Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH TAFSIR MUAMALAH

“Tafsir Muamalah ayat tentang (Hutang Piutang)”

Disusun oleh:
Kurnia Wulan Sari 2223120031
Zakia Lovita Sari 2223120051
Citra Ganda Kusumawati 2223120036
Puput Chaila Pratiwi 2223120055

Dosen Pengampu:
Amir Abdullah, Lc, MA.

PRODI HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI FATMAWATI SUKARNO
BENGKULU
TAHUN 2023 M/ 1443 H
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
“tafsir muamalah ayat tentang (hutang piutang)” tepat pada waktu yang
ditentukan.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
dosen pada bidang studi/mata kuliah tafsir muamalah. Selain itu, makalah ini juga
bertujuan untuk menambah wawasan tentang topik makalah yang dibahas, baik
bagi pembaca maupun penulis.

Kami Mengucapkan terima kasih kepada Bapak Amir Abdullah, Lc, MA.
selaku dosen bidang studi/mata kuliah tafsir muamalah yang telah memberikan
tugas ini sehingga dapat menambah wawasan dan pengetahuan sesuai dengan
bidang studi yang kami tekuni.

Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan sangat kami nantikan
demi kesempurnaan makalah ini.

Bengkulu, Maret 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................... i


KATA PENGANTAR ................................................................................. i
DAFTAR ISI ................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................. 2
C. Tujuan ............................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Sebab Turun Ayat Muamalah Serta Hadist Pada Hutang Piutang ..... 3
B. Perkara/Tafsir Perkata Setiap Ayat .................................................... 5
C. Makna Global Dari Setiap Ayat ......................................................... 9
D. Hukum Fiqih Yang Terkandung Dalam Ayat Hutang Piutang .......... 10
E. Hukum/Faidah Dari Ayat Yang Dibahas ........................................... 11

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ....................................................................................... 12
B. Saran .................................................................................................. 12

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sebagai wahyu ilahi, al-Qur‟an mengandung arti yang bisa diterima
oleh semua kalangan yang menjadikan inti dasar agama Islam dan menjelaskan
hukum-hukum kaidah al- Qur‟an adalah landasan berhujjah. Al-Qur‟an terdiri
dari beberapa surah yang diawali surah al-Fatihat sampai dengan surah an-
Nas.1
Dalam membentuk sumber-sumber hukum perlu adanya penafsiran
terhadap al-Qur‟an melalui munasabah. Secara etimologi munasabah berarti
sesuai, patut, cocok. Sedangkan secara terminologi, munasabah adalah
Pemikiran manusia yang mengusahakan dalam menggungkap isi kandungan
surah dengan surah ataupun ayat dengan ayat yang mampu diterima oleh akal
untuk dijelaskan kepada masyarakat . Oleh karena itu, rahasia ilahi dapat
terungkap dengan jelas untuk membantah adanya orang yang tidak percaya atas
adanya kitab al-Qur‟an sebagai mukjizat Allah melalui Rasulnya2
Sebagai makhluk sosial, manusia dalam kehidupanya mempunyai
kebutuhan yang banyak sekali. Manusia melakukan pekerjaan mu‟amalah
sehari-hari demi memenuhi dalam keberlangsungan kehidupanya seperti jual
beli, sewa, maupun berhutang. Hal ini merupakan dampak perekonomian di
masyarakat pada umumnya.3
Bermu‟amalah untuk mencari rizqi hendaknya menggunakan syari‟at
Islam. Dalam pencatatan hutang-piutang, diperbolehkan tanpa adanya suatu
tambahan apapun yang dapat mengakibatkan kesulitan bagi yang berpiutang.
Hal ini dimaksudkan untuk tolong menolong kepada sesame khususnya bagi
kaum muslim yang sedang merasaka kesulitan dan menangguhkan
pembayaranya ketika sudah dalam waktu yang telah disepakati. Dan ketika
1
Wahbah Zuhaili, Paradigma Hukum dan Peradaban, (Surabaya : Risalah Gusti, 1995)h.
1
2
Usman, Ulumul Qur’an ( Yogjakarta : Teras, Cetakan I, 2009 ) 161-162
3
Sahiron syamsuddin, Studi Al-Qur’an Metode dan Konsep, ( Yogjakarta : elsaq press,
Cetakan 1, 2010 ) h.268

