Anda di halaman 1dari 36

MAKALAH

PERAN MASYARAKAT TERHADAP PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA


NARKOTIKA
Disusun Untuk Tugas
Kelas: Hukum Tindak Pidana Narkotika (A)
Dosen Pengampu: Riska Andi Fitriono S.H.,M.H

Nama:
Erinda Elza Navara (E0019138)
Giovanny Andreana (E0019177)
Ignatius Hiroyama Simarmata (E0019196)
Kasih Karunia (E0019222)
Muhammad Ezar Abhista (E0019280)
Muhammad Shalahuddin Al Ayyubi (E0019296)
Rizkha Bayu Ardi Ananda (E0019371)
Pramidazzura Alifa Rifqi (E0020351)

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2022

1
PERAN MASYARAKAT TERHADAP PEMBERANTASAN TINDAK
PIDANA NARKOTIKA

Abstrak
Dewasa ini peredaran Narkotika semakin marak di kalangan masyarakat. Tidak
memandang kaya atau miskin, tua atau muda, tidak terlepas juga public figure/ artis
juga ikut mengkonsumsi barang haram tersebut. Jumlah penegak hukum yang
terbatas di Indonesia, menjadi bukti bahwa peran serta masyarakat untuk membantu
penegak hukum dalam memberantas penyalahgunaan Narkotika menjadi sangat
penting. Salah satu peran penting masyarakat adalah sigap dalam mengambil
tindakan apabila terdapat hal mencurigakan yang mengarah pada perbuatan
penyalahgunaan narkotika. Masyarakat juga berperan penting dalam pelaporan
kepada pihak yang berwajib, dan harus di imbangi dengan peran penegak hukum
yang juga harus sigap dalam menerima laporan laporan dari masyarakat, sehingga
dapat membentuk kolaborasi yang baik dalam pencegahan pemberantasan tindak
pidana narkotika. Penyalahgunaan narkoba masih menjadi masalah kronis yang
menimpa Indonesia, kasus peredaran sabu dan banyak tertangkapnya bandar-
bandar narkoba internasional dalam beberapa tahun terakhir menjadi bukti bahwa
Indonesia sedang berada dalam kondisi darurat narkoba. Pemerintah Indonesia
mengedepankan peran Kepolisian dan Badan Narkotika Nasional (BNN) dalam
rangka mencegah dan memberantas peredaran Narkoba di Indonesia. Adapun
upaya pencegahan dan pemberantasan Narkoba dilakukan dengan tiga tahapan
yaitu pertama, Preemtif yaitu upaya pencegahan yang dilakukan secara dini. Kedua,
Preventif yaitu upaya yang sifatnya strategis dan merupakan rencana aksi jangka
menengah dan jangka panjang, namun harus dipandang sebagai tindakan yang
mendesak untuk segera dilaksanakan. Ketiga, Represif, merupakan upaya
penanggulangan yang bersifat tindakan penegakan hukum mulai yang dilakukan
oleh intelijen.

Kata Kunci : Peran, Masyarakat, Pemberantasan, Narkotika

1
I. Pendahuluan
A. Latar Belakang
Penyalahgunaan narkotika dewasa ini dianggap masalah
berat diakibatkan dampak yang ditimbulkan dengan mengancam
keberlangsungan hidup seseorang hingga dapat merusak moral serta
mental generasi penerus bangsa. Narkotika merupakan bagian dari
Narkoba. WHO pada tahun 1969 memberikan definisi dari apa yang
dimaksud dengan narkoba, yang dimaksud dengan Narkoba adalah
zat kimia yang mampu mengubah pikiran, perasaan, fungsi mental,
dan perilaku seseorang menjadi tidak normal. Sedangkan yang
dimaksud dengan obat (drugs) adalah zat-zat yang apabila
dimasukkan ke dalam tubuh organisme yang hidup, maka akan
mengadakan perubahan pada satu atau lebih fungsi-fungsi organ
tubuh.1 Penyalahgunaan tidak hanya dilakukan oleh segelintir orang
saja, namun sudah menjadi wabah dan telah menjangkau seluruh
lapisan masyarakat. Atas dasar itu, untuk mencegah dan
memberantas peredaran serta penyalahgunaan narkoba pemerintah
telah mengeluarkan kebijakan namun pada kenyataannya kasus
narkotika semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Indonesia juga menjadi sasaran bagi para pengedar narkoba,
karena di Indonesia para pengedar narkoba bisa menjual barang
haram tersebut dengan mudah karena masih kurangnya pengawasan.
Penyalahgunaan narkoba serta peredarannya yang telah mencapai
seluruh penjuru daerah dan tidak lagi mengenal strata sosial
masyarakat, penyalahgunaan narkoba saat ini tidak
hanya menjangkau kalangan yang tidak berpendidikan saja akan
tetapi penyalahgunaan narkoba telah menyebar di semua kalangan
bahkan sampai pada kalangan berpendidikan. Selain itu,

1
Tim BNN, Materi Advokasi Pencegahan Narkoba, (Jakarta: Badan Narkotika Nasional
Republik Indonesia, 2005), H. 7

2
pengawasan pemerintah yang lemah terhadap pengedaran narkoba
pun membuat pengedar narkoba semakin mudah untuk menjalankan
transaksinya. Kehidupan di jaman modern sangat jauh dari kata
ramah, hal ini terlihat dari tingginya tingkat kesibukan masyarakat,
tingginya angka depresi, banyaknya anak-anak yang kurang
perhatian orang tua, dan begitu beragamnya kegiatan yang dilakukan
sampai dengan ramainya kegiatan di jam-jam malam, ini terlihat dari
banyaknya tempat hiburan malam yang buka dan berkembang. Hal
ini sangat mempengaruhi pola kehidupan masyarakat, salah satunya
adalah keberadaan obat bius dan zat-zat narkotika.2Peredaran
narkoba yang dilakukan dengan teknik canggih telah merambah
seluruh Indonesia. Dapat dikatakan terjadi perubahan modus dari
para sindikat, dimana khusus jenis psikotropika tidak lagi diimpor
namun pengedarnya lebih memilih membuat pabrik untuk
memproduksi sendiri. Pengadaan bahan baku, peracikan, hingga
perekrutan orang terkait pembagian tugas dalam memproduksi
narkoba benar-benar direncanakan dengan baik. Hal ini dapat
dikatakan ketika melihat tren kasus pabrik-pabrik narkotik yang
terus bermunculan. Tindak pidana narkotika telah bersifat
transnasional yang dilakukan dengan menggunakan modus operandi
yang tinggi, teknologi yang canggih, didukung oleh jaringan
organisasi yang luas, dan sudah banyak menimbulkan korban
terutama di kalangan generasi muda yang sangat merugikan
kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. Indonesia yang pada
mulanya sebagai Negara transit perdagangan narkoba, kini sudah
dijadikan daerah tujuan operasi oleh jaringan Narkoba Internasional.
Tingginya angka penyalahgunaan narkoba tersebut juga disumbang
oleh ulah pada sindikat narkoba. Sebagian besar penyalahgunaan
berada pada kelompok coba pakai terutama pada kelompok pekerja.

2Julianan Lisa FR, Nengah Sutrisna W, Narkotika,Psikotropika dan gangguan jiwa, Nuha
Medika,Yoygakarta, 2013, hal.2.

