Hasil pengajaran itu boleh juga mendatangkan bahaya, Kalau orang yang telah tahu
membaca itu mendapat kitab-kitab bacaan yang berbahaya dari saudagar kitab yang
kurang suci dan dari orang-orang yang bermaksud hendak mengacau. Oleh sebab itu
bersama-sama dengan pengajaran itu maka haruslah diadakan kitab-kitab bacaan yang
memenuhi kegemaran orang kepada pembaca dan memajukan pengetahuannya, seboleh-
bolehnya menurut tertib dunia sekarang. Dalam usahanya itu harus dijauhkan segala
yang dapat merusakkan kekuasaan pemerintah dan ketentraman negeri.
Pada tahun 1926 terbit dua buah novel dan sebuah buku prosa
berirama. Novel pertama berjudul Karam dalam Gelombang Percintaan
karya Kedjora, yang kedua berjudul Cinta yang Membawa Maut karangan
Nursinah dan Abd. Ager. Buku prosa berirama berjudul Pancaran Cinta
karya Sanusi Pane.
Novel Karam dalam Gelombang Percintaan adalah juga cerita
dengan latar belakang masyarakat Minangkabau. Di dalamnya diceritakan
tentang pemuda terpelajar Abdul Jalil yang hidup merantau di Jakarta. Di
sini ia menikah secara diam-diam dengan gadis Jakarta pilihannya. Akan
tetapi, ia ternyata kemudian tidak berdaya dalam menghadapi tekanan
adat yang mengharuskan dia mengawini jodoh yang sudah dipilihkan oleh
orang tuanya. Sekali lagi, penyelesaian cerita yang berakhir tragis. Agak
mengherankan, tokoh pemuda yang semula dilukiskan sebagai modern,
penuh kemampuan, dan sukses tiba-tiba berubah menjadi lemah tak
berdaya. Semua itu hanya bisa diartikan betapa kuatnya kekangan adat
sekalipun yang bersangkutan telah jauh meninggalkan kampung
halamannya.
Novel Cinta yang Membawa Maut adalah cerita tentang sepasang
muda-mudi yang secara berahasia menjalin percintaan. Tiba-tiba, ketika
sang pemuda meninggalkan kampung halamannya, si gadis dipaksa
dikawinkan dengan seorang laki-laki kaya pilihan orang tuanya. Cerita
berlanjut dengan kehidupan pasangan kekasih itu yang sama-sama
menderita. Tokoh wanita akhirnya memutuskan bunuh diri, sementara
tokoh pria menyerah pada penyakit tuberkulose jauh di tanah Kotaraja
(Aceh).
Kumpulan prosa berirama Pancaran Cinta merupakan buku karya
Sanusi Pane yang pertama. Dari karyanya ini terlihat bahwa Sanusi Pane
sebagai pengarang dalam beberapa hal berbeda dengan teman-teman
seangkatannya. Untuk beberapa lama Ia pernah bermukim di India,
berkenalan dengan gagasan-gagasan yang hidup di sana, berkenalan
dengan Rabindranath Tagore (seorang pujangga India terkenal), serta
sangat terpengaruh oleh faham theosofi yang demikian populer pada masa
itu.
Pada tahun 1927 sekali lagi terbit dua buah novel dan sebuah
kumpulan sajak. Kedua novel itu adalah Darah Muda karangan
Adinegoro (nama samaran untuk Djamaluddin; wartawan terkenal) dan
Pertemuan karya A. St. Pamuntjak. Kumpulan sajak berjudul Puspa Mega
karya Sanusi Pane.
Novel Darah Muda adalah juga novel yang berlatar belakang
masyarakat Minangkabau, serta juga mengenai perjuangan menentang
kawin paksa. Berbeda dengan novel-novel sebelumnya, dalam Darah
Muda ini golongan muda menang. Nurdin yang menjadi tokoh utama
novel ini akhirnya bisa menikah dengan gadis Rukmini pilihannya sendiri.
Dalam novel Pertemuan diceritakan tentang tokoh utama Masri
yang hidupnya mengalami pelbagai macam cobaan, yang antara lain
disebabkan oleh akibat kawin paksa dalam perjodohannya. Tetapi,
akhirnya ia berhasil menemukan kebahagiaan. Satu segi yang menarik
dalam buku ini adalah pengarang memperlihatkan bahwa kebahagiaan
adalah sesuatu yang harus diperjuangkan, bukan dengan jalan
memutuskan hubungan dengan yang lalu, melainkan dengan memadukan
yang lama dengan yang baru; dengan tetap berpegang pada faham
Minangkabau yang sesungguhnya segala pertentangan pendapat akan
dapat diselesaikan melalui musyawarah dan mupakat.
