Anda di halaman 1dari 110

PELATIHAN PENCEGAHAN KEKAMBUHAN PERILAKU ADIKTIF

BERBASIS KESADARAN PENUH UNTUK MENCEGAH


KEKAMBUHAN PADA REMAJA PECANDU NARKOBA DI
INSTITUSI PENERIMA WAJIB LAPOR (IPWL) YAYASAN
PEMBERDAYAAN BANJARBARU KALIMANTAN SELATAN

TESIS

Ryskie Arrahman

18511039

PROGRAM STUDY MAGISTER PSIKOLOGI PROFESI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS MERCU BUANA YOGYAKARTA

2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika, dan Obat Berbahaya

(Narkoba) telah menjadi permasalahan dunia yang tidak mengenal batas negara, juga telah

menjadi bahaya global yang telah mengancam hampir semua sendi kehidupan masyarakat dan

apabila tidak ditanggulangi maka akan menjadi ancaman bagi kesejahteraan generasi mendatang.

Pada kenyataannya kejahatan Narkoba telah menjadi sebuah kejahatan transaksional yang

dilakukan oleh kelompok kejahatan teroganisir (organized crime). Masalah ini melibatkan

sebuah sistem kompleks yang berpengaruh secara global dan berkaitan erat dengan ketahanan

nasional sebuah bangsa. Masalah gangguan penggunaan Narkoba telah berkembang yang

dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya adalah ketersediaan zat, kebutuhan masyarakat dan

faktor penegakan hukum.

Permasalahan narkotika telah membuat seluruh negara di dunia khawatir dan resah.

United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) sebagai Badan dunia yang mengurusi

masalah narkotika mencatat setidaknya ada 271 juta jiwa di seluruh dunia atau 5,5 % dari jumlah

populasi global penduduk dunia dengan rentang usia antara 15 sampai 64 tahun telah

mengonsumsi Narkoba, serta setidaknya orang tersebut pernah mengkonsumsi narkotika di tahun

2017. Bedasarkan laporan perkembangan situasi Narkoba dunia pada tahun 2017, diperkirakan

271 juta orang, atau 5,5 persen dari populasi global berusia 15-64 tahun, telah menggunakan

Narkoba pada tahun sebelumnya (UNODC, 2019). NARKOBA di satu sisi merupakan obat atau

bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu

pengetahuan, tetapi di sisi lain dapat pula menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan
apabila disalahgunakan atau digunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan

saksama.

Di Indonesia, perkembangan legislasi dan kebijakan terkait masalah Narkoba dalam

upaya penanggulangan telah mengarah pada upaya mendekriminalisasi pecandu Narkoba,

dimana remaja pecandu Narkoba diharapkan tidak lagi menjalani pemenjaraan, melainkan

menjalani terapi dan rehabilitasi, baik medis, psikologis maupun sosial. Sesuai dengan program

kerja Badan Narkotika Nasional (BNN) tahun 2015, dimana Badan Narkotika Nasional Provinsi

(BNNP) telah ditetapkan menjadi Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) sehingga remaja

pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika mendapatkan akses layanan rehabilitasi, dari total

pecandu yang ada tidak memungkinkan untuk selalu diberikan pelayanan rawat inap, dapat juga

diberikan layanan rehabilitasi dalam bentuk rawat jalan (BNN, 2015).

Maraknya penyalahgunaan Narkoba tidak hanya terjadi di kota-kota besar saja, tapi sudah

sampai ke kota-kota kecil di seluruh wilayah Republik Indonesia, mulai dari masyarakat dengan

tingkat sosial ekonomi menengah bawah sampai tingkat sosial ekonomi atas. Sektor kesehatan

memegang peranan penting dalam upaya penanggulangan penyalahgunaan Narkoba, melalui

upaya promotif, preventif, terapi, dan rehabilitasi. Dari hasil penelitian yang dilakukan BNN

secara periodik setiap tiga tahun diinformasikan angka prevalensi terhadap narkotika mulai tahun

2011-2019 terjadi penurunan yang cukup signifikan. (BNN, 2019).

Tahun pravelensi
2011 2,23%
2014 2,18%
2017 1,77%
2019 1,80%

Bangsa Indonesia memiliki cita-cita sebagaimana yang tercantum dalam pembukaan

Undang – Undang Dasar 1945 yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa

dan ikut melaksanaan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan

keadilan sosial (Depkes, 1992). Dalam rangka mencapai cita – cita bangsa tersebut

diselenggarakan pembangunan kesehatan sebagai salah satu upaya pembangunan nasional yang

diarahkan guna tercapainya kesadaran, kemauan, dan kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap

penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Salah satunya ditentukan oleh

rasa aman dari pengaruh Narkoba terutama bagi generasi muda, mengingat peredaran Narkoba

telah menyentuh lingkaran yang semakin dekat dengan kita. Menghadapi era globalisasi

teknologi komunikasi yang berdampak langsung pada keluarga terutama generasi muda

mengisyaratkan kita agar senantiasa waspada dan selalu berusaha terutama bagi

orangtua/keluarga untuk membimbing dan mengarahkan putra putrinya agar terhindar dari

penyalahgunaan Narkoba. Kedudukan remaja yang sangat strategis dalam kehidupan

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara mengharuskan kita untuk mengantarkan, mengenal, dan

menemukan identitas diri sesuai dengan tahap perkembangannya. Penyimpangan perilaku

generasi muda terutama dalam penyalahgunaan Narkoba merupakan ancaman bagi masa depan

bangsa (Depkes, 1992).

Hasil survey perilaku berisiko pelajar nasional berbasis sekolah di Indonesia pada tahun

2015, yang dilakukan oleh Puslitbang Upaya Kesehatan Masyarakat Badan Litbangkes dengan

World Health Organation menunjukkan bahwa remaja cenderung melakukan perilaku berisiko

bagi kesehatan seperti konsumsi minuman beralkohol dan konsumsi obat-obatan terlarang.

(Litbangkes Kemenkes RI, 2015). Bedasarkan hasil penelitian Nurmaya (2016) mengenai

penyalahgunaan Narkoba pada remaja, dampak yang dapat diterima remaja secara lansung dapat

melalui fisik maupun psikis, yaitu seperti pelupa, sukar bernafas, sakit kepala, suhu tubuh
sewaktu-waktu meningkat dan sulit tidur. Secara psikologis pemalas, lamban bekerja, ceroboh,

sering tegang dan gelisah, sulit fokus, merasa tertekan dan emosi labil. Secara sosial dikucilkan

oleh masyarakat sekitar lingkungan tempat tinggal dan dijauhi oleh teman-teman di sekolah.

Secara spiritual Sebelum mengenal Narkoba subjek penelitian adalah anak rumahan dan tidak

pernah meninggalkan ibadahnya tetapi setelah mengenal Narkoba justru ibadahnya ditinggalkan

dan sering berada diluar rumah dengan teman-teman pemakai.

Pantjalina (2013) dan Martono (2008), menyatakan bahwa kelompok remaja merupakan

populasi berisiko dalam penyalahgunaan Narkoba. Masa remaja seringkali identik dengan masa

pencarian jati diri sehingga mendorong remaja berkeinginan untuk mencoba sesuatu yang baru

termasuk mengkomsumsi Narkoba, Psikotropika, dan Zat Adiktif lain (Narkoba). Solidaritas

persahabatan seringkali dijadikan sebagai alasan untuk melakukan hal-hal yang dilakukan untuk

dilakukan secara bersama. Remaja yang mengkonsumsi obat untuk memperoleh perasaan nikmat

ternyata justru bersifat maladaptif (tidak baik) secara jangka panjang. Papalia (2009) menyatakan

saat usia remaja kematangan psikologis belum stabil, merasa kurang bermanfaat di

lingkungannya dan sangat mudah terprovokasi orang lain, sehingga dapat dengan mudah

mendapat pengaruh dari teman sebaya yang cenderung negatif serta mendorong perilaku negatif

berupa penyalahgunaan obat.

Rehabilitasi pencandu Narkoba merupakan sebuah upaya pemulihan agar para remaja

dengan pecandu berhenti untuk mengkosumsi serta ketergantungan terhadap Narkoba. Masa

pemulihan adalah masa para pecandu Narkoba memutuskan untuk berhenti mengkonsumsi

Narkoba. Umumnya masa ini ditandai dengan ketidakstabilan emosi. Menurut World Health

Organization (dalam Syuhada, 2015) seseorang dikatakan pulih apabila sudah bersih dari

Narkoba selama 2 (dua) tahun. Namun, remaja dengan pecandu Narkoba yang ingin pulih sangat
berisiko mengalami kekambuhan. Kekambuhan merupakan perilaku penggunaan kembali

Narkoba setelah menjalani penanganan secara rehabilitasi yang ditandai dengan adanya

pemikiran dan perasaan serta perilaku ingin menggunakan kembali setelah periode putus zat.

Secara garis besar ada dua faktor yang mempengaruhi terbentuknya relapse yaitu faktor internal

dan faktor eksternal dari individu.

Menurut peneliti, klien remaja yang sedang menjalani rehabilitasi ketergantungan

Narkoba namun memiliki kemampuan yang kurang dalam melakukan manajemen diri (self-

management) serta sikap yang kurang efektif dalam menghadapi tantangan atau hambatan dapat

mengalami kondisi relapse dalam menjalani proses rehabilitasi. Didukung dengan pendapat

Martono dan Joewana (2008) dalam bukunya yang berjudul Membantu Pemulihan Pecandu

Narkoba dan Keluarganya, bahwa penting bagi pecandu Narkoba untuk mengembangkan

keterampilan untuk mengatasi situasi risiko tinggi yang membangkitkan perasaan dan pikiran

akan kekambuhan terutama ketika kembali kepada teman pecandu dan kebiasaan lama,

membangun citra diri, mengembangkan nilai-nilai positif pada diri dan kejujuran diri, berani

mengambil keputusan yang efektif dan rasa tanggung jawab serta menerima konsekuensinya.

Huriyati (2010) mendukung pernyataan ini dengan jawaban dari penelitian kualitatifnya yang

menjelaskan bahwa remaja dengan kendali penuh atas pengambilan sikap (locus of control) dan

manajemen coping stress yang baik mampu meregulasi kondisi relapse yang terjadi.

Relapse Narkoba adalah penggunaan kembali Narkoba setelah sebuah periode

abstinensia. Beberapa ahli menganggap yang digolongkan kekambuhan hanya mencakup kepada

orang-orang yang telah menyelesaikan atau melengkapi rangkaian terapi formal dan kembali

menggunakan Narkoba dengan pola yang serupa atau lebih buruk dari penggunaan sebelum

abstinensia (Kementrian Kesehatan, 2010). Rehabilitasi bukanlah menjadi jaminan penyalaguna


Narkoba akan sembuh dari ketergantungannya. Banyak pengguna yang meskipun telah

menjalani program rehabilitasi di panti, belum bisa benar-benar meninggalkan Narkoba atau

sembuh. Angka relapse juga masih tinggi di beberapa negara yaitu 33% di Nepal, 55,8% di Cina,

60% di Swiss, dan 60-90% di Bangladesh. Pengguna Narkoba mengalami kekambuhan antara

satu bulan sampai satu tahun setelah keluar dari program pengobatan.9 Berdasarkan data BNN,

angka relapse Narkoba di BNN sebelum adanya program pasca rehabilitasi yaitu 90%, setelah

ada program pasca rehabilitasi yaitu 30%.

Pantjalina (2013), menjelaskan kondisi relapse, yaitu peristiwa mantan pecandu yang

telah berapa lama tidak memakai Narkoba kembali memakai dan terus mengkomsumsinya juga

dapat terjadi pada saat remaja pecandu dalam kondisi stress atau apabila menghadapi tekanan

baik dari dalam dirinya maupun dari luar dirinya. Bedasarkan data yang telah dikutip dari laman

Media Indonesia tahun 2020 disebutkan oleh Kabid Pencegahan dan Pemberdayaan Masyarakat,

Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Kalimantan Selatan, yaitu Ifansyah, pada Minggu

tanggal 29 desember tahun 2019. Didapatkan hasil survey tim BNN pusat pada awal 2019

diperoleh data peringkat penyalahgunaan Narkoba di Kalsel turun dari peringkat 5 secara

nasional menjadi 12 (Susanto, 2020). Angka kekambuhan dari pecandu yang pernah dirawat

pada berbagai pusat terapi dan rehabilitasi semakin tinggi (60-80 %) (Martono, 2008).

Berdasarkan data residen (pengguna Narkoba terdaftar di BNN) tahun 2015 yang didapatkan

peneliti dari BNN Banjarbaru, Kalsel bahwa terjadi peningkatan jumlah residen dengan total

keseluruhan adalah 602 orang residen baru dan lama, dengan didominasi usia remaja. Untuk

memperkaya data peneliti melakukan wawancara pada subjek I yang pernah menjadi konselor

adiksi dan saat ini mengalami relapse sebanyak 3 kali serta mendapatkan perawatan di IPWL
Yayasan Pemberdayaan Banjarbaru pada bulan April 2021, adapun hasil wawancara awal

sebagai berikut :

“aku khilaf ki, waktu itu pusing masalah bini”, “sebujurnya sudah lawas
ae makai lagi, tapi hanyar ketahuan aja oleh sudah lain lo muha ku”,
“kada kawa aku lari dari kawananku, mun menurutku lah oleh aku suah
jadi konselor jua. Sehebat-hebatnya akum un aku dihadapi lawan barang
ngintu mun aku kada sanggup… kayapa pang lagi… kam ingat lo aku
suah umpat pelatihan…. Kada kawa aku menolak ki”, “aku kadang
menangis mun sembahyang, kenapa aku kaya ini”
“saya khilaf ki, waktu itu dipusingkan karena masalah dengan istri”,
“sebenarnya sudah lama aku menggunakan lagi, tapi baru saja ketahuan
karena memang mukaku berubah”, “tidak bisa aku meninggalkan teman-
temanku, menurutku karena aku pernah sebagai konselor juga. Sehebat-
hebatnya aku apabila aku dihadapkan barang itu aku tidak akan
sanggup… bagaimana lagi, kamh ingat kan aku pernah ikut pelatihan.
Tidak bisa aku menolak ki”, “aku kadang menangis dalam shalat, kenapa
aku seperti ini”
Bedasarkan hasil wawancara ditemukan bahwa kemampuan regulasi klien sebagai

konselor adiksi tidak maksimal sehingga klien mengalami kekambuhan. Relapse merupakan

kelanjutan dari perilaku yang bermasalah pada klien, klien yang mengalami perilaku adiktif

dengan mudah mengakui bahwa akan berhenti sementara untuk mengkonsumsi zat adiktif,

namun mereka akan mengalami lagi fase ketergantungan dan menggunakan kembali zat adiktif

(Connors & Maisto, 2006). Hal ini menurut Martono (2008) disebabkan komitmen yang lemah,

situasi atau lingkungan, emosi, konflik interpersonal dan adanya tekanan sosial pada diri

individu. Pada hasil wawancara, 4 hal ini juga ditemukan pada masalah klien.

Dalam pelaksanaan penanganannya, tempat rehabilitasi Kalimantan Selatan mengikuti

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 420/MENKES/SK/III/2010 tentang

pelayanan terapi dan rehabilitasi komprehensif pada gangguna penggunaan NARKOBA (dalam

http://www. rsstroke.com/ files/ peraturan /BUK/ Regulasi Narkoba/ Kepmen-kes_No 420. pdf

diakses pada 4 April 2021) dengan menerapkan metode Theraputic Community (TC) dalam
layanan rehabilitasi sosialnya. Therapeutic Community adalah metode rehabilitasi sosial yang

ditujukan kepada korban penyalahgunaan Narkoba, dimana orang-orang dengan masalah dan

tujuan yang sama, berkumpul sebagai sebuah “keluarga”, sehingga terjadi perubahan tingkah

laku ke arah yang positif, yaitu lepas dari ketergantungan Narkoba (Direktorat Jenderal

Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial, 2003).

Peneliti juga melakukan wawancara awal kepada tiga orang klien yang dipilih secara

acak dari IPWL di kota , pada bulan September 2020, adapun hasil wawancara awal sebagai

berikut :

Subjek pertama usia 20 tahun menceritakan bahwa setelah masa rehabilitasi selesai, dia

Kembali lagi menggunakan karena teman-teman mainnya mengajak dia menggunakan kembali.

“aku khilaf ki, waktu itu pusing masalah bini”, “sebujurnya sudah lawas
ae makai lagi, tapi hanyar ketahuan aja oleh sudah lain lo muha ku”,
“kada kawa aku lari dari kawananku, mun menurutku lah oleh aku suah
jadi konselor jua. Sehebat-hebatnya akum un aku dihadapi lawan barang
ngintu mun aku kada sanggup… kayapa pang lagi… kam ingat lo aku
suah umpat pelatihan…. Kada kawa aku menolak ki”, “aku kadang
menangis mun sembahyang, kenapa aku kaya ini”
“saya khilaf ki, waktu itu dipusingkan karena masalah dengan istri”,
“sebenarnya sudah lama aku menggunakan lagi, tapi baru saja ketahuan
karena memang mukaku berubah”, “tidak bisa aku meninggalkan teman-
temanku, menurutku karena aku pernah sebagai konselor juga. Sehebat-
hebatnya aku apabila aku dihadapkan barang itu aku tidak akan
sanggup… bagaimana lagi, kamh ingat kan aku pernah ikut pelatihan.
Tidak bisa aku menolak ki”, “aku kadang menangis dalam shalat, kenapa
aku seperti ini”
Hasil dari wawancara bersama subjek pertama ditemukan bahwa klien kembali

menggunakan setelah masa rehabilitasi selesai disebabkan ajakan teman dan dukungan keluarga

yang kurang suportif. (R, P, 20)

Subjek kedua usia 18 tahun menceritakan bahwa pada masa rehabilitasi, dia ketahuan

menggunakan lagi karena keinginan sendiri.


“nah pas itu ulun ketahuan lagi lo, makanya ulun dibawai ke sini lagi.
Aduh… ujar bapak, ikam ini masih perawatan mun kayaini bisa ikam
ditangkap polisi… bah jar ulun, mula apes lun ini”, “menyesal ae, tapi
kayapa lagi nasib ja… tu nah ibu melihati ulun tarus dari belakang”, “ah
ngalih kak ae, kada beduit kaya ini… paling nyaman ya menukar ae lem
paling murah dah”, “kada jua ulun dipantau di luar sana hehe… mun
minggu ke sini ae”

“jadi, waktu itu aku ketahuan lag ikan, makanya aku dibawa lagi ke sini.
Aduh, kata ayah, kamu ini masih rehabilitasi kalau begini bisa ditangkap
lagi. Aduh kata saya, memang sial yang menimpa say aini”. “menyesal
saja, tapi bagaimana lagi nasib seperti itu… itu lihat, ibu melihat saya
terus dari belakang”, “ah, sulit memang kak, tidak punya uang seperti
ini… paling mudah ya membeli lem paling murah sudah”, “tidak juga
saya dipantau di luar sana hehe… kalau hari minggu saya ke sini”
Hasil dari wawancara bersama subjek kedua ditemukan bahwa klien kembali

menggunakan pada masa rehabilitasi disebabkan keingingan yang kurang kuat untuk lepas dari

Narkoba. (A, L, 18)

Subjek ketiga usia 16 tahun menceritakan bahwa pada setelah masa rehabilitasi dia sering

masih menggunakan dikarenakan klien merasa tidak dirugikan.

“padahal lo, makai lagi tu kadapapa aja menurut ulun lagian lah… ka
lah, lun makai tu kada ae disariki mama, mama muyak kalo lah”,
“kadapapa ja, lun jua yang meharit sorangan… nyaman rami ja
bekumpulan lawan kawanan”, “kada banyak jua…. Ni lun kampeng
karena rancak keluar malam ae”
“padahal kan, menggunakan lagi itu tidak apa-apa saja menurut saya
masalahnya kan… ka kan, saya menggunakan itu tidak dimarahi mama,
mama bosan mungkin ya”, “tidak apa-apa saja, saya juga yang
merasakannya sendiri… nyaman dan asyik berkumpul bersama teman-
teman”, “tidak banyak juga… ini saya pilek karena sering keluar malam
saja”.
Hasil dari wawancara bersama subjek ketiga ditemukan bahwa klien kembali

menggunakan pada masa rehabilitasi disebabkan kesadaran yang kurang akan pengetahuan

mengenai Narkoba dan dukungan sosial yang kurang. (R, P, 16)

Bedasarkan hasil penelitian Pertama (2019) menunjukan kejadian relapse pada mantan

pengguna Narkoba di Rehabilitasi Sosial Berbasis Masyarakat, dinyatakan pernah mengalami

kambuh. Program di pusat rehabilitasi dapat mengurangi ketergantungan untuk menggunakan


Narkoba bahkan dapat membuat benar-benar bisa menghentikan untuk menggunakan Narkoba

tapi kenyataannya terjadinya relapse dikarenakan kondisi-kondisi yang membangkitkan

keinginan dan perasaan menggunakan kembali.

Destrianita (2009) menemukan faktor-faktor psikologis yang berperan pada kekambuhan

(relapse) pecandu Narkoba, diantaranya adalah adanya faktor-faktor psikologis yang berperan

meliputi faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal terdiri atas efek ketergantungan,

adanya motif untuk kembali berhubungan dengan pecandu lain, pandangan bahwa Narkoba

merupakan tempat pelarian masalah, kepribadian yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan

lingkungan bebas Narkoba, keinginan untuk kembali menggunakan Narkoba, pengetahuan

mengenai dampak negatif Narkoba yang rendah, serta kecenderungan pecandu untuk

menghindari masalah kehidupannya. Faktor eksternal terdiri atas keluarga yang tidak memiliki

kedekatan hubungan emosional, tersedianya fasilitas untuk kembali pada Narkoba, serta tidak

adanya dukungan keluarga, mentor pendamping, dan teman sebaya dalam menghindari Narkoba

Salah satu faktor pendorong terjadinya kekambuhan pada remaja adalah disebabkan

gagalnya remaja dalam memahami dan menerima bahwa kondisi adiksi adalah suatu penyakit,

akibatnya remaja merasa tidak memerlukan program pemulihan (Martono, 2008). Hal tersebut

didukung hasil penelitian yang dilakukan oleh Simanggungsong (2015) yang menyatakan bahwa

faktor internal seperti kondisi kepribadian remaja yang tergolong masih labil membuat individu

mudah terbujuk untuk menyalahgunakan narkoba dan menganggap bahwa dirinya tidak

mengalami sakit (tidak sadar) akibat kecanduannya sehingga kembali menggunakan Narkoba.

