Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hadits merupakan potret kehidupan nabi Muhammad saw dalam hal

perkataan, perbuatan, ketetapan, sifat serta perawakan fisik beliau1, belum

dihimpun hingga abad kedua hijriyah, dan periwayatan hadits dilakukan secara oral

transmition.

Jeda waktu dari masa nabi hingga masa tadwin hadits, bukanlah kurun

yang singkat. Setidaknya hadits telah ditransmisikan dari mulut ke mulut

minimal selama seratus tahun2. Problematika yang muncul dalam pembukuan

hadits, berawal sejak zaman nabi Muhammad saw masih hidup. Beliau suatu

waktu pernah melarang para sahabat menulis selain al-qur’an sebagaimana telah

diriwayatkan oleh imam Muslim (204 – 261 H) dan Imam Ahmad (164 – 241 H)

dari Abi Sa’id al-Khudri (w. 64H)3 berikut :

ُ ْ ًْ َ
َ‫ﻟﻘ ْﺮآن َ َﻤ ْﻦ َﻛﺘَﺐ‬ َ ُُْ ْ َ َ ََ َ َ َ َْ َ ُ َ َ
َ
‫ﺷﻴﺄ إِﻻ ا‬ ‫ )ﻻ ﺗ ﺘﺒﻮا‬: ‫أن ا ِ ﺻ اﷲ ﻋﻠﻴ ِﻪ وﺳﻠﻢ ﻗﺎل‬

ُ ُ ْ َْ َ َ ْ ُ ْ َْ َ ًْ َ َ
( ‫ﺤﻪ‬ ‫اﻟﻘﺮآن ﻓﻠﻴﻤ‬ ‫ﺷﻴﺄ‬

“sesungguhnya Nabi SAW bersabda : janganlah kalian menulis sesuatu dariku


kecuali al-qur’an. Barangsiapa menulis sesuatu dariku selain al-qur’an, maka
hapuslah”

1
Nuruddin Itr, Manhaj al-Naqd fi Ulum al-Hadis\, (Damaskus: Dar al-Fikr,1988), hlm. 27
2
Mustafa Azami, Studies in Hadits Methodology dan Literature, (Riyadh: University of
Riyadh, 1977), hlm. 25
3
Nuruddin Itr, Manhaj al-Naqd fi Ulum al-Hadis\, (Damaskus: Dar al-Fikr,1988), hlm. 41

1
2

Selain hadits tersebut, nabi Muhammad saw juga memberi sinyalemen kepada

para sahabat untuk tidak sembarangan berdalih atas nama nabi sehingga para

sahabat lebih berhati-hati dan tidak mendustakan nabi Muhammad saw,

َ ُ َ َ ْ َ ْ َََْ َ َ َ َ َ ْ َ
sebagaimana sabda beliau "‫ﺎر‬
ِ ‫”ﻣﻦ ﻛﺬب ﻋ ﻓﻠﻴ ﺒﻮأ ﻣﻘﻌﺪه ِﻣﻦ ا‬
4

Namun, bukan berarti tidak ada sahabat nabi yang mendokumentasikan

hadits dalam bentuk catatan pribadi. Bagi sahabat-sahabat pilihan yang diakui

kemampuannya dalam hal tulis-menulis, semisal Zaid bin Tsabit (w. 45 H) dan

Abu Hurairah (19 SH – 59 H), justru nabi Muhammad saw memberi izin untuk

menulis apa yang disampaikan beliau.5 Akan tetapi, tulisan yang mereka simpan

dalam bentuk lembaran-lembaran dan belum dihimpun, sedangkan dalam proses

periwayatan mereka memakai sistem sanad secara oral. Sebab kebijakan untuk

menghimpun hadits baru diperintahkan pada masa kekhalifahan Umar bin Abdul

Aziz (w. 101H = 720M).

