Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas kelompok mata kuliah ulumul hadist

Jarh wa wa'tadil
Dosen Pengampu :
Dr. Ahmad Zumaro, MA

Disusun Oleh :

Mas Adatul Afifah (2001011063)


Angga Shohibul huda (
Pendidikan Agama Islam (E)

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) METRO


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
T.A 2021/2022
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-
Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Antariksa dan
Fenomena Kehidupan Luar Angkasa” tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Bapak Dr.
Ahmad Zumaro, MA pada mata kuliah ulumul hadist Selain itu, makalah ini juga bertujuan
untuk menambah wawasan tentang Jarh wa wa’tadil bagi para pembaca dan juga bagi
penulis.
Kami mengucapkan terima kasih kepada bapak Dr, Ahmad Zumaro,MA selaku dosen
pengampu mata kuliah ulumul hadist yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat
menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang saya tekuni. Saya
juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Kami menyadari, makalah
yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Metro, 18, Februari 2022


Penulis (Kelompok L)


DAFTAR ISI

1. Kata pengantar
Bab I
Pendahuluan
1. Latar belakang ……………..
2. Rumusan masalah…………..
Bab II
A. Pengertian Jarh wa wa'tadil
B. Sejarah terjadinya Ilmu Jarh Wa Ta’dil.
C. Syarat mengenai Ilmu Jarh wa Ta’dil.
D. mengetahui perkataan dan tingkatan Jarh wa Ta’dil.
3. Bab III
A kesimpulan……..
B penutup…………
BAB I
PENDAHULUAN

A .Latar Belakang
Salah satu objek penting lainnya dalam kajian ulumul Hadits adalah perbincangan
mengenai Ilmu jarh wa ta’dil. Jarh atau Tajrih menurut bahasa berarti luka, sedangkan
menurut istilah, Jarh ialah tersifatinya seorang Rawi dengan sifat-sifat tercela, seperti
kadzdzab, su’al-hifzh, mukhtalath, ghair ma’mun, dan lain-lain sehingga tertolak
periwayatannya.
Pengertian Ta’dil menurut bahasa ialah lafal adil, sedangkan menurut istilah, Arti ta’dil
adalah tersifatinya seorang perawi yang mengarah pada diterimanya periwayatannya.
Latar belakang terjadinya ilmu jarh wa ta’dil dimulai sejak adanya periwayatan hadits,
sebagai usaha ahli hadits dalam memilih dan menentukan hadits sahih dan dhaif. Menurut
T.M. Hasbi As-Shiddiqie, sekurang-kurangnya ada tujuh periode perkembangan hadits.
Pembahasan mengenai ilmu jarh wa ta’dil diantaranya dalah: macam-macam kaidah jahr
dan ta’dil, hukum mencela para perawi, tidak boleh mencela lebih dari keperluan, syarat
menerima penta’dilan dan pentajrihan, jarh dan ta’dil yang diterima dan yang ditolak, jumlah
kesaksian dalam jarh atas ta’dil, mendahulukan jarh atas ta’dil, jumlah kesaksian dalam jarh
atas ta’dil, mendahulukan jarh atas ta’dil.
Pertentangan jarh wa ta’dil terhadap seorang perawi, maka menimbulkan pendapat yang
dipandang shahih oleh Ibnu Shalah, Ar Razy, AL Amidy dan lain-lain adalah arah itu
didahulukan atas ta’dil secara muthlaq walaupun yang mengadilkan itu lebih banyak
jumlahnya.
Demikianlah secara singkat latar belakang Ilmu Jarh Wa Ta’dil

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, penyusun merumuskan masalah yang akan dibahas
dalam makalah ini sebagai berikut:
1. Apakah pengertian Ilmu Jarh wa Ta’dil ?
2. Bagaimana sejarah terjadinya Ilmu Jarh Wa Ta’dil ?
3. Bagaimana syarat mengenai Ilmu Jarh wa Ta’dil ?
4. Apa perkataan dan tingkatan Jarh wa Ta’dil ?
C. Tujuan Penulisan
Untuk memahami pengertian Ilmu Jarh wa Ta’dil.
Untuk mengetahui sejarah terjadinya Ilmu Jarh Wa Ta’dil.
Untuk mengetahui syarat mengenai Ilmu Jarh wa Ta’dil.
Untuk mengetahui perkataan dan tingkatan Jarh wa Ta’dil.

