Oleh :
TAHUN 2022
SATUAN ACARA PENYULUHAN (SAP)
I. Identitas SAP
Topik : Pola hidup sehat
Sub Pokok Bahasan : Pola hidup sehat
: Bahaya penyalahgunaan NAPZA
: Kesehatan mental
Sasaran : Remaja usia 15-18 tahun
Hari/Tanggal : Rabu, 5 Oktober 2022
Waktu : 12.00 – 13.00 WIB
Tempat : Polindes Bening Desa Cerme
Penyuluh : Rurik Rosa, Iva Satya, dan Faizatul Azimah
2. Dampak Sosial :
a. Di Lingkungan Keluarga : - Suasana nyaman dan tentram dalam keluarga
terganggu, sering terjadi pertengkaran, mudah tersinggung. - Orang tua
resah karena barang berharga sering hilang. - Perilaku menyimpang /
asosial anak ( berbohong, mencuri, tidak tertib, hidup bebas) dan menjadi
aib keluarga. - Putus sekolah atau menganggur, karena dikeluarkan dari
sekolah atau pekerjaan, sehingga merusak kehidupan keluarga, kesulitan
keuangan. - Orang tua menjadi putus asa karena pengeluaran uang
meningkat untuk biaya pengobatan dan rehabilitasi.
b. Di Lingkungan Sekolah : - Merusak disiplin dan motivasi belajar. -
Meningkatnya tindak kenakalan, membolos, tawuran pelajar. -
Mempengaruhi peningkatan penyalahguanaan diantara sesama teman
sebaya.
c. Di Lingkungan Masyarakat : - Tercipta pasar gelap antara pengedar dan
bandar yang mencari pengguna / mangsanya. - Pengedar atau bandar
menggunakan perantara remaja atau siswa yang telah menjadi
ketergantungan. - Meningkatnya kejahatan di masyarakat : perampokan,
pencurian, pembunuhan sehingga masyarkat menjadi resah. -
Meningkatnya kecelakaan (Hidayat, F. 2016)
g. UPAYA PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NAPZA
1. Penanggulangan primer : mengenali remaja resiko tinggi penyalahgunaan
NAPZA dan melakukan intervensi.
2. Penanggulangan Sekunder : mengobati dan intervensi agar tidak lagi
menggunakan NAPZA.
3. Penanggulangan Tersier : merehabilitasi penyalahgunaan NAPZA (Badan
Narkotika Nasional BNN, 2020)
1. Struktur keluarga
Struktur keluarga yang bermasalah merupakan penyebab
utama dalam pembentukan masalah emosional pada anak yang
dapat mengarah pada masalah sosial dalam jangka panjang
(Siegel & Welsh, 2011). Anak dengan depresi memiliki proporsi
lebih tinggi mengalami tekanan di iklim keluarga yang tidak
harmonis, anak dengan keluarga yang penuh konflik cenderung
diabaikan. Anak dengan struktur keluarga yang tidak lengkap
seperti hanya memiliki ayah tunggal juga menjadi salah satu
faktor penyebab depresi. Penelitian menunjukkan anak dengan
keluarga ayah tunggal memiliki risiko mengalami depresi
sebanyak tiga hingga lima kali lipat (Saputri & Nurrahima,
2020).
2. Konflik keluarga
Orang tua yang mengacuhkan atau tidak memenuhi
kebutuhan anak dengan baik juga akan meningkatkan resiko
keterlibatan anak dalam perilaku sosial yang tidak dapat
diterima, seperti agresif dan masalah perilaku eksternal lain.