Kumpulan sajak Puspa Mega merupakan buku Sanusi Pane yang
kedua. Sajak-sajak yang terdapat di dalamnya kebanyakan ditulis dalam
bentuk soneta. Terasa bahwa puisinya itu lebih personal. Ungkapan-
ungkapannya tidak lagi terasa klise, lebih hidup, dengan pilihan kata yang
lebih sederhana.
Pengolahan rimanya lebih cermat serta tidak sepenuhnya
mengikuti pola-pola lama. Karena itu, sajak-sajak yang terkumpul dalam
buku ini terasa asli. Dalam contoh di bawah ini terlihat bagaimana Sanusi
Pane mengungkapkan perasaan gundahnya dalam bentuk soneta.
Teja
Lihat langit sebelah Barat
Lautan warna dibuat teja
Berkilau-kilau dari darat
Ke cakrawala bayangan mega
Melayang, melayang entah ke mana
Laksana mimpi ia menghilang
Keluh kesah menurut awan
Setelah menyala sebentar saja
Pergi perlahan bermuram durja
Hatiku menangis dipalu rawan
Mengenang ba’gia musnah terus
Setelah bermegah baru sejurus
Sajak
Dimana harga karangan sajak
Bukan dalam karangan saja
Dalam bentuk, kata nan rancak,
Dicari timbang dengan pilihannya
Tanya pertama keluar dari hati,
Setelah dibaca tamat,
Sehingga mana tersebut sakti,
Mengikat diri di dalam hikmat
Rasa pujangga waktu menyusun
Kata yang datang beduyun-duyun
Dari dalam bukan nan dicari
Harus kembali dalam pembaca,
Sebagai bayang di muka kaca,
Harus bergunang hati nurani.
Biarkan Daku
Biarkan daku
Mereka kembang;
Biarkan daku
Mengarang tembang.
Memuji tuan.
Sajak
0, bukannya dalam kata yang rancak,
Kata yang pelik kebagusan sajak,
pujangga, buang segala kata,
Yang ‘kan cuma mempermainkan mata,
Dan hanya dibaca selintas lalu,
Karena tak keluar dari sukmamu,
Seperti matahari mencintai bumi,
Memberi sinar selama-lamanya,
Tidak meminta sesuatu kembali,
Harus cintamu senantiasa.
Candi Mendut
Pada tahun 1932 buku yang diterbitkan lebih banyak lagi. Sebuah
di antaranya dalam bentuk drama, yaitu Kertajaya karya Sanusi Pane.
Novel- novel yang sering disebut adalah karena Mertua karangan Nur St.
Iskandar, Memutuskan Pertalian, Tidak Membalas Guna, Tak Disangka
(ketiganya) karangan Tulis St. Sati, Rusmala Dewi karya Hardjosumarto
dan Aman Dt. Madjoindo, Dian yang Tak Kunjung Padam dan Anak
Perawan di Sarang Penyamun keduanya karya Sutan Takdir Alisjahbana,
Mencahari Pencuri Anak Perawan karangan Suman Hs.
Novel-novel lainnya berjudul Nasib karangan Habib St.
Maharadja, Anak Dapat karya Ahmad Hatib, Sebabnya Menjadi Hina
karangan Ener, Narumalina karangan Or. Mandank, Kintamani karangan
Imam Supardi, dan Kasih Ibu karya Paulus Supit.
Terbitnya cerita drama Kertajaya menunjukkan bahwa
pengarangnya, Sanusi Pane, besar perhatiannya pada sejarah, atau
peristiwa-peristiwa masa lalu. Kertajaya mementaskan petikan sejarah
Jawa lama. Cerita tersebut merupakan drama tragedi. Kedua tokoh
utamanya, yaitu Kerjaya dan Damar Wulan, yang memperjuangkan
kebenaran, akhirnya gugur secara tragis, tanpa berhasil mencapai cita-
citanya.
Novel Karena Mentua menceritakan keluarga muda yang bahagia,
yang lalu mulai berantakan gara-gara campur tangan dan paksaan ibu
mertua. Ceritanya sendiri terasa mengenaskan. Tetapi, sekali lagi dengan
novel ini terlihat kepiawaiannya dalam membangun ketegangan.
Novel Memutuskan Pertalian berlatar budaya Minangkabau pula.
