Anda di halaman 1dari 12

POSISI RA’Y DALAM PEMBENTUKAN

HUKUM ISLAM
Muttaqin Choiri
IAI al-Khoziny Buduran Sidoarjo
Jl. KH Khamdani RT 1 RW 1 Siwalanpanji Buduran Sidoarjo
E-mail: kinarayn@gmail.com

Abstract: The Position of Ra’y (Reasoning) in the Formation of Islamic Law. The method of qiyâs
(analogy), which has been considered as a monumental work of Imam Shafi’i, did not arise in a
vacuum situation. In fact, it departed from the method of ra’y (reasoning) that has existed since the
era of the Prophet, the Companions and the Tabi’ins. It was Shafi’i who transformed the ra’y, which
initially free from the pressures of the text, into a method of legal discovery named qiyâs through
the equation illat al-hukm (legal reasons) of existing laws. This study concluded that after a heated
debate between ahl al-ra’y and ahl al-hadîth, the ra’y, which was originally able to grasp the message
of law freely, become less capable and evolved into Istihsan, Istishâb and Mashlahah Mursalah.
Keywords: ra’y, qiyâs, istinbâth

Abstrak: Posisi Ra’y dalam Pembentukan Hukum Islam. Metode Qiyâs, yang selama ini disebut
sebagai karya monumental Imam Syâfi’i, ternyata bukanlah metode yang muncul di ruang hampa.
Metode qiyâs yang ditawarkan oleh Syâfi’i untuk penggalian hukum ternyata berangkat dari ra’y
yang telah ada sejak era Nabi, Sahabat dan masa Tabi’in. Syâfi’i mentransformasikan ra’y, yang
awalnya bebas dari tekanan teks, menjadi qiyâs melalui persamaan illat al-hukm dari hukum yang
sudah ada. Penelitian ini menyimpulkan bahwa setelah melalui perdebatan yang sengit antara ahl
al-ra’y dan ahl al-hadist, ra’y yang semula mampu menangkap pesan hukum secara bebas, menjadi
berkurang kemampuannya dan berevolusi menjadi Istihsân, Istishâb dan Mashlahah Mursalah.
Kata Kunci: ra’y, qiyâs, istinbâth

Pendahuluan dan menghasilkan sebuah produk hukum,


Pada dasarnya suatu produk hukum di­ dalam sejarah perkembangan hukum Islam
hasilkan untuk mengatur kehidupan manusia/ dikenal tradisi mengembangkan hukum
masyarakat. Seperti yang dikatakan oleh Ibnu berdasar sunnah Rasul (ahl al-hadîts) dan juga
Khaldun bahwa manusia pada dasarnya kelompok yang lebih mendasarkan persoalan
adalah “domenieering being”. Manusia mem­ yang datang kemudian, didasarkan atas rasio
punyai kecenderungan untuk menguasai dan dikenal dengan ahl al-ra’y.
menaklukkan orang lain serta memaksa mereka Perkembangan selanjutnya, kemampuan
tunduk dan patuh kepadanya.1 Bila sifat ini ra’y dalam menangkap pesan untuk me­
tidak dikekang maka ia akan mencetuskan ngembangkan hukum Islam diragukan oleh
konflik dan peperangan. Untuk merumuskan penggagas kaidah ushûliyah sebagai metode
baku dalam Ijtihad, hal ini menjadikan ra’y
semakin dikebiri oleh otoritas nas} yang
1
Muhsin Mahdi, Ibnu Kholdun’s Philosophy of History, dibangun secara sistematis sebagai bentuk
(London: George Allen and Unwin Ltd, 1957), h. 179

743
744|  AL-‘ADALAH Vol. XII, No. 4, Desember 2015

counter attack atas berkembangnya ra’y yang Secara harfiah, ra’y berarti pendapat dan
tidak lagi terbatas. Last but not least, ahl pertimbangan. Tetapi orang-orang Arab telah
al-hadîtst muncul sebagai kampiun dalam menggunakannya dengan menyebut pendapat
menerjemahkan pesan hukum Islam, selama dan keahlian yang dipertimbangkan dengan
berabad-abad menjadi metode yang di­ baik dalam menangani urusan yang dihadapi.
gunakan dan menjadikan ra’y berevolusi ke Akan tetapi, kaum Khawârij juga pernah
dalam metode qiyâs, yakni analogi yang mendapatkan julukan sebagai ahl al-ra’y.
berpedoman pada nas yang telah ada, dan Julukan ini diberikan karena pandangan
berkembang menjadi istihsân, mashlahah mereka menyimpang dari pandangan ahl
mursalah. al-Sunnah.3 Dari sini dapat disimpulkan
Kemunculan kembali aliran yang ber­ ra’y memiliki elemen pemikiran yang khas
usaha menerapkan rasio murni dalam me­ yang bersifat eksklusif serta bebas, yang
netapkan permasalahan yang muncul, dirasa bisa juga tidak diterima oleh kelompok
perlu untuk melenturkan kekakuan hukum lain. Sebenarnya dari sinilah persoalan itu
dalam metode qiyâs yang sudah dijadikan berkembang, dimana kerangka kerja dari ra’y
patokan sebagai analogi yang masih terlalu masa awal Islam mengalami reduksi makna
kaku, untuk mengurai sejarah perkembangan dengan mempersamakan pemikiran rasional
ra’y. tersebut tunduk atas wahy ilâhiy, dengan cara
melakukan analogi dalam keserupaan kasus.
Evolusi Ra’y Pada Pembakuan Metode
Istinbâth Embrio Ra’y dan Perkembangannya
Anatomi Ra’y: Perangkat Penetapan Hukum Pemikiran Arab Islam pada awal pem­
Kata ra’y dalam bahasa Arab merupakan bentukannya dan saat terkristalisasikannya
mashdar dari kata ‫ رأى‬yang secara arti kata persoalan dan aliran-alirannya, yaitu sejak
maknanya melihat. Setidaknya ada dua awal era kodifikasi, kita menemukan pe­
perspektif melihat dalam kata ‫ رأى‬dalam mikiran Islam cenderung terbagi kepada dua
Alquran, yakni melihat secara kongkrit aliran: aliran yang berpegang kepada warisan
dan melihat secara abstrak. Melihat secara Islam (al-maurûth al-Islâmî) dan menyerukan
kongkrit terfragmen dalam surat al-An’âm agar menjadikannya sebagai satu-satunya
[6]: 78; pegangan otentik untuk menilai segala
sesuatu, dan aliran yang berpegang kepada
‫فلما رأى الشمس بازغة قال هذا ريب هذا أكرب‬ pemikiran (ra’y) dan menjadikannya sebagai
Sedangkan kata ‫ رأى‬dalam arti melihat sumber yang harus dijadikan pegangan, baik
secara abstrak, dapat dijumpai dalam surat untuk menilai segala yang baru maupun
Luqmân [31]: 20: untuk memahami warisan Islam itu sendiri.4
Di mana kecenderungan masing-masing
‫أمل تروا أن اهلل سخر لكم ما يف السماوات وما‬ aliran ini telah tampak sejak masa Nabi.
‫يف األرض‬ Pada waktu perang dengan Bani
Kata ‫ رأى‬dalam ayat ini, tidak lagi di­ Quraydah, Rasul mengutus pasukan dan
maknai dengan kata melihat secara kasat berpesan kepada mereka agar melaksanakan
mata, melainkan melihat dengan mata hati salat Asar di tempat musuh. Mereka sepakat
dalam arti memikirkan. dalam pembahasan ini
yang dimaksud dengan ra’y dalam arti kedua, 3
Ahmad Hasan, The Early Development of Islamic
yang berarti hasil pemikiran atau rasio.2 Jurisprudence, (Delhi: Adam Publishers & Distributors, 1994),
h. 57.
4
Muhammad ‘Abid al-Jâbirî, Formasi Nalar Arab: Kritik
2
Zaini Dahlan, Filsafat Hukum Islam, cet. 2, (Jakarta: Tradisi Menuju Pembebasan dan Pluralisme Wacana Interreligius,
Bumi Aksara, 1992), h. 50. Imam Khoiri, (Pent.), cet. 1, (Yogyakarta: Ircisod, 2003), h. 165.
Muttaqin Choiri: Posisi Ra’y Dalam Pembentukan Hukum Islam  |745

