Anda di halaman 1dari 24

BAB IV

PERIODE 1900 – 1933

Dalam bab ini dibicarakan karya-karya sastra yang terbit pada


periode 1900-1933 beserta para pengarangnya. Bahasan itu diawali
dengan beberapa catatan mengenai berdirinya penerbit Balai Pustaka yang
besar peranannya bagi awal pertumbuhan sastra Indonesia baru.
Beberapa pengarang penting dibicarakan riwayat hidupnya secara
singkat, hal-hal yang dianggap ada hubungannya dengan karyanya, baik
langsung maupun tidak langsung. Pada bagian terakhir dibicarakan
tentang diadakanya Kongres Pemuda tahun 1928. Peristiwa itu
mempunyai makna penting bagi perkembangan bahasa dan sastra
Indonesia.

4.1 Balai Pustaka


Nama Penerbit Balai Pustaka sudah tidak asing lagi bagi
masyarakat terpelajar Indonesia. Balai Pustaka merupakan salah satu
penerbit besar yang banyak memproduksi pelbagai jenis buku. Nama
tersebut telah bertahan selama lebih dari 90 tahun, kalau dihitung dari
berdirinya pada tahun 1917 yang merupakan pengukuhan Komisi untuk
Sekolah Bumiputra dan Bacaan Rakyat (Commissie voor de lnlandsche
School en Volkslectuur) yang didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda
pada 14 September 1908. Jelas bahwa badan penerbit itu merupakan
organ pemerintah kolonial yang semangatnya boleh dikatakan
berseberangan dengan penerbit-penerbit swasta, baik yang semata-mata
bervisi komersial maupun bervisi kebangsaan. Akan tetapi, mengingat
sejarahnya yang panjang itu maka sepantasnya menjadi bagian khusus
dalam pengkajian atau telaah sejarah sastra Indonesia.
Secara teoretis dapat dikatakan banyak masalah yang dapat
diungkapkan dari Balai Pustaka selama ini, antara lain visi dan misi,
status, program kerja, para tokoh, kebijakan redaksi, pengarang, produksi,
dan distribusi. Telaah semacam itu dapat dijadikan pengkajian sejarah
mikro yang pasti relevan dengan sejarah makro sastra Indonesia.
Ditambah dengan pengkajian pelbagai gejala yang berkembang di
sekitarnya pastilah memperluas wawasan pengetahuan masyarakat.
Mungkin saja kemudian berkembang pendapat bahwa Balai Pustaka
ternyata bukan satu-satunya penerbit yang pada tahun 1920-an membuka
tradisi sastra modern, atau justru dilupakan saja karena berjejak kolonial.
Apa pun kemungkinan itu jelas merupakan tantangan yang harus dijawab
oleh para pakar dan peneliti sejarah sastra Indonesia.
Yang jelas ada beberapa masalah esensial Balai Pustaka yang
secara historis tidak terbantahkan. Kapan pun harus ditulis bahwa Balai
Pustaka didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda dengan keputusan
gubernemen pada 14 September 1908 dan pada tahun 1917 dikukuhkan
menjadi Balai Pustaka. Kapan pun harus dicatat hahwa Balai Pustaka
telah menerbitkan sejumlah roman, seperti Azab dan Sengsara karangan
Merari Siregar, Siti Nurbaya karangan Marah Rusli, dan Salah Asuhan
karangan Abdul Muis, yang kemudian terbaca banyak orang. Kalaupun
pandangan orang terhadapnya berubah dan berkembang, bahkan berbeda
antara yang satu dengan yang lain, harus dipahami secara kontekstual.
Maksudnya, dipahami dalam kaitannya dengan siapa yang berpendapat,
apa latar belakangnya, kapan dan di mana berpendapat, apa datanya, dan
sebagainya. Dengan demikian, berkembanglah pandangan yang
komprehensif.
Teeuw, misalnya, memandang Balai Pustaka sebagai lembaga
penerbitan yang besar jasanya bagi para pengarang Indonesia meskipun di
sana-sini ada juga keberatannya.

Bahwa kantor Balai Pustaka itu memenuhi keperluan yang dirasakan


tidak perlu dijelaskan; dalam hubungan pembicaraan kita ini, timbullah
pertanyaan, apakah arti kantor ini bagi perkembangan kesusasteraan Indonesia
yang modern? Menurut perasaan saya, pertama sekali adalah bahwa Kantor itu
memberi kesempatan, kemungkinan-kemungkinan kepada orang-orang
Indonesia untuk menulis dan untuk dibaca; barang siapa mempunyai kecakapan
dapatlah datang ke situ, baik sebagai pegawai tetap, baik pun untuk membawa
karangannya yang dituliskan bukan dalam kedudukan sebagai pegawai. Dari
karangannya itu tentu akan dibaca dengan perhatian dan akan ditimbang secara
jujur, dan, yang sama pentingnya dengan hal itu, adalah bahwa apabila karangan
itu diterima untuk diterbitkan, maka pastilah bahwa karangan itu akan disiarkan
pula melalui perpustakaan-perpustakaan serta agen-agen penjualan yang
dipunyai BP di mana-mana secara yang agaknya akan menerbitkan rasa
kepengin pada kebanyakan pengarang Eropa. Dengan demikian, Balai Pustaka
memberi dorongan untuk kemajuan dan untuk perhubungan antara sastrawan
dan masarakat. (Teeuw, 1952: 120-121)

Adapun pandangan Bakri Siregar tampak pada pernyataan sebagai


berikut.
Balai Pustaka bekerja sebagai sebuah badan pelaksana politik etis
pemerintah jajahan, pemupuk amtenarisme, atau pegawaiisme yang patuh dan
melaksanakan peranan pengimbangan lektur antikolonial dan nasionalistis.
Yang dimaksud dengan sastra Balai Pustaka adalah hasil-hasil yang
mengemukakan konsepsi politik etis pemerintah jajahan pemupuk amtenarisme
dan pegawaiisme yang patuh itulah. (Siregar, 1964: 33)

Wajarlah apabila Teeuw memandang jasa Balai Pustaka lebih


penting daripada latarnya yang kolonialistis karena Teeuw sendiri orang
Belanda yang riwayat dan perhatiannya terhadap sastra Indonesia tidak
terkait dengan kepentingan politik tertentu. Tokoh atau pakar sastra itu
dilahirkan di Gorinchem Belanda 12 Agustus 1921 dan meraih doktor dari
Universitas Utrecht tahun 1946, kemudian menerima gelar Dr. Honoris
Causa dari Universitas Indonesia tahun 1975. Sejak tahun 1955 berdinas
sebagai guru besar Bahasa dan Kesusastraan Melayu di Universitas
Leiden, Belanda. Bergiat juga dalam penelitian dan pengajaran sastra di
Indonesia, baik sebagai penatar maupun promotor sehingga sejumlah
bukunya selalu dijadikan rujukan penting para ahli sastra Indonesia. Sebut
saja Pokok dan Tokoh dalam Kesusasteraan Indonesia Baru (1952),
Modern Indonesian Literature I & II (1979), Khazanah Sastra Indonesia
(1982), dan Sastra dan Ilmu Sastra (1984).
Wajar juga apabila Bakri Siregar cenderung mengungkap latar
belakang Balai Pustaka sebagai penerbit pemerintah kolonial karena pada
waktu menulis buku itu Bakri Siregar termasuk tokoh Lekra, sebuah
organisasi kebudayaan yang pada tahun 1960-an gencar melancarkan
semangat anti-imperialisme. Dengan demikian, tidak perlu ditetapkan
pendapat manakah yang paling benar. Kemudian bandingkan saja dengan
pandangan Jakob Sumardjo dalam Lintasan Sejarah Sastra Indonesia 1
(1992: 13) yang menyatakan bahwa sastra Balai Pustaka tidak muncul
dari masyarakat Indonesia secara bebas dan spontan, tetapi dimunculkan
dan diatur oleh pemerintah jajahan Belanda sehingga penuh dengan
syarat-syarat yang terkait dengan maksud-maksud tertentu. Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa sastra Balai Pustaka bukanlah hasil
ekspresi bangsa secara murni.
Sementara itu, pantas juga dicatat pendapat Maman S. Mahayana
sebagai benikut.

Melihat pelbagai hal yang melatarbelakngi berdirinya Balai Pustaka, kita


memperoleh gambaran bagaimana Balai Pustaka tidak dapat terlepas dari
kebijaksanaan pemerintah kolonial Belanda. Dalam perkembangannya ramai
kaum terpelajar bangsa Indonesia yang justru memanfaatkan keberadaan
lembaga itu untuk kepentingan dirinya sendiri maupun untuk kepentingan
bangsanya. Dalam hal inilah seyogyanya kita melibat secara objektif bahwa jasa
Balai Pustaka sebelum merdeka sebenarnya justru terletak pada sastrawan dan
editor bangsa Indonesia sendiri, dan bukan pada lembaganya. Mereka secara
cerdik berhasil memanfaatkan lembaga itu untuk kepentingan diri dan
kepentingan bangsa dan negaranya. Sulit dibayangkan bagaimana jadinya jika
para pengarang dan editor yang karya-karyanya diterbitkan Balai Pustaka masa
itu semuanya bangsa Belanda (Mahayana, 2005: 409).

