Edisi 1
Disiapkan oleh:
HIMPUNAN PSIKOLOGI INDONESIA
JAKARTA
Maret 2020
PENGANTAR
Pada masa tanggap darurat Covid-19 ini, HIMPSI mengajak semua tenaga Psikologi (baik
Psikolog, Asisten Psikolog, maupun Praktisi Psikologi) untuk membantu masyarakat yang
membutuhkan bantuan Psikologi. Kebutuhan bantuan Psikologi di masa tanggap darurat
ini sangat penting karena masyarakat sangat membutuhkannya. CEO American
Psychological Association (APA) menyebut bencana akibat COVID-19 ini sebagai krisis
kesehatan masyarakat yang luar biasa dengan implikasi yang luas dan tak terduga untuk
kesehatan mental bangsa. Isolasi sosial, kesedihan, ketakutan, dan stres memiliki dampak
nyata dan melumpuhkan telah terjadi pada orang-orang Amerika. Pada tingkat yang
mungkin sama atau berbeda, hal itu juga terjadi di Indonesia. Yang pasti permintaan
bantuan Psikologi semakin hari semakin banyak dan tersebar kebutuhannya di seluruh
Indonesia.
HIMPSI Wilayah dan Asosiasi/Ikatan bersama anggotanya telah memberikan respon yang
sangat baik dalam situasi saat ini. Pesan-pesan edukasi dan juga tawaran bantuan Psikologi
telah disampaikan secara terbuka di masyarakat. HIMPSI Pusat telah mengumpulkan pesan-
pesan tersebut dalam situs HIMPSI agar masyarakat dapat mudah mendapatkannya
(kunjungi www.himpsi.or.id).
Layanan Psikologi sebagai proses pemberian bantuan Psikologi dalam masa tanggap
darurat COVID-19 ini sangat dianjurkan menggunakan telekomunikasi. Saat ini
telekomunikasi memungkinkan orang untuk berinteraksi dengan tenaga Psikologi melalui
video, telepon, atau melalui teks dengan menggunakan berbagai platform yang tersedia
dan aman. Penggunaan telekomunikasi untuk pemberian layanan Psikologi ditujukan agar
keselamatan dan kesehatan kedua belah pihak tetap terjaga, terhindar dari tertular virus
COVID-19.
HIMPSI menerbitkan panduan ini sebagai bantuan kepada tenaga Psikologi dalam
melaksanakan layanannya dan kepada pihak lain agar dapat menyesuaikan dan
memahaminya. Selain berpedoman pada panduan ini, tenaga Psikologi yang memberikan
layanan Psikologi tetap harus berpegang teguh pada Kode Etik Psikologi Indonesia.
Panduan ini merupakan panduan edisi pertama sebagai rekomendasi standar pemberian
layanan psikologi yang diberikan oleh tenaga Psikologi - selanjutnya disebut pemberi
layanan psikologi - dalam masa tanggap darurat COVID-19. Panduan ini dapat melengkapi
pedoman yang diterbitkan pemerintah dan HIMPSI Wilayah atau Asosiasi/Ikatan.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Dr. M.G. Adiyanti, Psikolog (Wakil Ketua IV PP
HIMPSI), Sri Tiatri, Ph.D., Psikolog, dan Tri Hayuning Tyas, S. Psi., M.A., Psikolog
(Kompartemen IV PP HIMPSI) yang telah bekerja keras membuat panduan ini. Terimakasih
juga kami sampaikan kepada Majelis Psikologi Pusat dan semua pihak yang telah memberi
masukan berharga untuk penyempurnaan panduan ini. Semoga Panduan ini dapat
bermanfaat.
Pengantar _____________________________________________________________ i
Daftar Isi _______________________________________________________________ ii
I. PENDAHULUAN _______________________________________________________ 1
Kajian ilmiah the Lancet[2] yang telah disebutkan di atas, secara empiris
membuktikan hal yang dapat dialami PDP maupun ODP yang ada di sekitar kita.
