Anda di halaman 1dari 40

BAB II

PROBLEMATIKA RAWI MUKHTALAF FI<H DALAM JARH WA TA’DIL

A. Ilmu Rija>l : Sejarah, Perkembangan Dan Urgensinya

Sepeninggal nabi Muhammad saw, umat Islam mengalami pergolakan dan

perdebatan mengenai siapa yang berhak memimpin umat sebagai khalifah nabi.

Keadaan ini terjadi karena nabi tidak berwasiat kepada para s}ah}abat tentang

kekhalifahan1, juga tidak menunjuk salah satu dari mereka. Oleh sebab itu,

muncul ego kelompok apakah kaum muhajirin atau kaum anshar yang berhak

sebagai khalifah memimpin umat Islam. Hal serupa menjadi lazim mengiringi

tiap pergantian khalifah pada masa khulafa al-rasyidun, terlebih setelah

kehadiran seorang Yahudi penebar fitnah dimasa shahabat Utsman menjadi

khalifah yakni Abdullah Ibn Saba’ al-Yahudi2.

Kondisi sosial umat Islam pada masa khulafa al-rasyidun menginisiasi para

shahabat untuk lebih selektif dalam menerima periwayatan hadits. Kebijakan-

kebijakan yang disepakati pada masa khulafa al-rasyidun dalam periwayatan

hadits antara lain : 1. Meminimalisir periwayatan hadits, 2. Mengharuskan

adanya saksi saat meriwayatkan, 3. Melarang periwayatan hadits yang dapat

berakibat keosnya umat3.

1
Muhammad Abu< Zahwa, al-H{adi>s\ wa al-Muh}addis\u>n, (Riyad} : ), hlm. 62
2
Ibid., hlm. 65
3
Ibid., hlm. 66-73

15
16

Sikap para shahabat tersebut menunjukkan bahwa mereka jeli dan jenius4

dalam seleksi hadits, sehingga dapat diketahui sedini mungkin apabila ada

kesalahan dalam periwayatan hadits atau bahkan adanya pemalsuan hadits.

Dalam proses periwayatan hadits nabi, sangat ditekankan pemakaian

sistem sanad sebagai filter validitas hadits yang diriwayatkan. Sanad adalah

hikayat seorang rija>l al-hadis} yang menuturkan periwayatannya bersambung

sampai Rasulullah saw5. Praktik seperti itu tersurat misalnya pada riwayat imam

Muslim dalam muqadimahnya dari riwayat Ibn Sirin.

ّ : ‫" ﻢ ﻳ ﻮﻧﻮا ﺴﺄ ﻮن ﻋﻦ اﻹﺳﻨﺎد ﻓﻠﻤﺎ وﻗﻌﺖ اﻟﻔﺘﻨﺔ ﻗﺎ ﻮا‬


‫ ﻓﻴﻨﻈﺮ ا اﻫﻞ ا ﺴﻨﺔ‬.‫ﺳﻤﻮا رﺟﺎﻟ ﻢ‬
6
"‫ﻓﻼ ﻳﺆﺧﺬ ﺣﺪﻳﺜﻬﻢ‬,‫ و ﻨﻈﺮ ا اﻫﻞ ا ﺪع‬,‫ﻓﻴﺆﺧﺬ ﺣﺪﻳﺜﻬﻢ‬

Praktik pemakaian sanad dilakukan sebagai media investigasi validitas dan

otentisitas sebuah hadits, diketahui bahwa syarat-syarat hadits shahih memuat

unsur-unsur mayor dan unsur-unsur minor7. Unsur-unsur mayor yang harus

terpenuhi sebagai hadits shahih yaitu: 1. Ketersambungan sanad, 2. Rawi yang

adil dan dhabith, 3. Terbebas dari syadz, 4. Terbebas dari cacat8 sedangkan

unsur-unsur minor yang dimaksud adalah detail rincian dari unsur-unsur mayor

tersebut.

Investigasi validitas hadits dilanjutkan pada kredibilitas dan integritas serta

kapabilitas seorang rawi, apabila ketersambungan sanad sudah diklarifikasi. Dari

4
Kejeniusan yang sangat dari shahabat diistilahkan dalam shahih bukhari dengan
ungkapan ‘Abqariyyan
5
Nuruddin ‘Itr, Manhaju al-Naqdi fi> ‘ulu>m al-h}adi>s\, (Damaskus : Da>r al-Fikr,1988), hlm.
33
6
Muhammad Luqman al-Salafi, Ihtima>m al-Muhaddis\i>n bi Naqdi al-Hadis\ Sanadan wa
Matnan (Riyad : ), hlm. 155
7
Syuhudi Ismail, Kaedah kesahihan sanad hadis: telaah kritis dan tinjauan dengan
pendekatan ilmu sejarah, (Jakarta : Bulan Bintang, 1995), hlm. 119
8
Lihat Nuruddin ‘Itr, Opcit., hlm. 242-243
17

penilaian kredibilitas dan integritas serta kapabilitas rawi ini, berkembanglah

satu kajian yang dikenal dengan ilmu rija>l.

1. Sejarah munculnya ilmu rija>l

Dalam Islam, pemakaian sanad mendapat prioritas dan dipandang urgen9.

Substansi dari sistem sanad ini menunjukkan bahwa ada proses transmisi

yang diterima umat Islam dari para shahabat, para shahabat juga menerima

transmisi ajaran agama tersebut dari Rasulullah saw yang telah menerima

wahyu dari Allah swt dengan atau tanpa perantara10.

Sistem sanad menjadi media yang dapat dipertanggung jawabkan dalam

transmisi perihal ajaran agama secara umum dan khususnya dalam

periwayatan hadits. Syaikhul Islam Ibn Taimiyah (w. 728 H) berkata : “Ilmu

Isna>d dan Riwa>yat adalah suatu yang dikhususkan oleh Allah swt untuk umat

nabi Muhammad saw, Allah pula yang menyelamatkannya. Lain halnya

dengan ahli kitab yang ajaran-ajarannya tidak disertai isna>d, begitu juga para

ahli bid’ah yang tersesat. Sesungguhnya isna>d menjadi anugerah bagi umat

Islam ahlu sunnah yang dimuliakan Allah swt”11.

Mengenai pelopor kritikus rija>lul hadis\, ada perbedaan pendapat

dikalangan ulama Muhaddis\i>n terkemuka. Menurut Ibn Rajab (w. 795 H)

pelopor ilmu rijal adalah Ibn Sirin (w.110 H)12, Abu Abdullah al-Z|ahabi

9
Muhammad bin Mathor al-zahroni, “’Ilm al-Rija>l Nasy’atuhu wa Tat}o>waruhu min al-
Qorni al-awwal ila> niha>yati al-Qorni al-Ta>si’”, (Madinah : Da>r al-h}ud}oiri), hlm. 13
10
Ibid., hlm. 14
11
Ibid., hlm. 19
12
Ibid., hlm. 26
18

berpendapat al-Sya’bi (w.103 H)13 sebagai pelopornya, sedangkan Ibn Hibban

(w.354 H) berpendapat pelopor ilmu rijal adalah Sa’id ibn Musayyab(w.93H).

Praktik pemakaian sistem sanad sebenarnya bukan hal baru dalam Islam,

bahkan sudah dipraktekkan sejak awal munculnya agama Islam sebagai

tindakan preventif shahabat dalam menerima sebuah kabar. Al-Z|ahabi (w.

748 H) mendeskripsikan shahabat Abu Bakar al-Shidq (50 SH – 13 H)

sebagai shahabat yang paling berhati-hati dalam menerima kabar14,

sedangkan shahabat Umar bin Khattab (40 SH – 23 H) dideskripsikan sebagai

penggagas diperlukannya saksi bagi Muhaddis\i>n dalam meriwayatkan

hadits15.

Tradisi sanad semakin marak penggunaannya dan sebagai konklusi dari

banyaknya persoalan tentang sanad terlebih mengenai penjelasan kredibilitas

dan integritas seorang rawi sebagai perantara hadits, maka muncullah kajian

ilmu rija>l16 yang berisi penjelasan dan informasi mengenai rawi (perantara

hadits). Sistem sanad juga menjadi ciri khas umat Islam dibanding umat-

umat lain17.

13
Ibid.,
14
Samsuddin al-Dhahabi, Taz\kirat al-H{uffa>z}, (Hyderabad:Osmania University,1958),
hlm. 2
15
Ibid., hlm. 6
16
Ilmu rija>l : menurut Hashim Kamali dalam bukunya text book of H{adith Studies
Authenticity, Compilation, Classification and Criticism of h}adith didefinikan sebagai : cabang
ilmu hadits yang membahas dan meliputi kajian tentang data riwayat hidup, kronologi, catatan
akademis, guru-guru dan murid-murid, pandangan politis serta penilaian orang-orang terhadap
seorang rawi.
17
Muhammad bin Mathor al-zahroni, ’Ilm al-Rija>l Nasy’atuhu wa Tat}owaruhu min al-
Qorni al-awwal ila> niha>yati al-Qorni al-Ta>si’, (Madinah : Da>r al-h}ud}oiri), hlm. 25
19

2. Perkembangan ilmu rijal

Diskursus tentang keadaan rawi baik mengenai kredibilitas dan

integritas maupun kapabilitasnya, memicu pembukuan catatan yang

menginformasikan hal tersebut. Karangan-karangan kitab rija>l mulai

dibukukan pada abad kedua hijriyah. Beberapa contoh kitab rija>l yang

dikarang pada kurun waktu itu antara lain : kitab “al-Ta>rikh” karya al-Laits

bin Sa’ad (w. 175 H), kitab “al-Ta>rikh” karya imam Abdullah bin Mubarak

(w. 181 H), sedangkan informasi hal ihwal rawi sebelum adanya kitab rija>l,

disampaikan seraca oral transmition dari generasi ke genarasi18.

Informasi tentang kredibilitas dan integritas seorang rawi mutlak

diperlukan dalam seleksi hadits, hal ini berkaitan dengan derajat hadits yang

diriwayatkan. Secara umum, hadits dapat dibedakan menjadi dua yakni : 1.

Hadits maqbu>l (diterima) dan 2. Hadits mardu>d (ditolak).

Hadits yang maqbu>l (diterima) ada 4 macam yaitu : 1. Hadits shahih, 2.

Hadits hasan, 3. Hadits shahih lighairihi dan 4. Hadits hasan lighairihi19.

Sedangkan macam-macam hadits mardu>d yaitu : 1. Hadits dhaif dan

macamnya, 2. Hadits mudha’af, 3. Hadits matruk, 4. Hadits mathruh dan

hadits maudhu’20.

Berkaitan dengan hal ihwal rawi, hadits dapat tertolak karena adanya

kekurangan baik secara kredibilitas dan integritas maupun kapabilitas sang

rawi. Kekurangan atau cacatnya rawi dari segi kredibilitas dan integritas

dapat karena : 1. Bohong, 2. Tertuduh berbohong, 3. Fasiq, 4. Mengada-ada

18
Ibid., hlm. 26
19
Nuruddin ‘Itr, Manhaju al-Naqdi fi> ‘ulum al-h}adi>s\, (Damaskus : Da>r al-Fikr,1988),
hlm. 241
20
Ibid., hlm. 285
20

(bid’ah) dan 5. Bodoh21. Sedangkan, kekurangan dan cacatnya rawi dari segi

kapabilitasnya karena : 1. Kesalahan yang fatal, 2. Lemah hafalannya, 3.

Kelalaian, 4. Tukang hayal dan 5. Tidak tsiqah22.

Investigasi keadaan rawi dan urgensi pemakaian sanad menjadi rukun

yang harus ada dalam hadits nabi, sebab isnad merupakan bagian dari agama,

tanpa isnad niscaya orang bicara semaunya sendiri23.

Menggaris bawahi urgensi sanad, Imam Syafi’i berkata : “orang yang

menggali hadits tanpa sanad bagaikan pencari kayu bakar yang membawa

bungkusan kayu bakar di malam hari, dia tidak sadar di dalamnya ada ular

yang bisa mematuk”24. Sedangkan Sufyan al-Tsauri mengumpakan sanad

bagaikan senjata bagi kaum mukmin, tanpa senjata bagaimana bisa eksis

dalam peperangan.