Orang tua dari anak yang terlibat kenakalan remaja biasanya
gagal dalam memberi penguatan pada perilaku positif anak di
usia dini. Karakter positif tersebut contohnya dapat beradaptasi
dengan lingkungan baru dengan baik, mampu menghadapi stres,
menjaga hubungan baik dengan orang di sekitarnya, serta kuat
dan bangkit dari keadaan yang sulit. Orang tua yang
mengabaikan anak cenderung tidak memperdulikan kebutuhan
emosional anak mereka, sehingga menimbulkan dampak negatif
pada perkembangan anak. Konflik keluarga membuat hubungan
keluarga dan anak tidak dekat, hal ini menyebabkan anak sulit
untuk mengekspresikan dirinya saat di rumah (Saputri &
Nurrahima, 2020).
3. Pola asuh orang tua
Pola asuh orang tua seperti kurang dekatnya hubungan
dekat orang tua dengan anak. Hal tersebut dimulai dari hal kecil
seperti orang tua yang sibuk bekerja sehingga hanya sedikit
meluangkan waktu untuk berbincang dengan anak, minimnya
menghargai prestasi anak, kurang memberikan sentuhan fisik,
jarang memberikan pujian verbal maupun fisik seperti
memberikan hadiah yang dapat membuat anak merasa sangat
dihargai atas usahanya. Perhatian kecil yang diberikan kepada
anak bisa membuat kesan dan memori yang sangat berarti.
Hubungan yang kurang dekat antara anak dan orang tua bisa
membuat anak merasa kesepian dan cenderung tertutup sehingga
memilih untuk memendam masalah sendirian di rumah
(Kamilia, 2021). Pola asuh yang buruk membuat anak merasa
tertekan ketika berada di rumah, sehingga anak cenderung
berperilaku negatif seperti melanggar aturan, murung, dan
kurang ekspresif yang mana hal tersebut dikaitkan dengan gejala
depresi (Saputri & Nurrahima, 2020).
4. Gaya pengasuhan
Gaya pengasuhan juga mempengaruhi kesehatan mental
seorang anak. Gaya pengasuhan negatif (misalnya, pemberian
hukuman dan otoriterisme) seperti gaya perlindungan yang
berlebihan dan tekanan yang berlebihan, perintah dan teguran
orang tua dengan kata-kata yang buruk, menolak pendapat anak
dengan kasar, terlalu melindungi anak, terlalu cemas berkorelasi
negatif dengan harga diri remaja dan keseimbangan emosional,
dan berhubungan positif dengan kecemasan sosial dan masalah
perilaku (Mustamu, et al., 2020). Gaya asuh Permisif yaitu
pola asuh yang ditandai dengan adanya kebebasan tanpa
batas pada anak untuk berperilaku sesuai dengan
kenginannya sendiri, orang tua tidak pernah memberi
aturan atau pengarahan kepada anak, semua keputusan
diserahkan kepada anak tanpa pertimbangan orang tua sehingga
anak tidak tahu apakah perilakunya itu sudah benar atau
salah akibatnya anak akan berperilaku sesuai dengan
keinginannya sendiri, tidak peduli apakah sesuai dengan
norma masyarakat atau tidak. Gaya asuh permisif yang
cenderung memberi kebebasan pada anak untuk berperilaku
sesuai dengan keinginannya sendiri, tidak peduli apakah
perilaku itu sesuai dengan norma masyarakat atau tidak
ternyata juga sangat mempengaruhi masalah mental dan
emosional remaja (Fitri, et al. 2019).
Gaya pengasuhan positif (misalnya, kehangatan dan
pengertian emosional) seperti mendengarkan pendapat anak,
menghormati pendapat anak, memberikan motivasi kepada anak
akan sangat cocok untuk digunakan selama masa transisi
seperti remaja dan dewasa muda. Hal ini akan berpengaruh
jangka Panjang seperti menstabilkan kondisi mental sehingga
mengarah kepada kontrol yang lebih baik terhadap kondisi
kronis dan pencegahan konsekuensi kesehatan mental seumur
hidup (Mustamu, et al., 2020).