Bedasarkan hasil penelitian Nurrokhmah (2019) pada subjek penelitian yaitu remaja

dengan kecanduan Narkoba. Remaja yang memiliki kesadaran diri terhadap adiksinya dapat

mengubah cara pandang subjek akan peran dan tanggung jawabnya dalam masyarakat serta
perilaku baiknya yang akan mendorong perilaku sembuh dari Narkoba. Kesadaran ini dapat

ditingkatkan melalui terapi mindfulness, dimana mindfulness berperan untuk meningkatkan

becoming aware yaitu kemampuan akan kesadaran untuk menerima diri, perilaku, semua akibat

dari perilaku serta mampu untuk mengevaluasi perilaku (Permana, 2019).

Sindunata (2016) menyatakan bahwa kekambuhan pada pemakai zat adiktif dapat

diantisipasi dengan menggunakan pendekatan mindfulness (kesadaran) yang memiliki pengaruh

cukup signifikan pada pecandu zat adiktif untuk lepas dari penggunaan obatnya. Individu remaja

dengan tingkat mindfulness yang tinggi cenderung lebih aktif dan memiliki motivasi yang lebih

baik untuk lepas dari penggunaannya. Hal ini disebabkan saat individu semakin mampu memiliki

kesadaran diri dia juga mampu mengendalikan keinginannya dan memiliki penghayatan positif

mengenai diri sendiri, ia menjadi lebih mampu menghadapi tantangan-tantangan hidupnya.

Dengan memiliki kesadaran penuh (mindfulness), remaja juga secara aktif mencari

informasi dan dukungan sosial dari remaja lain yang berhasil lepas dari penggunaan obat. Hal ini

membantu mereka dalam melaksanakan program dengan benar dan dapat terus menjaga dirinya

untuk tidak kembali menggunakan. Selain mencari informasi melalui teman-temannya, ia juga

mencari informasi melalui internet. Hal ini menunjukkan openness sebagai sikap mindfullnes

mereka dan kecenderungan mereka untuk membuat perilaku baru yang lebih baik dalam mencari

kesenangan. Mereka juga lebih sadar pada pola perilaku yang dapat membuatnya kembali

menggunakan zat adiktif, lalu berusaha menghindari perilaku tersebut. Kesadaran yang lebih

baik pada pola perilaku menunjukkan actaware dan nonjudge sebagai sikap mindfullnes yang

baik pada dirinya, yaitu ia dapat menyadari perilaku, pikiran dan perasaannya (Sindunata, 2016).

Menurut Bowen (2011), praktik mindfulness (kesadaran diri) efektif meningkatkan

kesadaran individu sebelum individu memilik respon dalam menghadapi stimulus yang dia
terima sehingga menciptakan kesempatan untuk merespon dengan terampil daripada bereaksi

secara otomatis dan instingtif. Jadi, ketika dihadapkan pada pemicu penggunaan zat, remaja

dapat membuat pilihan yang bijaksana untuk mengurangi kemungkinan kambuh. Bowen juga

menjelaskan bahwa pendekatan mindful dapat membantu mengurangi kecenderungan pikiran

yang mengakibatkan emosi-emosi negatif, menurunkan dampak yang ditimbulkan pada diri dari

stigma, rasa malu, menyalahkan lingkungan, dan rasa bersalah.

Menurut peneliti, kesadaran diri penting untuk dimiliki para remaja pengguna Narkoba

agar mereka dapat melihat baik dan buruk dari penggunaan Narkoba dan memiliki dorongan

untuk berhenti menggunakan Narkoba dan menjalankan tugas perkembangan sesuai usianya. Hal

ini sejalan dengan pendapat Partodiharjo (2010) yang menyatakan bahwa salah satu keberhasilan

dalam upaya pemulihan dari ketergantungan Narkoba adalah kesadaran dan kesungguhan

pengguna. Keterkaitan kesadaran diri dan kesembuhan pada pengguna Narkoba juga dibahas

oleh Suparno (2017) yang menyatakan bahwa terdapat kecenderungan semakin tinggi kesadaran

diri seseorang, maka semakin tinggi pula motivasinya untuk sembuh dari Narkoba. Sebaliknya,

semakin rendah kesadaran diri seorang individu, maka semakin rendah pula motivasi sembuh

yang dimilikinya.

Dari penjelasan di atas, penulis menggunakan pelatihan Mindfullnes-based relapse

prevention perilaku adiktif sebagai acuan untuk mencegah perilaku relapse pada remaja pecandu

Narkoba. Remaja yang memiliki kesadaran diri terhadap kondisi adiksinya dapat mengubah cara

pandangnya akan peran dan tanggung jawabnya dalam masyarakat serta perilaku baiknya yang

akan mendorong perilaku sembuh dari Narkoba. Kesadaran ini dapat ditingkatkan melalui latihan

dengan dasar kesadaran. Salah satu terapi yang dapat digunakan untuk mencegah kekambuhan

adalah Mindfulness based relaps prevention, dimana Mindfulness disini berperan untuk
meningkatkan becoming aware yaitu kemampuan akan kesadaran untuk menerima diri, perilaku,

semua akibat dari perilaku serta mampu untuk mengevaluasi perilaku.

B. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui evektifitas Mindfullnes-based

relapse prevention (MBRP) addiction terhadap pencegahan kekambuhan pada remaja

pecandu NARKOBA di Rehabilitasi Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) Yayasan

Pemberdayaan Banjarbaru Kalimantan Selatan.

2. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian yang dilakukan oleh peneliti diharapkan dapat memberikan

manfaat dan keterampilan mindfulness, khususnya Mindfullnes-based relapse prevention

addiction pada remaja pecandu Narkoba di Rehabilitasi Institusi Penerima Wajib Lapor

(IPWL) Yayasan Pemberdayaan Banjarbaru Kalimantan Selatan, adapun manfaat

penelitian ini diharapkan mampu memberikan pengetahuan para pada remaja pecandu

Narkoba di Rehabilitasi Institusi Penerima Wajib Lapor, bahwa relapse merupakan salah

satu kondisi yang dapat menyebabkan gangguan psikis yang akan dirasakan dan bagaimana

mindfulness khhusunya Mindfullnes-based relapse prevention addiction dapat membantu

mereka untuk mencegah kondisi relapse.

C. Keaslian Penelitian
Keaslian penelitian diperlukan sebagai bukti agar tidak adanya plagiarisme antara

penelitian sebelumnya dengan penelitian yang dilakukan. Terdapat beberapa hasil penelitian

terdahulu yang berkaitan dengan kekambuhan.

Sebagai perbandingan dapat dikemukakan beberapa hasil penelitian oleh beberapa

peneliti terdahulu. Penelitian-penelitian tersebut adalah sebagai berikut :

1. Penelitian oleh Sari, N.L.K.R., Hamidah, dan Marheni (2020) dengan judul “Terapi

kognitif perilaku untuk menurunkan potensi kekambuhan pada narapidana mantan

pecandu Narkoba”, penelitian ini bertujuan untuk menguji efektivitas terapi kognitif

perilaku untuk menurunkan potensi kekambuhan pada narapidana mantan pecandu

Narkoba di salah satu lembaga pemasyarakatan di Bali. Penelitian ini menggunakan

metode kuantitatif ekperimen dengan one group pretest-posttest design. Teknik sampling

yang digunakan adalah pusposive sampling. Data dianalisis menggunakan uji beda

Wilcoxon signed-rank test. Hasil penelitian menunjukkan nilai negative ranks = 3 dengan

nilai Z= -1.604 dan Asymp. Sig. = 0.109 (p>0.05). Hal ini berarti tidak ada perbedaan

yang signifikan potensi kekambuhan narapidana mantan pecandu Narkoba di lembaga

pemasyarakatan sebelum dan setelah diberikan terapi kognitif perilaku. Meskipun begitu,

angka negative ranks menunjukkan bahwa seluruh skor posttest lebih rendah dari skor

pretest sehingga dapat disimpulkan bahwa terapi kognitif perilaku dapat menurunkan

potensi kekambuhan pada narapidana mantan pecandu Narkoba di lembaga

pemasyarakatan. Kebaharuan dalam penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti adalah

peneliti melakukan pendekatan intervensi dengan base transpersonal psikologi sebagai

media mendekati spiritual remaja pecandu Narkoba sehingga akan berbeda dengan

pendekatan kognitif psikologi. Peneliti juga menggunakan rancangan metode two group
pretest-postest dengan jarak waktu yang tidak terlalu jauh agar dapat mengontrol

pengaruh pengalaman personal subjek dalam penelitian.

2. Penelitian yang dilakukan oleh Rizal, S. (2020) dengan judul “Implementasi Teknik

Relaksasi Dalam Menurunkan Gejala Relapse Emosi Klien ID Di Desa Lembang Kec.

Lembang, KAB. Bandung Barat” bertujuan untuk mengkaji dan menganalisis efektivitas

teknik relaksasi dalam mengurangi gejala relapse emosi pada subyek. Subyek dalam

penelitian ini adalah eks korban penyalahgunaan NARKOBA yaitu ID. Fokus dalam

penelitian ini adalah penerapan teknik relaksasi dalam menurunkan gejala relapse emosi

subyek dalam aspek marah, takut kehilangan akal dan sulit tidur yang dialami oleh

subyek. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kuantitatif dengan

menggunakan Single Subject Design (SSD), model penelitian yang digunakan yaitu A-B-

A yang terdiri dari tiga fase antara lain fase A1 (baseline), fase b (intervensi), dan fase A2

(hasil). Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan cara observasi,

pengisian angket atau kuisioner, wawancara tidak terstruktur dan studi dokumentasi.

Pengujian hipotesis dilakukan dengan cara perhitungan rumus dua standar deviasi (2SD).

Hasil penelitian menunjukan, bahwa penerapan teknik relaksasi dapat menurunkan gejala

relapse emosi aspek marah, takut kehilangan akal dan sulit tidur subyek ID. Hasil

pengujian melalui dua standar deviasi (2SD) menunjukan intervensi efektif dan signifikan

untuk mengurangi gejala relapse, dan analisis kecenderungan data menunjukan adanya

trend menurun. Penelitian yang saat ini dilakukan, subjeknya adalah remaja, khususnya

remaja dengan kecanduan Narkoba yang diharapkan dengan metode perpaduan antara

terapi kognitif-perilaku dan mindfulness meditasi dapat menjadi prepentif kekambuhan.

Berbeda dengan tekhnik relaksasi penelitian sebelumnya yang berpusat dalam


menurunkan gejala relapse emosi subyek dalam aspek marah, takut kehilangan akal dan

sulit tidur yang dialami oleh subyek sedangkan penelitian ini menggunakan tekhnik

relaksasi latihan kesadaran saat menghadapi pemicu (trigger), ketrampilan menghadapi

situasi yang memunculkan respon reaktif, meningkatkan penerimaan

terhadap craving dan memudahkan untuk melepasnya (letting go). Peneliti menggunakan

khususnya relaksasi dengan tekhnik pengembangan Based Relapse Prevention yang

didesain sebagai latihan kesadaran bagi penyalahguna remaja Narkoba yang pikirannya

terperangkap dalam suatu pola, sehingga terus ada keinginan untuk memakai Narkoba

kembali (craving). Latihan-latihan yang digunakan peneliti adalah meliputi mindful

eating, meditasi deteksi tubuh, meditasi napas dan meditasi SOBER (Stop, Observe,

Breath, Expand, Respond), meditasi jalan, meditasi suara, dan meditasi yang dimodifikasi

yang berkaitan dengan aspek kognitif/ pikiran.

3. Riset dan pengabdian yang dilakukan oleh Sari, I.N. (2016) dengan judul “Penerapan

Terapi Rasional Emotif Terhadap Penurunan Relapse Subjek “MI” Eks Klien Balai

Rehabilitasi Sosial Pamardi Putra Di Kota Bandung” riset ini dilakukan sebagai upaya

untuk memperoleh hasil dari penanganan kasus tentang penerapan Terapi Rasional

Emotif kepada eks penyalahguna NARKOBA setelah menyelesaikan program rehabilitasi

guna menurunnya tingkat relapse penyalahguna NARKOBA dan juga untuk memperoleh

gambaran mengenai pengaruh aspek aktif-direktif, kognitif-eksperiensial, emotif-

eksperiensial, behaviouristik dan kondisi subjek untuk menangani relapsenya serta

pengaruh implementasi. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kuantitatif

rancangan subjek tunggal dengan metode pengumpulan data pengukuran menggunakan

instrument relapse, observasi, wawancara dan studi dokumentasi. Uji validitas


menggunakan validitas muka dan uji reliabilitas menggunakan tekhnik Alpha Cronbach

dengan bantuan SPSS versi 2.0. selanjutnya hasil penelitian dianalisis menggunakan

tekhnik Analisa kuantitatif dengan menggunakan rumus Two Standard Deviation (2 SD)

untuk menguji hipotesa utama. Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan bahwa

Terapi Rasional Emotif Efektif untuk menurunkan relapse subjek yaitu memecahkan

masalah pemikiran irrasional menjadi lebih rasional serta dapat menurunkan tingkat

relapse subjek. Perbedaan pada penelitian saat ini terletak pada substansi, atau

metodologis penelitian. Penelitian sebelumnya merupakan riset pengembangan dari

paradigma psikoterapi yang mengajarkan subjek bagaimana system keyakinannya

menentukan yang dirasakan dan dilakukannya pada berbagai peristiwa dalam hidupnya.

Dengan penekanan pada cara berpikir mempengaruhi perasaan subjek, sedangkan pada

penelitian ini menggunakan paradigma kesadaran hari ini, saat ini, di sini. Selain itu

perbedaan juga terdapat pada jumlah subjek dan metode yang digunakan hingga

memungkinkan untuk melakukan pembandingan dengan adanya kelompok kontrol.

4. Purnomo, I.D. & Hardjanto, G. (2016) dalam jurnal yang berjudul “Terapi dengan

Pendekatan Konsep Kognitif Perilaku Terhadap Pencegahan Relapse Pada Pengguna

Narkoba”. Jenis penelitian kuantitatif eksperimen dengan desain the two group pre test-

post treatment design. Jumlah partisipasi adalah 10 orang, terbagi dalam dua kelompok

yaitu, kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Teknik analisis data yang digunakan

dalam penelitian ini adalah analisis statistik yaitu Mann-Whitney U test dan Wilcoxon

signed rank. Hasil dalam penelitian ini adalah Terapi dengan Pendekatan Konsep

Kognitif Perilaku kurang efektif untuk mencegah relapse pada penyalah guna Narkoba.

Perbedaan pada penelitian ini yaitu peneliti menggunakan pelatihan mindfulness


sedangkan Purnomo, I.D. dan Hardjanto, G menggunakan terapi dengan pendekatan

konsep kognitif perilaku (CBT). Peneliti menggunakan remaja sebagai subjek

penelitiannya sedangkan Purnomo, I.D. dan Hardjanto, G tidak menspesifikasikan usia

dalam penelitiannya.

5. Penelitian yang dilakukan oleh Hamidi, F. dan Kheiran, S. (2019) yang meneliti

“Mindfulness-Based Relapse Prevention untuk mengurangi tingginya risiko perilaku pada

orang-orang yang mengalami kecanduan metamphetamin”. Penelitian ini adalah pretest-

posttest dengan kelompok kontrol. Populasi sebagai subjek penelitian ini adalah semua

pasien yang menyalahgunakan metamfetamin yang merujuk ke 5 pusat penelantaran

tempat tinggal jangka pendek di bawah pengawasan Organisasi Kesejahteraan Isfahan

dan 84 Pusat Perawatan Kecanduan Narkoba Torabi di bawah pengawasan Universitas

Ilmu Kedokteran Kashan di Kashan ( sebuah kota di Iran) pada tahun 2016. Tiga puluh

laki-laki dan perempuan dengan diagnosis ketergantungan metamfetamin dipilih

berdasarkan kriteria DSM-5, secara acak dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok

eksperimen dan kelompok kontrol masing-masing dengan 15 subjek perempuan dan laki-

laki. Alat tes yang dipilih adalah craving beliefs questionnaire dan Eysenck and wilson’s

aggression questionnaire. Hasil Data dianalisis dengan statistik deskriptif dan analisis

kovarian. Hasil penelitian menunjukkan perbedaan yang signifikan antara kelompok

eksperimen dan kontrol dalam dua variabel (P <0,01). Intervensi MBRP menurunkan

keinginan dan agresi pada klien sebagai perilaku berisiko tinggi dari individu yang

bergantung pada metamfetamin. Koefisien Eta adalah 27% untuk keinginan dan 53%

untuk agresi. Perbedaan pada penelitian ini adalah, peneliti tidak membatasi penggunaan

jenis penyalahgunaan NARKOBA. Pemilihan subjek pada peneliti menggunakan rentang


usia remaja, dengan menggunakan skala tahapan skala kesiapan perubahan dan semangat

terapi, Skala Risiko Kekambuhan Pengguna Stimulan (SRRS). Peneliti juga mengajarkan

keterampilan baru yang mana menjadi sub pelatihan dan tidak hanya pemberian terapi

semata. Pemilihan subjek pada peneliti menggunakan rentang usia remaja, dengan

menggunakan skala Stimulant Relapse Risk Scale dan addiction Relapse Warning Signs.

Berdasarkan dari beberapa penelitian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan

bahwa penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti tentang “Efektifitas Pelatihan

Mindfullnes-Based Relapse Prevention (MBRP) Perilaku Adiktif untuk Mencegah

Kekambuhan pada Remaja Pecandu Narkoba di Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL)

Yayasan Pemberdayaan Banjarbaru Kalimantan Selatan”, berbeda dari beberapa

penelitian yang telah disebutkan. Perbedaan tersebut terletak pada karakteristik subjek

penelitan, variabel bebas, variabel tergantung serta lokasi penelitian. Hal ini dikarenakan

dari beberapa penelitian di atas terdapat penelitian yang menggunakan variabel bebas

yang sama tetapi dengan variabel tergantung yang berbeda, dan sebaliknya ada yang

menggunakan variabel tergantung yang sama dengan variabel bebas yang berbeda.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kekambuhan

1. Pengertian Kekambuhan Narkoba

Menurut Martono dan Joewana (2008) relaps atau kekambuhan adalah

penggunaan kembali pemakai dengan zat adiktif, merupakan kejadian terakhir dari

rangkaian panjang ketidakmampuannya menyesuaikan diri terhadap ransangan stress

dari dalam dan luar. Martono dan Joewana (2008) mengartikan kekambuhan adalah

sebagai bagian dari proses pemulihan dan dapat dicegah, dimana wujud perilaku

menyimpang atau manifestasi ketidakmampuan individu menjalankan fungsinya

dengan baik, yang berlansung secara progresif dimana ketika gejala-gejala ini

meningkat dan akhirnya pengguna kembali memakai, agar bebas dari tekanan.

Relapse Narkoba adalah penggunaan kembali Narkoba setelah sebuah periode

abstinensia dan mencakup kepada pengguna yang telah menyelesaikan atau

melengkapi rangkaian terapi formal serta kembali menggunakan Narkoba dengan pola

yang serupa atau lebih buruk dari penggunaan sebelum pengguna mengalami

abstinensia (Raharni, Idaiani, dan Prihatini, 2020). Abstinensia merupakan tujuan

untuk mengehentikan sama sekali penggunaan Narkoba oleh pemakai (Depkes RI,

2001). Bila pengguna pernah menggunakan satu kali saja setelah “clean” maka ia

disebut “slip”. Menurut Monitasari (2017) proses kambuh kembali merupakan wujud
perilaku menyimpang atau manifestasi ketidakmampuan individu menjalankan

fungsinya dengan baik, yang berlangsung secara progresif. Berdasarkan teori

perubahan perilaku, juga menyatakan bahwa relapse atau tahap kambuh merupakan

perubahan perilaku seseorang kembali pada perilaku yang berisiko atau kurang aman

yang dilakukan sebelumnya. Proses relaps bervariasi pada setiap individu tergantung

kontekstual individu dan faktor pemicu. Menurut Somar (dalam Pangesti, 2006)

meskipun mantan pengguna Narkoba sudah lepas dari ketergantungan Narkoba,

namun sugesti atau kecenderungan untuk menggunakan Narkoba masih akan terasa.

Hal tersebut yang menyebabkan mantan pengguna sulit untuk lepas dari lingkungan

obat-obat terlarang.

Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa kekambuhan

adalah sebagai bagian dari proses pemulihan dan dapat dicegah, dimana wujud

perilaku menyimpang atau manifestasi dari ketidakmampuan individu dalam

menjalankan fungsinya dengan baik, yang berlansung secara progresif dimana ketika

gejala-gejala ini meningkat dan akhirnya pengguna merasa ketidakmampuannya

menyesuaikan diri terhadap ransangan stress dari dalam dan luar.

