Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN
Al-Qur'an merupakan sumber dari ajaran Islam dan menempati posisi sentral
dalam perkembangan dan pengembangan ilmu-ilmu keislaman. Maka pemahaman
terhadap ayat-ayat al-Qur'an melalui penafsiran-penafsirannya, mempunyai peranan
yang sangat besar bagi maju mundurnya umat, sekaligus penafsiran itu dapat
mencerminkan perkembangan serta corak pemikiran mereka.
Pada makalah ini akan membahas sejarah dan pemikiran tafsir di Indonesia pada
tafsir al-Misbah yang ditulis oleh M. Quraish Shihab, salah satu karya kitab tafsir ulama
Indonesia, yang mungkin sudah tidak terlalu asing bagi kita mendengarnya bahkan
sudah sering merujuk terhadap kitab tafsirnya. Pada bagian ini akan dibahas sejarah
tafsir al-Misbah, metodologi tafsir al-Misbah dan Pemikiran dan sisi keindonesian
tafsirnya.

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Tafsir Al-Misbah
1. Profil M. Quraish Shihab
Muhammad Quraish lahir pada tanggal 16 Februari 1944 di Rappang,
Sulawesi Selatan. Ia merupakan putra dari salah seorang guru besar dalam bidang tafsir
yaitu Prof. KH. Abdurrahma Shihab, pernah menjadi rektor IAIN Alaudin.
Abdurrahman Shihab juga merupakan salah seorang yang memiliki peran penting atau
pendiri sebuah Universitas Muslim Indonesia (UMI) di Ujung Pandang.1
Pendidikan formalnya dimulai dari sekolah dasar di Ujung Pandang,
kemudian dilanjutkan dengan sekolah menengah, sambil belajar agama di Pondok
Pesantren Dar Hadis al-Fiqhiyah di kota Malang, Jawa Timur. Pada tahun 1958, ketika
ia berusia 14 tahun ia dikirim oleh ayahnya ke al-Azhar Kairo Mesir untuk mendalami
studi keIslaman, dan diterima di kelas II Tsanawiyah al-Azhar. Setelah selesai, Quraish
Shihab berminat melanjutkan studinya di Universitas al-Azhar pada Jurusan Tafsir
Hadis Fakultas Ushuluddin, tetapi ia tidak diterima karena belum memenuhi syarat
yang telah ditetapkan karena itu ia bersedia untuk mengulang setahun guna
mendapatkan kesempatan studi di Jurusan Tafsir Hadis walaupun jurusan-jurusan lain
terbuka lebar untuknya. Pada tahun 1967 ia dapat menyelesaikan kuliahnya dan
mendapatkan gelar Lc. Karena “kehausannya” dalam ilmu al-Qur’an ia melanjutkan
kembali pendidikannya dan berhasil meraih gelar MA pada tahun 1968 untuk
spesalisasi di bidang tafsir al-Qur’an dengan tesis berjudul “al-I’jaz at-Tasyri’i al-
Qur’an al-Karim.
Pada tahun 1980 Quraish Shihab kembali ke Kairo, Mesir untuk melanjutkan
pendidikannya, ia mengambil spesialisasi dalam studi tafsir al-Qur’an, dalam kurun
waktu dua tahun ia berhasil meraih gelar doktor dengan disertasi yang berjudul “Nazhm
al-Durar li al-Biqa’I Tahqiq wa Dirasah” (suatu kajian terhadap kitab Nazhm ad-Durar
Karya al-Biqa’i) dengan predikat Summa Cum Laude dengan penghargaan Mumtaz
Ma’a Martabah al-Syarafal Ula.2
M. Quraish Shihab merupakan salah seorang penulis yang produktif yang
menulis berbagai karya ilmiah baik yang berupa artikel dalam majalah maupun yang
berbentuk buku yang diterbitkan. ia juga menulis berbagai wilayah kajian yang
menyentuh permasalahan hidup dan kehidupan dalam konteks masyarakat Indonesia
kontemporer. Adapun karya-karya beliau yang lain adalah: Tafsir al-
Manar:Keistimewaan dan kelemahannya (1984), Filsafat Hukum Islam (1987),
Mahkota Tuntunan Ilahi:Tafsir Surah al-Baqarah (1988), Membumikan al-Qur’an:
Fungsi dan peran wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (1992) dll.3