Seorang guru muda asal Minangkabau bertugas mengajar di Kalimantan.
Ia berusaha membujuk istrinya dan anaknya agar turut menyertainya ke
tanah perantauan, namun tidak berhasil. Keluarga sang istri melarangnya.
Mereka merasa lebih berhak.
Tidak Membalas Guna adalah kisah merantau juga. Seorang
pemuda Minang pergi merantau ke Jakarta setelah Ia menikahi seorang
gadis di kampunngnya. Kepergiannya adalah dengan tujuan untuk
melanjutkan pendidikan. Di tempat barunya ia berkenalan akrab dengan
seorang wanita. Tidak lama kemudian mereka lalu menikah. Pemuda itu
menelantarkan istrinya yang dengan penuh kesabaran selalu
menunggunya.
Cerita novel Tak Disangka berlangsung di Jakarta. Seorang
pemuda Minang pergi merantau ke Jakarta, yang kemudian berkenalan
dengan seorang gadis Betawi (Jakarta). Cinta asmara di antara keduanya
mulai bersemi. Padahal, si pemuda sadar bahwa bakal jodohnya sedang
menunggu di kampung. Akhir cerita agak mengejutkan, manakala Si
pemuda mengetahui bahwa gadis yang dicintainya itu sebenarnya adalah
adik tirinya.
Di antara novel-novel Tulis St. Sati, yang paling menarik adalah
novel yang ditulisnya lebih dulu, yaitu Sengsara Membawa Nikmat.
Novel Rusmala Dewi beranak judul Pertemuan Jawa dan Andalas.
Ceritanya memang tentang perkawinan antarnusa atau antarsuku. Seorang
gadis Minang berjodoh dengan pemuda Jawa. Cerita ini terasa hambar.
Tokoh-tokoh tidak terasa hidup karena hanya dijadikan alat gagasan
pengarang.
Novel Dian Yang Tak Kunjung Padam adalah cerita tentang
pemuda miskin bernama Yasin. Ia memadu cinta dengan gadis bernama
Molek, dari keluarga kaya dan terpandang di Palembang. Percintaan itu
berakhir dengan kegagalan karena si gadis itu dipaksa menikah dengan
seorang Arab yang kaya.
Akhir cerita terasa mengesankan. Yasin tua, yang telah
mengasingkan dirinya setelah luput mendapat kebahagian di masa
mudanya, menerima baik sepasang muda-mudi yang melarikan diri dari
rumahnya. Mereka meninggalkan rumahnya karena Si gadis hendak
dipaksa kawin dengan orang lain. Yasin tua merenung bercampur
bahagia, bahwa pasangan muda itu telah beroleh kemenangan, sementara
dirinya sendiri menemukan kegagalan.
Novel Anak Perawan di Sarang Penyamun adalah novel Takdir
Alisjahbana yang ketiga. Novel ini mula-mula (1932) dimuat sebagai
cerita bersambung dalam majalah, baru kemudian diterbitkan sebagai
buku. Seperti tersimpul dalam judulnya, novel ini adalah tentang
petualangan seorang gadis ditengah lingkungan para penyamun.
Novel Mencahari Pencuri Anak Perawan karangan Suman Hs.
adalah sebuah cerita detektif ringan. Tokoh pemuda yang mencuri
kekasihnya terhindar dari tuduhan karena sehari sebelumnya Ia bepura-
pura mendapat cedera ketika bermain sepakbola. Peristiwa itu disaksikan
oleh seluruh penonton.
Novel Nasib karya Habib St. Maharadja ditulis dalam bentuk
autobiografi. Tidak bisa dipastikan apakah ini sebuah cerita kehidupan
nyata yang direka atau sepenuhnya fiksi. Pelaku utamanya adalah seorang
kelana yang pernah lama tinggal di negeri Belanda, berpindah-pindah. Di
sana Ia menikah dengan gadis Belanda. Setelah berlangsung lama tinggal
di Jakarta, pasangan ini terpaksa bercerai karena tidak tahan terhadap
prasangka-prasangka masyarakat colonial, sang istri kembali ke Belanda,
sementara Si pemuda lalu menyadari akan tanggung jawabnaya sebagai
orang Indonesia. Bersama istri barunya, wanita Indonesia, Ia bekerja
menunaikan tugas negara.
