Anda di halaman 1dari 15

Tafsir Ayat-ayat Jihad Menurut K.H.

Ahmad Sansusi
dalam Tamsyiyyatul Muslimin Fi Tafsir Kalam Rabb Al-‘Alamin
(Analisis Hermeneutik Khaled M. Abou El Fadl)

Neng Selly Hapshary

Abstrak

Jihad merupakan salah satu ajaran Islam yang sangat kontroversial. Kini telah
banyak oknum-oknum yang bergerak mengatasnamakan jihad. Jika dikaitkan dengan
konteks Negara Indonesia, pada beberapa tahun ke belakang muncul organisasi-organisasi
yang bergerak atas nama jihad, diantaranya Laskar Jihad Ahlus Sunnah Wal Jama’ah,
kasus bom bunuh diri, ISIS, dan sebagainya. Visi beberapa organisasi tersebut tidak
semuanya sejalan dengan syariat Islam. Akan tetapi, ada sebagian yang justru ingin
menghancurkan Islam. Padahal apabila direnungkan, perjuangan bangsa Indonesia
melawan penjajah pun termasuk jihad. Dengan demikian, penelitian ini akan difokuskan
terhadap makna ayat-ayat jihad dalam sebuah karya tafsir ulama nusantara yang ditulis
pada zaman penjajahan, yaitu Tamsyiyyatul Muslimin Fi Tafsir Kalam Rabb Al-‘Alamin
karya K.H. Ahmad Sanusi. Makna ayat-ayat jihad tersebut akan dikaji menggunakan teori
hermeneutik Khaled Abou El-Fadl yang dikenal dengan istilah “Hermeneutik Otoritatif”.
Khaled menawarkan sebuah solusi bahwa dalam upaya memahami suatu teks dibutuhkan
lima syarat agar terhindar dari tindakan semena-mena dan tergesa-gesa. Hal itu pun
dilakukan agar terhindar dari sikap otoriter, karena al-Quran merupakan kitab universal
sehingga harus dipahami secara menyeluruh.

Kata Kunci: Jihad, K.H. Ahmad Sanusi, Tamsiyyatul Muslimin, Khaled Abou El-Fadl.

PENDAHULUAN

Islam adalah agama universal yang mengajarkan seluruh aspek kehidupan manusia.
Kedatangan Islam bertujuan untuk menyempurnakan ajaran agama terdahulu dengan membawa
nilai-nilai kebaikan dan menganjurkan manusia untuk menghiasi diri dengan nilai-nilai tersebut.
Tentunya untuk menegakan nilai-nilai kebaikan itu diperlukan sebuah perjuangan dan
pengorbanan, karena sejatinya sebuah kebaikan lebih sulit dilakukan dibanding keburukan. 1
Dalam Al-Quran kata “perjuangan” diistilahkan dengan jihad. Sayangnya, istilah tersebut sering
dipersempit maknanya sehingga jihad hanya dipahami secara parsial. Kebanyakan manusia hanya
memahami jihad sebagai bentuk peperangan atau perjuangan fisik saja. Hal tersebut memberikan
kesan bahwa Islam identik dengan kekerasan. Padahal sesungguhnya Islam sangat menjunjung
tinggi nilai perdamaian.
Jihad merupakan salah satu bentuk ibadah yang penting dan mulia dalam Islam. Tidak
tanggung-tanggung Allah akan menganugerahi surga yang dimasuki tanpa hisab bagi orang yang
sya>hid dalam rangka berjihad di jalan Allah.2 Memahami jihad membutuhkan pemaknaan yang
mendalam dan menyeluruh, karena sampai saat ini pemaknaan jihad masih menimbulkan banyak
1
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, (Bandung: Mizan, 2007), hlm. 500
2
Ayang Utriza Yakin, Iskam Moderat dan Isu-Isu Kontemporer, (Jakarta: Kencana, 2016), hlm. 20
8
kontroversi. Dalam Hukum Islam jihad diartikan secara luas, yaitu segala bentuk usaha maksimal
untuk penerapan ajaran Islam dan pemberantasan kejahatan serta kedzaliman, baik terhadap diri
sendiri maupun orang lain. Hal tersebut menunjukkan bahwa jihad mencakup seluruh aspek
kehidupan yang bernilai ibadah.3 Menurut Imam Syafi’i, sebagaimana dikutip oleh Dewan
Redaksi Ensiklopedi Islam, jihad bermakna memerangi kaum kafir untuk menegakkan Islam. 4
Sedangkan Ibn Taimiyah mengatakan seperti dikutip oleh Slamet Pramono dan saifulloh 5 bahwa
jihad adalah ibadah yang dapat dilakukan oleh hati, lisan dan fisik.
Banyaknya para ulama yang berantusias memberikan gambaran tentang jihad menunjukkan
bahwa jihad merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Pentingnya jihad pun
dapat dilihat dari kata itu sendiri yang terulang sebanyak 41 kali dalam Al-Quran dengan
berbagai bentuk. Beberapa di antaranya menggunakan bentuk isim masdar (jahd), bentuk fi’il
(jahada), bentuk isim fa>’il (muja>hidi>n), dan bentuk fi’il amar (ja>hid).6 Kata-kata tersebut
termuat dalam 19 surat, yaitu:7
No Surat Ayat
1 At-taubah 17,20, 28, 19, 44, 81, 73, 41, 86, 79, dan
24
2 Al-Ankabu>t 6, 8, dan 69
3 Luqma>n 15
4 Al-Baqarah 218
5 Ali-Imra>n 142
6 Al-Anfa>l 72, 74, dan 75
7 An-Nahl 38 dan 110
8 Al-H{ujura>t 15
9 As-s{a>f 11
10 Al-Ma>idah 35, 53, dan 54
11 At-Tahri>m 9
12 Al-Furqa>n 52
13 Al-H{ajj 78
14 An-Nisa> 95 dan 195
15 Muhammad 31
16 Al-An’a>m 109
17 An-Nu>r 5
18 Fa>t{ir 42
19 Al-Mumtah{anah 1

Berdasarkan perbedaan pendapat para ulama dan banyaknya kontroversi mengenai makna
jihad, penelitian ini akan diarahkan untuk membahas penafsiran ayat-ayat jihad menurut ulama
Indonesia, yaitu K.H. Ahmad Sanusi dalam Tafsir Tamsyiyyatul Muslimi>n Fi> Tafsi>r Kala>m

3
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2007), hlm. 315
4
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, hlm. 316
5
Slamet Pramono dan Saifullah, “Pandangan Hamka Tentang Konsep Jihad Dalam Tafsir Al-Azhar”,
diunduh dari http://jurnal.stainponorogo.ac.id. 2015, pada tanggal 25 Mei 2017 pukul 10.25
6
Tim Kementrian Agama RI, Jihad: Makna dan Implementasinya (Tafsir Al-Quran Tematik), (Jakarta:
Lajnah Penyashihan MushafAl-Quran), hlm. 23
7
M.Fuad Abd. Baqi, Al-Mu’jam Al-Mufahras Li Alfaz{ Al-Qura>n Al-Karim, (Indonesia: Maktabah Dahlan,
1984), hlm. 232-233
Rabb Al-‘Alami>n. Tujuannya untuk melihat makna jihad dalam konteks Negara Indonesia dan
sebagai bentuk apresiasi terhadap karya ulama nusantara. Selain itu, tafsir ini pun memiliki
keunikan dan kekhasan tersendiri yang membuatnya berbeda dari tafsir-tafsir lain yaitu
diterbitkan setiap bulan seperti halnya majalah dan diberi transliterasi al-Quran ke dalam huruf
Latin untuk memudahkan masyarakat yang belum mampu membaca huruf Arab. Karena, pada
saat itu masih banyak masyarakat yang buta terhadap tulisan Arab. Kemudian penafsiran K.H.
Ahmad Sanusi tersebut akan diteliti menggunakan teori hermeneutik Khaled M. Abou El-Fadl
yang dikenal dengan istilah “hermeneutik otoritatif”. Khaled berpendapat bahwa dalam
memahami teks-teks al-Quran tidak boleh bersikap otoriter (berkuasa atau memaksakan suatu
pemikiran kepada orang lain), karena pemikiran setiap orang tidaklah sama. Oleh karena itu,
Khaled menawarkan lima syarat untuk menghindari tindakan yang semena-mena dan tergesa-
gesa dalam memahami sebuah teks (terutama al-Quran), yaitu; 1) kejujuran, 2) kesungguhan, 3)
kemenyeluruhan, 4) rasionalitas, dan 5) pengendalian diri.8 Hal tersebut bertujuan untuk
memperoleh pemahaman yang universal, karena al-Quran sendiri merupakan kitab yang s{ah{i>h
li kulli zama>n wa maka<n. Maka ayat-ayatnya pun harus dipahami secara kontekstual dan
holistik-komprehensif, tidak hanya terpaku pada teks (tekstual) dan bukan pula secara sepotong-
potong (atomistic).9