mengartikannya sebagai perintah untuk Praktik dan legitimasi yang sering


menyegerakan perjalanan menuju sasaran. ber­kembang di kalangan sahabat sebagai
Tetapi secepat apapun perjalanan mereka, dinamika perkembangan masyarakat atas
ternyata waktu Asar telah tiba sebelum hukum Islam di sisi lain, merupakan wujud
sampai di tujuan. Mereka kemudian ber­ dari tidak terbelenggunya ra’y sejak masa
selisih paham. Sebagian memutuskan untuk Rasul. Pemberlakuan ra’y belum tersentuh
melakukan salat di tengah perjalanan, dengan menjadi sebuha produk dalam pembentukan
alasan pasti Rasul tidak ingin mereka me­ hukum, ra’y baru disebut sebagai model
nunda salat sampai waktu asar habis. Sedang penalaran hukum jika suatu permasalahan
yang lain benar-benar melakukan salat Asar tidak terdapat dalam nas Alquran maupun
di tempat tujuan meskipun waktu Asar Hadis
telah habis. Dan ketika dikonfirmasi kepada Ijtihâd ‘Umar dalam beberapa masalah
Rasul, beliau hanya diam. Bisa dipahami, jinâyah, dalam delik pencurian ‘Umar tidak
bahwa prinsip keunggulan wahyu atas akal memotong tangan si pelaku, padahal disisi
memang menjadi kesepakatan. Artinya kedua lain wahyu dan Hadîs| telah secara gamblang
kelompk itu harus dipahami sama-sama menyebutkannya, namun ‘Umar melakukan
ingin mentaati rasul, meski dengan cara interpretasi, dengan alasan terjadi pada masa
yang berbeda.5 Terlihat antara perbedaan ini, paceklik.7 Aktifitas ‘Umar dalam masalah
yakni legitimasi atas praktik penentuan pesan ini ditanggapi sebagai model penalaran ra’y,
(baca: Hadis) yang global (interpretable) Fazl ar-Rahmân menyebutnya dengan teori
menurut kemampuan masing-masing sesuai gradasi, artinya pencuri yang baru pertama
parameter tekstual atau rasional oleh Rasul. kali mencuri tidak harus dipotong tangan,
Dalam rangkaian praktik penetapan melainkan hukuman ta’zîr. 8 Sedangkan
hukum oleh Nabi, sahabat juga diberi latihan Shahrûr menyebutnya sebagai teori limit,
untuk melakukan olah kasus oleh Rasul batas maksimum dan minimum dalam
dalam kasus ‘Umar bin Khathâb, ketika hukum potong tangan.9 Kemunculan masing-
mengadukan masalah pribadinya kepada masing teori ini muncul dalam rangka untuk
Rasul Saw. membuka ranah dan memperkenalkan
“Pada suatu siang di bulan Ramadhân ia kembali aktifitas ra’y.
mencium istrinya, suatu perbuatan yang dirasa Dalam masa transisi kepemimpinan
meragukan eksistensi puasanya. Mendengar yang dipegang oleh khalifah, sudah tertanam
itu, Rasul tidak langsung mem­berikan jawaban, dalam diri masing-masing sahabat untuk
melainkan mengajak ‘Umar untuk berpikir terlebih dahulu melakukan klarifikasi metodis
dengan kausasi (nalar), dengan mengajukan dalam hal pencarian dasar hukum pada
pertanyaan kepada ‘Umar jika ada orang permasalahan baru, dengan cara membentuk
yang sedang berpuasa kemudian berkumur- halaqah al-dîniyah berdasarkan petunjuk
kumur, maka bagaimana hukumnya? ‘Umar Alquran atau Hadis untuk menemu­
menjawab, tidaklah mengapa. Kemudian kan metode atau petunjuk Rasul dalam
Rasul memberi tanggapan hukum mencium permasalahan yang baru muncul.10 Dengan
istri pada siang hari bulan Ramad}ân sama
dengan hal itu. Sehingga bisa dengan mudah,
7
Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, Agah
menyimpulkan bahwa mencium istri ketika Garnadi, (Pent.), (Bandung: Pustaka, 1985), h. 109.
puasa, hukumnya boleh.6 8
Fazlur Rahman, Metode dan Alternatif Neomodernisme
dalam Islam, (Bandung: Mizan, 1986), h. 60.
9
Muhammad Shahrur, al-Kitâb wa al-Qur’ân: Qirâ’ah
5
Ahmad Hasan, The Early Development of Islamic Mu’âshirah, (Mishr: Dâr al-Insâniyah al-’Arabiyah, 1990), h. 455.
Jurisprudence, h. 14. 10
Abdul Basith Junaidy, Melacak Akar-Akar Kontroversi
6
Abdul Wahab Khallâf, ‘Ilm Ushûl al-Fiqh, (Cairo: al-Dâr dalam Sejarah Filsafat Pemikiran Hukum Islam, (Surabaya:
al-Kuwaitiyah, 1968), h. 57. Srikandi, 2005), h. 9.
746|  AL-‘ADALAH Vol. XII, No. 4, Desember 2015