1 Saifuddin Herlambang Munthe, Studi Tokoh Tafsir Dari Klasik Hingga Kontemporer, IAIN
press, 2018, hal. 112
2 Saifuddin Herlambang Munthe, Studi Tokoh Tafsir…, hal. 112
3 M. Hasdin Has, Kontribusi Tafsir Nusantara Untuk Dunia: Analisis Metodologi Tafsir al-
Misbah karya M. Quraish Shihab,”dalam Jurnal Al-Munzir, Vol. 9 No 1 Tahun 2016, hal. 72

2
2. Latar Belakang Penulisan Tafsir al-Misbah
Maha karya yang telah di tulis M. Quraish Shihab ini, ialah kitab tafsir 30 juz,
dalam 15 jilid/volume. Sebuah kitab tafsir yang besar ini tentu tidak ditulis secara tiba-
tiba atau tanpa alasan. Merujuk kepada karya beliau tafsir al-Misbah, tafsir ini mulai
ditulis di Kairo-Mesir pada hari jum’at 4 Rabi’ al-Awwal 1420 H/ 18 Juni 1999 M dan
dirampungkan di Jakarta pada hari jum’at 8 Rajab 1423 H/5 September 2003.4
Lahirnya tafsir al-Misbah ini tidak terlepas dari keinginan Qurash Shihab untuk
membantu masyarakat, agar mampu memfungsikan al-Qur’an sebagai pedoman dalam
hidup. Karena merurutnya al-Qur’an tidaklah cukup sebagai bacaan saja. Al-Qur’an
selain bacaan hendaknya disertai dengan kesadaran akan keangungannya, pemahaman,
dan penghayatan yang disertai dengan tazakkur dan tadabbur. Kemudian lanjutnya, ia
berpendapat bahwa memang wahyu pertama memerintahkan membaca, bahkan kata
iqra’ diulang dia kali, tetapi ia juga mengandung makna telitilah, dalamilah, karena
dengan penelitian dan pendalaman manusia dapat meraih kebahagian sebanyak
mungkin. Kemudian ia mengutip Qs. Sād/38:29.5

‫آَيتِ ِه َولِيَ تَ َذ َّك َر أُولُو ْاْلَلْبَاب‬ ِ


ٌ َ‫كِت‬
َ ْ‫اب أَنْ َزلْنَاهُ إِلَي‬
َ ‫ك ُمبَ َار ٌك ليَدَّبَّ ُروا‬
Artinya “ini adalah sebuah kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan
berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran
orang-orang yang mempunyai pikiran.”
Kemudian ia juga mengutip firman Allah yang mengatakan bahwa al-Qur’an
menjelaskan bahwa di hari kemudian nanti Rasulullah akan mengadukan kepada Allah,
sebagaimana dalam QS. Al-Furqan/25:30. “Berkatalah Rasul:“Ya Tuhanku,
sesungguhnya kaumku menjadikan al-Qur’an ini suatu yang mahjura” (QS. AL-
Furqan/25:30). Menurut Ibnu Qayyim, banyak hal yang dicakup oleh kata mahjura,
antara lain: a. Tidak tekun mendengarkannya b. Tidak mengindahkan halal dan
haramnya walau dipercaya dan dibaca c. Tidak menjadikan rujukan dalam menetapkan
hukum menyangkut ushuluddin (prinsip-rinsip ajaran agama) dan rinciannya d. Tidak
berupaya memikirkan dan memahami apa yang dikehendakaki oleh Allah yang
menurunkannya e. Tidak menjadikannya sebagai obat bagi penyakit-penyakit kejiwaan.
Kemudian adanya desakan dari sekelompok masyarkat yang rindu terhadap
karya-karya baru M. Quraish Shihab. Hal ini terungkap dalam “kata penutup”
tafsirnya: “di Mesir sana , dari sekian banyak surat dalam berbagai topik yang penulis
terima, salah satu di antaranya menyatakan bahwa: “kami menunggu karya ilmiah pak
Quraish yang lebih serius”. Surat tersebut ditulis oleh penulis tidak dikenal, sungguh
mengugah hati dan membulatkan tekat penulis menyusun tafsir al-Misbah ini. 6