LANDASAN TEORI
A. Jihad
Jihad merupakan salah satu syari’at yang dianjurkan oleh Islam. Secara bahasa, jihad
berasal dari bahasa Arab yang memiliki dua akar kata yaitu al-juhd dan al-jahd.10 Menurut
M.Quraish shihab,11 “juhd” bermakna “kemampuan” dan “jahd” bermakna “letih, sukar,
sulit”. Sedangkan dalam Lisa>nul ‘Arab, sebagaimana dikutip oleh Tim Kementrian Agama
RI,12 jihad diartikan kesungguhan, kesulitan, kepayahan, atau mengerahkan segenap
kemampuan dan kekuatan mellaui ucapan maupun perbuatan. Berasarkan pengertian tersebut
dapat disimpulkan bahwa jihad adalah mengerahkan seluruh kemampuan untuk mencapai
suatu tujuan.
Menurut Hamka, jihad terbagi tiga bagian yaitu: a) jihad dalam memperbaiki diri
sendiri, b) jihad melawan syetan, dan c) jihad melawan orang kafir dan munafiq. 13 Kemudian
menurut Muh. Nahar Nahrawi, jihad dapat dilakukan dengan enam cara yaitu dengan perang,
haji mabrur, menyampaikan kebenaran kepada penguasa yang zalim, berbakti kepada orang
tua, menuntut ilmu dan mengembangkan pendidikan, dan membantu fakir miskin.
Berdasarkan dua pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa pada intinya jihad dapat
dilakukan dengan harta, jiwa maupun tenaga. Adapun Tujuan daripada jihad sendiri untuk
mencapai keridhaan Allah semata.14 Kemudian, bentuk jihad yang dilakukan pun harus
disesuaikan dengan situasi dan kondisi zaman.
8
Khaled M. Abou El-Fadl, Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, diterjemahkan dari
Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authory, and Women oleh R.Cecep Lukman Yasin, (Jakarta: PT Serambi
Ilmu Semesta, 2004), hlm. 99-103
9
Juaidi Abdillah, “Dekontruksi Tafsir Ayat-Ayat Kekerasan”, dalam jurnal Analisis, No.1, Juni 2011, hlm.
87-88
10
Ma’mun Efendi Nur, Hukum Jihad dan Terorisme: Perspektif Al-Quran, “Maslahah” vol.1, No.1 Juli,
2010, hlm. 56
11
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, hlm. 501.
12
Tim Kementrian Agama RI, Jihad: Makna dan Implementasinya (Tafsir Al-Quran Tematik), hlm. 32
13
Slamet Pramono dan Saifullah, “Pandangan Hamka Tentang Konsep Jihad Dalam Tafsir Al-Azhar”, hlm.
115
B. Hermeneutik Khaled M. Abou El Fadl
Khaled M. Abou El-Fadl adalah seorang tokoh pemikir Islam kontemporer yang
menawarkan model pembacaan teks keagamaan yang dianggapnya otoritatif. Konsep yang
ditawarkan Khalid disebut “hermeneutika otoritatif”. Konsep tersebut muncul akibat
banyaknya para ahli hukum yang melakukan penafsiran secara otoriter (sewenang-wenang)
terhadap teks-teks al-Quran dan tradisi kenabian.15 Hermeneutika otoritatif Khalid memiliki
beberapa kriteria, yaitu:
1. Mengasumsikan al-Quran dan sunnah sebagai teks terbuka. Maksudnya, kedua teks
tersebut terbuka untuk berbagai interpretasi (interpretasi dinamis) karena pemaknaan
keduanya tidak permanen.16 Interpretasi dinamis sendiri merupakan proses menggali
konteks kekinian dari makna asal sebuah teks. Jadi, para mufasir harus menempuh dua
tahapan yaitu mengenali teks awal dan dijadikan dasar rujukan untuk memaknai teks
dalam konteks kekinian. Dengan demikian, sebuah teks akan tetap relevan dan menduduki
posisi sentral.17
2. Makna merupakan hasil interaksi yang kompleks antara teks, author, dan reader. Jadi,
ketiga unsur tersebut harus saling berhubungan, seimbang, dan tidak mengunggulkan
salah satunya.
3. Penafsir harus memenuhi beberapa syarat agar terhindar dari tindakan otoritarianisme, 18
yaitu kemenyeluruhan (tidak bersifat parsial), kesungguhan, kejujuran, rasionalitas dan
pengendalian diri. Berdasarkan kriteria-kriteria tersebutlah akan terwujud sebuah model
pembacaan yang negosiatif dan penempatan yang proporsional antara teks, pengarang,
dan pembaca sehingga otoritanisme tidak terjadi.

METODE PENELITIAN
Metode penelitian adalah cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan
tertentu. Berikut beberapa metode yang akan dilakukan dalam penelitian ini:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang akan digunakan merupakan gabungan antara penelitian Library
Research (semua data yang akan diambil berasal dari bahan tertulis) dan Field Research
(penelitian lapangan). Kemudian, metode yang akan digunakan adalah metode kualitatif.19
2. Sumber Data
Terdiri dari tafsir tamsiyyat dan kara-karya ajengan Sanusi yang lain serta buku-buku
maupun jurnal yang berkaitan.

3. Teknik Pengumpulan Data


Penelitian ini akan diawali dengan melakukan observasi ke Pondok Pesantren
Syamsul Ulum Sukabumi untuk melihat dan meneliti tafsir yang akan dikaji. Langkah
14
Muh. Nahar Nahrawi,”Perkembangan Pemaknaan Jihad Dalam Islam”, dalam jurnal Multikultural dan
Multireligius, Vol. VIII, No. 32, Oktober-Desember 2009, hlm. 65-68
15
Muhamad Sofyan, “Konsep Hermeneutika Otoritatif Khaled Abu Fadl”, dalam jurnal Kalam: Jurnal Studi
Agama dan Pemikiran Islam, Volume 9, Nomor 2, Desember 2015, hlm. 373-376
16
Muhamad Sofyan, “Konsep Hermeneutika Otoritatif Khaled Abu Fadl”, hlm. 376
17
Moh. Wardi, “Hermeneutika Khaled Abou Fadl: Sebuah Kontribusi Pemikiran Dalam Studi Islam”,
diunduh dari jurnal.uim.ac.id-pai-article-view.
18
Tindakan sewenang-wenang terhadap teks
19
Penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis
atau lisan dari orang dan perilaku yang diamati.
selanjutnya melakukan wawancara (interview) kepada pihak keluarga terkait latar belakang
kehidupan dan keilmuan K.H. Ahmad Sanusi serta seputar penulisan tafsir agar diperoleh
data dan pemahaman yang lebih konkrit. Lalu melakukan dokumentasi terhadap hal-hal
yang dianggap perlu.
Langkah lain yang dilakukan yaitu mencari dan mengumpulkan ayat-ayat Al-Quran
yang berbicara tentang jihad dalam Al-Mu’jam Al-Mufahras Li Alfaz{ Al-Qura>n
menggunakan teori tafsir tematik. Pada intinya tafsir tematik adalah mengumpulkan ayat-
ayat al-Quran yang memiliki tujuan dan fokus kajian yang sama. Setelah diteliti, ayat-ayat
yang berkaitan dengan jihad terulang sebanyak 41 kali dalam al-Quran. Akan tetapi, dalam
tafsir Tamsyiyyat hanya ditemukan empat ayat yang berbicara tentang jihad, yaitu Q.S. al-
Baqarah: 218, ali-Imra>n: 142, an-Nisa>: 95, dan al-Ma<idah: 35. Hal tersebut
dikarenakan tafsir ini hanya ditafsirkan 5,5 juz saja, tepatnya sampai surah al-Maidah ayat
35.

PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Tamsyiyyatul Muslimi>n Fi> Tafsi>r Kala>m Rabb Al-‘Alami>n
1. Biografi Mufasir
K.H Ahmad Sanusi adalah seorang ulama fenomenal asal Sukabumi yang pernah
berkiprah melawan penjajah di Indonesia. Namun perjuangannya nyaris terlupakan oleh
sejarah dan masyarakat Sukabumi pada khususnya, serta Jawa Barat bahkan Indonesia pada
umumnya, sehingga tidak heran jika banyak orang yang tidak mengenali sosoknya. K.H.
Ahmad Sanusi sendiri adalah anak ketiga dari pasangan K.H. Abdurrohim20 dan Ibu Empok
yang lahir pada malam Jum’at tanggal 12 Muharam 1306 H atau bertepatan pada tanggal 18
September 188821 di Kampung Cantayan Desa Cantayan Kecamatan Cantayan Kabupaten
Sukabumi. Ajengan22 Sanusi memiliki tujuh saudara23 dan jika dilihat dari silsilah keluarga,
beliau masih memiliki garis keturunan dengan Syaikh Abdul Muhyi24 Pamijahan.25
Ayahnya, H. Abdurrohim adalah seorang tokoh masyarakat sekaligus pemilik pesantren
di desanya.26 Dengan demikian, K.H. Ahmad Sanusi dibesarkan dan dididik dalam

20
K.H. Abdurrahim berasal dari Sukapura (tasikmalaya) dan memiliki dua orang istri, yaitu Ibu Empok
sebagai istri pertama dan Siti Zaenab istri kedua. Dari ibu Empok beliau memiliki 8 orang anak dan dari Zaenab
memiliki 9 orang anak, yaitu Acun Mansur, Damanhuri, Siti Muznah, Anfasiah, Qohar, Mamad Ma’turidi, Bidin
saefudin, Ammatul jabar dan Abdul Malik. Lihat Miftahul Falah, Riwayat Perjuangan K.H. Ahmad Sanusi,
diterbitkan oleh Masyarakat Sejarawan Indonesia Jawa Barat dan Pemerintah Kota Sukabumi, 2009, hlm. 13
21
Hasil wawancara dengan H. Munandi Shaleh pada tanggal 26 November 2017 pukul 12.30. Adapula yang
mengatakan bahwa K.H Ahmad Sanusi lahir pada tanggal 3 Muharam 1036 tepatnya tahun 1889, lihat Sulasman
“Heroes From Pesantren: A Brief Biography of K.H. Ahmad Sanusi, A Patriot of Indonesian Independence”, dalam
jurnal International Review of Social Sciences and Humanities, vol. 6, No. 2, 2014, hlm. 173. Menurut pak H.
Munandi tahun kelahiran ajengan Sanusi memang masih diperdebatkan. Akan tetapi tahun 1888 lah yang paling
mendekati kebenaran, karena ajengan Sanusi sendiri menuliskan demikian pada daftar orang-orang yang terkemuka
di Jawa Barat.
22
Sebutan orang sunda kepada seorang ulama/ustaz.
23
Tepatnya 2 orang kakak, yaitu Iting (perempuan) dan Abdullah, dan 5 orang adik, yaitu Ulan, Nahrowi,
Soleh, Kahfi, dan Endah. Lihat Miftahul Falah, Riwayat Perjuangan K.H. Ahmad Sanusi, diterbitkan oleh
Masyarakat Sejarawan Indonesia Jawa Barat dan Pemerintah Kota Sukabumi, 2009, hlm. 13
24
Syekh Abdul Muhyi adalah seorang waliyullah yang berada di daerah Pamijahan Tasikmalaya. Sampai
saat ini makamnya banyak dikunjungi oleh umat Islam dengan tujuan untuk berziarah.
25
H. Munandi Shaleh, K.H. Ahmad Sanusi: Pemikiran dan Perjuangannya dalam Pergolakan Sosial,
(Tangerang Selatan: Jelajah Nusa, 2016), hlm. 2
lingkungan religius di pesantren Cantayan sampai usia 16 tahun27. Pendidikan pertama
ajengan Sanusi diperoleh secara langsung dari orang tuanya.28 Pendidikan tersebut meliputi
membaca al-Quran sekaligus hafalannya, praktek ibadah, dan ilmu lainnya sampai pengajaran
mengembala hewan.
Pada tahun 1905, tepatnya ketika menginjak usia 17 tahun ajengan Sanusi mulai belajar
serius untuk mendalami pengetahuan agama Islam dengan nyantri ke berbagai pesantren yang
ada di Jawa Barat. Ajengan Sanusi belajar di sepuluh 29 pondok pesantren selama kurang lebih
4,530 tahun.31 Setelah mengembara ke berbagai pesantren, akhirnya ajengan Sanusi pulang ke
Sukabumi pada tahun 1909 dan belajar lagi ke pesantren Babakan Selaawi Baros Sukabumi.
Ketika nyantri di pesantren tersebut, ajengan Sanusi bertemu dengan seorang gadis cantik
bernama Siti Juwariyah. Gadis itu adalah putri Kyai Haji Affandi dari Kebon Pedes. 32 Lalu
pada tahun 191033 ajengan Sanusi menikahi Siti Juwariyah dan beberapa bulan kemudian,
beliau beserta istrinya pergi ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji dan menetap di sana
selama 5 tahun untuk memperdalam ilmu keislaman. Pada umumnya, para ulama yang
didatangi ajengan Sanusi adalah para ulama yang bermazhab Syafi’i. 34 Selain kalangan
ulama, ajengan Sanusi pun mengunjungi para tokoh pergerakan untuk ditimba ilmunya dan
dijadikan teman diskusi.
Ketika di Makah ajengan Sanusi bertemu dengan H. Abdul Halim dari Majalengka dan
pertemuan tersebut berkembang menjadi sebuah persahabatan. Keduanya bertekad untuk
membebaskan bangsa Indonesia dari belenggu penjajah melalui pendidikan. Selain itu,
ajengan Sanusi pun bertemu dengan H. Abdul Muluk, seorang anggota Sarekat Islam dan
pertemuan itulah yang mengantarkannya ke dalam dunia politik. Bulan Juli 1915, ajengan
Sanusi pulang ke kampung halamannya untuk mengabdi dan membantu sang ayah mengajar
di pesantren Cantayan. Selama kurun waktu kurang lebih 4 tahun, ajengan Sanusi sudah
banyak dikenal oleh masyarakat karena gaya dan ciri khasnya dalam mengajar yang berbeda
dari para ulama lainnya, termasuk dengan ayahnya sendiri. Beliau mengajar melalui metode
halaqah (diskusi) sehingga lebih mudah diterima oleh para santri dan jama’ahnya. Hal lain
yang membuat ajengan Sanusi lebih dikenal masyarakat adalah setelah beliau dipanggil
penguasa setempat untuk diintrogasi oleh aparat pemerintah Kolonial Belanda yang pernah
melakukan proses verbal terhadap sebuah karya yang ditulisnya ketika di Mekah tahun 1914.
26
Hanwar Priyo Handoko, “Konsep Pendidikan K.H Ahmad Sanusi”, dalam jurnal Dewantara, Vol. 1, No.
01 Januari-Juni 2016, hlm. 30
27
Adapula yang menyebutkan bahwa K.H. Ahmad Sanusi memperoleh pelajaran dari orang tuanya sampai
usia 15 tahun. Lihat Hanwar Priyo Handoko, “Konsep Pendidikan K.H Ahmad Sanusi”, dalam jurnal Dewantara,
Vol. 1, No. 01 Januari-Juni 2016, hlm. 30
28
H. Munandi Shaleh, K.H. Ahmad Sanusi: Pemikiran dan Perjuangannya dalam Pergolakan Sosial, hlm. 3
29
Adapula yang mengatakan bahwa ajengan Sanusi belajar di Sembilan pesantren. Dalam sumber ini tidak
disebutkan bahwa ajengan Sanusi pernah belajar di pesantren Sumur Sari Garut. Lihat Mafri Amir dan Lilik Umi
Kulsum, Literatur Tafsir Indonesia, (Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah), hlm. 77
30
Adapula yang mengatakan bahwa ajengan Sanusi nyantri selama kurang lebih enam tahun. Lihat Hanwar
Priyo Handoko, “Konsep Pendidikan K.H Ahmad Sanusi”, hlm. 30
31
Adapun pesantren yang pernah dikunjunginya yaitu: Pesantren Gudang Tasikmalaya, Pesantren Sumur
Sari Garut, Pesantren Buniasih Cianjur, Pesantren Gentur Cianjur, Pesantren Ciajag dan Cilaku Cianjur, Pesantren
Sukaraja Sukabumi, Pesantren Sukamantri Cisaat Sukabumi, dan Pesantren Selajambe Cisaat Sukabumi. Lihat H.
Munandi Shaleh, K.H. Ahmad Sanusi: Pemikiran dan Perjuangannya dalam Pergolakan Sosial, hlm. 4
32
H. Munandi Shaleh, K.H. Ahmad Sanusi: Pemikiran dan Perjuangannya dalam Pergolakan Sosial, hlm. 4
33
Adapula sumber yang menyebutkan bahwa ajengan Sanusi menikah pada tahun 1908. Lihat Hanwar Priyo
Handoko, “Konsep Pendidikan K.H Ahmad Sanusi”, hlm 31
34
Mafri Amir dan Lilik Umi Kulsum, Literatur Tafsir Indonesia, hlm. 78
Kitab tersebut diberi nama Nahratuddargham (Suara Singa Wilayah) yang isinya berupa
pembelaan ajengan Sanusi terhadap surat kaleng yang menjelek-jelekkan Sarekat Islam.35
Aksi pemanggilan dan penahanan ajengan Sanusi membuat rasa simpati masyarakat
terhadap gerak dan langkah perjuangannya semakin meningkat. Dengan demikian, tidak
heran banyak masyarakat berbondong-bondong dari berbagai daerah untuk mengikuti
pengajiannya. Melihat kondisi tersebut, sang ayah memberi saran untuk mendirikan sebuah
pesantren. Kemudian, pada tahun 192136 ajengan Sanusi mendirikan sebuah pesantren di
Kampung Genteng Sukabumi. Maka selain mendapat julukan ajengan Cantayan, beliau pun
mendapat julukan ajengan Genteng.37 Santri pertama ajengan Sanusi adalah para santri
ayahnya yang ikut membantu dan membuka pemukiman baru pesantren Genteng, 38 dan pada
tahun-tahun awal perkembangannya santri yang belajar tidak lebih dari 170 orang.39
Dalam kurun waktu 6 tahun memimpin pesantren Genteng, pemikiran keagamaan
ajengan Sanusi sudah ditulis ke dalam beberapa buah kitab dan majalah yang sengaja
diterbitkan. Dengan demikian, gagasan dan sikapnya banyak dikenal oleh khalayak ramai,
serta membuat namanya menjadi terkenal sampai ke daerah Cianjur, Bogor, Priangan, dan
Batavia. Dalam upaya membangun kesadaran dan kecintaan terhadap tanah air, ajengan
Sanusi sering mengingatkan pentingnya arti sebuah kemerdekaan kepada masyarakat,
sehingga tumbuhlah semangat untuk melawan penjajah dalam diri mereka. 40 Di tengah-
tengah kesibukannya mengajar para santri, ajengan Sanusi terpaksa harus meninggalkan
pesantren Genteng karena ditahan oleh pemerintah kolonial Belanda. Setelah masa
tahanannya selesai ajengan Sanusi tidak dipulangkan ke pesantren Genteng, karena beliau
masih berstatus tahanan kota. Ajengan Sanusi tinggal di Cipelang Gede terlebih dahulu
selama satu bulan dan membeli sebidang tanah di daerah Gunung Puyuh. Kemudian beliau
mendirikan sebuah perguruan Syamsul Ulum pada tahun 1934 yang kini lebih dikenal
dengan nama pesantren Gunung puyuh.41
Pada dasarnya ajengan Sanusi hidup pada masa penjajahan yang penuh dengan
penderitaan masyarakat Indonesia. Pada saat itu Sukabumi pun masih merupakan bagian dari
daerah Cianjur. Mayoritas masyarakat Sukabumi adalah beragama Islam sehingga kehidupan
sosial budayanya pun dipengaruhi oleh nilai-nilai keislaman. Keadaan tersebut diperkuat
oleh kebangkitan kehidupan beragama di Pulau Jawa sejak akhir abad ke-19 42 yang ditandai
dengan semakin banyaknya masyarakat yang menunaikan ibadah haji ke Mekah, jumlah
pesantren semakin banyak, dan pembangunan masjid yang cukup pesat. Dengan kondisi

