Anda di halaman 1dari 28

PANDUAN LAYANAN PSIKOLOGI

DALAM MASA TANGGAP DARURAT COVID-19


Bagi Psikolog, Sarjana Psikologi, Asisten
Psikolog
dan Praktisi Psikologi

Edisi 1

Disiapkan oleh:
HIMPUNAN PSIKOLOGI INDONESIA

JAKARTA
Maret 2020
PENGANTAR

Pada masa tanggap darurat Covid-19 ini, HIMPSI mengajak semua tenaga Psikologi (baik
Psikolog, Asisten Psikolog, maupun Praktisi Psikologi) untuk membantu masyarakat yang
membutuhkan bantuan Psikologi. Kebutuhan bantuan Psikologi di masa tanggap darurat
ini sangat penting karena masyarakat sangat membutuhkannya. CEO American
Psychological Association (APA) menyebut bencana akibat COVID-19 ini sebagai krisis
kesehatan masyarakat yang luar biasa dengan implikasi yang luas dan tak terduga untuk
kesehatan mental bangsa. Isolasi sosial, kesedihan, ketakutan, dan stres memiliki dampak
nyata dan melumpuhkan telah terjadi pada orang-orang Amerika. Pada tingkat yang
mungkin sama atau berbeda, hal itu juga terjadi di Indonesia. Yang pasti permintaan
bantuan Psikologi semakin hari semakin banyak dan tersebar kebutuhannya di seluruh
Indonesia.

HIMPSI Wilayah dan Asosiasi/Ikatan bersama anggotanya telah memberikan respon yang
sangat baik dalam situasi saat ini. Pesan-pesan edukasi dan juga tawaran bantuan Psikologi
telah disampaikan secara terbuka di masyarakat. HIMPSI Pusat telah mengumpulkan pesan-
pesan tersebut dalam situs HIMPSI agar masyarakat dapat mudah mendapatkannya
(kunjungi www.himpsi.or.id).

Layanan Psikologi sebagai proses pemberian bantuan Psikologi dalam masa tanggap
darurat COVID-19 ini sangat dianjurkan menggunakan telekomunikasi. Saat ini
telekomunikasi memungkinkan orang untuk berinteraksi dengan tenaga Psikologi melalui
video, telepon, atau melalui teks dengan menggunakan berbagai platform yang tersedia
dan aman. Penggunaan telekomunikasi untuk pemberian layanan Psikologi ditujukan agar
keselamatan dan kesehatan kedua belah pihak tetap terjaga, terhindar dari tertular virus
COVID-19.

HIMPSI menerbitkan panduan ini sebagai bantuan kepada tenaga Psikologi dalam
melaksanakan layanannya dan kepada pihak lain agar dapat menyesuaikan dan
memahaminya. Selain berpedoman pada panduan ini, tenaga Psikologi yang memberikan
layanan Psikologi tetap harus berpegang teguh pada Kode Etik Psikologi Indonesia.
Panduan ini merupakan panduan edisi pertama sebagai rekomendasi standar pemberian
layanan psikologi yang diberikan oleh tenaga Psikologi - selanjutnya disebut pemberi
layanan psikologi - dalam masa tanggap darurat COVID-19. Panduan ini dapat melengkapi
pedoman yang diterbitkan pemerintah dan HIMPSI Wilayah atau Asosiasi/Ikatan.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Dr. M.G. Adiyanti, Psikolog (Wakil Ketua IV PP
HIMPSI), Sri Tiatri, Ph.D., Psikolog, dan Tri Hayuning Tyas, S. Psi., M.A., Psikolog
(Kompartemen IV PP HIMPSI) yang telah bekerja keras membuat panduan ini. Terimakasih
juga kami sampaikan kepada Majelis Psikologi Pusat dan semua pihak yang telah memberi
masukan berharga untuk penyempurnaan panduan ini. Semoga Panduan ini dapat
bermanfaat.

Jakarta, 30 Maret 2020


Ketua Himpunan Psikologi Indonesia,

Dr. Seger Handoyo, Psikolog

Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) i


DAFTAR ISI

Pengantar _____________________________________________________________ i
Daftar Isi _______________________________________________________________ ii

I. PENDAHULUAN _______________________________________________________ 1

II. LINGKUP PEMBERIAN LAYANAN ________________________________________ 2


A. Pemberi Layanan ________________________________________________ 2
1. Psikolog
2. Asisten Psikolog
3. Praktisi Psikologi
B. Penerima Layanan _______________________________________________ 3
1. Klien yang terdampak COVID-19
2. Klien rutin/terjadwal
3. Klien baru

III. PRINSIP-PRINSIP DALAM PEMBERIAN LAYANAN PSIKOLOGI ______________ 4

IV. DEFINISI DALAM MELAKSANAKAN LAYANAN PSIKOLOGI ________________ 5


A. Alat Pelindung Diri
B. Kontak Erat

V. PANDUAN PENANGANAN KLIEN _______________________________________ 6


A. Panduan Layanan Klien dengan Status PDP (Suspek, Positif/Probable)_ 6
1.Layanan minimum kontak sebagai prioritas utama
2. Layanan tatap muka
B. Panduan Layanan Klien Rutin/Terjadwal ____________________________ 9
1. Layanan minimum kontak sebagai prioritas utama
2. Layanan tatap muka
C. Panduan layanan Klien Baru
1. Layanan minimum kontak sebagai prioritas utama ____________ 13
2. Layanan tatap muka
D. Penghentian dan atau Pengalihan Layanan Psikologis _______________16
1. Penghentian Layanan Psikologis
2. Pedoman Etis dalam Penghentian Layanan Psikologis

VI. PANDUAN LAYANAN PSIKOLOGI MENGGUNAKAN MEDIA TEKNOLOGI


KOMUNIKASI (TELEPSIKOLOGI) ________________________________________ 17

VII. PENUTUP ___________________________________________________________ 20

Daftar Pustaka __________________________________________________________ 21

Lampiran 1. Check-list Kesiapan Pemberialan Layanan Telepsikologi _________ 22

Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) ii


I. PENDAHULUAN

Situasi Tanggap Darurat dalam penanggulangan wabah COVID-19 melibatkan


anjuran social distancing dengan cara kerja di rumah, belajar di rumah, dan
beribadah di rumah; serta pemberlakukan karantina bagi mereka yang terdampak
COVID-19. Berdasarkan telaah ilmiah dari the Lancet[2] pengalaman karantina dapat
memberikan dampak psikologis yang signifikan, termasuk bagi Pasien Dalam
Pengawasan (PDP) maupun Orang dalam Pemantauan (ODP).

Dampak negatif psikologis meliputi post-traumatic stress symptoms termasuk di


dalamnya kecemasan, kebingungan, dan kemarahan. Sumber stress saat
dikarantina meliputi durasi karantina, ketakutan atas infeksi, frustasi, bosan,
persediaan kebutuhan yang tidak cukup, informasi tidak cukup, kerugian finansial
dan stigma[1] .

Dalam konteks ini, Psikologi memandang social distancing sebagai physical


distancing atau berjarak secara fisik ketika berinteraksi sosial. Koneksi atau kontak
sosial dapat terjalin dengan baik dan efektif sekalipun dalam berjarak fisik melalui
berbagai media. Pemberi bantuan psikologis dapat berkontribusi mengurangi
dampak buruk ini dengan cara mengurangi tingkat stress pada saat ini maupun
mencegah dampak psikologis jangka panjang.

Situasi kontak langsung menimbulkan pertanyaan, apakah kontak langsung (tatap


muka) dalam satu ruangan sama dengan klien-yang tidak diketahui status COVID-
19 nya- dapat terus dilanjutkan pada masa tanggap darurat ini? Kondisi ini dapat
terjadi pada klien rutin/terjadwal maupun klien baru yang tidak/belum terdeteksi
ketepaparannya dengan COVID-19.

Berlandaskan pendapat di atas muncul pertanyan: bagaimanakah pengambilan


keputusan mengenai kelanjutan konseling atau terapi tatap muka? Hal-hal apa
yang perlu diperhatikan demi kualitas layanan kepada klien dan keamanan klien
sekaligus keamanan pemberi bantuan? Selain itu, jika pemberi bantuan psikologis
diminta memberikan layanan kepada mereka yang terdampak langsung COVID-19
(PDP dan ODP), hal-hal apa yang perlu diperhatikan?

