TESIS
Ryskie Arrahman
18511039
FAKULTAS PSIKOLOGI
2021
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
(Narkoba) telah menjadi permasalahan dunia yang tidak mengenal batas negara, juga telah
menjadi bahaya global yang telah mengancam hampir semua sendi kehidupan masyarakat dan
apabila tidak ditanggulangi maka akan menjadi ancaman bagi kesejahteraan generasi mendatang.
Pada kenyataannya kejahatan Narkoba telah menjadi sebuah kejahatan transaksional yang
dilakukan oleh kelompok kejahatan teroganisir (organized crime). Masalah ini melibatkan
sebuah sistem kompleks yang berpengaruh secara global dan berkaitan erat dengan ketahanan
nasional sebuah bangsa. Masalah gangguan penggunaan Narkoba telah berkembang yang
dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya adalah ketersediaan zat, kebutuhan masyarakat dan
Permasalahan narkotika telah membuat seluruh negara di dunia khawatir dan resah.
United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) sebagai Badan dunia yang mengurusi
masalah narkotika mencatat setidaknya ada 271 juta jiwa di seluruh dunia atau 5,5 % dari jumlah
populasi global penduduk dunia dengan rentang usia antara 15 sampai 64 tahun telah
mengonsumsi Narkoba, serta setidaknya orang tersebut pernah mengkonsumsi narkotika di tahun
2017. Bedasarkan laporan perkembangan situasi Narkoba dunia pada tahun 2017, diperkirakan
271 juta orang, atau 5,5 persen dari populasi global berusia 15-64 tahun, telah menggunakan
Narkoba pada tahun sebelumnya (UNODC, 2019). NARKOBA di satu sisi merupakan obat atau
bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu
pengetahuan, tetapi di sisi lain dapat pula menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan
apabila disalahgunakan atau digunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan
saksama.
dimana remaja pecandu Narkoba diharapkan tidak lagi menjalani pemenjaraan, melainkan
menjalani terapi dan rehabilitasi, baik medis, psikologis maupun sosial. Sesuai dengan program
kerja Badan Narkotika Nasional (BNN) tahun 2015, dimana Badan Narkotika Nasional Provinsi
(BNNP) telah ditetapkan menjadi Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) sehingga remaja
pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika mendapatkan akses layanan rehabilitasi, dari total
pecandu yang ada tidak memungkinkan untuk selalu diberikan pelayanan rawat inap, dapat juga
Maraknya penyalahgunaan Narkoba tidak hanya terjadi di kota-kota besar saja, tapi sudah
sampai ke kota-kota kecil di seluruh wilayah Republik Indonesia, mulai dari masyarakat dengan
tingkat sosial ekonomi menengah bawah sampai tingkat sosial ekonomi atas. Sektor kesehatan
upaya promotif, preventif, terapi, dan rehabilitasi. Dari hasil penelitian yang dilakukan BNN
secara periodik setiap tiga tahun diinformasikan angka prevalensi terhadap narkotika mulai tahun
Tahun pravelensi
2011 2,23%
2014 2,18%
2017 1,77%
2019 1,80%
Undang – Undang Dasar 1945 yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa
dan ikut melaksanaan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial (Depkes, 1992). Dalam rangka mencapai cita – cita bangsa tersebut
diselenggarakan pembangunan kesehatan sebagai salah satu upaya pembangunan nasional yang
diarahkan guna tercapainya kesadaran, kemauan, dan kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap
penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Salah satunya ditentukan oleh
rasa aman dari pengaruh Narkoba terutama bagi generasi muda, mengingat peredaran Narkoba
telah menyentuh lingkaran yang semakin dekat dengan kita. Menghadapi era globalisasi
teknologi komunikasi yang berdampak langsung pada keluarga terutama generasi muda
mengisyaratkan kita agar senantiasa waspada dan selalu berusaha terutama bagi
orangtua/keluarga untuk membimbing dan mengarahkan putra putrinya agar terhindar dari
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara mengharuskan kita untuk mengantarkan, mengenal, dan
generasi muda terutama dalam penyalahgunaan Narkoba merupakan ancaman bagi masa depan
Hasil survey perilaku berisiko pelajar nasional berbasis sekolah di Indonesia pada tahun
2015, yang dilakukan oleh Puslitbang Upaya Kesehatan Masyarakat Badan Litbangkes dengan
World Health Organation menunjukkan bahwa remaja cenderung melakukan perilaku berisiko
bagi kesehatan seperti konsumsi minuman beralkohol dan konsumsi obat-obatan terlarang.
(Litbangkes Kemenkes RI, 2015). Bedasarkan hasil penelitian Nurmaya (2016) mengenai
penyalahgunaan Narkoba pada remaja, dampak yang dapat diterima remaja secara lansung dapat
melalui fisik maupun psikis, yaitu seperti pelupa, sukar bernafas, sakit kepala, suhu tubuh
sewaktu-waktu meningkat dan sulit tidur. Secara psikologis pemalas, lamban bekerja, ceroboh,
sering tegang dan gelisah, sulit fokus, merasa tertekan dan emosi labil. Secara sosial dikucilkan
oleh masyarakat sekitar lingkungan tempat tinggal dan dijauhi oleh teman-teman di sekolah.
Secara spiritual Sebelum mengenal Narkoba subjek penelitian adalah anak rumahan dan tidak
pernah meninggalkan ibadahnya tetapi setelah mengenal Narkoba justru ibadahnya ditinggalkan
Pantjalina (2013) dan Martono (2008), menyatakan bahwa kelompok remaja merupakan
populasi berisiko dalam penyalahgunaan Narkoba. Masa remaja seringkali identik dengan masa
pencarian jati diri sehingga mendorong remaja berkeinginan untuk mencoba sesuatu yang baru
termasuk mengkomsumsi Narkoba, Psikotropika, dan Zat Adiktif lain (Narkoba). Solidaritas
persahabatan seringkali dijadikan sebagai alasan untuk melakukan hal-hal yang dilakukan untuk
dilakukan secara bersama. Remaja yang mengkonsumsi obat untuk memperoleh perasaan nikmat
ternyata justru bersifat maladaptif (tidak baik) secara jangka panjang. Papalia (2009) menyatakan
saat usia remaja kematangan psikologis belum stabil, merasa kurang bermanfaat di
lingkungannya dan sangat mudah terprovokasi orang lain, sehingga dapat dengan mudah
mendapat pengaruh dari teman sebaya yang cenderung negatif serta mendorong perilaku negatif
Rehabilitasi pencandu Narkoba merupakan sebuah upaya pemulihan agar para remaja
dengan pecandu berhenti untuk mengkosumsi serta ketergantungan terhadap Narkoba. Masa
pemulihan adalah masa para pecandu Narkoba memutuskan untuk berhenti mengkonsumsi
Narkoba. Umumnya masa ini ditandai dengan ketidakstabilan emosi. Menurut World Health
Organization (dalam Syuhada, 2015) seseorang dikatakan pulih apabila sudah bersih dari
Narkoba selama 2 (dua) tahun. Namun, remaja dengan pecandu Narkoba yang ingin pulih sangat
berisiko mengalami kekambuhan. Kekambuhan merupakan perilaku penggunaan kembali
Narkoba setelah menjalani penanganan secara rehabilitasi yang ditandai dengan adanya
pemikiran dan perasaan serta perilaku ingin menggunakan kembali setelah periode putus zat.
Secara garis besar ada dua faktor yang mempengaruhi terbentuknya relapse yaitu faktor internal
Narkoba namun memiliki kemampuan yang kurang dalam melakukan manajemen diri (self-
management) serta sikap yang kurang efektif dalam menghadapi tantangan atau hambatan dapat
mengalami kondisi relapse dalam menjalani proses rehabilitasi. Didukung dengan pendapat
Martono dan Joewana (2008) dalam bukunya yang berjudul Membantu Pemulihan Pecandu
Narkoba dan Keluarganya, bahwa penting bagi pecandu Narkoba untuk mengembangkan
keterampilan untuk mengatasi situasi risiko tinggi yang membangkitkan perasaan dan pikiran
akan kekambuhan terutama ketika kembali kepada teman pecandu dan kebiasaan lama,
membangun citra diri, mengembangkan nilai-nilai positif pada diri dan kejujuran diri, berani
mengambil keputusan yang efektif dan rasa tanggung jawab serta menerima konsekuensinya.
Huriyati (2010) mendukung pernyataan ini dengan jawaban dari penelitian kualitatifnya yang
menjelaskan bahwa remaja dengan kendali penuh atas pengambilan sikap (locus of control) dan
manajemen coping stress yang baik mampu meregulasi kondisi relapse yang terjadi.
abstinensia. Beberapa ahli menganggap yang digolongkan kekambuhan hanya mencakup kepada
orang-orang yang telah menyelesaikan atau melengkapi rangkaian terapi formal dan kembali
menggunakan Narkoba dengan pola yang serupa atau lebih buruk dari penggunaan sebelum
menjalani program rehabilitasi di panti, belum bisa benar-benar meninggalkan Narkoba atau
sembuh. Angka relapse juga masih tinggi di beberapa negara yaitu 33% di Nepal, 55,8% di Cina,
60% di Swiss, dan 60-90% di Bangladesh. Pengguna Narkoba mengalami kekambuhan antara
satu bulan sampai satu tahun setelah keluar dari program pengobatan.9 Berdasarkan data BNN,
angka relapse Narkoba di BNN sebelum adanya program pasca rehabilitasi yaitu 90%, setelah
Pantjalina (2013), menjelaskan kondisi relapse, yaitu peristiwa mantan pecandu yang
telah berapa lama tidak memakai Narkoba kembali memakai dan terus mengkomsumsinya juga
dapat terjadi pada saat remaja pecandu dalam kondisi stress atau apabila menghadapi tekanan
baik dari dalam dirinya maupun dari luar dirinya. Bedasarkan data yang telah dikutip dari laman
Media Indonesia tahun 2020 disebutkan oleh Kabid Pencegahan dan Pemberdayaan Masyarakat,
Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Kalimantan Selatan, yaitu Ifansyah, pada Minggu
tanggal 29 desember tahun 2019. Didapatkan hasil survey tim BNN pusat pada awal 2019
diperoleh data peringkat penyalahgunaan Narkoba di Kalsel turun dari peringkat 5 secara
nasional menjadi 12 (Susanto, 2020). Angka kekambuhan dari pecandu yang pernah dirawat
pada berbagai pusat terapi dan rehabilitasi semakin tinggi (60-80 %) (Martono, 2008).
Berdasarkan data residen (pengguna Narkoba terdaftar di BNN) tahun 2015 yang didapatkan
peneliti dari BNN Banjarbaru, Kalsel bahwa terjadi peningkatan jumlah residen dengan total
keseluruhan adalah 602 orang residen baru dan lama, dengan didominasi usia remaja. Untuk
memperkaya data peneliti melakukan wawancara pada subjek I yang pernah menjadi konselor
adiksi dan saat ini mengalami relapse sebanyak 3 kali serta mendapatkan perawatan di IPWL
Yayasan Pemberdayaan Banjarbaru pada bulan April 2021, adapun hasil wawancara awal
sebagai berikut :
“aku khilaf ki, waktu itu pusing masalah bini”, “sebujurnya sudah lawas
ae makai lagi, tapi hanyar ketahuan aja oleh sudah lain lo muha ku”,
“kada kawa aku lari dari kawananku, mun menurutku lah oleh aku suah
jadi konselor jua. Sehebat-hebatnya akum un aku dihadapi lawan barang
ngintu mun aku kada sanggup… kayapa pang lagi… kam ingat lo aku
suah umpat pelatihan…. Kada kawa aku menolak ki”, “aku kadang
menangis mun sembahyang, kenapa aku kaya ini”
“saya khilaf ki, waktu itu dipusingkan karena masalah dengan istri”,
“sebenarnya sudah lama aku menggunakan lagi, tapi baru saja ketahuan
karena memang mukaku berubah”, “tidak bisa aku meninggalkan teman-
temanku, menurutku karena aku pernah sebagai konselor juga. Sehebat-
hebatnya aku apabila aku dihadapkan barang itu aku tidak akan
sanggup… bagaimana lagi, kamh ingat kan aku pernah ikut pelatihan.
Tidak bisa aku menolak ki”, “aku kadang menangis dalam shalat, kenapa
aku seperti ini”
Bedasarkan hasil wawancara ditemukan bahwa kemampuan regulasi klien sebagai
konselor adiksi tidak maksimal sehingga klien mengalami kekambuhan. Relapse merupakan
kelanjutan dari perilaku yang bermasalah pada klien, klien yang mengalami perilaku adiktif
dengan mudah mengakui bahwa akan berhenti sementara untuk mengkonsumsi zat adiktif,
namun mereka akan mengalami lagi fase ketergantungan dan menggunakan kembali zat adiktif
(Connors & Maisto, 2006). Hal ini menurut Martono (2008) disebabkan komitmen yang lemah,
situasi atau lingkungan, emosi, konflik interpersonal dan adanya tekanan sosial pada diri
individu. Pada hasil wawancara, 4 hal ini juga ditemukan pada masalah klien.
pelayanan terapi dan rehabilitasi komprehensif pada gangguna penggunaan NARKOBA (dalam
http://www. rsstroke.com/ files/ peraturan /BUK/ Regulasi Narkoba/ Kepmen-kes_No 420. pdf
diakses pada 4 April 2021) dengan menerapkan metode Theraputic Community (TC) dalam
layanan rehabilitasi sosialnya. Therapeutic Community adalah metode rehabilitasi sosial yang
ditujukan kepada korban penyalahgunaan Narkoba, dimana orang-orang dengan masalah dan
tujuan yang sama, berkumpul sebagai sebuah “keluarga”, sehingga terjadi perubahan tingkah
laku ke arah yang positif, yaitu lepas dari ketergantungan Narkoba (Direktorat Jenderal
Peneliti juga melakukan wawancara awal kepada tiga orang klien yang dipilih secara
acak dari IPWL di kota , pada bulan September 2020, adapun hasil wawancara awal sebagai
berikut :
Subjek pertama usia 20 tahun menceritakan bahwa setelah masa rehabilitasi selesai, dia
Kembali lagi menggunakan karena teman-teman mainnya mengajak dia menggunakan kembali.