Tampaknya pendapat itu boleh juga dikoreksi sedikit, yaitu pada


frase “kepentingan bangsa dan negaranya”, sebab pada zaman itu
mungkin belum terbayang sedikit pun apa yang dimaksud dengan
“negara’ yang kemudian bernama Republik Indonesia. Akan tetapi, frase
itu boleh saja diabaikan, sedangkan pernyataan yang lebih dipentingkan
adalah kesempatan para pengarang memanfaatkan Balai Pustaka sebagai
penerbit yang luas jaringannya sehingga terbukalah jalur pendidikan
melalui bacaan di luar sekolah.
Ada baiknya disimak pula pendapat Tasai yang menyatakan bahwa
perubahan nama itu terjadi pada tahun 1918 seperti tertulis sebagai
berikut.
Kepedulian Pemerintah Belanda terhadap perkembangan bacaan liar yang disebut
sebagai bacaan murahan dalam wujud sastra Cina peranakan itu merupakan
kekhawatiran Belanda terhadap kemantapan kedudukannya di Indonesia. Untuk itu,
Pemerintah mendirikan suatu taman bacaan resmi dari pemerintah, yaitu Taman Bacaan
Rakyat (Volkslektuur) pada tahun 1917 yang pada tahun 1918 berubah namanya menjadi
Balai Pustaka. Kehadiran Balai Pustaka dilandasi oleh suatu tekad untuk menghadirkan
buku atau bacaan yang memiliki mutu tinggi yang dapat membangun moral bangsa
karena bacaan-bacaan liar, seperti bacaan liar seperti Cina peranakan itu dikhawatirkan
akan merusak moral bangsa (Tasai, 2002: 9-10).

Dibandingkan dengan sumber-sumber terdahulu yang menyatakan


komisi tersebut- bukan taman- didirikan pada tahun 1908 dan pada tahun
1917 dikukuhkan menjadi Balai Pustaka, tampaknya pendapat terkutip itu
perlu dikoreksi. Selisih waktu sembilan tahun antara 1908 dan 1917
bukan masalah kecil, dan pengertian “taman bacaan” pun barangkali
berbeda dengan “komisi”. Dari “taman bacaan” terbayang tempat (balai,
ruang, rumah, gedung) yang berisi buku-buku bacaan, sedangkan dari
“komisi” terbayang suatu lembaga persidangan redaksi yang menyiapkan
penerbitan buku bacaan. Di samping itu, perlu juga diperhatikan
pernyataan “membangun moral bangsa” yang tampaknya belum tepat
dikaitkan dengan kepentingan Balai Pustaka.
Berdasarkan pelbagai sumber di atas diperoleh gambaran bahwa
Balai Pustaka itu sebuah badan penerbit yang didirikan pemerintah
kolonial Belanda dengan tugas menyiapkan buku bacaan yang
“memenuhi kegemaran orang kepada membaca dan memajukan
pengetahuan menurut tertib dunia, dan menjauhkan segala yang dapat
merusakkan kekuasaan pemerintah dan ketentraman negri”. Jelas sekali
tujuan itu demi kepentingan pemerintah kolonial yang mulai khawatir
akan maraknya nasionalisme sebagai akibat terbitnya sejumlah pers
bumiputra yang radikal. Dengan demikian, baiklah dipertanyakan
relevansi Balai Pustaka dengan pembangunan moral bangsa.
Terlepas dari koreksi tersebut, baiklah dicatat bahwa pekerjaan
komisi itu mula-mula memerika dan menerbitkan pelbagai cerita rakyat
daerah, kemudian menerjemahkan atau menyadur cerita-cerita klasik
Eropa, dan akhirnya menerbitkan karangan-karangan baru. Menurut Jakob
Sumardjo (1992: 33), sampai dengan tahun 1910 Komisi Bacaan Rakyat
belum menghasilkan bacaan, dan baru mulai tahun 1910 di bawah
pimpinan Dr. D.A. Rinkes dapat melaksanakan tugasnya sampai dengan
tahun 1916. Pada tahun 1917 Komisi Bacaan Rakyat diubah atau
dikukuhkan dengan nama Balai Pustaka. Empat bagian di dalamnya
adalah Bagian Redaksi, Bagian Administrasi, Bagian Perpustakaan, dan
Bagian Pers. Adapun tugasnya adalah memajukan moral dan budaya serta
meningkatkan apresiasi sastra.
Latar belakang didirikannya penerbit ini adalah adanya
kekhawatiran dari pihak pemerintah jajahan. Mereka mengkhawatirkan
terjadinya ronggrongan terhadap kekuasaan pemerintah yang disebabkan
oleh mulai bermunculannya bacaan-bacaan hasil penerbitan yang
diusahakan oleh kalangan swasta. Hal itu secara tegas dikemukakan oleh
Dr. A. Rinkes, sekretaris Balai Pustaka, sebagaimana dipetik oleh Ajip
Rosidi (1969:19):

Hasil pengajaran itu boleh juga mendatangkan bahaya, Kalau orang yang telah tahu
membaca itu mendapat kitab-kitab bacaan yang berbahaya dari saudagar kitab yang
kurang suci dan dari orang-orang yang bermaksud hendak mengacau. Oleh sebab itu
bersama-sama dengan pengajaran itu maka haruslah diadakan kitab-kitab bacaan yang
memenuhi kegemaran orang kepada pembaca dan memajukan pengetahuannya, seboleh-
bolehnya menurut tertib dunia sekarang. Dalam usahanya itu harus dijauhkan segala
yang dapat merusakkan kekuasaan pemerintah dan ketentraman negeri.

Karena itu, yang menjadi garapan utama lembaga penerbitan ini


adalah menerbitkan buku-buku yang dipandang baik oleh mereka, murah
harganya, dengan sasaran utama kelompok masyarakat yang baru saja
menguasai kemampuan membaca dan menulis (huruf latin). Kelompok ini
makin banyak jumlahnya sebagai hasil pendidikan sekolah yang
diselenggarakan bagi orang-orang bumiputra. Usaha pertama yang
ditempuh adalah mencoba mengumpulkan serta kemudian menerbitkan
cerita-cerita tradisional atau cerita rakyat. Dalam hal ini perlu diingat
bahwa cerita-cerita jenis itu pada waktu itu masih hidup dalam bahasa-
bahasa daerah (Sunda, Jawa, Madura, Bali, dsb.).
Dalam melaksanakan garis-garis kebijakannya, Balai Pustaka
secara tegas tidak mau menerbitkan naskah-naskah yang diperkirakan
akan menimbulkan masalah keagamaan; tidak menerbitkan masalah berisi
pandangan politik yang bertentangan dengan kebijakan pemerintah; serta
tidak akan menerbitkan buku-buku yang berisi penyimpangan moral.
Sekalipun didirikan mulai tahun 1908, serta kemudian diperluas
pada tahun 1917, pekerjaan Balai Pustaka sebenarnya barulah produktif
sesudah tahun 1920-an. Selain menerbitkan cerita-cerita rakyat, Balai
Pustaka juga kemudian menerbitkan karangan-karangan baru bentuk
novel. Bentuk karangan ini dikenal para pengarang kita setelah bergaul
dengan sastra Barat (Belanda).
Terlepas dari tuduhan bahwa Balai Pustaka melakukan sensor yang
sangat ketat, atau mungkin dengan tuduhan yang lebih keras lagi sebagai
alat pemerintah, tidak bisa dipungkiri kenyataan bahwa hasil pekerjaan
penerbit itu telah melahirkan kehidupan sastra baru. Pada periode ini
muncul sederetan nama pengarang beserta hasil-hasii karya ciptaanya.
Atas kenyataan itu pula maka beberapa orang ahli sastra lalu berpendapat
bahwa sastra Indonesia baru (modern) dimulai pada tahun 1920-an.
4.2 Daftar Karya

