Anda di halaman 1dari 12

NAMA : MASDAR

NIM : 180103020036

Kaidah 208

Setiap perbuatan yang diperintahkan atau yang dilarang yang bersifat umum dan belum

ada batasan dan aturannya, perintah atau larangan itu tidak sama intensitas hukumnya

pada setiap unsur tindakan tersebut.

Kaidah ini berkaitan dengan bagian pertama kaidah yang lalu. Pada kaidah yang lalu itu

terdapat Penjelasan bahwa setiap dalil Syariat Yang termaktub dalam Alquran yang bersifat

umum, belum memiliki Ketentuan dan batasannya, maka dalil itu dikembalikan kepada makna

logis berdasarkan pikiran mukallaf, Seperti apakah batasan perbuatan baik, Perbuatan Ma'ruf,

adil, zalim ,keji, dan lainnya mengenai hal-hal yang diperintahkan dan dilarang. Hal itu

berdasarkan bahwa rasio mukallaf punya kemampuan dalam memahami persoalan-persoalan itu

karena ia berbeda-beda dari situasi ke situasi, waktu ke waktu,dsb

maksud kaidah ini adalah bahwa masalah-masalah yang ditunjuk nya tidak sama

kedudukannya pada seluruh unsur nya di depan perintah atau larangan syariat, sekalipun secara

umum masalah masalah itu semuanya diperintahkan atau dilarang


hal itu karena sebagian unsur masalah itu ada yang wajib dikerjakan dan ada yang sunah.

Itu dari segi perintah. Dari segi larangan, sebagian perbuatan yang dilarang itu ada yang

diharamkan,sebagian lain makruh dan seterusnya.

Perbedaan juga dapat terjadi antara kewajiban itu sendiri, di mana kewajiban itu bisa

semakin besar dikaitkan tempat atau waktu ia dikerjakan.

Demikian pula mengenai keharaman: persoalan-persoalan yang perlu diperiksa terlebih

dahulu karena dapat mempengaruhi. Demikian juga berlaku pada yang hukumnya Sunnah dan

makruh.

Berdasarkan hal itu, maka bila Allah memerintahkan atau melarang sesuatu berkenaan

masalah-masalah yang sifatnya umum, hal itu tidak berarti bahwa ia memutlakkan hukum wajib

atau hukum haram bagi seluruh unsur yang terdapat di dalamnya, misalnya firman Allah surah

an-nahl ayat 90

" Sesungguhnya Allah memerintahkan berbuat adil dan kebaikan"

tidak bisa dikatakan bahwa itu adalah perintah wajib atau sunnah sampai perintah itu

dijelaskan, dan penjelasan itu dikembalikan kepada pendapat seorang Mujtahid pada suatu waktu,

dan kepada pendapat seorang mukallaf(sekalipun ia taklid saja) pada waktu lain, sesuai kejelasan

atau kerumitan maknanya, wallahu a'lam


demikianlah kita bisa melihat para ulama Salaf kadang-kadang tidak mau menyatakan

dengan tegas pendapat pendapat mereka mengenai masalah halal atau haram itu. Mereka hanya

menyatakan" Saya tidak senang hal itu", " saya menghindari hal itu", atau" Saya tidak akan pernah

mengerjakannya" dan semacamnya. Hal itu karena perintah-perintah atau larangan-larangan itu

umum sekali maknanya, tidak memiliki batasan yang bisa membuat kita memastikannya.

a. Contoh hal-hal yang diperintahkan

contohnya banyak sekali, seperti berbuat adil, berbuat baik menepati janji,sabar,

takut,harap, Ingat kepada Allah, ikhlas, tawakal, membaca Alquran, berbuat benar, dsb

semua perbuatan yang diperintahkan itu di dalamnya terdapat unsur-unsur yang berbeda

tingkat wajib atau sunnahnya. Bahkan hukum wajib Satu perilaku bisa berbeda-beda tingkat

intensitas wajibnya pada unsur-unsur yang termasuk kedalamnya. Demikian pula mengenai

hal-hal sunnah.

Keadilan wajib dikerjakan, tetapi intensitasnya berbeda-beda. Misal kewajiban adil

terhadap Allah dengan mensyukuri nikmat nya dan mengakui nikmat itu

darinya. Implementasinya adalah menauhidkan ibadah hanya untuk-nya dan tidak

membangkang kepada-nya. Tetapi ada pula adil terhadap musuh, pelaksanaannya adalah

tidak mengabaikan haknya dan tidak memperlakukannya dengan zalim.