Ketika seseorang diindikasikan terpapar COVID-19 (PDP atau ODP) maka terdapat
kemungkinan peningkatan tekanan psikologis yang dirasakan orang/pasien
tersebut. Kondisi psikologis berpotensi memburuk ketika identitasnya terpapar
media, terkait dengan pandangan negatif yang ia atau masyarakat yakini sebagai
‘pembawa virus’ (potensial stigma). Kondisi seperti ini tidak hanya terjadi pada
pasien yang terindikasi tetapi juga keluarganya, seperti yang dituliskan oleh Arif [1].
Para psikolog, baik yang bekerja di rumah sakit maupun praktik mandiri, sangat
dimungkinkan melayani mereka yang terdampak langsung (PDP dan ODP) COVID-
19. Di sisi lain, layanan kepada klien rutin yang telah terjadwal maupun klien baru
yang biasanya dilakukan secara tatap muka, perlu dipertimbangkan kembali
mengingat anjuran social distancing demi pengurangan penyebaran COVID 19 dan
keselamatan bersama. Oleh karena itu perlu disusun suatu panduan agar klien
mendapatkan layanan terbaik dan beretika dan pemberi layanan psikologi yang
menanganinya tetap terjaga keamanan fisik maupun psikologis.
A. Pemberi Layanan
Dalam layanan psikologi ini, pemberi layanan adalah semua lulusan psikologi
namun mempunyai kewenangan berbeda karena proses pendidikan yang
diselesaikannya. Terdapat tiga kelompok pemberi layanan psikologi, yaitu:
1. Psikolog
Adalah tenaga profesional kesehatan psikologis dengan latar belakang
pendidikan psikologi dan memliki Surat Ijin Praktik Psikologi yang
dikeluarkan oleh Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI).
3. Praktisi Psikologi
Adalah pemberi layanan yang bekerja melayani masyarakat untuk
membantu menyelesaikan masalah psikologis yang berkaitan dengan
kesulitan dalam penyesuaian diri, peningkatan pemahaman, atau hal-hal
serupa yang memerlukan konseling, tetapi bukan psikoterapi. Latar
belakang pendidikan praktisi psikologi adalah ilmu psikologi. Pada
umumnya praktisi psikologi melakukan berbagai training dan psikoedukasi
untuk masyarakat.
PDP yaitu pasien dengan infeksi saluran pernafasan (ISPA) yang (a)
memiliki riwayat perjalanan ke daerah transmisi lokal COVID-19 baik di
dalam maupun di luar negeri pada masa 14 hari sebelum timbul gejala;
atau (b) memiliki riwayat kontak dengan kasus konfirmasi atau probable
COVID-19; atau (c) mengalami kondisi ISPA berat bertempat tinggal di
wilayah transmisi lokal COVID-19.
3. Klien Baru
Klien baru adalah penerima layanan psikologis (klien) yang belum pernah
memiliki perjanjian asesmen atau intervensi dengan pemberi layanan
psikologi. Masalah yang dihadapi dapat berkaitan dengan kebijakan
pencegahan dan penanganan COVID-19 ataupun masalah yang sama
sekali tidak berkaitan dengan COVID-19. Misalnya: permasalahan pribadi,
bakat/minat, stress kehilangan pekerjaan, atau persoalan psikologis lain
karena perubahan signifikan di berbagai bidang terkait.
Dalam situasi tanggap darurat COVID-19, layanan psikologi dilakukan secara hati-
hati dengan mempertimbangkan keamanan klien, keamanan diri pemberi layanan
psikologi, serta kondisi lingkungan secara umum. Dalam melaksanakan layanan
psikologi, terdapat beberapa definisi yang perlu diketahui.
Sesuai dengan Kode Etik Psikologi Indonesia, Psikolog tidak menolak layanan
berdasarkan kondisi personal klien termasuk status sakit. Dalam kondisi ini,
langkah-langkah pengamanan bagi pemberi layanan perlu diperhitungkan
sesuai standar yang berlaku.
