PENDAHULUAN
dihimpun hingga abad kedua hijriyah, dan periwayatan hadits dilakukan secara oral
transmition.
Jeda waktu dari masa nabi hingga masa tadwin hadits, bukanlah kurun
hadits, berawal sejak zaman nabi Muhammad saw masih hidup. Beliau suatu
waktu pernah melarang para sahabat menulis selain al-qur’an sebagaimana telah
diriwayatkan oleh imam Muslim (204 – 261 H) dan Imam Ahmad (164 – 241 H)
ُ ْ ًْ َ
َﻟﻘ ْﺮآن َ َﻤ ْﻦ َﻛﺘَﺐ َ ُُْ ْ َ َ ََ َ َ َ َْ َ ُ َ َ
َ
ﺷﻴﺄ إِﻻ ا )ﻻ ﺗ ﺘﺒﻮا: أن ا ِ ﺻ اﷲ ﻋﻠﻴ ِﻪ وﺳﻠﻢ ﻗﺎل
ُ ُ ْ َْ َ َ ْ ُ ْ َْ َ ًْ َ َ
( ﺤﻪ اﻟﻘﺮآن ﻓﻠﻴﻤ ﺷﻴﺄ
1
Nuruddin Itr, Manhaj al-Naqd fi Ulum al-Hadis\, (Damaskus: Dar al-Fikr,1988), hlm. 27
2
Mustafa Azami, Studies in Hadits Methodology dan Literature, (Riyadh: University of
Riyadh, 1977), hlm. 25
3
Nuruddin Itr, Manhaj al-Naqd fi Ulum al-Hadis\, (Damaskus: Dar al-Fikr,1988), hlm. 41
1
2
Selain hadits tersebut, nabi Muhammad saw juga memberi sinyalemen kepada
para sahabat untuk tidak sembarangan berdalih atas nama nabi sehingga para
َ ُ َ َ ْ َ ْ َََْ َ َ َ َ َ ْ َ
sebagaimana sabda beliau "ﺎر
ِ ”ﻣﻦ ﻛﺬب ﻋ ﻓﻠﻴ ﺒﻮأ ﻣﻘﻌﺪه ِﻣﻦ ا
4
hadits dalam bentuk catatan pribadi. Bagi sahabat-sahabat pilihan yang diakui
kemampuannya dalam hal tulis-menulis, semisal Zaid bin Tsabit (w. 45 H) dan
Abu Hurairah (19 SH – 59 H), justru nabi Muhammad saw memberi izin untuk
menulis apa yang disampaikan beliau.5 Akan tetapi, tulisan yang mereka simpan
periwayatan mereka memakai sistem sanad secara oral. Sebab kebijakan untuk
menghimpun hadits baru diperintahkan pada masa kekhalifahan Umar bin Abdul
4
Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, Shahih Bukhari, Juz I (Beirut : Da>r al-Fikr, 2000),
hlm. 35
5
Nuruddin Itr, Manhaj al-Naqd fi Ulum al-Hadis\, (Damaskus, Dar al-Fikr,1988), hlm. 41
6
Muhammad Abu Zahwa, al-Hadis\ wa al-Muhaddis\u>n (Riyadh : Syirkah Thoba’ah al-
Arabiyah al-Su’udiah, 1984), hlm. 66
3
َ َْ ّْ ُ َ َ َْ َ َ َْ َ َ َْ َ َ َ ُ َ َ ََ َ َ
اﷲ ﻔ َﺮ ﻚ َو ِ ر ِﺘﻚ و ِﻮا ِ ﻳﻚ و ِﻷﻫ ِﻠﻚ و ِ ِﺸﻴﻌ ِﺘﻚ و ِﻤ ِﺤ ِ ِﺷﻴﻌ ِﺘﻚ ﻳَﺎ ِ اِن
“Hai Ali, sesungguhnya Allah mengampuni kamu, anak-anak kamu, kedua orang
tuamu, keluargamu, pengikutmu, dan orang-orang yang mencintai pengikutmu”.7
Hadits palsu tersebut dimaksudkan untuk memuliakan sayyidina Ali ra, keluarga
dilakukannya penelitian sanad hadits, sehingga umat Islam lebih selektif untuk
menerima hadits dan pemakaian sistem sanad diperketat lagi. Empat faktor
penting yang mendorong penelitian sanad hadits yaitu : [1] hadits sebagai salah
satu sumber ajaran Islam; [2] tidak seluruh hadits tertulis pada zaman Nabi; [3]
sekarang (khalaf), meyakini tidak semua hadits boleh diterima dan tidak pula
semua mesti ditolak.9 Hanya hadits shahih saja yang bisa diterima tanpa
keraguan, yaitu hadits yang bersambung sanadnya, disampaikan oleh orang yang
