Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

“ANEKA RAGAM INOVASI PEMBELAJARAN”

Dosen pengampu:

Kadek Hariana, S.Pd., M.Pd.

Disusun oleh

Kelompok 1

 INTAN NURI YANA A40120352


 KHAIRUN NISA A40120241
 MIKAEL KARLOS MAROSO A40120259
 NURHIDA B. LANGGURU A40120367
 ZAITUN ADELIA A40120232
 ALDIONS A40120264

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS TADULAKO

2020
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kami panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
rahmat dan hidayahnya kami dapat menyusun sebuah makalah yang membahas tentang “Aneka
ragam inovasi pembelajaran” meski sangat jauh dari kesempurnaan. Dalam penulisan makalah,
kami memberikan sejumlah materi yang terkait dengan materi yang disusun secara langkah demi
langkah, agar mudah dan cepat dipahami oleh pembaca.

Dan kami juga ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada dosen yang membimbing
mata kuliah Bimbingan dan Konseling atas bimbingannya pada semester ini meskipun baru
memasuki awal perkuliahan. Kami juga mengharapkan agar makalah ini dapat dijadikan
pedoman apabila, pembaca melakukan hal yang berkaitan dengan makalah ini, karena apalah
gunanya kami membuat makalah ini apabila tidak dimanfaatkan dengan baik.

Sebagai manusia biasa tentu kami tidak dapat langsung menyempurnakan makalah ini
dengan baik, oleh karena itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya
membangun dari dosen pembimbing mau pun pembaca.

Palu, 12 September 2021


Kelompok 1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................................

DAFTAR ISI.................................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang..................................................................................................................
B. Rumusan Masalah.............................................................................................................
C. Tujuan...............................................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Pembelajaran Terbalik ( Flipped Learning )...................................................


B. Pengertian Umpan Balik...................................................................................................
C. Pengertian Evaluasi Kurikulum........................................................................................
D. Pengertian Mengenal Visible Thinking............................................................................
BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan.......................................................................................................................
B. Saran..................................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Pembelajaran merupakan salah satu kunci utama dalam mencapai tujuan
pendidikan. Pembelajaran yang baik adalah pembelajaran yang berlangsung secara efektif
dan efisien sehingga dapat mencapai suatu tujuan. Pembelajaran menurut Gintings (2008:
34) adalah pengalaman terencana yang membawa perubahan tingkah laku, memotivasi
dan menyediakan fasilitas agar terjadi proses belajar pada diri peserta didik. Sedangkan
menurut Syaiful Sagala (2003 : 63) pembelajaran memiliki dua karakteristik yaitu
Pertama, dalam proses pembelajaran melibatkan proses mental siswa secara maksimal
bukan hanya sekedar mendengar, mencatat, akan tetapi menghendaki aktivitas siswa
dalam proses berpikir. Kedua, dalam pembelajaran membangun suasana dialogis dan
proses tanya jawab terus-menerus yang diarahkan untuk memperbaiki dan meningkatkan
kemampuan berpikir siswa. Jalur pendidikan di Indonesia terbagi menjadi tiga arah yaitu
pendidikan informal, pendidikan formal, dan pendidikan nonformal. Pendidikan informal
secara umum bisa digambarkan sebagai pendidikan dari lingkungan keluarga sebelum
seorang anak menginjak masa sekolah. Pendidikan formal adalah pendidikan yang
dilakukan di dalam suatu institusi resmi yang disebut sekolah, sedangkan pendidikan
nonformal adalah pendidikan tambahan di luar sekolah. Pendidikan di sekolah terlaksana
dalam suatu proses pembelajaran yang di dalamnya terdiri dari beberapa komponen
seperti guru, siswa, dan materi pembelajaran. Guru dalam suatu proses pembelajaran
berperan sebagai subjek pembelajar, dan siswa sebagai peserta ajar. Materi pembelajaran
merupakan pengait antara keduanya dalam suatu proses belajar, dalam pelaksanaannya
akan terjadi hubungan timbal balik antara komponenkomponen pembentuk pembelajaran.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah melalui strategi pembelajaran Flipped Classroom dapat meningkatkan motivasi dan
hasil belajar Integral ?
2.
C. TUJUAN
Adapun tujuan pembuatan makalah ini untuk mengetahui bagaimana kondisi kurikulum dalam
rancangan, pelaksanaan serta hasilnya dalam ruang lingkup evaluasi kurikulum.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian pembelajaran Terbalik ( Flipped Learning )