1
tidak mampu untuk melunasi hutangnya, maka yang berpiutang tidak boleh
memaksanya sampai ia mampu membayar dalam hutangnya. Tindakan seperti
itu merupakan sikap terpuji.4
Banyaknya kasus yang terjadi di masyarakat tentang pentingnya
pencatatan hutang-piutang menjadi sebuah landasan untuk mengkajinya secara
lebih rinci agar dalam penanganan dapat terselesaikan secara kekeluargaan dan
terciptanya kehidupan yang damai
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sebab turun ayat muamalah serta hadist tentang hutang piutang?
2. Bagaimana perkara/tafsir perkata setiap ayat?
3. Bagaimana makna global dari setiap ayat?
4. Bagaimana hukum fiqih yang terkandung dalam ayat tentang hutang
piutang?
5. Bagaimana hukum/faidah dari ayat yang dibahas?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui sebab turun ayat muamalah serta hadist pada hutang
piutang.
2. Untuk mengetahui perkara/tafsir perkata setiap ayat.
3. Untuk mengetahui makna global dari setiap ayat.
4. Untuk mengetahui hukum fiqih yang terkandung dalam ayat tentang hutang
piutang.
5. Untuk mengetahui hukum/faidah dari ayat yang dibahas.

4
Kadar M. Yusuf, Tafsir Ayat Hukum, ( Jakarta : Amzah, 2013) h.189

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sebab Turun Ayat Muamalah Serta Hadist Tentang Hutang Piutang


Hutang-piutang dalam Istiah bahasa Arab adalah al-Dain jamaknya al-
Duyun dan al-Qard. Al-Qard dalam bahasa Arab bermakna al-Qath’u yang
artinya memotong, sedangkan dalam terminologi Islam artinya menyerahkan
uang atau harta kepada seseorang yang memerlukanya dan berkewajiban
melunasu hutangnya lain dilain waktu. Hutang-piutang merupakan dua kata
yang tak bisa dipisahkan dan saling berkaitan satu sama lainya. Secara
etimologi hutang adalah disangkut pautkan dengan barang atau harta yang
dipinjamkan dan berkewajiban mengembalikanya kembali. Hutang-piutang
menurut Rasjid adalah memberikan sesuatu kepada orang dengan ikatan
perjanjian dan berjanji akan mengembalikanya dikemudian hari dengan sama
besar nilainya. Menolong seseorang dengan memberikan ia hutang kepada
orang yang benar membutuhkan pertolongan hukumnya adalah sunnah, dan
bisa menjadi waajib ketika orang tersebut benar-benar membutuhkan sebuah
pertolongan.5
1. Sebab Turun Surah Al-Baqarah ayat 282
Asbab an-Nuzul mengacu pada peristiwa atau pertanyaan yang
diajukan kepada Nabi Muhammad saw. atau sesuatu yang karenanya satu
atau beberapa ayat turun membahasnya atau menjelaskan hukumnya pada
hari-hari terjadinya di mana satu atau lebih ayat turun dari Allah swt. untuk
memberikan penjelasan atau menjawab pertanyaan, baik peristiwa tersebut
merupakan subjek perselisihan yang muncul.
Meninjau dan mempelajari asbabun nuzul (latar belakang) setiap
ayat Alquran adalah salah satu cara untuk memahami Alquran. Dengan
memahami asbabun nuzul, seorang penafsir atau peneliti al-quran akan lebih

5
Yuswalina, Hutang-piutang dalam perspektif Fiqh Muamalah di Desa Ujung Tanjung
Kecamatan Banyuasin III Kabupaten Banyuasin, Intizar,Vol. 19, No. 2, 2013, 399