4
M. Quraish Shihab, Tafsir Tafsir Al-Mishbah Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur’an,
Jakarta: Lentera Hati, 2002, vol 1. hal. xiii, M. Hasdin Has, Kontribusi Tafsir Nusantara.., hal.73
5 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah,..Vol. 1. hal. vi
6 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah,..Vol. 1. hal. vi-vii

3
B. Metodologi Penafsiran
Metode merupakan wacana untuk melakukan sesuatu atau suatu cara yang
sistematis untuk mencapai tingkat pemahaman yang benar. Secara metodologis tafsir
al-Misbah mengunakan metode tahīlī (analitik), yakni metode menafsirkan ayat-ayat
al-Quran dengan cara urut atau tertib ayat dan surah sesuai dengan urutan yang terdapat
dalam mushaf, yakni dimulai dari surat al-Fatihah hingga surat an-Nas.7 Ia memberikan
penjelasan ayat dan surah secara terperinci dengan merujuk pada pendapat para ahli
tafsir, baik tentang struktur kalimat dan riwayat hadis yang berkaitan dengan
pembahasan.8 Kemudian dalam hal tafsir tahlili ia tidak pindah ke ayat berikutnya
sebelum menerangkan segala segi yang berkaitan dengan ayat yang ditafsirkannya,
kemudian ia memasukkan ide-ide dan gagasan-gagasan intelektualnya.9
Disisi lain M. Quraish Shihab juga menyadari dalam “sekapur sirih” Nya bahwa
metode tahlili memiliki berbagai kelemahan, berdasarkan pengalamannya menafsirkan
al-Qur’an dalam karya sebelumnya “Tafsir al-Qur’an al-Karim” yang diterbitkan pada
tahun 1997. Metode tafsir tahlili seringkali menimbulkan banyak pengulangan terutama
pada kandungan kosa kata atau pesan ayat atau surah yang sama dengan ayat atau surah
yang telah ditafsirkan.10
Maka dengan demikian dalam tafsir al-Misbah ini, ia berusaha menghidangkan
bahasan setiap surah dengan memperhatikan tujuan surah atau tema pokok , karena
menurut para pakar, setiap surah ada tema pokoknya kemudian pada tema itulah
berkisar uraian ayat-ayatnya. Oleh karena itu dapat dikatakan ia juga mengunakan
metode maudhu’i (tematik). Maka dalam menafsirkan beliau mengkombinasikan dua
metode penafsiran tahlili dan maudhui.11
Kemudian ia juga menyebutkan pentingnya munasabah atau korelasi antar ayat dan
surah. Berdasarkan pendapat ulama yang menekuni ‘Ilmu Munasabat al-Qur’an,
mengemukakan paling tidak membuktikan keserasian dimaksud dalam enam hal:
a. Keserasian kata demi kata dalam satu surah
b. Keserasian kandungan ayat dengan fashilat yakni penutup ayat
c. Keserasian hubungan ayat dengan ayat berikutnya
d. Keserasian uraian awal (mukadimah) saru surah dengan penutupnya
e. Keserasian tema surah dengan nama surah.12

