Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

MEMBERI AMPLOP KETIKA KONDANGAN

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas

Mata Kuliah masail fikhiyah

Dosen Pengampu: Bpk. Masduki, M.Pd.

Disusun oleh:

1. ABDUL AZIS

2. IRHAM MASRULOH

3. RIZKI SAHARA

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM SEKOLAH TINGGI ILMU


TARBIYAH BUSTANUL ULUM JAYA SEKTI KEC. PADANG RATU KAB.
LAMPUNG TENGAH

2023

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang telah memberikan
nikmat yang luarbiasa, keteguhan, serta kekuatan sehingga kami bisa menyelesaikan
makalah ini. Shalawat beserta salam semoga tercurahkan limpahkan kepada Nabi kita
semua Nabi Muhammad SAW, beserta keluarganya.

Dalam penyusunan makalah ini, kami telah berusaha semaksimal mungkin dan
tentunya dengan bantuan atau rujukan dari berbagai sumber, sehingga dapat
memperlancar penyusunan makalah ini. Untuk itu kami tidak lupa menyampaikan
banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah ikut membantu kami dalam
pembuatan makalah ini.

Kami ucapkan banyak terima kasih kepada Bapak masduki, M.Pd.I. Dosen mata
kuliah masail fikhiyah yang telah memberikan kesempatan kepada kami untuk
menyusun makalah ini.

Kami sadar betul bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karenanya penulis sangat menghargai masukan atau kritik yang membagun supaya bisa
lebih baik lagi dalam penyusunan makalah kedepannya.

Purwosari, 1 Maret 2023

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................... 2

DAFTAR ISI...................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang...................................................................................4

B. Rumusan Masalah..............................................................................4

C. Tujuan Penulisan................................................................................4

BAB II PEMBAHASAN

A. Tradisi memberi amplop kondangan.................................................6

B. Hukum Memberi Amplop Saat Kondangan .....................................7

C. Hukum menerima dan mengembalikan ampolop kondangan............9

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan......................................................................................11

B. Saran................................................................................................11

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................12

3
BABI
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Berbagai permasalahan yang muncul di tengah-tengah masyarakat, baik yang
menyangkut masalah ibadah, aqidah, ekonomi, sosial, pangan, kesehatan, dan sebagainya
seringkali meminta jawaban kepastiannya dari sudut hukum.
Dalam keadaan yang dimikian, maka berkembanglah salah satu disiplin ilmu yang
dinamakan ilmu Masail Al-fiqhiyah.Berbagai masalah yang dibicarakan dalam ilmu ini
biasanya amat menarik, unik dan sekaligus problematik. Hal demikian yang terjadi,
karena untuk menjawab berbagai masalah tersebut telah pula bermunculan berbagai
jawaban yang disebabkan karena latar belakang pendekatan dan sistem pemecahan yang
digunakan berbeda-beda.
Pada masa Nabi Muhammad SAW masih hidup, umat Islam dalam menghadapi
suatu persoalan langsung menanyakan pada Rosulullah dan Rosulullah lah yang langsung
memberikan jawaban. Sehingga tidak ada masalah yang terlalu rumit untuk tidak dapat
diselesaikan, karena segala sesuatu yang datang dari rosullah adalah wahyu yang haqq
dari Allah, sehingga tidak dapat diragukan lagi kebenarannyaNamun, semuanya berubah
setelah Rosulullah meninggal dunia dan mengakibatkan terputusnya wahyu, sehingga
para sahabat dalam menyelesaikan masalah-masalah yang memerlukan penjelasan
hukumnya
Studi yang menyangkut berbagai masalah Fiqhiyah tersebut berkembang seiring
dengan perkembangan masyarakat sebagai akibat dari kemajuan dalam bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi. Banyak hal yang dulu tidak ada kini bermunculan yang
selanjutnya menuntut jawaban dari segi hukum.Karena dimikian dekatnya masalah
hukum ini dengan kehidupan umatislam, menyebabkan bidang kajian masalah ini sudah
akrab dengan masyarakat. Dibandingkan dengan bidang studi lainnya seperti Tafsir,
Hadits, Ilmu Kalam, dan sebagainya. Fiqihlah yang paling banyak dikenal dan amat
popular di masyarakat Indonesia.
Ajaran agama Islam sangat sesuai dengan perkembangan zaman. Untuk itu perlu
adanya upaya untuk mengaktualisasikan ajaran agama Islam dalam konteks kekinian dan
kemodernan, agar nilai-nilai Islam secara efektif, yang sejalan dengan perkembangan dan
kemajuan dunia modern. Elastisitas dan fleksibilitas hukum islam yang sering
didengungkan makin dituntut pembuktiannya. Oleh karena itu, kajian fiqih Islam

