Anda di halaman 1dari 30

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika

1. Pengertian Narkotika

Narkotika secara umum disebut sebagai drugs yaitu sejenis zat yang dapat
menimbulkan pengaruh-pengaruh tertentu bagi mereka yang menggunakan
dengan cara memasukan ke dalam tubuh manusia. Pengaruh tersebut berupa
pembiusan, hilangnya rasa sakit, rangsangan semangat dan halusinasi atau
khayalan-khayalan. Secara etimologi, kata narkotika berasal dari bahasa Yunani
yaitu narke yang artinya terbius sehingga tidak merasakan apa-apa. Orang
Amerika menyebutnya dengan nama narcotic, di Malaysia dikenal dengan
istilah dadah sedangkan di Indonesia disebut Narkotika. (Andi Hamzah, 1986 :
224). Sebagian orang berpendapat bahwa narkotika berasal dari
kata Narcissus yang berarti sejenis tumbuh-tumbuhan yang mempunyai bunga
yang dapat menyebabkan orang menjadi tidak sadarkan diri.1
Selain itu, pengertian Narkotika secara farmakologis medis menurut
Ensiklopedia Indonesia adalah obat yang dapat menghilangkan rasa nyeri yang
berasal dari daerah Viseral dan dapat menimbulkan efek stupor (bengong atau
kondisi sadar tetapi harus digertak) serta adiksi, efek yang ditimbulkan narkotika
adalah selain menimbulkan ketidaksadaran juga dapat menimbulkan daya khayal /
halusinasi serta menimbulkan daya rangsang / stimultant.
Menurut Smith Klise dan French Clinical Staff mengatakan bahwa:
“Narcotics are drugs which produce insebility stupor duo to their depressant
effect on the control nervous system. Included in this definition are opium
derivates (morphine, codein, heroin, and synthetics opiates (meperidine,
methadone).” yang artinya kurang lebih sebagai berikut: Narkotika adalah zat-zat
(obat) yang dapat mengakibatkan ketidaksamaan atau pembiusan dikarenakan zat-

1
Hari Sasangka. Narkotika dan Psikotropika dalam Hukum Pidana. Mandar Maju. Bandung.
2003. Hlm. 35

15
zat tersebutbekerja mempengaruhi susunan saraf sentral. Dalam definisinarkotika
ini sudah termasuk jenis candu dan turunan - turunancandu (morphine, codein,
heroin), candu sintetis (meperidine,methadone).2
Menurut vide Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 2882 Tahun 1970,
narkotika atau obat bius diartikan secara umum sebagai semua bahan obat yang
umumnya mempunyai efek kerja bersifat membiuskan (dapat menurunkan
kesadaran), merangsang (meningkatkan prestasi kerja), menagihkan
(meningkatkan ketergantungan), dan menghayal (halusinasi).
Menurut Pakar kesehatan, Narkoba ialah psikotropika yang umumnya
dipakai untuk membius pasien saat hendak dioparasi atau obat-obatan untuk
penyakit tertentu. Akan tetapi saat ini presepsi itu disalah gunakan akibat
pemakaian yang telah diluar batas dosis yang dianjurkan.
Menurut Verdoovende Middelen Ordonantie Staatblad 1972 No. 278 jo.
Nomor 536 yang telah diubah dan ditambah, yang dikenal sebagai undang –
undang obat bius, narkotika adalah “bahan – bahan yang terutama mempunyai
efek kerja pembiusan, atau yang dapat menurunkan kesadara. Disamping
menurunkan kesadaran juga menimbulkan gejala fisik dan mental lainnya apabila
dipakai secara terus menerus dan liar dengan akbiat antara lain terjadinya
ketergantung pada bahan – bahan tersebut”.3
Berdasarkan Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika, yaitu : “Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari
tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat
menyebabkan menurunnya atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi
sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang
dibedakan dalam golongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang ini”.4
Pada dasarnya narkotika memiliki khasiat dan bermanfaat digunakan dalam
bidang ilmu kedokteran, kesehatan, dan pengobatan, serta berguna bagi penelitian
dan pengembangan ilmu farmasi atau farmakologi. Akan tetapi tidak adanya
penelitian khusus yang dilakukan pemerintah dalam hal ini penggunaan narkotika
Golongan I jenis Tanaman Ganja untuk kebutuhan pelayanan kesehatan

2
Djoko Prakoso. Dkk, Kejahatan – kejahatan yang Merugikan dan Membahayakan Negara, Bina
Aksara, Jakarta,1987, Hlm. 480.
3
Makarao. Moh Taufik. Dkk, Tindak Pidana Narkotika, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2007, Hlm:19.
4
Lihat Pasal 1 ayat (1) Undang – undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

16
mengakibatkan minimnya pengetahuan tentang manfaat danri narkotika itu
sendiri.

2. Tujuan Pengaturan dan Penggunaan Narkotika

Undang – undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika bertujuan :

a) Menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan


kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
b) Mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari
penyalahgunaan Narkotika.
c) Memberantas peredaran gelap narkotika dan Prekursor Narkotika;
d) Menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi
penyalahguna dan pecandu Narkotika.
e) Obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan atau
pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan
disisi lain dapat pula menimbulkan ketergantungan yang sangat
merugikan apabila disalahgunakan atau digunakan tanpa
pengendalian dan pengawasan yang ketat dan seksama.
f) Tindak pidana narkotika telah bersifat transnasional sangat
membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara
sehingga undang - undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang
Narkotika sudah tidak sesuai dengan perkembagan situasi dan
kondisi yang berkembang untuk menanggulangi dan memberantas
tindak pidana tersebut.

Penggunaan Narkotika menurut Undang – undang No. 35 Tahun 2009


tentang Narkotika :

a) Narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan


kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi;

17
b) Narkotika golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan
pelayanan kesehatan;
c) Dalam jumlah terbatas, Narkotika Golongan I dapat digunakan
untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
untuk reagensia diagnostik, serta reagensia laboratorium setelah
mendapat persetujuan Menteri atas rekomendasi Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan.

3. Penggolongan Narkotika

Selanjutnya mengenai penggolongan Narkotika diatur dalam Pasal 6 Ayat 1


Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yaitu :
a) Narkotika Golongan I adalah narkotika yang hanya digunakan untuk
tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi serta
mempunyai potensi yang sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.
b) Narkotika Golongan II adalah narkotika berkhasiat pengobatan digunakan
sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk
tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi yang
tinggi mengakibatkan ketergantugan.
c) Narkotika Golongan III adalah narkotika berkhasiat pengobatan dan
banyakdigunakan dalam terapidan/atau untuk tujuan ilmu pengembangan
pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan
ketergantungan.