Penulisan novel dalam sastra Indonesia diawali dengan terbitnya


buku Azab dan Sengsara pada tahun 1921 karangan Merari Siregar. Buku
ini menceritakan tokoh gadis Tapanuli bernama Mariamin. anak Datuk
Baringin, yang urung diperistri oleh Aminuddin, masih saudara
sepupunya. Orang tua pemuda itu melarang anaknya menikahi Mariamin
karena Ia anak orang miskin. Sebelumnya orang tua Mariamin pun
tergolong orang berada, tetapi karena keserakahan Datuk Baringin maka
lalu jatuh miskin sepeningggal ayahnya, Mariamin dan ibunya hidup
dalam keadaan sengsara.
Akhirnya Mariamin menikah dengan seorang laki-laki bernama
Kasibun. Laki-laki itu sebenarnya sudah beristri serta mengidap penyakit
kotor, sehingga selama berumah tangga itu bagi Mariamin berarti penuh
penderitaan dan kesengsaraan. Dalam keadaan seperti itu ia meninggal,
yang kemudian segala penderitaan itu berlanjut kepada anak perempuan
yang ditinggalkannya.
Novel ini kurang berhasil. Novel ini bercerita tentang kehidupan
modern, tetapi gaya dan komposisinya tidak jauh berbeda dengan hikayat.
Komentar dan nasihat sering diarahkan kepada pembaca. Penggambaran
tokoh-tokohnya bersifat hitam-putih, penuh gaya memelas. Dari segi
tema, perlu disinggung bahwa tema kawin paksa seperti ini, dengan
segala seluk beluknya, akan terus mewarnai novel-novel periode ini
(Rosidi, 1969:25; Teeuw, 1967:54).
Sebelum menerbitkan Azab dan Sengsara, Merari Siregar juga
menerbitkan dulu buku Cerita Si Jasmin dan Si Johan pada tahun 1918.
Cerita itu merupakan saduran berdasarkan sketsa karya pengarang
Belanda bernarna Justus van Maurik.
Pada tahun 1922 terbit tiga buah novel yaitu Muda Teruna
karangan M. Kasim, Siti Nurbaya karangan Marah Rush, dan Apa
Dayaku karena Aku Perempuan karangan Nursinah Iskandar (nama
samaran Nun Sutan Iskandar).
Novel Muda Teruna menceritakan seorang pemuda Mandailing
bernama Marah Kamil yang tergila-gila terhadap seorang gadis bernama
Ani. Setelah mengalami dulu pelbagai petualangan dalam pengembaraan
di pelbagai tempat di Sumatra, barulah Ia mempersunting gadis
idamannya itu. Cerita ini kadang-kadang terasa realistis, kadang-kadang
anekdotal menimbulkan humor. Corak cerita hikayat sangat terasa.
Novel Siti Nurbaya adalah cerita tentang gadis Siti Nurbaya dengan
kekasihnya bernama Samsulbahri. Pasangan itu tidak sampai ke
pelaminan oleh karena larangan orangtuannya, melainkan karena ulah
orang lain. Sutan Mahmud, ayah Samsulbahri, terpaksa meminjam uang
kepada Datuk Maringgih untuk biaya menyekolahkan anaknya ke Betawi
(Jakarta). Datuk Maringgih adalah seorang saudagar kaya di Padang.
Sementara itu Baginda Sulaeman pun ayah Siti Nurbaya, terpaksa
berhutang pula kepada Datuk Maringgih yang usahanya dihancurkan oleh
akal jahat saudagar kaya itu. Baginda Sulaeman diancam akan diadukan
untuk dipenjarakan karena Ia tidak bisa membayar hutang itu pada waktu
yang telah dijanjikan. Ia akan terlepas dari ancaman itu asalkan anak
gadisnya diberikan untuk diperistri oleh Datuk Maringgih.
Karena terpaksa, akhirnya Siti Nurbaya diperistri oleh Datuk
Maringgih. Dengan hati merana, Samsulbahri mendaftarkan diri masuk
tentara kompeni; kemudian disebut dengan nama Letnan Mas (kebalikan
dari Sam, nama kecilnya). Baginda Sulaeman pun hidupnya makin
menderita, dan akhirnya meninggal.
Siti Nurbaya melarikan diri dari rumah Datuk Maringgih. Setelah
ayahnya meninggal, ja merasa bahwa kewajibannya sudah selesai.
Perbuatan itu tentu saja tidak dibenarkan oleh Datuk Maringgih. Ia
menyuruh salah seorang kaki tangannya membunuh Siti Nurbaya dengan
racun yang dimasukkan ke dalam makanan dagangannya.
Letnan Mas dikirimkan bersama pasukannya untuk memadamkan
pemberontakan di Minangkabau. Pemberontakan itu ternyata dipimpin
oleh Datuk Maringgih. Pada kesempatan itulah Samsulbahri membunuh
orang yang telah menghancurkan hidupnya itu. Ia sendiri terluka parah
karena sabetan golok Datuk Maringgih, dan kemudian meninggal.
Cerita ini merupakan bentuk novel yang sebenarnya yang pertama,
serta mengalami cetak ulang beberapa kali. Hal itu menjadi petunjuk
bahwa novel Siti Nurbaya adalah novel yang paling populer pada periode
ini, juga antara novel-novel sebelum Perang (Dunia II). Untuk masa yang
cukup lama novel ini banyak dibaca dan dibicarakan. Pernah pula
dialihkan jadi cerita film (sinema).
Di dalamnya masih bisa ditemukan pertaliannya dengan sastra
lama, yaitu terdapatnya bentuk-bentuk pantun yang digunakan dalam
bertukar curahan rasa oleh pasangan kekasih.
Novel Apa Dayaku karena Aku Perempuan adalah karya Nur St.
Iskandar yang pertama. Dalam novel-novelnya yang pertama pengarang
ini menggunakan nama samaran Nursinah Iskandar, Novel ini diterbitkan
di Jakarta oleh sebuah penerbit swasta. Di dalamnya diceritakan tentang
seorang gadis Minangkabau yang tidak berkesempatan untuk berjodoh
dengan kekasih pilihannya. Ia dipaksa dikawinkan dengan seorang
pedagang berasal dari Aceh. Sebelumnya, sang kekasih terpaksa pergi
meninggalkannya, merantau meninggalkan kampung halamannya.
Pada tahun 1924 Roestam Effendi menulis drama-bersajak dengan
judul Bebasari. Cerita drama ini adalah yang pertama yang ditulis dalam
bahasa Indonesia. Di dalamnya diceritakan tentang perjuangan seorang
pemuda yang berusaha membebaskan kekasihnya dari kekuasaan raksasa.
Cerita ini agak sulit dipanggungkan, cenderung tergolong ke dalam drama
kioset (hanya untuk dibaca; kloset adalah kamar ukuran kecil dalam
rumah, sebagai ruang baca). Dilihat dari ceritanya, lakon ini adalah
sebuah cerita simbolik, melambangkan Indonesia yang berada di bawah
cengkraman penjajah Belanda. Judul Bebasari menyiratkan makna
simbolik itu : bebas, merdeka. Karena itu, buku ini segera dilarang
beredar oleh pemerintah jajahan Belanda.
Setelah menulis drama, pada tahun 1925 Roestam Effendi
menerbitkan kumpulan puisinya yang berjudul Percikan Permenungan.
Dalam buku ini Roestam Effendi menulis sajak-sajak yang mencoba
meninggalkan ikatan-ikatan tradsi puisi lama. Gagasannya itu terkandung
dalam sajak di bawah ini.

Bukan Beta Bijak Berperi


Bukan beta bijak berperi,
pandai menggubah madahan syair,
Bukan beta budak negeri,
musti menurut undangan mair
Sarat syaraf saya mungkiri,
untai rangkaian seloka lama,
Beta buang beta singkiri,
sebab lagumu menurut sukma.
Susah sungguh saya sampaikan,
degup-degupan di dalam kalbu,
Lemah laun lagu dengungan,
matnya digamat rasaian waktu.
Sering saya susah sesaat,
sebab madahan tidak nak datang,
Sering saya sulit mendekat,
Bukan beta bijak berlagu,
dapat melemah bingkaian pantun,
Bukan beta berbuat baru,
hanya mendengar bisikan alun.

Pada tahun 1926 terbit dua buah novel dan sebuah buku prosa
berirama. Novel pertama berjudul Karam dalam Gelombang Percintaan
karya Kedjora, yang kedua berjudul Cinta yang Membawa Maut karangan
Nursinah dan Abd. Ager. Buku prosa berirama berjudul Pancaran Cinta
karya Sanusi Pane.
Novel Karam dalam Gelombang Percintaan adalah juga cerita
dengan latar belakang masyarakat Minangkabau. Di dalamnya diceritakan
tentang pemuda terpelajar Abdul Jalil yang hidup merantau di Jakarta. Di
sini ia menikah secara diam-diam dengan gadis Jakarta pilihannya. Akan
tetapi, ia ternyata kemudian tidak berdaya dalam menghadapi tekanan
adat yang mengharuskan dia mengawini jodoh yang sudah dipilihkan oleh
orang tuanya. Sekali lagi, penyelesaian cerita yang berakhir tragis. Agak
mengherankan, tokoh pemuda yang semula dilukiskan sebagai modern,
penuh kemampuan, dan sukses tiba-tiba berubah menjadi lemah tak
berdaya. Semua itu hanya bisa diartikan betapa kuatnya kekangan adat
sekalipun yang bersangkutan telah jauh meninggalkan kampung
halamannya.
Novel Cinta yang Membawa Maut adalah cerita tentang sepasang
muda-mudi yang secara berahasia menjalin percintaan. Tiba-tiba, ketika
sang pemuda meninggalkan kampung halamannya, si gadis dipaksa
dikawinkan dengan seorang laki-laki kaya pilihan orang tuanya. Cerita
berlanjut dengan kehidupan pasangan kekasih itu yang sama-sama
menderita. Tokoh wanita akhirnya memutuskan bunuh diri, sementara
tokoh pria menyerah pada penyakit tuberkulose jauh di tanah Kotaraja
(Aceh).
Kumpulan prosa berirama Pancaran Cinta merupakan buku karya
Sanusi Pane yang pertama. Dari karyanya ini terlihat bahwa Sanusi Pane
sebagai pengarang dalam beberapa hal berbeda dengan teman-teman
seangkatannya. Untuk beberapa lama Ia pernah bermukim di India,
berkenalan dengan gagasan-gagasan yang hidup di sana, berkenalan
dengan Rabindranath Tagore (seorang pujangga India terkenal), serta
sangat terpengaruh oleh faham theosofi yang demikian populer pada masa
itu.
Pada tahun 1927 sekali lagi terbit dua buah novel dan sebuah
kumpulan sajak. Kedua novel itu adalah Darah Muda karangan
Adinegoro (nama samaran untuk Djamaluddin; wartawan terkenal) dan
Pertemuan karya A. St. Pamuntjak. Kumpulan sajak berjudul Puspa Mega
karya Sanusi Pane.
Novel Darah Muda adalah juga novel yang berlatar belakang
masyarakat Minangkabau, serta juga mengenai perjuangan menentang
kawin paksa. Berbeda dengan novel-novel sebelumnya, dalam Darah
Muda ini golongan muda menang. Nurdin yang menjadi tokoh utama
novel ini akhirnya bisa menikah dengan gadis Rukmini pilihannya sendiri.
Dalam novel Pertemuan diceritakan tentang tokoh utama Masri
yang hidupnya mengalami pelbagai macam cobaan, yang antara lain
disebabkan oleh akibat kawin paksa dalam perjodohannya. Tetapi,
akhirnya ia berhasil menemukan kebahagiaan. Satu segi yang menarik
dalam buku ini adalah pengarang memperlihatkan bahwa kebahagiaan
adalah sesuatu yang harus diperjuangkan, bukan dengan jalan
memutuskan hubungan dengan yang lalu, melainkan dengan memadukan
yang lama dengan yang baru; dengan tetap berpegang pada faham
Minangkabau yang sesungguhnya segala pertentangan pendapat akan
dapat diselesaikan melalui musyawarah dan mupakat.
Kumpulan sajak Puspa Mega merupakan buku Sanusi Pane yang
kedua. Sajak-sajak yang terdapat di dalamnya kebanyakan ditulis dalam
bentuk soneta. Terasa bahwa puisinya itu lebih personal. Ungkapan-
ungkapannya tidak lagi terasa klise, lebih hidup, dengan pilihan kata yang
lebih sederhana.
Pengolahan rimanya lebih cermat serta tidak sepenuhnya
mengikuti pola-pola lama. Karena itu, sajak-sajak yang terkumpul dalam
buku ini terasa asli. Dalam contoh di bawah ini terlihat bagaimana Sanusi
Pane mengungkapkan perasaan gundahnya dalam bentuk soneta.

