PUSTAKA ​1. P ​ eraturan Menteri Kesehatan No. 269 Tahun 2008 tentang

Rekam Medis ​2. ​Peraturan Menteri Kesehatan No. 2415 Tahun 2011 tentang
Rehabilitasi Medis Pecandu,
Penyalahguna dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ​3. ​Keputusan Menteri
Kesehatan No. 486 Tahun 2007 tentang Kebijakan & Rencana Strategi
Penanggulangan Penyalahgunaan NAPZA ​4. ​Keputusan Menteri Kesehatan No. 421
Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Terapi dan
Rehabilitasi Gangguan Penggunaan NAPZA ​5. ​Sarasvita, R. and A. Anwar. (2002). ​Kilas
Balik 30 Tahun RS Ketergantungan Obat. J​ akarta:
RSKO ​6. ​Marc Stauch and Kay Wheat. (2005​). Text, Cases and materials on Medical Law ​third
edition
1
8

MATERI DASAR
2

PERKEMBANGAN MASALAH GANGGUAN PENGGUNAAN


NAPZA

I. DESKRIPSI
SINGKAT
Penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, psikotropika, dan bahan berbahaya
lainnya merupakan suatu kajian yang menjadi masalah dalam lingkup nasional
maupun secara internasional. Pada kenyataanya, kejahatan narkotika memang telah
menjadi sebuah kejahatan transnasional yang dilakukan oleh kelompok kejahatan
terorganisir (​organized crime​). Masalah ini melibatkan sebuah sistem kompleks yang
berpengaruh secara global dan akan berkaitan erat dengan Ketahanan Nasional
sebuah bangsa. Masalah gangguan penggunaan narkotika berkembang mengikuti
trend, yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya adalah ketersediaan zat,
kebutuhan masyarakat dan faktor penegakan hukum. New Psychoactive Substances
(NPS) menjadi salah satu perhatian dunia karena maraknya peredaran dan
kurangnya penelitian dan pemahaman terkait efek sampingnya.

Pada tahun 1998, sesi khusus pada pertemuan sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) bersepakat untuk bekerjasama dalam “memberantas atau mengurangi
dengan signifikan” produksi narkotika illegal dan penyalahgunaannya pada tahun
2019. Hal ini tentu bukanlah target yang mudah dicapai. UNODC mencatat bahwa
sebagian negara-negara di dunia ada yang telah mampu mengontrol situasi masalah
narkotikanya dalam kurun waktu yang relatif singkat, namun sebagian besar justru
tidak atau belum mampu mengontrol situasi tersebut.

II. PEMBELAJARAN

A. Tujuan pembelajaran
umum:
Pada akhir sesi, peserta mampu memahami perkembangan masalah gangguan
penggunaan Napza

B. Tujuan pembelajaran
khusus:
Pada akhir sesi ini, peserta mampu: 1. Menjelaskan perkembangan masalah
gangguan penggunaan Napza di kawasan global 2. Menjelaskan perkembangan
masalah gangguan penguunaan Napza di kawasan
regional. ​3. ​Menjelaskan perkembangan masalah gangguan penggunaan Napza di
kawasan
nasion
al
1
9

III. POKOK
BAHASAN

Dalam modul ini akan dibahas pokok bahasan berikut: Pokok Bahasan 1.
Epidemiologi dan perkembangan penggunaan narkotika dikawasan
global Pokok Bahasan 2. Epidemiologi dan perkembangan penggunaan narkotika
dikawasan
regional Pokok Bahasan 3. Epidemiologi dan perkembangan penggunaan narkotika
dikawasan
nasion
al

IV. URAIAN
MATERI

Pokok bahasan 1 EPIDEMIOLOGI DAN PERKEMBANGAN PENGGUNAAN


NARKOTIKA DIKAWASAN GLOBAL

Berbicara masalah epidemi gangguan penggunaan narkotika tidak dapat terlepas


dari masalah produksi dan peredarannya. Sejarah terkini mencatat bahwa hampir
74% konsumsi heroin di seluruh dunia disumbangkan oleh produksi opium yang
berasal dari daerah Bulan Sabit Emas (​Golden Crescent)​ , terutama Afghanistan.
Peringkat kedua adalah produksi opium dari daerah Segitiga Emas (​Golden
Triangle​), yaitu Laos, Myanmar dan Thailand. Sementara itu negara pemasok kokain
terutama berasal dari Amerika Latin, seperti Columbia dan Meksiko. UNODC
menyatakan pada tahun 2016 produksi opium global menunjukkan peningkatan 30%
dibandingkan tahun 2015. Namun produksi opium di tahun 2016 masih 20% lebih
rendah dibandingkan dengan puncak produksi di tahun 2014. Terdapat
kecenderungan peningkatan area penanaman opium pada tahun 2012-2016
dibandingkan tahun 2007 – 2011.

Dalam 10 tahun belakangan ini peningkatan produksi narkotika justru mencolok


pada ganja dan ​amphetamine-type stimulants (​ ATS) seperti shabu dan ​ecstasy​.
Masalahnya, pencatatan atas produksi zat-zat ini amatlah kompleks karena pada
umumnya produksi dilakukan di dalam negeri negara-negara yang bersangkutan.
Misalnya, produksi ganja di Aceh pada umumnya dikonsumsi oleh masyarakat
Indonesia sendiri. Kontrol atas peredarannya amat sangat bergantung pada upaya
yang dilakukan oleh negara-negara tersebut.

Peredaran gelap narkotika yang bersifat jarak jauh (​long-distance trafficking​)


umumnya menyangkut zat jenis kokain dan heroin. Dalam skala yang jauh lebih
kecil, termasuk pula resin ganja dan ​ecstasy​. Penyitaan atas penyelundupan kokain
secara global menunjukkan upaya yang relatif stabil. Penyitaan yang dilakukan pada
wilayah Amerika Utara dan Eropa menunjukkan penurunan, namun penyitaan yang
dilakukan di Amerika Selatan dan Amerika

2
0

Tengah menunjukkan peningkatan. Peredaran melalui Afrika Barat yang meningkat


diantara tahun 2004 – 2007 menunjukkan penurunan pada tahun 2008 – 2009,
namun hal ini selalu patut dimonitor karena tren peredaran selalu menunjukkan
perubahan dan selalu ada upaya untuk membuat jalur-jalur baru. Penyitaan atas
peredaran produk-produk opium mengalami peningkatan, terutama pada
negara-negara tetangga Afghanistan, yaitu Pakistan dan Republik Iran. Sementara
itu melacak peredaran ATS menjadi lebih kompleks karena sifat produksinya yang
umumnya bersifat lokal. Namun demikian dari laporan negara-negara anggota PBB,
tercatat adanya penyitaan ATS yang sangat tinggi sejak tahun 2006. Penyitaan atas
daun ganja secara global meningkat pada periode 2006 – 2008, terutama di Amerika
Selatan. Penyitaan resin ganja yang meningkat pada 2008 terutama tercatat di
regional Timur Tengah, dan juga Eropa dan Afrika.

Zat psikoatif baru (​New Psychoactive Substances, ​NPS) saat ini juga menarik
perhatian dunia. NPS didefinisikan sebagai senyawa bentuk tunggal atau sediaan
berupa campuran yang marak disalahgunakan dan belum diatur dalam Konvensi
Internasional, tetapi memiliki efek yang sama dengan obat yang diatur. NPS
mengalami peningkatan, yang sebelumnya sebanyak 260 di tahun 2012 menjadi 483
di pertengahan tahun 2015. Diagram di bawah ini menunjukkan jumlah NPS dan
jenisnya yang dilaporkan tipa tahun sejak 2009 sampai 2015. Jumlah NPS yang
paling banyak dilaporkan adalah jenis kanabinoid sintetik.
Sumber: UNODC, World Drug Report
2017

UNODC memperkirakan 5 % penduduk dunia yang berusia 15 – 64 tahun di dunia


pernah menggunakan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya setidaknya
sekali di tahun 2015 (kisaran 158 juta – 351 juta orang). Sebagian dari populasi
pengguna ini sekitar lebih dari 11% diantaranya mengalami masalah medis,
psikologis dan sosial. Namun diperkirakan hanya 1 dari 6 orang yang memerlukan
terapi dan rehabilitasi dapat mengakses layanan terapi dan rehabilitasi.

2
1

Studi beban global akibat penyakit tahun 2015 menyatakan bahwa sekitar 17 juta
disability adjusted life years d ​ iakibatkan karena gangguan penggunaan Napza.
Beban penyakit yang terkait dengan Hepatitis C karena penggunaan zat lebih besar
dibandingkan dengan HIV. Orang dengan penggunaan napza suntik merupakan
populasi kunci yang berisiko terkena infeksi HIV pada tahun 2015 diperkirakan
infeksi baru HIV diantara orang dengan penggunaan Napza suntik sebesar 152.000
dengan prevalensi HIV di kalangan pengguna napza suntik sebesar 13,1 Pada tahun
2015 UNODC/WHO/UNAIDS memperkirakan 51,5% orang dengan penggunaan
napza suntik terinfeksi Hepatitis C.

Opioid adalah jenis Napza yang menyebabkan dampak negatif kesehatan tertinggi
meskipun secara global, jenis narkotika yang paling banyak disalahgunakan, adalah
ganja dimana diperkirakan sekitar 183 juta orang menggunakannya. Dan kedua
terbanyak digunakan adalah jenis amfetamin,

Persoalan pada banyak negara, terutama di negara berkembang adalah kurang


tersedianya data-data yang akurat terkait dengan penggunaan narkotika,
psikotropika dan zat adiktif lainnya. Oleh karenanya data secara internasional
(global) lebih sering bersifat estimasi, karena minimnya data yang dapat dijadikan
patokan untuk melihat besaran masalah yang diakibatkan gangguan penggunaan
NAPZA. Salah satu sumber data yang dapat diandalkan adalah data yang berasal
dari fasilitas layanan terapi dan rehabilitasi. Sekalipun mungkin tidak
menggambarkan besaran masalah yang ada, tetapi dapat menunjukkan
kecenderungan persoalan penyalahgunaan narkotika yang terjadi pada suatu
negara.

Diagram di bawah ini menunjukkan kebutuhan terapi dan rehabilitasi berdasarkan


jenis zat yang digunakan di beberapa kawasan regional pada tahun 2015.

Sumber: UNODC, World Drug Report


2017

2
2

Pokok Bahasan 2 EPIDEMIOLOGI DAN PERKEMBANGAN PENGGUNAAN


NARKOTIKA DIKAWASAN REGIONAL

Penanggulangan dan pemberantasan bahaya NAPZA bukanlah sebuah pekerjaan


yang mudah. Banyak negara yang cukup kesulitan bahkan nyaris kewalahan dalam
menangani tindak kejahatan narkotika ini. Dalam lingkup Asia Tenggara sendiri,
negara-negara yang tergabung dalam ASEAN telah menunjukkan sikap yang sama
dalam pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap
narkoba, dengan merumuskan kesepakatan untuk mempercepat menjadikan Asean
bebas narkoba. Untuk mencapai hal tersebut, oleh ACCORD (​Asean and China
Cooperative Operations in Response to Dangerous Drugs​), telah disusun empat pilar
sebagai pokok kegiatan sebagai berikut: 1. Secara proaktif membangkitkan
kesadaran dan mendorong peran masyarakat dalam
menangkal penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba. 2. Membangun
kesepakatan bersama dan bertukar pengalaman terbaik dalam upaya
pencegahan. 3. Mempertegas penegakan hukum dan peraturan melalui kerjasama
yang lebih baik dalam pengawasan dan peningkatan kerjasama aparat penegak
hukum, serta peninjauan pembuatan undang-undangyang berlaku. 4. Menghapus
persediaan narkotika gelap dengan mendorong program-program
pengembangan alternatif dalam membasmi penanaman gelap
narkotika.

Sejak awal tahun 2000, penggunaan zat jenis amfetamin (ATS) marak di berbagai
negara di Asia Tenggara, yaitu pada negara-negara Cambodia, China, Indonesia,
Laos, Myanmar, Filipina dan Thailand. Produksi ATS umumnya dilakukan di dalam
negeri, seperti yang tercatat di China, Myanmar dan Indonesia. Penyitaan beberapa
pabrik ATS rumahan dengan kapasitas produksi hingga ribuan kilogram setiap
bulannya menunjukkan tingginya kebutuhan yang juga mencerminkan tingginya
potensi penyalahgunaan. Salah satu zat yang digunakan untuk memproduksi
metamfetamin adalah efedrin, yang banyak diselundupkan dari China dan India.
Sementara itu penggunaan zat jenis opiat, khususnya heroin, tetap memiliki pangsa
pasar yang tetap di wilayah ini. Pengguna NAPZA suntik masih menyumbang angka
penularan HIV yang cukup tinggi pada banyak negara di Asia. Walaupun demikian,
jenis zat yang paling banyak disalahgunakan di wilayah Asia Tenggara adalah ganja.

2
3

Pokok Bahasan 3 EPIDEMIOLOGI DAN PERKEMBANGAN PENGGUNAAN


NARKOTIKA DI KAWASAN NASIONAL

Letak geografis negara Republik Indonesia sebagaimana tergambar di dalam peta


dunia terbentang di antara dua benua, yaitu Benua Asia dan Benua Australia serta
dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik yang keduanya
memiliki posisi silang yang sangat strategis. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa Indonesia mempunyai kedudukan penting ditengah-tengah lalu lintas dunia
international. Namun demikian, permasalahan letak dan kedudukan ini selain
memberikan dampak positif, pada kenyataanya dapat pula memberikan dampak
negatif. Peredaran gelap narkotika dan obat-obatan terlarang lainnya adalah salah
satu bentuk dampak negatif dari keberadaan Indonesia pada posisi geografisnya.
Kontrol atas masuknya berbagai jenis NAPZA ke Indonesia menjadi lebih sulit.
Pengaruh sosial budaya juga sulit dibendung mengingat tamu asing dapat masuk
dari berbagai belahan nusantara ini.

Penyalahgunaan dan peredaran gelap NAPZA merupakan suatu keprihatinan global.


Kejahatan narkotika telah menjadi sebuah kejahatan transnasional yang dilakukan
oleh kelompok kejahatan terorganisir (​organized crime​). Masalah ini melibatkan
sebuah sistem kompleks yang berpengaruh secara global dan akan berkaitan erat
dengan ketahanan nasional sebuah bangsa. Hal ini karena kecenderungan
peningkatan penyalahgunaan NAPZA pada kelompok usia produktif.

Di Indonesia sendiri, masalah penyalahgunaan NAPZA tidak pernah mereda,


sekalipun jenis zat yang digunakan menunjukkan perbedaan dari waktu ke waktu.
Secara resmi pemerintah awalnya mencatat masalah penyalahgunaan NAPZA dari
laporan yang diberikan oleh Kementerian Kesehatan, khususnya Rumah Sakit
Ketergantungan Obat (RSKO) dan berbagai panti rehabilitasi sosial yang berada
dalam tanggungjawab Kementerian Sosial. Pada tahun 70an jenis zat yang marak
disalahgunakan dan menggiring penggunanya mencari pertolongan medis, adalah
zat morfin/heroin. Tahun 80an berubah menjadi barbiturat yang kemudia diikuti oleh
golongan benzodiazepin. Penggunaan kedua jenis zat tersebut biasanya
dikombinasi dengan penggunaan alkohol. Sempat terjadi trend penggunaan
obat-obat yang mengandung Ephedrin sebagai obat asma, walaupun hal ini hanya
berlangsung singkat. Tahun 90an menjadi awal dari penggunaan ekstasi yang
kemudian diikuti oleh masuknya heroin. Penggunaan heroin dengan cara suntik
memicu cepatnya penularan HIV di Indonesia, dimana prevalensi HIV di kalangan
pengguna NAPZA suntik berkisar 50%. Sekitar tahun 1998 mulai marak penggunaan
metamfetamin (shabu). Sejak tahun 2002 penyalahgunaan heroin tidak
menunjukkan peningkatan pengguna baru yang berarti, namun penggunaan zat jenis
amfetamin, baik ekstasi maupun metamfetamin (shabu) justru semakin meningkat.
Saat ini shabu dan ektasi menjadi zat nomor 2 yang terbanyak disalahgunakan
setelah ganja. Diluar

2
4

zat-zat tersebut diatas, penyalahgunaan ganja sudah dilakukan semenjak tahun


1960an hingga saat ini. Data tentang penggunaan kokain dan ketamin sangat
sedikit. Pada pertengahan tahun 2000 sampai sekarang tercatat adanya
penyalahgunaan Buprenorfin, alprazolam, DMP, trihexyphenidyl, krokodil, YABA,
katinona dan metkatinona.

Indonesia sendiri adalah produsen ganja sejak awal abad ke 20 dan ganja yang
berasal dari Aceh adalah salah satu dari yang berkualitas baik di dunia. Sediaan
heroin berasal dari segitiga emas dan tidak berasal dari dalam negeri. Sementara
konsumsi metamfetamin sejak tahun 2000 tampaknya dipenuhi oleh produksi dalam
negeri, terbukti dari laporan penyitaan dan penggerebekan
laboratorium-laboratorium klandestin di Indonesia memproduksi metamfetamin
dalam jumlah yang besar.

Survei yang dilakukan oleh Badan Narkotika Nasional bekerjasama dengan Pusat
Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia pada tahun 2014 menunjukkan bahwa
estimasi penyalahguna NAPZA adalah sekitar 2,18% dari total seluruh penduduk
Indonesia berusia 10- 59 tahun. Pada tahun 2016 diproyeksikan angka prevalensi
sebesr 2,21% atau setara dengan 4.173.633 orang. Dari sejumlah penyalahguna
tersebut, terdistribusi atas 0,87% coba pakai, 0,82% teratur pakai, 0,49% pecandu
bukan suntik, dan 0,04% pecandu suntik.. Berdasarkan survei BNN tahun 2016 di
kalangan pelajar dan mahasiswa diketahui, hampir semua (91%) pelajar dan
mahasiswa pernah mendengar jenis narkoba di tahun 2016, dengan proporsi
terendah pada kelompok SMP (88%). Semakin tinggi tingkat pendidikan, maka
semakin banyak yang mengenali jenis-jenis narkoba.Lebih dari separuh responden
memiliki tingkat pengetahuan baik (53%). Namun, masih ada 30% dari responden
yang memiliki pengetahuan narkoba kurang. Bila dibandingkan tingkat pengetahuan
antara penyalahguna dan bukan penyalahguna, ternyata tingkat pengetahuan
penyalahguna lebih baik dibandingkan yang bukan penyalahguna, baik pada laki-laki
maupun perempuan. Mereka yang bukan penyalahguna memiliki tingkat
pengetahuan kurang yang lebih besar, misalkan dikalangan laki-laki (37% vs 26%)
dan perempuan (24% vs 14%).Data BNN tahun 2017 menyatakan jumlah pecandu
yang mendapatkan terapi dan rehabilitasi sebanyak 33.267 orang. Sedangkan hasil
proyeksi menunjukan kerugian biaya ekonomi akibat penyalahgunaan narkoba
meningkat dari Rp.57,0 trilyun di tahun 2012 menjadi Rp.63,1 trilyun di tahun 2014.

Berbagai upaya baik berupa pencegahan, pemberantasan maupun penanggulangan


permasalahan peredaran gelap Narkotika dan obat-obatan terlarang lainnya telah
dilakukan oleh segenap elemen bangsa ini. Sebut saja upaya pembaharuan
undang-undang tentang Narkotika dari UU Nomor 22 tahun 1997 menjadi UU Nomor
35 tahun 2009. Undang-undang terbaru itu diyakini dapat memberikan efek jera yang
diiringi harapan semakin berkurangnya jumlah penyalahgunaan Narkotika dan
obat-obatan terlarang lainnya di Indonesia.