5. Verbal abuse atau biasa disebut emotional child abuse
Tindakan lisan atau perilaku yang menimbulkan
konsekuensi emosional yang merugikan. Kata-kata buruk dan
menyakitkan yang diucapkan oleh orang tua kepada anaknya
seperti melecehkan kemampuan anak, menganggap anak sebagai
sumber kesialan, mengecilkan arti si anak, memberikan julukan
negatif kepada anak, dan memberikan kesan bahwa anak tidak
diharapkan akan memiliki dampak jangka panjang terhadap
perasaan anak dan dapat mempengaruhi citra diri mereka. Ini
juga merupakan salah satu bentuk kekerasan pada anak yang
disebut dengan kekerasan verbal atau kekerasan yang dilakukan
lewat kata-kata yang menyakitkan (verbal abuse) (Fitriana et al,
2015).
Kekerasan verbal terhadap anak akan menumbuhkan sakit
hati hingga membuat mereka berpikir seperti yang kerap
diucapkan oleh orangtuanya. Jika orangtua bilang anak bodoh
atau jelek, maka dia akan menganggap dirinya demikian.
Ucapan-ucapan bernada menghina dan merendahkan itu akan
direkam dalam pita memori anak, semakin lama, maka akan
bertambah berat dan membuat anak memiliki citra negatif.
Dampak kekerasan verbal tidak terjadi secara langsung, namun
melalui proses. Anak yang sering mengalami kekerasan verbal
di kemudian hari akan hilang rasa percaya dirinya. Bahkan
hingga memicu kemarahannya, merencanakan untuk melakukan
aksi balas dendam, dan berpengaruh terhadap caranya bergaul
(Fitriana et al, 2015).
b. Faktor Sekolah
Anak melakukan interaksi dengan guru maupun teman sebayanya
di sekolah. Guru dapat menjadi salah satu faktor timbulnya depresi
pada anak. Sikap guru yang dapat menyebabkan depresi anak berupa
melakukan diskriminasi, membuat komentar pedas, mempermalukan
anak di depan teman sekelasnya, dan mencegah anak bermain
dengan temannya. Anak yang memiliki hubungan yang buruk di
sekolah baik dengan guru ataupun teman memiliki hubungan dengan
kinerja sekolah yang buruk dan gejala depresi pada anak. Anak yang
mendapatkan perlakuan yang buruk oleh guru atau mengalami
hubungan yang tidak baik dengan temannya, anak akan merasa
sedih, suka menyendiri, tidak memiliki teman, tidak bersemangat,
mengalami tekanan hingga membenci sekolah, yang mana hal
tersebut dikaitkan dengan timbulnya gejala depresi pada anak
(Saputri & Nurrahima, 2020).
e. Faktor Lingkungan
Tekanan yang dialami anak meliputi keadaan lingkungan, cacat
fisik, penyakit fisik, dan kondisi kronis. Keadaan lingkungan yang
membuat anak tertekan salah satunya perilaku bullying. Penelitian
membuktikan bullying viktimisasi mempunyai hubungan dengan
depresi (Saputri & Nurrahima, 2020).
Kata bullying berasal dari Bahasa Inggris, yaitu dari kata bull
yang berarti banteng yang senang merunduk kesana kemari. Dalam
Bahasa Indonesia, secara etimologi kata bully berarti penggertak,
orang yang mengganggu orang lemah. Sedangkan secara
terminology menurut menurut Ken Rigby dalam Astuti (2008 ; 3,
dalam Ariesto, 2009) adalah definisi bullying “sebuah hasrat untuk
menyakiti. Hasrat ini diperlihatkan ke dalam aksi, menyebabkan
seseorang menderita. Aksi ini dilakukan secara langsung oleh
seseorang atau sekelompok yang lebih kuat, tidak bertanggung
jawab, biasanya berulang, dan dilakukan dengan perasaan senang”.
Bullying adalah bentuk-bentuk perilaku kekerasan dimana terjadi
pemaksaan secara psikologis ataupun fisik terhadap seseorang atau
sekelompok orang yang lebih “lemah” oleh seseorang atau
sekelompok orang (Zakiyah, et al., 2017).