Pembelajaran virtual didefinisikan sebagai pembelajaran di mana siswa dan guru
dipisahkan oleh waktu atau ruang, atau keduanya, dan guru menggunakan Learning
Management System (LMS) seperti Moodle/Blackboard untuk memberikan instruksi.
Melalui salah satu sistem ini, guru dapat menawarkan instruksi terpadu (instruksi tatap
muka yang mencakup akses ke materi pada LMS). Guru juga dapat menggunakan alat
lain (Wikis, Blog) dan Video Conferencing untuk berkomunikasi dengan siswa. Inilah
yang disebut dengan blended learning atau pembelajaran campuran atau kombinasi. Pada
moda kombinasi ini, peserta melakukan interaksi belajar secara daring dan tatap muka.
Interaksi belajar daring dilakukan secara mandiri dengan memanfaatkan teknologi
informasi dan pembelajaran yang telah disiapkan secara elektronik, dan dapat dilakukan
kapan saja dan dimana saja. Thorne (2003), mengartikan blended learning adalah
perpaduan dari teknologi multimedia, CD ROM, video streaming, kelas virtual,
voicemail, email dan telpon conference, animasi teks online dan video-streaming. Semua
ini dikombinasi dengan bentuk tradisional pelatihan di kelas. Blended learning menjadi
solusi yang paling tepat untuk proses pembelajaran yang sesuai tidak hanya dengan
kebutuhan pembelajaran akan tetapi juga gaya si pembelajar. Salah satu model blended
learning adalah flipped classroom (pembelajaran terbalik). Ruang kelas terbalik adalah
pengaturan di mana siswa diperkenalkan dengan konsep yang sudah direkam sebelumnya
(melalui internet, video, atau penulis rekaman audio-visual) di luar ruang instruksional
tradisional (di rumah, di perpustakaan, atau di mana pun bahan ajar dapat diakses)
(Bergmann & Sams, 2012). Setelah siswa menyaksikan materi, mereka diharapkan untuk
datang ke kelas, biasanya pertemuan kelas berikutnya dan berkolaborasi dengan teman-
teman mereka dan guru tentang materi pembelajaran yang telah ditentukan (Saunders,
2014). Siswa pada kelas terbalik juga diharapkan untuk menyelesaikan pekerjaan rumah
di kelas dan mendiskusikan, menjelaskan, serta memperluas konsep yang mereka pelajari
dari materi online selama pembelajaran. Jadi, apa yang secara tradisional dilakukan siswa
di rumah menjadi apa yang siswa lakukan di kelas, dan sebaliknya. Pembelajaran online,
menjadikan informasi dapat dilakukan dengan berbagai multimedia yaitu dengan
menggabungkan teks, diagram, dan gambar dengan video dan suara sangat menunjang
kemampuan mentransmisikan informasi yang bermakna dan bersifat maya (virtual).
Keunggulan virtual class adalah untuk: 1) memberikan kesempatan belajar yang bisa
dilakukan kapan saja dan dimana saja dengan menghemat waktu dan biaya, 2)
meningkatkan keterampilan penggunaan teknologi informasi siswa sehingga siswa lebih
kreatif dan menambah minat siswa untuk belajar, 3) memaksimalkan kemampuan
masing-masing siswa dengan belajar diluar kelas tatap muka/kelas langsung. 2 Peran
guru sebagai seorang pendidik harus dipikirkan kembali, dan berbagai hasil penelitian
menunjukkan bahwa apabila pembelajaran lebih banyak didominasi guru akan
memberikan hasil belajar yang kurang menggembirakan dibandingkan melibatkan siswa
aktif. Pembelajaran yang memposisikan guru sebagai fasilitator adalah pilihan terbaik di
ruang kelas bagi keberhasilan pembelajaran. Pembelajaran terbalik merupakan
perwujudan dari active learning dan dapat dikatakan sebagai pembelajaran yang
konstruktivis, dimana guru mengharuskan siswa untuk terlibat aktif dalam pembelajaran
mereka daripada menerima informasi secara pasif. Menentukan pembelajaran dengan
model flipped classroom, harus didasarkan pada kebutuhan untuk: a) membantu siswa
menguasai konsep atau pengetahuan tertentu yang rumit dan tidak dikuasai secara
memadai melalui metode pembelajaran saat ini; b) melibatkan siswa dengan materi yang
mungkin telah dianggap 'membosankan' atau 'tidak menarik' oleh kelompok masa lalu;
dan/atau, c) memfasilitasi pengembangan keterampilan yang menggunakan pengetahuan
atau konsep baru. Belajar mandiri merupakan salah satu komponen dalam model
pembelajaran flipped classroom, karena dalam online learning didalamnya terjadi proses
belajar mandiri. Menurut Wedemeyer (1973) dalam Chaeruman (2007) belajar mandiri
sebagai pembelajaran yang merubah perilaku, dihasilkan dari kegiatan-kegiatan yang
dilakukan oleh pebelajar dalam tempat dan waktu berbeda serta lingkungan belajar yang
berbeda dengan sekolah. Peserta didik yang belajar secara mandiri mempunyai kebebasan
untuk belajar tanpa harus menghadiri pelajaran yang diberikan pengajarnya di kelas.
Peserta didik mempunyai otonomi yang luas dalam belajar. Menurut Bergman & Sams
( 2012), menyatakan flipped classroom memiliki konsep dasar bahwa semua yang
dilakukan di kelas pada pembelajaran konvensional menjadi dilakukan di rumah dan
semua yang dilakukan sebagai pekerjaan rumah pada pembelajaran konvensional menjadi
dilakukan di kelas. Definisi model pembelajaran flipped classroom (Knewton, 2011)
dapat diilustrasikan dalam gambar 1 berikut.

Berdasarkan definisinya, flipped classroom adalah konstruktivis yang mengharuskan


siswa untuk terlibat aktif dalam pembelajaran mereka daripada menerima informasi secara pasif.
Fokusnya adalah beralih dari guru ke pelajar, dan tantangan yang melekat dalam pembelajaran
ini perlu menjadi perhatian, karena pembelajaran berbeda dengan selama ini yang dilakukan.
Desain flipped classroom beserta elemennya digambarkan dalam bagan berikut ini (Reidsema,
et.all., 2017).

Desain flipped classroom, terdapat interkoneksi antar elemen seperti yang ditunjukkan
pada Gambar 2. Penomoran setiap elemen pada gambar terutama untuk identifikasi dan tidak
ditafsirkan sebagai urutan wajib atau linear. Pengurutan elemen desain, bagaimanapun,
menekankan pentingnya fokus pada kedua hal, yaitu context (internal) dan drivers (eksternal)
sebagai dasar untuk memutuskan kelayakan flipping atau tidak. Analisis situasi dari context dan
drivers terjadi bersamaan dengan serangkaian hasil yang ingin dicapai. Seperti halnya diagram
proses desain, interkoneksi adalah karakteristik mendasar, terlebih lagi setelah keputusan untuk
membalik atau flip (Elemen 3) telah dibuat. Juga perlu diperhatikan bahwa melihat context
(Elemen 1) kemungkinan besar akan terjadi bersamaan dengan pengetahuan dasar tentang hasil
studi atau outcomes (Elemen 4). Juga harus ada analisis komparatif berkelanjutan yang terjadi
sehubungan dengan perbedaan antara praktik saat ini dan yang terbaik. 4 Langkah-Langkah
Pembelajaran Flipped Classroom Model flipped classroom terbagi dalam beberapa tipe, beberapa
di antaranya adalah traditional flipped classroom dan peer instruction flipped (Steele, 2013).
Model pembelajaran traditional flipped sering digunakan oleh guru yang belum pernah
menggunakan model flipped classroom sebelumnya. Pada model pembelajaran traditional
flipped siswa diminta untuk menonton video pembelajaran atau media lainnya di rumah pada
pembelajaran sebelumnya. Siswa mempersiapkan diri untuk mengikuti pembelajaran di kelas
dengan belajar terlebih dahulu di rumah. Langkah selanjutnya adalah siswa datang ke kelas
untuk melakukan kegiatan dan mengerjakan tugas yang berkaitan dengan materi pembelajaran.
Di kelas siswa menerapkan kemampuan dalam proyek ataupun simulasi lainnya. Kegiatan yang
berlangsung di kelas dapat dipandu menggunakan lembar kegiatan siswa (LKS). Tugas yang
berkaitan juga diberikan dalam LKS. Kegiatan selanjutnya adalah mengukur pemahaman siswa
dengan mengadakan kuis di akhir pembelajaran. Langkah-langkah pembelajaran traditional
flipped menurut Steele (2013) sebagaimana digambarkan dalam gambar 3 berikut.