Hal yang menarik dari novel ini adalah kemiripan temanya dengan
novel Salah Asuhan karangan Abdul Muis. Kata atau nama Indonesia
terus digunakan dalam novel ini. Gaya bahasanya hidup, temanya boleh
dikatakan agak lain dari novel-novel periode ini. Anak Dapat adalah
sebuah cerita sentimental. Novel itu menceritakan seorang anak yang
karena kejujurannya serta ketekunannya berangsur berubah dan penuh
penderitaan lalu meraih kekayaan dan kebahagiaan. Demikian pula,
tokoh-tokoh baik lainnya, sementara orang-orang jahat mendapat
hukuman setimpal. Hal yang perlu disinggung tentang novel pendek ini
adalah ciri tradisionalnya: temanya, diselipkannya pantun, bahkan tokoh
cerita itu asal mulanya adalah bayi yang ditemukan disebuah rumpun
bambu.
Novel Sebabnya Menjadi Hina adalah sebuah novel pendek.
Novel ini menceritakan nasib buruk yang dialami oleh seorang wanita.
Penderitaanya tidak kunjung berkurang, malah makin terpuruk. Hadirnya
novel ini tidak terlalu penting dalam perkembangan sastra Indonesia.
Demikian pula dengan novel pendek Narumalina Cerita
menyedihkan ini adalah tentang seorang ibu dengan anak angkatnya.
Keduanya meninggal tidak tahan menghadapi berbagai penderitaan yang
dialaminya.
Novel Kintamani mungkin diterbitkan di Surabaya oleh penerbit
swasta. Novel ini bercerita tentang kisah cinta antara seorang pemuda
Jawa dengan gadis Bali. Laki-laki itu adalah seorang pelukis. Melalul
tokoh ini , pengarang mengungkapkan kecintaanya akan negerinya serta
berpikir bahwa kesenian akan menjadi penunjang bagi Indonesia baru
yang akan datang.
Novel Kasih Ibu boleh dikatakan sebuah novel Moral. Di
dalamnya diceritakan tentang janda yang bijaksana dengan anak laki-
lakinya yang baik hati, Latar belakang cerita ini bukan lagi masyarakat
Minang.
Pada tahun 1933 terbit empat buah buku: satu buah cerita drama,
tiga buah novel. Buku cerita drama itu berjudul Sandyakala ning
Majapahit karya Sanusi Pane. Novel-novelnya berturut-turut adalah Kalau
Tak Untung karangan Selasih, Tuba Dibalas dengan Susu karangan
Asmaradewi, dan Pertemuan Jodoh karya Abdul Muis.
Drama Sandyakala ning Majapahit mementaskan peristiwa
penting dalam sejarah Jawa lama. Cerita itu berlangsung dengan latar
menjelang runtuhnya kejayaan Majapahit. Terbitnya buku ini makin
menunjukkan peranan Sanusi Pane dalam sastra drama, serta perhatiannya
akan sejarah lama.
Novel Kalau Tak Untung bercerita tentang dua orang anak yang
bersahabat sejak masih kecil. Yang satu bernama Masrul, anak laki-laki,
yang seorang lagi anak perempuan bernama Rusmani. Mereka tinggal
sekampung, tempat sekolahnya pun sama. Sama-sama pula anak orang
berada. Setelah menginjak remaja, persahabatan itu berubah menjadi
hubungan asmara. Akan tetapi, hubungan itu tidak bisa berlanjut sampai
pernikahan karena paksaan keluarga, terutama dari pihak Si gadis. Sekali
lagi si pemuda tidak berdaya menghadapi tradisi lingkungan
masyarakatnya di tanah Sumatra.
Cerita Tuba Dibalas Dengan Susu adalah sebuah cerita cinta dari
Sumatra Selatan (Muara Enim). Seorang anak muda bernama Nurdin
adalah anak yatim piatu. Gadis Nuriah adalah dari keluarga berada. Sesuai
dengan adat di sana, kedua remaja itu bebas bertemu untuk mencurahkan
rasa kasih sayangnya. Keduanya sudah mengikat janji. Namun, ketika
Nurdin sedang berada di Palembang menuntut ilmu, gadis Nuriah
diperistri oleh Tahir. Selama dipaksa diperistri Nuriah tetap menjaga
kesuciannya. Akhirnya Ia berjodoh dengan Nurdin. Manakala Tahir
dihukum karena perbuatannya, Nuriah datang untuk menolongnya.
Novel Pertemuan Jodoh yang ditulis oleh Abdul Muis ini berlatar
belakang kehidupan orang Sunda. Setelah pertemuannya di kreta api,
pemuda Suparta berlanjut menjalin hubungan dengan gadis Ratna.
