Anda di halaman 1dari 13

UTS Mass Media Communication

Nama : Natasya Lee

Kelas : COMM24-3SP

NIM : 20110240587

1. Bagaimana sejarah perkembangan industri buku di Indonesia hingga saat ini?


Buku adalah jendela dunia. Kalimat ini tentunya tidak asing lagi bagi kita semua.
Buku juga merupakan gudang ilmu yang dapat menambah wawasan dan pengetahuan
kita. Namun, bagaimanakah sejarah perkembangan gudang ilmu tersebut di tanah air
hingga era serba digital saat ini?
Membahas soal buku, maka tidak lepas dari peran penerbit. Penerbit merupakan
lembaga yang bekerja memproduksi suatu buku atau media cetak sehingga tulisan penulis
bisa dinikmati pembaca. Sebab, melalui tangan penerbit yang mencetak puluhan buku
atau media cetak yang berguna dapat menggerakkan masyarakat di negara tersebut.
Bicara tentang dunia penerbitan Indonesia akan saya bagi menjadi sebenarnya
sudah ada sejak jaman sebelum penjajahan. Menurut Ajib Rosidi (sastrawan dan mantan
ketua IKAPI), secara garis besar, usaha penerbitan buku di Indonesia dibagi dalam tiga
jalur, yaitu usaha penerbitan buku pelajaran, usaha penerbitan buku bacaan umum
(termasuk sastra dan hiburan), dan usaha penerbitan buku agama.

Usaha Penerbitan Buku Agama

Penerbitan buku tentu tak lepas dari budaya tulis menulis nusantara. Pada masa
itu, dunia perbukuan masih berupa naskah-naskah yang ditemukan dalam bentuk buku
maupun kumpulan lembaran daun lontar yang ditulis tangan. Materi yang ditulis pun
beragam mulai dari naskah resmi kerajaan (perjanjian, keputusan raja), karya sastra,
babad (sejarah), hingga ayat-ayat suci. Misalnya kitab Sutasoma karya Mpu Tantular dan
Nagarakertagama karya Mpu Prapanca pada abad 14. Kemudian pada abad 16 mulai
muncul penulisan kitab-kitab agama Islam di bidang fikih, tasawuf, teologi, dan etika
untuk digunakan sebagai bahan ajar di pesantren yang tersebar di nusantara, terutama di
Jawa dan Sumatra. Pada jaman VOC, misi agama juga mempelopori pencetakan buku
atau kitab suci. Zending (surat pekabaran Injil) Protestan dilaporkan pertama kali datang
ke Indonesia tahun 1831, dan mendirikan sekolah di Tomohon, Minahasa, pada tahun
1850. Di sini mereka mencetak buku, selebaran, dan surat kabar

Usaha Penerbitan Buku Pelajaran

Pada abad 17 VOC mendatangkan mesin cetak ke Hindia Belanda. Ini menjadi
awal bagi dunia percetakan di tanah air. Dengan mesin cetak tersebut VOC mencetak
berbagai macam publikasi mulai dari pamphlet, brosur, Koran dan majalah. Pada tahun
1744 VOC menerbitkan surat kabar Bataviaasche Nouvelles di Batavia. Kemudian pada
tahun 1778 pemerintah Hindia Belanda mendirikan Bataviaash Genootschaap vor
Kunsten en Watenschappen, perpustakaan yang berisi koleksi naskah dan karya tulis di
bidang budaya dan ilmu pengetahuan di Indonesia. Pada waktu itu budaya membaca
hanya dimiliki oleh kaum penjajah, bangsawan, pemuka agama, dan sedikit kaum
terpelajar. Sejak Hindia-Belanda dikembalikan oleh Inggris tahun 1812, percetakan
(dalam hal ini surat kabar) dikendalikan sepenuhnya oleh negara, meski perusahaan
percetakannya berlokasi di negeri Belanda. Pada saat yang sama percetakan buku juga
dikelola oleh swasta, dimulai pada tahun 1839, dipelopori oleh Cijveer & Company. Tiga
tahun berselang, percetakan ini berubah nama menjadi Cijveer & Knollaert. Ia berpindah
tangan lagi ke Ukeno & Company, dan terus berpindah tangan karena kegagalan dalam
pemasaran produknya. Baru pada masa Bruyning Wijt , perusahaan percetakan buku ini
mengalami kemajuan, karena produk buku-buku mereka mulai dipublikasikan pula
melalui iklan-iklan di surat kabar