Kajian ilmiah the Lancet[2] yang telah disebutkan di atas, secara empiris
membuktikan hal yang dapat dialami PDP maupun ODP yang ada di sekitar kita.
Ketika seseorang diindikasikan terpapar COVID-19 (PDP atau ODP) maka terdapat
kemungkinan peningkatan tekanan psikologis yang dirasakan orang/pasien
tersebut. Kondisi psikologis berpotensi memburuk ketika identitasnya terpapar
media, terkait dengan pandangan negatif yang ia atau masyarakat yakini sebagai
‘pembawa virus’ (potensial stigma). Kondisi seperti ini tidak hanya terjadi pada
pasien yang terindikasi tetapi juga keluarganya, seperti yang dituliskan oleh Arif [1].

Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) 1


Hal ini menyebabkan persoalan kesehatan fisik yang dialami pasien meluas pada
masalah psikologis.

Para psikolog, baik yang bekerja di rumah sakit maupun praktik mandiri, sangat
dimungkinkan melayani mereka yang terdampak langsung (PDP dan ODP) COVID-
19. Di sisi lain, layanan kepada klien rutin yang telah terjadwal maupun klien baru
yang biasanya dilakukan secara tatap muka, perlu dipertimbangkan kembali
mengingat anjuran social distancing demi pengurangan penyebaran COVID 19 dan
keselamatan bersama. Oleh karena itu perlu disusun suatu panduan agar klien
mendapatkan layanan terbaik dan beretika dan pemberi layanan psikologi yang
menanganinya tetap terjaga keamanan fisik maupun psikologis.

II. LINGKUP PEMBERIAN LAYANAN

A. Pemberi Layanan
Dalam layanan psikologi ini, pemberi layanan adalah semua lulusan psikologi
namun mempunyai kewenangan berbeda karena proses pendidikan yang
diselesaikannya. Terdapat tiga kelompok pemberi layanan psikologi, yaitu:

1. Psikolog
Adalah tenaga profesional kesehatan psikologis dengan latar belakang
pendidikan psikologi dan memliki Surat Ijin Praktik Psikologi yang
dikeluarkan oleh Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI).

2. Sarjana Psikologi dan/atau Asisten Psikolog


Adalah tenaga profesional yang membantu psikolog dalam melakukan
praktik psikolog. Dalam melakukan kegiatannya asisten psikolog dan/atau
sarjana psikologi tidak memerlukan Surat Ijin Praktik dari HIMPSI, namun
mereka berlatar belakang pendidikan psikologi dan bekerja di bawah
supervisi psikolog. Asisten psikolog dan/atau sarjana psikologi yang
memberi layanan terkait COVID-19 telah mendapatkan pengayaan dan atau
pelatihan yang memadai tentang penanganan klien dalam situasi tanggap
darurat COVID-19.

3. Praktisi Psikologi
Adalah pemberi layanan yang bekerja melayani masyarakat untuk
membantu menyelesaikan masalah psikologis yang berkaitan dengan
kesulitan dalam penyesuaian diri, peningkatan pemahaman, atau hal-hal
serupa yang memerlukan konseling, tetapi bukan psikoterapi. Latar
belakang pendidikan praktisi psikologi adalah ilmu psikologi. Pada
umumnya praktisi psikologi melakukan berbagai training dan psikoedukasi
untuk masyarakat.

Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) 2


B. Penerima Layanan
Dalam menanggapi situasi tanggap darurat COVID-19, ada beberapa
kemungkinan permintaan layanan psikologi oleh klien, baik klien individu,
kelompok, atau komunitas. Penerima layanan ini dapat diklasifikasikan menjadi
tiga kategori: (1) klien yang terdampak COVID-19, (2) klien rutin/terjadwal, dan
(3) klien baru. Klien yang terdampak COVID-19 bisa jadi merupakan klien
rutin/terjadwal ataupun klien baru. Dalam panduan ini, layanan yang diberikan
pada klien yang terdampak COVID-19 berkualitas sama dengan layanan pada
umumnya namun dengan perhatian khusus.

1. Klien yang Terdampak COVID 19


Adalah orang yang secara langsung maupun tidak langsung terdampak
COVID-19, yang disebut sebagai Orang Dalam Pemantauan (ODP) dan
Pasien dalam Pengawasan (PDP). Berdasarkan Pedoman Pencegahan dan
Pengendalian Corona Virus Disease (Dirjen Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit, 2020)[3] , terdapat tiga istilah mereka yang terdampak COVID-19,
yaitu:
a. Orang Dalam Pemantauan (ODP)

ODP adalah seseorang yang mengalami demam >380C atau gejala


gangguan sistem pernafasan dan memiliki riwayat perjalanan ke daerah
transmisi lokal COVID-19 baik di dalam maupun di luar negeri pada
masa 14 hari sebelum timbul gejala; atau, seseorang yang tidak memiliki
gejala gangguan sistem pernafasan tetapi memiliki kontak erat dengan
pasien positif COVID-19.

b. Pasien Dalam Pengawasan: Suspek

PDP yaitu pasien dengan infeksi saluran pernafasan (ISPA) yang (a)
memiliki riwayat perjalanan ke daerah transmisi lokal COVID-19 baik di
dalam maupun di luar negeri pada masa 14 hari sebelum timbul gejala;
atau (b) memiliki riwayat kontak dengan kasus konfirmasi atau probable
COVID-19; atau (c) mengalami kondisi ISPA berat bertempat tinggal di
wilayah transmisi lokal COVID-19.

c. Pasien Dalam Pengawasan (PDP): Positif atau Probabel.

Kasus probabel adalah PDP yang telah dites COVID-19 tetapi


inkonklusif (tidak dapat disimpulkan). Sementara Kasus Positif adalah
PDP yang telah mendapatkan pemeriksaan laboratorium dan
dinyatakan positif COVID-19.

Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) 3


2. Klien Rutin/Terjadwal
Klien rutin/terjadwal adalah penerima layanan psikologis (klien) yang telah
memiliki riwayat perjanjian konsultasi psikologi atau masih memiliki
perencanaan intervensi psikologi dengan pemberi layanan psikologi.

3. Klien Baru
Klien baru adalah penerima layanan psikologis (klien) yang belum pernah
memiliki perjanjian asesmen atau intervensi dengan pemberi layanan
psikologi. Masalah yang dihadapi dapat berkaitan dengan kebijakan
pencegahan dan penanganan COVID-19 ataupun masalah yang sama
sekali tidak berkaitan dengan COVID-19. Misalnya: permasalahan pribadi,
bakat/minat, stress kehilangan pekerjaan, atau persoalan psikologis lain
karena perubahan signifikan di berbagai bidang terkait.

III. PRINSIP-PRINSIP DALAM PEMBERIAN LAYANAN PSIKOLOGI

Dalam situasi tanggap darurat COVID-19, terdapat 6 prinsip dalam pemberian


layanan psikologi, yaitu:
1. Semua pemberi layanan psikologi, dalam melaksanakan tugas profesi dan
keilmuwan psikologi, berpegang teguh pada kode etik psikologi dalam keadaan
apapun, baik dalam situasi normal maupun dalam situasi tanggap darurat.
2. Pemberi layanan psikologi tidak melakukan tindakan yang mempersulit klien
maupun dirinya sendiri.
3. Pemberi layanan psikologi perlu berupaya semaksimal mungkin untuk
memimalisir kontak langsung tatap muka dengan klien ODP maupun PDP,
karena beberapa alasan, yaitu:
a. Layanan psikologi memerlukan waktu yang cukup lama.
b. Klien ODP/PDP mungkin mengalami hambatan dalam berkomunikasi karena
kendala instalasi perawatan, obat yang diberikan, atau perlengkapan yang
melekat pada dirinya.
c. Jumlah APD yang sangat terbatas
c. Dampak risiko penularan yang tinggi tanpa APD.
4. Pemberi layanan psikologi disarankan menggunakan bentuk-bentuk layanan
minimum kontak sebagai prioritas utama, baik dalam asesmen maupun
intervensi. Dalam hal ini, perlu diperhatikan beberapa hal sebagai berikut:
a. Pemberi layanan psikologi disarankan menggunakan teknologi komunikasi
yang aman dan sesuai dengan kondisi klien maupun pemberi layanan
psikologi.
b. Pemberi layanan psikologi, disarankan melakukan pencatatan psikologis
(psychological record) dengan memanfaatkan teknologi, atau didampingi
asisten/sejawat lain, agar pemberi layanan psikologi dapat fokus pada
jalannya komunikasi, sehingga tidak menimbulkan kesangsian pada klien.
c. Pemberi layanan psikologi perlu membatasi waktu layanan agar tidak
menambah beban.

Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) 4


5. Pemberi layanan psikologi perlu mengupayakan perluasan layanan kepada
anggota keluarga dan orang dekat ODP/PDP agar tidak berada dalam kondisi
psikologis yang mempersulit klien mapun anggota keluarga/orang dekatnya.