Ada pula kewajiban adil antara suami istri, adil terhadap anak-anak, adil terhadap sesama

manusia. Semuanya itu wajib dengan tingkat intensitas yang berbeda-beda

dan ada pula Adil yang hukumnya Sunnah seperti adil Hakim dalam memperlakukan

mereka yang berperkara

b. Contoh hal-hal yang dilarang contohnya juga banyak sekali, seperti berbuat zalim, sombong,

syirik ,dusta dan dan semacamnya yang termasuk larangan dalam bentuk umum tanpa ada

batasan tertentu

zalim bertingkat-tingkat, yang tertinggi adalah syirik, dan zalim lain ada berbagai

tingkatan nya seperti dzalim kepada orang pandai tidak sama dengan zalim terhadap orang

bodoh walau sama-sama haram

Kaidah 209

Upaya untuk menyelesaikan kemusykilan tafsir

1. mengembalikan kata kepada lawannya

2. kedua mengembalikan kata kepada bandingannya

3. ketiga memperhatikan informasi, syarat atau penjelasan berbeda ada yang berkaitan

dengannya
4. keempat petunjuk konteks kalimat

5. kelima mengkritisi makna asli teks

6. keenam mengetahui sebab turunnya

7. ketujuh menghindari kontradiksi

kerumitan dalam memahami makna ayat kitab Allah teratasi bila dilakukan upaya-upaya

1. Mengembalikan kata kepada kebalikannya

caranya yaitu memberikan perintah menjadi larangan atau sebaliknya. Ucapan Anda

misalnya " Jangan lakukan itu atau itu" bila anda balikan kepada perintah maka bunyinya

adalah" laksanakan ini atau ini" artinya laksanakan salah satu yang mana pun dari

keduanya. Maka makna larangan itu adalah: jangan laksanakan salah satu pun dari

keduanya.

Contohnya dalam firman Allah surah al-insan ayat 24

" dan janganlah kamu ikuti Siapa yang berdosa dan yang kafir"

maknanya adalah " dan jangan patuhi baik yang berdosa dan maupun yang kafir", karena

kita bila membalikkannya ke lawannya yaitu perintah maka maknanya menjadi" patuhilah

baik yang berdosa maupun yang kafir" artinya salah seorang pun mereka. Berdasarkan

hal itu maka makna ayat itu adalah jangan patuhi salah seorang pun mereka
2. Mengembalikan kata kepada bandingannya

ini dilakukan dengan mencari kata-kata yang mirip kata itu dalam Alquran di mana akan

ditemukan pada satu tempat ayat yang bersifat Global di tempat lain memiliki batasan, di

satu tempat bersifat umum di tempat lain bersifat khusus, atau di satu tempat bersifat garis

besar di tempat lain bersifat rinci

misal pembayaran denda dengan memerdekakan budak ; pada tempat lain Budak itu

bersifat umum, tetapi pada tempat lain diberi kaitan " mukminah" dengan begitu diketahui

bahwa yang dimaksud dengan Budak itu adalah budak wanita yang beriman

3. Memperhatikan informasi, syarat, atau penjelasan berbeda yang relevan

misalnya permulaan ayat yang mengandung beberapa makna, tetapi di bagian akhir bila

dikritisi akan ditemukan petunjuk tentang maknanya yang sebenarnya. Bentuk seperti ini

jelas

contoh firman Allah surah Al-baqarah ayat 187

" dan makan dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu

Fajar"
penggalan ayat itu maknanya musykil (ada yang memahaminya betul-betul benang hitam

dan benang putih), tetapi dengan adanya informasi " yaitu Fajar" jelaslah Apa yang

diperintahkan, yaitu Fajar

4. petunjuk konteks kalimat

yaitu bahwa dari konteks Kalimat akan ditemukan bahwa kata yang samar mendapat

penjelasan, kata yang umum mendapat pengkhususan, dan kata yang tidak terbatas

menjadi terbatas, sebagaimana sudah diterangkan.

Misalnya Allah berfirman dalam surah Ad-Dukhan ayat 49

" rasakanlah, Sesungguhnya kamu orang yang perkasa lagi mulia"

konteks kalimat memberi petunjuk bahwa perintah itu adalah celaan

5. Mengkritisi makna asli teks

cara mengetahui perubahan makna adalah menelusuri makna-makna asli kata itu pada

setiap tempat munculnya sampai diperoleh makna yang sebenarnya

contohnya firman Allah surah Ali Imran ayat 28


" Janganlah orang-orang Mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali bukan

orang-orang Mukmin"

dan FirmanNya surah Al-baqarah ayat 23

" dan ajaklah penolong penolong kalian selain Allah, jika kalian orang-orang yang benar"

bila anda ingin mengetahui makna "duuni" dalam kedua tempat itu, ada perlu menelusuri

makna aslinya, kemudian makna kedua, kemudian makna ketiga, sampai Anda

menemukan makna yang dimaksudkan.