Ketika melakukan layanan dengan minimum kontak, ada beberapa hal yang
perlu dipertimbangkan:
a. Prioritas utama adalah melakukan layanan minimum kontak dengan teknik
daring atau menggunakan teknologi/telepsikologi. Dalam hal ini prioritas
layanan yang disarankan adalah:
i. Videoconference, misalnya Whatsapp Video Call, Skype, Zoom,
Google Hangouts/Meeting, Microsoft Teams, atau alternatif lain yang
serupa).
ii. Jika videoconference tidak dimungkinkan, dapat diambil alternatif
layanan dengan suara (voice), misalnya telepon, Whatsapp Voice Call,
atau alternatif lain yang serupa.
iii. Namun jika jaringan internet tidak memadai, atau klien menghendaki
cara lain, dapat dilakukan dengan media layanan pesan tertulis
(Whatsapp text, sms, atau e-mail).
b. Setiap media komunikasi yang dipilih memiliki risiko dan konsekuensi
yang harus dipertimbangkan oleh pemberi layanan psikologi. Pemberi
layanan Psikologi menyiapkan tempat bebas dari gangguan suara atau
gangguan lain sehingga kerahasiaan klien terjaga.
c. Dalam layanan ini selain mendasarkan pada Kode Etik Psikologi Indonesia
juga perlu memperhatikan hukum yang berlaku, misalnya: Undang-
Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
d. Pemberi layanan mampu secara mandiri menggunakan Teknologi
Informasi yang dipilih.
Ketika layanan tatap muka dilakukan, ada pedoman dasar yang tidak
boleh diabaikan dalam pertemuan dengan klien. Beberapa poin adalah:
Klinik Layanan Psikologi atau Pemberi Layanan Psikologi TIDAK serta merta
menutup atau menghentikan layananannya tanpa memberitahu klien
rutin/terjadwal sebelumnya, atau memberikan alternatif komunikasi kepada
klien yang telah terjadwal. Informasi mengenai pembatasan layanan diberikan
secara transparan melalui media daring yang biasa digunakan oleh pemberi
layanan terkait (website, instagram, dll) atau media tercetak yang mudah dibaca
di tempat praktik.
Pemberi layanan psikologi dan klien yang telah terjadwal maupun klien baru
untuk layanan rutin, perlu memiliki pemahaman yang sama mengenai
kelanjutan terapi dan atau metode komunikasi yang akan digunakan dalam
proses terapi/konseling.
Dalam menangani klien dengan status tersebut, maka layanan dilakukan sebagai
berikut:
Jika klien mengalami masalah psikologis yang tidak dapat diatasinya sendiri,
klien mengalami kegawatdaruratan psikologis, atau klien sangat membutuhkan
bantuan dan meminta layanan psikologi, maka layanan psikologi dapat diberikan
dengan mempertimbangkan:
a) kebutuhan dan keamanan klien,
b) keamanan pemberi layanan psikologi,
c) kompetensi pemberi layanan dan konteks layanan yang diberikan (rumah
sakit, klinik pribadi, institusi, organisasi, sekolah atau lainnya)
d) pilihan atau alternatif selain tatap muka yang dimungkinkan
e) risiko etis dan praktis dari pilihan yang ditetapkan.
Dalam menangani klien dengan status tersebut, maka layanan dilakukan sebagai
berikut:
a) Penggunan alat tes yang berbentuk pencil & paper. Jika memerlukan
data asesmen, pemberi layanan psikologi dapat membaca pertanyaan
dan meminta klien menjawab.
b) Penggunaan gantungan identitas bagi pemberi layanan psikologi.
c) Penyimpanan dokumen dalam bentuk kertas [9]
d) Membawa rekam data klien ke dalam ruang praktik [9]
e) Mengurai rambut atau kerudung/jilbab selama berada di ruang
praktik. Perempuan berambut panjang, perlu mengikat rambut.
