Anda di halaman 1dari 40

Layanan Psikososial

Menghadapi Bencana
Untuk Anak dan Lansia

Prof.Dr.M.Noor Rochman Hadjam,SU,Psikolog


Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Wakil Ketua Majelis Diktilitbang PP.Muhammadiyah

p
PERGURUAN TINGGI MUHAMMADIYAH-AISYIYAH
PTM 158 PTA 8 = 166 PTMA
JUNI 2019
MEMPUNYAI PRODI KESOS SEBANYAK 7
• UMJ
• UMM
• UMSU
• UM KUPANG
• STISIP MADIUN
• UNISMUH MAKASAR
• UM PALANGKARAYA
Pendahuluan
Dampak Bencana
• Bencana alam merupakan hal yang umum terjadi di negara
berkembang, dan mengalami peningkatan disebabkan oleh
perubahan iklim (Aalst, 2006).
• Bencana alam merupakan salah satu ancaman yang paling umum
dihadapi oleh Indonesia.
• Indonesia rentan mengalami gempa bumi, gunung Meletus, banjir,
dan bencana alam lainnya (Center for Excellence in Disaster
Management & Humanitarian Assistance (CFE-DMHA), 2015).
Dampak Bencana
• Bencana alam dapat menimbulkan konsekuensi psikis yang dapat
mempengaruhi kehidupan korban bencana alam di kemudian hari.
• Sayangnya, aspek psikis/mental korban setelah bencana, terkadang
belum ditangani dengan tepat dan komprehensif.
• Salah satu permasalahanya adalah kurangnya intervensi psikologis
(Rabei, Nakhaee, & Pourhosseini, 2014).
Dampak Bencana: Jangka Pendek
“Reaksi Normal terhadap situasi Abnormal” bukan “Trauma”
• Masyarakat biasanya mengalami kesulitan dalam hal perencanaan,
pengambilan keputusan, mengatur prioritas, dan mengantisipasi kebutuhan
mendatang.
• Meraka merasa mati rasa, terkejut, bingung, atau tidak yakin akan masa
depannya.
• Reaksi emosi dapat pula tertunda atau dilampiaskan pada hal yang kurang
penting.
• Selain itu, kesulitan dalam mengingat, dan berpikir juga dapat terjadi pada
korban bencana.
(Center for Public Mental Health (CPMH), 2018)
Dampak Bencana: Jangka Menengah
• Satu minggu atau satu bulan setelah bencana, anak-anak, remaja, dan orang dewasa
akan merasakan kondisi emosi yang beragam.
• Kondisi emosi yang biasanya dirasakan diantaranya perasaan tidak menyenangkan,
takut, duka, sedih, marah, merasa tidak pasti akan masa depan.
• Masyarakat seringkali dipenuhi oleh kondisi penuh tekanan selama berbulan-bulan
dalam periode pemulihan, yang berdampak pada penurunan kondisi kesehatan,
peningkatan tingkat kecelakaan dan memperburuk hubungan interpersonal.
• Namun, di sisi lain, mereka juga dapat merasakan altruisme, kebersamaan, dan saling
memperhatikan.

(Center for Public Mental Health (CPMH), 2018)


Dampak Bencana: Jangka Panjang
• Orang dewasa dan anak-anak dapat merasa terisolasi dari teman dan keluarga,
disebabkan oleh konsekuensi bencana yang bersifat lama, terkadang tidak dipahami
oleh kerabatnya.
• Masalah umum: Kesulitan ekonomi, penurunan kualitas hidup, kesehatan, dan trauma
• Komunitas mengalami perubahan dan tidak merasakan kesamaan seperti sebelumnya.
• Banyak dari masalah sosial, pernikahan, masalah keluarga yang tertunda, muncul
kembali dan berujung pada krisis.
• Sebaliknya, pengalaman bencana juga dapat memberikan pemahaman baru,
peningkatan kebijaksanaan, perubahan prioritas yang positif, dan pengembangan
kekuatan dalam menghadapi stres, yang dapat membantu mereka di kemudian hari.

