1. Pengertian Narkotika
Narkotika secara umum disebut sebagai drugs yaitu sejenis zat yang dapat
menimbulkan pengaruh-pengaruh tertentu bagi mereka yang menggunakan
dengan cara memasukan ke dalam tubuh manusia. Pengaruh tersebut berupa
pembiusan, hilangnya rasa sakit, rangsangan semangat dan halusinasi atau
khayalan-khayalan. Secara etimologi, kata narkotika berasal dari bahasa Yunani
yaitu narke yang artinya terbius sehingga tidak merasakan apa-apa. Orang
Amerika menyebutnya dengan nama narcotic, di Malaysia dikenal dengan
istilah dadah sedangkan di Indonesia disebut Narkotika. (Andi Hamzah, 1986 :
224). Sebagian orang berpendapat bahwa narkotika berasal dari
kata Narcissus yang berarti sejenis tumbuh-tumbuhan yang mempunyai bunga
yang dapat menyebabkan orang menjadi tidak sadarkan diri.1
Selain itu, pengertian Narkotika secara farmakologis medis menurut
Ensiklopedia Indonesia adalah obat yang dapat menghilangkan rasa nyeri yang
berasal dari daerah Viseral dan dapat menimbulkan efek stupor (bengong atau
kondisi sadar tetapi harus digertak) serta adiksi, efek yang ditimbulkan narkotika
adalah selain menimbulkan ketidaksadaran juga dapat menimbulkan daya khayal /
halusinasi serta menimbulkan daya rangsang / stimultant.
Menurut Smith Klise dan French Clinical Staff mengatakan bahwa:
“Narcotics are drugs which produce insebility stupor duo to their depressant
effect on the control nervous system. Included in this definition are opium
derivates (morphine, codein, heroin, and synthetics opiates (meperidine,
methadone).” yang artinya kurang lebih sebagai berikut: Narkotika adalah zat-zat
(obat) yang dapat mengakibatkan ketidaksamaan atau pembiusan dikarenakan zat-
1
Hari Sasangka. Narkotika dan Psikotropika dalam Hukum Pidana. Mandar Maju. Bandung.
2003. Hlm. 35
15
zat tersebutbekerja mempengaruhi susunan saraf sentral. Dalam definisinarkotika
ini sudah termasuk jenis candu dan turunan - turunancandu (morphine, codein,
heroin), candu sintetis (meperidine,methadone).2
Menurut vide Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 2882 Tahun 1970,
narkotika atau obat bius diartikan secara umum sebagai semua bahan obat yang
umumnya mempunyai efek kerja bersifat membiuskan (dapat menurunkan
kesadaran), merangsang (meningkatkan prestasi kerja), menagihkan
(meningkatkan ketergantungan), dan menghayal (halusinasi).
Menurut Pakar kesehatan, Narkoba ialah psikotropika yang umumnya
dipakai untuk membius pasien saat hendak dioparasi atau obat-obatan untuk
penyakit tertentu. Akan tetapi saat ini presepsi itu disalah gunakan akibat
pemakaian yang telah diluar batas dosis yang dianjurkan.
Menurut Verdoovende Middelen Ordonantie Staatblad 1972 No. 278 jo.
Nomor 536 yang telah diubah dan ditambah, yang dikenal sebagai undang –
undang obat bius, narkotika adalah “bahan – bahan yang terutama mempunyai
efek kerja pembiusan, atau yang dapat menurunkan kesadara. Disamping
menurunkan kesadaran juga menimbulkan gejala fisik dan mental lainnya apabila
dipakai secara terus menerus dan liar dengan akbiat antara lain terjadinya
ketergantung pada bahan – bahan tersebut”.3
Berdasarkan Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika, yaitu : “Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari
tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat
menyebabkan menurunnya atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi
sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang
dibedakan dalam golongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang ini”.4
Pada dasarnya narkotika memiliki khasiat dan bermanfaat digunakan dalam
bidang ilmu kedokteran, kesehatan, dan pengobatan, serta berguna bagi penelitian
dan pengembangan ilmu farmasi atau farmakologi. Akan tetapi tidak adanya
penelitian khusus yang dilakukan pemerintah dalam hal ini penggunaan narkotika
Golongan I jenis Tanaman Ganja untuk kebutuhan pelayanan kesehatan
2
Djoko Prakoso. Dkk, Kejahatan – kejahatan yang Merugikan dan Membahayakan Negara, Bina
Aksara, Jakarta,1987, Hlm. 480.