Gejolak politik yang menimpa umat Islam setelah wafatnya nabi

Muhammad saw, ikut menjadi faktor berkurangnya proses tahdi>s\ karena

kebijakan yang diambil Khulafa’ al-Rosyidu>n antara lain : meminimalisir

periwayatan hadits6. Puncaknya, paska peristiwa tahkim yang memicu

munculnya sekte-sekte dalam umat Islam. Paska peristiwa tersebut, muncul

hadits-hadits palsu yang dimaksudkan untuk pembenaran masing-masing sekte.

4
Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, Shahih Bukhari, Juz I (Beirut : Da>r al-Fikr, 2000),
hlm. 35
5
Nuruddin Itr, Manhaj al-Naqd fi Ulum al-Hadis\, (Damaskus, Dar al-Fikr,1988), hlm. 41
6
Muhammad Abu Zahwa, al-Hadis\ wa al-Muhaddis\u>n (Riyadh : Syirkah Thoba’ah al-
Arabiyah al-Su’udiah, 1984), hlm. 66
3

Sekedar contoh, berikut hadits palsu yang dimaksudkan untuk

memperkuat pembenaran sekte-sekte dalam Islam :

َ َْ ّْ ُ َ َ َْ َ َ َْ َ َ َْ َ َ َ ُ َ َ ََ َ َ
‫اﷲ ﻔ َﺮ ﻚ َو ِ ر ِﺘﻚ و ِﻮا ِ ﻳﻚ و ِﻷﻫ ِﻠﻚ و ِ ِﺸﻴﻌ ِﺘﻚ و ِﻤ ِﺤ ِ ِﺷﻴﻌ ِﺘﻚ‬ ‫ﻳَﺎ ِ اِن‬

“Hai Ali, sesungguhnya Allah mengampuni kamu, anak-anak kamu, kedua orang
tuamu, keluargamu, pengikutmu, dan orang-orang yang mencintai pengikutmu”.7

Hadits palsu tersebut dimaksudkan untuk memuliakan sayyidina Ali ra, keluarga

dan para pengikutnya yang dikarang oleh kaum Syi’ah.

Munculnya pemalsuan hadits menjadi salah satu faktor yang mendorong

dilakukannya penelitian sanad hadits, sehingga umat Islam lebih selektif untuk

menerima hadits dan pemakaian sistem sanad diperketat lagi. Empat faktor

penting yang mendorong penelitian sanad hadits yaitu : [1] hadits sebagai salah

satu sumber ajaran Islam; [2] tidak seluruh hadits tertulis pada zaman Nabi; [3]

munculnya pemalsuan hadits; dan [4] proses penghimpunan (tadwi>n) hadits.8

Umat Islam, khususnya kalangan Ulama dari dulu (salaf) hingga

sekarang (khalaf), meyakini tidak semua hadits boleh diterima dan tidak pula

semua mesti ditolak.9 Hanya hadits shahih saja yang bisa diterima tanpa

keraguan, yaitu hadits yang bersambung sanadnya, disampaikan oleh orang yang

adil dan d}a>bit} hingga akhir sanad, tidak ada sya>z\ maupun ‘illat.10

7
Khatib al-Baghdadi, al-Sunnah Qabla al-Tadwi>n, (), hlm. 199
8
Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah kritis dan Tinjauan dengan
Pendekatan Ilmu Sejarah, (Jakarta : Bulan Bintang, 1995), hlm. 85-86
9
Syamsuddin Arif, Orientalis & Diabolisme Pemikiran, (Jakarta : Gema Insani
Press,2008), hlm. 27
10
Nuruddin Itr, Manhaj al-Naqd fi Ulu>m al-Hadis\, (Damaskus, Dar al-Fikr,1988), hlm.
242
4

Dalam kritik sanad hadits, kredibilitas dan kapabilitas seorang rawi

menjadi mutlak diteliti guna menentukan apakah hadits tersebut shahih atau

dhaif. Cabang ilmu hadits yang konsen mengupas keadaan rawi disebut ilmu rija>l

yakni suatu cabang ilmu yang membahas tentang periwayat hadits baik nama dan

kepribadiannya yang berimplikasi diterima atau ditolak ucapan dan

periwayatannya11, termasuk dalam pembahasan ilmu rija>l adalah informasi al-

jarh wa al-ta’dil.