D. Manfaat Penulisan
Manfaat disusunnya makalah ini adalah untuk memberikan pemahaman kepada
mahasiswa tentang pengertian Ilmu Jarh wa Ta’dil serta pembahasannya.

BAB II
Pembahasan

A. Pengertian Ilmu Al-Jarh Wa At-Ta’dil


Kalimat Al-jarh wa at-ta’dil merupakan satu dari kesatuan pengertian, yang terdiri dari dua
kata, yaitu ‘Al-jarh dan ‘Al-adl’. Al-jarh merupakan bentuk masdar dari kata ‫ يجرح‬-‫ جرح‬yang
berarti “seseorang membuat luka pada tubuh orang lain yang ditandai dengan mengalirnya
darah dari luka itu.” Dikatakan juga ‫جرحاحاكموغيرهالشاهد‬, yang berati hakim dan yang lain
melontarkan sesuatu yang menjauhkan siafat adil saksi, berupa kedustaan dan sebagainya.
Kata Al-jarh merupakan betuk dari kata jaraha-yajrahu atau Jariha-yajrahu yang berarti cacat
atau luka, atau seseorang membuat luka pada tubuh orang lain yang ditandai dengan
mengalirnya darah dari luka itu. Istilah acat ini digunakan untuk menunjukkan sifat jelek
yang melekat pada periwayat hadits seperti pelupa, pembohong dan sebagainya. Sedangkan
kata Al-Ta’dil merupakan akar kata dari ‘Addala-Yu’addilu yang berarti mengadilkan,
menyucikan atau menyamakan.
Ilmu al-jarh wa at-ta’dil adalah ilmu yang digunakan untuk mengetahui sifat negatif dan
positif perawi hadis yang berpengaruh pada kualitas hadis yang diriwayatkannya. Dengan al-
jarh, segi-segi kelemahan atau kecacatan perawi diuangkapkan. Sedangkan at-ta’dil, segi-segi
penilaian positif pada perawi diuangkapkan. Dengan begitu dapat diketahui apakah sebuah
hadis yang diriwayatkan perawi tersebut dapat dipercaya atau tidak.
Sedangkan menurut istilah, Arti ta’dil adalah tersifatinya seorang perawi yang mengarah pada
diterimanya periwayatannya. Orang yang dinilai adil ialah orang yang tidak cacat urusan
agama dan muru’ahnya, sehingga kabar dan persaksiannya dapat diterima sepanjang syarat-
syaratnya terpenuhi.
Menurut keterangan tersebut, yang dinamakan adil adalah orang yang tidak ada ketercelaan
pada dirinya, sehingga tidak ditolak riwayatnya atau pemberitaannya. Jadi, orang yang di-
ta’dil atau yang dinilai adil adalah orang yang dirinya selamat dari segala celaan yang tidak
layak dimiliki oleh seorang rawi agar riwayatnya tidak ditolak. Seorang yang dinilai adil
dalam periwayatan hadits, harus seorang Muslim, mukallaf, dhabith, tsiqah dan selamat dari
kefasikan. Prof Hasbi Ash-Shiddiqie, dalam karyanya Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis,
mengemukakan definisi jarh wa ta’dil sebagai berikut : “Zhahirnya ‘aib sehingga riwayatnya
tertolak (dan) ta’dil didapat ketika keadilan dan ke-dhabith-annya diketahui.
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa Ilmu Jarh wa Ta’dil adalah ‘Ilmu yang
membahas tentang kaidah-kaidah mencela para rawi dan mengadilkannya”.
B. Sejarah dan Perkembangan Ilmu Al Jarh dan Wa Ta’dil

Ilmu Al jarh wa ta’dil telah ada sejak zaman sahabat, yang telah berkembang
sejalan dengan perkembangan periwayatan hadits dalam Islam. Beberapa ulama
bekerja mengembangkan dan menciptakan berbagai kaidah, menyusun berbagai
istilah, serta membuat berbagai metode penelitian sanad dan matan hadits, untuk
“menyelamatkan” hadits Nabi dari “noda-noda” yang merusak dan menyesatkan.

