Disusun Oleh :
1. Yusuf Efendi
NIM : 2001024
2. Ikhwan Ma’ruf
NIM :
3. Latifatus Sa’diyah
NIM :
Sholawat serta salam marilah kita haturkan kepada junjungan kita nabi
Muhammad SAW, yang telah membawa kita dari zaman kegelapan menuju zaman
terang benderang semilir keimanan.
Meskipun demikian kami mengakui bahwa apa yang kami sajikan kedalam
makalah ini masih banyak kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan. Karena itu,
kritik dan saran dari para pembaca yang budiman sangat diharapkan untuk perbaikan
selanjutnya, jikalau di dalam makalah ini terdapat kebenaran dan kegunaan, semua itu
berasal dari Allah Subhanahu Wata’ala sebaliknya, kalau di dalamnya terdapat
kekurangan dan ketidak smpurnaan semuanya itu karena kekurangan dan keterbatasan
kami sendiri.
Akhirnya, kami mengucapkan terimakasih kepada Bpk. Masduki, M.Ag. yang
telah memberikan kesempatan bagi kami untuk mengkaji materi ini, semoga kesediaan
tersebut mendapat berkah dan balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT, Aamiin.
Penyusun
II
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN ............................................................................................................ 1
BAB II
PEMBAHASAN............................................................................................................... 2
BAB III
PENUTUP ........................................................................................................................ 7
III
BAB I
PENDAHULUAN
Fiqih sebagai produk pemikiran manusia bukan sesuatu yang rigid terhadap
perubahan-perubahan, karena fiqih harus mampu memberikan jawaban-jawaban yuridis
terhadap berbagai persoalan hidup dan kehidupan manusia, sementara dinamika
kehidupan senantiasamenimbulkan perubahan-perubahan.
Oleh sebab itu, peluang kajian fiqih harus senantiasa terbuka, dan harus
dilakukan dengan memperhatikan implikasi-implikasi sosial dari penerapan produk-
produk pemikiran hukumnya itu, disamping tetap menjaga relevansinya dengan
kehendak doktrin-doktrin al-Qur'an tentang Tingkahlaku Manusia.
1
BAB II
PEMBAHASAN
Sedangkan menurut istilah syariat, definisi nikah dapat kita simak dalam
penjelasan Syekh Zakariya Al-Anshari dalam kitab Fathul Wahab berikut ini :
Dalam Islam, keabsahan akad nikah tergantung pada pemenuhan rukun dan
syaratnya. Bila memenuhi maka sah, dan bila tidak memenuhi maka tidak sah. Lima
rukun yang wajib terpenuhi adalah adanya calon suami, calon istri, shighat ijab qabul,
wali istri, dan dua (2) saksi, di mana masing-masing yang harus terpenuhi syaratnya
untuk mencapai keabsahan akad nikah.2
1
Syekh Zakaria Al-Anshari, Fathul Wahab, Beirut, Darul Fikr, 1994, juz II, halaman 38.
2
Ibrahim al-Baijuri, Hâsyiyyatus Syaikh Ibrâhîm al-Baijuri ‘alâ Syarhil ‘Allâmah Ibnil Qâsim al-Ghazi,
[Beirut, Dârul Kutubil ‘Ilmiyyah: 1420 H/1999 M], cetakan kedua, juz II, halaman 170.
3
Keputusan Bahtsul Masail PWNU Jawa Timur, [Surabaya: PW LBM NU Jawa Timur, 2015], jilid 1,
halaman 898-904.
2
Ketidak absahan akad nikah via video call ini karena dua faktor. Faktor
pertama, rukun sighat ijab qabul pernikahan yang dilakukan secara video call tergolong
shigat kinayah (tidak jelas). Padahal akad nikah disyaratkan menggunakan shigat yang
sharih atau jelas.
Dalam hal ini, pakar fiqih Syafi’i kontemporer al-Habib Zain bin Smith (lahir
1357 H/1936 M) menegaskan:
Faktor kedua, tidak adanya kesatuan majelis secara offline yang memungkinkan
kedua orang saksi melihat dua (2) pelaku akad, yaitu suami dan wali calon istri yang
menikahkannya, serta mendengar shigat ijab qabul dari mereka secara langsung.