3
Makarao. Moh Taufik. Dkk, Tindak Pidana Narkotika, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2007, Hlm:19.
4
Lihat Pasal 1 ayat (1) Undang – undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
16
mengakibatkan minimnya pengetahuan tentang manfaat danri narkotika itu
sendiri.
17
b) Narkotika golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan
pelayanan kesehatan;
c) Dalam jumlah terbatas, Narkotika Golongan I dapat digunakan
untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
untuk reagensia diagnostik, serta reagensia laboratorium setelah
mendapat persetujuan Menteri atas rekomendasi Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan.
3. Penggolongan Narkotika
18
morfin. Jenis opium ini berasal dari luar negeri yang
diselundupkan ke Indonesia, karena jenis tanaman ini tidak
terdapat di Indonesia.
b) Kokain, yang berasal dari olahan daun tanaman koka yang
banyak terdapat dan diolah secara gelap di Amerika bagian
selatan seperti Peru, Bolivia, Kolombia.
c) Canabis Sativa atau marihuana atau yang disebut ganja
termasuk hashish oil (minyak ganja). Tanaman ganja ini
banyak ditanam secara ilegal didaerah khatulistiwa
khususnya di Indonesia terdapat di Aceh.
2) Narkotika semi sintetis, yang dimaksud dengan narkotika golongan
ini adalah narkotika yang dibuat dari alkaloida opium dengan inti
penthren dan diproses secara kimiawi untuk menjadi bahan obat
yang berkhasiat sebagai narkotika. sebagai contoh adalah heroin dan
codein.
3) Narkotika sintetis, narkotika golongan ini diperoleh melalui proses
kimia dengan menggunakan bahan baku kimia, sehingga diperoleh
suatu hasil baru yang mempunyai efek narkotika seperti Pethidine,
Metadon dan Megadon.
5
Andi Hamzah. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia.Jakarta. 2001.
hlm. 22
19
Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak
pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan
jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan merupakan bentuk
tingkah laku yang melanggar undang-undang pidana. Oleh sebab itu setiap
perbuatan yang dilarang oleh undang-undang harus dihindari dan arang siapa
melanggarnya maka akan dikenakan pidana. Jadi larangan-larangan dan
kewajiban-kewajiban tertentu yang harus ditaati oleh setiap warga Negara wajib
dicantumkan dalam undangundang maupun peraturan-peraturan pemerintah, baik
di tingkat pusat maupun daerah6. Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau
tidak melakukan sesuatu yang memiliki unsur kesalahan sebagai perbuatan yang
dilarang dan diancam dengan pidana, di mana penjatuhan pidana terhadap pelaku
adalah demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.7
Unsur-unsur tindak pidana adalah sebagai berikut:
a. Kelakuan dan akibat (perbuatan)
b. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan
c. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana
d. Unsur melawan hukum yang objektif
e. Unsur melawan hukum yang subyektif.
6
P.A.F. Lamintang. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. PT. Citra Adityta Bakti. Bandung.
1996. hlm. 7
7
Opcit, hlm., 16
20
kegiatan yang dilakukan secara tanpa hak atau melawan hukum yang ditetapkan
sebagai tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika”.
21
B. Sanksi Tindak Pidana Narkotika
Pasal 111
(1). Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara,
memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika Golongan I dalam
bentuk tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun
dan paling lama 12 (dua belas) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp
800.000.000 (Delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 8.000.000.000
(Delapan milyar rupiah).