Menurut Wresniworo (1999 : 28), narkotika menurut cara / proses


pengolahannya dapat dibagi kedalam tiga golongan, yaitu :
1) Narkotika alam adalah narkotika yang berasal dari hasil olahan
tanaman yangdapat dikelompokkan dari tiga jenis tanaman masing-
masing :
a) Opium atau candu, yaitu hasil olahan getah dari buah
tanaman papaver somniferum.Yang termasuk dalam
kelompok ini adalah opium mentah, opium masak dan

18
morfin. Jenis opium ini berasal dari luar negeri yang
diselundupkan ke Indonesia, karena jenis tanaman ini tidak
terdapat di Indonesia.
b) Kokain, yang berasal dari olahan daun tanaman koka yang
banyak terdapat dan diolah secara gelap di Amerika bagian
selatan seperti Peru, Bolivia, Kolombia.
c) Canabis Sativa atau marihuana atau yang disebut ganja
termasuk hashish oil (minyak ganja). Tanaman ganja ini
banyak ditanam secara ilegal didaerah khatulistiwa
khususnya di Indonesia terdapat di Aceh.
2) Narkotika semi sintetis, yang dimaksud dengan narkotika golongan
ini adalah narkotika yang dibuat dari alkaloida opium dengan inti
penthren dan diproses secara kimiawi untuk menjadi bahan obat
yang berkhasiat sebagai narkotika. sebagai contoh adalah heroin dan
codein.
3) Narkotika sintetis, narkotika golongan ini diperoleh melalui proses
kimia dengan menggunakan bahan baku kimia, sehingga diperoleh
suatu hasil baru yang mempunyai efek narkotika seperti Pethidine,
Metadon dan Megadon.

4. Pengertian Tindak Pidana Narkotika

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-


undang, melawan hukum yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan.
Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan
perbuatan tersebut dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang
mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi
masyarakat menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan yang telah
dilakukannya5.

5
Andi Hamzah. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia.Jakarta. 2001.
hlm. 22

19
Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak
pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan
jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan merupakan bentuk
tingkah laku yang melanggar undang-undang pidana. Oleh sebab itu setiap
perbuatan yang dilarang oleh undang-undang harus dihindari dan arang siapa
melanggarnya maka akan dikenakan pidana. Jadi larangan-larangan dan
kewajiban-kewajiban tertentu yang harus ditaati oleh setiap warga Negara wajib
dicantumkan dalam undangundang maupun peraturan-peraturan pemerintah, baik
di tingkat pusat maupun daerah6. Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau
tidak melakukan sesuatu yang memiliki unsur kesalahan sebagai perbuatan yang
dilarang dan diancam dengan pidana, di mana penjatuhan pidana terhadap pelaku
adalah demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.7
Unsur-unsur tindak pidana adalah sebagai berikut:
a. Kelakuan dan akibat (perbuatan)
b. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan
c. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana
d. Unsur melawan hukum yang objektif
e. Unsur melawan hukum yang subyektif.

Di dalam undang-undang narkotika sendiri tidak menjelaskan secara rinci


mengenai apa yang dimaksud dengan tindak pidana narkotika namun dalam Bab I
pasal I angka 15 Undang Undang narkotika menjelaskan penyalahgunaan
narkotika adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan
hukum dan dalam angka 20 dijelaskan bahwa Kejahatan terorganisir adalah
kejahatan yang dilakukan oleh 3 (tiga) orang atau lebih yang telah ada untuk
sewaktu tertentu dan bertindak bersama dengan tujuan melakukan suatu tindak
pidana narkotika. Selanjutnya dalam Pasal 1 Angka 6 Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang narkotika, memberikan pengertian : “Peredaran gelap
Narkotika dan Prekursor Narkotika adalah setiap kegiatan atau serangkaian

6
P.A.F. Lamintang. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. PT. Citra Adityta Bakti. Bandung.
1996. hlm. 7
7
Opcit, hlm., 16

20
kegiatan yang dilakukan secara tanpa hak atau melawan hukum yang ditetapkan
sebagai tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika”.

Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan unsur-unsur tindak pidana


narkotika yaitu sebagai berikut :
1. Perbuatan manusia yang dirumuskan dalam Undang-undang;
2. Melawan hukum;
3. Dilakukan dengan kesalahan dan;
4. Patut dipidana.

Penyalahgunaan narkotika merupakan tindak pidana yang mempunyai


kekhususan tersendiri dibandingkan tindak pidana pada umumnya. Ciri-ciri
khusus tindak pidana narkotika digambarkan oleh Suwanto (1999; 12) Sebagai
berikut:
1. Pelakunya dengan sistem sel artinya antara konsumen dan pengedar tidak
ada hubungan langsung (terputus) sehingga apabila konsumen tertangkap
maka sulit untuk diketahui pengedar, demikian pula sebaliknya.
2. Dalam tindak pidana narkotika pelaku juga korban sehingga kejahatan
narkotika pelaporan sangat minim.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, tindak pidana narkotika adalah


tindak pidana penyalahgunaan narkotika tanpa hak atau melawan hukum selain
yang ditentukan dalam undang-undang.

21
B. Sanksi Tindak Pidana Narkotika

Adapun bentuk-bentuk dan sanksi terhadap tindak pidana penyalahgunaan


narkotika di atur dalam Bab XV Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika yaitu sebagai berikut :

Pasal 111
(1). Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara,
memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika Golongan I dalam
bentuk tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun
dan paling lama 12 (dua belas) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp
800.000.000 (Delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 8.000.000.000
(Delapan milyar rupiah).
(2). Dalam hal perbuatan menanam, memelihara, memiliki, menyimpan,
menguasai, atau menyediakan narkotika Golongan I sebagaimana yang dimaksud
pada ayat (1) beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang
pohon, pelaku dipidana dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda
maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3.

Pasal 112
(1). Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan,
menguasai, atau menyediakan narkotika Golongan I, dipidana dengan penjara
paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun atau pidana
denda paling sedikit Rp 800.000.000 (Delapan ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp 8.000.000.000 (Delapan milyar rupiah).
(2). Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan
narkotika Golongan I sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) beratnya
melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan
pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3.

22
Pasal 113
(1). Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor,
mengekspor, atau menyalurkan narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun atau
pidana denda paling sedikit Rp 1.000.000.000 (Satu milyar rupiah) dan paling
banyak Rp 10.000.000.000 (Sepuluh milyar rupiah).
(2). Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau
menyalurkan narkotika Golongan I sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1)
beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau
dalam bentuk bukan tanaman beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana
dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda
maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3.

Pasal 114
(1). Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual,
menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar atau
menyerahkan narkotika Golongan I, dipidana dengan penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun
atau pidana denda paling sedikit Rp 1.000.000.000 (Satu milyar rupiah) dan
paling banyak Rp 10.000.000.000 (Sepuluh milyar rupiah).
(2). Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli,
menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar atau menyerahkan
narkotika Golongan I sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) yang dalam
bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang
pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya 5 (lima) gram, pelaku dipidana
dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 6 (enam) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda
maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3.