2. Aspek Relapse

Larmier, Palmer, dan Marlatt (1999) menjelaskan terdapat empat aspek

kecenderungan relapse yang mengacu pada cognitive behavioral model of relapse,

yaitu:

a. Situasi risiko tinggi

Situasi yang dapat melemahkan individu dalam mengendalikan

perubahan perilaku yang telah dilakukan dan mengarahkan pada kemungkinan


terjadinya kekambuhan. Mengacu pada penelitian Marlatt dan Gordon dalam

Larmier, Palmer, dan Marlatt, 1999 terdapat empat situasi yang dapat

memberikann peran dalam memicu kecenderungan relapse, yaitu:

1) Kondisi emosi negatif seperti marah, cemas, depresi, frustrasi yang

merupakan bentuk dari intrapersonal situasi dengan risiko tinggi yang

berhubungan dengan tingginya kecenderungan kekambuhan. Kondisi

emosional negatif ini dapat disebabkan oleh persepsi intrapersonal utama

dari berbagai situasi seperti merasa bosan dan kesepian di rumah yang

kosong saat pulang kerja atau reaksi terhadap peristiwa dilingkungan seperti

marah pada saat mengalami pemutusan hubungan kerja.

2) Situasi yang melibatkan orang lain atau sekelompok orang. Situasi berisiko

tinggi seperti konflik dengan keluarga juga dapat mengakibatkan emosi

negatif dan memicu kekambuhan.

3) Tekanan sosial, dapat berupa persuasi secara langsung maupun tidak

lansung dan secara verbal ataupun nonverbal seperti berada di sekitar orang

yang sedang menggunakan narkoba.

4) Kondisi emosional positif, seperti saat melakukan suatu perayaan, terpapar

dengan hal menstimulus penggunaan narkoba iklan alkohol, bar sehingga

dapat menguji kemampuan kontrol diri menggunakan kemampuan diri

untuk membatasi penggunaan narkoba, dan keinginan menggunakan

narkoba yang tidak spesifik diidentifikasi dapat menjadi situasi yang

mengarahkan pada kekambuhan.

b. Coping
kemampuan untuk mengahadapi situasi berisiko tinggi yang dapat

mengarahkan individu untuk kembali menggunakan narkoba. Kecenderungan

relapse pada seseorang yang dapat melaksanakan strategi coping efektif strategi

behavioral, seperti meninggalkan atau menghindari situasi tersebut, sehingga

tidak serta merta situasi berisiko tinggi akan mengakibatkan kekambuhan.

c. Ekspektasi yang dihasilkan

Merupakan antisipasi seseorang terhadap efek dari pengalaman masa

depan. Pecandu narkoba yang berpikir positif tentang dampak penggunaan

narkoba dan tidak menghiraukan efek negatif dari narkoba akan memiliki

kecenderungan kekambuhan.

d. Abstinence Violation Effect

Reaksi emosional terhadap penggunaan narkoba kembali untuk pertama

kalinya lapse dan atribusi penyebab lapse yang dapat mengarahkan pada

relapse. Seseorang yang mengatribusikan lapse sebagai kegagalan dirinya untuk

mengontrol penggunaan kembali narkoba akan mengalami perasaan bersalah

dan emosine negatif yang mengarahkan peningkatan penggunaan narkoba untuk

menghilangkan rasa bersalah dan emosi negatif. Seseorang yang

mengatributkan lapse sebagai sebuah kegagalan menyeluruh dan faktor internal

di luar kendali saya tidak akan pernah mungkin bisa berhenti menggunakan

narkoba akan cenderung relapse dibandingkan dengan yang mengatribusikan

lapse sebagai kegagalan dalam melakukan coping yang efektif pada situasi

tertentu.

Sedangkan menurut Gorski & Miller (1986), aspek relapse sebagai berikut :
A. Emotional Relapse

Pada tahap ini, dalam diri individu belum muncul pikiran untuk kembali

mengkonsumsi narkoba, tetapi emosi atau perasaan, serta perilakunya mengarah

pada kemungkinan terjadinya relapse.

B. Mental Relapse

Pada tahap ini, individu sulit untuk membuat pilihan. Sebagian dari diri

individu menginginkan untuk kembali mengkonsumsi narkoba, dan sebagian

lagi tidak menginginkan hal tersebut.

C. Physical Relapse

Pada tahap ini, individu sudah mengalami relapse secara fisik, seperti

pergi mencari “barang”, menemui bandar, dan mengkonsumsi zat narkoba lagi.

3. Proses Kekambuhan

Kembalinya seorang kepada kecanduan Narkoba, didahului dengan adanya

perubahan-perubahan perilaku, sikap, perasaan, dan pikiran. Menurut Groski (dalam

Martono dan Joewana, 2008), proses relaps terjadi dalam beberapa tahap sebagai

berikut, yaitu :

a) Kembali menyangkal, pengguna menyangkal dan menganggap bahwa dirinya

sama sekali tidak memerlukan program pemulihan.

b) Menghindar dan mempertahankan diri, kelompok pendukung tidak lagi berperan

penting bagi dirinya.

c) Terbangunnya masa kritis, mengisolasi diri dari orang lain dan melihat dari

kacamata sempit.
d) Diam di tempat dan berkhayal, muncul perasaan Bahagia tanpa menyadari hal

yang dapat menjadikan dirinya Bahagia.

e) Kebingungan dan reaksi emosional berlebihan, mudah tersinggung dan bereaksi

secara emosional secara berlebihan kepada hal-hal sepele.

f) Depresi (murung, tertekan, dan sedih), meningkat dalam intesitas dan frekuensi.

g) Perilaku yang tidak terkendali, kehidupan mulai kacau dan ketidakpuasan pada

kehidupan.

h) Kehilangan kendali, isolasi meningkat. Mulai mengasihani dirinya agar beroleh

simpati keluarga atau teman-temannya dan kesulitan menyelesaikan masalahnya.

i) Isolasi diri, krisis kepercayaan kepada pertolongan akan dirinya sendiri. Semakin

kesulitan dalam mengendalikan pikiran, perasaan, dan penilaiannya.

j) Relaps akut, persoalan yang dahulu menyertai kecanduannya sekarang muncul

kembali.

Memotivasi individu yang mengalami ketergantungan pada zat adiktif untuk

mau menghentikan pola penggunaan zat adiktif untuk mau menghentikan pola

penggunaan zatnya bukanlah hal yang mudah. Prochaska & DiClemente (dalam

Miller dan Heather, 1986) menjelaskan tahapan perubahan yang dialami oleh

seseorang pecandu yang mempengaruhi proses pemulihannya. Tahap – tahap

perubahan tersebut tergambar pada skema berikut ini.


Gambar 2.1

Tahapan Perubahan Kekambuhan

Maintenance merupakan tahap Sementara itu, relaps terjadi di saat


pecandu mempertahankan perubahan pecandu gagal mempertahankan
dan komitmen untuk pulih. Di tahap perubahan di fase maintenance dan
ini, partisipasi lingkungan positif terpaksa masuk kembali ke tahap
dalam negosiasi integrasi sosial procomplentation. Maka proses
pecandu dalam masyarakat sangat perubahanpun akan mulai dari nol
kritikan. kembali

Tahap precontemplation adalah tahap


permanent dimana pecandu belum sadar akan
masalah yang menghadang, karena itu
mereka belum memikirkan tentang
perubahan

Action adalah tahap ketika pecandu


mulai mengambil keputusan untuk
mencari pertolongan dan berusaha Relaps
maintenance
untuk keluar dari masalah atau
kecanduannya. Enter here

action precontemplation

decision contemplation
Keputusan dan relaps adalah dua tahap
transisional – tahap kritis yang
menentukan nasib akhir pecandu
Temporary
Keputusan untuk berubah terjadi di Tahap contemplation adalah tahap
antara tahap contemplation dan action. dimana pecandu telah menyadari
Ditahap ini pecandu dapat keluar adanya kebutuhan untuk berubah.
sementara jika masih ragu untuk pulih Mulai menimang-nimang pro dan
kontra, untung rugi kondisi
kecanduannya. Memberi pandangan
dan motivasi kepada pecandu pada
tahap ini dapat menstimulir pecandu
untuk mengambil keputusan yang
tepat.
Penjelasan tahap perubahan tersebut sebagai berikut :

 Precontemplation adalah tahap dimana pecandu umumnya

belum mau mengakui bahwa perilaku penggunaan zatnya merugikan

diri sendiri, keluarga dan lingkungannya. Pada tahap ini seorang

pecandu akan menampilkan mekanisme pertahanan diri agar mereka

dapat tetap mempertahankan pola ketergantungan zatnya.jenis

mekanisme pertahanan diri paling sering muncul adalah denial dan

rasionalisme.

 Contemplation adalah tahap dimana pecandu mulai

menyadari bahwa perilaku penggunaan zatnya merugikan diri sendiri,

keluarga dan lingkungannya, tetapi sering merasa ragu-ragu

(ambivalen) untuk menjalani proses pemulihan. Proses wawancara

motivasional sangat menentukan apakah pecandu kembali pada tahap

precontemplation diatas atau justru semakin termotivasi untuk pulih.

 Preparation adalah tahap dimana individu mempersiapkan

diri untuk berhenti dari pola penggunaan zatnya. Umumnya yang

bersangkutan mulai mengubah pola pikirnya yang dianggap dapat

membantu usahanya untuk dapat bebas dari zat.


 Action adalah tahap dimana seorang pecandu dengan

kesadaran sendiri mencari pertolongan untuk membantu pemulihannya.

 Maintenance adalah tahap dimana seorang pecandu

berusaha untuk mempertahankan keadaan bebas zatnya (abstinensia).

 Relapse adalah tahap dimana seorang pecandu kembali

pada pola perilaku penggunaan zatnya yang lama sesudah pengguna

mengalami keadaan bebas zat.

Bersadarkan penjelasan di atas proses kekambuhan atau kembalinya seorang

kepada kecanduan narkoba ditandai dengan adanya perubahan-perubahan perilaku,

sikap, perasaan, dan pikiran. Sikap-sikap tersebut seperti, kembali menyangkal,

menghindar dan mempertahankan diri, terbangunnya isolasi, diam di tempat dan

berkhayal, kebingungan serta reaksi emosional berlebihan, depresi, perilaku yang

tidak terkendali, kehilangan kendali, serta isolasi meningkat, relaps akut.

4. Faktor Penyebab kekambuhan

Menurut Dalley dan Salloum (dalam Pangesti, 2006) mengatakan bahwa

kekambuhan dapat terjadi disebabkan oleh salah satunya tidak berkembangnya

komitmen yang kuat untuk berubah dalam diri individu, sehingga membuat pengguna

Narkoba mengalami kesulitan untuk mencapai periode pemulihan. Menurut Nasution

(2007) pengguna Narkoba yang kembali kambuh mengakui bahwa mereka gagal

mempertahankan komitmen untuk pulih disebabkan dari beberapa alasan berikut,

antara lain

a) Komitmen yang kurang kuat untuk berhenti memakai Narkoba. Ini terjadi karena

penyalahguna tidak memiliki tekat yang kuat untuk melupakan Narkoba.


b) Situasi berisiko tinggi muncul akibat adanya masalah baru terutama penolakan

orang lain pada dirinya.

c) Keadaan emosional yang berisiko tinggi terjadinya frustrasi dan deperesi pada

mantan pengguna.

d) Konflik antar sesama, dapat memicu munculnya keinginan untuk kembali

menggunakan Narkoba.

e) Tekanan sosial, adanya penolakan dari lingkungan dan sulitnya berinteraksi dapat

menggagalkan komitmen mereka untuk pulih dari kecanduan.

f) Rendah diri, dapat menimbulkan keterasingan diri dari lingkungan sosial dan

kembali terpuruk karena tidak memiliki kepercayaan diri hingga akhirnya mudah

kembali relaps pada Narkoba.

g) Mengingat kembali kejadian ”mengasyikn” masa lalu, dapat memunculkan

keinginan untuk kembali menggunakan Narkoba.

h) Melihat tempat-tempat yang memicu ingatan tersebut.

i) Tidak mengikuti program NA (Narcotics Anonymous) atau sutau program yang

lain.

j) Mudah puas diri dan kelalaian untuk tekun memanfaatkan langkah-langkah yang

menjamin bebas narkoba secara berkelanjutan.

Relapse adalah suatu proses yang terjadi karena beberapa faktor pemicu

dimana seseorang telah dinyatakan abstinence (sembuh) dan kembali

menggunakannya. Relapse dimulai dengan suatu perubahan pada pikiran, perasaan,

atau perilaku, atau dengan kata lain suatu kerinduan (sugesti) pada sesuatu, baik
disadari atau tak disadari sehingga menggunakannya. Menurut Martono dan Joewana

(2008) kekambuhan terjadi karena beberapa faktor, antara lain :

a) Komitmen yang lemah untuk berhenti memakai narkoba, ketika dihadapkan pada

dampak buruk pemakaian narkoba.

b) Situasi yang berisiko tinggi, umumnya adalah situasi atau lingkungan tempat

klien dahulu biasa memakai narkoba sehingga mendorong pemakaian kembali

narkoba.

c) Keadaan emosi yang berisiko tinggi, emosi yang memicu relap biasanya juga

adalah keadaan emosi yang menyebabkan klien memakai narkoba.

d) Konflik interpersonal, perdebatan dan pertentangan antarsesama menciptakan

situasi stress dan menyebabkan klien tegang dan dipenuhi oleh perasaan-perasaan

negatif.

e) Tekanan sosial berhubungan dengan orang-orang lain pemakai narkoba dan

perasaan klien yang ingin menjadi sama dengan mereka.

f) Gagal memahami dan menerima bahwa adiksi adalah suatu penyakit, akibatnya

pengguna merasa memerlukan program pemulihan.

g) Menyangkal telah kehilangan kendali, akibatnya pengguna merasa bahwa mereka

dapat memakai narkoba selama mereka dengan hati-hati.

h) Ketidakjujuran berupa menyangkal kenyataan dan menyembunyikan atau

merahasiakan perasaannya, termasuk hal-hal yang berkaitan dengan narkoba.

i) Keluarga yang tidak berfungsi normal dapat mendorong terjadinya relaps dan

timbulnya penyakit kecanduan.


j) Kurangnya program yang bersifat rohani, pengguna tidak mempercayai sumber

kekuatan baginya kecuali dirinya.

k) Stress bagi pengguna, narkoba adalah cara utama mengatasi stress.

l) Mengisolasi diri, dengan menarik diri dari hubungan dengan program pemulihan

dapat menyebabkan relaps.

m) Adiksi silang, kemungkinan pengguna kecanduan salah satu jenis narkoba untuk

menggunakan narkoba jenis lainnya seperti obat batuk, obat flu, obat alergi, obat

penghilang rasa nyeri, dll.

n) Musim libur seperti akhir tahun, ulang tahun, dan keingingan merayakan sesuatu

yang membangkitkan kenangan masa lalu sehingga menyebabkan rasa tidak

nyaman dapat menyebabkan relaps.

o) Gejala putus zat hanya berlansung selama 4-5 hari, akan tetapi sesudah itu masih

terdapat gejala putus zat ringan selama beberapa minggu atau bulan yang dapat

menyebabkan relaps

p) Rasa percaya diri yang berlebihan, pada awal masa pemulihan tampak segala

sesuatu menjadi terkendali.

q) Kembali pada teman pecandu dan kebiasaan lama

r) Merasa bersalah tentang masa lalu, mengenali tanpa kehati-hatian mengenai masa

lalu yang pernah menyakitkan orang lain dapat menuntun relaps

Menurut Nasution (2007) banyaknya orang awam yang tidak mengetahui

mengenai episode terjadinya relaps dan apa penyebabnya dan hanya mengetahui

apabila setelah pengobatan ketergantungan obat selesai maka anak mereka sudah

sembuh kembali seperti sebelum ketergantungan Narkoba atau bahkan ada yang
berharap bahwa anaknya dapat baik seperti yang mereka harapkan. Sehingga banyak

keluarga yang tidak mengikuti program pengobatan lanjutan untuk pemulihan bagi

mantan pengguna Narkoba secara total pasca lepas dari kecanduan.

Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat simpulkan bahwa faktor-faktor

penyebab kekambuhan berupa, gagalnya pengguna mempertahankan komitmen untuk

pulih dengan berbagai alasan internal maupun eksternal. Reaksi-reaksi tersebut akan

muncul ketika individu merasakan kecemasan dalam situasi yang membuatnya

terancam. Beberapa intervensi psikologis yang dapat digunakan untuk mencegah

kekambuhan dari berbagai faktor diatas, yaitu :

a. Terapi berbasis mindfulness

Mindfulness adalah kemampuan yang lebih dalam hal melakukan control diri

dan regulasi diri. Mindfulness menjadikan seseorang memiliki kemampuan untuk

dapat melakukan penyesuaian diri dengan kebutuhan, perasaan, nilai-nilai yang

sesuai dengan situasi tertentu. Mindfulness berfungsi untuk meningkatkan

kepekaan seseorang dalam memahami peristiwa.

b. Terapi suportif

Terapi suportif adalah suatu bagian dari psikoterapi yang digunakan pada

komunitas berbasi pskiatrik (Videbeck, 2008). Group therapy atau terapi

kelompok merupakan bentuk psikoterapi yang menangani masalah dalam

kelompok, baik pada keadaan sakit ataupun sehat. Terapi suportif kelompok adalah

kumpulan dua orang atau lebih yang memiliki masalah yang sama,

mengekspresikan pengalaman Bersama tentang masalah yang dialami bertujuan

untuk mendukung dan memperkuat potensi yang dimiliki anggota kelompok,


meningkatkan kepercayaan diri, dan berbagi pengalaman terhadap masalah yang

dihadapi sehingga dapat membantu anggota kelompok mengatasi masalah yang

berhubungan dengan stress dalam hidup yang berfokus pada disfungsi

pikiran,perasaan dan perilaku (Stuart, 2009). Terapi kelompok dapat digunakan

pada kelompok pengguna NAPZA sebagai bentuk pencegahan kekambuhan.

c. Relapse Prevention Therapy (RPT)

Terapi RPT dikembangkan oleh Marlatt pada tahun 1985. Teori yang

berdasar dari pengembangan pendekatan behavioristik yaitu cognitive

behaviour therapy dalam beberapa penelitian menunjukan hasil yang efektif

terhadap pasien-pasien dengan perilaku adiktif (Shiffman, 1992; Carroll, 1996;

Cooney et al, 1997; Irvin et al, 1999; Mckay, 1999). RPT merupakan terapi

menejemen diri yang dibuat untuk mencegah relapse pada area perilaku adiksi

dan fokus pada masalah yang penting dari membantu pecandu mengubah

perilakunya untuk membantu perkembangan yang telah dibuat pecandu dalam

proses perawatan atau perubahan diri (Marlatt dan Donovan, 2005). Konsep

yang digunakan oleh RPT adalah dengan proses problem solving dan orientasi

ulang dari nilai dan perilaku hidup individu (Giannetti, 1993). RPT mempunyai

tujuan utama untuk memberikan keterampilan pada klien untuk mencegah

relapse seutuhnya dan dapat terlepas dari situasi atau faktor resiko yang dapat

memicu relapse di masa yang akan datang. Tidak hanya tujuan utama, RPT

juga mempunyai dua tujuan spesifik yaitu mencegah penggunaan awal dan

menjaga klien pada tahap abstinence (bersih dari zat) atau sebagai tujuan dari

pengurangan dampak buruk (harm reduction) dan memberikan pengelolaan


jika terjadi lapse (penggunaan awal zat setelah abstinence) dan mencegah

terjadinya lanjutan lapse ke arah relapse sepenuhnya. Dalam hal ini zat yang

dimaksud adalah narkoba.

Penelitian yang dilakukan oleh Marlatt & Gordon (1985) yang

mengembangkan model tentang relapse menyatakan bahwa jika individu

dihadapkan pada situasi resiko tinggi (misalnya tekanan sosial, atau situasi

yang dianggap menekan atau mengancam), jika individu dapat memunculkan

mekanisme coping yang tepat maka kesempatan untuk lapse dan relapse akan

menurun dan kepercayaan diri individu akan meningkat. Peningkatan

kepercayaan diri diperoleh dari proses kognisi yang terjadi ketika individu

berhadapan dengan situasi resiko tinggi. Sebaliknya, jika individu

mengembangkan coping yang tidak efektif (tidak dapat menolak ajakan

menggunakan dan kembali menggunakan narkoba) dan disertai oleh harapan

yang positif mengenai efek zat-zat penyebab kacanduan maka akan meguatkan

persepsi individu mengenai kenikmatan zat-zat tersebut, dan menurunkan

kepercayaan diri pecandu yang kemudian meningkatkan resiko untuk relapse.

Namun, Marlatt & Gordon pada tahun 2011 menambahkankan formula baru

yaitu kesadaran diri sebagai terapeutik trasedensi diri pada pecandu.

d. Cognitive Behavior Therapy (CBT)

Cognitive Behavior Therapy (CBT) merupakan suatu bentuk psikoterapi

yang bertujuan untuk menangani perilaku maladaptive dan mereduksi

penderitaan psikologis, dengan cara mengubah proses kognitif individu (Grebb,

Kaplan, dan Sadock, 2010). Menurut Rosenvald dalam Arjadi (2012)


pendekatan ini mengajarkan individu untuk mengenali bahwa pola pikir

tertentu yang sifatnya negative dapat membuat individu salah memaknai situasi

dan memunculkan emosi atau perasaan negatif. Pikiran dan emosi yang salah

pada akhirnya akan mempengaruhi tingkah laku individu, hingga dianggap

membutuhkan terapi intervensi psikologis pada proses kognitif dan perilaku

akan didapat perubahan pada pemikiran, perasaan, dan perilaku. Bedasarkan

hasil temuan Sari (2020), terapi berbasis kognitif perilaku tidak efektif untuk

menurunkan potensi kekambuhan pada narapidana mantan pecandu narkoba di

salah satu lembaga pemasyarakatan di Bali. Namun jika dilihat dari rerata skor

pretest dan posttest, terjadi penurunan potensi kekambuhan pada narapidana

mantan pecandu narkoba, meskipun skor penurunannya tidak signifikan.

Dari intervensi-intervensi diatas terapi pencegahan perilaku kekambuhan berbasis

mindfulness dipilih peneliti untuk lebih mengajarkan keterampilan kontrol diri dan

kesadaran diri serta mencegah relapse seutuhnya dan dapat terlepas dari situasi atau

faktor resiko yang dapat memicu relapse di masa yang akan datang (Marlatt & Gordon

2010).