“aku khilaf ki, waktu itu pusing masalah bini”, “sebujurnya sudah lawas
ae makai lagi, tapi hanyar ketahuan aja oleh sudah lain lo muha ku”,
“kada kawa aku lari dari kawananku, mun menurutku lah oleh aku suah
jadi konselor jua. Sehebat-hebatnya akum un aku dihadapi lawan barang
ngintu mun aku kada sanggup… kayapa pang lagi… kam ingat lo aku
suah umpat pelatihan…. Kada kawa aku menolak ki”, “aku kadang
menangis mun sembahyang, kenapa aku kaya ini”
“saya khilaf ki, waktu itu dipusingkan karena masalah dengan istri”,
“sebenarnya sudah lama aku menggunakan lagi, tapi baru saja ketahuan
karena memang mukaku berubah”, “tidak bisa aku meninggalkan teman-
temanku, menurutku karena aku pernah sebagai konselor juga. Sehebat-
hebatnya aku apabila aku dihadapkan barang itu aku tidak akan
sanggup… bagaimana lagi, kamh ingat kan aku pernah ikut pelatihan.
Tidak bisa aku menolak ki”, “aku kadang menangis dalam shalat, kenapa
aku seperti ini”
Hasil dari wawancara bersama subjek pertama ditemukan bahwa klien kembali
menggunakan setelah masa rehabilitasi selesai disebabkan ajakan teman dan dukungan keluarga
Subjek kedua usia 18 tahun menceritakan bahwa pada masa rehabilitasi, dia ketahuan
“jadi, waktu itu aku ketahuan lag ikan, makanya aku dibawa lagi ke sini.
Aduh, kata ayah, kamu ini masih rehabilitasi kalau begini bisa ditangkap
lagi. Aduh kata saya, memang sial yang menimpa say aini”. “menyesal
saja, tapi bagaimana lagi nasib seperti itu… itu lihat, ibu melihat saya
terus dari belakang”, “ah, sulit memang kak, tidak punya uang seperti
ini… paling mudah ya membeli lem paling murah sudah”, “tidak juga
saya dipantau di luar sana hehe… kalau hari minggu saya ke sini”
Hasil dari wawancara bersama subjek kedua ditemukan bahwa klien kembali
menggunakan pada masa rehabilitasi disebabkan keingingan yang kurang kuat untuk lepas dari
Subjek ketiga usia 16 tahun menceritakan bahwa pada setelah masa rehabilitasi dia sering
“padahal lo, makai lagi tu kadapapa aja menurut ulun lagian lah… ka
lah, lun makai tu kada ae disariki mama, mama muyak kalo lah”,
“kadapapa ja, lun jua yang meharit sorangan… nyaman rami ja
bekumpulan lawan kawanan”, “kada banyak jua…. Ni lun kampeng
karena rancak keluar malam ae”
“padahal kan, menggunakan lagi itu tidak apa-apa saja menurut saya
masalahnya kan… ka kan, saya menggunakan itu tidak dimarahi mama,
mama bosan mungkin ya”, “tidak apa-apa saja, saya juga yang
merasakannya sendiri… nyaman dan asyik berkumpul bersama teman-
teman”, “tidak banyak juga… ini saya pilek karena sering keluar malam
saja”.
Hasil dari wawancara bersama subjek ketiga ditemukan bahwa klien kembali
menggunakan pada masa rehabilitasi disebabkan kesadaran yang kurang akan pengetahuan
Bedasarkan hasil penelitian Pertama (2019) menunjukan kejadian relapse pada mantan
(relapse) pecandu Narkoba, diantaranya adalah adanya faktor-faktor psikologis yang berperan
meliputi faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal terdiri atas efek ketergantungan,
adanya motif untuk kembali berhubungan dengan pecandu lain, pandangan bahwa Narkoba
merupakan tempat pelarian masalah, kepribadian yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan
mengenai dampak negatif Narkoba yang rendah, serta kecenderungan pecandu untuk
menghindari masalah kehidupannya. Faktor eksternal terdiri atas keluarga yang tidak memiliki
kedekatan hubungan emosional, tersedianya fasilitas untuk kembali pada Narkoba, serta tidak
adanya dukungan keluarga, mentor pendamping, dan teman sebaya dalam menghindari Narkoba
Salah satu faktor pendorong terjadinya kekambuhan pada remaja adalah disebabkan
gagalnya remaja dalam memahami dan menerima bahwa kondisi adiksi adalah suatu penyakit,
akibatnya remaja merasa tidak memerlukan program pemulihan (Martono, 2008). Hal tersebut
didukung hasil penelitian yang dilakukan oleh Simanggungsong (2015) yang menyatakan bahwa
faktor internal seperti kondisi kepribadian remaja yang tergolong masih labil membuat individu
mudah terbujuk untuk menyalahgunakan narkoba dan menganggap bahwa dirinya tidak
mengalami sakit (tidak sadar) akibat kecanduannya sehingga kembali menggunakan Narkoba.
Bedasarkan hasil penelitian Nurrokhmah (2019) pada subjek penelitian yaitu remaja
dengan kecanduan Narkoba. Remaja yang memiliki kesadaran diri terhadap adiksinya dapat
mengubah cara pandang subjek akan peran dan tanggung jawabnya dalam masyarakat serta
perilaku baiknya yang akan mendorong perilaku sembuh dari Narkoba. Kesadaran ini dapat
becoming aware yaitu kemampuan akan kesadaran untuk menerima diri, perilaku, semua akibat
Sindunata (2016) menyatakan bahwa kekambuhan pada pemakai zat adiktif dapat
cukup signifikan pada pecandu zat adiktif untuk lepas dari penggunaan obatnya. Individu remaja
dengan tingkat mindfulness yang tinggi cenderung lebih aktif dan memiliki motivasi yang lebih
baik untuk lepas dari penggunaannya. Hal ini disebabkan saat individu semakin mampu memiliki
kesadaran diri dia juga mampu mengendalikan keinginannya dan memiliki penghayatan positif
Dengan memiliki kesadaran penuh (mindfulness), remaja juga secara aktif mencari
informasi dan dukungan sosial dari remaja lain yang berhasil lepas dari penggunaan obat. Hal ini
membantu mereka dalam melaksanakan program dengan benar dan dapat terus menjaga dirinya
untuk tidak kembali menggunakan. Selain mencari informasi melalui teman-temannya, ia juga
mencari informasi melalui internet. Hal ini menunjukkan openness sebagai sikap mindfullnes
mereka dan kecenderungan mereka untuk membuat perilaku baru yang lebih baik dalam mencari
kesenangan. Mereka juga lebih sadar pada pola perilaku yang dapat membuatnya kembali
menggunakan zat adiktif, lalu berusaha menghindari perilaku tersebut. Kesadaran yang lebih
baik pada pola perilaku menunjukkan actaware dan nonjudge sebagai sikap mindfullnes yang
baik pada dirinya, yaitu ia dapat menyadari perilaku, pikiran dan perasaannya (Sindunata, 2016).
kesadaran individu sebelum individu memilik respon dalam menghadapi stimulus yang dia
terima sehingga menciptakan kesempatan untuk merespon dengan terampil daripada bereaksi
secara otomatis dan instingtif. Jadi, ketika dihadapkan pada pemicu penggunaan zat, remaja
dapat membuat pilihan yang bijaksana untuk mengurangi kemungkinan kambuh. Bowen juga
yang mengakibatkan emosi-emosi negatif, menurunkan dampak yang ditimbulkan pada diri dari
Menurut peneliti, kesadaran diri penting untuk dimiliki para remaja pengguna Narkoba
agar mereka dapat melihat baik dan buruk dari penggunaan Narkoba dan memiliki dorongan
untuk berhenti menggunakan Narkoba dan menjalankan tugas perkembangan sesuai usianya. Hal
ini sejalan dengan pendapat Partodiharjo (2010) yang menyatakan bahwa salah satu keberhasilan
dalam upaya pemulihan dari ketergantungan Narkoba adalah kesadaran dan kesungguhan
pengguna. Keterkaitan kesadaran diri dan kesembuhan pada pengguna Narkoba juga dibahas
oleh Suparno (2017) yang menyatakan bahwa terdapat kecenderungan semakin tinggi kesadaran
diri seseorang, maka semakin tinggi pula motivasinya untuk sembuh dari Narkoba. Sebaliknya,
semakin rendah kesadaran diri seorang individu, maka semakin rendah pula motivasi sembuh
yang dimilikinya.
prevention perilaku adiktif sebagai acuan untuk mencegah perilaku relapse pada remaja pecandu
Narkoba. Remaja yang memiliki kesadaran diri terhadap kondisi adiksinya dapat mengubah cara
pandangnya akan peran dan tanggung jawabnya dalam masyarakat serta perilaku baiknya yang
akan mendorong perilaku sembuh dari Narkoba. Kesadaran ini dapat ditingkatkan melalui latihan
dengan dasar kesadaran. Salah satu terapi yang dapat digunakan untuk mencegah kekambuhan
adalah Mindfulness based relaps prevention, dimana Mindfulness disini berperan untuk
meningkatkan becoming aware yaitu kemampuan akan kesadaran untuk menerima diri, perilaku,
1. Tujuan Penelitian
2. Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian yang dilakukan oleh peneliti diharapkan dapat memberikan
addiction pada remaja pecandu Narkoba di Rehabilitasi Institusi Penerima Wajib Lapor
penelitian ini diharapkan mampu memberikan pengetahuan para pada remaja pecandu
Narkoba di Rehabilitasi Institusi Penerima Wajib Lapor, bahwa relapse merupakan salah
satu kondisi yang dapat menyebabkan gangguan psikis yang akan dirasakan dan bagaimana
C. Keaslian Penelitian
Keaslian penelitian diperlukan sebagai bukti agar tidak adanya plagiarisme antara
penelitian sebelumnya dengan penelitian yang dilakukan. Terdapat beberapa hasil penelitian
1. Penelitian oleh Sari, N.L.K.R., Hamidah, dan Marheni (2020) dengan judul “Terapi
pecandu Narkoba”, penelitian ini bertujuan untuk menguji efektivitas terapi kognitif
metode kuantitatif ekperimen dengan one group pretest-posttest design. Teknik sampling
yang digunakan adalah pusposive sampling. Data dianalisis menggunakan uji beda
Wilcoxon signed-rank test. Hasil penelitian menunjukkan nilai negative ranks = 3 dengan
nilai Z= -1.604 dan Asymp. Sig. = 0.109 (p>0.05). Hal ini berarti tidak ada perbedaan
pemasyarakatan sebelum dan setelah diberikan terapi kognitif perilaku. Meskipun begitu,
angka negative ranks menunjukkan bahwa seluruh skor posttest lebih rendah dari skor
pretest sehingga dapat disimpulkan bahwa terapi kognitif perilaku dapat menurunkan
pemasyarakatan. Kebaharuan dalam penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti adalah
media mendekati spiritual remaja pecandu Narkoba sehingga akan berbeda dengan
pendekatan kognitif psikologi. Peneliti juga menggunakan rancangan metode two group
pretest-postest dengan jarak waktu yang tidak terlalu jauh agar dapat mengontrol
2. Penelitian yang dilakukan oleh Rizal, S. (2020) dengan judul “Implementasi Teknik
Relaksasi Dalam Menurunkan Gejala Relapse Emosi Klien ID Di Desa Lembang Kec.
Lembang, KAB. Bandung Barat” bertujuan untuk mengkaji dan menganalisis efektivitas
teknik relaksasi dalam mengurangi gejala relapse emosi pada subyek. Subyek dalam
penelitian ini adalah eks korban penyalahgunaan NARKOBA yaitu ID. Fokus dalam
penelitian ini adalah penerapan teknik relaksasi dalam menurunkan gejala relapse emosi
subyek dalam aspek marah, takut kehilangan akal dan sulit tidur yang dialami oleh
menggunakan Single Subject Design (SSD), model penelitian yang digunakan yaitu A-B-
A yang terdiri dari tiga fase antara lain fase A1 (baseline), fase b (intervensi), dan fase A2
(hasil). Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan cara observasi,
pengisian angket atau kuisioner, wawancara tidak terstruktur dan studi dokumentasi.
Pengujian hipotesis dilakukan dengan cara perhitungan rumus dua standar deviasi (2SD).
Hasil penelitian menunjukan, bahwa penerapan teknik relaksasi dapat menurunkan gejala
relapse emosi aspek marah, takut kehilangan akal dan sulit tidur subyek ID. Hasil
pengujian melalui dua standar deviasi (2SD) menunjukan intervensi efektif dan signifikan
untuk mengurangi gejala relapse, dan analisis kecenderungan data menunjukan adanya
trend menurun. Penelitian yang saat ini dilakukan, subjeknya adalah remaja, khususnya
remaja dengan kecanduan Narkoba yang diharapkan dengan metode perpaduan antara
sulit tidur yang dialami oleh subyek sedangkan penelitian ini menggunakan tekhnik
didesain sebagai latihan kesadaran bagi penyalahguna remaja Narkoba yang pikirannya
terperangkap dalam suatu pola, sehingga terus ada keinginan untuk memakai Narkoba
eating, meditasi deteksi tubuh, meditasi napas dan meditasi SOBER (Stop, Observe,
Breath, Expand, Respond), meditasi jalan, meditasi suara, dan meditasi yang dimodifikasi
3. Riset dan pengabdian yang dilakukan oleh Sari, I.N. (2016) dengan judul “Penerapan
Terapi Rasional Emotif Terhadap Penurunan Relapse Subjek “MI” Eks Klien Balai
Rehabilitasi Sosial Pamardi Putra Di Kota Bandung” riset ini dilakukan sebagai upaya
untuk memperoleh hasil dari penanganan kasus tentang penerapan Terapi Rasional
guna menurunnya tingkat relapse penyalahguna NARKOBA dan juga untuk memperoleh
dengan bantuan SPSS versi 2.0. selanjutnya hasil penelitian dianalisis menggunakan
tekhnik Analisa kuantitatif dengan menggunakan rumus Two Standard Deviation (2 SD)
untuk menguji hipotesa utama. Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan bahwa
Terapi Rasional Emotif Efektif untuk menurunkan relapse subjek yaitu memecahkan
masalah pemikiran irrasional menjadi lebih rasional serta dapat menurunkan tingkat
relapse subjek. Perbedaan pada penelitian saat ini terletak pada substansi, atau
menentukan yang dirasakan dan dilakukannya pada berbagai peristiwa dalam hidupnya.