3
mampu menganalisis al-quran dengan cara yang lebih profesional dan
konstruktif.
Menurut riwayat Dai Rabi, asbabun nuzul mengenai surah al-
baqarah ayat 282 menunjukkan bahwa ayat ini diturunkan ketika seorang
pria mencari saksi di antara orang banyak untuk meminta persaksian
mereka, tetapi tidak ada yang bersedia.6 Menurut Ibnu Abbas, ayat ini turun
berkenaan dengan teransaksi bai' salam yang dilakukan oleh salah satu
penduduk Madinah, dan kemudian menjelaskan semua hal tentang hutang
piutang.7
2. Sebab Turun Surah Al-Baqarah ayat 283
Asbabun Nuzul, Dalam Surat Al-Baqarah ayat 283, sebenarnya tidak
hal khusus yang menjelaskan alasan turunnya ayat 283. Namun dari
berbagai sumber yang dapat diperoleh, asbabun nuzul ayat 283 banyak
dikaitkan dengan Ayat sebelumnya adalah ayat 282 karena pembahasannya
berkaitan dengan anjuran tertulis dalam hutang dagang. Asbabun nuzul dari
ayat 282 adalah: Pada suatu ketika Rasulullah datang ke Madinah untuk
pertama kalinya, dia melihat penduduk asli di Madinah biasa menyewakan
kebun mereka pada waktunya satu, dua atau tiga tahun. Oleh karena itu,
Rasulullah bersabda: “Barang siapa menyewakan (mengutangkan) sesuatu
hendaklah dengan timbangan atau ukuran yang tertunda dan jangka waktu
yang tertentu pula”. Dalam hal ini, Allah swt menurunkan ayat 282 sebagai
perintah jika mereka berhutang atau muamalah dalam jangka waktu tertentu
harus ada kesepakatan tertulis dan membawa saksi.8
3. Hadist tentang Hutang Piutang

‫فاهلل أحقبالوفاء‬،‫أقضواهلل‬
Artinya :"Tunaikanlah hak Allah, karena hak Allah lebih utama untuk
ditunaikan. ( HR. Bukhori ).

6
Ali Al-Sayis, Tafsir Al-Ayat Al-Ahkam. Maktabah Al-Isriyyah Li Al- Thaba‟ah Wa Al-
Nasyr, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), h. 24
7
Wahbah Az-Zuhayli, Fiqih Islam Wa Adillatuhu Terj. Abdul Hayyie Al-Kattani, Dkk,
(Cet. I; Jakarta: Gema Insani, 2011).
8
Abdul Halim Hasan, Tafsir Al-Ahkam, Ed. 1, Cet. 1, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2006), h. 178

4
‫عن أيب ىريرة رضي اىلل عنو عن رسول اىلل صلى‬
‫ أنو ىىن عن بيعتين يف بيعة‬: ‫اىلل عليو وسلم‬
Artinya :"Dari Abu Hurairah dari Rosulullah bahwasanya beliau melarang
dua transaksi dalam satu transaksi jual beli".
Hadis Nabi riwayat al-Bukhari dan Muslim dari 'A'isyah r.a., ia
berkata:

“Sesungguhnya Rasulullah s.a.w pernah membeli makanan dengan


berutang dari seorang Yahudi, dan Nabi menggadaikan sebuah baju besi
kepadanya”.
B. Perkara/Tafsir Perkata Setiap Ayat
Ayat hutang-piutang sering disebut juga ayat mudayanah yang
diambil kata dayn yang terdapat dalam surah al-Baqarah ayat 282. Ayat
tersebut membahas kewajiban pencatatan hutang-piutang secara umum dan
rinci dan mempersaksikanya di hadapan pihak ketiga yang bisa dipercayakan,
sambil menekankan bahwa perlu adanya pencatatan hutang-piutang meskipun
sedikit, disertakan dengan jumlah hutang dan waktu yang sudah ditentukan
bersama. Dan ayat yang lainya seperti surah al-Baqarah ayat 283, surah an-
Nisa‟ ayat 11 dan ayat 12. Beriku ayat muamalah tentang hutang piutang :
1. Surah Al-Baqarah ayat 282
ٌۢ ِ ۟ ِ َّ
‫ب بِٱلْ َع ْد ِل ۚ َوََل‬ ٌ ْ ْ ‫ات‬ ‫ك‬
َ ‫م‬ ‫ك‬
ُ ‫ن‬
َ ‫ي‬ َّ‫ب‬ ‫ب‬ ‫ْت‬
ُ ‫ك‬ ‫ي‬ْ‫ل‬‫و‬
ََ ُ ُ ۚ ‫وه‬ ‫ب‬ ‫ت‬
ُ ‫ك‬
ْ ‫ٱ‬ ‫ف‬
َ ‫ى‬ ‫م‬
ِّ ‫س‬
َ َ ‫م‬
ُّ ‫ل‬ٍ ‫َج‬ ‫أ‬ ‫ل‬
‫أ‬ٓ َ ِ
‫إ‬ ٍ
‫ن‬ ‫ي‬
ْ ‫د‬
َ ِ
‫ب‬ ‫م‬ُ‫نت‬َ‫اي‬ ‫د‬
َ ‫ت‬
َ ‫ا‬ ‫ذ‬
َ ِ
‫إ‬ ‫ا‬ َ ‫َٓأَيَيُّ َها ٱلذ‬
‫ين ءَ َامنُ أو‬
‫ٱَّللَ َربَّوُۥ َوََل‬ ْ ‫ب َولْيُ ْملِ ِل ٱلَّ ِذى َعلَْي ِو‬
َّ ‫ٱْلَ ُّق َولْيَ ت َِّق‬ َّ ُ‫ب َك َما َعلَّ َمو‬
ْ ُ‫ٱَّللُ ۚ فَ ْليَكْت‬ َ ُ‫ب أَن يَكْت‬
ِ ْ‫َي‬
ٌ ‫ب َكات‬ َ َ
ِ ِ
‫يع أَن ُُي َّل ُى َو فَ ْليُ ْمل ْل‬ ِ ِ ِ ِ ِ
ْ ‫س مْنوُ َشْيًا ۚ فَِإن َكا َن ٱلَّذى َعلَْيو‬ ِ
ُ ‫ضعي ًفا أ َْو ََل يَ ْستَط‬ َ ‫ٱْلَ ُّق َسف ًيها أ َْو‬ ْ ‫يَْب َخ‬
ِ ِ‫ولِيُّوۥ بِٱلْع ْد ِل ۚ وٱست ْش ِهدو۟ا ش ِهيدي ِن ِمن ِرجال‬
‫ض ْو َن‬َ ‫ٌن فَ َر ُج ٌل َو ْٱمَرأ ََت ِن َِّن تَ ْر‬ ِ ْ َ‫وَن ر ُجل‬
َ ََْ ‫ك‬ُ ‫ي‬ َّ
‫َّل‬ ‫ن‬ ِ
‫إ‬‫ف‬
َ ۖ ‫م‬ ‫ك‬ُ
ْ َّ ْ َ َ ُ َْ َ َ ُ َ
۟ ِ ِ ِ ‫ِمن ٱلش‬
‫ُّه َداأءُ إِ َذا َما ُدعُوا ۚ َوََل‬ َ ‫ب ٱلش‬ َ ْ‫ُخَر ٓى ۚ َوََل ََي‬ ْ ‫ُّه َداأء أَن تَض َّل إِ ْح َد ٓى ُه َما فَتُ َذ ّكَر إِ ْح َد ٓى ُه َما ْٱْل‬ َ َ
ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ۟
‫َّه َدة َوأ َْد َٓنأ أَََّل‬
َٓ ‫ٱَّلل َوأَقْ َوُم للش‬ َّ ‫ند‬ َ ‫طع‬ ُ ‫َجلوۦ ۚ َٓذل ُك ْم أَقْ َس‬ َ ‫أ‬ ‫ل‬
‫أ‬
ٓ َ ِ‫صغًنا أَو َكبًِنا إ‬
ً ْ ً َ ُُ ‫وه‬ ‫ب‬ ‫ْت‬
ُ ‫ك‬ ‫ت‬
َ ‫َن‬ ‫أ‬ ‫ا‬ ‫تَ ْسَ ُمأو‬
۟ ِ ُ‫اضرًة ت‬ ِ ‫تَرَتب و۟ا ۖ إََِّلأ أَن تَ ُكو َن ِ ٓترًة ح‬
‫اح أَََّل تَكْتُبُوَىا ۗ َوأَ ْش ِه ُدأوا إِ َذا‬ ‫ن‬
َ ‫ج‬ ‫م‬ ‫ك‬
ُ ‫ي‬َ‫ل‬ ‫ع‬ ‫س‬
ٌ ُ ْ ْ ٌۢ َ ْ ْ َْ َ ُ َ َ ََ
َ ‫ي‬َ‫ل‬ ‫ف‬
َ ‫م‬ ‫ك‬
ُ ‫ن‬
َ ‫ي‬ ‫ب‬ ‫ا‬‫ه‬ َ‫ون‬ ‫ير‬ ‫د‬ ‫ْ ُأ‬
۟ ۟
َّ ‫ٱَّللَ ۖ َويُ َعلِّ ُم ُك ُم‬
ۗ ُ‫ٱَّلل‬ َّ ‫وق بِ ُك ْم ۗ َوٱتَّ ُقوا‬ ٌ ‫ب َوََل َش ِهي ٌد ۚ َوإِن تَ ْف َعلُوا فَِإنَّوُۥ فُ ُس‬ ِ
ٌ ‫ضاأَّر َكات‬ َ ُ‫تَبَايَ ْعتُ ْم ۚ َوََل ي‬
ِ ٍ ِ َّ ‫و‬
ٌ ‫ٱَّللُ ب ُك ِّل َش ْىء َعل‬
‫يم‬ َ