Idealnya, penilaian terhadap seorang rawi dilakukan secara objektif.

Namun, tidak menutup kemungkinan adanya pengaruh subjektifitas dalam

penilaian tersebut, khususnya dalam hal kritikan atau naqd al-tajri>h. Menurut Ibn

Daqiq al-Id (w. 702 H), dimungkinkan ada lima perkara yang mendorong

seseorang melontarkan kritikan kepada orang lain : 1. Hawa nafsu atau ego

pribadi. 2. Perbedaan keyakinan. 3. Perselisihan. 4. Bicara tanpa mengetahui atau

mengenal. 5. Tuduhan semena-mena berdasar dugaan semata12.

Berpijak pada kajian kritis sanad, para rawi hadits kemudian

diklasifikasikan kedalam empat golongan. Yakni : 1. Rawi yang disepakati

ketsiqahannya (muttafaq ala> taus\i>qih) 2. Rawi s\iqah yang didhaifkan dalam

keadaan tertentu (al-s\iqa>h alladzina dhu’ifu> fi> ha>lin mu’ayyan, 3. Rawi yang

disepakati dhaifnya (muttafaq ala> tad}’i>fih) 4. Mukhtalaf fih13.

11
Ali Khomnai, Ushul al-Arba’ah fi ‘Ilm al-Rijal (), hlm. 5
12
Ibn Daqi>q al-I>d, al-Iqtira>h fi Baya>n al-Ishthila>h, ed. Qahthan Abdul al-Rahman al-
Dauri (Yordania : Da>r al-Ulum, 2007), hlm. 436-451
13
Arif Chasanul Muna, Metode Penelitian Hadis Beragam Versi, (Pekalongan :
Mahabbah Press, 2015), hlm. 60
5

Dari pengelompokan tersebut, dapat diindikasikan derajat periwayatan

rawi. Rawi yang disepakati s\iqah jelas indikasi riwayatnya shahih, sedangkan

rawi yang disepakati dha’if cenderung tertolak riwayatnya. Namun, jika rawi

yang diperselisihkan (mukhtalaf fih), perlu penelitian lebih lanjut untuk

menentukan tarjihnya. Salah satu rawi yang diperselisihkan s\iqah-nya adalah

Ahmad bin Isa al-Mishri.

Ahmad bin Isa al-Mishri atau dikenal juga al-Tustari karena berdagang

ke daerah Tustar,14 adalah salah satu Huffa>z} yang pindah ke Baghdad15. Beliau

meriwayatkan hadits dari Mufad}d}al bin Fad}a>lah al-Mishri, D{ima>m bin Ismail al-

Ma’a>furi, Rusydain bin Sa’ad al-Mahri, Abdullah bin Wahb al-Qursyi dan Azhar

bin Sa’ad al-Samani.16 Riwayat beliau dimuat dalam kitab-kitab inti yaitu :

shahih Bukhari, shahih Muslim, sunan al-Nasa’i, sunan Ibn Majah dan sunan

Darimi17. Ada cerita yang masyhur tentang beliau, yakni mengenai isu yang

didengar Abu Hatim al-Razi bahwa sesungguhnya beliau hanya membeli kitab-

kitab Ibn Wahb dan kitab Mufadhal, dan tidak menerima periwayatan langsung

dari keduanya, namun dalam meriwayatkan beliau memakai shighat tahammul

‫ﺣﺪﺛﻨﺎ‬.18 Ada pula cerita pengingkaran Abu Zur’ah tentang derajat keshahihan

14
Khatib Baghdadi, Ta>ri>kh Madinat al-Sala>m,tahqiq oleh Dr.Basyar ‘Awad Ma’ruf
(Beirut : Dar al-gharb al-Islami,2001), hlm. 450
15
Abu Zur’ah, al-Baya>n wa al-Taud}i>h liman Ukhrija Lahu fi al-Shahih wa Mussa
bid}urbin min al-Takhri>j, tahqiq Kamal Yusuf (Beirut : Dar al-Janan,1990), hlm. 40
16
Khatib Baghdadi, Ta>ri>kh Madinat al-Sala>m,tahqiq Dr. Basyar ‘Awad Ma’ruf (Beirut
: Dar al-gharb al-Islami, 2001), hlm. 450
17
Takhrij menggunakan program maktabah syamilah.
18
Ibn Hajar al-Asqalani, Tahz\ib al-Tahz\ib juz.1 hlm. 39
6