Sebagaimana dimaklumi, akad nikah disyaratkan harus persaksian secara langsung oleh
dua orang saksi.
Hal ini sebagaimana dirumuskan dalam Keputusan Majelis Majma’ al-Fiqh al-
Islami nomor 6/3/45 tentang Pelaksanaan Akad dengan Perantara Alat Komunikasi
Modern yang ditetapkan dalam dalam Muktamar VI di Arab Saudi pada 17-23 Sya’ban
1430 H/14-20 Maret 1990 M:
4
Zain bin Ibrahim bin Smith, al-Fawaid al-Mukhtarah li Salik Thariq al-Akhirah, [Ma’had Dar al-Lughah
wa ad-Da’wah, 1429 H/2008 M], ed: Ali bin Hasan Baharun, cetakan pertama halaman 246.
3
ِ ْ اط
اْل ْش َها ِد ِف ْي ِه َّ أ َ َّن ْالقَ َوا ِعدَ ال
ِ سا ِبقَةَ ََل ت َ ْش َم ُل
ِ الن َكا َح َِل ْش ِت َر
Artinya, “Sungguh kaidah-kaidah yang telah dijelaskan (keabsahan akad
mu’amalah dengan perantara alat-alat modern) tidak mencakup akad nikah, karea di
dalamnya disyaratkan adanya persaksian.” (Keputusan Majelis Majma’ al-Fiqh al-
Islami nomor 6/3/45 tentang Pelaksanaan Akad dengan Perantara Alat Komunikasi
Modern dalam Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, [Damaskus: Dar al-
Fikr, tth], juz VII, halaman 157).
Rumusan hukum yang menetapkan ketidakabsahan akad nikah via video call
merupakan rumusan yang sangat berhati-hati seiring dengan prinsip fiqih: ‘Al-Abdha’
yuhtathu laha fauqa ghairiha” (Urusan kehalalan wanita bagi laki-laki lain harus
diperlakukan secara lebih hati-hati daripada urusan lainnya.”5
Ringkasnya, akad nikah via video call hukumnya tidak sah. Namun terdapat solusi,
yaitu calon suami menunjuk wakil untuk menerima akad nikahnya.
Akad nikah merupakan salah satu dari berbagai akad yang boleh diwakilkan kepada
orang lain. Sebagaimana wali nikah boleh menunjuk wakil untuk menikahkan anaknya,
karena tabarruk (mengharap berkah) dengan orang saleh, kiai, dan semisalnya,
demikian pula calon suami boleh mewakilkan akad nikahnya kepada orang lain.
5
Abu Bakr ibn as-Sayyid Muhammad Syattha ad-Dimyathi, Hasyiyah I’anah at-Thalibin ‘ala Hall Alfazh
Fath al-Mu’in, [Bairut: Dar al-Fikr, tth.], juz III, halaman 86.
4
ص أَ ْم َرهُ ِإ َلى آخ ََر ِفي َما َي ْق َب ُل ٍ يض ش َْخ ُ ي ت َ ْف ِو َ ص ُمتَ َم ِك ٍن ِلنَ ْف ِس ِه َو ِه ٍ ص ُّح َو َكا َلةُ) ش َْخ ِ َ) ت
ق ُم ْن ِج ٍز َ ع ْقدٍ) َك َبي ٍْع َونِ َكاحٍ َو ِهبَّ ٍة َو َر ْه ٍن َو
ٍ ط ََل َ ص ُّح (فِي ُك ِل ِ َ َفت،النِ َيا َبةَ ِل َي ْف َعلَهُ فِي َح َياتِ ِه
“Sah menunjuk wakil kepada orang yang secara syariat boleh melakukan sesuatu
yang diwakilkan kepadanya untuk dirinya sendiri.
