Abstract
The concept of interpretation (tafsir), exegesis (ta`wil) and hermeneutics as part of
the art of understanding texts in the study of the Qur’an gave birth to a new
paradigm in undertanding the Qur’anic text. Tafsir and ta`wil departure from
Islamic tradition, while hermeneutics depart from the Western tradition. The
development theory of inteerpretation and exegesis is essentially in order to
understand what is in the text and what is outside the text. In the subsequent
development of hermeneutics as the theory of text interpretation is generally used as
a tool to understand the text of the holy Qur’an. This is no different from the
interpretation (tafsir) and exegesis (ta`wil), it’s just that this hermeneutic is actually
a development of the exegesis theory, as part of a philosophical theory, the theory
of thingking to build a pre-understanding. The combination of the concept of
interpretation, exegesis, and hermeneutics, this could be a powerful tool in
interpreting and understanding the Qur’an which ‘salihun li kulli zaman wa makan‘.
nalar quasi kritis yang terjadi pada era pada tulisan menggunakan penelitian
klasik yang condong kearah penafsiran literer berbasis library research. Sumber
tafsir bi al-ma`tsûr (riwayat) dengan nalar data primer berasal dari buku-buku ulumul
bayâni. Kedua, era afirmatif yang berbasis Qur’an. Adapun analisis data berbasis
pada nalar ideologis yang terjadi pada content analisis dengan model induksi
abad pertengahan, tafsir model ini adalah sebagai penyimpulan data.
tafsir bi ar-ra`yi. Ketiga, era reformatif
yang berbasis pada nalar kritis, kritik yang B. Hasil Temuan dan Pembahasan
muncul meliputi kritik ontologis, I. Seputar Perbedaan Tafsir– Ta`wil
ideologis, epistemologis. 1.1 Hakikat Tafsir:
Susunan Al-Qur`an yang tidak Pembahasan tentang definisi dari
sistematis juga merupakan alasan tafsir ini cukup beraneka ragam, apalagi
tersendiri mengapa upaya penafsiran dan bila dikaitkan dengan sudut pandang dan
penggalian terhadap makna ayat-ayatnya paradigma dari pembahasan tafsir itu
senantiasa berkembang mengikuti sendiri. Secara lughawi, kata at-tafsîr
dinamika zaman. Kajian Al-Qur`an ketika berasal dari kata al-fasr (al-Qattan, 1973:
dilihat dari sudut pandang ilmu-ilmu Al- 323) dengan wazan taf’îl yang memiliki
Qur`an (’ulûm al-Qur`ân) memunculkan beberapa arti, antara lain:
setidaknya 3 aspek teori pemahaman, al-ˋîḍâḣ (penjelasan), al-ˋibânah
yaitu tafsir, ta`wil, dan yang terakhir (penjelasan), al-kasyf (pengungkapan), al-
munculnya hermeneutika yang masih ˋiẓhâr (menampakkan), at-tafṣîl
menimbulkan tarik ulur dari berbagai (memerinci), al-bayân (keterangan)
pihak. Jika dilihat dari perdebatan seputar (Ulamai, 2002: 10). Sedangkan secara
F
Sedangkan menurut Ḣusain aż-Żahabi dari Al-Qur`an itu sendiri (QS: 16 : 144)
(1976, I: 15), Ilmu tafsir merupakan ilmu (Ulamai, 2002: 11-12).
yang membahas tentang maksud Allah Fungsi tafsir dalam kerangka
sesuai dengan kadar kemampuan manusia memahami dan menggali khazanah atau
yang mencakup didalamnya segala bidang kekayaan kandungan Al-Qur`an itu adalah
pengetahuan untuk memahami makna dan sebagai kunci. Tanpa kunci tidak mungkin
menjelaskan maksud Allah tersebut. F memasuki pintu yang tertutup rapat, lebih-
Dari berbagi rumusan tentang definisi lebih untuk memperoleh segala yang
tafsir, pada hakikatnya adalah mengacu tersimpan dibalik pintu tersebut.