Model pembelajaran peer instruction flipped dilakukan dengan menggunakan siswa yang
lebih pandai membantu siswa yang masih kurang dalam belajarnya, jadi seperti pembelajaran
tutor sebaya. Sedangkan pada model pembelajaran peer instruction flipped siswa diminta untuk
menonton video pembelajaran di rumah. Pada saat di kelas, guru memberikan tes soal pertama
secara individu. Siswa saling beradu pendapat terkait jawaban mereka dan menerapkan
pembelajaran untuk menguatkan konsep. Apabila siswa telah selesai dengan tes soal pertama
maka dilanjutkan dengan tes soal kedua dan seterusnya sampai waktu pembelajaran selesai. Di
akhir pembelajaran guru melakukan pengukuran pemahaman siswa melalui kuis. Langkah-
langkah pembelajaran peer instruction flipped menurut Steele (2013) digambarkan dalam gambar
4 berikut.
Dalam pembelajaran baik traditional flipped classroom dan peer instruction flipped siswa
menggunakan media internet dalam mengerjakan tugas-tugas yang diberikan oleh guru dengan
mengunggahnya sesuai jadwal waktu yang ditentukan. Tugas yang diberikan adalah tugas
kelompok untuk ketercapaian tujuan pembelajaran sesuai materi yang sedang dibahas.
Keunggulan pembelajaran flipped classroom Avgerinou (2008) menjelaskan tiga alasan penting
kenapa seorang pengajar lebih memilih mengimplementasikan flipped classroom dibandingkan
pembelajaran online maupun klasikal, yaitu: pembelajaran yang lebih baik, meningkatnya akses
dan fleksibilitas, serta meningkatnya biayamanfaat. Pendekatan yang berpusat pada siswa untuk
mengajar mengalihkan fokus dari kebutuhan guru kepada siswa. Dan inilah yang didukung oleh
model flipped classroom. Berbagai penelitian membuktikan bahwa model pembelajaran flipped
classroom terbukti lebih efektif dalam meningkatkan kualitas pembelajaran dan keaktifan siswa
pada sebuah proses pembelajaran dan memberikan hasil belajar yang lebih baik pula. Model
pembelajaran ini juga sangat bermanfaat untuk guru dan siswa, karena : a. Siswa dapat
mengerjakan tugas mereka dengan didampingi oleh gurunya. b. Sebelum lanjut ke materi
berikutnya, guru dapat memastikan bahwa setiap siswa telah memahami konsep-konsep/materi
yang harus dikuasai. 6 c. Motivasi belajar siswa meningkat dalam berkolaborasi, mengemukakan
pendapat dan mengerjakan tugas bersama temannya. d. Siswa dapat mempelajari kembali atau
belajar secara mandiri apabila tidak dapat hadir di kelas, sedangkan guru dapat lebih leluasa
meninjau dan meng-update rencana pembelajaran yang telah dilakukan. e. Komunikasi antara
guru dan siswa dapat terjalin dengan baik. Enfield (2013) menyatakan bahwa model
pembelajaran kelas terbalik dapat meningkatkan motivasi siswa untuk mengikuti pembelajaran di
kelas, berinteraksi secara intensif sehingga terbentuk kemandirian belajar. Model ini efektif
membantu siswa mempelajari materi dan meningkatkan kemampuan memecahkan masalah
secara mandiri. Interaksi di kelas dapat terjadi secara intensif, setiap kesulitan belajar dapat
segera teratasi, sehingga terbentuk kemandirian dan motivasi belajar yang pada akhirnya akan
meningkatkan prestasi belajar siswa.
B. Pengertian Umpan Balik
Yang dimaksud umpan balik adalah pemberian informasi yang diperoleh dari tes
ataualat ukur lainya kepada peserta didik untuk memperbaiki atau pencapaian hasil
belajarnya. Termasuk dalam “alat ukur lainnya” itu adalah pekerjaan rumah (PR) dan
pertanyaan yangdiajukan guru dalam kelas. Dari batasan ini dapat disimpulkan bahwa
umpan balik berkaitanerat dengan kegiatan belajar mengajar terdahulu yang dievaluasi
dengan suatu alat evaluasi. Hasil evaluasi ini memberikan informasi mengenai sejauh
mana penguasaan peserta didikterhadap materi yang disajikan dalam proses atau kegiatan
belajar mengajar. Kondisi atau keadaan peserta didik maupun situasi pengajaran
menentukankeberhasilan usaha pemberian umpan balik terhadap belajar peserta
didik. Berikut inibeberapa ketentuan mengenai umpan balik.
Umpan balik tidak mempermudah belajar jika:
a. Peserta didik sudah mengetahui jawaban yang benar sebelum memberikan jawaban
atassoal itu (misalnya “nyontek” jawaban yang benar dari temannya tanpa mengolah
soal itudengan pemikirannya sendiri).
b. Bahan yang hendak dipelajari terlalu sukar dimengerti, sehingga peserta didik
umumnyahanya menebak jawaban soal-soal yang diberikan.
Umpan balik membantu dan mempermudah belajar, apabila dipenuhi syarat-
syarat berikutini:
a. Mengkonfirmasikan jawaban-jawaban benar yang diberikan peserta didik
danmenyampaikan kepadanya seberapa jauh dia mengerti materi belajar yang disajikan.
b. Mengidentifikasikan kesalahan dan memperbaikinya atau menyuruh peserta
didikmemperbaiki sendiri.
Manfaat umpan balik menurut Daniel Muijs & David Reinold di dalam buku
Strategi &Metode Pembelajaran Zaenal Mustakim adalah sebagai berikut:
1. Tanya jawab memungkinkan guru untuk memeriksa pemahaman peserta didik
tentangpelajaranya.
2. Tanya jawab memungkinkan peserta didik untuk mempraktikan dan menguasai topik
yangdiajarkan sebelum mereka pindah ke topik berikutnya.
3. 3.Menjawab pertanyaan memungkinkan peserta didik mengklarifikasi
pemikiran danpemahaman mereka tentang konsep yang diajarkan.
Tujuan Umpan BalikPengajar perlu mengetahui sejauh mana bahan yang telah