5
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu
menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan
menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka
hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu
mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia
bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi
sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang
lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak
mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan
dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari
orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki,
maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-
saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang
seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan
(memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah
kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai
batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi
Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak
(menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali
jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara
kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak
menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan
janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu
lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu
kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah
mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Kebanyakan mufassir berpendirian bahwa perintah perintah untuk
menulis transaksi hutang-piutang pada ayat 282 surat al-Baqarah adalah
bersifat anjuran ( amr li al-nadb ) berdasarkan tiga alasan sebagai berikut:
Pertama, firman Allah :
‫فإن أمن بعضكمبعضا فليؤد الذي اؤمنت أمانتو‬
membolehkan ketiadaan penulisan akad hutang piutang, dengan
alasan ikrar mereka ( kreditur dan debitur ) yang tetap mengikat meskipun
tidak dilakukan secara tertulis dan atau dihadapan para saksi, da‟in, dan
mudin.
Kedua, sejak diawal masa Islam dan periode-periode berikutnya,
kenyataan menunjukan bahwa kaum muslimin tidak pernah mewajibkan
transaksi hutang- piutang harus dilakukan secara tertulis atau dihadapan
para saksi. Mengingat praktik seperti itu kadang dilakukan tetapi sering pula
untuk tidak digunakan. Sekiranya pernyataan hutang piutang diharuskan,
niscaya mewajibkan praktik pencatatan transaksi pada masanya. Tidak
dilakukan adanya pencatatan hutang piutang oleh kaum muslimin ini, oleh

6
sebagian tafsir ini khususnya al-Razi dijadikan dasar consensus ulama (
ijmak) tentang ketidak harusan menuliskan hutang-piutang.
Ketiga, Keharusan mencatat transaksi hutang-piutang, yang dinafi
kan oleh nash (teks wahyu) justru hanya akan menimbulkan kesulitan
(tambahan beban) dalam memperlancar proses jalanya transaksi hutang
piutang.
M. Quraish Shihab menjelaskan ayat 282 surah al-Baqarah bahwa
ayat di atas sering dijumpai dengan nama ayat mudayanah (ayat hutang-
piutang). Ayat yang menjelaskan tentang tentang tata cara menulis atau
pencatatan hutang-piutang dengan benar dan mempersaksikanya dari pihak
ketiga atau notaris, sambil menekankankan pentingnya untuk menulis
hutang meskipun jumlah nominalnya sedikit dan mempunyai waktu
pembayaran yang jelas.
Ayat yang dimulai dengan seruan Allah kepada orang-orang yang
beriman untuk bermu‟amalah secara baik, “Hai orang-orang yang beriman
apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai dengan waktu yang tidak
ditentukan, hendaklah kamu menulisnya”. Secara redaksi ayat ini
ditunjukan kepada orang-orang beriman, tetapi yang dimaksud disini ialah
orang yang sedang mengerjakan transaksi hutang-piutang, bahkan secara
lebih khusus dikaitkan orang yang berhutang, agar orang yang menghutangi
terasa lebih tenang dengan adanya penulisan tersebut. Karena mencatatnya
merupakan sebuah anjuran yang harus dijalankan meskipun kreditor tidak
diminta untuk mencatatnya.
Kata tadayantum dalam ayat di atas berasal dari kata dain, yang jika
di terjemahkan mempunyai banyak arti. Kata ini antara lain bermakna
hutang, pembalasan, ketaatan, dan Agama. Kesemuanya digambarkan
adanya hubungan timbal balik, atau disebut juga dengan bermu‟amalah.
Mu‟amalah yang dimaksud adalah mu‟amalah yang dilakukan dengan
kontan yaitu hutang-piutang.
Dalam pandangan beberapa ahli tafsir juga menafsirkan hal yang
berbeda terhadap surah al-Baqarah ayat 282 , seperti Ibnu Katsir berkata :
Allah SWT berfirman :
Artinya : “Hendaklah kamu menulisnya”
Wahbah Zuhaily berpendapat apabila ada seorang muslim ketika
melaksanakan transaksi hutang-piutang seperti jual beli barang dengan
pembayaran yang kredit , atau jual beli salam, seperti jual beli tersebut
ditangguhkan penyerahanya dan terdapat batas waktu tertentu, dengan
menyebutkan ciri-ciri, jenis dan ukuran. Maka Allah menganjurkan agar
mencatatnya dengan menyertakan hari, bulan, tahun, pelunasan dengan
sejelas-jelasnya tanpa adanya sebuah keraguan.9
Sedangkan menurut Tafsir Ibnu katsir Hai orang-orang yang
beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang
ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis
9
Taufik Sofian Muhlisin, Hutang piutang Dalam transaksi tawaruq ditinjau dari
perspektif Al Qur‟an surah al-Baqarah ayat 282, Jurnal Syarikah Vol,1, 2015: Skripsi ( Program
studi Ekonomi Islam Universitas Djuanda ), 39