(Center for Public Mental Health (CPMH), 2018)


Kelompok Rentan
• Anak, orang tua, dan perempuan merupakan golongan paling rentan mengalami
kematian ketika bencana (Frankenberg, Gillespie, Preston, Sikoki, & Thomas, 2011).
• Pada anak-anak paparan pada bencana satu bulan terakhir meningkatkan risiko
mengalami penyakit akut seperti diare, demam, dan gangguan pernapasan akut.
• Paparan bencana satu tahun sebelumnya mengurangi tinggi dan berat badan, dan
meningkatkan risiko stunting & berat badan rendah (Datar, Liu, Linnemayr, & Stecher,
2013), rentan mengembangkan PTSD (Guha-Sapir, Panhuis, & Lagoutte, 2007)
rendahnya fungsi, kesehatan buruk, dan rentan mengalami kemiskinan di masa
dewasa (Caruso, 2017).
Kelompok Rentan
• Orangtua yang terdampak bencana rentan mengalami kekerasan,
dan tindakan tidak menyenangkan.
• Jenis kekerasan dan tindakan yang tidak menyenangkan, yang
paling umum di antarantya masalah pencurian, penipuan,
pengabaian, dan kekerasan fisik (Gutman & Yon, 2014).
Faktor Risiko
Faktor Risiko: Anak
Faktor risiko pada anak diantaranya,
• Paparan terhadap kekerasan di lingkungan komunitas anak, seperti
tempat tinggal, sekolah, dan keluarga, dan
• Riwayat Gejala somatis pada anak (Lai, et al., 2018).
• Kondisi fisik dan psikologis yang masih berkembang (Peek, 2008).
• Rendahnya kemandirian
• Status sosial rendah yang rendah (legalitas, jenis tempat tinggal,
kemiskinan)
• Fasilitas penunjang perkembangan anak yang rendah (Sekolah, Rumah,
dll) (Fothergill, 2017).
Faktor Risiko: Anak
• Faktor tersebut dapat mempengaruhi seberapa besar dampak bencana
dirasakan oleh anak.
• Secara psikologis anak yang memiliki factor risiko lebih rentan
mengembangkan gejala stress pasca trauma.
• Secara fisik anak yang memiliki factor risiko rentan mengalami kematian,
luka berat, penyakit, dan kekerasan (Peek, 2008)..
• Selain itu, anak yang terdampak bencana rentan mengalami kehilangan
orangtua/pengasuh, & longterm displacement (Fothergill, 2017).
• Hal ini akan menyebabkan gangguan perkembangan dan Pendidikan
anak
Faktor Risiko: Orang Tua
Faktor Risiko pada Orang Tua (Lansia) di antaranya:
• Persepsi & Pandangan negative terhadap bencana (Almazan, et al.,
2019).
• Kurangnya pengetahuan menghadapi bencana
• Kurangnya penyesuaian diri dengan lingkungan (Brockie & Miller, 2017).
• Disabilitas fisik dan mental
• Tingkat Pendidikan yang rendah
• Penurunan fungsi kognitif dan fisik
• Kesendirian (Gutman & Yon, 2014)
Faktor Risiko: Orangtua
• Adanya factor risiko dapat menghambat proses pemulihan pada
lansia (Almazan, et al., 2019).
• Bencana menyebabkan trauma fisik dan psikis jangka Panjang pada
lansia (Almazan, et al., 2018).
• Lansia umumnya rentan mengalami kejadian tidak menyenangkan
pasca bencana.
• Hal tersebut di antaranya mengalami kekerasan, dan penipuan
(Gutman & Yon, 2014).
Faktor Protektif
Faktor Protektif: Anak
Dampak bencana dapat diminimalisir oleh anak, ketika memiliki factor
protektif yang di antaranya:
• Adanya sosok kuat yang mendukung anak (Frankenberg, Gillespie,
Preston, Sikoki, & Thomas, 2011).
• Fasilitas penunjang perkembangan anak yang baik
• Mendapat dan memberikan dukungan
• Pelayanan bencana khusus anak yang memadahi (Peek, 2008).
• Kemandirian & kreativitas
• Pengetahuan Kebencanaan (Fothergill, 2017).
• Resiliensi (Rahiem, Krauss, & Rahum, 2018).
Faktor Protektif: Anak
• Anak yang memiliki factor protektif lebih resilience dalam
menghadapi bencana.
• Mengembangkan anak yang resilience terhadap bencana
melibatkan beberapa variable psikososial:
1. Dukungan orang lain (Rahiem, Krauss, & Rahum, 2018).
2. Locus of control: Internal
3. Pola fikir berkembang (tidak kaku)
4. Kepribadian Tangguh (Brown, 2015)
Faktor Protektif: Lansia
Dampak bencana dapat diminimalisir oleh lansia, ketika memiliki factor
protektif yang di antaranya:
• Spiritualitas
• Sikap dan pandangan positif (Almazan, et al., 2018).
• Regulasi diri yang baik (Almazan, et al., 2019).
• Pengetahuan respon kebencanaan (Brockie & Miller, 2017).
• Kepribadian Tangguh