Penerbitan Buku Bacaan Umum

Penerbitan jenis ini dikuasai oleh orang-orang Cina. Pada akhir abad 19, terutama
di Jawa, tumbuh penerbit dan percetakan milik orang Tionghoa peranakan dan Indo-
Eropa yang menerbitkan sekitar 3000 judul buku, pamflet, dan terbitan lainya sebelum
kemerdekaan. Terbitan mereka terutama buku-buku cerita dalam bahasa Melayu
Tionghoa atau Melayu pasar. Sementara percetakan milik Indo-Eropa sebagian besar
menerbitkan karya-karya terjemahan dari Eropa ke dalam bahasa Melayu.
Karena khawatir dengan perkembangan usaha penerbitan milik orang Tionghoa
tersebut, pemerintah Belanda lalu mendirikan penerbit Buku Bacaan Rakyat. Tujuannya
untuk mengimbangi usaha penerbitan yang dilakukan kaum pribumi dan juga pemerintah
Belanda menganggap novel-novel terjemahan dari kalangan Tionghoa dan bumiputra
rendah mutunya, sehingga bisa merusak mental bumiputra. . Pada tahun 1908, penerbit
ini diubah namanya menjadi Balai Pustaka. Hingga jepang masuk ke Indonesia, Balai
Pustaka belum pernah menerbitkan buku pelajaran karena bidang ini dikuasai penerbit
swasta belanda.
Sementara pada masa pendudukan Jepang, menurut sejarawan Poesponegoro dan
Nugroho Notosusanto (1993), penerbitan buku dan seluruh jenis media yang ada
digunakan oleh tentara Jepang untuk kepentingan propaganda. Sehingga seluruh karya
harus sesuai dengan kepentingan propanda Jepang. Pada masa itu surat kabar berbahasa
Belanda, Cina, dan Indonesia dilarang terbit oleh pemerintah militer Jepang.

Penerbitan Era Orde Lama – Orde Baru – Reformasi – Sekarang

Tahun 1950-an , industri penerbitan buku Indonesia didominasi oleh Balai


Pustaka & mulai munculnya penerbit buku swasta nasional seperti Pustaka Antara,
Pustaka Rakyat (sekarang Dian Rakyat), Endang, dan beberapa lagi yang semuanya
berpusat di Jakarta, Ganaco di Bandung dan lain-lain. Pada saat ini pula muncul karya-
karya sastra dari para penulis seperti Idrus dengan Dari Ave Maria ke Djalan Lain ke
Roma ;Tambera karya Utuy Tatang Sontani ; Pramudya Ananta Toer dengan Dia Jang
Menjerah dan Bukan Pasar Malam ; Mochtar Lubis dengan Si Djamal. Pada awalnya,
mereka bermotif politis dan idealis. Mereka tergerak untuk mengambil alih dominasi para
penerbit Belanda yang setelah penyerahan kedaulatan di tahun 1950 masih diijinkan
beroperasi di Indonesia. Pemerintah orde lama waktu itu mendirikan Yayasan Lektur
yang memiliki dua fungsi utama yaitu untuk mengatur bantuan pemerintah kepada
penerbit dan mengendalikan harga buku. Dengan adanya yayasan ini, pertumbuhan dan
perkembangan penerbitan nasional dapat meningkat dengan pesat. Perkembangan
industri penerbitan buku, telah mendorong pendirian Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI)
pada 17 Mei 1950 yang pada waktu itu hanya beranggota 13 penerbit.

Penerbitan buku selama Orde Baru ditandai dengan penerbitan buku harus melalui
sensor dan persetujuan Kejaksaan Agung. Tercatat buku-buku karya Pramudya Ananta
Toer, Utuj Tatang Sontani dan beberapa pengarang lainnya, tidak dapat dipasarkan
karena mereka dinyatakan terlibat G30S/PKI. Sementara buku-buku Siapa Menabur
Angin Akan Menuai Badai, kemudian Era Baru, Pemimpin Baru tidak bisa dipasarkan
karena dianggap menyesatkan, terutama mengenai cerita-cerita seputar pergantian
kekuasaan pada tahun 1966.