7 Ahmad Syadali Dan Ahmad Rofi’i, Ulum Quran II, Bandung: Pustaka Setia, 1997, hal. 67.
8 Dedi Junaidi, “Konsep dan penerapan Takwil Muhammad Quraish Shihab dalam Tafsir Al-
Misbah,” dalam Jurnal Wawasan: Jurnal Ilmiah dan Sosial Budaya, Vol. 02 No 2 Tahun 2017, hal. 227
9 M. Hasdin Has, Kontribusi Tafsir Nusantara...,hal. 78
10 M. Quraish Shihab, Tafsir Tafsir Al-Mishbah Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur’an,
Jakarta: Lentera Hati, 2002, vol 1. hal. viii-ix
11 Sakirman, “Konstruk Metodologi Tafsir Modern: Telaah terhadap Tafsir Al-Manar, Al-
Maraghi, dan Al-Misbah,”dalam Jurnal Hermeneutik: Jurnal Ilmu al-Qur’an dan Tafsir,Vol.10 No 2
Tahun 2016, hal. 290
12 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah,..Vol. 1. hal. xxii

4
Sedangkan bentuk penafsiran al-Misbah lebih menonjol pada tafsir bi ar-ra’yi,
karena dalam penafsirannya selalu diiringi dengan interpretasi akal atau ijtihad.
Sekalipun dia sendiri menyatakan dalam pengantarnya bahwa tafsir al-Misbah bukan
semata-mata hasil ijtihadnya:
“Akhirnya penulis merasa perlu menyampaikan kepada pembaca yang bahwa
apa yang dihidangkan disini bukan sepenuhnya hasil ijtihad penulis. Melainkan
hasil karya ulama-ulama terdahulu dan kontemporer, serta pandangan-
pandangan mereka sungguh banyak penulis nukil, khususnya pandangan pakar
tafsir Ibrahim Ibnu Umar al-Baqa’i (w. 887 H/1480 M) yang karya tafsirnya
ketika masih berbentuk manuskrip menjadi bahan disertasi penulis di
Universitas al-Azhar Kairo, dua puluh tahun yang lalu. Demikian pula karya
tafsir pemimpin tertinggi al-Azhar dewasa ini, Sayyid Muhammad Thanthawi,
juga Syekh Mutuwalli al-Sya’rawi, dan tidak ketinggalan Sayyid Quthub,
Muhammad Thahir Ibnu Asyur, Sayyid Muhammad Husein Thabathaba’i, serta
beberapa pakar tafsir yang lain”.13
Namun bukan berarti tidak mengunakan pendekatan tafsir bi al-ma’thūr.
Seperti beliau mengunakan sumber riwayat terlihat ketika menafsirkan surat al-Naba’
ayat sembilan belas ‫ت أَبْ َو ًاب‬
ْ َ‫الس َماءُ فَ َكان‬
َّ ‫ت‬ِ ‫ وفُتِ َح‬ditafsirkan dengan ayat pertama dari surah al-
َ
Infitar dan ayat pertama dari surah al-Insyiqaq.14
Adapun corak (al-laun) yang menonjol dalam tafsir al-Misbah adalah corak
ijtima’i atau kemasyarakatan.15 Sebab uraiannya berkaitan langsung dengan kehidupan
masyarakat serta usaha-usaha untuk menangulangi penyakit atau masalah berdasarkan
petunjuk ayat-ayat al-Qur’an, dan dengan mengemukakan tafsirnya dalam bentuk
bahasa yang mudah dimengerti. Sekalipun tanpa menafikan kemungkinan corak lainya
seperti yang ia sendiri pernah mengadakan penelitian karya-karya tafsir, menurutnya
corak-corak tafsir yang dikenal selama ini ialah corak sastra bahasa, filsafat dan teologi,
ilmiah, fiqih atau hukum, tasawuf, dan sastra budaya kemasyarakatan.16
Adapun teknik interpretasi yang digunakan M. Quraish Shihab ialah
interprestasi linguistik, interpretasi sitematis, interpretasi kultural dan interpretasi
sosio-historis.
1. Interpretasi linguistik, adalah interpretasi dengan mengunakan pengertian-
pengertian atau kaidah-kaidah bahasa.
2. Interpretasi sistematis, adalah pengambilan kandungan ayat berdasarkan
kedudukannya dalam surah tempat ia berada atau kedudukannya diantara
ayat-ayat sebelum dan sesudahnya atau dikenal dengan munasābat al-āyat.