Dalam investigasi sanad yang shahih, tidak jarang muhaddis\u>n

melakukan perjalanan jauh demi mendapatkan klarifikasi atas seorang rawi.

Misalkan perjalanan Jabir bin Abdullah dari madinah sampai mesir untuk

klarifikasi tentang hadits satru al-mu’min kepada ‘Uqbah bin ‘A<mir25.

Sanad dalam hadits umpama pondasi bagi sebuah bangunan, tidak

mungkin membahas hadits tanpa sanad sebagaimana tidak mungkin

membangun bangunan tanpa pondasi26. Kesimpulannya adalah mengetahui

21
Muhammad Mahmud Bakkar, Asba>b Raddu al-Hadis\ wa Ma> Yantajju ‘Anha> Min
‘Anwa>’, (Riyadh: Da>r al-T{oyyibah, 1997), hlm. 117
22
Ibid.,
23
Muhammad Luqman al-Salafi, Ihtima>m al-Muhaddis\i>n bi Naqdi al-Hadis\ Sanadan wa
Matnan, (Riyad : ), hlm. 157
24
Ibid., hlm. 158
25
Ibid., hlm. 159
26
Ibid.,
21

sanad dan ilmu rijal mutlak diperlukan dan sangat urgen dalam mempelajari

hadits nabi, sehingga dapat diseleksi hadits yang shahih atau dhoif.

3. Cabang-cabang ilmu rija>l

Berdasar muatannya, karangan ilmu rijal terbagi menjadi beberapa

kelompok, antara lain : 1. Kitab Ta>rikh, 2. Kitab Tarajim, 3. Kitab t}obaqa>t, 4.

Kitab Alqa>b, 5. Kitab Asma dan 6. Kitab Jarh wa Ta’dil.

Ta>ri<kh adalah ilmu yang mengabarkan tentang rawi dari segi yang

berkaitan dengan periwayatan hadits, meliputi penjelasan ah}wa>l rawi,

kelahiran dan kematiannya, guru-gurunya, siapa saja yang meriwayatkan

darinya, asal negaranya, perjalanannya, daerah-daerah yang disinggahi dan

lain sebagainya berkenaan dengan rawi.27

Tara>jim adalah kitab rijal yang berisikan biografi rawi hadits untuk

menjelaskan detail rawi yang dimaksud. Oleh karena banyaknya nama rawi

yang sama bahkan ada juga yang sama persis beserta nama ayahnya sehingga

tidak tertukar.

T{obaqa>t adalah kaum yang menjadi perantara sunnah dan isnad dan

menunjukkan bahwa seorang guru juga menjadi perantara dari guru-gurunya.

Jadi kitab t}obaqa>t berisi klasifikasi para rawi hadits berdasar urutan proses

transmisi hadits nabi.

Alqa>b adalah suatu julukan rawi yang sering dipakai untuk menunjuk

rawi yang dimaksud. Oleh karena sudah menjadi adat pemakaian julukan

dikalangan muslim untuk menunjuk seseorang. Kitab alqa>b berisi penjelasan

mengenai siapa rawi yang dimaksud dengan julukan yang dipakai para ahli

27
Opcit., hlm. 117
22

hadits karena julukan tersebut lebih dikenal masyarakat dari pada nama

aslinya.

Ilmu al-Jarh} wa al-Ta’di<l merupakan idiom dari dua kata Jarh dan

Ta’dil. Secara terminologi jarh adalah adanya sifat rawi yang merusak sifat

adilnya, buruk hafalan dan kecerdasanya yang berimplikasi pada gugur atau

dhaif atau tertolak hadits yang diriwayatkannya28. Sedangkan terminologi

ta’dil adalah mensifati rawi dengan sifat yang bersih, menerangkan sifat

adilnya dan diterima ucapanya29. Sehingga dapat dipahami bahwa ilmu jarh

wa ta’dil adalah ilmu yang membahas tentang hal ihwal rawi yang

berimplikasi diterima atau ditolak periwayatannya30.

Penulis fokus pada kajian jarh wa ta’dil sebagai acuan penelitian guna

mendukung judul kami mengenai obyektifitas jarh wa ta’dil dan implikasinya

terhadap periwayatan rawi yang mukhtalaf fi>h.

4. Jarh wa Ta’dil

Riwayat, isnad serta jarh wa ta’dil adalah hal unik yang dimiliki umat

Islam dibanding umat lain. Metode tersebut bukan hanya sebagai tradisi

melainkan disyariatkan langsung oleh Allah swt sebagaimana tersurat dalam

Q.S al-Hujurat ayat 6

           

     


Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita,
Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu
kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu
itu.

28
Ibid., hlm. 260
29
Ibid., hlm. 261
30
Ibid.,
23

Dalam kitabnya al-Kifa>yah, Khatib Baghdadi (w. 463 H) berkata : “nabi

telah mensinyalir bahwasanya akan datang para kaz\z\a>bi>n sepeninggal beliau,

maka (nabi berpesan) berhati-hatilah terhadap mereka, dan beliau

menerangkan bahwasanya bohong yang dimaksud bukan seperti bohongnya

seseorang kepada orang lain, maka wajib memperhatikan dan menyelidiki hal

ihwal muhaddis\in sebagai ujud berhati-hati dalam urusan agama dan menjaga

syariat dari tipu daya orang kafir”.31 Ini menunjukkan bahwa sistem riwayat,

isnad serta penilaian jarh wa ta’dil juga dituturkan oleh nabi Muhammad saw.

Sejarah menunjukkan bahwa dalam praktiknya, ilmu jarh wa ta’dil

muncul seiring munculnya ilmu rijal32. Jarh wa ta’dil diperlukan untuk

menimbang dan memperhatikan serta menjadi item investigasi seorang rawi

yang berimplikasi diterima atau ditolak periwayatannya. Budaya kritis atas

berita dan reporternya, terlebih yang datang dari nabi telah ada sejak nabi

masih hidup.

Satu contoh verifikasi yang dilakukan Z|ima>m bin S|a’labah kepada nabi

Muhammad saw dan berkata : Muhammad, utusanmu telah berkata pada

kami…….dll, nabi menjawab : apa yang dikatannya itu benar.33

Dari cerita tersebut dapat diklaim bahwa investigasi atau kritik hadits

sebenarnya menjadi hal yang melekat dan berasal dari nabi Muhammad saw.

Laku kritik tersebut dengan sendirinya berhenti bersama dengan

meninggalnya nabi Muhammad saw, namun hal ini menjadi tugas kaum

31
Muhammad bin Mathor al-zahroni, ’Ilm al-Rija>l Nasy’atuhu wa Tat}o>waruhu min al-
Qorni al-awwal ila> niha>yati al-Qorni al-Ta>si’, (Madinah : Da>r al-h}ud}oiri), hlm.114
32
Ibid., hlm. 115
33
M. Mus}t}afa ‘Az}ami, Studies in Hadith Methodology and Literature, (Riyadh:
University of Riyadh,1977), hlm. 48
24

muslim baik secara individu, komunitas ataupun negara untuk mengikuti

cara-cara nabi, dengan konsekuensi harus sangat hati-hati dan teliti dalam

menyandarkan statemen pada nabi.

Berbeda dengan prakteknya, secara tura>s\ kaidah ilmu jarh wa ta’dil

dikumpulkan pertama kali dan dikenalkan sebagai cabang ulumul hadits oleh

Abu Abdullah al-Hakim (w. 405 H)34.

Sejak diperkenalkan oleh al-Hakim, baru kemudian kitab-kitab

musthalah hadits yang ditulis menganggap perlu mengangkat kaidah jarh wa

ta’dil yang menggambarkan tingkatan dhabit35. Itulah sebabnya ilmu jarh wa

ta’dil lebih dimengerti muncul dan berkembang pada abad ketiga hijriyah,

walaupun sebenarnya secara praktek sudah lazim dilakukan sejak masa nabi.

Untuk mengetahui kebenaran khabar (hadits), harus mengerti lebih dulu

hal ihwal rawinya, dengan mengetahui rawi dapat dilacak kemungkinan

apakah dia berkata benar atau berbohong, sehingga dapat dijelaskan perdikat

khabarnya diterima atau ditolak36. Itulah gunanya keadaan rawi

dipertanyakan, dan mengamati kehidupannya secara ilmiah, serta

membahasnya dengan seksama sehingga didapati kesimpulan bahwa rawi

tersebut d}obit, hafal, ataupun seberapa sering menggali dari pendahulunya.

Para ahli hadits telah mencermati dengan seksama dalam memberi

predikat rawi dengan mengetahui segala sesuatu mengenai rawi secara

34
Muhammad bin Mathor al-zahroni,’Ilm al-Rija>l Nasy’atuhu wa Tat}owaruhu min al-
Qorni al-awwal ila> niha>yati al-Qorni al-Ta>si’”,(Madinah : Da>r al-h}ud}oiri), hlm.115
35
Ibid.,
36
‘Aja>j Khatib, Us}u>l al-Hadis\ ‘Ulu>muhu wa Must}ala>h}uhu, (Beirut: Da>r al-Fikr,1971),
hlm. 261-262
25

personal maupun semua yang menyangkut dirinya, sehingga didapati

kesimpulan penilaian terhadap rawi tersebut.

Hasil investigasi ahli hadits dikumpulkan dalam bentuk kitab,

diantaranya ada yang khusus memuat rawi-rawi terpercaya misal al-Tsiqat,

ada pula yang hanya memuat rawi-rawi dengan predikat tertolak misal al-

Majruhi>n, serta ada juga karangan yang merangkum beberapa hasil

investigasi ahli hadis dalam satu kitab semisal Tahz\ib al-Tahz\ib.

a. Ragam pemakaian lafadz jarh wa ta’dil serta implikasinya terhadap

derajat hadits.

Dalam meneliti sanad, seyogyanya keterangan biografi tentang

rawi dikumpulkan sebanyak mungkin. Hal ini ditujukan agar tidak terjadi

kesalahan dalam memberikan kesimpulan mengenai hal ihwal rawi.

Kesalahan menyimpulkan penilaian bisa terjadi karena salah dalam

merujuk nama rawi, rawi dalam sanad hadits yang termaktub dalam kitab

hadits biasanya tidak disertai keterangan biografi dan informasi

kualitasnya,37 sehingga tidak menutup kemungkinan peneliti salah

merujuk nama rawi yang dimaksud oleh karena ada rawi yang nama

bahkan beserta nama ayahnya juga sama.

Kesamaan nama rawi beserta ayahnya tersebut memicu karya

ulumul hadits Muttafaq wa Muftaraq. Walhasil, ketelitian dan kejelian

peneliti saat merujuk rawi hadis dalam kitab rija>l mutlak diperlukan

untuk menghindari kesalahan.

37
Arif Chasanul Muna, Metode Penelitian Sanad dan Matan Beragam Versi, (Pekalongan
: Mahabbah Press,2015), hlm. 60
26

Diantara referensi kitab rija>l yang dapat digunakan dalam meneliti

rawi adalah kitab tahz\ib al-kamal karya al-Mizzi dan juga Tahz\ib al-

Tahz\ib karya Ibn Hajar al-‘Asqalani.38

Dari kitab rija>l tersebut dapat diketahui identitas rawi, guru dan

muridnya dan kumpulan pendapat ulama hadits mengenai kualitas rawi

yang sangat dibutuhkan dalam mendeskripsikan kondisi dan kualitas (jarh

wa ta’dil) masing-masing rawi dalam sanad hadits39, namun tidak

memberikan kesimpulan apakah rawi yang dimaksud tergolong maqbu>l

(diterima), al-I’tibar (dipertimbangkan) atau al-radd (ditolak).