• Dukungan social
• Mekanisme coping yang baik
• Resilience (Mao, Loke, Fung, & Hu, 2019).
Faktor Protektif: Lansia
• Lansia yang memiliki factor protektif lebih resilience dalam menghadapi bencana.
• Resiliens terhadap bencana meningkat ketika dampak sosial bencana dikurangi
(Davies & Davies, 2018).
• Oleh karena itu: beberapa hal yang harus diperhatikan untuk mengembangkan
lansia yang resilience di antaranya:
1. Pemberdayaan komunitas terdampak bencana (Lam & Kuipers, 2019).
2. Pemberian dukungan social
3. Penyediaan fasilitas kesehatan yang baik
4. Menjaga keberfungsian lansia (Kwan & Christine, 2017).
Pelayanan Psikososial
Pelayanan Psikososial
• Pelayanan psikososial pada bencana melibatkan fokus pada kesehatan
mental, dukungan psikologis, dan kapasitas komunitas dalam merespon
bencana (Mooney, et al., 2011).
• Berdasarkan factor risiko dan factor protektif dari anak dan lansia,
penanganan psikososial bencana untuk mengembangkan individu yang
resilience paling tidak harus melibatkan:
1. Penanganan tepat respon segera terhadap bencana
2. Penguatan kapasitas komunitas dalam menghadapi bencana
3. Melestarikan budaya memberi dan menerima dukungan
4. Untuk anak, diperlukan pengembangan system sekolah siap
menghadapi bencana
Pelayanan Psikososial
• Oleh karena itu, diperlukan layanan psikososial dalam bentuk:
1. Psychological first aid: sebagai respon segera terhadap bencana
2. Sistem kesehatan mental komprehensif: sebagai kunci
pemulihan
3. Membangun keluarga dan komunitas yang kuat: sebagai upaya
mengembangkan resilience di level keluarga dan komunitas
4. Membangun sekolah siap menghadapi bencana: sebagai upaya
mengembangkan resilience anak
Psychological First Aid
• PFA didefinisikan sebagai bantuan psikologis dasar bagi penyintas yang
diberikan oleh masyarakat awam dan bukan profesional kesehatan
mental (Jacobs and Meyer, 2003).
• Meliputi serangkaian keterampilan yang bertujuan untuk mengurangi
distress dan mencegah munculnya perilaku kesehatan mental negatif
yang disebabkan oleh bencana atau situasi kritis yang dihadapi individu
(Everly, Phillips, Kane & Feldman, 2006).
• Perawatan dasar yang bersifat non-intrusive (mendengar namun tidak
memaksa untuk berbicara), dan mendorong pendampingan tanpa
paksaan dari orang-orang signifikan yang berada di sekitar penyintas
(Sphere, 2004).
(Center for Public Mental Health (CPMH), 2018)
Psychological First Aid
Tujuan:
• Membantu mengembalikan fungsi pasien kepada kondisi semula, sebelum situasi
krisis terjadi.
• Mencegah memburuknya kondisi psikologis pasien yang membutuhkan
penanganan khusus, sebelum bantuan profesional kesehatan mental diberikan.
• Menyediakan informasi yang dibutuhkan bagi pasien yang membutuhkan, seperti
informasi tentang pentingnya kesehatan dan kesejahteraan psikologis bagi
manusia, informasi tentang sumber – sumber bantuan, sekaligus juga melakukan
promosi kesehatan mental.
• Memenuhi kebutuhan pasien akan dukungan dan rasa aman yang hilang karena
situasi krisis yang dialami.
(Center for Public Mental Health (CPMH), 2018)
Sistem Kesehatan Jiwa Komprehensif
• Merupakan sistem yang terintegrasi dari semua sisi kehidupan,
sepanjang rentang kehidupan, dan melibatkan semua elemen di
semua level tingkatan jenjang sistem kesehatan yang ada.
• Oleh karena itu, masyarakat dapat terpelihara kesehatan jiwanya.
• Masyarakat yang sehat dapat memelihara dan mempertahankan
kesehatan jiwanya.
• Masyarakat yang rentan mendapatkan dukungan yang memadai.
• Masyarakat yang sakit mendapatkan penanganan dan rehabilitasi
yang semestinya.
(Center for Public Mental Health (CPMH), 2018)
Sistem Kesehatan Jiwa Komprehensif
Untuk mencapai sistem kesehatan jiwa yang komprehensif tersebut,
diperlukan tiga program kunci yaitu:
• Memperkuat sistem kesehatan jiwa di tingkat primer
• Memperkuat ketahanan keluarga
• Membangun sistem kesehatan jiwa berbasis sekolah

(Center for Public Mental Health (CPMH), 2018)


Memperkuat Sistem Kesehatan
Jiwa di Tingkat Primer

• Puskesmas merupakan tulang punggung sistem kesehatan jiwa.