13 M. Quraih Shihab, Tafsir al-Misbah,... Vol. 1 hal. xiii


14 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah... Vol.15. hal 15
15 Andi Rosadisatra, Metode Tafsir ayat-ayat Sains dan Sosial, Jakarta: Amzah, 2012, hal.
145.
16 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat, Bandung:Mizan,1995, 187, M. Hasdin Has Kontribusi Tafsir Nusantara,...hal. 78.

5
3. Interpretasi kultural ialah teknik mengunakan pengetahuan yang mapan
untuk memahami kandungan al-Qur’an.
4. Interpretasi sosio-historis ialah penafsiran mengunakan data sejarah
berkenaan dengan kehidupan masyarakat Arab dan tetangganya semasa al-
Qur’an diturunkan. Termasuk disini riwayat yang berkenaan dengan sebab
turunnya al-Quran.17
Kemudian Quraish Shihab juga menyetujui pendapat minoritas ulama yang
berpaham al-ibrah bi khusūs al-Sabab yang menekankan perlunya analogi qiyas untuk
menarik makna dari ayat-ayat yang memiliki latar belakang asbāb al-Nuzūl dengan
catatan qiyas tersebut harus memenuhi persyaratannya, terutama dalam hal faktor
waktu, kalau tidak ia tidak relevan untuk dianalogikan. Dengan demikian, menurut
Quraish Shihab, pengertian asbāb al-Nuzūl dapat diperluas mencakup kondisi sosial
pada masa turunnya al-Qur’an dan pemahamannya dapat dikembangkan melalui yang
pernah dicetuskan ulama terdahulu, dengan mengembangkan pengertian qiyas dengan
prinsip al-Maslahat al-Mursalah dan memberikan kemudahan dalam pemahaman
agama, sebagaimana pada masa rasul dan para sahabat.18
Dalam menafsirkan ayat-ayat suatu surah, biasanya beliau menempuh langkah-
langkah sebagai berikut, diantaranya:
a. Pada awal penulisan surat diawali dengan pengantar mengenai penjelasan
surat yang akan dibahas seperti jumlah ayat, tema-tema yang menjadi pokok
kajian dalam surat dan nama lain dari surat.
b. Penulisan ayat dikelompokan dalam tema-tema tertentu sesuai urutannya
dan diikuti dengan terjemahannya.
c. Menjelaskan kosa kata yang dipandang perlu, serta menjelaskan munasabah
ayat yang sedang ditafsirkan dengan ayat sebelum dan sesudahnya.
d. Menafsirkan ayat yang sedang dibahas, serta diikuti dengan beberapa
pendapat para mufassir lain dan menukil hadis nabi yang berkaitan dengan
ayat yang dibahas.19

C. Pemikiran dan Sisi Keindonesian Pengarangnya


Dalam bab ini penulis ingin memaparkan pemikiran autentik M. Quraish Shihab
yang berhubungan dengan karya monumentalnya Tafsir Al-Mishbah.
Masyarakat Islam dewasa ini pun mengagumi al-Qur’an. Tetapi sebagian kita
hanya berhenti dalam pesona bacaan ketika dilantunkan, seakan-akan kitab suci ini
hanya diturunkan untuk dibaca. Memang, wahyu pertama memerintahkan membaca
Iqra’bismi rabbika, bahkan kata iqra ’ diulanginya dua kali, tetapi ia juga mengandung
makna telitilah, dalamilah, karena dengan penelitian dan pendalaman itu manusia dapat
meraih kebahagiaan sebanyak mungkin.20