Hal yang menarik untuk diamati dalam penelitian rawi adalah

adanya ragam ungkapan ulama hadits yang dipakai dalam

mendeskripsikan rawi. Misal penilaian terhadap Abdullah bin Mubarok

(118-181H), semua penilaian yang disematkan kepada beliau Muttafaq

a>la Ta’di>lih, namun ungkapan yang dipakai banyak ragamnya. Al-Mizzi

menilai beliau dengan ungkapan ‫ اﺣﺪ اﻷﺋﻤﺔ اﻻﺳﻼم‬imam Ahmad bin Hanbal

memberikan ungkapan tentang beliau ‫ﺻﺎﺣﺐ ا ﺪﻳﺚ‬.40

Dari kasus tersebut, kiranya perlu diteliti dan dikelompokan

mengenai penggunaan ungkapan jarh wa ta’dil. Pemilihan diksi ulama

nuqa>d memungkinkan penilaian yang berbeda dalam menentukan derajat

hadits, jika tidak dilakukan penelitian lebih lanjut.

38
Ibid.,
39
Ibid., hlm. 61
40
_____,Maktabah Syamilah:Ruwa>t al-Tahdzibi>n
27

Di kalangan ulama hadits tidak ada kesepakatan tentang jumlah

tingkatan al-jarh wa ta’di>l. Ibn Ha>tim al-Ra>zi> (w.327 H), Ibn S{ala>h}

(w.643 H) dan al-Nawa>wi> (w.676 H) membagi tingkatan penilaian al-Jarh

wa ta’di>l menjadi 4 peringkat. Sedang al-Zahabi> (w.748 H), al-Ira>qi>

(w.806 H) dan Abu> Faid} al-Harawi> (w.837 H) membagi menjadi 5

tingkatan. Adapun Ibn Hajar al-Asqala>ni> (w.852 H) dan Jala>l al-Di>n al-

Suyu>ti> (w.911 H) membagi menjadi 6 tingkatan.41

Konsekuensi yang mungkin muncul dari perbedaan jumlah

peringkat rawi adalah, pertama, ada satu lafadz yang sama dimasukkan

dalam peringkat yang sama oleh beberapa ulama kritikus. Kedua, ada

lafadz sama yang dimasukkan dalam katagori yang berbeda oleh beberapa

ulama kritikus. Ketiga, ada beberapa lafadz yang tidak digunakan oleh

kritikus tertentu.42

Wajib bagi seorang ba>his} mengkompilasi ungkapan ta’dil dan tajri>h

kemudian meneliti apa yang diperolehnya dengan mengetahui setiap

istilah dan maksud dari banyaknya ungkapan serta lafal jarh wa ta’dil

seorang na>qid. Sebab penempatan lafal dalam mara>tib jarh wa ta’dil

merupakan ijtihad na>qid, bisa saja imam lain menempatkan lafal yang

sama dalam tingkatan yang berbeda atau bahkan lebih tinggi.43

Oleh karenanya, untuk mengetahui dan memahami tingkat kualitas

penilaian seorang rawi dari kapasitas intelektual dan kepribadiannya,

41
Suryadi cs, Metodologi Penelitian Hadis, (Yogyakarta : Teras Press, 2009), hlm. 106
42
Ibid., hlm. 107
43
Umar I<ma>n Abu Bakar, al-Ta’si>s fi> Fanni dira>sat al-Asa>ni>d, (Riyadh: Maktabah al-
Ma’arif), hlm. 112
28

perlu penelitian dengan mengaitkan penggunaan lafadz dengan ulama

yang menyatakannya.44

Masing-masing ulama na>qid memiliki konsep dan standar penilaian

yang berbeda dengan maksud ungkapan yang berbeda pula. Berikut kami

cantumkan tabel peringkat berdasar penelitian Syuhudi Ismail dalam

karyanya Kaedah Kesahihan Sanad Hadis : Telaah Kritis dan Tinjauan

dengan Pendekatan Ilmu Sejarah.

44
Suryadi cs, Opcit., hlm. 107
‫‪29‬‬

‫‪BEBERAPA PERINGKAT LAFAL-LAFAL KETERPUJIAN (MARA<TIB ALFADZ AL-TA’DIL) PARA RAWI‬‬


‫‪MENURUT PENGELOMPOKAN ULAMA HADITS45‬‬
‫‪PENGELOMPOKAN MENURUT‬‬
‫‪PERINGKAT TA’DIL‬‬

‫‪IBN HAJAR AL-‬‬


‫‪IBN ABIY HATIM‬‬
‫‪IBN AL-SHALAH‬‬ ‫‪AL-NAWAWIY‬‬ ‫‪AL-DZAHABIY‬‬ ‫‪AL-‘IRAQIY‬‬ ‫‪AL-HARAWI‬‬ ‫‪ASQALANIY dan‬‬
‫‪AL-RAZIY‬‬
‫‪AL-SUYUTHIY‬‬

‫ﺛﺒﺖ‪ ,‬ﺛﻘﺔ‪ ,‬ﻣﺘﻘﻦ‪ ,‬ﺛﺒﺖ‪ ,‬ﺣﺠﺔ‪ ,‬ﺛﻘﺔ‪ ,‬ﻣﺘﻘﻦ‪ ,‬ﺛﺒﺖ‪ ,‬ﺘﺞ‬ ‫ﻣﺘﻘﻦ‪,‬‬ ‫اﺛﺒﺖ اوﺛﻖ ا ﺎس‪ ,‬اﺛﺒﺖ ﺛﻘﺔ ﺛﻘﺔ‪ ,‬ﺛﺒﺖ ﺛﺒﺖ‪ ,‬ﺛﻘﺔ ﺛﻘﺔ‪ ,‬ﺛﺒﺖ ﺣﺠﺔ‪ ,‬ﺛﻘﺔ‪,‬‬ ‫ا ﺎس‪,‬‬ ‫اوﺛﻖ‬
‫ﺛﺒﺖ ﺣﺠﺔ‪ ,‬ﺿﺎﺑﻂ‪ ,‬ﻋﺪل‪ ,‬ﺣﺎﻓﻆ‪ ,‬ﺿﺎﺑﻂ‬ ‫ﺣﺎﻓﻆ‪,‬‬ ‫ﺛﻘﺔ ﺛﺒﺖ‪ ,‬ﺛﻘﺔ ﺣﺠﺔ‪ ,‬ﺛﺒﺖ‬ ‫ا ﺎس‪ ,‬ﻓﻮق ا ﻘﺔ‪ ,‬إ ﻪ ا ﺎس‬
‫‪I‬‬
‫ﺣﺎﻓﻆ‬ ‫ﻣﺘﻘﻦ‬ ‫ﺛﻘﺔ ﻣﺄ ﻮن‬ ‫ا ﺒﺖ‪ ,‬ﻻ‬ ‫ا ﻨﺘ‬
‫أﺛﺒﺖ ﻣﻨﻪ‪ ,‬ﻣﻦ ﻣﺜﻞ‬
‫ﻓﻼن‪ ,‬ﻓﻼن ﺴﺄل ﻋﻨﻪ‬
‫ﻠﻪ ا ﺼﺪق‪ ,‬ﺻﺪوق‪ ,‬ﻠﻪ ا ﺼﺪق‪ ,‬ﻻ‬ ‫ﻠﻪ ا ﺼﺪق ﺻﺪوق‪,‬‬ ‫ﺻﺪوق‪,‬‬ ‫ﻣﺘﻘﻦ‪ ,‬ﺛﻘﺔ‪ ,‬ﺛﺒﺖ‪ ,‬ﻣﺘﻘﻦ‬ ‫ﺛﺒﺖ‪,‬‬ ‫ﺛﻘﺔ ﺛﻘﺔ‪ ,‬ﺛﺒﺖ ﺛﺒﺖ‪ ,‬ﺛﻘﺔ ﺛﻘﺔ‪ ,‬ﺛﻘﺔ ﺛﺒﺖ‪ ,‬ﺛﻘﺔ‪,‬‬
‫ﺑﺄس ﺑﻪ‬ ‫ﻻﺑﺄس ﺑﻪ‬ ‫‪,‬ﻻﺑﺄس ﺑﻪ‬ ‫ﺣﺠﺔ ﺣﺠﺔ‪ ,‬ﺛﺒﺖ ﺛﻘﺔ‪ ,‬ﺛﺒﺖ ﺣﺠﺔ‪ ,‬ﺛﻘﺔ ﻣﺘﻘﻦ‪ ,‬ﺣﺠﺔ‪ ,‬ﺣﺎﻓﻆ‬
‫ﺛﻘﺔ ﺛﺒﺖ ﺣﺎﻓﻆ‪ ,‬ﺣﺎﻓﻆ‬ ‫ﺣﺠﺔ‪,‬‬ ‫ﺣﺎﻓﻆ‬
‫‪II‬‬
‫ﺛﺒﺖ‪,‬‬ ‫ﺛﻘﺔ‪,‬‬ ‫ﻣﺘﻘﻦ‪,‬‬ ‫ﻣﺄ ﻮن‪ ,‬ﺛﺒﺖ ﺣﺠﺔ‬
‫ﺣﺠﺔ‪ ,‬ﻣﺘﻘﻦ‪ ,‬ﺣﺎﻓﻆ‪,‬‬
‫ﻋﺪل‪ ,‬ﺿﺎﺑﻂ‬

‫‪45‬‬
‫‪Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis : Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, (Jakarta : Bulan Bintang, 1995), hlm. 198‬‬
‫‪30‬‬

‫ﺷﻴﺦ‬ ‫ﺷﻴﺦ‪ ,‬وﺳﻂ‪ ,‬روي ﻋﻨﻪ ﺷﻴﺦ‬ ‫ﻣﺄ ﻮن‪ ,‬ﺻﺎﻟﺢ ا ﺪﻳﺚ‪ ,‬ﺣﺴﻦ ﺻﺪوق‪ ,‬ﻟ ﺲ ﺑﻪ ﺑﺄس‬ ‫ﺛﻘﺔ‪ ,‬ﺛﺒﺖ‪ ,‬ﺣﺠﺔ‪ ,‬ﺣﺎﻓﻆ‪ ,‬ﺻﺪوق‪,‬‬
‫‪III‬‬
‫ﻣﻘﺎرب‬ ‫ا ﺎس‪,‬‬ ‫ﻣﻘﺎرب‬ ‫ﻠﻪ ا ﺪﻳﺚ‪,‬‬ ‫ﺑﻪ‪,‬‬ ‫ﻻﺑﺄس‬ ‫ﺿﺎﺑﻂ‬
‫ا ﺪﻳﺚ‬ ‫ا ﺪﻳﺚ‬ ‫ا ﺼﺪق‪ ,‬ﺧ‬
‫ﺻﺎﻟﺢ ا ﺪﻳﺚ‬ ‫ﺻﺎﻟﺢ ا ﺪﻳﺚ‬ ‫ﻠﻪ ﺻﺎﻟﺢ ا ﺪﻳﺚ‬ ‫ﻠﻪ ا ﺼﺪق‪ ,‬ﺷﻴﺦ ﺻﺎﻟﺢ ا ﺪﻳﺚ‪,‬‬ ‫ﺻﺪوق‪ ,‬ﻣﺄ ﻮن‪ ,‬ﻻﺑﺄس ﺟﻴﺪ ا ﺪﻳﺚ‪ ,‬ﺟﻴﺪ‪,‬‬