2
5

DAFTAR
PUSTAKA

1. UNODC, 2017. World Drug Report 2. BNN, 2017. Ringkasan Eksekutif


Survei Di Kalangan Pelajar dan Mahasiswa. 3. Kementerian Kesehatan,
2017. Infodatin. Anti Narkona Sedunia 26 Juni 2017.
2
6

MATERI INTI
1
KETERGANTUNGAN
NARKOTIKA

I. DESKRIPSI SINGKAT

Pengetahuan dasar mengenai gangguan penggunaan napza perlu dimiliki oleh


petugas kesehatan yang bergerak di bidang pencegahan dan penanggulangan
napza. Pemahaman mengenai dasar teori terjadinya gangguan penggunaan napza,
terminologi yang sering digunakan, serta berbagai model pendekatan pemahaman
kondisi ini, merupakan sebagian dari landasan pengetahuan bagi petugas kesehatan
agar dapat memberikan pendekatan terbaik dalam melakukan asesmen dan terapi
bagi pengguna napza. Istilah penggunaan napza dan penggunaan zat akan
digunakan secara bergantian pada materi ini.

Seseorang dapat menggunakan zat karena berbagai alasan, salah satu di antaranya
adalah untuk mendapatkan rasa senang atau kenikmatan ​(to feel good). ​Sebagian
besar zat dapat menimbulkan rasa nikmat yang sangat tinggi. Zat dapat
menimbulkan sensasi awal berupa eforia, yang kemudian diikuti dengan berbagai
efek lainnya, bergantung pada jenis zat yang digunakan. Alasan lain menggunakan
​ ebagian orang menggunakan
zat adalah untuk merasa lebih baik ​(to feel better). S
zat untuk mengurangi kecemasan, rasa tertekan, dan depresi. Dalam hal ini, stres
memiliki peran yang sangat penting untuk membuat seseorang mulai menggunakan,
melanjutkan, atau kembali menggunakan zat.

Penggunaan napza juga dapat ditujukan untuk mendapatkan performa yang lebih
baik ​(to do better). ​Sebagai contoh, penggunaan stimulansia untuk meningkatkan
fungsi kognitif dan atletik. Pada beberapa orang, khususnya remaja, penggunaan zat
dapat didasari rasa ingin tahu yang kuat, atau karena yang lain juga melakukannya
(curiosity and “because others are doing it”). ​Remaja merupakan populasi yang
paling rentan akan hal ini akibat kuatnya pengaruh dari tekanan sebaya ​(peer
pressure).

Pada awal penggunaan zat, seseorang dapat merasakan efek yang “tampaknya”
positif. Selain itu, biasanya pengguna zat beranggapan bahwa mereka dapat
mengendalikan penggunaan zatnya. Namun demikian, zat dapat dengan cepat
mengambil alih kehidupan seseorang dalam berbagai aspek, misalnya kesehatan
dan keuangan. Seiring waktu, bila penggunaan zat berlanjut, aktivitas yang
sebelumnya menyenangkan menjadi tidak lagi menyenangkan, sehingga zat
digunakan hanya untuk membuat pengguna zat merasa “normal”. Mereka kemudian
mulai mencari zat secara kompulsif meskipun paham mengenai risiko untuk dirinya
dan keluarga.

2
7

II. TUJUAN PEMBELAJARAN

A. Tujuan Pembelajaran
Umum
Pada akhir sesi ini peserta mampu menjelaskan pengetahuan dasar mengenai
gangguan penggunaan napza. ​B. Tujuan Pembelajaran Khusus
Pada akhir sesi ini, peserta mampu 1. menjelaskan berbagai terminologi yang berkaitan
dengan gangguan penggunaan zat 2. menyebutkan penggolongan zat. 3.
menjelaskan patofisiologi gangguan penggunaan zat. 4. menjelaskan berbagai
pendekatan mengenai gangguan penggunaan zat.

III. POKOK BAHASAN DAN SUBPOKOK


BAHASAN

Dalam modul ini akan dibahas pokok bahasan sebagai


berikut: Pokok Bahasan 1. Terminologi. Pokok Bahasan
2. Penggolongan Zat Pokok Bahasan 3. Patofisiologi
Gangguan Penggunaan Zat
3.1. Komunikasi antar sel otak 3.2. Pengaruh zat terhadap otak
3.3. Proses terjadinya adiksi Pokok Bahasan 4. Pemahaman
mengenai Gangguan Penggunaan Zat
4.1. Berbagai Pendekatan mengenai Gangguan
Penggunaan Zat 4.2. Pendekatan Biopsikososial

IV. URAIAN MATERI

Pokok bahasan 1
TERMINOLOGI

Berbagai macam istilah (terminologi) sering digunakan dalam pembahasan


mengenai masalah dan gangguan terkait penggunaan napza. Kementerian
Kesehatan dan Kementerian Sosial Republik Indonesia menggunakan istilah napza
​ tau ​drug.​ Kalangan penegak hukum dan
sebagai istilah pengganti ​substance a
masyarakat secara umum lebih sering menggunakan istilah NARKOBA.

Gangguan penggunaan zat ​(substance use disorder) ​merupakan terminologi


diagnostik yang mulai digunakan sejak terbitnya edisi ke lima buku panduan
diagnostik gangguan mental, ​The Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders, Fifth Edition (DSM-5)​, tahun 2013.

2
8

Terminologi diagnostik ini menggantikan istilah diagnosis ketergantungan zat


(substance dependence) d ​ an penyalahgunaan zat ​(substance abuse)​.

Berdasarkan DSM-5, seseorang dinyatakan mengalami gangguan penggunaan zat


saat penggunaan zat yang berulang menyebabkan timbulnya hendaya klinis dan
fungsi yang bermakna, misalnya masalah kesehatan, disabilitas, dan kegagalan
memenuhi tanggungjawabnya di tempat kerja, sekolah, dan rumah. Diagnosis
gangguan penggunan zat didasarkan atas adanya bukti hendaya pada pengendalian
diri ​(impaired control), ​hendaya sosial ​(social impairment), p
​ enggunaan berisiko
(risky use), s​ erta kriteria farmakologis. Gangguan penggunaan zat diklasifikasikan
berdasarkan tingkat keparahannya ​(severity level) ​menjadi ringan ​(mild)​, sedang
(moderate), ​dan berat ​(severe).

Adiksi,​ merupakan istilah umum lainnya yang juga sering digunakan. Menurut ​The
National Institute on Drug Abuse (NIDA)​, adiksi didefinisikan sebagai penyakit otak
kronis dan kambuhan yang ditandai dengan perilaku mencari dan menggunakan zat
yang kompulsif, meskipun memiliki konsekuensi yang merugikan. Adiksi dianggap
sebagai suatu penyakit otak karena zat yang digunakan dapat mengubah struktur
dan cara kerja otak. Perubahan pada otak tersebut dapat bersifat jangka panjang
dan menyebabkan perilaku merugikan yang tampak pada orang yang menggunakan
zat. Istilah adiksi yang dimaksud di sini dapat dianggap ekivalen dengan istilah
gangguan pengunaan zat berat (​severe subtance use disorder​) pada DSM-5.

Berikut ini beberapa istilah yang sering digunakan pada pembahasan masalah dan
gangguan penggunaan napza beserta definisi operasionalnya masing-masing.

• ​Zat. ​Diterjemahkan dari kata ​substance​, adalah segala bentuk zat kimia yang
memiliki efek spesifik terhadap otak dan tubuh.
​ alam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai obat, adalah setiap zat
• ​Drug.D
kecuali makanan, minuman dan oksigen yang apabila masuk ke dalam tubuh akan
memengaruhi fungsi fisik maupun psikologis individu.
• ​Narkotika. ​Menurut Undang-Undang no. 35 tahun 2009 tentang narkotika, yang
disebut narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan
atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa
nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. Jenis zat yang dimasukkan kedalam
kelompok narkotika didalam UU tersebut tidak sejalan dengan terminologi dalam
farmakologi. Salah satu hal yang mendasari adalah dari besaran masalah
penggunaannya. Jenis zat yang dimasukkan ke dalam kelompok narkotika di dalam
Undang-Undang (UU) tersebut tidak sejalan dengan terminologi dalam farmakologi.
Narkotika berasal dari kata Yunani ​narkotikaos, ​yaitu obat

2
9

apa pun yang menginduksi tidur. Narkotika juga sering diartikan dalam lingkup
yang lebih sempit, yaitu sebagai opioda; dalam konteks hukum seperti pada UU
tersebut di atas, narkotika diartikan sebagai senyawa yang sering disalahgunakan
dan bersifat adiktif.
​ enurut Undang Undang RI nomor 5 tahun 1997 tentang psikotropika, yang
• ​Psikotropika. M
dimaksud psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika,
yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat dan
meyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.
• ​Zat Psikoaktif. Istilah psikoaktif dipakai dalam buku International Classification of Diseases
edisi 10 (ICD 10) dan dalam buku Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa
edisi III (PPDGJ III). Zat psikoaktif adalah zat yang bekerja pada susuanan saraf pusat
secara selektif sehingga dapat menimbulkan perubahan pada pikiran, perasaan, perilaku,
persepsi maupun kesadaran (Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Zat
Psikoaktif, Joewana, EGC, 2004).
• ​NAPZA. Akronim dari ​Narkotika​, ​Ps​ ikotropika, ​Z​at ​A​diktif lain. Akronim ini banyak
digunakan oleh jajaran Kementerian Kesehatan.
• ​Narkoba​. ​Akronim dari ​Narkotika ​dan ​Ba
​ han ​a​diktif lain. Akronim ini disukai oleh jajaran
penegak hukum.
• ​Opium. Dalam bahasa Yunani opos, artinya getah (juice), maksudnya getah dari kotak biji
tanaman Papaver somniferum (pohon candu).
• ​Opiat. Semua senyawa yang berasal dari produk yang terdapat dalam opium, baik yang
alami seperti morfin, kodein dan tebain, maupun yang semi-sintetik seperti heroin.
• ​Opioda. Semua senyawa yang mempunyai fungsi dan sifat farmakologis seperti opiat, jadi
metadon.
• ​Zat Psikedelik (Psychedelic agent). Senyawa yang dapat menimbulkan gangguan persepsi
seperti halusinasi, ilusi dan waham, termasuk di dalamnya adalah senyawa halusinogenik
yaitu senyawa yang dalam dosis kecil menimbulkan gangguan persepsi, pikiran, perasaan,
akan tetapi pengaruhnya terhadap daya ingat dan orientasi minimal
• ​Club drug​. Zat yang banyak digunakan di klub-klub (allnite dance) seperti ecstasy, LSD,
PCP, ketamin.
• ​Amfetamin. ​Zat jenis stimulansia kuat yang bekerja pada sistim saraf pusat. Zat
stimulansia bekerja dengan cara memercepat proses penyampaian pesan di otak
dan tubuh. Beberapa jenis amfetamin diresepkan secara legal oleh dokter untuk
​ an narkolepsi.
pengobatan ​attention deficit hyperactivity disorder (ADHD) d
• ​Amphetamine-type stimulants (ATS). i​ stilah yang digunakan untuk amfetamin
dan sekelompok zat yang secara kimiawi menyerupai amfetamin dan memiliki effek
stimulansia seperti amfetamin.
• ​New Psychoactive Substances (NPS). Z​ at jenis baru yang muncul dalam
peredaran napza, biasanya merupakan ​designer drug (​ lihat keterangan ​designer
drug)​
• ​Designer drug. ​zat yang memiliki struktur atau fungsi menyerupai zat original,
dibuat dengan tujuan untuk menghindari klasifikasi sebagai zat atau obat ilegal dan
untuk menghindari deteksi pada pemeriksaan tes zat yang standar.

3
0

• ​Benzodiazepin. ​Golongan obat yang memiliki efek hipnotik, anti ansietas,


antikonvulsan, amnestik dan relaksan otot. Biasa digunakan untuk pengobatan
insomnia dan ansietas (gangguan cemas).
• ​Kratom. ​Sejenis tanaman, senyawa aktif berasal dari daunnya. Tanaman ini
populer di Asia tenggara, digunakan secara tradisional pada awalnya sebagai obat
diare dan pereda nyeri.
• ​Khat. ​Tanaman yang tumbuh di Afrika timur dan bagian selatan Arab, digunakan
dengan cara mengunyah daunnya untuk mendapatkan efek stimulansia ringan.
• ​Synthetic cathinones.​ S
​ timulansia yang dibuat olah manusia, secara kimiawi
serupa dengan ​cathinone​, zat yang ditemukan pada tanaman khat.
• ​Synthetic cannabinoids. ​Zat yang dibuat menyerupai struktur kanabis dan
menimbulkan efek yang serupa dengan kanabis.
• ​Penyalahgunaan ​(abuse). ​Penggunaan zat, biasanya digunakan sendiri, dengan
cara yang berbeda dari pola penggunaan medis atau dengan cara yang
bertentangan dengan norma sosial.
• ​Misuse. ​Serupa dengan ​abuse​, biasanya digunakan untuk obat-obatan yang
diresepkan oleh dokter yang tidak digunakan sesuai petunjuk.
• ​Toleransi. ​Suatu kondisi yang terjadi saat efek suatu zat menurun pada
penggunaan berulang, dalam arti lain, dibutuhkan dosis yang lebih besar untuk
mendapatkan efek yang sama seperti penggunaan sebelumnya.
• ​Toleransi silang. ​Keadaan saat seseorang yang mengalami toleransi terhadap
satu jenis zat juga mengalami toleransi terhadap zat lain yang sifat farmakologiknya
sama dan memproduksi efek fisiologis dan psikologis yang sama. Contoh: toleransi
silang antara heroin dan metadon.
• ​Adverse tolerance. ​Suatu keadaan ketika untuk memperoleh efek suatu zat
dibutuhkan dosis yang semakin sedikit. Contoh: pada penggunaan ganja,
disebabkan adanya efek kumulatif dari zat psikoaktif dalam ganja (THC).
• ​Neuroadaptasi. ​Perubahan neurokimiawi atau neurofisiologis pada tubuh yang
terjadi akibat penggunaan zat berulang. Neuroadaptasi yang berperan dalam
fenomena toleransi.
• ​Ketergantungan zat​. Kondisi yang ditandai oleh dorongan untuk menggunakan zat
secara terus menerus dengan takaran yang meningkat agar menghasilkan efek yang
sama. Apabila penggunaannya dikurangi / atau dihentikan secara tiba-tiba,
menimbulkan gejala fisik dan psikis yang khas. Menurut pemahaman ilmiah,
ketergantungan zat terjadi karena penggunaan zat berulang kali secara teratur
sehingga terjadi toleransi dan gejala putus zat.
• ​Ketergantungan fisik ​(physical dependence)​. ​Berbagai efek fisik (fisiologis) yang
diakibatkan oleh penggunaan zat berulang.
• ​Ketergantungan psikologis atau emosional, disebut juga habituasi. ​Ditandai
dengan adanya perasaaan menagih ​(craving) ​yaitu hasrat yang sangat kuat untuk
kembali menggunakan suatu zat. Kondisi ini dapat terjadi tanpa disertai gejala fisik,
setelah berhenti memakai zat tersebut untuk durasi waktu tertentu.

3
1

• ​Ketergantungan perilaku ​(behavioral dependence)​. ​Aktivitas mencari zat serta


pola penggunaan zat yang patologis.
• ​Adiksi. ​Penggunaan zat yang berulang dan meningkat; pengurangan penggunaan
menyebabkan munculnya gejala penderitaan ​(distress) d ​ an dorongan yang tak dapat
​ ntuk menggunakan zat kembali yang kemudian menyebabkan
ditolak ​(irresistable) u
kemunduran fisik dan mental.
• ​Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Zat Psikoaktif (ICD 10,
PPDGJ III). ​Kelompok gangguan mental yang berkaitan dengan penggunaan zat
psikoaktif, jadi bukan suatu diagnosis. Dalam kelompok gangguan mental ini
terdapat sepuluh kondisi klinik yaitu: intoksikasi akut, penggunaan yang merugikan,
sindroma ketergantungan, keadaan putus zat, keadaan putus zat dengan delirium,
gangguan psikosis akibat zat, sindroma amnestik akibat penggunaan zat psikoaktif,
gangguan psikosis residual dan onset lambat akibat pengunaan zat psikoaktif,
gangguan mental dan perilaku (terinci) lainnya akibat penggunaa zat psikoaktif, dan
gangguan mental dan perilaku yang tak terinci akibat penggunaan zat psikoaktif.
• ​Intoksikasi akut. ​Kondisi yang timbul akibat penggunaan zat psikoaktif sehingga
terjadi gangguan kesadaran, fungsi kognitif, persepsi, afek, perilaku atau fungsi dan
respons psikofisiologis lainnya.
• ​Penggunaan yang merugikan ​(harmful). ​Suatu pola penggunaan zat psikoaktif
yang menyebabkan terganggunya kesehatan, dapat berupa gangguan kesehatan
fisik maupun gangguan kesehatan mental.
• ​Sindroma ketergantungan. ​Sindroma yang terdiri dari paling sedikit 3 dari gejala
berikut ini: (1) adanya keinginan yang kuat untuk menggunakan zat psikoaktif, (2)
ganguan dalam mengendalikan perilaku penggunaan zat psikoaktif, (3) adanya
gejala putus zat, (4) toleransi, (5) preokupasi terhadap zat psikoaktif, (6) tetap
menggunakan zat psikoaktif walaupun menderita gangguan yang nyata akibat zat
psikoaktif yang digunakannya.
• ​Keadaan putus zat. ​Kumpulan gejala yang timbul sebagai akibat berhenti atau
mengurangi jumlah zat psikoaktif yang biasa digunakan secara cukup teratur dan
sering dalam jumlah yang banyak.
• ​Keadaan putus zat dengan delirium. ​Sama dengan putus zat tersebut di atas
tetapi disertai delirium, dapat disertai kejang atau tanpa kejang.
• ​Gangguan psikotik akibat zat psikoaktif. ​Psikosis yang muncul pada waktu
menggunakan zat psikoaktif yang menetap lebih dari 48 jam dan berlangsung paling
lama 6 bulan.
• ​Kodependensi. ​Istilah ini digunakan untuk anggota keluarga yang terdampak oleh
perilaku pengguna zat atau justru memengaruhi perilaku dari pengguna zat. Istilah
ini juga berkaitan dengan istilah ​enabler, y​ aitu orang yang memfasilitasi perilaku
adiktif seseorang (contoh memberikan zat secara langsung atau uang untuk
membeli zat). ​Enabling ​juga mencakup sikap keengganan anggota keluarga unutk
menerima adiksi sebagai gangguan medis-psikiatrik atau menyangkal bahwa
seseorang menyalahgunakan zat.

3
2
Istilah
Gaul

Para pengguna zat psikoaktif merupakan suatu subkultur yang biasanya mempunyai
bahasa gaul tersendiri. Bahasa gaul ini bisa berbeda untuk setiap daerah dan
senantiasa mengalami perubahan, artinya yang lama sudah tidak digunakan lagi,
sebaliknya muncul istilah gaul yang baru. Berikut ini disajikan beberapa istilah gaul
yang umum dan masih sering terdengar dengan tujuan agar petugas kesehatan
lebih mudah membina ​rapport. -​ ​Acid :​ LSD, zat golongan halusinogen - Amper :
amplop - Bokul : beli - Cimeng, gele, budha ​stick :​ ganja, kanabis - Cucau :
menggunakan putau dengan cara menyuntik kedalam
pembuluh darah balik (intravena) - Ekstasi (​ecstacy)​ , XTC :
MDMA - Elsid : pelafalan ​slank ​dari LSD - Etep : heroin dalam peredaran ilegal,
isinya tidak murni heroin; ​slank
putau/w yang disingkat PT, ditulis sesuai pelafalan: ​pete​, lalu dibaca dari belakang -
Gau : gram (satuan berat, khususnya untuk putau) - Giting, mabok, beler :
intoksikasi - Insul, Spidol : alat suntik, spuit, syringe - Linting : ukuran jumlah, untuk
ganja - Ngedrag : menggunakan putau dengan cara inhalasi asap putau yang
dibakar - Ngelem : mengonsumsi inhalansia, seperti lem
dan bensin - Ngive : (lihat cucau) - Ngubas : mengonsumsi sabu-sabu
(metamfetamin) - Nyabu : (lihat ngubas) - Nyepet : (lihat cucau) - Pakau/w :
singkatan dari pakai putau/w, istilah ​sedang mengonsumsi
putau -​ Paket : satuan jumlah putau - Parno :
paranoid, salah satu gejala intoksikasi metamfetamin - Pedau/w : intoksikasi
putau/w - Pil anjing, gedek, koplo : MDMA, zat golongan halusinogen - PT,
pete : (lihat etep) - Putau/w : (lihat etep) - Riv, rivotril : clonazepam, obat
golongan benzodiazepine

3
3

- Sabu-sabu : metamfetamin - Sakau/w : singkatan dari sakit karena putau/w,


sindrom putus opioid - Seperempi : seperempat (gau) - Setengki : setengah (gau)
- Syut : isapan (satu syut = satu isapan) - Ubas : (lihat sabu-sabu), ​slank ​sabu
(dibaca dari belakang)

Pokok bahasan 2
PENGGOLONGAN
ZAT

Terdapat berbagai penggolongan zat yang digunakan dalam berbagai pedoman di


Indonesia saat ini. Berikut beberapa penggolongan zat yang digunakan dalam
pembahasan masalah dan gangguan penggunaan napza.