Dengan penekanan pada cara berpikir mempengaruhi perasaan subjek, sedangkan pada
penelitian ini menggunakan paradigma kesadaran hari ini, saat ini, di sini. Selain itu
perbedaan juga terdapat pada jumlah subjek dan metode yang digunakan hingga
4. Purnomo, I.D. & Hardjanto, G. (2016) dalam jurnal yang berjudul “Terapi dengan
Narkoba”. Jenis penelitian kuantitatif eksperimen dengan desain the two group pre test-
post treatment design. Jumlah partisipasi adalah 10 orang, terbagi dalam dua kelompok
yaitu, kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Teknik analisis data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah analisis statistik yaitu Mann-Whitney U test dan Wilcoxon
signed rank. Hasil dalam penelitian ini adalah Terapi dengan Pendekatan Konsep
Kognitif Perilaku kurang efektif untuk mencegah relapse pada penyalah guna Narkoba.
dalam penelitiannya.
5. Penelitian yang dilakukan oleh Hamidi, F. dan Kheiran, S. (2019) yang meneliti
posttest dengan kelompok kontrol. Populasi sebagai subjek penelitian ini adalah semua
Ilmu Kedokteran Kashan di Kashan ( sebuah kota di Iran) pada tahun 2016. Tiga puluh
berdasarkan kriteria DSM-5, secara acak dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol masing-masing dengan 15 subjek perempuan dan laki-
laki. Alat tes yang dipilih adalah craving beliefs questionnaire dan Eysenck and wilson’s
aggression questionnaire. Hasil Data dianalisis dengan statistik deskriptif dan analisis
eksperimen dan kontrol dalam dua variabel (P <0,01). Intervensi MBRP menurunkan
keinginan dan agresi pada klien sebagai perilaku berisiko tinggi dari individu yang
bergantung pada metamfetamin. Koefisien Eta adalah 27% untuk keinginan dan 53%
untuk agresi. Perbedaan pada penelitian ini adalah, peneliti tidak membatasi penggunaan
terapi, Skala Risiko Kekambuhan Pengguna Stimulan (SRRS). Peneliti juga mengajarkan
keterampilan baru yang mana menjadi sub pelatihan dan tidak hanya pemberian terapi
semata. Pemilihan subjek pada peneliti menggunakan rentang usia remaja, dengan
menggunakan skala Stimulant Relapse Risk Scale dan addiction Relapse Warning Signs.
bahwa penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti tentang “Efektifitas Pelatihan
Kekambuhan pada Remaja Pecandu Narkoba di Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL)
penelitian yang telah disebutkan. Perbedaan tersebut terletak pada karakteristik subjek
penelitan, variabel bebas, variabel tergantung serta lokasi penelitian. Hal ini dikarenakan
dari beberapa penelitian di atas terdapat penelitian yang menggunakan variabel bebas
yang sama tetapi dengan variabel tergantung yang berbeda, dan sebaliknya ada yang
menggunakan variabel tergantung yang sama dengan variabel bebas yang berbeda.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kekambuhan
penggunaan kembali pemakai dengan zat adiktif, merupakan kejadian terakhir dari
dari dalam dan luar. Martono dan Joewana (2008) mengartikan kekambuhan adalah
sebagai bagian dari proses pemulihan dan dapat dicegah, dimana wujud perilaku
dengan baik, yang berlansung secara progresif dimana ketika gejala-gejala ini
meningkat dan akhirnya pengguna kembali memakai, agar bebas dari tekanan.
melengkapi rangkaian terapi formal serta kembali menggunakan Narkoba dengan pola
yang serupa atau lebih buruk dari penggunaan sebelum pengguna mengalami
untuk mengehentikan sama sekali penggunaan Narkoba oleh pemakai (Depkes RI,
2001). Bila pengguna pernah menggunakan satu kali saja setelah “clean” maka ia
disebut “slip”. Menurut Monitasari (2017) proses kambuh kembali merupakan wujud
perilaku menyimpang atau manifestasi ketidakmampuan individu menjalankan
perubahan perilaku, juga menyatakan bahwa relapse atau tahap kambuh merupakan
perubahan perilaku seseorang kembali pada perilaku yang berisiko atau kurang aman
yang dilakukan sebelumnya. Proses relaps bervariasi pada setiap individu tergantung
kontekstual individu dan faktor pemicu. Menurut Somar (dalam Pangesti, 2006)
namun sugesti atau kecenderungan untuk menggunakan Narkoba masih akan terasa.
Hal tersebut yang menyebabkan mantan pengguna sulit untuk lepas dari lingkungan
obat-obat terlarang.
adalah sebagai bagian dari proses pemulihan dan dapat dicegah, dimana wujud
menjalankan fungsinya dengan baik, yang berlansung secara progresif dimana ketika
2. Aspek Relapse
yaitu:
Larmier, Palmer, dan Marlatt, 1999 terdapat empat situasi yang dapat
dari berbagai situasi seperti merasa bosan dan kesepian di rumah yang
kosong saat pulang kerja atau reaksi terhadap peristiwa dilingkungan seperti
2) Situasi yang melibatkan orang lain atau sekelompok orang. Situasi berisiko
lansung dan secara verbal ataupun nonverbal seperti berada di sekitar orang
b. Coping
kemampuan untuk mengahadapi situasi berisiko tinggi yang dapat
relapse pada seseorang yang dapat melaksanakan strategi coping efektif strategi
narkoba dan tidak menghiraukan efek negatif dari narkoba akan memiliki
kecenderungan kekambuhan.
kalinya lapse dan atribusi penyebab lapse yang dapat mengarahkan pada
di luar kendali saya tidak akan pernah mungkin bisa berhenti menggunakan
lapse sebagai kegagalan dalam melakukan coping yang efektif pada situasi
tertentu.
Sedangkan menurut Gorski & Miller (1986), aspek relapse sebagai berikut :
A. Emotional Relapse
Pada tahap ini, dalam diri individu belum muncul pikiran untuk kembali
B. Mental Relapse
Pada tahap ini, individu sulit untuk membuat pilihan. Sebagian dari diri
C. Physical Relapse
Pada tahap ini, individu sudah mengalami relapse secara fisik, seperti
pergi mencari “barang”, menemui bandar, dan mengkonsumsi zat narkoba lagi.
3. Proses Kekambuhan
Martono dan Joewana, 2008), proses relaps terjadi dalam beberapa tahap sebagai
berikut, yaitu :
c) Terbangunnya masa kritis, mengisolasi diri dari orang lain dan melihat dari
kacamata sempit.
d) Diam di tempat dan berkhayal, muncul perasaan Bahagia tanpa menyadari hal
f) Depresi (murung, tertekan, dan sedih), meningkat dalam intesitas dan frekuensi.
g) Perilaku yang tidak terkendali, kehidupan mulai kacau dan ketidakpuasan pada
kehidupan.
i) Isolasi diri, krisis kepercayaan kepada pertolongan akan dirinya sendiri. Semakin
kembali.
mau menghentikan pola penggunaan zat adiktif untuk mau menghentikan pola
penggunaan zatnya bukanlah hal yang mudah. Prochaska & DiClemente (dalam
Miller dan Heather, 1986) menjelaskan tahapan perubahan yang dialami oleh
action precontemplation
decision contemplation
Keputusan dan relaps adalah dua tahap
transisional – tahap kritis yang
menentukan nasib akhir pecandu
Temporary
Keputusan untuk berubah terjadi di Tahap contemplation adalah tahap
antara tahap contemplation dan action. dimana pecandu telah menyadari
Ditahap ini pecandu dapat keluar adanya kebutuhan untuk berubah.
sementara jika masih ragu untuk pulih Mulai menimang-nimang pro dan
kontra, untung rugi kondisi
kecanduannya. Memberi pandangan
dan motivasi kepada pecandu pada
tahap ini dapat menstimulir pecandu
untuk mengambil keputusan yang
tepat.
Penjelasan tahap perubahan tersebut sebagai berikut :
rasionalisme.
komitmen yang kuat untuk berubah dalam diri individu, sehingga membuat pengguna
(2007) pengguna Narkoba yang kembali kambuh mengakui bahwa mereka gagal
antara lain
a) Komitmen yang kurang kuat untuk berhenti memakai Narkoba. Ini terjadi karena
c) Keadaan emosional yang berisiko tinggi terjadinya frustrasi dan deperesi pada
mantan pengguna.
menggunakan Narkoba.
e) Tekanan sosial, adanya penolakan dari lingkungan dan sulitnya berinteraksi dapat
f) Rendah diri, dapat menimbulkan keterasingan diri dari lingkungan sosial dan
kembali terpuruk karena tidak memiliki kepercayaan diri hingga akhirnya mudah
lain.
j) Mudah puas diri dan kelalaian untuk tekun memanfaatkan langkah-langkah yang
Relapse adalah suatu proses yang terjadi karena beberapa faktor pemicu
atau perilaku, atau dengan kata lain suatu kerinduan (sugesti) pada sesuatu, baik
disadari atau tak disadari sehingga menggunakannya. Menurut Martono dan Joewana
a) Komitmen yang lemah untuk berhenti memakai narkoba, ketika dihadapkan pada
b) Situasi yang berisiko tinggi, umumnya adalah situasi atau lingkungan tempat
narkoba.
c) Keadaan emosi yang berisiko tinggi, emosi yang memicu relap biasanya juga
situasi stress dan menyebabkan klien tegang dan dipenuhi oleh perasaan-perasaan
negatif.
f) Gagal memahami dan menerima bahwa adiksi adalah suatu penyakit, akibatnya
i) Keluarga yang tidak berfungsi normal dapat mendorong terjadinya relaps dan
l) Mengisolasi diri, dengan menarik diri dari hubungan dengan program pemulihan
m) Adiksi silang, kemungkinan pengguna kecanduan salah satu jenis narkoba untuk
menggunakan narkoba jenis lainnya seperti obat batuk, obat flu, obat alergi, obat
n) Musim libur seperti akhir tahun, ulang tahun, dan keingingan merayakan sesuatu
o) Gejala putus zat hanya berlansung selama 4-5 hari, akan tetapi sesudah itu masih
terdapat gejala putus zat ringan selama beberapa minggu atau bulan yang dapat
menyebabkan relaps
p) Rasa percaya diri yang berlebihan, pada awal masa pemulihan tampak segala
r) Merasa bersalah tentang masa lalu, mengenali tanpa kehati-hatian mengenai masa
mengenai episode terjadinya relaps dan apa penyebabnya dan hanya mengetahui
apabila setelah pengobatan ketergantungan obat selesai maka anak mereka sudah
sembuh kembali seperti sebelum ketergantungan Narkoba atau bahkan ada yang
berharap bahwa anaknya dapat baik seperti yang mereka harapkan. Sehingga banyak
keluarga yang tidak mengikuti program pengobatan lanjutan untuk pemulihan bagi
pulih dengan berbagai alasan internal maupun eksternal. Reaksi-reaksi tersebut akan
Mindfulness adalah kemampuan yang lebih dalam hal melakukan control diri
b. Terapi suportif
Terapi suportif adalah suatu bagian dari psikoterapi yang digunakan pada
kelompok, baik pada keadaan sakit ataupun sehat. Terapi suportif kelompok adalah
kumpulan dua orang atau lebih yang memiliki masalah yang sama,
Terapi RPT dikembangkan oleh Marlatt pada tahun 1985. Teori yang
Cooney et al, 1997; Irvin et al, 1999; Mckay, 1999). RPT merupakan terapi
menejemen diri yang dibuat untuk mencegah relapse pada area perilaku adiksi
dan fokus pada masalah yang penting dari membantu pecandu mengubah
proses perawatan atau perubahan diri (Marlatt dan Donovan, 2005). Konsep
yang digunakan oleh RPT adalah dengan proses problem solving dan orientasi
ulang dari nilai dan perilaku hidup individu (Giannetti, 1993). RPT mempunyai
relapse seutuhnya dan dapat terlepas dari situasi atau faktor resiko yang dapat
memicu relapse di masa yang akan datang. Tidak hanya tujuan utama, RPT
juga mempunyai dua tujuan spesifik yaitu mencegah penggunaan awal dan
menjaga klien pada tahap abstinence (bersih dari zat) atau sebagai tujuan dari
terjadinya lanjutan lapse ke arah relapse sepenuhnya. Dalam hal ini zat yang
dihadapkan pada situasi resiko tinggi (misalnya tekanan sosial, atau situasi
mekanisme coping yang tepat maka kesempatan untuk lapse dan relapse akan
kepercayaan diri diperoleh dari proses kognisi yang terjadi ketika individu
yang positif mengenai efek zat-zat penyebab kacanduan maka akan meguatkan
Namun, Marlatt & Gordon pada tahun 2011 menambahkankan formula baru
tertentu yang sifatnya negative dapat membuat individu salah memaknai situasi
dan memunculkan emosi atau perasaan negatif. Pikiran dan emosi yang salah
hasil temuan Sari (2020), terapi berbasis kognitif perilaku tidak efektif untuk
salah satu lembaga pemasyarakatan di Bali. Namun jika dilihat dari rerata skor
mindfulness dipilih peneliti untuk lebih mengajarkan keterampilan kontrol diri dan
kesadaran diri serta mencegah relapse seutuhnya dan dapat terlepas dari situasi atau
faktor resiko yang dapat memicu relapse di masa yang akan datang (Marlatt & Gordon
2010).
dan Haraguchi pada tahun 2007 dirancang untuk evaluasi program rehabilitasi
berjenis skala likert dan bersifat multidimensional. Risiko relapse pada mantan
pecandu mencakup aspek Anxiety and intention to use drug, Emotionality problems,
Compulsivity for drug, Positive expectancies and lack of control over drug, Lack of
menggunakan skala risiko kekambuhan pengguna stimulant (SRRS) sebagai alat ukur
untuk melihat pencegahan kekambuhan pada remaja pengguna narkoba. skala risiko
kekambuhan pengguna stimulant (SRRS) merupakan alat tes baku atau tervaliditasi
untuk mengukur risiko kekambuhan pada remaja pengguna narkoba, sehingga peneliti
kekambuhan.
kawan-kawan pada tahun 2006 lalu dikembangkan lagi pada tahun 2008. Struktur
faktor dan sifat psikometrik dari FFMQ-15 diuji oleh Gu dan kawan-kawan pada
tahun 2016. FFMQ adalah instrumen eksperimental yang dirancang untuk menilai
self-help dan self-scorable pada lima aspek mindfulness. Instrumen ini terdiri dari 39
item yang mengukur lima aspek, dan skor memberikan perkiraan di mana posisi
Skala FFMQ juga memberikan penilaian yang akurat tentang dampak dari
praktik Mindfulness yang telah dilatih. Pengembangan kuesioner ini sangat penting
karena merupakan salah satu langkah paling awal yang mengeksplorasi kemanjuran
Mindfulness untuk mengatasi masalah genting dalam kehidupan nyata (Baer, Smith,
& Allen, 2004). Versi panjang asli dari Five Facet Mindfulness Questionnaire berisi
Attention Awareness Scales (Brown & Ryan, 2003), Skala Cognitive Affective
Buttenmüller, Kleinknetch, & Schmidt, 2006). Masing-masing dari lima aspek FFMQ
memberikan pandangan lebih dekat pada diri individu. Skor keseluruhan dari kelima
subskala FFMQ memberikan ukuran kesadaran diri yang andal dan menunjukkan
1. Pengertian Mindfulness
Kamil (2010) memberikan definisi pelatihan adalah sebagai salah satu jenis proses
pengembangan sumber daya manusia, yang berlaku dalam waktu yang relatif singkat dengan
metode yang lebih mengutamakan praktik daripada teori. Sejalan dengan pendapat Kamil,
Sastraadipoera (2006) juga menyebutkan bahwa pelatihan bisa dianggap sebagai suatu
Selain itu, pelatihan juga merupakan sebuah konsep manajemen sumber daya manusia yang
spesifik) atau pelatihan keahlian (Rowley, 2012). Bedasarkan pendapat para ahli
sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa pelatihan adalah salah satu jenis pembelajaran berupa
Mindfulness berasal dari kata Bahasa Pati Sati yang berarti “untuk mengingat” namun
Bodhi (2000) dan Nyanipoka (1973) (dalam Brown, K. W., Ryan, R. M., & Creswell, J. D.