demikian mereka baru melakukan ijtihad belum menjadi landasan yang konseptual
setelah tidak menjumpai wahyu atau hadis dan sebagai pembakuan.
Nabi. Bisa disebut, dalam era ini wahyu Pada masa ini, penggunaan qiyâs di­
tetap menjadi sumber primer, sedang hasil gunakan dalam menentukan jumlah mas
kreatif nalar sahabat juga dijadikan sebagai kawin (mahr). Kedudukan mas kawin di­
hujjah penetapan hukum. Penerapan asas-asas ketahui sebagai pengganti dari hilangnya
hukum ini, didasarkan pada dialog antara keperawanan. Maka disimpulkanlah antara
Rasul dengan Mu’âdh bin Jabal sebagai hilangnya keperawanan tersebut dengan
gubernur Yaman. hukum potong tangan bagi pencurian.
Beliau bertanya, “Dengan apa engau Sehingga, seseorang yang melakukan pen­
akan memutuskan perkara yang diajukan curian, baru dihukum potong tangan jika
kepadamu?” Mu’âdh menjawab, “Dengan hasil curiannya mencapai minimal jumlah
kitab Allah.” Beliau bertanya lagi, “kalau mahr, yaitu tiga dirham di Madinah dan
tidak kau temui pada kitab Allah?” Jawab sepuluh dirham di Kufah.13
Mu’âdh, “dengan Sunnah Rasulullah.” Beliau Peran ra’y pada masa awal pembentukan
bertanya lagi, “Kemudian jika tidak kau mazhab hukum lebih berfungsi sebagai
dapatkan dalam kitab Allah dan Sunnah pemilihan dalîl. Dalam kasus-kasus hukum
Rasulullah?” Jawab Mu’âdh. “sekuat tenaga baru pada masa ini, sedapat mungkin untuk
akan ku gunakan ra’y ku”.11 diselesaikan dengan cara mengandalkan
Dinamika dan perbedaan itu juga terjadi, metode baku dengan cara mencari keabsahan
ketika memfungsikan penalaran masing- wahyu, serta bentuk-bentuk yang dirasa
masing sahabat, yang juga digunakan untuk ditinggalkan sahabat sebelumnya, jika wahyu
menalar hukum meski telah ada petunjuk tidak dijumpai. Akan tetapi ada bukti bahwa
dari Alquran dan Hadîth Nabi. Sering kali dalil mana yang akhirnya kemudian dipakai,
perbedaan itu muncul, ketika masing-masing sangat tergantung dari ra’y masing-masing dan
menampilkan dalil yang berbeda. Dalam tidak ada panduan baku mengenai peranan
kaitan ini ‘Umar bin Khathâb memfungsikan ra’y dalam pemilihan dalil tersebut. Ada
ra’y nya untuk menghapus bagian zakat bagi suasana kebebasan atau bahkan keputusan
mu’allaf, bagian yang diberikan di zaman semena-mena, hal yang kemudian oleh Syâfi’î
Rasul.12 dijadikan koreksi.14 Seringkali masyarakat
Hal senada terjadi pada masa tabi’in, Madinah, terkadang menggunakan Hadis
dalam masalah ini sudah muncul aliran-aliran Nabi, namun terkadang meninggalkannya
dalam pembakuan dan pembentukan hukum. dengan mengambil apa yang digunakan
Munculnya aliran Madinah, yang notabene umat terdahulu dalam hal memutuskan
sebagai wilayah yang hidup dari peninggalan perkara. Otoritas masyarakat Madinah dalam
Sunnah Nabi, dan aliran Iraq di mana wilayah menetapkan sumber hukum inilah, yang
yang berjauhan dengan Madinah dan tidak sangat membingungkan menurut Syâfi’î,
secara langsung memperoleh panduan dari dan telah mengalami kekacauan. Terkadang
Nabi. Pada masa inilah muncul istilah qiyâs juga ada hadis yang menjelaskan, namun
dan istihsân sebagai pemikiran sistem dan masyarakat lebih memilih dengan ra’y.
keberadaan ra’y untuk melahirkan metode Pertentangan antara pembela ahl ra’y dan
deduksi-logis, yang sangat sederhana, namun ahl al-hadîst dalam hal pembentukan alasan

11
Abû Dawud Sulaiman, Sunan Abû Dawud, Juz II, 13
Noel J. Coulson, A History of Islamic Law, (Edinburgh:
(Riyâdh: Dâr al-Salam, t..t.), h.303 Edinburgh University Press, 1964), h. 45.
12
Ahmad Hasan, The Early Development of Islamic 14
Ahmad Hasan, The Early Development of Islamic
Jurisprudence, h. 118. Jurisprudence, h. 128.
Muttaqin Choiri: Posisi Ra’y Dalam Pembentukan Hukum Islam  |747