Pelaku bullying yang biasa disebut bully bisa seseorang, bisa juga
sekelompok orang, dan ia atau mereka mempersepsikan dirinya
memiliki power (kekuasaan) untuk melakukan apa saja terhadap
korbannya. Korban juga mempersepsikan dirinya sebagai pihak yang
lemah, tidak berdaya dan selalu merasa terancan oleh bully (Zakiyah,
et al., 2017).
Tindakan bullying dibagi menjadi enam kategori yaitu bullying
dalam tindakan verbal, tindakan fisik, pengucilan, mengambil atau
mencuri barang, tindakan psikis, dan tindakan lainnya (Guerin &
Hennessy, 2002). Jenis-jenis bullying yang kerap ditemukan di dalam
lingkungan pergaulan anak, yaitu :
d. Cyberbullying
Cyberbullying adalah tindakan perundungan yang terjadi
secara online di dunia maya. Ini merupakan tindakan
perundungan yang paling jarang disadari oleh orangtua dan
guru. Pelaku melakukan perundungan dengan cara melecehkan,
mengancam, mempermalukan, dan menargetkan korban melalui
media online. Faktor-faktor individual yang dapat
meningkatkan risiko remaja terlibat cyberbullying terkait dengan
pengalaman perundungan, karakteristik kepribadian, dan pola
aktivitas remaja (Rusyidi, 2020). Besar kemungkinan seorang
anak korban bullying tidak bicara terus terang jika dia
mengalami perundungan. Alangkah lebih baik orang tua mulai
lebih peka jika anak-anak menunjukkan perubahan perilaku
yang tidak biasa. Menyelesaikan masalah perundungan mungkin
akan diperlukan kerjasama oleh beberapa pihak, termasuk
dengan pihak sekolah. Pihak kepolisian harus dilibatkan jika
perundungan telah melibatkan kekerasan fisik atau pemerasan.
Perilaku perundungan dalam Model Asesmen Multidimensi
Perilaku perundungan terdapat lima ciri, yaitu perbedaan kuasa antara
pelaku dan korban perundungan, pola tingkah laku agresif yang
berulang-ulang, kecenderungan untuk mengontrol dan mencelakakan,
pembentukan suasana kecemasan, ancaman, pemaksaan dan
ketakutan, kecenderungan untuk merahasiakan atau menyembunyikan
perilaku perundungan (Yusuf & Fahrudin, 2012).
Faktor penyebab yang dapat menyebabkan seseorang melakukan
bullying. Faktor penyebab bullying dibagi menjadi enam, yaitu faktor
individu, faktor keluarga, faktor teman sebaya, faktor sekolah, faktor
media, dan faktor self-control. Pelaku cenderung untuk memilih korban
yang tidak berdaya menentang mereka dari aspek fisik, emosi, sosial dan
intelektual. Korban yang tidak berdaya atau kurang berkemampuan
berpotensi tinggi dijadikan sasaran. Korban perundungan pula
berhubungan dengan ketidakmampuan atau kekurangan korban dari
aspek fisik, psikologi, penyisihan sosial, kesendirian, rasa tidak aman,
dan kepercayaan diri yang rendah (Olweus, 2016).
Faktor penyebab yang kerap menjadi seorang anak melakukan
bullying, yaitu :
a. Masalah pribadi
Salah satu pemicu seseorang melakukan bullying adalah punya
masalah pribadi yang membuatnya tidak berdaya di hidupnya sendiri,
contohnya saja anak yang berasal dari keluarga disfungsional. Tidak
semua anak dari keluarga disfungsional akan jadi pelaku bullying, tapi
hal ini sering terjadi. Sebagian besar pelaku adalah anak yang merasa
kurang kasih sayang dan keterbukaan dalam keluarganya,
kemungkinan juga sering melihat orang tuanya bersikap agresif
terhadap orang-orang di sekitarnya.