• Pelayanan kesehatan jiwa di Puskesmas menjadi strategis karena
langsung bersentuhan dengan masyarakat.
• Penguatan sistem kesehatan jiwa harus meliputi: promosi, prevensi,
kurasi dan rehabilitasi kesehatan jiwa.
• Selain itu, koordinasi antar fasilitas kesehatan juga perlu dilibatkan
untuk melakukan family reunification process (untuk anggota
keluarga yang terpisah akibat bencana) yang efektif (Gubbins &
Kaziny, 2018).
(Center for Public Mental Health (CPMH), 2018)
Memperkuat Sistem Kesehatan Jiwa di
Tingkat Primer
Memperkuat layanan kesehatan jiwa di Puskesmas dapat ditempuh dengan dua
hal:
• Menempatkan Psikolog di Puskesmas (dengan dana BLUD, PNS atau sumber
lain)
• Melatih dokter dan perawat untuk memahami kesehatan jiwa, deteksi dini,
promosi-prevensi dan penanganannya
Jika memilih pilihan a) perlu dipikirkan langkah-langkah strategis untuk
mencapainya
Jika memilih pilihan b) perlu dianalisis beban kerja dokter dan perawat di
Puskemas
(Center for Public Mental Health (CPMH), 2018)
Memperkuat Ketahanan Keluarga
• Keluarga yang sejahtera akan menghasilkan pondasi kehidupan
bermasyarakat yang kuat, sebaliknya keluarga yang rentan mendorong
lemahnya pondasi kehidupan bermasyarakat (KemenPPA, 2016).
• Kekuatan dari sebuah keluarga dilihat dari proses adaptasi menghadapi
tekanan tersebut (Nichols & Schwartz, 2004).
• Proses adaptasi keluarga pada tekanan terkait dengan konsep ketahanan
keluarga (familiy resilience/familiy strength).
• Ketahanan keluarga didefinisikan sebagai kemampuan keluarga untuk
melindungi dari dari permasalahan dari dalam maupun dari luar
(KemenPPA, 2016).
(Center for Public Mental Health (CPMH), 2018)
Memperkuat Ketahanan Keluarga
• Permasalahan pada keluarga, cenderung muncul beberapa tahun setelah bencana.
• Keluarga, pada saat ini biasanya akan menghadapi krisis yang diakibatkan oleh dampak jangka panjang
bencana.
• Untuk mencegah terjadinya permasalahan tersebut, diperlukan adanya penguatan ketahanan keluarga.
• Hal yang dituju terkait penguatan ketahanan keluarga diantaranya, aspek fisik ekonomi, dan aspek sosial
psikologis.
1. Aspek fisik ekonomi mencakup manajemen hutang, pemberdayaan, gaya hidup bersih dan sehat,
dan memprioritaskan pendidikan.
2. Aspek sosial psikologis mencakup, spiritualitas dan religiusitas, kehidupan sosial positif, komunikasi
dan kebersamaan, dan komitmen serta fungsi peran (Andayani & Setiyawati, 2017)

(Center for Public Mental Health (CPMH), 2018)