Teja
Lihat langit sebelah Barat
Lautan warna dibuat teja
Berkilau-kilau dari darat
Ke cakrawala bayangan mega
Melayang, melayang entah ke mana
Laksana mimpi ia menghilang
Keluh kesah menurut awan
Setelah menyala sebentar saja
Pergi perlahan bermuram durja
Hatiku menangis dipalu rawan
Mengenang ba’gia musnah terus
Setelah bermegah baru sejurus

Sebuah sajak lain perlu dipetik di sini karena di dalamnya berisi


pandangan Sanusi tentang bagaimana sajak itu sebenarnya.

Sajak
Dimana harga karangan sajak
Bukan dalam karangan saja
Dalam bentuk, kata nan rancak,
Dicari timbang dengan pilihannya
Tanya pertama keluar dari hati,
Setelah dibaca tamat,
Sehingga mana tersebut sakti,
Mengikat diri di dalam hikmat
Rasa pujangga waktu menyusun
Kata yang datang beduyun-duyun
Dari dalam bukan nan dicari
Harus kembali dalam pembaca,
Sebagai bayang di muka kaca,
Harus bergunang hati nurani.

Dalam petikan di atas terlihat bagaimana pandangan Sanusi Pane


tentang sajak. Ia lebih mengutamakan keindahan bahasa. Pandangannya
itu kemudian berubah, seperti diungkapkannya beberapa tahun kemudian
dalam sajak lain yang juga berjudul “Sajak”.
Pada tahun 1928 ada lima buah novel yang terbit, yaitu novel
Asmara Jaya karya Adinegoro yang kedua, Salah Pilih karangan Nur St.
Iskandar, Jeumpa Aceh karya H.M. Zainuddin, novel Salah Asuhan karya
Abdul Muis, Sengsara Membawa Nikmat karangan Tulis St. Sati, dan
novel Emas Disangka Loyang karya E. Joram.
Novel Asmara Jaya juga masih berlatarbelakangkan adat Minang,
sama dengan novel Adinegoro yang pertama. Dalam novel ini tokoh
utama pemuda Rustam berhasil menyadarkan orang tuanya dalam hal
perjodohan. Mereka yang semula berpegang kuat pada adat
memperjodohkan akhirnya mengizinkan Rustam untuk memperistri gadis
Sunda. Buku ini menarik karena gaya penuturannya yang lancar. Akan
tetapi, terasa kurang didukung oleh pelukisan warna lokal Demikian pula
kelemahannya dari segi kejiwaan pelaku. Perkawinan antarsuku
merupakan catatan tersendiri bagi novel ini.
Novel Salah Pilih bercerita tentang sepasang muda-mudi Asri dan
Masnah yang sudah berkenalan sejak kecil. Mereka baru menyadari
bahwa hubungan antara mereka sebenarnya berjalin asmara ketika Asri
dijemput untuk dipersuami oleh Saniah, gadis dari keluarga kaya tetapi
angkuh. Asri mulai dengan penyesalan-penyesalannya. Berbeda dengan
tokoh-tokoh utama dalam cerita lainnya, di sini Asni tidak mau mengalah
dalam penderitaan. Ia berjuang untuk membebaskan diri. Nasib pun
segera mengubah hidupnya. Saniah terbunuh, demikian pula ibunya yang
keras itu. Akhirnya Asri menikah dengan Asnah, gadis berbudi yang
sudah dikenalinya sejak kecil. Malah kemudian Ia diangkat sebagai
kepala negeri.
Dengan novel ini pengarang seperti hendak mengeritik beberapa
segi buruk dalam adat Minangkabau, serta sikap angkuh orang kaya atau
bangsawan. Cerita novel ini disusun dengan baik, sekalipun alur cerita
dan situasi terasa dibuat. Penyajian cerita terasa hidup.
Novel Jeumpa Aceh juga bercerita tentang kawin paksa. Tekanan
oleh keluarga atas pemilihan jodoh atau perkawinan ternyata menjadi
masalah juga di daerah Aceh. Dalam buku ini diceritakan tentang
terjadinya kawin paksa dengan akibat-akibat buruknya.
Novel Salah Asuhan adalah cerita tentang dua tokoh utama
Hanafi, pemuda Minangkabau terpelajar, dengan Corrie gadis Indo.
Kedua muda-mudi ini sudah bersahabat sejak kecil, di Solok. Mereka
berpisah karena Corrie harus bersekolah di Jakarta. Setelah kembali dari
Jakarta, Hanafi merasakan betapa besar cintanya terhadap gadis itu.
Connie seperti menghindar. Ia kembali ke Jakarta. Hanafi bersedih, dan
kemudian bersedia menikah dengan Rapiah, gadis pilihan ibunya. Hanafi
yang merasa derajatnya lebih tinggi, karena telah mendapat hak-hak yang
sama seperti orang Eropa, selalu memandang istrinya sebagai bodoh dan
rendah.
Karena tangannya digigit anjing Qua, Hanafi terpaksa berobat ke
Jakarta. Peristiwa itu ternyata mempertemukannya kembali dengan
Corrie. Mereka akhirnya menikah. Dalam hidupnya yang merasa diri
sebagai sederajat dengan orang Barat, ia melihat kenyataan bahwa dirinya
tidak sepenuhnya diterima oleh lingkungan itu. Setelah terjadi
percekcokan, akibat cemburu Hanafi, Corrie melarikan diri ke Semarang.
Di sana ia meninggal karena sakit, setelah sebelumnya sempat bentemu
dulu dengan Hanafi yang penuh penyesalan.
Hanafi kembali ke kampung halamannya. Namun kaum
kerabatnya serta lingkungannya, bahkan anaknya sendiri, dirasakannya
telah menerimanya sebagai orang “asing”. Ia mengakhiri hidupnya
dengan cara bunuh diri. Novel ini tergolong karya paling penting dalam
periode ini. Sekalipun Hanafi seperti terpaksa menikah dengan Rapiah,
tema novel ini sebenarnya bukan lagi kawin paksa. Masalah yang diolah
oleh pengarang adalah masalah rasial dan diskriminasi sosial dalam
pertemuan budaya timur dengan budaya barat. Persoalan martabat yang
khususnya terjadi di lingkungan para pemuda yang telah mendapat
pendidikan barat. Keunggulan novel ini bukan semata-mata dalam hal
tema, melainkan juga karena kecakapan penulisnya dalam mengolah
cerita.
Novel Sengsara Membawa Nikmat bercerita tentang persaingan
antara dua pemuda, yang satu berperangai baik, yang seorang lagi
berperangai buruk. Buku ini menarik terutama dalam cara melukiskan
kehidupan desa-desa di daerah Minangkabau.
Novel Emas Disangka Loyang menceritakan seorang anak muda
nakal yang tumbuh menjadi orang berbudi. Cerita ini lemah dan kurang
menarik.
Pada tahun 1929 terbit dua buah novel, yaitu novel Tak Putus
Dirundung Malang karya St. Takdir Alisjahbana, dan novel Kasih Tak
Terlarai karangan Suman Hs.
Novel Tak Putus Dirundung Malang adalah novel St. Takdir
Alisjahbana yang pertama, yang ditulisnya ketika Ia masih berusia 20
tahun. Novel itu menceritakan dua anak yatim piatu. Yang tertua laki-laki,
sedangkan adiknya perempuan. Mereka pergi ke Bangkahulu karena tidak
tahan akan penghinaan-penghinaan dari pamannya. Di sana Si pemuda
dipenjarakan, atas dakwaan palsu. Adiknya, yang tanpa lindungan
abangnya, menjadi mangsa laki-laki jahat. Akibat tidak tahan
menanggung malu, gadis itu bunuh diri. Setelah bebas dari hukuman, Si
pemuda lalu menjadi pelaut. Dalam keadaan batin merana penuh rasa
prihatin, ia celaka tenggelam ke dalam laut, tempat adiknya mengakhiri
hidupnya.
Kasih Tak Terlarai adalah sebuah hubungan percintaan antara
sepasang muda-mudi yang hampir putus karena gangguan laki-laki lain.
Tetapi akhirnya keduanya bisa berjodoh. Cerita ini merupakan cerita
detektif ringan.
Pada tahun 1931 terbit kumpulan puisi Sanusi Pane yang ketiga
berjudul Madah Kelana, sebuah novel kedua dari Suman Hs. berjudul
Percobaan Setia, dari kumpulan sajak A. Rivai (Yogi) yang berjudul
Puspa Aneka. Sajak-sajak yang terkumpul dalam buku Madah Kelana
tidak lagi melulu soneta. Bentuk-bentuk lain dicoba ditampilkan. Corak
pantun digubah dalam bentuk sajak seperti contoh di bawah ini.