7
di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan
menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia
menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang
akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan
janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang
berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia
sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya
mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi
dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka
(boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu
ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya10
2. Surah Al-Baqarah ayat 283

‫ضا فَ ْليُ َؤِّد ٱلَّ ِذى ْٱؤُِمِ َن‬ ِ ِ ۟ ِ


ُ ‫وضةٌ ۖ فَِإ ْن أَم َن بَ ْع‬
ً ‫ض ُكم بَ ْع‬ َ ُ‫َوإِن ُكنتُ ْم َعلَ ٓى َس َف ٍر َوََّلْ َت ُدوا َكاتبًا فَ ِرَٓى ٌن َّم ْقب‬
‫يم‬ ِ ِ َّ ‫ٱَّلل ربَّوۥ ۗ وََل تَكْتُمو۟ا ٱلش َّٓه َد َة ۚ ومن يكْتُمها فَِإنأَّوۥ ء ِاِثٌ قَ ْلبوۥ ۗ و‬ ِ
ٌ ‫ٱَّللُ ِبَا تَ ْع َملُو َن َعل‬ َ ُُ َ ُ َ ْ َ َ َ َ ُ َ ُ َ ََّ ‫أ ََٓمنَ تَوُۥ َولْيَ تَّق‬
Artinya : Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai)
sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah
ada barang tanggungan yang dipegang[180] (oleh yang berpiutang).
akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain,
Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya
(hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya;
dan janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan persaksian. dan
Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia
adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui
apa yang kamu kerjakan
Firman-Nya (‫ )وإن كنتم على سفر‬yakni, sedang melakukan perjalanan dan
terjadi hutang-piutang sampai batas waktu tertentu.
Firman-Nya (‫ )ولم تجدوا كاتبا‬yaitu seorang penulis yang menuliskan
transaksi untukmu. Ibnu Abbas mengatakan: “Atau mereka mendapatkan
penulis, tetapi tidak mendapatkan kertas, tinta atau pena, maka hendaklah ada
barang jaminan yang dipegang oleh pemberi pinjaman. Maksudnya, penulisan
itu diganti dengan jaminan yang dipegang oleh si pemberi pinjaman.”
Firman-Nya (‫ )فرهان مقبوضة‬ayat ini dijadikan sebagai dalil yang
menunjukkan bahwa jaminan harus merupakan sesuatu yang dapat dipegang.
Sebagaimana yang menjadi pendapat Imam Syafi‟i dan jumhur ulama. Dan
ulama yang lain menjadikan ayat tersebut sebagai dalil bahwa barang jaminan
itu harus berada ditangan orang yang memberikan gadai. Ini merupakan
riwayat dari Imam Ahmad. Sekelompok ulama lain juga berpendapat demikian.
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al Baqarah Ayat 283
Jika kalian dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai),
sedangkan kalian tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada

10
Mumtahaen, Ikmal. Tinjauan Analisis Tafsir Ahkkam Tentang Utang Piutang (Al-
Qur‟an Surat Al-Baqarah Ayat 282). Jurnal Ilmiah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas
Malikussaleh, 2023, 6.1.