adil dan d}a>bit} hingga akhir sanad, tidak ada sya>z\ maupun ‘illat.10
7
Khatib al-Baghdadi, al-Sunnah Qabla al-Tadwi>n, (), hlm. 199
8
Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah kritis dan Tinjauan dengan
Pendekatan Ilmu Sejarah, (Jakarta : Bulan Bintang, 1995), hlm. 85-86
9
Syamsuddin Arif, Orientalis & Diabolisme Pemikiran, (Jakarta : Gema Insani
Press,2008), hlm. 27
10
Nuruddin Itr, Manhaj al-Naqd fi Ulu>m al-Hadis\, (Damaskus, Dar al-Fikr,1988), hlm.
242
4
menjadi mutlak diteliti guna menentukan apakah hadits tersebut shahih atau
dhaif. Cabang ilmu hadits yang konsen mengupas keadaan rawi disebut ilmu rija>l
yakni suatu cabang ilmu yang membahas tentang periwayat hadits baik nama dan
jarh wa al-ta’dil.
penilaian tersebut, khususnya dalam hal kritikan atau naqd al-tajri>h. Menurut Ibn
Daqiq al-Id (w. 702 H), dimungkinkan ada lima perkara yang mendorong
seseorang melontarkan kritikan kepada orang lain : 1. Hawa nafsu atau ego
keadaan tertentu (al-s\iqa>h alladzina dhu’ifu> fi> ha>lin mu’ayyan, 3. Rawi yang
11
Ali Khomnai, Ushul al-Arba’ah fi ‘Ilm al-Rijal (), hlm. 5
12
Ibn Daqi>q al-I>d, al-Iqtira>h fi Baya>n al-Ishthila>h, ed. Qahthan Abdul al-Rahman al-
Dauri (Yordania : Da>r al-Ulum, 2007), hlm. 436-451
13
Arif Chasanul Muna, Metode Penelitian Hadis Beragam Versi, (Pekalongan :
Mahabbah Press, 2015), hlm. 60
5
rawi. Rawi yang disepakati s\iqah jelas indikasi riwayatnya shahih, sedangkan
rawi yang disepakati dha’if cenderung tertolak riwayatnya. Namun, jika rawi
Ahmad bin Isa al-Mishri atau dikenal juga al-Tustari karena berdagang
ke daerah Tustar,14 adalah salah satu Huffa>z} yang pindah ke Baghdad15. Beliau
meriwayatkan hadits dari Mufad}d}al bin Fad}a>lah al-Mishri, D{ima>m bin Ismail al-
Ma’a>furi, Rusydain bin Sa’ad al-Mahri, Abdullah bin Wahb al-Qursyi dan Azhar
bin Sa’ad al-Samani.16 Riwayat beliau dimuat dalam kitab-kitab inti yaitu :
shahih Bukhari, shahih Muslim, sunan al-Nasa’i, sunan Ibn Majah dan sunan
Darimi17. Ada cerita yang masyhur tentang beliau, yakni mengenai isu yang
didengar Abu Hatim al-Razi bahwa sesungguhnya beliau hanya membeli kitab-
kitab Ibn Wahb dan kitab Mufadhal, dan tidak menerima periwayatan langsung
ﺣﺪﺛﻨﺎ.18 Ada pula cerita pengingkaran Abu Zur’ah tentang derajat keshahihan
14
Khatib Baghdadi, Ta>ri>kh Madinat al-Sala>m,tahqiq oleh Dr.Basyar ‘Awad Ma’ruf
(Beirut : Dar al-gharb al-Islami,2001), hlm. 450
15
Abu Zur’ah, al-Baya>n wa al-Taud}i>h liman Ukhrija Lahu fi al-Shahih wa Mussa
bid}urbin min al-Takhri>j, tahqiq Kamal Yusuf (Beirut : Dar al-Janan,1990), hlm. 40
16
Khatib Baghdadi, Ta>ri>kh Madinat al-Sala>m,tahqiq Dr. Basyar ‘Awad Ma’ruf (Beirut
: Dar al-gharb al-Islami, 2001), hlm. 450
17
Takhrij menggunakan program maktabah syamilah.