Perempuan menggunakan kerudung, perlu merangkai kerudung
menjadi ringkas.
m. Jika konsultasi telah selesai,
a) Pemberi layanan psikologi mencuci tangan sesuai dengan standar
WHO; dan berganti baju untuk bertemu dengan klien berikutnya.
b) Pemberi layanan psikologi mandi di tempat praktik dan berganti
pakaian dengan pakaian bersih sebelum kembali ke rumah.
c) Setelah selesai satu klien, pemberi layanan memastikan bahwa
ruangan yang telah dipakai dibersihkan dengan disinfektan sesuai
dengan standar pembersihan ruangan yang disarankan pemerintah.
Dalam hal memenuhi kepatuhan etik, maka perlu dilakukan persiapan, kepastian
penggunaan IT dan kesesuaian dengan kondisi klien. Oleh karena itu, check list
kesiapan pemberian layanan telepsikologi (terlampir) dapat digunakan sebagai
panduan kesiapan penggunaan teleconference dengan mempertimbangan etika
dalam pelaksanaannya.
1. Kesepakatan
Pastikan telah pemberi layanan psikologi dan klien menyepakati moda
komunikasi yang dipilih dan mendiskusikan keterbatasan kerahasiaan karena
sifat alamiah dari aplikasi yang digunakan untuk diskusi tersebut.
Kesepakatan (informed consent) tersebut dapat secara lisan terekam, atau
lisan yang kemudian diikuti dengan pengisian form elektronik (misalnya
google form) yang disiapkan oleh pemberi layanan.
2. Lingkup kesepakatan
Kesepakatan yang mengikat keduabelah pihak juga meliputi -namun tidak
terbatas pada- setidaknya hal-hal tersebut di bawah ini:
a. Bahwa klien berkehendak/bersedia mengikuti sesi konseling/
psikoedukasi/jenis layanan lain melalui telepsikologi (sesuai moda
komunikasi yang dipilih), atas kemauan sendiri.
b. Bahwa komunikasi ini bersifat personal dan privat yang hanya berlaku
untuk klien yang bersangkutan saja.
c. Bahwa komunikasi tertulis maupun rekam tidak akan diteruskan
kepada pihak lain, dalam bentuk apapun; termasuk pesan di-forward,
copy paste, screen-capture, , dan lain-lain yang serupa.
d. Data sekuriti yang bersifat teknis terkait keterbatasan sekuriti dari
aplikasi, adalah di luar kendali pemberi layanan psikologi oleh
karenanya pemberi layanan psikologi membebaskan diri dari
tanggungjawab atas keamanan data yang terkait dengan keamanan
jaringan. Hal ini perlu disepakati oleh klien dan pemberi layanan
psikologi secara ekplisit dan dituliskan dalam kesepakatan (informed
consent).
e. Bahwa privacy terkait tempat di mana diselenggarakan konseling
adalah tanggungjawab masing-masing pihak, dalam hal ini:
i. Klien bertanggungjawab atas privasinya sendiri, misalnya
menggunakan ruang yang tertutup dan tidak terdengar dari
orang lain yang tidak dikehendaki.
ii. Sementara pemberi layanan psikologi perlu memastikan klien
telah mengamankan privasinya sendiri dengan bertanya
langsung apakah yang bersangkutan telah mengamankan isu
privasi tersebut.
iii. Pemberi layanan psikologi menyatakan dengan jelas bahwa
pemberi layanan psikologi telah menjaga privasi klien dengan
menyatakan kondisi tempat dimana ia melakukan.
VI. PENUTUP
Panduan layanan ini merupakan Panduan Umum yang bertujuan menjadi
pegangan bagi pemberi layanan psikologi di dalam masa tanggap darurat COVID-
19. Hal yang patut dicatat adalah mengenai etika, pengenalan akan kompetensi
diri para pemberi layanan. Apabila pemberi layanan menghadapi masalah di luar
kompetensinya, pemberi layanan harus melaksanakan pengalihan layanan kepada
pihak lain yang lebih kompeten.