23
Pasal 115
(1). Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim,
mengangkut, mentransito narkotika Golongan I, dipidana dengan penjara paling
singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun atau pidana denda
paling sedikit Rp 800.000.000 (Delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
8.000.000.000 (Delapan milyar rupiah).
(2). Dalam hal perbuatan membawa, mengirim, mengangkut, mentransito
narkotika Golongan I sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) yang dalam
bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang
pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya 5 (lima) gram, pelaku dipidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling
lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditambah 1/3.

Pasal 116
(1). Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan narkotika
Golongan I terhadap orang lain atau memberikan narkotika Golongan I untuk
digunakan orang lain, dipidana dengan penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan
paling lama 15 (lima belas) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp
1.000.000.000 (Satu milyar rupiah) dan paling banyak Rp 10.000.000.000
(Sepuluh milyar rupiah).
(2). Dalam hal penggunaan narkotika terhadap orang lain atau pemberian
narkotika Golongan I untuk digunakan orang lain sebagaimana yang dimaksud
pada ayat (1) mengakibatkan orang lain mati, cacat permanen, pelaku dipidana
mati, pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3.

24
C. ALASAN PENGHAPUS PIDANA

Dalam hukum pidana ada beberapa alasan yang dapat dijadikan dasar bagi
hakim untuk tidak menjatuhkan hukuman/pidana kepada para pelaku atau
terdakwa yamg diajukan ke pengadilan karena telah melakukan suatu tindak
pidana. Alasan tersebut dinamakan alasan penghapus pidana.8 Alasan penghapus
pidana adalah peraturan yang terutama ditujukan kepada hakim. Peraturan ini
menetapkan berbagai keadaan pelaku, yang telah memenuhi perumusan delik
sebagaimana yang telah diatur dalam undang – undang yang seharusnya dipidana,
akan tetapi tidak dipidana. Hakim dalam hal ini menenmpatkan wewenang dalam
dirinya (dalam mengadili perkara yang konkret) sebagai penentu apakah telah
terdapat keadaan khusus dalam diri pelaku seperti dirumuskan dalam alasan
penghapus pidana.9 Dengan demikian alasan – alasan penghapus pidana ini adalah
alasan – alasan yang memungkinkan orang yang melakukan perbuatan delik,
untuk tidak dipidana; dan ini merupakan kewenangan yang diberikan undang –
undang kepada hakim.10

Dalam teori hukum pidana biasanya alasan-alasan yang menghapuskan


pidana dibedakan menjadi tiga :

a) Alasan pembenar yaitu alasan yang menghapuskan sifat melawan


hukumnya perbuataan sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa
menjadi perbuatan yang patut dan benar.

b) Alasan pemaaf yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan


terdakwa. Yakni perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap
bersifat melawan hukun dan tetap merupakan perbuatan pidana
akan tetapi terdakwa tidak dipidana karena tidak ada kesalahan.

8
H.M Hamdan. Alasan Penghapus Pidana (teori dan Studi Kasus). PT Refika
Aditama.2013.hlm.27
9
Ibid. Hlm. 27
10
Ibid.hlm 27

25
c) Alasan menghapus penuntutan yang dimaksudkan disini bukan ada
alasan pembenar atau pemaaf. Jadi tidak ada pikiran mengenai
sifatnya perbuatan maupun sifatnya orang yang melakukan
perbuatan, akan tetapi pemerintah menganggap bahwa atas dasar
kemanfaatannya kepada masyarakat, sebaiknya tidak dijadikan
penuntutan.

1. Alasan dasar Penghapus Pidana (strafruitsluitingsgrond, Grounds Of


Impunity)

Dalam hukum pidana perlu dikemukakan materi tentang alasan-alasan yang


mengecualikan dijatuhkannya hukuman, karena menurut Utrecht, hukum pidana
seperti hukum lainnya mengatur hak-hak yang umum dan yang akan terjadi
(mungkin akan terjadi). Sehingga, hukum pidana mengatur hal-hal yang bersifat
abstrak dan hipotesis. Berdasarkan sifatnya ini maka hukum pidana mengandung
kemungkinan akan dijatuhkannya hukuman yang adil bagi orang-orang tertentu
yang mungkin saja tidak bersalah, meskipun orang tersebut melakukan suatu
tindakan sesuai dengan lukisan perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana.
Dengan demikian ini menjadi penting untuk memperoleh kepastian dan keadilan
hukum dalam penyelesaian suatu perkara pidana.11

Alasan atau Dasar Penghapusan Pidana merupakan hal-hal atau keadaan


yang dapat mengakibatkan seseorang yang telah melakukan perbuatan yang
dengan tegas dilarang dan diancam dengan hukum Pidana (KUHP), tidak
dihukum, karena :

1. Orangnya tidak dapat dipersalahkan;

2. Perbuatannya tidak lagi merupakan perbuatan yang melawan hukum.

Bab I dan Bab II KUHP menjelaskan bahwa “Alasan-alasan yang


menghapuskan, mengurangkan dan memberatkan pidana”. Alasan penghapus

11
Ibid. Hlm. 30

26
pidana, adalah alasan-alasan yang memungkinkan orang yang melakukan
perbuatan yang memenuhi rumusan delik, tidak dapat dipidana. M.v.T (Memorie
Van Toelichting) dari KUHP (WvsBelanda) dalam penjelasannya mengenai
alasan mengahpus pidana ini, mengemukakan apa yang disebut “alasan-alasan
tidak dapat dipertanggung jawabkannya seseorang atau alasan-alasan tidak dapat
dipidananya seseorang”. M.v.T (Memorie Van Toelichting) menyebut 2 (dua)
alasan yaitu :

1. Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang terletak


pada diri orang itu (inwendig), yakni :

a) Pertumbuhan jiwa yang tidak sempurna atau terganggu karena


sakit (pasal 44 KUHP).

b) Umur yang masih muda (mengenai umur yang masih muda ini di
Indonesia dan juga di negeri Belanda sejak tahun 1905 tidak lagi
merupakan lasan penghapus pidana melainkan menjadi dasar
untuk memperingan hukuman).

2. Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang terletak di


luar orang itu (uitwendig), yaitu:

a) Daya paksa atau overmacht (pasal 48);

b) Pembelaan terpaksa atau noodweer (pasal 249);

c) Melaksanakan Undang-undang (pasal 50);

d) Melaksanakan perintah jabatan (pasal 51);

Dari kedua alasan yang ada dalam MvT (Memorie Van Toelichting)
menimbulkan kesan bahwa pembuat undang – undang dengan tegas merujuk pada
penekanan tidak dapat dipertanggung jawabkannya orang, tidak dapat dipidananya

27
pelaku / pembuat, bukan tidak dapat dipidananya tindakan/perbuatan,
12
sebagaimana diatur dalam Pasal 58 KUHP.