17 M. Hasdin Has, Kontribusi Tafsir Nusantara..., hal. 76-77


18 Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah....,Vol.14, hal. 89-90
19 Sakirman, “Konstruk Metodologi Tafsir Modern..., hal. 291
20 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah..., Vol.1, hal 8

6
“Kitab yang telah kami turunkan kepadamu penuh berkah agar mereka
memikirkan ayat-ayatnya dan agar ulul albab mengingat! menarik pelajaran
darinya”.21
Quraish dalam bukunya berjudul Menabur Pesan Ilahi mengungkapkan bahwa
dalam membahas kadungan Al-Qur’an dan tafsirnya, ada beberapa hal yang harus
diperhatikan, yaitu terkait riwayat-riwayat yang disajikan dalam menafsirkan Al-
Qur’an, ketelitian alih bahasa, rujukan yang digunakan, dan beberapa masalah ilmiah
yang berhubungan dengan penafsiran yang dilakukan.22
Quraish dalam bukunya berjudul Menabur Pesan Ilahi mengungkapkan bahwa
dalam membahas kadungan Al-Qur’an dan tafsirnya, ada beberapa hal yang harus
diperhatikan, yaitu terkait riwayat-riwayat yang disajikan dalam menafsirkan Al-
Qur’an, ketelitian alih bahasa, rujukan yang digunakan, dan beberapa masalah ilmiah
yang berhubungan dengan penafsiran yang dilakukan.5 Terkait dengan penafsir,
Quraish menjelaskan beberapa syarat yang harus diperhatikan oleh penafsir, yaitu
sebagai berikut: (a) pengetahuan tentang bahasa Arab dalam berbagai bidangnya, (b)
pengetahuan tentang ilmu-ilmu Al-Qur’an, sejarah turunnya, hadis-hadis Nabi, dan
ushulfiqh, (c) pengetahuan tentang prinsip-prinsip pokok keagamaan, dan (d)
pengetahuan tentang disiplin ilmu yang menjadi materi bahasan ayat. Dalam
menafsirkan Al-Qur’an ada beberapa hal yang harus digarisbawahi: (1) menafsirkan
berbeda dengan berdakwah atau berceramah berkaitan dengan ayat Al-Qur’an. Namun
masih bisa menguraikan tafsir selama uraian tersebut dikemukakan berdasarkan
pemahaman para ahli tafsir yang telah memenuhi syarat penafsir di atas. (2) factor
faktor yang mengakibatkan kekeliruan dalam penafsiran antara lain: subjektivitas
mufasir, kekeliruan dalam menerapkan metode atau kaidah, kedangkalan dalam ilmu-
ilmu alat, kedangkalan pengetahuan tentang materi uraian ayat, tidak memperhatikan
konteks, baik asbabal-nuzul, hubungan antar ayat, maupun kondisi sosial masyarakat,
dan tidak memperhatikan siapa pembicara dan terhadap siapa pembicaraan ditujukan.23
Perlunya penulis mengutip, bahwa pandangan Thabathaba’i 24 tentang
Basmalah, telah dikemukakan jauh sebelumnya oleh al-Biqa‘i, bahkan diterapkan oleh
ulama tersebut dalam ke seratus empat belas surah yang ditafsirkannya. Prinsip
menyatunya ayat-ayat dengan tema pokok surahnya, kini merupakan pandangan
mayoritas ulama tafsir. Upaya-upaya membuktikan kebenarannya telah pula
diupayakan oleh banyak ulama, walau 'tingkat keberhasilan mereka bervariasi. Nama-

21 QS. As-shad: 29.


22 Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir Al-Qur’an, h.238-241 5 M. Quraish Shihab,
Menabur Pesan Ilahi: Al-Qur’an dan Dinamika Kehidupan Masyarakat, Jakarta: Lentera Hati, 2006,
hal. 318-332
23 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Jakarta: Mizan, 1992, hal. 78-79
24 Thabathaba’i bukan (Syiah) Zaidiyah, ia Syiah Imamiyah Itsna Asy’ariyah, Syiah
Rafidah. Apabila ada hujjah dan analisa yang menyatakan perilaku sosialnya bagus, perilaku
tersebut tidak dapat menjustifikasi kebenaran akidahnya. www.qureta.com/post/mengkritik-tafsir-al-
misbah.