(2). Dalam hal perbuatan menanam, memelihara, memiliki, menyimpan,
menguasai, atau menyediakan narkotika Golongan I sebagaimana yang dimaksud
pada ayat (1) beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang
pohon, pelaku dipidana dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda
maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3.
Pasal 112
(1). Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan,
menguasai, atau menyediakan narkotika Golongan I, dipidana dengan penjara
paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun atau pidana
denda paling sedikit Rp 800.000.000 (Delapan ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp 8.000.000.000 (Delapan milyar rupiah).
(2). Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan
narkotika Golongan I sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) beratnya
melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan
pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3.
22
Pasal 113
(1). Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor,
mengekspor, atau menyalurkan narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun atau
pidana denda paling sedikit Rp 1.000.000.000 (Satu milyar rupiah) dan paling
banyak Rp 10.000.000.000 (Sepuluh milyar rupiah).
(2). Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau
menyalurkan narkotika Golongan I sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1)
beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau
dalam bentuk bukan tanaman beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana
dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda
maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3.
Pasal 114
(1). Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual,
menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar atau
menyerahkan narkotika Golongan I, dipidana dengan penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun
atau pidana denda paling sedikit Rp 1.000.000.000 (Satu milyar rupiah) dan
paling banyak Rp 10.000.000.000 (Sepuluh milyar rupiah).
(2). Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli,
menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar atau menyerahkan
narkotika Golongan I sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) yang dalam
bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang
pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya 5 (lima) gram, pelaku dipidana
dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 6 (enam) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda
maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3.
23
Pasal 115
(1). Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim,
mengangkut, mentransito narkotika Golongan I, dipidana dengan penjara paling
singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun atau pidana denda
paling sedikit Rp 800.000.000 (Delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
8.000.000.000 (Delapan milyar rupiah).
(2). Dalam hal perbuatan membawa, mengirim, mengangkut, mentransito
narkotika Golongan I sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) yang dalam
bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang
pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya 5 (lima) gram, pelaku dipidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling
lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditambah 1/3.
Pasal 116
(1). Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan narkotika
Golongan I terhadap orang lain atau memberikan narkotika Golongan I untuk
digunakan orang lain, dipidana dengan penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan
paling lama 15 (lima belas) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp
1.000.000.000 (Satu milyar rupiah) dan paling banyak Rp 10.000.000.000
(Sepuluh milyar rupiah).
(2). Dalam hal penggunaan narkotika terhadap orang lain atau pemberian
narkotika Golongan I untuk digunakan orang lain sebagaimana yang dimaksud
pada ayat (1) mengakibatkan orang lain mati, cacat permanen, pelaku dipidana
mati, pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3.
24
C. ALASAN PENGHAPUS PIDANA
Dalam hukum pidana ada beberapa alasan yang dapat dijadikan dasar bagi
hakim untuk tidak menjatuhkan hukuman/pidana kepada para pelaku atau
terdakwa yamg diajukan ke pengadilan karena telah melakukan suatu tindak
pidana. Alasan tersebut dinamakan alasan penghapus pidana.8 Alasan penghapus
pidana adalah peraturan yang terutama ditujukan kepada hakim. Peraturan ini
menetapkan berbagai keadaan pelaku, yang telah memenuhi perumusan delik
sebagaimana yang telah diatur dalam undang – undang yang seharusnya dipidana,
akan tetapi tidak dipidana. Hakim dalam hal ini menenmpatkan wewenang dalam
dirinya (dalam mengadili perkara yang konkret) sebagai penentu apakah telah
terdapat keadaan khusus dalam diri pelaku seperti dirumuskan dalam alasan
penghapus pidana.9 Dengan demikian alasan – alasan penghapus pidana ini adalah
alasan – alasan yang memungkinkan orang yang melakukan perbuatan delik,
untuk tidak dipidana; dan ini merupakan kewenangan yang diberikan undang –
undang kepada hakim.10
8
H.M Hamdan. Alasan Penghapus Pidana (teori dan Studi Kasus). PT Refika
Aditama.2013.hlm.27
9
Ibid. Hlm. 27
10
Ibid.hlm 27
25
c) Alasan menghapus penuntutan yang dimaksudkan disini bukan ada
alasan pembenar atau pemaaf. Jadi tidak ada pikiran mengenai
sifatnya perbuatan maupun sifatnya orang yang melakukan
perbuatan, akan tetapi pemerintah menganggap bahwa atas dasar
kemanfaatannya kepada masyarakat, sebaiknya tidak dijadikan
penuntutan.