3
Alasan penggunaan Narkoba karena pekerjaan yang berat,
kemampuan sosial ekonomi, dan tekanan lingkungan teman kerja
merupakan faktor pencetus terjadinya penyalahgunaan Narkoba
pada kelompok pekerja. Proses perubahan sosial yang tengah
berlangsung di Indonesia menandai pula perkembangan kota-kota
dengan kompleksitas fungsinya yang tidak lagi hanya mempunyai
fungsi administratif dan komersial, melainkan tumbuh sebagai
simpul interaksi sosial yang mempengaruhi sistem nilai dan norma
serta perilaku warga masyarakat. Peraturan perundangundangan
hadir dimana hukum berfungsi sebagai pengendali sosial (social
control), memaksa warga masyarakat untuk mematuhi peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Undangundang yang mengatur
mengenai narkotika sebagai hukum yang wajib ditaati, karena
dibentuk atas kerjasama antara wakil-wakil rakyat dengan
pemerintah. Ini artinya telah ada kesepakatan antara rakyat dengan
pemerintah tentang peraturan narkotika, yang sama-sama harus
ditaati oleh semuanya. Adapun tujuannya, agar hukum dapat
diberlakukan dengan lancar sesuai dengan tujuan yang diharapkan.
Masyarakat termasuk kedalam lembaga yang berhak untuk
turut serta dalam bidang pencegahan, penangulangan,
pemberantasan penyalahgunaan serta peredaran gelap narkoba.
Peran serta yang aktif dari masyarakat untuk mencegah dan
memberantas Narkoba dapat dilihat dengan tumbuh suburnya
lembaga-lembaga yang bergerak dalam bidang pencegahan dan
penanggulangan Narkoba. Lembaga-lembaga tersebut menunjukkan
semakin peduliannya dan juga berkompetensi untuk turut serta
menanggulangi permasalahan Narkoba.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
juga menjelaskan bahwa peran serta masyarakat sebagai subjek dan
objek dalam pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan
peredaran gelap narkoba perlu terus ditingkatkan. Dalam kaitannya

4
dengan ini, peran masyarakat adalah termasuk ke dalam lembaga
swadaya masyarakat dalam program pencegahan pemberantasan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkoba sungguh sangat
besar. Karena dengan adanya peran serta dari masyarakat dalam
pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran
gelap narkoba, dapat membantu penegak hukum serta pemerintah
dalam menurunkan angka pengguna atau pengedaran narkoba di
Indonesia. Maka dari itu sangatlah penting bagi masyarakat dan juga
pemerintah untuk ada suatu kesamaan paham dalam pencegahan dan
pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba agar
dapat berjalan efektif, efisien dan berdampak.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, rumusan masalah yang
ingin diangkat dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana peran masyarakat dalam pemberantasan
narkotika?
2. Bagaimana peran penegak hukum dalam pemberantasan
narkotika?
3. Apa faktor penghambat peran serta masyarakat dalam
penanggulangan tindak pidana narkotika?
C. Tujuan
Merujuk pada rumusan masalah diatas maka penulisan ini memiliki
tujuan sebagai berikut:
1. Memberikan pemahaman mengenai peran serta masyarakat
dalam pemberantasan narkotika
2. Memberikan informasi mengenai peranan penegak hukum
dalam pemberantasan narkotika
3. Memberikan pengetahuan mengenai apa saja faktor
penghambat peran serta masyarakat dalam penanggulangan
tindak pidana narkotika saat ini

5
C. Metodologi
Metodologi yang akan digunakan dalam penulisan ini adalah
metodologi yang bersifat analisis yang bertujuan untuk
menggambarkan perilaku suatu individu, keadaan, atau gejala
kelompok tertentu dan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala
dengan gejala lain dalam masyarakat3. Pendekatan yang digunakan
dalam penulisan ini yaitu pendekatan Undang-Undang. Teknik
pengumpulan data yang digunakan yaitu dengan studi kepustakaan
(library research) dengan bahan hukum sekunder yaitu bahan
hukum yang diperoleh dengan melakukan pengkajian informasi
tertulis atau referensi hukum dari berbagai sumber seperti buku-
buku, peraturan perundang-undangan, jurnal, artikel terkait dan
informasi di internet
II. Pembahasan
A. Kerangka Teori

PERAN
MASYARAKAT
DALAM
PEMBERANTASAN
NARKOTIKA

PERAN SERTA MASYARAKAT PENGERTIAN GOLONGAN


DALAM PERATURAN KEPALA NARKOTIKA NARKOTIKA
BADAN NARKOTIKA
NASIONAL NOMOR 6 TAHUN
2012 BAB III
PENGERTIAN GOLONGAN
PSIKOTOPRIKA PSIKOTROPIKA

PERAN SERTA
MASYARAKAT DALAM
PASAL 2

PERAN PENEGAK HUKUM


PERAN SERTA
DALAM PEMBERANTASAN
MASYARAKAT DALAM
TINDAK PIDANA NARKOTIKA
PASAL 3

PENGERTIAN PENGERTIAN
PERAN SERTA PENEGAK PENEGAKAN
MASYARAKAT DALAM HUKUM HUKUM
PASAL 4

M PASAL 127 M
UU
NARKOTIKA

FAKTOR PENGHAMBAT
FAKTOR M
PENEGAK HUKUM DALAM
PENEGAK
PEMBERANTASAN TINDAK
HUKUM
PIDANA NARKOTIKA
FAKTOR
MASYARAKAT
FAKTOR M
V
HUKUM

3
Gugun Hariadi Gunawan. Peran Serta Masyarakat Dalam Penanggulangan Tindak
Pidana Narkotika (Studi Kasus Di Polres Aceh Tenggara). Jurnal Hukum dan
Kemasyarakatan Al-Hikmah. Vol. 2, No. 1. Hal. 19.

6
B. Peran Masyarakat Dalam Pemberantasan Narkotika
Pelanggaran terkait tindak pidana penyalahgunaan narkotika
diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa
narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis, yang dapat
menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa
mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat
menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan kedalam golongan-
golongan sebagaimana yang terlampir dalam undang-undang.

Narkotika bukanlah suatu hal yang baru di tengah kehidupan


masyarakat. Penyalahgunaan barang haram tersebut terjadi dimana-
mana. Peredaran Narkotika semakin marak. Tidak sedikit orang
terkenal dan publik figur juga ikut terjerumus dalam
penyalahgunaan narkotika tersebut. Narkotika berasal dari bahasa
inggris yakni “Narcotics” yang berarti obat bius. Narkotika dalam
bahasa yunani “Narcosis” yang berarti menidurkan. Pengertian
narkotika juga dikemukakan oleh beberapa ahli, antara lain, menurut
Jac Cobus narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman
dan bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat
menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa,
mengurangi sampai menghilangkan rasa dan dapat menimbulkan
ketergantungan4. Berdasarkan Undang-Undang Narkoba Nomor 35
Tahun 2009, Narkotika digolongkan dalam 3 jenis, yaitu :
1. Narkotika
pengertian Narkotika menurut Soerdjono Dirjosisworo,
Narkotika adalah zat yang bisa menimbulkan pengaruh

4
Andi Hamzah. Narkotika Di Indonesia Ditinjau Dari Berbagai Aspek. Mandar Maju:
Yogyakarta. 2000, hlmn 9

7
tertentu bagi yang menggunakannya dengan memasukkan ke
dalam tubuh. Narkotika dikelompokkan dalam 3 golongan :
a. Narkotika golongan I, merupakan narkotika yang
paling berbahaya. memiliki daya adiktif yang tinggi.
Golongan ini diperuntukkan dalam penelitian dan
ilmu pengetahuan. diantara Narkotika golongan I
adalah ganja,heroin, kokain, morfin, dan opium
b. Narkotika golongan II, adalah narkotika yang
memiliki daya adiktif kuat, tetapi bermanfaat untuk
pengobatan dan penelitian. Contoh : petidin,
benzetidin, dan betametadol.
c. narkotika golongan III, adalah narkotika yang
memiliki daya adiktif ringan, tetapi bermanfaat untuk
pengobatan dan penelitian. Contoh: kodein dan
turunannya.

2. Psikotropika
Pengertian Psikotropika adalah zat atau obat bukan
narkotika, baik alamiah maupun sintetis, yang memiliki
khasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan
saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada
aktivitas normal dan perilaku. Psikotropika digolongkan lagi
menjadi 4 kelompok :
1. Psikotropika golongan I, adalah dengan daya adiktif
yang sangat kuat, belum diketahui manfaatnya untuk
pengobatan dan sedang diteliti khasiatnya. Contoh:
MDMA, LSD, STP, dan ekstasi.
2. Psikotropika golongan II, adalah psikotropika
dengan daya adiktif kuat serta berguna untuk
pengobatan dan penelitian. Contoh : amfetamin,
metamfetamin, dan metakualon.