Pemerintah saat itu sudah menyadari pentingnya mengatur masalah perbukuan


nasional. Oleh karena itu melalui Keppres No 5 Tahun 1978, Pemerintah membentuk
Badan Pertimbangan dan Pengembangan Buku Nasional (BPPBN) yang bertugas
melakukan berbagai kajian dan merumuskan konsep-konsep kebijakan di bidang
perbukuan nasional dimana pada akhirnya badan ini dibubarkan pada November 2011
oleh Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara karena tidak berfungsi secara optimal.

Sebelumnya, pada tahun 1987 pemerintah melalui Keppres No. 4 Tahun 1987
dibentuk Pusat Perbukuan di lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang
berfungsi untuk mengembangkan buku-buku pendidikan, mendorong industri perbukuan.

Era reformasi tahun 1999 dianggap sebagai tahun terbukanya pintu kebebasan di
segala bidang mulai dari sosial, ekonomi, dan politik, termasuk politik perbukuan. Pada
masa Orde Baru, pengadaan buku pelajaran dilakukan oleh pemerintah melalui penerbit
Balai Pustaka yang berstatus BUMN. Buku pelajaran mulai dari sekolah dasar hingga
SLTA wajib menggunakan buku terbitan Balai Pustaka. Sedangkan buku pelajaran dari
penerbit swasta hanya sebagai buku pelengkap saja. Sebagai akibat dari penandatanganan
perjanjian perdagangan bebas oleh Indonesia, General Agreement on Tariff and Trade
pada tahun 1994, dan ASEAN Free Trade Area pada tahun 1995, pemerintah mencabut
peraturan tersebut dan menyerahkan kepada mekanisme pasar. Sejak saat itu jumlah
penerbit baru terus bertambah dan bertumbuh. Buku-buku berbagai genre samakin
banyak ditemui. Mulai dari tren fiksi iksi Islami yang ditandai dengan kemunculan novel
Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman El-syirazi yang sangat melejit. Kemudian tren
fiksi petualangan pada tahun 2005 ada satu novel sangat laris yaitu Laskar Pelangi. Novel
tersebut mengisahkan tentang perjalanan seorang anak kampung yang berhasil
mewujudkan impiannya untuk kuliah di luar negeri.

Terakhir, munculnya buku elektronik. Apalagi di era digital seperti ini dimana
perkembangan teknologi yang semkakin pesat sehingga memudahkan masyarakat untuk
memperoleh berbagai jenis buku tanpa harus pergi membeli ke toko buku. Baik itu buku
novel, pelajaran, fiski, non-fiksi, baik dari dalam negeri maupun luar negeri dengan
bahasa asing. Orang bisa membaca buku melalui perangkat laptop ataupun handphone
dimanapun & kapanpun. Sehingga seharusnya budaya membaca tetap terlestarikan di
Bangsa Indonesia yaitu membaca buku elektronik.

Referensi :

Unknown. (2013). Sejarah Perkembangan Buku di Dunia dan Indonesia.


Tersedia : http://kolomsejarahdunia.blogspot.com/2013/12/sejarah-perkembangan-buku-
di-dunia-dan.html [3 Desember 2013]

Niam, Maulin. (2020). Sejarah dan Problematika Industri Buku di Indonesia.


Tersedia :
https://www.academia.edu/7906309/Sejarah_dan_Problematika_Industri_Buku_di_Indon
esia

Kanza, Rumah (2015). Sejarah Perkembangan Buku di Dunia dan Indonesia.


Tersedia : https://rumahkanza.wordpress.com/2015/10/30/sejarah-perkembangan-buku-
di-dunia-dan-indonesia/ [30 Oktober 2015]

Intan, Novia (2019). Seputar Penerbit di Indonesia, Mulai dari Sejarah Hingga
Perkembangannya. Tersedia : https://penerbitdeepublish.com/seputar-penerbit/ [20
Februari 2019]