Suparta anak ornag berada dan terhormat, sementara Ratna orang
kebanyakan murid sebuah sekolah guru. Ratna menyadari bahwa
kehadirannya tidak diterima oleh calon mertuanya.
Ayah Ratna jatuh perusahaannya, sehingga Ratna terpaksa
berhenti sekolah, dan bekerja. Ia memutuskan hubungannya dengan
Suparta. Hidupnya sendiri mengalami berbagai percobaan, sampai-sampai
harus berhadapan dengan pengadilan. Dalam keadaan putus harapan,
Suparta tampil hingga hidupnya bisa tertolong. Novel ini dipandang tidak
menyamai keunggulan novel Salah Asuhan yang ditulisnya lebih dulu.
Kronologi penerbitan karya di atas memperlihatkan adanya
kecenderungan bahwa penciptaan karya sastra pada periode ini terus
meningkat, sekalipun peningkatannya itu tidak menyolok serta tidak
konstan pada setiap tahun, Tahun 1928 dan tahun 1932 boleh dikatakan
dua tahun paling produktif dalam periode ini. Pada tahun 1928 terbit
enam buah novel, sementara pada tahun 1932 terbit tiga belas novel
dengan satu buah buku cerita drama. Tetapi, ada beberapa tahun yang
sama sekali tidak menghasilkan karya baru.
Keadaan tidak konstan seperti itu sulit diterangkan secara pasti
penyebabnya. Banyak faktor yang secara bersama-sama mempengaruhi
keadaan seperti itu. Dalam hal ini kita dapat pula memahaminya dari segI
penciptaan karya sastra sebagai kreasi seni.
Munculnya kreasi baru, apalagi dengan kualitas tertentu pula, agak
sulit diramalkan untuk bisa terjadi secara berkala. Tahun 1922 telah terbit
karya sebesar Siti Nurbaya, tetapi ternyata tidak segera diikuti oleh karya
-karya besar lainnya. Enam tahun kemudian (1928) barulah muncut Salah
Asuhan yang mampu mengimbanginya. Akan terlihat juga kemudian,
bahwa pengarang yang telah berhasil dengan karyanya yang pertama
belum tentu mendapat sukses yang sama dengan karya berikutnya. Abdul
Muis banyak dibicarakan karena kepunjulan novelnya Salah Asuhan,
tetapi tidak oleh novelnya Pertemuan Jodoh, padahal novelnya yang
disebut terakhir ini diciptakan lima tahun kemudian.
Dari daftar karya di muka bisa diketahui bahwa periode ini secara
keseluruhan telah menghasilkan tidak kurang dari 37 buah buku: 32 buah
dalam bentuk novel, 3 buah kumpulan sajak (termasuk I prosa lirik), dan
2 cerita drama. Berdasarkan pengelompokan itu, bisa disimpulkan bahwa
bentuk karangan yang mendominasi periode ini adalah bentuk novel.
Dalam hal ini pun tidak akan dapat dijelaskan secara pasti. Pemilihan
bentuk karangan lebih bersifat personal, hampir sepenuhnya bergantung
kepada pengarang masing-masing. Sanusi Pane, misalnya, di tengah
ramainya pemakaian bentuk novel Ia malah menulis puisi dan cerita
drama.
Bentuk novel merupakan bentuk baru pada masa itu. Lahirnya
dalam sastra Indonesia adalah karena masuknya pengaruh sastra Barat
(Belanda). Dengan demikian, bermunculannya bentuk novel pada periode
ini merupakan salah satu tanda dimulainya tradisi baru penulisan prosa
dalam sastra kita.
Tradisi bersastra, seperti telah dibahas di muka, telah berlangsung
lama tanpa bisa diketahui lagi sejak kapan dimulai. Tradisi itu hidup
dalam bahasa-bahasa daerah, masing-masing dengan anekaragam jenis
karyanya. Dalam persambungan itu periode 1900-1933 dapat dianggap
sebagai awal tumbuhnya tradisi sastra baru: bahasa yang digunakannya,
bentuknya, tema-temanya, serta semangat yang melatarbelakanginya.
Seperti umumnya perubahan sosial-budaya, munculnya sastra baru
pada periode ini masih memperlihatkan adanya ciri-ciri transisi. Dalam
hubungannya dengan sastra Melayu, misalkan, beberapa buah novel yang
disebut di muka masih menunjukkan corak alur hikayat. Bentuk yang
disebut terakhir ini merupakan salah satu bentuk prosa yang banyak
digunakan dalam sastra Melayu lama. Terdapatnya bentuk puisi pantun
yang “diselipkan” dalam beberapa buah novel juga merupakan salah satu
tanda terjadinya peristiwa peralihan ini. Sementara itu, dari segi bahasa,
bahasa Indonesia yang digunakannya masih dekat dengan bahasa Melayu.