‫‪IV‬‬ ‫ا ﺼﺪق‪ ,‬ﺟﻴﺪ ا ﺪﻳﺚ‪,‬‬ ‫ﺣﺴﻦ ا ﺪﻳﺚ‪ ,‬ﺷﻴﺦ‪ ,‬وﺳﻂ‪ ,‬ﺷﻴﺦ‪ ,‬وﺳﻂ‬ ‫ﺑﻪ‪ ,‬ﺧﻴﺎر‬
‫ﺣﺴﻦ ا ﺪﻳﺚ‪ ,‬ﺷﻴﺦ‬ ‫ا ﺎس‪,‬‬ ‫ﻋﻨﻪ‬ ‫روى‬
‫وﺳﻂ‪ ,‬ﺷﻴﺦ‪ ,‬وﺳﻂ‬ ‫ﻣﻘﺎرب ا ﺪﻳﺚ‬
‫‪-‬‬ ‫‪-‬‬ ‫ﻣﺄ ﻮن‪ ,‬ﺻﺪوق ان ﺷﺎء اﷲ‪- ,‬‬ ‫ﻠﻪ ﺻﺎﻟﺢ ا ﺪﻳﺚ‪ ,‬وﺳﻂ‪ ,‬ﺻﺪوق‪,‬‬ ‫ﺻﺎﻟﺢ ا ﺪﻳﺚ‪,‬‬
‫ان‬ ‫ارﺟﻮ‬ ‫ان ﻻﺑﺄس ﺑﻪ‪ ,‬ﻟ ﺲ ﺑﻪ ﺻﻮ ﻠﺢ‪,‬‬ ‫ارﺟﻮ‬ ‫ا ﺼﺪق‪ ,‬روى ﻋﻨﻪ‪ ,‬ﺟﻴﺪ ﺻﻮ ﻠﺢ‪,‬‬
‫ﻻﺑﺄس ﺑﻪ‬ ‫ﺑﺄس‪ ,‬ﺧﻴﺎر‬ ‫ا ﺪﻳﺚ‪ ,‬ﺣﺴﻦ ا ﺪﻳﺚ‪ ,‬ﻻﺑﺄس ﺑﻪ‬
‫ﻣﻘﺎرب‪ ,‬وﺳﻂ ﺷﻴﺦ‪,‬‬

‫‪V‬‬ ‫وﻫﻢ‪,‬‬ ‫ﺷﻴﺦ‪,‬‬ ‫وﺳﻂ‪,‬‬


‫اوﻫﻢ‪ ,‬ﺻﺪوق‬ ‫ﺻﺪوق‬
‫ﺳﻮء‬ ‫ﺻﺪوق‬ ‫ﻄﺊ‪,‬‬
‫ا ﻔﻆ‪ ,‬ﺳﻴﺊ ا ﻔﻆ‪,‬‬
‫ﺻﺪوق ﺗﻐ ﺑﺄﺧﺮه‪ ,‬ﻳﺮ‬
‫ﺑﺒﺪع‬
‫‪-‬‬ ‫‪-‬‬ ‫‪-‬‬ ‫ﺻﺪوق ان ﺷﺎء اﷲ‪,‬‬
‫‪VI‬‬
‫ﺻﻮ ﻠﺢ‪ ,‬ارﺟﻮ ان ﻻﺑﺄس‬
‫ﺑﻪ‪ ,‬ﻣﻘﺒﻮل‬
‫‪31‬‬

‫‪BEBERAPA PERINGKAT LAFAL-LAFAL KETERCELAAN (MARA<TIB ALFADZ AL-TAJRIH) PARA RAWI‬‬


‫‪MENURUT PENGELOMPOKAN ULAMA HADITS46‬‬
‫‪PENGELOMPOKAN MENURUT‬‬
‫‪PERINGKAT‬‬

‫‪IBN HAJAR AL-‬‬


‫‪IBN ABIY HATIM‬‬
‫‪TAJRIH‬‬

‫‪IBN AL-SHALAH‬‬ ‫‪AL-NAWAWIY‬‬ ‫‪AL-DZAHABIY‬‬ ‫‪AL-‘IRAQIY‬‬ ‫‪AL-HARAWI‬‬ ‫‪ASQALANIY dan AL-‬‬


‫‪AL-RAZIY‬‬
‫‪SUYUTHIY‬‬

‫ﻣ وك ﻛﺬاب‪ ,‬ﻣ وك ا ﺪﻳﺚ‪ ,‬ﻛﺬاب‪ ,‬ﻣ وك ا ﺪﻳﺚ‪,‬‬ ‫دﺟﺎل‪ ,‬ﻛﺬاب‪ ,‬دﺟﺎل‪ ,‬وﺿﺎع‪ ,‬ﻛﺬاب‪,‬‬ ‫اﻛﺬب ا ﺎس‪ ,‬اوﺿﻊ ا ﺎس‪ ,‬ﻣﻨﻴﻊ اﻛﺬب ا ﺎس‪ ,‬اﻓﺴﻖ ﻛﺬاب‪,‬‬
‫‪I‬‬ ‫ذاﻫﺐ ا ﺪﻳﺚ‬ ‫ذاﻫﺐ ذاﻫﺐ ا ﺪﻳﺚ‬ ‫ا ﺪﻳﺚ‪,‬‬ ‫ا ﻜﺬب‪ ,‬ر ﻦ ا ﻜﺬب‪ ,‬ر ﻦ ا ﺎس‪ ,‬ﻛﺬاب‪ ,‬ﻳ ﺬب‪ ,‬وﺿﺎع‪ ,‬وﺿﻊ‪ ,‬ﻳﻀﻊ‪ ,‬ﻳﻀﻊ ا ﺪﻳﺚ‬
‫ا ﺪﻳﺚ‬ ‫وﺿﺎع‪ ,‬دﺟﺎل‪ ,‬ﻳﻀﻊ ﻳ ﺬب‬ ‫ا ﻮﺿﻊ‬ ‫ا ﻜﺬب ا ﻪ ﻣﻨﺘ‬
‫ا ﺪﻳﺚ‬
‫ﺿﻌﻴﻒ ا ﺪﻳﺚ‬ ‫ﺿﻌﻴﻒ ا ﺪﻳﺚ‬ ‫ﺑﺎ ﻜﺬب‪ ,‬ﻣﺘﻬﻢ ﺑﺎ ﻜﺬب‪ ,‬ﻣﺘﻔﻖ ﺿﻌﻴﻒ ا ﺪﻳﺚ‬ ‫ﻣﺘﻬﻢ ﺑﺎ ﻜﺬب‪ ,‬ﻣ وك ﻣﺘﻬﻢ‬ ‫ﻛﺬاب ‪ ,‬دﺟﺎل‪ ,‬وﺿﺎع‬
‫ﺗﺮ ﻪ‬ ‫ا ﺪﻳﺚ‪ ,‬ﻣ وك‪ ,‬ذاﻫﺐ ﻣ وك‪ ,‬ذاﻫﺐ‪ ,‬ﻟ ﺲ‬
‫ﻫﺎ ﻚ‪,‬‬ ‫ا ﺪﻳﺚ‪ ,‬ذاﻫﺐ‪ ,‬ﻣﺘﻬﻢ ﺑﺜﻘﺔ‪,‬‬
‫‪II‬‬ ‫ﺑﺎ ﻮﺿﻊ‪ ,‬ﻫﺎ ﻚ ﻓﻴﻪ ﻧﻈﺮ‪ ,‬ﺳﻜﺘﻮاﻋﻨﻪ‪ ,‬ﻓﻴﻪ ﻧﻈﺮ‪,‬‬
‫ﺳﺎﻗﻂ ا ﺪﻳﺚ‪ ,‬ﺳﺎﻗﻂ‪ ,‬ﺳﺎﻗﻂ‪ ,‬ﻻ ﻳﻌﺘ‬
‫ﺳﻜﺘﻮاﻋﻨﻪ‪ ,‬ﺗﺮ ﻮه‪ ,‬ﻟ ﺲ‬
‫ﺑﺜﻘﺔ‪ ,‬ﻏ ﺛﻘﺔ‪,‬‬
‫ﻟ ﺲ ﺑﻘﻮى‬ ‫ﻟ ﺲ ﺑﻘﻮى‬ ‫ﻣﺘﻬﻢ ﺑﺎ ﻜﺬب‪ ,‬ﻣﺘﻬﻢ ﺑﺎ ﻮﺿﻊ‪ ,‬ﺿﻌﻴﻒ ﺟﺪا‪ ,‬ﻻ ﺴﺎوى ﺿﻌﻴﻒ ﺟﺪا‪ ,‬ﻻ ﻣ وك‪ ,‬ذاﻫﺐ ا ﺪﻳﺚ ﻟ ﺲ ﺑﻘﻮى‬
‫ﻣ وك ا ﺪﻳﺚ‪ ,‬ذاﻫﺐ‪ ,‬ﻫﺎ ﻚ‪ ,‬ﺷﻴﺄ‪ ,‬ﻟ ﺲ ﺸﻴﺊ‪ ,‬واه‪ ,‬رد ﺴﺎوى ﺷﻴﺄ واه‪ ,‬ﻟ ﺲ ﺑﺜﻘﺔ‪ ,‬ﻫﺎ ﻚ‪,‬‬
‫‪III‬‬ ‫ﺣﺪﻳﺜﻪ‪ ,‬ﺮدود ا ﺪﻳﺚ‪ ,‬ﻟ ﺲ ﺸﻴﺊ‪ ,‬وﻫﻢ‪ ,‬رد ﺳﻜﺘﻮاﻋﻨﻪ‪ ,‬ﻓﻴﻪ ﻧﻈﺮ‪,‬‬ ‫ﺳﺎﻗﻂ‪ ,‬ﻻﻳﻌﺘ ﺑﻪ‪ ,‬ﻻ ﻳﻌﺘ‬
‫ﺣﺪﻳﺜﻪ‪ ,‬ﺳﻜﺘﻮا ﻋﻨﻪ‪ ,‬ﻣ وك‪ ,‬ﻃﺮﺣﻮا ﺣﺪﻳﺜﻪ‪ ,‬ارم ﺑﻪ‪ ,‬ﻻ ﺣﺪﻳﺜﻪ‪ ,‬ارم ﺑﻪ‪ ,‬ﺳﺎﻗﻂ‬
‫ﻣﻄﺮح ﺑﻪ‪,‬‬ ‫ﺷﻴﺊ‬ ‫ﺗﺮ ﻮه‪ ,‬ﻟ ﺲ ﺑﺜﻘﺔ‪ ,‬ﻏ ﺛﻘﺔ‪ ,‬ﻏ‬
‫ﻣﺄ ﻮن‬

‫‪46‬‬
‫‪Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis : Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, (Jakarta : Bulan Bintang, 1995), hlm. 202‬‬
‫‪32‬‬