Dalam buku PPDGJ III atau ICD 10, zat psikoaktif dikelompokkan menjadi sebagai
berikut: 1. Alkohol, yaitu semua minuman yang mengandung etanol seperti bir, wiski,
vodka, brem,
tuak, saguer, ciu, arak. 2. Opioid, termasuk di dalamnya adalah candu, morfin,
heroin, petidin, kodein, metadon. 3. Kanabinoid, yaitu ganja atau marihuana,
hashish. 4. Sedatif dan hipnotik, misalnya nitrazepam, klonasepam, bromazepam.
5. Kokain, yang terdapat dalam daun koka, pasta kokain, bubuk kokain. 6. Stimulan
lain, termasuk kafein, metamfetamin, MDMA. 7. Halusinogen, misalnya LSD,
meskalin, psilosin, psilosibin. 8. Tembakau yang mengandung zat psikoaktif nikotin.
9. Inhalansia atau bahan pelarut yang mudah menguap, misalnya minyak cat, lem,
aseton. 10. Lainnya, yang tidak/belum dapat dikelompokkan ke salah satu dari 9
kelompok di atas.

PENGGOLONGAN NARKOTIKA MENURUT UNDANG-UNDANG RI NOMOR 35


TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

Dalam Undang-undang ini, narkotika dibedakan menjadi 3 golongan, tanpa


memperhatikan struktur molekul maupun khasiat farmakologiknya. a. Golongan I:
• ​Dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan
kesehatan
• ​Dalam jumlah terbatas, narkotika golongan I dapat digunakan untuk
kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan untuk
reagensia diagnostik, serta reagensia laboratorium setelah mendapatkan
persetujuan menteri atas rekomendasi Kepala Badan Pengawas Obat dan
Makanan (pasal 8).

3
4

• ​Termasuk narkotika golongan I adalah opium, heroin, kokain, ganja, metakualon,


metamfetamin, amfetamin, MDMA, STP, fensiklidin. b. Golongan II:
• ​Berpotensi tinggi menyebabkan ketergantungan dan digunakan dalam
pengobatan sebagai pilihan terakhir.
• ​Termasuk dalam golongan ini adalah morfin, petidin,
metadon. c. Golongan III:
• ​Berpotensi ringan menyebabkan ketergantungan dan digunakan dalam
terapi.
• ​Termasuk dalam golongan ini adalah kodein,
bufrenorfin.

New Psychoactive Substance (NPS) ​New Psychoactive Substance (NPS)


merupakan istilah yang digunakan oleh ​The United Nations Office on Drugs and
Crime (UNODC) u ​ ntuk menggambarkan zat dalam bentuk murni atau olahan, yang
belum diatur dan dikendalikan oleh undang-undang atau aturan legal, namun dapat
menimbulkan ancaman bagi kesehatan publik. Di pasaran, NPS dikenal juga
​ tau ​“research chemicals”.
sebagai ​“legal high”, “bath salts”, a

Menurut UNODC, kelompok zat utama dari NPS


antara lain:

• ​Aminoindanes,​ contoh
MDAI
• ​Synthetic cannabinoids​, contoh
JWH-018
• ​Synthetic cathinones, ​contoh
4-MEC
• ​α-pyrrolidinopentiophenone
(α-PVP)
• ​Zat tipe ​phencyclidine,​ contoh ​methoxetamine
(MXE)
• ​Phenethylemanine​, contoh
25H-NBOME
• ​Piperazine​, contoh BZP,
mCPP
• ​Zat berbasis tanaman, contoh kratom,
khat
• ​Typtamine,​ contoh AMT
• ​Zat lainnya, seperti ​dimethylamylamine
(DMAA)
Tiap zat memiliki efek yang berbeda, sebagai contoh BZP dan MDAI, termasuk tipe
stimulansia, menyerupai efek amfetamin, kokain dan ekstasi. Synthetic cannabinoid
sesuai dengan namanya, memiliki efek seperti kanabis, sedangkan 25H-NBOME
memiliki efek halusinogenik menyerupai LSD.

Menurut Badan Narkotika Nasional (BNN), sebagian NPS telah beredar di Indonesia
dengan berbagai jenis. Beberapa di antaranya telah diatur oleh Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia tentang perubahan penggolongan narkotika, dan
masuk ke dalam daftar narkotika golongan I.

3
5

Pokok bahasan 3 PATOFISIOLOGI


GANGGUAN PENGGUNAAN ZAT

Otak dan fungsinya ​Untuk memahami patofisiologi gangguan penggunaan zat, hal
pertama yang perlu dipelajari adalah otak dan fungsinya. Otak manusia terdiri dari
beberapa bagian yang bekerja sama layaknya sebuah tim. Tiap bagian otak
bertanggung jawab untuk mengkoordinasikan dan melakukan suatu fungsi spesifik.
Zat psikoaktif dapat mengubah fungsi area-area penting pada otak yang
berhubungan dengan kelangsungan hidup, serta dapat mendorong penggunaan zat
yang bersifat kompulsif yang menandai terjadinya adiksi. Area otak yang dipengaruhi
oleh zat antara lain:

1. Batang otak ​(brain


stem)
Bagian otak ini mengendalikan fungsi dasar yang penting bagi kelangsungan
hidup, seperti detak jantung, pernapasan, dan tidur.

2. Korteks serebri ​(cerebral


cortex)
Bagian otak ini terbagi menjadi beberapa area yang mengontrol fungsi spesifik.
Bagian paling depan dari korteks, yaitu korteks prefrontal, merupakan pusat berpikir
pada otak, di sinilah letak kemampuan berpikir, menyusun rencana, memecahkan
masalah, dan membuat keputusan seseorang. 3. Sistim limbik ​(limbic system)
​ istim ini
Pada sistim limbik, terdapat yang disebut ​brain reward circuit. S
menghubungkan beberapa struktur otak yang mengatur dan mengendalikan
kemampuan seseorang untuk merasa senang. Perasaan senang akan
memotivasi seseorang untuk mengulang suatu perilaku, hal ini penting untuk
eksistensi manusia. Sistim limbik teraktivasi oleh aktivitas yang menyehatkan dan
memertahankan hidup seperti makan dan juga bersosialisasi. Namun, area ini
juga teraktivasi oleh penggunaan zat. Selain itu, sistim limbik juga bertanggung
jawab terhadap persepsi dari berbagai emosi lainnya, yang menjelaskan
mengapa zat tertentu dapat memengaruhi atau mengubah mood seseorang.

3
6

Gambar 1. Area otak yang dipengaruhi


oleh zat

Komunikasi antar sel otak ​Otak merupakan pusat komunikasi yang terdiri dari jutaan
sel otak yang disebut neuron. Tiap neuron mengirim dan menerima pesan dalam
bentuk sinyal elektrik dan kimiawi. Pesan antar neuron ini diantarkan oleh
neurotransmiter. Neurotransmiter yang membawa pesan, akan berikatan dengan
tempat tertentu pada neuron lainnya yang disebut reseptor. Neurotransmiter dan
reseptor bekerja dengan analogi menyerupai kunci dan lubang kunci. Reseptor
diumpamakan seperti lubang kunci sedangkan neurotransmiter sebagai kunci.
Setelah neurotransmiter berikatan dengan reseptor, pesan kemudian akan
diteruskan.

Zat memengaruhi otak dengan cara mengganggu proses neurotransmisi


(penerimaan dan pengiriman pesan antar sel otak). Beberapa zat seperti mariyuana
dan heroin misalnya, menyerupai neurotransmiter alami dan “menipu” reseptor,
sehingga mengakibatkan pesan “abnormal” yang terkirim sepanjang jaringan otak.

Gambar 2. Komunikasi antar sel


otak

3
7

Pengaruh zat pada otak ​Satu jaras yang penting dalam memahami efek zat pada otak
adalah jaras ​reward (reward pathway). ​Jaras ini melibatkan beberapa bagian otak,
antara lain: ​ventral tegmental area (VTA), nucleus accumbens (NAc), d​ an ​prefrontal
cortex (PFC). ​Saat teraktivasi oleh suatu rangsang yang menyenangkan ​(rewarding
​ isalnya makanan atau aktivitas seksual, informasi berjalan dari VTA ke
stimulus) m
NAc dan naik ke PFC.
Gambar 3. ​Brain reward
system

Manusia, demikian juga organisme lain, melakukan perilaku yang sifatnya ​rewarding​.
Perasaan senang memberikan penguatan positif ​(positive reinforcement) ​sehingga
perilaku tertentu akan diulang kembali. ​Reward d ​ apat bersifat alami seperti
​ tau ​reward b
makanan, air, seks, dan juga pengasuhan ​(nurturing), a ​ uatan ​(artificial)
seperti zat.

Perasaan senang/nikmat muncul akibat adanya pelepasan neurotransmiter dopamin


ke NAc pada ​reward system.​ Area lain di otak merekam situasi dan lingkungan yang
berkaitan dengan perasaan menyenangkan ini ke dalam memori. Memori ini, disebut
conditioned associations, ​seringkali menyebabkan ​craving (​ menagih) zat saat
pengguna zat berhadapan dengan orang, tempat, atau benda yang berkaitan denga
penggunaan zatnya. Hal ini dapat mengarahkan pengguna zat untuk mencari zat
lagi.

Proses terjadinya adiksi

​ i
Pada tahap-tahap awal proses penggunaan zat, stimulasi zat pada sistim ​reward d
otak merupakan alasan utama seseorang menggunakan zat secara berulang.
Namun demikian, seiring berjalannya waktu, dorongan untuk menggunakan zat
meningkat melampaui sekedar

3
8
dorongan untuk merasakan rasa senang. Peningkatan dorongan ini kemudian akan
berkaitan dengan toleransi dan ketergantungan.

Paparan berulang terhadap peningkatan dosis zat mengubah fungsi otak sehingga
fungsi menjadi normal saat terdapat zat dan tidak normal saat tak menggunakan zat.
Dua dampak klinis yang penting dari perubahan ini adalah toleransi (kebutuhan
untuk menggunakan dosis lebih tinggi untuk mencapai efek zat yang sama) dan juga
ketergantungan ​(dependence), k​ ecenderungan untuk mengalami gejala putus zat.
Gejala putus zat muncul hanya bila pasien telah mengalami toleransi.

Toleransi zat terjadi karena sel-sel otak yang memiliki reseptor untuk zat tertentu
secara bertahap menjadi kurang responsif terhadap stimulasi zat, sehingga lebih
banyak zat yang dibutuhkan untuk menstimulasi sel otak pada VTA di sistim reward
untuk melepaskan jumlah dopamin yang sama ke NAc. Dengan demikian,
dibutuhkan zat dalam jumlah lebih banyak untuk menimbukan rasa senang/nikmat
yang sama pada penggunaan.

Ketergantungan zat dan gejala putus zat berkaitan dengan sistem lainnya di otak
yang juga penting yaitu Locus Ceruleus (LC). Neuron pada LC memproduksi
senyawa kimiawi noradrenalin (NA) dan mendistribusikannya ke area lain di otak yag
berhubungan dengan keterjagaan, pernapasan, tekanan darah, kewaspadaan dan
fungsi-fungsi lainnya. Sebagai contoh, pada penggunaan opioida, saat opioida
berikatan dengan reseptor ​mu p ​ ada sel otak di LC, terjadi penekanan pelepasan NA
yang menyebabkan kantuk, pernapasan melambat, dan tekanan darah turun – suatu
kondisi yang sesuai dengan keadaan intoksikasi opioida. Dengan paparan opioida
berulang, neuron LC kemudian menyesuaikan dengan meningkatkan akitivas
kerjanya. Sehingga, bila opioida muncul, NA dalam jumlah normal dilepaskan dan
pasien merasa kurang lebih normal. Saat opioida tidak muncul untuk menekan
peningkatan aktivitas LC, neuron meningkatkan pelepasan NA dalam jumlah besar,
memicu kegelisahan, kecemasan, kram otot dan diarea. Area ​brain reward system
juga berperan dalam gejala putus zat. Toleransi terhadap zat mengurangi pelepasan
dopamin dari VTA ke NAc sehingga mencegah seseorang merasa senang dari
aktivitas ​rewarding ​yang normal seperti makan.

Rasa senang yang berasal dari aktivasi zat pada ​brain reward system ​mendukung
penggunaan zat secara kontinyu pada tahap awal adiksi zat. Selanjutnya, paparan
berulang terhadap zat mencetuskan mekanisme ketergantungan pada otak, yang
mengakibatkan penggunaan zat harian untuk menghindari gejala putus zat yang
tidak menyenangkan. Penggunaan zat yang memanjang selanjutnya akan
mengakibatkan perubahan otak yang bertahan lama yang menjadi dasar dari
perilaku mencari zat yang kompulsif dan berbagai konsekuensi negatif yang
berkaitan yang merupakan ​hallmark ​dari adiksi.

3
9

Pokok bahasan 4 PEMAHAMAN MENGENAI GANGGUAN


PENGGUNAAN NAPZA

1. Berbagai Pendekatan Pemahaman Mengenai Gangguan Penggunaan Napza

Pemahaman tentang gangguan penggunaan napza memiliki sejarah tersendiri, yang


perlu diketahui oleh petugas kesehatan yang bergerak di bidang penanganan napza.
Pendekatan pemahaman mengenai mengapa seseorang mengalami gangguan
penggunaan zat (adiksi) dan apa yang menyebabkannya, akan mengarahkan
masyarakat atau lingkungan kepada jenis penanganan atau perlakuan terhadap
seorang pengguna zat yang sesuai dengan pendekatan/model yang dianut.
Selanjutnya gangguan penggunaan napza akan disingkat sebagai GPN dalam
modul ini.

Berbagai pendekatan untuk memahami GPN, dikenal juga sebagai model atau
paradigma, telah ada sejak beratus tahun lalu. Sebelum abad ke 16, pendekatan
seperti ​pendekatan moral ​dan ​pendekatan kriminal​, paling sering digunakan untuk
menjelaskan mengapa seseorang mengalami GPN. Masyarakat sebelum abad ke
16, menganggap seseorang yang menggunakan napza sebagai individu yang lemah
secara moral dan berdosa, karena terus menerus membuat keputusan buruk untuk
dirinya. Berawal dari pemahaman ini, berbagai pendekatan terapi berbasis religi
muncul dan memberi solusi abstinensia total sebagai satu- satunya penyelesaian.
Kita ketahui bahwa hal ini tidak lagi dapat diterapkan saat ini. Pendekatan kriminal
memiliki hubungan erat dengan pendekatan moral, memandang perilaku adiktif
sebagai tindakan kriminal yang melawan hukum dan masyarakat. Segala sesuatu
yang berhubungan dengan penggunaan zat pada saat itu akan mendapatkan
hukuman.

Setelah abad ke 16, muncul berbagai pendekatan lain seperti ​pendekatan


epidemik​, dengan zat yang berbeda di tempat berbeda di dunia. Epidemik alkohol di
Inggris, misalnya, terjadi karena importasi minuman alkohol yang murah ke Inggris
dari Karibia. Pendekatan ini berujung pada kebijakan untuk menaikkan pajak
minuman beralkohol. Pendekatan lain yang muncul setelah abad ke 16 adalah
​ endekatan ini muncul saat terjadi
pendekatan penyakit ​(illness or disease model). P
epidemi opium di Asia, Eropa dan Amerika Utara. Pada periode tersebut, banyak
pengguna zat yang dirawat di rumah sakit karena mengalami gangguan medis dan
psikiatrik akibat penggunaan zatnya. Pendekatan ini merupakan awal mulanya
berkembang terapi medis bagi penggunaan zat.

Pendekatan pemahaman gangguan penggunaan zat sebagai suatu penyakit,


menimbulkan kekhawatiran pada masyarakat bahwa para pengguna zat akan
menggunakan model ini sebagai alasan untuk terus menggunakan zat. Meskipun hal
ini dapat terjadi pada beberapa pengguna, sebagian besar pengguna zat
menginginkan untuk kembali pada kehidupan normal

4
0

setelah menjalani proses pemulihan. Pendekatan penyakit sejalan dengan


pendekatan psikologis, psikososial dan budaya. ​Hal ini yang kemudian menjadi
dasar ​pendekatan biopsikososial ​yang saat ini banyak digunakan untuk
memahami gangguan penggunaan zat.

2. Pendekatan Biopsikososial

Berbagai model atau pendekatan muncul dalam upaya memahami mengenai adiksi
atau gangguan penggunaan zat. Pada prinsipnya, tak ada satu pendekatan yang
paling tepat dalam menjeaskan mengenai fenomena gangguan penggunaan zat.
Model-model baru terus muncul dalam menjelaskan mengenai penggunaan zat.
Satu pendekatan yang sering dan lebih banyak digunakan saat ini adalah
pendekatan biopsikososial yang akan dijelaskan berikut ini.

Ilmu pengetahuan yang ada hingga saat ini belum dapat menemukan satu faktor
tunggal yang menentukan mengapa seseorang dapat menggunakan zat tanpa
berlanjut ke adiksi, dan mengapa sebagian lagi menyalahgunakan zat dan berlanjut
pada ketergantungan. Bukti dari penelitian yang ada saat ini menunjukkan bahwa
gangguan penggunaan zat merupakan hasil interaksi dari berbagai faktor biologis,
genetik, kepribadian, psikologis, kognitif, sosial, budaya dan lingkungan.
Gambar 4. Diagram
Biopsikososial

• ​Faktor
Biologis

Faktor biologis dan predisposisi genetik dapat meningkatan risiko seseorang


mengalami masalah penggunaan zat. Beberapa penelitian yang melibatkan anak
kembar dan adopsi, menunjukan bahwa hingga taraf tertentu, penyalahgunaan
zat adalah suatu hal yang diturunkan (herediter). Seorang anak laki-laki dari
orang tua yang ketergantungan alkohol, memiliki risiko 4 kali lebih tinggi untuk
memiliki masalah dengan penggunaan alkohol, dibandingkan dengan anak dari
orang tua yang tidak memiliki masalah ketergantungan alkohol. Anak perempuan
dari orang tua yang mengalami ketergantungan alkohol,
Psikolog
is
Biologi
s

Sosi
al
1

memiliki risiko 3 kali lipat lebih tinggi dibanding anak dari orang tua yang tidak
ketergantungan alkohol.

Predisposisi genetik terhadap adiksi tidak memengaruhi pilihan zat yag


menyebabkan seseorang menjadi adiksi, namun berhubungan dengan
kecenderungan terhadap perilaku adiktif secara umum. Hal lain yang perlu
diingat adalah bahwa faktor genetik juga dapat menjadi faktor protektif terkait
gangguan penggunaan zat. Sebagai contoh, orang keturunan Asia, memiliki
kekurangan pada satu enzim hati yaitu ​alcohol dehydrogenase y​ ang terlibat
dalam metabolisme alkohol di hati (liver). Orang dengan variasi genetik ini
cenderung tidak mudah mengalami masalah dengan penggunaan alkohol.