4
mengenai berbagai persoalan (masail fiqhiyyah) yang dihadapi oleh masyarakat modern
merupakan kajian yang menarik dan aktual.
Dengan masalah yang sebagaimana dialami oleh masyarakat itulah peran Masail
Fiqhiyah untuk menjawab dari permasalahan tersebut. Maka dari itu perlu diketahui
sebelumnya tentang arti dari Masail Fiqhiyah itu sendiri, ruang lingkup yang dikaji dan
tujuan dari adanya disiplin ilmu Masail Fiqiyah ini.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah diatas dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana hukum memberi amplop kondangan ?
2. Bagaimana hukum menerima dan mengembalikan amplop kondangan ?

C. Tujuan penulisan

1. Untuk megetahui hukum memberi amplop kondangan

2. Untuk mengetahui hukum menerima dan mengembalika amplop kondangan

5
BAB II

PEMBAHASAN
A. Tradisi memberi amplop saat kondangan

Setiap masyarakat mempunyai jenis dan macam tradisi, terkait dengan pesta
pekawinan masyrakat Bukabu membawa amplop bagi yang diundang. Amplop sebagai
ungkapan rasa bahagia untuk diberikan kepada mempelai dan keluarganya. Di samping
itu, tidak ada pemberian yang cuma-cuma, segala sesuatu yang diberikan tidak luput dengan
niatan kembali atau imbalan.
Dalam kitab Al-Majmu’ tentang perbedaan shadaqoh dan hibah, bahwa tujuan
dari hibah ialah memperbaiki keadaan orang tua dengan anak, dan terkadang
kemaslahatan itu berada dalam pengembalian dari hibah, maka diperbolehkan adanya
pengembalian dalam sistem hibah. Sedangkan shadaqoh bertujuan untuk mencari pahala,
maka tidak berkenaan dengan adanya pengembalian. Sebagaimana Hadits yang
diriwayatkan oleh Bukhari dari Sayyidah, beliau berkata:
Artinya: “Bahwasanya Rasulullah SAW menerima hadiah kemudian membalasnya”. 7
Ada tiga pendapat mengenai sebuah ganti dalam hibah, yakni:

1. Wajib bagi penerima memberikan dan mencukupi sampai pemberi itu ridho,
berdasarkan Hadits dari Ibnu Abbas:

Artinya: “Sesungguhnya Nabi Muhammad terus menerus mencukupi seorang A’robiy


sampai ia ridha”.

2. Wajib mengganti sesuai kadar kemampuan pemberi, balasan tidak diharuskan untuk
dilebihi dan dikurangi. Karena mengharuskan pengganti ketika tidak adanya
ganti yang telah disebutkan kadar dan besarnya dikembalikan sesuai kemampuan
karena dianggap sebagi mahar mishil.

3. Dalam pengembalian dari hibah, wajib mencukupi sebagaimana adat yang


berlaku dalam mayarakat tersebut, karena adat lebih utama untuk diterapkan dan
wajib melihat ukuran yang telah ditentukan dalam adat setempat.