18
Ibn Hajar al-Asqalani, Tahz\ib al-Tahz\ib juz.1 hlm. 39
6
hadits riwayat beliau dalam kitabnya imam Muslim, namun setelah mendapat
kritikan, maka perlu diteliti kembali apabila ditemui rawi yang mukhtalaf fi>h,
sebab bisa saja jarh yang dilontarkan berdasar indikasi tersebut di atas. Hal inilah
yang mendorong penulis untuk menelusuri lebih lanjut objektifitas penilaian jarh
wa ta’dil terhadap Ahmad bin Isa al-Mishri. Dimana Ibn Hibban menggolongkan
beliau s\iqah20, sedangkan Yahya bin Ma’in menilai beliau kaz\z\a>b21. Dua
yang diriwayatkan.
B. Rumusan Masalah
Dari paparan yang menjadi latar belakan penulisan proposal ini, kami
2. Bagaimana penilaian Yahya bin Ma’in, Ibn Hibban dan ulama Jarh Ta’dil
19
Al-Mizzi, Tahz\i>b al-Kama>l fi Asma> al-Rija>l, ed Basyar Awdh Ma’ruf (Baghdad :
Muassasah al-Risalah), hlm. 420
20
Ibn Hajar al-Asqalani, Tahz\i>b al-Tahz\i>b juz.1 hlm 39
21
Ibid.,
7
C. Batasan Masalah
bin Isa al-Mishri sebagai objek penelitian dan berusaha menampung semua
penilaian ulama jarh wa ta’di>l yang ditujukan kepada beliau untuk melengkapi
penilaian Yahya bin Ma’in dan Ibn Hibban sebagai rujukan dasar.
ta’di>l, namun bila fakta yang didapat menunjukkan penilaian yang cenderung
berimbang maka analisa yang penulis lakukan dalam menarik kesimpulan dengan
membanding kuantitas jarh dan ta’di>l. Sesuai kaidah penggunaan jarh wa ta’di>l.
Manfaat yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah peneliti dapat
otentisitas hadits.
8
E. Tinjauan Pustaka
(Telaah Atas Penilaian Ibnu Abi Hatim al-Razi Terhadap Rawi-rawi Hadis
Ibn Abi Hatim al-Razi sebagai objek kajian tentang pengaruh ideologinya
tentang Para ulama kritik hadits memberi penilaian secara kritis terhadap
ulama yang menolak secara tegas riwayat ahli bid‘ah yang telah dikafirkan
akibat perbuatannya.