7
nama seperti Majmud Syaltut, Sayyid Quthub, Syekh Muhammad al-Madani,
Muhammad Hijazi, Ahmad Badawi, Syekh Muhammad ‘Ali ash-Shabuni, Muhammad
Sayyid Thanthawi, Mutawalli asy-Sya’rawi, dan lain-lain, adalah nama-nama yang ikut
berperanan dalam bidang ini, selain nama-nama yang telah disebut sebelumnya. Namun
sekali lagi, penulis ingin mengemukakan bahwa Ibrahim Ibn ‘Umar al-Biqa‘i, ulama
berasal dari Lebanon itu adalah yang paling berhasil dalam upayanya membuktikan
keserasian hubungan bagian-bagian al-Qur’an.
Dalam buku ini, pembaca akan mengemukan uraian-uraian para ulama itu, yang
penulis sadur dan persembahkan, semoga dapat membantu menampik pandangan-
pandangan keliru serta memperjelas apa makna dan hubungan serasi antar ayat dan
surah-surah al-Qur’an mudah-mudahan demikian itulah adanya.25
Penafsir Alquran Quraish Shihab memberikan kesimpulan dan penafsiran
yang berbeda dari kebanyakan ulama dalam memberikan argumentasi hukum
tentang jilbab. Ia mengatakan bahwa kepala bukan aurat karena menurutnya bahwa
ketetapan hukum tentang batas yang ditoleransi dari aurat atau badan wanita bersifat
zhanniy bukan qathi’, selain ayat Alquran tidak memberikan rincian secara jelas dan
tegas tentang batas aurat, seperti apa yang disebutkan dalam Alquran Surat An-Nur
ayat 31 dan Surat Al-Ahzab ayat 59. Dari pemikiran yang berbeda ini, timbul
ragam kritik dari cendekiawan muslim terhadap pemikiran Quraish Shihab.26
Para ulama ketika menafsirkan “bagian yang tampak” pada ayat tersebut banyak
terjadi perbedaan pendapat. Hal itu dikemukakan oleh Asy Saukani di dalam kitab
Nailul Authar yaitu:27
1. Aurat wanita adalah seluruh badan kecuali muka dan telapak tangan.
2. Menurut pendapat Imam Syafi’i, Imam Abu Hanifah dan Imam Malik bahwa
aurat wanita seluruh badan kecuali muka, telapak tangan, telapak kaki dan
letak gelang kaki (di atas tumit dan di bawah mata kaki).
3. Menurut pendapat Imam Ahmad bin Hambal, Imam Abu Hanifah, Abu Daud
dan Sufyan Ats Sauri bahwa aurat wanita adalah seluruh badan kecuali muka.
4. Menurut pendapat pengikut Imam Madzhab Syafi’i dan Imam Ahmad bin
Hambal bahwa seluruh badan wanita adalah aurat.

Karya M. Quraish yang menjadi maha karya dari sekian banyak karyanya
adalah tafsir al-Misbah. Tafsir tersebut yang membuat namanya semakin populer dan
menjadi salah satu mufasir di Indonesia yang sangat disegani dan sangat banyak
dikagumi oleh masyarakat baik para ulama, mahasiswa, santri dan masyarakat awam
biasa. Hal tersebut dikarenakan ilmu yang ia miliki, itu dapat dibuktikan dengan

25 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah...., hal 29


26 Nandra Sagitarius, Critical Muslim Scholar Against Interpretation Of Quraish Shihab
About Hijab, Fakultas Agama Islam Uika Bogor, bogor, 2013

27 Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy Syaukani, Nailul Authar min Sayyid al
Akhyar Syarhu Muntaha Mungal alAkhbar, Beirut: Dar al Kitab al Ilmiyah, 1995, h. 68.