• ​Faktor Psikologis ​Berbagai faktor psikologis diketahui terlibat dalam proses


perkembangan seseorang mengalami gangguan penggunaan zat.

Faktor risiko pada masa kanak Berbagai penelitian menunjukkan bahwa


anak-anak yang mengalami kekerasan memiliki kecenderungan untuk memiliki
masalah dengan penggunaan zat di kemudian hari. Anak- anak dengan tampilan
perilaku tertentu misalnya gangguan tingkah laku ​(conduct disorder), ​gangguan
pemusatan perhatian dan hiperaktivitas ​(attention deficit/hyperactivity disorder
(ADHD))​, dan gangguan perilaku menentang ​(oppositional defiant disorder)
memiliki risiko lebih tinggi mengalami masalah dengan penggunaan zat.

Secara umum, perilaku antisosial dan menyimpang seperti agresivitas, hostilitas,


vandalisme, perilaku sadistik dan pemberontakan ​(rebelliousness) ​merupakan
faktor risiko untuk gangguan penggunaan zat di kemudian hari.

Kepribadian dan Temperamen Variabel kepribadian yang dapat memengaruhi


penggunaan zat antara lain kecenderungan yang tinggi pada seseorang untuk
​ elain itu, orang
mencari sesuatu atau sensasi baru ​(novelty/sensation seeking). S
yang tidak terlalu takut menghadapi hal berbahaya dan merugikan (memiliki
kadar ​harm avoidance ​rendah), orang yang memiliki afek negatif (perasaan
negatif) serta orang yang bergantung pada penghargaan ​(reward dependence)
memiliki risiko lebih tinggi untuk menggunakan zat.

Beberapa variabel temparen lainnya adalah rendahnya kapasitas atensi


(perhatian), tingkat emosionalitas yang tinggi, sosiabilitas yang rendah dan juga
impulsivitas tinggi. Temperamen yang menyulitkan pada masa kanak misalnya
tingkat aktivitas yang tinggi,

4
2

kurang fleksibel, orientasi tugas yag rendah, mood yang tidak stabil, dan
penarikan diri dari sosial, merupakan beberapa faktor prediktif penyalahgunaan
zat pada masa remaja.

Self Efficacy ​Variabel psikologis yang juga berpengaruh dalam risiko


penggunaan zat adalah ​self efficacy.​ ​Self efficacy m
​ erupakan keyakinan individu
terhadap kemampuannya utnuk melakukan suatu perilaku tertentu untuk
mencapai hasil yang diinginkan. ​Self efficacy ​juga berarti keyakinan seseorang
bahwa ia mampu menghadapi situasi yang membuat stres atau situasi
menantang tanpa menggunakan zat. Hal ini juga berkaitan dengan ​self efficacy
seseorang untuk menggunakan keterampilan koping yang lain selain
penggunaan zat dalam menghadapi suatu situasi.

Proses pembelajaran Berbagai teori mengenai pembelajaran, mencoba


menjelaskan mengapa seseorang melakukan suatu perilaku tertentu. Menurut
teori ​classical conditioning, t​ erdapat proses pembelajaran yang terjadi pada
orang yang mengalami adiksi; suatu stimulus non kondisional atau stimulus yang
awalnya netral (misal alat suntik) dipasangkan dengan stimulus terkondisi (misal
zat yang digunakan) sehingga menimbulkan suatu respons yang terkondisi (misal
stimulasi psikomotor). Akibat proses pembelajaran ini, orang, tempat, atau
benda-benda yang berhubungan dengan zat yang digunakan, akan menimbulkan
suatu respons tertentu (misalnya ​craving a ​ tau menagih zat) yang merupakan
pencetus kuat seseorang menggunakan zat lagi selepas pemulihan.

Menurut teori ​operant conditioning,​ suatu perilaku didorong oleh ​reward ​atau
punishment ​(hukuman). ​Reward ​merupakan bagian dari ​reinforcement ​(penguat),
yaitu penguat untuk mencapai konsekuensi positif tertentu (​positive
reinforcement/reward)​, sedangkan ​negative reinforcement ​adalah penguat untuk
menghindari konsekuensi negatif tertentu. Sebagai contoh, penggunaan zat
dapat memunculkan sensasi kenikmatan yang merupakan ​reward,​ selain itu
terdapat penguat negatif ​(negative reinforcement) d ​ ari penggunaan zat yaitu
untuk menghindari gejala putus zat (sakaw). Proses pembelajaran ini akan terus
berlangsung membentuk suatu perilaku adiktif.
• ​Faktor
Sosial

Keluarga Selain berkaitan dengan faktor genetik, perilaku adiktif diturunkan dari
generasi ke generasi berdasarkan pengaruh sosial. Teori pembelajaran sosial
​ enganggap bahwa ​modeling ​akan memengaruhi suatu
(social learning theory) m
perilaku. Remaja yang mengamati perilaku orang tua dalam menggunakan zat
memiliki kecenderungan untuk

4
3

mengalami masalah dengan penggunaan zat itu sendiri. Pengawasan orang tua
dan penerapan disiplin yang konsisten dapat menurunkan risiko penggunaan zat
pada anak.

Teman sebaya Teman sebaya dapat memengaruhi nilai, sikap, dan perilaku
remaja pada berbagai hal, termasuk penggunaan zat. Memiliki kelompok sebaya
yang menggunakan zat, merupakan prediktor kuat penggunaan zat pada remaja,
demikian juga persepsi bahwa kelompok sebaya mendukung penggunaan zat.
Kelompok sebaya juga diketahui memengaruhi penggunaan zat melalui interaksi
dengan faktor risiko lain seperti masalah keluarga, stres, kesehatan mental, dan
kepercayaan diri.

Pengaruh teman sebaya tidak hanya kuat pada kelompok remaja. Pada orang
dewasa, sebagai contoh perilaku minum alkohol, juga sangat dipengaruhi oleh
teman sebaya. Hal ini ditunjukkan oleh hasil beberapa penelitian pada
mahasiswa dan pekerja.

Pasangan Pada orang dewasa, pasangan merupakan faktor sosial yang penting
dan paling berpengaruh. Penelitian menunjukkan adanya perilaku yang serupa
pada pasangan suami istri dalam hal penggunaan zat. Suami istri cenderung
menggunakan zat yang sama, dan penggunaan zat yang tinggi pada salah satu
pasangan merupakan prediktor penggunaan zat pada pasangannya. Namun
demikian, pernikahan dapat menjadi faktor protektif, karena berhubungan dengan
penurunan risiko penggunaan alkohol.

Etnis dan Budaya Beberapa survei nasional di Amerika Serikat menunjukkan


adanya perbedaan tingkat penggunaan zat pada ras atau etnis berbeda,
terutama pada kelompok minoritas (contoh AfroAmerika). Beberapa hal yang
berkaitan dengan hal ini adalah faktor risiko berupa kemiskinan, diskriminasi,
mikroagresi, dan stres di kalangan minoritas. Studi juga menunjukkan adanya
perbedaan dalam hal ketersediaan zat serta persetujuan orang tua terhadap
penggunaan zat, di antara beberapa ras di Amerika seperti kulit putih, kulit hitam,
dan Asia.

Lingkungan Ketersediaan zat merupakan faktor utama pada permulaan


penggunaan zat dan proses berkembangnya menjadi suatu gangguan. Status
sosial ekonomi juga memengaruhi perilaku penggunaan zat. Kemiskinan
merupakan faktor risko masalah penggunaan zat, penghasilan yang rendah juga
berhubungan dengan ketergantungan alkohol dan komorbiditas gangguan
psikiatrik. Kebijakan publik dan aturan sosial sangat memengaruhi masalah
penggunaan zat. Sebagai contoh, aturan mengenai pajak rokok dan alkohol serta

4
4

penentuan batasan usia legal untuk minum alkohol di suatu negara atau daerah,
akan memengaruhi kecenderungan munculnya masalah terkait penggunaan zat.

Pendekatan biopsikosial menjelaskan bahwa gangguan penggunaan zat terjadi


akibat interaksi dari berbagai faktor biologis, psikologis dan sosial. Berdasarkan
pemahaman ini, tatalaksana terhadap gangguan penggunaan zat perlu mencakup
tatalaksana biologis (fisik), psikologis, dan juga sosial.

DAFTAR
REFERENSI

1. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia (PPDGJ)


III,
Departemen Kesehatan RI, 1993. 2. The ICD 10 Classification of Mental and
Behavioural Disorders, WHO, 1992. 3. Kaplan & Sadock’s Synopsis of
Psychiatry: Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry. Eleventh Edition. Benjamin
James Sadock, Virginia Alcott Sadock, Pedro Ruiz. Wolters Kluwer. Philadelphia.
2015. 4. American Psychiatric Association: Diagnostic and Statistical Manual of
Mental
Disorders, Fifth Edition. Arlington, VA, American Psychiatric Association, 2013. 5.
American Psychiatric Association: The American Psychiatric Publishing Textbook
of Substance Abuse Treatment, Fifth Edition. Edited by Marc Galanter, Herbert D
Kleber, Kathleen T Brady. Arlington, VA, American Psychiatric Association, 2013.
6. Miller PM. Principles of Addiction: Comprehensive Addictive Behaviors and
Disorders.
Volume 1. Elsevier. San Diego, California, 2013. 7. Lowinson and Ruiz’s Substance
Abuse: A Comprehensive Textbook, Fifth Edition.
Pedro Ruiz, Eric C Strain. Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia, PA,
2011. 8. Stahl’s Essential Psychopharmacology: Neuroscientific Basis and
Practical
Application / Stephen M. Stahl. Fourth edition. Cambridge University Press, New
York. 2013. 9. The National Institute on Drug Abuse (NIDA). Drug Abuse and
Addiction. Available
online at ​http://www.drugabuse.gov​. 10. The United Nations Office of Drugs and
Crimes (UNODC). UNODC Early Warning Advisory on New Psychoactive
Substances. Available online at ​http://www.unodc.org

4
5

MATERI INTI
2

ASESMEN DAN DIAGNOSIS GANGGUAN PENGGUNAAN


NAPZA

I. DESKRIPSI SINGKAT

Gangguan penggunaan napza secara umum merupakan suatu masalah kompleks


yang meliputi aspek fisik, psikologis dan sosial. Untuk menentukan besaran masalah
pada diri seseorang, diperlukan asesmen klinis secara komprehensif, dimana hasil
asesmen ini merupakan dasar untuk menentukan intervensi atau rencana terapi
yang sesuai untuk individu yang bersangkutan. Dari segi terminologi, asesmen
gangguan penggunaan napza adalah suatu proses mendapatkan informasi
menyeluruh tentang individu dengan riwayat penyalahgunaan atau gangguan
penggunaan napza. Asesmen dilakukan pada waktu sebelum masuk program,
selama menjalani program, dan setelah selesai program.

Asesmen dilakukan dengan cara observasi, wawancara maupun pemeriksaan fisik.


Dalam mengobservasi pasien, asesor/terapis perlu mendengarkan dengan seksama
respons yang diberikan pasien, baik yang bersifat verbal (apa yang dikatakan),
maupun yang bersifat nonverbal (bahasa tubuh, mimik muka, intonasi suara, dan
lain-lain). Seringkali apa yang dikatakan bukan hal yang sungguh-sungguh dialami
oleh pasien. Untuk itulah seorang asesor/terapis perlu terlatih dalam membaca
bahasa tubuh pasien. Dalam melakukan wawancara, teknik bertanya dengan
pertanyaan terbuka perlu dikuasai oleh asesor/ terapis. Setiap informasi yang
diberikan oleh pasien merupakan faktor baru yang perlu ditambahkan untuk
memperoleh gambaran tentang pasien secara utuh. Sementara itu pemeriksaan fisik
dilakukan untuk melengkapi informasi tentang pasien, baik pemeriksaan umum
seperti tekanan darah, nadi dan suhu badan, maupun pemeriksaan penunjang
lainnya yang diperlukan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi pasien (misalkan,
urinalisis, laboratorium lain, radiologi, dan sebagainya).

Untuk mendapatkan hasil asesmen yang komprehensif digunakan berbagai


instrumen yang sudah terstandarisasi dan dilakukan oleh petugas yang sudah
terlatih. Mengingat bahwa asesmen merupakan salah satu upaya dalam penegakan
diagnosis dan menentukan tindak lanjut terapi untuk pasien, diperlukan suatu
pemahaman tentang ihwal masalah penyalahgunaan napza dan ketrampilan
berkomunikasi dari asesor.

4
6

II. TUJUAN
PEMBELAJARAN

A. ​Tujuan Pembelajaran
Umum
Pada akhir sesi, peserta mampu melakukan asesmen dan menegakkan
diagnosis penggunaan napza

B. ​Tujuan Pembelajaran
Khusus
Pada akhir sesi ini, peserta mampu: 1. Menjelaskan pengertian dan tujuan
asesmen 2. Menjelaskan pertanyaan dan komponen yang penting dalam
asesmen klinis 3. Menjelaskan langkah-langkah asesmen dan prinsip-prinsip
penegakan diagnosis
gangguan penggunaan napza 4. Menjelaskan prosedur pengisian formulir 5. Mampu
melakukan wawancara sesuai dengan pertanyaan didalam formulir dan
melakukan pengisian
formulir

III. POKOK
BAHASAN

Dalam modul ini akan dibahas pokok bahasan berikut: Pokok Bahasan 1. Pengertian
Dan Tujuan Asesmen Klinis Pokok Bahasan 2. Komponen Klinis Dalam Asesmen
Dan Kaitannya Dengan Rencana Terapi Pokok Bahasan 3. Persiapan Pelaksanaan
Asesmen Gangguan Penggunaan Napza Pokok Bahasan 4. Prosedur Pengisian
Formulir Asesmen Wajib Lapor Pokok Bahasan 5. Teknik Wawancara Dan
Pengisian Formulir Asesmen Wajib Lapor Pokok Bahasan 6. Prinsip Penegakan
Diagnosis Gangguan Penggunaan Napza

IV. URAIAN
MATERI

Pokok bahasan 1 PENGERTIAN DAN


TUJUAN ASESMEN KLINIS

Melalui pemeriksaan klinis rutin, dokter seharusnya mampu mengidentifikasi pasien


dengan masalah penyalahgunaan napza. Beberapa pasien mungkin dengan suka
rela mengakui bahwa masuknya pasien ke rumah sakit berhubungan dengan
penggunaan napza (misalnya “Dok, saya saat itu sedang pedaw... jadi waktu
dibonceng teman naik motor saya terjatuh dan kepala saya terbentur jalan..”)
sementara banyak pasien lainnya akan menunjukkan penyangkalan yang kuat
terhadap masalah penyalahgunaan napzanya. Pada keadaan yang lain, penyakitnya
jelas berhubungan dengan penggunaan napza (misalnya: delirium tremens atau luka
tembak akibat tembakan polisi saat dikejar karena masalah ganja) atau
terdokumentasi di catatan medik. Keadaan-keadaan tersebut tidak membutuhkan
skrining tambahan. Namun, pemeriksaan klinis masih mempunyai keterbatasan
seperti pada kejadian

4
7

dimana klinisi gagal untuk mengenali pasien-pasien dengan keadaan intoksikasi


akut, dan kebutuhan akan pemeriksaan tambahan/penunjang laboratorium sebagai
penyaring (skrining) dirasa meningkat.

Tes narkotika dalam tubuh dapat menjadi skrining awal untuk mendeteksi masalah
terkait- penggunaan narkotika. Sayangnya, sensitivitas, spesifisitas, dan nilai
prediktif dari toksikologi sebagai marker untuk gangguan penggunaan narkotika
pada pasien yang dirawat belum diteliti dengan baik. Terlebih lagi, hasil tes tersebut
menjadi sukar diinterpretasi karena hanya mendeteksi penggunaan yang baru dan
tidak mampu membedakan antara penggunaan legal dan penggunaan ilegal, serta
beberapa keterbatasan lain dari uji tersebut (misalnya, banyak opioid yang tidak
bereaksi silang dengan uji urin opiat yang biasanya standar untuk uji morfin).

Identifikasi status kesehatan jiwa secara umum dan penggunaan napza secara
khusus serta masalah yang ditimbulkannya bisa dilakukan dengan cara yang sangat
sederhana seperti pemeriksaan urin dan darah sewaktu atau yang lebih kompleks
yang meliputi wawancara terstruktur, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang,
dan sebagainya. Seringkali penilaian masalah tersebut melibatkan satu atau lebih
instrumen. Cara yang lebih sederhana biasanya menggunakan instrumen yang
sederhana pengoperasiannya, cepat, dan berbiaya relatif murah, tetapi hasilnya
sangat terbatas atau kurang akurat sehingga tidak bisa dijadikan dasar pengobatan.
Cara ini sering disebut dengan skrining. Skrining bermanfaat untuk mengidentifikasi
riwayat penggunaan napza seseorang. Selanjutnya, untuk mendapatkan gambaran
klinis dan masalah yang lebih mendalam dari orang tersebut dipakai cara yang lebih
kompleks, yang sering disebut juga telaah, kajian, atau asesmen. Karena lebih
kompleks, asesmen memerlukan waktu yang lebih lama dan biaya yang lebih mahal,
tetapi hasilnya lebih akurat sehingga dapat dijadikan dasar pengobatan. Asesmen
bermanfaat untuk mengidentifikasi masalah-masalah yang diakibatkan penggunaan
napza secara menyeluruh.

Skrining umumnya dipakai pada populasi umum untuk mendapatkan informasi


secara cepat terkait penggunaan napza, seperti pelaksanaan urinalisis pada siswa
atau karyawan. Inisiatif melakukan skrining pada umumnya berasal dari pihak yang
mempunyai kepentingan, misal sekolah, kepolisian, atau puskesmas. Contoh lain
instrumen skrining adalah Alcohol, Smoking, & Substance Involvement Screening
Test (ASSIST); CRAFFT; dan AUDIT.

Sesuai dengan manfaat asesmen, asesmen dilakukan untuk memperoleh gambaran


pasien secara lebih menyeluruh (komprehensif). Dengan kata lain, asesmen
bertujuan untuk mengidentifikasi semua masalah dan kebutuhan pasien sehingga
diperoleh gambaran yang utuh mengenai kondisi pasien tersebut. Gambaran yang
utuh tersebut akan memudahkan dokter untuk merencanakan tata laksana
berdasarkan prioritas. Instrumen yang populer dipakai adalah Addiction Severity
Indeks (ASI). Indonesia memodifikasi instrumen tersebut menjadi Formulir Asesmen
Wajib Lapor.

4
8

Tabel Perbandingan antara Skrining dan


Asesmen

Skrining Asesmen

Subjek Populasi umum, orang yang belum diketahui


Inisiatif Fasyankes, sekolah, atau yang mempuny
riwayat penggunaan napzanya kepentingan lainnya
Populasi dengan indikasi, Pasien dengan
orang dengan masalah akibat keluhan
napza

Hasil Sewaktu dan final Tidak final, hasil dapat dimodifikasi dengan adanya bukti baru

Kesimpulan Berdasarkan satu kriteria Berdasarkan sejumlah


kriteria

Akurasi Kurang Lebih baik

Biaya Lebih murah Lebih mahal

Dasar pengobatan Tidak Ya

Contoh instrumen ASSIST, CRAFFT, AUDIT ASI, Formulir Asesmen


Wajib Lapor
Dengan demikian, setiap penyedia layanan terapi rehabilitasi napza harus
melakukan asesmen untuk setiap pasien yang datang, bukan sekedar skrining. Hal
ini sangat diperlukan mengingat hasil asesmean menjadi alat bantu dalam
menegakkan diagnosis dan menyusun rencana terapi. Selain itu asesmen yang
dilakukan secara berkala (misal, setiap 2 bulan) dapat membantu dalam proses
pengawasan keberhasilan terapi rehabilitasi pasien. Terakhir, yang tidak kalah
penting, hasil asesmen merupakan dokumen otentik resmi yang dapat menjadi dasar
bagi petugas kesehatan dalam memberikan keterangan bagi penegak hukum
bilamana pasien ditangkap karena menggunakan napza.