pada pemahaman yang sama yaitu untuk Sebagaimana firman Allah bahwa “kitab
mengetahui maksud dari ayat-ayat Al- suci Al-Qur`an yang telah turun kepada
Qur`an agar diperoleh tingkat kepahaman Muhammad Saw dengan penuh
sehingga bisa dihayati dan diamalkan keberkahan agar dapat diperhatikan &
kandungan isinya. Menurut Abdul direnungkan ayat-ayatnya supaya
Mustaqim (2008: 4) misalnya, cenderung mendapat pelajaran bagi orang-orang yang
melihat pendefinisian tafsir itu merupakan mempunyai pikiran” (QS. Shad [38] : 29).
hasil ijtihad atau interpretasi mufassir atas Ditegaskan pula oleh az-Zarqani (tt, II: 6-
teks-teks Al-Qur`an yang dipandang 7) tentang perlunya sebuah penafsiran,
sebagai sesuatu yang belum final dan bahwa tafsir adalah sebuah kunci (untuk
diletakkan dalam konteks dimana tafsir itu membuka) khazanah dan segala yang
diproduksi. dikandung oleh Al-Qur`an yang
Melalui pemahaman teks-teks Al- diturunkan Allah demi terwujudnya
Qur`an (QS: 3 : 7 ; 75 : 16-19 ; 25 : 32-33 kemaslahatan, keselamatan dan
; 7 : 52 ; 6 : 144 ; 16 : 144) bahwa pemilik kebahagiaan umat manusia serta
otoritas menafsirkan Al-Qur`an adalah kesejahteraan seluruh alam, tanpa tafsir
Allah SWT. Disamping itu Allah SWT tidak mungkin dapat sampai mencapai
memberikan kesempatan kepada manusia khazanah dan kandungan itu meskipun
untuk mengambil penjelasan sendiri dari manusia telah berulang kali secara
kemampuan memahami setiap ayat-ayat sungguh-sungguh untuk memahami lafaẓ-
suci Al-Qur`an ini agar dapat diketahui lafaẓ Al-Qur`an. F
dari beberapa makna yang tercakup tafsir. Hermeneutika sebagai sebuah ilmu
Adapun term hermeneutika itu sendiri teks yaitu: teks, interpreter dan audience.
berasal dari bahasa Yunani hermeneuein Ketiga unsur itu secara implisit
(Eliade, 1987: 279) yang berarti membicarakan pada 3 konsep pokok yaitu:
menafsirkan, dari sini bisa ditarik kata 1) Membicarakan hakikat sebuah teks; 2)
benda hermeneia yang mempunyai Apakah interpreternya memahami teks
konotasi makna “penafsiran” atau dengan baik; 3) Bagaimana suatu
interpretasi (E.Sumaryono, 1999: 23). penafsiran dapat dibatasi oleh asumsi-
Intinya, antara fungsi tafsir dan asumsi dasar serta kepercayaan atau
hermeneutika mempunyai tujuan yang wawasan para audien (Baidan, 2005: 75).
sama, yaitu berusaha untuk menyingkap Ketiga unsur pilar hermeneutika
makna suatu teks atau naṣṣ agar diperoleh diatas sebenarnya tidak jauh berbeda
sebuah pemahaman. dengan konsep tafsir yang dipakai oleh
Tampak dengan jelas dalam para ulama tafsir dalam menafsirkan Al-
penjelasan diatas bahwa ilmu Qur`an al-Karim, sebut saja semisal Ibnu
hermeneutika mempunyai tujuan yang Taimiyah yang menyatakan bahwa dalam
amat mulia, yaitu ingin menjelaskan setiap proses penafsiran harus
kepada umat (audience) suatu ajaran memperhatikan 3 hal penting yaitu: 1)
dengan sejelas-jelasnya dan sejujur- siapa yang mengatakannya; 2) kepada
jujurnya dalam bahasa yang dapat siapa ia diturunkan; 3) ditujukan kepada
dipahami oleh umat (audience) itu sendiri. siapa (Ibnu Taimiyah, 1971: 81).