11
Ibid. Hlm. 30
26
pidana, adalah alasan-alasan yang memungkinkan orang yang melakukan
perbuatan yang memenuhi rumusan delik, tidak dapat dipidana. M.v.T (Memorie
Van Toelichting) dari KUHP (WvsBelanda) dalam penjelasannya mengenai
alasan mengahpus pidana ini, mengemukakan apa yang disebut “alasan-alasan
tidak dapat dipertanggung jawabkannya seseorang atau alasan-alasan tidak dapat
dipidananya seseorang”. M.v.T (Memorie Van Toelichting) menyebut 2 (dua)
alasan yaitu :
b) Umur yang masih muda (mengenai umur yang masih muda ini di
Indonesia dan juga di negeri Belanda sejak tahun 1905 tidak lagi
merupakan lasan penghapus pidana melainkan menjadi dasar
untuk memperingan hukuman).
Dari kedua alasan yang ada dalam MvT (Memorie Van Toelichting)
menimbulkan kesan bahwa pembuat undang – undang dengan tegas merujuk pada
penekanan tidak dapat dipertanggung jawabkannya orang, tidak dapat dipidananya
27
pelaku / pembuat, bukan tidak dapat dipidananya tindakan/perbuatan,
12
sebagaimana diatur dalam Pasal 58 KUHP.
12
Ibid. Hlm. 28
28
terdapat dalam KUHP ialah pasal 44 (tidak mampu bertanggungjawab),
pasal 49 ayat (2) (noodweer exces), pasal 51 ayat (2) (dengan itikad baik
melaksanakan perintah jabatan yang tidak sah). Adapun mengenai pasal 48
(daya paksa) ada dua kemungkinan, dapat merupakan alasan pembenar
dan dapat pula merupakan alasan pemaaf.
Daya paksa yang absolute vis absoluta dapat disebabkan oleh kekuatan
manusia atau alam. Dalam hal ini paksaan tersebut sama sekali tidak dapat
ditahan. Yang dimaksud dengan daya paksa dalam pasal 48 adalah daya paksa
relative (vis complusiva). Pada overmacht (daya paksa) orang ada dalam keadaan
dwangpositie (posisi terjepit). Ia ada ditengah-tengah dua hal yang sulit yang
sama-sama buruknya. Keadaan ini harus ditinjau secara obyektif. Sifat dari daya
paksa ialah bahwa ia datang dari luar diri si pembuat dan lebih kuat dari padanya.
13
Lihat Pasal 48 Kitab Undang – undang Hukum Pidana (KUHP)
14
H.M Hamdan. Alasan Penghapus Pidana (teori dan Studi Kasus). PT Refika
Aditama.2013.hlm.79
29
Jadi harus ada kekuatan (daya) yang mendesak dia kepada suatu perbuatan yang
dalam kata lain tak akan ia lakukan, dan jalan lain juga tidak ada.
Dalam vis compulsiva (daya paksa relative) dibedakan daya paksa dalam
arti sempit (atau paksaan psikis) dan keadaan darurat. Daya paksa dalam arti
sempit ditimbulkan oleh orang sedang pada keadaan darurat, paksaan itu datang
dari hal di luar perbuatan orang. Menurut doktrin, terdapat 3 bentuk dari keadaan
darurat :
Selain alasan penghapus pidana yang diatur dalam KUHP, juga terdapat
alasan penghapus pidana yang bersumber dari luar KUHP yang dalam hal – hal
khusus atau perkara tertentu juga dapat digunakan hakim sebagai alasan
penghapus pidana. Alasan – alasan penghapus pidana yang diluar KUHP15 ini
juga ada yang berlaku secara umum dan juga ada yang berlaku secara khusus
untuk kasus tertentu.
