Anda di halaman 1dari 3

Nama : Natasya Lee

Kelas : COMM24-3SP

NIM : 20110240587

Manusia Indonesia

Korea pernah dijajah oleh Jepang pada tahun 1876-1945 dan karena itu orang Korea punya
dendam terhadap orang Jepang. Hal ini berhasil dibuktikan orang Korea dengan bekerja keras
menghasilkan prestasi di bidang teknologi, ekonomi, dan budaya dalam waktu 70 tahun. Dalam bidang
teknologi, seperti yang kita semua telah ketahui bahwa Samsung adalah produser HP, smartphone, dan
gadget-gadget elektronik asal Korea , yang sudah jauh menggeser posisi Sonny & Nokia yang berasal
dari Jepang. Bukan hanya itu saja, di Indonesia, Restoran Korea juga mengalahkan Restoran Jepang
ditambah dengan Budaya Korean Pop/K-Pop, sinetron Korea, dan Boyband Korea yang semakin
merebak di Indonesia. Dalam bidang otomotif ada “H” dari Hyundai versus “H” dari Honda.

1
Indonesia juga pernah dijajah Jepang sebentar selama 3 tahun, tetapi rakyat sangat menderita
2
pada masa penjajahan itu. Anehnya, walaupun akhirnya Jepang kalah dalam Perang Dunia II dan Jepang
diwajibkan membayar pampasan perang kepada Indonesia, setelah 70 tahun Indonesia tidak berhasil
mengimbangi Jepang hampir di segala bidang. Malah di tahun 1974 terjadi peristiwa Malari
( Malapetaka 15 Januari), saat massa membakari mobil-mobil bermerk Jepang. Orang Indonesia
bukannya bekerja lebih giat untuk menyaingi Jepang, tetapi menyalahkan dan menyerang si pesaing
(menghakimi pihak lain).

Menurut teori Pusat Kendali (locus of control: J.B. Rotter, 1954), ada dua macam tipe manusia,
yaitu yang Pusat Kendalinya Internal dan Eksternal. Orang dengan Pusat Kendali Internal (PKI) percaya
bahwa dirinya sendirilah yang menentukan apa yang akan terjadi dengan dirinya, bahkan lingkungan di
sekitarnya pun bisa dia kendalikan sesuai dengan kebutuhannya. Sedangkan orang dengan Pusat Kendali
Eksternal (PKE) jika terjadi sesuatu, cenderung menyalahkan pihak lain, bukannya mengoreksi diri
sendiri.

Sebagian besar orang Indonesia tergolong PKE. Contohnya adalah dalam peristiwa sehari-hari
dimanadalam Pilkada ada calon Bupati/Walikota yang dinyatakan gugur karena tidak memenuhi
persyaratan maka kantor KPU-nya dibakar. Kalau kebanjiran menyalahkan pemerintah, kalau kekeringan
baru minta bantuan pemerintah. Si pemerintah juga lebih senang menyalahkan alam yang tidak
bersahabat.

Bahkan ketika perekonomian nasional mengalami perlambatan seperti sekarang ini, para
menteri di pemerintah pusat lebih senang menyalahkan faktor-faktor luar negeri (seperti meningkatnya
perekonomian dan kenaikan suku bunga di AS dll), daripada merekayasa perekonomian dalam negeri
untuk mendongkrak laju perekonomian nasional. Pengendara motor yang melawan arus, ketika
ditangkap polisi, akan membantah, “Loh, tiap hari saya liwat sini. Ada polisi, tetapi tidak pernah diapa-
apakan. Kok sekarang saya mau ditilang?”

Salah satu dampak dari sifat bangsa Indonesia yang PKE ini adalah mencari jalan instan. Tidak
punya ijazah, ya tinggal dibeli saja ijazahnya. Mau menang Pilkada, beli suara. Mau menang di
pengadilan beli hakimnya. Kalau tidak bisa dibeli, ya pakai kekerasan.