hukum semakin meruncing, baik dari segi Dari penjelasan tentang qiyâs sebagai­
kuatnya pertentangan maupun signifikansi mana di atas, menunjukkan adanya indikasi
produk yang dihasilkan karena di sana (Kufah reduksionis dari praktik ra’y yang timbul
dan Basrah) terus ber­langsung perselisihan dan berkembang dari zaman Rasul sampai
tersebut dan juga terjadi pemisahan antara pada masa sahabat, yakni dari ra’y secara
keduanya. Di bawah desakan kebutuhan umum dan pada metode penalaran (kausasi)
untuk mengcover masalah-masalah baru secara secara khusus.
empiris dan yang menghidupi keniscayaan- Kehendak untuk melakukan pembakuan
keniscayaan teoritis dan justifikasinya, Hadis cara-cara berpikir dalam fikih lahir dalam
semakin banyak mengalami pemalsuan, situasi ketegangan antara pendukung
dan ra’y berkembang semakin jauh dari Hadîst (naql) dan ra’y (‘aql, rasio), yakni
keniscayaan-keniscayaan teoritis tersebut antara pengikut Imam Malik dan Imam
dan seringkali beralih dari teks dan jalannya Abû Hanifah. Imam Malik dinilai terlalu
para salaf kepada istihsân rasional murni. longgar berpegangan pada hadîs (waktu itu
Dengan demikian, merupakan keharusan kalangan Maliki menyebutnya “Sunnah”);
untuk menemukan kaidah-kaidah yang secara sementara Abû Hanifah terlalu sering meng­
keseluruhan melindungi dan membatasi abaikan hadis demi ra’y. Misalnya sabda
pemalsuan-pemalsuan Hadis, dan berpegang Rasulullah, “Penunggang kuda mendapat
kepada ra’y dalam batas-batas yang telah dua bagian, prajurit mendapat satu bagian”,
ditentukan dan jelas.15 namun oleh Abû Hanifah ditolak dengan
mengatakan, “Aku tidak akan menjadikan
Evolusi Ra’y: Menakar Pembakuannya bagian binatang lebih banyak daripada bagian
dalam Istinbâth al-Ahkâm seorang mukmin”. Rasulullah melakukan
1. Qiyâs: Penalaran Deduktif isy’ar (melukai punggung unta) sebelum
Secara etimologis, qiyâs berarti mengukur, menyembelih hewan kurbannya. Komentar
memastikan, membandingkan sesuatu yang Abû Hanifah, isy’ar adalah penganiayaan.
semisalnya.16 Sementara itu, secara istilah Kenyataan inilah yang kemudian men­
ushûl fiqh, qiyâs adalah menghubungkan dorong salah seorang murid Imam Mâlik,
suatu perkara yang tidak ada nas tentang Imam Syâfi’i (150-204 H), menyusun
hukumnya kepada perkara lain yang ada nas satu metodologi hukum yang selain bisa
hukumnya karena adanya persamaan ‘illat mempertemukan kedua kubu di atas, juga
(effective cause) hukumnya.17 Pengertian qiyâs menjadi pedoman dalam menarik kesimpulan
semacam ini adalah qiyâs dalam pemahaman hukum yang baku dari teks-teks suci agama.
Syafi’i dan setelahnya, sedangkan qiyâs Sehingga pertentangan kedua kubu, yang
sebelum Syafi’i hanya digunakan untuk melahirkan ekspresi kebebasan berpikir,
menunjukan kesamaan dua kasus yang bisa diredam sedini mungkin. Akan terlihat
serupa yang dimulai dengan penggunaan sejauhmana Imam Syâfi’i merumuskan dasar-
pendapat pribadi (ra’y) dalam kasus-kasus dasar berpikir tersebut, yang oleh Fakhr
yang tidak ada nas. al-Dîn al-Râzi dibandingkan dengan posisi
Aristoteles dalam bidang filsafat.18 Kalau
Aristoteles berhasil merumuskan satu sistem
15
Muhammad ‘Abid al-Jâbirî, Formasi Nalar Arab: Kritik
Tradisi Menuju Pembebasan dan Pluralisme Wacana Interreligius,
filsafat dengan logikanya, demikian pula al-
h. 167 Syâfi’i yang dianggap berhasil merumuskan
16
M. H. Kamali, Principles of Islamic Jurisprudence, Versi
PDF, dari www.scribd.com, h. 180
17
Abû Zahrah, Ushûl al-Fiqh, (Bayrût: Dâr al-Fikr
al-’Arabî, t.t.), h. 336, M. H. Kamali, Principles of Islamic 18
Muhammad ‘Abid al-Jâbirî, Formasi Nalar Arab: Kritik
Jurisprudence, h. 180, juga mendefinisikan hampir serupa, Tradisi Menuju Pembebasan dan Pluralisme Wacana Interreligius,
dengan redaksi yang berbeda. h. 168.
748|  AL-‘ADALAH Vol. XII, No. 4, Desember 2015

cara-cara berpikir dalam agama dengan (kandungan makna suatu lafaz). Bentuk-bentuk
metodologi ushûl fiqh-nya, seperti tertuang dalâlah tersebut diuraikan secara detil oleh
dalam al-Risâlah. Syâfi’i dalam kutipan berikut:
Menurut Imam Syâfi’i dalam tingkatan “…Sesungguhnya Allah meng­komunikasi­
“bayân” Alquran mempunyai kekuatan kan [hukum-hukum dan perintah-Nya]
hukum yang sama. Pertama, hal-hal yang dalam Alquran kepada bangsa Arab
diterangkan oleh Allah dalam Alquran dengan bahasa mereka sendiri sesuai
ke­ p ada makhluk-makhluk-Nya tanpa dengan yang dikandung dan dikenal
membutuhkan penjelasan di luar dirinya, dalam bahasa mereka. Di antara yang
seperti kewajiban shalat dan pengharaman dikandung dan dikenal dalam bahasa
khamar atau minuman keras. Kedua, hal-hal mereka adalah keluasan cakupan bahasa
yang disebutkan oleh Allah secara umum, tersebut. Mereka biasanya menggunakan
namun perincian dan penjelasan detailnya satu lafaz yang bersifat umum (‘âm)
berada di tangan Rasul-Nya, seperti jumlah dan eksplisit (zhâhir), dan dimaknai
rakaat salat. Ketiga, hal-hal yang ditetapkan dalam pengertiannya yang juga bersifat
Allah dalam Alquran dan juga dijelaskan umum dan eksplisit, sehingga tidak lagi
oleh Nabi melalui hadîst. Keempat, hal-hal memerlukan makna selainnya. Kadang
yang tidak tertera dalam Alquran namun juga suatu lafaz bersifat umum dan
diterangkan oleh Rasulullah sehingga me­ eksplisit, namun bisa juga dimaknai
miliki kekuatan sebagaimana titah Allah, dalam pengertian yang lebih khusus
sebagaimana perintah untuk mentaati Rasul. (khâsh), sehingga bisa dijadikan pegangan
Kelima, hal-hal yang dibebankan oleh Allah untuk mengambil satu konklusi hukum
kepada manusia untuk melakukan ijtihad dari sebagian arti yang dicakupinya
ketika menemukan kasus-kasus baru.19 Yakni (apakah itu khusus atau umum). Ada juga
menurut Syâfi’î adalah dengan memahami lafaz yang bersifat umum dan eksplisit,
bahasa Arab dan stilistika ungkapan dan namun dimaknai dalam pengertiannya
membangun pemikiran berdasar qiyâs, yang bersifat khusus. Atau ada juga lafaz
menganalogkan suatu kasus yang tidak ada eksplisit dan literal namun menunjukkan
ketentuannya dalam teks atau pun penjelasan makna lain dari arti ekplisit dan literalnya
kepada ‘suatu keputusan hukum yang telah karena adanya konteks khusus yang
ada’ yang didasarkan pada teks, Hadîs meng­hendakinya …20
atau ijma’. Dari sini kemudian ditetapkan Maka, bisa dipahami kemudian kalau
aturan umum yang membingkai pikiran dan persoalan istinbâth dalan literatur-literatur
membatasi wilayah geraknya. ushûl al-fiqh adalah persoalan yang terkait
Berdasarkan hal ini dapat ditemukan dua dengan teks dengan segenap tangga-tangga
titik perhatian yang digarisbawahi oleh Imam dalâlah-nya, mulai dari makna yang mudah
Syâfi’i: penalaran hukum berdasarkan pada ditangkap hingga ke yang paling subtil.
analisa bahasa dan sistem ijtihâd berdasarkan Sehingga praktis pemikiran ushûl al-fiqh,
analogi atau qiyâs. terutama yang tertuang dalam metode
Ini tergambar dengan jelas dalam pem­ pengambilan keputusan hukum atau istinbâth,
bakuan hukum penafsiran teks-teks agama, diarahkan pada cara-cara mencermati teks-
terutama dalam masalah bentuk-bentuk dalâlah teks agama, apakah itu Alquran atau Hadis,
pada sisi linguistik dan semantiknya.
Karenanya kemudian bisa dipahami
19
Muhammad bin Idrîs al-Syâfi’î, al-Risâlah, (Bayrût: Dâr mengapa studi ushûl al-fiqh diorientasikan
al-Fikr, t.t.), h. 21-22. Lihat juga Muhammad ‘Abid al-Jâbirî,
Formasi Nalar Arab: Kritik Tradisi Menuju Pembebasan dan
Pluralisme Wacana Interreligius, h. 169. 20
Muhammad bin Idrîs al-Syâfi’î, al-Risâlah, h. 51-52.
Muttaqin Choiri: Posisi Ra’y Dalam Pembentukan Hukum Islam  |749