Sedangkan pada jamannya, bahasa dan sarana sastra yang digunakan
dalam novel-novel itu mungkin dipandang sebagai bukan bahasa Melayu .
pada kenyataannya memang telah “bergeser” ke bahasa lndonea.
Dari segi corak penciptaan, tahun 1920-an diawal pertumbuhan
sastra Indonesia, karena pada masa inilah para pengarang mengungkapkan
perasaannya serta gagasan sendiri dalam karya ciptaannya. Dalam
hubungan ini, kita melihat adanya persamaan tema dalam karya-karya
mereka.
Telah sering disebut bahwa tema novel-novel pada peniode ini
umumnya tentang kawin paksa. Kesimpulan itu bisa dibenarkan, seperti
terlihat pada daftar di muka. Akan tetapi, di balik “keseragaman” itu
sebenarnya terdapat pula keanekaragaman. Perjodohan paksa dalam
cerita-cerita itu ada yang menimpa tokoh pria, ada juga yang menimpa
tokoh wanita. Atas paksaan itu, “cerita” yang menyerah, ada yang
menolaknya atau berusaha berontak, ada pula yang berusaha menemukan
jalan tengah. Akibat pemaksaan jodoh, cerita selalu berakhir dengan
memilukan, berbagai kesedihan dan penderitaan yang harus dialami
tokoh, kadang-kadang diakhiri dengan kematian tragis. Tokoh-tokoh
cerita yang menang dalam menentang paksaan itu selalu berakhir dengan
kebahagiaan.
Bila dihubungkan dengan situasi sosial-budaya, ramainya tema
kawin paksa dalam novel-novel periode dapat menimbulkan tafsiran
sedang terjadinya gejala perubahan, usaha menolak salah satu tradisi pada
masa itu.
Menurut adat, memilihkan jodoh untuk anak bukan suatu
kesalahan, melainkan sesuatu yang benar, malah semestinya dilakukan.
Karena itu, kaum tua (dalam hal ini diwakili oleh tokoh orang tua dalam
cerita) tidak pernah menganggapnya sebagai paksaan terhadap anaknya.
Dari sisi lain, kaum muda (dalam hal ini diwakili oleh tokoh-tokoh utama
cerita) mulai merasa tidak cocok dengan adat itu. Mereka menginginkan
kebebasan dalam memilih pasangan.
Situasi sosial-budaya mendorong terjadinya gejolak perubahan
seperti ini. Kaum muda terpelajar yang telah mengecap pendidikan (barat)
seperti mulai melihat dan merasakan kekangan adat ini. Rintisan-rintisan
untuk melakukan pembebasan lalu dimulai. Pengaruhnya pada penciptaan
karya sastra, seperti telah disinggung di muka, tidak hanya terbatas pada
tema, melainkan pada segi-segi lainnya; baik dapat ditelusuri langsung
maupun tidak.
Hai lain yang menimbulkan perhatian adalah mengapa tema-tema
kawin paksa itu seperti hanya terjadi di lingkungan masyarakat
Minangkabau.
Untuk memahaminya, kita perlu melihat siapa pengarangnya.
Pengarang-pengarang pada periode ini kebanyakan memang dari
lingkungan itu atau dari daerah Sumatra lainnya. Sedikit sekali yang
berasal dari luar daerah lain. Mengapa pula kebanyakan pengarang
berasal dari daerah itu, salah satu kemungkinan adalah karena merekalah
yang lebih banyak mengenal tradisi menulis dengan bahasa Melayu, atau
lebih terbiasa menggunakan bahasa Melayu, bahasa yang kemudian
dijadikan dasar bahasa Indonesia, Perkiraan itu terlihat bandingannya
kemudian. Pada periode-periode berikutnya kepengarangan di Indonesia
tidak lagi didominasi oleh penulis-penuims asal Sumatra. Malah mungkin
sebaliknya, karena pada perkembangan selanjutnya perkenalan dengan
tradisi menulis dalam bahasa Indonesia mulai merata.
Para pengarang yang muncul dalam peniode awal ini lebih dari
tiga puluh orang, yaitu (terurut secara alfabet) Abas St. Pamoentjak, Abd.