b. Pernah jadi korban bullying
Beberapa kasus menunjukkan kalau pelaku sebenarnya juga
merupakan korban. Anak yang merasa dirundung oleh saudaranya di
rumah, lalu ia membalas dengan cara melakukan pada temannya di
sekolah yang ia anggap lebih lemah. Contoh lainnya adalah orang
yang tertekan akibat bullying di kehidupan nyata dan menggunakan
dunia maya untuk menunjukkan kalau dirinya juga punya kekuatan
dengan cara menyerang orang lain.
c. Rasa iri
Penyebab bullying selanjutnya adalah karena rasa iri pelaku pada
korban. Rasa iri ini bisa muncul akibat korban punya hal yang
sebenarnya sama istimewanya dengan sang pelaku. Seseorang juga
mungkin melakukan perundungan untuk menutupi jati dirinya sendiri.
d. Kurangnya rasa empati
Penyebab selanjutnya adalah karena kurangnya rasa empati. Saat
melihat korban, pelaku bullying tidak merasa empati pada apa yang
dirasakan korban, sebagian mungkin justru merasa senang saat melihat
orang lain takut. Semakin mendapatkan reaksi yang diinginkan,
semakin pelaku bullying senang melakukan aksinya.
e. Mencari perhatian
Pelaku bullying kadang tidak sadar kalau apa yang dilakukannya
termasuk ke dalam penindasan, karena sebenarnya apa yang
dilakukannya adalah mencari perhatian. Jenis yang satu ini paling
mudah untuk diatasi. Caranya adalah dengan memberikannya
perhatian yang positif sebelum pelaku mencari perhatian dengan cara
yang negatif.
f. Kesulitan mengendalikan emosi
Anak yang kesulitan untuk mengatur emosi bisa berpotensi jadi
pelaku bullying. Seseorang saat merasa marah dan frustasi, perbuatan
menyakiti dan mengintimidasi orang lain bisa saja dilakukan. Kalau
sulit untuk mengendalikan emosi, maka masalah kecil saja bisa
membuat seseorang terprovokasi dan meluapkan emosinya secara
berlebihan. Menurut Centers for Disease Control and Prevention,
perundungan dapat berdampak pada kesehatan fisik dan emosional
seseorang, baik itu jangka pendek maupun jangka panjang. Korban
dari bullying juga dapat mengalami cedera fisik, masalah sosial,
masalah emosional bahkan meningkatkan risiko bunuh diri dan
kematian. Korban bullying menjadi kurang percaya diri dan
mengalami peningkatan risiko gangguan mental.
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Eunice Kennedy Shriver
National Institute of Child Health and Human Development di
Amerika Serikat, siapapun yang terlibat dalam bullying, baik itu
korban maupun pelaku, berisiko tinggi mengalami depresi. Risiko
depresi ini bahkan bisa lebih tinggi pada korban perundungan
elektronik, misalnya melalui media sosial, pesan singkat, atau email,
dibandingkan bullying secara langsung. Mayo clinic di Amerika
Serikat juga menyatakan hal yang sama, bahwa korban perundungan
dapat berisiko tinggi untuk mengalami gangguan kesehatan mental
seperti depresi, gangguan cemas, gangguan tidur, penurunan rasa
percaya diri, kecenderungan untuk menyakiti diri sendiri dan
percobaan bunuh diri. Performa akademis atau pekerjaan,
penyalahgunaan obat terlarang, dan tindak kekerasan.
Kasus perundungan yang terjadi di kalangan pelajar, tentu ada
cara untuk menanggulangi kasus tersebut agar tidak terulang kembali.