dijelaskan dapat dimengertioleh peserta didik, karena dari sinilah tergantung
apakah ia dapat melanjutkan bahanpembelajaran bearikutnya. Umpan balik tidak
sama dengan penilaian. Umpan balik bertujuan mencari informasi sampai dimana peserta
didik mengerti dan faham tentang bahan yangtalahdibahas. Selain itu peserta didik juga
diberi kesempatan untuk memeriksa sampaidimana mereka mengerti bahan tersebut,
sehingga mereka dapat melengkapi pengertian-pengertian yang belum lengkap. Pelajaran
selanjutnya tidak mungkin diberikan jika guru tidak tahu secara pasti hasil pelajaran
sebelumnya. Gurudapat mengetahui hasil pelajaran sebelumnya dengan cara:
1. Lewat kesan yang diperoleh selama jam pelajaran itu sendiri
2. Lewat informasi sederhana dari pihak murid melalui pertanyaan-pertanyaan lisan
yangdiajukan oleh pengajar selama atau setelah jam pelajaran
3. Lewat informasi tertulis dari pihak murid yang diperoleh melalui ujian singkat
4. Mempelajari hasil tentamen atau ujian yang diadakan pada akhir kursus (di sini
muriddinilai).Setiap umpan balik pengajaran menentukan isi pelajaran berikutnya,
oleh karena itujelas, bahwa umpan balik tidak hanya perlu bagi guru, tetapi juga
bagi peserta didik.
Fungsi Umpan BalikUmpan balik mempunyai tiga fungsi utama, yaitu
fungsi informasional, fungsimotivasional, dan fungsi komunikasional.
1. Fungsi InformasionalTes sebagai alat penilaian pencapaian atau hasil belajar
siswa dikoreksi menurut kriteriatertentu yang telah ditetapkan terlebih dahulu.
Dengan hasil tes tersebut, maka didapatkantentang sejauh mana siswa telah
menguasai materi yang telah diterima dalam kegiatan belajarmengajar.
Berdasarkan informasi ini dapat diupayakan umpan balik berupa pengayaan
atauperbaikan.
2. Fungsi MotivasionalMotivasi merupakan faktor yang mempunyai arti penting
bagi seorang siswa, terutama agarsiswa senang dan bergairah dalam
belajar.
Dengan motivasi, diharapkan siswa tergerakhatinya untuk belajar
bersama-sama. Dalam kaitan dengan fungsi motivasional, umpan balikdapat
berpengaruh secara negatif kepada siswa disamping pengaruh positif. Dampak
positifnegatif ini dapat dicontohkan pada pengumuman hasil evaluasi melalui
papan pengumuman.Dampak mana yang dialami seorang siswa tergantung pada
keterbukaan siswa terhadap caraumpan balik seperti itu. Agar dapat diperoleh
dampak positif, situasi yang memungkinkanketerbukaan siswa menerima cara
umpan balik melalui papan pengumuman itu perludipersiapkan.3.Fungsi
KomunikasionalPemberian umpan balik merupakan komunikasi antara siswa dan
guru. Guru menyampaikanhasil evaluasi kepada siswa dan bersama siswa
membicarakan upaya peningkatan atauperbaikannya. Dengan demikian
melalui umpan balik siswa mengetahui letak kelemahannya,dan dapat bereaksi
terhadap hasil umpan balik tersebut baik sendiri maupun bersama guru.
TeknikMendapatkanUmpan BalikDalam kegiatan belajar mengajar, tujuan
akhir yang harus dicapai guru yaitu bagaimanaagar anak didik dapat menguasai
bahan pelajaran secara tuntas (mastery). Untuk sampaikesana bukan merupakan
hal gampang, karena hal ini akan berbalik lagi pada masalahbagaimana umpan
balik yang diberikan oleh anak didik selama pengajaran berlangsung.Umpan balik
yang diberikan oleh anak didik selama pelajaran berlangsung ternyatabermacam-
macam, tergantung dari rangsangan yang diberikan oleh guru. Rangsangan
yangdiberikan guru bermacam-macam dengan tanggapan yang bermacam-macam
pula dari anakdidik. Rangsangan guru dalam bentuk Tanya, maka tanggapan anak
didik dalam bentukjawab. Lahirlah interaksi melalui tanya jawab antara
guru dengan murid. Sebaliknya,rangsangan anak didik dalam bentuk Tanya,
maka tanggapan guru dalm bentuk jawab. Makajadilah interaksi dalam bentuk
Tanya jawab pula.Untuk mendapatkan umpan balik dari anak didik, diperlukan
beberapa teknik yangsesuai dan tepat dengan diri setiap anak didik sebagai
makhluk individual.
C. Pengertian Evaluasi Kurikulum
Pemahaman mengenai pengertian evaluasi kurikulum dapat berbeda-beda sesuai
dengan pengertian kurikulum yang bervariasi menurut para pakar kurikulum. Oleh karena
itu penulis mencoba menjabarkan definisi dari evaluasi dan definisi dari kurikulum secara
per kata sehingga lebih mudah untuk memahami evaluasi kurikulum. Pengertian evaluasi
menurut joint committee, 1981 ialah penelitian yang sistematik atau yang teratur tentang
manfaat atau guna beberapa obyek. Purwanto dan Atwi Suparman, 1999 mendefinisikan
evaluasi adalah proses penerapan prosedur ilmiah untuk mengumpulkan data yang valid
dan reliabel untuk membuat keputusan tentang suatu program. Rutman and Mowbray
1983 mendefinisikan evaluasi adalah penggunaan metode ilmiah untuk menilai
implementasi dan outcomes suatu program yang berguna untuk proses membuat
keputusan. Chelimsky 1989 mendefinisikan evaluasi adalah suatu metode penelitian yang
sistematis untuk menilai rancangan, implementasi dan efektifitas suatu program. Dari
definisi evaluasi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa evaluasi adalah penerapan
prosedur ilmiah yang sistematis untuk menilai rancangan, implementasi dan efektifitas
suatu program. Sedangkan pengertian kurikulum adalah sebagai berikut: a) Kurikulum
adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran
serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran
untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu (Pasal 1 Butir 19 UU No. 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional); b) Seperangkat rencana dan pengaturan mengenai
isi dan bahan pembelajaran serta metode yang digunakan sebagai pedoman
menyelenggarakan kegiatan pembelajaran (Keputusan Menteri Kesehatan Nomor:
725/Menkes/SK/V/2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelatihan di bidang
Kesehatan.) [4] c) Kurikulum pendidikan tinggi adalah seperangkat rencana dan
pengaturan mengenai isi maupun bahan kajian dan pelajaran serta cara penyampaian dan
penilaiannya yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar-
mengajar di perguruan tinggi (Pasal 1 Butir 6 Kepmendiknas No. 232/U/2000 tentang
Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar
Mahasiswa); d) Menurut Grayson (1978), kurikulum adalah suatu perencanaan untuk
mendapatkan keluaran (out- comes) yang diharapkan dari suatu pembelajaran.
Perencanaan tersebut disusun secara terstruktur untuk suatu bidang studi, sehingga
memberikan pedoman dan instruksi untuk mengembangkan strategi pembelajaran (Materi
di dalam kurikulum harus diorganisasikan dengan baik agar sasaran (goals) dan tujuan
(objectives) pendidikan yang telah ditetapkan dapat tercapai; e) Sedangkan menurut
Harsono (2005), kurikulum merupakan gagasan pendidikan yang diekpresikan dalam
praktik. Dalam bahasa latin, kurikulum berarti track atau jalur pacu. Saat ini definisi
kurikulum semakin berkembang, sehingga yang dimaksud kurikulum tidak hanya
gagasan pendidikan tetapi juga termasuk seluruh program pembelajaran yang terencana
dari suatu institusi pendidikan. Dari pengertian evaluasi dan kurikulum di atas maka
penulis menyimpulkan bahwa pengertian evaluasi kurikulum adalah penelitian yang
sistematik tentang manfaat, kesesuaian efektifitas dan efisiensi dari kurikulum yang
diterapkan. Atau evaluasi kurikulum adalah proses penerapan prosedur ilmiah untuk
mengumpulkan data yang valid dan reliable untuk membuat keputusan tentang kurikulum
yang sedang berjalan atau telah dijalankan. Evaluasi kurikulum ini dapat mencakup
keseluruhan kurikulum atau masingmasing komponen kurikulum seperti tujuan, isi, atau
metode pembelajaran yang ada dalam kurikulum tersebut. Secara sederhana evaluasi
kurikulum dapat disamakan dengan penelitian karena evaluasi kurikulum menggunakan
penelitian yang sistematik, menerapkan prosedur ilmiah dan metode penelitian.
Perbedaan antara evaluasi dan penelitian terletak pada tujuannya. Evaluasi bertujuan
untuk menggumpulkan, menganalisis dan menyajikan data untuk bahan evaluasi
kurikulum [5] penentuan keputusan mengenai kurikulum apakah akan direvisi atau
diganti. Sedangkan penelitian memiliki tujuan yang lebih luas dari evaluasi yaitu
menggumpulkan, menganalisis dan menyajikan data untuk menguji teori atau membuat
teori baru. Fokus evaluasi kurikulum dapat dilakukan pada outcome dari kurikulum
tersebut (outcomes based evaluation) dan juga dapat pada komponen kurikulum tersebut
(intrinsic evaluation). Outcomes based evaluation merupakan fokus evaluasi kurikulum
yang paling sering dilakukan. Pertanyaan yang muncul pada jenis evaluasi ini adalah
“apakah kurikulum telah mencapai tujuan yang harus dicapainya?” dan “bagaimanakah
pengaruh kurikulum terhadap suatu pencapaian yang diinginkan?”. Sedangkan fokus
evaluasi intrinsic evaluation seperti evaluasi sarana prasarana penunjang kurikulum,
evaluasi sumber daya manusia untuk menunjang kurikulum dan karakteristik mahasiswa
yang menjalankan kurikulum tersebut.
Tujuan evaluasi kurikulum mecakup dua hal yaitu : pertama, evaluasi digunakan
untuk menilai efektifitas program. Kedua, evaluasi dapat digunakan sebagai alat bantu
dalam pelaksanaan kurikulum (pembelajaran). Tujuan dari evaluasi kurikulum adalah
penyempurnaan kurikulum dengan jalan mengungkapkan proses plaksanaan kurikulum
yang telah berhasil mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Evaluasi kurikulum
dimaksudkan untuk memeriksa kinerja kurikulum secara keseluruhan ditinjau dari
berbagai kriteria. Indikator kinerja yang dievaluasi adalah efektivitas, efesinsi, relavansi,
dan kelayakan (feasibility) program. Diadakanya evaluasi kurikulum , menurut Ibrahim
(2006) dimaksudkan untuk keperluan. a. Perbaikan Program Yaitu peranan evaluasilebih
bersifat konstruktif, karena informasi hasil evaluasi dijadikan masukan bagi perbaikan
yang diperlukan didalam program kurikulum yang sedang dikembangkan. Disini evaluasi
kurikulum lebih merupakan kebutuhan yang datang dari dalma sistem itu sendiri karena
evaluasi kurikulum [6] evaluasi itu dipandang sebagai faktor yang memungkinkan
dicapainya hasil pengembangan yang optimal dari sistem yang bersangkutan. b.
Pertanggungjawaban Kepada Berbagai Pihak Setelah pengembangan kurikulum
dilakukan, perlu adanya semacam pertanggungjawaban dari pihak pengembang
kurikulum kepada pihak yang berkepentingan. Pihak-pihak yang dimaksud mencakup
pihak yang mensenposori kegiatan pengembangan kurikulum tersebut maupun pihak
yang akan menjadi konsumen dari kurikulum yang telah dikembangkan. Dengan kata