Apabila ada hal-hal yang belum disampaikan dalam panduan ini, para pemberi
layanan dapat mengacu pada sumber-sumber yang dapat dipercaya, misalnya dari
World Health Organization, American Psychological Association, maupun
peraturan resmi dari pemerintah Republik Indonesia. Panduan ini adalah panduan
edisi pertama, yang dalam perkembangannya dimungkinkan untuk mengalami
perubahan, dengan memperhatikan situasi dan kondisi di lapangan, kebutuhan
masyarakat, serta saran-saran pelaksanaan dari para pengguna panduan. Apabila
ada perubahan, maka HIMPSI akan menyampaikannya kepada pihak-pihak terkait.
Demikian panduan ini disusun. Semoga Panduan ini dapat menjadi pedoman
standar bagi para pemberi layanan psikologi dalam memberikan kontribusi dalam
masyarakat.
1. Arif, A.2020.
https://megapolitan.kompas.com/read/2020/03/18/08082721/kisah-
perjuangan-pasien-covid-19-di-tengah-ketidakpastian-dan-
kebingungan?page=2. (diakses 25 Maret 2020).
2. Brooks, K.S., Webster, R.K., Smith, L.E., … & G.J., Rubin. 2020. The
Psychological impact of quarantine and how to reduce it: rapid review of the
evidence. The Lancet, Vol 395, 912-20.
3. Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kementerian
Kesehatan RI. 2020. Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Corona Virus
Disease (COVID-19), Rev 3 (16 Maret 2020).
4. Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19. 2020. Pedoman
penanganan cepat medis dan kesehatan masyarakat COVID-19 di Indonesia.
Jakarta: Author.
5. Himpunan Psikologi Indonesia. 2010. Kode Etik Psikologi Indonesia. Jakarta:
Author.
6. Joint Task Force for the Development of Telepsychology Guidelines for
Psychologists-American Psychological Association. 2013. Guidelines for the
practice of telepsychology
7. Kampf, G., Todt, D. , Pfaender, S., & Steinmann, E. (2020). Persistence of
coronaviruses on inanimate surfaces and their inactivation with biocidal agents.
Journal of Hospital Infection, 104.
8. Krupinski, E.A. & Bernard, J. 2014. Standard and Guidelines in Telemedicine
and Telehealth, Healthcare, 2(1), 74-93.
9. Rumah Sakit Cipto Mangunkusomo, 2020. Informasi pencegahan penyebaran
COVID-19 di Rumah Sakit.
10. The American Psychological Association. 2017. Ethical principles of
psychologist and code of condunct. Washington, DC: Author.
11. The American Psychological Association. Guidelines for telepsychology- Office
& Technology. Checklist for Telepsychological Services.
12. The American Psychiatric Association and the American Telemedicine
Associaton. 2018. Best Practices in Videoconferencing-based Telemental
Health.
c Apakah lokasi cukup privat? Tidak bising dan tidak ada lalu lalang?
c Apakah psikolog telah memastikan penerangan yang cukup dalam
ruangan dan tidak ada refleksi cahaya yang menyilaukan jika dilihat
dilayar klien?
c Pastikan psikolog memposisikan kamera sedemikian rupa, agar mudah
dilihat dan melihat klien, sehingga kontak mata terjaga.
c Pertimbangkan untuk menyingkirkan hal-hal yang berpotensi
mengganggu dari latarbelakang dimana psikolog duduk, sehingga klien
tidak teralihkan perhatiannya pada hal-hal yang tidak perlu atau bahkan
mengganggu.
c Psikolog memastikan kualitas gambar dan suara pada awal sesi,
termasuk koneksi. Pastikan tidak ada yang termatikan moda suaranya
(mute)
c Psikolog perlu memastikan adanya kontak mata yang stabil dan suara
yang jelas sepanjang sesi.