8
3. Psikotropika golongan III,adalah psikotropika
dengan daya adiksi sedang serta berguna untuk
pengobatan dan penelitian. Contoh : lumibal,
buprenorsina, dan fleenitrazepam.
4. Psikotropika golongan IV, adalah psikotropika yang
memiliki daya adiktif ringan serta berguna untuk
pengobatan dan penelitian. Contoh : nitrazepam (BK,
mogadon, dumolid) dan diazepam5
Pada dasarnya, Narkotika memiliki manfaat yang sangat
dibutuhkan dalam dunia kesehatan, yang mana digunakan untuk
mengobati penyakit tertentu. Tetapi dalam penggunaannya harus
ada pengawasan dari dokter atau pihak-pihak yang mempunyai
kewenangan yang diberikan. Narkotika hanya boleh digunakan
sesuai dengan standar pengobatan yang telah ditentukan, karena
penggunaan yang tidak sesuai ketentuan atau adanya
penyalahgunaan akibatnya sangat merugikan diri sendiri, orang lain,
dan dapat menghancurkan masa depan6.
Aturan hukum mengenai penyalahgunaan dan peredaran
Narkotika tidak hanya sebatas pada tindakan dengan menghukum
pelanggar sebanyak- banyaknya. Namun yang lebih substansial
adalah bagaimana upaya pemerintah agar dapat membimbing setiap
warga masyarakat agar tidak kecanduan untuk menyalahgunakan
Narkotika. Kebijakan pemerintah dalam rangka penanggulangan
tindak pidana Narkotika tidak hanya bersifat penerapan prosedur
hukum belaka, tapi lebih substansial ialah membangun tatanan
hukum dalam suatu sistem hukum nasional yang bermanfaat untuk
kepentingan nasional.

5
Bayu Puji Hariyanto, Pencegahan Dan Pemberantasan Narkoba Di Indonesia. 2018.
Jurnal Daulat Hukum. Vol.1, Hal. 204
6
Dheny Wahyudi, Usman, Haryadi, dan Erwin. Peran Serta Masyarakat Dalam
Pencegahan dan Penanggulangan Peredaran Narkotika. 2021. Jurnal Karya Abdi. Vol. 5,
Hal. 638

9
Lawrence M. Friedman dalam bukunya Law and Behavioral
Sciences mengatakan bahwa: “the three elements together
structural, cultural, and substantive make-up totally which, for want
of a better term, we call the legal system. The living law of society,
its legal system in this revised sense, is the law as an actual process.
It is the way in which structural, cultural and substantive element
interact with each other, under the influence too, of external,
situational factors, pressing in from the large society”.7
Lawrence M. Friedman juga menyatakan bahwa agar
terciptanya suatu peraturan yang ideal adalah dipenuhinya
komponen-komponen substansi hukum (substance of the rule),
struktur (structure) dan budaya hukum (legal culture). Sebagai
suatu sistem hukum, ketiga komponen tersebut, yakni substansi
hukum, struktur hukum dan budaya hukum dapat diaktualisasikan
secara nyata.8
Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
Pasal 104 dan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997
tentang Psikotropika menegaskan bahwa masyarakat mempunyai
kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan serta membantu
pencegahan, pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap
narkotika dan prekursor Narkotika. Peran serta masyarakat ialah
peran aktif masyarakat untuk mewujudkan upaya pemberantasan
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Hak masyarakat
dalam upaya pencegahan, pemberantasan penyalahgunaan dan
peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika diwujudkan
dalam bentuk:9

7
M. Lawrence Friedman, Law and Behavioral Sciences, (New York: The Bobbs Company, Inc. 1969), Hal.104.
8
M. Lawrence Friedman, The Legal System: A Sosial Science Perspective, (New York: Russell Sage
Foundation. 1975), Hal. 11-20
9
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika pada Bab XIII Pasal 104- 108

10
a. Mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya
dugaan telah terjadi tindak pidana Narkotika dan Prekursor
Narkotika;
b. Memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh, dan
memberikan informasi tentang adanya dugaan telah terjadi
tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika kepada
Prekursor Narkotika;
c. Menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung
jawab kepada penegak hukum atau BNN yang menangani
perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika;
d. Memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya
yang diberikan kepada penegak hukum atau BNN;
Peran serta masyarakat dalam penanggulangan tindak
pidana narkotika juga terdapat dalam Peraturan Presiden Nomor 23
Tahun 2010 tentang Badan Narkotika Nasional Pasal 49: dalam
rangka memberikan kesempatan yang seluas- luasnya kepada
masyarakat untuk berperan serta dan membantu pelaksanaan
P4GN, BNN dapat memfasilitasi dan mengkoordinasikan
pembentukan wadah peran serta masyarakat.10 Pasal 50
menyebutkan: wadah peran serta masyarakat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 49 dapat berupa forum koordinasi, pusat
pelaporan dan informasi, serta wadah lainnya sesuai kebutuhan.
Peran serta masyarakat yang dikumpulkan dalam suatu wadah oleh
BNN dapat menjadi suatu kekuatan tersendiri karena masyarakat
mempunyai legitimasi untuk melakukan pencegahan dan
pemberantasan Narkotika tanpa adanya hak yang ditentukan oleh
Undang-Undang. Pada Bab II tentang Peran Serta Masyarakat
Pasal 2 menyebutkan bahwa peran serta masyarakat diwujudkan
dalam bentuk:

10
Direktorat Hukum, Deputi Hukum dan Kerjasama Badan Narkotika Nasional, Himpunan Perundang-
Undangan Republik Indonesia, (Jakarta, BNN RI, 2011), Hal. 261

11
1) Mencari, memperoleh, dan memberikan informasi
adanya dugaan telah terjadi tindak pidana Narkotika
dan Prekursor Narkotika;
2) Melaporkan bila mengetahui adanya
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika;
3) Mencari, memperoleh, memberikan informasi dan
melaporkan adanya penyalahgunaan dan peredaran
gelap Psikotropika, Prekursor, dan bahan adiktif
lainnya kecuali bahan adiktif tembakau dan
Alkohol;
4) Diseminasi informasi, advokasi, pemberdayaan
alternatif, dan penjangkauan penyalahgunaan
dan/atau pecandu Narkotika, Psikotropika, dan
bahan adiktif lainnya kecuali bahan untuk tembakau
dan alkohol.
Peran serta masyarakat secara eksplisit disebutkan dalam
peraturan Kepala Badan Narkotika Nasional Nomor 6 Tahun 2012,
pada Bab III Pasal 3, yaitu :
1. Wadah peran serta masyarakat dapat berupa forum
koordinasi, pusat pelaporan dan informasi, serta
wadah lainnya sesuai kebutuhan.
2. Keanggotaan wadah peran serta masyarakat berasal
dari Organisasi Non Pemerintahan atau Lembaga
Swadaya Masyarakat yang memiliki visi dan misi
di bidang pencegahan dan peredaran gelap
Narkotika, Psikotropika, Prekursor, dan bahan
adiktif lainnya. ( P4GN)
Selanjutnya disebutkan dalam Pasal 4 bahwa :
1. Badan Narkotika Nasional (BNN) memfasilitasi dan
mengkoordinasikan penentuan bentuk dan susunan

12
organisasi, rincian tata kerja, penunjukan pemimpin,
pengurus, dan keanggotaan wadah peran serta
masyarakat.
2. Pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
pada tingkat pusat dilakukan oleh Deputi
Pemberdayaan Masyarakat.
3. Pada tingkat Provinsi dilakukan oleh Kepala BNN
Provinsi dan pada tingkat Kabupaten/kota dilakukan
oleh Kepala BNN Kabupaten atau Kota.

