Anda di halaman 1dari 34

SEJARAH PERKEMBANGAN DAN PERTUMBUHAN

TASAWUF
MAKALAH
Untuk memenuhi tugas mata kuliah Akhlak Tasawuf yang diampu oleh :
Hilmi Azizi, M,Pd,I

Disusun Oleh:

Asqy Elvian Surya Maulana (D20191011)


Syaqrah Karara Azzen (D20191019)
Noer Fajriatul Maslahah (D20191003)
Jeng Ayu Atika Fitri (D20191021)

FAKULTAS DAKWAH

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER

2020
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Segala puji bagi Allah swt yang telah memberikan kemudahan dan
pertolonganya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan makalah
tepat waktu. Selawat serta salam senantiasa terlimpahkan kepada
junjungan kita Nabi Muhammad saw., yang telah membawa kita dari
zaman kegelapan menuju ke zaman yang terang benderang.

Tak lupa ucapan syukur senantiasa terucap kepada Allah swt atas
limpahan rezekinya berupa kesehatan jasmani dan rohani sehingga
penulis dapat menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas mata
kuliah Akhlak Tasawuf dengan judul Sejarah Perkembangan dan
Pertumbuhan Tasawuf.

Permohonan maaf sebesar-besarnya penulis ucapkan karena dalam


penulisan makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan terdapat
banyak kesalahan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan adanya
kritik dan saran dari pembaca supaya nantinya dapat menjadi makalah
yang lebih baik.

Penulis juga tak lupa mengucapkan terima kasih kepada pengampu,


Hilmi Azizi, M,Pd,I yang telah membimbing kami dalam penulisan
makalah ini.

Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat kepada para


pembaca. Terima kasih.

Banyuwangi, 1 Oktober 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................... i
DAFTAR ISI....................................................................................................ii
BAB 1-PENDAHULUAN
A. Latar Belakang........................................................................................1
B. Rumusan Masalah...................................................................................1
C. Tujuan Pembahasan................................................................................2
BAB 2-PEMBAHASAN
A. Sejarah Munculnya Tasawuf..................................................................3
B. Perkembangan Tasawuf dari Masa ke Masa...........................................2
1. Tasawuf Pada Abad Pertama dan Kedua Hijriyah.............................4
2. Tasawuf Pada Abad Ketiga dan Keempat Hijriyah............................5
3. Tasawuf Pada Abad Kelima Hijriyah.................................................5
4. Tasawuf Pada Abad Keenam dan Ketujuh Hijriyah...........................6
5. Tasawuf Pada Abad Kedelapan Hijriyah............................................
..........................................................................................................................5
BAB III-PENUTUP
A. Kesimpulan.............................................................................................8
B. Saran........................................................................................................8
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................9

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Tasawuf merupakan salah satu aspek esoteris Islam, sebagai


perwujudan dari ihksan yang berarti kesadaran adanya komunikasi
dan dialog langsung seorang hamba dengan Tuhannya. Esensi
tasawuf sebenarnya telah ada sejak zaman Rasulullah Saw, namun
tasawuf sebagai ilmu keislaman adalah hasil kebudayaan Islam
yang lahir belakangan, sebagaimana imu-ilmu keislaman lainnya
seperti fiqih dan ilmu tauhid.
Tasawuf adalah sebuah pandangan tentang dunia yang berpusat
pada Dia (Tuhan) saja dan tidak tenggelam pada yang bukan Dia.
Tasawuf adalah pandangan tentang hakikat suatu realitas yang
dalam filsafat, tergolog ilmu dalam fisafat, tergolong ilmu tentang
hakikat (ontologi). Hakikat tidak sekedar mengkaji dan memahami
apa adanya tetapi mengkaji dan memahami ada apa dibalik apa
adanya.
Istilah Tasawuf memang tidak ada dalam Al-Quran dan Sunnah,
tetapi lebih berdasarkan rumusan dan ajaran para guru yang tidak
bertentangan dengan sumber hukum islam yang utama.
Pertumbuhan dan perkembangan tasawuf di Nusantaradimotori
oleh Hamzah Fansuri dan Syamsudin Sumatrani, dua tokoh sufi
yang datang dari pulau Andalas (Sumatera) pada abad 17M.