2007) menambahkan juga sebagai tanda kesadaran yang biasanya menandakan kehadiran
dalam pikiran. Kondisi mindfulness adalah kondisi individu yang secara sadar membawa
pengalamannya ke kondisi saat ini dengan penuh rasa keterbukaan dan rasa penerimaan.
Brown dan Ryan (dalam Brown, K. W., Ryan, R. M., & Creswell, J. D. 2007) juga telah
menjelaskan bahwa mindfulness didefinisikan sebagai perhatian reseptif dan kesadaran akan
peristiwa dan pengalaman saat ini dengan didasari oleh meningkatnya keadaan sadar yang
terjaga (awareness) terus-menerus memonitor keadaan diri dan lingkungan luar, dan adanya
perhatian (attention). Roemer dan Orsillo (dalam Bishop, 2004) memaparkan bahwa
Mindfulness diisyaratkan dengan membawa keadaan sadar terjaga pada pengalaman pada
saat ini, dengan meningkatkan fokus perhatian pada perubahan yang terjadi pada pikiran,
perasaan, dan sensasi yang diamati dari waktu ke waktu. Peningkatan fokus perhatian
sensasi yang muncul, sehingga kesadaran penuh merupakan pengalaman lansung akan
realitas.
penuh yang digambarkan dalam empat Kebenaran Mulia yaitu ada penderitaan, ada sebab
dari penderitaan, ada akhir dari penderitaan, dan ada jalan untuk mengakhiri dari penderitaan
(Jalan Mulia Berunsur Delapan) dalam ajaran Buddha dan kesempurnaan adalah menjadi
komponen kunci keberhasilannya. Terdapat juga konsep tiga cara dalam mencapai Jalan
Utama Berunsur Delapan ajaran Buddha yang mempengaruhi Mindfulness yaitu persiapan
moral (hidup benar, perbuatan benar, dan ucapan benar), pemahaman akan dunia yang apa
adanya (pandangan benar dan niat benar), serta disiplin mental (usaha benar, konsentrasi
adalah proses penandaan kehadiran dalam pikiran dengan kondisi tubuh individu yang
secara sadar membawa pengalamannya ke kondisi saat ini dengan penuh rasa keterbukaan
dan rasa penerimaan diri dengan meningkatkan fokus perhatian pada perubahan yang terjadi
pada pikiran, perasaan, dan sensasi yang diamati dari waktu ke waktu yang menghasilkan
kesadaran non-elaboratif dan non-judgemental akan pikiran, perasaan, dan sensasi yang
MBRP (Bowen, Chawla dan Marlatt, 2011) adalah pendekatan pengobatan baru
individu dalam pemulihan dari perilaku adiktif. Praktik MBRP dimaksudkan untuk
mendorong peningkatan kesadaran akan penyebab, pola kebiasaan yang merusak, dan reaksi
yang otomatis. Praktik mindfulness di MBRP dirancang membantu individu untuk berhenti
sejenak, mengamati pengalaman saat ini, dan membawa kesadaran saat ini pada berbagai
pilihan. Hamidi dan Kheiran (2019) juga mendefinisikan MBRP sebagai intervensi dengan
model Mindfulness dan cognitive behaviour pada perilaku adiksi dengan dasar relaps
individu yang telah menerima atau sedang menerima rawatan pengobatan untuk gangguan
penggunaan zat.
Mirip dengan Terapi Kognitif Berbasis Mindfulness (MBCT) untuk depresi, MBRP
juga dirancang sebagai program perawatan aftercare yang mengintegrasikan praktik dan
Kurikulum MBRP mencakup identifikasi pemicu relaps secara pribadi dan situasi di mana
individu sangat rentan, serta keterampilan praktis mindfulness untuk digunakan pada saat-
saat seperti itu. Bersamaan dengan keterampilan ini, individu mempelajari tekhnik
kesadaran yang menumbuhkan kesadaran yang tinggi atas pengalaman yang diterima baik
mengenalkan berbagai pilihan dalam tindakan, welas asih, dan kebebasan yang lebih luas.
Program ini memuat pengurangan stres berbasis Mindfulness (MBSR; Kabat-zinn, 1990
dalam Bowen, Chawla dan Marlatt, 2011), terapi kognitif berbasis Mindfulness (MBCT;
segal, Williams, & Teasdale, 2002 dalam Bowen, Chawla dan Marlatt, 2011) dan protokol
Pencegahan kekambuhan Daley dan Marlatt (2006, dalam Bowen, Chawla dan Marlatt,
2011).
menambahkan praktik meditasi mindfulness ke dalam tekhnik relaps prevention namun juga
Motala, Shanman, Booth, Sorbero, dan Hempel 2019). Secara neurologis, mindfulness
Creswell, Eisenberger, 2010 dalam Grant, Colaiaco, Motala, Shanman, Booth, Sorbero, dan
Hempel 2019) dan meransang aktifitas di sirkuit terkait dengan regulasi diri dalam domain
cognitive behaviour (Grant, Colaiaco, Motala, Shanman, Booth, Sorbero, dan Hempel
2019).
penggunaan CBT dan lebih efektif bermanfaat secara jangka Panjang dibandingkan terapi
dengan CBT (Pratikta, 2020). Mindfulness tidak mengubah kognisi seperti yang dilakukan
CBT, melainkan mengubah sikap dan hubungan terhadap pikiran dan perasaan. Mindfulness
untuk adiksi melatih individu untuk tidak menilai dan hadir pada saat-saat pengalaman saat
ini. Bedasarkan hasil penelitian Roberts, Tronnier, Graves, dan Kelley (2016 dalam Pratikta,
berperan dalam kehidupan sehari-hari dalam waktu jangka Panjang dibandingkan dengan
keterbukaan, keingintahuan, dan fleksibilitas. Dalam keadaan sadar, pikiran dan perasaan
yang rumit memiliki dampak dan pengaruh yang jauh lebih kecil terhadap perilaku
(Kashdan & Ciarrochi, 2013). Bagian dari mindfulness adalah “bersama dengan” diri apa
adanya, terlepas dari keinginan untuk menjadi sebaliknya (Marotta, 2013). Kebalikan dari
mindfulness adalah mindlessness. Mindlessness terjadi ketika atensi tidak terarah sama
sekali, melainkan mengembara tanpa arah, dan Remaja seringkali menghadapi kondisi ini.
Dalam kondisi mindless, kesadaran sangat menurun, di mana remaja hanya bereaksi secara
otomatis, tanpa benar-benar memperhatikan apa pun yang sedang terjadi. Mindlessness erat
kaitannya dengan fenomena autopilot, yaitu ketika individu menghadapi berbagai masalah
dalam kehidupan dengan respon otomatis, tanpa menyadarinya, tanpa menghayatinya (Arif,
2016). Mindfulness membawa remaja keluar dari pola perilaku otomatis tersebut; daripada
bereaksi tanpa berpikir, remaja diajak secara sadar merespons dengan cara yang lebih
bahkan ketika pengalaman tersebut tidak menyenangkan. Pada saat yang sama, mindfulness
mencegah individu menyerap dan mengenali pikiran atau perasaan negatif secara
berlebihan, agar tidak terperangkap dan terhanyut oleh reaksi aversif (Neff & Germer,
2018).
Berdasarkan penjelasan dari para ahli di atas, maka dalam penelitian ini peneliti
menggunakan mindfulness based relaps prevention sebagai bahan pelatihan untuk mencegah
kekambuhan yang dialami oleh remaja pecandu Narkoba yang sedang menjalani pelayanan
rawat jalan.
Konsep pelatihan mindfulness based relaps prevention menurut Bowen, Chawla, dan
a. Observing
b. Describing
Describing mengukur kemampuan untuk membuat catatan mental dan memberi label
penuh terhadap tindakan yang sedang dilakukan, sehingga mengukur suatu kemampuan
untuk bertindak dengan penuh kesadaran, yang mana merupakan kebalikan dari bertindak
d. Non-reactivity
e. Nonjudge
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa konsep mindfulness based
stres reduction meliputi; Observing, Describing, Acting with awareness, Non-Reactivity dan
Non judge.
Adapun teknik-teknik yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada teknik
mindfulness based relaps prevention dari Bowen, Chawla, dan Marlatt (2011):
a. Body Scan
Mengajarkan individu untuk berpikir tidak ada cara yang "benar" untuk melakukan
Body Scan, juga tidak ada hal khusus yang "harus" individu alami. Hanya memperhatikan
b. Breath Meditation
Tujuan dari Breath Meditation adalah untuk melabuhkan diri individu pada
keadaan saat ini, sehingga individu dapat melepaskan kekhawatiran tentang masa lalu atau
masa depan.
c. Mountain Meditation
Sadar akan momen saat ini dengan sengaja mengadopsi postur tegak dan
ditemukan dalam praktik berbasis mindfulness. Teknik ini digunakan untuk membantu
mengelola serangan panik, mengurangi kecemasan dan stres, dan membantu mencegah
atau melepaskan diri dari situasi berisiko tinggi yang dapat mencegah bahaya bagi diri
e. Urge Surfing
Urge surfing adalah teknik untuk mengatasi perilaku impulsif seperti makan
berlebihan, minum banyak-banyak, atau perilaku adiktif lainnya. Ini pertama kali
Mindfulness based relaps prevention untuk mengobati perilaku adiktif. Kunci dari
pendekatan ini adalah individu melihat dorongan berlalu dan tidak mencoba melawannya.
individu mengamati bagaimana rasanya dan menggunakan teknik meditasi khusus untuk
menghadapinya. Ini menghilangkan pergulatan internal yang dapat menguras mental dan
menggantikannya dengan pendekatan yang lebih pasif. Hal yang menarik tentang
dorongan adalah bahwa mereka jarang bertahan lebih dari 30 menit. Meskipun ini bisa
terasa seperti seumur hidup ketika individu benar-benar mengalaminya, jika individu
dapat melewati titik ini maka dia dapat menghindari perilaku impulsif atau adiktif. Urge
surfing dapat membantu individu 'mengatasi' impuls tidak sehat dan belajar mengelolanya
f. Sitting Meditation
Sitting Meditation melibatkan tiga komponen: Postur, Fokus pada Nafas, dan
Pelabelan Pikiran. Tujuan dari latihan duduk adalah untuk mengembangkan pikiran yang
g. Movement
seperti bergerak sambil menempatkan semua perhatian (atau sebanyak yang dibisa) pada
Bunyi bel meditasi menandai awal dan akhir sesi meditasi. Suara dari bel
digunakan sebagai objek fokus untuk konsentrasi dan membawa ritual upacara yang
i. LovingKindness Meditation
berfokus pada pengembangan welas asih (Compassion). Ini melibatkan fokus pada
serangkaian keinginan baik yang positif untuk kesejahteraan orang lain dan diri sendiri.
pelatihan mindfulness based relaps prevention terdapat beberapa teknik-teknik yang perlu
dilakukan. Seperti latihan Body Scan, Breath Meditation, Mountain Meditation, SOBER
Breathing Space, Urge Surfing, Sitting Meditation, Movement, Silence With Bells, dan yang
Pengguna Narkoba
Rehabilitasi pencandu Narkoba merupakan sebuah upaya pemulihan agar para remaja
dengan pecandu berhenti untuk mengkosumsi serta ketergantungan terhadap Narkoba. Masa
pemulihan adalah masa para mantan pecandu Narkoba memutuskan untuk berhenti
mengkonsumsi Narkoba. Namun, remaja dengan pecandu Narkoba yang ingin pulih sangat
berisiko mengalami kekambuhan. Secara garis besar ada dua faktor yang mempengaruhi
terbentuknya relapse yaitu faktor internal dan faktor eksternal dari individu.
Salah satu faktor pendorong terjadinya kekambuhan yang terjadi pada remaja adalah
disebabkan gagalnya remaja dalam memahami dan menerima bahwa kondisi adiksi adalah suatu
penyakit sehingga akibatnya remaja merasa tidak memerlukan program pemulihan. Hal tersebut
didukung hasil penelitian yang dilakukan oleh Simanggungsong (2015) yang menyatakan bahwa
faktor internal seperti kondisi kepribadian remaja yang tergolong masih labil membuat individu
mudah terbujuk untuk menyalahgunakan narkoba dan menganggap bahwa dirinya tidak
mengalami sakit (tidak sadar) akibat kecanduannya sehingga kembali menggunakan Narkoba.