C. Peran Penegak Hukum dalam Pemberantasan Tindak Pidana


Narkotika
Dalam suatu upaya pemberantasan tindak pidana tentunya
terdapat peranan dari pihak-pihak yang mungkin dapat terlibat yang
diharapkan dapat meningkatkan peluang suksesnya upaya
pemberantasan tindak pidana tersebut. Dalam hal upaya
pemberantasan tindak pidana narkotika, selain peran serta
masyarakat sebagaimana telah dijabarkan dalam pembahasan
sebelumnya, Indonesia sebagai negara hukum tentu memiliki aparat
penegak hukum yang mana juga memiliki peran penting dalam
upaya pemberantasan tindak pidana narkotika tersebut.
Di Indonesia dikenal dua istilah yakni penegakan hukum dan
penegak hukum. Bagi masyarakat awam hal ini mungkin terdengar
serupa. Akan tetapi penegakan hukum dan penegak hukum memiliki
arti yang berbeda. Penegakan hukum adalah proses dilakukannya
upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum
secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau
hubungan–hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara. Ditinjau dari sudut subyeknya, penegakan hukum itu
dapat dilakukan oleh subyek yang luas dan dapat pula diartikan
sebagai upaya penegakan hukum itu melibatkan semua subyek

13
hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan
aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan
sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang
berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum.
Dalam arti sempit, dari segi subyeknya itu, penegakan hukum itu
hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu
untuk menjamin dan memastikan tegaknya hukum itu, apabila
diperlukan, aparat penegak hukum itu diperkenankan untuk
menggunakan daya paksa.11
Sebagaimana penjelasan tersebut, dapat dilihat bahwa
penegakan hukum dan penegak hukum merupakan dua hal yang
berbeda namun keduanya saling berkaitan. Dimana penegakan
hukum adalah bentuk upayanya, sedangkan penegak hukum adalah
pihak atau subjek yang melakukan upaya penegakan hukum.
Menurut Drs. Petrus Hardana terdapat 5 pilar penegak hukum di
Indonesia yaitu, polisi, jaksa, hakim, lembaga pemasyarakatan, dan
advokat.12 Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa
penegak hukum di Indonesia terdiri atas Polisi, Jaksa, Hakim,
Lembaga Pemasyarakatan, serta Advokat.
Masing-masing dari penegak hukum memiliki peran dan
kewenangan yang berbeda-beda. Namun dalam penulisan ini, akan
dibahas mengenai peranan penegak hukum dalam upaya
pemberantasan tindak pidana narkotika. Penegakan hukum
mempunyai sasaran agar orang taat kepada hukum. Ketentuan
perundang-undangan yang mengatur masalah narkotika telah
disusun dan diberlakukan melalui UU Narkotika (Undang-Undang

11
PKBH Fakultas Hukum UAD, Penegakan Hukum, http://pkbh.uad.ac.id/penegakan-hukum/,
diakses pada 3 September 2022 Pukul 10.09 WIB.
12
Drs. Petrus Hardana, S.H., M.M., Implementasi Supremasi Hukum Guna
Mengoptimalkan Keamanan Dalam Negeri Dalam Rangka Memperkokoh Ketahanan
Nasional, Lembaga Ketahanan Nasional,
http://lib.lemhannas.go.id/public/media/catalog/0010-

14
Nomor 35 Tahun 2009). Meskipun demikian kejahatan yang
menyangkut tentang narkotika nampaknya masih belum dapat
benar-benar teratasi. Dalam beberapa kasus yang terjadi akhir-akhir
ini, banyak bandar dan pengedar narkotika yang tertangkap dan
mendapat sanksi berat, tetapi hal ini sepertinya tidak menimbulkan
efek jera bagi pelaku lain, bahkan ada kecenderungan untuk
memperluas daerah operasinya.13 Guna meningkatkan efektifitas
pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan serta peredaran
narkotika, diatur menimpa penguatan kelembagaan yang telah ada
ialah Badan Narkotika Nasional( BNN). Landasan hukum
pembentukan Badan Narkotika Nasional yaitu Peraturan Presiden
No 83 Tahun 2007 tentang Badan Narkotika Nasional, Badan
Narkotika Provinsi, serta Badan Narkotika Kabupaten/ Kota. Badan
Narkotika Nasional adalah lembaga non struktural yang
berkedudukan di bawah serta bertanggung jawab langsung kepada
Presiden, yang memiliki tugas serta guna melaksanakan koordinasi.
Dalam UU Narkotika, kedudukan Badan Narkotika Nasional( BNN)
ditingkatkan menjadi lembaga pemerintah nonkementerian serta
diperkuat kewenangannya guna melaksanakan penyelidikan serta
penyidikan. BNN berkedudukan di bawah Presiden serta
bertanggung jawab kepada Presiden serta memiliki perwakilan di
wilayah provinsi dan kabupaten/ kota selaku lembaga vertikal, yaitu
BNN Provinsi dan BNN Kabupaten/ Kota.
Pemberantasan narkotika tentunya tidak dapat ditekan jika
aparat penegak hukum hanya fokus pada level para pengguna.
Seharusnya pengguna maupun pecandu ditempatkan sebagai korban
maupun pasien yang harus direhabilitasi, dan yang menjadi target
operasi kepolisian adalah para pengedar/bandar. Hal ini diharapkan
dengan menangkap pengguna maka tentunya dapat membantu untuk

13
O.C. Kaligis & Associates, Narkoba dan Peradilannya di Indonesia, Reformasi Hukum
Pidana Melalui Perundangan dan Peradilan (Bandung: Alumni, 2012), hlm. 260.

15
menangkap pengedarnya yang kemudian pengguna dengan kategori
tertentu dapat dijatuhi vonis rehabilitasi seperti yang diamanahkan
dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 7 Tahun
2009 tentang Menempatkan Pemakai Narkoba ke dalam Panti
Terapi dan Rehabilitasi. Sedangkan untuk pengedarnya diberikan
sanksi pidana secara tegas bahkan jika mencukupi syarat dapat
dikenakan hingga vonis hukuman mati.14
Mengenai aturan pemidanaan (hukum) dalam kasus tindak
pidana narkotika, selain berdasarkan atas UU Narkotika juga tidak
terlepas dari KUHP. Meninjau jenis-jenis pidana Pasal 10 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu;

1) Pidana pokok yang terdiri dari pidana mati, pidana


penjara, kurungan, dan denda; serta
2) Pidana tambahan yang terdiri dari pencabutan hak-
hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, dan
pengumuman putusan hakim.15
Sejalan dengan ketentuan Pasal 10 KUHP, terdapat 4
(empat) jenis pidana dalam UU Narkotika, yaitu pidana mati, pidana
penjara, denda, serta kurungan. Untuk itu, sepanjang tidak
ditentukan lain dalam UU Narkotika maka aturan pemidanaan
mengikuti ketentuan pemidanaan sesuai dengan KUHP. Sebaliknya
apabila ditentukan tersendiri dalam UU Narkotika, maka
diberlakukan aturan pemidanaan sesuai UU Narkotika. Sebagai
contoh yaitu ketentuan Pasal 148 yang berbunyi16: “apabila putusan

14
Wenda Hartanto, Penegakan Hukum Terhadap Kejahatan Narkotika Dan Obat-Obat
Terlarang Dalam Era Perdagangan Bebas Internasional Yang Berdampak Pada
Keamanan Dan Kedaulatan Negara, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol.14 No.1 (2017),
hal.5.
15
Grahamedia Press, 3 Kitab Undang-Undang (KUHPer, KUHP, & KUHAP), (Salatiga :
Grahamedia Press, 2018), hal. 477.
16
A.R. Sujono dan Bony Daniel, Komentar dan pembahasan Undang-Undang No. 35
Tahun 2009 (Bandung: Alumni, 2012), hlm. 214.