Berdasarkan hal itu kita menyatakan bahwa asal makna kata " Duuni" adalah posisi yang

ia turunin dari posisi atas sebelumnya, dan ada pula kata tersebut artinya sesuatu yang

remeh yang tidak ada artinya. Kemudian kata itu berpindah maknanya untuk menyatakan

tingkat perbedaan keadaan dan posisi. Karena itu dikatakan" Zaid bukan Umar dalam hal

ilmu dan kemuliaan" kemudian makna kata itu berkembang lebih luas lagi dan beralih

kepada segala yang melangkahi satu batas-batas lainnya dari satu keadaan kepada keadaan

lainnya , sebagaimana maknanya pada dua ayat itu

dan makna ayat pertama adalah: ah jangan kalian melangkahi batas dengan melewati saja

perlindungan orang mukmin lalu mengambil perlindungan orang kafir.


Dan makna ayat kedua adalah; jangan kalian melewati doa kepada Allah dengan berdoa

kepada Tuhan Tuhan yang kalian kira akan menolong kalian nanti pada hari kiamat.

6. Mengetahui turunnya (asbabun nuzul)

yaitu sebab turunnya, Yang Tidak diragukan lagi merupakan hal yang paling

menolong dalam memahami makna dan menghilangkan keraguan, karena pengetahuan

tentang sebab melahirkan pengetahuan tentang yang disebabkannya

7. Menghindari kontradiksi

jika 1 kata mengandung 2 makna, maka salah satu makna nya pasti bertentangan

dengan dalil lain, sedangkan makna yang satu lagi tidak. Dalam keadaan seperti itu makna

kedua ( yang tidak kontradiksi) didahulukan.


Kaidah 210

Bila sasaran perintah mampu dilaksanakan. perintah itu dilaksanakan sebagaimana

mestinya; dan bila tidak, perintah itu dialihkan kepada akibatnya atau penyebabnya.

tuntutan agama agar sesuatu dikerjakan atau tidak dikerjakan, ada yang materinya berada

dalam kemampuan mukallaf melaksanakannya. bentuk seperti itu wajib dikerjakan sesuai

kemampuannya itu

Ada pula sesuatu yang diminta dikerjakan itu tidak berada di dalam kemampuan mukallaf

dalam hal seperti itu tuntutan agar dikerjakan dialihkan kepada penyebab dan buah tuntutan itu

kita menyatakan demikian berdasarkan bahwa Allah tidak membebani manusia diluar

kemampuannya

Contoh-contoh:

1. tuntutan agar sesuatu dikerjakan

A. sesuatu yang diminta dari mukallaf untuk dikerjakan dan mampu dikerjakannya

B. sesuatu yang diminta dari mukallaf untuk dikerjakan, sedangkan Ia tidak mampu

mengerjakannya, lalu tuntutan dialihkan kepada mengerjakan penyebabnya.

misalnya dalam surah Ali Imran ayat 133


" dan bersegeralah kepada ampunan dari Tuhan kalian dan kepada surga yang luasnya

langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa "

Maghfiroh " keampunan " itu dikaitkan kepada Allah, Padahal perbuatan itu di luar

kekuasaan manusia untuk tercapainya. Oleh karena itu tuntutan dialihkan kepada

penyebab keampunan itu, yaitu beriman dan berbuat baik (artinya yang perlu

dikerjakan adalah beriman dan berbuat baik itu)

2. tuntutan agar sesuatu ditinggalkan

a. sesuatu yang diminta dari mukallaf untuk ditinggalkan sedangkan ia mampu

mengerjakannya

misalnya seperti larangan berzina, minuman keras, judi, durhaka kepada

orang tua, memakan Harta manusia secara batil, mengintip intip rahasia,

bergunjing, menghina, dan sebagainya titik semua yang disebutkan itu mampu

dijauhi manusia

b. sesuatu yang diminta dari mukallaf untuk ditinggalkan sedangkan Ia tidak

mampu melaksanakannya, lalu perintah dialihkan kepada penyebabnya


contohnya surah Al Hujurat ayat 12

" Hai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak prasangka "

sebagaimana dimaklumi, prasangka itu dapat merasuk saja ke dalam

hati manusia tanpa sengaja dan tanpa kuasa. Oleh karena itu perintah

menjauhinya ditujukan kepada penyebab yang memicunya. misalnya curiga

1. sesuatu yang diminta dari mukallaf untuk ditinggalkan sedangkan Ia tidak mampu

melaksanakannya, lalu perintah ditujukan kepada akibat atau hasilnya

contohnya dalam surah an Nur ayat 2

" dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kalian untuk agama

Allah "

belas kasihan adalah sesuatu yang tidak sanggup ditolak oleh hati manusia

ketika faktor faktor pencetusnya muncul. karena itu perintah (jangan kasihan

menghukum pezina) dialihkan kepada hasil dan akibat belas kasihan itu, seperti

menggugurkan hukuman atau menguranginya titik artinya jangan gugurkan atau

kurangi hukuman karena belas kasihan.

Anda mungkin juga menyukai