Selain perbedaan yang diterangkan dalam M.v.T, ilmu pengetahuan hukm


Pidana juga mengadakan pembedaan sendiri, ialah :

1. Alasan penghapus pidana yang umum (starfuitingsgronden yang


umum), yaitu yang berlaku umum untuk tiap-tiap delik dan disebut
dalam pasal 44, 48, 49, 50 dan 51 KUHP;

2. Alasan penghapus pidana yang khusus (starfuitingsgronden yang


khusus), yaitu yang hanya berlaku untuk delik-delik tertentu saja.

Dalam hukum pidana juga mengadakan pembedaan lain, sejalan dengan


pembedaan antara dapat dipidananya perbuatan dan dapat dipidananya pembuat.
Penghapusan pidana dapat menyangkut perbuatan atau pembuatnya, maka
dibedakan dua jenis alasan penghapus pidana :

1. Alasan pembenar (rechtvaardigingsgrond, fait justificatif,


rechtfertigungsgrund). Alasan pembenar menghapuskan sifat melawan
hukumnya perbuatan, meskipun perbuatan ini telah memenuhi rumusan
delik dalam undang-undang. Kalau perbuatannya tidak melawan hukum
maka tidak mungkin ada pemidanaan. Alasan pembenar yang terdapat
dalam KUHP ialah pasal 48 (keadaan darurat), pasal 49 ayat (1)
(pembelaan terpaksa), pasal 50 (peraturan perundang-undangan) dan pasal
51 (1) (perintah jabatan).

2. Alasan pemaaf atau alasan penghapus kesalahan (schulduitsluittingsgrond-


fait d’excuse, entschuldigungsdrund, schuldausschliesungsgrund). Alasan
pemaaf menyangkut pribadi si pembuat, dalam arti bahwa orang ini tidak
dapat dicela (menurut hukum) dengan perkataan lain ia tidak bersalah atau
tidak dapat dipertanggungjawabkan, meskipun perbuatannya bersifat
melawan hukum. Jadi disini ada alasan yang menghapuskan kesalahan si
pembuat, sehingga tidak mungkin pemidanaan.Alasan pemaaf yang

12
Ibid. Hlm. 28

28
terdapat dalam KUHP ialah pasal 44 (tidak mampu bertanggungjawab),
pasal 49 ayat (2) (noodweer exces), pasal 51 ayat (2) (dengan itikad baik
melaksanakan perintah jabatan yang tidak sah). Adapun mengenai pasal 48
(daya paksa) ada dua kemungkinan, dapat merupakan alasan pembenar
dan dapat pula merupakan alasan pemaaf.

2. Alasan Penghapus Pidana (umum) di dalam KUHP.

A. Daya Paksa – Overmacht Pasal 48 KUHP

Pasal 48 KUHP menentukan : “tidak dipidana seseorang yang melakukan


perbuatan yang didorong oleh daya paksa”.13 Apa yang diartikan dengan daya
paksa ini dapat dilihat dalam KUHP. Menurut M.v.Tyang dimaksud dengan
paksaan itu adalah “een kracht, een drang, een dwang waaraan men geen
weerstand kan bieden” (suatu kekuatan, suatu dorongan suatu paksaan yang tidak
dapat ditahan).14 “Tidak dapat ditahan”, memberi sifat kepada tekanan atau
paksaan itu. Yang dimaksud dengan daya paksaan di sini bukan paksaan mutlak,
yang tidak memberi kesempatan kepada si pembuat menentukan kehendaknya.
Kalimat “tidak dapat ditahan” menunjukkan, bahwa menurut akal sehat tak dapat
diharapkan dari si pembuat untuk mengadakan perlawanan. Maka dalam
overmacht (daya paksa) dapat dibedakan dalam dua hal :

1. vis absoluta (paksaan yang absolut).

2. vis compulsive (paksaan yang relatif).

Daya paksa yang absolute vis absoluta dapat disebabkan oleh kekuatan
manusia atau alam. Dalam hal ini paksaan tersebut sama sekali tidak dapat
ditahan. Yang dimaksud dengan daya paksa dalam pasal 48 adalah daya paksa
relative (vis complusiva). Pada overmacht (daya paksa) orang ada dalam keadaan
dwangpositie (posisi terjepit). Ia ada ditengah-tengah dua hal yang sulit yang
sama-sama buruknya. Keadaan ini harus ditinjau secara obyektif. Sifat dari daya
paksa ialah bahwa ia datang dari luar diri si pembuat dan lebih kuat dari padanya.

13
Lihat Pasal 48 Kitab Undang – undang Hukum Pidana (KUHP)
14
H.M Hamdan. Alasan Penghapus Pidana (teori dan Studi Kasus). PT Refika
Aditama.2013.hlm.79

29
Jadi harus ada kekuatan (daya) yang mendesak dia kepada suatu perbuatan yang
dalam kata lain tak akan ia lakukan, dan jalan lain juga tidak ada.

B. Keadaan Darurat – Noodtoestand Pasal 48 KUHP

Dalam vis compulsiva (daya paksa relative) dibedakan daya paksa dalam
arti sempit (atau paksaan psikis) dan keadaan darurat. Daya paksa dalam arti
sempit ditimbulkan oleh orang sedang pada keadaan darurat, paksaan itu datang
dari hal di luar perbuatan orang. Menurut doktrin, terdapat 3 bentuk dari keadaan
darurat :

1) Pertentangan antara dua kepentingan hukum ;

2) Pertentangan antara kepentingan hukum dan kewajiban hukum ;

3) Pertentangan antara kewajiban hukum dangan kewajiban hukum.

3. Alasan Penghapus Pidana Di Luar KUHP.

Selain alasan penghapus pidana yang diatur dalam KUHP, juga terdapat
alasan penghapus pidana yang bersumber dari luar KUHP yang dalam hal – hal
khusus atau perkara tertentu juga dapat digunakan hakim sebagai alasan
penghapus pidana. Alasan – alasan penghapus pidana yang diluar KUHP15 ini
juga ada yang berlaku secara umum dan juga ada yang berlaku secara khusus
untuk kasus tertentu.