Keterampilan kesadaran penuh ini dapat ditingkatkan melalui terapi dengan dasar
kesadaran. Salah satu terapi yang dapat digunakan untuk mencegah kekambuhan adalah
Mindfulness based relaps prevention, dimana Mindfulness disini berperan untuk meningkatkan
becoming aware yaitu kemampuan akan kesadaran untuk menerima diri, perilaku, semua akibat
“praktis” sehingga kegiatan bermeditasi tak lagi menjadi “sulit” seperti sebelumnya. Individu
merupakan kesadaran terbuka terhadap apa yang sedang terjadi pada saat ini. Pelatihan
mindfulness adalah suatu metode meditasi yang dapat meningkatkan empati dan terdiri dari
mengamati pengalaman saat ini, dan membawa kesadaran saat ini pada berbagai pilihan. MBRP
sebagai intervensi dengan model Mindfulness dan cognitive behaviour pada perilaku adiksi
dengan dasar relaps prevention dapat digunakan untuk menggambarkan, memahami, mencegah
dan mengelola kekambuhan pada individu yang telah menerima atau sedang menerima rawatan
pengobatan untuk gangguan penggunaan zat. Berbagai manfaat yang juga didapat dari
stress, memahami dan menerima kondisi diri sendiri, fokus pada apa yang sedang dilakukan,
mengontrol reaktivitas emosional tidak stabil dan mudah meluap, serta lebih banyak flesibelitas
kognitif. Pelatihan Mindfulness ini, menggunakan teknik dari Bowen, Chawla, dan Marlatt
(2011) Seperti latihan Body Scan, Breath Meditation, Mountain Meditation, SOBER Breathing
Space, Urge Surfing, Sitting Meditation, Movement, Silence With Bells, dan yang terakhir adalah
LovingKindness Meditation
Berikut kerangka berfikir yang dapat di gambarkan seperti pada gambar di bawah ini:
Gambar 2.2
Bagan Dinamika Masalah
Pelatihan mindfulness
D. Landasan Teori
Pendekatan teori yang digunakan dalam program intervensi yang akan dirancang oleh
konsep psikologi, teori, metode dengan materi dan praktik dari disiplin rohani subjek seperti,
pengalaman spiritual, keadaan mistis sadar, kesadaran dan meditasi, shamanic states, ritual,
halnya: gestalt, behavior, kognitif, dan psikodinamika. Walsh dan Vaughan (1996) menjelaskan
connect) klien dengan sumber kebijaksaan yang ada di dalam dirinya, menggabungkan conscious
ego dengan subconscious yang ada di dalam dirinya dengan maksud untuk mengaktifkan dan
mengembangkan kemampuan individu untuk menyembuhkan diri (self healing). Menurut Davis
(2011) konsep inti dalam Psikologi Transpersonal adalah transendensi diri, atau rasa identitas
yang lebih dalam atau lebih tinggi, lebih luas atau menyatu secara keseluruhan.
Metode yang dilakukan peneliti dalam penelitiannya menggunakan Meditasi hal ini serupa
dengan ungkapan Rowan (1993) yang dapat menggunakan metode spiritualitas untuk
transpersonal berupa terapi-terapi image work, meditasi, dan doa. Meditasi sebagai kegiatan
dimana subjek dapat melatih kesadarannya, baik dalam rangka memperoleh suatu manfaat
seperti relaksasi, membangun enerji (prana/chi), mengembangkan perasaan cinta dan kasih,
kesabaran, kemurahan hati, pengampunan, atau sekedar membuat kesadaran mengenali isi
kesadaran tersebut dan mampu konsentrasi pada suatu fokus secara terus-menerus, sehingga
orang tersebut akhirnya mampu menikmati perasaan positif yang tak tergoyahkan ketika
Ketika bermeditasi, subjek membuat dirinya merasa tenang lalu melepaskan kesadarannya
dari stimuli lingkungan sekitar, masuk ke dalam dirinya, jiwanya, dan menyatu dengan alam
semesta, menerima informasi dari alam semesta atau dari dunia spirit. Ketika subjek memasuki
tahap trasedensi diri, subjek tidak lagi fokus pada tubuh fisik dan dunianya. Dan pada akhirnya
subjek benar-benar menyatu dengan alam semesta, kesadaran universal serta aliran enerji prana/
chi yang membentuk kehidupan. Jadi meditasi merupakan teknik pengembangan ST (Puji dan
Hendriwinaya, 2015).
Teknik meditasi terhubung dengan spirit, soul dan mahluk hidup lainnya, cara untuk
menempatkan kesadaran individu pada kesadaran kolektif dan memahaminya. Perenungan dan
refleksi juga merupakan bentuk meditasi, pengulangan pengucapan mantra mampu memberikan
ketenangan. Diam, menghentikan diskusi pikiran, berhenti berpikir, mencapai ketenangan,
keheningan adalah ciri dari teknik ini (Thich, Nhat Hanh, 1975).
Meditasi adalah dasar dari semua eksplorasi kesadaran. Subjek dapat melakukan meditasi
dalam keheningan atau dengan bantuan musik yang menenangkan dan menciptakankan relaksasi.
Metode meditasi yang dilakukan peneliti dalam penelitiannya kepada subjek dengan pecandu
Pada mindfulness, teknik menyadari nafas menjadi hal yang tidak dapat dipisahkan. Kabat
Zinn (2000) menyebutkan bahwa latihan nafas secara mindful dapat membantu individu untuk
menenangkan tubuh dan pikiran sehingga dapat memandang sesuatu lebih jelas dan jernih, dan
memungkinkan untuk melihat dari sudut pandang yang lebih luas dan dapat melakukan
pemecahan masalah secara lebih kreatif. Hal tersebut dapat membuat seseorang menjalani hidup
Pada latihan ini, subjek akan diingatkan kembali bahwa dirinya telah berusaha dengan
semaksimal mungkin, ketika mengalami masalah atau kegagalan. Melakukan latihan nafas
memahami bahwa penderitaan atau pengalaman tidak menyenangkan yang dialami dalam hidup
subjek merupakan sebagaian dari kondisi yang sangat manusiawi dan wajar untuk terjadi. Oleh
karena itu, latihan mindfulness dapat memberikan kemudahan terhadap subjek ketika
menghadapi situasi yang buruk. Napas masuk dan nafas keluar bagi aliran transpersonalsm
memainkan peran yang sangat penting dalam kosmologi, mitologi, dan filsafat, serta alat penting
dalam praktik ritual dan spiritual. Berbagai teknik pernapasan ini digunakan untuk tujuan agama
dan penyembuhan. Sistem psychospiritual berusaha untuk memahami sifat manusia memandang
napas sebagai garis penting antara alam, tubuh manusia, jiwa, dan roh (Grof, & Grof, 2010).
Adapun teknik mindfulness yang digunakan dalam rancangan program intervensi yang
akan dilakukan oleh peneliti untuk menurunkan kekambuhan pada remaja dengan kecanduan
mindfulness di MBRP ini dirancang membantu subjek untuk berhenti sejenak, mengamati
pengalaman saat ini, dan membawa kesadaran saat ini pada berbagai pilihan (Bowen, Chawla
dan Marlatt, 2011). Hamidi dan Kheiran (2019) juga mendefinisikan MBRP sebagai intervensi
dengan model Mindfulness dan cognitive behaviour pada perilaku adiksi dengan dasar relaps
individu yang telah menerima atau sedang menerima rawatan pengobatan untuk gangguan
penggunaan zat. pelatihan mindfulness based relaps prevention terdapat beberapa teknik-teknik
yang perlu dilakukan yaitu, latihan Body Scan, Breath Meditation, Mountain Meditation, SOBER
Breathing Space, Urge Surfing, Sitting Meditation, Movement, Silence With Bells, dan yang
menambahkan praktik meditasi mindfulness ke dalam tekhnik relaps prevention namun juga
untuk mengurangi resiko kambuh dengan membantu individu dengan perasaan ketidaknyamanan
psikologis yang sering memicu keinginan kambuh (Grant, Colaiaco, Motala, Shanman, Booth,
Sorbero, dan Hempel 2019). Dalam proses tahapan perubahan kekambuhan subjek, MBRP
berada pada fase pemeliharaan (maintenance) tahap dimana seorang pecandu berusaha untuk
mempertahankan keadaan bebas zatnya. Apabila subjek mampu dengan efektif mempraktikkan
latihan ini maka subjek tidak perlu mencapai tahap selanjutnya, yaitu relapse atau tahap dimana
seorang subjek kembali pada pola perilaku penggunaan zatnya yang lama sesudah pengguna
(Way, Creswell, Eisenberger, 2010 dalam Grant, Colaiaco, Motala, Shanman, Booth, Sorbero,
dan Hempel 2019) dan meransang aktifitas di sirkuit terkait dengan regulasi diri dalam domain
cognitive behaviour (Grant, Colaiaco, Motala, Shanman, Booth, Sorbero, dan Hempel 2019).
Adapun sistem kerja latihan MBRP yang dilakukan subjek adalah, latihan MBRP menurunkan
gelombang otak seseorang menjadi gelombang Alpha. Subjek yang dapat mencapai gelombang
Alpha, dapat menjadi rileks. Pada kesadaran di gelombang Alpha, subjek menyadari
keberadaannya dan mampu mengendalikan dirinya. Subjek juga akan menjadi lebih tenang dan
jernih dalam melihat pengalaman hidupnya, lebih mampu berpikir kreatif dalam memecahkan
masalah karena tidak melakukan penilaian secara otomatis (Duncan, Coastworth, & Greenberg,
2009). Latihan pernafasan yang dilakukan dalam MBRP dapat mengubah frekuensi gelombang
otak menjadi lebih rendah, seperti gelombang Alpha dan Theta. Pola pernafasan yang dapat
menurunkan gelombang otak adalah dengan melakukan pernafasan panjang, hingga lima kali
permenit. (Cardaciotto, Herbert, Forman, Moitra, & Farrow, 2008). Gelombang otak Alpha dapat
memperlancar aliran darah yang menuju otak bagian frontal bawah, temporal superior dan
korteks oksipital (Cahn & Polich, 2006). Bagian tersebut merupakan bagian yang terhubung
dengan thalamus. Thalamus berfungsi menyampaikan sinyal sensoris dari bagian sistem syaraf
ke cerebral korteks. Kondisi tersebut berdampak pada terciptanya proses berpikir yang
terorganisir, tepat sasaran, menciptakan kesadaran yang stabil sehingga subjek memiliki
oritentasi yang benar terhadap lingkungan (Markam & Markam, 2003). Selain itu, dampak
lainnya adalah siklus tidur menjadi lebih teratur, meningkatkan kewaspadaan, serta meluaskan
kesadaran mengenai realitas yang terjadi. Ketika gelombang otak berada pada gelombang Alpha,
kecemasan akan menurun serta munculnya perasaan yang tenang dan positif (Brown & Ryan,
2003). Pada saat berada pada gelombang Alpha, individu akan menjadi lebih sensitif terhadap
stimulus dan tubuh menjadi lebih rileks. Selain itu, kondisi Alpha akan memengaruhi sekresi
hormon norepineprin, serotonin dan beta endoprhine dan penurunan tekanan darah. Oleh karena
itu, kelelahan dapat menurun dan afek menjadi lebih positif, dan respon imun menjadi meningkat
(Cozzolino, 2006).
E. Hipotesis
Ada perbedaan antara kelompok kontrol dan kelompok eksperimen. Kelompok yang
diberikan perlakuan berupa pelatihan mindfulness based relapsed prevention addiction akan
BAB III
METODE PENELITIAN
pembelajaran dalam rangka mengendalikan tingkat kesadaran pikiran dan perasaan yang
teknik, yaitu Body Scan, Breath Meditation, Mountain Meditation, SOBER Breathing
Space, Urge Surfing, Sitting Meditation, Movement, Silence With Bells, dan yang terakhir
b. Kekambuhan
menyesuaikan diri terhadap ransangan stress dari dalam dan luar. Sebagai bagian dari
baik, yang berlansung secara progresif dimana ketika gejala-gejala ini meningkat dan
akhirnya pengguna kembali memakai, agar bebas dari tekanan. Sikap-sikap yang terloihat
isolasi, diam di tempat dan berkhayal, kebingungan serta reaksi emosional berlebihan,
depresi, perilaku yang tidak terkendali, kehilangan kendali, serta isolasi meningkat, relaps
akut.
B. Subjek Penelitian
Subjek penelitian adalah target populasi yang memiliki karakteristik tertentu yang ditetapkan
peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2008). Subjek yang
digunakan dalam penelitian ini adalah remaja pecandu Narkoba yang menjalani pelayanan
rawatan di IPWL Banjarbaru. Prosedur pengambilan subjek ini lebih ditekankan pada relevansi
selanjutnya hasil pretest tersebut dikategorikan dalam 3 kelompok, yaitu: kategori tinggi,
kategori sedang, dan kategori rendah. Subjek yang memiliki skor kekambuhan sedang dan tinggi
akan dijadikan subjek penelitian, setelah memperoleh subjek, selanjutnya dilakukan pembagian
secara random ke dalam Kelompok Eksperimen (KE) dan Kelompok Kontrol (KK) dengan
Random Assignment, agar setiap subjek dapat memiliki kesempatan yang sama masuk ke dalam
Kelompok Eksperimen (KE) dan Kelompok Kontrol (KK). Penempatan subjek dilakukan secara
acak ke dalam 2 kelompok dan masing-masing kelompok berjumlah sama, dengan menggunakan
gulungan kertas yang dibagi berdasarkan nomor ganjil untuk Kelompok Eksperimen (KE) dan
C. Rancangan Penelitian
Menurut Arikunto (2006) penelitian eksperimen adalah penelitian yang digunakan untuk mencari
hubungan sebab akibat (hubungan kausal) antara dua faktor yang sengaja ditimbulkan oleh
peneliti dengan mengeliminasi atau mengurangi atau menyisihkan faktor-faktor lain yang bisa
menggangu. Eksperimen dilakukan dengan maksud untuk melihat akibat dari suatu perlakuan.