35
H. Munandi Shaleh, K.H. Ahmad Sanusi: Pemikiran dan Perjuangannya dalam Pergolakan Sosial, hlm.
7-8
36
Adapula sumber yang menyatakan bahwa K.H. Ahmas Sanusi mendirikan pesantren Genteng pada tahun
1919, lihat Miftahul Falah, Riwayat Perjuangan K.H. Ahmad Sanusi, diterbitkan oleh Masyarakat Sejarawan
Indonesia Jawa Barat dan Pemerintah Kota Sukabumi, 2009, hlm 38 selain itu, adapula yang mengatakan pada tahun
1922 lah ajengan Sanusi mendirikan pesantren Genteng, lihat Yayan Suryana, “Dialektika Modernis dan
Tradisionalis Pemikiran Hukum Islam di Indonesia (Pemikiran Hukum Islam H. Ahmad Sanusi)”, dalam jurnal Al-
Quran, Vol. 11, No. 1, Juni, 2008, hlm. 48
37
H. Munandi Shaleh, K.H. Ahmad Sanusi: Pemikiran dan Perjuangannya dalam Pergolakan Sosial, hlm. 9
38
Yayan Suryana, “Dialektika Modernis dan Tradisionalis Pemikiran Hukum Islam di Indonesia (Pemikiran
Hukum Islam H. Ahmad Sanusi)”, hlm. 50
39
Miftahul Falah, Riwayat Perjuangan K.H. Ahmad Sanusi, hlm. 39
40
H. Munandi K.H. Ahmad Sanusi: Pemikiran dan Perjuangannya dalam Pergolakan Sosial, hlm. 10
41
Yayan Suryana, “Dialektika Modernis dan Tradisionalis Pemikiran Hukum Islam di Indonesia (Pemikiran
Hukum Islam H. Ahmad Sanusi)”, hlm. 48- 50
42
Miftahul Falah, Riwayat Perjuangan K.H. Ahmad Sanusi, hlm. 1-2
demikian, Pemerintah Hindia Belanda berusaha agar praktek keagamaan di Sukabumi tidak
berkembang dengan melakukan pengawasan ketat terhadap para kyai yang berpengaruh kuat
di kalangan masyarakat. Selain itu, sejak pertengahan abad ke-19 Pemerintah Hindia Belanda
berusaha mengkristenkan penduduk pribumi. Usaha itu dilakukan oleh S. Van Aendenburg
melalui sekolah-sekolah dan rumah sakit, sehingga berdirilah sebuah perkampungan Kristen
pertama di Sukabumi yang terletak di daerah Pangharepan. Keadaan tersebut mendorong
para ulama termasuk ajengan Sanusi untuk meningkatkan kegiatan-kegiatan keislaman dan
mendorong para santrinya yang telah selesai menimba ilmu untuk mendirikan pesantren di
daerah masing-masing.43
2. Gambaran Umum Tafsir
Pada tahun 1934 ajengan Sanusi membuat suatu terobosan baru dengan menulis dan
menerbitkan kitab tafsir dalam bahasa Melayu yang menggunakan huruf Latin, yaitu
Tamsyiyyatul muslimi>n Fi> Tafsi>r Kala>m Rabb Al-‘Alami>n (Menindakkan Sekalian
Orang Islam di dalam Menafsirkan Firman Tuhan Seru Sekalian Alam). Hal tersebut
dilakukan ajengan Cantayan dalam rangka pembumian al-Quran di Indonesia. 44 Tamsyiyyatul
muslimi>n Fi> Tafsi>r Kala>m Rabb Al-‘Alami>n ditulis atas permintaan masyarakat luas
dan motivasinya sendiri sebagai bentuk dakwah, karena pada saat itu ajengan Sanusi tidak
bisa bertemu dengan masyarakat secara bebas. Dengan demikian, beliau mengungkapkan
gagasannya dalam bentuk tulisan. Kitab tafsir berbahasa Melayu tersebut ditulis ajengan
Cantayan ketika menjalani tahanan di Kota Sukabumi (sebagai tahanan kota), dan diterbitkan
setiap satu bulan sekali layaknya majalah.45
Tafsir ini tidak hanya dibaca oleh kalangan anggota AII saja, melainkan dibaca pula
oleh kalangan birokrat. Dalam waktu enam bulan, tepatnya sampai bulan Maret 1935 tafsir
ini sudah tersebar sampai ke Bengkulu. Di Bengkulu sendiri terdapat seorang agen yang
bernama H. Bachsin Muhsin, sehingga tafsir ini mudah sampai ke Bengkulu. Sedangkan di
Batavia Centrum terdapat seorang agen yang bernama M. Gojali, serta di Bandung M.
Wirasudarma dan R. Amidjaja. 46 Selain ke Bengkulu, Bandung, dan Batavia Centrum, tafsir
ini pun sampai ke Makasar, Palembang, Manggala, Biliton, dan Lampung.47
Tafsir huruf Latin ini hanya ditulis sampai cetakan ke-53 (setiap cetakan memuat
sekitar 30-35 halaman) dengan halaman terakhir 1478. Penghentian penulisan tafsir diduga
sebagai pemenuhan persyaratan pembebasan ajengan Sanusi dari statusnya sebagai tahanan
kota. Selain itu, mesin cetak yang digunakan disita oleh pemerintah Belanda dan pajak yang
harus dikeluarkan terlalu besar.48 Dengan demikian, Ajengan Cantayan hanya menafsirkan
sampai surat al-Maidah ayat 35. Pada awalnya tafsir ini dicetak oleh Al-Ittihad Drukkerij
Sukabumi milik AII. Namun mesin cetak tersebut disita oleh pemerintah Belanda pada bulan
Agustus 1937, karena tafsir Tamsyiyyat dianggap sebagai alat propaganda AII menuju
gerakan politik, dan menuai banyak kontroversi di kalangan masyarakat. Setelah itu, tafsir
Tamsyiyyat dicetak oleh percetakan Masduki sejak tanggal 5 September 1937.49