2. Sebutkan tiga majalah yang paling memberikan pengaruh di Indonesia! Berikan alasan
anda!
Pertama, menurut saya adalah majalah Bobo. Siapa sih yang tidak mengenal
majalah anak-anak ini? Majalah Bobo adalah bacaan populer anak-anak Indonesia yang
terbit sejak 14 April 1973 & diterbitkan oleh Kelompok Kompas Gramedia. Maskot
Majalah Bobo adalah seekor kelinci yang nakal berwarna biru bernama Bobo yang selalu
mengenakan sweater berwarna merah berhuruf "b". Slogan Majalah Bobo adalah "Teman
Bermain dan Belajar," karena memberi pendidikan melalui bacaan yang menarik bagi
anak-anak sekaligus mengandung unsur permainan. Sesuai dengan slogannya, majalah ini
memberikan pengaruh positif sekali bagi anak-anak Indonesia, termasuk bagi saya pada
waktu SD. Kesesuaian konten dan visual warna-warni yang menarik minat anak-anak
yang disajikan oleh Bobo, menjadikan majalah ini sebagai primadona sebagai sumber
belajar yang tepat dan membuat orang tua mempercayainya sebagai bacaan untuk anak-
anak mereka. Karena itu, tak heran jika majalah ini seringkali menyabet penghargaan-
penghargaan. Salah satunya yaitu menyandang gelar sebagai media anak terbesar
pertama di Indonesia menurut Nielsen Research dan Top Brand Award. Hal tersebut
membuat majalah Bobo harus tetap mempertahankan eksistensi dari majalah di
Indonesia.
Kedua, yaitu majalah Tempo. Majalah Tempo adalah majalah berita
mingguan Indonesia yang umumnya meliput berita dan politik. Halaman
muka majalah Tempo menjadi sebuah topik yang menarik untuk dikaji
karena untuk beberapa kali, halaman muka majalah ini menimbulkan kontroversi.
Bahkan pada masa Orde Baru tahun 1982 misalnya, Surat Izin Terbit (SIT)
TEMPO pernah dibekukan oleh keputusan Menteri Penerangan Ali
Moertopo karena melanggar kode etik pers yang bebas dan bertanggung
jawab. Gaya penulisan majalah Tempo yaitu melakukan sebuah kritik atas apa
yang terjadi di pemerintahan dengan menggunakan cara yang halus secara naratif
untuk mengkritik pejabat pemerintahan dengan tetap menjaga prinsip
keberimbang. Karena itu, sejak penerbitan perdana pada April 1971, majalah Tempo
sudah berkali-kali mengalami pembredelan karena eksistensinya yang terlalu
menimbulkan kontroversi. Semua kasus yang menimpa majalah Tempo tersebut
tidak juga membuat awak redaksinya jera dalam menerbitkan berita yang kritis.
Hal tersebut sejalan dengan semangat dari Goenawan Moehamad, pendiri
majalah Tempo yang menginginginkan majalah ini menjadi sebuah jurnalisme
bermutu yang dilandasi semangat untuk tidak memonopoli kebenaran meskipun
kebenaran itu berada didalam tempat-tempat yang tidak disukai. Jika pada masa
sebelum pembredelan majalah Tempo lebih menggunakan kata-kata metafor pada
berita dalam mengajukan sebuah kritik, kini majalah Tempo lebih menggunakan
sebuah pemberitaan dengan gaya argumentatif dengan gaya laporan yang investigatif
dan sebuah pemberitaan yang analitis. Dengan memilih gaya yang baru seperti ini
pemberitaan dalam majalah Tempo tidak lagi perlu berbasa-basi menggunakan
metafor dalam memberitakan sebuah konflik. Penyampaian kritik dan konflik
dilakukan dengan cara yang lebih terbuka seperti tuntutan era kertebukaan.
Ketiga, yaitu majalah GADIS. Majalah ini merupakan salah satu majalah cetak
populer di kalangan remaja sejak tahun 1973. Seiring berjalannya waktu, Majalah Gadis
terus mengikuti berbagai perkembangan teknologi yang ada kemudian mengembangkan
majalah online atau e-magazine hingga saat ini. Majalah Gadis menyajikan berbagai
konten menarik yang bisa dinikmati oleh para audiens secara cepat melalui website resmi
milik mereka. Semua konten yang disajikan oleh majalah online yang satu ini selalu segar
karena target audiensnya merupakan remaja. Tak heran jika majalah remaja ini selalu
menyajikan berbagai konten menarik yang disukai oleh para remaja Indonesia. Kehadiran
gadis.co.id (website resmi mereka) pun semakin memudahkan audiens untuk mengakses
konten majalah online ini dengan mudah. Karakteristik yang dimiliki oleh majalah
GADIS adalah hadir dengan menyajikan berbagai informasi menarik yang berbentuk
data, foto, diagram, ataupun angka yang dapat diakses dengan mudah dan cepat melalui
berbagai platform yang tersedia seperti majalah cetak, aplikasi, hingga website judi
online. Kemudian, memiliki sifat yang sangat interaktif. Para audiens disini tak hanya
berperan sebagai pembaca atau penonton saja. Majalah Gadis juga tidak memberikan
jarak yang jauh antara media dengan realitas kehidupan masyarakat umum. Misalnya
seperti disediakannya berbagai pertanyaan atau kuis yang bisa diisi oleh audiens atau
audiens bisa menuliskan tanggapan mereka pada kolom komen. Lalu, majalah ini juga
menyediakan berbagai sarana yang menarik agar audiens bisa menghasilkan konten yang
mereka sediakan. Sehingga para audiens pun bisa saling terhubung serta terkoneksi satu
sama lain dengan kehadiran majalah online yang satu ini.