1
B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana sejarah munculnya Tasawuf?

2. Bagaimana perkembangan Tasawuf dari masa ke masa?

3. Siapa saja tokoh-tokoh yang berperan dalam Tasawuf?

C. TUJUAN PEMBAHASAN

1. Untuk mengetahui sejarah munculnya Tasawuf.

2. Untuk mengetahui perkembangan Tasawuf dari masa ke


masa.

3. Untuk mengetahui tokoh-tokoh Tasawuf.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. SEJARAH MUNCULNYA TASAWUF

Sejak dekade akhir abad II Hijriah, sufisme sudah popular di kalangan


masyarakat di kawasan dunia Islam, sebagai perkembangan lanjutan dari
gaya keberagaman para zahid dan ‘abid, kesalehan yang mengelompok di
serambi masjid Madinah.1 Fase ini disebut sebagai awal mula tumbuhnya
sufisme dalam peradaban Islam yang ditandai dengan munculnya individu-
individu yang lebih mengutamakan akhirat daripada keduniawian sehingga
segala perhatiannya terpusat kepada ibadah.

Terdapat tiga faktor penting pendorong perkembangan sufisme:

1) adanya gaya kehidupan yang glamour dan corak kehidupan


materialis serta konsumeris yang dilakukan oleh penguasa negeri dan
menular ke kehidupan masyarakat,

2) timbul sikap apatis kepada kaum Khawarij yang merupakan


reaksi dari radikalisme, polaritas politik, serta kekerasan pergulatan
kekuasaan pada masa itu yang dilakukan oleh kaum Khawarij,

3) terdapat faktor kodifikasi hukum Islam (fiqh) dan perumusan


ilmu kalam (teologi) yang dialektis-rasional, sehingga kurang
bermotivasi ethical yang menyebabkan kehilangan nilai spiritualnya
menjadi semacam wahana tiada isi, semacam bentuk tanpa jiwa.
Formalitas paham keagamaan dirasakan semakin mengeringkan dan
menyesakkan ruh al-din yang berakibat terputusnya komunikasi
langsung dan suasana keakraban personal antara hamba dan
Khaliqnya.2
1
Abi Bakr Muhammad Ishaq al-Kalabadzi, Al-Tasawwuf Li al- Mazhab Ahl al-Tasawwuf.
2
Zuherni AB, “Sejarah Perkembangan Tasawuf.”

3
Mengenai kemunculan tasawuf sendiri terdapat dua anggapan, yakni
ada yang menganggap bahwa lahirnya ilmu tasawuf disebabkan karena
adanya pengaruh ajaran di luar Islam, tetapi ada pula yang menganggap
lahirnya tasawuf itu bersamaan dengan lahirnya agama Islam 3. Masing-
masing anggapan tersebut akan diulas di bawah ini.

Pengaruh Ajaran Non-Islam

Diketahui lahirnya ajaran tasawuf karena adanya pengaruh dari ajaran-


ajaran di luar Islam, antara lain:

1. Pengaruh ajaran Kristen, terlihat pada ajaran tasawuf yang


mementingkan kehidupan zuhud dan fakir. Kehidupan zuhud pada
ajaran tasawuf adalah pengaruh dari rahib-rahib Kristen yang
mengasingkan diri dari keduniawian. Sama halnya dengan fakir
yang dilakukan para sufi merupakan ajaran dalam kitab Injil.
Dalam Injil dikatakan bahwa Isa berkata “Beruntunglah kamu
orang-orang miskin, karena bagi kamulah kerajaan Allah.
Beruntunglah kamu orang-orang yang lapar, karena kamu akan
kenyang” [Lukas 6:22]

2. Pengaruh ajaran Hindu dan Budha, Ajaran Hindu banyak


mendorong umatnya untuk meninggalkan kehidupan dunia untuk
lebih mendekatkan diri dengan Tuhannya untuk
mencapai Atman dengan Brahman. Kemudian ajaran tasawuf juga
dipengaruhi oleh ajaran Buddha. Terdapat hubungan persamaan
antara Siddharta Gautama dengan tokoh sufi Ibrahim bin Adam
yang meninggalkan kemewahan seorang putra mahkota.4 Ignas
Goldziher dalam buku Pengantar Teologi dan Hukum Islam juga
mengatakan bahwa para sufi belajar menggunakan tasbih
sebagaimana yang digunakan oleh para Buddha. Hal lain yang
3
Syukur, Intelektualisme Tasawuf.
4
Ignas Goldziher, Pengantar Teologi dan Hukum Islam

4
bersangkutpaut juga terdapat pada budaya etis, asketis serta
abstraksi intelektual yang mengadopsi dari Budhisme. Kemudian
paham fana hampir sama dengan nirwana dalam agama Buddha
yang mana mengajarkan pemeluknya untuk meninggalkan dunia
dan hidup untuk akhirat.