Mauss berpendapat bahwa konsep pemberian terdapat tiga hal, yakni


kewajiban untuk memberi, kewajiban untuk menerima, dan kewajiban untuk

6
membayar kembali. Tidak ada pemberian yang gratis atau cuma-cuma dan setiap
1
pemberian diiringi oleh imbalan. Proses sosial yang dinamik melibatkan antar
masyarakat. Proses dinamika ini terjalin melalui hakikat saling memberi yang
mengharuskan si penerima untuk mengembalikan dengan takaran lebih dan
mencerminkan adanya persaingan kedudukan dan kehormatan, sehingga saling tukar
menukar tidak akan ada habisnya.9
Berkaitan dengan hal tersebut kebiasaan masyarakat dalam melaksanakan
hajatan pernikahan dilaksanakan dengan pemberian sumbangan. Pemberian sumbangan
tersebut bisa berupa uang, beras, rokok dan hal-hal yang berkaitan dengan kebutuhan.
Adanya pemberian tersebut diperuntukkan kepada kedua mempelai. Segala bentuk
pemberian dimasyarakat selalu diikuti oleh sesuatu pemberian kembali (imbalan). Adanya
tradisi yang tujuan utama untuk mengembalikan kembali apa yang sudah diberikan
membuat sumbangan tidak bersifat sukarela. Maka perihal ini yang cenderung
membelenggu masyarakat. Tentunya bagi yang ekonominya terbatas membuat seorang
tersebut merasa dipaksa dan jika tidak membalas sumbangan tersebut dikenai sanksi
moral.
Hakikatnya pengertian sumbangan di atas ialah bagian dari aktivitas pertukaran
sosial untuk memperoleh sejumlah keuntungan. Prinsip dari pertukaran sosial pada
dasarnya merupakan implementasi dari konsep resiprositas. Pertukaran sumbangan
tersebut akan terjadi selama masing-masing orang menghendaki akan manfaat dari
sumbang- menyumbang. Aktivitas sumbang-menyumbang pada masyarakat Bukabu pada
saat ini bukan lagi karena solidaritas, namun dipengaruhi oleh kepentingan ekonomis.

B. Hukum memberi amplop saat kondangan


Bukan menjadi rahasia lagi di masyarakat, berkembangnya sebuah tradisi untuk
saling memberi hadiah ketika diselenggarakan semacam perayaan pernikahan, khitanan,
dan lain-lain. Pemberian hadiah itu pun memiliki kebiasaan yang berbeda, ada yang
berupa barang yang dikemas dalam sebuah kado, atau sejumlah uang yang dimasukkan
dalam selembar amplop. Model pemberiannya pun sangat beragam, ada yang
mencantumkan nama dan ada juga yang tidak mencantumkan nama sehingga tidak
diketahui dari siapa pemberian tersebut.Di suatu daerah tertentu, kebiasaan memberi
hadiah itu menuntut bagi penerimanya untuk membalas apa yang telah diberikan apabila
pihak yang memberi merayakan semacam perayaan serupa di waktu mendatang. Dengan
1

7
artian, pemberian itu terkesan menjadi sebuah hutang yang dibebankan kepada penerima
hadiah. Namun praktek itu sangat berbeda dengan di daerah lain, pemberian hadiah
dalam sebuah acara perayaan tertentu murni merupakan hadiah tanpa adanya tuntutan
untuk membalas di kemudian hari.Secara otomatis, berbagai model tradisi pemberian
tersebut akan menarik sebuah pertanyaan mengenai status hadiah tersebut. Apakah
memang pemberian itu murni hadiah sehingga tidak ada tuntutan bagi penerimanya
untuk mengembalikan di waktu mendatang, ataukah praktek tersebut justru merupakan
praktek hutang piutang yang menuntut adanya balasan serupa sebagaimana yang telah
terlaku dan mentradisis di berbagai daerah.Dalam kitabnya, Hasyiyah I’anah at-
Thalibin, syekh Abi Bakar Utsman bin Muhammad Syato ad-Dimyati memberikan
pencerahan yang sangat bijak terkait persoalan tersebut:

ْ =‫ح ِف ْي يَ ِد ِه َأ ْو يَ ِد َمْأ ُذ ْونِ= ِه هَ ْل َي ُك‬


‫=ونُ ِهبَّةً َأ ْو‬ ِ ‫فَر‬ ْ ‫ب ا ْل‬
ِ ‫ص=ا ِح‬ ِ ‫َو َما َج َرتْ بِ ِه ا ْل َعا َدةُ فِ ْي َز َمانِنَا ِمنْ َد ْف ِع النُّقُ ْو ِط فِي اَأْل ْف َر‬
َ ِ‫اح ل‬
‫ض ُه ْم بَ ْينَ ُه َما بِ َح ْم ِل اَأْل َّو ِل َعلَى مَا ِإ َذا لَ ْم‬
ُ ‫ َو َج َّم َع بَ ْع‬-‫الى ان قال‬ – ‫ض ُه ْم‬ ُ ‫ق الثَّانِ َي ج ْم ٌع َو َج َرى َعلَى اَأْل َّو ِل بَ ْع‬ َ َ‫ضا؟ َأ ْطل‬
ً ‫قَ ْر‬
‫اختِاَل فٌ تَ َعيَّنَ مَا‬ ِ ‫ف اَأْلش َْخا‬
ُ ‫ص َوا ْل ِم ْق=دَا ِر َوا ْلبِاَل ِد َوالثَّانِ ْي َعلَى مَا ِإ َذا اِ ْعتِ ْي= َد َو َح ْي‬
ْ  ‫ث ُعلِ َم‬ ْ ِ‫الر ُج ُو ُع َويَ ْختَلِفُ ب‬
ِ ‫اختِاَل‬ ُّ ‫يُ ْعتَ ِد‬
‫ُذ ِك َر‬
“Perihal adat kebiasaan yang berlaku di zaman kita, yaitu memberikan semacam kado
hadiah perkawinan dalam sebuah perayaan, baik memberikan secara langsung kepada
orang yang merayakan atau kepada wakilnya, apakah hal semacam itu termasuk
ketegori pemberian cuma-cuma atau dikategorikan sebagai hutang?. Maka mayoritas
ulama memilih mengkategorikannya sebagai hutang. Namun sebagian ulama lain lebih
memilih untuk mengkategorikan pemberian itu sebagai pemberian cuma-cuma….
Sehingga dari perbedaan pendapat ini para ulama mencari titik temu dan
menggabungkan dua pendapat tersebut dengan sebuah kesimpulan bahwa status
pemberian itu dihukumi Hibah atau pemberian cuma-cuma apabila kebiasaan di daerah
itu tidak menuntut untuk dikembalikan. Konteks ini akan bermacam-macam sesuai
dengan keadaan pemberi, jumlah pemberian, dan daerah yang sangat beragam. Adapun
pemberian yang distatuskan sebagai hutang apabila memang di daerah tersebut ada
kebiasaan untuk mengembalikan. Apabila terjadi praktek pemberian yang berbeda
dengan kebiasaan, maka dikembalikan pada motif pihak yang memberikan”
(lihat: Hasyiyah I’anah at-Thalibin, III/48, Maktabah Syamilah).
Dari pemaparan tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa pemberian yang biasa
dilakukan dalam momentum semacam pernikah, khitanan, dan lain-lain dibagi menjadi
dua; Pertama, berstatus Hibah (pemberian cuma-cuma) apabila kebiasaan yang berlaku
8
tidak ada tuntutan untuk mengembalikan. Kedua, berstatus Qordlu (hutang) apabila
kebiasaan yang berlaku di daerah tersebut menuntut adanya pengembalian.

Dalam memandang problematika ini, syariat begitu memperhatikan praktek bagaimana


sebenarnya hadiah itu diberikan dengan melihat indikasi-indikasi yang ada. Dengan
begitu akan sangat jelas maksud dari pihak pemberi, apakah pemberiannya tersebut
ditujukan untuk sedekah atau pemberian hutang yang menuntut balasan sesuai dengan
kebiasaan yang berlaku di masing-masing daerah.

C. Hukum menerima dan mengembalikan amplop kondangan

Salah satu tradisi walimah atau resepsi nikah di masyarakat itu para undangan
memberikan amplop berisi uang kepada kedua mempelai atau keluarganya sebagai tanda
rasa syukur atas resepsi, walimah, atau hajatan tersebut. Menurut fikih, apakah pihak
keluarga yang sedang melakukan resepsi itu harus membayar setiap amplop yang
diterimanya ataukah itu sebagai sedekah saja?

amplop hajatan itu harus diperjelas. Apakah maksud undangan yang hadir dan
memberikan uang tersebut adalah pemberian atau hibah sebagai tanda rasa syukur dan
gembira atas walimah dan resepsi tersebut? Ataukah, itu menjadi pinjaman yang harus
dibayar oleh shahibul bait sebagai tradisi yang berlaku di masyarakat?

 maksud amplop hajatan tersebut perlu dilihat juga dari tradisi masyarakat. Sebab,
tidak ada maksud tertulis dari pemberian tersebut, apakah utang atau hibah.
Misalnya, di beberapa desa ada tradisi di mana jika shahibul bait atau shahibul
hajat mengundang seseorang untuk menghadiri hajatan dan memberikan amplop
berisi uang, maka uang tersebut adalah pinjaman atau utang yang harus dibayarkan
oleh shahibul bait pada saat si pemberi itu hajatan kelak.