5. Skala Risiko Kekambuhan Pengguna Stimulan (SRRS)


Skala risiko kekambuhan pengguna stimulan disusun pertama kali oleh Ogai

dan Haraguchi pada tahun 2007 dirancang untuk evaluasi program rehabilitasi

pengguna obat-obatan terlarang, khususnya stimulan. SRRS terdiri dari 35 aitem

berjenis skala likert dan bersifat multidimensional. Risiko relapse pada mantan

pecandu mencakup aspek Anxiety and intention to use drug, Emotionality problems,

Compulsivity for drug, Positive expectancies and lack of control over drug, Lack of

negative expectancy for the drug, Insight into illness.


Berdasarkan penjelasan di atas, penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti

menggunakan skala risiko kekambuhan pengguna stimulant (SRRS) sebagai alat ukur

untuk melihat pencegahan kekambuhan pada remaja pengguna narkoba. skala risiko

kekambuhan pengguna stimulant (SRRS) merupakan alat tes baku atau tervaliditasi

untuk mengukur risiko kekambuhan pada remaja pengguna narkoba, sehingga peneliti

juga berpedoman SRRS sebagai pedoman dalam pengukuran pencegahan

kekambuhan.

1. Skala The Five Facet Mindfulness Questionnaire (FFMQ)


Skala The Five Mindfulness Questionnaire (FFMQ) dibuat oleh Baer dan

kawan-kawan pada tahun 2006 lalu dikembangkan lagi pada tahun 2008. Struktur

faktor dan sifat psikometrik dari FFMQ-15 diuji oleh Gu dan kawan-kawan pada

tahun 2016. FFMQ adalah instrumen eksperimental yang dirancang untuk menilai

self-help dan self-scorable pada lima aspek mindfulness. Instrumen ini terdiri dari 39

item yang mengukur lima aspek, dan skor memberikan perkiraan di mana posisi

individu dalam hal mindfulness dan self-awareness.

Skala FFMQ juga memberikan penilaian yang akurat tentang dampak dari

praktik Mindfulness yang telah dilatih. Pengembangan kuesioner ini sangat penting

karena merupakan salah satu langkah paling awal yang mengeksplorasi kemanjuran

Mindfulness untuk mengatasi masalah genting dalam kehidupan nyata (Baer, Smith,

& Allen, 2004). Versi panjang asli dari Five Facet Mindfulness Questionnaire berisi

39 pernyataan yang berhubungan dengan pikiran, pengalaman, dan tindakan individu

dalam kehidupan sehari-hari.


Skala analisis eksplorasi tes ini memuat juga skala mengenai Mindfulness

Attention Awareness Scales (Brown & Ryan, 2003), Skala Cognitive Affective

Mindfulness (Hayes & Feldman, 2004), Kentucky Inventory of Mindfulness Skills

(Baer et al., 2004), dan Freiburg Mindfulness Inventory (Walach, Buchheld,

Buttenmüller, Kleinknetch, & Schmidt, 2006). Masing-masing dari lima aspek FFMQ

memberikan pandangan lebih dekat pada diri individu. Skor keseluruhan dari kelima

subskala FFMQ memberikan ukuran kesadaran diri yang andal dan menunjukkan

seberapa efektif praktik Mindfulness yang telah diberikan.

B. Terapi Mindfulness Based relapse prevention addiction

1. Pengertian Mindfulness

Kamil (2010) memberikan definisi pelatihan adalah sebagai salah satu jenis proses

pembelajaran untuk memperoleh dan meningkatkan keterampilan diluar sistem

pengembangan sumber daya manusia, yang berlaku dalam waktu yang relatif singkat dengan

metode yang lebih mengutamakan praktik daripada teori. Sejalan dengan pendapat Kamil,

Sastraadipoera (2006) juga menyebutkan bahwa pelatihan bisa dianggap sebagai suatu

proses penyampaian pengetahuan , keterampilan, dan pembinaan sikap dan kepribadian.

Selain itu, pelatihan juga merupakan sebuah konsep manajemen sumber daya manusia yang

sempit yang melibatkan aktivitas-aktivitas pemberian instruksi-instruksi khusus yang

direncanakan (seperti misalnya pelatihn terhadap prosedur-prosedur operasi pelatihan yang

spesifik) atau pelatihan keahlian (Rowley, 2012). Bedasarkan pendapat para ahli

sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa pelatihan adalah salah satu jenis pembelajaran berupa

penyampaian pengetahuan, keterampilan dan pembinaan sikap untuk memperoleh dan

meningkatkan keterampilan diluar system pengembangan sumber daya manusia yang


berlaku dalam waktu yang relative singkat dengan metode praktik yang melibatkan aktifitas

seperti pemberian intruksi khusus atau keahlian.

Mindfulness berasal dari kata Bahasa Pati Sati yang berarti “untuk mengingat” namun

Bodhi (2000) dan Nyanipoka (1973) (dalam Brown, K. W., Ryan, R. M., & Creswell, J. D.

2007) menambahkan juga sebagai tanda kesadaran yang biasanya menandakan kehadiran

dalam pikiran. Kondisi mindfulness adalah kondisi individu yang secara sadar membawa

pengalamannya ke kondisi saat ini dengan penuh rasa keterbukaan dan rasa penerimaan.

Brown dan Ryan (dalam Brown, K. W., Ryan, R. M., & Creswell, J. D. 2007) juga telah

menjelaskan bahwa mindfulness didefinisikan sebagai perhatian reseptif dan kesadaran akan

peristiwa dan pengalaman saat ini dengan didasari oleh meningkatnya keadaan sadar yang

terjaga (awareness) terus-menerus memonitor keadaan diri dan lingkungan luar, dan adanya

perhatian (attention). Roemer dan Orsillo (dalam Bishop, 2004) memaparkan bahwa

Mindfulness diisyaratkan dengan membawa keadaan sadar terjaga pada pengalaman pada

saat ini, dengan meningkatkan fokus perhatian pada perubahan yang terjadi pada pikiran,

perasaan, dan sensasi yang diamati dari waktu ke waktu. Peningkatan fokus perhatian

menghasilkan kesadaran non-elaboratif dan non-judgemental akan pikiran, perasaan, dan

sensasi yang muncul, sehingga kesadaran penuh merupakan pengalaman lansung akan

realitas.

Mace (2008) menjelaskan bahwa Mindfulness adalah prasyarat untuk kebebasan

penuh yang digambarkan dalam empat Kebenaran Mulia yaitu ada penderitaan, ada sebab

dari penderitaan, ada akhir dari penderitaan, dan ada jalan untuk mengakhiri dari penderitaan

(Jalan Mulia Berunsur Delapan) dalam ajaran Buddha dan kesempurnaan adalah menjadi

komponen kunci keberhasilannya. Terdapat juga konsep tiga cara dalam mencapai Jalan
Utama Berunsur Delapan ajaran Buddha yang mempengaruhi Mindfulness yaitu persiapan

moral (hidup benar, perbuatan benar, dan ucapan benar), pemahaman akan dunia yang apa

adanya (pandangan benar dan niat benar), serta disiplin mental (usaha benar, konsentrasi

benar, dan perhatian benar).

Bedasarkan pendapat para ahli sebelumnya dapat disimpulkan bahwa mindfulness

adalah proses penandaan kehadiran dalam pikiran dengan kondisi tubuh individu yang

secara sadar membawa pengalamannya ke kondisi saat ini dengan penuh rasa keterbukaan

dan rasa penerimaan diri dengan meningkatkan fokus perhatian pada perubahan yang terjadi

pada pikiran, perasaan, dan sensasi yang diamati dari waktu ke waktu yang menghasilkan

kesadaran non-elaboratif dan non-judgemental akan pikiran, perasaan, dan sensasi yang

muncul, sehingga kesadaran penuh merupakan pengalaman lansung akan realitas.

2. Pelatihan Mindfulness Based Relapse Prevention (MBRP)

MBRP (Bowen, Chawla dan Marlatt, 2011) adalah pendekatan pengobatan baru

yang dikembangkan di Pusat Penelitian Perilaku Adiktif di Universitas Washington, untuk

individu dalam pemulihan dari perilaku adiktif. Praktik MBRP dimaksudkan untuk

mendorong peningkatan kesadaran akan penyebab, pola kebiasaan yang merusak, dan reaksi

yang otomatis. Praktik mindfulness di MBRP dirancang membantu individu untuk berhenti

sejenak, mengamati pengalaman saat ini, dan membawa kesadaran saat ini pada berbagai

pilihan. Hamidi dan Kheiran (2019) juga mendefinisikan MBRP sebagai intervensi dengan

model Mindfulness dan cognitive behaviour pada perilaku adiksi dengan dasar relaps

prevention untuk menggambarkan, memahami, mencegah dan mengelola kekambuhan pada

individu yang telah menerima atau sedang menerima rawatan pengobatan untuk gangguan

penggunaan zat.
Mirip dengan Terapi Kognitif Berbasis Mindfulness (MBCT) untuk depresi, MBRP

juga dirancang sebagai program perawatan aftercare yang mengintegrasikan praktik dan

prinsip Mindfulness dengan keterampilan pencegahan kekambuhan perilaku kognitif.

Kurikulum MBRP mencakup identifikasi pemicu relaps secara pribadi dan situasi di mana

individu sangat rentan, serta keterampilan praktis mindfulness untuk digunakan pada saat-

saat seperti itu. Bersamaan dengan keterampilan ini, individu mempelajari tekhnik

kesadaran yang menumbuhkan kesadaran yang tinggi atas pengalaman yang diterima baik

secara internal (emosi, pikiran, sensasi) maupun eksternal (isyarat lingkungan),

mengenalkan berbagai pilihan dalam tindakan, welas asih, dan kebebasan yang lebih luas.

Program ini memuat pengurangan stres berbasis Mindfulness (MBSR; Kabat-zinn, 1990

dalam Bowen, Chawla dan Marlatt, 2011), terapi kognitif berbasis Mindfulness (MBCT;

segal, Williams, & Teasdale, 2002 dalam Bowen, Chawla dan Marlatt, 2011) dan protokol

Pencegahan kekambuhan Daley dan Marlatt (2006, dalam Bowen, Chawla dan Marlatt,

2011).

Pelatihan Mindfulness Based Relaps Prevention (MBRP) bertujuan tidak hanya

menambahkan praktik meditasi mindfulness ke dalam tekhnik relaps prevention namun juga

untuk mengurangi risiko kambuh dengan membantu individu dengan perasaan

ketidaknyamanan psikologis yang sering memicu keinginan kambuh (Grant, Colaiaco,

Motala, Shanman, Booth, Sorbero, dan Hempel 2019). Secara neurologis, mindfulness

dihipotesiskan untuk mengurangi aktifitas di sirkuit terkait dengan keinginan (Way,

Creswell, Eisenberger, 2010 dalam Grant, Colaiaco, Motala, Shanman, Booth, Sorbero, dan

Hempel 2019) dan meransang aktifitas di sirkuit terkait dengan regulasi diri dalam domain
cognitive behaviour (Grant, Colaiaco, Motala, Shanman, Booth, Sorbero, dan Hempel

2019).

Pelatihan Mindfulness Based Relapse Prevention (MBRP) bermanfaat untuk

mengurangi secara signifikan kekambuhan pada pengguna narkoba diiringi setelah

penggunaan CBT dan lebih efektif bermanfaat secara jangka Panjang dibandingkan terapi

dengan CBT (Pratikta, 2020). Mindfulness tidak mengubah kognisi seperti yang dilakukan

CBT, melainkan mengubah sikap dan hubungan terhadap pikiran dan perasaan. Mindfulness

untuk adiksi melatih individu untuk tidak menilai dan hadir pada saat-saat pengalaman saat

ini. Bedasarkan hasil penelitian Roberts, Tronnier, Graves, dan Kelley (2016 dalam Pratikta,

2020) menemukan perbandingan penggunaan Mindfulness dalam penanganan relaps lebih

berperan dalam kehidupan sehari-hari dalam waktu jangka Panjang dibandingkan dengan

terapi kognitif tidak dibatasi dengan jenis penggunaan zat.

Pelatihan berbasis Mindfulness pada dasarnya berarti memperhatikan dengan

keterbukaan, keingintahuan, dan fleksibilitas. Dalam keadaan sadar, pikiran dan perasaan

yang rumit memiliki dampak dan pengaruh yang jauh lebih kecil terhadap perilaku

(Kashdan & Ciarrochi, 2013). Bagian dari mindfulness adalah “bersama dengan” diri apa

adanya, terlepas dari keinginan untuk menjadi sebaliknya (Marotta, 2013). Kebalikan dari

mindfulness adalah mindlessness. Mindlessness terjadi ketika atensi tidak terarah sama

sekali, melainkan mengembara tanpa arah, dan Remaja seringkali menghadapi kondisi ini.

Dalam kondisi mindless, kesadaran sangat menurun, di mana remaja hanya bereaksi secara

otomatis, tanpa benar-benar memperhatikan apa pun yang sedang terjadi. Mindlessness erat

kaitannya dengan fenomena autopilot, yaitu ketika individu menghadapi berbagai masalah

dalam kehidupan dengan respon otomatis, tanpa menyadarinya, tanpa menghayatinya (Arif,
2016). Mindfulness membawa remaja keluar dari pola perilaku otomatis tersebut; daripada

bereaksi tanpa berpikir, remaja diajak secara sadar merespons dengan cara yang lebih

produktif. Mindfulness melawan kecenderungan menghindari pikiran dan emosi yang

menyakitkan, memungkinkan individu untuk menghadapi kebenaran dari pengalaman,

bahkan ketika pengalaman tersebut tidak menyenangkan. Pada saat yang sama, mindfulness

mencegah individu menyerap dan mengenali pikiran atau perasaan negatif secara

berlebihan, agar tidak terperangkap dan terhanyut oleh reaksi aversif (Neff & Germer,

2018).

Berdasarkan penjelasan dari para ahli di atas, maka dalam penelitian ini peneliti

menggunakan mindfulness based relaps prevention sebagai bahan pelatihan untuk mencegah

kekambuhan yang dialami oleh remaja pecandu Narkoba yang sedang menjalani pelayanan

rawat jalan.

3. Konsep Pelatihan Mindfulness Based Relaps Prevention

Konsep pelatihan mindfulness based relaps prevention menurut Bowen, Chawla, dan

Marlatt (2011), yaitu:

a. Observing

Observing merupakan kemampuan menyadari stimulus internal maupun eksternal, seperti

sensasi, kognisi, dan emosi.

b. Describing

Describing mengukur kemampuan untuk membuat catatan mental dan memberi label

suatu stimulus mental ke dalam kata-kata.

c. Acting with awareness


Acting with awareness didefinisikan sebagai kemampuan untuk memberikan kesadaran

penuh terhadap tindakan yang sedang dilakukan, sehingga mengukur suatu kemampuan

untuk bertindak dengan penuh kesadaran, yang mana merupakan kebalikan dari bertindak

secara tanpa berpikir atau disebut autopilot.

d. Non-reactivity

No-reactivity to inner experience adalah kemampuan membiarkan pikiran dan perasaan

datang dan pergi, tanpa terlarut ke dalamnya.

e. Nonjudge

Non-judging of inner experience mengukur kemampuan seseorang untuk bersikap tanpa

penilaian setiap pengalaman internal seperti sensasi dan emosi.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa konsep mindfulness based

stres reduction meliputi; Observing, Describing, Acting with awareness, Non-Reactivity dan

Non judge.

4. Teknik-teknik Pelatihan Mindfulness Based Relaps Prevention

Adapun teknik-teknik yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada teknik

mindfulness based relaps prevention dari Bowen, Chawla, dan Marlatt (2011):

a. Body Scan

Mengajarkan individu untuk berpikir tidak ada cara yang "benar" untuk melakukan

Body Scan, juga tidak ada hal khusus yang "harus" individu alami. Hanya memperhatikan

saja apa pun (sensasi) yang muncul pada saat ini.

b. Breath Meditation
Tujuan dari Breath Meditation adalah untuk melabuhkan diri individu pada

keadaan saat ini, sehingga individu dapat melepaskan kekhawatiran tentang masa lalu atau

masa depan.

c. Mountain Meditation

Sadar akan momen saat ini dengan sengaja mengadopsi postur tegak dan

bermartabat, baik duduk atau berdiri, seolah-olah Anda adalah gunung

d. SOBER Breathing Space

Pernapasan SOBER berjeda adalah intervensi di mana komponennya dapat

ditemukan dalam praktik berbasis mindfulness. Teknik ini digunakan untuk membantu

mengelola serangan panik, mengurangi kecemasan dan stres, dan membantu mencegah

atau melepaskan diri dari situasi berisiko tinggi yang dapat mencegah bahaya bagi diri

sendiri dan orang lain.

e. Urge Surfing

Urge surfing adalah teknik untuk mengatasi perilaku impulsif seperti makan

berlebihan, minum banyak-banyak, atau perilaku adiktif lainnya. Ini pertama kali

diperkenalkan oleh Dr. Alan Marlatt yang mengembangkan pendekatan populer

Mindfulness based relaps prevention untuk mengobati perilaku adiktif. Kunci dari

pendekatan ini adalah individu melihat dorongan berlalu dan tidak mencoba melawannya.

individu mengamati bagaimana rasanya dan menggunakan teknik meditasi khusus untuk

menghadapinya. Ini menghilangkan pergulatan internal yang dapat menguras mental dan

menggantikannya dengan pendekatan yang lebih pasif. Hal yang menarik tentang

dorongan adalah bahwa mereka jarang bertahan lebih dari 30 menit. Meskipun ini bisa

terasa seperti seumur hidup ketika individu benar-benar mengalaminya, jika individu
dapat melewati titik ini maka dia dapat menghindari perilaku impulsif atau adiktif. Urge

surfing dapat membantu individu 'mengatasi' impuls tidak sehat dan belajar mengelolanya

dalam jangka panjang.

f. Sitting Meditation

Sitting Meditation melibatkan tiga komponen: Postur, Fokus pada Nafas, dan

Pelabelan Pikiran. Tujuan dari latihan duduk adalah untuk mengembangkan pikiran yang

lembut dan mengamati secara perlahan, tanpa menilai atau mengevaluasi.

g. Movement

Sederhananya, mindfulness ini mengacu pada melakukan latihan yang berbeda

seperti bergerak sambil menempatkan semua perhatian (atau sebanyak yang dibisa) pada

gerakan tubuh dan juga pernapasan individu.

h. Silence With Bells

Bunyi bel meditasi menandai awal dan akhir sesi meditasi. Suara dari bel

digunakan sebagai objek fokus untuk konsentrasi dan membawa ritual upacara yang

khidmad ke dalam latihan meditasi Anda.

i. LovingKindness Meditation

LovingKindness Meditation (LKM) adalah jenis meditasi perhatian khusus yang

berfokus pada pengembangan welas asih (Compassion). Ini melibatkan fokus pada

serangkaian keinginan baik yang positif untuk kesejahteraan orang lain dan diri sendiri.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa untuk melakukan

pelatihan mindfulness based relaps prevention terdapat beberapa teknik-teknik yang perlu

dilakukan. Seperti latihan Body Scan, Breath Meditation, Mountain Meditation, SOBER
Breathing Space, Urge Surfing, Sitting Meditation, Movement, Silence With Bells, dan yang

terakhir adalah Loving Kindness Meditation

C. Efektivitas Pelatihan Mindfulness Untuk Mencegah Kekambuhan Pada Remaja

Pengguna Narkoba

Rehabilitasi pencandu Narkoba merupakan sebuah upaya pemulihan agar para remaja

dengan pecandu berhenti untuk mengkosumsi serta ketergantungan terhadap Narkoba. Masa

pemulihan adalah masa para mantan pecandu Narkoba memutuskan untuk berhenti

mengkonsumsi Narkoba. Namun, remaja dengan pecandu Narkoba yang ingin pulih sangat

berisiko mengalami kekambuhan. Secara garis besar ada dua faktor yang mempengaruhi

terbentuknya relapse yaitu faktor internal dan faktor eksternal dari individu.

Salah satu faktor pendorong terjadinya kekambuhan yang terjadi pada remaja adalah

disebabkan gagalnya remaja dalam memahami dan menerima bahwa kondisi adiksi adalah suatu

penyakit sehingga akibatnya remaja merasa tidak memerlukan program pemulihan. Hal tersebut

didukung hasil penelitian yang dilakukan oleh Simanggungsong (2015) yang menyatakan bahwa

faktor internal seperti kondisi kepribadian remaja yang tergolong masih labil membuat individu

mudah terbujuk untuk menyalahgunakan narkoba dan menganggap bahwa dirinya tidak

mengalami sakit (tidak sadar) akibat kecanduannya sehingga kembali menggunakan Narkoba.

Keterampilan kesadaran penuh ini dapat ditingkatkan melalui terapi dengan dasar

kesadaran. Salah satu terapi yang dapat digunakan untuk mencegah kekambuhan adalah

Mindfulness based relaps prevention, dimana Mindfulness disini berperan untuk meningkatkan

becoming aware yaitu kemampuan akan kesadaran untuk menerima diri, perilaku, semua akibat

dari perilaku serta mampu untuk mengevaluasi perilaku.


Kabat-Zinn (2012) memperkenalkan mindfulness sebagai suatu bentuk meditasi yang

“praktis” sehingga kegiatan bermeditasi tak lagi menjadi “sulit” seperti sebelumnya. Individu

bisa mempraktikkannya sambil menjalankan berbagai aktivitas sehari-hari. Mindfulness

merupakan kesadaran terbuka terhadap apa yang sedang terjadi pada saat ini. Pelatihan

mindfulness adalah suatu metode meditasi yang dapat meningkatkan empati dan terdiri dari

kombinasi dimensi afektif, kognitif, moral, intrapersonal dan interpersonal.