43
Miftahul Falah, Riwayat Perjuangan K.H. Ahmad Sanusi, hlm. 1-4
44
H. Munandi Shaleh, K.H. Ahmad Sanusi: Pemikiran dan Perjuangannya dalam Pergolakan Sosial, hlm
40-42
45
Hasil wawancara dengan H. Munandi Shaleh pada hari Minggu, 26 November 2017 pukul 12.30
46
Ahmad Sanusi, Tamsiyyatul Muslimin fi Tafsir Kalam Rabb Al-‘Alamin Jilid 1, (Sukabumi: Masduki dan
Al-Ittihad, 1934-1935)
47
Hasil wawancara dengan H. Munandi Shaleh pada hari Minggu, 26 November 2017 pukul 12.30
48
Hasil wawancara dengan H. Munandi Shaleh pada hari Minggu, 26 November 2017 pukul 12.30
Kontroversi terhadap tafsir Tamsyiyyat muncul akibat ajengan Sanusi memberikan
transliterasi al-Quran ke dalam huruf Latin. Pada saat itu masih banyak masyarakat yang
belum mampu membaca huruf Arab. Oleh karena itu, ajengan Sanusi berinisiatif untuk
memberikan transliterasi ke dalam huruf Latin di bawah ayat al-Quran yang ditulis dengan
aksara Arab dengan tujuan untuk memberikan kemudahan kepada mereka. Akan tetapi,
transliterasi al-Quran ke dalam huruf Latin tersebut dipandang haram oleh pemerintah dan
para ulama Pakauman.50 Salah satu penentang penulisan al-Quran dengan huruf Latin adalah
Haji Oetsman dari Negeri Perak Malaysia.51Perdebatan antara pihak ajengan Sanusi dan
pihak yang mengharamkan semakin memanas, sehingga mendorong pejabat setempat untuk
mempertemukan dua pihak tersebut dengan membentuk Comite Permoesjawaratan Menoelis
Al-Qoeran dengan Hoeroef Latin pada tanggal 4 Oktober 1936.52 Komite memutuskan untuk
mengadakan perdebatan antara kedua belah pihak pada tanggal 25 Oktober 1936 di Cipelang
Gede. Perdebatan itu tidak hanya dihadiri oleh kelompok ajengan Sanusi dan kelompok
ulama Pakauman, melainkan dihadiri pula oleh berbagai organisasi keIslaman dan kalangan
pers serta sekitar 15.000 kaum muslimin. Setelah mendengarkan pendapat dan penjelasan
masing-masing pihak, komite memutuskan bahwa mentransliterasi al-Quran ke dalam huruf
Latin hukumnya wenang (boleh), karena tidak ada satu ayat, hadis ataupun keterangan lain
yang mengharamkannya.53
B. Penafsiran
Ajengan Sanusi tidak menafsirkan keseluruhan ayat al-Quran, tetapi hanya 5,5 juz saja,
tepatnya dari surat al-Fa>tihah sampai al-Ma>idah ayat 35. Hal itu diduga sebagai syarat
pembebasan dari status tahanan kota. Jadi, hanya ditemukan empat ayat yang berkaitan
dengan jihad, yaitu Q.S. Al-Baqarah: 218, Q.S. Ali-Imra>n: 142, Q.S. An-Nisa>: 95, dan
Q.S. Al-Ma>idah: 35. Keempat ayat tersebut dari Author (Allah) menjelaskan perihal jihad
dalam bentuk isim fa>’il (pelaku), fi’il amar (kata kerja perintah), dan fi’il ma>d{i (kata
kerja lampau). Kemudian, redaksi ayat tersebut dipahami reader (mufassir ajengan Sanusi)
sebagai berikut: (1) menunjukan tujuan jihad untuk mengharap rahmat Allah, (2) meraih
surga, (3) pelaku jihad sebagai manusia yang berkualitas, dan (4) bekerja (berjihad) dalam
kebaikan. Berikut ini rinciannya:
1. Q.S. Al-Baqarah 218: Jihad Mengharap Rahmat Allah
Jihad dalam hal ini terdapat dalam Q.S. al-Baqarah: 218 dengan menggunakan bentuk
fi’il ma>d{i> (kata kerja lampau). Konstruk teks (ayat) ini menunjukan:
‫ت ٱللَّ ِه َوٱللَّهُ غَ ُفور َّر ِحيم‬
َ ‫حم‬
َ ‫رجو َن َر‬ َ ‫يل ٱللَّ ِه ُْأو ٰلَِئ‬
ُ َ‫ك ي‬ ِ ِ‫اج ُرواْ َو َٰج َه ُدواْ فِي َسب‬
َ ‫ين َه‬
ِ َّ ِ َّ
َ ‫ِإ َّن ٱلذ‬
َ ‫ين َء َامنُواْ َوٱلذ‬
Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad
di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang”. (Q.S. Al-Baqarah: 218).54

49
H. Munandi Shaleh, K.H. Ahmad Sanusi: Pemikiran dan Perjuangannya dalam Pergolakan Sosial, hlm.
41
50
Miftahul Falah, Riwayat Perjuangan K.H. Ahmad Sanusi, hlm. 126
51
H. Munandi Shaleh, K.H. Ahmad Sanusi: Pemikiran dan Perjuangannya dalam Pergolakan Sosial, hlm.
41
52
Miftahul Falah, Riwayat Perjuangan K.H. Ahmad Sanusi, hlm. 126-128
53
Ahmad Sanusi, Tafsir Tamsiyyatul Muslimin fi Tafsir Kalam Rabb al-‘Alamin Jilid 2, (Sukabumi: al-
Ittihad, 1935-1936)
54
Tim Kementrian Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya Juz 1-10, (Jakarta: Yamunu), hlm. 53
Ajengan Sanusi memaknai kata a>manu> “orang-orang yang beriman”, ha>jaru>
“yang pindah mereka kepada Rasulullah”, dan ja>hadu> (kata kerja lampau yang
menunjukan banyak/jama’) sebagai berperang (dan mereka itoe berperang).55 Kata “yang
pindah mereka kepada Rasulullah” dapat dimaknai secara umum, karena ajengan Sanusi
sendiri tidak menjelaskan secara rinci. Selain itu, jika merujuk pada hermneutik Khaled
sebuah teks harus bersifat terbuka terhadap berbagai penafsiran. Jadi, maksud kata “pindah”
dapat diartikan beralih dari situasi atau keadaan kurang baik menuju yang lebih baik dalam
hal ibadah, keimanan, bermasyarakat, sikap, maupun yang lainnya. Hal itu pun dijelaskan
oleh M. Quraish Shihab56 bahwa makna kata hijrah yaitu meninggalkan sesuatu menuju
sesuatu yang lebih baik.
Ayat ini menjelaskan beberapa kriteria orang yang mengharap rahmat Allah, yaitu
beriman, ikut pindah bersama Rasulullah Saw, dan berjihad (berperang) dengan tujuan untuk
meninggikan agama Allah. Ajengan Sanusi mencontohkan Abdullah Ibn Jahsy dan teman-
temannya (anggota) sebagai orang yang berjihad untuk meninggikan agama Allah. Lalu
dijelaskan pula bahwa Allah adalah Maha Pengampun dosa dan sangat mengasihi hamba-
hambaNya yang ta’at. Dengan demikian, sebesar apapun dosa yang telah dilakukan manusia,
Allah akan mengampuninya asalkan manusia itu mau bertaubat dan menyesali
perbuatannya.57
Ajengan Sanusi pun menjelaskan hal ini dalam karyanya yang lain yaitu Malja’ at-
T{alibi>n fi Tafsi>r Kala>m Rabb Al-‘Alami>n bahwa ada tiga kriteria orang yang akan
mendapat rahmat, keridhaan dan surganya Allah. Yaitu, orang-orang yang memiliki iman
dalam hati, bersedia hijrah dari Makah ke Madinah untuk membela agama Allah, serta
bersedia perang untuk meninggikan agama Allah seperti halnya Abdullah Ibn Jahsy bersama
sahabat-sahabat yang lain.58 Penafsiran ajengan Sanusi dalam tafsir Malja’ ini identik sama
dengan penafsirannya dalam tafsir Tamsyiyyat. Sedangkan dalam Raudhatul ‘Irfan dijelaskan
bahwa ayat ini menerangkan orang-orang mukmin yang pindah menuju kebaikan, dan
bersedia mengorbankan tenaganya untuk meninggikan agama Allah karena berharap akan
rahmatNya.59
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa untuk mendapatkan rahmat dan
kasih sayang Allah seorang muslim tidak cukup dengan iman saja. Akan tetapi, seorang
muslim pun harus mampu berhijrah dan berjihad untuk meninggikan agama Allah. Maksud
kata hijrah bermakna luas, baik itu hijrah (pindah) bersama nabi pada konteks zaman dahulu
dan hijrah (pindah) menjadi orang yang lebih baik dalam hal apapun pada zaman sekarang.
Kemudian, kata jihad pun bermakna luas, karena bentuk jihad yang dilakukan harus
disesuaikan dengan situasi dan kondisi zamannya. Pada intinya jihad adalah berjuang dalam
hal apapun untuk mencari keridhaan Allah dan meninggikan agamaNya. Salah satu bentuk
jihad adalah berperang. Tidak heran apabila ajengan Sanusi memaknai kata jihad sebagai
perang, karena pada saat itu bangsa Indonesia sedang dijajah oleh Pemerintah Kolonial
Belanda. Jadi, tujuan seseorang (muslim) beriman, berhijrah dan berjihad tidak lain semata-
mata untuk mengharap rahmat Allah.
2. Q.S. Ali-Imran 142: Meraih Surga
55
Ahmad Sanusi, Tamsyiyyatul Muslimin Fi Tafsir Kalam Rabb Al-‘Alamin Jilid 2, hlm. 645
56
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran Volume 1, (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), hlm. 502
57
Ahmad Sanusi, Tamsiyyatul Muslimin Fi Tafsir Kalam Rabb Al-‘Alamin Jilid 2, hlm. 645.
58
Ahmad Sanusi, Malja’ at-T{alibi>n fi Tafsi>r Kala>m Rabb Al-‘Alami>n, hlm. 171-172
59
Ahmad Sanusi, Raudhatul ‘Irfan Fi Ma’rifat al-Quran, hlm. 54
ِ َّٰ ‫ٱلجنَّةَ ول ََّما يَعلَ ِم ٱللَّهُ ٱلَّ ِذين َٰج َه ُدواْ ِمن ُكم ويَعلَم‬ ُ َ‫َأم َح ِسبتُم َأن ت‬
َ ‫ٱلصب ِر‬
١٤٢ ‫ين‬ َ َ َ َ َ ْ‫دخلُوا‬
Artinya:
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi
Allah orang-orang yang berjihad di antara kamu dan belum nyata orang-orang yang
sabar”. (Q.S. Ali-Imran:142)60