‫ﻟ ا ﺪﻳﺚ‬ ‫ﻟ ا ﺪﻳﺚ‬ ‫ا ﺪﻳﺚ‪ ,‬ﺿﻌﻴﻒ ﺟﺪا‪ ,‬واه‪ ,‬ﻟ ا ﺪﻳﺚ‬ ‫ﺿﻌﻴﻒ ﺟﺪا‪ ,‬ﻻ ﺴﺎوي ﺷﻴﺄ‪ ,‬ﺿﻌﻴﻒ‪ ,‬ﻣﻨﻜﺮ ا ﺪﻳﺚ‪ ,‬ﻣﻨﻜﺮ‬
‫‪IV‬‬ ‫ﻬﻮل‪ ,‬ﺿﻌﻔﻮه‪ ,‬ﻀﻄﺮب ﻻ ﺘﺞ ﺑﻪ ﺿﻌﻔﻮه‪ ,‬ﺿﻌﻔﻮه‪ ,‬ﻟ ﺲ ﺸﻴﺊ‪,‬‬ ‫ﻣﻄﺮوح‪ ,‬ﻣﻄﺮوح ا ﺪﻳﺚ‪ ,‬ارم ﺑﻪ‪,‬‬
‫ﺿﻌﻴﻒ وواه‬ ‫ﻀﻄﺮ ﻪ ﺑﻪ‪ ,‬واه‬ ‫واه‪ ,‬رد ﺣﺪﻳﺜﻪ‪ ,‬ﺮدود ا ﺪﻳﺚ‪ ,‬ا ﺪﻳﺚ‪ ,‬ﻻ ﺘﺞ ﺑﻪ‬
‫ﻟ ﺲ ﺸﻴﺊ‬
‫‪-‬‬ ‫‪-‬‬ ‫ا ﺪﻳﺚ‪ ,‬ﻓﻴﻪ ﻟ ‪ ,‬ﻟ ﺲ ﺑﺎﻟﻘﻮى‪ ,‬ﻟ ‪ ,‬ﻓﻴﻪ ﺿﻌﻒ‪ ,‬ﻓﻴﻪ ‪-‬‬ ‫ﺿﻌﻴﻒ‪ ,‬ﺿﻌﻔﻮه‪ ,‬ﻣﻨﻜﺮ ا ﺪﻳﺚ‪ ,‬ﻟ ‪ ,‬ﻟ‬
‫ﻣﻘﺎل‪ ,‬ﻟ ﺲ ﺑﺎﻟﻘﻮى‪,‬‬ ‫ﻀﻄﺮب ا ﺪﻳﺚ‪ ,‬ﺣﺪﻳﺜﻪ ﺿﻌﻒ‪ ,‬ﺣﺪﻳﺜﻪ ﺿﻌﻒ‪ ,‬ﻓﻴﻪ ﺿﻌﻒ‬
‫ﻟ ﺲ ﺠﺔ ‪,‬ﺗﻌﺮف‬ ‫ﻟ ﺲ ﺑﺎﻟﻘﻮى‪ ,‬ﻟ ﺲ ﺑﺬاك‪,‬‬ ‫ﻀﻄﺮب‪ ,‬ﻬﻮل‬
‫وﺗﻨﻜﺮ‪ ,‬ﺗ ﻠﻢ ﻓﻴﻪ‪,‬‬ ‫ﻟ ﺲ ﺠﺔ‪ ,‬ﻟ ﺲ ﺑﺎ ﺘ ‪,‬‬
‫‪V‬‬ ‫ﺳﻴﺊ ا ﻔﻆ‪,‬ﻳﻀﻌﻒ‬ ‫ﻟﺲ‬ ‫ﺑﻌﻤﺪة‪,‬‬ ‫ﻟﺲ‬
‫ﻓﻴﻪ‪ ,‬ﻗﺪ ﺿﻌﻒ‪,‬‬ ‫ﺑﺎ ﺮ ‪ ,‬ﻓﻴﻪ ﺧﻼف‪,‬‬
‫اﺧﺘﻠﻒ ﻓﻴﻪ‪ ,‬ﻟ ﺲ‬ ‫ﻃﻌﻨﻮه‪ ,‬ﺳﻴﺊ ا ﻔﻆ‪,‬‬
‫ﺑﺬاك‪ ,‬ﻻ ﺘﺞ‪ ,‬ﺻﺪوف‬ ‫ﺗ ﻠﻤﻮا ﻓﻴﻪ‬
‫ﻟ ﻦ ﻣﺒﺘﺪع‬
‫‪-‬‬ ‫‪-‬‬ ‫‪-‬‬ ‫ﻟ ‪ ,‬ﻟ ﺲ ﺑﺎﻟﻘﻮى‪ ,‬ﺿﻌﻒ اﻫﻞ‬
‫ﺣﺪﻳﺜﻪ‬ ‫ا ﺪﻳﺚ‪ ,‬ﺿﻌﻒ‪,‬‬
‫ﺿﻌﻒ‪ ,‬ﺳﻴﺊ ا ﻔﻆ‪ ,‬ﻣﻘﺎل ﻓﻴﻪ‪,‬‬
‫ﺣﺪﻳﺜﻪ ﻣﻘﺎل‪ ,‬ﻳﻨﻜﺮ و ﻌﺮف‪,‬‬
‫‪VI‬‬ ‫ﻓﻴﻪ ﺧﻠﻒ‪ ,‬اﺧﺘﻠﻒ ﻓﻴﻪ‪ ,‬ﻟ ﺲ‬
‫ﺠﺔ‪ ,‬ﻟ ﺲ ﺑﺎ ‪ ,‬ﻟ ﺲ ﺑﺎﻟﻌﺒﺪ‪,‬‬
‫ﻟ ﺲ ﺑﺬاك‪ ,‬ﻟ ﺲ ﺑﺎ ﺮ ‪ ,‬ﻟ ﺲ‬
‫ﺑﺬاك اﻟﻘﻮى‪ ,‬ﻃﻌﻨﻮا ﻓﻴﻪ‪ ,‬ﺗ ﻠﻤﻮا‬
‫ﻓﻴﻪ‪ ,‬ﻣﺎ اﻋﻠﻢ ﺑﻪ ﺑﺄس‪ ,‬ارﺟﻮ ان ﻻ‬
‫ﺑﺄس ﺑﻪ‬
33

Contoh kongkrit penggunaan diksi yang berbeda ulama nuqa>d

secara lafadz dan maksudnya dalam tingkatan penilaian ta’di>l adalah

penggunaan kata “‫”ﻻ ﺑﺄس‬, diksi tersebut berada pada tingkatan

keempat dalam mara>tib ta’di>l. Namun apabila ungkapan tersebut

diucapkan oleh Ibn Ma’in, maka yang dimaksud adalah “‫ ”ﺛﻘﺔ‬dimana

diksi ini berada pada tingkatan ketiga47.

Perbedaan diksi tersebut dapat berimplikasi pada derajat

hadits yang diriwayatkan, rawi dengan tingkatan ta’di>l pertama

sampai dengan ketiga dapat dijadikan hujjah, sedangkan rawi dalam

tingkatan keempat dan kelima tidak dapat dijadikan hujjah dan

hanya ditulis haditsnya sebagai ikhtiba>r.48

Hal seperti inilah yang selalu diisukan para orientalis dalam

melemahkan dan menebar keraguan umat Islam akan otentisitas

hadits nabi. Mereka berceloteh bahwasannya hadits nabi itu palsu

dan penuh kebohongan. Pemakaian sistem sanad dan usaha ulama

dalam memilah hadits shahih adalah tindakan bodoh karena mereka

tidak meyakini bahwa hadits berasal dari nabi yang ‘Ummi (buta

aksara) melainkan karangan umat Islam kurun 300 tahun pertama

hijriyah.49

47
Mahmud Thaha>n, Ushul al-Takhrij wa Dira>sat al-Asa>ni>d, (Riya>dh: Maktabah al-
Ma’a>rif,1996), hlm.144
48
Ibid., hlm. 144-145
49
Musthafa Siba’i, al-Isytisyra>q wa al-Musytasyriqu>n: Ma> Lahum wa Ma> ‘Alaihim,
(__,Dar al-Warraq), hlm. 28-29
34

Tabel50 berikut dapat digunakan dalam menentukan kualitas

hadits dengan melihat penilaian jarh wa ta’dil yang disematkan

kepada seorang rawi.

Tingkata
n Istilah Kualitas
al-Jarh wa al-Ta’dil Periwayatan

1 ‫ أﺻﺪق ﻣﻦ‬.‫ أﺛﺒﺖ ا ﺎس‬.‫أوﺛﻖ ا ﻠﻖ‬


‫ إ ﻪ ا ﻨﺘ‬. ‫أدر ﺖ ﻣﻦ اﻟ‬
‫ا ﻧﻴﺎ‬ ‫ ﻻ أﻋﺮف ﻧﻈ ا‬.‫ا ﺒﺖ‬
2 ‫ﻻ ﺴﺄل ﻋﻦ ﻣﺜﻠﻪ‬
MARTABAT AL-QABU<L <
3 ‫ ﺛﺒﺖ‬.‫ ﺛﻘﺔ ﺛﻘﺔ‬.‫ ﺛﺒﺖ ﺣﺠﺔ‬.‫ ﺛﻘﺔ ﺛﺒﺖ‬- Rawi pada tingakatan 1-4
‫ ﺛﻘﺔ ﻣﺘﻘﻦ‬.‫ﺣﺎﻓﻆ‬ kualitas hadisnya shahih
- Rawi pada tingkatan ke 5
4 .‫ ﻣﺘﻘﻦ‬.‫ﺼﺤﻒ‬ ‫ ﻛﺄﻧﻪ‬.‫ ﺛﺒﺖ‬.‫ﺛﻘﺔ‬ kualitas hadisnya hasan
‫ ﺿﺎﺑﻂ‬.‫ ﺣﺎﻓﻆ‬.‫ﺣﺠﺔ‬

5 .‫ ﻟ ﺲ ﺑﻪ ﺑﺄس‬.‫ ﻻ ﺑﺄس ﺑﻪ‬.‫ﺻﺪوق‬


‫ ﺧﻴﺎر‬.‫ﻣﺄ ﻮن‬
6 ‫ روي ا ﺎس‬.‫ روا ﻋﻨﻪ‬.‫ﻠﻪ ا ﺼﺪق‬ MARTABAT AL-I’TIBA<R
.‫ا ﺼﺪق ﻣﺎﻫﻮ‬ ‫ ﻳﺮوي ﻋﻨﻪ ا‬.‫ﻋﻨﻪ‬ - Rawi pada tingkatan 6 jika
hanya diri diriwayatkan
.‫ ﻣﻘﺎرب ا ﺪﻳﺚ‬.‫ ﺷﻴﺦ‬.‫ﺷﻴﺦ وﺳﻂ‬ olehnya sendiri, kadang
‫ ﻳ ﺘﺐ‬.‫ﺑﻪ‬ ‫ ﻳﻌﺘ‬.‫ﺻﺎﻟﺢ ا ﺪﻳﺚ‬ dihukumi hasan atau
‫ ﻣﺎ أﻗﺮب‬.‫ ﺟﻴﺪ ا ﺪﻳﺚ‬.‫ﺣﺪﻳﺜﻪ‬ bahkan shahih oleh ulama
hadis. Seringkali juga hadis
.‫ ﺻﺪوق إن ﺷﺎء اﷲ‬.‫ ﺻﻮ ﻠﺢ‬.‫ﺣﺪﻳﺜﻪ‬ dari mereka diperselisihkan
‫ ﺣﺴﻦ‬.‫أرﺟﻮا أن ﻟ ﺲ ﺑﻪ ﺑﺄس‬ kualitasnya oleh para
ulama
‫ا ﺪﻳﺚ‬ - Istilah majhul punya dua
7 .‫ ﻓﻴﻪ ﺿﻌﻒ‬.‫ ﺿﻌﻒ‬.‫ﻓﻴﻪ ﻣﻘﺎل‬ kemungkinan makna (1)
majhul al-hal (2) majhul al-
‫ ﻟ ﺲ‬.‫ ﻟ ﺲ ﺑﺬاك‬.‫ﺣﺪﻳﺜﻪ ﺿﻌﻒ‬
‘ain. Jika rawi berstatus
‫ ﻟ ﺲ‬.‫ ﻟ ﺲ ﺑﺎﻟﻘﻮي‬.‫ﺑﺬاك اﻟﻘﻮي‬ majhul al-hal maka
.‫ ﻟ ﺲ ﺑﻌﻤﺪة‬.‫ﺠﺔ‬ ‫ ﻟ ﺲ‬. ‫ﺑﺎ ﺘ‬ kualitasnya diatas al-
dha’if, namun jika rawi
‫ ﻟﺲ‬. ‫ ﻟ ﺲ ﺑﺎ ﺮ‬.‫ﻟ ﺲ ﺑﻤﺄ ﻮن‬ berstatus majhul al-‘ain
‫ ﻏ ه أوﺛﻖ‬.‫ ﻟ ﺲ ﺑﺎ ﺎﻓﻆ‬.‫ﻤﺪوﻧﻪ‬ kualitasnya dibawah al-

50
Arif Chasanul Muna, Metode Penelitian Sanad dan Matan Beragam Versi, (Pekalongan
: Mahabbah Press,2015), hlm. 61-63
‫‪35‬‬