16
pidana denda sebagaimana diatur dalam undang-undang ini tidak
dapat dibayar dan pelaku tindak pidana narkotika dan tindak pidana
prekursor narkotika, pelaku dijatuhi pidana penjara paling lama 2
(dua) tahun sebagai pengganti pidana denda yang tidak dapat
dibayar”. Aturan pemidanaan dalam Pasal 148 ini berbeda dengan
KUHP, dimana pidana pengganti atas denda yang tidak dibayar
dalam KUHP adalah kurungan dan bukan penjara. Meninjau aturan
pemidanaan dalam UU Narkotika adalah sebagai berikut, Dalam
Pasal 127 UU Narkotika yang menyatakan:
1) setiap penyalahguna :
a. Narkotika Golongan I bagi diri sendiri
dipidana dengan pidana penjara paling lama
15 (lima belas) tahun;
b. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri
dipidana dengan pidana penjara paling lama
12 (dua belas) tahun; dan
c. Narkotika Golongan III bagi diri sendiri
dipidana dengan pidana penjara paling lama
10 (sepuluh) tahun.
2) Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), hakim wajib memperhatikan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 .
3) Dalam hal Penyalah Guna sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat dibuktikan atau terbukti sebagai
korban penyalahgunaan Narkotika, Penyalah Guna
tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan
rehabilitasi sosial.

17
Pentingnya menggunakan sarana penal dalam rangka
menanggulangi kejahatan diungkapkan oleh Barda Nawawi sebagai
berikut17:

a. Sanksi pidana sangatlah diperlukan, kita tidak


dapat hidup, sekarang maupun di masa yang
akan datang tanpa pidana;
b. Sanksi pidana merupakan alat atau sarana
terbaik yang tersedia, yang kita miliki untuk
menghadapi kejahatan-kejahatan atau bahaya
besar serta untuk menghadapi ancaman-
ancaman dari bahaya;
c. Sanksi pidana suatu ketika merupakan
penjamin yang utama/terbaik dan suatu
ketika merupakan pengancam yang utama
dari kebebasan manusia. Ia merupakan
penjamin apabila digunakan secara hemat,
cermat dan secara manusiawi, ia merupakan
pengancam apabila digunakan secara
sembarangan dan secara paksa.

Kebijakan penanggulangan kejahatan dengan menggunakan


sarana penal oleh beberapa pakar kriminologi disebut juga dengan
cara berupaya melakukan pemberantasan/penindasan/penumpasan
sesudah kejahatan terjadi yaitu dengan dijatuhkannya sanksi pidana.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa


kedudukan pengguna narkotika sebagai pelaku dan sebagai korban
sangat sulit dibedakan, seolah-olah korban adalah pelaku dan pelaku
dapat terlihat seperti korban. Oleh karenanya paradigma ini tidak

17
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Tindak pidana
dengan Pidana Penjara (Semarang: Badan Penerbit UNDIP, 2013) hal. 31

18
dapat disamakan dan upaya penanggulangannya juga harus
dibedakan antara korban dan pelaku.

Pengguna narkotika yang awalnya dijamin rehabilitasi,


berdasarkan Pasal 127 tersebut diatas dapat diancam dengan
hukuman pidana. Di dalam hukum pidana dikenal “tidak ada
kejahatan tanpa korban”, sehingga dapat dikatakan bahwa mereka
menjadi korban karena kejahatan yang dilakukannya sendiri.18

Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, dapat


ditegaskan kembali bahwasanya penanganan atau pemberantasan
tindak pidana narkotika seyogyanya tidak hanya berfokus pada
pemidanaannya saja namun juga harus dapat diarahkan pada
pencegahannya. Hal ini tentunya agar dapat memutus mata rantai
peredaran dan perkembangan tindak pidana narkotika. Mengingat
bahwa tindak pidana narkotika ini sangatlah adaptif. Dimana seiring
dengan berkembangnya zaman maka motif dan metode tindak
pidana narkotika ini semakin berkembang mengikuti perkembangan
jaman juga.

Bicara peran penegak hukum, maka penegak hukum yang


paling dekat dengan masyarakat adalah kepolisian. Peran kepolisian
dalam menegakkan hukum dapat dilakukan melalui Satuan Resor
Narkoba dalam memberantas dan menanggulangi penyalahgunaan
narkoba termasuk narkotika, yaitu dengan mengadakan program
pertama pre-emptive (pembinaan), program kedua preventif
(pencegahan) dan program ketiga represif (penindakan)19. Yang

18
Wenda Hartanto, Op Cit, hal. 7
19
Wien Okta Adhy Nugroho, Peran Satuan Narkoba Dalam Pemberantasan dan
Penanggulangan Kejahatan Narkotika di Kabupaten Klaten (Studi Pada Polres Klaten),
Skripsi, (Semarang : Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang, 2011), hal.99.

19
dimaksud dengan tindakan pre-emptive, preventif, dan represif
adalah sebagai berikut :

a. Pre-emptive (Pembinaan)
Tindakan pre-emptive merupakan tindakan
kepolisian untuk melaksanakan tugas kepolisian
dengan mengedepankan himbauan dan pendekatan
kepada masyarakat dengan tujuan menghindari
munculnya potensi-potensi terjadinya permasalahan
sosial dan kejahatan di masyarakat. Tindakah pre -
emptive Polri ini dilakukan dengan komunikasi yang
bersifat persuasif dan mengajak masyarakat untuk
melakukan hal yang seharusnya dilakukan dan tidak
melakukan hal-hal yang dilarang menurut aturan dan
norma sosial kemasyarakatan. Tindakan pre-emtif ini
dilakukan oleh fungsi pembinaan masyarakat
(Binmas). Contoh kegiatan yang dilakukan adalah
dengan melakukan sosialisasi tentang bahaya-bahaya
kejahatan.20
b. Preventif (Pencegahan)
Sesuai dengan asas-asas hukum yang digunakan
kepolisian dalam melaksanakan tugasnya bahwa,
polisi harus lebih mengutamakan asas preventif,
yaitu mendahulukan tindakan pencegahan dalam
menyikapi dan menghadapi segala peristiwa yang
terjadi di masyarakat. Asas hukum tersebut diperkuat

20
Yoga Nanda Pratama & Joshua Marbun, Mengenal Tindakan Preemtif, Preventif, dan Represif
Kepolisian,
https://www.kompasiana.com/yoganandapratama/620c51bebb44865b5e51e0a2/mengenal-
tindakan-preemtif-preventif-dan-represif-
kepolisian#:~:text=Tindakan%20pre%2Demtif%20merupakan%20tindakan,sosial%20dan%20keja
hatan%20di%20masyarakat . diakses pada 3 September 2022 Pukul 11.40 WIB.

20
dengan adanya Pasal 14 Ayat (1) huruf i dalam
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menjadi
dasar hukum pelaksanaan upaya preventif oleh
polisi.21
c. Represif (Penindakan)
Upaya akhir untuk memberantas
penyalahgunaan berbagai jenis bentuk tindak pidana
narkota adalah dengan mengadakan program yang
bersifat represif yang merupakan tahapan
penindakan terhadap orang-orang yang telah
menyalahgunakan narkotika, ini merupakan
wewenang mutlak bagi kepolisian dalam
memberantas segala bentuk penyimpangan, yang
salah satunya penyalahgunaan narkotika. “Represif
adalah program penindakan terhadap produsen
bandar pengedar dan pemakai berdasarkan
hukum”22. Sedangkan, represif adalah “penindasan
/pemberantasan /penumpasan sesudah kejahatan
terjadi”23. Pelaksanaan program represif dimulai dari
penyelidikan, penyidikan sampai dengan
penangkapan yang berfungsi untuk memberikan
hukuman kepada penyalahguna agar mendapatkan
efek jera.

21
Ida Bagus Angga Prawiradana, Ni Putu Rai Yuliartini, Ratna Artha Windari, Peran Kepolisian
Dalam Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Narkotika Di Kabupaten Buleleng, e-Journal
Komunitas Yustisia Universitas Pendidikan Ganesha, Vol. 1 No.3 (2018). hal. 254-255.