lain, pihak-pihak tersebut mencakup pemerintah, masyarakat, orang tua, pelaksana
pendidikan, dan pihak-pihak lainnya yang ikut mensponsori kegiatan pengembangan
kurikulum yang bersangkutan. Bagi pihak pengembang kurikulum, tujuan yang kedua ini
tidak dipandang sebagai suatu kebutuhan dari dalam melainkan lebih merupakan suatu
keharuasan dari luar. Sekalipun demikian hal ini tidak biasa kita hindari karena persoaln
ini mencakup pertanggungjawaban sosial, ekonomi dan moral, yang sudah merupakan
suatu konsekuensi logis dalam kegiatan pembharuan pendidikan. Dalam
mempertanggungjawabkan hasil yang telah dicapainya, pihak pengembang kurikulum
perlu mengemukakan kekuatan dan kelemahan dari kurikulum yang sedang
dikembangkan serta usaha lanjt yang diperlukan untuk mengatasi kelemahan-kelemahan
jik ada, yang masih terdapat. Untuk menghasilkan informasi mengenai kekuatan dan
kelemahan tersebut di atas itulah diperlukan kegiatan evaluasi. c. Penentuan Tindak
Lanjut Hasil Pengembangan Tindak lanjut hasil pengembangan kurikulum dapat
berbentuk jawaban atas dua kemungkinan pertanyaan : pertama, apakah kurikulum baru
tersebut akan atau tidak akan disebar luaskan kedalam sistem yang ada? Kedua, dalam
kondisi yang bagaimana dan denga cara yang bagaimana pula kurikulum baru tersebut
akan disebarluasakan kedalam sistem yang ada? Ditinjau dari proses pengembangan
kurikulum yang sudah berjalan, pertanyaan pertama,dipandang tidak tepat untuk diajukan
apada akhir fase evaluasi kurikulum [7] perkembanagn. Pertanyaan tersebut hanya
memungkinkan memiliki dua jawaban yang diberikan itu adalah tidak. Jika hal ini terjadi,
kita akan dihadapkan pada situasi yang tidak menguntungkan : biaya, tenaga, dan waktu
yang telah dikerahkan selama ini ternyata terbuang dengan percuma, peserta didik telah
menggunakan kurikulum baru tersebut selama fase pengembanagan telah terlanjur
dirugikan ; sekolah-sekolah dimana proses pengembangan itu berlangsug harus kembali
menyesuaikan diri lagi kepda cara lama, dana kan timbul sikap skeptis dikalangan orang
tua dan masyarakat terhadap perubahan pendidikan dalam bentuk apapun. Pertanyaan
kedua, dipandang lebih tepat untuk diajukan pada akhir fase penegmbangan kurikulum.
Pertanyaan tersebut mengimplikasikan sekurang-kurangnya tiga anak pertanyaan, aspek-
aspek mana dari kurikulum tersebut yang masih perlu diperbaiki ataupun disesuaikan,
strategi penyebaran yang bagaimana sebaiknya ditempuh, dan persyaratapersyaratan apa
yang perlu dipersiapkan terlebbih dahulu didalam sistem yang ada. Pertanyaan –
pertanyaan ini lebih bersifat konstruktif dan lebih dapat diterima ditinjau dari segi sosial,
ekonomi, moral maupun tekhnis. Untuk menghasilkan informasi yang diperlukan dalam
menjawab pertanyaan yang kedua itulah diperlukan adanya kegiatan evaluasi. a. Kriteria
Evaluasi Kurikulum Kriteria yang dapat dipertanggungjawabkan adalah ukuran yang
akan digunakan dalam menilai suatu kurikulum. Kriteria penilaina harus relevan dengan
kriteria keberhasilannya, sedangkan kriteria harus dilihat dalam hubungannya dengan
sasaran program. Kriteria evalusi menurut Morrison harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut : 1. Relevan dengankerangka rujukan dan tujuan evaluasi program kurikulum 2.
Ditetapkan pada data deskrivtif yang relevan dan menyangkut program/kurikulum E V A
L U A S I K U R I K U L U M [8] Beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa
evaluasi lebih bersifat komfrehensif yang didalamnya meliputi pengukuran. Disamping
itu, evaluasi pada hakekatnya merupakan suatu proses membuat keputusan tentang nilai
suatu objek. Keputusan evaluasi ( value judgment ) tidak hanya didasarkan kepada hasil
pengukuran ( quantitatif description ), dapat pula didasarkan kepada hasil pengukuran
( measurement ) maupun bukan pengukuran ( non-measurement ) pada akhirnya
menghasilkan keputusan nilai tentang suatu program / kurikulum yang dievaluasi. b.
Konsep Penting dalam Evaluasi Kurikulum Konsep-konsep penting dalam evaluasi: •
Proses Evaluasi adalah suatu proses bukan suatu hasil / produk. Hasil yang diperoleh dari
kegiatan evaluasi adalah nilai dan arti evaluan; sedangkan kegiatan untuk sampai kepada
pemberian nilai dan arti itu yang dinamakan evaluasi • Pemberian nilai Dilakukan apabila
seorang evaluator memberikan pertimbangannya mengenai evaluan tanpa
menghubungkannya dengan sesuatu yang bersifat dari luar (internal pada diri evaluan) •
Pemberian arti Berhubungan dengan posisi & peranan evaluan tersebut dalam suatu
konteks tertentu. Dapat saja terjadi kurikulum yang memiliki nilai yang indah dan baik
tetapi tidak memiliki arti yang penting setelah dilaksanakan di sekolah evaluasi
kurikulum [9] c. Pentingnya Evaluasi Kurikulum Penulis setuju dengan pentingnya
dilakukan evaluasi kurikulum. Evaluasi kurikulum dapat menyajikan informasi mengenai
kesesuaian, efektifitas dan efisiensi kurikulum tersebut terhadap tujuan yang ingin
dicapai dan penggunaan sumber daya, yang mana informasi ini sangat berguna sebagai
bahan pembuat keputusan apakah kurikulum tersebut masih dijalankan tetapi perlu revisi
atau kurikulum tersebut harus diganti dengan kurikulum yang baru. Evaluasi kurikulum