pada pengkajian tentang “wujûh dalâlah Jika sebuah kasus terjadi yang berdasarkan
al-adillah ‘alâ al-ahkâm al-syar’iyyah, karena keumuman nas yang ada atau kaidah
yang namanya istidlâl atau istinbath hanya umum tertentu kasus itu seharusnya di­
dimungkinkan melalui sebuah teks. hukumi dengan hukum tertentu, namun
dalam pandangan sang mujtahid nampak
2. Istihsân: Penalaran Dharûrî bahwa kasus ini memiliki kondisi dan
Seperti telah disinggung sebelumnya, per­ hal-hal lain yang bersifat khusus yang
soalan krusial yang dihadapi Syâfi’i adalah kemudian–dalam pandangannya- bila
masalah membengkak dan makin bebasnya nas yang umum, atau kaidah umum,
gerakan ijtihad di tangan kaum “rasionalis” atau memperlakukannya sesuai qiyâs yang
(ahl ra’y) yang melampaui batas-batas otoritas ada, justru akan me­nyebabkan hilangnya
teks-teks atau nas-nas agama. Mereka mashlahat atau ter­ j adinya mafsadat.
berupaya melampuai teks dengan mencari (Karena itu), ia pun meninggalkan
makna terselubung, yang tidak tersurat hukum tersebut menuju hukum yang lain
dalam makna harfiyahnya, dan menukik yang merupakan hasil dari pengkhususan
serta menyelam lebih dalam seakan-akan kasus itu dari (hukum) umumnya, atau
makna tersebut sudah keluar dari teks itu pengecualiannya dari kaidah umumnya,
sendiri. Seperti penafsiran sebagian mereka atau qiyâs ‘khafî’ yang tidak terduga
atas teks Alquran “maraj al-bahrain”, dengan (sebelumnya). Proses ‘meninggalkan’ ini­
mengatakan bahwa yang dimaksud bahrain lah yang disebut dengan Istihsân. Dan
(dua laut) itu adalah Ali dan Fathimah. ia merupakan salah satu metode ijtihad
dengan ra’yu. Sebab seorang mujtahid
Begitu massifnya kebebasan penafsiran
mengukur kondisi yang bersifat khusus
semacam ini, Imam Syâfi’î kemudian
untuk kasus ini dengan ijtihad yang
berupaya mengatur dan mengarahkan ke­
ia landaskan pada logikanya, lalu me­
bebasan akal tersebut sehingga bisa terjerat
nguatkan satu dalil atas dalil lain juga
dalam genggaman teks, dan tidak keluar dari
atas hasil ijtihad ini.”22
pemahaman yang sudah ada. Dengan ini, ia
mengajukan seperangkat aturan-aturan yang Dari definisi tersebut, kita dapat melihat
memungkinkan kegiatan akal manusia terkait bahwa inti dari istihsân adalah ketika seorang
erat dengan otoritas teks, dan bukan di luar mujtahid lebih cenderung dan memilih
teks. Minimal menjadikan teks sebagai acuan hukum tertentu dan meninggalkan hukum
utamanya, sebagai tempat sandarannya, dan yang lain disebabkan satu hal yang dalam
juga tempatnya untuk kembali, seperti halnya pandangannya lebih menguatkan hukum
yang kita lihat dalam kasus istinbâth dari kedua dari hukum yang pertama.
lafaz dan bahasa. Baginya, ”Ijtihad selamanya Satu hal yang pasti adalah bahwa peng­
tidak akan mungkin tanpa didasarkan pada gunaan istihsân memang tidak ditegaskan
keharusan mencari sesuatu. Dan yang namanya dalam berbagai nas yang ada; baik dalam
mencari sesuatu itu hanya dimungkinkan Alquran ataupun dalam al-Sunnah. Namun
kalau disertai dengan sejumlah petunjuk. itu tidak berarti bahwa aplikasinya tidak
Petunjuk inilah yang disebut Qiyâs”.21 ditemukan di masa sahabat Nabi Saw. dan
Dalam gambaran Wahâb Khallaf, Tabi’in. Jika diteliti lebih dalam, ditemukan
Istihsân dijelaskan dalam gambaran yang bahwa penggunaan istihsân di kalangan para
lebih aplikatif, dengan: sahabat dan tabi’in secara umum termasuk
dan tercakup dalam penggunaan ra’y di

21
Muhammad ‘Abid al-Jâbirî, Formasi Nalar Arab: Kritik
Tradisi Menuju Pembebasan dan Pluralisme Wacana Interreligius, 22
Sha’ban Muhammad Ismâ’il, Ushûl Fiqh al-Muyassar.
h. 170. Jilid 2, (Kairo: Dâr al-Kitâb al-Jami’î, 1415 H), h. 52.
750|  AL-‘ADALAH Vol. XII, No. 4, Desember 2015