Berikut penanggulangan kasus perundungan dari faktor eksternal
maupun internal di kalangan pelajar
1. Faktor Eksternal
Pihak sekolah, orang tua, serta lingkungan pertemanan dan
pergaulan anak pun sangat berperan penting untuk mendidik
seseorang dalam menanamkan kesadaran untuk menghormati
sesama, menekankan seseorang untuk selalu berperilaku baik dan
mencapai prestasi di sekolah, serta edukasi kepada anakanak akan
bahaya perundungan terhadap mental seseorang. Adanya lingkungan
eskternal yang suportif ini dapat membentuk kepribadian seseorang
untuk tidak sebagai seorang pelaku.
Selain itu, dengan dilaksanakannya seminar-seminar bullying di
sekolah juga dapat membantu mengedukasi para pelajar sedini
mungkin akan hal bullying. (Gaite & Suyatmi, 2018) menambahkan
bahwa penanggulangan perilaku perundungan melalui program
pembinaan karakter terbukti dapat mengubah lingkungan sekolah
menjadi tempat yang menjamin keamanan dan kenyamanan. Perilaku
bullying dapat diatasi karena beragam makna kebaikan yang tertuang
dalam program pembinaan karakter dikonsumsi oleh seluruh warga
sekolah hal ini terlihat dari keseharian mereka yang
mengarusutamakan nilai-nilai kebaikan dalam bentuk perkataan
maupun perbuatan (Gaite & Suyatmi, 2018).
2. Faktor Internal
Penanggulangan selain faktor eksternal kasus bullying juga harus
dari segi internal pula. Penanggulangan dari segi internal dapat
berupa kegiatan seperti
a. Menunjukkan prestasi
Menunjukkan prestasi kepada para pelaku bullying
mungkin akan membuat para pelaku sadar akan kehebatan dan
prestasi korban. Hal ini dapat membuktikan jika seorang korban
perundungan adalah mereka yang tidak lemah. Keberadaan
mereka sangat penting dibandingkan dengan para pelaku.
Biasanya para pelaku hanya menunjukkan atau sebagai ajang
mempamerkan eksistensi mereka tanpa memiliki prestasi apapun.
b. Menjalin Pertemanan dengan Orang Banyak
Circle pertemanan yang luas juga akan meminimalisir
perilaku bullying terhadap siswa, tetapi tergantung dari baik atau
tidaknya circle pertemanan itu sendiri. Lingkungan pertemanan
yang baik akan membawa diri kita ke sesuatu yang baik.
Sebaliknya jika kita salah dalam memilih lingkungan pertemanan
kita dapat terjerumus bahkan bisa menjadi pelaku dari kasus
bullying itu sendiri.
c. Tumbuhkan Rasa Percaya Diri
Rasa percaya diri merupakan hal penting yang harus ada
di dalam diri seseorang. Rasa percaya diri akan membuat
perasaan menjadi lebih baik. Jika seseorang memiliki rasa
percaya diri yang baik, maka orang tersebut akan dapat membela
dirinya ketika mendapatkan perilaku-perilaku perundungan dari
teman-temannya.
d. Tidak Terpancing untuk Melawan
Para pelaku bullying akan sangat senang mendapatkan
respon dari sang korban. Para pelaku bullying akan dikatakan
berhasil jika para korbannya terpancing akan hal yang dilakukan
mereka. Sebaiknya untuk menghindari perilaku bullying yang
berkelanjutan, jangan pernah terpancing untuk meresponnya.
e. Laporkan pada Pihak yang Berwenang
Jika kasus bullying yang dialami sudah berada di tingkat
keparahan yang tinggi, para korban dianjurkan untuk tidak segan
speak up atau melaporkan dan mem-publish kasus tersebut ke
pihak yang berwewenang. Pemberian sanksi hukum serta sanksi
sosial akan membuat jera terhadap para pelaku. Jangan pernah
takut untuk melaporkan kasus perundungan terhadap pihak yang
berwenang, karena untuk menghindari kejadian yang sama di
lain hari.
Model pencegahan lain ada yang menyarankan sepuluh
garis panduan bagi sekolah untuk menangani masalah perilaku
perundungan di sekolah (Rigby & Johnson, 2016). Garis panduan
tersebut antara lain;