22
Subagyo Partodiharjo, Kenali Narkoba dan Musuhi Penyalahgunaannya, (Jakarta :
Esensi, 2006), hal. 107
23
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan
Hukum Pidana, (Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2005). Hal. 42.

21
Selain dibantu oleh kepolisian, terdapat Lembaga yang
khusus membantu menyelesaikan kasus tindak pidana Narkotika,
yaitu BNN (Badan Narkotika Nasional). BNN Badan Narkotika
Nasional (BNN) adalah lembaga pemerintah non kementerian yang
berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden
melalui koordinasi Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Dalam melaksanakan tugas pemberantasan penyalahgunaan dan
peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, Badan
Narkotika Nasional berwenang melakukan penyelidikan dan
penyidikan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan
prekursor narkotika. Badan Narkotika Nasional (BNN) juga
bertugas menyusun dan melaksanakan kebijakan nasional mengenai
pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran
gelap psikotropika, prekursor, dan bahan adiktif lainnya kecuali
bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol. Dalam melaksanakan
tugas pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap
Narkotika dan Prekursor Narkotika, Badan Narkotika Nasional
(BNN) berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor
Narkotika. Keberadaan badan narkotika nasional sesuai dengan
Keppres RI No.17/2002 tanggal 22 maret 2002, dalam rangka
penanggulangan dan pemberantasan peredaran gelap narkotika,
kiranya harus lebih aktif mengkoordinasikan instansi pemerintah
terkait dalam penyusunan kebijakan dan pelaksanaan dibidang
ketersediaan, pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan
peredaran gelap narkotika, psykotropika, precursor dan aditif
lainnya. Tugas Badan Narkotika Nasional (BNN) disebut dalam
Pasal 70 UU 39 tahun 2009 dan Pasal 2 Perpres No. 23 tahun 2010,
sebagai berikut:

22
a. Menyusun dan melaksanakan kebijakan nasional
mengenai pencegahan dan pemberantasan
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan
prekursor narkotika.
b. Mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan
peredaran gelap narkotika dan precursor narkotika.
c. Berkoordinasi dengan Kepala Kepolisian Republik
Negara Indonesia dalam pencegahan dan
pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap
narkotika dan prekursor narkotika.
d. Meningkatkan kemampuan lembaga rehabilitasi
medis dan rehabilitasi sosial pecandu narkotika, baik
yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun
masyarakat.
e. Memberdayakan masyarakat dalam pecegahan
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan
prekursor narkotika.
f. Memantau, mengarahkan, dan meningkatkan
kegiatan masyarakat dalam pencegahan
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan
prekursor narkotika.
g. Melakukan kerja sama bilateral dan multirateral, baik
regional maupun internasional, guna mencegah dan
memberantas peredaran gelap narkotika dan
prekursor narkotika.
h. Mengembangkan laboratorium narkotika dan
prekursor narkotika.
i. Melaksanakan administrasi penyelidikan dan
penyidikan terhadap perkara penyalahgunaan dan
peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika.

23
j. Membuat laporan tahunan mengenai pelaksanaan
tugas dan wewenang.

Diluar kepolisian, BNN, Kejaksaan, Hakim dan penegak


hukum lainnya termasuk juga komponen masyarakat mempunyai
tanggung jawab untuk melakukan penanggulangan dan pencegahan
terhadap penyalahgunaan narkotika. Hal tersebut merupakan amanat
dari peraturan perundang-undangan, termasuk dalam hal ini UU
Narkotika. Pencegahan penyalahgunaan narkotika harus sesegera
mungkin dilakukan dengan tindakan yang bersifat antisipatif,
meliputi pencegahan primer, pencegahan skunder, dan pencegahan
tersier, seperti berikut ini24:

a. Pencegahan Primer. Adalah bentuk pencegahan yang


ditujukan bagi individu, kelompok atau masyarakat
luas yang belum terkena kasus penyalahgunaan
narkoba. Pencegahan diberikan dengan memberikan
pengetahuan informasi dan pendidikan meliputi
kegiatan alternatif agar mereka terhindar dari
penyalahgunaan narkoba serta memperkuat
kemampuannya untuk menolak narkoba.
b. Pencegahan Sekunder. Adalah bentuk pencegahan
yang diperuntukkan bagi individu, kelompok atau
masyarakat luas yang rentan terhadap terindikasi
menunjukkan adanya kasus penyalahgunaan
narkoba. Pencegahan ini dilakukan melalui upaya
pendidikan, konseling, dan pelatihan agar mereka
berhenti, kemudian melakukan kegiatan positif dan

24
Yusuf Apandi, Katakan Tidak Pada Narkoba (Bandung: Simbiosa Rekatama Mebia, 2012), hal.
22

24
menjaga agar mereka tetap menjalankan pola hidup
sehat bebas narkoba.
c. Pencegahan Tersier. Yakni bentuk pencegahan yang
diperuntukkan bagi mereka yang sudah menjadi
pengguna atau yang telah menderita
ketergantungan/kecanduan. Pencegahan dapat
dilakukan melalui pelayanan medik, rehabilitasi, dan
dengan melakukan penjagaan supaya penderita
ketergantungan tersebut tidak mengalami sakaw.

D. Faktor Penghambat Penegakan Hukum Pemberantasan Tindak


Pidana Narkotika
Kejahatan Narkotika merenggut kehidupan, mentalitas, dan
moralitas sebuah generasi. Pembatasan akses dan upaya penerbitan
beragam kebijakan terkait dengan narkotika dikerahkan pemerintah
dalam pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran narkotika.
Segala upaya telah dikerahkan pemerintah mulai dari penetapan
regulasi terkait pembatasan dan larangan penggunaan dan peredaran
narkotika, pembinaan yang bersifat persuasif, program edukatif oleh
lembaga-lembaga negara, pengembangan sarana pendeteksi bagi
pengguna narkotika, hingga adanya tes tertentu pada proses seleksi
instansi-instansi pemerintah. Meski begitu permasalahan narkotika
seakan tidak pernah berhenti, berdasarkan data yang dilansir milik
BNN mencatat sepanjang tahun 2021 hingga pertengahan 2022
terdapat 55.392 kasus tindak pidana narkoba.25 Angka ini akan terus
bertambah apabila tidak ada evaluasi dan pembaharuan dalam
penegakan hukum pemberantasan tindak pidana narkotika.

25
Indonesia Drugs Report 2022, Pusat Penelitian, Data dan Informasi Badan Narkotika
Nasional (Puslitdatin BNN)

25
Berbicara mengenai evaluasi dalam penegakan hukum
pemberantasan tindak pidana korupsi, penting bagi praktisi hukum
untuk menyadari apa saja faktor yang menjadi penghambat
efektivitas dan keoptimalan penegakan hukum bagi pemberantasan
tindak pidana narkotika.
Faktor penghambat penegakan hukum tindak pidana
narkotika dapat dikategorikan dalam 3 faktor utama meliputi faktor
hukum, faktor penegak hukum, dan faktor masyarakat.
a. Faktor Hukum
Indonesia mengatur kejahatan narkotika dalam UU Nomor
35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dalam Pasal 1 angka 15
Undang-undang ini disebutkan bahwa Penyalah Guna adalah
pengguna, tetapi Undang-undang ini tidak secara spesifik
dan jelas menyebut “pengguna narkotika” sebagai subjek,
melainkan sebagai kata kerja. Namun apabila merujuk pada
Pasal 1 ayat 1 UU Narkotika tentang pengertian narotika,
maka Pengguna Narkotika dapat diartikan sebagai “orang
yang menggunakan zat/obat yang berasal dari tanaman, baik
sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan
penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa,
mengurangi sampai menghilangkan nyeri, dan dapat
menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan dalam
golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam undang-
undang ini”26 Meski begitu, dalam Undang-undang
Narkotika memuat beragam terma meliputi Pecandu
Narkoba, Penyalahguna, Korban Penyalahgunaan Narkotika,
dan Mantan Pecandu Narkotika. Alih-alih membantu
mempermudah dalam proses penegakan hukum tindak
pidana narkotika, banyaknya istilah untuk pengguna