4
9

Pokok bahasan 2 KOMPONEN KLINIS DALAM ASESMEN DAN KAITANNYA


DENGAN RENCANA TERAPI

Komponen Klinis dalam Asesmen

Formulir Asesmen Wajib Lapor (FAWL) merupakan modifikasi dari Addiction


Severity Index (ASI) edisi kelima. ASI merupakan instrumen wawancara
semi-terstruktur yang dikembangakan oleh Thomas A. McLellan bersama koleganya
dari Universitas Pensylvania, Amerika Serikat, pada 1980. Versi terakhir (kelima)
diterbitkan pada 1990. FAWL merujuk pada ASI v3.1. Serupa dengan ASI, FAWL
mencakup 6 area (ranah) penting dari kehidupan pasien:

1. Medis 2. Pekerjaan/dukungan hidup 3.


Penggunaan alkohol dan zat adiktif
lainnya 4. Hukum 5. Sosial/keluarga 6.
Psikiatrik

Salah satu modifikasi yang membedakan antara ASI dan FAWL adalah ranah ketiga,
yang mana dalam ASI penggunaan alkohol dipisah dari pengunaan zat adiktif
lainnya (sehingga ada tujuh ranah dalam ASI). Keenam ranah kehidupan di atas
tertuang dalam formulir sebagai enam komponen klinis, selain komponen tambahan
yang merupakan modifikasi dalam FAWL.

Sama halnya dalam praktik klinis sehari-hari, seorang tenaga medis (dokter) akan
melakukan anamnesis (baik auto- maupun allo-) tentang riwayat medis lengkap,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan status mental, dan pemeriksaan
penunjang/laboratorium (sebagaimana diperlukan) sebagai bagian dari asesmen
terhadap pasiennya. Berikut ini dijabarkan lebih rinci setiap tindakan tersebut:

a. Riwayat medis lengkap


meliputi:
• ​Riwayat penggunaan napza (misal; usia pertama kali pakai, zat yang
digunakan, perubahan yang drasakan, riwayat toleransi, overdosis, percobaan
untuk berhenti, keinginan menggunakan dan sugesti)
• ​Riwayat pengobatan (misal; pengobatan yang dilakukan sebelumnya, metode
pengobatan yang pernah dicoba, hasil dari pengobatan yang telah dilakukan)
• ​Riwayat psikiatrik (misal; diagnosis psikiatrik, pengobatan yang telah dijalani,
hasil pengobatan)
• ​Riwayat keluarga (misal; penggunaan narkotika dalam keluarga, riwayat medis
dan psikiatrik keluarga)

5
0

• ​Riwayat medis umum (misal; sistem pengobatan yang diterima, riwayat trauma dan
pembedahan sebelumnya, riwayat seksual, pengobatan saat ini dan lampau, riwayat
nyeri) b. Pemeriksaan fisik/sistem-organ di dalam asesmen meliputi:
• ​Kondisi umum (keadaan umum, tanda-tanda
vital)
• ​Perilaku (tanda-tanda
intoksikasi)
• ​Keadaan kulit (basah, kemerahan, bekas suntikan, peradangan,
kekuningan, dll)
• ​Organ mata, telinga, hidung, dan tenggorokan (warna konjungtiva, pupil mata,
pembengkakan selaput lendir, ​septum nasi​, dan lain-lain)
• ​Sistem pencernaan
(Hepatomegali)
• ​Sistem respirasi dan kardiovaskular: paru, jantung, dan organ lainnya yang
berhubungan
• ​Organ reproduksi
• ​Neurologi (sensori, refleks patologis, fungsi saraf
lainnya) c. Pemeriksaan Status Mental (Dalam bentuk
Checklist)
• ​Penampilan umum
• ​Perilaku dan interaksi dengan
asessor
• ​Pembicaraan
• ​Aktivitas motorik
• ​Mood dan afek
• ​Persepsi
(halusinasi)
• ​Proses pikir
• ​Isi pikir (ide-ide bunuh diri, menyakiti orang,
waham)
• ​Kemampuan menilai: diri (tilikan),
sosial
• ​Fungsi kognitif (orientasi, daya ingat, konsentrasi, intelegensia) d. Pemeriksaan
penunjang merupakan bagian penting dari asesmen klinis pada pasien
ketergantungan narkotika karena, meskipun tidak dapat dipakai untuk menegakkan
diagnosis, berguna bagi pengembangan rencana terapi yang komprehensif.
Beberapa pemeriksaan penunjang yang direkomendasikan untuk pasien dengan
gangguan penggunaan napza meliputi:
• ​Pemeriksaan darah dan urin
rutin
• ​Tes Fungsi Hati (setidaknya SGOT dan
SGPT)
• ​Tes HIV melalui VCT atau
PITC
• ​Hepatitis B dan C
• ​Serologi untuk Infeksi Menular
Seksual
• ​Tes untuk jenis zat
(Toksikologi)
• ​Tes kehamilan untuk pasien wanita Jika terdapat indikasi untuk melakukan
pemeriksaan foto Rongent Thorax, EKG, EEG, CT scan, atau MRI, maka
pemeriksaan tersebut dapat pula dilakukan.

5
1

Riwayat penggunaan zat adiktif dan riwayat psikiatrik dalam praktik klinis sehari-hari
merupakan bagian dari riwayat medis yang lengkap, tetapi FAWL memisahkan
ketiganya menjadi tiga komponen terpisah.

HUBUNGAN ANTARA ASESMEN DAN RENCANA TERAPI Pertanyaan Dalam


Asesmen ​Saat memulai asesmen, asesor perlu memahami beberapa pertanyaan
penting untuk dapat menyimpulkan masalah pasien dan mampu menyusun rencana
untuk mengatasi masalah tersebut. Pertanyaan-pertanyaan tersebut meliputi:

• ​Apa yang dianggap suatu masalah bagi


pasien?
• ​Apa yang menjadi tujuan pasien dalam
terapi?
• ​Apa saja dukungan yang tersedia yang dapat dipilih oleh pasien untuk mencapai
tujuan pasien?
• ​Hambatan apa saja yang mungkin menghalangi tujuan
tersebut?
• ​Cara apa saja yang mungkin dilakukan untuk mengatasi hambatan yang akan
dihadapi?
• ​Apakah individu dapat menyelesaikan fase krisis dalam kehidupannya? Dan
bagaimana dampaknya terhadap efikasi diri pasien?
• ​Apa saja kekuatan dan sumber daya yang dimilki oleh pasien dalam mencapai
tujuan pasien?
• ​Dukungan luar apa saja dari luar pasien yang membantu pasien untuk mencapai
tujuan terapi?
• ​Apa jalan yang terbaik yang bisa digunakan pasien baik kekuatan pasien sendiri
maupun dukungan sumber daya luar?
• ​Adakah keinginan pasien untuk melakukan sesuatu yang
berbeda?
Setelah informasi klinis atau hasil dari asesmen menyatakan adanya masalah
terkait- penggunaan narkotika, selanjutnya dibutuhkan informasi tambahan untuk
menentukan adanya “keinginan untuk berubah” pada pasien. Selain pemeriksaan
klinis dan penunjang, informasi juga dapat diperoleh melalui cara lain seperti resep.
Resep pasien yang dapat dilihat dari farmasi/apotik dapat dijadikan informasi
mengenai jenis obat dan dosis yang diberikan pada pasien.

Di akhir asesmen, asesor diharapkan mempunyai pemahaman utuh tentang diri


pasien beserta masalahnya. Pemahaman tersebut dinilai melalui jawaban asesor
terhadap tiga pertanyaan berikut:

1. Apa arti napza bagi pasien? 2. Manfaat apa yang pasien


peroleh dari menggunakan napza? 3. Apakah penggunaan
napza menciptakan masalah bagi pasien?

5
2

Dengan melihat penggunaan napza merupakan suatu masalah, pendekatan yang


komprehensif akan meningkatkan kualitas hidup pasien.

Pokok bahasan 3 PERSIAPAN


PELAKSANAAN ASESMEN KLINIS

Adiksi dan gangguan jiwa akibat pemakaian zat lainnya merupakan suatu penyakit
otak yang mana zat aktif memengaruhi area pengaturan perilaku. Dengan demikian,
gejala dan tanda utama dari penyakit tersebut adalah perubahan perilaku. Berbeda
dari kebanyakan penyakit lainnya, morbiditas pada adiksi bermula dari pencitraan
diri (​self-image, self respect, self-concept, ​dan ​sense of self-efficacy s​ erta
gejala-gejala psikiatrik yang menjadi awal dari penyakit); berlanjut pada hubungan
interpersonal (keluarga, teman dekat, dan hubungan sosial lainnya), kegemaran atau
hobi, status finansial, aspek hukum, prestasi sekolah atau pekerjaan; dan berakhir
pada kerusakan organ atau fisik.
Asesmen mengungkap banyak hal, termasuk hal yang terungkap dalam skrining
tetapi dilakukan secara mendalam dan ditekankan pada area masalah yang
terungkap. Tujuan asesmen adalah untuk mengembangkan rencana terapi dan
untuk menentukan program atau layanan spesifik yang sesuai. Tahapan untuk
asesmen meliputi riwayat penggunaan narkotika, pola penggunaan saat ini, riwayat
kesehatan mental dan gejala saat ini, riwayat dan status kriminalitas, dan area fungsi
psikososial lain, tipe penatalaksanaan dan layanan dukungan yang dibutuhkan.
Dari berbagai manfaat tersebut, asesmen dirasa sangat penting. Dengan
demikian, asesmen menjadi suatu ketrampilan klinis dasar dan salah satu landasan
bagi perawatan pasien yang berkualitas. Asesmen yang baik mampu
menghubungkan diagnosis dengan penatalaksanaan awal, memastikan akurasi dari
diagnosis awal, dan mengidentifikasi perawatan yang paling efisien dan efektif.
Asesmen awal biasanya dilakukan pada saat pasien datang ke layanan. Meskipun
demikian, asesmen awal bisa dilakukan dalam dua minggu pertama perawatan bila
pasien datang dalam kondisi yang tidak memungkinkan asesmen dilakukan (misal,
intoksikasi akut). Asesmen perlu diulang secara periodik untuk mengidentifikasi
masalah-masalah yang baru muncul setelah menjalani penatalaksanaan, contohnya
riwayat kekerasan fisik atau seksual yang baru dilaporkan setelah pasien merasa
lebih nyaman berbicara kepada konselor dan petugas partisipan lainnya. Relaps
yang terjadi, perubahan rencana kehidupan atau pekerjaan, dan masalah baru
lainnya yang terjadi dalam masa pengobatan dapat menjadi dasar untuk melakukan
modifikasi rencana terapi awal menjadi lebih spesifik sesuai dengan kemampuan
penyedia layanan.

5
3

Pokok bahasan 4 PROSEDUR PENGISIAN FORMULIR


ASESMEN WAJIB LAPOR

4. Skala Penilaian Pasien

Hal penting bahwa pasien mengembangkan kemampuan untuk


mengkomunikasikan sejauh mana ia telah mengalami masalah di tiap area yang
ditanyakan, dan sejauh mana ia merasa terapi untuk masalah tersebut adalah
penting. Perkiraan subyektif adalah penting untuk menilai keikutsertaan pasien
dalam asesmen masalah yang dimiliknya.

Untuk menstandarkan asesmen ini digunakan sebuah skala 5 poin (0-4) bagi
pasien menilai keparahan masalah mereka dan sejauh mana pasien merasa
terapi adalah penting untuk dirinya.
0 tidak sama sekali 1
ringan 2 sedang 3
berat 4 sangat berat

Beberapa pasien mampu menggambarkan kondisinya dengan menggunakan


skala tersebut, namun pasien-pasien yang lain harus menggunakan bahasa
mereka sendiri dalam mengungkapkan pendapatnya. Pada kasus-kasus seperti
yang disebut terakhir, pewawancara lebih baik bersikap fleksibel dengan
memotivasi pasien untuk menyampaikan secara rinci masalahnya dan membantu
pasien menentukan skalanya, daripada hanya sekedar memaksa pasien untuk
menentukan sebuah pilihan dari skala tanpa memberikan bantuan penilaian.

Penilaian pasien terhadap luas atau parahnya masalahnya di satu area tidak
didasarkan pada persepsinya terhadap masalah-masalah lain. Pewawancara
harus berusaha untuk mengklarifikasi masing-masing penilaian sehingga satu
area masalah yang terpisah, dan memfokuskan periode waktu pada 30 hari
sebelumnya. Jadi, penilaian harus dibuat berdasarkan masalah aktual saat ini,
bukan masalah potensial. Jika seorang pasien melaporkan tidak ada masalah
selama 30 hari sebelumnya, lalu sejauh mana dia telah diganggu oleh
masalah-masalah itu harus 0 dan pewawancara harus menanyakan sebuah
pertanyaan penegasan sebagai pemeriksaan pada informasi sebelumnya.
Contoh penegasan yang dapat diungkapkan, ”Karena anda telah mengatakan
anda tidak mempunyai masalah medis dalam 30 hari terakhir, dapatkah saya
mengasumsikan bahwa pada saat ini anda tidak merasakan kebutuhan untuk
terapi medis apapun?

5
4

5. Klarifikasi
Selama wawancara, upayakan untuk mengklarifikasi respons atau jawaban yang
dianggap penting untuk menghasilkan wawancara yang sahih. Untuk
memastikan kualitas jawaban, pastikan maksud dari tiap pertanyaan ditangkap
jelas oleh pasien. Cara mengajukan pertanyaan tidak harus persis seperti yang
tertulis, pewawancara boleh menggunakan kata-kata sendiri (​rephrasing) a ​ tau
sinonim yang sesuai .

Ketika pasien tampak mengalami kesukaran dalam memahami pertanyaan lebih


lanjut, lebih baik wawancara tidak dilanjutkan. Tunda lanjutan wawancara
tersebut sehari atau lebih agar pasien pulih dari kebingungan awal, yang
mungkin merupakan efek disorientasi dari penyalahgunaan zat akhir-akhir ini,
dan dengan demikian akan terhindar dari tindakan mencatat respons yang
membingungkan. Demikian juga bagi pasien yang dalam kondisi putus zat atau
intoksikasi.

Jika pasien merasa tidak nyaman memberikan sebuah jawaban, maka pasien
boleh menolak untuk menjawab. Beri tanda silang di depan nomor pertanyaan.
”​Tolong jangan memberikan informasi yang tidak akurat!”.

6. Penilaian oleh Pewawancara


Penilaian tiap area didasarkan hanya pada jawaban terhadap pertanyaan yang
berhubungan dengan area tersebut, bukan jawaban tambahan yang
berhubungan area lain. Untuk meningkatkan keandalan dan perkiraan,
pewawancara perlu mengembangkan sebuah metode sistematis yang umum
untuk memperkirakan keparahan dari tiap masalah.

Keparahan didefinisikan sebagai ​kebutuhan untuk terapi ​jika saat wawancara


belum menerima terapi apapun; atau sebagai ​kebutuhan untuk tambahan jenis
terapi ​jika saat wawancara sudah menerima terapi dalam bentuk apapun.
Penilaian ini harus didasarkan pada jumlah, lama, dan intensitas gejala di dalam
satu area masalah.

5
5

Berikut adalah petunjuk umum untuk


penilaian:

Skor Interpretasi
0 – 1 Tak ada masalah nyata, terapi tak dianjurkan

2 – 3 Masalah ringan, terapi mungkin tak dianjurkan

4 – 5 Masalah sedang, terapi dianjurkan

6 – 7 Masalah sungguh-sungguh ada, terapi diperlukan

8 – 9 Masalah ekstrem, terapi mutlak diperlukan

Penilaian di atas dimaksudkan sebagai prakiraan seberapa mendesak suatu


intervensi diperlukan, tanpa memperhatikan ketersediaan terapi tersebut.

Contoh kasus. Seorang pasien dengan TB paru aktif yang mendapat penilaian
akhir keparahan adalah 9 untuk area medis mengartikan bahwa terapi OAT
(misalnya) memang sangat diperlukan.

Pasien yang menunjukkan sedikit gejala penyakit dapat dinilai dengan taraf
keparahan masalah medis yang rendah. Penilaian keparahan yang sangat tinggi
harus menjadi indikasi yang berhubungan dengan kebutuhan tinggi untuk terapi.

7. Prosedur Perolehan Penilaian Keparahan

Langkah 1 ​Dapatkan sebuah rentang skor (dua atau tiga skor) yang paling baik
menggambarkan kebutuhan pasien akan terapi pada saat ini berdasarkan data
obyektif saja 1. Bentuklah sebuah gambaran kondisi pasien berdasarkan butir
obyektif. 2. Formulasikan sebuah rentang perkiraan – kira-kira.

Langkah 2 ​Pilihlah satu skor di dalam rentang di atas menggunakan hanya data
subjektif di ranah/komponen tersebut. 1. Jika pasien menganggap masalah
sungguh-sungguh dan merasa terapi adalah penting,
pilih skor yang tinggi di dalam rentang itu. 2. Jika pasien menganggap masalah
kurang serius dan menganggap kebutuhan untuk
terapi kurang penting, pilihlah skor yang
rendah.

5
6

Pokok bahasan 5 TEKNIK WAWANCARA DAN PENGISIAN FORMULIR


ASESMEN WAJIB LAPOR

1. Teknik Wawancara

Untuk mendapatkan hasil asesmen yang akurat, diperlukan hubungan yang baik atau
terapeutik antara asesor/terapis dengan pasien. Enam sikap dan ketrampilan yang
sebaiknya dimiliki oleh asesor yaitu:

1. Kemampuan interpersonal yang baik, meliputi sikap hangat, ramah, menghargai


dan
empati 2. Ketulusan dalam menolong pasien 3. Mampu memberikan afirmasi 4.
Memberikan dukungan 5. Mampu menjadi pendengar yang baik melalui teknik
“​reflective listening​” 6. Mampu memberikan pertanyaan terbuka dan menggali
jawaban pasien tanpa
menginteroga
si

Sikap tubuh (sebagaimana yang dipersyaratkan dalam melaksanakan konseling)


juga merupakan salah satu alat untuk membina hubungan yang baik dengan pasien.

Pewawancara harus memperkenalkan diri dan secara singkat menyatakan bahwa ia


ingin mengajukan beberapa pertanyaan berkenaan dengan riwayat kehidupan dan
pemakaian narkotika pasien. Pewawancara juga harus menyatakan bahwa
wawancara akan bersifat rahasia kecuali informasi yang berhubungan dengan
keselamatan diri pasien atau orang lain.

Selanjutnya, pewawancara menggambarkan struktur wawancara, dengan


menekankan enam area masalah potensial. Keenam area tersebut adalah:

1. Medis 2.
Pekerjaan/Dukungan
3. Zat/Alkohol 4.
Hukum 5.
Keluarga/Sosial 6.
Psikiatris
Penting juga pewawancara menekankan sifat alamiah dari kontribusi pasien.
Misalnya, pewawancara harus menyatakan: “Saya memahami saat seseorang
mempunyai masalah penggunaan narkotika, ternyata banyak masalah lain yang
secara signifikan berpengaruh

5
7

pada penggunaan narkotikanya seperti kondisi medis, pekerjaan, keluarga, dll. Oleh
karena itu, saya akan mengajukan beberapa pertanyaan yang mungkin terkait
dengan masalah penggunaan narkotika anda saat ini.....”

Pewawancara sebaiknya memperpersiapkan pasien untuk memusatkan perhatian


kepada tiap-tiap area masalah secara independen. Hal tersebut bertujuan supaya
pasien tidak mengacaukan masalah di area tertentu dengan kesulitan yang dialami
di area lain, seperti mengacaukan masalah psikiatris dengan masalah akibat efek
langsung dari intoksikasi zat. Pewawancara dapat memperkenalkan tiap pergantian
area pertanyaan, misalnya, “Kita telah berdiskusi” tentang masalah medis anda,
sekarang saya akan mengajukan beberapa pertanyaan tentang pekerjaan atau
dukungan lain yang mungkin anda miliki.” Demikian selanjutnya untuk tiap
perpindahan area masalah yang akan dinilai.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah jangan memaksakan pasien untuk
memberikan jawaban untuk tiap pertanyaan yang dilakukan, buatlah tanda ’X’ bila
pasien menolak memberikan jawaban.