Praktik mindfulness di MBRP dirancang membantu individu untuk berhenti sejenak,

mengamati pengalaman saat ini, dan membawa kesadaran saat ini pada berbagai pilihan. MBRP

sebagai intervensi dengan model Mindfulness dan cognitive behaviour pada perilaku adiksi

dengan dasar relaps prevention dapat digunakan untuk menggambarkan, memahami, mencegah

dan mengelola kekambuhan pada individu yang telah menerima atau sedang menerima rawatan

pengobatan untuk gangguan penggunaan zat. Berbagai manfaat yang juga didapat dari

mindfulness seperti mengurangi melamun diluar kesadaran, mengurangi kecemasan, mengurangi

stress, memahami dan menerima kondisi diri sendiri, fokus pada apa yang sedang dilakukan,

mengontrol reaktivitas emosional tidak stabil dan mudah meluap, serta lebih banyak flesibelitas

kognitif. Pelatihan Mindfulness ini, menggunakan teknik dari Bowen, Chawla, dan Marlatt

(2011) Seperti latihan Body Scan, Breath Meditation, Mountain Meditation, SOBER Breathing

Space, Urge Surfing, Sitting Meditation, Movement, Silence With Bells, dan yang terakhir adalah

LovingKindness Meditation
Berikut kerangka berfikir yang dapat di gambarkan seperti pada gambar di bawah ini:

Gambar 2.2
Bagan Dinamika Masalah

Remaja yang sedang menjalani


pelayanan rawat jalan IPWL

Fisik : merasa capek, gemetar, jantung berdebar,


mudah berkeringat, otot menegang

Kognitif : sulit berkonsentrasi, kembali menyangkal,


krisis kepercayaan, berkhayal dan berangan-angan,
merasa tidak perlu bantuan

Emosi : frustasi, marah, rasa bersalah, depresi,


kesedihan, kesepian, kebosanan, dan juga kesenangan
berlebihan, kebingungan, rasa percaya diri berlebihan

Perilaku : isolasi diri, menghindar dan


mempertahankan diri, kehilangan kendali, hingga
relaps akut

Pelatihan mindfulness

Pemberian keterampilan meditasi dapat


membantu meningkatkan kesadaran pada
kondisi fisik, kognitif, emosi, dan perilaku
subjek. Selain itu dapat membantu subjek
Terjadi penurunan gejala kekambuhan baik
secara fisik, emosional, kognitif, dan perilaku
pada diri subjek

D. Landasan Teori

Pendekatan teori yang digunakan dalam program intervensi yang akan dirancang oleh

peneliti adalah menggunakan pendekatan psikologi transpersonal. Psikologi transpersonal

menjadi penghubung antara psikologi dan spiritualitas. Psikologi transpersonal mengintegrasikan

konsep psikologi, teori, metode dengan materi dan praktik dari disiplin rohani subjek seperti,

pengalaman spiritual, keadaan mistis sadar, kesadaran dan meditasi, shamanic states, ritual,

overlap pengalaman spiritual (Davis, 2000).

Psikoterapi transpersonal dapat menggabungkan teknik-teknik dalam psikologi, seperti

halnya: gestalt, behavior, kognitif, dan psikodinamika. Walsh dan Vaughan (1996) menjelaskan

psikoterapi transpersonal tidak mengabaikan tujuan terapi tradisional, namun menambahkannya

dengan tujuan seperti mendisidentifikasikan atau mentransendensikan proses-proses dalam

psikodinamika. Terapi transpersonal mempunyai sasaran untuk menyambungkan kembali (re-

connect) klien dengan sumber kebijaksaan yang ada di dalam dirinya, menggabungkan conscious
ego dengan subconscious yang ada di dalam dirinya dengan maksud untuk mengaktifkan dan

mengembangkan kemampuan individu untuk menyembuhkan diri (self healing). Menurut Davis

(2011) konsep inti dalam Psikologi Transpersonal adalah transendensi diri, atau rasa identitas

yang lebih dalam atau lebih tinggi, lebih luas atau menyatu secara keseluruhan.

Metode yang dilakukan peneliti dalam penelitiannya menggunakan Meditasi hal ini serupa

dengan ungkapan Rowan (1993) yang dapat menggunakan metode spiritualitas untuk

transpersonal berupa terapi-terapi image work, meditasi, dan doa. Meditasi sebagai kegiatan

dimana subjek dapat melatih kesadarannya, baik dalam rangka memperoleh suatu manfaat

seperti relaksasi, membangun enerji (prana/chi), mengembangkan perasaan cinta dan kasih,

kesabaran, kemurahan hati, pengampunan, atau sekedar membuat kesadaran mengenali isi

kesadaran tersebut dan mampu konsentrasi pada suatu fokus secara terus-menerus, sehingga

orang tersebut akhirnya mampu menikmati perasaan positif yang tak tergoyahkan ketika

beraktifitas dalam kehidupan sehari-hari (Kabat Zinn, 2000).

Ketika bermeditasi, subjek membuat dirinya merasa tenang lalu melepaskan kesadarannya

dari stimuli lingkungan sekitar, masuk ke dalam dirinya, jiwanya, dan menyatu dengan alam

semesta, menerima informasi dari alam semesta atau dari dunia spirit. Ketika subjek memasuki

tahap trasedensi diri, subjek tidak lagi fokus pada tubuh fisik dan dunianya. Dan pada akhirnya

subjek benar-benar menyatu dengan alam semesta, kesadaran universal serta aliran enerji prana/

chi yang membentuk kehidupan. Jadi meditasi merupakan teknik pengembangan ST (Puji dan

Hendriwinaya, 2015).

Teknik meditasi terhubung dengan spirit, soul dan mahluk hidup lainnya, cara untuk

menempatkan kesadaran individu pada kesadaran kolektif dan memahaminya. Perenungan dan

refleksi juga merupakan bentuk meditasi, pengulangan pengucapan mantra mampu memberikan
ketenangan. Diam, menghentikan diskusi pikiran, berhenti berpikir, mencapai ketenangan,

keheningan adalah ciri dari teknik ini (Thich, Nhat Hanh, 1975).

Meditasi adalah dasar dari semua eksplorasi kesadaran. Subjek dapat melakukan meditasi

dalam keheningan atau dengan bantuan musik yang menenangkan dan menciptakankan relaksasi.

Metode meditasi yang dilakukan peneliti dalam penelitiannya kepada subjek dengan pecandu

Narkoba untuk mencapai tahap trasedensi dirinya yaitu menggunakan mindfulness.

Pada mindfulness, teknik menyadari nafas menjadi hal yang tidak dapat dipisahkan. Kabat

Zinn (2000) menyebutkan bahwa latihan nafas secara mindful dapat membantu individu untuk

menenangkan tubuh dan pikiran sehingga dapat memandang sesuatu lebih jelas dan jernih, dan

memungkinkan untuk melihat dari sudut pandang yang lebih luas dan dapat melakukan

pemecahan masalah secara lebih kreatif. Hal tersebut dapat membuat seseorang menjalani hidup

dengan lebih rileks dan dapat menurunkan kelelahan psikis.

Pada latihan ini, subjek akan diingatkan kembali bahwa dirinya telah berusaha dengan

semaksimal mungkin, ketika mengalami masalah atau kegagalan. Melakukan latihan nafas

dengan kesadaran penuh digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan interpersonal dengan

memahami bahwa penderitaan atau pengalaman tidak menyenangkan yang dialami dalam hidup

subjek merupakan sebagaian dari kondisi yang sangat manusiawi dan wajar untuk terjadi. Oleh

karena itu, latihan mindfulness dapat memberikan kemudahan terhadap subjek ketika

menghadapi situasi yang buruk. Napas masuk dan nafas keluar bagi aliran transpersonalsm

memainkan peran yang sangat penting dalam kosmologi, mitologi, dan filsafat, serta alat penting

dalam praktik ritual dan spiritual. Berbagai teknik pernapasan ini digunakan untuk tujuan agama

dan penyembuhan. Sistem psychospiritual berusaha untuk memahami sifat manusia memandang

napas sebagai garis penting antara alam, tubuh manusia, jiwa, dan roh (Grof, & Grof, 2010).
Adapun teknik mindfulness yang digunakan dalam rancangan program intervensi yang

akan dilakukan oleh peneliti untuk menurunkan kekambuhan pada remaja dengan kecanduan

Narkoba adalah menggunakan teknik mindfulness-based relapse prevention addiction. Praktik

mindfulness di MBRP ini dirancang membantu subjek untuk berhenti sejenak, mengamati

pengalaman saat ini, dan membawa kesadaran saat ini pada berbagai pilihan (Bowen, Chawla

dan Marlatt, 2011). Hamidi dan Kheiran (2019) juga mendefinisikan MBRP sebagai intervensi

dengan model Mindfulness dan cognitive behaviour pada perilaku adiksi dengan dasar relaps

prevention untuk menggambarkan, memahami, mencegah dan mengelola kekambuhan pada

individu yang telah menerima atau sedang menerima rawatan pengobatan untuk gangguan

penggunaan zat. pelatihan mindfulness based relaps prevention terdapat beberapa teknik-teknik

yang perlu dilakukan yaitu, latihan Body Scan, Breath Meditation, Mountain Meditation, SOBER

Breathing Space, Urge Surfing, Sitting Meditation, Movement, Silence With Bells, dan yang

terakhir adalah Loving Kindness Meditation.

Pelatihan Mindfulness Based Relaps Prevention (MBRP) bertujuan tidak hanya

menambahkan praktik meditasi mindfulness ke dalam tekhnik relaps prevention namun juga

untuk mengurangi resiko kambuh dengan membantu individu dengan perasaan ketidaknyamanan

psikologis yang sering memicu keinginan kambuh (Grant, Colaiaco, Motala, Shanman, Booth,

Sorbero, dan Hempel 2019). Dalam proses tahapan perubahan kekambuhan subjek, MBRP

berada pada fase pemeliharaan (maintenance) tahap dimana seorang pecandu berusaha untuk

mempertahankan keadaan bebas zatnya. Apabila subjek mampu dengan efektif mempraktikkan

latihan ini maka subjek tidak perlu mencapai tahap selanjutnya, yaitu relapse atau tahap dimana

seorang subjek kembali pada pola perilaku penggunaan zatnya yang lama sesudah pengguna

mengalami keadaan bebas zat.


Mindfulness dihipotesiskan untuk mengurangi aktifitas di sirkuit terkait dengan keinginan

(Way, Creswell, Eisenberger, 2010 dalam Grant, Colaiaco, Motala, Shanman, Booth, Sorbero,

dan Hempel 2019) dan meransang aktifitas di sirkuit terkait dengan regulasi diri dalam domain

cognitive behaviour (Grant, Colaiaco, Motala, Shanman, Booth, Sorbero, dan Hempel 2019).

Adapun sistem kerja latihan MBRP yang dilakukan subjek adalah, latihan MBRP menurunkan

gelombang otak seseorang menjadi gelombang Alpha. Subjek yang dapat mencapai gelombang

Alpha, dapat menjadi rileks. Pada kesadaran di gelombang Alpha, subjek menyadari

keberadaannya dan mampu mengendalikan dirinya. Subjek juga akan menjadi lebih tenang dan

jernih dalam melihat pengalaman hidupnya, lebih mampu berpikir kreatif dalam memecahkan

masalah karena tidak melakukan penilaian secara otomatis (Duncan, Coastworth, & Greenberg,

2009). Latihan pernafasan yang dilakukan dalam MBRP dapat mengubah frekuensi gelombang

otak menjadi lebih rendah, seperti gelombang Alpha dan Theta. Pola pernafasan yang dapat

menurunkan gelombang otak adalah dengan melakukan pernafasan panjang, hingga lima kali

permenit. (Cardaciotto, Herbert, Forman, Moitra, & Farrow, 2008). Gelombang otak Alpha dapat

memperlancar aliran darah yang menuju otak bagian frontal bawah, temporal superior dan

korteks oksipital (Cahn & Polich, 2006). Bagian tersebut merupakan bagian yang terhubung

dengan thalamus. Thalamus berfungsi menyampaikan sinyal sensoris dari bagian sistem syaraf

ke cerebral korteks. Kondisi tersebut berdampak pada terciptanya proses berpikir yang

terorganisir, tepat sasaran, menciptakan kesadaran yang stabil sehingga subjek memiliki

oritentasi yang benar terhadap lingkungan (Markam & Markam, 2003). Selain itu, dampak

lainnya adalah siklus tidur menjadi lebih teratur, meningkatkan kewaspadaan, serta meluaskan

kesadaran mengenai realitas yang terjadi. Ketika gelombang otak berada pada gelombang Alpha,

kecemasan akan menurun serta munculnya perasaan yang tenang dan positif (Brown & Ryan,
2003). Pada saat berada pada gelombang Alpha, individu akan menjadi lebih sensitif terhadap

stimulus dan tubuh menjadi lebih rileks. Selain itu, kondisi Alpha akan memengaruhi sekresi

hormon norepineprin, serotonin dan beta endoprhine dan penurunan tekanan darah. Oleh karena

itu, kelelahan dapat menurun dan afek menjadi lebih positif, dan respon imun menjadi meningkat

(Cozzolino, 2006).

E. Hipotesis

Ada perbedaan antara kelompok kontrol dan kelompok eksperimen. Kelompok yang

diberikan perlakuan berupa pelatihan mindfulness based relapsed prevention addiction akan

terjadi penurunan kekambuhan.

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Identifikasi dan Definisi Operasional

1. Identifkasi Variabel Penelitian

a. Variabel Bebas : Pelatihan Mindfulness Based Relaps Prevention

b. Variabel Tergantung : Kekambuhan

2. Definisi Operasional Variabel

Definisi operasional variabel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu :

a. Pelatihan Mindfulness based Relaps Prevention

Pelatihan mindfulness based relaps prevention (MBRP) merupakan kegiatan

pembelajaran dalam rangka mengendalikan tingkat kesadaran pikiran dan perasaan yang

dihadapi serta non-reaktif. Individu diajak untuk berhenti sejenak, mengamati


pengalaman saat ini, dan membawa kesadaran saat ini pada berbagai pilihan. Bentuk

pelatihan mindfulness based relaps prevention dilakukan dengan menggunakan sembilan

teknik, yaitu Body Scan, Breath Meditation, Mountain Meditation, SOBER Breathing

Space, Urge Surfing, Sitting Meditation, Movement, Silence With Bells, dan yang terakhir

adalah LovingKindness Meditation

b. Kekambuhan

Kekambuhan adalah penggunaan kembali pemakai dengan zat adiktif, dan

merupakan kejadian terakhir dari rangkaian panjang ketidakmampuannya dalam

menyesuaikan diri terhadap ransangan stress dari dalam dan luar. Sebagai bagian dari

proses pemulihan dan dapat dicegah, kekambuhan merupakan wujud perilaku

menyimpang atau manifestasi ketidakmampuan individu menjalankan fungsinya dengan

baik, yang berlansung secara progresif dimana ketika gejala-gejala ini meningkat dan

akhirnya pengguna kembali memakai, agar bebas dari tekanan. Sikap-sikap yang terloihat

seperti, kembali menyangkal, menghindar dan mempertahankan diri, terbangunnya

isolasi, diam di tempat dan berkhayal, kebingungan serta reaksi emosional berlebihan,

depresi, perilaku yang tidak terkendali, kehilangan kendali, serta isolasi meningkat, relaps

akut.

B. Subjek Penelitian

Subjek penelitian adalah target populasi yang memiliki karakteristik tertentu yang ditetapkan

peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2008). Subjek yang

digunakan dalam penelitian ini adalah remaja pecandu Narkoba yang menjalani pelayanan
rawatan di IPWL Banjarbaru. Prosedur pengambilan subjek ini lebih ditekankan pada relevansi

pada judul penelitian yang disarakan pada kriteria berikut :

1. Subjek merupakan remaja yang berusia diantara 12 sampai dengan 20 tahun.

2. Subjek merupakan pecandu Narkoba.

3. Menjalani rawatan pemulihan di IPWL Banjarbaru.

4. Memiliki skor kekambuhan dengan kategori sedang dan tinggi

5. Memiliki skor kesadaran diri dengan kategori sedang dan rendah

Seleksi subjek dilakukan dengan pemberian pretest berupa skala Kekambuhan,

selanjutnya hasil pretest tersebut dikategorikan dalam 3 kelompok, yaitu: kategori tinggi,

kategori sedang, dan kategori rendah. Subjek yang memiliki skor kekambuhan sedang dan tinggi

akan dijadikan subjek penelitian, setelah memperoleh subjek, selanjutnya dilakukan pembagian

secara random ke dalam Kelompok Eksperimen (KE) dan Kelompok Kontrol (KK) dengan

masing-masing kelompok berjumlah sama. Pengelompokan subjek dilakukan dengan teknik

Random Assignment, agar setiap subjek dapat memiliki kesempatan yang sama masuk ke dalam

Kelompok Eksperimen (KE) dan Kelompok Kontrol (KK). Penempatan subjek dilakukan secara

acak ke dalam 2 kelompok dan masing-masing kelompok berjumlah sama, dengan menggunakan

gulungan kertas yang dibagi berdasarkan nomor ganjil untuk Kelompok Eksperimen (KE) dan

nomor genap untuk Kelompok Kontrol (KK).

C. Rancangan Penelitian

Peneliti menggunakan pendekatan kuantitatif, dengan tipe penelitian eksperimen.

Menurut Arikunto (2006) penelitian eksperimen adalah penelitian yang digunakan untuk mencari

hubungan sebab akibat (hubungan kausal) antara dua faktor yang sengaja ditimbulkan oleh

peneliti dengan mengeliminasi atau mengurangi atau menyisihkan faktor-faktor lain yang bisa
menggangu. Eksperimen dilakukan dengan maksud untuk melihat akibat dari suatu perlakuan.

Sedangkan menurut Latipun (2002) penelitian eksperimen merupakan penelitian yang dilakukan

dengan melakukan manipulasi dengan tujuan untuk mengetahui akibat manipulasi terhadap

perilaku individu yang diamati.

Desain eksperimen yang digunakan dalam penelitian ini adalah eksperimen semu

(quasi-experimental). Penelitian ini dilakukan dengan memberikan perlakuan kepada kelompok

eksperimen dan menyediakan kelompok kontrol sebagai pembanding. Eksperimen semu (quasi-

experimental) ini ditetapkan dengan alasan bahwa penelitian ini berupa penelitian yang

menggunakan manusia sebagai subjek. Jenis penelitian yang digunakan adalah model desain

eksperimen ulang (Pretest Posttest Control Group Design). Dalam desain ini terdapat dua

kelompok yang dipilih secara random sampling kemudian diberi pretest untuk mengetahui

perbedaan keadaan awal antara group eksperimen dan group kontrol. Hasil pretest yang baik

dapat dilihat jika nilai group eksperimen tidak berbeda secara signifikan (Latipun, 2002). Bagan

dari desain penelitian tersebut adalah sebagai berikut:

Tabel 3.1
Desain Penelitian Pretest Posttest Control Group Design

Kelompok Pretest Perlakuan Posttest Follo


w up
KE 01 X 02 03
KK 04 N 05 06

Keterangan:

KE : Kelompok eksperimen 04 : pemberian pretest KK

KK : Kelompok kontrol 05 : pemberian posttest KK

01 : pemberian pretest KE 06 : pemberian follow up KK


02 : pemberian posttest KE N : tidak diberikan perlakuan (KK)

03 : pemberian follow up KE X : Pemberian perlakuan

D. Manipulasi Variabel Bebas

Metode Eksperimen yang digunakan peneliti adalah eksperimen semu (quasi-

experimental) dengan tujuan untuk memperoleh informasi yang merupakan perkiraan informasi

yang dapat diperoleh dengan eksperimen yang sebenarnya dalam keadaan yang tidak

memungkinkan untuk mengontrol atau memanipulasikan semua variabel yang relevan. Metode

eksperimen semu (quasi-experimental) pada dasarnya sama dengan eksperimen murni, bedanya

adalah dalam pengontrolan variabel. Pengontrolnya hanya dilakukan terhadap satu variabel saja

yaitu variabel yang dipandang paling dominan. Dalam manipulasi variabel bebas peneliti hanya

mengontrol variabel tertentu saja yaitu kekambuhan.

Peneliti melakukan manipulasi penelitian dengan melakukan pelatihan mindfulness based

relaps prevention kepada sub kelompok eksperimen sehingga berpengaruh pada perilaku subjek

yang nantinya bisa menghadapi situasi yang mengancam menjadi situasi yang wajar dan dapat

dikendalikannya lalu dilakukan postest dan follow up. Kepada sub kelompok kontrol diberikan

placebo setelah dilakukannya posttest bersamaan dengan kelompok eksperimen dan follow up.

E. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data merupakan salah satu aspek yang berperan dalam kelancaran

dan keberhasilan suatu penelitian. Dalam penelitian ini metode pengumpulan data yang

digunakan adalah observasi, wawancara dan skala. Menurut Azwar (2013) skala adalah

perangkat pertanyaan yang disusun untuk merangkap atribut tertentu melalui respon terhadap

pertanyaan tersebut. Alasan penggunaan skala dalam penelitian ini dikarenakan data yang
diungkap berupa konstruk psikologis yang menggambarkan aspek kogntif dan afektif serta

perilaku pada individu dan pernyataan pada skala merupakan stimulus yang tertuju pada

indikator perilaku yang diinginkan dalam hal ini adalah kekambuhan dan mindfulness serta

bertujuan untuk merangsang subjek agar dapat mengungkapkan keadaan diri yang tidak

disadarinya. Karakteristik skala sebagai alat ukur dalam penelitian ini antara lain : (1) stimulus

berupa pertanyaan yang tidak langsung mengungkap atribut yang hendak diukur, melainkan

indikator dari setiap perilaku dari atribut yang bersangkutan, (2) atribut psikologis diungkap

secara tidak langsung lewat indikator perilaku yang diterjemahkan dalam bentuk aitem, (3)

respon subjek tidak diklasifikasikan sebagai jawaban benar atau salah, semua jawaban diterima

sepanjang diberikan secara jujur dan sungguh-sungguh (Azwar, 2016). Skala yang digunakan

dalam penelitian ini adalah skala risiko kekambuhan pengguna stimulant (SRRS) dan Skala The

Five Mindfulness Questionnaire (FFMQ).

