Anda di halaman 1dari 8

A.

Bahasa Figuratif dan Sarana Retorika


Stilistika atau stile memiliki unsur yang terdiri atas aspek kebahasaan,
ejaan, dan bahkan format penulisan. Adapun unsur stile yang telah dibahas
sebelumnya meliputi bunyi, leksikal, gramatikal, dan kohesi. Keempat unsur stile
tersebut lebih bersifat tekstual atau cenderung berupa stilistika tekstual. Namun
untuk mencapai efek keindahan bahasa maka tidak melulu sampai pada kajian
stilistika tekstual melainkan perlu adanya konteks agar tidak jauh daripada tuntutan
stilistika kontekstual.
Pada dasarnya, stilistika berada pada persinggungan antara studi linguistik
dan sastra serta kultur. Dalam banyak hal penggunaan kata, istilah atau ungkapan
tertentu dipengaruhi oleh latar belakang sosial budaya masyarakat, maka penjelasan
fungsi keindahan dan atau ketepatan bentuk-bentuk tersebut haruslah melibatkan
konteks sosial budaya itu. Oleh karena hal tersebut, maka unsur stile yang lain
adalah bahasa figuratif (permajasan), sarana retorika (penyiasatan struktur), citraan
yang mana ketiga unsur tersebut lebih bersifat kontekstual.
Penggunaan bahasa figuratif dan sarana retorika umumnya ditanggapi oleh
khalayak sebagai unsur yang digunakan untuk hal-hal yang bersifat sastra bukan
nonsastra. Hal tersebut tidaklah demikian, kedua unsur stile tersebut bahkan banyak
dimanfaatkan dalam bahasa nonsastra. Bahasa figuratif dan sarana retorika
merupakan sarana untuk memperoleh efek keindahan teks yang bersangkutan.
Retorika merupakan cara penggunaan bahasa untuk meyakinkan pendengar
atau pembaca atau untuk memperoleh efek yang lain. Ketika seseorang akan
menulis atau membaca tentunya akan memilih kata dan struktur yang terbaik. Hal
tersebut dilakukan untuk memperoleh pengaruh bagi pendengar terkait apa yang
disampaikan penutur. Apa yang dilakukan oleh penutur adalah kiat, seni atau
strategi untuk memperindah bahasa yang dipergunakan. Dalam konteks penuturan
hal tersebut biasa disebut sebagai retorika.
Retorika dapat diperoleh melalui kreativitas pengungkapan bahasa, yaitu
bagaimana pengarang menyiasati bahasa sebagai sarana untuk mengungkapkan
gagasannnya. Seperti contoh, sikap dan perasaan pengarang akan tercerminkan
dalam karya sastra yang dibuatnya, sekaligus dimaksudkan untuk memengaruhi
sikap dan perasaan pembaca yang tercermin dalam nada.
Pada dasarnya retorika berkaitan dengan pembicaraan tentang dasar-dasar
penyusunan sebuah wacana yang efektif. Retorika berkaitan dengan penggunaan
semua unsur bahasa seperti pemilihan kata dan ungkapan, manipulasi struktur
kalimat, segmentasi, penyusunan dan penggunaan bahasa kias, pemanfaatan bentuk
citraan, dan lain-lain yang sesuai dengan situasi dan tujuan penuturan. Maka dapat
dikatakan baik buruknya, kekhasan berbahasanya, serta ketepatan penyampaian
gagasan tergantung keefektifan wacana yang dihasilkan.
Bahasa figuratif adalah suatu bentuk penggunaan bahasa yang maknanya
menyimpang dari pemakaian yang biasa, baku, atau urutan kata dengan tujuan
untuk mencapai efek tertentu, yaitu efek keindahan. Maksud dari menyimpang
adalah penyimpangan makna dari makna denotatif menjadi konotatif.
Aristoteles membagi bahasa figuratif ke dalam dua komponen, yaitu: 1)
figures of throught (tropes), dan 2) figures of speech, rhetorical figures (schemes).
Klasifikasi yang pertama adalah permajasan, dan yang kedua merujuk kepada
pengurutan kata dan penyiasatan struktur. Jadi, tidak lain permajasan adalah bahasa
figuratif sedangkan penyiasatan struktur boleh dikatakan istilah lain daripada
sarana retorika.
Bahasa figuratif dan sarana retorika terjalin secara erat bahkan dalam satu
kalimat. Suatu kalimat boleh jadi mengandung bahasa figuratif dan sarana retorika
sekaligus. Misalnya satu kalimat mengandung unsur metafora dan personifikasi
(keduanya bentuk permajasan), repetisi dan klimaks (keduanya bentuk penyiasatan
struktur), metafora dan repetisi (unsur permajasan dan penyiasatan struktur), atau
bentuk-bentuk yang lain. Sebagai contoh, dapat diambil larik-larik bait pertama
puisi Chairil Anwar pada puisi “Sajak Putih” berikut.