2. Pengisian Formulir Asesmen Wajib Lapor

Dalam melakukan pengisian formulir asesmen tekankan pasien untuk memahami


tujuan dilakukannya asesmen dalam wajib lapor sehingga mendorong kesungguhan
pasien untuk menjawab tiap pertanyaan. Pasien akan lebih terbuka untuk menjawab
pertanyaan jika pertanyaan diajukan dalam cara yang langsung dan tidak
konfrontasional. Pewawancara dapat hanya membaca pertanyaan seperti ditulis
atau dapat dengan cara yang lebih efektif menguraikan dengan kata-kata sendiri
sehingga memperoleh informasi yang diinginkan. Selain itu pewawancara dapat
mengajukan pertanyaan tambahan untuk memberikan informasi yang mendukung
pewawancara memahami masalah pasien seutuhnya, sehingga rencana terapi yang
disusun sesuai dengan kebutuhan pasien.

5
8

Bagian kepala kuesioner :

Tanggal Kedatangan : Cantumkan tanggal-bulan-tahun kedatangan pasien

Nomor rekam medik : Cantumkan nomor rekam medik pasien atau nomor barcode bila
sudah tersedia

Nama : Cantumkan nama lengkap sesuai dengan tanda identitas diri pasien (KTP) atau identitas
lain serta sama dengan nama yang tertulis dalam status rekam medis. Untuk anak dibawah umur
maka identitas sesuai dengan yang diberikan oleh orang tua atau wali anak tersebut, dan
lampirkan identitas orangtua atau wali anak.

Alamat tempat tinggal : Cantumkan alamat terakhir pasien atau alamat tujuan setelah pasien
selesai terapi. Bila pasien tidak memiliki tempat tinggal tetap, cantumkan alamat dimana pasien
paling sering tinggal

Telepon/HP : Cantumkan nomor telepon rumah atau telepon genggam pasien atau nomor
telepon keluarga/teman terdekat yang dapat dihubungi oleh petugas

Usia : Cantumkan usia saat tanggal kedatangan

Jenis Kelamin : Cantumkan jenis kelamin laki-laki atau perempuan, sesuai yang
terliha
t

1. Informasi Demografis:
1. Status perkawinan:

Cantumkan kode status perkawinannya pada kotak yang diarsir sebelah kanan, sesuai kondisinya saat ini.
Misalkan pasien menjadi sudah menikah, maka tulis angka 2 di kotak yang diarsir
sebelah kananya.

2. Riwayat pendidikan:
Cantumkan kode pendidikan terakhir yang pernah ditempuh pada kotak yang diarsir
sebelah kanan, sebagaimana pencatuman kode perkawinan di atas.

Catatan Skala Penilaian Pasien:

Pada pertanyaan tentang Status Medis hingga Status Psikiatrik, terdapat skala penilaian pasien
pada sebelah kiri masing-masing domain. Skala penilaian pasien wajib diisi dengan cara
bertanya pada pasien setiap asesmen untuk masing-masing domain selesai dilakukan. Hal ini
didasari pertimbangan bahwa pendapat pasien merupakan masukan yang penting. Tanyakan
pada pasien, seberapa pentingnya ia membutuhkan terapi terkait kondisi medisnya. Mintalah
pasien untuk memberi nilai sebagai berikut; 0 = Tidak membutuhkan sama sekali 1 = Agak
membutuhkan 2 = Cukup membutuhkan 3 = Membutuhkan 4 = Sangat membutuhkan

5
9

2. Status Medis:
Cantumkan kapan wawancara tentang status medis pasien dilakukan. Mohon diingat bahwa
wawancara mungkin saja dilakukan tidak bersamaan dengan tanggal kedatangan pasien.

1. Riwayat rawat inap yang tidak terkait masalah Narkotika:

Cantumkan jenis penyakit, tahun rawat dan lamanya perawatan (dalam hari).

Yang dimaksud disini adalah jumlah hari menginap di rumah sakit karena masalah medis,
misalnya karena penyakit typhus, demam berdarah, kecelakaan, atau perawatan medis
lainnya, termasuk over dosis dan delirium tremens. ​Tidak termasuk: ​detoksifikasi atau
bentuk lain terapi rehabilitasi alkohol dan napza; perawatan kejiwaan; atau perawatan
karena kelahiran anak secara normal (tanpa komplikasi)

Catatan: ​elaborasi jawaban pasien secara rinci, dengan menanyakan tahun ketika
perawatan terjadi, kejadian lain dalam kehidupan pasien pada waktu itu, untuk setiap
perawatan. Informasi tambahan membuat proses wawancara lebih mengalir sebagai
sebuah percakapan. Selain itu juga membantu kita melihat kemungkinan keterkaitan
masalah medis dengan waktu-waktu pemakaian Napzanya. Catatlah keterangan ini di
bagian yang kosong dari formulir tersebut.

2. Riwayat penyakit kronis:

Cantumkan penyakit kronis yang diderita pasien terutama yang memerlukan perawatan
berkesinambungan (misal: pengobatan, pengaturan diet, ketidakmampuan untuk
menjalankan kegiatan normal). Beberapa contoh dari penyakit kronis adalah: hipertensi,
diabetes, epilepsi, cacat fisik atau penderita HIV yang telah membutuhkan terapi Anti
Retroviral (ARV).

3. Saat ini sedang menjalani terapi medis? Catat kode jawaban pasien pada kotak yang diarsir
sebelah kanan pertanyaan.
Jenis terapi medis: ​Cantumkan bila pasien saat ini dalam program terapi tertentu, terkait
kondisi medis apa dan jenis terapi medis yang dijalani saat ini, misalnya pengobatan
insulin karena kondisi diabetis.

4. Status kesehatan:

Tanyakan apakah pasien pernah menjalankan tes HIV, Hepatitis B dan C? Tulis kode
jawaban pada kotak yang diarsir sebelah kanan pertanyaan. Apabila pasien tidak
keberatan, tanyakan bagaimana hasilnya.

6
0

3. Status Pekerjaan/Dukungan Hidup:

Cantumkan kapan wawancara tentang status pekerjaan/dukungan hidup pasien dilakukan. Mohon
diingat bahwa wawancara mungkin saja dilakukan tidak bersamaan dengan tanggal kedatangan
pasien.

1. Status pekerjaan:
Tanyakan apakah pada saat sekarang pasien mempunyai kegiatan atau pekerjaan tertentu.
Tulislah kodenya dikotak yang diarsir. Eksplorasi informasi tambahan dimana dia bekerja dan
sudah berapa lama dia menjalani pekerjaan tersebut. Tuliskan info tambahan di
bagian-bagian yang kosong. Bila tidak ada pekerjaan/kegiatan, langsung ke nomor 4.

2. Bila bekerja, pola pekerjaan:


Pewawancara harus menentukan pekerjaan yang paling mewakili kondisi pasien saat ini.
Pekerjaan penuh waktu adalah yang teratur, ≥ 35 jam/minggu. Pekerjaan paruh waktu dimana
pasien mempunyai jadwal kerja ≤ 35 jam /minggu, tapi teratur dan terus menerus. Yang
dimaksud dengan pekerjaan tidak tentu adalah pekerjaan dimana jumlah jam kerja kurang
dari 35 jam/minggu, tetapi tidak memiliki jadwal tetap. Bila terdapat waktu yang sama untuk
lebih dari satu kategori, catatlah yang paling mewakili situasi saat ini.

3. Kode pekerjaan:
Pilihlah kode pekerjaan sesuai dengan pekerjaan pasien sehari-hari. Tentukan jenis pekerjaan
pasien masuk kelompok yang mana (kategori Holingshead) dan beri tanda dengan dilingkari.
4. Keterampilan teknis yang dimiliki:
Tanyakan pasien tentang pendidikan teknis formal atau pelatihan yang pernah mereka ikuti
dan dapat dituliskan dalam aplikasi pekerjaan (curiculum vitae).

5. Adakah yang memberi dukungan hidup bagi anda?


Tulis kode sesuai jawaban pasien di kotak yang diarsir.

Yang dimaksud dukungan hidup adalah pemberian uang, tempat tinggal, makanan, biaya
pengobatan/perawatan secara teratur dari berbagai sumber, kecuali institusi (mis. yayasan).
Catatan​: Pasien yang tinggal dengan orang tua diatas usia 18 tahun, dianggap juga
menerima dukungan hidup, setidaknya dari segi tempat tinggal dan/atau makanan).

6. Bila ya, siapakah?


Tuliskan pemberi dukungan hidup bagi pasien, seperti orangtua, keluarga, teman saudara,
dan bukan sebuah institusi

7. Dalam bentuk apakah?


Tulis kode jawaban untuk masing-masing bentuk dukungan pada kotak yang diarsir

6
1

Kategori
Holingstead

1. Eksekutif pengambil keputusan tertinggi, profesional utama, pemilik perusahaan besar 2. Manajer
bisnis ukurang menengah; profesi (mis. dokter, perawat, apoteker, pekerja sosial
profesional, guru, psikolog, dll 3. Tenaga administratif, penyelia (supervisor, pemilik perusahaan kecil
(mis. perusahaan roti, show
room mobil kecil, dll), dekorator, aktor, agen perjalanan, dll 4. Klerk, sales, teknisi, bisnis kecil (kasir
bank/teller, petugas pembukuan, juru gambar, pencatat
waktu, sekretaris) 5. Manual terlatih (biasanya dalam menjalankan tugas, perlu menerima pelatihan),
misalnya tukang
roti, tukang cukur, montir, juru masak, montir, tukang cat, penjahit, dll) 6. Semi-terlatih,
mis. pembantu rumah sakit, tukang cat, pelayan, pelayan, supir, dll 7. Tidak terlatih
(pembantu, penjaga, buruh, tukang parkir, dll)
DAFTAR ZAT YANG UMUM DIGUNAKAN:

Alkohol : Bir, anggur (wine), liquor, grain (metil alcohol),sopi,tuak,ciu Heroin :


Smack,H,Horse,Brown Sugar Metadon : Dolophine, LAAM Opiat: Opium, Fentanyl,
Buprenorphine, pereda nyeri -Morfin, Dilaudid, Demerol,
Percocet, Darvon, dll. Barbiturat : Nembutal, Seconal, Tuinal, Amytal, Pentobarbital,
Secobarbital,
Fenobarbital, Fiorinal, Doriden, dll. Sed/Hip/ : Benzodiazepin = diazepam,
lorazepam, chlordiazepoxide,oxazepam Trankuil clorazepate, flurazepam, triazolam,
alprazolam, meprobamat,
Lain-lain = Kloral Hidrat, Quaaludes Kokain : Kristal Kokain, Free-Base Cocaine,
Crack, Rock,dll. Amfetamin/ : Monster, Crank, Benzedrine, Dexedrine, methylphenidate/, Stimulan
Preludin, Metamfetamin, Speed, Ice, Crystal, Khat Kanabis : Marijuana, Hashish, Pot, Bango Igbo,
Indian Hemp, Bhang, Charas, Ganja,
Mota, Anasha Halusinogen : LSD (Acid), Meskalin, Psilocybin (Mushrooms), Peyote, PCP,
MDMA,Ekstasi,
Angel Dust Inhalan : Nitrous Oxide (Whippits), Amyl Nitrite (Poppers), Lem, Solvents, Gasoline,
Toluene, Etc.

Zat-zat lain yang juga disalahgunakan di Indonesia adalah dekstrometrofan, triheksifenidil (THP),
gama-hidroksibutirit asid (GHB), ketamin, dan beberapa zat lain yang tidak dapat digolongkan pada
jenis zat-zat di atas, karena lebih sebagai prekursor (bahan dasar), demikian juga penggunaan
napza baru (NPS/New Psychoactive Substance) . Apabila pasien menggunakan zat-zat yang tidak
dapat digolongkan pada golongan besar di atas, silakan ditulis pada bagian paling bawah jenis
Napza dalam domain riwayat penggunaan NAPZA.

6
2

4. Status PenggunaanNarkotika :
Cantumkan kapan wawancara tentang status penggunaan narkotika pasien dilakukan. Mohon diingat
bahwa wawancara mungkin saja dilakukan tidak bersamaan dengan tanggal kedatangan pasien. ​D1 –
D11. Pertanyaan tentang status penggunaan narkotika terdiri dari 3 komponen​: - Penggunaan 30
hari terakhir
Tanyakan apakah pasien menggunakan zat terkait (D1 – D12) dalam 30 hari terakhir atau sebulan
terakhir. Bila ya, berapa harikah dalam sebulan lalu pasien menggunakannya. Penekanan adalah
pada jumlah hari, bukan dosis harian. Tuliskan jawaban pasien dalam format dua digit. Misalkan 8
hari, maka ditulis 08 pada kolom-kolom jawaban
- Penggunaan sepanjang hidup (dalam tahun)
Mencatat periode penggunaan tetap NAPZA. Yang dimaksud penggunaan tetap adalah: ✓ frekuensi
3 kali atau lebih tiap minggunya; ✓ penggunaan hanya dua hari seminggu atau tidak tentu, tetapi
selalu dalam kondisi mabuk berat
atau menimbulkan problem pekerjaan, sekolah, atau kehidupan keluarga ✓ minum alkohol sesekali tetapi
setiap kali minum dalam frekuensi terus menerus hingga
menimbulkan intoksikasi berat. Perhitungan waktu menggunakan ”​half rule time​” yaitu enam
bulan ke bawah dihitung 0 (nol) tahun dan enam bulan atau lebih dihitung 1 (satu) tahun.

- Cara pakai
Terdapat lima cara pakai NAPZA, yaitu: ✓
Oral (kode 1); ✓
Nasal/suppositoria/sublingual (kode 2); ✓
Dirokok (kode 3); ✓ Suntik intra muskular
(kode 4) dan ✓ Suntik intravena (kode 5).

Tulislah kodenya pada kotak cara pakai. Risiko penggunaan dicerminkan dari kode yang ada.
Semakin besar nilai kodenya, semakin berisiko. Bila pasien menggunakan dua cara, misalnya oral
(kode 1) dan suntik intravena (kode 5), maka yang ditulis dalam kotak cara pakai adalah kode 5.
Namun demikian pewawancara diharapkan menulis catatan penggunaan lainnya pada bagian yang
kosong.

Catatan: ​Penting menanyakan riwayat semua jenis zat (dari D1 hingga D12) yang pernah digunakan
tanpa memperhatikan masalah saat ini (misal, pengguna alkohol mungkin menggabungkan zat
dengan minum alkohol; seorang pengguna kokain mungkin tanpa menyadari akan masalah minum
alkohol).

Sebagai informasi tambahan tanyakan ​Kuantitas penggunaan tiap hari, perkiraan jumlah uang
yang dihabiskan untuk zat perhari dan bagaimana pola penggunaannya (hanya pada akhir minggu,
misalnya).

D12. Zat Multipel ​Untuk mencatat informasi tentang kombinasi penggunaan zat. Dalam 30 hari
terakhir, tanyakan berapa hari pasien menggunakan lebih dari satu macam zat termasuk alkohol.
Dalam penggunaan sepanjang hidup tanyakan pasien berapa lama ia secara tetap (umumnya 3 kali
per minggu selama satu bulan atau lebih) menggunakan lebih dari satu zat per hari termasuk alkohol.

6
3

13​. ​Jenis zat utama yang disalahgunakan: ...........................................


Pewawancara harus menentukan zat utama yang disalahgunakan berdasarkan tahun-tahun
penggunaan, seringnya terapi, riwayat jumlah mengalami ​Delirium Tremens ​(DTs) atau Ovedosis. Jika
informasi memberikan tidak ada indikasi yang jelas tentang masalah zat, lalu tanyakan pada pasien
apa yang ia anggap adalah masalah zat utama (pilih dari kelompok zat di atas: D1 – D12)
14. Pernahkah menjalani terapi rehabilitasi?
Tulis kode pilihan pasien pada kotak diarsir sebelah kanan

15. Jenis terapi rehabilitasi yang dijalani


Catat riwayat pasien menjalani program terapi rehabilitasi: misalkan detoksifikasi; program terapi
rumatan metadon; program terapi rumatan buprenorfin; rehabilitasi rawat inap jangka pendek;
rehabilitasi rawat inap jangka panjang; AA/NA, dan lain-lain.

16. Pernahkah mengalami overdosis?


Tulis kode pilihan pasien pada kotak diarsir sebelah kanan

17. Waktu overdosis


Catat kapan hal tersebut terjadi

18. Cara penanggulangan overdosis​:


Tulis kode pilihan pasien pada kotak diarsir sebelah kanan

5. Status Legal :
Berapa kali kah dalam hidup anda ditangkap dan dituntut dengan hal berikut ​Catatlah jumlah
penangkapan dengan tuduhan resmi (tidak selalu harus berakibat pemenjaraan) yangdialami pasien
sepanjang hidupnya, untuk masing-masing jenis tindakan yang tertera pada nomor 1 hingga 14.
Misalkan, pasien mengalami penangkapan karena pemalsuan resep sebanyak 10 kali sepanjang
hidupnya. Maka, tuliskan dalam format dua digit pada kotak di sebelah kanannya ​Catatan​: Jangan
masukkan kejahatan remaja (sebelum usia 18), kecuali jika pengadilan mengadili pasien sebagai orang
dewasa, yang terjadi dalam kasus kejahatan yang sangat serius.

15. Berapa kali tuntutan di atas berakibat vonis hukuman?

Catatlah berapa kali penangkapan dan penuntutan pada poin 1 – 14 berakibat pada vonis
hukuman. Dalam hal ini termasuk denda, masa percobaan, penundaan hukuman dan juga
hukuman yang memerlukan penahanan. Tuntutan untuk pembebasan bersyarat dan/atau
pelanggaran masa percobaan dianggap vonis hukuman.

6
4
6. Riwayat Keluarga/Sosial:
1. Dalam situasi seperti apakah anda tinggal 3 tahun belakangan?

Tulislah kode pilihan pasien pada kotak yang diarsir sebelah kanan. Pilihan menggambarkan dalam
situasi apa pasien hidup selama 3 tahun terakhir. Bila terdapat berbagai situasi, pilihlah yang paling
mewakili periode 3 tahun terakhir. Jika jumlah waktu atas masing-masing situasi kurang lebih
sama, pilihlah situasi yang paling terakhir.

2. Apakah anda hidup dengan seseorang yang mempunyai masalah penyalahgunaan zat
sekarang
ini?

Tulislah kode pilihan pasien pada kotak yang diarsir sebelah kanan. Apabila jawabannya tidak,
dapat langsung bertanya pertanyaan nomor 4.

3. Jika ya, siapakah mereka?

Tulislah kode pilihan pasien pada kotak yang diarsir sebelah kanan.
Catatan: perjelas hubungan pasien dengan orang yang menggunakan zat
(ayah/ibu,abang/kakak/adik, suami/istri/pasangan, keluarga,lainnya)

4. Apakah anda memiliki konflik serius dalam berhubungan dengan:


Yang dimaksud dengan konflik serius adalah suatu hubungan yang buruk, mencakup . hambatan
komunikasi yang serius, ketidakpercayaan, tidak adanya saling pengertian, kebencian atau rasa
permusuhan.