Referensi :
Servatol. (2020). Karakteristik yang Dimiliki Majalah Gadis sebagai New Media.
Tersedia :http://www.e-conservationline.com/karakteristik-yang-dimiliki-majalah-gadis-
sebagai-new-media/ [7 Maret 2020]
Khairuddin, Fachrul. (2011). Sejarah Majalah Tempo: Konflik dan Pembredelan.
Tersedia :
https://www.kompasiana.com/fachrulkhairuddin/5500651a813311a019fa768d/sejarah-
majalah-tempo-konflik-dan-pembredelan?page=all [7 Januari 2011]
2KOM02291.pdf, : BAB II Deskripsi Obyek Penelitian A.Sejarah dan Perkembangan
Majalah Berita Mingguan TEMPO, from
file:///C:/Users/ADMIN/AppData/Local/Temp/2KOM02291.pdf
944-3427-1-PB.pdf ( 1 Maret 2015) : ANALISIS SEMIOTIKA PADA COVER
MAJALAH TEMPOEDISI TANGGAL 23 FEBRUARI-1 MARET 2015, from
file:///C:/Users/ADMIN/AppData/Local/Temp/944-3427-1-PB.pdf

3. Apa saja masalah yang Anda lihat dalam industri perfilman di Indonesia? Jelaskan
alasan-alasan Anda!
Masalah pertama, yaitu dimana di mana KPI (Komisi Penyiaran Indonesia)
seringkali melakukan teguran kepada beberapa televisi yang berada di Indonesia.
Mayoritas televisi-televisi yang ditegur oleh KPI adalah tayangan-tayangannya yang
kurang mendidik, dan kurang memberikan contoh yang baik kepada masyarakat.
Memang di satu sisi, tentunya tayangan-tayangan tersebut untuk mencari keuntungan
sebesar-besarnya. Kemudian teguran tersebut tentunya tidak bisa dianggap hal yang
sangat tidak penting, teguran tersebut juga tentunya berfungsi untuk mengembalikan
fungsi media massa yang salah satunya adalah sebagai pendidikan dan kontrol social.
Tetapi dalam sistem pers yang mengutamakan social responsibility (tanggung jawab
sosial) tayangan tersebut tentunya tidak seenaknya dilakukan secara sengaja, apalagi
tindakan-tindakan tersebut dilakukan saat siaran langsung. Dan sangat disayangkan lagi,
ternyata pada saat ini dunia pertelevisian Indonesia menerapkan paham zelotisme yaitu
paham dimana orang yang berhasrat memenuhi kebutuhan akan meraih sampai merebut
sesuatu sesuai kebutuhan atau keinginan dirinya. Pertelevisian Indonesia saat ini benar-
benar menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya.
Nahasnya cara-cara tersebut sangat begitu menjijikan, dan justru semakin membuat
kualitas dan mutu pertelevisian Indonesa semakin terdegradasi. Hiburan-hiburan yang
berada di pertelevisian Indonesia semakin tidak terkendali, kata-kata yang tidak mendidik
pun sepertinya sudah menjadi hal-hal yang lumrah untuk menjadi bahan tertawaan,
sehingga pada umumnya masyarakat menjadikan hal tersebut sebagai hal yang sangat
wajar.
Belum lagi, permasalahan dari pihak luar yang sering timbul dengan cara
mengintervensi berita-berita yang provokatif, dan tendensi politik pertelevisian Indonesia
juga sering menjadi cara untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Sehinga hal
itu, dapat dikatakan sebagai zelotisme, karena pada saaat ini pertelevisian Indonesia
benar-benar menghalalakan segala cara untuk mendapatkan keuntungan sebesar-
besarnya.
Karena banyaknya tayangan yang kurang bermutu, dapat menimbulkan respon
yang berbeda-beda juga dari masyarakat. Jika semua orang cerdas merespon semua