Ketiga, buku karya Dr. Sa’diy Mahdiy al-Hasyimi “Ikhtilaf Aqwal Al-
Dhohirah ‘Inda Ibn Ma’in”,. Dalam buku ini kesimpulan yang dipaparkan
jarh ta’dil terlebih dari para kritikus rijal dari berbabagai sumber. 2. Adanya
pendapat tentang seorang rawi dari seluruh kritikus, serta mencari kecocokan
dari perbedaan yang ada berdasar pendapat dan kaidah yang dipakai. 3. Tidak
Hal itu menjadi bentuk ijtihad pendapatnya terhadapat rawi yang dimaksud
terhadap seorang rawi dimana pendapat yang satu atas periwayatan tertentu
dan pendapat kedua merupakan penilaian secara umum dari periwayatan yang
lainnya.
adalah objek penelitian yang penulis angkat yakni penilaian ulama jarh wa
ta’di>l terhadap rawi Ahmad bin Isa al-Mishri dan mencoba mengungkap
F. Kerangka Teori
22
Arif Chasanul Muna, Metode Penelitian Hadis Beragam Versi ,(Pekalongan :
Mahabbah Press, 2015), hlm. 59
10
pada diri rawi, sebagian kritikus menilai terpuji dan sebagian mencela,
Penilaian kritik terhadap rawi bisa saja dipicu oleh faktor : 1. Hawa
ta’di>l.
23
Umar I<man Abu Bakar, al-Ta’si>s fi Fanni dira>sat al-Asa>ni>d, (Riyadh : Maktabah al-
Ma’arif,), hlm. 102
24
Muhammad Abdul al-Hayyi al-Laknawi, al-Raf’u wa al-Takmi>l fi al-Jarh wa al-Ta’dil.
Ed. Abdul Fattah Abu> Ghuddah (Beirut : Da>r al-Basyair al-Islamiyah :2004), hlm. 265
25
Ibn Daqi>q al-I>d, al-Iqtira>h fi Baya>n al-Is}thila>h, ed. Qahthan Abdul al-Rahman al-Dauri
(Yordania : Da>r al-Ulum, 2007), hlm. 436-451
11
Apabila ada seorang rawi yang di-ta’dil tapi juga di-jarh, maka pendapat yang
terhadap rawi mukhtalaf fih, agar penulis mempunyai argumen yang kuat
dalam menyikapi dan menyimpulkan riwayat dari rawi mukhtalaf fi>h dan
G. Metode Penelitian
rasional diperlukan suatu metode yang sesuai dengan obyek yang dikaji.
di bawah ini:
26
Mahmud Thahhan, Us}ul al-Takhri>j wa Dira>sat al-Asa>ni>d (Riyadh : Maktabah al-
Ma’arif li al-Nasyri wa al-Tauzi’,1996), hlm. 142
27
Ibid., hlm. 142
28
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung : Remaja Rosdakarya,
2006), hlm. 6
12
a. Jenis Penelitian
b. Sifat Penelitian
2. Sumber data
penilaian jarh wa ta’dil Ahmad bin Isa al-Mishri, terutama kitab tahz\i>b al-
29
M. Nazir. Metode Penelitian, cetakan ke-5, (Jakarta, Ghalia Indonesia, 2003), hlm. 27
30
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan, Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan
R&D, (Bandung : Alfabeta, 2013), hlm. 6
13
maupun observasi. Adapun sumber data yang dipakai dalam penelitian ini
antara lain : Kitab-kitab rijal untuk melacak biografi tokoh yang terkait
penilaian para kritikus hadits terhadap Ahmad bin Isa, Kitab-kitab takhri>j
31
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian : suatu pendekatan praktik, (Jakarta : PT
Rineka Cipta, 2010), hlm. 274
32
Ibid.., hlm. 27
14
H. Sistematika Penulisan
yang sistematis. Dalam hal ini peneliti membaginya dalam lima bab. Berikut
penulisan.
Bab kedua, dalam bab ini dipaparkan mengenai ilmu rijal, termasuk
Bab keempat, dalam bab ini dibahas analisa yang menjadi pemicu
penilaian yang berbeda terhadap Ahmad bin Isa al-Mishri serta dilakukan
Bab kelima, merupakan bab terakhir yang berisi kesimpulan, saran dan
penutup.