Biarkan Daku

Biarkan daku
Mereka kembang;
Biarkan daku
Mengarang tembang.
Memuji tuan.

Lebih terasa lagi rekaannya dalam contoh berikut.


Betapa Kami Tidakkan Suka
Betapa sari
Tidakkan kembang,
Melihat terang
Simata han.
Betapa kami
Tidakkan suka
Memandang muka
Sijantung hati.

Dalam salah satu sajaknya, yang berjudul “Sajak”, terlihat bahwa


Sanusi Pane mengubah pendapatnya tentang pengertian atau hakikat
sajak. Bandingkan pendapatnya terdahulu dalam petikan di atas dengan
petikan di bawah ini.

Sajak
0, bukannya dalam kata yang rancak,
Kata yang pelik kebagusan sajak,
pujangga, buang segala kata,
Yang ‘kan cuma mempermainkan mata,
Dan hanya dibaca selintas lalu,
Karena tak keluar dari sukmamu,
Seperti matahari mencintai bumi,
Memberi sinar selama-lamanya,
Tidak meminta sesuatu kembali,
Harus cintamu senantiasa.

Nafas mencari kedamaian atau ketentraman lebih terasa dalam


kumpulan ini. Kebahagiaan akhirnya ditemukan dalam dinnya. Kepuasan
penemuan menyatunya jiwa dengan yang abadi disimbolkan dengan
pertemuan dengan segala yang dicintai. Dalam hal ini Sanusi Pane sering
memunculkan citra berlatarbelakangkan (budaya) India. Kecenderungan
yang mudah dipahami karena seperti telah disinggung di muka, ia pernah
lama bermukim di negeri itu. Dalam sajak berikut Sanusi Pane
mendamaikan hatinya dengan latar kebisuan peralihan waktu.

Candi Mendut

Di dalam ruang yang kelam terang


Berhala Buddha di atas takhta,
Wajahnya damai dan tenung tenang,
Di kiri dan kanan Boddhisatwa.
Waktu berhenti di tempat ini
Tidak berombak, diam semata;
Azas berlawan bersatu diri,
Alam sunyi, kehidupan rata.
Dalam hatiku, jangan bercita,
jangan lagi mengandung rasa,
Mengharap bahagia dunia Maya.
karena tak keluar dari sukmamu,
Terbang termenung, ayuhai, jiwa,
Menuju kebiruan angkasa
Kedamaian petala Nirwana.