Ager, Abdul Muis, Adinegoro, Ahmad Hatib, Aman Dt. Madjoindo,
Asmaradewi, E.Joram, Habib St. Maharadja, Hardjosumarto, H.M.
Zainuddin, Imam Supardi, Kedjora, M. Kasim, Marah Rusli, Merari
Siregar, Muhamad Yamin, Nur. St. lskandar, Or Mandank, Paulus Supit,
Roestam Effendi, Sanusi Pane, Selasih, Suman Hs, Sutan Takdir
Ahihsjahbana, dan Tulis St. Sati. Di antara mereka ada yang hanya
menghasilkan satu buah karya saja, ada juga yang mampu menghasilkan
sampai lima buah. Keterkenalan mereka di bidang kepengarangan tidak
sama. Ada yang hanya pernah disebut namanya secara sepintas, ada juga
yang sering berulang-ulang disebut, atau malah dibicarakan secara agak
panjang lebar. Hal itu bergantung pada kualitas karya yang dihasilkanya.
Para pengarang yang sering disebut namanya antara lain Abdul
Muis, Adinegoro, M. Kasim, Marah Rusli, Muhammad Yamin, Nur St.
Iskandar, Sanusi Pane, Selasih, Sutan Takdir Ahisjahbana, dan Tulis St.
Sati. Abdul Muis (1886-1959) terkenal namanya karena bukunya yang
berjudul Salah Asuhan. Novel ini dipandang sebagai novel yang paling
penting pada periode ini.
Abdul Muis adalah aktivis Syarikat Islam serta pernah mendapat
hukuman dari pemerintah jajahan Belanda. Dari Minangkabau, tanah
kelahirannya, ia dibuang ke pulau Jawa, menikah dengan gadis Sunda,
dan menetap di Priangan (Bandung) sampai meninggal di sana.
Pandangan politiknya rupanya yang melatarbelakangi lahirnya novel
Salah Asuhan. Sedangkan pengalaman hidupnya di Bandung, di
lingkungan orang Sunda, mengilhami terbitnya novel Pertemuan Jodoh.
Seperti kita lihat, novel ini memang berlatar belakang kehidupan
di tanah Sunda. Tahun 1969 Abdul Muis (almarhum) mendapat hadiah
dari pemerintah (Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan), untuk bidang
sastra, atas prestasinya menulis Salah Asuhan.
Adinegoro adalah nama samaran. Nama sebenarnya Djamaludin.
Karyanya memang novel-novel pendek, tetapi memiliki akhir cerita yang
lebih baik; dalam kedua novelnya tokoh-tokoh muda mernperoleh
kemenangan dalam membebaskan diri dari kekangan kawin paksa. Ia
seorang wartawan terkenal. Pada periode berikutnya ía sering menulis
artikel-artikel tentang bahasa dan kebudayaan. Adinegoro dilahirkan pada
tahun 1904, meninggal tahun 1966.
M. Kasim adalah seorang guru. Namanya sering muncul karena Ia
sering menulis cerita pendek dalam majalah Panji Pustaka yang
diterbitkan oleh Balai Pustaka. Cerpen-cerpennya bernada humor.
Cerpen-cerpen itu kemudian diterbitkan dalam bentuk buku. Tahun 1924
Ia menang dalam sayembara mengarang yang diselenggarakan oleh Balai
Pustaka dengan naskah cerita anak-anak berjudul Pemandangan dalam
Dunia Kanak-kanak (Si Samin).
Marah Rusli dilahirkan di Padang pada tanggal 7 Agustus 1889)
meninggal di Bandung pada tanggal 17 Januani 1968. Ia adalah seorang
dokter hewan, sampai pensiun dari pekerjaannya itu. Sebelumnya Ia
pernah beberapa tahun bekerja di Sumbawa, kemudian lama di Semarang.
Dari riwayat hidupnya diketahui betapa berat penderitaan yang
dialaminya sebagai akibat tekanan adat keluarganya.
Nama Marah Rusli sering disebut karena novelnya yang berjudul
Siti Nurbaya itu. Novel itu demikian populer mengalami beberapa kali
cetak ulang, sehingga ada yang menyebut periode ini dengan Angkatan
Siti Nurbaya. Lama kemudian Ia menulis lagi, sebanyak dua buah novel.
Namun kedua karya itu tidak mampu menyamai keberhasihan novelnya
yang pertama. Karena buku Siti Nurbaya pula, pada tahun 1969 Marah
Rusli mendapat hadiah dan penghargaan dari pemerintah (Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan) untuk bidang sastra.