8
kemampuannya menulis tafsir Al-Qur’an 30 juz dengan sangat akbar dan mendetail
hingga mencapai 15 jilid/volume.28

BAB III
PENUTUP
Tafsir al-Misbah merupakan sebuah karya tafsir kontemporer yang telah ditulis
oleh M. Quraish Shihab, dalam 30 juz terdiri dari 15 volume. Kehadiran tafsir al-
Misbah tidak terlepas dari keinginan beliau untuk membantu masyarakat Indonesia,
agar mampu memahami dan memfungsikan al-Qur’an sebagai pedoman dalam
hidup. Karena merurutnya al-Qur’an tidaklah cukup sebagai bacaan saja, melainkan
juga harus diteliti dan didalami petunjuk ayat-ayatnya.
Kemudian secara metodologis tafsir al-Misbah mengunakan metode tahīlī
(analitik), yakni metode menafsirkan ayat-ayat al-Quran dengan cara urut atau tertib
ayat dan surah sesuai dengan urutan yang terdapat dalam mushaf dan melakukan
perjelasan secara rinci dari berbagai aspeknya. Adapun corak (al-laun) yang
menonjol dalam tafsir al-Misbah adalah corak ijtima’i atau kemasyarakatan.
Kemudian dalam hal pemikiran beliau terkait masalah-masalah keindonesiaan
memang tidak berhubungan langsung dengan tafsir ini, karena tafsir al-Misbah ini
awalnya ditulis di Mesir.

28 Saifuddin Herlambang Munthe, Studi Tokoh Tafsir…, hal. 123

9
Daftar Pustaka
Ahmad Syadali Dan Ahmad Rofi’i, Ulum Quran II, Bandung: Pustaka Setia, 1997.
Has, M. Hasdin, “Kontribusi Tafsir Nusantara Untuk Dunia: Analisis Metodologi Tafsir
al-Misbah karya M. Quraish Shihab,”dalam Jurnal Al-Munzir, Vol. 9 No 1 Tahun
2016.
Junaidi, Dedi, “Konsep dan penerapan Takwil Muhammad Quraish Shihab dalam Tafsir
Al-Misbah,” dalam Jurnal Wawasan: Jurnal Ilmiah dan Sosial Budaya, Vol. 02 No
2 Tahun 2017.
Munthe, Saifuddin Herlambang, Studi Tokoh Tafsir Dari Klasik Hingga Kontemporer,
t.tp: IAIN press, 2018.
Sakirman, “Konstruk Metodologi Tafsir Modern: Telaah terhadap Tafsir Al-Manar, Al-
Maraghi, dan Al-Misbah,”dalam Jurnal Hermeneutik: Jurnal Ilmu al-Qur’an dan
Tafsir,Vol.10 No 2 Tahun 2016.
Shihab, M. Quraish, Tafsir Tafsir Al-Mishbah Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Vol.1,
Jakarta: Lentera Hati, 2002.

Shihab, M. Quraish, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam


Kehidupan Masyarakat, Bandung:Mizan,1995
Shihab, M. Quraish, Menabur Pesan Ilahi: Al-Qur’an dan Dinamika Kehidupan
Masyarakat, Jakarta: Lentera Hati, 2006.
Nandra Sagitarius, Critical Muslim Scholar Against Interpretation Of Quraish
Shihab About Hijab, Fakultas Agama Islam Uika Bogor, bogor, 2013
Asy Syaukani, Muhammad bin Ali, Nailul Authar min Sayyid al Akhyar
Syarhu Muntaha Mungal alAkhbar, Beirut: Dar al Kitab al Ilmiyah, 1995.

10

Anda mungkin juga menyukai