26
Lihat dalam Pasal 1 angka 1 UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

26
narkotika justru melahirkan problematika baru berupa
keburaman dalam rumusan Undang-Undang yang dapat
mengakibatkan kebingungan bagi pelaksanaan dan
implementasi hukumnya.
Salah satu akibat dari banyaknya terma yang
digunakan dalam Undang-undang Narkotika adalah
kerancuan regulasi. Dikatakan bahwa tujuan Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2009 adalah untuk “Menjamin
Pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi
penyalahguna dan pecandu narkoba”, tetapi dalam pasal 54
tidak disebutkan bahwa penyalahguna berhak untuk
mendapatkan rehabilitasi medis maupun sosial. Disamping
itu dalam Pasal 127 dinyatakan bahwa Penyalah Guna adalah
subjek yang bisa dikenakan sanksi pidana dan tidak
diberikan hak rehabilitasinya, kecuali dapat dibuktikan dan
atau terbukti sebagai korban narkotika. Tindak Pidana
Narkotika berdasarkan viktimologi dikategorikan sebagai
self victimizing victims yang artinya pelaku kejahatan
narkotika juga adalah korban yang pantas menerima
perlindungan. Perlindungan yang dimaksud dalam istilah ini
berbentuk rehabilitasi, meski begitu dalam kondisi riilnya,
acapkali pelaku tidak dipenuhi hak berupa fasilitas
rehabilitasi dari negara. berdasarkan data yang didapat dari
Dewan Sertifikasi Konselor Indonesia, dari 3,6 juta pecandu
narkoba, hanya 10%-nya saja yang terpenuhi hak rehabilitasi
dan terapi.27Hambatan hukum lain yang kerap ditemukan
adalah adanya pro-kontra terhadap bentuk penyelenggaraan
hukum, misalnya dalam hukuman mati terhadap tindak
pidana narkotika.

27
Puteri Hikmawati, Analisis Terhadap Sanksi Pidana Bagi Pengguna Narkotika. Dalam
Jurnal Negara Hukum: Vol. 2 No. 02 November 2011

27
b. Faktor Penegak Hukum
Dalam kondisi riilnya, aparat penegak hukum kerap menjadi
duri dalam daging bagi penyelenggaraan penegakan hukum,
tidak terkecuali bagi penyelenggaraan penegakan hukum
tindak pidana narkotika. Di samping itu, kapabilitas yang
dimiliki oleh aparat penegak hukum kerap tidak mampu
untuk mewujudkan tujuan pemidanaan, padahal dalam
praktiknya, aparat penegak hukum menjadi pihak yang
berhadapan langsung dengan proses penegakan hukum.
Beberapa PR yang masih perlu diperbaiki dan dituntaskan
oleh aparat meliputi:28
1. Tidak cukupnya program seaport dan airport
interdiction dalam rangka supply reduction sebagai
kebijakan utama Kepolisian. Pengawasan yang
dilakukan di pelabuhan dan bandara memang
menunjukkan hasil yang baik, namun perlu diingat
bahwa ⅔ wilayah Indonesia merupakan wilayah
perairan yang memiliki cukup banyak pelabuhan
terbuka yang belum memiliki detector seperti x-ray di
bandara, celah ini dapat dimanfaatkan dalam peredaran
narkotika gelap.
2. Perlunya kerjasama antar dengan Kepolisian dengan
Lembaga Swadaya Masyarakat untuk menginisiasi
program unggulan yang sesuai dengan concern LSM
tersebut. Kerjasama ini dapat dimanfaatkan untuk
mendorong lebih banyak perangkat dalam tatanan
masyarakat untuk menunjukkan komitmen dalam
pemberantasan penyalahgunaan narkotika. Kepolisian

28
Ridwan Lubis, dkk. Faktor-Faktor Penghambat Polisi dalam Pemberantasan dan
Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika. dalam Prossiding Seminar Hasil Penelitian
2019 UPMI dan STOK Bina Guna

28
dapat pula melibatkan unsur masyarakat yang lebih
kecil seperti organisasi PKK, atau bahkan Karang
Taruna dan kelompok di tingkat RT dan RW. Hal ini
dapat dilihat sebagai upaya merangkul seluruh lapisan
masyarakat untuk bersama melawan penyalahgunaan
dan penyebaran narkotika. Hal ini adalah sebuah
langkah bijak mengingat 80% pengguna narkotika
aadalah remaja, pelibatan masyarakat hingga
kelompok terkecil akan meningkatkan kesadaran mulai
dari unit keluarga, sehingga pergaulan remaja dapat
dipantau oleh orang tua.
3. Banyaknya korupsi dan kolusi dalam penanganan
kasus narkotika. Terperosoknya moral para penegak
hukum dan aparat terkait pada akhirnya
menjerumuskan mereka ke dalam penyalahgunaan
narkotika atau bahkan menjadi pelindung dari
pengedar narkotika, dan bekerja sama melawan hukum
untuk meraih keuntungan yang dihasilkan dari
pengedaran gelap narkotika.
4. Kurang efektifnya penyuluhan dan sosialisasi yang
dilakukan, meliputi kurang terjangkaunya masyarakat
desa dan daerah pedalaman yang umumnya belum
mengerti pentingnya mencegah penyalahgunaan dan
pengedaran gelap narkoba. Masyarakat kerap takut dan
enggan melaporkan kejadian atau penyalahgunaan
narkotika yang terjadi di sekitarnya karena bingung
dan tidak memahami birokrasi dalam pelaporan. Di
samping itu, sosialisasi narkotika yang selama ini
dilakukan kepada remaja seringkali terkesan monoton
dan membosankan yang pada akhirnya mengakibatkan

29
keengganan bagi remaja untuk menyerap informasi-
informasi yang sejatinya penting bagi mereka.
c. Faktor Masyarakat
Perlu diakui bahwa masyarakat awam di Indonesia
kerap memandang permasalahan narkotika sebagai tanggung
jawab mutlak para aparat saja.29 Jarang masyarakat yang
sadar akan peran yang dapat masyarakat optimalkan dalam
pemberantasan dan pencegahan narkotika. Kelompok-
kelompok kecil dalam masyarakat perlu dimanfaatkan dalam
upaya pemberantasan penyalahgunaan dan pengedaran gelap
narkotika. Pemerintah dapat menggandeng unit-unit kecil
dalam lapisan masyarakat seperti Karang Taruna, Kelompok
PKK, Pegiat Ronda, Remaja Masjid, Pemuda RT dan RW,
hingga membentuk forum anak yang mengkampanyekan
tentang bahaya narkotika.