kalangan mereka. Atau dengan kata lain, Terlihat dalam era Hanâfi ini, ra’y ber­
Istihsan sebagai sebuah istilah pada masa kembang dalam bentuk yang elastis dalam
itu belum pernah disebut-sebut. kerangka metodis dan tidak selalu beriringan
Sebagai penggagas qiyâs, Imam Syâfi’î dengan nas yang sudah menjelaskan tentang
salah satunya ditujukan untuk menyerang Abû hal-hal tersebut. Beralihnya hukum dari
Hanîfah yang terlalu bebas berekspresi dengan teks kepada penalaran inilah sebagai inter­
ra’y. Inilah salah satu pernyataan Abû Hanîfah pretasi Abû Hanîfah. Analogi istihsân tidak
yang dinilai oleh kalangan penganut mazhab terikat pada keketatan analogi qiyâs karena
ahl al-hadîst, sebagai pengebirian Hadîs: dimungkinkan adanya qiyâs alternatif (qiyâs
Diriwayatkan bahwa seseorang bertanya khâfî) yang terlepas dari elemen ‘illah
kepada Abû Hanîfah tentang sesuatu (dalam analogi qiyâs menurut Syâfi’î), atas
hal, lalu dia menjawabnya, kemudian pertimbangan sesuatu alasan yang lebih kuat.
laki-laki itu membantah “ada sebuah Alasan itulah menjadikan qiyas jâlî (biasa)
riwayat yang diriwayatkan dari Nabi dialihkan kepada qiyâs khâfî (alternatif )
demikian, demikian”. Abû Hanîfah dan hasilnya disebut istihsân. Termasuk
menjawab “tinggalkan riwayat itu, seraya pula dalam kategori istihsân, pengecualian
menunjukkan bahwa yang benar baginya masalah tertentu dari suatu ketentuan pokok
adalah apa yang ditunjukkan akalnya yang bersifat umum, atau dari suatu kaidah
dan bukan apa yang diriwayatkan atau hukum, karena pengecualian itu didukung
dikaitkan dengan Nabi. Diriwayatkan oleh suatu nas, ijma’ ‘urf, dharûrah, atau
bahwa seseorang membacakan sebuah mashlahah.
hadis di hadapan Abû Hanîfah se­ Dalam kasus khiyâr sebagaimana di­­
bagai berikut: “Penjual dan pembeli praktikkan Hanafî di atas, terlihat ke­
memiliki hak khiyâr selama keduanya simpulan yang dicapai melalui Istihsân
belum berpisah” yang berarti bahwa merefleksikan apa yang disebut perbedaan
penjual dan pembeli bisa membatal­kan bukti tekstual yang dipertimbangkan, dan
transaksi berdasar permintaan salah se­ perbedaan ini dipandang dalam kaitannya
orang diantara keduanya selama ke­dua­nya dengan kekuatan dan kelemahan dari ratio
masih berada di tempat dilangsungkannya legis (qiyâs).24
transaksi. Terhadap hadist ini Abû Dengan kata lain pertimbangan adanya
Hanîfah berkomentar “bagaimana ketentuan atau kesepakatan, kebiasaan, ke­adaan
pendapatmu jika keduanya berada darurat atau suatu kepentingan nyata, semua
dalam sebuah kapal? Bagaimana jika ada itu merupakan elemen-elemen dalam hukum
dalam penjara”, artinya banyak situasi Istihsân. Dalam perkembangan pemikiran
dan kondisi yang tidak me­mungkinkan hukum Islam, Istihsan ini ditempatkan sebagai
penjual dan pembeli berpisah satu sama sumber hukum sekunder, di kalangan penganut
lain dan karena itulah dia memfatwakan aliran pemikiran hukum Hanâfiyah. Kemudian
“jika telah terjadi akad jual beli maka berkembang pula secara terbatas dalam aliran
tidak ada khiyâr “, artinya ketika syarat- Mâlikiyah dan Hanbaliyah, dengan istilah
syarat legalnya telah terpenuhi maka tidak yang berbeda-beda.
bisa dilakukan pembatalan akad baik Penalaran istihsân yang berjalan dan
antara keduanya telah terpisah ataupun beredar melepaskan diri dari metode
masih dalam tempat yang sama.23 kausasi, tetap didasarkan atas nalar dan

23
Muhammad ‘Abid al-Jâbirî, Formasi Nalar Arab: Kritik 24
Wael B. Hallaq, Sejarah Teori Hukum Islam, E.
Tradisi Menuju Pembebasan dan Pluralisme Wacana Interreligius, Kusnadiningrat, Abdul Haris, (Pent.), (Jakarta: Raja Grafindo
h. 174. Persada, 2001), h. 161.
Muttaqin Choiri: Posisi Ra’y Dalam Pembentukan Hukum Islam  |751

anggapan dalam istihsân, bahwa “ jika Nabi 3. Mashlahah Mursalah: Penalaran


masih ada, niscaya beliau akan melakukan Kemaslahatan
yang demikian” yang kemudian oleh ahli Selain pada bentuknya yang terkesan kaku
Us}ûl ditempatkan sebagai hujjiyat al-hukm dalam penalaran ratio legis, qiyâs, sebagai
dan menyebutnya sebagai al-ra’y al-mahmûd bentuk ketundukan ra’y atas teks dalam rangka
(logika yang terpuji), sebagai lawan dari menghindarkan diri dari bias ke­ pentingan
al-ra’yu al-madzmum (logika yang tercela) individual, sebelum pembakuan sebagaimana
yang hanya didasarkan pada hawa nafsu yang dilakukan oleh Syafi’i telah berlangsung
belaka.25 dalam masa perkembangan Imam Mâlik,
Praktik penalaran istihsân pernah terjadi di mana jika satu persoalan yang muncul
dalam masa sahabat, Sha’ban Muhammad dalam istishlâh berkaitan dengan kasus-kasus
Ismail menyebutkan beberapa bukti kasus yang hukumnya didapat ber­dasarkan atas
yang dapat disebut sebagai “cikal-bakal” keuntungan yang sesuai secara rasional tidak
istihsân di masa sahabat26 Salah satunya didukung oleh bukti tekstual, yang kemudian
adalah kasus al-Musyârakah. Dalam kasus ini, dikenal dengan mashlahah mursalah. Metode
sebagian sahabat mengikutsertakan saudara istishlâh atau mashlahah mursalah dipraktikkan
kandung (seibu-sebapak) mayit bersama oleh Imam Malik apabila masalah (hukum)
saudara seibunya dalam memperoleh bagian yang sedang dihadapi, tidak ada satupun nash
sepertiga dari warisan. Ini terjadi jika seorang yang mendasarinya, baik yang membenarkan
istri wafat dan meninggalkan seorang suami, maupun yang melarangnya, bahkan dalam
seorang ibu, dua saudara seibu dan beberapa kasus-kasus tertentu, Imam Malik meng­
saudara sekandung. gunakan metode mashlahah mursalah dalam
Demikianlah hingga akhirnya di masa mentakhsis ayat-ayat Alquran yang bersifat
para imam mujtahid, kata istihsân men­ umum.29
jadi semakin sering didengar, terutama Berdasarkan definisi di atas, maka dapat
dari Imam Abû Hanîfah. Di mana dalam disimpulkan bahwa mashlahah mursalah
banyak kesempatan, kata istihsân sering merupakan suatu metode ijtihâd dalam rangka
disandingkan dengan qiyâs. Sehingga menggali hukum (istinbâth) Islam, namun
sering dikatakan: “Secara qiyâs seharusnya tidak berdasarkan kepada nash tertentu, tetapi
demikian, namun kami menetapkan ini berdasarkan kepada pendekatan maksud
berdasarkan istihsan”27 dengan meninggalkan diturunkannya hukum shara’ (maqâshid al-
qiyâs dan beralih kepada benuk penalaran syarî’ah).
yang tidak saja ditentukan oleh teks- Sebagai bentuk dari penalaran ke­
teks yang diwahyukan, tetapi juga oleh maslahatan, bisa dilihat metode yang juga
konsensus dan kepentingan.28 ditekankan dalam bentuk mashlahat mursalah
ini adalah sebagai usaha untuk mengantarkan
ra’y dalam bentuknya yang abstrak ke dalam
rangkaian penalaran yang lebih konkret yang
25
Jenis ra’y inilah yang ditentang oleh para sahabat,
sebagaimana dikatakan oleh Umar bin al-Khaththab r.a.:
dirasa bisa membentuk persepsi kebaikan
“Jauhilah ra’y! Karena sesungguhnya para pemakai ra’y itu adalah (kemaslahatan) bagi masyarakat dalam pe­
musuh-musuh Sunnah. Mereka tidak lagi mampu memahami nerapan hukum Islam, ketika teks tidak
Hadits-Hadits dan berat bagi mereka untuk meriwayatkannya,
maka mereka pun mendahulukan ra’y atasnya.” (Lihat Ibn Qayyim lagi memberikan jawabannya dalam bentuk
al-Jauziyah, I’lâm al-Muwaqqi’în ‹an Rabb al-‘Âlamîn, Jil. I, yang lebih khusus.
(Bayrût: Dâr al-Jayl, t.t.), h. 55. Hal ini sekaligus menjelaskan
bahwa tidak semua ra’y itu tercela, selama ia berjalan di atas
koridor Shariat yang semestinya
26
Sha’ban Ismâ’il, Ushûl Fiqh al-Muyassar, h. 29-31. 29
Abdul Wahab Khallaf, Sejarah Pembentukan dan
27
Shâ›ban Ismâ›il, Ushûl Fiqh al-Muyassar, Jil. 2, h. 48-50 Perkembangan Hukum Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2003), h.
28
Wael B. Hallaq, Sejarah Teori Hukum Islam, h. 160. 110.
752|  AL-‘ADALAH Vol. XII, No. 4, Desember 2015