Alasan Penghapus Pidana diluar KUHP ini sering disebut dengan alasan
penghapus pidana Putatief dan Avas. Ada kemungkinan bahwa seseorang mengira
telah berbuat sesuatu dalam daya paksa atau dalam keadaan pembelaan darurat
atau dalam menjalankan undang-undang atau dalam melaksanakan perintah
jabatan yang sah, pada kenyataannya ialah bahwa tidak ada alasan penghapus
pidana tersebut dalam hal ini ada alasan penghapus pidana yang putatief. Menurut
pendapat MJ van Bemmelen orang tersebut tidak dapat dijatuhi pidana, apabila
15
A. Zainal Abidin Farid. (1995). Hukum Pidana I. Jakarta: Sinar Grafika. Hlm 202
30
dapat diterima secara wajar bahwa ia boleh berbuat seperti itu. Ia dapat berlindung
pada “taksi” (avas).16 Menurut Jan Remmelink, AVAS merupakan singkatan dari
(afwezigheid van alle schuld) yang berarti orang yang melakukan tindak pidana
yang tidak mempunyai kesalahan sama sekali, tanpa sila (absence of
blameworthiness/ no fault). Jika ada kasus-kasus di mana kita dapat membuktikan
bahwa tiada kesalahan sama sekali maka kita dapat menggunakan avas untuk :
kasus-kasus khusus, terjadi eror fact (kekeliruan yang berkenaan dengan situasi
factual) atau eror yuridis (kekeliruan yang berkenaan dengan situasi yuridis).
Alasan penghapus pidana putatief merupakan alasan penghapus kesalahan atau
alasan pemaaf. 17
16
Bemmelen, J.M. van. Hukum Pidana 1 Hukum Pidana Materiel Bagian Umum, Terjemahan
Hasnan. Bandung. Binacipta. Hlm. 174-175
17
Ibid. Hlm 202
18
H.M. Hamdan. Op.cit. hlm. 60
19
Ibid. hlm. 64
31
lebih baik dari sekian banyak pilihan. Dalam teori ini suatu perbuatan itu
dapat dibenarkan dilandasi pada beberapa argumen :
20
Ibid. Hlm. 65
21
Ibid. Hlm 66-70
32
tanpa membawa keuntungan sama sekali, bahkan penghukuman itu
merupakan suatu perlakuan yang salah.
22
Ibid.hlm. 70-74
33
Didalam Undang – undang Narkotika tidak dijelaskan secara rinci adanya
alasan penghapus pidana. Tetapi dalam halnya memberikan putusan terhadap
perkara narkotika seharusnya hakim mempertimbangkan alasan – alasan yang
dapat menghapuskan unsur pidananya atau setidaknya menghapuskan sifat
melawan hukumnya. Sifat melawan hukum ada yang formil dan ada yang
materiel. Sifat melawan hukum yang formil adalah apabila suatu perbuatan itu
telah mencocoki semua unsur yang termuat dalam rumusan tindak pidana.
Sedangkan sifat melawan hukum yang materiel adalah suatu perbuatan yang
mencocoki semua unsur yang termuat dalam rumusan undang – undang,
perbuatan tersebut harus benar – benar dirasakan oleh masyarakat sebagai
perbuatan yang tidak patut atau tercela. Oleh karena itu alasan–alasan pembenar
juga terdapat diluar undang–undang, berada pada hukum yang tidak tertulis.23
Sehingga terhadap perkara narkotika pun sifat melawan hukum yang materiel ini
dapat dijadikan alasan penghapus pidana apabila perbuatan yang dilakukan
tersebut tidak bertentangan dengan asas-asas hukum yang berlaku dan tidak
tercela sesuai hukum yang hidup dalam masyarakat.