Dari itu seseorang yang paham Pada unsur yang pertama (siapa yang
hermeneutika harus memahami secara mengatakan); secara implisit unsur ini
mendalam dan utuh tentang teks/naṣ yang mendorong mufassir untuk memahami
akan disampaikan kepada umat sebagai teks/naṣṣ Al-Qur`an yang akan
pembaca (audience); artinya dia harus ditafsirkannya, bukan sebagai sembarang
memahami secara utuh suatu teks/nas, teks, tapi teks suci yang langsung dari
tidak hanya kondisi, bentuk, dan susunan Allah SWT, sehingga mufassir harus
teks itu saja, namun aspek watak dan paham betul secara baik dan komprehensif
kepribadian penulis atau pembuat teks agar tidak terjadi kesalahan dalam
tersebut, latar belakang lahirnya teks. menafsirkannya. Unsur kedua (kepada
Intinya hal-hal yang berhubungan dengan siapa Al-Qur`an diturunkan); pada aspek
ruang lingkup teks/ naṣ harus dipahami ini seorang mufassir diingatkan bahwa Al-
secara utuh dan menyeluruh. Dalam tradisi Qur`an disampaikan kepada audience
hermeneutika terdapat tiga unsur pokok tidak langsung dari Allah, melainkan
2 3
Demitologisasi disini bukan berarti Menurut Paul Riceour, langkah pemahaman
membuang sama sekali cerita-cerita yang itu ada tiga, pertama: langkah simbolik/
dianggap mitos dalam kitab suci karena dianggap pemahaman dari simbol ke simbol. Kedua,
sebagai dongeng, akan tetapi berarti pemberian makna oleh simbol serta penggalian
mempersepsikan mitos sebagai ungkapan simbolis yang cermat atas makna. Ketiga, langkah filosofis,
mengenai satu realitas dengan mempergunakan yaitu berfikir dengan menggunakan symbol
gambaran-gambaran, kiasan dan lukisan. sebagai titik tolaknya.
tidak memberikan penjelasan yang rinci Problematika ini diselesaikan oleh ulama
untuk membimbing para mufassir Islam dengan merujuk pada Al-Qur`an
menemukan sebuah penafsiran yang benar surah Zukhruf ayat 3, dimana Allah
dan representatif. Sedangkan dalam kajian menggunakan media bahasa Arab sebagai
ilmu tafsir, ruang lingkup hermeneutika jembatan pemahaman antara media bahasa
diatas baru berkutat pada asbâb an-nuzûl langit dengan bahasa bumi (manusia) yang
maupun asbâb al-wurûd hadiṡ saja. Masih bisa dipahami oleh manusia.
ada sejumlah tema-tema ‘ulum al-Qur`an Problematika kedua, persoalan yang
yang belum tercover dalam ilmu dihadapi oleh para pengguna
hermeneutika, seperti prinsip-prinsip hermeneutika Barat adalah semangat dari
nâsikh mansûkh, muḣkam-mutasyâbih, tokohnya agar mencurigai teks, tidak
munâsabah al-ayat, al-qirâ`at dan lain- menerima atau membenarkan teks begitu
lain. saja. Paradigma ini berbeda dalam
Lain halnya dengan pendapat Quraish kacamata ulama Islam yang meyakini
Shihab (2009: 4-7) dalam memposisikan orisinalitas Al-Qur`an sebagai sesuatu
perangkat ilmu hermeneutika dalam ilmu yang final. Para orientalis pun banyak
tafsir. Dalam paradigma tafsir, ta`wil dan yang mengakui orisinalitas Al-Qur`an ini,
hermeneutika ini, berkaitan erat dengan dan menyadari ketidakaslian teks bible
pemahaman teks termasuk juga teks kitab yang akhirnya dibedah dengan perangkat
suci, yang telah dikenal oleh ulama Islam hermeneutika. Ulama Islam dalam
lebih dulu sebelum lahirnya hermeneutika persoalah kedua ini mensyaratkan sehat
yang diusung oleh Barat. Perangkat akidah (objektifitas) bagi seorang
hermeneutika itu sendiri sebenarnya oleh mufassir.
pakar tafsir dan ta`wil dalam dunia Islam Adapun yang ketiga, problem lain
bukanlah sesuatu yang baru, namun yang dimunculkan hermeneutika adalah
beberapa konsep yang dilakukan oleh para bagaimana menjelaskan pesan sebuah teks
pengguna hermeneutika itu sendiri yang telah teerucap/ tertulis pada kurun
menurut beliau menyisakan dilema dan waktu, tempat dan budaya yang berbeda
problematika, diantaranya, pertama: kepada masyarakat yang hendak
masalah yang ungkapkan oleh memahami dan melaksanakan pesan teks
hermeneutika,” bagaimana menyampaikan itu, dan diakui juga bahwa ketika teks
kehendak Tuhan yang menggunakan dipisahkan dari konteks social historisnya,
‘bahasa langit’ kepada manusia yang maka akan lahir pemahaman yang keliru.