Ketiga teknik yang dipakai oleh peneliti digunakan untuk memperoleh data dan informasi

serta melengkapi tentang efektifitas pelatihan mindfulness based relaps prevention addiction

untuk menurunkan risiko kecanduan pada remaja yang sedang menjalani pelayanan rawat jalan

di IPWL.

1. Skala Risiko Kekambuhan Pengguna Stimulan (SRRS)

Penyalahgunaan Narkoba merupakan penyakit yang kompleks, kronik dan memiliki

fase kambuh berulang. Patologi ketergantungan dimulai sejak sesorang menggunakan

Narkoba (Hidayat, 2005). Menurut Gibbons, kriteria kekambuhan ditandai dengan keadaan

psikis dan fisik akibat berhenti menggunakan obat dengan perilaku yang terdorong oleh

suatu hasrat yang kuat untuk kembali menggunakan obat-obatan. Pengukuran untuk risiko

kekambuhan menggunakan SRRS Skala adalah alat pengukuran yang biasanya digunakan
untuk menyatakan peringkat antar tingkatan. Skala dalam penelitian ini menggunakan

Stimulant Relapse Risk Scale (SRRS) adalah skala penilaian diri yang dikembangkan oleh

Tokyo Metropolitan Institute of Medical Science untuk memprediksi risiko penggunaan

kembali stimulan secara multilateral pada pasien dengan ketergantungan obat. SRRS

memiliki 35 item dan mengukur risiko penggunaan kembali stimulan dalam 5 subskala.

SRRS mencakup 5 aspek mindfulness. Dibutuhkan sekitar 15 menit untuk menyelesaikan

SRRS. SRRS dapat memperkirakan dan memprediksi risiko penggunaan kembali stimulan

secara multilateral.

Skala SRRS terdiri dari 5 subskala yaitu Kecemasan dan Intensi untuk Menggunakan

Narkoba (Al), Masalah Emosional (EP), Dorongan Penyalahgunaan Narkoba (CD),

Ekspektasi Positif dan Kurangnya Kontrol Diri terhadap Penyalahgunaan Narkoba (PL), dan

Kurangnya Ekspektasi Negatif terhadap Penyalahgunaan Narkoba (NE). Subskala individu

dapat diadopsi sebagaimana mestinya. Skala kebohongan "Pengetahuan terhadap Masalah

Penyalahgunaan Narkoba Sendiri" juga termasuk skala yang bersifat tambahan.

Skala ini dilihat dengan menggunakan 5 angka yaitu alternatif pilihan 1 sampai 5

jawaban pertanyaan dengan ketentuan sebagai berikut :

Tabel 3.3
Skala SRRS dengan skor
Skor Pilihan Angka Keterangan
1 Sangat tidak setuju
2 Tidak setuju
3 Antara setuju dan tidak setuju
4 setuju
5 Sangat setuju

Kelompok remaja merupakan populasi berisiko dalam penyalahgunaan Narkoba.

Masa remaja seringkali identik dengan masa pencarian jati diri sehingga mendorong remaja
berkeinginan untuk mencoba sesuatu yang baru termasuk mengkomsumsi Narkoba,

Psikotropika, dan Zat Adiktif lain (Narkoba). Penyalahgunaan Narkoba pada remaja,

berdampak secara lansung dapat melalui fisik maupun psikis, yaitu seperti pelupa, sukar

bernafas, sakit kepala, suhu tubuh sewaktu-waktu meningkat dan sulit tidur. Secara

psikologis pemalas, lamban bekerja, ceroboh, sering tegang dan gelisah, sulit fokus, merasa

tertekan dan emosi labil. Secara sosial juga dikucilkan oleh masyarakat sekitar lingkungan

tempat tinggal dan dijauhi oleh teman-teman di sekolah. Fasilitas rehabilitasi pencandu

Narkoba merupakan sebuah upaya pemulihan agar para remaja dengan pecandu berhenti

untuk mengkosumsi serta ketergantungan terhadap Narkoba.

Remaja dengan pecandu Narkoba yang ingin pulih sangat berisiko mengalami

kekambuhan. Klien remaja yang sedang menjalani rehabilitasi ketergantungan Narkoba

namun memiliki kemampuan yang kurang dalam melakukan manajemen diri (self-

management) serta sikap yang kurang efektif dalam menghadapi tantangan atau hambatan

dapat mengalami kondisi kambuh dalam menjalani proses rehabilitasi.

Dari pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa skala Risiko Kekambuhan Pengguna

Stimulan merupakan sebuah pengukuran tingkat kekambuhan seorang dalam rehabilitasinya

terhadap kecanduan Narkoba. Skala Risiko Kekambuhan Pengguna Stimulan dapat dilihat

dalam tabel berikut :

Tabel 3.3
Blue Print Skala baku SRRS

Dimensi Nomor Butir Total %


Fav Unfav
Kecemasan dan Intensi 1, 2, 6, 22, 12 8 22
untuk Menggunakan 27, 33, 35
Narkoba (AL)
Masalah Emosional 3, 5, 7, 10, - 8 22
(EP) 16, 19, 23,
25
Dorongan 8, 28, 31, - 4 11
Penyalahguna 34
Narkoba (CD)
Ekspektasi Positif dan 18, 20, 24, - 6 17
Kurangnya Kontrol 29, 30, 32
terhadap
Penyalahgunaan
Narkoba (PL)
Kurangnya Ekspektasi - 9, 14, 17, 4 11
Negatif terhadap 21
Penyalahgunaan
Narkoba (NE)
Skala Kebohongan: 26 4, 11, 13, 5 14
Wawasan tentang 15
masalah narkoba sendiri
Jumlah 26 9 35 100

Sebelum digunakan dalam penelitian terlebih dahulu dilakukan uji coba skala untuk

mengetahui validitas (daya beda item) dan reliabilitas skala SRRS. Uji coba akan dilakuakan

pada partisipan sejenis dengan pengambilan sampel penelitian, dengan responden sebanyak

50 orang. Data hasil uji coba kemudian diuji dengan menggunakan SPSS 22, aitem < 0,30

dianggap kurang memuaskan. Setelah dilakukan uji validitas (daya beda aitem) dilanjutkan

dengan uji reliabilitas. Reliabilitas skala berkaitan dengan keajegan suatu alat ukur, yaitu

sejauh mana pengukuran dapat dipercaya. Uji validitas digunakan untuk mengetahui sejauh

mana alat ukur dapat digunakan secara tepat terhadap gejala yang diukur (Azwar, 2015).

Alat ukur dikatakan memiliki validitas yang tinggi apabila mengukur apa yang harus diukur.

Aitem yang memiliki validitas yang tinggi apabila hasil pengukuran validitasnya lebih dari

0,30. Pengukuran reliabilitas terhadap skala nerupakan sejauh mana konsistensi atau

kepercayaan hasil ukur, yang mengandung makna kecermatan pengukuran. Koefisien


mendekati 1,00 berarti reliabilitas semakin tinggi, sebaliknya reliabilitas mendekati 0 maka

semakin rendah reliabilitas (Azwar, 2015).

2. Skala The Five Mindfulness Questionnaire (FFMQ)

Skala FFMQ yang dikembangkan Baer, Smith, Hopkins, Krietemeyer, dan Toney

(2006) merupakan penilaian asli yang terdiri dari 39 aitem self-scorable dengan memuat

dimensi mindfulness yang memiliki lima dimensi. Pertama, bertindak dengan kesadaran

(acting with awareness), yaitu perilaku secara sadar yang dilakukan di sini dan saat ini.

Kedua, kemampuan mengobservasi (observing), yaitu kemampuan memperhatikan

pengalaman internal dan eksternal seperti sensasi, kognisi, emosi, suara, aroma dan

pengamatan. Ketiga, kemampuan mendeskripsikan (describing), yaitu mengacu pada

pengalaman internal yang diungkapkan dengan kata-kata. Keempat, sikap non-reaktif

terhadap pengalaman (nonreactivity to inner experience), yaitu adanya keselarasan antara

pikiran dan perasaan. Kelima, sikap tanpa penilaian terhadap pengalaman (nonjudging of

inner experience), yaitu mengacu pada sikap nonevaluative terhadap pikiran dan perasaan.

Tabel 3.3
Skala FFMQ dengan skor
Skor Pilihan Angka Keterangan
1 Tidak pernah atau sangat jarang
2 Jarang benar
3 Terkadang benar
4 Seringkali benar
5 Sangat sering atau selalu benar

Skala FFMQ terdiri dari pernyataan kata-kata positif dan negatif yang berlaku untuk

praktisi. Peneliti menggunakan FFMQ versi pendek dengan alasan subskala yang lebih
pendek memiliki keuntungan administrasi yang lebih cepat dan dapat diterapkan pada

populasi sampel yang besar. Versi pendek FFMQ juga mencakup lima aspek yang sama

dengan bentuk panjangnya.

FFMQ 15-item (FFMQ-15) dikembangkan oleh Baer et al. (2008) dan mencakup tiga

item untuk setiap aspek. Item dipilih dari FFMQ-39 berdasarkan pemuatannya pada masing-

masing segi dan untuk mempertahankan luasnya konten untuk setiap segi. Struktur faktor

dan sifat psikometrik dari FFMQ-15 diuji oleh Gu et al. (2016). Mereka menemukan bahwa

struktur faktor FFMQ-15 konsisten dengan FFMQ-39 dan ada korelasi besar antara total

skor segi bentuk pendek dan panjang. Ini menunjukkan bahwa kedua versi FFMQ mengukur

konstruksi yang sangat mirip. Secara keseluruhan, temuan Gu et al. mendukung penggunaan

FFMQ 15 sebagai ukuran alternatif dalam penelitian di mana bentuk yang lebih singkat

diperlukan.

Dari pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa skala FFMQ 15 merupakan sebuah

pengukuran tingkat Mindfulness seorang dalam rehabilitasinya terhadap kecanduan

Narkoba. Skala Risiko Kekambuhan Pengguna Stimulan dapat dilihat dalam tabel berikut :

Tabel 3.3
Blue Print Skala baku FFMQ 15

Dimensi Nomor Butir Total %


Fav Unfav
Mengamati 1, 6, 11 - 3
Menjelaskan 2, 12 7 3
Bertindak dengan - 3, 8, 13 3
kesadaran
Tidak menghakimi - 4, 9, 14 3
Tidak bereaksi 5, 10, 15 - 3
Jumlah 8 7 15 100
Sebelum digunakan dalam penelitian terlebih dahulu dilakukan uji coba skala untuk

mengetahui validitas (daya beda item) dan reliabilitas skala SRRS. Uji coba akan dilakuakan

pada partisipan sejenis dengan pengambilan sampel penelitian, dengan responden sebanyak

50 orang. Data hasil uji coba kemudian diuji dengan menggunakan SPSS 22, aitem < 0,30

dianggap kurang memuaskan. Setelah dilakukan uji validitas (daya beda aitem) dilanjutkan

dengan uji reliabilitas. Reliabilitas skala berkaitan dengan keajegan suatu alat ukur, yaitu

sejauh mana pengukuran dapat dipercaya. Uji validitas digunakan untuk mengetahui sejauh

mana alat ukur dapat digunakan secara tepat terhadap gejala yang diukur (Azwar, 2015).

Alat ukur dikatakan memiliki validitas yang tinggi apabila mengukur apa yang harus diukur.

Aitem yang memiliki validitas yang tinggi apabila hasil pengukuran validitasnya lebih dari

0,30. Pengukuran reliabilitas terhadap skala nerupakan sejauh mana konsistensi atau

kepercayaan hasil ukur, yang mengandung makna kecermatan pengukuran. Koefisien

mendekati 1,00 berarti reliabilitas semakin tinggi, sebaliknya reliabilitas mendekati 0 maka

semakin rendah reliabilitas (Azwar, 2015).

3. Observasi

Pada kegiatan observasi dilakukan sesuai panduan pada pelaksanaan intervensi terdiri

dari 2 tipe yaitu, observasi umum dan observasi persubjek penelitian. Observasi adalah

proses pencatatan pola perilaku subyek (orang), objek (benda) atau kejadian yang sistematik

tanpa adanya pertanyaan atau komunikasi dengan individu-individu yang diteliti (Indrianto,

dkk, 2002). Menurut Sugiyono (2012) observasi adalah teknik pengumpulan data untuk

mengamati perilaku manusia, proses kerja, gejala-gejala alam, dan responden. Dalam
penelitian ini peneliti melakukan pengamatan langsung untuk menemukan fakta-fakta

dilapangan.

Jenis observasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis observasi berperan

serta (participant observation). Observasi berperan serta (participant observation)

merupakan observasi yang melibatkan peneliti dengan kegiatan yang sedang diamati.

Dengan observasi berperan serta (participant observation) ini, maka data yang diperoleh

akan lebih lengkap, tajam dan sampai mengetahui pada tingkat makna dari setiap perilaku

yang tampak. Observasi dilakukan peneliti dengan menjadi observer partisipan, yaitu

mengamati secara langsung kegiatan yang dilakukan responden eksperimen dan dilakukan

setiap saat selama eksperimen berlangsung.

4. Wawancara (interview)

Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh

dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara

(interview) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu (Lexy J. Meleong, 2010). Teknik

wawancara (interview) adalah teknik pengumpulan data yang digunakan peneliti untuk

mendapatkan keterangan-keterangan lisan melalui bercakap-cakap dan berhadapan muka

dengan orang yang dapat memberikan keterangan pada peneliti (Mardalis, 1999).

Peneliti menggunakan metode wawancara sebagai suatu alat pengumpul data dengan

tujuan untu mengetahui tanggapan atau pendapat baik dari para remaja pecandu yang sedang

menjalani pelayanan rawat jalan maupun responden eksperimen mengenai apa yang dibahas

oleh peneliti.

F. Prosedur Eksperimen
Penelitan ini menggunakan desain pretest-posttest control group design, yakni rancangan

ekspeimen yang menerapkan prosedur random assignment (R) pada para partisipan untuk

ditempatkan ke dalam dua kelompok yang terdiri atas 1 kelompok eksperimen dan 1 kelompok

kontrol, dan peneliti memberikan pre-test dan post-test pada dua kelompok meskipun yang

diberikan treatment hanya kelompok eksperimen saja (Creswell, 2013). Dalam hal ini kelompok

eksperimen diberikan perlakuan berupa mindfulness based relapse prevention dan kelompok

kontrol tidak mendapatkan perlakuan berupa mindfulness based relapse prevention. Sebelum

pemberian perlakuan mindfulness based relapse prevention kedua kelompok (kelompok

ekseperimen dan kelompok kontrol) akan diukur dahulu tingkat risiko kekambuhannya dan

mindfulness-nya, setelah perlakuan kembali akan dilakuakan pengukuran tingkat risiko

kekambuhan dengan alat yang sama yaitu skala SSRS dan mindfulness-nya dengan

menggunakan FFMQ-15 yang telah dilakukan pengacakan ulang pada aitemnya. Adapun bentuk

rancangan eksperimen dapat dilihat sebagai berikut :

Rancangan Eksperimen

R KE Y1 X Y2
KK Y1 -X Y2
Keterangan :
R : Random assignment
KE : Kelompok eksperimen
KK : Kelompok kontrol
Y1 : Pretest dengan skala motivasi belajar
Y2 : Posttest dengan skala motivasi belajar
X : Perlakuan berupa proses belajar yang diperdengarkan musik jazz
-X : Tanpa perilakuan yaitu belajar tanpa diiringi musik jazz

Menurut Azwar (2012) rancangan pre-test post-test control group design dapat menguji

efek suatu perlakuan terhadap variabel tergantung sehingga dapat diketahui perbedaan antara

hasil pretest dan posttest pada kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol. Kelebihan dari

rancangan pre-test post-test control group design adalah adanya penempatan subjek secara

random dan adanya pretest serta kelompok kontrol melelui rancangan eksperimen tersebut,

peneliti dapat membedakan hasil pretest dan posttest sebelum dan sesudah diberikannya

perlakuan pada kelompok eksperimen dan pada kelompok kontrol.

Senati, Yulianto & Setiadi (2011), menyatakan bahwa pada penelitian eksperimen

terdapat dua validitas yang berpengaruh, yaitu validitas internal dan validitas eksternal. Validitas

internal adalah sejauh mana perubahan yang terjadi pada variabel bebas benar-benar disebabkan

oleh perilakuan yang diberikan dalam eksperimen bukan disebabkan oleh faktor lain yang tidak

relevan. Sedangkan variabel eksternal adalah sejauh mana efek perlakuan yang diperoleh dapat

digenralisasikan pada populasi. Terdapat bebearapa faktor yang mempengaruhi validitas internal

dalam penelitian eksperimen diantaranya: testing, efek partisipan, historis, ancaman maturasi dan

instrumentation effect.

1. Testing

Testing adalah pemberian tes untuk mengukur efek pemberian perilakuan. Sering kali tes

diberikan pada waktu yang berbeda namun menggunakan alat tes yang sama. Untuk

mengatasi ancaman tersebut, alat tes diberiakan pada saat pretest dan posttest tidak sama

tetapi setara. Artinya alat tes digunakan untuk mengukur satu variabel yang sama,
banyakknya soal, penyajian, serta bentuk alat tes sama, namun berbeda posisi penomoran

pernyataan.

2. Efek partisipan

Efek partisipan adalah subjek penelitian yang berusaha untuk mencari tahu apa yang

mereka akan alami, apa yang harus mereka lakukan serta ancaman faktor efek partisipan.

3. Historis (history)

Historis merupakan kejadian-kejadian dilingkungan penelitian di luar perlakuan yang

muncul selama penelitian berlangsung, yaitu antara tes pertama dan berikutnya.

Kejadian-kejadian ini bukan merupakan bagian dari perilakuan tetapi turut

mempengaruhi variabilitas nilai variabel subjek penelitian. Perubahan dalam bidang

sosial, politik, iklim sosial dan cuaca yang terjadi antara tes yang pertama dan tes

berikutnya mempengaruhi perilaku.

4. Ancaman maturasi

Ancaman maturasi terjadi saat efek muncul disebabkan karena waktu yang lama sehingga

subjek menjadi lebih terampil. Ancaman maturasi dalam penelitian ini dapat diantisipasi

dengan memberikan waktu antara pretest dan posttest tidak terlalu jauh.

5. Instrumentation effect

Effek dari alat ukur yang digunakan dalam penelitian yang dapat turut mempengaruhi

validitas internal penelitian. Untuk mengatasi pengaruh instrumentation effect ini maka

alat ukur yang harus digunakan dilakukan uji coba sebelum digunakan. Alat ukur yang

digunakan dalam penelitian ini adalah skala motivasi belajar yang terdiri dari 34 aitem.
Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa desain eksperimen yang digunakan

peneliti mempunyai beberapa kelemahan. Namun, kelemahan-kelamahan tersebut dapat diatasi

dengan cara: penempatan ulang nomor aitem pada skala pretest dan posttest. Selain itu dapat

menempatkan subjek secara random pada kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol

dengan karakteristik subjek yang sama, menyajikan posttest dan pretest dalam rentang waktu

tidak terlalu lama.

Sampel dalam penelitian yang akan dilakukan adalah remaja pecandu yang sedang

menjalani pelayanan rawatan IPWL yang memenuhi kriteria subjek dalam penelitian dan akan

dilakukan random assignment untuk memasukan ke dalam kelompok eksperimen dan kontrol.

Subjek diberikan perlakuan berupa pelatihan mindfulness based relapse prevention addiction

yang diberikan selama delapan sesi selama 5 kali pertemuan. Pengukuran tingkat kecemasan

diukur menggunakan skala Stimulant Relapse Risk Scale (SRRS) yang disusun pertama kali oleh

Ogai dan Haraguchi pada tahun 2007 untuk evaluasi program rehabilitasi pengguna obat-obatan

terlarang, khususnya stimulan, serta skala The Five Mindfulness Questionnaire (FFMQ) yang

dibuat oleh Baer dan kawan-kawan pada tahun 2006 lalu dikembangkan lagi pada tahun 2008

untuk menilai self-help dan self-scorable pada lima aspek mindfulness sehingga dapat

memberikan penilaian yang akurat tentang dampak dari praktik Mindfulness yang telah dilatih

pada remaja pecandu Narkoba. Pengisian skala SRRS dan FFMQ dilakukan saat pertemuan

pertama (pre-test) dan pertemuan terakhir (post-test) dan ketika follow-up dua minggu setelah

penelitian, berikut adalah penjabarannya:

1. Alat-alat digunakan dalam Eksperimen

a. Modul Eksperimen
Pelatihan mindfulness based relaps prevention yang akan dilakukan dibuat berdasarkan

langkah-langkah dan kisi-kisi dari Bowen, Chawla, & Marlatt (2011) dapat dilihat di tabel

berikut :

Blue print modul pelatihan mindfulness based relaps prevention addiction


N Sesi Bentuk Wakt Keterangan Alat Bantu
o. Kegiatan u
1. Sesi I Automatic 60 1. Terapis berdiskusi dengan  Kismis,
pilot and menit peserta mengenai “pikiran mangkuk,
relapse otomatis” dan keterkaitannya sendok
terhadap penggunaan Narkoba.  Kertas
2. Terapis mengajak peserta untuk Binder
melakukan mindfulness body  Lonceng
scan dan melakukan diskusi  Papan tulis
sensasi dan pengalamannya. dan spidol
 Ringkasan
sesi materi
 Lembar
kerja Body
Scan
 Lembar
tugas
mindful
activity
harian sesi
1
Awareness 60 1. Terapis melakukan mengajarkan  Papan tulis
of Triggers menit peserta untuk belajar mengenali dan spidol
and pemicu dan reaksi pada tubuh  Lonceng
Craving peserta serta mengamati pikiran  Lembar
tanpa bereaksi secara otomatis tugas harian
(Urge Suffering). sesi 2
2. Terapis mengajak peserta untuk (Noticing
membawa kesadaran pada proses Triggers)
memilih respon dalam bertindak
3. Terapis mengajarkan tekhnik
walking down the street kepada
peserta
4. Terapis melanjutkan pelatihan
Mountain Meditation kepada
peserta
3. Sesi III Mindful 60 1. Terapis mengajarkan teknik  Lonceng
activity menit SOBER kepada peserta.  Papan tulis
2. Terapis mengajarkan mindfull dan spidol
sitting dan melakukan diskusi  Laptop,
proyektor
dan LCD
 Lembar
tugas
latihan
harian
4. Sesi IV Mindfulnes 60 1. Terapis menghadirkan situasi  Lonceng
s dalam menit berisiko kepada peserta.  Papan tulis
situasi 2. Memfasilitasi peserta untuk dan spidol
berisiko mengidentifikasi risiko  Lembar
kekambuhan dan cara mengatasi tugas
dengan intensitas perasaan yang latihan
muncul dalam risiko tinggi harian
5. Sesi V Acceptance 60 1. Terapis mengajarkan breathing  Lonceng
and skillful menit space dan fokus  Papan tulis
action menggunakannya dalam situasi dan spidol
berisiko  Lembar
b. Peralatan dan perlengkapan

Adapun peralatan dan perlengkapan dalam pelatihan mindfulness based relapse

prevention addiction, yaitu: lembar informed consent, lembar alat ukur skala relapse dan

mindfulness, informed consent subjek penelitian, modul pelatihan mindfulness based

relapse prevention, alat modul, serta lembar tugas, lembar observasi dan lembar

monitoring mindfulness based relapse prevention addiction.

c. Professional Judgment modul eksperimen

Sebelum diterapkan langsung ke dalam perlakuan, maka setelah modul disesuaikan

selanjutnya modul pelatihan ditinjau terlebih dahulu mengenai kelayakannya melalui

professional judgment. Tujuan dilakukan hal tersebut yaitu untuk melihat kelayakan dari

materi pelatihan yang akan diterapkan, alokasi waktu per-sesi maupun per pertemuan,

metode, aktivitas pelatihan, dan evaluai pelatihan yakni kesesuaian dengan tujuan

penelitian. Peneliti melakukan konsultasi dengan dosen pembimbing terlebih dahulu,

berkaitan dengan kisi-kisi rancangan intervensi, dan materi yang akan disampaikan.

