Dan dalam lingkup ASEAN sendiri, Myanmar yang menjadi negara anggota ASEAN
pertama yang sepakat dan memilih untuk menyelesaikan sengketa batas maritimnya melalui
jalur Mahkamah Internasional. Sehingga kemudian sengketa kedua negara ini dilakukan
dengan upaya konsiliasi dengan menunjuk ITLOS sebagai konsiliator. Kedua belah pihak
menerima yurisdiksi International Tribunal for the Law of the Sea (ITLOS) untuk sengketa
mereka.
1) Deklarasi Myanmar menyatakan: Sesuai dengan Pasal 287 ayat 1 tahun 1982 Konvensi
PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS), Pemerintah Myanmar dengan ini menyatakan bahwa
menerima yurisdiksi Pengadilan Internasional untuk Hukum Laut untuk penyelesaian
sengketa antara Myanmar dan Bangladesh yang berkaitan dengan delimitasi batas maritim
antara kedua negara di Teluk Benggala.
2) Deklarasi Bangladesh menyatakan: Berdasarkan Pasal 287, ayat 1, 1982 PBB Konvensi
tentang Hukum Laut, Pemerintah Bangladesh menyatakan bahwa ia menerima yurisdiksi
Pengadilan Internasional untuk Hukum Laut untuk penyelesaian sengketa antara Bangladesh
dan Myanmar yang berkaitan dengan delimitasi batas maritim antara kedua Negara di Teluk
Benggala
Sedangkan berdasarkan keputusan arbitrase mengenai sengketa yang terjadi antara Myanmar
dan Bangladesh, keputusan ITLOS mengatakan bahwa Bangladesh memenangkan arbitrase,
namun Bangladesh harus menyerahkan klaim atas sejumlah besar ZEE dan beberapa blok gas
ke Myanmar. Pengadilan juga menyarankan Myanmar dan Bangladesh untuk saling menjaga
wilayah kedaulatannya masing-masing agar upaya penyelesaian sengketa yang sudah kedua
negara lakukan tidak sia-sia sehingga kedua negara dapat menjadi negara yang saling
menguntungkan antar negara dan diharapkan keputusan ini menjadi kemenangan kedua
negara. Mengingat keputusan telah mengakhiri masalah yang telah menghambat
perkembangan ekonomi kedua negara selama lebih dari 3 dekade.
Perbatasan dapat dipahami sebagai garis imajiner yang memisahkan wilayah suatu negara
dengan negara lainnya di atas permukaan bumi (Starke, 1989: 245). Batas wilayah laut diatur
oleh hukum laut internasional. Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa telah berhasil
mewujudkan hukum laut internasional melalui United Nations Convention on the Law of the
Sea (UNCLOS 1982) yang telah ditandatangani oleh 117 negara di Montego Bay, Jamaica
pada tanggal 10 Desember 1982. UNCLOS mengatur kewenangan sebuah negara pantai
terhadap wilayah laut (laut teritorial, zona tambahan, zona ekonomi eksklusif, dan landas
kontinen) dan juga mengatur tata cara penarikan garis batas maritim jika terjadi tumpang
tindih klaim antara dua atau lebih negara bertetangga. Hal ini biasa terjadi di wilayah laut
yang berdampingan. Hukum laut memberikan hak kepada negara pantai untuk memiliki laut
wilayah sejauh 12 mil laut, dan zona ekonomi eksklusif serta landas kontinen sejauh 200 mil
laut yang diukur dari garis pangkalnya, bahkan untuk landas kontinen jaraknya bisa mencapai
350 mil laut (Starke, 1989: 245).
Berdasarkan hasil kesepakatan kedua negara serta berdasarkan suara yang telah disepakati,
maka keputusan ITLOS dalam menangani kasus persengketaan ini yaitu;
1.) Dalam hal Delimitasi laut teritorial, Keputusan Pengadilan menerima keputusan klaim
Bangladesh dan memberikan efek penuh di Pulau St Martin di wilayah delimitasi laut
teritorial;
2.) Dalam hal Delimitasi Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen Dalam 200 Mil,
keputusan Pengadilan jika dilihat dari status dan akibat yang harus diberikan kepada Pulau St
Martin, ITLOS berpendapat bahwa tidak ada aturan umum dan keadaan tertentu yang
dianggap penting;
3.) Dalam hal Delimitasi Landas Kontinen Di Luar 200 Mil, keputusan Pengadilan dalam hal
ini adalah pertama kalinya bahwa pengadilan internasional harus menangani hukum dan
praktek Delimitasi Landas Kontinen di luar 200 mil
Anggota Kelompok
1. Afini Nurdina Utami
2. Bima Setyawan
3. Bq. Wini Setia Arimbi
4. Denny Hijjal P
5. Leni Dwi Zahara
6. M. Rivani Gunawan
7. Mardyatun Aulia
8. Surmayani
9. Syamsul Jaiz
10. Taufiqurrahman