Sedangkan menurut Latipun (2002) penelitian eksperimen merupakan penelitian yang dilakukan
dengan melakukan manipulasi dengan tujuan untuk mengetahui akibat manipulasi terhadap
Desain eksperimen yang digunakan dalam penelitian ini adalah eksperimen semu
eksperimen dan menyediakan kelompok kontrol sebagai pembanding. Eksperimen semu (quasi-
experimental) ini ditetapkan dengan alasan bahwa penelitian ini berupa penelitian yang
menggunakan manusia sebagai subjek. Jenis penelitian yang digunakan adalah model desain
eksperimen ulang (Pretest Posttest Control Group Design). Dalam desain ini terdapat dua
kelompok yang dipilih secara random sampling kemudian diberi pretest untuk mengetahui
perbedaan keadaan awal antara group eksperimen dan group kontrol. Hasil pretest yang baik
dapat dilihat jika nilai group eksperimen tidak berbeda secara signifikan (Latipun, 2002). Bagan
Tabel 3.1
Desain Penelitian Pretest Posttest Control Group Design
Keterangan:
experimental) dengan tujuan untuk memperoleh informasi yang merupakan perkiraan informasi
yang dapat diperoleh dengan eksperimen yang sebenarnya dalam keadaan yang tidak
memungkinkan untuk mengontrol atau memanipulasikan semua variabel yang relevan. Metode
eksperimen semu (quasi-experimental) pada dasarnya sama dengan eksperimen murni, bedanya
adalah dalam pengontrolan variabel. Pengontrolnya hanya dilakukan terhadap satu variabel saja
yaitu variabel yang dipandang paling dominan. Dalam manipulasi variabel bebas peneliti hanya
relaps prevention kepada sub kelompok eksperimen sehingga berpengaruh pada perilaku subjek
yang nantinya bisa menghadapi situasi yang mengancam menjadi situasi yang wajar dan dapat
dikendalikannya lalu dilakukan postest dan follow up. Kepada sub kelompok kontrol diberikan
placebo setelah dilakukannya posttest bersamaan dengan kelompok eksperimen dan follow up.
Metode pengumpulan data merupakan salah satu aspek yang berperan dalam kelancaran
dan keberhasilan suatu penelitian. Dalam penelitian ini metode pengumpulan data yang
digunakan adalah observasi, wawancara dan skala. Menurut Azwar (2013) skala adalah
perangkat pertanyaan yang disusun untuk merangkap atribut tertentu melalui respon terhadap
pertanyaan tersebut. Alasan penggunaan skala dalam penelitian ini dikarenakan data yang
diungkap berupa konstruk psikologis yang menggambarkan aspek kogntif dan afektif serta
perilaku pada individu dan pernyataan pada skala merupakan stimulus yang tertuju pada
indikator perilaku yang diinginkan dalam hal ini adalah kekambuhan dan mindfulness serta
bertujuan untuk merangsang subjek agar dapat mengungkapkan keadaan diri yang tidak
disadarinya. Karakteristik skala sebagai alat ukur dalam penelitian ini antara lain : (1) stimulus
berupa pertanyaan yang tidak langsung mengungkap atribut yang hendak diukur, melainkan
indikator dari setiap perilaku dari atribut yang bersangkutan, (2) atribut psikologis diungkap
secara tidak langsung lewat indikator perilaku yang diterjemahkan dalam bentuk aitem, (3)
respon subjek tidak diklasifikasikan sebagai jawaban benar atau salah, semua jawaban diterima
sepanjang diberikan secara jujur dan sungguh-sungguh (Azwar, 2016). Skala yang digunakan
dalam penelitian ini adalah skala risiko kekambuhan pengguna stimulant (SRRS) dan Skala The
Ketiga teknik yang dipakai oleh peneliti digunakan untuk memperoleh data dan informasi
serta melengkapi tentang efektifitas pelatihan mindfulness based relaps prevention addiction
untuk menurunkan risiko kecanduan pada remaja yang sedang menjalani pelayanan rawat jalan
di IPWL.
Narkoba (Hidayat, 2005). Menurut Gibbons, kriteria kekambuhan ditandai dengan keadaan
psikis dan fisik akibat berhenti menggunakan obat dengan perilaku yang terdorong oleh
suatu hasrat yang kuat untuk kembali menggunakan obat-obatan. Pengukuran untuk risiko
kekambuhan menggunakan SRRS Skala adalah alat pengukuran yang biasanya digunakan
untuk menyatakan peringkat antar tingkatan. Skala dalam penelitian ini menggunakan
Stimulant Relapse Risk Scale (SRRS) adalah skala penilaian diri yang dikembangkan oleh
kembali stimulan secara multilateral pada pasien dengan ketergantungan obat. SRRS
memiliki 35 item dan mengukur risiko penggunaan kembali stimulan dalam 5 subskala.
SRRS. SRRS dapat memperkirakan dan memprediksi risiko penggunaan kembali stimulan
secara multilateral.
Skala SRRS terdiri dari 5 subskala yaitu Kecemasan dan Intensi untuk Menggunakan
Ekspektasi Positif dan Kurangnya Kontrol Diri terhadap Penyalahgunaan Narkoba (PL), dan
Skala ini dilihat dengan menggunakan 5 angka yaitu alternatif pilihan 1 sampai 5
Tabel 3.3
Skala SRRS dengan skor
Skor Pilihan Angka Keterangan
1 Sangat tidak setuju
2 Tidak setuju
3 Antara setuju dan tidak setuju
4 setuju
5 Sangat setuju
Masa remaja seringkali identik dengan masa pencarian jati diri sehingga mendorong remaja
berkeinginan untuk mencoba sesuatu yang baru termasuk mengkomsumsi Narkoba,
Psikotropika, dan Zat Adiktif lain (Narkoba). Penyalahgunaan Narkoba pada remaja,
berdampak secara lansung dapat melalui fisik maupun psikis, yaitu seperti pelupa, sukar
bernafas, sakit kepala, suhu tubuh sewaktu-waktu meningkat dan sulit tidur. Secara
psikologis pemalas, lamban bekerja, ceroboh, sering tegang dan gelisah, sulit fokus, merasa
tertekan dan emosi labil. Secara sosial juga dikucilkan oleh masyarakat sekitar lingkungan
tempat tinggal dan dijauhi oleh teman-teman di sekolah. Fasilitas rehabilitasi pencandu
Narkoba merupakan sebuah upaya pemulihan agar para remaja dengan pecandu berhenti
Remaja dengan pecandu Narkoba yang ingin pulih sangat berisiko mengalami
namun memiliki kemampuan yang kurang dalam melakukan manajemen diri (self-
management) serta sikap yang kurang efektif dalam menghadapi tantangan atau hambatan
Dari pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa skala Risiko Kekambuhan Pengguna
terhadap kecanduan Narkoba. Skala Risiko Kekambuhan Pengguna Stimulan dapat dilihat
Tabel 3.3
Blue Print Skala baku SRRS
Sebelum digunakan dalam penelitian terlebih dahulu dilakukan uji coba skala untuk
mengetahui validitas (daya beda item) dan reliabilitas skala SRRS. Uji coba akan dilakuakan
pada partisipan sejenis dengan pengambilan sampel penelitian, dengan responden sebanyak
50 orang. Data hasil uji coba kemudian diuji dengan menggunakan SPSS 22, aitem < 0,30
dianggap kurang memuaskan. Setelah dilakukan uji validitas (daya beda aitem) dilanjutkan
dengan uji reliabilitas. Reliabilitas skala berkaitan dengan keajegan suatu alat ukur, yaitu
sejauh mana pengukuran dapat dipercaya. Uji validitas digunakan untuk mengetahui sejauh
mana alat ukur dapat digunakan secara tepat terhadap gejala yang diukur (Azwar, 2015).
Alat ukur dikatakan memiliki validitas yang tinggi apabila mengukur apa yang harus diukur.
Aitem yang memiliki validitas yang tinggi apabila hasil pengukuran validitasnya lebih dari
0,30. Pengukuran reliabilitas terhadap skala nerupakan sejauh mana konsistensi atau
Skala FFMQ yang dikembangkan Baer, Smith, Hopkins, Krietemeyer, dan Toney
(2006) merupakan penilaian asli yang terdiri dari 39 aitem self-scorable dengan memuat
dimensi mindfulness yang memiliki lima dimensi. Pertama, bertindak dengan kesadaran
(acting with awareness), yaitu perilaku secara sadar yang dilakukan di sini dan saat ini.
pengalaman internal dan eksternal seperti sensasi, kognisi, emosi, suara, aroma dan
pikiran dan perasaan. Kelima, sikap tanpa penilaian terhadap pengalaman (nonjudging of
inner experience), yaitu mengacu pada sikap nonevaluative terhadap pikiran dan perasaan.
Tabel 3.3
Skala FFMQ dengan skor
Skor Pilihan Angka Keterangan
1 Tidak pernah atau sangat jarang
2 Jarang benar
3 Terkadang benar
4 Seringkali benar
5 Sangat sering atau selalu benar
Skala FFMQ terdiri dari pernyataan kata-kata positif dan negatif yang berlaku untuk
praktisi. Peneliti menggunakan FFMQ versi pendek dengan alasan subskala yang lebih
pendek memiliki keuntungan administrasi yang lebih cepat dan dapat diterapkan pada
populasi sampel yang besar. Versi pendek FFMQ juga mencakup lima aspek yang sama
FFMQ 15-item (FFMQ-15) dikembangkan oleh Baer et al. (2008) dan mencakup tiga
item untuk setiap aspek. Item dipilih dari FFMQ-39 berdasarkan pemuatannya pada masing-
masing segi dan untuk mempertahankan luasnya konten untuk setiap segi. Struktur faktor
dan sifat psikometrik dari FFMQ-15 diuji oleh Gu et al. (2016). Mereka menemukan bahwa
struktur faktor FFMQ-15 konsisten dengan FFMQ-39 dan ada korelasi besar antara total
skor segi bentuk pendek dan panjang. Ini menunjukkan bahwa kedua versi FFMQ mengukur
konstruksi yang sangat mirip. Secara keseluruhan, temuan Gu et al. mendukung penggunaan
FFMQ 15 sebagai ukuran alternatif dalam penelitian di mana bentuk yang lebih singkat
diperlukan.
Dari pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa skala FFMQ 15 merupakan sebuah
Narkoba. Skala Risiko Kekambuhan Pengguna Stimulan dapat dilihat dalam tabel berikut :
Tabel 3.3
Blue Print Skala baku FFMQ 15
mengetahui validitas (daya beda item) dan reliabilitas skala SRRS. Uji coba akan dilakuakan
pada partisipan sejenis dengan pengambilan sampel penelitian, dengan responden sebanyak
50 orang. Data hasil uji coba kemudian diuji dengan menggunakan SPSS 22, aitem < 0,30
dianggap kurang memuaskan. Setelah dilakukan uji validitas (daya beda aitem) dilanjutkan
dengan uji reliabilitas. Reliabilitas skala berkaitan dengan keajegan suatu alat ukur, yaitu
sejauh mana pengukuran dapat dipercaya. Uji validitas digunakan untuk mengetahui sejauh
mana alat ukur dapat digunakan secara tepat terhadap gejala yang diukur (Azwar, 2015).
Alat ukur dikatakan memiliki validitas yang tinggi apabila mengukur apa yang harus diukur.
Aitem yang memiliki validitas yang tinggi apabila hasil pengukuran validitasnya lebih dari
0,30. Pengukuran reliabilitas terhadap skala nerupakan sejauh mana konsistensi atau
mendekati 1,00 berarti reliabilitas semakin tinggi, sebaliknya reliabilitas mendekati 0 maka
3. Observasi
Pada kegiatan observasi dilakukan sesuai panduan pada pelaksanaan intervensi terdiri
dari 2 tipe yaitu, observasi umum dan observasi persubjek penelitian. Observasi adalah
proses pencatatan pola perilaku subyek (orang), objek (benda) atau kejadian yang sistematik
tanpa adanya pertanyaan atau komunikasi dengan individu-individu yang diteliti (Indrianto,
dkk, 2002). Menurut Sugiyono (2012) observasi adalah teknik pengumpulan data untuk
mengamati perilaku manusia, proses kerja, gejala-gejala alam, dan responden. Dalam
penelitian ini peneliti melakukan pengamatan langsung untuk menemukan fakta-fakta
dilapangan.
Jenis observasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis observasi berperan
merupakan observasi yang melibatkan peneliti dengan kegiatan yang sedang diamati.
Dengan observasi berperan serta (participant observation) ini, maka data yang diperoleh
akan lebih lengkap, tajam dan sampai mengetahui pada tingkat makna dari setiap perilaku
yang tampak. Observasi dilakukan peneliti dengan menjadi observer partisipan, yaitu
mengamati secara langsung kegiatan yang dilakukan responden eksperimen dan dilakukan
4. Wawancara (interview)
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh
dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara
(interview) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu (Lexy J. Meleong, 2010). Teknik
wawancara (interview) adalah teknik pengumpulan data yang digunakan peneliti untuk
dengan orang yang dapat memberikan keterangan pada peneliti (Mardalis, 1999).
Peneliti menggunakan metode wawancara sebagai suatu alat pengumpul data dengan
tujuan untu mengetahui tanggapan atau pendapat baik dari para remaja pecandu yang sedang
menjalani pelayanan rawat jalan maupun responden eksperimen mengenai apa yang dibahas
oleh peneliti.