hadits riwayat beliau dalam kitabnya imam Muslim, namun setelah mendapat

penjelasan dari imam Muslim, Abu Zur’ah juga meriwayatkan19.

Merujuk catatan Ibn Daqiq mengenai faktor yang mungkin mendasari

kritikan, maka perlu diteliti kembali apabila ditemui rawi yang mukhtalaf fi>h,

sebab bisa saja jarh yang dilontarkan berdasar indikasi tersebut di atas. Hal inilah

yang mendorong penulis untuk menelusuri lebih lanjut objektifitas penilaian jarh

wa ta’dil terhadap Ahmad bin Isa al-Mishri. Dimana Ibn Hibban menggolongkan

beliau s\iqah20, sedangkan Yahya bin Ma’in menilai beliau kaz\z\a>b21. Dua

penilaian yang berseberangan dan jelas berpengaruh pada akseptabilitas hadits

yang diriwayatkan.

B. Rumusan Masalah

Dari paparan yang menjadi latar belakan penulisan proposal ini, kami

menggantungkan beberapa pertanyaan yang menjadi masalah pokok. Yaitu :

1. Bagaimana biografi Ahmad bin Isa al-Mishri?

2. Bagaimana penilaian Yahya bin Ma’in, Ibn Hibban dan ulama Jarh Ta’dil

terhadap Ahmad bin Isa al-Mishri.?

3. Apa yang mempengaruhi perbedaan penilaian ulama Jarh Ta’dil terhadap

Ahmad bin Isa al-Mishri dan implikasinya terhadap periwayatan Ahmad

bin Isa. Dan adakah bukti yang memperkuat pendapat masing-masing?

19
Al-Mizzi, Tahz\i>b al-Kama>l fi Asma> al-Rija>l, ed Basyar Awdh Ma’ruf (Baghdad :
Muassasah al-Risalah), hlm. 420
20
Ibn Hajar al-Asqalani, Tahz\i>b al-Tahz\i>b juz.1 hlm 39
21
Ibid.,
7

C. Batasan Masalah

Agar penulis lebih fokus dalam penelitian, maka penulis memberikan

batasan-batasan masalah. Disini penulis membatasi bahasan pada sosok Ahmad

bin Isa al-Mishri sebagai objek penelitian dan berusaha menampung semua

penilaian ulama jarh wa ta’di>l yang ditujukan kepada beliau untuk melengkapi

penilaian Yahya bin Ma’in dan Ibn Hibban sebagai rujukan dasar.

Hal ini dimaksudkan untuk membuktikan objektifitas penilaian jarh wa

ta’di>l, namun bila fakta yang didapat menunjukkan penilaian yang cenderung

berimbang maka analisa yang penulis lakukan dalam menarik kesimpulan dengan

membanding kuantitas jarh dan ta’di>l. Sesuai kaidah penggunaan jarh wa ta’di>l.

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Disamping menjawab rumusan masalah di atas, penelitian ini

mempunyai tujuan teoritis dan fungsionalis.

1. Tujuan teoritis penelitian ini dimaksudkan mencari bukti akan

objektifitas penilaian jarh ta’dil. Sedangkan

2. Tujuan fungsionalnya diharapkan tulisan kami ini dapat menambah

wawasan tentang seluk beluk ilmu rija>l.