Alasan Penghapus Pidana diluar KUHP ini sering disebut dengan alasan
penghapus pidana Putatief dan Avas. Ada kemungkinan bahwa seseorang mengira
telah berbuat sesuatu dalam daya paksa atau dalam keadaan pembelaan darurat
atau dalam menjalankan undang-undang atau dalam melaksanakan perintah
jabatan yang sah, pada kenyataannya ialah bahwa tidak ada alasan penghapus
pidana tersebut dalam hal ini ada alasan penghapus pidana yang putatief. Menurut
pendapat MJ van Bemmelen orang tersebut tidak dapat dijatuhi pidana, apabila

15
A. Zainal Abidin Farid. (1995). Hukum Pidana I. Jakarta: Sinar Grafika. Hlm 202

30
dapat diterima secara wajar bahwa ia boleh berbuat seperti itu. Ia dapat berlindung
pada “taksi” (avas).16 Menurut Jan Remmelink, AVAS merupakan singkatan dari
(afwezigheid van alle schuld) yang berarti orang yang melakukan tindak pidana
yang tidak mempunyai kesalahan sama sekali, tanpa sila (absence of
blameworthiness/ no fault). Jika ada kasus-kasus di mana kita dapat membuktikan
bahwa tiada kesalahan sama sekali maka kita dapat menggunakan avas untuk :
kasus-kasus khusus, terjadi eror fact (kekeliruan yang berkenaan dengan situasi
factual) atau eror yuridis (kekeliruan yang berkenaan dengan situasi yuridis).
Alasan penghapus pidana putatief merupakan alasan penghapus kesalahan atau
alasan pemaaf. 17

4. Teori – teori Alasan Penghapus Pidana

Beberapa keadaan fisik ataupun keadaan ligkungan dapat dijadikan sebagai


alasan penghapus pidana. Dengan kata lain meskipun perbuatan seseorang itu
telah memenuhi isi rumusan undang – undang mengenai suatu perbuatan yang
dapat dihukum, akan tetapi yang bersangkutan tidak dihukum. Alasan pembenar
dan alasan pemaaf merupakan pembelaan dari pelaku terhadap tuntutan dari
perbuatan pidana yang telah dilakukannya. Sehingga dapat berfungsi sebagai
pelindung bagi terdakwa dari ancaman hukuman. 18

1. The Theory of Lesser Evils19

The reory of lesser diartikan sebagai “ Teori tentang peringkat kejahatan


yang lebih ringan”. Teori ini digolongkan ke dalam alasan pembenar (the
theory of justification). Alasan pembenar didasari pada pilihan untuk
melakukan suatu perbuatan atas dasar perimbangan atau perbandingan
dari tingkat kejahatan atau dasar kebaikan yang mempunyai nilai yang

16
Bemmelen, J.M. van. Hukum Pidana 1 Hukum Pidana Materiel Bagian Umum, Terjemahan
Hasnan. Bandung. Binacipta. Hlm. 174-175
17
Ibid. Hlm 202
18
H.M. Hamdan. Op.cit. hlm. 60
19
Ibid. hlm. 64

31
lebih baik dari sekian banyak pilihan. Dalam teori ini suatu perbuatan itu
dapat dibenarkan dilandasi pada beberapa argumen :

1. Suatu perbuatan yang menyimpang dari aturan norma yang sudah


ditentukan dalam masyarakat dapat dibenarkan untuk dilakukan
dalam rangka mengamankan kepentingan yang lebih besar daripada
bahaya yang terjadi atas penyimpangan dari norma yang di lakukan. “
This means simply that no act is justified unless its benefit exceeds its
cost”.20

2. Suatu perbuatan yang menyimpang dari aturan atau norma-norma


yang sudah ditentukan itu dapat dibenarkan apabila perbuatan yang
menyimpang itu adalah suatu cara atau alat yang mudah tersedia
untuk menghindar dari ancaman tersebut. Penyimpangan norma yang
dilakukan itu memang merupakan satu-satunya cara untuk
menghindari dari bahaya yang mengancam. “the conduct is justified
only if it is undertaken to avoid an imminent and impending danger
of harm”

2. The Theory of pointless punishments21

The Theory of pointless punishments diartikan sebagai “teori hukum


yang tidak perlu”. Teori ini digolongkan kedalam alasan pemaaf (The
utilitarian theory of excuses). Pada dasarnya teori ini berasal dari teori
manfaat dari hukuman (the utilitarian theory of punishment), yang
didasarkan pada dua premis :

1. Bahwa hukuman yang dijatuhkan itu pantas atas dasar pembenaran


bahwa hukuman hukuman itu akan membawa manfaat yang baik
secara umum, terutama untuk mencegah orang melakukan kejahatan.

2. Apabila penjatuhan hukuman itu tidak membawa manfaat yang baik


secara umum, maka hal itu akan membawa rasa sakit bagi masyarakat

20
Ibid. Hlm. 65
21
Ibid. Hlm 66-70

32
tanpa membawa keuntungan sama sekali, bahkan penghukuman itu
merupakan suatu perlakuan yang salah.

3. Jika dihubungkan dengan penerapan Pasal 44 KUHP, maka hakim


yang mengadili perkara harus melakukan pemeriksaan terhadap
pelaku dengan dua syarat, yaitu

1. Syarat pertama adalah suatu syarat psychiatri, yaitu dari sudut


penyakit, dalam hal ini harus dapat dibuktikan bahwa pelakutidak
menyadari atau tidak menginsyafi perbuatan atau akibat dari
perbuatannya.

2. Syarat kedua adalah syarat psychologis, yaitu tentang keadaan jiwa


seseorang dalam menentukan pilihannya untuk melakukan suatu
perbuatan (perbuatan melanggar hukum). Dari sudut keadaan
kejiwaan ini harus dapat dibuktikan apakah pelaku tidak bebas
memilih untuk berbuat atau tidak berbuat. Misalnya melakukan
sesuatu (tindak pidana) dalam keadaan jiwa yang tertekan.

3. The Theory of necessary defense

The Theory of necessary defense diartikan sebagai “teori mengenai


pembelaan yang diperlukan”. Dalam hal melakukan pembelaan, Fletcher
mengemukakan bahwa teori pembelaan juga termasuk didalamnya adalah
teori pembelaan diri (theory of self defense), dan kehormatan pribadi atau
orang lain. Pembelaan ini dapat dilakukan atas dasar penggunaan
kekuatan yang benar dan tepat sehingga tidak ada pilihan yang lain, yang
dapat digunakan selain melakukan perbuatan yang melanggar hukum
tersebut. Dengan demikian jika msih ada pilihan lain yang dapat
digunakan untuk melindungi diri dari ancaman yang membahayakn
tersebut, maka pembelaan dengan cara melanggar hukum tidak
dibenarkan.22

22
Ibid.hlm. 70-74

33
Didalam Undang – undang Narkotika tidak dijelaskan secara rinci adanya
alasan penghapus pidana. Tetapi dalam halnya memberikan putusan terhadap
perkara narkotika seharusnya hakim mempertimbangkan alasan – alasan yang
dapat menghapuskan unsur pidananya atau setidaknya menghapuskan sifat
melawan hukumnya. Sifat melawan hukum ada yang formil dan ada yang
materiel. Sifat melawan hukum yang formil adalah apabila suatu perbuatan itu
telah mencocoki semua unsur yang termuat dalam rumusan tindak pidana.
Sedangkan sifat melawan hukum yang materiel adalah suatu perbuatan yang
mencocoki semua unsur yang termuat dalam rumusan undang – undang,
perbuatan tersebut harus benar – benar dirasakan oleh masyarakat sebagai
perbuatan yang tidak patut atau tercela. Oleh karena itu alasan–alasan pembenar
juga terdapat diluar undang–undang, berada pada hukum yang tidak tertulis.23
Sehingga terhadap perkara narkotika pun sifat melawan hukum yang materiel ini
dapat dijadikan alasan penghapus pidana apabila perbuatan yang dilakukan
tersebut tidak bertentangan dengan asas-asas hukum yang berlaku dan tidak
tercela sesuai hukum yang hidup dalam masyarakat.