Demikianlah sesungguhnya jarh wa ta’dil adalah kewajiban Syar’i yang harus


dilakukan. Investigasi terhadap para perawi dan keadilan mereka bertujuan untuk
mengetahui apakah rawi itu seorang yang amanah, alim terhadap agama, bertaqwa,
hafal dan teliti, pada hadits, tidak sering dan tidak peragu. Semua ini merupakan suatu
keniscayaan. Kealpaan terhadap kondisi tersebut akan menyebabkan kedustaan
kepada Rasulmenyesatkan

Awal mula pertumbuhan ilmu ini adalah seperti yang dinukil dari Nabi SAW
sebagaimana telah disebutkan , lalu menjadi banyak dari para sahabat, tabi’in, dan
orang setelah mereka, karena takut terjadi seperti apa yang diperingatkan oleh
Rasulullah, sebagaimana sabdanya:
Akan ada pada umatku yang terahir nanti orang-orang yang menceritakan hadist
kepada kalian apa yang belum pernah kalian dan juga bapak-bapak kalian mendengar
sebelumnya. Maka waspadalah terhadap mereka dan waspadailah mereka.

Selain dari riwayat-riwayat yang kita peroleh dari Rasulullah SAW tentang al-jarh
dan at-ta’dil ini, banyak pula kita menemukan pandangan dan pendapat para Sahabat.
Kita dapat menemukan banyak kasus di mana Sahabat yang satu memberikan
penilaian terhadap Sahabat yang lainnya dalam kaitannya sebagai perawi hadits.
Keadaan demikian berlanjut dan dilanjutkan oleh tabi’in, atba’ at-tabi’in serta para
pakar ilmu hadits berikutnya. Dalam hal ini mereka menerangkan keadaan para
perawi semata-mata dilandasi semangat religius dan mengharap ridha Allah. Maka,
apa yang mereka katakan tentang kebaikan maupun kejelekan seorang perawi akan
mereka katakan dengan sebenarnya, tanpa tenggang rasa, meski yang dinilai negatif
adalah keluarganya.
Dengan demikan pada dasarnya ilmu al-jarh wa ta’dil tumbuh dan berkembang
bersamaan dengan periwayatan hadits, yakni semenjak masa Rasulullah SAW dan
para Sahabatnya. Ulama-ulama sesudahnyalah yang kemudian melanjutkan uswah
dan tradisi semacam itu. Sebagaimana firman Allah yang tertuang dalam (Q.S. al-
Ahzab [33]: 70-71): “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah
dan Katakanlah perkataan yang benar, Niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-
amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa mentaati Allah
dan Rasul-Nya, Maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.”
Dari bisyr bin umar dia berkata, “ aku telah bertanya kepada malik bin anas tentang
Muhammad Bin Abdurrahman yang meriwayatkan dari Sa’id Bin Musayyib, maka
dia berkata,” dia tidak tsiqah, dan aku bertanya kepadanya tentang shalih budak at-
Tawwamah, ia berkata, “ tidak tsiqah”, dan aku bertanya kepadanya tentang Abu al-
Khuwairits, maka dia berkata, “tidak tsiqah”, dan aku bertanya kepadanya tentag
syu’bah yang telah meriwayatkan dari padanya Ibu Abi Dzi’b, maka dia berkata, “ dia
tidak tsiqah”, dan aku bertanya kepadanya tentag haram bin utsman, maka dia
berkata, “dia tidak tsiqah”. Dan dari Syu’bah dari Yunus Bin ‘Ubaid dia berkata,
“adalah Amr Bin Ubaid dia berdusta dalam hadist.”

C. Syarat mengenai Ilmu Jarh wa Ta’dil.

Syarat-Syarat Bagi Orang Yang Men-Ta’dil-kan dan Men-Tajrih-kan


Ada beberapa syarat bagi seorang yang men0ta’dil-kan dan men-tajrih-kan, yaitu :
a. Berilmu pengetahuan,
b. Takwa,
c. Wara’ (orang yang slalu menjahui perbuatan maksiat, syubhat, dosa-dosa kecil,
dan makruhat-makruhat),
d. Jujur,
e. Menjahui fanatik golongan,
f. Mengetahui sebab-sebab untuk men-ta’dil-kan dan men-tajrih-kan.