Membangun Sistem Kesehatan
Jiwa Berbasis Sekolah

• Dampak jangka panjang pada bencana yang terkait dengan anak-anak


dan remaja, adalah terpengaruhnya performa akademik, dan munculnya
masalah perilaku di kemudian hari.
• Hal ini menunjukan adanya kebutuhan untuk penanganan bencana
jangka panjang berbasis sekolah.
• Salah satu hal yang dapat dilakukan adalah, membangun sistem
kesehatan jiwa berbasis sekolah.
• Sistem kesehatan jiwa berbasis sekolah, bertujuan untuk membuat anak
tumbuh dan berkembang secara optimal, bahagia dan berprestasi.
(Center for Public Mental Health (CPMH), 2018)
Membangun Sistem Kesehatan Jiwa Berbasis
Sekolah
• Penerapan sistem kesehatan jiwa berbasis sekolah, diharapkan dapat
membuat siswa mengenali potensi dirinya, mengisi waktunya dengan
produktif, menjadi individu yang tangguh, dan mampu berkontribusi
untuk komunitasnya.
• Secara umum, harapan tersebut dapat dicapai, jika masyarakat sekolah
memiliki 3 prinsip utama.
1. Pertama, masyarakat sekolah memandang anak secara positif.
2. Kedua, setiap orang memiliki kontribusi terhadap kesejahteraan anak.
3. Ketiga, diperlukan partisipasi aktif, oleh seluruh masyarakat sekolah
(Center for Public Mental Health (CPMH), 2017).
(Center for Public Mental Health (CPMH), 2018)
Membangun Sistem Kesehatan Jiwa Berbasis
Sekolah
Penerapan sistem kesehatan jiwa berbasis sekolah, harus memiliki empat komponen penting.
1. Penerapan sistem, harus disertai dengan adanya kesadaran dari seluruh pemangku
kepentingan.
2. Selain itu, kebijakan yang mendukung, seperti anti bullying, kesejahteraam karyawan, dan
bimbingan konseling, harus mengiringi sistem ini.
3. Guru dan siswa, terlatih sesuai porsinya dalam hal, pencegahan, penyembuhan, dan
pemulihan kesehatan mental.
4. Bagaimanapun juga, komponen tersebut harus pula disertai kejelasan mengenai standar
pelaksanaan penanganan masalah kesehatan mental, sehingga sistem kesehatan mental,
berjalan dengan semestinya (Center for Public Mental Health (CPMH), 2017).

(Center for Public Mental Health (CPMH), 2018)