F. Prosedur Eksperimen
Penelitan ini menggunakan desain pretest-posttest control group design, yakni rancangan
ekspeimen yang menerapkan prosedur random assignment (R) pada para partisipan untuk
ditempatkan ke dalam dua kelompok yang terdiri atas 1 kelompok eksperimen dan 1 kelompok
kontrol, dan peneliti memberikan pre-test dan post-test pada dua kelompok meskipun yang
diberikan treatment hanya kelompok eksperimen saja (Creswell, 2013). Dalam hal ini kelompok
eksperimen diberikan perlakuan berupa mindfulness based relapse prevention dan kelompok
kontrol tidak mendapatkan perlakuan berupa mindfulness based relapse prevention. Sebelum
ekseperimen dan kelompok kontrol) akan diukur dahulu tingkat risiko kekambuhannya dan
kekambuhan dengan alat yang sama yaitu skala SSRS dan mindfulness-nya dengan
menggunakan FFMQ-15 yang telah dilakukan pengacakan ulang pada aitemnya. Adapun bentuk
Rancangan Eksperimen
R KE Y1 X Y2
KK Y1 -X Y2
Keterangan :
R : Random assignment
KE : Kelompok eksperimen
KK : Kelompok kontrol
Y1 : Pretest dengan skala motivasi belajar
Y2 : Posttest dengan skala motivasi belajar
X : Perlakuan berupa proses belajar yang diperdengarkan musik jazz
-X : Tanpa perilakuan yaitu belajar tanpa diiringi musik jazz
Menurut Azwar (2012) rancangan pre-test post-test control group design dapat menguji
efek suatu perlakuan terhadap variabel tergantung sehingga dapat diketahui perbedaan antara
hasil pretest dan posttest pada kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol. Kelebihan dari
rancangan pre-test post-test control group design adalah adanya penempatan subjek secara
random dan adanya pretest serta kelompok kontrol melelui rancangan eksperimen tersebut,
peneliti dapat membedakan hasil pretest dan posttest sebelum dan sesudah diberikannya
Senati, Yulianto & Setiadi (2011), menyatakan bahwa pada penelitian eksperimen
terdapat dua validitas yang berpengaruh, yaitu validitas internal dan validitas eksternal. Validitas
internal adalah sejauh mana perubahan yang terjadi pada variabel bebas benar-benar disebabkan
oleh perilakuan yang diberikan dalam eksperimen bukan disebabkan oleh faktor lain yang tidak
relevan. Sedangkan variabel eksternal adalah sejauh mana efek perlakuan yang diperoleh dapat
digenralisasikan pada populasi. Terdapat bebearapa faktor yang mempengaruhi validitas internal
dalam penelitian eksperimen diantaranya: testing, efek partisipan, historis, ancaman maturasi dan
instrumentation effect.
1. Testing
Testing adalah pemberian tes untuk mengukur efek pemberian perilakuan. Sering kali tes
diberikan pada waktu yang berbeda namun menggunakan alat tes yang sama. Untuk
mengatasi ancaman tersebut, alat tes diberiakan pada saat pretest dan posttest tidak sama
tetapi setara. Artinya alat tes digunakan untuk mengukur satu variabel yang sama,
banyakknya soal, penyajian, serta bentuk alat tes sama, namun berbeda posisi penomoran
pernyataan.
2. Efek partisipan
Efek partisipan adalah subjek penelitian yang berusaha untuk mencari tahu apa yang
mereka akan alami, apa yang harus mereka lakukan serta ancaman faktor efek partisipan.
3. Historis (history)
muncul selama penelitian berlangsung, yaitu antara tes pertama dan berikutnya.
sosial, politik, iklim sosial dan cuaca yang terjadi antara tes yang pertama dan tes
4. Ancaman maturasi
Ancaman maturasi terjadi saat efek muncul disebabkan karena waktu yang lama sehingga
subjek menjadi lebih terampil. Ancaman maturasi dalam penelitian ini dapat diantisipasi
dengan memberikan waktu antara pretest dan posttest tidak terlalu jauh.
5. Instrumentation effect
Effek dari alat ukur yang digunakan dalam penelitian yang dapat turut mempengaruhi
validitas internal penelitian. Untuk mengatasi pengaruh instrumentation effect ini maka
alat ukur yang harus digunakan dilakukan uji coba sebelum digunakan. Alat ukur yang
digunakan dalam penelitian ini adalah skala motivasi belajar yang terdiri dari 34 aitem.
Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa desain eksperimen yang digunakan
dengan cara: penempatan ulang nomor aitem pada skala pretest dan posttest. Selain itu dapat
menempatkan subjek secara random pada kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol
dengan karakteristik subjek yang sama, menyajikan posttest dan pretest dalam rentang waktu
Sampel dalam penelitian yang akan dilakukan adalah remaja pecandu yang sedang
menjalani pelayanan rawatan IPWL yang memenuhi kriteria subjek dalam penelitian dan akan
dilakukan random assignment untuk memasukan ke dalam kelompok eksperimen dan kontrol.
Subjek diberikan perlakuan berupa pelatihan mindfulness based relapse prevention addiction
yang diberikan selama delapan sesi selama 5 kali pertemuan. Pengukuran tingkat kecemasan
diukur menggunakan skala Stimulant Relapse Risk Scale (SRRS) yang disusun pertama kali oleh
Ogai dan Haraguchi pada tahun 2007 untuk evaluasi program rehabilitasi pengguna obat-obatan
terlarang, khususnya stimulan, serta skala The Five Mindfulness Questionnaire (FFMQ) yang
dibuat oleh Baer dan kawan-kawan pada tahun 2006 lalu dikembangkan lagi pada tahun 2008
untuk menilai self-help dan self-scorable pada lima aspek mindfulness sehingga dapat
memberikan penilaian yang akurat tentang dampak dari praktik Mindfulness yang telah dilatih
pada remaja pecandu Narkoba. Pengisian skala SRRS dan FFMQ dilakukan saat pertemuan
pertama (pre-test) dan pertemuan terakhir (post-test) dan ketika follow-up dua minggu setelah
a. Modul Eksperimen
Pelatihan mindfulness based relaps prevention yang akan dilakukan dibuat berdasarkan
langkah-langkah dan kisi-kisi dari Bowen, Chawla, & Marlatt (2011) dapat dilihat di tabel
berikut :
prevention addiction, yaitu: lembar informed consent, lembar alat ukur skala relapse dan
relapse prevention, alat modul, serta lembar tugas, lembar observasi dan lembar
professional judgment. Tujuan dilakukan hal tersebut yaitu untuk melihat kelayakan dari
materi pelatihan yang akan diterapkan, alokasi waktu per-sesi maupun per pertemuan,
metode, aktivitas pelatihan, dan evaluai pelatihan yakni kesesuaian dengan tujuan
berkaitan dengan kisi-kisi rancangan intervensi, dan materi yang akan disampaikan.
Peneliti mengurus surat ijin penelitian di kantor Tata Usaha S2 Fakultas Psikologi
kepada Kepala IPWL Yayasan Griya Pemberdayaan yang ditandatangani oleh Dekan
a. Persiapan penelitian
prevention addiction. Hal tersebut diawali dengan peneliti menyusun proposal melalui
beberapa literatur yang berhubungan dengan masalah yang akan diteliti. Peneliti Mencari
alat ukur yang tepat untuk mengukur variabel tergantung dari penelitian, selain itu adalah
skala mindfulness agar dapat mengukur efektifitas penggunaan terapi mindfulness pada
lapangan untuk mencari tempat dan subjek yang cocok untuk diberikan perlakuan.
Setelah itu, peneliti mencari data terkait tingkat kekambuhan yang dimiliki remaja
dengan kecanduan narkoba yang tinggi melalui skala dan wawancara singkat dengan
b. Pelaksanaan penelitian
terbagi menjadi dua tahap, yaitu tahap persiapan penelitian dan tahap pelaksanaan
penelitian.
1. Persiapan Penelitian
Tahap pelaksanaan penelitian, peneliti menjalankan intervensi yang sudah dirancang.
1) Pre-test
sebagai alat untuk screening subjek yang memenuhi syarat penelitian. Berdasarkan
hasil screening tersebut diambil subjek dengan tingkat kekambuhan remaja pecandu
Narkoba berada pada kategori sedang hingga tinggi, lalu peneliti membaginya
2) Treatment
Pelatihan akan berlangsung dalam dua minggu sebanyak empat kali pertemuan.
3) Post-test
Skala yang digunakan dalam post-test sama dengan skala yang dibagikan pada pre-
test. Pelaksanaan post-test akan dilakukan setelah kegiatan pelatihan diberikan kepada
kelompok eksperimen dan untuk kelompok kontrol postest akan diberikan saat itu
juga.
4) Follow Up
Pengumpulan data berupa follow-up dengan cara subjek diminta mengisi lembar
skala SRRS dan FFMQ-15 yang sama seperti saat pre test dan post test. Menurut
Marlatt & Gordon (2011) adalah 14 hari merupakan waktu yang sesuai untuk
Metode yang digunakan untuk menguji hipotesis dalam penelitian ini menggunakan
Independent Sample T-test dan teknik Paired Sample T-test. Metode ini digunakan untuk
menganalisis perbedaan antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, untuk mengetahui
apakah pemberian pelatihan mindfulness based relapse prevention dapat menurunkan risiko
kekambuhan pada remaja pecandu yang sedang menjalani rawatan di IPWL. Sedangkan teknik
Paired Sample T-test digunakan untuk menganalisis perbedaan skor risiko kekambuhan dan
pada saat pretest dan posttest pada kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol. Data
DAFTAR PUSTAKA
Afandi, D., Chandra, F., Novitasari, D., Widjaja, I. R., dan Kurniawan, L. (2009). Tingkat
penyalahgunaan obat dan faktor risiko dikalangan siswa sekolah menengah umum. Maj
Anada, D.R.T dan Sawitri, D.R. (2015). Konsep diri ditinjau dari dukungan teman sebaya pada
remaja di panti asuhan qosim al-Hadi Semarang. Jurnal Empati, 4(4), 298-303
Armyati, O.E. (2016). Pengaruh budaya “ngangkring” terhadap pengembangan diri remaja di
Baumeister, R.F., & Bushman, B.J. (2014). Social Psychology And Human Nature Brief Version.
Bishop, S.R., Lau, M., Shapiro, S., Carlson, L., Anderson, N.D., Camordy, J., Segal, Z.V.,
Abbey, S., Speca, M., Velting, D. & Devins, G. (2006). Mindfulness : A proposed
BNN. (2019, Desember 20). Kepala BNN : “Jadikan Narkoba musuh kita bersama” [Press
BNN. (2015). Petunjuk teknis rehabilitasi dasar rawat jalan. Direktorat penguatan lembaga
instansi pemerintah
BNN Banjarbaru. (2016). Data dan grafik klinik pratama BNNK BJB 2015 [Infographic].
BNN Banjarbaru
BNNP dan Polda Kalsel. (2013). Data Rekapitulasi Data Narkoba [Infographic]. BNN
Banjarbaru
Brown, K. W., Ryan, R. M., & Creswell, J. D. (2007). Mindfulness: Theoretical foundations and
10.1080/10478400701598298
Bowen, S., Chawla, N., Collins, S.E., Witkiewiz, K., Hsu, S., Grow, J., Clifasefi, S., Garner, M.,
prevention for substance use disorders : A Pilot Efficacy Trial. 30(4): 295-305.
Connors, G. J., & Maisto, S. A. (2006). Relapse in the addictive behaviors. Clinical Psychology
Deputi Bidang Pencegahan BNN. (2010). Buku saku penyalahgunaan Narkoba. BNN
Djudyah, dan Yuniardi, S. (2010). Model Pengembangan Konsep Diri dan Daya Resiliensi
Grant, S., Colaiaco, B., Motala, A., Shanman, R., Booth, M., Sorbero, M., & Hempel, S. (2017).
Gorski, T., & Miller, M. (1986). Staying sober: A guide for relapse prevention. Independence
press
Hamidi, F., & Kheiran, S. (2019). Mindfulness-based relapse prevention to reduce high risk
Hurriyati, E.A. (2010). Mengapa pengguna Narkoba pada remaja akhir relapse?. Binus Journal
Kabat-Zinn, J. (1990). Full catastrophe living: Using the wisdom of your body and mind to face
Kohut, H. (1977). The restoration of the self. International University Press. 10th reprinted
Kementerian Kesehatan RI. (2014). Modul assesmen dan rencana terapi gangguan penggunaan
narkotika edisi revisi 2014. Direktorat bina kesehatan jiwa kementerian kesehatan RI
Larimer, M.E., Palmer, R.S., & Marlatt, G.A. (1999). Relapse prevention : An overview of
marlatt’s cognitive behavioral model (Electronic version). Alcohol Research and Health,
23(2), 151-160.
Puslitbang Kemenkes RI. (2015). Perilaku berisiko kesehatan remaja pelajar SMP dan SMA di
Mace, C. (2008). Mindfulness and mental health: Therapy, theory, and science. Routledge
Melemis, S.M. (2015). Relapse prevention and five rules of recovery. Yale Journal of Biology
Marlatt, G.A., & Donovan, D.M. (2005). Relapse prevention : Maintenance strategies in the
Marlatt, G.A., & Witkiewitz, K. (2004). Relapse prevention for alcohol and drug problems :
Martono, L., Harlina dan Joewana, S. (2008). Membantu pemulihan pecandu narkoba dan
Miller, W. R., & Tonigan, J. S. (1996). Assessing drinkers' motivation for change: The stages of
Monitasari, K.P. (2017). Analisis survival untuk mengetahui kejadian kekambuhan kembali
Muawanah, L.B., Suroso, dan Herlan Praktikto. (2012). Kematangan emosi, konsep diri dan
Nasution, Z. (2007). Memilih lingkungan bebas narkoba modul untuk remaja. Badan Narkotika
Nasional
Nurmaya, A. (2016). Penyalahgyunaan napza di kalangan remaja (studi kasus pada 2 siswa di
MAN 2 kota Bima). Jurnal Psikologi Pendidikan & konseling. 2(1), 26-32
Nurrokhmah, S. (2019). Kesadaran diri untuk sembuh pada remaja pengguna narkoba di
5(1), 81-89
Ogai, Y., Haraguchi, A., Kondo, A., Ishibashi, Y., Umeno, M., Kikumoto, H., Hori, T.,
Komiyama, T., Kato, R., Aso, K., Asukai, N., Senoo, E., & Ikeda, K. (2007).