8
barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi, jika
sebagian kalian mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang
dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia bertakwa
kepada Allah Tuhannya, dan janganlah kalian (para saksi) menyembunyikan
persaksian. Dan barang siapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya
ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang
kalian kerjakan.

C. Makna Global Dari Setiap Ayat


Untuk melakukan transaksi hutang-piutang sebagaimana yang
dijelaskan dalam Alquran, pencatatan atau penulisan adalah langkah pertama.
Ibnu Katsir menyatakan bahwa perintah penulisan tersebut hanya meminta
orang yang berhutang untuk menjaga jumlah dan waktu transaksi serta
memberi saksi tambahan. Ayat 282 surah al-Baqarah dinasakh oleh ayat
berikutnya, yang menjelaskan bahwa jika kedua belah pihak saling percaya,
transaksi tidak memerlukan bukti tulisan. Jika transaksi itu berupa jual beli,
maka diperbolehkan dengan tidak dilakukan pencatatan atau penulisan.
Menurut Ibnu Katsir, bahwa dalam masalah kesaksian, maka hukum menjadi
saksi adalah fardlu kifayah atau tidak wajib dilaksanakan bagi yang
bersangkutan melainkan apabila tidak ada orang yang lain yang bisa
menggantikan kedudukannya.
Sedangkan pada Al-Baqarah ayat 283 Setiap transaksi yang
mengandung perjanjian penangguhan seharusnya ada bukti tertulis. Namun jika
tidak memungkinkan perjanjian tertulis, maka hendaklah ada yang menjadi
saksi. Jika ternyata tidak ada saksi, tidak pula bukti tulisan, maka dipersilakan
adanya jaminan.
Prisnsip mu‟amalat adalah saling percaya dan menjaga kepercayaan
semua fihak. Untuk menghilangkan keraguan maka hendakla diadakan
perjanjian secara tertulis atau jaminan. Namun kalau semuanya saling
mempercayai, atau dalam transaksi tunai yang tidak akan menimbulkan
masalah di kemudian hari, tidak mengapa tanpa tulisan atau jaminan aslakan
tetap menjaga amanah.
Orang yang mengetahui fakta kebenaran mesti bersedia menjadi saksi.
Bersaksi dalam kebenaran, merupkan ibadah. Sebaliknya yang

9
menyembunyikan kesaksian, terancam siksa. Sedangkan bersaksi palsu
termasuk dosa besar.Taqwa mencakup segala aspek kehidupan. Oleh karena itu
dalam jual beli, utang piutang, atau mu‟amalat lainnya mesti didasari taqwa.
D. Hukum Fiqih Yang Terkandung Dalam Ayat Tentang Hutang Piutang
Sebagian ulama yang lain adalah di antaranya „Atha‟, Al-Syatibi, dan
Ibnu Jarir at-Thabari berpendapat bahwa perintah menuliskan transaksi hutang
piutang adalah wajib. Hal ini didasarkan pada kaidah “Al-Ashlu fi al-mar li
alwujub” ( Perintah pada dasarnya merupakan suatu kewajiban ), dan inilah
yang justru pada umumnya dipedomani oleh kebanyakan pakar hukum Islam.
Kaidah ini kemudian disertai dengan beberapa perintah ( awamir ) yang
terdapat dalam ayat ini, yang fungsinya tidak lain adalah hanyalah sebagai
penguat ( li al-ta‟kid ). Buktinya, untuk orang yang tertentu seperti orang idiot (
safah ) dan lemah akal, tetap saja untuk diperintahkan supaya untu mencatat
yang pencatatanya diwakili oleh wali-wali mereka yang berhak. Oleh karena
itu, penguatan semacam ini menjadikan sebagai bukti adanya sebuah
pencatatan dalam sebuah transaksi hutang-piutang meskipun orang yang safah
atau yang lemah akalnya tidak menjadi halangan untuk bermu‟amalah dengan
baik dan patuh pada syari‟at Islam dengan mengacu al-Qur‟an.
Mengenai transaksi secara kontan Sebagian ahli fiqih tidak memper-
kenankan adanya transaksi jual beli secara kontan, mereka menggunakan
alasan dengan adanya penambahan harga barang itu bergantung dengan waktu
pelunasan, dan itu merupakan dasar hukum riba. Dari pendapat ulama lain juga
menjelaskan jika menaikan harga barang diatas yang sewajarnya adalah
mendekati riba nasi‟ah yaitu harga tambahan, maka Allah SWT jelas melarang
transaksi tersebut dikarenakan adanya penambahan dan hukumnya adalah
haram untuk dilaksanakan.11
Jual beli kredit yang diperbolehkan adalah mazhab Hanafi, Syafi‟i, Zaid
bin Ali, dan Al Muayyad. Dalam hal jual beli asal tidak adanya penambahan
harga dari awal dan ditangguhkan apabila belum sanggup melunasi maka
diperbolehkan secara kredit dan sah-sah saja untuk melakukan tersebut. Karena