juga penting dilakukan dalam rangka penyesuaian dengan perkembangan ilmu
pengetahuan, kemajuan teknologi dan kebutuhan pasar yang berubah. Evaluasi kurikulum
dapat menyajikan bahan informasi mengenai area – area kelemahan kurikulum sehingga
dari hasil evaluasi dapat dilakukan proses perbaikan menuju yang lebih baik. Evaluasi ini
dikenal dengan evaluasi formatif. Evaluasi ini biasanya dilakukan waktu proses berjalan.
Evaluasi kurikulum juga dapat menilai kebaikan kurikulum apakah kurikulum tersebut
masih tetap dilaksanakan atau tidak, yang dikenal evaluasi sumatif. d. Masalah dalam
Evaluasi Kurikulum Norman dan Schmidt 2002 mengemukakan ada beberapa kesulitan
dalam penerapan evaluasi kurikulum , yaitu : 1. Kesulitan dalam pengukuran 2. Kesulitan
dalan penerapan randomisasi dan double blind 3. Kesulitan dalam menstandarkan
intervensi dalam pendidikan. 4. Pengaruh intervensi dalam pendidikan mudah
dipengaruhi oleh faktorfaktor lain sehingga pengaruh intervensi tersebut seakan-akan
lemah. Masalah yang dihadapi dalam melakukan evaluasi kurikulum, yaitu : 1. Dasar
teori yang digunakan dalam evaluasi kurikulum lemah. Dasar teori yang
melatarbelakangi kurikulum lemah akan mempengaruhi evaluasi kurikulum tersebut.
Ketidakcukupan teori dalam mendukung penjelasan terhadap hasil intervensi suatu
kurikulum yang dievaluasi akan membuat penelitian (evaluasi kurikulum) tidak baik.
Teori akan evaluasi kurikulum [10] membantu memahami kompleksitas lingkungan
pendidikan yang akan dievaluasi. Contohnya Colliver mengkritisi bahwa Problem Based
Learning (PBL) tidak cukup hanya menggunakan teori kontekstual learning untuk
menjelaskan efektivitas PBL. Kritisi ini ditanggapi oleh Albanese dengan mengemukakan
teori lain yang mendukung PBL yaitu, information-processing theory, complex learning,
self determination theory. Schdmit membantah bahwa sebenarnya bukan teorinya yang
lemah akan tetapi kesalahan terletak kepada peneliti tersebut dalam memahami dan
menerapkan teori tersebut dalam penelitian. 2. Intervensi pendidikan yang dilakukan
tidak memungkinkan dilakukan Blinded. Dalam penelitian pendidikan khususnya
penelitian evaluasi kurikulum, ditemukan kesulitan dalam menerapkan metode blinded
dalam melakukan intervensi pendidikan. Dengan tidak adanya blinded maka subjek
penelitian mengetahui bahwa mereka mendapat intervensi atau perlakuan sehingga
mereka akan melakukan dengan serius atau sungguhsungguh. Hal ini tentu saja dapat
mengakibatkan bias dalam penelitian evaluasi kurikulum. 3. Kesulitan dalam melakukan
randomisasi. Kesulitan melakukan penelitian evaluasi kurikulum dengan metode
randomisasi dapat disebabkan karena subjek penelitian yang akan diteliti sedikit atau
kemungkinan hanya institusi itu sendiri yang melakukannya. Apabila intervensi yang
digunakan hanya pada institusi tersebut maka timbul pertanyaan, “apakah mungkin
mencari kelompok kontrol dan randomisasi?”. 4. Kesulitan dalam menstandarkan
intervensi yang dilakukan/kesulitan dalam menseragamkan intervensi. Dalam dunia
pendidikan sulit sekali untuk menseragamkan sebuah perlakuan cotohnya penerapan PBL
yang mana memiliki berbagai macam pola penerapan. Norman (2002) mengemukakan
tidak ada dosis yang standar atau fixed dalam intervensi pedidikan. Hal ini berbeda untuk
evaluasi kurikulum [11] penelitian di biomed seperti pengaruh obat terhadap suatu
penyakit, yang mana dapat ditentukan dosis yang fixed. Berbeda dengan penelitian
evaluasi kurikulum misalnya pengaruh PBL terhadap kemamuan Self Directed Learning
(SDL). Penerapan PBL di berbagai FK dapat bermacam-macam. Kemungkinan
penerapan SDL dalam PBL di FK A 50 % , sedangkan di FK B adalah 70 % , maka
apabila mereka dijadikan subjek penelitian maka tentu saja pengaruh PBL terhadap SDL
akan berbeda. 5. Masalah Etika penelitian. Masalah etika penelitian merupakan hal yang
perlu dipertimbangkan. Penerapan intervensi dengan metode blinded dalam penelitian
pendidikan sering terhalang dengan isu etika. Secara etika intervensi tersebut harus
dijelaskan kepada subjek penelitian sehingga dapat dipertanggungjawabkan. Padahal
apabila suatu intervensi diketahui oleh subjek penelitian maka ada kecendrungan subjek
penelitian melakukan dengan sungguh-sungguh sehingga penelitian tidak berjalan secara
alamiah.Pengaruh hasil penelitian terhadap institusi juga perlu dipertimbangkan. Adanya
prediksi nantinya pengaruh hasil penelitian yang akan menentang kebijaksanaan institusi
dapat mengkibatkan kadangkala peneliti menghindari resiko ini dengan cara
menghilangkan salah satu variable dengan harapan hasil penelitian tidak akan menentang
kebijaksanaan. 6. Tidak adanya pure outcome. Outcome yang dihasilkan dari sebuah
intervensi pendidikan seringkali tidak merupakan outcome murni dari intervensi tersebut.
Hal ini disebabkan karena banyaknya faktor penganggu yang mana secara tidak langsung
berhubungan dengan hasil penelitian. Postner dan Rudnitsky, 1994 juga mengemukakan
dalam outcome based evaluation terdapat informasi mengenai main effect dan side effect
sehingga kadangkala peneliti kesulitan membedakan atara main effect dan side effect ini.
7. Kesulitan mencari alat ukur. Evaluasi kurikulum [12] Evaluasi pendidikan merupakan