Pengembangan dan validasi skala risiko kekambuhan pengguna stimulan untuk pengguna
napza (narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya). Tesis. Yogyakarta: Psikologi
UGM
Papalia, D.E., Olds, S.W., & Feldman, R.D. (2009). Human development perkembangan manusia
Pantjalina, E. Laurensia, Syafar, M., dan Natsir, S. (2013). Faktor mempengaruhi perilaku
pecandu penyalahgunaan narkoba pada masa pemulihan di rumah sakit jiwa daerah Atma
Pertama, I.A., Suwarni, L., dan Abrori. (2019). Gambaran faktor internal dan eksternal yang
Permana, L., Rahman, A. A., dan Hidayat, I. N. (2019). Peran mindfulness dalam meningkatkan
Purnomo, D.I., dan Hardjanto, G. (2016). Terapi dengan pendekatan konsep kognitif perilaku
untuk mencegah relapse pada pengguna narkoba. Jurnal Psikodimensia. 15(1) : 152-174
United Nations Office on Drugs and Crime Regional Office for Central Asia. (2019). Annual
report 2019 together making the region safer from drugs, crime and terrorism. UNODC
Lampiran
Skala Risiko Kekambuhan Pengguna Stimulan (SRRS)
Skala Risiko Kekambuhan Pengguna Stimulan (SRRS) dirancang untuk evaluasi program rehabilitasi
pengguna obat-obatan terlarang, khususnya stimulan. Setiap publikasi terkait dan atau
menggunakan skala ini harus memuat kutipan lengkap. Artikel berikut harus dikutip sebagai sumber
skala:
Ogai, Y., Haraguchi, A., Kondo, A., Ishibashi, Y., Umeno, M., Kikumoto, H., Hori, T., Komiyama, T.,
Kato, R., Aso, K., Asukai, N., Senoo, E., & Ikeda, K. (2007). Pengembangan dan validasi skala risiko
kekambuhan pengguna stimulan untuk pengguna narkoba di Jepang. Drug and Alcohol Dependence,
88(2-3), 174-181.
Set Pertanyaan Evaluasi Beat Drugs Fund No. 14 (Skala Risiko Kekambuhan Pengguna
Stimulan) (2013)
(Mindfulness Based Relaps Prevention Addiciton)
Kuesioner Evaluasi Pra-Kegiatan
Nama peserta:
Jelaskan keadaan Anda selama seminggu terakhir. Untuk setiap (1) (2) (3) (4) (5)
pernyataan di bawah, lingkari satu jawaban yang paling
menggambarkan keadaan Anda. Untuk kata “narkoba” yang sangat tidak antara setuju sangat
muncul di pernyataan, pikirkan tentang obat yang saat ini Anda tidak setuju setuju setuju
salah gunakan. setuju atau
tidak
setuju
15. Saya yakin bahwa saya tidak akan menggunakan narkoba lagi ☐ ☐ ☐ ☐ ☐
Set Pertanyaan Evaluasi Beat Drugs Fund No. 14 (Skala Risiko Kekambuhan Pengguna
Stimulan) (2013)
18. Jika seseorang menawarkan narkoba tepat di depan saya, ☐ ☐ ☐ ☐ ☐
saya tidak akan bisa menolaknya
19. Saya cemas tentang masa depan saya ☐ ☐ ☐ ☐ ☐
20. Saya akan menggunakan narkoba jika saya sendirian ☐ ☐ ☐ ☐ ☐
27. Jika saya punya banyak uang, saya ingin membeli narkoba ☐ ☐ ☐ ☐ ☐
28. Saya akan melakukan apa saja untuk mendapatkan uang agar ☐ ☐ ☐ ☐ ☐
bisa membeli narkoba
29. Jika saya menggunakan narkoba tersebut, rasa gugup saya ☐ ☐ ☐ ☐ ☐
akan berkurang
30. Jika saya menggunakan narkoba tersebut, saya merasa ☐ ☐ ☐ ☐ ☐
semuanya akan baik-baik saja
31. Saya ingin narkoba meskipun saya harus mencuri ☐ ☐ ☐ ☐ ☐
32. Jika saya menggunakan narkoba tersebut, saya akan merasa ☐ ☐ ☐ ☐ ☐
segar kembali
33. Saya akan menggunakan narkoba lagi dalam waktu dekat ☐ ☐ ☐ ☐ ☐
Set Pertanyaan Evaluasi Beat Drugs Fund No. 14 (Skala Risiko Kekambuhan Pengguna
Stimulan) (2013)
Jenis Kelamin:
1□ Laki-laki
2□ Perempuan
Usia : tahun
Apakah Anda pernah mengikuti salah satu aktivitas berikut: (pilih semua yang sesuai)
1 □ Harap cantumkan aktivitas lain dalam program
~ Terima kasih~
Set Pertanyaan Evaluasi Beat Drugs Fund No. 14 (Skala Risiko Kekambuhan Pengguna
Stimulan) (2013)
(Mindfulness Based Relaps Prevention Addiciton)
Kuesioner Evaluasi Setelah Kegiatan
Nama peserta:
Jelaskan keadaan Anda selama seminggu terakhir. Untuk setiap (1) (2) (3) (4) (5)
pernyataan di bawah, lingkari satu jawaban yang paling
menggambarkan keadaan Anda. Untuk kata “narkoba” yang sangat tidak antara setuju sangat
muncul di pernyataan, pikirkan tentang obat yang saat ini Anda tidak setuju setuju setuju
salah gunakan. setuju atau
tidak
setuju
15. Saya yakin bahwa saya tidak akan menggunakan narkoba lagi ☐ ☐ ☐ ☐ ☐
Set Pertanyaan Evaluasi Beat Drugs Fund No. 14 (Skala Risiko Kekambuhan Pengguna
Stimulan) (2013)
18. Jika seseorang menawarkan narkoba tepat di depan saya, ☐ ☐ ☐ ☐ ☐
saya tidak akan bisa menolaknya
19. Saya cemas tentang masa depan saya ☐ ☐ ☐ ☐ ☐
20. Saya akan menggunakan narkoba jika saya sendirian ☐ ☐ ☐ ☐ ☐
Set Pertanyaan Evaluasi Beat Drugs Fund No. 14 (Skala Risiko Kekambuhan Pengguna
Stimulan) (2013)
Jelaskan keadaan Anda selama seminggu terakhir. Untuk setiap (1) (2) (3) (4) (5)
pernyataan di bawah, lingkari satu jawaban yang paling
menggambarkan keadaan Anda. Untuk kata “narkoba” yang sangat tidak antara setuju sangat
muncul di pernyataan, pikirkan tentang obat yang saat ini Anda tidak setuju setuju setuju
salah gunakan. setuju atau
tidak 21. Jika saya m
mempengaruh
setuju
22. Jika teman
akan menggun
sakit sekalipun
23. Saya tidak
24. Jika narko
menggunakan
25. Saya mera
J
e
n
i
s
K
e
l
a
m
i 4
n □
:
S
e
1 b
u
□ t
k
L a
n
a
k
k e
i g
- i
l a
a t
k a
n
i
l
a
i
2 n
d
□ a
l
a
P m
e
r p
e r
m o
p g
u r
a
a
m
n
U
s
i
a
:
tahun
2
PETUNJUK:
Silakan gunakan skala 1 (tidak atau sangat jarang benar) hingga 5 (sangat sering atau selalu benar) yang
disediakan untuk menunjukkan seberapa benar pernyataan di bawah ini yang menggambarkan diri Anda.
Lingkari angka dalam kotak di sebelah kanan tiap-tiap pernyataan yang mewakili pendapat Anda sendiri tentang
yang biasanya Anda lakukan pada situasi tersebut. Misalnya, jika Anda berpikir bahwa pernyataan tersebut
seringkali benar, lingkari ‘4’ dan jika Anda berpikir pernyataan kadang-kadang benar, lingkari ‘3’.
Baer, RA, Smith, GT, Lykins, E., Button, D., Krietemeyer, J., Sauer, S., Walsh, E., Duggan, D. & Williams, JMG (2008).
Membangun validitas dari Kuesioner Lima Aspek Mindfulness dalam sampel bermeditasi dan tidak bermeditasi.
Gu, J., Strauss, C., Crane, C., Barnhofer, T., Karl, A., Cavanagh, K., & Kuyken, W. (2016). Memeriksa struktur faktor dari
versi 39-item dan 15-item dari Kuesioner Lima Aspek Mindfulness sebelum dan sesudah Terapi Kognitif Berbasis
Mindfulness untuk orang-orang dengan depresi berulang. Penilaian Psikologis. Doi: 10.1037/pas0000263
SURAT PERSETUJUAN
Nama :
Usia :
Jenis Kelamin :
Tingkat Pendidikan :
Pekerjaan :
Dengan ini saya memberitahukan bahwa benar saya menyatakan kesediaannya untuk
menjadi subjek setelah menerima penjelasan tentang tujuan penelitian dan telah mengetahui hak-
hak saya sebagai subjek yaitu mendapat jaminan kerahasiaan atas identitas dan bersedia untuk
memberikan data penunjang dalam penelitian tehsis atas nama :
Banjarbaru,…...........................
Subjek
….........................................
Demi memperlancar keseluruhan tahapan dalam prosedur, beberapa hal yang telah
disepakati yaitu :
1. Prinsip Kesukarelaan
Keterlibatan semua pihak yang terkait dalam praktik ini adalah berdasarkan prinsip
kesukarelaan, tanpa ada paksaan dan ancaman dari siapapun.
2. Masalah Kerahasiaan
Bapak/Ibu/SaudaraKlien/ Pasien, akan memberikan informasi yang sejujur-jujurnya
sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya dan pihak mahasiswa/praktikan wajib
merahasiakan segala infomasi yang diperoleh dalam praktik ini kepada pihak-pihak
yang tidak berkepentingan. Dalam prosedur diatas ada kemungkinan praktikan akan
melakukan dokumentasi. Hasil dokumentasi tersebut hanya akan disampaikan
kepada sesama profesi yang terkait dengan praktik dan tidak akan disebarluaskan
kepada khalayak.
3. Risiko
Apabila ditengah jalan dalam proses praktik ini, Bapak/Ibu/Saudara merasa keberatan
untuk melanjutkannya, maka Bapak/Ibu/Saudara dapat menyatakan untuk berhenti.
Apabila terjadi dampak-dampak negatif dari proses praktik ini, Supervisor dari
mahasiswa praktikan bertanggungjawab membantu mahasiswa praktikan
mengembalikan kondisi anda menjadi seperti keadaan semula atau lebih baik.
Demikian surat pernyataan ini kami buat dengan sukarela dan sejujurnya untuk dapat
digunakan sebagaimana mestinya.
LEMBAR OBSERVASI
Pertemuan…..... Sesi….......
A. Identitas Subjek
Nama Partisipan :
Hari / Tanggal Observasi :
Waktu Observasi :
Tempat Observasi :
B. Identitas Observer :
Nama Observer :
Pekerjaan :
Status :
Aspek Catatan
Perilaku
Kognitif
Afektif
LEMBAR OBSERVASI UMUM
Pertemuan…..... Sesi….......
FORM PENILAIAN KELAYAK MODUL
Nama :
Pekerjaan :
Dengan ini memberikan penilaian terhadap modul pelatihan mindfulness based relaps
prevention addiction yang disusun oleh Ryskie Arrahman yang digunakan dalam penelitian
thesis dengan dengan judul efektivitas pelatihan mindfulness based relapse prevention addiction
(MBRP) untuk menurunkan kekambuhan pada remaja pecandu Narkoba di Rehabilitasi Institusi
Penerima Wajib Lapor (IPWL) Yayasan Pemberdayaan Banjarbaru Kalimantan Selatan.
Berikut identitas saya :
Berikan tanda rumput (√) pada kolom sesuai untuk faktor yang dinilai memadai
3. Kesesuaian modul
4. Kesesuaian bahasa
dan isi modul
dengan
karakteristik subjek
5. Alokasi waktu
yang digunakan
Yogyakarta,…...................
….....................................
SURAT PENGANTAR MENJADI EXPERT JUDGEMENT
Lampiran : 1 bendel
Perihal : Permohonan melakukan expert judgement pedoman Skala SRRS
Kepada
Yth. ……………………………………, S.Psi. M.Psi., Psikolog
Di Tempat
Demikian surat permohonan ini saya buat. Atas perhatian dan kesediaannya saya
sampaikan terima kasih. Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Yogyakarta,............................. 2021
Hormat saya,
Lampiran : 1 bendel
Perihal : Permohonan melakukan expert judgement pedoman Skala FFMQ-15
Kepada
Yth. ……………………………………, S.Psi. M.Psi., Psikolog
Di Tempat
Demikian surat permohonan ini saya buat. Atas perhatian dan kesediaannya saya
sampaikan terima kasih. Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Yogyakarta,............................. 2021
Hormat saya,
Pekerjaan : Psikolog,Terapis
Instansi :
Email :
Dengan ini menerangkan bahwa telah melakukan penilaian masukan terhadap “Pedoman
observasi dan wawancara” yang diajukan sebagaimana terlampir.
Yogyakarta,.............................. 2021
Yang menerangkan,
Pekerjaan : Psikolog,Terapis
Instansi :
Email :
Dengan ini menerangkan bahwa telah melakukan penilaian masukan terhadap “Pedoman
observasi dan wawancara” yang diajukan sebagaimana terlampir.
Yogyakarta,.............................. 2021
Yang menerangkan,
Skor 5 : Sangat RELEVAN (apabila item yang dibuat SANGAT RELEVAN dengan aspek
indikator perilaku yang diungkap)
Skor 4 : RELEVAN (apabila item yang dibuat RELEVAN dengan aspek indikator perilaku
yang diungkap)
Skor 3 : AGAK RELEVAN (apabila item yang dibuat AGAK RELEVAN dengan aspek
indikator perilaku yang diungkap)
Skor 2 : TIDAK RELEVAN (apabila item yang dibuat TIDAK RELEVAN dengan aspek
indikator perilaku yang diungkap)
Skor 1 : SANGAT TIDAK RELEVAN (apabila item yang dibuat SANGAT TIDAK
RELEVAN dengan aspek indikator perilaku yang diungkap)
Intruksi : setiap hari, catat latihan meditasi mindfulness, termasuk hambatan yang dilalui,
pengamatan atau komentar apapun.
Dari :
Bowen, S., Chawla, N., & Marlatt, G.A. 2011. Mindfulness-Based Relapse Prevention for
Addictive Behaviours : A Clinician’s Guide. The Guilford Press.
Lembar Kerja Pemicu Kekambuhan
Perhatikan minggu ini hal apa saja yang memicu anda untuk menginginkan obat-obatan. Gunakan pertanyaan-pertanyaan
berikut untuk membawa mindfulness pada detail pengalaman saat itu terjadi.
Hari/ Situasi Sensasi yang Bagaimana Mood, Apa yang kamu Apa yang kamu
Dari :
Bowen, S., Chawla, N., & Marlatt, G.A. 2011. Mindfulness-Based Relapse Prevention for Addictive Behaviours : A Clinician’s
Guide. The Guilford Press.