11
Herian Sani, Jual Beli Kredit, 15

10
adanya dalil yang menyebutkan transaksi hutang-piutang dengan sewajarnya,
seperti yang tertera pada surah al-Baqarah ayat 282
Artinya :“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan
utang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya".
E. Hukum/Faidah Dari Ayat Yang Dibahas
Syari‟at Islam diajarkan hukum transaksi hutang-piutang diperbolehkan
kepada orang membutuhkan. Hal ini sangat diperbolehkan karena akan
mendapat pahala yang sangat besar dan dilipat gandakan ganjaran. Dan
dianjurkan tolong menolong kepada sesama, terutama kepada orang muslim
yang sedang kesulitan perekonomianya, Karena melalukan tersebut bisa
menghindari yang bisa merugikan orang lain, seperti pencurian, pembegalan,
ataupun yang lainya karena sulitnya mencari uang untuk biaya kehidupan
sehari-hari. Adapun dalil-dali yang menunjukan diperbolehkanya hutang-
piutang dalam surat al-Baqarah ayat 245 :

‫ط َوإِلَْي ِو تُ ْر َجعُو َن‬ َّ ‫َض َعافًا َكثِ ًَنًة ۚ َو‬ ِ


ُ‫ص‬ ُ ِ‫ٱَّللُ يَ ْقب‬
ُ ‫ض َويَْب‬ ْ ‫ضعِ َفوُۥ لَأوُۥ أ‬
َٓ ُ‫ضا َح َسنًا فَي‬
ً ‫ٱَّللَ قَ ْر‬
َّ ‫ض‬ ُ ‫َّمن َذا ٱلَّذى يُ ْق ِر‬
Artinya: “Barangsiapa meminjami Allah dengan pinjaman yang baik maka
Allah melipatgandakan ganti kepadanya dengan banyak. Allah
menahan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nyalah kamu
dikembalikan.”

11
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Untuk melakukan transaksi hutang-piutang sebagaimana yang
dijelaskan dalam Alquran, pencatatan atau penulisan adalah langkah pertama.
Ibnu Katsir menyatakan bahwa perintah penulisan tersebut hanya meminta
orang yang berhutang untuk menjaga jumlah dan waktu transaksi serta
memberi saksi tambahan. Ayat 282 surah al-Baqarah dinasakh oleh ayat
berikutnya, yang menjelaskan bahwa jika kedua belah pihak saling percaya,
transaksi tidak memerlukan bukti tulisan. Jika transaksi itu berupa jual beli,
maka diperbolehkan dengan tidak dilakukan pencatatan atau penulisan.
Sedangkan pada Al-Baqarah ayat 283 Setiap transaksi yang
mengandung perjanjian penangguhan seharusnya ada bukti tertulis. Namun jika
tidak memungkinkan perjanjian tertulis, maka hendaklah ada yang menjadi
saksi. Jika ternyata tidak ada saksi, tidak pula bukti tulisan, maka dipersilakan
adanya jaminan
B. Saran

Saya sebagai penulis menyadari jika makalah ini banyak sekali


memiliki kekurangan yang jauh dari kata sempurna. Tentunya, penulis akan
terus memperbaiki makalah dengan mengacu kepada sumber yang busa
dipertanggungjawabkan nantinya.Oleh sebab itu, penulis sangat mengharapkan
adanya kritik serta saran mengenai pembahasan makalah di atas.

12

Anda mungkin juga menyukai