Ajengan Sanusi menjelaskan bahwa ayat ini berhubungan dengan kemunduran bala
tentara sahabat dalam perang uhud sebagai bentuk teguran dan peringatan. Dalam ayat
tersebut Allah memberikan peringatan bahwa seorang manusia (khususnya muslim) tidak
boleh memiliki prasangka akan masuk surga apabila masih suka lari dari medan perjuangan
Islam. Menurut ajengan Sanusi, seorang muslim tidak diperbolehkan memiliki prasangka dan
pengakuan akan menjadi ahli surga apabila belum menghabiskan tenaga sebesar 100 pCt 61
untuk menghidupkan dan memajukan Islam. Jika seorang muslim berusaha semaksimal
mungkin untuk memajukan Islam, tentu Allah akan mengetahuinya, karena mustahil ada satu
perkara pun yang tidak diketahui oleh Allah. Selain itu, Allah pun mengetahui orang-orang
yang sabar dalam berjihad untuk agama Islam, karena pada dasarnya dibutuhkan kesabaran
yang luar biasa dalam berjihad.62
Makna “mengeluarkan tenaga sebesar 100 pCt” ini dapat diartikan secara umum. Tidak
hanya merujuk pada tenaga yang berasal dari fisik, tetapi dapat pula merujuk pada
pemikiran, dan harta, karena bentuk perjuangan (jihad) ajengan Sanusi pun dilakukan
melalui pemikiran, karya-karya, dan dakwahnya untuk menumbuhkan sema semangat
nasionalisme bagi masyarakat.
3. Q.S. An-Nisa 95: Pelaku Jihad sebagai Manusia Berkualitas
Orang yang rela berjihad memiliki kualitas (nilai) yang luar biasa di hadapan Allah
Swt. Kualitas seorang mujahid tersebut diungkapkan melalui kata jihad yang berbentuk isim
fa>’il, sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. an-Nisa>: 95.
َّ َ‫ ِهم ف‬:‫َأمولِ ِهم َوَأن ُف ِس‬ ِ ِ ِ ِ‫ب‬:‫ ُدو َن فِي َس‬:‫ر ِر وٱلم َٰج ِه‬:‫ض‬ ِ :َ‫ؤمنِين غ‬: ِ ِ ِٰ
‫ َل‬:‫ض‬ َٰ : ‫يل ٱللَّه ب‬ ُ َ َ َّ ‫ير ُْأولي ٱل‬: ُ َ :‫ٱلم‬ ُ ‫ ُدو َن م َن‬:‫تَ ِوي ٱل َقع‬::‫اَّل يَس‬
ِ ِ ِٰ ِ ِ ٰ : ِ‫دين ب‬:ِ :‫ٱللَّه ٱلم ٰج ِه‬
‫ين‬ ُ ُ‫ َل ٱللَّه‬: ‫ض‬
َ ‫د‬::‫ٱلم َٰج ِه‬ ُ ُ‫ َد ٱللَّه‬: ‫ة َوكُاّل َو َع‬::‫ين َد َر َج‬
َّ َ‫نَ ٰى َوف‬::‫ٱلحس‬ َ ‫د‬::‫ ِهم َعلَى ٱل َقع‬: ‫َأمول ِهم َوَأن ُفس‬
َ َ َُ ُ
٩٥ ‫َأجرا َع ِظيما‬ ً ‫ين‬
ِِٰ
َ ‫َعلَى ٱل َقعد‬
Artinya:
“Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak ikut berperang) yang tidak
mempunyai ´uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta
mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan
jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka
Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang
berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar”. (Q.S. an-Nisa: 95).63