34
memperoleh pidana / ancaman pidana sesuai yang diatur dalam undang-undang
tersebut. Dalam hal ini penulis akan pengaturan terhadap narkotika Golongan I
jenis tanaman Ganja untuk kebutuhan medis atau pelayanan kesehatan harus
segera diakomodasi oleh Pemerintah. Karena zat – zat yang terkandung di
dalamnya dalam dapat dimanfaatkan untuk kepentingan dan kebutuhan pelayanan
kesehatan, salah satu langkah awal adalah membuka riset atau penelitian terhadap
tanaman Ganja.
Ganja adalah obat yang sangat kuat yang diidentifikasi terdiri dari 483
konstituen kimia yang berbeda. 66 diantaranya disebut cannabinoid – senyawa
ganja yang memainkan peran penting dalam kualitas ganja sebagai obat. Tapi
bukan berarti ada 66 efek/interaksi cannabinoid yang berbeda. Berikut adalah
senyawa ganja yang paling jelas kehadiran dan manfaatnya:
35
2. (E)–BCP (Beta-caryophyllene)
3. CBC (Cannabichromene)
4. CBD (Cannabidiol)
36
bahwa hanya kombinasi dari CBD dan THC-lah yang
menawarkan efek analgesik pada pasien. Jika digunakan secara
terpisah, CBD atau THC tidak seefektif mengobati sakit kronis
seperti jika mereka digunakan secara bersamaan.
5. CBG (Cannabigerol)
E. PERTIMBANGAN HAKIM
A. Pertimbangan Yuridis
25
Diakses dari http://www.lgn.or.id/manfaat-ganja-untuk-medis/ pukul 15.20. minggu 6 januari
2019
37
Pertimbangan yuridis adalah pertimbangan hukum adalah yang menjadi
dasar sebelum memutus perkara, hakim akan menarik fakta-fakta dalam
proses persidangan yang merupakan konklusi komulatif dari keterengan
para saksi, keterangan terdakwa dan barang bukti.
38
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya cipta dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia dalam pergaulann hidup.
Sesuai dengan Pasal 193 KUHP asas tindak pidana tanpa kesalahan (geen
straaf zonder schuld) pidana hanya dapat dijatuhkan bila ada kesalahan terdakwa,
yang dibuktikan di sidang pengadilan, yaitu kesalahan terdakwa sebagaimana
dimaksud dalam dakwaan penuntut umum. Sehingga pengadilan menjatuhkan
pidana apabila terdakwa bersalah melakukan tindakan pidana yang didakwakan
kepadanya. Didalam Pasal 183 KUHAP juga menyebutkan hakim tidak boleh
menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-
kurangnya dua alat bukti yang sah, sehingga hakim memperoleh keyakinan bahwa
suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah
melakukannya. Alat bukti yang sah di dalam Pasal 184 26 adalah :
a. Keterangan Saksi;
b. Keterangan Ahli;
c. Surat;
d. Petunjuk;
e. Keterangan Terdakwa atau hal yang secara umum sudah diketahui
sehingga tidak perlu dibuktikan.
Pasal 185 Ayat (2) KUHAP menyebutkan bahwa keterangan seorang saksi
saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan
yang didakwakan kepadanya, sedangkan dalam Ayat 3 dikatakan ketentuan
tersebut tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya
(unus testis nullus testis).27
26
Satjipto Rahardjo. Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana. Pusat
Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Jakarta. 1998. hlm. 11
27
Ibid. hlm. 11
39
Menurut Sudikno Mertokusumo dalam menegakkan hukum ada tiga unsur
yang harus selalu diperhatikan yaitu : kepastian hukum, kemanfaatan dan
keadilan. Demikian pula putusan hakim untuk menyelesaikan suatu perkara yang
diajukan di Pengadilan, bahwa putusan yang baik adalah memperhatikan tiga nilai
unsur yaitu yuridis (kepastian hukum), nilai sosiologis (kemanfaatan),
dan filosofis (keadilan). Salah satu dasar pertimbangan hakim dalam memberikan
putusannya yang berkaitan dengan tindak pidana narkotika adalah aspek kepastian
hukum yang dalam hal ini meliputi Undang – undang No. 35 tahun 2009 tentang
Narkotika, tetapi dalam hal ini menurut penulis undang – undang tersebut tidak
memenuhi unsur kepastian hukum terkait pemanfaatan narkotika golongan I jenis
tanaman yaitu Ganja tidak diperbolehkan untuk keperluan pelayanan kesehatan.