menggunakan ‘bahasa bumi’? Problematika yang ketiga ini, oleh ulama
Islam telah dijembatani dengan adanya pendekatan. Fahrudin Faiz (2003: 47-49),
perangkat ulumul Qur’an dan kaedah- misalnya menawarkan tiga asumsi dasar
kaedah penafsiran, termasuk juga asbab yang perlu diperhatikan dalam gaya
al-nuzul (Shihab,2009: 4-7). penafsiran yang bercorak hermeneutik
Menurut Farid Esack (1997: 161), termasuk penafsiran Al-Qur`an yang perlu
bukti penggunaan hermeneutika telah diperhatikan, yaitu: pertama, para penafsir
dilakukan oleh umat Islam sejak lama, itu adalah manusia. Asumsi ini
terutama dalam kajian Al-Qur`an, menegaskan bahwa seorang yang
diantaranya: menafsirkan kitab suci itu tetaplah
1) Problematika hermeneutika, manusia biasa yang lengkap dengan segala
senantiasa dikaji dan dialami kekurangan dan kelebihannya, dimana
meskipun tidak dimunculkan secara setting historis kehidupan penafsir akan
definitif; hal ini terlihat dalam senantiasa memberikan warna dan corak
kajian asbâb an-nuzûl, nâsikh- penafsiran. Kedua, penafsiran itu tidak
mansûkh. bisa lepas dari bahasa, sejarah dan tradisi.
2) Perbedaan terhadap pendapat dan Segala aktifitas penafsiran pada dasarnya
komentar yang aktual (penafsiran) merupakan suatu partisipasi dalam proses
terhadap Al-Qur`an dengan aturan, historis-linguistik dan tradisi yang
teori dan metode penafsiran telah berlaku, dalam ruang dan waktu tertentu.
ada sejak munculnya literatur- Ketiga, tidak ada teks yang menjadi
literatur tafsir. wilayah bagi dirinya sendiri. Nuansa
3) Adanya pengelompokan gaya tafsir sosio-historis dan linguistik dalam
tradisional (mażâhib at-tafsîr), yang pewahyuan Al-Qur`an itu tampak dalam
menunjukkan adanya kelompok- isi, bentuk, tujuan, dan bahasa yang
kelompok dan ideologi tertentu, dipakai Al-Qur`an.
periodesasi ataupun horison-horison Dipandang dari sudut hermeneutika,
sosial tertentu dalam tafsir. sebenarnya antara ‘tafsir’ dan ‘ta`wil’
Seiring dengan munculnya para tidak memiliki perbedaan yang
pemerhati Al-Qur`an yang berwawasan substansial. Keduanya sama-sama
kontemporer, mereka melakukan kritik berusaha mencari pemaknaan suatu teks.
historis dan linguistis yang sering dikenal Dalam konsep tafsir, berusaha mencari
dengan gaya hermeneutis, yang makna ẓâhir dari suatu teks (ayat Al-
menghasilkan hasil penafsiran aḣkâm Qur`an) yang pengertiannya secara tegas
yang beraneka ragam dan multi menyatakan maksud yang dikehendaki
Allah SWT, sedangkan dalam konsep diucapkan sesuai dengan makna lafaz
ta`wil, berusaha menguatkan sebagian (muṭâbaqah), atau bagian dari makna lafaẓ
makna dari beberapa makna yang tercakup (tadammun). Di sini berarti manṭûq
dalam pengertian ayat (teks) yang mencakup juga dilâlah muṭâbaqah dan
mungkin memiliki beberapa pengertian. dilâlah tadammun. Bagian ini dalam
Oleh para filosof Muslim, penggunaan mazhab Hanafi disebut dengan ‘ibâratu
metode tafsir dan ta`wil ini dalam hal an-nasṣ. Manṭûq ghairu sarîḣ adalah
penggalian konsep makna, maka makna yang ditunjukkan oleh lafaẓ bukan
dikembangkan teori dalam bagian ulumul dari dua dilâlah di atas (dilâlah
Qur’an yang dikenal sebagai manthuq dan muṭâbaqah atau dilâlah tadammun). Atau,
mafhum. Sebagaimana dikatakan oleh Manṭûq ghairu ṣarîḣ adalah makna yang
imam Haramain bahwa ketetapan hukum ditunjukkan oleh lafaz sesuai dengan
yang dapat diambil dari lafazh dapat ucapan lafaz dengan makna yang
dibagi menjadi dua, pertama: ketetapan mengiringinya (iltizâm). Manṭûq ghairu
hukum yang langsung dapat dipahami dari ṣarîḣ dibagi menjadi tiga yaitu: al-ˋiqtiḍâˋ,
redaksi nash ketika diucapkan. Inilah yang al-ˋisyârah, al-ˋîmâˋ.