Pada tahun 1932 buku yang diterbitkan lebih banyak lagi. Sebuah
di antaranya dalam bentuk drama, yaitu Kertajaya karya Sanusi Pane.
Novel- novel yang sering disebut adalah karena Mertua karangan Nur St.
Iskandar, Memutuskan Pertalian, Tidak Membalas Guna, Tak Disangka
(ketiganya) karangan Tulis St. Sati, Rusmala Dewi karya Hardjosumarto
dan Aman Dt. Madjoindo, Dian yang Tak Kunjung Padam dan Anak
Perawan di Sarang Penyamun keduanya karya Sutan Takdir Alisjahbana,
Mencahari Pencuri Anak Perawan karangan Suman Hs.
Novel-novel lainnya berjudul Nasib karangan Habib St.
Maharadja, Anak Dapat karya Ahmad Hatib, Sebabnya Menjadi Hina
karangan Ener, Narumalina karangan Or. Mandank, Kintamani karangan
Imam Supardi, dan Kasih Ibu karya Paulus Supit.
Terbitnya cerita drama Kertajaya menunjukkan bahwa
pengarangnya, Sanusi Pane, besar perhatiannya pada sejarah, atau
peristiwa-peristiwa masa lalu. Kertajaya mementaskan petikan sejarah
Jawa lama. Cerita tersebut merupakan drama tragedi. Kedua tokoh
utamanya, yaitu Kerjaya dan Damar Wulan, yang memperjuangkan
kebenaran, akhirnya gugur secara tragis, tanpa berhasil mencapai cita-
citanya.
Novel Karena Mentua menceritakan keluarga muda yang bahagia,
yang lalu mulai berantakan gara-gara campur tangan dan paksaan ibu
mertua. Ceritanya sendiri terasa mengenaskan. Tetapi, sekali lagi dengan
novel ini terlihat kepiawaiannya dalam membangun ketegangan.
Novel Memutuskan Pertalian berlatar budaya Minangkabau pula.
Seorang guru muda asal Minangkabau bertugas mengajar di Kalimantan.
Ia berusaha membujuk istrinya dan anaknya agar turut menyertainya ke
tanah perantauan, namun tidak berhasil. Keluarga sang istri melarangnya.
Mereka merasa lebih berhak.
Tidak Membalas Guna adalah kisah merantau juga. Seorang
pemuda Minang pergi merantau ke Jakarta setelah Ia menikahi seorang
gadis di kampunngnya. Kepergiannya adalah dengan tujuan untuk
melanjutkan pendidikan. Di tempat barunya ia berkenalan akrab dengan
seorang wanita. Tidak lama kemudian mereka lalu menikah. Pemuda itu
menelantarkan istrinya yang dengan penuh kesabaran selalu
menunggunya.
Cerita novel Tak Disangka berlangsung di Jakarta. Seorang
pemuda Minang pergi merantau ke Jakarta, yang kemudian berkenalan
dengan seorang gadis Betawi (Jakarta). Cinta asmara di antara keduanya
mulai bersemi. Padahal, si pemuda sadar bahwa bakal jodohnya sedang
menunggu di kampung. Akhir cerita agak mengejutkan, manakala Si
pemuda mengetahui bahwa gadis yang dicintainya itu sebenarnya adalah
adik tirinya.
Di antara novel-novel Tulis St. Sati, yang paling menarik adalah
novel yang ditulisnya lebih dulu, yaitu Sengsara Membawa Nikmat.
Novel Rusmala Dewi beranak judul Pertemuan Jawa dan Andalas.
Ceritanya memang tentang perkawinan antarnusa atau antarsuku. Seorang
gadis Minang berjodoh dengan pemuda Jawa. Cerita ini terasa hambar.
Tokoh-tokoh tidak terasa hidup karena hanya dijadikan alat gagasan
pengarang.
Novel Dian Yang Tak Kunjung Padam adalah cerita tentang
pemuda miskin bernama Yasin. Ia memadu cinta dengan gadis bernama
Molek, dari keluarga kaya dan terpandang di Palembang. Percintaan itu
berakhir dengan kegagalan karena si gadis itu dipaksa menikah dengan
seorang Arab yang kaya.
Akhir cerita terasa mengesankan. Yasin tua, yang telah
mengasingkan dirinya setelah luput mendapat kebahagian di masa
mudanya, menerima baik sepasang muda-mudi yang melarikan diri dari
rumahnya. Mereka meninggalkan rumahnya karena Si gadis hendak
dipaksa kawin dengan orang lain. Yasin tua merenung bercampur
bahagia, bahwa pasangan muda itu telah beroleh kemenangan, sementara
dirinya sendiri menemukan kegagalan.
Novel Anak Perawan di Sarang Penyamun adalah novel Takdir
Alisjahbana yang ketiga. Novel ini mula-mula (1932) dimuat sebagai
cerita bersambung dalam majalah, baru kemudian diterbitkan sebagai
buku. Seperti tersimpul dalam judulnya, novel ini adalah tentang
petualangan seorang gadis ditengah lingkungan para penyamun.
Novel Mencahari Pencuri Anak Perawan karangan Suman Hs.
adalah sebuah cerita detektif ringan. Tokoh pemuda yang mencuri
kekasihnya terhindar dari tuduhan karena sehari sebelumnya Ia bepura-
pura mendapat cedera ketika bermain sepakbola. Peristiwa itu disaksikan
oleh seluruh penonton.
Novel Nasib karya Habib St. Maharadja ditulis dalam bentuk
autobiografi. Tidak bisa dipastikan apakah ini sebuah cerita kehidupan
nyata yang direka atau sepenuhnya fiksi. Pelaku utamanya adalah seorang
kelana yang pernah lama tinggal di negeri Belanda, berpindah-pindah. Di
sana Ia menikah dengan gadis Belanda. Setelah berlangsung lama tinggal
di Jakarta, pasangan ini terpaksa bercerai karena tidak tahan terhadap
prasangka-prasangka masyarakat colonial, sang istri kembali ke Belanda,
sementara Si pemuda lalu menyadari akan tanggung jawabnaya sebagai
orang Indonesia. Bersama istri barunya, wanita Indonesia, Ia bekerja
menunaikan tugas negara.
Hal yang menarik dari novel ini adalah kemiripan temanya dengan
novel Salah Asuhan karangan Abdul Muis. Kata atau nama Indonesia
terus digunakan dalam novel ini. Gaya bahasanya hidup, temanya boleh
dikatakan agak lain dari novel-novel periode ini. Anak Dapat adalah
sebuah cerita sentimental. Novel itu menceritakan seorang anak yang
karena kejujurannya serta ketekunannya berangsur berubah dan penuh
penderitaan lalu meraih kekayaan dan kebahagiaan. Demikian pula,
tokoh-tokoh baik lainnya, sementara orang-orang jahat mendapat
hukuman setimpal. Hal yang perlu disinggung tentang novel pendek ini
adalah ciri tradisionalnya: temanya, diselipkannya pantun, bahkan tokoh
cerita itu asal mulanya adalah bayi yang ditemukan disebuah rumpun
bambu.
Novel Sebabnya Menjadi Hina adalah sebuah novel pendek.
Novel ini menceritakan nasib buruk yang dialami oleh seorang wanita.
Penderitaanya tidak kunjung berkurang, malah makin terpuruk. Hadirnya
novel ini tidak terlalu penting dalam perkembangan sastra Indonesia.
Demikian pula dengan novel pendek Narumalina Cerita
menyedihkan ini adalah tentang seorang ibu dengan anak angkatnya.
Keduanya meninggal tidak tahan menghadapi berbagai penderitaan yang
dialaminya.
Novel Kintamani mungkin diterbitkan di Surabaya oleh penerbit
swasta. Novel ini bercerita tentang kisah cinta antara seorang pemuda
Jawa dengan gadis Bali. Laki-laki itu adalah seorang pelukis. Melalul
tokoh ini , pengarang mengungkapkan kecintaanya akan negerinya serta
berpikir bahwa kesenian akan menjadi penunjang bagi Indonesia baru
yang akan datang.
Novel Kasih Ibu boleh dikatakan sebuah novel Moral. Di
dalamnya diceritakan tentang janda yang bijaksana dengan anak laki-
lakinya yang baik hati, Latar belakang cerita ini bukan lagi masyarakat
Minang.
Pada tahun 1933 terbit empat buah buku: satu buah cerita drama,
tiga buah novel. Buku cerita drama itu berjudul Sandyakala ning
Majapahit karya Sanusi Pane. Novel-novelnya berturut-turut adalah Kalau
Tak Untung karangan Selasih, Tuba Dibalas dengan Susu karangan
Asmaradewi, dan Pertemuan Jodoh karya Abdul Muis.
Drama Sandyakala ning Majapahit mementaskan peristiwa
penting dalam sejarah Jawa lama. Cerita itu berlangsung dengan latar
menjelang runtuhnya kejayaan Majapahit. Terbitnya buku ini makin
menunjukkan peranan Sanusi Pane dalam sastra drama, serta perhatiannya
akan sejarah lama.
Novel Kalau Tak Untung bercerita tentang dua orang anak yang
bersahabat sejak masih kecil. Yang satu bernama Masrul, anak laki-laki,
yang seorang lagi anak perempuan bernama Rusmani. Mereka tinggal
sekampung, tempat sekolahnya pun sama. Sama-sama pula anak orang
berada. Setelah menginjak remaja, persahabatan itu berubah menjadi
hubungan asmara. Akan tetapi, hubungan itu tidak bisa berlanjut sampai
pernikahan karena paksaan keluarga, terutama dari pihak Si gadis. Sekali
lagi si pemuda tidak berdaya menghadapi tradisi lingkungan
masyarakatnya di tanah Sumatra.
Cerita Tuba Dibalas Dengan Susu adalah sebuah cerita cinta dari
Sumatra Selatan (Muara Enim). Seorang anak muda bernama Nurdin
adalah anak yatim piatu. Gadis Nuriah adalah dari keluarga berada. Sesuai
dengan adat di sana, kedua remaja itu bebas bertemu untuk mencurahkan
rasa kasih sayangnya. Keduanya sudah mengikat janji. Namun, ketika
Nurdin sedang berada di Palembang menuntut ilmu, gadis Nuriah
diperistri oleh Tahir. Selama dipaksa diperistri Nuriah tetap menjaga
kesuciannya. Akhirnya Ia berjodoh dengan Nurdin. Manakala Tahir
dihukum karena perbuatannya, Nuriah datang untuk menolongnya.
Novel Pertemuan Jodoh yang ditulis oleh Abdul Muis ini berlatar
belakang kehidupan orang Sunda. Setelah pertemuannya di kreta api,
pemuda Suparta berlanjut menjalin hubungan dengan gadis Ratna.
Suparta anak ornag berada dan terhormat, sementara Ratna orang
kebanyakan murid sebuah sekolah guru. Ratna menyadari bahwa
kehadirannya tidak diterima oleh calon mertuanya.
Ayah Ratna jatuh perusahaannya, sehingga Ratna terpaksa
berhenti sekolah, dan bekerja. Ia memutuskan hubungannya dengan
Suparta. Hidupnya sendiri mengalami berbagai percobaan, sampai-sampai
harus berhadapan dengan pengadilan. Dalam keadaan putus harapan,
Suparta tampil hingga hidupnya bisa tertolong. Novel ini dipandang tidak
menyamai keunggulan novel Salah Asuhan yang ditulisnya lebih dulu.
Kronologi penerbitan karya di atas memperlihatkan adanya
kecenderungan bahwa penciptaan karya sastra pada periode ini terus
meningkat, sekalipun peningkatannya itu tidak menyolok serta tidak
konstan pada setiap tahun, Tahun 1928 dan tahun 1932 boleh dikatakan
dua tahun paling produktif dalam periode ini. Pada tahun 1928 terbit
enam buah novel, sementara pada tahun 1932 terbit tiga belas novel
dengan satu buah buku cerita drama. Tetapi, ada beberapa tahun yang
sama sekali tidak menghasilkan karya baru.
Keadaan tidak konstan seperti itu sulit diterangkan secara pasti
penyebabnya. Banyak faktor yang secara bersama-sama mempengaruhi
keadaan seperti itu. Dalam hal ini kita dapat pula memahaminya dari segI
penciptaan karya sastra sebagai kreasi seni.
Munculnya kreasi baru, apalagi dengan kualitas tertentu pula, agak
sulit diramalkan untuk bisa terjadi secara berkala. Tahun 1922 telah terbit
karya sebesar Siti Nurbaya, tetapi ternyata tidak segera diikuti oleh karya
-karya besar lainnya. Enam tahun kemudian (1928) barulah muncut Salah
Asuhan yang mampu mengimbanginya. Akan terlihat juga kemudian,
bahwa pengarang yang telah berhasil dengan karyanya yang pertama
belum tentu mendapat sukses yang sama dengan karya berikutnya. Abdul
Muis banyak dibicarakan karena kepunjulan novelnya Salah Asuhan,
tetapi tidak oleh novelnya Pertemuan Jodoh, padahal novelnya yang
disebut terakhir ini diciptakan lima tahun kemudian.
Dari daftar karya di muka bisa diketahui bahwa periode ini secara
keseluruhan telah menghasilkan tidak kurang dari 37 buah buku: 32 buah
dalam bentuk novel, 3 buah kumpulan sajak (termasuk I prosa lirik), dan
2 cerita drama. Berdasarkan pengelompokan itu, bisa disimpulkan bahwa
bentuk karangan yang mendominasi periode ini adalah bentuk novel.
Dalam hal ini pun tidak akan dapat dijelaskan secara pasti. Pemilihan
bentuk karangan lebih bersifat personal, hampir sepenuhnya bergantung
kepada pengarang masing-masing. Sanusi Pane, misalnya, di tengah
ramainya pemakaian bentuk novel Ia malah menulis puisi dan cerita
drama.
Bentuk novel merupakan bentuk baru pada masa itu. Lahirnya
dalam sastra Indonesia adalah karena masuknya pengaruh sastra Barat
(Belanda). Dengan demikian, bermunculannya bentuk novel pada periode
ini merupakan salah satu tanda dimulainya tradisi baru penulisan prosa
dalam sastra kita.
Tradisi bersastra, seperti telah dibahas di muka, telah berlangsung
lama tanpa bisa diketahui lagi sejak kapan dimulai. Tradisi itu hidup
dalam bahasa-bahasa daerah, masing-masing dengan anekaragam jenis
karyanya. Dalam persambungan itu periode 1900-1933 dapat dianggap
sebagai awal tumbuhnya tradisi sastra baru: bahasa yang digunakannya,
bentuknya, tema-temanya, serta semangat yang melatarbelakanginya.
Seperti umumnya perubahan sosial-budaya, munculnya sastra baru
pada periode ini masih memperlihatkan adanya ciri-ciri transisi. Dalam
hubungannya dengan sastra Melayu, misalkan, beberapa buah novel yang
disebut di muka masih menunjukkan corak alur hikayat. Bentuk yang
disebut terakhir ini merupakan salah satu bentuk prosa yang banyak
digunakan dalam sastra Melayu lama. Terdapatnya bentuk puisi pantun
yang “diselipkan” dalam beberapa buah novel juga merupakan salah satu
tanda terjadinya peristiwa peralihan ini. Sementara itu, dari segi bahasa,
bahasa Indonesia yang digunakannya masih dekat dengan bahasa Melayu.
Sedangkan pada jamannya, bahasa dan sarana sastra yang digunakan
dalam novel-novel itu mungkin dipandang sebagai bukan bahasa Melayu .
pada kenyataannya memang telah “bergeser” ke bahasa lndonea.
Dari segi corak penciptaan, tahun 1920-an diawal pertumbuhan
sastra Indonesia, karena pada masa inilah para pengarang mengungkapkan
perasaannya serta gagasan sendiri dalam karya ciptaannya. Dalam
hubungan ini, kita melihat adanya persamaan tema dalam karya-karya
mereka.
Telah sering disebut bahwa tema novel-novel pada peniode ini
umumnya tentang kawin paksa. Kesimpulan itu bisa dibenarkan, seperti
terlihat pada daftar di muka. Akan tetapi, di balik “keseragaman” itu
sebenarnya terdapat pula keanekaragaman. Perjodohan paksa dalam
cerita-cerita itu ada yang menimpa tokoh pria, ada juga yang menimpa
tokoh wanita. Atas paksaan itu, “cerita” yang menyerah, ada yang
menolaknya atau berusaha berontak, ada pula yang berusaha menemukan
jalan tengah. Akibat pemaksaan jodoh, cerita selalu berakhir dengan
memilukan, berbagai kesedihan dan penderitaan yang harus dialami
tokoh, kadang-kadang diakhiri dengan kematian tragis. Tokoh-tokoh
cerita yang menang dalam menentang paksaan itu selalu berakhir dengan
kebahagiaan.
Bila dihubungkan dengan situasi sosial-budaya, ramainya tema
kawin paksa dalam novel-novel periode dapat menimbulkan tafsiran
sedang terjadinya gejala perubahan, usaha menolak salah satu tradisi pada
masa itu.
Menurut adat, memilihkan jodoh untuk anak bukan suatu
kesalahan, melainkan sesuatu yang benar, malah semestinya dilakukan.
Karena itu, kaum tua (dalam hal ini diwakili oleh tokoh orang tua dalam
cerita) tidak pernah menganggapnya sebagai paksaan terhadap anaknya.
Dari sisi lain, kaum muda (dalam hal ini diwakili oleh tokoh-tokoh utama
cerita) mulai merasa tidak cocok dengan adat itu. Mereka menginginkan
kebebasan dalam memilih pasangan.
Situasi sosial-budaya mendorong terjadinya gejolak perubahan
seperti ini. Kaum muda terpelajar yang telah mengecap pendidikan (barat)
seperti mulai melihat dan merasakan kekangan adat ini. Rintisan-rintisan
untuk melakukan pembebasan lalu dimulai. Pengaruhnya pada penciptaan
karya sastra, seperti telah disinggung di muka, tidak hanya terbatas pada
tema, melainkan pada segi-segi lainnya; baik dapat ditelusuri langsung
maupun tidak.
Hai lain yang menimbulkan perhatian adalah mengapa tema-tema
kawin paksa itu seperti hanya terjadi di lingkungan masyarakat
Minangkabau.
Untuk memahaminya, kita perlu melihat siapa pengarangnya.
Pengarang-pengarang pada periode ini kebanyakan memang dari
lingkungan itu atau dari daerah Sumatra lainnya. Sedikit sekali yang
berasal dari luar daerah lain. Mengapa pula kebanyakan pengarang
berasal dari daerah itu, salah satu kemungkinan adalah karena merekalah
yang lebih banyak mengenal tradisi menulis dengan bahasa Melayu, atau
lebih terbiasa menggunakan bahasa Melayu, bahasa yang kemudian
dijadikan dasar bahasa Indonesia, Perkiraan itu terlihat bandingannya
kemudian. Pada periode-periode berikutnya kepengarangan di Indonesia
tidak lagi didominasi oleh penulis-penuims asal Sumatra. Malah mungkin
sebaliknya, karena pada perkembangan selanjutnya perkenalan dengan
tradisi menulis dalam bahasa Indonesia mulai merata.