Ajengan Sanusi memaknai kata al-muja>hidu>n dan al-muja>hidi<n sebagai


“sekalian orang yang beperang beserta Rasulullah”. Pada intinya ayat ini menjelaskan
60
Tim Kementrian Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya Juz 1-10, hlm. 99
61
Maksud 100 pCt adalah 100 % (persen). Hasil wawancara dengan bapak H. Munandi Shaleh pada tanggal
26 November 2017 pukul 12.10
62
Ahmad Sanusi, Tamsiyyatul Muslimin fi Tafsir Kalam Rabb Al-‘Alamin Jilid 3, hlm. 1125
63
Tim Kementrian Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya Juz 1-10, hlm. 136
kelebihan derajat orang yang ikut berperang. Orang-orang mukmin yang tidak ikut berperang
karena adanya ‘uzur (pikun atau tanpa daksa), dan orang yang ikut berperang bersama
Rasulullah Saw dengan tujuan untuk meninggikan agama Allah, baik itu dengan harta atau
diri mereka sendiri memiliki derajat dan kelebihan yang berbeda daripada orang yang duduk
saja (tidak ikut berperang tanpa adanya ‘uzur/alasan), yaitu Allah akan memberinya derajat
yang besar di akhirat kelak. Orang-orang yang ikut berperang dan tinggal di rumah karena
ada ‘uzur (padahal dalam hatinya memiliki keinginan untuk ikut berperang) telah dijanjikan
surga yang baik dan mulia oleh Allah. Akan tetapi orang yang ikut berperang lebih
diunggulkan lagi oleh Allah, yaitu akan diberi pahala yang sangat besar. Hal tersebut
menunjukkan betapa mulianya orang yang bersedia berjuang di jalan Allah.64
Jika dilihat secara historis, ayat ini berkenaan dengan Abdullah Ummu Maktum,
seorang sahabat nabi yang buta. Menurut Khaled Abou El Fadl, aspek historis sangat penting
ditelusuri untuk melihat keotentikan sebuah teks. Cara ini atau Khaled menyebutnya sebuah
“kompetensi”65 harus dipenuhi oleh seorang penafsir agar terhindar dari tindakan
otoritarianisme. Ummu Maktum memiliki gejolak semangat yang tinggi untuk berperang,
tetapi kondisinya tidak memungkinkan. Ketika turun ayat ini “tidak sama derajat orang yang
duduk dan orang yang berjihad di jalan Allah”, Ummu Maktum merasa keberatan dan
mempertanyakannya kepada nabi, sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadis berikut:
‫ َع ِن ابْ ِن‬،‫ا َن‬:‫الِ ُح بْ ُن َك ْي َس‬:‫ص‬ ِ
َ ‫ َح َّدثَني‬:‫ال‬ َ َ‫ ق‬،‫ي‬ ُّ ‫يم بْ ُن َس ْع ٍد‬
ُّ ‫الز ْه ِر‬ ِ ‫ِإ‬ ِ َّ ِ
ُ ‫ َح َّد َثنَا ْب َراه‬،‫الع ِزي ِز بْ ُن َع ْبد الله‬ َ ‫َح َّد َثنَا َع ْب ُد‬
:ُ ‫َأقَْبل‬: َ‫ ف‬،‫ ِج ِد‬: ‫الم ْس‬ ِ ِ ِ :‫س‬
ِّ ‫اع ِد‬ َّ ‫ ْع ٍد ال‬: ‫ ْه ِل بْ ِن َس‬: ‫ َع ْن َس‬،‫اب‬ ٍ ‫ َه‬: ‫ِش‬
‫ْت‬ َ ‫ا في‬: ‫الح َك ِم َجال ًس‬ َ ‫ر َوا َن بْ َن‬:ْ :‫ت َم‬ َ :َ‫ َأنَّهُ ق‬،‫ي‬
ُ ْ‫ َرَأي‬:‫ال‬:
‫لَّ َم َْأملَى‬: ‫ه َو َس‬:ِ :‫لَّى اهللُ َعلَْي‬: ‫ص‬ ِ َ : ‫َأن رس‬
َ ‫ول اللَّه‬
ٍ
ُ َ َّ " :ُ‫ره‬:َ :‫ابِت َأ ْخَب‬::َ‫ َد بْ َن ث‬: ْ‫َأن َزي‬ َّ ‫ا‬::َ‫ فََأ ْخَب َرن‬،‫ه‬:ِ :ِ‫ت ِإلَى َج ْنب‬
ُ : ‫َحتَّى َجلَ ْس‬
:‫اء‬:: ‫يل اللَّ ِه} [النس‬ ِ ِ‫ب‬: :‫ ُدو َن فِي َس‬: :‫اه‬ ِ ‫] {والمج‬95 :‫اء‬:: ‫ ْؤ ِمنِين} [النس‬: :‫ ُدو َن ِمن الم‬: :‫اع‬ ِ ‫ت ِوي ال َق‬: :‫ {الَ يس‬:‫ه‬:ِ : ‫علَي‬
َُ َ َ ُ َ ََْ َْ
‫ت‬ ِ ‫تَ ِطيع‬:‫و َأ ْس‬:َ‫ ل‬،‫ول اللَّ ِه‬ َ ‫ َف َق‬،‫وم َو ُه َو يُ ِملُّ َها َعلَ َّي‬ٍ ‫ فَجاءه ابن ُِّأم م ْكت‬:‫ال‬
ُ ‫ ْد‬:‫اه‬
َ ‫َج‬َ ‫اد ل‬: َ ‫الج َه‬ ُ ْ َ :‫ا َر ُس‬:َ‫ ي‬:‫ال‬: ُ َ ُ ْ ُ َ َ َ َ‫ ق‬،" ]95
: ِ َ‫ َوف‬،‫لَّ َم‬: : ‫ه َو َس‬:ِ : :‫لَّى اهللُ َعلَْي‬: : ‫ص‬ ِِ
‫ ُذهُ َعلَى‬:‫خ‬ َ ‫وله‬: : ‫الَى َعلَى َر ُس‬:: :‫ار َك َوَت َع‬: َ : :َ‫َأْن َز َل اللَّهُ َتب‬: : َ‫ ف‬- ‫ا َن َر ُجاًل َأ ْع َمى‬:: :‫ َو َك‬-
‫ر ُأولِي‬:ُ :‫ {غَْي‬:‫ل‬: َّ :‫ز َو َج‬:َّ :‫َأْن َز َل اللَّهُ َع‬: َ‫ ف‬،ُ‫ه‬:: ‫ي َع ْن‬ ِ ِ َّ ‫ر‬::‫َأن َت‬
َ ‫ ِّر‬::‫ ثُ َّم ُس‬،‫ ذي‬:‫خ‬: َ‫ض ف‬ ُ َّ ‫ت‬ ُ ‫ت َعلَ َّي َحتَّى ِخ ْف‬ :ْ َ‫ َف َث ُقل‬،‫ ِذي‬:‫فَ ِخ‬
]95 :‫الض ََّر ِر} [النساء‬
Artinya:
“Telah bercerita kepada kami 'Abdul 'Aziz bin 'Abdullah telah bercerita kepada kami
Ibrahim bin Sa'ad Az Zuhriy, berkata telah bercerita kepadaku Shalih bin Kaisan dari
Ibnu Syihab dari Sahl bin Sa'ad As-Sa'idiy bahwa dia berkata: "Aku melihat Marwan
bin Al Hakam sedang duduk di masjid lalu aku menemuinya hingga aku duduk di
sampingnya lalu dia mengabarkan kepada kami bahwa Zaid bin Tsabit mengabarkan
kepadanya bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam membacakan ayat 95 Surah
an-Nisaa' kepadanya yang artinya ("Tidaklah sama orang-orang yang duduk-duduk saja
(tidak ikut berperang) dari kalangan Mukminin dengan orang-orang yang berjihad fi
sabilillah…"), maka datang Ibnu Ummu Maktum kepada beliau padahal beliau sedang
membacakan ayat itu kepadaku dengan berkata: "Wahai Rasulullah, seandainya aku
mampu berjihad pasti aku akan berjihad". Dia adalah seorang yang buta. Maka Allah
64
Ahmad Sanusi, Tamsyiyyatul Muslimin Fi Tafsir Kalam Rabb Al-‘Alamin Jilid 4, hlm. 1371
65
Kemampuan mencari keotentikan suatu teks dengan melihat aspek historis.
menurunkan ayat kepada Rosul-Nya pada saat paha beliau sedang berada di atas
pahaku dan aku merasa berat dengan paha beliau tersebut (karena beratnya wahyu yang
beliau terima) hingga aku khawatir pahaku retak. Kemudian beliau tenang kembali.
Maka Allah menurunkan firman-Nya (kelanjutan ayat tersebut) yang artinya: ("Yang
tanpa memiliki alasan…").66

Ketika Rasulullah Saw sedang membacakan awal surat an-Nisa> ayat 95 “tidaklah
sama orang yang duduk-duduk saja dari kaum muslim dengan orang yang jihad fi sabilillah”
kepada Zaid bin Tsabit, tiba-tiba datang Ummu Maktum dan langsung mengatakan kepada
nabi bahwa apabila dirinya mampu tentu ia akan berjihad, tapi apalah daya ia hanyalah
seorang buta. Mendengar perkataan Ummu Maktum, Allah menurunkan kelanjutan ayat
tersebut kepada nabi “yang tanpa memiliki alasan/’uzur”. Ayat itu ditujukan kepada Ummu
Maktum yang memiliki gejolak semangat untuk berjihad, tetapi ia tidak mampu
melakukannya. Jadi, walaupun Ummu Maktum tidak ikut berjihad, Allah tetap memberinya
satu derajat lebih tinggi bersama orang-orang yang ikut berjihad.
4. Q.S. Al-Maidah 35: Bekerja dalam Kebaikan
Jihad merupakan upaya melakukan sesuatu (bekerja) untuk mencapai keridhaan Allah
Swt. Tentunya keridhaan Allah tersebut akan dicapai melalui perbuatan yang baik, dan
bermanfaat. Allah sendiri memerintahkan umatNya untuk berjihad (berjuang atau bekerja),
sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. al-Ma>idah: 35.
٣٥ ‫ٱلو ِسيلَةَ َو َٰج ِه ُدواْ فِي َسبِيلِ ِهۦ ل ََعلَّ ُكم تُفلِ ُحو َن‬ ِ
َ ‫ٱبتغُواْ ِإلَيه‬
َ ‫ين َء َامنُواْ َّٱت ُقواْ ٱللَّهَ َو‬ ِ َّ
َ ‫ٰيَ َُّأي َها ٱلذ‬
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang
mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu
mendapat keberuntungan”. (Q.S. Al-Maidah: 35).67