III. Penutup
A. Kesimpulan
Pelanggaran terkait tindak pidana penyalahgunaan narkotika
diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 35 Tahun
2009 tentang Narkotika. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa
narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis, yang dapat
menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa
mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat
menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan kedalam golongan-
golongan sebagaimana yang terlampir dalam undang-undang. Pada
dasarnya, Narkotika memiliki manfaat yang sangat dibutuhkan

29
Charles Ferguson, dkk. Penegakan Hukum Oleh Aparat Lembaga Pemasyarakatan
dalam Menanggulangi Penyelundupan Narkotika. Dalam Jurnal Konstruksi Hukum ISSN:
2746-5055 Vol. 03 No. 1 Januari 2022

30
dalam dunia kesehatan, yang mana digunakan untuk mengobati
penyakit tertentu. Perlunya Peran serta masyarakat untuk
mewujudkan upaya pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran
gelap narkotika. Masyarakat dapat menggunakan haknya dalam
upaya pencegahan, pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran
gelap narkotika dan prekursor narkotika diwujudkan dalam bentuk
mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan
telah terjadi tindak pidana narkotika dan prekursor
narkotika,memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh, dan
memberikan informasi tentang adanya dugaan telah terjadi tindak
pidana narkotika dan prekursor narkotika kepada prekursor
narkotika menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung
jawab kepada penegak hukum atau BNN yang menangani perkara
tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika,memperoleh
jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan kepada
penegak hukum atau BNN.
Peran serta masyarakat dalam penanggulangan tindak
pidana narkotika juga terdapat dalam Peraturan Presiden Nomor 23
Tahun 2010 tentang Badan Narkotika Nasional Pemberantasan
narkotika tentunya tidak dapat ditekan jika aparat penegak hukum
hanya fokus pada level para pengguna. Seharusnya pengguna
maupun pecandu ditempatkan sebagai korban maupun pasien yang
harus direhabilitasi, dan yang menjadi target operasi kepolisian
adalah para pengedar/bandar. Hal ini diharapkan dengan
menangkap pengguna maka tentunya dapat membantu untuk
menangkap pengedarnya yang kemudian pengguna dengan kategori
tertentu dapat dijatuhi vonis rehabilitasi seperti yang diamanahkan
dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 7 Tahun
2009 tentang Menempatkan Pemakai Narkoba ke dalam Panti
Terapi dan Rehabilitasi. Faktor Penghambat Penegakan Hukum
Pemberantasan Tindak Pidana Narkotika Faktor penghambat

31
penegakan hukum tindak pidana narkotika dapat dikategorikan
dalam 3 faktor utama meliputi faktor hukum, faktor penegak
hukum, dan faktor masyarakat. Faktor Hukum yang dalam Undang-
undang Narkotika memuat beragam terma. Alih-alih membantu
mempermudah dalam proses penegakan hukum tindak pidana
narkotika, banyaknya istilah untuk pengguna narkotika justru
melahirkan problematika baru berupa keburaman dalam rumusan
Undang-Undang yang dapat mengakibatkan kebingungan bagi
pelaksanaan dan implementasi hukumnya., Faktor Penegak Hukum
yang tidak jarang ditemui kasus korupsi dalam penegakan hukum
pada kasus tindak pidana narkotika, danF aktor Masyarakat yang
perlu diakui bahwa masyarakat awam di Indonesia kerap
memandang permasalahan narkotika sebagai tanggung jawab
mutlak para aparat saja. Jarang masyarakat yang sadar akan peran
yang dapat masyarakat optimalkan dalam pemberantasan dan
pencegahan narkotika.

B. Saran
• Bagi masyarakat perlunya menambah kesadaran bahwa tindak
pidana narkotika dilarang oleh Undang-Undang sehingga
masyarakat dapat saling menjaga dengan memperhatikan
lingkungan sekitar jika ada perilaku yang diduga tindak pidana
narkotika.
• Bagi aparat penegak hukum dalam menangani kasus tindak
pidana narkotika wajib menghindari korupsi dalam bentuk
apapun sehingga penegakan hukum dapat berjalan dengan
semestinya.

32
DAFTAR PUSTAKA

A.R. Sujono dan Bony Daniel. (2012). Komentar dan pembahasan Undang-
Undang No. 35 Tahun 2009. Bandung : Alumni.
Apandi, Y. (2012). Katakan Tidak Pada Narkoba . Bandung: Simbiosa Rekatama
Mebia.
Arief, B. N. (2013). Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Tindak pidana
dengan Pidana Penjara . Semarang: Badan Penerbit UNDIP.
Barda Nawawi Arief. (2005). Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan
Pengembangan Hukum Pidana. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
BNN, T. (2005). Materi Advokasi Pencegahan Narkoba,. Jakarta: Badan
Narkotika Nasional Republik Indonesia.
Charles Ferguson, d. (2022). Penegakan Hukum Oleh Aparat Lembaga
Pemasyarakatan dalam Menanggulangi Penyelundupan Narkotika. Jurnal
Konstruksi Hukum, 11.
Dheny Wahyudi, U. H. (2021). Peran Serta Masyarakat Dalam Pencegahan dan
Penanggulangan Peredaran Narkotika. . Jurnal Karya Abadi, 638.
Drs. Petrus Hardana, S. M. (2022, September 2). Implementasi Supremasi
Hukum Guna Mengoptimalkan Keamanan Dalam Negeri Dalam Rangka
Memperkokoh Ketahanan Nasional,. Retrieved from Lembaga Ketahanan
Nasional,: http://lib.lemhannas.go.id/public/media/catalog/0010
Friedman, M. L. (1969). Law and Behavioral Sciences. New York: The Bobbs
Company.
Friedman, M. L. (1969). Law and Behavioral Sciences. New York: The Bobbs
Company.
Gunawan, G. H. (2021). Peran Serta Masyarakat Dalam Penanggulangan Tindak
Pidana Narkotika (Studi Kasus Di Polres Aceh Tenggara). Jurnal Hukum
dan Kemasyarakatan Al-Hikmah, 19.
Hamzah., A. (2000). Narkotika Di Indonesia Ditinjau Dari Berbagai Aspek.
Yogyakarta: Mandar Maju.
Hariyanto, B. P. (2018). Pencegahan Dan Pemberantasan Narkoba Di Indonesia.
Jurnal Daulat Hukum, 204.
Hartanto, W. (2017). Penegakan Hukum Terhadap Kejahatan Narkotika Dan
Obat-Obat Terlarang Dalam Era Perdagangan Bebas Internasional Yang
Berdampak Pada Keamanan Dan Kedaulatan Negara. Jurnal Legislasi
Indonesia, 5.
Hikmawati, P. (2011). Analisis Terhadap Sanksi Pidana Bagi Pengguna
Narkotika. Jurnal Negara Hukum, 22.
Ida Bagus Angga Prawiradana, N. P. (2018). , Peran Kepolisian Dalam
Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Narkotika Di Kabupaten

33
Buleleng. e-Journal Komunitas Yustisia Universitas Pendidikan Ganesha,
254-255.
Indonesia, R. (n.d.). Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
pada Bab XIII Pasal 104- 108.
Julianan Lisa FR, N. S. (2013). Narkotika,Psikotropika dan gangguan jiwa.
Yogjakarta: Nuha Medika.
Kitab Undang-Undang (KUHPer, KUHP, & KUHAP),. (2018). Salatiga:
Grahamedia Press.
M. Lawrence Friedman. (1957). The Legal System: A Sosial Science
Perspective. New York: Russell Sage Foundation.
O.C. Kaligis & Associates. (2012). Narkoba dan Peradilannya di Indonesia,
Reformasi Hukum Pidana Melalui Perundangan dan Peradilan . Bandung:
Alumni.
PKBH Fakultas Hukum UAD. (2012, Januari 15). Penegakan Hukum. Retrieved
from Penegakan Hukum: http://pkbh.uad.ac.id/penegakan-hukum/
Subagyo Partodiharjo. (2006). Kenali Narkoba dan Musuhi Penyalahgunaannya.
Jakarta: Esensi .
Subagyo Partodiharjo. (2006). Kenali Narkoba dan Musuhi Penyalahgunaannya.
Jakarts: Esensi .
Wien Okta Adhy Nugroho. (2011). Peran Satuan Narkoba Dalam Pemberantasan
dan Penanggulangan Kejahatan Narkotika di Kabupaten Klaten .
Semarang : Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang.
Yoga Nanda Pratama & Joshua Marbun. (2022, Maret 2). Mengenal Tindakan
Preemtif, Preventif, dan Represif Kepolisian. Retrieved from Kompasiana:
https://www.kompasiana.com/yoganandapratama/620c51bebb44865b5e5
1e0a2/mengenal-tindakan-preemtif-preventif-dan-represif-
kepolisian#:~:text=Tindakan%20pre%2Demtif%20merupakan%20tindaka
n,sosial%20dan%20kejahatan%20di%20masyarakat .

34
35

Anda mungkin juga menyukai