salah satu komponen utama yang tidak dapat dipisahkan dari rencana pendidikan. Namun
perlu dicatat bahwa tidak semua bentuk evaluasi dapat dipakai untuk mengukur
pencapaian tujuan pendidikan yang telah ditentukan. Informasi tentang tingkat
keberhasilan pendidikan akan dapat dilihat apabila alat evaluasi yang digunakan sesuai
dan dapat mengukur setiap tujuan. Alat ukur yang tidak relevan dapat mengakibatkan
hasil pengukuran tidak tepat bahkan salah sama sekali. 8. Penggunaan Perspektif
kurikulum yang berbeda sebagai pembanding. Postner mengemukakan ada lima
perspektif dalam kurikulum yaitu traditional, experiential, Behavioral, structure of
discipline dan constructivist. Masing-masing perspektif ini memiliki tujuannya
masingmasing. Dalam melakukan evaluasi kurikulum kita harus mengetahui perspektif
kurikulum yang akan dievaluasi dan perspektif kurikulum pembanding. Hal ini sering
terlihat dalam evaluasi kurikulum dengan menggunakan metode comparative outcome
based yang bila tidak memperhatikan masalah ini akan melahirkan bias dalam evaluasi.
Kurikulum dengan perspektif tradisional tentu saja berlainan dengan kurikulum yang
memiliki perspektif konstruktivist. Contoh kurikulum tradisional menekankan pada recall
of knowledge sedangkan kurikulum konstruktivist menekankan pada konsep dasar dan
ketrampilan berpikir. Apabila ada penelitian yang menghasilkan bahwa kurikulum
tradisional di pendidikan dokter lebih baik dalam hal knowledge dibandingkan dengan
PBL hal ini tentu saja dapat dimengerti karena perspektifnya berbeda. Penelitian yang
menggunakan metode perbandingan kurikulum yang perspektifnya berbeda ini seringkali
menjadi kritikan oleh para ahli.
D. Pengertian Mengenal Visible Thinking
Visible Thinking (VT) merupakan sebuah pendekatan yang fleksibel dan
sistematik untuk memperkaya pembelajaran di kelas dan mendorong perkembangan
intelektual siswa secara bersamaan. VT menitikberatkan Pada: - Pemahaman yang
mendalam tentang suatu konten pembelajaran - Motivasi belajar yang lebih besar -
Perkembangan proses bepikir siswa dan perkembangan kemampuan belajarnya -
Perkembangan sikap siswa terhadap proses berpikir dan proses pembelajaran - Perubahan
suasana kelas yang pasif menjadi kelompok yang secara antusias melibatkan pemikir dan
pembelajar. VT adalah produk penelitian selama bertahun tahun yang memusatkan pada
proses berpikir dan belajar anak, disertai dengan penelitian dan pengembangan di dalam
kelas. Penelitian ini diketuai oleh Ron Ritchart pada Project Zero, yaitu sebuah wadah
penelitian pendidikan di Harvard Graduate School of Education Hasil penelitian Ron
Ritchart mengungkapkan bahwa untuk menjadi seorang pemikir yang baik, keterampilan
dan kemampuan memang penting tetapi tidaklah cukup. Kepekaan terhadap situasi yang
mendorong berpikir lebih jauh serta sikap terhadap proses berpikir dan belajar juga
sangatlah penting. Menurutnya, proses berpikir yang baik harus sekaligus melibatkan
aspek kemampuan dan keterampilan, kepekaan dan sikap siswa. Dan VT didesain untuk
mendorong aspek-aspek tersebut. Konsep VT sebenarnya bukanlah hal yang baru, inti
dari VT adalah untuk mengkonkretkan proses berpikir dan belajar di kelas sehingga
tercipta “thoughtful classroom” dimana proses berpikir setiap siswa dihargai dan kegiatan
pembelajaran lebih bermakna bagi siswa. Untuk mengetahui apakah kegiatan
pembelajaran sudah sesuai dengan VT atau belum, guru dapat merefleksikan beberapa
pertanyaan seperti, “Apakah siswa saya dapat saling menjelaskan satu sama lain
mengenai suatu hal atau topik tertentu?”, “Apakah sebagian besar siswa saya dapat
menawarkan ide-ide yang kreatif sesuai konteks pembelajaran?”, “Apakah saya sebagai
guru sudah menciptakan komunikasi yang mendorong siswa untuk berpikir (Language of
Thinking)?”, dan “Apakah siswa saya saling memberikan feedback satu sama lain?”. Jika
jawabannya sudah sesuai dengan apa yang diharapkan, artinya siswa sudah menunjukkan
ketertarikan dan komitmen dalam proses belajar, mereka menemukan makna dari suatu
pelajaran, juga menemukan hubungan yang bermakna antara sekolah dengan kehidupan
sehari-hari, siswa lebih open minded, menujukkan rasa ingin tahu, serta bersikap skeptis
mengenai suatu hal yang belum pasti kebenarannya (hal-hal tersebut juga dikenal sebagai
Thinking Dispositions). Ketika proses berpikir di kelas sudah terlihat (visible), siswa
berada di posisi yang lebih metakognitif, yaitu siswa dapat menyadari atau berpikir
tentang pemikiran mereka sendiri. Siswa juga akan menyadari bahwa sekolah bukan
hanya tentang menghapalkan materi tetapi juga mengeksplorasi ide-ide secara mendalam.
DAFTAR PUSTAKA

https://id.scribd.com/document/392513286/MODEL-PEMBELAJARAN-TERBALIK-
etika-docx
https://repository.usd.ac.id/38590/2/131324025_full.pdf
https://text-id.123dok.com/document/yr2n628z-makalah-strategi-belajar-mengajar-
umpan-balik-atau-feedback.html
http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/195705101985031-
ENDANG_RUSYANI/EVALUASI_KURIKULUM.pdf
https://lpmpbanten.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2019/10/Artikel-Making-
Thinking-Visible.pdf
http://eprints.ums.ac.id/39751/3/BAB%20I.pdf

Anda mungkin juga menyukai