Ajengan Sanusi memaknai kata ja>hidu> “dan bekerjalah kamu dengan menghabiskan
tenaga, kekuatan, dan pengetahuan”. Menurut ajengan Sanusi ayat ini menerangkan bahwa
kebahagiaan dan kemuliaan dunia maupun akhirat tergantung tiga hal, yaitu; a) takut kepada
Allah dengan menjalankan segala perintah dan menjauhi segala laranganNya, b) tawassul
(menuntut segala jalan dan perantara yang dapat mendekatkan diri kepada Allah), dan c)
jiha>d fi> sabi>lilla>h, (bekerja dengan segenap tenaga, kekuatan, dan pengetahuan untuk
mempertahankan dan memperjuangkan agama Islam).68
Sebuah teks harus bersifat terbuka terhadap berbagai penafsiran (pemikiran). Jihad
diartikan sebagai “bekerja dengan segenap tenaga, kekuatan, dan pengetahuan”. Ajengan
Sanusi mengartikan demikian karena pada saat itu bangsa Indonesia sedang membutuhkan
tiga faktor tersebut sebagai modal untuk mengusir penjajah dari bumi pertiwi. Jadi, ayat ini
merupakan perintah berjuang, bekerja dan berusaha dengan semaksimal mungkin untuk
mencapai sesuatu yang diridhai Allah, baik melalui tenaga, kekuatan, maupun pengetahuan.
Di balik kata “kekuatan” yang diungkapkan ajengan Sanusi mengandung makna yang
membentang luas. Karena, kata “kekuatan” bersifat umum, dapat merujuk pada kekuatan
fisik, akal (pengetahuan), maupun kekuatan harta. Arti kata “tenaga” merujuk pada tenaga
yang berasal dari fisik untuk bertempur melawan penjajah, dan arti kata “pengetahuan”
66
Bukhari, Shahih Bukhari, aplikasi maktabah syamilah
67
Tim Kementrian Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya Juz 1-10, hlm. 164
68
Ahmad Sanusi, Tamsyiyyatul Muslimin Fi Tafsir Kalam Rabb Al-‘Alamin Jilid 4, hlm. 1477-1478
merujuk pada pemikiran-pemikiran, baik ilmu agama ataupun ilmu umum yang dapat
menggugah semangat nasionalisme bagi masyarakat.
Perintah jihad melalui beberapa faktor itu pun dijelaskan dalam sebuah hadis sebagai
berikut:
‫ال‬
َ َ‫ ق‬:‫ال‬ ٍ َ‫ َع ْن َأن‬،‫ َع ْن ُح َم ْي ٍد‬،َ‫اد بْ ُن َسلَ َمة‬
َ َ‫ ق‬،‫س‬ َ َ‫ ق‬،‫الر ْح َم ِن‬
ُ ‫ َح َّد َثنَا َح َّم‬:‫ال‬ َ َ‫ ق‬،‫َأ ْخَب َرنَا َع ْم ُرو بْ ُن َعلِ ٍّي‬
َّ ‫ َح َّد َثنَا َع ْب ُد‬:‫ال‬
‫ْسنَتِ ُك ْم َو َْأم َوالِ ُك ْم‬ َْ ْ
ِ ‫ «ج‬:‫ول اللَّ ِه صلَّى اهلل َعلَي ِه وسلَّم‬
ِ ‫اه ُدوا بَِأي ِدي ُكم وَأل‬
َ َ ََ ْ ُ َ ُ ‫»ر ُس‬
َ
Artinya:
“Telah mengkhabarkan kepada kami 'Amr bin Ali, ia berkata; telah menceritakan
kepada kami Abdur Rahman, ia berkata; telah menceritakan kepada kami Hammad bin
Salamah dari Humaid dari Anas, ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda: "Berjihadlah dengan tangan, lidah dan harta kalian."69

Rasulullah Saw memerintahkan umatnya untuk berjihad dengan tangan, lidah, dan
harta, karena ketiganya merupakan hal yang saling mendukung satu sama lain. Makna tangan
dapat disamakan dengan kekuatan fisik, dan lidah diartikan sebagai pemikiran, karena pada
dasarnya pemikiran dan pengetahuan yang dimiliki seseorang akan dituangkan melalui
perkataannya.

KESIMPULAN
Kitab Tamsyiyyatul Muslimi>n fi> Tafsi>r Kala>m Rabb Al-‘Alami>n ditulis ketika
ajengan Sanusi berstatus sebagai tahanan Kota Sukabumi, tepatnya sejak bulan Oktober 1934.
Tafsir Tamsyiyyat hanya ditafsirkan sampai surat al-Maidah ayat 35. Jadi, hanya ditemukan
empat ayat yang berkaitan dengan jihad, yaitu Q.S. al-Baqarah ayat 218, Q.S. ali-Imran ayat 142,
Q.S. an-Nisa ayat 95, dan Q.S. al-Maidah ayat 35. Berdasarkan ayat tersebut dapat disimpulkan
bahwa secara hermeneutik Khaled M. Abou El Fadl, arti kata jihad menurut ajengan Sanusi
bermakna umum, yaitu mengerahkan segenap kemampuan dan kekuatan secara utuh untuk
membela agama dan Negara, baik itu dengan fisik (tenaga), harta, pemikiran, maupun
pengetahuan.
Penafsiran ajengan Sanusi mengenai makna jihad masih relevan digunakan pada zaman
sekarang, karena jihad ditafsirkan secara umum bukan hanya merujuk pada perang saja. Setiap
orang berjihad sesuai kemampuan yang dimiliki. Faktanya saat ini bangsa Indonesia masih
membutuhkan, bahkan mungkin sangat membutuhkan fisik yang kuat dan pemikiran yang luas
untuk mengurus, membela, dan mempertahankan NKRI serta rakyat yang bernaung di dalamnya.
Karena, kini Indonesia tidak dijajah secara fisik tetapi melalui ideologi, ekonomi dan mental.
Selain itu, bangsa Indonesia pun membutuhkan sosok dermawan dan sosok yang berpengetahuan
luas untuk mencerdaskan anak bangsa agar mampu bersaing di kancah internasional.

DAFTAR PUSTAKA
Abd. Baqi, M.Fuad. 1984. Al-Mu’jam Al-Mufahras Li Alfaz{ Al-Qura>n Al-Karim. Indonesia:
Maktabah Dahlan.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. 2007. Ensiklopedi Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve.
El-Fadl, Khaled M. Abou. 2004. Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif,
diterjemahkan dari Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authory, and Women oleh
R.Cecep Lukman Yasin. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta.
69
Nasa’i, Sunan an-Nasa’i, aplikasi maktabah syamilah.
Falah, Miftahul. 2009. Riwayat Perjuangan K.H. Ahmad Sanusi, diterbitkan oleh Masyarakat
Sejarawan Indonesia Jawa Barat dan Pemerintah Kota Sukabumi.
Sanusi, Ahmad. 1934-1935. Tamsiyyatul Muslimin fi Tafsir Kalam Rabb Al-‘Alamin Jilid 1.
Sukabumi: Masduki dan Al-Ittihad.
Sanusi, Ahmad. 1935-1936. Tafsir Tamsiyyatul Muslimin fi Tafsir Kalam Rabb al-‘Alamin Jilid
2. Sukabumi: al-Ittihad.
Shaleh, Munandi. 2016. K.H. Ahmad Sanusi: Pemikiran dan Perjuangannya dalam Pergolakan
Sosial. Tangerang Selatan: Jelajah Nusa.
Tim Kementrian Agama RI. Jihad: Makna dan Implementasinya (Tafsir Al-Quran Tematik).
Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Quran
Yakin, Ayang Utriza Yakin. 2016. Iskam Moderat dan Isu-Isu Kontemporer. Jakarta: Kencana.
Abdillah, Juaidi. 2011. “Dekontruksi Tafsir Ayat-Ayat Kekerasan”. dalam jurnal Analisis, No.1,
Juni.
Efendi Nur, Ma’mun. 2010. “Hukum Jihad dan Terorisme: Perspektif Al-Quran”, Maslahah
vol.1, No.1 Juli.
Handoko, Hanwar Priyo. 2016. “Konsep Pendidikan K.H Ahmad Sanusi”, dalam jurnal
Dewantara, Vol. 1, No. 01 Januari-Juni.
Hasil wawancara dengan H. Munandi Shaleh pada hari Minggu, 26 November 2017 pukul 12.30
Pramono, Slamet dan Saifullah. 2015. “Pandangan Hamka Tentang Konsep Jihad Dalam Tafsir
Al-Azhar”. Diunduh dari http://jurnal.stainponorogo.ac.id.
Sofyan, Muhamad Sofyan. 2015. “Konsep Hermeneutika Otoritatif Khaled Abu Fadl”, dalam
jurnal Kalam: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam, Volume 9, Nomor 2, Desember.
Sulasman. 2014. “Heroes From Pesantren: A Brief Biography of K.H. Ahmad Sanusi, A Patriot
of Indonesian Independence”, dalam jurnal International Review of Social Sciences and
Humanities, vol. 6, No. 2.
Suryana, Yayan. 2008. “Dialektika Modernis dan Tradisionalis Pemikiran Hukum Islam di
Indonesia (Pemikiran Hukum Islam H. Ahmad Sanusi)”. dalam jurnal Al-Quran, Vol. 11,
No. 1, Juni.
Wardi, Moh. “Hermeneutika Khaled Abou Fadl: Sebuah Kontribusi Pemikiran Dalam Studi
Islam”, diunduh dari jurnal.uim.ac.id-pai-article-view.

Anda mungkin juga menyukai