Termasuk Tuhan pun dijadikan faktor yang dijadikan sarana untuk mencapai sesuatu. Ingin lulus
Ujian Nasional, sholat Istigozah rame-rame. Demo anti kenaikan harga BBM, teriak “Allahu Akbar”.
Tetapi karena Tuhan tidak bisa dibeli, maka yang menikmati (yang terima duit) adalah para pemain di
balik agama, seperti para da’i komersial (yang sering masuk TV dan honornya 10 kali lipat dari ceramah
profesor), Biro perjalanan haji dan Umroh, dan para pemain politik yang menggunakan agama sebagai
kendaraannya.

Akhir-akhir ini bahkan makin kuat kecenderungan untuk lebih menuhankan agama ketimbang
menuhankan Tuhan (Allah) itu sendiri. Agama sudah dianggap jauh lebih penting dari pada negara,
pemerintah, bendera dan lagu kebangsaan, kewarganegaraan, dsb. Kartosuwiryo yang pernah ingin
membentuk NII (Negara Islam Indonesia) di tahun 1949 saja masih mencita-citakan sebuah negara yang
bernama Indonesia. Tetapi JI (Jamaah Islamiah) dan ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) maunya seluruh
dunia adalah daulah Islamiah, yang dipimpin oleh seorang Amir atau Khalifah saja. Padahal Allah sendiri
tidak pernah mengatakan begitu. Bukankah ini menuhankan agama lebih dari pada menuhankan Allah
itu sendiri?

Dampak serius dari mentalitas PKE ini adalah orang jadi malas kerja. Orang PKE yang tidak
berorientasi agama memilih hidup hedonis, mumpung muda hura-hura, tua foya-foya, mati masuk alam
baka (surga atau neraka? Emang gue pikirin?). Mereka terlibat Narkoba, seks berisiko, kenakalan dan
kriminal untuk memenuhi kebutuhuan hedonisnya. Sementara PKE yang orientasinya agama lebih rajin
berdoa (rukun Islam tidak pernah terlambat, termasauk berumuroh berkali-kali), tetapi tetap enggan
bekerja serius. Bahkan mereka pikir tidak apa-apa sedikit bermaksiat juga, karena mereka pasti sudah
diberi pahala dan ampun oleh Allah yang Maha Pengampun karena rajin sholat dan puasa. Itulah
sebabnya Indonesia tidak pernah lepas dari korupsi dan maksiat, walaupun mayoritas penduduknya
adalah muslim terbanyak di dunia. Itulah sebabnya Indonesia tidak pernah lepas dari STMJ (Sholat Terus,
Maksiat Jalan).

Padahal Indonesia sedang dalam era Bonus Demografi (2010-2045), yaitu saat penduduk usia
produktif (15-64 tahun) berjumlah dua kali lipat dari penduduk non-produktif. Ini merupakan peluang
emas untuk mendorong kemajuan di segala bidang untuk menyejahterakan dan memakmurkan bangsa,
khususnya karena negara-negara lain sudah melewati masa ini bertahun-tahun yang lalu (negara-negara
maju seperti Kanada dan AS sudah mengimport imigran untuk mengisi kekurangan tenaga kerja mereka)

Indonesia sendiri akan kehilangan peluang itu juga pasca 2045. Peluang emas inilah yang ingin
direbut oleh Presiden Jokowi dengan seruannya “Kerja, kerja, kerja!!!”. Maka kabinetnya pun
dinamakan Kabinet Kerja. Tetapi kalau bangsa Indonesia lebih suka berhura-hura atau hanya berdoa
saja, mungkin pada tahun 2045 (100 tahun setelah kemerdekaan), Indonesia bukannya menandingi
Korea atau Tiongkok (Cina). Tetapi keadaan bangsa kita semakin terpuruk dan semakin ketinggalan jauh
dari negara-negara lain.

Anda mungkin juga menyukai