Tulislah kode 1 untuk ya dan kode 0 untuk tidak pada kolom waktu berikut ini: ​30 hari terakhir:
Tanyakan apakah pasien mengalami konflik dengan pihak-pihak yang tertera pada pilihan no 1 sampai
9, dalam 30 hari terakhir atau sebulan terakhir. ​Sepanjang hidup: ​Tanyakan apakah pasien
sebelumnya mengalami konflik dengan pihak-pihak yang tertera pada pilihan no 1 sampai 9, sepanjang
hidupnya. Bila pasien menjawab ya untuk 30 hari terakhir, tidak berarti otomatis ia mengalami konflik
yang sama sepanjang hidupnya. Atau sebaliknya, apabila ia mengalami konflik sepanjang hidupnya,
belum tentu ia mengalaminya dalam 30 hari terakhir.
6
5

7. Status Psikiatris :

Apakah anda pernah mengalami hal-hal berikut ini (yang tidak merupakan akibat langsung
dari penggunaan zat):

1 – 9 : Tulislah kode 1 untuk ya dan kode 0 untuk tidak pada kolom waktu berikut ini:

30 hari terakhir:

Tanyakan apakah pasien mengalami kondisi yang tertera pada pilihan no 1 sampai 9, dalam 30 hari
terakhir atau sebulan terakhir.

Sepanjang hidup:

Tanyakan apakah pasien sebelumnya mengalami kondisi yang tertera pada pilihan no 1 sampai 9,
sepanjang hidupnya. Bila pasien menjawab ya untuk 30 hari terakhir, tidak berarti otomatis ia
mengalami situasi tersebut sepanjang hidupnya. Atau sebaliknya, apabila ia mengalami situasi
tertentu sepanjang hidupnya, belum tentu ia mengalaminya dalam 30 hari terakhir.

Pemeriksaan Fisik :

1 – 4 ​Tuliskan kondisi fisik pasien (tekanan darah, nadi, pernapasan dan suhu) sesuai pemeriksaan yang
dilakukan.

5. Pemeriksaan sistemik​, terdiri dari

Sistem pencernaan ​: inspeksi bentuk abdomen, ada luka atau skar; palpasi perbagaan otot perut,
hati, limpa, adanya massa, asites; auskultasi bunyi usus
Sistem Jantung dan Pembuluh Darah :​inspeksi bentuk thorax, kemungkinan adanya tanda
sianosis; palpasi daerah precortex; auskultasi frekuensi denyut jantung.

Sistem Pernapasan: ​inspeksi bentuk thorax, jenis pernapasan, retraksi iga; palpasi krepitasi;
perkusi; auskultasi suara napas

Sistem Saraf Pusat: ​tes sensorik rangsang nyeri atau panas ekstremitas atas dan bawah; tes
motorik ada tidaknya parese atau plegia; tes keseimbangan.

THT dan Kulit: ​apakah ada penurunan pendengaran, cairan telinga, membran timpani utuh / tidak;
bagaimana kondisi hidung; kondisi tenggorokan; kondisi kulit apakah ada rash, erupsi, skar, tato,
atau kelainan kulit lain.

6. Hasil Urinalisis:

Melalui prosedur skrining, tuliskan hasil urinalisis untuk masing-masing jenis zat yang diperiksa
dengan kode 1 untuk hasil positif dan kode 0 untuk hasil negatif pada kotak yang diarsir sebelah
kanan.

6
6

Kesimpulan:

Buatlah kesimpulan tentang pasien untuk masing-masing domain yang ada dengan mempertimbangkan
hasil asesmen dan pendapat subyektif pasien dalam skala penilaian.

Penilaian dapat berkisar pada satu hingga tiga nilai, bergantung pada pertimbangan pewawancara:

0-1​: Tidak ada masalah yang berarti, pasien tidak membutuhkan intervensi / bantuan
2-3​: Ada sedikit masalah, tetapi intervensi / bantuan tidak terlalu penting ​4-5​:
Masalah tergolong sedang, dibutuhkan beberapa intervensi ​6-7​: Masalah serius,
dibutuhkan intervensi / terapi / bantuan ​8-9​: Masalah sangat serius, pasien sangat
membutuhkan intervensi / terapi /

Pokok Bahasan 6 PRINSIP PENEGAKAN DIAGNOSIS GANGGUAN


PENGGUNAAN NAPZA
Diagnosis merupakan dasar bagi perencanaan terapi selanjutnya. Prinsip penegakan
diagnosis gangguan penggunaan napza (gangguan mental dan perilaku akibat
penggunaan zat psikoaktif, menurut PPDGJ III) dan gangguan jiwa penyerta adalah
sebagai berikut: 1. Diagnosis tidak selalu dapat ditegakkan pada asesmen awal, dapat
ditambahkan dengan
diagnosa banding. 2. Penegakan diagnosis dapat dibantu dengan adanya informasi
tambahan dari keluarga atau
orang yang mengantar 3. Tegakkan diagnosis berdasarkan informasi yang didapat
ketika pasien dalam kondisi sadar
penuh dan tidak mengalami sindrom intoksikasi zat akut atau putus zat 4. Pastikan
diagnosis melalui asesmen ulang, bila perlu (mis; adanya dual diagnosis yang belum
terlihat pada asesmen awal) 5. Pemeriksaan penunjang laboratorium narkotika pada
kondisi akut dapat membantu
penegakan
diagnosis

Gangguan jiwa penyerta adalah adalah gangguan jiwa bukan akibat penggunaan zat
psikoaktif yang menyertai gangguan mental dan perilaku akibat pengunaan zat
​ uatu survey dalam
psikoaktif. Kondisi ini populer dengan sebutan ​dual diagnoses. S
komunitas yang besar melaporkan bahwa 76% laki-laki dan 65% perempuan dengan
gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat psikoaktif menderita gangguan
jiwa lainnya. Gangguan jiwa yang banyak menyertai gangguan mental dan perilaku
akibat penggunaan zat psikoaktif antara lain gangguan kepribadian antisosial, fobia
(dan gangguan cemas lainnya), gangguan depresi berat, dan

6
7

gangguan distimia. Secara umum, makin poten suatu zat makin tinggi frekuensi
gangguan jiwa penyertanya. Contoh, orang dengan ketergantungan metamfetamin
sering ditemukan juga menderita gangguan depresi mayor.

Komorbiditas gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat psikoaktif dan
ganguan jiwa lainnya bisa dijelaskan melalui beberap fenomena. Fenomena pertama,
zat psikoaktif (napza) bekerja di susunan saraf pusat dan bermanifestasi pada
perubahan pikiran, perasaan, dan perilaku sampai dengan taraf gangguan jiwa. Contoh,
gangguan psikotik pada orang dengan ketergantungan aktif kokaina. Fenomena ini
tidak dapat disebut kondisi ​dual diagnoses k​ arena gangguan psikotiknya disebabkan
oleh kokaina. Fenomena kedua, orang yang menggunakan napza untuk mengurangi,
bahkan menghilangkan, ketidaknyamanan yang ditimbulkan oleh gangguan jiwa yang
sudah ada sebelumnya (sering disebut juga ​self-medication​). Fenomena lainnya adalah
pengguna napza yang menderita gangguan jiwa tetapi hubungan patogenesis diantara
keduanya tidak dapat dijelaskan (serupa dengan orang dengan kencing manis yang
terinfeksi virus influenza). Kedua fenomena terakhir ini dapat disebut kondisi ​dual
diagnoses​. Untuk dapat memastikan sifat hubungan antara penggunaan narkotika dan
gangguan jiwa yang menyertainya dibutuhkan ketelitian dalam melakukan anamnesis
untuk mendapatkan riwayat penyakit sekarang dan terdahulu.

Penggolongan Dan Kriteria Diagnostik Gangguan Mental Dan Perilaku Akibat Pemakaian
Zat Psikoaktif

Masalah kesehatan terkait-zat psikoaktif merupakan bagian dari kelompok gangguan


jiwa. Indonesia mempunyai Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di
Indonesia (PPDGJ) III, yang merupakan adaptasi dari ​Clinical Descriptions and
Diagnostic Guidelines (​ CDDG) dari ​International Classification of Diseases r​ evisi
kesepuluh (ICD-10) bagian F, sebagai pedoman penegakan diagnosis gangguan jiwa
akibat pemakaian zat psikoaktif. PPDGJ III mencantumkan sepuluh kondisi klinis dalam
kelompok ​gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat psikoaktif.

6
8

Kondisi klinis yang tercantum dalam PPDGJ III


meliputi:

1. Intoksikasi akut 2. Penggunaan yang


merugikan 3. Sindrom ketergantungan 4.
Keadaan putus zat 5. Keadaan putus zat
dengan delirium 6. Gangguan psikotik 7.
Sindrom amnesik 8. Gangguan psikotik
residual dan awitan lambat

Selain delapan kondisi di atas, PPDGJ III membuka kemungkinan untuk kondisi klinis
yang terinci lainnya (gangguan mental dan perilaku lainnya akibat pemakaian zat
psikoaktif) dan kondisi klinis yang tak terinci (gangguan mental dan perilaku YTT akibat
pemakaian zat psikoaktif).

1. Pedoman diagnostik PPDGJ III untuk ​intoksikasi


akut​:
Intoksikasi akut sering dikaitkan dengan tingkat dosis yang digunakan. Pengecualian
dapat terjadi pada individu dengan kondisi organic tertentu yang mendasarinya yang
dalam dosis kecil dapat menyebabkan efek intoksikasi berat yang tidak proporsional.
Harus pula dipertimbangkan disinhibisi sosial. Intoksikasi akut merupakan fenomena
peralihan. Intensitasi intoksikasi berkurang dengan berlalunya waktu dan pada
akhirnya efeknya menghilang bila tidak terjadi penggunaan zat lagi. Dengan
demikian orang tersebut akan kembali ke kondisi semula, kecuali jika ada jaringan
yang rusak atau terjadi komplikasi lainnya.

Gejala intoksikasi tidak selalu mencerminkan aksi primer dari zat. Sebagai contoh,
zat depresan dapat menimbulkan gejala agitasi atau hiperativitas, dan zat stimulan
menimbulkan penarikan diri secara sosial atau perilaku introvert. Efek zat sepserti
kanabis dan halusinogenika mungkin sukar diramal. Lebih-lebih, banyak zat
psikoaktif mampu menimbulkan berbagai bentuk efek ayng berbeda pada tingkat
dosis yang berbeda. Sebagai contoh, alkohol rupanya dapat mempunyai efek
stimulan pada perilaku dalam dosis yang lebih rendah, namun dapat meyebabkan
agitasi dan agresi dengan meningkatnya dosis, dan menimbulkan sedasi yang jelas
pada dosis yang sangat tinggi.

6
9
2. Pedoman diagnostik PPDGJ III untuk ​penggunaan yang
merugikan​:
Untuk menegakkan diagnosis harus ada cedera nyata pada kesehatan jiwa atau
fisik pengguna.

Pola penggunaan yang merugikan sering dikecam oleh pihak lain dan sering kali
disertai berbagai konsekuensi sosial yang tidak diinginkan. Bila suatu pola
penggunaan atau suatu zat tertentu tidak disetujui oleh orang lain atau oleh budaya
setempat, atau menjurus kepada konsekuensi yang negatif secara sosial seperti
penahanan atau cekcok dalam perkawinan bukanlah merupakan bukti dari adanya
penggunaan yang merugikan.

Intoksikasi akut atau “hangover” sendiri bukanlah merupakan bukti cukup untuk
pemberian kode pengunaan yang merugikan.

Jangan memberi diagnosis penggunaan yang merugikan kalau ada sindrom


ketergantungan, gangguan psikotik atau bentuk spesifik lain dari gangguan yang
berkaitan dengan penggunaan obat atau alkohol.

3. Pedoman diagnostik PPDGJ III untuk ​sindrom


ketergantungan​:
Diagnosis ketergantungan yang pasti ditegakkan jika ditemukan tiga atau lebih
gejala di bawah ini dialami dalam masa setahun sebelumnya: a) Adanya keinginan
yang kuat atau dorongan yang memaksa (kompulsi) untuk
menggunakan zat; b) Kesulitan dalam mengendalikan perilaku menggunakan zat
sejak awal, usaha penghentian
atau tingkat penggunaannya; c) Keadaan putus zat secara fisiologis ketika
penghentian penggunaan zat atau pengurangan, terbukti oang tersebut
menggunakan zat atau golongan zat yang sejenis dengan tujuan untuk
menghilangkan atau menghindari terjadinya gejala putus zat; d) Adanya bukti
toleransi, berupa peningkatan dosis zat psikoaktif yang diperlukan guna
memperoleh efek yang sama yang biasanya diperoleh dengan dosis lebih rendah; e)
Secara progresif mengabaikan alternative menikmati kesenangan karena
penggunaan zat psikoaktif lain, meningkatnya jumlah waktu yang diperlukan untuk
mendapatkan atau menggunakan zat atau pulih dari akibatnya; f) Terus
menggunakan zat meskipun ia menyadari adanya akibat yang merugikan
kesehatannya, seperti gangguan fungsi hati karena minum alkohol berlebihan,
keadaan depresi sebagai akibat penggunaan yang berat atau hendaya fungsi
kognitif akibat

7
0

menggunakan zat; upaya perlu diadakan untuk memastikan bahwa penggunaan


zat sungguh-sungguh atau diharapkan untuk menyadari akan hakikat dan
besarnya bahaya.

Memperbanyak pola kebiasaan penggunaan zat psikoaktif telah dideskripsikan


sebagai gambaran khas.

Ciri khas penting dari sindrom ketergantungan ialah penggunaan atau keinginan
untuk menggunakan zat psikoaktif. Kesadaran subjektif adanya kompulsi untuk
menggunakan zat biasanya ditemukan ketika berusaha untuk menghentikan atau
mengatasi penggunaan zat. Syarat diagnostik ini mengecualikan pasien pasca
bedah yang mendapatkan opioida untuk menghilangkan rasa nyeri dan kemudian
menunjukkan tanda-tanda keadaan putus zat bila zat tidak diberikan, namun mereka
sebenarnya tidak menginginkan untuk melanjutkan penggunaan zat.

Sindrom ketergantungan dapat juga terjadi terhadap bahan/zat yang spesifik, atau
pada golongan zat tertentu, atau pada aneka ragam zat.

4. Pedoman diagnostik PPDGJ III untuk ​keadaan


putus zat​:
Keadaan putus zat merupakan salah satu indikator dari sindrom ketergantungan dan
diagnosis sindrom ketergantungan zat harus turut dipertimbangkan.

Keadaan putus zat hendaknya dicatat sebagai diagnosis utama, bila hal ini
merupakan alasan rujukan dan cukup parah sehingga memerlukan perhatian medis
secara khusus.

Gejala fisik bervariasi sesuai dengan zat yang digunakan. Gangguan psikologis
merupakan gambaran umum dari keadaan ptuts zat ini. Yang khas ialah pasien
akan melaporkan bahwa gejala putus zat akan mereda dengan meneruskan
penggunaan zat.

Perlu diingat bahwa gejala putus zat dapat diinduksi dengna rangsang yang
terkondisi/ dipelajari walaupun tanpa penggunaan zat sebelumnya. Pada kasus
yang demikian, diagnosis keadaan putus zat hendaknya dibuat hanya apabila taraf
keparahaan putus obatnya cukup berarti.

7
1

Pedoman diagnostik PPDGJ III untuk masing-masing kondisi klinis di atas agak sukar
digunakan karena penjabarannya sebagian besar berupa kalimat dalam alinea. Untuk
kepentingan praktis, dapat dipakai kriteria diagnostik untuk penelitian (DCR-10), yang
merupakan penyerta ICD-10 (sumber PPDGJ III) atau kriteria diagnostik dari ​Diagnostic
and Statistical Manual of Mental Disorders e ​ disi keempat dengan revisi teks
(DSM-IV-TR).

Kriteria diagnostik DCR-10 untuk ​intoksikasi akut – ​kriteria


umum:

a. Bukti jelas dari penggunaan baru zat psikoaktif pada tingkat dosis yang cukup tinggi
yang
konsisten dengan intoksikasi. b. Gejala atau tanda dari intoksikasi sesuai dengan
kerja dari zat dan cukup parah untuk menyebabkan gangguan dalam tingkat kesadaran,
kognisi, persepsi, afek, atau perilaku yang bermakna klinis. c. Bukan disebabkan oleh
suatu gangguan medis yang tak berhubungan dengan penggunaan
zat, dan bukan disebabkan oleh gangguan mental atau perilaku
lainnya.

Intoksikasi akut sering timbul pada orang-orang dengan masalah terkait-alkohol atau
–zat yang menetap. Bila ada masalah-masalah tersebut, seperti penggunaan yang
merugikan, sindrom ketergantungan, atau gangguan psikotik akibat penggunaan zat
psikoaktif, masalah tersebut harus dicatat.

Intoksikasi ​alkohol ​akut ditandai dengan kriteria umum untuk intoksikasi akut terpenuhi;
perilaku disfungsional yang terbukti dengan sedikitnya satu dari tujuh perilaku berikut:
disinhibisi, argumentatif, agresi, suasana perasaan labil, perhatian terganggu, daya nilai
terganggu, dan gangguan fungsi personal; dan sedikitnya satu dari tanda berikut: jalan
sempyongan, kesukaran berdiri, ​slurred speech​, nystagmus, penurunan tingkat
kesadaran (misalnya stupor, koma), wajah memerah, dan injeksi konjungtival.
Intoksikasi alkohol akut yang parah bisa disertai dengan hipotensi, hipotermia, dan
depresi refleks muntah.

Intoksikasi ​opioida ​akut ditandai dengan kriteria umum untuk intoksikasi akut yang
terpenuhi; perilaku disfungsional yang terbukti dengan sedikitnya satu dari enam
perilaku berikut: apati dan sedasi, disinhibisi, retardasi psikomotor, hendaya perhatian,
hendaya daya nilai, dan gangguan fungsi personal; dan sedikitnya satu dari empat
tanda berikut: mengantuk, ​slurred speech, ​konstriksi pupil (kecuali pada anoksia akibat
dosis berlebih yang berat dimana terjadi dilatasi pupil), dan penurunan tingkat
kesadaran (misalnya stupor, koma). Intoksikasi opioida akut yang parah bisa disertai
dengan depresi pernafasan (dan hipoksia), hipotensi, dan hipotermia.

7
2

Intoksikasi ​kanabinoida ​akut ditandai dengan kriteria umum untuk intoksikasi akut
terpenuhi; perilaku disfungsional atau gangguan persepsi yang meliputi sedikitnya satu
dari dua belas berikut: euforia dan disinhibisi, kecemasan atau agitasi, curiga atau
ide-ide paranoid, perlambatan waktu (rasa seperti waktu berjalan sangat lambat,
dan/atau pengalaman ide-ide mengalir cepat), hendaya daya nilai, hendaya perhatian,
hendaya waktu reaksi, ilusi auditori, visual, atau taktil, halusinasi dengan orientasi baik,
depersonalisasi, derealisasi, dan gangguan fungsi personal; dan sedikitnya satu dari
empat tanda berikut: peningkatan nafsu makan, mulut kering, injeksi konjungktival, dan
takikardia.

Intoksikasi akut akibat penggunaan ​obat-obat sedativa-hipnotika ​ditandai dengan


kriteria umum untuk intoksikasi akut terpenuhi; perilaku disfungsional yang terbukti
dengan sedikitnya satu dari delapan perilaku berikut: euforia dan disinhibisi, apati dan
sedasi, kekerasan atau agresi, kelabilan suasana perasaan, hendaya perhatian,
amnesia anterograd, hendaya performa psikomotor, dan gangguan fungsi personal; dan
sedikitnya satu dari enam tanda berikut: jalan sempoyongan, kesukaran berdiri, ​slurred
speech,​ nystagmus, penurunan tingkat kesadaran, dan lesi kulit erythematous.
Intoksikasi akut akibat penggunaan obat sedativa-hipnotika yang parah bisa disertai
dengan hipotensi, hipotermia, dan depresi refleks muntah.