Implikasi Perkembangan Ra’y: Pasca Risâlah, Syâfi’î dengan tegas menolak cara-
Evolusi cara berpikir demikian, dan itu berarti,
Dalam teori sosial, reformasi atau revolusi ijtihad harus didasarkan pada adanya satu
sebuah sistem maka akan mengakibatkan model yang muncul terlebih dahulu (‘alâ
benturan-benturan atau bahkan mampu mitsâl sâbiq),32 berupa teks-teks otoritatif
menghilangkan hal yang telah lama eksis agama, Alquran dan Hadîs. Hal ini tidak
sebagai sebuah aturan menjadi hal yang sangat dimiliki oleh bentuk-bentuk berpikir
tabu untuk dibicarakan si masa yang lain. semacam istihsân dan mashâlih al-mursalah,
Sebagaimana yang ditegaskan sendiri karena model berpikir demikian lebih banyak
oleh Syafi’i, ijtihad itu hanyalah berupa qiyâs, mengandalkan pikiran manusia tanpa ada
tiada yang lain (al-ijtihâd al-qiyâs)30 akhirnya dasarnya dalam Alquran maupun Hadîs.
konsekuensi yang dimunculkan ketika Konsekuensi berikutnya yang perlu
daya nalar dalam ra’y terjerembab dalam digarisbawahi dari pendasaran aturan-aturan
dunia analogi deduktif dari permasalahan normatif tersebut adalah menguatnya pola
yang timbul diawal, dengan pertimbangan berpikir ortodoksi yang menjadikan masa lalu
persamaan illat. yang ideal sebagai rujukan yang tidak pernah
Pertama-tama adalah persoalan jangkau­ kering mata airnya. Ini juga dimungkinkan
an teks agama yang diperlebar dan diperluas karena Syâfi’î sendiri menyatakan bahwa
oleh teori tentang qiyâs. Sebelum al-Shâfi’î, sebagai mekanisme qiyâs seseorang harus
ada satu keyakinan di kalangan tokoh-tokoh mengetahui “tradisi masa lalu, tradisi
ulama di saat itu bahwa jangkauan teks masyarakat salaf, termasuk kesepakatan-
agama sangatlah terbatas, dan tidak banyak kesepakatan (ijmâ’) dan perbedaan-perbedaan
memberikan jawaban tuntas terhadap kasus- pendapat mereka, dan juga harus menguasai
kasus hukum yang baru. Bahkan ada hadis bahasa Arab”.33 Dari sini kemudian kita lihat
Nabi, yang dikutip sebagai dukungan terhadap bahwa dasar-dasar penalaran yang dibangun
pendapat ini, yang mengatakan “antum a’lamu Syâfi’î bukan cuma ditujukan untuk mengatur
bi umûri dunyâkum”. Sehingga, tidak heran pola hubungan yang serasi dan penuh damai
kemudian kalau kebanyakan pengikut Imam antara kubu, yakni ahl ra’y dan ahl hadîst,
Abû Hanîfah dan Imam Mâlik menerapakan tapi juga lebih dari itu, ditujukan untuk
metode istihsân dan mashâlih al-mursalah mengabsahkan cara berpikir yang senantiasa
(prinsip menganggap baik dan bermanfaat merujuk dan kembali kepada masa lalu
dan prinsip kemaslahatan bebas tanpa ikatan dan kepada teks sebagai otoritas tertinggi.
dengan teks)31 untuk menjawab persoalan- Proyek al-Syâfi’î ini disebut Muhammad
persoalan kekinian yang tidak dinyatakan Abed al-Jabiry sebagai “al-tasyrî’ li al-’aql”,34
secara eksplisit oleh nas-nas atau teks-teks yang dikatakannya membatasi ruang gerak
agama. penalaran manusia pada wilyah teks semata,
sehingga mengabaikan dimensi-dimensi
Kemudian, setelah kemunculan al- yang sifatnya politically contested, historically
unfinished yang terangkum dalam konsep
“kemashlahatan umat manusia” (mashlahah).
30
Muhammad bin Idrîs al-Syâfi’î, al-Risâlah, h. 477.
31
Istihsân di kalangan pengikut Abû Hanifah dan Maka apa yang dikatakan dengan al-kulliyah
mashâlih al-mursalah di kalangan pengikut Malik sering al-khamsah pada akhirnya dibatasi menjadi
dimaknai sebagai cara yang mengabaikan qiyas demi
kepentingan sebuah mashlahah, dan kadang juga diidentikkan
dengan pengabaian kandungan eksplisit sebuah nash demi
kepentingan mengedepankan asas maqâshid al-syar’iyah yang di 32
Muhammad bin Idrîs al-Syâfi’î, al-Risâlah, h. 25.
antaranya adalah kemaslahatan umat manusia. Lihat misalnya 33
Muhammad bin Idrîs al-Syâfi’î, al-Risâlah, h. 510.
sebagai pengantar tentang pembahasan istihsân dan mashalih 34
Muhammad ‘Abid al-Jâbirî, Formasi Nalar Arab: Kritik
al-mursalah, dalam Muhammad Abû Zahrah, Ushûl al-Fiqh, Tradisi Menuju Pembebasan dan Pluralisme Wacana Interreligius,
(Bayrût: Dâr al-Fikr al-’Arabî, t.t.). h. 173.
Muttaqin Choiri: Posisi Ra’y Dalam Pembentukan Hukum Islam  |753