disebut dengan manṭûq. Kedua: makna Al-ˋiqtiḍâˋ adalah benar tidaknya makna
yang dapat dipahami dari ungkapan lafaẓ yang dimaksud pembicara, baik secara
meski tidak terucapkan. Inilah yang syariat atau logika bergantung pada lafaz
disebut dengan mafhûm (Salih, 1983: yang terbuang. Al-ˋisyârah adalah makna
591). Kedua istilah tersebut lazim yang tidak dimaksudkan oleh pembicara.
digunakan dalam kajian hukum Islam dan Al-ˋîma´ adalah makna yang dimaksud
tafsir. Kata manṭûq, secara etimologi pembicara disertai dengan sifat tertentu
memiliki pengertian sesuatu yang yang menjadi illat dari ketetapan hukum.
diucapkan (suatu makna yang tersurat), Al-ˋiqtiḍâˋ dan al-ˋîmâˋ berkaitan erat
sedangkan secara terminologi adalah suatu dengan makna yang mengiringi maksud
makna yang diperoleh dari suatu lafaz atau pembicara, sementara al-ˋisyârah
susunan lafaz itu sendiri. berkaitan erat dengan makna yang
Menurut Wahbah Zuḣaili (1996: 360) mengiringinya dan tidak dimaksudkan
dan Jalaudin as-Suyûtî (1996, II: 84) oleh pembicara.
pembahasan seputar manṭûq dibagi Adapun mafhûm, secara etimologi
menjadi dua yaitu manṭûq sarîḣ dan adalah sesuatu yang dipahami. Secara
manṭûq ghair ṣarîḣ. Mantûq sarîḣ adalah terminologi, berarti suatu makna yang
makna yang ditunjukkan oleh lafaẓ ketika tidak diperoleh dari suatu lafaẓ/susunan,
tetapi diperoleh dari pemahaman terhadap Al-Qur`an maupun Hadits Nabi SAW.
ucapan lafaẓ tersebut (makna tersirat, Jadi prinsip hermeneutika yang
makna yang ditunjukkan oleh lafaẓ tidak diproklamasikan oleh Barat sebagai seni
berdasarkan pada bunyi ucapan). Apa menafsirkan pada hakikatnya sudah ada
yang dikembangkan oleh para filosof dan dalam bagian konsep ilmu tafsir-ta`wil
ilmuan Muslim mengenai cara kerja & yang sudah berkembang berabad-abad
metode hermeneutika dalam kajian tafsir dalam tradisi keilmuan Islam .
dan ta`wil terhadap teks Al-Qur`an Pada intinya ketika membandingkan
tersebut adalah bagian dari suatu seni beberapa ruang lingkup ilmu
memahami sekaligus seni berfikir yang hermeneutika diatas dengan ilmu tafsir,
menggunakan kerangka filosofis (Hidayat, terdapat kekurangan dan sisi kelebihan
2006: 255-259). masing-masing. Hermeneutika merupakan
Selain itu, jauh sebelum generasi suatu metode penafsiran yang berangkat
Schleiermacher, Friedrich Ast dan dari analisis bahasa yang kemudian ke
Friedrich August Waolf yang analisis psikologis, historis, dan
mengembangkan teori tinjauan teks dari sosiologis. Jika pendekatan ini
dua aspek, yaitu aspek luar dan aspek dipertemukan dengan kajian teks Al-
dalam; Maka para ilmuan dan filosof Qur`an dalam persoalan ayat-ayat ahkam,
Muslim telah mengembangkan teori maka persoalan dan tema pokok yang
manṭûq (makna tersurat) dan mafhûm dihadapi adalah bagaimana teks Al-Qur`an
(makna tersirat) dalam kajian hukum dan yang bercorak ahkam hadir di tengah
tafsir. Mantuq masuk dalam kajian aspek masyarakat, lalu dipahami, ditafsirkan,
luar teks, aspek tata bahasa dan diterjemahkan dan didialogkan dengan
kekhususan lingusitik lainnya. Adapun realitas sosial sehingga menghasilkan
mafhum masuk dalam kajian aspek dalam produk hukum yang sâliḣ fî kulli zamân
yaitu jiwanya (geist) sebuah teks. wa makân. Hemat penulis, kedua ilmu
Sedangkan dalam tugas hermeneutika diatas dapat disinergikan sehingga
sebagaimana kata Friedrich Ast adalah menjadi alat bantu menafsirkan Al-Qur`an
membawa keluar makna internal dari yang canggih (sophisticated) dan dinamis.