Adapun Ulama sependapat atas kewajiban terpenuhinya syarat-syarat itu dalam diripenta’dil
dan pentajrih, siapa saja yang menekuni bidang ini harus memenuhibeberapa kriteria, yaitu:
1. ‘Alim
2. Bertakwa
3. Wira’i
4. Jujur
5. Tidak terkena jarh
6. Tidak fanatik terhadap sebagian perawi

Mengerti betul sebab-sebab jarh dan ‘Hal tersebut di atas menjelaskan bahwa tidak
semua orang bisa menjadi ulama jarh wat-ta’dil, untuk menjadi seorang ulama jarh wat-
ta’dildibutuhkan persyaratan khusus yang telah disepakati oleh ulama jarh-wat ta’dilyang
telah disebutkan di atas.
Hal tersebut senada dengan hadis Nabi “Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka
tunggulah kehancuran.”Persyaratan tersebut di atas mutlak untuk dipenuhi untuk mengkritik
seorang perawi hadis. Agar hadis benar-benar berasal dari orang yang kredibel pada bidang
tersebut. Memperbolehkan semua orang menjadi pengkritik rawi sama seperti berobat karena
penyakit tapi tidak berobat kedokter, maka hal tersebut akan sangat membahayakan.

D. Perkataan dan tingkatan Jarh wa Ta’dil

a) Perkataan Jarh wa ta’dil

b) Tingkatan Jarh wa ta’dil

Dalam ilmu jarh wa ta’dil juga memiliki tingkatan tingkatannya. Seorang


perawi memiliki tingkatan jarh dan ta’dil yang berbeda-beda. Perbedaan
tingkatan jarh dengan tingkatan ta’dil yaitu terletak pada susunanya. Jika
tingkatan jarh disusun dengan urutan ke atas, sedangkan tingkata ta’dil
disusun dengan urutan ke bawah. Adapun tingkatan tingkatan jarh wa ta’dil
adalah sebagai berikut:
1. Tingkatan Tingkatan Jarh
a. Tingkatan pertama, yaitu penyifatan seorang rawi yang menunjukkan
adanya kelemahan atau hanya sekedar dha’if yang tidak bisa dijadikan
pegangan seperti lafadz: layyin al-hadits (maksudnya hadits yang lemah) atau
fiihi dha’fun (maksudnya padanya ada kelemahan.
b. Tingkatan kedua, yaitu penyiftan seorang rawi dengan menunjukan
adanya kelemahan dho’if yang lemah sekali atau pelemahan yang lebih besar
dari tingkatan sebelumnya. Seperti: ia mempunyai hadist hadist yang munkar
atau majhul (tdk memiliki identitas)
c. Tingkatan ketiga, yaitu penyifatan rawi yang menggugurkan hadist,
seperti mardud al-haditsl (hadistnya ditolak), raddu hadtsahu (mereka menolak
hadistnya).
d. Tingkatan keempat, yaitu penyifatan seorang rawi yang menunjukkan
tidak adil, seperti matruk al-hadist (haditstnya di tinggalkan), saqih halik
(gugur dan rusak), dll.
e. Tingktan kelima, yaitu penyifata seoarng rawi yang menunjukan adanya
tuduhan dusta, sifat dusta, atau pemalasuan hadist, seperti fulan dituduh
berdusta atau dituduh memalsukan hadist atau mencuru hadist.
f. Tingkatan keenam, yaitu penyifatan seorang rawi yang menunjukan
adanya sifat dusta yang berlebihan, dan ini seburuk buruknya tingkatan,
seperti fulan seorang pembohong atau ia merupakan puncak kedustaan.
Hukum tingkatan al-jarh jika dilihat dari tngkatannya bahwa perowi yang
berada di kedua lebih rendah kedudukannya dari pada yang pertama. Jadi bisa
disimpulkan bahwa perowi yang berada ditingkatan keempat sapai keenam
hadits nya tidak bisa digunakan sebagi hujjah dan juga harus dihapuskan.