Bahkan Nabi Muhammad saw sendiri pernah melakukannya, yaitu saat beliau
mewakilkan pernikahannya dengan Ummu Habibah ra kepada ‘Amru bin Umayyah ad-
Dhamri ra, sebagaimana dijelaskan oleh Abu Ishaq as-Syirazi:
Adapun cara calon suami mewakilkan akad nikahnya adalah dengan tiga langkah
sebagai berikut:
Langkah pertama, calon suami menunjuk orang yang secara hukum fiqih memenuhi
syarat menjadi wakilnya, yaitu orang yang ditunjuk sebagai wakil secara fiqih boleh
melakukan akad nikah tersebut untuk dirinya sendiri. Dalam hal ini, lebih baik
6
Zainuddin bin Abdil Aziz al-Malibari, Fathul Mu’în pada Hâsyiyyah I’ânatut Thâlibîn, [Indonesia, al-
Haramain], juz III, halaman 84-85
7
Abu Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf as-Syirazi, al-Muhaddzab fî Fiqhil Imâmis Syâfi’i, [Beirut], juz I,
halaman 348
5
menunjuk orang yang saleh, semisal seorang kiai yang paham tentang berbagai hukum
pernikahan sekaligus tabarruk kepadanya.
Langkah kedua, perwakilan tersebut dilakukan dengan akad yang jelas, semisal
calon suami berkata: “Saya tunjuk Anda sebagai wakil saya untuk menerima nikah Si
Fulanah binti Fulan untuk saya”.
Langkah ketiga, orang yang ditunjuk sebagai wakil menjawab: “Saya terima
penunjukan wakil darimu kepadaku untuk menerima nikahnya Si Fulanah binti Fulan
untuk Anda.”
Bila calon suami benar-benar mewakilkan akad nikahnya kepada orang lain, maka
akad nikahnya juga harus disesuaikan, agar sah dan tepat sasaran. Karenanya, wali
calon istri dalam akad nikah harus mengarahkan akad nikahnya untuk calon suami,
bukan untuk wakilnya.
Dalam hal ini, semisal ia dapat berkata: “Saya nikahkan dan saya kawinkan orang
yang menunjukmu sebagai wakil, yaitu Si Fulan bin Fulan, dengan anaku Fulanah
dengan mahar … (sekian) dibayar tunai
Lalu wakil calon suami segera menjawab: “Saya terima nikah dan kawinnya (Si
Fulanah binti Fulan) untuk orang yang menunjuk saya sebagai wakilnya, yaitu si Fulan
bin Fulan, dengan mahar tersebut dibayar tunai
Dengan tata cara seperti itu, pernikahan tersebut menjadi sah dan tepat sasaran
untuk calon suami tersebut. Semoga pernikahan yang akan dilangsungkan menjadi
pernikahan yang penuh berkah dan keluarga yang dibentuk dapat menjadi keluarga yang
sakinah mawaddah wa rahmah. Amin. 8
8
Ibrahim al-Bajuri, Hâsyiyyatul Bâjûri ‘alâ Ibni Qâsimil Ghâzi, [Semarang, Thoha Putra], juz I, hal 386.
6
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
sebagaimana kita ketahui, nikah merupakan sebuah ibadah yang sangat dianjurkan
oleh Rasulullah bagi mereka yang memiliki kemampuan untuk melaksanakannya.
Secara kebahasaan, nikah bermakna “berkumpul”.
Akad nikah merupakan salah satu dari berbagai akad yang boleh diwakilkan kepada
orang lain. Sebagaimana wali nikah boleh menunjuk wakil untuk menikahkan anaknya,
karena tabarruk (mengharap berkah) dengan orang saleh, kiai, dan semisalnya,
demikian pula calon suami boleh mewakilkan akad nikahnya kepada orang lain.
Akad nikah merupakan salah satu dari berbagai akad yang boleh diwakilkan kepada
orang lain. Sebagaimana wali nikah boleh menunjuk wakil untuk menikahkan anaknya,
karena tabarruk (mengharap berkah) dengan orang saleh, kiai, dan semisalnya,
demikian pula calon suami boleh mewakilkan akad nikahnya kepada orang lain.
3.2 Saran
Dalam makalah ini pastilah jauh dari kesempurnaan berangkat dari itu kritik dan
saran dari bapak dosen sunguh teramat penting bagi kami guna untuk membangun
mental kami, membangun semangat dan kualitas kami didalam kami berkarya bisa lebih
baik lagi hasil saat ini yang telah kami peroleh.
7
DAFTAR PUSTAKA