Tradisi ini, walaupun tak terucap dan tak tertulis, bersifat mengikat dan dipahami sebagai
pinjaman. Sebagaimana kaidah fikih yang menegaskan, "Sesuatu yang sudah menjadi
tradisi (‘urf) itu seperti disyaratkan." Maksudnya, sesuatu yang sudah menjadi kelaziman
dan tradisi di masyarakat itu, seperti menjadi syarat yang harus dipenuhi. Contoh lain,
tradisi yang terjadi di perkotaan. Setiap yang hadir memenuhi undangan dan memberikan
sejumlah uang atau barang sebagai pemberian dan hibah bukan utang piutang. Dengan
9
demikian, pemberian tersebut bukan sebagai utang, melainkan sebagai pemberian biasa
yang tidak wajib untuk dibayar.

 dalam adab-adab berwalimah, setiap Muslim dan Muslimah punya kewajiban untuk
memenuhi undangan, termasuk ikut bergembira atas walimah hajatan yang
diselenggarakan oleh saudaranya. Salah satu ungkapan kesyukuran tersebut itu
bermacam-macam. Di antaranya, selain hadir, juga memberikan sejumlah uang kepada
yang bersangkutan sebagai bantuan dan sejenisnya.

Sebagaimana firman Allah SWT, "Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan
benar." (QS al-Baqarah: 282).

Karena sebagai pinjaman, harus dilunasi sesuai dengan pokok pinjaman tanpa disyaratkan
kelebihan atau manfaat karena berstatus sebagai pinjaman transaksi sosial (qardul hasan).

 mempertimbangkan aspek regulasi atau hukum positif terkait dengan kebolehan untuk
menerima uang tertentu. Misalnya, ketentuan tentang gratifikasi dan sejenisnya agar
tetap taat hukum.

Dengan demikian, pemberian uang tersebut itu adalah hadiah bukan utang piutang yang
harus dibayar. Kecuali ada tradisi masyarakat yang dipahami secara tegas bahwa itu
adalah pinjaman, maka harus dicatat dan dibayar sesuai dengan pokok pinjamannya.

10
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Pemberian hadiah itu pun memiliki kebiasaan yang berbeda, ada yang berupa
barang yang dikemas dalam sebuah kado, atau sejumlah uang yang dimasukkan dalam
selembar amplop. Model pemberiannya pun sangat beragam, ada yang mencantumkan
nama dan ada juga yang tidak mencantumkan nama sehingga tidak diketahui dari siapa
pemberian tersebut.Di suatu daerah tertentu, kebiasaan memberi hadiah itu menuntut bagi
penerimanya untuk membalas apa yang telah diberikan apabila pihak yang memberi
merayakan semacam perayaan serupa di waktu mendatang. Namun praktek itu sangat
berbeda dengan di daerah lain, pemberian hadiah dalam sebuah acara perayaan tertentu
murni merupakan hadiah tanpa adanya tuntutan untuk membalas di kemudian hari.
Sehingga dari perbedaan pendapat ini para ulama mencari titik temu dan menggabungkan
dua pendapat tersebut dengan sebuah kesimpulan bahwa status pemberian itu dihukumi
Hibah atau pemberian cuma-cuma apabila kebiasaan di daerah itu tidak menuntut untuk
dikembalikan.Dari pemaparan tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa pemberian yang
biasa dilakukan dalam momentum semacam pernikah, khitanan, dan lain-lain dibagi
menjadi dua; Pertama, berstatus Hibah (pemberian cuma-cuma) apabila kebiasaan yang
berlaku tidak ada tuntutan untuk mengembalikan.Dengan begitu akan sangat jelas maksud
dari pihak pemberi, apakah pemberiannya tersebut ditujukan untuk sedekah atau
pemberian hutang yang menuntut balasan sesuai dengan kebiasaan yang berlaku di
masing-masing daerah. Misalnya, di beberapa desa ada tradisi di mana jika shahibul bait
atau shahibul hajat mengundang seseorang untuk menghadiri hajatan dan memberikan
amplop berisi uang, maka uang tersebut adalah pinjaman atau utang yang harus
dibayarkan oleh shahibul bait pada saat si pemberi itu hajatan kelak.

B. SARAN

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Maka penulis
mohon kritik dan saran guna perbaikan untuk masa yang akan datang

11
DAFATAR PUSTAKA

Lirboyo net

https://ekonomi.republika.co.id/berita/pgnej8370/konsultasi-syariah-amplop-hajatan-
sebagai-utang

https://bincangmuslimah.com/ibadah/amplop-hadiah-pernikahan-bagaimana-hukumnya

12

Anda mungkin juga menyukai