‫ﺣﺪﻳﺜﻪ ﺷﻴﺊ‪ .‬ﻓﻴﻪ ﻟ ‪ .‬ﻟ‬ ‫ﻣﻨﻪ‪ .‬ﻓ‬ ‫‪dhaif tapi diatas matruk.‬‬
‫‪-‬‬ ‫‪Untuk memahami istilah‬‬
‫ﻬﻮل‪ .‬ﻓﻴﻪ ﺟﻬﺎﻟﺔ‪.‬‬ ‫ا ﺪﻳﺚ‪ .‬ﻟ ‪.‬‬ ‫‪“munkar al-hadis” harus‬‬
‫ﻻأدري ﻣﺎﻫﻮ‪ .‬ﻠﻀﻌﻒ ﻣﺎﻫﻮ‪ .‬ﻃﻌﻨﻮا‬ ‫‪dilihat dulu siapa yang‬‬
‫ﻓﻴﻪ‪ .‬ﺗﺮ ﻮه‪ .‬ﻣﻄﻌﻮن ﻓﻴﻪ‪ .‬ﺳﻴﺊ ا ﺎﻓﻆ‪.‬‬ ‫‪mengucapkannya.‬‬
‫‪Sebagian‬‬ ‫‪istilah‬‬ ‫‪ini‬‬
‫ﺗ ﻠﻤﻮا ﻓﻴﻪ‪ .‬ﺳﻜﺘﻮا ﻋﻨﻪ‪ .‬ﻓﻴﻪ‬ ‫‪digunakan untuk rawi yang‬‬
‫ﻧﻈﺮ)ﺑﻐ ﻗﻮل ا ﺨﺎرى(‬ ‫‪masih dalam katagori al-‬‬
‫‪I’tibar,‬‬ ‫‪sebagian‬‬ ‫‪lain‬‬
‫‪8‬‬ ‫ﺿﻌﻴﻒ‪ .‬ﻣﻨﻜﺮ ا ﺪﻳﺚ‪ .‬ﺣﺪﻳﺜﻪ‬ ‫‪digunakan untuk rawi‬‬
‫ﻣﻨﺎﻛ ‪.‬‬ ‫ﻣﺎ ﻳﻨﻜﺮ‪.‬‬ ‫ﻣﻨﻜﺮ‪.‬‬ ‫‪dengan katagori al-radd.‬‬
‫ﻀﻄﺮب ا ﺪﻳﺚ‪ .‬واه‪ .‬ﺿﻌﻔﻮه‪.‬‬
‫ﻻ ﺘﺞ ﺑﻪ‪ .‬ﻬﻮل‬
‫‪9‬‬ ‫ﺮدود‬ ‫رد ﺣﺪﻳﺜﻪ‪ .‬ردوا ﺣﺪﻳﺜﻪ‪.‬‬
‫ا ﺪﻳﺚ‪ .‬ﺿﻌﻴﻒ ﺟﺪا‪ .‬واه ﺑﻤﺮة‪.‬‬
‫ﺗﺎﻟﻒ‪ .‬ﻃﺮﺣﻮا ﺣﺪﻳﺜﻪ‪ .‬ارم ﺑﻪ‪ .‬ﻣﻄﺮح‪.‬‬
‫‪ MARTABAT AL-RADD‬ﻣﻄﺮح ا ﺪﻳﺚ‪ .‬ﻻﻳ ﺘﺐ ﺣﺪﻳﺜﻪ‪.‬‬
‫‪ - Rawi pada tingkatan 9 dan‬ﻻ ﻞ ﻛﺘﺎﺑﺔ ﺣﺪﻳﺜﻪ‪ .‬ﻻ ﻞ ا ﺮواﻳﺔ‬
‫‪10 hadisnya tidak bisa‬‬
‫ﻋﻨﻪ‪ .‬ﻟ ﺲ ﺸﻴﺊ‪ .‬ﻻﺷﻴﺊ‪ .‬ﻻ ﺴﺎوي‬ ‫‪dihukumi‬‬ ‫‪maudhu’.‬‬
‫ﻓﻠﺴﺎ‪ .‬ﻻ ﺴﺎوي ﺷﻴﺄ‬ ‫‪Kualitas hadisnya adalah‬‬
‫‪syadid al-dha’f.‬‬
‫‪-‬‬ ‫‪Sedangkan‬‬ ‫‪rawi‬‬ ‫‪pada‬‬
‫‪10‬‬ ‫ق ا ﺪﻳﺚ‪ .‬ﻣﻨﻬﻢ ﺑﺎ ﻜﺬب‪ .‬ﻣﻨﻬﻢ‬ ‫‪tingkatan 11 dan 12‬‬
‫ﺑﺎ ﻮﺿﻊ‪ .‬ﺳﺎﻗﻂ‪ .‬ﻫﺎ ﻚ‪ .‬ذاﻫﺐ‪ .‬ذاﻫﺐ‬ ‫‪hadisnya dapat dihukumi‬‬
‫ا ﺪﻳﺚ‪ .‬ﻣ وك‪ .‬ﻣ وك ا ﺪﻳﺚ‪.‬‬ ‫‪sebagai hadis maudhu’.‬‬
‫‪-‬‬ ‫‪Jika imam Bukhari menilai‬‬
‫ﻳﺪي‬ ‫ﺗﺮ ﻪ‪ .‬ﻫﻮ‬ ‫ﺗﺮ ﻮه‪ .‬ﻤﻊ‬ ‫‪seorang rawi dengan istilah‬‬
‫ﺪﻳﺜﻪ‪.‬‬ ‫ﺑﻪ‪ .‬ﻻﻳﻌﺘ‬ ‫اﻟﻌﺪل‪ .‬ﻻﻳﻌﺘ‬ ‫‪munkar al-hadits maka‬‬
‫‪hadisnya dikatagorikan al-‬‬
‫ﺛﻘﺔ‬ ‫ﻟ ﺲ ﺑﺎ ﻘﺔ‪ .‬ﻟ ﺲ ﺑﺜﻘﺔ‪ .‬ﻏ‬ ‫‪radd.‬‬
‫وﻻﻣﺄ ﻮن‪ .‬ﺳﻜﺘﻮا ﻋﻨﻪ‪ .‬ﻓﻴﻪ ﻧﻈﺮ‬
‫)ﺑﻘﻮل ا ﺨﺎرى(‬
‫‪11‬‬ ‫ﻛﺬاب‪ .‬ﻳﻀﻊ ا ﺪﻳﺚ‪ .‬ﻳ ﺬب‪.‬‬
‫وﺿﺎع‪ .‬دﺟﺎل‪ .‬وﺿﻊ ﺣﺪﻳﺜﺎ‬
‫‪12‬‬ ‫ا ﻮﺿﻊ‪.‬‬ ‫أ ﺬب ا ﺎس‪ .‬إ ﻪ ا ﻨﺘ‬
‫ر ﻦ ا ﻜﺬب‬
36

b. Katagori rawi berdasar kesimpulan dari penilaian jarh wa ta’dil.

Dalam proses transmisi hadits, keberadaan rawi menjadi kajian

penting guna menentukan diterima atau ditolak hadits yang

diriwayatkan. Dari kelima syarat keshahihan hadits, hal yang berkaitan

dengan rawi hadits mendapat porsi lebih besar yakni :1.

Ketersambungan sanad, 2. Dhabitnya rawi dan 3. Adilnya rawi.

Ketersambungan sanad (ittishal al-sanad) sebagai piranti melacak

keabsahan proses transmisi hadits. Integritas rawi (‘Ada>lah) disyaratkan

untuk mengantisipasi periwayatan yang bohong.51 Sedangkan untuk

mengantisipasi kesalahan periwayatan, seorang rawi disyaratkan

memenuhi standar profesionalitas (d}abth).52

Berpijak pada aspek integritas dan profesionalitas tersebut, rawi

dapat dikelompokkan dalam tiga katagori yaitu [a] Martabah al-qabu>l;

yakni para rawi dengan integritas dan profesionalitas periwayatan tinggi

sehingga nyaris tidak ditemukan kesalahan dalam meriwayatkan hadits.

[b] Martabah al-I’tiba>r; yakni para rawi dengan integritas moral namun

profesionalitasnya lemah sehingga kadang ditemukan kesalahan redaksi

maupun substansi dalam periwayatannya. [c] Martabah al-Radd; para

rawi dengan integritas moral yang rendah terlebih dalam kejujuran

ilmiah atau para rawi dengan integritas moral tinggi namun tidak

profesional dalam periwayatan hadits hingga sering melakukan

kesalahan periwayatan.53

51
Ibid., hlm. 63
52
Ibid., hlm. 64
53
Ibid.,
37

Dengan merujuk pendapat ulama jarh wa ta’dil yang

dirangkum dalam kitab tahzib al-kamal dan tahzib al-tahzib, bisa

diketahui kesimpulan penilaian dari beragam penilaian yang

disematkan pada rawi dimaksud. Ada fenomena unik dari

kesimpulan penilaian terhadap rawi dalam kitab tahzib al-kamal dan

tahzib al-tahzib sehingga rawi dapat dikelompokkan berdasar

kesepakatan penilaian yang ada seperti tabel54 berikut :

NO KATEGORI

1 Muttafaq ‘ala tautsi>qih (rawi yang disepakati integritas dan


profesionalitasnya)
a. Disepakati sebagai rawi hadits shahih
b. Disepakati sebagai rawi hadits hasa>n
c. Diperselisihkan antara sebagai rawi hadits shahih atau
hasan
2 Al-tsiqah alladzi>n dhu’ifu> fi> ha>lin mu’ayyan (rawi tsiqah yang
dalam kondisi tertentu dinilai dha’if)
3 Muttafaq ‘ala> tajri>hih (rawi yang disepakati dhaif dengan
berbagai tingkatan
a. Disepakati sebagai rawi dengan katagori i’tiba>r
b. Disepakati sebagai rawi dengan katagori al-radd
4 Mukhtalaf fih (rawi yang diperselisihkan kualitasnya)
a. Berbeda antara katagori al-qabul dan al-i’tibar
b. Berbeda antara katagori al-qabul dan al-radd
c. Berbeda antara katagori al-i’tibar dan al-radd

54
Ibid., hlm. 65
38

Kesimpulan kualitas rawi dapat diketahui dan ditentukan

kiranya rawi tersebut disepakati para ulama jarh ta’dil (muttafaq ‘ala>

ta’dilih ataupun muttafaq ‘ala> tajrihih). Namun apabila rawi yang

dimaksud diperselisihkan (mukhtalaf fi>h), tentu berimplikasi

menimbulkan masalah yang ujungnya dipermasalahkan pula derajat

hadits yang diriwayatkan.

Pada kasus rawi mukhtalaf fi>h, suatu keniscayaan bila

serangan (tajri>h) yang disifatkan mungkin didasarkan pada hal-hal

subjektif kritikus (na>qid), oleh karena para ulama jarh wa ta’dil

mempertimbangkan perkara firqah, madzhab, bid’ah yang jelas

terjadi dalam kaum muslimin, ada ulama (misal Imam Ahmad) yang

berpendapat boleh menerima periwayatan rawi bermadzhab

(murji’ah, qodariyah dan golongan sesat lain) asal dia tidak

mengajak orang lain dalam membahas madzhabnya55. Di lain kondisi

ada pula ulama yang keukeuh56 menolak selama rawi berbeda

madzhab.

Dengan kondisi seperti ini tentu akan sangat rancu apabila

tidak disusun kaidah yang kuat dalam penilaian jarh wa ta’dil,

karena sebagai manusia setiap rawi tidak akan pernah luput dari

kritikan (jarh). Dengan demikian kaidah jarh wa ta’dil mutlak harus

ada sebagai acuan menilai kualitas integritas dan profesionalitas

rawi.

55
Syamsuddin Arif, Orientalis & Diabolisme Pemikiran (Jakarta : Gema Insani
Press,2008), hlm. 222
56
Keukeuh : kuat hati
39

c. Kaidah Jarh wa Ta’dil.

Berbicara mengenai siapa yang berhak memberikan penilaian

jarh wa ta’dil terhadap rawi, tentu diharuskan syarat-syarat agar

supaya penilaian tersebut selamat secara syari’at. kaidah tersebut

mengikat dua dimensi baik berhubungan dengan sifat kritikus

(na>qid) maupun yang berkaitan dengan penilaian jarh wa ta’dil-nya.

Kaidah yang berkaitan dengan pribadi kritikus (na>qid)

meliputi : [1] kritikus harus mengetahui secara detail sebab-sebab

jarh wa ta’dil-nya. [2] kritikus harus jujur, wara dan bertaqwa,

sehingga kritikannya tidak sebatas mengikuti hawa nafsunya dan

apabila menerangkan kritikannya sebatas kritikan dalam masalah

tertolaknya hadits, tidak dibenarkan membeberkan aib yang lain. [3]

kritikus haruslah seorang pakar bahasa dalam menerangkan makna

lafal jarh wa ta’dil sehingga tidak salah pemilihan kata dan tidak

tertukar antara lafal jarh dan lafal ta’dil. [4] kritikus harus

memahami masalah fiqh sehingga tidak mengkritik dengan

permasalahan khilafiah. [5] kritikus haruslah seorang yang adil. [6]

kritikus haruslah orang yang sabar sehingga kritikannya tidak

dilandasi kemarahan57.