IV. DEFINISI DALAM MELAKSANAKAN LAYANAN PSIKOLOGI

Dalam situasi tanggap darurat COVID-19, layanan psikologi dilakukan secara hati-
hati dengan mempertimbangkan keamanan klien, keamanan diri pemberi layanan
psikologi, serta kondisi lingkungan secara umum. Dalam melaksanakan layanan
psikologi, terdapat beberapa definisi yang perlu diketahui.

A. Alat Pelindung Diri (APD)


APD adalah kelengkapan yang wajib digunakan saat bekerja sesuai dengan
bahaya dan risiko kerja untuk pekerja itu sendiri dan orang lain. APD petugas
kesehatan dalam pencegahan dan penanganan COVID-19 memiliki standar
kelengkapan jenis (termasuk baju berlengan pendek dilapisi gown level 1 dan 2
yang harus diganti setiap bertemu tatap muka dengan PDP, masker bedah,
penutup mata, tutup kepala, ikat rambut bagi yang berambut panjang, name-
tag tidak bertali, sarung tangan, tidak memakai perhiasan) dan cara pemakaian,
sebagaimana dijelaskan dalam lampiran 16 Pedoman Pencegahan dan
Penanganan COVID-19[3].
a. Layanan psikologi di Rumah Sakit, klinik atau tempat layanan kesehatan lain.
Bagi pemberi layanan psikologi di Rumah Sakit atau terkait dengan ODP dan
PDP, maka APD yang digunakan perlu mengikuti aturan yang ditetapkan oleh
rumah sakit di mana pemberi layanan tersebut bekerja.
b. Layanan psikologi non Rumah Sakit, layanan di masyarakat, tidak terkait
dengan ODP dan PDP.
Bagi pemberi layanan psikologi yang bekerja dalam lingkup tersebut,
perlengkapan pelindung diri minimal adalah masker standar, sarung tangan,
hand sanitizer, pakaian luar yang mudah dilepaskan ketika pertemuan selesai
dilaksanakan.

B. Kontak Erat [3]


Kontak erat dimaknai sebagai “.. kontak fisik atau berada dalam ruangan atau
berkunjung (dalam radius 1 meter dengan kasus PDP, probable atau positif)
dalam 2 hari sebelum kasus timbul gejala dan hingga 14 hari setelah kasus
timbul gejala”[3].

Kontak erat dapat terjadi ketika:


a. petugas kesehatan yang memeriksa, merawat, mengantar dan
membersihkan ruang tempat perawatan tanpa menggunakan APD sesuai
standar. Dalam hal ini termasuk pemberi layanan psikologi yang
melakukan layanan dengan kondisi seperti tersebut di atas.

Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) 5


b. seseorang berada dalam suatu ruangan yang sama dengan PDP dalam 2
hari sebelum timbul gejala dan hingga 14 hari setelah kasus timbul gejala.
c. orang yang bepergian bersama (radius 1 meter) dengan segala jenis alat
angkut pada rentang waktu seperti yang disebutkan di atas.

2. Kontak erat dikategorikan menjadi dua, yaitu:


a. Kontak erat risiko rendah, yaitu kontak dengan PDP Suspek dan ODP.
b. Kontak erat risiko tinggi, yaitu kontak dengan PDP konfirmasi positif atau
probabel.

V. PANDUAN PENANGANAN KLIEN

A. Panduan Layanan Klien dengan status ODP dan PDP (Suspek,


Positif/Probabel)

Sesuai dengan Kode Etik Psikologi Indonesia, Psikolog tidak menolak layanan
berdasarkan kondisi personal klien termasuk status sakit. Dalam kondisi ini,
langkah-langkah pengamanan bagi pemberi layanan perlu diperhitungkan
sesuai standar yang berlaku.

Di samping itu, sebelum memutuskan untuk memberi layanan, pemberi


layanan psikologi perlu melakukan pemeriksaan diri dan memastikan bahwa
pemberi layanan tidak memiliki kondisi internal (misalnya: status kesehatan fisik
dan psikologis) yang membahayakan diri sendiri maupun orang lain.

Pemberi layanan perlu memperoleh persetujuan klien mengenai pelaksanaan


layanan (informed consent) sebelum layanan psikologi dimulai. Hal-hal yang
perlu disepakati dan cara memperoleh informed consent dapat dilihat di
bagian V panduan ini.

Pemberi layanan psikologi perlu menjaga kerahasiaan klien,


menjaga/membatasi diri dari eksposure media, dan tidak membuat pernyataan
yang berpotensi meresahkan masyarakat, baik melalui media sosial, maupun
media lain yang dapat diakses oleh publik terkait pelayanan psikologis yang
diberikan pada populasi tertentu.

Selain pertimbangan tersebut, pengambilan keputusan untuk melakukan


layanan psikologi bagi klien dengan status ODP ataupun PDP perlu
mempertimbangkan teknik layanan yang digunakan. Dalam menangani klien
dengan status tersebut, maka prioritas layanan dilakukan sebagai berikut:

1. Layanan Minimum Kontak sebagai Prioritas Utama


Layanan ini diberikan untuk mengurangi risiko negatif baik bagi klien
maupun bagi pemberi layanan psikologi. Pemberi layanan psikologi yang

Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) 6


memberikan akan layanan kepada klien yang tinggal di daerah transmisi
lokal (sesuai dengan informasi resmi dari pemerintah), direkomendasikan
untuk mempertimbangkan alternatif pemberian layanan dengan minimum
kontak. Rekomendasi yang serupa untuk klien yang tengah mengalami
gangguan saluran pernafasan berdasarkan laporan yang bersangkutan atau
berdasarkan observasi pemberi layanan psikologi.

Ketika melakukan layanan dengan minimum kontak, ada beberapa hal yang
perlu dipertimbangkan:
a. Prioritas utama adalah melakukan layanan minimum kontak dengan teknik
daring atau menggunakan teknologi/telepsikologi. Dalam hal ini prioritas
layanan yang disarankan adalah:
i. Videoconference, misalnya Whatsapp Video Call, Skype, Zoom,
Google Hangouts/Meeting, Microsoft Teams, atau alternatif lain yang
serupa).
ii. Jika videoconference tidak dimungkinkan, dapat diambil alternatif
layanan dengan suara (voice), misalnya telepon, Whatsapp Voice Call,
atau alternatif lain yang serupa.
iii. Namun jika jaringan internet tidak memadai, atau klien menghendaki
cara lain, dapat dilakukan dengan media layanan pesan tertulis
(Whatsapp text, sms, atau e-mail).
b. Setiap media komunikasi yang dipilih memiliki risiko dan konsekuensi
yang harus dipertimbangkan oleh pemberi layanan psikologi. Pemberi
layanan Psikologi menyiapkan tempat bebas dari gangguan suara atau
gangguan lain sehingga kerahasiaan klien terjaga.
c. Dalam layanan ini selain mendasarkan pada Kode Etik Psikologi Indonesia
juga perlu memperhatikan hukum yang berlaku, misalnya: Undang-
Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
d. Pemberi layanan mampu secara mandiri menggunakan Teknologi
Informasi yang dipilih.

2. Layanan Tatap Muka


Layanan tatap muka diberikan ketika karena kondisinya klien tidak mungkin
menerima layanan jarak jauh atau layanan dengan minimal kontak.
Walaupun demikian, pemberi layanan dapat secara berkelanjutan (pada
pembicaraan, di tengah, atau di akhir pembicaraan) menyisipkan persuasi
empatetik kepada klien untuk melaksanakan layanan minimum kontak,
misalnya dengan mencoba penggunaan whatsapp video call secara
bersama.
Jika klien memerlukan tatap muka; pemberi layanan perlu mendiskusikan
dan memutuskan secara bersama-sama dengan klien, dan tenaga
kesehatan penanggungjawab (jika ada/diperlukan).

Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) 7


a. Pertimbangan dilakukannya layanan tatap muka adalah:
i. Kebutuhan dan keamanan klien,
ii. Keamanan pemberi layanan psikologi,
iii. Konteks layanan yang diberikan (rumah sakit, klinik pribadi, atau
lainnya),
iv. Pilihan atau alternatif selain tatap muka yang mungkin dilakukan,
v. Risiko etis dan praktis dari pilihan yang ditetapkan.

b. Pedoman layanan tatap muka

Ketika layanan tatap muka dilakukan, ada pedoman dasar yang tidak
boleh diabaikan dalam pertemuan dengan klien. Beberapa poin adalah:

i. Selama memberi layanan, pemberi layanan psikologi wajib


menggunakan APD sesuai standar yang ditetapkan. Jika APD tidak
tersedia, pemberi layanan psikologi wajib menggunakan layanan
dengan minimum kontak.
ii. Pemberi layanan psikologi menyiapkan tisu dan tempat membuang
sampah tertutup yang dilapisi dengan plastik.
iii. Pemberi layanan psikologi menyiapkan hand sanitizer untuk pemberi
layanan psikologi.
iv. Menjaga jarak tempat duduk pemberi layanan psikologi dengan klien
dan hindari sentuhan fisik.
v. Tidak ada kegiatan pencatatan di kertas maupun alat lain; perekaman
suara dimungkinkan setelah mendapatkan ijin dari klien.
vi. Kegiatan asesmen jika diperlukan dilakukan dengan cara dibacakan,
olah data asesmen dilakukan dengan cara-cara yang memungkinkan
misalnya: dengan menggunakan transmisi radio/telepon dengan
kolega yang melakukan olah data asesmen di luar ruang di mana PDP
berada.
vii. Pencatatan klien dilakukan segera setelah sesi berlangsung; jika
waktu tidak memungkin maka pemberi layanan psikologi mencatat
secara lisan dengan rekam suara (voice record) untuk dituliskan
kemudian ke dalam Rekam Status Psikologis klien.
viii. Pemberi layanan psikologi menyadari keterbatasannya sehingga jika
ada klien dengan masalah di luar kemampuannya, dilakukan
pengalihan layanan atau rujukan.
ix. Setelah sesi konsultasi berakhir, pemberi layanan psikologi
melakukan langkah-langkah sesuai dengan standar sanitasi yang
diberlakukan oleh otoritas (rumah sakit/pemerintah) terkait kontak
dengan klien/pasien.

Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) 8


x. Dalam memberikan layanan, pemberi layanan psikologi tidak hanya
melakukan tindakan yang terfokus pertolongan hari ini, namun
mempertimbangkan pelayanan jangka panjang.

B. Panduan Layanan Klien Rutin/Terjadwal

Klinik Layanan Psikologi atau Pemberi Layanan Psikologi TIDAK serta merta
menutup atau menghentikan layananannya tanpa memberitahu klien
rutin/terjadwal sebelumnya, atau memberikan alternatif komunikasi kepada
klien yang telah terjadwal. Informasi mengenai pembatasan layanan diberikan
secara transparan melalui media daring yang biasa digunakan oleh pemberi
layanan terkait (website, instagram, dll) atau media tercetak yang mudah dibaca
di tempat praktik.

Pemberi layanan psikologi perlu menjaga kerahasiaan klien,


menjaga/membatasi diri dari eksposure media, dan tidak membuat pernyataan
yang berpotensi meresahkan masyarakat, baik melalui media sosial, maupun
media lain yang dapat diakses oleh publik terkait pelayanan psikologis yang
diberikan pada populasi tertentu.

Pemberi layanan perlu mempertimbangkan apakah kontak langsung (tatap


muka) dalam satu ruangan sama dengan klien (yang tidak diketahui status
COVID-19) dapat terus dilanjutkan pada masa tanggap darurat ini. Dalam
kondisi tersebut, pemberi layanan psikologi tidak mungkin untuk
menghentikan aktivitasnya. Pertimbangan social distancing demi keamanan
dan kenyamanan klien, serta keamanan pemberi layanan psikologi perlu
mendapatkan pertimbangan utama dalam melakukan layanan psikologi.

Pemberi layanan psikologi dan klien yang telah terjadwal maupun klien baru
untuk layanan rutin, perlu memiliki pemahaman yang sama mengenai
kelanjutan terapi dan atau metode komunikasi yang akan digunakan dalam
proses terapi/konseling.

Pengambilan keputusan apakah perlu menghentikan sementara layanan yang


sebelumnya rutin diberikan, atau mengalihkan layanan dengan menggunakan
teknologi/telepsikologi (misalnya: telephone, Skype, Zoom, Whatsapp atau
media daring lain) atau tetap melanjutkan sesi tatap muka; perlu didiskusikan
dan diputuskan secara bersama-sama oleh pemberi layanan psikologi dan
klien.

Pertimbangan dilakukannya pelayanan tatap muka adalah:

a) kebutuhan dan keamanan klien,


b) keamanan pemberi layanan psikologi,

Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) 9


c) konteks layanan yang diberikan (rumah sakit, klinik pribadi, institusi,
organisasi, sekolah atau lainnya)
d) pilihan atau alternatif selain tatap muka yang dimungkinkan
e) risiko etis dan praktis dari pilihan yang ditetapkan.

Dalam menangani klien dengan status tersebut, maka layanan dilakukan sebagai
berikut:

1. Layanan minimum kontak sebagai prioritas utama


Jika Klien dan Pemberi Layanan Psikologi memutuskan untuk menggunakan
telepsikologi atau konseling/terapi jarak jauh dengan memanfaatkan teknologi
maka pemberi layanan psikologi 10ank lien perlu:
a. Menyepakati moda komunikasi yang dipilih dan menyadari risiko
kerahasiaan yang mungkin terjadi (video call, voice call, atau text; dengan
aplikasi Whatapps video call, telephone non-daring, dll) mengingat aplikasi
daring tak berbayar memiliki tingkat risiko peretasan yang berbeda.
b. Durasi waktu layanan telah disepakati pada awal sesi dan selama proses
konsultasi, pemberi layanan psikologi tidak terinterupsi oleh kegiatan lain.
Hal ini berlaku baik untuk telepon, video call maupun non-video (voice call,
pesan tertulis/text messages misalnya Whatsapp text, LINE, dll).
c. Pembiayaan sesi telah dipahami oleh klien dengan baik. Jika pemberi
layanan psikologi tidak membicarakan biaya layanan secara langsung,
pemberi layanan perlu memastikan bahwa administrator layanan telah
mengkomunikasikan hal ini dengan klien dan klien telah menyetujuinya.
d. Memastikan consent mengenai kerahasiaan percakapan dalam layanan
terutama kerahasiaan klien terjaga, termasuk menjaga alat komunikasi yang
digunakan terutama jika dilakukan komunikasi tertulis melalui Whatsapp atau
aplikasi sejenis.
e. Tempat pemberi layanan psikologi melakukan layanan dalam lingkungan
yang terjaga ketenangan dan privasinya.

Pengaturan lebih detil dapat dilihat pada bagian V Panduan ini.

2. Layanan Tatap Muka


Layanan tatap muka hanya diberikan jika layanan layanan dengan minimum
kontak / layanan jarak jauh tidak dapat dilaksanakan karena berbagai alasan
mendasar. Pemberian layanan tatap muka perlu mempertimbangkan beberapa
hal di bawah ini:
a. Waktu perjanjian telah ditentukan dan dipatuhi oleh pemberi layanan
psikologi, agar tidak terjadi penumpukan klien di ruang tunggu. Disarankan
bagi pengantar untuk tidak menunggu di ruang tunggu ketika konsultasi

Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) 10


tengah berlangsung, kecuali jika dalam kondisi terkait keselamatan
(misalnya: percobaan bunuh diri).
b. Poster edukasi klien mengenai langkah pencegahan penularan corona virus
termasuk informasi rujukan pemeriksaan COVID-19, apa itu COVID dan
bagaimana mencegahnya, dan apa yang seharusnya orang lakukan telah
tersedia di ruang tunggu. Pastikan media edukasi tentang apa yang akan
dijumpai dalam sesi telah diketahui pasien, misalnya: pemberi layanan akan
menggunakan masker, memberi jarak duduk, klien mencuci tangan sebelum
masuk ruangan, dan lain sebagainya.
c. Sebelum sesi dimulai, administrator atau pemberi layanan psikologi
menjelaskan tentang keuntungan dan risiko melakukan layanan tatap muka
pada masa tanggap darurat COVID-19 dan hal-hal apa yang tidak dilakukan
selama sesi (misalnya berjabat tangan, berjarak terlalu dekat, dll), dengan
cara-cara yang empatik dan mengedepankan keamanan klien maupun
pemberi layanan psikologi. Diskusikan rencana cadangan (contingency plan)
untuk mengantisipasi situasi di mana tatap muka tidak lagi dimungkinkan
karena:
i. Kebijakan pemerintah atau institusi penyedia layanan terkait
perkembangan COVID-19.
ii. Jika klien mengalami gejala flu atau tidak sehat secara fisik.
iii. Jika pemberi layanan psikologi mengalami gejala flu atau tidak
sehat secara fisik.
d. Tambahan klausul persetujuan (informed consent) atas konteks layanan,
perlu ditambahkan dalam informed consent layanan, yang menyatakan
keterbatasan layanan yang diberikan terkait situasi tanggap darurat Covid-
19 dan alternatif lain jika layanan dihentikan sementara atau dialihkan.
Pastikan klien paham dan menyetujui tambahan klausul informed-consent
tersebut.
e. Jika di tengah sesi, klien menyatakan bahwa ia mencurigai diri sebagai
seorang yang sangat mungkin tertular karena kontak erat dengan PDP lain,
maka pemberi layanan psikologi direkomendasikan untuk mempercepat
sesi, segera mengamankan diri dan memberikan edukasi serius kepada klien
untuk mengamankan dirinya. Contoh: memberikan masker kepada klien
untuk segera digunakan. Jika klien dalam keadaan sangat cemas atau
mengalami serangan panik, pemberi layanan psikologi memberikan
pertolongan pertama stabilisasi dengan tetap mengutamakan keamanan diri
dan klien, dengan meminimalisir kontak fisik langsung. Pemberi layanan
psikologi mendorong dengan empatik dan positif, agar klien segera
melaporkan diri ke layanan Tanggap Darurat COVID-19 yang disediakan
oleh pemerintah daerah, dan memastikan yang bersangkutan memiliki akses
informasi yang akurat tentang layanan Tanggap Darurat COVID-19 atau
tempat rujukan pemeriksaan COVID-19. Dalam hal ini, pemberi layanan

Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) 11


perlu mengetahui informasi mengenai layanan Tanggap Darurat COVID-19
di daerah masing-masing.
f. Pemberi layanan psikologi mencuci tangan sesuai standar WHO sebelum
masuk ruang praktik.
g. Pemberi layanan psikologi menjaga jarak tempat duduk dengan klien, jika
menggunakan sofa pilih tempat duduk yang berjarak setidaknya 1 meter.
h. Pemberi layanan psikologi menghindari sentuhan langsung.
i. Pemberi layanan psikologi menyiapkan tisu dan tempat membuang sampah
tertutup yang dilapisi dengan plastik di dalam ruangan.
j. Jika klien membutuhkan tisu, pemberi layanan psikologi mempersilakan
klien untuk mengambil sendiri
k. Jika di dalam ruang konsultasi disediakan minum, pastikan berada dalam
kemasan sekali pakai dan meminta/mengajak klien untuk membuangnya ke
tempat sampah sendiri setelah sesi selesai. Contoh: gelas kertas sekali pakai.
l. Jika perlu pencatatan simpan dalam HP dan pendokumentasian (filing)
dilakukan dengan komputer atau dilakukan pencatatan dengan voice
recording, dengan seijin klien.

Pemberi layanan psikologi perlu meminimalkan secara signifikan atau


menghilangkan:

a) Penggunan alat tes yang berbentuk pencil & paper. Jika


memerlukan data asesmen, pemberi layanan psikologi dapat
membaca pertanyaan dan meminta klien menjawab.
b) Penggunaan gantungan identitas bagi pemberi layanan psikologi.
c) Penyimpanan dokumen dalam bentuk kertas [9]
d) Membawa rekam data klien ke dalam ruang praktik (virus Corona-19
menempel/dapat hidup di kertas selama 4-5 hari) [9]
e) Mengurai rambut atau kerudung/jilbab selama berada di ruang
praktik. Perempuan berambut panjang, perlu mengikat rambut.
Perempuan menggunakan kerudung, perlu merangkai kerudung
menjadi ringkas.

m. Jika konsultasi telah selesai,

a) Pemberi layanan psikologi mencuci tangan sesuai dengan standar


WHO; dan berganti baju untuk bertemu dengan klien berikutnya.
b) Pemberi layanan psikologi mandi di tempat praktik dan berganti
pakaian dengan pakaian bersih sebelum kembali ke rumah.
c) Setelah selesai satu klien, pemberi layanan memastikan bahwa
ruangan yang telah dipakai dibersihkan dengan disinfektan sesuai
dengan standar pembersihan ruangan yang disarankan pemerintah.

Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) 12


C. Panduan Layanan Klien Baru
Layanan psikologi dalam bentuk psikoedukasi kepada masyarakat yang sifatnya
preventif dan promotif dalam menghadapi dan mengelola dampak dari situasi
tanggap darurat COVID-19 dapat diberikan oleh pemberi layanan psikologi,
dengan mempertimbangkan kebutuhan masyarakat dan etika psikologi.

Pemberi layanan psikologi seyogyanya tidak menawarkan layanan baru kepada


klien dengan kasus yang tidak terkait dengan situasi COVID-19, misalnya yang
terkait dengan pengembangan diri, pengembangan organisasi, seleksi,
penempatan, dan promosi, mengingat:
a. Peraturan dan kebijakan yang berlaku di Indonesia berkaitan dengan kasus
COVID-19.
b. Pertimbangan professional dan tanggungjawab atas efektifitas dan kualitas
layanan jika dilakukan secara daring (misalnya: administrasi tes psikologi).
c. Kepastian bahwa klien memahami situasi penanganan dan pencegahan
COVID-19 dapat mempengaruhi kondisi psikologis seseorang, sehingga
terdapat risiko potret hasil asesmen menjadi tidak optimal ketika dilakukan
pada masa tanggap darurat ini.

Jika klien mengalami masalah psikologis yang tidak dapat diatasinya sendiri,
klien mengalami kegawatdaruratan psikologis, atau klien sangat membutuhkan
bantuan dan meminta layanan psikologi, maka layanan psikologi dapat diberikan
dengan mempertimbangkan:
a) kebutuhan dan keamanan klien,
b) keamanan pemberi layanan psikologi,
c) kompetensi pemberi layanan dan konteks layanan yang diberikan (rumah
sakit, klinik pribadi, institusi, organisasi, sekolah atau lainnya)
d) pilihan atau alternatif selain tatap muka yang dimungkinkan
e) risiko etis dan praktis dari pilihan yang ditetapkan.

Dalam menangani klien dengan status tersebut, maka layanan dilakukan sebagai
berikut:

1. Layanan Minimum Kontak sebagai Prioritas Utama


Jika Klien dan Pemberi Layanan Psikologi memutuskan untuk menggunakan
telepsikologi atau konseling/terapi jarak jauh dengan memanfaatkan teknologi
maka pemberi layanan psikologi 13ank lien perlu:
a. Menyepakati moda komunikasi yang dipilih dan menyadari risiko
kerahasiaan yang mungkin terjadi (video call, voice call, atau text; dengan
aplikasi Whatapps video call, telephone non-daring, dll) mengingat aplikasi
daring tak berbayar memiliki tingkat risiko peretasan yang berbeda.
b. Durasi waktu layanan telah disepakati pada awal sesi dan selama proses
konsultasi, pemberi layanan psikologi tidak terinterupsi oleh kegiatan lain.

Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) 13


Hal ini berlaku baik untuk telepon, video call maupun non-video (voice call,
pesan tertulis/text messages misalnya Whatsapp text, LINE, dll).
c. Pembiayaan sesi telah dipahami oleh klien dengan baik (jika ada). Jika
pemberi layanan psikologi tidak membicarakan biaya layanan secara
langsung, pemberi layanan perlu memastikan bahwa administrator layanan
telah mengkomunikasikan hal ini dengan klien dan kllien telah
menyetujuinya.
d. Memastikan consent mengenai kerahasiaan percakapan dalam layanan
terutama kerahasiaan klien terjaga, termasuk menjaga alat komunikasi yang
digunakan terutama jika dilakukan komunikasi tertulis melalui Whatsapp atau
sejenis lainnya
e. Tempat pemberi layanan psikologi melakukan layanan dalam lingkungan
yang terjaga ketenangan dan privasinya.

Pengaturan lebih detil dapat dilihat pada bagian V Panduan ini.

2. Layanan Tatap Muka


Layanan tatap muka hanya diberikan jika layanan layanan dengan minimum
kontak / layanan jarak jauh tidak dapat dilaksanakan karena berbagai alasan
mendasar. Pemberian layanan tatap muka perlu mempertimbangkan beberapa
hal di bawah ini:
a. Waktu perjanjian telah ditentukan dan dipatuhi oleh pemberi layanan
psikologi, agar tidak terjadi penumpukan klien di ruang tunggu. Disarankan
bagi pengantar untuk tidak menunggu di ruang tunggu ketika konsultasi
tengah berlangsung, kecuali jika dalam kondisi terkait keselamatan atau
gawatdarurat psikologis (misalnya: percobaan bunuh diri).
b. Poster edukasi klien mengenai langkah pencegahan penularan corona virus
termasuk informasi rujukan pemeriksaan COVID-19, apa itu COVID dan
bagaimana mencegahnya, dan apa yang seharusnya orang lakukan telah
tersedia di ruang tunggu. Pastikan media edukasi tentang apa yang akan
dijumpai dalam sesi telah diketahui pasien, misalnya: pemberi layanan akan
menggunakan masker, memberi jarak duduk, klien mencuci tangan sebelum
masuk ruangan, dan lain sebagainya.
c. Sebelum sesi dimulai, administrator atau pemberi layanan psikologi
menjelaskan tentang keuntungan dan risiko melakukan layanan tatap muka
pada masa tanggap darurat COVID-19 dan hal-hal apa yang tidak dilakukan
selama sesi (misalnya berjabat tangan, berjarak terlalu dekat, dll), dengan
cara-cara yang empatik dan mengedepankan keamanan klien maupun
pemberi layanan psikologi. Diskusikan rencana cadangan (contingency plan)
untuk mengantisipasi situasi di mana tatap muka tidak lagi dimungkinkan
karena:

Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) 14


i. Kebijakan pemerintah atau institusi penyedia layanan terkait
perkembangan COVID-19.
ii. Jika klien mengalami gejala flu atau tidak sehat secara fisik.
iii. Jika pemberi layanan psikologi mengalami gejala flu atau tidak sehat
secara fisik.
d. Tambahan klausul persetujuan (informed consent) atas konteks layanan,
perlu ditambahkan dalam informed consent layanan, yang menyatakan
keterbatasan layanan yang diberikan terkait situasi tanggap darurat COVID-
19 dan alternatif lain jika layanan dihentikan sementara atau dialihkan.
Pastikan klien paham dan menyetujui tambahan klausul informed-consent
tersebut.
e. Jika di tengah sesi, klien menyatakan bahwa ia mencurigai diri sebagai
seorang yang sangat mungkin tertular karena kontak erat dengan PDP lain,
maka pemberi layanan psikologi direkomendasikan untuk mempercepat
sesi, segera mengamankan diri dan memberikan edukasi serius kepada klien
untuk mengamankan dirinya. Contoh: memberikan masker kepada klien
untuk segera digunakan. Jika klien dalam keadaan sangat cemas atau
mengalami serangan panik, pemberi layanan psikologi memberikan
pertolongan pertama stabilisasi dengan tetap mengutamakan keamanan diri
dan klien, dengan meminimalisir kontak fisik langsung. Pemberi layanan
psikologi mendorong dengan empatik dan positif, agar klien segera
melaporkan diri ke layanan Tanggap Darurat COVID-19 yang disediakan
oleh pemerintah daerah, dan memastikan yang bersangkutan memiliki akses
informasi yang akurat tentang layanan Tanggap Darurat COVID-19 atau
tempat rujukan pemeriksaan COVID-19. Dalam hal ini, pemberi layanan
perlu mengetahui informasi mengenai layanan Tanggap Darurat COVID-19
di daerah masing-masing.
f. Pemberi layanan psikologi mencuci tangan sesuai standar WHO sebelum
masuk ruang praktik.
g. Pemberi layanan psikologi menjaga jarak tempat duduk dengan klien, jika
menggunakan sofa pilih tempat duduk yang berjarak setidaknya 1 meter.
h. Pemberi layanan psikologi menghindari sentuhan langsung.
i. Pemberi layanan psikologi menyiapkan tisu dan tempat membuang sampah
tertutup yang dilapisi dengan plastik di dalam ruangan.
j. Jika klien membutuhkan tisu, pemberi layanan psikologi mempersilakan
klien untuk mengambil sendiri.
k. Jika di dalam ruang konsultasi disediakan minum, pastikan berada dalam
kemasan sekali pakai dan meminta/mengajak klien untuk membuangnya ke
tempat sampah sendiri setelah sesi selesai. Contoh: gelas kertas sekali pakai.
l. Jika perlu pencatatan simpan dalam HP dan pendokumentasian (filing)
dilakukan dengan komputer atau dilakukan pencatatan dengan voice
recording, dengan seijin klien.

Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) 15


Pemberi layanan psikologi perlu meminimalkan secara signifikan atau
menghilangkan:

a) Penggunan alat tes yang berbentuk pencil & paper. Jika memerlukan
data asesmen, pemberi layanan psikologi dapat membaca pertanyaan
dan meminta klien menjawab.
b) Penggunaan gantungan identitas bagi pemberi layanan psikologi.
c) Penyimpanan dokumen dalam bentuk kertas [9]
d) Membawa rekam data klien ke dalam ruang praktik [9]
e) Mengurai rambut atau kerudung/jilbab selama berada di ruang
praktik. Perempuan berambut panjang, perlu mengikat rambut.
Perempuan menggunakan kerudung, perlu merangkai kerudung
menjadi ringkas.
m. Jika konsultasi telah selesai,
a) Pemberi layanan psikologi mencuci tangan sesuai dengan standar
WHO; dan berganti baju untuk bertemu dengan klien berikutnya.
b) Pemberi layanan psikologi mandi di tempat praktik dan berganti
pakaian dengan pakaian bersih sebelum kembali ke rumah.
c) Setelah selesai satu klien, pemberi layanan memastikan bahwa
ruangan yang telah dipakai dibersihkan dengan disinfektan sesuai
dengan standar pembersihan ruangan yang disarankan pemerintah.

D. Penghentian dan atau Pengalihan Layanan Psikologis

Dalam situasi tanggap darurat COVID-19, penghentian layanan psikologis baik


sementara maupun permanen dan pengalihan layanan psikologis dapat
disebabkan karena berbagai hal. Jika terjadi penghentian layanan, pemberi
layanan psikologi tetap harus mempertimbangkan kode etik psikologi yang
berlaku sebagai tanggung jawab profesionalnya. Pengalihan layanan psikologis
dimungkinkan dalam konteks rujukan terkait kompetensi pemberi layanan atau
situasi lain yang diatur dalam Kode Etik Psikologi Indonesia. Dalam bagian ini
akan diuraikan penghentian layanan dan tindak lanjutnya:

1. Penghentian Layanan Psikologis


a. Dari sisi pemberi layanan
a) pemberi layanan psikologi menilai layanan telah cukup dan klien
menunjukkan adanya kemajuan.
b) pemberi layanan tidak dapat melanjutkan pekerjaannya karena
kondisinya (misalnya alasan kesehatan, pindah tugas dengan segera,
dsb)
b. Dari sisi klien
a) Klien minta untuk memutuskan menghentikan sementara layanan
yang diterimanya.

Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) 16


b) Klien tidak dapat melakukan kontak karena kondisinya (misalnya
karena kesehatannya klien harus diisolasi).
c) Pada layanan yang dilakukan secara daring, kemungkinan klien
meminta penghentian layanan, misalnya dengan alasan koneksi
internet di tempat tinggalnya tidak bagus, tidak yakin pada efektifitas
konseling online, atau alasan lain.

2. Pedoman Etis dalam Penghentian Layanan


Sebelum pemberi layanan menghentikan layanan, sebagai tanggung jawab
pemberi layanan psikologi terhadap kondisi klien, maka pemberi layanan
psikologi perlu untuk:
1. Melakukan rapid assessment kondisi psikologis klien, untuk mengukur
bagaimana dampak masa tanggap darurat COVID-19 (social distancing)
dapat berdampak pada klien.
2. Memberikan psikoedukasi lengkap yang terkait kondisi terakhir status
kesehatan psikologis klien, dan memberikan motivasi agar dapat
meneruskan hidup sehat secara mental yang telah dicapai klien.
3. Memberikan tips mengenali penurunan kondisi psikologis diri sendiri
dan mekanisme koping selama masa social distancing
4. Memberikan referensi untuk kontak emergensi jika klien mengalami
situasi psikologis yang tidak nyaman terutama jika klien memiliki riwayat
self-harm, harm-others, atau suicide.

V. PANDUAN LAYANAN PSIKOLOGI MENGGUNAKAN MEDIA


TEKNOLOGI KOMUNIKASI (TELEPSIKOLOGI)

Telepsikologi adalah penyediaan/pemberian layanan psikologi (termasuk


konseling dan psikoterapi) melalui teknologi komunikasi non-daring dan daring.
Berikut adalah hal-hal yang perlu diperhatikan oleh para pemberi layanan psikologi
sebagai bagian dari kepatuhan terhadap Kode Etik Psikologi Indonesia demi
memberikan pelayanan berkualitas dan perlindungan kepada penerima layanan.

Dalam hal memenuhi kepatuhan etik, maka perlu dilakukan persiapan, kepastian
penggunaan IT dan kesesuaian dengan kondisi klien. Oleh karena itu, check list
kesiapan pemberian layanan telepsikologi (terlampir) dapat digunakan sebagai
panduan kesiapan penggunaan teleconference dengan mempertimbangan etika
dalam pelaksanaannya.