Manfaat yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah peneliti dapat

menggali lebih banyak informasi mengenai manhaj al-muhaddis\u>n dalam

kritik hadits serta mempunyai pegangan untuk tidak terpengaruh kritikan

orientalis mengenai hadits karena kurang lengkapnya metode yang mereka

pakai serta pembenaran yang ilusif untuk mendiskreditkan validitas dan

otentisitas hadits.
8

E. Tinjauan Pustaka

Dari penelusuran, penulis sajikan beberapa karya dengan topik pembahasan

mirip dengan penelitian yang akan penulis sajikan yakni:

Pertama, Thesis oleh Abdul Aziz Muttaqin (UIN Sunan Kalijaga,

2012) dengan judul “Pengaruh Ideologi Dalam Penilaian Kritikus Hadis

(Telaah Atas Penilaian Ibnu Abi Hatim al-Razi Terhadap Rawi-rawi Hadis

Dalam Kitab al-Jarh wa al-Ta'dil)”. Dalam skripsi ini, penulisnya menjadikan

Ibn Abi Hatim al-Razi sebagai objek kajian tentang pengaruh ideologinya

dalam menilai para rawi.

Kedua, thesis Ahmad Isnaeni (Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah,

2003) “Pengaruh Bid’ah Dalam Al-Jarh Wa Al-Ta’dil”,. Penulis memaparkan

tentang Para ulama kritik hadits memberi penilaian secara kritis terhadap

pribadi-pribadi periwayat ahli bid‘ah. Secara umum perbuatan bid‘ah

memiliki pengaruh terhadap kepribadian periwayat dan riwayatnya. Untuk

mengetahui dampak dari perbuatan bid‘ah dapat dilihat pada kesimpulan

ulama yang menolak secara tegas riwayat ahli bid‘ah yang telah dikafirkan

akibat perbuatannya.

Ketiga, buku karya Dr. Sa’diy Mahdiy al-Hasyimi “Ikhtilaf Aqwal Al-

Nuqad Fi Al-Rawat Al-Mukhtalaf fih Fiihim Ma’a Dirasat Hadzihi Al-

Dhohirah ‘Inda Ibn Ma’in”,. Dalam buku ini kesimpulan yang dipaparkan

penulis yaitu : 1. Sangatlah penting untuk mengumpulkan seluruh penilaian

jarh ta’dil terlebih dari para kritikus rijal dari berbabagai sumber. 2. Adanya

usaha sebagian mahasiswa program doktoral dalam meneliti perselisihan


9

pendapat tentang seorang rawi dari seluruh kritikus, serta mencari kecocokan

dari perbedaan yang ada berdasar pendapat dan kaidah yang dipakai. 3. Tidak

ada pertentangan diantara pendapat-pendapat Yahya Ibn Ma’in yang berbeda

terhadap seorang rawi, apabila seluruh pendapatnya dikumpulkan secara utuh.

Hal itu menjadi bentuk ijtihad pendapatnya terhadapat rawi yang dimaksud

setelah menimbang ‘adalah dan s\iqah-nya, atau adanya dua penilaian

terhadap seorang rawi dimana pendapat yang satu atas periwayatan tertentu

dan pendapat kedua merupakan penilaian secara umum dari periwayatan yang

lainnya.

Posisi penulis yang menjadi pembeda dibanding karya-karya tersebut di atas

adalah objek penelitian yang penulis angkat yakni penilaian ulama jarh wa

ta’di>l terhadap rawi Ahmad bin Isa al-Mishri dan mencoba mengungkap

pengaruh yang mendasari perbedaan penilaian tersebut lalu melakukan tarji>h

dari perbedaan penilaian yang ada untuk mengambil kesimpulan atas

akseptabilitas hadits yang diriwayatkan.

F. Kerangka Teori

Komponen sanad tidak dapat diabaikan ketika membahas

otentisitas hadits22. Sebab keshahihan hadits juga didasari dari keshahihan

matan dan keshahihan sanadnya. Dan faktor kesahihan sanad lebih

22
Arif Chasanul Muna, Metode Penelitian Hadis Beragam Versi ,(Pekalongan :
Mahabbah Press, 2015), hlm. 59
10

diprioritaskan dibanding faktor matan, sebab secara logis apabila rawi-rawi

dalam sanad berkualitas shahih, kemungkinan kesalahan matan sangat kecil.