tayangan yang disajikan oleh televisi, yakni dapat membedakan dan memfilter semua
informasi yang diperoleh, tentu tidak akan terjadi pembodohan oleh televisi bagi si
penonton. Namun jika yang menonton adalah anak-anak misalnya, mereka dapat
mencontoh, dan menerima segala infromasi tanpa memfilter mana yang benar atau baik
dan sebaliknya. Hal ini akan menjadi masalah tersendiri bagi tumbuh kembang sang
anak. Atau bagi penonton dengan tingkat pendidikan yang rendah, sama halnya dengan
anak-anak, mereka juga bisa menyerap semua hal tanpa memfilter informasi tersebut.
Sebagai contoh, salah satu sinetron yang berjudul “Ganteng-ganteng Serigala”.
Sinetron ini jelas sangat tidak bermutu & mencerminkan paham zelotisme. Menurut
KBBI (Kamus Besar Bahasa Indoensia), bermutu memiliki arti sebagai sesuatu yang
memiliki mutu atau kualitas yang baik. Dalam sinetron ini, jelas tidak mencerminkan
kualitas moral yang baik. Terutama jika penontonnya merupakan anak-anak. Banyak
sekali adegan yang menyimpang dan mengandung unsur kekerasan. Seperti adegan
perkelahian atau adegan mesra sepasang kekasih berseragam sekolah yang masih
merupakan pelajar, di lingkungan sekolah. Sinetron GGS telah mendapatkan beberapa
peringatan dari KPI mengenai beberapa adegan yang dinilai melanggar Pedoman Perilaku
Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS) yang telah dibuat oleh KPI. KPI juga
menilai sinetron ini tidak mengandung nilai-nilai pendidikan, ilmu pengetahuan dan budi
pekerti.
Masalah selanjutnya, kuatnya persaingan stasiun televisi swasta masa kini dalam
membuat masing-masing stasiun televisi berlomba menayangkan program acara yang
dianggap menjual dengan mengabaikan segi kualitasnya. Lagi-lagi, paham zelotisme lagi
yang diterapkan. Bukan hanya itu, orang-orangnya menempatkan acara-acara tersebut
pada jam-jam prime time sehingga dengan demikian mereka dapat memastikan bahwa
acara tersebut banyak ditonton sehingga dapat meningkatkan rating stasiun televisi. Inilah
bukti bahwa masyarakat dijadikan sebagai komoditas. Sangat disayangkan, justru pada
jam-jam prime time itulah tayangan yang disuguhkan tak lebih dari sekedar tayangan
menghibur yang sama sekali tak bisa dikatakan mendidik. Sinetron-sinetron dan bahkan
program acara komedi memuat unsur-unsur kekerasan di dalamnya.

Referensi :
Jedo, Kamelia. (2011). Televisi Kita, Masalah Kita. Tersedia :
https://www.kompasiana.com/arrenz.lama.itu.abadi/5500a438a333115b745114f8/televisi
-kita-masalah-kita [3 April 2011]
Marpaung, Bella. (2016).) : Hilangnya Tayangan Bermutu dalam Dunia Pertelevisian
Indonesia. Tersedia :
https://www.kompasiana.com/bellaanita/570608cac6afbd3207c5d98b/hilangnya-
tayangan-bermutu-dalam-dunia-pertelevisian-indonesia?page=all [7 April 2016]
Akbar, Ilham. (2018).) : Televisi Kita, Masalah Kita. Tersedia :
https://geotimes.co.id/opini/zelotisme-dunia-pertelevisian-indonesia/ [26 April 2018]
Hukum Online.com . (2016). 4 Permasalahan Krusial dalam Pelaksanaan UU Penyiaran,
from : https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt575c0cc15d7be/4-permasalahan-
krusial-dalam-pelaksanaan-uu-penyiaran/ [11 Juni 2016]