Sehingga putusan hakim seringkali tidak memenuhi ketiga unsur tersebut dan
tidak dapat di pertanggungjawabkan kepada masyarakat.
40
3) Cara melakukan tindak pidana
Pelaku melakukan perbuatan tersebut ada unsur yang direncanakan
terlebih dahulu untuk melakukan tindak pidana tersebut. Memang terdapat
unsur niat di dalamnya yaitu keinginan si pelaku untuk melawan hukum.
41
8) Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku
Dalam suatu tindak pidana masyarakat menilai bahwa tindakaan pelaku
adalah suatu perbuatan tercela, jadi wajar saja kepada pelaku untuk
dijatuhi hukuman, agar pelaku mendapatkan ganjarannya dan menjadikan
pelajaran untuk tidak melakukan perbuatan yang dapat merugikan diri
sendiri dan orang lain. Hal tersebut dinyatakan bahwa ketentuan ini adalah
untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum.28
28
Barda Nawawi Arief. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan.
PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. 2001. hlm. 77
42
keadilan berdasarkan pancasila dan Undang-undang Negara Republik Indonesia
tahun 1945 demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.
Sebagai pelaksana dari kekuasaan kehakiman adalah hakim, yang
mempunyai kewenangan dalam peraturan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, dan hal ini dilakukan oleh hakim melalui putusannya. Fungsi hakim
adalah memberikan putusan terhadap perkara yang diajukan, di mana dalam
perkara pidana, hal itu tidak terlepas dari sistem pembuktian negatif, yang pada
prinsipnya menetukan bahwa suatu hak atau peristiwa atau kesalahan dianggap
telah terbukti, di samping adanya alat-alat bukti menurut undang-undang juga
ditentukan keyakinan hakim yang dilandasi denganintegritas moral yang baik.29
Suatu putusan hakim di dalam tindak pidana narkotika tidak berdiri sendiri
tetapi mempunyai kekuatan berlaku untuk peristiwa serupa yang terjadi kemudian
hari sesuai dengan perkembangan masyarakat yang didorong dengan
perkembangan ilmu dan teknologi yang lebih maju. Hal tersebut berujung pada
kesatuan dan kepastian hukum. Kesatuan hukum menuntut keseragaman putusan
terhadap perkara yang serupa. Sedangkan kepastian hukum mengharap agar
perkara serupa tidak diputus berbeda. Sehingga putusan hakim itu tidak bersifat
normatif, yang berarti bahwa putusan hakim itu tidak hanya berlaku bagi peristiwa
tertentu saja, tetapi juga berlaku bagi peristiwa – peristiwa lainnya yang serupa
terjadi di kemudian hari.
29
Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Persfektif Hukum Progresif, Sinar Grafika,
Jakarta, 2010, hlm.103.
43
Dalam hal ini menurut penulis Seorang hakim dalam menemukan
hukumnya diperbolehkan untuk bercermin pada yurisprudensi dan pendapat para
ahli hukum (doktrin) serta diharuskan berlandaskan pada keadilan, karena dalam
halnya Hakim dalam memberikan putusannya, tidak hanya berdasarkan pada
nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, seperti halnya dijelaskan didalam
Pasal 28 ayat (1) UU No. 40 tahun 2009 yaitu: “Hakim wajib menggali,
mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat”,
sehingga hakim dapat memutuskan dengan rasa keadilan dan dapat dipertanggung
jawabkan terhadap masyarakat.
44