Bersandar pada tari warna pelangi


Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda
Keempat larik puisi tersebut mengandung unsur pelebih-lebihan, maka
dapat disebut mengandung sarana retorika, yaitu gaya hiperbola. Larik pertama dan
keempat juga mengandung unsur pengorangan, keduanya berisi majas
personifikasi, sedang larik ketiga mengandung majas metafora. Namun jika dibaca
keempat larik tersebut terasa benar aspek retorisnya sehingga melahirkan rasa
merdu-melodis. Hal itu disebabkan, selain didukung oleh seleksi kata yang ketat,
juga ada permainan struktur, ada penyiasatan struktur di dalamnya, yaitu berupa
pembalikan (permutasi) urutan kata. Sebenarnya, urutan kata pada keempat larik
itu tidaklah lazim karena memang diurutkan secara tidak biasa. Jika ingin melihat
efeknya, dapat dicoba untuk mengganti kata-kata tersebut dengan kata-kata yang
lebih lazim dan diurutkan secara lazim pula, misalnya sebagai berikut.

Pada sore yang indah itu kau berdiri di depanku


Di belakanmu ada pelangi yang tampak bergerak-gerak
Pada matamu yang hitam seola-olah tampak seperti bunga mawar
dan melati
(dan) Rambutmu yang harum itu baunya menyebar ke mana-mana

Makna pada lari-larik tersebut tidak berbeda dengan lari-larik pada puisi
Chairil Anwar sebelumnya. Namun, karena dituturkan dengan cara yang biasa,
maka tidaklah tampak efek keindahannya.
Selain itu, juga perlu ditegaskan bahwa sebuah kalimat yang mengandung
lebih dari satu bahasa figurative dan sarana retorika pastinya lebih baik karena
mampu mengintensifkan penuturan dengan pendayaan yang lebih suntuk.

B. Permajasan
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, permajasan adalah istilah lain
dari bahasa figuratif. Permajasan merupakan teknik pengungkapan bahasa,
penggayabahasaan, yang maknanya tidak merujuk pada makna harfiah kata-kata
yang mendukungnya, melainkan pada makna yang ditambahkan atau maknanya
tersirat. Makna yang sebenarnya harus dicari di luar makna konvensional, makna
tersurat, makna actual, atau makna denotasi.
Hubungan antara makna tersurat dengan makna tersirat tidak benar-benar
terpisah karena masih ada benang merah yang menghubungkannya. Artinya dalam
mentafsirkan mestilah memperhatikan makna denotasinya sebelum langsung
mengambil makna konotasinya. Misalnya kepala kantor, kepala, negara, kepala
sekolah masih membawa makna denotasinya, yaitu kepala. Maka, untuk
memahami majas-majas tersebut pertama-tama harus mengetahui terlebih dahulu
makna referensial dari kata kepala.
Majas memiliki banyak jenisnnya. Di antara banyaknya jenis permajasan,
tampak bahwa majas-majas itu umumnya berupa perbandingan dan majas
pertautan. Majas perbandingan di antaranya adalah simile, metafora, personifikasi,
dan alegori, sedangkan majas pertautan di antaranya adalah metonimi dan
sinekdoke. Selain itu ada juga yang berkaitan dengan bahasa figuratif yaitu
lambing, idiom, dan peribahasa.