4. Apa saja permasalahan game yang Anda lihat di Indonesia? Jelaskan alasan Anda &
bagaimana solusinya!
Masalah dalam industry game di Indonesia bisa kita liat dari berbagai sisi yaitu
dari jumlah talent atau pembuat gamer berkualitas serta dari sisi keuangan yaitu investasi
yang masih sedikit dan beberapa regulasi developer kit game local yang masih belum
secara mudah didapatkan di Indonesia. Hal ini tentu saja menjadi tantangan bagi para
pengembang game local.
Dari segi keuangan, yaitu membutuhkan biaya pengeluaran yang besar. Program
Manager AGI Ardhan Fadhlurrahman mengatakan bahwa gim-gim buatan lokal dalam 5
tahun terakhir telah menunjukkan performa yang tak kalah dengan pengembang gim dari
luar negeri. Menurutnya, beberapa pasar utama dari gim asal Indonesia adalah Eropa,
Amerika Serikat, dan China. Dia mengakui bahwa pasar di dalam negeri sendiri masih
belum terlalu besar. Hal ini disebabkan oleh faktor-faktor seperti pengembang game
(gim) lokal yang memang menargetkan pasar luar negeri. Hal tersebut juga dilakukan
bukan tanpa alasan. Pasar gim di dalam negeri sebagian besar merupakan pemain free to
play yang gim-gimnya dibuat oleh perusahaan besar dengan urusan teknis yang sangat
kompleks sehingga membutuhkan biaya produksi dan promosi yang besar.
Sementara pengembang lokal biasa hanya terdiri dari tim kecil dan lebih
mengembangkan gim-gim premium atau berbayar, “Kebanyakan game buatan Indonesia
itu premium yang harus bayar dulu untuk main game-nya. Tapi sekarang sudah ada
beberapa yang mulai mengembangkan gim free,” kata Ardhan Fadhlurrahman. Sehingga
perlu juga bantuan untuk modal pengembangan proyek gim. Ardhan menuturkan hal ini
tak selalu harus dalam bentuk pendanaan langsung, tetapi bisa juga memfasilitasi pelaku
dengan pihak-pihak lain.
Kalau dari segi pembuat gamer local, sebenarnya Indonesia tidak kekurangan
talent. Tapi masalahnya adalah apakah mereka siap mengembangkan proyek game nya?
Kemudian apakah mereka punya modal yang cukup untuk membuat program game nya?
Karena itu, pemerintah juga diharapkan bisa memfasilitasi berbagai hal untuk
mendukung pengembangan industri gim lokal, termasuk bersama-sama membangun
kurikulum yang lebih formal untuk menciptakan talenta yang siap berkarya.
Jadi, yang dibutuhkan untuk mengatasi permasalahan dalam industri game di
Indonesia adalah support end-to-end dari seluruh pihak. Industri gim ini potensinya
besar karena bisa juga dikaitkan dengan sektor lain sehingga perlu kerja sama dari
pemerintah, swasta, dan masyarakat untuk menciptakan ekosistem dan industry game
yang lebih matang, Masyarakat Indonesia juga diharapkan bisa lebih mengenal gim-gim
buatan lokal, memainkannya, dan menyebarkannya ke orang lain. Dengan begitu, gim
buatan anak bangsa bisa lebih dikenal di warganya sendiri.

References :
Rizal, Adam. (2019). Apa saja Tantangan Pertumbuhan Industri Game Lokal di
Indonesia? Tersedia : https://infokomputer.grid.id/read/121661072/apa-saja-tantangan-
pertumbuhan-industri-game-lokal-di-indonesia [12 Maret 2019]
Gunawan, Arif. (2019). 5 Masalah Besar yang Industri Video Game Tidak Ingin Perbaiki.
Tersedia : https://www.idntimes.com/tech/games/arif-gunawan/masalah-besar-yang-
industri-video-game-tidak-ingin-perbaiki-c1c2/5 [17 Januari 2019]
Teknologi.bisnis.com , (19 Agustus 2020) : Tantangan dan Optimisme Industri Game di
Indonesia, from https://teknologi.bisnis.com/read/20200819/564/1280850/tantangan-dan-
optimisme-industri-game-di-indonesia
Bab 1234.pdf. Tersedia : file:///C:/Users/ADMIN/AppData/Local/Temp/bab%201234.pdf

Anda mungkin juga menyukai