Menelaah kualitas sanad, pasti berhubungan dengan ilmu rija>l.

Kitab-kitab rija>l memberikan banyak informasi tentang rawi untuk diteliti,

sehingga dapat disimpulkan kualitas rawi yang dimaksud, terutama informasi

penilaian jarh wa ta’di>l rawi tersebut.

Tentu tidak sulit menentukan kualitas rawi, apabila rawi tersebut

disepakati ketsiqahannya maupun kedhaifannya. Ulama sepakat, jika semua

kritikus menilai ta’dil terhadap seorang rawi, maka riwayatnya diterima

secara mutlak.23 Namun, apabila terdapat perbedaan penilaian jarh wa ta’di>l

pada diri rawi, sebagian kritikus menilai terpuji dan sebagian mencela,

bagaimana melakukan tarji>h-nya24.

Penilaian kritik terhadap rawi bisa saja dipicu oleh faktor : 1. Hawa

nafsu atau ego pribadi. 2. Perbedaan keyakinan. 3. Perselisihan. 4. Bicara

tanpa mengetahui atau mengenal. 5. Tuduhan semena-mena berdasar dugaan

semata25. itulah sebabnya para ulama menyepakati adanya kaidah jarh wa

ta’di>l.

Kaidah jarh wa ta’di>l menerangkan bahwa penilaian ta’dil dapat

diterima meskipun tanpa memberikan alasan kenapa dinilai demikian.

Sedangkan, ketika penilaian terhadap rawi lebih cenderung men-tajri>h, maka

23
Umar I<man Abu Bakar, al-Ta’si>s fi Fanni dira>sat al-Asa>ni>d, (Riyadh : Maktabah al-
Ma’arif,), hlm. 102
24
Muhammad Abdul al-Hayyi al-Laknawi, al-Raf’u wa al-Takmi>l fi al-Jarh wa al-Ta’dil.
Ed. Abdul Fattah Abu> Ghuddah (Beirut : Da>r al-Basyair al-Islamiyah :2004), hlm. 265
25
Ibn Daqi>q al-I>d, al-Iqtira>h fi Baya>n al-Is}thila>h, ed. Qahthan Abdul al-Rahman al-Dauri
(Yordania : Da>r al-Ulum, 2007), hlm. 436-451
11

harus disertakan keterangan yang jelas mengenai sebab-sebab jarh-nya26.

Apabila ada seorang rawi yang di-ta’dil tapi juga di-jarh, maka pendapat yang

masyhur akan mendahulukan jarh dibanding ta’di>l dengan syarat jarh-nya

dijabarkan penyebabnya. Namun bila jarh tidak disertakan alasan-alasannya,

maka penilaian ta’di>l-lah yang diambil27.

Disinilah, penulis merasa perlu mendalami lebih jauh hasil penilaian

terhadap rawi mukhtalaf fih, agar penulis mempunyai argumen yang kuat

dalam menyikapi dan menyimpulkan riwayat dari rawi mukhtalaf fi>h dan

implikasi diterima atau tertolak haditsnya.

G. Metode Penelitian

1. Metode dan Pendekatan penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode penelitian

kualitatif atau penelitian yang bermaksud memahami fenomena yang dialami

obyek penelitian.28 Setiap kegiatan ilmiah untuk lebih terarah dan

rasional diperlukan suatu metode yang sesuai dengan obyek yang dikaji.