D. NARKOTIKA UNTUK KEBUTUHAN MEDIS (OBAT)

Narkotika dalam dunia kesehatan bertujuan untuk pengobatan dan


kepentingan manusia seperti operasi pembedahan, menghilangkan rasa sakit,
perawatan stress dan depresi.
Di dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika, menyatakan bahwa “narkotika hanya dapat digunakan untuk
kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi”.24 Sedangkan untuk pengadaan, impor, ekspor, peredaran dan
penggunaannya diatur oleh pemerintah dalam hal ini Menteri Kesehatan.
Sehingga penggunaan narkotika selain yang disebutkan pada Pasal 7 di atas,
mempunyai konsekuensi akibat yuridis yaitu penyalahgunaan narkotika dan akan
23
Sapardjaja, Komariah Emong. Ajaran Sifat melawan Hukum Materiel dalam Hukum Pidana
Indonesia Studi Kasus tentang Penerapan Perkembangannya dalam Yurisprudensi.
Bandung.2002.hlm. 25
24
Lihat Pasal 7 undang-undang no. 35 tentang narkotika

34
memperoleh pidana / ancaman pidana sesuai yang diatur dalam undang-undang
tersebut. Dalam hal ini penulis akan pengaturan terhadap narkotika Golongan I
jenis tanaman Ganja untuk kebutuhan medis atau pelayanan kesehatan harus
segera diakomodasi oleh Pemerintah. Karena zat – zat yang terkandung di
dalamnya dalam dapat dimanfaatkan untuk kepentingan dan kebutuhan pelayanan
kesehatan, salah satu langkah awal adalah membuka riset atau penelitian terhadap
tanaman Ganja.
Ganja adalah obat yang sangat kuat yang diidentifikasi terdiri dari 483
konstituen kimia yang berbeda. 66 diantaranya disebut cannabinoid – senyawa
ganja yang memainkan peran penting dalam kualitas ganja sebagai obat. Tapi
bukan berarti ada 66 efek/interaksi cannabinoid yang berbeda. Berikut adalah
senyawa ganja yang paling jelas kehadiran dan manfaatnya:

1. THC (Delta-9 tetrahydrocannabinol)

THC adalah senyawa yang paling aktif dalam psikologis ganja,


dan juga salah satu yang sangat memberi terapi bagi para
penggunanya. THC memiliki efek analgesik (penghilang rasa
sakit), sifat anti-spasmodik (mencegah / menghilangkan kejang-
kejang), anti–getaran, anti-inflamasi (mencegah pembengkakan),
perangsang nafsu makan dan anti muntah yang digunakan untuk
berbagai penyakit seperti: gangguan makan, efek samping dari
kemoterapi, multiple sclerosis [penyakit autoimun yang
mempengaruhi otak dan sumsum tulang belakang (sistem syaraf
pusat), spasticity (kontraksi konstan dan tidak diinginkan dari satu
atau lebih kelompok otot sebagai hasil dari stroke atau lainnya ke
otak atau sumsum tulang belakang, kejang-kejang dan lain-lain.
Selain itu, THC telah diketahui untuk mengurangi pertumbuhan
tumor dan mengurangi perkembangan aterosklerosis
(penyempitan pembuluh darah yang disebabkan oleh kelebihan
lemak di dinding arteri) pada tikus.

35
2. (E)–BCP (Beta-caryophyllene)

(E)-BCP adalah komponen anti-inflamasi alami dan kuat yang


juga ditemukan dalam makanan seperti lada hitam, oregano,
kemangi, jeruk nipis, kayu manis, wortel, dan seledri. Tidak
seperti THC, cannabinoid ini tidak mempengaruhi otak, yang
berarti tidak menghasilkan efek psikotropika. Para peneliti
mengatakan (E)-BCP bisa menjadi pengobatan yang efektif untuk
nyeri, arthritis (peradangan sendi), sirosis (peradangan & fungsi
buruk pada hati), mual, osteoarthritis (penyakit sendi),
aterosklerosis (suatu kondisi di mana dinding arteri menebal
sebagai akibat dari kelebihan lemak seperti kolesterol), dan
penyakit lainnya tanpa membuat pasien merasa “tinggi”.;

3. CBC (Cannabichromene)

Sering kali, cannabinoid saling bekerja sama untuk menciptakan


sifat penyembuhan pada ganja. CBC adalah contoh baik dari hal
tersebut, karena CBC mendorong efek dari THC. CBC juga
memiliki efek sedatif dan analgesik.

4. CBD (Cannabidiol)

CBD adalah komponen non-psikoaktif ganja, yang berarti tidak


memabukkan. Hal ini diyakini bahwa kehadiran CBD didalam
ganja dapat menekan efek euforia dari THC (keadaan mental dan
emosional didefinisikan sebagai rasa yang damai/santai). CBD
memiliki sifat anti-inflamasi, anti-biotik, anti-depresan, anti-
psikotik, anti-oksidan, penenang, imunomodulator (penyesuaian
sistem imun), dan juga untuk meredakan kejang, radang, gelisah,
dan mual. CBD perlu bekerjasama dengan THC untuk mengobati
nyeri kronis. Pada tahun 2001, GW Pharmaceuticals menemukan

36
bahwa hanya kombinasi dari CBD dan THC-lah yang
menawarkan efek analgesik pada pasien. Jika digunakan secara
terpisah, CBD atau THC tidak seefektif mengobati sakit kronis
seperti jika mereka digunakan secara bersamaan.