Nama Muhammad Yamin lebih dikenal sebagai cendikiawan atau
politikus. Ia dilahirkan di Sawahlunto pada tanggal 23 Agustus 1903,
meninggal di Jakarta pada tanggal 26 Oktober 1962. Seperti tergambar
pada sajak-sajaknya, Ia telah berpandangan jauh mengenai masa depan
Indonesia. Dalam kongres Pemuda tahun 1926 Ia menyajikan gagasan-
gagasannya tentang masa depan bahasa dan sastra Indonesia. Selain
menulis sajak, Yamin menulis juga cerita drama, seperti akan terlihat
pada pembicaraan periode berikut.
Dalam karangan-karangannya yang pertama, Nun St. Iskandar
menggunakan nama samaran Nursinah lskandar. Ia dilahirkan di Sungai
Batang, Maninjau pada tahun 1893. Mengikuti pendidikan di sekohah
guru di Bukit tinggi. Setelah lulus dari sana, Ia jadi guru. Pekerjaan itu
segera ditinggalkannya, dan pindah ke Balai Pustaka pada tahun 1919.
Kepindahan itu didorong oleh minatnya yang sangat besar akan bidang
kepengarangan. Di sana Ia menerjemahkan karya-karya sastra, menyadur,
menyunting naskah cerita pengarang lain, di samping mengarang sendiri.
Pekerjaanya sebagai redaktur amat berperan dalam pembakuan bahasa.
Sanusi Pane pernah menduduki beberapa jabatan. Ia pernah
bekerja di penerbit Balai Pustaka sebagai redaktur. Di samping itu, aktif
dalam bidang pendidikan di sekolah-sekolah kebangsaan. Ia juga aktif
dalam bidang kewartawanan. Tahun 1932 - 1933 Ia memimpin majalah
Timbul edisi bahasa Indonesia. Keistimewaan Sanusi Pane adalah bahwa
Ia lebih memperlihatkan minatnya untuk menulis sajak dan cerita drama
daripada novel. Dalam segi isipun Ia lebih cenderung mengungkapkan
kedamaian dan ketentraman bernada teosofis, serta besar per hatianya
pada bidang sejarah dan sastra lama. Semua itu rupanya ada kaitannya
dengan latar belakang pengalamannya selama berada di India.
Sanusi Pane meninggal di Jakarta pada tanggal 2 Januari 1968.
Tahun 1969 Ia (almarhum) memperoleh hadiah (penghargaan) sastra dari
pemerintah (Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan) untuk kumpulan
sajaknya Madah Kelana.
Selasih adalah nama samaran. Nama sebenarnya adalah Sariamin.
Nama lain yang digunakannya adalah Seleguri. Pengarang wanita ini
dilahirkan di Talu, Sumatra Barat, pada tahun 1909. Ia bekerja sebagai
guru, dan sudah mulai menulis sejak masa remaja. Di samping menulis
novel, ia juga menulis sajak. Sajak-sajaknya dimuat dalam majalah Panji
Pustaka (diterbitkan oleh Balai Pustaka) dan kemudian dalam majalah
Pujangga Baru. Bentuk karyanya itu terasa konvensional.
Sutan Takdir Alisjahbana dilahirkan di Natal, Tapanuli, Sumatra
Utara pada tahun 1908. Pada masa mudanya Ia lama tinggal di Sumatra
Selatan. Ia pernah menjadi guru, pernah pula bekerja di Balai Pustaka. Ia
adalah lulusan Sekolah Tinggi Hukum (Rechtshogeschool) di Jakarta.
Selain dikenal sebagai pengarang novel atau puisi, Takdir lebih dikenal
pula karena gagasan-gagasan serta usahanya dalam pengembangan bahasa
dan sastra Indonesia.
Tulis St. Sati tergolong penulis produktif pada periode ini. Di
samping menulis karangan ciptaannya sendiri, Ia pun menerjemahkan dan
menulis kembali cerita lama. Tahun 1929 ia menerjemahkan kaba Sabai
Nan Aluih dan karya M. Thaib Gelar St. Pamuntjak yang ditulis dalam
bahasa Minangkabau. Ia juga menulis dua buah cerita bentuk syair,
berturut-turut berjudul Syasir Siti Marhumah yang Saleh (1930) dan Syair
Rosina. Cerita yang disebut terakhir ini diangkat dari kisah yang benar-
benar terjadi di kota Betawi (Jakarta).