Membangun Sistem Kesehatan Jiwa Berbasis
Sekolah
• Sistem kesehatan jiwa berbasis sekolah yang siap menghadapi bencana
paling tidak melibatkan adanya pelatihan pada guru dan siswa dalam
menghadapi bencana
• Upaya tersebut mencakup pelatihan mengenai: pemahaman akan
bencana dan konsekuensi bencana, konsekuensi psikososial bencana,
kesiapan psikososial dalam bencana, dan kesiapan psikososial pada level
individu, keluarga, dan komunitas (Elangovan & Kasi, 2015).
• Pada guru mencakup: pelayanan psikososial, pelayanan psikososial pada
terhadap anak, kesiapan psikososial dalam menghadapi bencana untuk
anak (Elangovan & Kasi, 2015).
Penutup
Kesimpulan
• Kunci utama pembangunan komunitas yang resilience adalah
pemberdayaan masyarakat local yang terdampak bencana.
• Tanpa hal ini, intervensi resiliens tidak akan efektif dan cenderung
akan gagal (Lam & Kuipers, 2019).
• Oleh karena itu, dengan diterapkannya program pelayanan
psikososial seperti PFA, dan system kesehatan jiwa komprehensif
(layanan primer, keluarga, sekolah), diharapkan dapat mengatasi
dampak negative bencana baik jangka pendek, menengah, maupun
Panjang.
Referensi
Aalst, M. K. (2006). The impacts of climate change on the risk of natural disasters. Disasters.
Almazan, J. U., Albougami, A. S., Alamri, M. S., Colet, P. C., Adolfo, C. S., Allen, K., . . . Boyle, C. (2019). Disaster-related resiliency theory among older
adults who survived typhoon Haiyan. International Journal of Disaster Risk Reduction, 101-171.
Almazan, J. U., Cruz, J. P., Alamri, M. S., Alotaibi, J. S., Albougami, A. S., Gravoso, R., . . . Bishwajit, G. (2018). Predicting patterns of disaster-related
resiliency among older adult typhoon Haiyan Survivors. Geriatric Nursing, 629-634.
Brockie, L., & Miller, E. (2017). Older adults disaster lifecycle experience of the 2011 and 2013 Queensland floods. International Journal of Disaster Risk
Reduction, 211-218.
Brown, R. (2015). Building children and young people's resilience: Lessons from psychology. International Journal of Disaster Risk Reduction, 115-124.
Caruso, G. D. (2017). The legacy of natural disasters: The intergenerational impact of 100 years of disasters in Latin America. Journal of Development
Economics, 209-233.
Center for Excellence in Disaster Management & Humanitarian Assitance (CFE-DMHA). (2015). Indoneisa Disaster Management Reference Handbook.
Hornet Ave: CFE-DMHA.
Center for Public Mental Health (CPMH). (2018). Kerangka Kerja Pemulihan Psikososial Jangka Panjang Pasca Bencana Nusa Tenggara Barat: Sebuah
Rekomendasi. Yogyakarta: CPMH.
Datar, A., Liu, J., Linnemayr, S., & Stecher, C. (2013). The impact of natural disasters on child health and investments in rural India. Social Science &
Medicine, 83-91.
Davies, T. R., & Davies, A. J. (2018). Increasing communities resilience to disasters: An impact-based approach. International Journal of Disaster Risk
Reduction, 742-749.
Elangovan, A. r., & Kasi, S. (2015). Psychosocial disaster preparadness for school children by teachers. International Journal of Disaster Risk Reduction,
119-124.
Fothergill, A. (2017). Children, youth, and disaster in the disaster life cycle. Children, Youth, and Disaster.
Frankenberg, E., Gillespie, T., Preston, S., Sikoki, B., & Thomas, D. (2011). Mortality, the family and the Indian Ocean Tsunami. The Economic Journal, 162-
182.
Gubbins, N., & Kaziny, B. D. (2018). The importance of family reunification in pediatric disaster planning. 252-259.
Guha-Sapir, D., Panhuis, W. G., & Lagoutte, J. (2007). Short communication: patterns of chronic and actue desease after natural disasters - a study from
the international committee of the red cross field hospital in Banda Aceh after 20004 Indian Ocean Tsunami. Tropical Medicine & International
Health.
Gutman, G. M., & Yon, Y. (2014). Elder abuse and neglect in disasters: Types, prevalence and research gaps. International Journal of Disaster Risk
Reduction, 38-47.
Referensi
Hemachandra, K., Amaratunga, D., & Haigh, R. (2018). Role of women in disaster risk governance. Procedia Engineering, 1187-1194.
Kwan, C., & Christine, W. A. (2017). Seniors disaster resilience: A scoping review of the literature. International Journal of Disaster Risk Reduction, 259-273.
Lai, B. S., Osborne, M. C., Lee, N., Self-Brown, S., Esnard, A.-M., & Kelley, M. L. (2018). Trauma-informed schools: child disaster exposure, community
violance and somatic symptoms. Journal of Affective Disorders, 586-592.
Lam, L. M., & Kuipers, R. (2019). Resilience and disaster governance: Some insights from the 2015 Nepal eartquake. International Journal of Disaster Risk
Reduction, 321-331.
Lozon, M. M., & Bradin, S. (2018). Pediatric disaster preparadness. Pediatr Clin N Am, 1205-122-.
Mao, X., Loke, A. Y., Fung, O. W., & Hu, X. (2019). What it takes to be resilient: The views of disaster healthcare rescuers. International Journal of Disaster
Risk Reduction, 101-112.
Mooney, M. F., Paton, D., de Terte, I., Johal, S., Karanci, A. N., Gardner, D., . . . Johnston, D. (2011). Psychosocial recovery from disasters: Framework
informed by evidence. New Zealand Journal of Psychology, 26-38.
Pascapurnama, D. N., Murakami, A., Chagan-Yasutan, H., Hattori, T., Sasaki, H., & Egawa, S. (2018). Integrated health education in disaster risk reduction:
Lesson learned from disease outbreak following natural disasters in Indonesi. International Journal of Disaster Risk Reduction, 94-102.
Peek, L. (2008). Children and disasters: Understanding vulnerability, developing capacities, and promoting resilience - an introduction. Children, Youth,
And Environtments, 1-29.
Proulx, K., & Aboud, F. (2019). Disaster risk reduction in early childhood education: effects on preschool quality and child outcomes. International Journal
of Educational Development, 1-7.
Rabei, A., Nakhaee, N., & Pourhosseini, S. S. (2014). Shortcoming in dealing with psychological effect of natural disasters in Iran. Journal of Public Health,
1132-1138.
Rahiem, M. D., Krauss, S. E., & Rahum, H. (2018). The child victims of the Aceh Tsunami: Stories of resilience, coping, and moving on with life. Procedia
Engineering, 1303-1310.
Siskind, D. J., Sawyer, E., Lee, I., Lie, D. C., Martin-Khan, M., Farrington , J., . . . Kisely, S. (2016). The mental health of older persons after human-induced
disasters: A systematic review and meta-analysis of epidemiological data. American Journal of Geriatric Psychiatry, 379-388.

Anda mungkin juga menyukai