5. CBG (Cannabigerol)

CBG adalah cannabinoid pertama yang diproduksi oleh tanaman


ini. CBG adalah pencetus biogenetis dari semua senyawa ganja.
CBG memiliki efek sedatif dan sifat antimikroba, dan
menyebabkan rasa kantuk. Studi menunjukkan bahwa CBG dapat
mengurangi tekanan intraokular (tekanan cairan pada mata) pada
pasien glaukoma [pasien yang mengalami gangguan mata di
mana saraf optik mengalami kerusakan pada penglihatan yang
permanen dan bisa mengakibatkan kebutaan jika tidak diobati]
dan berkontribusi terhadap sifat antibiotik pada ganja itu sendiri.25

E. PERTIMBANGAN HAKIM

Sebelum memutuskan suatu perkara, hakim selalu memperhatikan hal-hal


yang dapat menjadi suatu pertimbangan-pertimbangan baik secara yuridis maupun
di luar ketentuan - ketentuan yuridis demi menemukan suatu kebenaran dan
menciptakan keadilan. Pertimbangan hakim adalah hal-hal yang menjadi dasar
atau yang dipertimbangkan hakim dalam memutus suatu perkara tindak pidana.
Sebelum memutus suatu perkara, hakim harus memperhatikan setiap hal-hal
penting dalam suatu persidangan. Menurut penulis dalam halnya seorang hakim
memberikan putusannya harus mempertimbangkan 2 (dua) aspek yaitu:

A. Pertimbangan Yuridis

25
Diakses dari http://www.lgn.or.id/manfaat-ganja-untuk-medis/ pukul 15.20. minggu 6 januari
2019

37
Pertimbangan yuridis adalah pertimbangan hukum adalah yang menjadi
dasar sebelum memutus perkara, hakim akan menarik fakta-fakta dalam
proses persidangan yang merupakan konklusi komulatif dari keterengan
para saksi, keterangan terdakwa dan barang bukti.

Fakta-fakta yang dihadirkan, berorientasi dari lokasi, waktu


kejadian, dan modus operandi tentang bagaimana tindak pidana dilakukan.
dan juga melihat bagaimana akibat yang ditimbulkan.Pertimbangan hakim
dalam putusan hakim harus mengetahui aspek teoritik, pandangan doktrin,
yurisprudensi, dan posisi kasus yang ditangani. Setelah pencantuman
unsur-unsur tersebut, selanjutnya dipertimbangkan hal-hal yang
memberatkan dan meringankan.

B. Pertimbangan Non Yuridis (Sosologis)


Kepastian hukum menekankan agar hukum atau peraturan ditegakan
sebagaimana yang diinginkan oleh bunyi hukum/peraturannya. Fiat Justitia
et pereat mundus (meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan).
Adapun nilai sosiologis menekankan kepada kemanfaatan bagi
masyarakat. Didalam memutus sebuah perkara dan mempertimbangkan
layak tidaknya seseorang dijatuhi pidana seorang hakim didasarkan oleh
keyakinan hakim dan tidak hanya berdasarkan bukti – bukti yang ada.

Faktor- faktor yang harus dipertimbangkan secara sosiologis oleh hakim


dalam menjatuhkan putusan terhadap suatu perkara , yaitu :

1. Memperhatikan sumber hukum tak tertulis dan nilai-nilai yang hidup


di masyarakat.
2. Memperhatikan sifat baik dan buruk dari terdakwa serta nilai-nilai
yang meringankan maupun hal-hal yang memberatkan terdakwa.
3. Memperhatikan ada atau tidaknya perdamaian, kesalahan, peranan
korban.
4. Faktor masyarakat, yakni liingkungan dimana hukum tersebut berlaku
atau diterapkan.

38
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya cipta dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia dalam pergaulann hidup.

Sesuai dengan Pasal 193 KUHP asas tindak pidana tanpa kesalahan (geen
straaf zonder schuld) pidana hanya dapat dijatuhkan bila ada kesalahan terdakwa,
yang dibuktikan di sidang pengadilan, yaitu kesalahan terdakwa sebagaimana
dimaksud dalam dakwaan penuntut umum. Sehingga pengadilan menjatuhkan
pidana apabila terdakwa bersalah melakukan tindakan pidana yang didakwakan
kepadanya. Didalam Pasal 183 KUHAP juga menyebutkan hakim tidak boleh
menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-
kurangnya dua alat bukti yang sah, sehingga hakim memperoleh keyakinan bahwa
suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah
melakukannya. Alat bukti yang sah di dalam Pasal 184 26 adalah :

a. Keterangan Saksi;
b. Keterangan Ahli;
c. Surat;
d. Petunjuk;
e. Keterangan Terdakwa atau hal yang secara umum sudah diketahui
sehingga tidak perlu dibuktikan.

Pasal 185 Ayat (2) KUHAP menyebutkan bahwa keterangan seorang saksi
saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan
yang didakwakan kepadanya, sedangkan dalam Ayat 3 dikatakan ketentuan
tersebut tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya
(unus testis nullus testis).27

26
Satjipto Rahardjo. Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana. Pusat
Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Jakarta. 1998. hlm. 11
27
Ibid. hlm. 11

39
Menurut Sudikno Mertokusumo dalam menegakkan hukum ada tiga unsur
yang harus selalu diperhatikan yaitu : kepastian hukum, kemanfaatan dan
keadilan. Demikian pula putusan hakim untuk menyelesaikan suatu perkara yang
diajukan di Pengadilan, bahwa putusan yang baik adalah memperhatikan tiga nilai
unsur yaitu yuridis (kepastian hukum), nilai sosiologis (kemanfaatan),
dan filosofis (keadilan). Salah satu dasar pertimbangan hakim dalam memberikan
putusannya yang berkaitan dengan tindak pidana narkotika adalah aspek kepastian
hukum yang dalam hal ini meliputi Undang – undang No. 35 tahun 2009 tentang
Narkotika, tetapi dalam hal ini menurut penulis undang – undang tersebut tidak
memenuhi unsur kepastian hukum terkait pemanfaatan narkotika golongan I jenis
tanaman yaitu Ganja tidak diperbolehkan untuk keperluan pelayanan kesehatan.
Sehingga putusan hakim seringkali tidak memenuhi ketiga unsur tersebut dan
tidak dapat di pertanggungjawabkan kepada masyarakat.

Seringkali dalam hal mengambil keputusan dalam sidang pengadilan hakim


mempertimbangkan beberapa aspek, yaitu:

1) Kesalahan pelaku tindak pidana


Hal ini merupakan syarat utama untuk dapat dipidananya seseorang.
Kesalahan di sini mempunyai arti seluas-luasnya, yaitu dapat dicelanya
pelaku tindak pidana tersebut. Kesengajaan dan niat pelaku tindak pidana
harus ditentukan secara normatif dan tidak secara fisik. Untuk menentukan
adanya kesengajaan dan niat harus dilihat dari peristiwa demi peristiwa,
yang harus memegang ukuran normatif dari kesengajaan dan niat adalah
hakim.

2) Motif dan tujuan dilakukannya suatu tindak pidana


Kasus tindak pidana mengandung unsur bahwa perbuatan tersebut
mempunyai motif dan tujuan untuk dengan sengaja melawan hukum.