Intoksikasi ​kokain ​akut ditandai dengan kriteria umum untuk intoksikasi akut terpenuhi;
perilaku disfungsional atau abnormalitas persepsi yang terbukti dengan sedikitnya satu
dari sebelas berikut: euforia dan sensasi peningkatan energi, ​hypervigilance,​ keyakinan
atau tindakan grandios (kebesaran), kekerasan atau agresi, argumentatif, kelabilan
suasana perasaan, perilaku stereotipik repetitif, ilusi (auditori, visual, atau taktil),
halusinasi biasanya dengan orientasi intak, ide-ide paranoid, dan gangguan fungsi
personal (sudah terlihat jelas dari interaksi sosial pengguna, mulai dari ​gregariousness
yang ekstrem sampai dengan ​withdrawal s​ osial); dan sedikitnya dua dari sebelas tanda
berikut: takikardia (terkadang bradikardia), aritmia kardiak, hipertensi (terkadang
hipotensi), berkeringat dan menggigil, mual atau muntah, bukti penurunan berat badan,
dilatasi pupil, agitasi (terkadang retardasi) psikomotor, kelemahan otot, nyeri dada, dan
kejang.

Intoksikasi akut akibat ​penggunaan stimulan selain kokain ​ditandai dengan kriteria
umum untuk intoksikasi akut terpenuhi; perilaku disfungsional atau abnormalitas
persepsi yang terbukti dengan sedikitnya satu dari sebelas berikut: euforia dan sensasi
peningkatan energi, ​hypervigilance,​ keyakinan atau tindakan grandios (kebesaran),
kekerasan atau agresi, argumentatif, kelabilan suasana perasaan, perilaku stereotipik
repetitif, ilusi (auditori, visual, atau taktil), halusinasi biasanya dengan orientasi intak,
ide-ide paranoid, dan gangguan fungsi

7
3

personal (sudah terlihat jelas dari interaksi sosial pengguna, mulai dari ​gregariousness
yang ekstrem sampai dengan ​withdrawal s​ osial); dan sedikitnya dua dari sebelas tanda
berikut: takikardia (terkadang bradikardia), aritmia jantung, hipertensi (terkadang
hipotensi), berkeringat dan menggigil, mual atau muntah, bukti penurunan berat badan,
dilatasi pupil, agitasi (terkadang retardasi) psikomotor, kelemahan otot, nyeri dada, dan
kejang.

Intoksikasi ​halusinogen ​akut ditandai dengan kriteria umum untuk intoksikasi akut
terpenuhi; perilaku disfungsional atau abnormalitas persepsi yang terbukti dengan
sedikitnya satu dari sebelas berikut: kecemasan dan ketakutan, ilusi atau halusinasi
(auditori, visual, atau taktil) yang timbul dalam keadaan terjaga penuh, depersonalisasi,
derealisasi, ide-ide paranoid, ide-ide rujukan, kelabilan suasana perasaan,
hiperaktivitas, tindakan impulsif, hendaya perhatian, dan gangguan fungsi personal; dan
sedikitnya dua dari tujuh tanda berikut: takikardia, palpitasi, berkeringat dan menggigil,
tremor, pandangan buram, dilatasi pupil, dan inkoordinasi.

Intoksikasi ​nikotin ​akut ditandai dengan kriteria umum untuk intoksikasi akut terpenuhi;
perilaku disfungsional atau abnormalitas persepsi yang terbukti dengan sedikitnya satu
dari lima berikut: insomnia, mimpi aneh (​bizarre)​, kelabilan suasana perasaan,
derealisasi, dan gangguan fungsi personal; dan sedikitnya satu dari empat tanda
berikut: mual atau muntah, berkeringat, takikardia, dan aritmia jantung.

Intoksikasi akut akibat penggunaan ​pelarut yang mudah menguap ​ditandai dengan
kriteria umum untuk intoksikasi akut terpenuhi; perubahan perilaku yang meliputi
sedikitnya satu dari delapan perilaku berikut: apati dan letargi, argumentatif, kekerasan
atau agresi, kelabilan suasana perasaan, hendaya daya nilai, hendaya perhatian dan
daya ingat, retardasi psiko-motor, dan gangguan fungsi personal; dan sedikitnya satu
dari tujuh tanda berikut: jalan sempoyongan, kesukaran berdiri, ​slurred speech,​
nystagmus, penurunan tingkat kesadaran, kelemahan otot, dan pandangan buram atau
diplopia. Intoksikasi akut akibat penggunaan inhalansia dicatat di sini. Intoksikasi akut
akibat penggunaan pelarut yang mudah menguap bila parah bisa disertai dengan
hipotensi, hipotermia, dan depresi refleks muntah.

Kriteria ​intoksikasi akut akibat penggunaan m ​ ulti zat ​dan z​ at psikoaktif lainnya
dipakai ketika terdapat bukti intoksikasi yang disebabkan oleh penggunaan baru zat
psikoaktif lain (misalnya ​phencyclidine​) atau multi zat psikoaktif yang tidak pasti zat
mana yang menonjol.

7
4

Kriteria diagnostik DCR-10 untuk ​penggunaan yang


merugikan​:
a. Adanya bukti yang jelas bahwa penggunaan zat tersebut berhubungan dengan
dampak buruk (kerugian) fisis atau psikologis, termasuk hendaya daya nilai atau
perilaku disfungsional. b. Sifat dari kerugian tersebut harus dapat diidentifikasi secara
jelas (dan disebutkan). c. Pola penggunaan telah menetap sesingkatnya satu bulan
atau terjadi berulang dalam periode
12-bulan. d. Gangguan tersebut tidak memenuhi kriteria untuk gangguan mental
atau perilaku apapun
terkait zat yang sama dalam periode waktu yang sama (kecuali untuk
intoksikasi akut).

Kriteria diagnostik DCR-10 untuk ​putus zat​: (kriteria


umum)

a. Bukti yang jelas penghentian atau pengurangan baru dari penggunaan zat setelah
penggunaan berulang, dan biasanya berkepanjangan dan/atau dosis-tinggi dari zat
tersebut. b. Gejala dan tanda sesuai dengan gambaran dari keadaan putus zat dari zat
tersebut. c. Tidak disebabkan oleh suatu gangguan medis yang tak berhubungan
dengan penggunaan zat,
dan tidak disebabkan oleh gangguan mental atau perilaku
lainnya.

Keadaan putus ​alkohol ​ditandai dengan kriteria umum untuk keadaan putus zat
terpenuhi disertai adanya tiga dari sepuluh hal berikut: tremor (dari tangan yang
direntangkan, lidah, atau kelopak mata), berkeringat, mual atau muntah, takikardia atau
hipertensi, agitasi psikomotor, sakit kepala, insomnia, lesu atau kelemahan, halusinasi
atau ilusi (visual, taktil, atau auditori) yang hilang-timbul, dan kejang grand-mal.

Keadaan putus ​opioida ​ditandai dengan kriteria umum untuk keadaan putus zat
terpenuhi disertai adanya tiga dari dua belas hal berikut: nagih obat opioida, rinorea
atau bersin-bersin, lakrimasi, nyeri atau kram otot, kram perut, mual atau muntah, diare,
dilatasi pupil, piloereksi atau menggigil berulang, takikardia atau hipertensi, menguap,
dan tidur gelisah.

Keadaan putus ​kanabinoida ​ditandai dengan kecemasan, mudah tersinggung, tremor


pada tangan yang direntangkan, berkeringat, dan nyeri otot. Gejala dan tanda tersebut
timbul setelah penghentian penggunaan kanabinoida dosis-tinggi yang berkepanjangan
dan berlangsung selama beberapa jam sampai dengan tujuh hari. Kriteria diagnostik
definitif belum ada.

Keadaan putus ​sedativa-hipnotika ​ditandai dengan kriteria umum untuk keadaan


putus zat terpenuhi disertai adanya tiga dari sebelas hal berikut: tremor (dari tangan
yang direntangkan,

7
5

lidah, atau kelopak mata), mual atau muntah, takikardia, hipotensi postural, agitasi
psikomotor, nyeri kepala, insomnia, lesu atau kelemahan, halusinasi atau ilusi (visual,
taktil, atau auditori) yang hilang-timbul, ide-ide paranoid, dan kejang grand mal. Bila ada
delirium, harus dibuat diagnosis keadaan putus sedatifa-hipnotika dengan delirium.

Keadaan putus ​kokain ​ditandai dengan kriteria umum untuk keadaan putus zat
terpenuhi; suasana perasaan disforik (contohnya kesedihan atau anhedonia); dan dua
dari enam gejala dan tanda berikut: letargi dan kelelahan, retardasi psikomotor atau
agitasi, nagih kokain, peningkatan nafsu makan, insomnia atau hipersomnia, dan mimpi
​ tau yang tak menyenangkan.
bizarre a

Keadaan putus stimulan selain kokain ditandai dengan kriteria umum untuk keadaan
putus zat terpenuhi; suasana perasaan yang disforik (contohnya kesedihan atau
anhedonia); dan dua dari enam gejala dan tanda berikut: letrgi dan kelelahan, retardasi
psikomotor atau agitasi, nagih obat-obat stimulan, peningkatan nafsu makan, insomnia
atau hipersomnia, dan mimpi bizarre atau yang tidak menyenangkan.

Keadaan putus ​nikotin ​ditandai dengan kriteria umum untuk keadaan putus zat
terpenuhi disertai dua dari sepuluh gejala dan tanda berikut: nagih tembakau (atau
produk yang mengandung nikotin lainnya), lesu atau kelemahan, kecemasan, suasana
perasaan yang disforik, mudah tersingggung atau gelisah, insomnia, peningkatan nafsu
makan, peningkatan batuk, ulserasi mulut, dan kesukaran berkonsenterasi.

Kriteria diagnostik DCR-10 untuk ​sindrom ketergantungan​: Tiga atau lebih


manifestasi berikut harus timbul bersama selama sesingkatnya satu bulan atau bila
menetap untuk periode kurang dari satu bulan, manifestasi-manifestasi tersebut timbul
bersama secara berulang dalam periode 12-bulan:
a. Keinginan kuat atau kompulsi untuk mengonsumsi zat. b. Hendaya kapasitas untuk
mengendalikan perilaku mengonsumsi-zat dalam hal awitan, terminasi, atau tingkat
penggunaan, yang terbukti dengan: zat tersebut seringkali dikonsumsi dalam jumlah
yang lebih besar atau dalam periode yang lebih panjang dari yang dikehendaki, atau
upaya yang tidak berhasil atau keinginan yang menetap untuk menghentikan atau
mengendalikan penggunaan zat. c. Keadaan putus zat fisiologis ketika penggunaan zat
dikurangi atau dihentikan, yang terbukti oleh sindrom putus zat yang khas untuk zat
tersebut, atau penggunaan zat yang sama (atau berhubungan dekat) dengan maksud
meredakan atau menghindari gejala-gejala putus zat.

7
6

d. Bukti toleransi terhadap efek zat, seperti adanya kebutuhan untuk meningkatkan
secara jelas jumlah zat untuk mencapai intoksikasi atau efek yang dikehendaki, atau
terjadi penurunan efek yang nyata dengan penggunaan berkelanjutan dengan jumlah
yang sama dari zat. e. Praokupasi dengan penggunaan zat, yang termanifestasi
dengan: kesenangan atau minat alternatif yang penting dikurbankan atau dikurangi
dikarenakan penggunaan zat, sejumlah besar waktu dipakai dalam aktivitas yang
diperlukan untuk mendapatkan zat, mengonsumsi zat, atau pulih dari efeknya. f. Tetap
menggunakan zat meskipun terdapat bukti jelas adanya konsekuensi yang merugikan,
yang terbukti dengan penggunaan berlanjut ketika orang tersebut sebenarnya
menyadari, atau diharapkan sudah menyadari sifat kerugiannya.

Kriteria diagnosis DSM-IV-TR untuk ​ketergantungan zat​: Suatu pola penggunaan zat
yang maladaptif, secara klinis mengarah pada gangguan atau penderitaan yang
signifikan, diperlihatkan dengan 3 atau lebih dari hal dibawah ini, muncul kapanpun
dalam periode 12 bulan.

A. Toleransi, ditentukan oleh berikut


ini:
a. Kebutuhan yang jelas untuk meningkatkan sejumlah zat untuk mendapatkan efek
yang
diinginkan atau intoksikasi. b. Secara jelas efeknya berkurang jika penggunaan
dilanjutkan dengan jumlah zat yang sama B. Putus zat, ditunjukkan oleh berikut ini:
a. Karakteristik sindrom putus zat (merujuk pada Kriteria Diagnosis Putus Zat
Spesifik A dan
B). b. Menggunakan zat yang sama (atau berhubungan dekat) untuk mengurangi
atau
menghindari gejala putus zat C. Zat sering digunakan dalam jumlah besar atau
selama periode yang lebih lama dari yang
diharapkan D. Terdapat suatu keinginan yang kuat atau upaya yang tidak berhasil
untuk mengurangi atau
mengontrol penggunaan zat E. Sejumlah besar waktu digunakan untuk aktivitas
mencari zat (misalnya mengunjungi berbagai
dokter atau perjalanan jarak jauh), menggunakan zat, atau pulih dari efek zatnya. F.
Aktivitas sosial, pekerjaan, atau rekreasional penting lain ditinggalkan atau dikurangi
karena
penggunaan
zat.

7
7

G. Penggunaan zat diteruskan walaupun telah mengetahui dirinya telah mempunyai


permasalahan fisik atau psikologik berulang atau menetap yang disebabkan atau
dieksaserbasi oleh zat (misalnya, terus menggunakan kokain walaupun mengetahui
kokain menyebabkan depresi atau terus minum alkohol walaupun mengetahui bahwa
luka lambungnya diperberat oleh konsumsi alkohol).

​ eadaan putus zat dengan delirium ​adalah kriteria


Kriteria diagnostik DCR-10 untuk k
umum untuk keadaan putus zat dan kriteria untuk delirium terpenuhi. Kriteria untuk
delirium adalah sebagai berikut:

A. kesadaran berkabut dengan penurunan kemampuan untuk memusatkan,


mempertahankan,
atau mengalihkan perhatian; B. gangguan
kognisi, yang termanifestasi dengan
1) hendaya daya ingat segera (​immediate recall) ​dan jangka pendek (​recent
memory​),
dengan daya ingat ​remote ​yang relatif intak, disertai
2) disorientasi waktu, tempat, atau orang; C. sedikitnya
satu dari empat gangguan psikomotor berikut:
1) perubahan cepat dan tak dapat diprediksi dari hipoaktivitas ke hiperaktivitas, 2)
peningkatan waktu reaksi, 3) peningkatan atau penurunan arus pembicaraan, dan 4)
peningkatan reaksi kejut; D. gangguan tidur atau siklus tidur-bangun, termanifestasi
dengan sedikitnya satu dari tiga hal
berikut: 1) insomnia dengan atau tanpa kantuk di siang hari, atau keterbalikan siklus
tidur-bangun, 2) perburukan gejala-gejala di malam hari, dan 3) mimpi yang
mengganggu dan mimpi buruk yang bisa berlanjut sebagai halusinasi ilusi
setelah bangun; E. awitan cepat dan fluktuasi gejala-gejala sepanjang hari; dan
F. bukti objektif dari riwayat, pemeriksaan fisik dan neurologik atau uji laboratorium dari
penyakit serebral atau sistemik yang mendasari yang dapat dianggap bertanggung
jawab untuk manifestasi A-D.

Kriteria diagnostik DCR-10 untuk ​gangguan psikotik akibat penggunaan zat


psikoaktif ​adalah sebagai berikut: awitan gejala-gejala psikotik berada dalam dua
minggu masa penggunaan zat;

7
8

gejala-gejala psikotik tersebut menetap selama lebih dari 48 jam; dan durasi gangguan
tak lebih dari enam bulan.

Kriteria diagnostik DCR-10 untuk ​sindrom amnesik akibat penggunaan zat


psikoaktif ​adalah sebagai berikut: hendaya daya ingat yang termanifestasi dalam defek
recent memory ​(hendaya dalam mempelajari materi baru) sampai tingkat yang cukup
berat untuk mengganggu kehidupan sehari-hari dan penurunan kemampuan untuk
mengingat pengalaman-pengalaman lampau; tidak ada defek dalam mengingat segera
(​immediate recall)​ , kesadaran berkabut dan gangguan perhatian, dan penurunan
intelektual secara global; dan tidak ada bukti objektif dari pemeriksaan fisik dan
neurologik, uji laboratorium atau riwayat gangguan atau penyakit otak lain selain yang
berhubungan dengan penggunaan zat, yang dapat dianggap bertanggung jawab untuk
manifestasi klinis tersebut.

Kriteria diagnostik DCR-10 untuk ​gangguan residual dan gangguan psikotik


awitan-lambat akibat penggunaan zat psikoaktif ​adalah sebagai berikut:

A. kondisi dan gangguan memenuhi kriteria untuk sindrom individual tercantum dibawah
harus berhubungan jelas dengan penggunaan zat. Bila awitan dari kondisi tersebut
timbul setelah penggunaan zat psikoaktif, harus dapat ditunjukkan bukti kuat yang
mendemonstrasikan hubungannya. a. Kilas balik b. Gangguan kepribadian atau
perilaku c. Gangguan afektif residual d. Demensia e. Hendaya kognitif menetap lainnya
f. Gangguan psikotik awitan-lambat

7
9

Klasifikasi PPDGJ III dan ICD-10 untuk gangguan jiwa akibat penggunaan
narkotika
Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Zat Psikoaktif (F1x.xx) Gangguan mental dan perilaku akibat
penggunaan ​alkohol ​(F10.xx) Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan ​opioida ​(F11.xx) Gangguan
mental dan perilaku akibat penggunaan ​kanabinoida ​(F12.xx) Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan
sedativa atau hipnotika ​(F13.xx) Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan ​kokain ​(F14.xx) Gangguan
mental dan perilaku akibat penggunaan ​stimulansia lain termasuk kafein ​(F15.xx) Gangguan mental dan
perilaku akibat penggunaan ​halusinogenika ​(F16.xx) Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan
tembakau ​(F17.xx) Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan ​pelarut yang mudah menguap ​(F18.xx)
Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan ​zat multipel dan penggunaan zat psikoaktif lainnya
(F19.xx) ​Intoksikasi akut ​(F1x.0x) ​Tanpa komplikasi (F1x.00) Dengan trauma atau cedera tubuh lainnya
(F1x.01) Dengan komplikasi medis lainnya (F1x.02) Dengan delirium (F1x.03) Dengan distorsi persepsi (F1x.04)
Dengan koma (F1x.05) Dengan konvulsi (F1x.06) Intoksikasi patologis alkohol (F10.07) ​Penggunaan
yang
merugikan ​(F1x.1) ​Sindrom ketergantungan ​(F1x.2x) ​Kini abstinen (F1x.20) Kini abstinen tetapi
dalam lingkungan terlindung (F1x.21) Kini dalam pengawasan klinis atau dengan pengobatan pengganti
(ketergantungan terkendali) (F1x.22) Kini abstinen tetapi mendapat terapi aversif atau obat penyekat (F1x.23) Kini
sedang menggunakan zat (ketergantungan aktif) (F1x.24) Penggunaan berkelanjutan (F1x.25) Penggunaan
putus zat ​(F1x.3x) ​Tanpa komplikasi (F1x.30) Dengan komplikasi (F1x.31)
episodik (F1x.26) ​Keadaan
Keadaan putus zat dengan delirium ​(F1x.4x) ​Tanpa konvulsi (F1x.40) Dengan konvulsi (F1x.41)
Gangguan psikotik ​(F1x.5x) ​Lir-skizofrenia (F1x.50) Predominan waham (F1x.51) Predominan halusinasi
(F1x.52) Predominan polimorfik (F1x.53) Predominan gejala depresif (F1x.54) Predominan gejala manik (F1x.55)
Campuran (F1x.56) ​Sindrom Amnestik ​(F1x.6) ​Gangguan psikotik residual dan onset
lambat ​(F1x.7x) ​Kilas balik (F1x.70) Gangguan kepribadian atau perilaku (F1x.71) Gangguan afektif residual
(F1x.72) Demensia (F1x.73) Hendaya kognitif menetap lainnya (F1x.74) Gangguan psikotik onset lambat (F1x.75)
Gangguan mental dan perilaku lainnya ​(F1x.8) ​Gangguan mental dan perilaku yang
tak terinci ​(F1x.9)

8
0

Anda mungkin juga menyukai