Sedangkan kaidah dalam penilaian jarh wa ta’dil yang perlu

diperhatikan antara lain :

57
Hamid Qu>fiy, Dira>sa>t fi> Mana>hij al-Muhaddis}in (Muha>dhara>t fi> manhaj al-Naqd)
(Universitas king Abdul Qodir,), hlm. 22-23
40

1) Tidak diterima penilaian jarh kecuali disertai penjelasan dan

diterangkan sebab-sebab jarh-nya. Sebab setiap individu

memiliki kriteria yang berbeda tentang hal-hal yang patut dijarh.

Karena, sebab-sebab penilaian jarh banyak macamnya dan

berbeda-beda penyebabnya, maka harus diterangkan dan

dijelaskan. Para ulama tidak ada ketetapan mengenai faktor yang

melatari penilaian jarh ini, dan tidak ada substansi dasar

pencelaan terhadap rawi.58

2) Tidak diterima kritikan tanpa penelitian dan pertimbangan.

Wujud dari penelitian, pada dasarnya pendapat dari kritikus

ataupun orang yang dipercaya komentarnya terhadap rawi itu

terhenti. Beberapa kritikus yang diikuti komentarnya terhadap

rawi tidak melakukannya, terkadang karena sebab itu pula hadits

ditinggalkan. Oleh karenanya patut adanya penetelitian dan

pertimbangan dalam menghukumi dan menilai rawi.

Belum tentu semua komentar yang ditemukan dalam sebagian

kitab rijal dan ta>rikh terhadap rawi benar-benar melekat pada diri

rawi tersebut, tapi harus diteliti dan terus dikaji sehingga

ditemukan petunjuk yang benar atas penilaian yang disandarkan

pada rawi tersebut.59

3) Tidak diterima kritikan yang dilandasi fanatisme dan hawa

nafsu.

58
Ibid., hlm. 23
59
Ibid., hlm. 24
41

Komentar ahli hadits terhadap rawi tidak diterima ketika

ungkapannya ada tendensi fanatisme, hasut, melecehkan, dan

permusuhan, dan juga berdasar perdebatan yang saling

membenci. Kritikan tidak dapat diterima jika berdasar sebab-

sebab tersebut, kecuali jika berlandaskan kejujuran dan bukti

yang jelas.60

4) Penilaian haruslah adil dan proporsional.

Allah swt telah memerintahkan pada kita untuk berlaku adil dan

melarang berbuat dhalim dan aniaya. Sebagaimana firman-NYA

dalam Q.S al-Maidah : 8 dan Q.S al-Nahl : 90.

Sebagaimana dicontohkan dalam hadits yang diriwayatkan imam

Ahmad bin Hanbal dari shahabat Jabir bin Abdullah r.a, dalam

hikayat itu digambarkan bagaimana Nabi Muhammad saw tetap

berlaku adil kepada orang-orang yahudi meski sebenarnya beliau

benci akan sifat dan kelakuan mereka.61

Dalam menilai rawi juga harus adil dan bersih dari preferensi

pribadi, kalaupun rawi tersebut berasal dari madzhab lain yang

jelas bertentangan, dalam minha>j al-Sunnah al-Nabawiyyah Ibn

Taimiyah berkata bahwa dikalangan Rofidhah juga ada yang ahli

ibadah, wara’ dan zuhud.

60
Ibid., hlm. 24
61
Ibid., hlm. 26
42

5) Amanah dalam penilaian (mengkritik).

Kaidah kelima ini ada dua gambaran yakni :

a) Pertama : tidak adanya preferensi pribadi dalam menghukumi

rawi. Tidak sah pandangan dari kerabat atau kekasih, karena

wajib hukumnya berlaku adil dalam kebenaran, sehingga

sudah semestinya mensifati seorang rawi tanpa tendensi

preferensi pribadi, karena menilai rawi adalah bentuk

persaksian dan saksi tidak boleh mengkhianati persaksiannya

bahkan memberikan persaksian secara lengkap adalah bentuk

amanah.62

b) Kedua : tidak dibenarkan hanya menyebutkan cela seseorang

rawi dimana ada sisi keterpujiannya. Maka dari itu, bentuk

adil dan amanah dalam menilai rawi adalah menyebutkan sisi

jarh sekaligus ta’dil yang benar-benar ada pada dirinya, tidak

boleh menyembunyikan salah satu baik jarh maupun ‘ada>lah-

nya.63

6) Tidak diterima kritikan tanpa didasari hujjah.

Tidak termasuk disini pendapat umum bahwa sesungguhnya

penilaian jarh diantara orang sezaman gugur dan tidak diterima

secara mutlak, tidak berarti pula jika ada penilaian jarh sezaman

yang disertai hujjah tertolak, tetapi tidak diterima jarh kritikus

sezaman jika terindikasi ada permusuhan atau sejenisnya,

melainkan apa yang berdasar keterangan dan hujjah yang benar.

62
Ibid., hlm. 27
63
Ibid.,
43

B. RAWI MUKHTALAF FI<H DAN PENENTUAN TARJI<H-NYA

Seperti diketahuai bahwa rawi dikelompokkan berdasar kualitas.

Tentu tidak sulit mengambil kesimpulan rawi yang telah disepakati

muttafaq ‘ala> ta’di>lih yang berimplikasi pada diterima periwayatannya

maupun muttafaq ‘ala> tajri>hih yang berimplikasi pada ditolak

periwayatannya.

Hal yang perlu diteliti kembali apabila ada perselisihan mengenai

kualitas rawi (mukhtalaf fi>h), dan bagaimana kaidah dalam mempelajari

keadaan rawi yang diperselisihkan tersebut.

Kaidah-kaidah dalam mempelajari keadaan rawi mukhtalaf fi>h untuk

menentukan tarji>h.

Sebelum melanjutkan pembahasan, terlebih dahulu perlu diketahui

pengertian rawi mukhtalaf fih. Rawi mukhtalaf fi>h adalah rawi yang

disematkan padanya penilaian keterpujian (ta’dil) dan juga penilaian

ketercelaan (tajri>h), dalam arti ada ulama yang memuji kualitasnya ada

pula yang mencela kualitasnya, atau mungkin ada ulama yang

memberikan pujian sekaligus mencelanya.64

Perbedaan dalam menilai rawi menjadi niscaya, oleh karena penilaian

ta’di>l atau tajri>h merupakan masalah ijtihad, sehingga wajar para Imam

berselisih dalam menilai rawi.65 Perbedaan ulama dalam fiqh, rijal atau

hal lain tidak mengurangi kapasitasnya dan juga tidak mengurangi

kualitas pendapatnya, tetapi juga tidak berarti mereka yang berselisih itu

64
Umar I<man Abu Bakar al-Ta’sis fi Fanni dira>sat al-Asa>ni>d,(Riyadh : Maktabah al-
Ma’arif,), hlm. 262
65
Ibid., hlm. 261
44

selamat atas apa yang diperselisihkan. Sehingga wajib bagi para ulama

berikutnya berijtihad atas perbedaan tersebut dan mengambil pendapat

yang lebih unggul disertai dalil.66

Kaidah-kaidah yang perlu diketahui dalam mempelajari keadaan rawi

mukhtalaf fi>h antara lain :

1. Tidak diterima penilaian jarh atau ta’dil kecuali dari orang yang adil

dan mengetahui sebab-sebabnya67.

Ulama mensyaratkan diterimanya penilaian jarh atau ta’dil dari

orang yang adil dan mengetahui betul sebab-sebab jarh atau ta’dilnya.

Kaidah ini mensyaratkan dua hal yang harus melekat pada diri

kritikus yakni adil dan mengetahui sebab-sebab dari penilaiannya.

Syarat pertama harus adil meliputi kriteria taqwa, wara’, tidak

berbuat cela dan syirik, dan juga terbebas dari fasiq dan bid’ah.

Sedangkan syarat kedua harus mengetahui sebab-sebab penilaian jarh

wa ta’dil-nya, syarat kedua ini mutlak bagi kritikus, beberapa kritikan

yang telah disematkan terhadap rawi oleh sebagian kritikus bisa

berupa hal yang tidak menggugurkan hadits yang diriwayatkan,

terlebih jika kritikan yang dimaksud dipicu masalah khilafiah dalam

agama atau bertendensi emosi. Sehingga jika penilaian jarh berdasar

hal-hal yang tidak urgen dan lebih bermotif perselisihan pribadi tidak

bisa diterima.

66
Ibid.,
67
‘Amr Abdul Mun’im Salim, “Qawa>’idu ‘Ilmiyyat Muhimmat fi> Ma’rifati Ha>l al-Ra>wi
al-Mukhtalafu Fi>h wa al-Ha>qihi Biahadi Aqsa>m al-Qabu>l aw al-Radd”(Kairo : Da>r al-Dhiya’,
2008), hlm. 5
45

Implikasi dari kaidah ini dalam menerangkan keadaan rawi

mukhtalaf fi>h adalah mengetahui bilamana sebagian rawi yang

ditsiqahkan oleh kebanyakan Imam dan dijarh oleh seorang atau dua

orang Imam, bukan berarti gugur syarat untuk dikritisi dan

terkabulnya hukum hadits yang diriwayatkan.

Faidah dari kaidah ini adalah harus dibedakan antara

ditinggalkannya riwayat rawi oleh sebagian Imam karena perbuatan

salah, tidak sesuai sunah nabi seperti halnya para ahli bid’ah. Dengan

ditinggalkannya riwayat rawi sebab suatu yang berhubungan dengan

dhabit periwayatan. Kondisi kedua berkenaan pada wajib ditinggalkan

riwayat sedang kondisi pertama dimungkinkan untuk

dipertimbangkan apabila dibuktikan sifat adil dan dhabitnya.

2. Mendahulukan ta’dil atas jarh yang samar68

Kaidah ini bukan saja kaidah yang penting dalam jarh wa

ta’dil melainkan kaidah yang unggul dalam menerangkan keadaan

rawi mukhtalaf fi>h.

Penilaian ta’dil atau taus\iq tidak memerlukan penjelasan

sebabnya, berbeda dengan penilaian jarh yang mutlak diterangkan

sebabnya terlebih jika ada kontroversi dengan penilaian ta’dil,

karena penilain jarh berimplikasi ditolaknya periwayatan rawi.

Kaidah-kaidah penting yang perlu diperhatikan apabila ada

kontroversi jarh dan ta’dil pada diri seorang rawi sebagaimana

diungkapkan Khatib Baghdadi dalam kifayah-nya antara lain :

68
Ibid., hlm. 10
46

a) Apabila jumlah penilaian jarh sama dengan penilaian ta’dil-

nya, maka kesepakatan ulama adalah lebih mengutamakan

penilaian jarh.

b) Madzhab yang masyhur berpedomana bahwa penilaian ta’dil

diterima meskipun tanpa diterangkan sebab-sebabnya.

c) Sedangkan pada penilaian jarh, maka tidak dapat diterima

kecuali dijelaskan dan diterangkan sebab-sebabnya.

d) Jika ada kontroversi jarh wa ta’dil maka sepatutnya

penilaian jarh dijabarkan.

Faidah yang bisa diambil dari kaidah ini adalah : rawi

yang telah dicela munkar riwayatnya dan oleh yang lain

diambil riwayatnya bukan berarti hal ini menunjukkan

cacatnya rawi.

3. Menjelaskan perbedaan para imam dan kritikus dalam jarh wa

ta’dil69

Sebab-sebab yang memicu perbedaan dalam menilai

keadaan rawi : perbedaan diantara kritikus dalam mentsiqahkan

dan mencela rawi, perbedaan penilaian kritikus dalam

menghukumi rawi mukhtalaf fih, tidak lepas dari kondisi-

kondisi :

Pertama : apabila ada kritikus telah memuji dengan

konotasi lain yang tidak berhubungan dengan kapabilitas rawi,

semisal yang dimaksud adalah rawi tsiqah secara personal tidak

69
Ibid., hlm. 27
47

ada maksud berbohong, jarh yang dimaksud adalah kurangnya

kapabilitas rawi tersebut.