1. Majas Perbandingan
Majas perbandingan adalah majas yang membandingkan sesuatu
dengan sesuatu yang lain melalui ciri-ciri kesamaan melalui keduanya.
Kesamaan yang dimaksud bisa berupa ciri fisik, sifat, sikap, keadaan,
suasana, tingkah laku, dan sebagainya. Bentuk majas perbandingan terbagi
menjadi simile, metafora, personifikasi, dan alegori. Hal penting yang mesti
diketahui, bahwa suatu majas sering bersamaan dengan majas-majas lain,
bentuk penyiasatan struktur, dan bahkan bentuk-bentuk citraan.
a. Simile
Simile adalah sebuah majas yang mempergunakan kata-kata
pembanding langsung atau eksplisit untuk membandingkan sesuatu
yang dibandingkan dengan pembandingnya. Sebenarnya, antara
sesuatu yang dibandingkan dan pembandingnya itu tidak sama baik
secara kualitas, karakter, sifat, atau sesuatu yang lain. Justru karena
sebenarnya tidak sama kemudian dibandingkan agar terlihat sama.
Majas simile lazimnya mempergunakan kata-kata tugas
tertentu yang berfungsi sebagai penanda keeksplisitan
pembandingan, misalnya seperti, bagai, bagaikan, sebagai,
laksana, mirip, bak dan sebagainya. Dalam penuturan bentuk ini,
sesuatu yang disebut pertama (sesuatu yang dibandingkan)
dinyatakan mempunyai persamaan sifat atau karakter dengan
sesuatu yang disebut belakangan (sesuatu sebagain
pembandingnya). Namun, penggunaan kata seperti, secara eksplisit
meunjukkan bahwa sebenarnya kedua hal itu tidak sama.
Pembandingan semacam ini, biasanya untuk lebih mengonkretkan
sesuatu yang dilukiskan untuk memfasilitasi pemahaman pembaca.
Adapun contoh penggunaan majas simile pada sebuah puisi
yang berjudul “Perasaan Seni” oleh J.E. Tatengkeng sebagai
berikut.

PERASAAN SENI
Bagaikan banjir gulung-menggulung
Bagaikan topan seruh-menderuh,
Demikian Rasa
datang semasa,
Mengalir, menimbun, mendesak, mengepung,
Memenuhi sukma, menawan tubuh.

Serasa manis sejuknya embun,


Selagu merdu dersiknya angin,
Demikian Rasa
datang semasa
Membisik mengajak aku berpantun,
Menggayung jiwa ke tempat dingin.

Jika Kau datang sekuat raksasa


Atau Kau menjilma secantik juita
Kusedia hati
Aku berbakti
Dalam tubuh Kau berkuasa
Dalam dada Kau bertahta

Puisi tersebut menceritakan perasaan penyair ketika


dorongan untuk mencipta karya seni itu datang. Pembandingan
perasaan yang dirasakan penyair menggunakan kata bagaikan pada
larik pertama dan kedua. Kata serasa dan selagu pada bait kedua
dan sekuat dan secantik pada bait ketiga.

b. Metafora
Majas metafora adalah bentuk perbandingan antara dua hal
yang dapat berwujud benda, fisik, ide, sifat, atau perbuatan denga
benda, fisik, ide, sifat atau perbuatan lain yang bersifat implisit.
Hubungan antara sesuatu yang dinyatakan pertama dan yang kedua
hanya bersifat sugestif, tidak ada kata-kata petunjuk pembandingan
secara eksplisit. Sesuatu yang dibandingkan itu sendiri dapat berupa
ciri-ciri, fisik, sifat, keadaan, aktifitas, atau sesuatu yang lain yang
harus ditemukan untuk dapat mengetahui makna apa yang ditunjuk.
Adapun perbandingannya mestilah ada kaitannya atau dapat
dikaitkan secara semiotik.
Majas simile dan metafora sama-sama merupakan majas
perbandingan. Bedanya, majas simile merupakan pembandingan
langsung dan eksplisit antara sesuatu yang dibandingkan dan
pembandingnya, sedangkan metafora merupakan bentuk
perbandingan yang bersifat tidak langsung, tidak eksplisit.
Majas metafora ada yang bersifat eksplisit, ada pula yang
bersifat implisit. Metafora eksplisit adalah bentuk yang mana
terdapat sesuatu yang dibandingkan dengan pembandingnya.
Adapun metafora implisit adalah bentuk yang mana sesuatu yang
dibandingkannya tidak disebutkan sama sekali, yakni langsung
menyebutkan pembandingnya. Adapun contohnya sebagai berikut.
ISA
Kepada nasrani sejati
Itu Tubuh
mengucur darah
mengucur darah

rubuh
patah

mendampar tanya: aku salah?


kulihat Tubuh mengucur darah
aku berkaca dalam darah

terbayang terang di mata masa


bertukar rupa ini segera

mengatup luka

aku bersuka

Itu Tubuh
mengucur darah
mengucur darah

Ungkapan // terbayang terang di mata masa/bertukar rupa


ini segera// dapat dimaknai sebagai keadaan dunia yang akan
menjadi cerah, indah, damai; keadaan itu pun akan segera terwujud,
yaitu dari yang kelam menjadi cerah.
Referensi

Burhan Nurgiyantoro, Stilistika

Anda mungkin juga menyukai