Peneliti berdiskusi dengan professional judment mengenai materi tentang mindfulness

based relapse prevention addiction.

d. Proses perijinan penelitian

Peneliti mengurus surat ijin penelitian di kantor Tata Usaha S2 Fakultas Psikologi

Program Magister Psikologi Profesi Universitas Mercu Buana Yogyakarta, ditujukan

kepada Kepala IPWL Yayasan Griya Pemberdayaan yang ditandatangani oleh Dekan

Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana. Setelah mendapatkan perijinan penelitian,

peneliti mendapatkan pembimbing lapangan yang bertugas membantu dan membimbing

peneliti selama proses penelitian.


2. Tahapan dalam penelitian

Dalam melakukan penelitian, peneliti perlu melalui beberapa tahapan diantaranya:

a. Persiapan penelitian

Pada tahap persiapan penelitian, peneliti melakukan berbagai hal untuk

mempersiapkan pelaksanaan intervensi berupa pelatihan mindfulness based relapse

prevention addiction. Hal tersebut diawali dengan peneliti menyusun proposal melalui

beberapa literatur yang berhubungan dengan masalah yang akan diteliti. Peneliti Mencari

alat ukur yang tepat untuk mengukur variabel tergantung dari penelitian, selain itu adalah

untuk mengukur efektivitas intervensi berupa skala kekambuhan. Peneliti menambahkan

skala mindfulness agar dapat mengukur efektifitas penggunaan terapi mindfulness pada

responden. Peneliti menyiapkan modul pelatihan untuk pelaksanaan intervensi. Setelah

penyusunan rancangan intervensi, tahapan selanjutnya yaitu peneliti terjun langsung ke

lapangan untuk mencari tempat dan subjek yang cocok untuk diberikan perlakuan.

Setelah itu, peneliti mencari data terkait tingkat kekambuhan yang dimiliki remaja

dengan kecanduan narkoba yang tinggi melalui skala dan wawancara singkat dengan

subjek. Selanjutnya, peneliti melakukan pendekatan kepada subjek agar bersedia

mengikuti pelatihan mindfulness based relapse prevention addiction sebagai bentuk

intervensi untuk menurunkan (mencegah) kekambuhan.

b. Pelaksanaan penelitian

Pmengenai pengaruh mendengarkan musik jazz terhadap motivasi belajar siswa

terbagi menjadi dua tahap, yaitu tahap persiapan penelitian dan tahap pelaksanaan

penelitian.

1. Persiapan Penelitian
Tahap pelaksanaan penelitian, peneliti menjalankan intervensi yang sudah dirancang.

Langkah-langkah pada tahap pelaksanaan penelitian meliputi :

1) Pre-test

Pengumpulan data berupa pre-test, subjek mengisi lembar skala kecemasan.

Tujuan diberikannya pre-test untuk memperoleh skor awal kekambuhan remaja

pecandu Narkoba sebelum dilakukannya treatment, selain itu pre-test digunakan

sebagai alat untuk screening subjek yang memenuhi syarat penelitian. Berdasarkan

hasil screening tersebut diambil subjek dengan tingkat kekambuhan remaja pecandu

Narkoba berada pada kategori sedang hingga tinggi, lalu peneliti membaginya

menjadi kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.

2) Treatment

Perlakuan atau treatment ditujukan kepada kelompok eksperimen, perlakuan yang

diberikan yaitu dengan pelatihan mindfulness based relapse prevention addiction.

Pelatihan akan berlangsung dalam dua minggu sebanyak empat kali pertemuan.

3) Post-test

Pengumpulan data berupa post-test, subjek mengisi lembar skala kecanduan

(SRRS) dan mindfulness (FFMQ-15). Skala kecanduan (SRRS) dan mindfulness

(FFMQ-15) dibagikan kepada kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol.

Skala yang digunakan dalam post-test sama dengan skala yang dibagikan pada pre-

test. Pelaksanaan post-test akan dilakukan setelah kegiatan pelatihan diberikan kepada

kelompok eksperimen dan untuk kelompok kontrol postest akan diberikan saat itu

juga.

4) Follow Up
Pengumpulan data berupa follow-up dengan cara subjek diminta mengisi lembar

skala SRRS dan FFMQ-15 yang sama seperti saat pre test dan post test. Menurut

Marlatt & Gordon (2011) adalah 14 hari merupakan waktu yang sesuai untuk

melakukan follow up terhadap kegiatan pelatihan MBRP.

G. Metode Analisis Data

Metode yang digunakan untuk menguji hipotesis dalam penelitian ini menggunakan

Independent Sample T-test dan teknik Paired Sample T-test. Metode ini digunakan untuk

menganalisis perbedaan antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, untuk mengetahui

apakah pemberian pelatihan mindfulness based relapse prevention dapat menurunkan risiko

kekambuhan pada remaja pecandu yang sedang menjalani rawatan di IPWL. Sedangkan teknik

Paired Sample T-test digunakan untuk menganalisis perbedaan skor risiko kekambuhan dan

pada saat pretest dan posttest pada kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol. Data

dianalisis menggunakan program SPSS 22 for windows.

DAFTAR PUSTAKA

Afandi, D., Chandra, F., Novitasari, D., Widjaja, I. R., dan Kurniawan, L. (2009). Tingkat

penyalahgunaan obat dan faktor risiko dikalangan siswa sekolah menengah umum. Maj

Kedokt Indon, 59(6), 266-271

Anada, D.R.T dan Sawitri, D.R. (2015). Konsep diri ditinjau dari dukungan teman sebaya pada

remaja di panti asuhan qosim al-Hadi Semarang. Jurnal Empati, 4(4), 298-303
Armyati, O.E. (2016). Pengaruh budaya “ngangkring” terhadap pengembangan diri remaja di

universitas muhammadiyah ponorogo. Jurnal Florence, 1(1), 1-8

Allport, G. W. (1937). Personality : A psychological interpretation. Holt.

Baumeister, R.F., & Bushman, B.J. (2014). Social Psychology And Human Nature Brief Version.

Wardsworth, Cengage Learning

Bishop, S.R., Lau, M., Shapiro, S., Carlson, L., Anderson, N.D., Camordy, J., Segal, Z.V.,

Abbey, S., Speca, M., Velting, D. & Devins, G. (2006). Mindfulness : A proposed

operational definition. Clinical Psychology, 11(3), 230-241

BNN. (2019, Desember 20). Kepala BNN : “Jadikan Narkoba musuh kita bersama” [Press

Release]. DRAFT-LAMPIRAN-PRESS-RELEASE-AKHIR-TAHUN-2019-1-.pdf (bnn.go.id)

BNN. (2015). Petunjuk teknis rehabilitasi dasar rawat jalan. Direktorat penguatan lembaga

instansi pemerintah

BNN Banjarbaru. (2016). Data dan grafik klinik pratama BNNK BJB 2015 [Infographic].

BNN Banjarbaru

BNNP dan Polda Kalsel. (2013). Data Rekapitulasi Data Narkoba [Infographic]. BNN

Banjarbaru

Brown, K. W., Ryan, R. M., & Creswell, J. D. (2007). Mindfulness: Theoretical foundations and

evidence for its salutary effects. Psychological Inquiry, 18(4), 211-237, http://doi.org/

10.1080/10478400701598298
Bowen, S., Chawla, N., Collins, S.E., Witkiewiz, K., Hsu, S., Grow, J., Clifasefi, S., Garner, M.,

Douglass, A., Larimer, M.E., & Marlatt, A. (2009). Mindfulness-based relapse

prevention for substance use disorders : A Pilot Efficacy Trial. 30(4): 295-305.

Connors, G. J., & Maisto, S. A. (2006). Relapse in the addictive behaviors. Clinical Psychology

Review. 26, 107– 108

Depkes RI. (1992). Keputusan Menteri Kesehatan RI No.983/MenKes/SK/XI/1992. Pedoman

Organisasi Rumah Sakit Umum

Deputi Bidang Pencegahan BNN. (2010). Buku saku penyalahgunaan Narkoba. BNN

Desmita. (2010). Psikologi perkembangan. PT Remaja Rosdakarya

Djudyah, dan Yuniardi, S. (2010). Model Pengembangan Konsep Diri dan Daya Resiliensi

Melalui Support Group Therapy, Universitas Muhammadiyah Malang

Fausiah, F, & Widury, J. (2005). Psikologi abnormal klinis dewasa. UI Press.

Grant, S., Colaiaco, B., Motala, A., Shanman, R., Booth, M., Sorbero, M., & Hempel, S. (2017).

Mindfulness-based relapse prevention for substance use disorders : A systematic review

and meta-analysi. Journal of Addiction Medicine, 11(5): 386–396.

Gorski, T., & Miller, M. (1986). Staying sober: A guide for relapse prevention. Independence

press

Hamidi, F., & Kheiran, S. (2019). Mindfulness-based relapse prevention to reduce high risk

behaviours of people addicted to methamphetamine. International journal high risk

behaviours & addiction in press (in press). DOI:10.5812/ijhrba.92609


Hernowo. (2004). Self digesting : Alat menjelajahi dan mengurai diri. Mizan Media Utama

Hurriyati, E.A. (2010). Mengapa pengguna Narkoba pada remaja akhir relapse?. Binus Journal

Publishing, 1(2), 303-314

Kabat-Zinn, J. (1990). Full catastrophe living: Using the wisdom of your body and mind to face

stress, pain, and illness. Bantam Dell

Kamil, M. (2010). Model pendidikan dan pelatihan. Alfabeta

Kohut, H. (1971). Analysis of the self. University of Chicago Press

Kohut, H. (1977). The restoration of the self. International University Press. 10th reprinted

Kementerian Kesehatan RI. (2014). Modul assesmen dan rencana terapi gangguan penggunaan

narkotika edisi revisi 2014. Direktorat bina kesehatan jiwa kementerian kesehatan RI

Larimer, M.E., Palmer, R.S., & Marlatt, G.A. (1999). Relapse prevention : An overview of

marlatt’s cognitive behavioral model (Electronic version). Alcohol Research and Health,

23(2), 151-160.

Partodiharjo, S. (2010). Kenali narkoba dan musuhi penyalahgunaannya. Esensi

Praktikta, A.C. (2020). Mindfulness as an effective technique for various psychological

problems: A conceptual and literature review. Journal of Professionala in Guidance and

Counseling, 1(1), 1-13.

Puslitbang Kemenkes RI. (2015). Perilaku berisiko kesehatan remaja pelajar SMP dan SMA di

Indonesia. Puslitbang Kemenkes RI.

Mace, C. (2008). Mindfulness and mental health: Therapy, theory, and science. Routledge

Melemis, S.M. (2015). Relapse prevention and five rules of recovery. Yale Journal of Biology

and Medicine, (88), 325-332.


Marlatt, A., & Gordon, J. R. (1985). Relapse prevention : Maintenancestrategies in the

treatment of addictive behavior. Guilford.

Marlatt, G.A., & Donovan, D.M. (2005). Relapse prevention : Maintenance strategies in the

treatment of addictive behaviors (eds.). The Guilford Press

Marlatt, G.A., & Witkiewitz, K. (2004). Relapse prevention for alcohol and drug problems :

That was zen, this is tao. American Psychologist. 59(4): 224-35

Martono, L., Harlina dan Joewana, S. (2008). Membantu pemulihan pecandu narkoba dan

keluarganya. Balai Pustaka

Miller, W. R., & Tonigan, J. S. (1996). Assessing drinkers' motivation for change: The stages of

change readiness and treatment eagerness scale (SOCRATES). Psychology of Addictive

Behaviors, 10, 81-89.

Monitasari, K.P. (2017). Analisis survival untuk mengetahui kejadian kekambuhan kembali

(relaps) penyalahguna narkoba. Repository Universitas Airlangga. Thesis. Surabaya

Muawanah, L.B., Suroso, dan Herlan Praktikto. (2012). Kematangan emosi, konsep diri dan

kenakalan remaja. Jurnal Psikologi Persona. 7(1), 490-500

Nasution, Z. (2007). Memilih lingkungan bebas narkoba modul untuk remaja. Badan Narkotika

Nasional

Nurmaya, A. (2016). Penyalahgyunaan napza di kalangan remaja (studi kasus pada 2 siswa di

MAN 2 kota Bima). Jurnal Psikologi Pendidikan & konseling. 2(1), 26-32

Nurrokhmah, S. (2019). Kesadaran diri untuk sembuh pada remaja pengguna narkoba di

pondok pesantren bidayatussalikin. Jurnal Riset Mahasiswa Bimbingan Dan Konseling.

5(1), 81-89
Ogai, Y., Haraguchi, A., Kondo, A., Ishibashi, Y., Umeno, M., Kikumoto, H., Hori, T.,

Komiyama, T., Kato, R., Aso, K., Asukai, N., Senoo, E., & Ikeda, K. (2007).

Pengembangan dan validasi skala risiko kekambuhan pengguna stimulan untuk pengguna

narkoba di Jepang. Drug and Alcohol Dependence, 88(2-3), 174-181.

Pangesti, S. R. (2006). Aplikasi model transteoretis (transtheoretical model) pada penyalahguna

napza (narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya). Tesis. Yogyakarta: Psikologi

UGM

Papalia, D.E., Olds, S.W., & Feldman, R.D. (2009). Human development perkembangan manusia

(Edisi 10). Salemba Humanika

Pantjalina, E. Laurensia, Syafar, M., dan Natsir, S. (2013). Faktor mempengaruhi perilaku

pecandu penyalahgunaan narkoba pada masa pemulihan di rumah sakit jiwa daerah Atma

Husada Mahakam Samarinda. Jurnal UNHAS. 1: 1-11

Pertama, I.A., Suwarni, L., dan Abrori. (2019). Gambaran faktor internal dan eksternal yang

mempengaruhi kejadian relapse pecandu narkoba di kota pontianak. Jurnal Kesehatan

Masyarakat Khatulistiwa. 6(3) : 1-11

Permana, L., Rahman, A. A., dan Hidayat, I. N. (2019). Peran mindfulness dalam meningkatkan

behavioural self control remaja. Jurnal ilmu perilaku. 3(2), 110-117

Purnomo, D.I., dan Hardjanto, G. (2016). Terapi dengan pendekatan konsep kognitif perilaku

untuk mencegah relapse pada pengguna narkoba. Jurnal Psikodimensia. 15(1) : 152-174

United Nations Office on Drugs and Crime Regional Office for Central Asia. (2019). Annual

report 2019 together making the region safer from drugs, crime and terrorism. UNODC
Lampiran
Skala Risiko Kekambuhan Pengguna Stimulan (SRRS)

Skala Risiko Kekambuhan Pengguna Stimulan (SRRS) dirancang untuk evaluasi program rehabilitasi
pengguna obat-obatan terlarang, khususnya stimulan. Setiap publikasi terkait dan atau
menggunakan skala ini harus memuat kutipan lengkap. Artikel berikut harus dikutip sebagai sumber
skala:

Ogai, Y., Haraguchi, A., Kondo, A., Ishibashi, Y., Umeno, M., Kikumoto, H., Hori, T., Komiyama, T.,
Kato, R., Aso, K., Asukai, N., Senoo, E., & Ikeda, K. (2007). Pengembangan dan validasi skala risiko
kekambuhan pengguna stimulan untuk pengguna narkoba di Jepang. Drug and Alcohol Dependence,
88(2-3), 174-181.

Set Pertanyaan Evaluasi Beat Drugs Fund No. 14 (Skala Risiko Kekambuhan Pengguna
Stimulan) (2013)
(Mindfulness Based Relaps Prevention Addiciton)
Kuesioner Evaluasi Pra-Kegiatan

Nama peserta:

Jelaskan keadaan Anda selama seminggu terakhir. Untuk setiap (1) (2) (3) (4) (5)
pernyataan di bawah, lingkari satu jawaban yang paling
menggambarkan keadaan Anda. Untuk kata “narkoba” yang sangat tidak antara setuju sangat
muncul di pernyataan, pikirkan tentang obat yang saat ini Anda tidak setuju setuju setuju
salah gunakan. setuju atau
tidak
setuju

1. Perasaan yang dulu saya rasakan saat menggunakan narkoba ☐ ☐ ☐ ☐ ☐


kadang-kadang terasa lagi

2. Saya ingin menggunakan narkoba lagi ☐ ☐ ☐ ☐ ☐

3. Saya selalu ingin memasukkan sesuatu ke dalam mulut saya ☐ ☐ ☐ ☐ ☐

4. Saya bisa berhenti menggunakan narkoba secara mandiri ☐ ☐ ☐ ☐ ☐


5. Saya tersinggung dengan perkataan orang lain ☐ ☐ ☐ ☐ ☐
6. Saya khawatir kambuh, lalu memakai narkoba lagi ☐ ☐ ☐ ☐ ☐

7. Saya mudah tersinggung ☐ ☐ ☐ ☐ ☐

8. Saya akan melakukan segala cara untuk dapat menggunakan ☐ ☐ ☐ ☐ ☐


narkoba tersebut
9. Saya merasa lebih nyaman daripada sebelumnya ☐ ☐ ☐ ☐ ☐
10. Saya tidak termotivasi untuk melakukan apapun ☐ ☐ ☐ ☐ ☐

11. Saya akan baik-baik saja tanpa narkoba ☐ ☐ ☐ ☐ ☐

12. Saat memikirkan keluarga saya, saya berhenti menggunakan ☐ ☐ ☐ ☐ ☐


narkoba
13. Saya sudah pulih dari penyalahgunaan narkoba ☐ ☐ ☐ ☐ ☐
14. Saya takut terhadap halusinasi karena penggunaan narkoba ☐ ☐ ☐ ☐ ☐

15. Saya yakin bahwa saya tidak akan menggunakan narkoba lagi ☐ ☐ ☐ ☐ ☐

16. Saya merasa kesepian ☐ ☐ ☐ ☐ ☐


17. Saya tidak akan bisa mengendalikan diri jika saya ☐ ☐ ☐ ☐ ☐
menggunakan narkoba
1

Set Pertanyaan Evaluasi Beat Drugs Fund No. 14 (Skala Risiko Kekambuhan Pengguna
Stimulan) (2013)
18. Jika seseorang menawarkan narkoba tepat di depan saya, ☐ ☐ ☐ ☐ ☐
saya tidak akan bisa menolaknya
19. Saya cemas tentang masa depan saya ☐ ☐ ☐ ☐ ☐
20. Saya akan menggunakan narkoba jika saya sendirian ☐ ☐ ☐ ☐ ☐

Jelaskan keadaan Anda selama seminggu terakhir. Untuk setiap


(1) (2) (3) (4) (5)
pernyataan di bawah, lingkari satu jawaban yang paling
menggambarkan keadaan Anda. Untuk kata “narkoba” yang sangat tidak antara setuj sangat
muncul di pernyataan, pikirkan tentang obat yang saat ini Anda tidak setuju setuju u setuju
salah gunakan. setuju atau
tidak
setuju

21. Jika saya menggunakan narkoba, hal itu akan sangat ☐ ☐ ☐ ☐ ☐


mempengaruhi studi di sekolah atau kuliah/pekerjaan saya
22. Jika teman saya memberikan narkoba kepada saya, saya ☐ ☐ ☐ ☐ ☐
akan menggunakannya bahkan jika saya berada di rumah
sakit sekalipun
23. Saya tidak bisa mengendalikan perasaan saya ☐ ☐ ☐ ☐ ☐
24. Jika narkoba diletakkan di depan saya, saya akan ☐ ☐ ☐ ☐ ☐
menggunakannya
25. Saya merasa lelah karena ketidaksabaran saya ☐ ☐ ☐ ☐ ☐