Layanan psikologi menggunakan media komunikasi daring merupakan layanan


prioritas yang diberikan kepada klien dalam situasi tanggap darurat COVID-19.
Penggunaan moda komunikasi teks, voice, maupun video secara daring misalnya

Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) 17


Zoom, Whatsapp, WeCHat Google chat, dan lain-lain perlu memperhatikan hal-hal
berikut:

1. Kesepakatan
Pastikan telah pemberi layanan psikologi dan klien menyepakati moda
komunikasi yang dipilih dan mendiskusikan keterbatasan kerahasiaan karena
sifat alamiah dari aplikasi yang digunakan untuk diskusi tersebut.
Kesepakatan (informed consent) tersebut dapat secara lisan terekam, atau
lisan yang kemudian diikuti dengan pengisian form elektronik (misalnya
google form) yang disiapkan oleh pemberi layanan.

2. Lingkup kesepakatan
Kesepakatan yang mengikat keduabelah pihak juga meliputi -namun tidak
terbatas pada- setidaknya hal-hal tersebut di bawah ini:
a. Bahwa klien berkehendak/bersedia mengikuti sesi konseling/
psikoedukasi/jenis layanan lain melalui telepsikologi (sesuai moda
komunikasi yang dipilih), atas kemauan sendiri.
b. Bahwa komunikasi ini bersifat personal dan privat yang hanya berlaku
untuk klien yang bersangkutan saja.
c. Bahwa komunikasi tertulis maupun rekam tidak akan diteruskan
kepada pihak lain, dalam bentuk apapun; termasuk pesan di-forward,
copy paste, screen-capture, , dan lain-lain yang serupa.
d. Data sekuriti yang bersifat teknis terkait keterbatasan sekuriti dari
aplikasi, adalah di luar kendali pemberi layanan psikologi oleh
karenanya pemberi layanan psikologi membebaskan diri dari
tanggungjawab atas keamanan data yang terkait dengan keamanan
jaringan. Hal ini perlu disepakati oleh klien dan pemberi layanan
psikologi secara ekplisit dan dituliskan dalam kesepakatan (informed
consent).
e. Bahwa privacy terkait tempat di mana diselenggarakan konseling
adalah tanggungjawab masing-masing pihak, dalam hal ini:
i. Klien bertanggungjawab atas privasinya sendiri, misalnya
menggunakan ruang yang tertutup dan tidak terdengar dari
orang lain yang tidak dikehendaki.
ii. Sementara pemberi layanan psikologi perlu memastikan klien
telah mengamankan privasinya sendiri dengan bertanya
langsung apakah yang bersangkutan telah mengamankan isu
privasi tersebut.
iii. Pemberi layanan psikologi menyatakan dengan jelas bahwa
pemberi layanan psikologi telah menjaga privasi klien dengan
menyatakan kondisi tempat dimana ia melakukan.

Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) 18


3. Konseling menggunakan videoconference
Penyelenggaraan konseling dengan media komunikasi daring dengan
gambar langsung (videoconference), perlu memastikan:
a. Ruang yang digunakan untuk melakukan video call terjaga
ketenangannya dan mampu menjaga privacy klien. Contoh terbaik:
tidak ada suara lain (sangat minimum), tidak ada lalu lalang.
b. Penerangan ruangan cukup, sehingga wajah pemberi layanan dapat
dilihat jelas oleh klien.
c. Latar belakang/backdrop yang menjadi pemandangan latar di layar
videocall dalam keadaan rapi, netral dan tidak berpotensi
menimbulkan persepsi keliru. Contoh terbaik: ruang kerja dengan
background poster berisi kalimat yang memotivasi.
d. Koneksi internet lancar (pastikan kuota dan kecepatan internet
cukup) dan telah diujicoba sebelumnya, dengan memiliki cadangan
moda komunikasi dengan klien yang juga diketahui oleh klien.
Contoh: Komunikasi dengan menggunakan Webex dengan
kesepakatan ketika terjadi gangguan koneksi internet komunikasi di
back-up dengan chat-room webex atau email.

4. Konseling melalui teks


Jika penyelenggaraan konseling dilakukan melalui media komunikasi
dengan teks (whatsapp chat, email, LiNE, dan sejeninsnya), maka Pemberi
Layanan Psikologi perlu memastikan:
a. Penggunaan nomor HP khusus yang hanya digunakan untuk
keperluan layanan psikologi. Pemberi layanan sangat
direkomendasikan untuk memiliki jam layanan yang disampaikan
secara terbuka. Ketika pemberi layanan sedang tidak dalam jam
layanan, pemberi layanan sangat direkomendasikan untuk dapat
tetap memberikan jawaban singkat, atau mengatur penjawab
otomatis terhadap pesan atau panggilan yang masuk; serta
menginformasikan nomor yang dapat dihubungi 24 jam (hotline) jika
klien berada dalam situasi darurat.
b. Tidak menggunakan HP yang juga diakses bersama orang lain,
misalnya anak, atau anggota keluarga lain.
c. Handphone dalam keadaan terkunci dan memiliki password yang
hanya diketahui oleh pemberi layanan psikologi.
d. Dalam kondisi sangat mendesak, dimana pemberi layanan psikologi
tidak mampu mengupayakan HP khusus, maka pemberi layanan
psikologi harus dapat memastikan bahwa chat segera terhapus secara
permanen dari HP dan memindahkan ke pencatatan yang lebih tertata
di alat lain (misalnya PC, Laptop) yang terkunci dengan password.
Hal yang perlu dipertimbangkan adalah, bahwa konseling melalui teks
memiliki risiko berupa potensi kesalahpahaman antar pemberi dan
penerima layanan.

Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) 19


5. Penetapan waktu konseling
Pemberi layanan psikologi menetapkan waktu pemberian layanan dengan
jelas pada awal sesi, untuk membatasi komunikasi tidak terlalu melelahkan
bagi kedua belah pihak. Sebelum mengakhiri sesi, pemberi layanan
psikologi meminta klien menyampaikan apa yang diperoleh dari sesi dan
apa yang menjadi PR untuk di praktikkan secara mandiri oleh klien (jika ada).
Jika perlu, pemberi layanan psikologi mengulang kembali PR atau hal-hal
yang telah dicapai klien dan wrap-up sesi hari tersebut. Contoh terbaik: 50
menit sesi konseling, 10 menit terakhir digunakan untuk wrap up sesi dan
memberikan motivasi pada klien untuk mempraktikkan apa yang dipelajari
dalam sesi.

6. Komunikasi konsekuensi biaya


Pemberi layanan psikologi mengkomunikasikan konsekuensi biaya
terapi/konseling (jika ada) dengan jelas pada awal sesi. Jika terdapat
perubahan konsekuensi biaya dari biaya yang biasanya dibayarkan (tatap
muka) maka perubahan ini telah disetujui oleh klien secara lisan dan terekam.

VI. PENUTUP
Panduan layanan ini merupakan Panduan Umum yang bertujuan menjadi
pegangan bagi pemberi layanan psikologi di dalam masa tanggap darurat COVID-
19. Hal yang patut dicatat adalah mengenai etika, pengenalan akan kompetensi
diri para pemberi layanan. Apabila pemberi layanan menghadapi masalah di luar
kompetensinya, pemberi layanan harus melaksanakan pengalihan layanan kepada
pihak lain yang lebih kompeten.

Apabila ada hal-hal yang belum disampaikan dalam panduan ini, para pemberi
layanan dapat mengacu pada sumber-sumber yang dapat dipercaya, misalnya dari
World Health Organization, American Psychological Association, maupun
peraturan resmi dari pemerintah Republik Indonesia. Panduan ini adalah panduan
edisi pertama, yang dalam perkembangannya dimungkinkan untuk mengalami
perubahan, dengan memperhatikan situasi dan kondisi di lapangan, kebutuhan
masyarakat, serta saran-saran pelaksanaan dari para pengguna panduan. Apabila
ada perubahan, maka HIMPSI akan menyampaikannya kepada pihak-pihak terkait.

Demikian panduan ini disusun. Semoga Panduan ini dapat menjadi pedoman
standar bagi para pemberi layanan psikologi dalam memberikan kontribusi dalam
masyarakat.

Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) 20


Daftar Pustaka

1. Arif, A.2020.
https://megapolitan.kompas.com/read/2020/03/18/08082721/kisah-
perjuangan-pasien-covid-19-di-tengah-ketidakpastian-dan-
kebingungan?page=2. (diakses 25 Maret 2020).
2. Brooks, K.S., Webster, R.K., Smith, L.E., … & G.J., Rubin. 2020. The
Psychological impact of quarantine and how to reduce it: rapid review of the
evidence. The Lancet, Vol 395, 912-20.
3. Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kementerian
Kesehatan RI. 2020. Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Corona Virus
Disease (COVID-19), Rev 3 (16 Maret 2020).
4. Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19. 2020. Pedoman
penanganan cepat medis dan kesehatan masyarakat COVID-19 di Indonesia.
Jakarta: Author.
5. Himpunan Psikologi Indonesia. 2010. Kode Etik Psikologi Indonesia. Jakarta:
Author.
6. Joint Task Force for the Development of Telepsychology Guidelines for
Psychologists-American Psychological Association. 2013. Guidelines for the
practice of telepsychology
7. Kampf, G., Todt, D. , Pfaender, S., & Steinmann, E. (2020). Persistence of
coronaviruses on inanimate surfaces and their inactivation with biocidal agents.
Journal of Hospital Infection, 104.
8. Krupinski, E.A. & Bernard, J. 2014. Standard and Guidelines in Telemedicine
and Telehealth, Healthcare, 2(1), 74-93.
9. Rumah Sakit Cipto Mangunkusomo, 2020. Informasi pencegahan penyebaran
COVID-19 di Rumah Sakit.
10. The American Psychological Association. 2017. Ethical principles of
psychologist and code of condunct. Washington, DC: Author.
11. The American Psychological Association. Guidelines for telepsychology- Office
& Technology. Checklist for Telepsychological Services.
12. The American Psychiatric Association and the American Telemedicine
Associaton. 2018. Best Practices in Videoconferencing-based Telemental
Health.

Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) 21


LAMPIRAN 1.

Checklist Kesiapan Pemberian Layanan Telepsikologi menggunakan


Videoconference[11]

Layanan menggunakan videoconference memerlukan berbagai kesiapan agar


kepatuhan etik dalam layanan psikologi. Di samping prinsip kode etik psikologi
yang harus dijaga, pemberi layanan psikologi sudah semestinya memahami
tentang tata aturan yang lebih luas dalam penggunaan IT.

Kesiapan menggunakan teleconference melibatkan beberapa hal: dari sisi


perangkat, penyedia layanan dan klien. Berikut cek list yang dapat digunakan
sebagai panduan penanda kesiapan dan kecocokan antara pemberi layanan dan
klien.

1. Penyiapan Tempat Konsultasi dengan Videoconference

Penyiapan tempat konsultasi dengan media daring:

c Apakah lokasi cukup privat? Tidak bising dan tidak ada lalu lalang?
c Apakah psikolog telah memastikan penerangan yang cukup dalam
ruangan dan tidak ada refleksi cahaya yang menyilaukan jika dilihat
dilayar klien?
c Pastikan psikolog memposisikan kamera sedemikian rupa, agar mudah
dilihat dan melihat klien, sehingga kontak mata terjaga.
c Pertimbangkan untuk menyingkirkan hal-hal yang berpotensi
mengganggu dari latarbelakang dimana psikolog duduk, sehingga klien
tidak teralihkan perhatiannya pada hal-hal yang tidak perlu atau bahkan
mengganggu.
c Psikolog memastikan kualitas gambar dan suara pada awal sesi,
termasuk koneksi. Pastikan tidak ada yang termatikan moda suaranya
(mute)
c Psikolog perlu memastikan adanya kontak mata yang stabil dan suara
yang jelas sepanjang sesi.

2. Penyiapan Teknologi komunikasi yang digunakan

c Apakah platform teknologi komunikasi yang digunakan dapat terjaga


sekuritasnya? Jika tidak yakin, bagaimana psikolog dan klien
bersepaham tentang hal ini dan bagaimana cara-cara menjaga sekuritas
disampaikan secara terbuka.
c Apakah klien memiliki akses koneksi internet high-speed yang cukup
untuk videoconference? Jika tidak, diskusikan voice calling daring

Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) 22


maupun telepon non-daring, dan pesan tulisan; terutama sebagai sarana
komunikasi dukungan psikososial dan psikoedukasi.
c Apakah psikolog telah memastikan bahwa klien tau bagaimana caranya
terhubung dengan video conference atau log-in?
c Apakah psikolog menggunakan koneksi internet yang aman (secured Wi-
Fi vs non-secured public Wifi)? Bagaimana dengan koneksi internet
klien?
c Apakah psikolog telah memastikan proteksi antivirus/antimalware untuk
menjaga media telepsikologi yang digunakan psikolog terjaga dari
retasan? Bagaimana dengan klien?

3. Sebelum Sesi konsultasi berlangsung

Lakukan asesmen cepat (skrining) apakah video conference efektif


untuk mereka:

c Pertimbangkan status klinis dan status kognitif klien


c Apakah klien memiliki kemampuan mengupayakan teknologi untuk
video conference misalnya: smartphone atau computer/laptop dengan
webcam?
c Pertimbangkan tingkat kenyamanan klien dalam menggunakan
teknologi; dalam situasi merespon COVID-19 perlu persuasi untuk
membantu klien memperbaiki tingkat kenyamanan penggunaan
teknologi.
c Apakah klien memiliki ruang yang cukup privat di tempat tinggalnya
untuk melakukan sesi? Bantu klien untuk memikirkan alternatif ruang
privat tersebut.
c Pertimbangkan keselamatan pasien (misalnya: kecenderungan bunuh
diri) dan risiko kesehatan lain, risiko lingkungan tempat tinggal.

4. Sebelum Sesi Konsultasi Berlangsung


c Sekali lagi, diskusikan dengan klien keuntungan dan risiko dari
telepsikologi
c Dapatkan kesepakatan hal-hal yang terkait layanan melalui telepsikologi
dan diwujudkan dalam informed consent yang tertandatangani (digital
signature)
c Jika sudah disepakati penggunaan telepsikologi, pastikan (reviu
kembali) informed consent yang pernah disepakati dan ditandatangani
sebelumnya.
c Apakah psikolog telah memiliki rencana cadangan seandainya ditengah
sesi koneksi internet memburuk atau bahkan terputus? Apakah psikolog
tau bagaimana terhubung dengan klien jika hal tersebut terjadi?
Bagaimana dengan klien?

Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) 23


c Apakah telah disepakati prosedur pembayaran sesi? (jika sesi berbayar)
c Jika klien adalah anak dibawah umur atau mereka yang perlu
mendapatkan pendampingan dari wali/orangtua/caregiver sepakati
dengan klien dimana sebaiknya para pendamping ini duduk
mendampingi, selama sesi berlangsung.
c Jika pendaftaran dilakukan secara online, pastikan data demografi yang
diperlukan telah diperoleh sebelum sesi berlangsung, misalnya: Nama,
Umur, Tempat Tinggal dan no yang dapat dihubungi, Jenis Kelamin, dan
keluhan saat ini (presenting problem), Status COVID-19,
ODP/PDP/Tanpa Gejala (terdapat pilihan untuk tidak memberitahukan).

5. Pada awal Sesi Berlangsung

Pada Awal Sesi Berlangsung:

c Verifikasi identitas klien, jika diperlukan


c Konfirmasi lokasi klien dan nomer kontak yang dapat dihubungi
c Reviu pentingnya privasi di lokasi psikolog memberikan layanan dan
tempat dimana klien melakukan videoconference untuk menerima
layanan.
c Semua individu yang hadir dalam sesi (berada disekitar klien) perlu
terlihat dari kamera psikolog sehingga psikolog mengetahui siapa saja
berada dilokasi bersama klien.
c Psikolog memastikan (konfirmasi) secara eksplisit kepada klien bahwa
baik klien maupun psikolog tidak diperkenankan merekam sesi tanpa
persetujuan dari keduabelah pihak.
c Psikolog mematikan semua aplikasi dan notifikasi di komputer/smart
phone yang digunakan untuk videoconference. Dan minta klien juga
melakukan hal yang sama
c Lakukan sesi konsultasi seperti biasa yang psikolog lakukan ketika
konsultasi tatap muka.

6. Pada Pemerolehan Kesepakatan (Informed Consent) untuk semua jenis


telepsikologi

Pada Awal Sesi Berlangsung (atau pada saat pendaftaran)

c Klien menerima penjelasan mengenai layanan yang diberikan.


c Klien bersedia menerima layanan psikologi.
c Klien memahami bahwa klien memiliki hak untuk menghentikan atau
melanjutkan proses layanan.

Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) 24


c Klien menyepakati moda komunikasi yang dipilih dan menyadari risiko
kerahasiaan yang mungkin terjadi jika menggunakan aplikasi tak
berbayar.
c Klien menyepakati durasi waktu layanan, dan pemberi layanan psikologi
tidak terinterupsi oleh kegiatan lain.
c Klien memahami manfaat dan konsekuensi dari pemberian layanan.
c Klien memahami bahwa selama proses layanan akan dilaksanakan
pencatatan guna pelaporan, namun seluruh data termasuk percakapan
akan dijaga kerahasiaannya.
c Klien memahami bahwa kesediaan (pemberian consent) atas
penerimaan layanan direkam dalam bentuk audio ataupun cara lain
misalnya fomulir elektronik (google form).

Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) 25

Anda mungkin juga menyukai