4.3 Para Pengarang

Para pengarang yang muncul dalam peniode awal ini lebih dari
tiga puluh orang, yaitu (terurut secara alfabet) Abas St. Pamoentjak, Abd.
Ager, Abdul Muis, Adinegoro, Ahmad Hatib, Aman Dt. Madjoindo,
Asmaradewi, E.Joram, Habib St. Maharadja, Hardjosumarto, H.M.
Zainuddin, Imam Supardi, Kedjora, M. Kasim, Marah Rusli, Merari
Siregar, Muhamad Yamin, Nur. St. lskandar, Or Mandank, Paulus Supit,
Roestam Effendi, Sanusi Pane, Selasih, Suman Hs, Sutan Takdir
Ahihsjahbana, dan Tulis St. Sati. Di antara mereka ada yang hanya
menghasilkan satu buah karya saja, ada juga yang mampu menghasilkan
sampai lima buah. Keterkenalan mereka di bidang kepengarangan tidak
sama. Ada yang hanya pernah disebut namanya secara sepintas, ada juga
yang sering berulang-ulang disebut, atau malah dibicarakan secara agak
panjang lebar. Hal itu bergantung pada kualitas karya yang dihasilkanya.
Para pengarang yang sering disebut namanya antara lain Abdul
Muis, Adinegoro, M. Kasim, Marah Rusli, Muhammad Yamin, Nur St.
Iskandar, Sanusi Pane, Selasih, Sutan Takdir Ahisjahbana, dan Tulis St.
Sati. Abdul Muis (1886-1959) terkenal namanya karena bukunya yang
berjudul Salah Asuhan. Novel ini dipandang sebagai novel yang paling
penting pada periode ini.
Abdul Muis adalah aktivis Syarikat Islam serta pernah mendapat
hukuman dari pemerintah jajahan Belanda. Dari Minangkabau, tanah
kelahirannya, ia dibuang ke pulau Jawa, menikah dengan gadis Sunda,
dan menetap di Priangan (Bandung) sampai meninggal di sana.
Pandangan politiknya rupanya yang melatarbelakangi lahirnya novel
Salah Asuhan. Sedangkan pengalaman hidupnya di Bandung, di
lingkungan orang Sunda, mengilhami terbitnya novel Pertemuan Jodoh.
Seperti kita lihat, novel ini memang berlatar belakang kehidupan
di tanah Sunda. Tahun 1969 Abdul Muis (almarhum) mendapat hadiah
dari pemerintah (Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan), untuk bidang
sastra, atas prestasinya menulis Salah Asuhan.
Adinegoro adalah nama samaran. Nama sebenarnya Djamaludin.
Karyanya memang novel-novel pendek, tetapi memiliki akhir cerita yang
lebih baik; dalam kedua novelnya tokoh-tokoh muda mernperoleh
kemenangan dalam membebaskan diri dari kekangan kawin paksa. Ia
seorang wartawan terkenal. Pada periode berikutnya ía sering menulis
artikel-artikel tentang bahasa dan kebudayaan. Adinegoro dilahirkan pada
tahun 1904, meninggal tahun 1966.
M. Kasim adalah seorang guru. Namanya sering muncul karena Ia
sering menulis cerita pendek dalam majalah Panji Pustaka yang
diterbitkan oleh Balai Pustaka. Cerpen-cerpennya bernada humor.
Cerpen-cerpen itu kemudian diterbitkan dalam bentuk buku. Tahun 1924
Ia menang dalam sayembara mengarang yang diselenggarakan oleh Balai
Pustaka dengan naskah cerita anak-anak berjudul Pemandangan dalam
Dunia Kanak-kanak (Si Samin).
Marah Rusli dilahirkan di Padang pada tanggal 7 Agustus 1889)
meninggal di Bandung pada tanggal 17 Januani 1968. Ia adalah seorang
dokter hewan, sampai pensiun dari pekerjaannya itu. Sebelumnya Ia
pernah beberapa tahun bekerja di Sumbawa, kemudian lama di Semarang.
Dari riwayat hidupnya diketahui betapa berat penderitaan yang
dialaminya sebagai akibat tekanan adat keluarganya.
Nama Marah Rusli sering disebut karena novelnya yang berjudul
Siti Nurbaya itu. Novel itu demikian populer mengalami beberapa kali
cetak ulang, sehingga ada yang menyebut periode ini dengan Angkatan
Siti Nurbaya. Lama kemudian Ia menulis lagi, sebanyak dua buah novel.
Namun kedua karya itu tidak mampu menyamai keberhasihan novelnya
yang pertama. Karena buku Siti Nurbaya pula, pada tahun 1969 Marah
Rusli mendapat hadiah dan penghargaan dari pemerintah (Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan) untuk bidang sastra.
Nama Muhammad Yamin lebih dikenal sebagai cendikiawan atau
politikus. Ia dilahirkan di Sawahlunto pada tanggal 23 Agustus 1903,
meninggal di Jakarta pada tanggal 26 Oktober 1962. Seperti tergambar
pada sajak-sajaknya, Ia telah berpandangan jauh mengenai masa depan
Indonesia. Dalam kongres Pemuda tahun 1926 Ia menyajikan gagasan-
gagasannya tentang masa depan bahasa dan sastra Indonesia. Selain
menulis sajak, Yamin menulis juga cerita drama, seperti akan terlihat
pada pembicaraan periode berikut.
Dalam karangan-karangannya yang pertama, Nun St. Iskandar
menggunakan nama samaran Nursinah lskandar. Ia dilahirkan di Sungai
Batang, Maninjau pada tahun 1893. Mengikuti pendidikan di sekohah
guru di Bukit tinggi. Setelah lulus dari sana, Ia jadi guru. Pekerjaan itu
segera ditinggalkannya, dan pindah ke Balai Pustaka pada tahun 1919.
Kepindahan itu didorong oleh minatnya yang sangat besar akan bidang
kepengarangan. Di sana Ia menerjemahkan karya-karya sastra, menyadur,
menyunting naskah cerita pengarang lain, di samping mengarang sendiri.
Pekerjaanya sebagai redaktur amat berperan dalam pembakuan bahasa.
Sanusi Pane pernah menduduki beberapa jabatan. Ia pernah
bekerja di penerbit Balai Pustaka sebagai redaktur. Di samping itu, aktif
dalam bidang pendidikan di sekolah-sekolah kebangsaan. Ia juga aktif
dalam bidang kewartawanan. Tahun 1932 - 1933 Ia memimpin majalah
Timbul edisi bahasa Indonesia. Keistimewaan Sanusi Pane adalah bahwa
Ia lebih memperlihatkan minatnya untuk menulis sajak dan cerita drama
daripada novel. Dalam segi isipun Ia lebih cenderung mengungkapkan
kedamaian dan ketentraman bernada teosofis, serta besar per hatianya
pada bidang sejarah dan sastra lama. Semua itu rupanya ada kaitannya
dengan latar belakang pengalamannya selama berada di India.
Sanusi Pane meninggal di Jakarta pada tanggal 2 Januari 1968.
Tahun 1969 Ia (almarhum) memperoleh hadiah (penghargaan) sastra dari
pemerintah (Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan) untuk kumpulan
sajaknya Madah Kelana.
Selasih adalah nama samaran. Nama sebenarnya adalah Sariamin.
Nama lain yang digunakannya adalah Seleguri. Pengarang wanita ini
dilahirkan di Talu, Sumatra Barat, pada tahun 1909. Ia bekerja sebagai
guru, dan sudah mulai menulis sejak masa remaja. Di samping menulis
novel, ia juga menulis sajak. Sajak-sajaknya dimuat dalam majalah Panji
Pustaka (diterbitkan oleh Balai Pustaka) dan kemudian dalam majalah
Pujangga Baru. Bentuk karyanya itu terasa konvensional.
Sutan Takdir Alisjahbana dilahirkan di Natal, Tapanuli, Sumatra
Utara pada tahun 1908. Pada masa mudanya Ia lama tinggal di Sumatra
Selatan. Ia pernah menjadi guru, pernah pula bekerja di Balai Pustaka. Ia
adalah lulusan Sekolah Tinggi Hukum (Rechtshogeschool) di Jakarta.
Selain dikenal sebagai pengarang novel atau puisi, Takdir lebih dikenal
pula karena gagasan-gagasan serta usahanya dalam pengembangan bahasa
dan sastra Indonesia.
Tulis St. Sati tergolong penulis produktif pada periode ini. Di
samping menulis karangan ciptaannya sendiri, Ia pun menerjemahkan dan
menulis kembali cerita lama. Tahun 1929 ia menerjemahkan kaba Sabai
Nan Aluih dan karya M. Thaib Gelar St. Pamuntjak yang ditulis dalam
bahasa Minangkabau. Ia juga menulis dua buah cerita bentuk syair,
berturut-turut berjudul Syasir Siti Marhumah yang Saleh (1930) dan Syair
Rosina. Cerita yang disebut terakhir ini diangkat dari kisah yang benar-
benar terjadi di kota Betawi (Jakarta).