Tingkatan Tingkatan Ta’dil


a. Tingkatan pertama, yaituseorang rawi yang memiliki sifat keadilan dan
kedhobitan yang tinngi (bentuk mubalaghoh) seperti fulan adalah manusia yang paling teguh,
dll.
b. Tingkatan kedua, yaitu rowi yang memliki sifat kemasyhuran dalam kedilan dan
kecermatan atau sifat yang mnguatkan kestsiqohannya seperti tsiqah tsiqah, atau
tsiqah tsabit.

c. Tingkatan ketiga, yaitu sifat rowi yang munjukan adanya ketsiqahan tanpa
adanya penguatan seperti tsiqah, tsabat, mutqin dll.

d. Tingkatan keempat, yaitu rawi yang menunjukan tanpa adanya isyarat akan
kedhobitan dan kecermatan seperti orang terpercaya, orang yang jujur dll.

e. Tingkatan kelima, yaitu rawi yang tidak menunjukan adanya celaan (jarh)
seperti manusia meriwayatkan darinya.

f. Tingkatan keenam, yaitu rawi yang yang mendekati adanya jarh seperti fulan
lumayan, haditsnya benar,dll.

Hukum tingkatan ta’dil yaitu untuk tingkatan yang pertama bisa dijadikan sebagai
hujjah meskipun kekuatan kedhobitannya berbeda beda, namun untuk tingkatan yang
selanjutnya tidak bisa dijadikan hujjah namun boleh ditulis sebagai bahan pelajaran
dan bisa membandingkan dengan hadist yang lain.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas kita dapat menyimpulkan bahwa Ilmu Jarh Wa Ta’dil
merupakan Ilmu yang membahas tentang kaidah-kaidah mencela para rawi dan
mengadilkannya.
Latar belakang terjadinya ilmu jarh wa ta’dil dimulai sejak adanya periwayatan
hadits, sebagai usaha ahli hadits dalam memilih dan menentukan hadits sahih dan
dhaif.
Ilmu jarh adalah kecacatan pada perawi hadis disebabkan oleh sesuatu yang dapat
merusak keadilan atau kedhabitan perawi. Jadi ilmu jarh adalah ilmu yang
mempelajari seluk beluk para perawi hadis yang meliputi perkataan dan perbuatan
dalam mendapatkan dan menjaga hadis. Ilm ta’dil adalah lawan dari al-jarh, yaitu
pembersih dari sifat-sifat yang membuat riwayatnya ditolak. Sehingga dengan ta’dil
ini riwayatnya bisa diterima dikalangan umat islam.
Ilmu jarh wa ta’dil memliki tingkatan tingkatan yaitu tingkatan jarh dan tingkatan
ta’dil. Perbedaan keduanya terletak pada urutan susunannya. Banyak para ulama yang
berbeda pendapat mengenai jumlah tingkatan ilmu ini. Sehingga menimbulkan
problematika di kalangan para ulama. Seperti halnya juga perbedaan pendapat pada
syarat orang yang menta’dil atau mentarjih. Ada yang mngatakan dua orang dan ada
pula yang mengatakan cukup satu orang.

B. Saran
Dengan mempelajari kedua ilmu ini, maka jelaslah para perawi yang bisa diterim
riwayatnya tanpa ada keraguan lagi. Mudah-mudahan makalah sederhana ini dapat
dijadikan sebagai refrensi untuk bagi para pembaca. Untuk itu penulis sangat
mengharapkan masukan dan saran yang sangat membantu penyempurnaan makalah
ini. Akhirnya, semoga makalah ini dapat berguna bagi kita semua bagi pembaca/umat
Islam.

Daftar pustaka

Abdurrahman M dan Elan Sumarna, Metode Kritik Hadits, Bandung: Remaja


Rosdakarya, 2011.

Al-Khatib, ‘Ajjaj, Ushul Al-Hadits.Terj. H.M Qodirun dan Ahmad Musyafiq.


Jakarta : Gaya Media Pratama. 2003

Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadis. Bandung : PT Al Ma’arif.

Nuruddin, Triyasyid.2008.Al-jarh wa At-ta’dil.Jurnal Penelitian

Rahman, Fathur.1980.Ikhtishar Mushthalahu’l HadistBandung: PT Al-Ma’arif.

Smeer, Zeid B.2008.Ulumul Hadist: Pengantar Studi Hadist Praktis.Malang: UIN


Malang Press

Sulaiman, M. Noor.2008.Antologi Ilmu Hadist.Jakarta: Gaung Persada Press.

Suryadilaga, M. Al- fatih, dkk.2010.Ulumul Hadist.Yogyakarta: Teras

Anda mungkin juga menyukai