Kedua : jika kritikus menilai jarh dengan konotasi tidak

kapabel dan kemudian menilai tsiqah pada periwayatan lain,

maka hal itu menggambarkan penilaian tsiqah.

Ketiga : jika kritikus menolak periwayatan ta’dil lalu

kemudian dalam riwayat lain kritikus tersebut juga menolak

periwayatan seorang dengan mencela rawi lain yang sama

namanya, maka yang dimaksud sesungguhnya adalah rawi yang

pertama, dengan demikian sangat dibutuhkan penjelasan dari

kasus tersebut.

Keempat : jika ada rawi yang dalam periwayatan tertentu

dinilai tsiqah menurut kritikus, maka dalam periwayatan

tersebut tertolak jarh yang disandang.

Kelima : jika ada rawi tsiqah menurut kritikus disifati

dhaif saat dibandingkan dengan rawi lain yang lebih tsiqah dari

rawi tersebut, atau jika ada rawi dhaif yang disifati tsiqah saat

dibandingkan dengan rawi lain yang keadaannya lebih buruk

dari tersebut.

Keenam : bimbang terhadap pendapat jarh dari salah satu

imam.

Ketujuh : jika ada pendapat ganda dari kritikus dan tidak

mungkin untuk dikompromikan pendapat tersebut maka jarh

didahulukan dari pada ta’dil.


48

Kedelapan : salah satu kasus yang jarang ialah jika kritikus

mencela rawi karena tiada yang mengambil riwayat darinya,

kemudian dijelaskan pada kritikus itu setelah diketahui adanya

bukti bahwa rawi tersebut tidak sendirian dalam periwayatannya

maka sikap kritikus tidak berkomentar atau mentsiqahkan.

4. Tidak diterima penilaian jarh mereka yang berbeda keyakinan

melainkan dijelaskan tafsir penilaian jarh tersebut70.

Sebagian kritikus telah bersikukuh mencela rawi sebab

bermadzhab selain madzhab ahlu sunnah wal jama’ah. Dalam

kasus ini banyak sekali rawi-rawi tsiqah yang dicela karena

perbedaan madzhab dengan kritikus.

5. Tidak diterima jarh yang samar dari ulama mutasyaddid ketika

penilaian ta’dil rawi yang dimaksud layak diterima

Ulama kritikus terbagi atas beberapa tingkatan :

a) Diantara mereka ketat dan berhati-hati dalam memuji, keras

dalam mencela rawi dengan kesalahan dan terkadang

mencela dengan hal-hal yang tidak menjadi celaan.

Maksudnya bahwa penyematan sifat adil rawi berdasar bukti

sifat adil yang ditemukan, sehingga penilaian tsiqah gugur

kecuali setelah proses penelitian yang rumit.

b) Sebagian mereka Mutasahhil : yakni kritikus yang

mentsiqahkan rawi berdasar sifat adil yang tampak secara

dhahir dalam diri rawi.

70
Ibid., hlm. 34
49

c) Sebagian mereka Mu’tadil : yakni kritikus yang diterima

pendapat dan kritikannya dalam jarh wa ta’dil.

Ketika didapati rawi yang diperdebatkan, dan ditemukan

pujian dari salah satu kritikus yang mutasyaddid maka rawi

tersebut harus dipertimbangkan, oleh karena pujian tersebut

telah melalui penelitian yang jeli. Dan jika ditemui celaan

yang samar dari kalangan mutasyaddid dan berbeda dengan

penilaian ta’dil yang mu’tabar maka celaan tersebut tidak

dipertimbangkan.

6. Tidak diterima perkataan ulama sezaman kecuali dijelaskan

keterangannya71

Kaidah ini berkenaan penilaian jarh antara ulama sezaman

yang berselisih atau diperdebatkan para kritikus dan kebanyakan

rawi tsiqah.

Kesepakatan ulama menerangkan bahwa jarh rawi yang

sezaman tidak diperhitungkan jika jarhnya samar, dengan

demikian tidak sah mencela seorang yang diperhitungkan

ketsiqahannya oleh para ulama berdasar penilaian jarh yang

samar dan penolakan riwayatnya oleh ulama yang sezaman

dengannya.

Faidah : tidak bisa diterima komentar sembarangan

muta’akhiri>n yang menunjukkan jarh atau menunjukkan ta’dil

tanpa alasan.

71
Ibid., hlm. 48
50

7. Mentsiqahkan rawi yang majru>h tidak menunjukkan hilang jarh

rawi tersebut72.

Sebagian rawi yang diperselisihkan kedhabitannya dalam

meriwayatkan hadits dari guru tertentu, karena dinilai tercela

dalam meriwayatkan hadits selain yang dimaksud bukan berarti

jarh rawi tersebut menjadi hilang.

Riwayat rawi yang dimaksud dapat diterima hanya pada

periwayatan tertentu yang berhubungan dengan guru-guru

tertentu tersebut.

8. Penilaian jarh mutlak di dahulukan meski yang memuji lebih

banyak.
َ ْ َ َ ْ ُ َ ُ ْ َ َ ْ َ َ ً َ ْ ُ ٌ َ ُ َ ْ َْ َ
‫أن ا ﺮح ﻣﻘﺪم ﻣﻄﻠﻘﺎ و ﻮ ن ا ﻤﻌﺪ ﻮن ا‬

Sebagaimana disepakati jumhur ulama yang dinukil Khatib

al-Baghdadi dan dibenarkan oleh Ibn Shalah serta Imam

Fakhruddin al-Razi, imam al-Amidi serta ahli ushul fiqh lainnya,

sebab sesungguhnya Ja>rih mempunyai tambahan pengetahuan

yang tidak dimengerti oleh Mu’addil, dan karena Ja>rih

mengevaluasi Mu’addil atas apa yang dideskripsikan dari

keadaan dhahir rawi. Kecuali jika Mu’addil mendeskripsikan

keadaan rawi berdasar hal-hal batiniyah yang tersembunyi.73

72
Ibid., hlm. 53
73
Muhammad Abdul al-Hayyi al-Laknawi, al-Raf’u wa al-Takmi>l fi al-Jarh wa al-Ta’dil.
Ed. Abdul Fattah Abu> Ghuddah, (Beirut : Da>r al-Basyair al-Islamiyah :2004), hlm. 116
51

9. Jika jumlah yang yang memuji lebih banyak maka penilaian

ta’dil didahulukan.
ُ ْ ُ َْ َ ْ ُ َ ََ ْ
‫ ﻗﺪ َم ا ﻌ ِﺪﻳْﻞ‬, ُ ‫ِان ن َﻋﺪد ا ُﻤ َﻌﺪ ِﻟ َ ا‬

Khatib al-Baghdadi dalam kifayahnya mengisahkan bahwa

sesungguhnya kebanyakan Mu’addili>n menguatkan keadaan

rawi dan kekurangan Ja>rihi>n melemahkan riwayatnya. Menurut

beliau “inilah kesalahan dari mereka yang meragukan riwayat

rawi, karena meskipun banyak kalangan mu’addil tidak

menceritakan apa yang tidak diceritakan kalangan Ja>rih dan

kalaupun mu’addil menceritakan hal tersebut menjadi bukti

yang batal.74

10. Jika ada kontroversi jarh wa ta’dil maka tidak bisa dimenangkan

salah satunya kecuali menurut murajjih sendiri.

Menurut Al-Laknawi “ telah terjadi pergeseran orientasi

ulama zaman sekarang merevisi hasil investigasi para peneliti

yang berpendapat bahwa jarh didahulukan atas ta’dil, karena

kelalaian mereka dalam mengevaluasi secara detail, menurut

mereka sesungguhnya jarh itu mutlak (apa wujud jarh-nya, dari

mana yang mencela, bagaimana keadaan rawi) didahulukan atas

ta’dil yang juga mutlak (wujud ta’dil, dari mana mu’addil dan

bagaimana keadaan rawi), dan masalahnya tidak seperti yang

dibayangkan, masalah sesungguhnya adalah maksud

74
Ibid., hlm. 117
52

mendahulukan jarh atas ta’dil telah diyakini bahwa jarh telah

diterangkan. Karena sesungguhnya jarh yang samar tidak

diterima secara mutlak, sehingga tidak mungkin jarh

dikonfrontir dengan ta’dil jika masih samar.

Selain postulat tersebut ada beberapa pertanyaan yang perlu

diteliti mengenai keberadaan rawi mukhtalaf fi>h untuk diambil tarjih-

nya, pertanyaan tersebut antara lain :

pertanyaan pertama : sebab-sebab yang melandasi perbedaan penilaian

para kritikus terhadap seorang rawi.

1. Betapapun mahir para kritikus yang menjadi rujukan dalam

mempelajari para rawi, dan diikuti pendapatnya dalam jarh wa

ta’dil, memberi keterangan biografi rawi dan keadaannya, dan

netralitas serta terbebas dari hawa nafsu dan fanatisme, mereka

tetap manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan dan kealfaan,

ada kalanya seorang imam berpendapat pribadi dalam

mentsiqahkan rawi dhaif atau mendhaifkan rawi tsiqah dan

menghukumi periwayatan rawi berdasar kesalahan tersebut.75

2. Rawi yang sebenarnya tsiqah dan penilaian jarh yang disematkan

padanya berdasar fanatisme madzhab atau perselisihan dan

perdebatan antara dia dan yang mengkritik, atau berdasar

komentar ulama sezaman yang saling mengkritik, jika ini yang

terjadi maka kritikannya tidak dipertimbangkan.76

75
Lihat Umar Iman Abu Bakar dalam al-Ta’si>s fi> Fanni Dira>sat al-Asa>nid..., hlm. 263
76
Ibid., hlm. 264
53

3. Apabila para imam beragam dalam mengkritik rawi akan tetapi

berlandaskan masalah serta cara pandang yang berbeda. Jika rawi

disifati dengan jarh-nya maka ditolak riwayatnya dan bagi kritikus

lainnya hal tersebut tidaklah menjadi jarh.77

4. Beberapa rawi yang didhaifkan banyak dikarenakan adanya

kesalahan dalam meriwayatkan hadits. Dalam hal ini ada

perbedaan para kritikus mengenai kadar kesalahan yang bisa

ditolerir, ada yang mentolerir sampai sepuluh kali ada juga yang

mentolerir hingga seratus kali78.

5. Adanya pengelompokan di kalangan kritikus, ada yang

mutasyaddid, mutasahhil atau mu’tadil, inilah salah satu pangkal

perbedaan dalam menilai rawi.79

Pertanyaan kedua : bagaimana cara menyikapi jika ada perbedaan

diantara kritikus tentang rawi tertentu.

1. Jika mungkin untuk dikompromikan perbedaan pendapat yang

ada, maka wajib disesuaikan arah ta’dil atau tajrih.

2. Jika tidak bisa dikompromikan maka wajib ditarjih.

jika ditemukan tautsiq dan tajrih pada seorang rawi, maka wajib

ditarjih serta berlaku sesuai petunjuk atas tarjih tersebut. Jika

tautsiq lebih kuat dari tajrih berarti tsiqah, jika tajrih lebih kuat

dari tautsiq berarti dhaif.80

77
Ibid.,
78
Ibid., hlm. 265
79
Ibid.,
80
Ibid., hlm. 270
54

Contoh rawi mukhtalaf fi>h yang ditarjih jarh-nya adalah Jabir al-

Ju’fiy nama lengkapnya adalah Jabir bin Yazid bin al-Harits bin

Abd al-Ju’fiy81

Contoh rawi mukhtalaf fi>h yang ditarjih tsiqahnya adalah Ikrimah

al-Barbariy, budak dari sahabat Ibn Abbas ra82.

3. Jika ada perbedaan akan tetapi tidak bisa ditarjih (inilah

mukhtalaf fih yang sebenarnya).

Mengenai hukum hadits yang diriwayatkan oleh rai mukhtalaf fi>h

jumhur ulama menilai sebagai hadits hasan setelah terpenuhi syarat-

syaratnya83.

81
Ibid., hlm. 279
82
Ibid., hlm. 271
83
Ibid., hlm. 287

Anda mungkin juga menyukai