suatu teks beserta situasinya menurut
C. Simpulan
zamannya. Cara kerja seperti ini sudah
Perkembangan teori tafsir dan teori
dipraktekkan oleh para ilmuan Muslim
ta`wil dalam menggali aspek ahkam dalam
sejak dulu, sejak munculnya metode tafsir
kajian Al-Qur`an pada hakikatnya adalah
dan ta`wil dalam memahami sebuah teks
dalam rangka memahami apa yang ada di filsafat, teori berfikir untuk membangun
dalam teks dan apa yang di luar teks. Pada sebuah pra-pemahaman.
perkembangan selanjutnya teori Hermeneutika sebagai metode
hermeneutika sebagai teori penafsiran teks pembahasan filsafat akan selalu relevan,
secara umum digunakan sebagai alat bantu sebab kebenaran yang diperoleh
memahami teks Al-Qur`an yang suci. Para tergantung pada orang yang melakukan
pengkaji Al-Qur`an mengembangkan teori interpretasi dan “dogma” hermeneutikanya
tinjauan teks dari dua aspek, yaitu aspek yang bersifat luwes sesuai dengan
luar dan aspek dalam; yang dalam literatur perkembangan zaman dan sifat open-
islam teori tersebut dikenal dengan istilah mindedness-nya, dan ketika diterapkan
teori manṭûq (makna tersurat) dan mafhûm sebagai alat bantu tafsir dalam memahami
(makna tersirat) dalam kajian hukum dan Al-Qur`an yang suci akan tetap selaras
tafsir. Hal ini tak berbeda dengan tafsir dengan misi Al-Qur`an yang ṣâlih li kulli
dan ta`wil, hanya saja hermeneutika ini zamân wa makân.[ ]
sebenarnya merupakan perkembangan dari
teori ta`wil, sebagai bagian dari teori
DAFTAR PUSTAKA
Abu Zaid, Nasr Hamid. 2000. al-Khiṭâb Faiz, Fakhruddin. 2003. Hermeneutika
wa at-Taˋwîl. Beirut: Markaz aṡ-Ṡaqofi Qur’ani. Yogyakarta: Qalam. cet.3.
al-‘Arabi.
Hidayat, Asep Ahmad. 2006. Filsafat
________. 2000. Mafhûm an-Naṣṣ Bahasa. Bandung: PT.Remaja
Dirâsah fî ‘Ulûm Al-Qur`ân. Beirut: Rosdakarya.
Markaz aṡ-Ṡaqofi al-‘Arabi.
Ibnu Taimiyah. 1971. Muqaddimah fi
Baidan, Nashruddin. 2005. Wawasan Baru `Usûl at-Tafsîr. Kuwait: Dar Al-Qur`an
Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Pustaka al-Karim. cet.1.
Pelajar. cet.1.
Mustaqim, Abdul. 2008. Pergeseran
E.Sumaryono. 1999. Hermeneutika Epistemologi Tafsir. Yogyakarta:
Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. cet.1.
Kanisius. edisi revisi.
Nawawi, Rif’at Syauqi & M.Ali Hasan.
Eliade, Mircea (ed). 1987. Encyclopedia 1988. Pengantar Ilmu Tafsir. Jakarta:
of Religion. New York: Mac Millan Bulan Bintang. cet.1
Publishing Company. cet vi.
al-Qattan, Manna’. 1973. Mabâhiṡ fî
Essack, Farid. 1997. Qur’an: Liberation ‘Ulûm Al-Qur`ân. Beirut: Mansyûrât
and Pluralism. Oxford: One World. al-‘Asr al-Hadiṡ. cet.3,