4.4 Kongres Pemuda 1928


Kongres pemuda yang paling dikenal adalah kongres pemuda
yang diselenggarakan pada tahun 1928 di Jakarta. Padahal sebelumnya,
yaitu tahun 1926, telah pula diadakan kongres pemuda yang tepat
penyelenggaraannya juga di Jakarta. Berlangsungnya kedua kongres ini
tidak semata-mata bermakna bagi perkembangan poliltik, melainkan juga
bagi perkembangan bahasa dan sastra Indonesia.
Dari segi politik, kongres pemuda yang pertama (1926) tidak akan
bisa dipisahkan dari perkembangan cita-cita atau benih-benih kebangkitan
nasional yang dimulai oleh berdirinya Budi Utomo pada tahun 1908,
berdirinya Indische Partij pada tahun 1911, Sarekat Islam tahun 1912,
Jong Java tahun 1915 (mula-mula namanya Tri Koro Dharmo), Jong
Sumatranen Bond tahun 1917, dll.
Tujuan utama diselenggarakannya kongres itu adalah untuk
mempersatukan berbagai organisasi kepemudaan pada waktu itu, yang
masing-masing bernuansa kedaerahan atau berlandaskan agama. Tujuan
itu mencerminkan telah mulai tumbuhnya rasa persatuan atau kesatuan
dalam gerakan kebangsaan, di samping mencerminkan mulai timbulnya
ketegangan antar berbagai bentuk gerakan kebangsaan (nasionalisme)
dengan pemerintah jajahan.
Salah seorang pembicara dalam kongres pemuda 1926 ini adalah
Muhamad Yamin. Pada kesempatan itu ia menyajikan pokok pembicaraan
mengenai masa depan bahasa dan kesusastraan Indonesia. Ia
mengutarakan keyakinannya bahwa bahasa Melayu lambat laun akan
menjadi pilihan bangsa Indonesia sebagai bahasa pergaulan dan bahasa
persatuan, serta kebudayaan Indonesia pada masa yang akan datang akan
diungkapkan dalam bahasa itu.
Masih pada tahun itu, Jong Java yang merupakan organisasi
pemuda terbesar pada masa itu, menyatakan bahasa Melayu sebagai
bahasa pengantar dalam pertemuan-pertemuannya. Setahun kemudian,
organisasi ini juga mulai berbicara tentang persatuan Indonesia dan
bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Pada tahun 1928 gagasan
persatuan itu menjadi benar-benar matang, termasuk gagasan penetapan
satu bahasa nasional.
Pada tahun itu organisasi-organisasi pemuda memutuskan
bergabung dalam wadah yang lebih besar Indonesia Muda. Pada tanggal
28 Oktober 1928 organisasi pemuda itu mengadakan kongres Pemuda di
Jakarta yang menghasilkan sebuah pernyataan bersejarah yang kemudian
lebih dikenal sebagai Sumpah Pemuda.
Pernyataan bersatu itu dituangkan berupa ikrar atas tiga hal:
negara, bangsa, dan bahasa. Bunyinya adalah sebagai berikut.
Pertama : Kami putera dan puteri Indonesia mengaku
bertumpah darah yang satu, Tanah Indonesia.
Kedua : Kami putera dan puteri Indonesia mengaku
berbangsa yang satu, Bangsa Indonesia.
Ketiga : Kami putera dan puteri Indonesia menjungjung bahasa persatuan,
Bahasa Indonesia.
Peristiwa ini dianggap sebagai awal permulaan bahasa Indonesia
yang sebenarnya: bahasa Indonesia sebagai media dan sebagai simbol
kemerdekaan bangsa. Pada waktu itu memang terdapat beberapa pihak
yang masih menyangsikan kemampuan bahasa Melayu untuk bisa
menjadi bahasa peradaban modern. Akan tetapi, tidak bisa dipungkiri
bahwa cita-cita itu sudah menjadi kenyataan: bahasa Indonesia tidak
hanya menjadi media kesatuan politik, melainkan juga menjadi bahasa
sastra Indonesia baru.
Kenyataan lain, yang menunjukkan bahwa sesudah ikrar itu tidak
segera diikuti oleh perkembangan sastra yang cukup pesat, lebih banyak
disebabkan oleh faktor-faktor lain (lingkungan) yang kurang menunjang:
terbatasnya orang-orang yang dapat mewujudkan cita-cita itu dalam
bidang sastra, lebih sedikit lagi jumlah penulis, banyaknya pembaca sastra
juga boleh dikatakan terbatas, situasi politik dan sosial sesudah tahun
1928 tidak mendukung terjadinya kemajuan pesat dalam perkembangan
sastra Indonesia.
Kongres Pemuda telah merumuskan landasan yang paling
fundamental. Perwujudannya dalam bidang sastra seperti juga dalam
bidang lainnya masih memerlukan waktu. Akan dilihat kemudian bahwa
perkembangan sastra Indonesia baru itu terus berlangsung, menyertai
perkembangan jaman.

Anda mungkin juga menyukai