26. Saya pikir saya seorang pecandu narkoba ☐ ☐ ☐ ☐ ☐

27. Jika saya punya banyak uang, saya ingin membeli narkoba ☐ ☐ ☐ ☐ ☐
28. Saya akan melakukan apa saja untuk mendapatkan uang agar ☐ ☐ ☐ ☐ ☐
bisa membeli narkoba
29. Jika saya menggunakan narkoba tersebut, rasa gugup saya ☐ ☐ ☐ ☐ ☐
akan berkurang
30. Jika saya menggunakan narkoba tersebut, saya merasa ☐ ☐ ☐ ☐ ☐
semuanya akan baik-baik saja
31. Saya ingin narkoba meskipun saya harus mencuri ☐ ☐ ☐ ☐ ☐
32. Jika saya menggunakan narkoba tersebut, saya akan merasa ☐ ☐ ☐ ☐ ☐
segar kembali
33. Saya akan menggunakan narkoba lagi dalam waktu dekat ☐ ☐ ☐ ☐ ☐

34. Saya ingin mendapatkan narkoba bahkan jika saya harus ☐ ☐ ☐ ☐ ☐


bekerja secara ilegal
35. Meskipun saya tahu saya akan ditangkap, saya tetap akan ☐ ☐ ☐ ☐ ☐
menggunakan narkoba

Set Pertanyaan Evaluasi Beat Drugs Fund No. 14 (Skala Risiko Kekambuhan Pengguna
Stimulan) (2013)
Jenis Kelamin:
1□ Laki-laki
2□ Perempuan
Usia : tahun

Apakah Anda pernah mengikuti salah satu aktivitas berikut: (pilih semua yang sesuai)
1 □ Harap cantumkan aktivitas lain dalam program

2 □ Cantumkan aktivitas lain dalam program

3 □ Sebutkan aktivitas lain dalam program

4 □ Sebutkan kegiatan lain dalam program

~ Terima kasih~

Set Pertanyaan Evaluasi Beat Drugs Fund No. 14 (Skala Risiko Kekambuhan Pengguna
Stimulan) (2013)
(Mindfulness Based Relaps Prevention Addiciton)
Kuesioner Evaluasi Setelah Kegiatan

Nama peserta:

Jelaskan keadaan Anda selama seminggu terakhir. Untuk setiap (1) (2) (3) (4) (5)
pernyataan di bawah, lingkari satu jawaban yang paling
menggambarkan keadaan Anda. Untuk kata “narkoba” yang sangat tidak antara setuju sangat
muncul di pernyataan, pikirkan tentang obat yang saat ini Anda tidak setuju setuju setuju
salah gunakan. setuju atau
tidak
setuju

1. Perasaan yang dulu saya rasakan saat menggunakan narkoba ☐ ☐ ☐ ☐ ☐


kadang-kadang terasa lagi

2. Ada kalanya saya ingin menggunakan narkoba lagi ☐ ☐ ☐ ☐ ☐

3. Saya selalu ingin memasukkan sesuatu ke dalam mulut saya ☐ ☐ ☐ ☐ ☐

4. Saya bisa berhenti menggunakan narkoba secara mandiri ☐ ☐ ☐ ☐ ☐


5. Saya tersinggung dengan perkataan orang lain ☐ ☐ ☐ ☐ ☐
6. Saya khawatir kambuh, lalu memakai narkoba lagi ☐ ☐ ☐ ☐ ☐

7. Saya mudah tersinggung ☐ ☐ ☐ ☐ ☐

8. Saya akan melakukan segala cara untuk dapat menggunakan ☐ ☐ ☐ ☐ ☐


narkoba tersebut
9. Saya merasa lebih nyaman daripada sebelumnya ☐ ☐ ☐ ☐ ☐
10. Saya tidak termotivasi untuk melakukan apapun ☐ ☐ ☐ ☐ ☐

11. Saya akan baik-baik saja tanpa narkoba ☐ ☐ ☐ ☐ ☐

12. Saat memikirkan keluarga saya, saya berhenti menggunakan ☐ ☐ ☐ ☐ ☐


narkoba
13. Saya sudah pulih dari penyalahgunaan narkoba ☐ ☐ ☐ ☐ ☐
14. Saya takut terhadap halusinasi karena penggunaan narkoba ☐ ☐ ☐ ☐ ☐

15. Saya yakin bahwa saya tidak akan menggunakan narkoba lagi ☐ ☐ ☐ ☐ ☐

16. Saya merasa kesepian ☐ ☐ ☐ ☐ ☐


17. Saya tidak akan bisa mengendalikan diri jika saya ☐ ☐ ☐ ☐ ☐
menggunakan narkoba
1

Set Pertanyaan Evaluasi Beat Drugs Fund No. 14 (Skala Risiko Kekambuhan Pengguna
Stimulan) (2013)
18. Jika seseorang menawarkan narkoba tepat di depan saya, ☐ ☐ ☐ ☐ ☐
saya tidak akan bisa menolaknya
19. Saya cemas tentang masa depan saya ☐ ☐ ☐ ☐ ☐
20. Saya akan menggunakan narkoba jika saya sendirian ☐ ☐ ☐ ☐ ☐

Set Pertanyaan Evaluasi Beat Drugs Fund No. 14 (Skala Risiko Kekambuhan Pengguna
Stimulan) (2013)
Jelaskan keadaan Anda selama seminggu terakhir. Untuk setiap (1) (2) (3) (4) (5)
pernyataan di bawah, lingkari satu jawaban yang paling
menggambarkan keadaan Anda. Untuk kata “narkoba” yang sangat tidak antara setuju sangat
muncul di pernyataan, pikirkan tentang obat yang saat ini Anda tidak setuju setuju setuju
salah gunakan. setuju atau
tidak 21. Jika saya m
mempengaruh
setuju
22. Jika teman
akan menggun
sakit sekalipun
23. Saya tidak
24. Jika narko
menggunakan
25. Saya mera

26. Saya pikir

27. Jika saya p


28. Saya akan
bisa membeli
29. Jika saya m
akan berkuran
30. Jika saya m
semuanya aka
31. Saya ingin
32. Jika saya m
segar kembali
33. Saya akan

34. Saya ingin


bekerja secara
35. Meskipun
menggunakan

J
e
n
i
s

K
e
l
a
m
i 4
n □
:
S
e
1 b
u
□ t
k
L a
n
a
k
k e
i g
- i
l a
a t
k a
n
i
l
a
i
2 n
d
□ a
l
a
P m
e
r p
e r
m o
p g
u r
a
a
m
n

U
s
i
a

:
tahun
2

Apakah Anda pernah mengikuti salah satu aktivitas berikut: (pilih


semua yang sesuai)
1 □ Harap cantumkan aktivitas lain dalam program

2 □ Cantumkan aktivitas lain dalam program

3 □ Sebutkan aktivitas lain dalam program


FFMQ-15: 15 Item Kuesioner Lima Aspek Mindfulness

PETUNJUK:

Silakan gunakan skala 1 (tidak atau sangat jarang benar) hingga 5 (sangat sering atau selalu benar) yang
disediakan untuk menunjukkan seberapa benar pernyataan di bawah ini yang menggambarkan diri Anda.
Lingkari angka dalam kotak di sebelah kanan tiap-tiap pernyataan yang mewakili pendapat Anda sendiri tentang
yang biasanya Anda lakukan pada situasi tersebut. Misalnya, jika Anda berpikir bahwa pernyataan tersebut
seringkali benar, lingkari ‘4’ dan jika Anda berpikir pernyataan kadang-kadang benar, lingkari ‘3’.

Tidak pernah Jarang Kadang- Seringkali Sangat


atau sangat benar -kadang benar sering
jarang benar benar atau
selalu
benar
1. Ketika saya mandi, saya sadar
terhadap sensasi air di tubuh saya. 1 2 3 4 5
2. Saya pandai menggunakan kata-kata
untuk menggambarkan perasaan saya. 1 2 3 4 5
3. Saya tidak memperhatikan apa yang
saya lakukan karena saya melamun, 1 2 3 4 5
khawatir, atau sedang terdistraksi oleh
hal lain.
4. Saya percaya bahwa beberapa pemikiran
saya tidak normal atau buruk dan saya 1 2 3 4 5
seharusnya tidak berpikir seperti itu.
5. Ketika saya memiliki pikiran atau
gambaran yang menyusahkan, saya 1 2 3 4 5
“mundur” dan sadar akan pikiran atau
gambaran tersebut tanpa larut di
dalamnya.
6. Saya menyadari bagaimana makanan
dan minuman mempengaruhi pikiran, 1 2 3 4 5
sensasi tubuh, dan emosi saya.
7. Saya kesulitan memikirkan kata-kata
yang tepat untuk mengungkapkan 1 2 3 4 5
perasaan saya tentang berbagai hal.
8. Saya melakukan pekerjaan atau tugas
secara otomatis tanpa menyadari secara 1 2 3 4 5
penuh tentang pekerjaan apa yang saya
lakukan.
9. Saya pikir beberapa emosi saya negatif
atau tidak pantas dan seharusnya saya 1 2 3 4 5
tidak merasakannya.
10. Ketika saya memiliki pikiran atau
imajinasi yang membuat saya tertekan, 1 2 3 4 5
saya hanya bisa menyadarinya tanpa
bereaksi terhadap hal tersebut.
11. Saya memperhatikan sensasi, seperti angin
yang meniup rambut saya atau terpaan sinar 1 2 3 4 5
matahari pada wajah saya.
12. Meskipun saya merasa sangat kesal, saya dapat
menemukan cara untuk menjelaskannya 1 2 3 4 5
melalui kata-kata.
13. Saya menemukan diri saya melakukan
sesuatu tanpa memperhatikan apa yang 1 2 3 4 5
saya lakukan.
14. Saya berkata pada diri saya sendiri bahwa
saya seharusnya tidak merasakan apa 1 2 3 4 5
yang saya rasakan.
15. Ketika saya memiliki pikiran atau imajinasi
yang membuat saya tertekan, saya hanya 1 2 3 4 5
menyadari pemikiran atau imajinasi tersebut,
dan kemudian membiarkannya berlalu.

Baer, RA, Smith, GT, Lykins, E., Button, D., Krietemeyer, J., Sauer, S., Walsh, E., Duggan, D. & Williams, JMG (2008).
Membangun validitas dari Kuesioner Lima Aspek Mindfulness dalam sampel bermeditasi dan tidak bermeditasi.

Penilaian, 15, 329–342. Doi: 10.1177/1073191107313003

Gu, J., Strauss, C., Crane, C., Barnhofer, T., Karl, A., Cavanagh, K., & Kuyken, W. (2016). Memeriksa struktur faktor dari
versi 39-item dan 15-item dari Kuesioner Lima Aspek Mindfulness sebelum dan sesudah Terapi Kognitif Berbasis
Mindfulness untuk orang-orang dengan depresi berulang. Penilaian Psikologis. Doi: 10.1037/pas0000263
SURAT PERSETUJUAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama :
Usia :
Jenis Kelamin :
Tingkat Pendidikan :
Pekerjaan :
Dengan ini saya memberitahukan bahwa benar saya menyatakan kesediaannya untuk
menjadi subjek setelah menerima penjelasan tentang tujuan penelitian dan telah mengetahui hak-
hak saya sebagai subjek yaitu mendapat jaminan kerahasiaan atas identitas dan bersedia untuk
memberikan data penunjang dalam penelitian tehsis atas nama :

Nama : Ryskie Arrahman


NIM : 18511039
Fakultas : Psikologi
Universitas : Mercu Buana Yogyakarta
Demikianlah surat pernyataan ini dibuat, semoga penelitian ini dapat digunakan
sebagaimana mestinya. Atas perhatiannya saya ucapkan terimakasih.

Banjarbaru,…...........................

Subjek

….........................................
Demi memperlancar keseluruhan tahapan dalam prosedur, beberapa hal yang telah
disepakati yaitu :

1. Prinsip Kesukarelaan
Keterlibatan semua pihak yang terkait dalam praktik ini adalah berdasarkan prinsip
kesukarelaan, tanpa ada paksaan dan ancaman dari siapapun.

2. Masalah Kerahasiaan
Bapak/Ibu/SaudaraKlien/ Pasien, akan memberikan informasi yang sejujur-jujurnya
sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya dan pihak mahasiswa/praktikan wajib
merahasiakan segala infomasi yang diperoleh dalam praktik ini kepada pihak-pihak
yang tidak berkepentingan. Dalam prosedur diatas ada kemungkinan praktikan akan
melakukan dokumentasi. Hasil dokumentasi tersebut hanya akan disampaikan
kepada sesama profesi yang terkait dengan praktik dan tidak akan disebarluaskan
kepada khalayak.

3. Risiko
Apabila ditengah jalan dalam proses praktik ini, Bapak/Ibu/Saudara merasa keberatan
untuk melanjutkannya, maka Bapak/Ibu/Saudara dapat menyatakan untuk berhenti.
Apabila terjadi dampak-dampak negatif dari proses praktik ini, Supervisor dari
mahasiswa praktikan bertanggungjawab membantu mahasiswa praktikan
mengembalikan kondisi anda menjadi seperti keadaan semula atau lebih baik.

Demikian surat pernyataan ini kami buat dengan sukarela dan sejujurnya untuk dapat
digunakan sebagaimana mestinya.
LEMBAR OBSERVASI

Pertemuan…..... Sesi….......

A. Identitas Subjek
Nama Partisipan :
Hari / Tanggal Observasi :
Waktu Observasi :
Tempat Observasi :

B. Identitas Observer :
Nama Observer :
Pekerjaan :
Status :

Aspek Catatan
Perilaku

Kognitif

Afektif
LEMBAR OBSERVASI UMUM

Pertemuan…..... Sesi….......
FORM PENILAIAN KELAYAK MODUL

Nama :

Pekerjaan :

Dengan ini memberikan penilaian terhadap modul pelatihan mindfulness based relaps
prevention addiction yang disusun oleh Ryskie Arrahman yang digunakan dalam penelitian
thesis dengan dengan judul efektivitas pelatihan mindfulness based relapse prevention addiction
(MBRP) untuk menurunkan kekambuhan pada remaja pecandu Narkoba di Rehabilitasi Institusi
Penerima Wajib Lapor (IPWL) Yayasan Pemberdayaan Banjarbaru Kalimantan Selatan.
Berikut identitas saya :

Nama & NIM : Ryskie Arrahman/18511039


Fakultas : Program Studi Magister Psikologi Profesi Fakultas Psikologi Universitas
Mercu Buana Yogyakarta
Judul : Efektifitas Pelatihan Mindfullnes-Based Relapse Prevention Perilaku Adiktif
(MBRP) Untuk Mencegah Kekambuhan Pada Remaja Pecandu Narkoba Di
Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) Yayasan Pemberdayaan Banjarbaru
Kalimantan Selatan

Berikan tanda rumput (√) pada kolom sesuai untuk faktor yang dinilai memadai

No Aspek Penilaian Penilaian Saran


Sesuai Tidak Sesuai
1. Kelengkapan dan
kejelasan materi :
a. Alat yang
digunakan
b. Lembar Kerja
c. Langkah-
langkah dan
prosedur
pelatihan
2. Sistematika Judul

3. Kesesuaian modul
4. Kesesuaian bahasa
dan isi modul
dengan
karakteristik subjek

5. Alokasi waktu
yang digunakan

Yogyakarta,…...................

….....................................
SURAT PENGANTAR MENJADI EXPERT JUDGEMENT

Lampiran : 1 bendel
Perihal : Permohonan melakukan expert judgement pedoman Skala SRRS

Kepada
Yth. ……………………………………, S.Psi. M.Psi., Psikolog
Di Tempat

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Disampaikan dengan hormat bahwa saya :


Nama : Ryskie Arrahman, S.Psi
NIM : 18511039

Mahasiswa Magister Psikologi Profesi Pendidikan Universitas Mercu Buana Yogyakarta


sedang melaksanakan penelitian untuk menyusun tesis yang berjudul “Efektifitas Pelatihan
Mindfullnes-Based Relapse Prevention Perilaku Adiktif (MBRP) Untuk Mencegah
Kekambuhan Pada Remaja Pecandu Narkoba Di Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL)
Yayasan Pemberdayaan Banjarbaru Kalimantan Selatan”.
Sehubungan dengan hal tersebut, mohon kesediaan Bapak/ Ibu untuk melakukan expert
judgement berkenaan dengan pedoman observasi dan wawancara yang akan digunakan dalam
penelitian ini. Pedoman observasi dan wawancara ini disusun berdasarkan aspek-aspek dari
risiko kekambuhan menurut Ogai dan Haraguchi (2007).

Demikian surat permohonan ini saya buat. Atas perhatian dan kesediaannya saya
sampaikan terima kasih. Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Yogyakarta,............................. 2021

Hormat saya,

(Ryskie Arrahman, S.Psi)


SURAT PENGANTAR MENJADI EXPERT JUDGEMENT

Lampiran : 1 bendel
Perihal : Permohonan melakukan expert judgement pedoman Skala FFMQ-15

Kepada
Yth. ……………………………………, S.Psi. M.Psi., Psikolog
Di Tempat

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Disampaikan dengan hormat bahwa saya :


Nama : Ryskie Arrahman, S.Psi
NIM : 18511039

Mahasiswa Magister Psikologi Profesi Pendidikan Universitas Mercu Buana Yogyakarta


sedang melaksanakan penelitian untuk menyusun tesis yang berjudul “Efektifitas Pelatihan
Mindfullnes-Based Relapse Prevention Perilaku Adiktif (MBRP) Untuk Mencegah
Kekambuhan Pada Remaja Pecandu Narkoba Di Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL)
Yayasan Pemberdayaan Banjarbaru Kalimantan Selatan”.
Sehubungan dengan hal tersebut, mohon kesediaan Bapak/ Ibu untuk melakukan expert
judgement berkenaan dengan pedoman observasi dan wawancara yang akan digunakan dalam
penelitian ini. Pedoman observasi dan wawancara ini disusun berdasarkan aspek-aspek dari
Mindfulness menurut Baer, Smith, Hopkins, Krietemeyer, dan Toney (2006).

Demikian surat permohonan ini saya buat. Atas perhatian dan kesediaannya saya
sampaikan terima kasih. Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Yogyakarta,............................. 2021

Hormat saya,

(Ryskie Arrahman, S.Psi)


SURAT KETERANGAN EXPERT JUDGEMENT

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : ………………………………….., S.Psi. M.Psi., Psikolog

Pekerjaan : Psikolog,Terapis

Pendidikan : S2 Magister Psikologi Profesi

Instansi :

No. Telp/ Handphone :

Email :

Dengan ini menerangkan bahwa telah melakukan penilaian masukan terhadap “Pedoman
observasi dan wawancara” yang diajukan sebagaimana terlampir.

Yogyakarta,.............................. 2021

Yang menerangkan,

( , S.Psi. M.Psi., Psikolog)

SURAT KETERANGAN EXPERT JUDGEMENT


Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : ………………………………….., S.Psi. M.Psi., Psikolog

Pekerjaan : Psikolog,Terapis

Pendidikan : S2 Magister Psikologi Profesi

Instansi :

No. Telp/ Handphone :

Email :

Dengan ini menerangkan bahwa telah melakukan penilaian masukan terhadap “Pedoman
observasi dan wawancara” yang diajukan sebagaimana terlampir.

Yogyakarta,.............................. 2021

Yang menerangkan,

( , S.Psi. M.Psi., Psikolog)

PENILAIAN INSTRUMEN PENELITIAN TESIS

Rater : , S.Psi. M.Psi., Psikolog


Mohon bantuan Bapak/ Ibu untuk dapat menilai instrumen penelitian ini dengan memberikan
tanda (V) pada kolom yang disediakan. Berikut ini adalah petunjuk penilaian instrumen
penelitian. Pemberian skor dibedakan menjadi 5 kriteria (diisi berdasarkan jumlah kriteria yang
ditentukan peneliti). Adapun penjelasan kriteria dalam pemberian skor dalam lembar penilaian
ini adalah sebagai berikut :

Skor 5 : Sangat RELEVAN (apabila item yang dibuat SANGAT RELEVAN dengan aspek
indikator perilaku yang diungkap)

Skor 4 : RELEVAN (apabila item yang dibuat RELEVAN dengan aspek indikator perilaku
yang diungkap)

Skor 3 : AGAK RELEVAN (apabila item yang dibuat AGAK RELEVAN dengan aspek
indikator perilaku yang diungkap)

Skor 2 : TIDAK RELEVAN (apabila item yang dibuat TIDAK RELEVAN dengan aspek
indikator perilaku yang diungkap)

Skor 1 : SANGAT TIDAK RELEVAN (apabila item yang dibuat SANGAT TIDAK
RELEVAN dengan aspek indikator perilaku yang diungkap)

The Body Scan


The Way of Tuning Into Your Body’s Signal
Tuliskan Pengalaman apa yang terjadi pada:
Lembar Kerja Harian Sesi 1

Intruksi : setiap hari, catat latihan meditasi mindfulness, termasuk hambatan yang dilalui,
pengamatan atau komentar apapun.

Hari : Durasi Aktifitas Mindfulness Pengamatan/komentar

Dari :
Bowen, S., Chawla, N., & Marlatt, G.A. 2011. Mindfulness-Based Relapse Prevention for
Addictive Behaviours : A Clinician’s Guide. The Guilford Press.
Lembar Kerja Pemicu Kekambuhan

Perhatikan minggu ini hal apa saja yang memicu anda untuk menginginkan obat-obatan. Gunakan pertanyaan-pertanyaan

berikut untuk membawa mindfulness pada detail pengalaman saat itu terjadi.

Hari/ Situasi Sensasi yang Bagaimana Mood, Apa yang kamu Apa yang kamu

tanggal dirasakan perasaan atau emosi ? pikirkan ? lakukan ?

Dari :
Bowen, S., Chawla, N., & Marlatt, G.A. 2011. Mindfulness-Based Relapse Prevention for Addictive Behaviours : A Clinician’s
Guide. The Guilford Press.

Anda mungkin juga menyukai