persoalan mashlahah (kemaslahatan dan Penutup


kebaikan) dan mafsadah (kerusakan), seperti Pada dasarnya ra’y merupakan seperangkat
yang kita lihat dalam al-Mustashfâ-nya al- model penerapan hukum yang telah ber­
Ghazâlî: kembang sejak masa Nabi, yang digunakan
“Bahwa tujuan syari’at agama bagi umat untuk membentuk kepastian hukum dimana
manusia adal lima hal, yaitu memelihara ketika nas Alquran tidak memberikan
(menjamin dan melindungi) agama (dîn), informasi tentang praktik hukum masyarakat
dirinya (nafs), akalnya (‘aql), keturunannya Islam awal, yang kemudian terus berkembang
(nasl) dan harta bendanya (mâl). Maka semua sebagai bentuk dan konsekuensi dari ekspansi
yang mencakup jaminan perlindungan kelima kekuasaan Islam.
hal pokok tersebut dikategorikan sebagai Untuk menjelaskan tentang proses qiyâs,
mashlahah dan semua yang mengancam Syâfi’î menegaskan sekurang-kurang­nya ada
keselamatan atau merugikan kelima pokok dua hal yang harus diperhatikan: Pertama,
itu dikategorikan mafsadah, dan upaya jika Allah dan Rasulnya telah mengharamkan
menghindarkannya adalah mashlahah”.35 sesuatu secara tersurat atau menghalalkan­
Persoalan mashlahah (kemaslahatan nya karena alasan (‘illat/ma’na) tertentu,
dan kebaikan) dan mafsadah ini malah kemudian kita dapatkan hal serupa tetapi
dikukuhkan dalam disiplin qawâ’id fiqhiyyah tidak ada nas khusus di dalam Alquran
(legal maxims, hukum-hukum fikih) misalnya atau Sunnah, maka kita bisa memberikan
dalam kaidah al-dharâr yuzâl (kemudaratan hukum haram atau halal berdasarkan fakta
dihindarkan), dar’u al-mafâsid muqaddam bahwa hal itu mempunyai essensi (‘illat)
‘alâ jalb al-mashâlih (menghindari kerusakan yang sama dengan yang telah ditetapkan
lebih diutamakan daripada menarik manfaat), status hukumnya dalam Alquran dan sunnah
atau kaidah la dharâr wa la dhirâr (tidak tadi. Kedua, dalam hal dua kasus yang
boleh ada kerusakan dan juga tidak boleh hampir-hampir sama, maka analogi (qiyâs)
menimbulkan kerusakan kepada orang lain). harus didasarkan atas kemiripan yang paling
lengkap, terutama dari sudut lahiriah. Proses
Kerangka Evolusi Ra’y sistematisasi inilah yang akhirnya meleburkan
A konsep ra’y, yang berarti mengandalkan rasio
r Ra’y Tidak Terikat Teks an sich, kepada penalaran berdasar kausasi,
a dan kemaslahatan.
h
E Tunduk Teks Pustaka Acuan
v
Qiyâs
o Coulson, Noel J., A History of Islamic Law,
l Edinburgh: Edinburgh University Press,
u Istihsân
s Mashlahah 1964.
i Istishâb Dahlan, H. Zaini (et,al), Filsafat Hukum
Islam, cet. 2, Jakarta: Bumi Aksara,
________ Evolusi Langsung 1992.
------------ Evolusi Tak Langsung
Ghazâli, al-Imâm Abî Hamid bin
Muhammad, Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn, Jil. I,
Mishr: al-Mathba’ah al-Uthmaniyyah
al-Mishriyyah, t.t.
35
Al-Imâm Abî Hamid bin Muhammad Ghazâlî, al- _______, al-Mustashfâ fî ‘Ilm al-Ushûl,
Mustashfâ fî ‘Ilm Ushûl, (Cairo: al-Matba’ah Al-’Amirah, 1322 Cairo: al-Matba’ah Al-’Amirah, 1322 H.
H), h. 282.
754|  AL-‘ADALAH Vol. XII, No. 4, Desember 2015

Hallaq, Wael B., Sejarah Teori Hukum Islam, Khallâf, Abdul Wahab, ‘Ilm Ushûl al-Fiqh,
E. Kusnadiningrat, Abdul Haris, (Pent.), Cairo: al-Dâr al-Kuwaitiyah, 1968.
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001. ______, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan
Hasan, Ahmad, Pintu Ijtihad Sebelum Hukum Islam, Jakarta: Rajawali Press, 2003.
Tertutup, Agah Garnadi, (Pent.), Mas’ud, Muhammad Khalid, Islamic Legal
Bandung: Pustaka, 1985. Philosophy: A Study of Abû Ishâq al-
_______, The Early Development of Islamic Shatibi’s Life and Thought, Pakistan:
Jurisprudence, Delhi: Adam Publishers Islamic Research Institute, 1977.
& Distributors, 1994. Mun’im, Abdul,”Fiqh dan Nalar Induktif:
Ismâ’il, Sha’ban Muhammad, Ushûl Fiqh Kajian atas al-Qawâ’id al-Fiqhîyah dalam
al-Muyassar, Jilid 2, Kairo: Dâr al-Kitâb Perspektif Induksi”, Disertasi, IAIN
al-Jami’î, 1415 H. Sunan Ampel, Surabaya, 2007.
Jabirî, al-, Muhammad ‘Abid, Formasi Nalar Qudamah, ‘Abdullah ibn Ahmad ibn, al-
Arab: Kritik Tradisi Menuju Pembebasan Mughnî, jil. 7, Riyâdh: Maktabah al-
dan Pluralisme Wacana Interreligius, Riyâdh al-Hadithah. t.t.
Imam Khoiri, (Pent.), cet. I, Yogyakarta: Rahman, Fazlur, Metode dan Alternatif
Ircisod, 2003. Neomodernisme dalam Islam, Bandung:
Jauziyah, Ibn Qayyim, al-, I’lam al- Mizan, 1986.
Muwaqqi’în ‘an Rabb al-‘Âlamîn, Jil. I, Shahrûr, Muhammad, al-Kitâb wa al-Qur’ân:
Beirut: Dâr al-Jayl, t.t. Qirâ’ah Mu’âshirah, Mishr: Dâr al-
Junaidy, Abdul Basith, Melacak Akar- Insâniyah al-’Arabiyah, 1990.
Akar Kontroversi dalam Sejarah Filsafat Syâfi’î, al-, Muhammad bin Idrîs, al-Risâlah,
Pemikiran Hukum Islam, Surabaya: Bayrût: Dâr al-Fikr, t.t.
Srikandi, 2005.
Zahrah, Abû, Ushûl al-Fiqh, Bayrût: Dâr
Kamali, M.H., Principles of Islamic al-Fikr al-’Arabî, t.t.
Jurisprudence, Versi PDF, dari www.
scribd.com.

Anda mungkin juga menyukai