Karena metode berfungsi sebagai cara mengerjakan sesuatu guna

mendapatkan hasil yang memuaskan, seperti yang diinginkan oleh setiap

peneliti. Berdasarkan asumsi di atas, penulis menggunakan hal-hal tersebut

di bawah ini:

26
Mahmud Thahhan, Us}ul al-Takhri>j wa Dira>sat al-Asa>ni>d (Riyadh : Maktabah al-
Ma’arif li al-Nasyri wa al-Tauzi’,1996), hlm. 142
27
Ibid., hlm. 142
28
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung : Remaja Rosdakarya,
2006), hlm. 6
12

a. Jenis Penelitian

Untuk mendapatkan data yang diperlukan, penulis

menggunakan jenis penelitian kepustakaan atau library research yakni

penelitian terhadap literatur-literatur, buku-buku, catatan-catatan dan

laporan-laporan yang ada hubungannya dengan masalah yang akan

diteliti29, karena data yang dibutuhkan dalam penelitian ini berasal

dari bahan pustaka.

b. Sifat Penelitian

Sifat penelitian yang digunakan dalam pemaparan

explanation adalah deskriptif-analitis. Maksud dari deskriptif30-

analitis disini adalah, menjelaskan data-data yang diteliti

kemudian menganalisanya dengan konsentrasi studi jarh wa ta’dil,

serta membangun keterkaitan pribadi kritikus hadits terhadap hasil

penilaian jarh wa ta’dil-nya.

2. Sumber data

Sumber data penelitian ini adalah kitab-kitab rija>l yang memuat

penilaian jarh wa ta’dil Ahmad bin Isa al-Mishri, terutama kitab tahz\i>b al-

tahz\ib karya imam Ibn Hajar al-Asqalani sebagai sumber primer.

Sedangkan kitab yang lainnya kami jadikan sebagai sumber skunder.

29
M. Nazir. Metode Penelitian, cetakan ke-5, (Jakarta, Ghalia Indonesia, 2003), hlm. 27
30
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan, Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan
R&D, (Bandung : Alfabeta, 2013), hlm. 6
13

3. Teknik pengumpulan data

Pengumpulan data dalam penelitian ini berbasis dokumen pustaka,

sebab informasi tentang objek penelitian hanya bisa digali melalui

kepustakaan31, dan tidak mungkin untuk menggali data melalu interview

maupun observasi. Adapun sumber data yang dipakai dalam penelitian ini

antara lain : Kitab-kitab rijal untuk melacak biografi tokoh yang terkait

objek penelitian, Kitab-kitab jarh wa ta’di>l guna menginventarisir

penilaian para kritikus hadits terhadap Ahmad bin Isa, Kitab-kitab takhri>j

digunakan untuk melacak hadits-hadits yang diriwayatkan Ahmad bin Isa.

Serta sumber-sumber lain yang mendukung penelitian ini

4. Metode Analisi Data

Metode yang dipakai penulis dalam penelitian ini adalah

deduktif-kualitatif dengan mengumpulkan sebanyak-banyaknya informasi

kemudian menganalisa temuan-temuan yang didapat untuk menentukan

kesimpulan. Termasuk penelitian kualitatif karena peneliti melakukan

“audit trail”32 yakni pemeriksaan ulang untuk menyimpulkan tingkat

objektifitas jarh wa ta’dil.

31
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian : suatu pendekatan praktik, (Jakarta : PT
Rineka Cipta, 2010), hlm. 274
32
Ibid.., hlm. 27
14

H. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan pembahasan penelitian ini, perlu skema pembahasan

yang sistematis. Dalam hal ini peneliti membaginya dalam lima bab. Berikut

peneliti uraikan sistematika penulisannya sebagai berikut :

Bab pertama, terdiri dari Pendahuluan yang meliputi : latar belakan

masalah, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,

kerangka teori, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika

penulisan.

Bab kedua, dalam bab ini dipaparkan mengenai ilmu rijal, termasuk

sejarah, perkembangan dan urgensinya. Dipaparkan juga kaidah-kaidah jarh

wa ta’dil dalam menyikapi penilaian kritikus terhadap rawi.

Bab ketiga, pada bab ini diinformasikan biografi masing-masing rawi

yang menjadi penelitian.

Bab keempat, dalam bab ini dibahas analisa yang menjadi pemicu

penilaian yang berbeda terhadap Ahmad bin Isa al-Mishri serta dilakukan

tarjih untuk menentukan pendapat siapa yang lebih rajih.

Bab kelima, merupakan bab terakhir yang berisi kesimpulan, saran dan

penutup.

Anda mungkin juga menyukai