40
3) Cara melakukan tindak pidana
Pelaku melakukan perbuatan tersebut ada unsur yang direncanakan
terlebih dahulu untuk melakukan tindak pidana tersebut. Memang terdapat
unsur niat di dalamnya yaitu keinginan si pelaku untuk melawan hukum.

4) Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi


Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pelaku tindak pidana juga
sangat mempengaruhi putusan hakim yaitu dan memperingan hukuman
bagi pelaku, misalnya belum pernah melakukan perbuatan tidak pidana
apa pun, berasal dari keluarga baik-baik, tergolong dari masyarakat yang
berpenghasilan sedang-sedang saja (kalangan kelas bawah).

5) Sikap batin pelaku tindak pidana


Hal ini dapat diidentifikasikan dengan melihat pada rasa bersalah, rasa
penyesalan dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatan tersebut. Pelaku
juga memberikan ganti rugi atau uang santunan pada keluarga korban dan
melakukan perdamaian secara kekeluargaan.

6) Sikap dan tindakan pelaku sesudah melakukan tindak pidana


Pelaku dalam dimintai keterangan atas kejadian tersebut, ia menjelaskan
tidak berbelit-belit, ia menerima dan mengakui kesalahannya, karena
hakim melihat pelaku berlaku sopan dan mau bertanggung jawab, juga
mengakui semua perbuatannya dengan cara berterus terang dan berkata
jujur.

7) Pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku Pidana juga mempunyai


tujuan yaitu selain membuat jera kepada pelaku tindak pidana, juga untuk
mempengaruhi pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya tersebut,
membebaskan rasa bersalah pada pelaku, memasyarakatkan pelaku dengan
mengadakan pembinaan, sehingga menjadikannya orang yang lebih baik
dan berguna.

41
8) Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku
Dalam suatu tindak pidana masyarakat menilai bahwa tindakaan pelaku
adalah suatu perbuatan tercela, jadi wajar saja kepada pelaku untuk
dijatuhi hukuman, agar pelaku mendapatkan ganjarannya dan menjadikan
pelajaran untuk tidak melakukan perbuatan yang dapat merugikan diri
sendiri dan orang lain. Hal tersebut dinyatakan bahwa ketentuan ini adalah
untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum.28

Tetapi dalam hal teknik hakim mengambil keputusan untuk menjatuhkan


pidana menurut aliran dualistis dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Perbuatan melawan hukum menurut hukum pidana itu adalah
merupakan unsur objektif.
2. Pertanggungjawaban menurut hukum pidana itu adalah merupakan
unsur subjektif (kesalahan dalam arti luas).
3. Untuk menjatuhkan pidana menurut aliran dualistis ini, syaratnya adalah
kedua unsur, baik unsur objekti maupun unsur subjektif.

Jadi apabila dihubungkan dengan pengadilan beradasarkan doktrin tentang


alasan penghapus pidana seperti yang sudah dijelaskan penulis diatas, bunyi
putusan menurut Pasal 191 KUHAP di lain pihak, maka menurut penulis terdapat
suatu kejanggalan, tidak sinkron. Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang
menentukan dan kekuatan kaidah- kaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh
hakim melalui putusan - putusannya. Pokok kekuasaan kehakiman diatur dalam
Undang-undang Dasar 1945 Bab IX Pasal 24 dan Pasal 25 serta di dalam Undang-
undang Nomor 48 tahun 2009. Undang-undang Dasar 1945 menjamin adanya
sesuatu kekuasaan kehakiman yang bebas. Hal ini tegas dicantumkan dalam Pasal
24 terutama dalam penjelasan Pasal 24 ayat 1 dan penjelasan Pasal 1 ayat (1) UU
No. 48 Tahun 2009, yaitu kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan

28
Barda Nawawi Arief. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan.
PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. 2001. hlm. 77

42
keadilan berdasarkan pancasila dan Undang-undang Negara Republik Indonesia
tahun 1945 demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.
Sebagai pelaksana dari kekuasaan kehakiman adalah hakim, yang
mempunyai kewenangan dalam peraturan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, dan hal ini dilakukan oleh hakim melalui putusannya. Fungsi hakim
adalah memberikan putusan terhadap perkara yang diajukan, di mana dalam
perkara pidana, hal itu tidak terlepas dari sistem pembuktian negatif, yang pada
prinsipnya menetukan bahwa suatu hak atau peristiwa atau kesalahan dianggap
telah terbukti, di samping adanya alat-alat bukti menurut undang-undang juga
ditentukan keyakinan hakim yang dilandasi denganintegritas moral yang baik.29

Seorang hakim dalam penjatuhan pidana harus memerlukan kejelian,


kebijakan, dan kearifan dalam menjatuhkan putusannya terkhusus untuk perkara
tindak pidana narkotika. Berdasarkan hal tersebut menurut penulis hakim tidak
hanya menjatuhkan putusan berdasarkan ketentuan peraturan perundang –
undangan yang berlaku, akan tetapi hakim juga harus melihat dari aspek sosial
dan kemanusiaan. Pertimbangan hakim merupakan saran untuk memperoleh rasa
keadilan baik terdakwa, korban, masyarakat, atau pengadilan bagi hakim sendiri
sebagai sarana untuk koreksi dan rekoreksi dalam menjatuhkan putusan.

Suatu putusan hakim di dalam tindak pidana narkotika tidak berdiri sendiri
tetapi mempunyai kekuatan berlaku untuk peristiwa serupa yang terjadi kemudian
hari sesuai dengan perkembangan masyarakat yang didorong dengan
perkembangan ilmu dan teknologi yang lebih maju. Hal tersebut berujung pada
kesatuan dan kepastian hukum. Kesatuan hukum menuntut keseragaman putusan
terhadap perkara yang serupa. Sedangkan kepastian hukum mengharap agar
perkara serupa tidak diputus berbeda. Sehingga putusan hakim itu tidak bersifat
normatif, yang berarti bahwa putusan hakim itu tidak hanya berlaku bagi peristiwa
tertentu saja, tetapi juga berlaku bagi peristiwa – peristiwa lainnya yang serupa
terjadi di kemudian hari.

29
Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Persfektif Hukum Progresif, Sinar Grafika,
Jakarta, 2010, hlm.103.

43
Dalam hal ini menurut penulis Seorang hakim dalam menemukan
hukumnya diperbolehkan untuk bercermin pada yurisprudensi dan pendapat para
ahli hukum (doktrin) serta diharuskan berlandaskan pada keadilan, karena dalam
halnya Hakim dalam memberikan putusannya, tidak hanya berdasarkan pada
nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, seperti halnya dijelaskan didalam
Pasal 28 ayat (1) UU No. 40 tahun 2009 yaitu: “Hakim wajib menggali,
mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat”,
sehingga hakim dapat memutuskan dengan rasa keadilan dan dapat dipertanggung
jawabkan terhadap masyarakat.

44

Anda mungkin juga menyukai