3. Pengaruh filsafat mistik phytagoras, yaitu kesenangan ruh yang


sebenarnya adalah berada di alam samawi. Maka untuk
memperolehnya, manusia harus membersihkan ruh dengan
meninggalkan kehidupan material. Dalam tasawuf dikenal
dengan zuhud.

4. Pengaruh filsafat emanasi Plotinu,. metode berfikir filsafat Yunani


telah mempengaruhi pola berfikir umat Islam yang ingin
berhubungan dengan Tuhan. Hal ini terlihat dari pemikiran al-
Farabi, al-Kindi, Ibnu Sina tentang filsafat jiwa. Dalam konsep
emanasi dijelaskan bahwa Dzat Tuhan Yang Maha Esa-lah yang
memancar dari dalam wujud ini. Ruh berasal dari Tuhan dan akan
kembali kepadaNya. Dalam tasawuf dikenal dengan wahdatul
wujud.5

Lahirnya Tasawuf Bersamaan dengan Lahirnya Agama Islam

Anggapan yang kedua adalah bahwa tasawuf atau sufisme itu lahir


dari agama Islam sendiri. Hal ini bisa dlihat dari ayat Al-Qur’an maupun
hadits tentang ajaran tasawuf. Ajaran-ajaran tasawuf adalah tentang khauf,
raja’, taubat, zuhud, tawakkal, syukur, sabar, ridha, fana, cinta, rindu,
ikhlas, ketenangan jiwa dan lain sebagainya diterangkan dalam Alquran.
Antara lain dalam Almaidah ayat 54 yang membahas tentang mahabbah
atau cinta, Attholaq ayat 3 membahas tentang tawakkal, Attahrim ayat
8 yang membahas tentang taubat, Ibrahim ayat 7 membahas tentang

5
Hamka, Tasawuf Perkembangan Dan Pemurniannya.

5
syukur, Almukmin ayat 55 membahas tentang sabar, Almaidah ayat
119 membahas tentang ridha dan lain sebagainya.

Selain itu, dalam hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari juga


disebutkan hal serupa, yang artinya “Jika seorang hamba mendekati-Ku
sejengkal, Aku akan mendekatinya sehasta, jka ia medekati-Ku sehasta,
niscaya Aku akan mendekatinya sedepa, dan jika ia mendekati-Ku datang
dengan berjalan, niscaya Aku akan mendatanginya dengan berlari”.

Kemudian ada dua hadits populer yang diriwayatkan Bukhari dan


Muslim yang menjadi landasan kuat bahwa ajaran tasawuf adalah murni
ajaran rohaniah Islam. Hadits tersebut berbunyi: “Sembahlah Allah
seolah-olah engkau melihat-Nya, maka apabila engkau tidak melihat-Nya,
maka Ia pasti melihatmu” dan “Siapa yang kenal pada dirinya, niscaya
kenal dengan Tuhan-Nya”.

Selain dalil diatas, perilaku Rasulullah juga menunjukkan kesufian.


Beliau senang melakukan khalwat atau mengasingkan diri ke Gua Hira
sejak sebelum beliau diangkat menjadi Rasul. Beliau menjauhi pola hidup
keduniawian yang kemudian kebiasaan beliau ini mulai ditiru oleh para
sahabat.6 Masih banyak lagi ayat Qur’an maupun hadits yang dijadikan
dasar tasawuf oleh para sufi. Oleh karena itu, terlepas dari adanya
pengaruh dari luar atau tidak, Islam sendiri mengajarkan sufisme. Ini
berarti kelahiran tasawuf bersamaan dengan lahirnya Islam sendiri.7

B. PERKEMBANGAN TASAWUF DARI MASA KE MASA

Dalam Islam hidup keruhanian sering disebut dengan sufisme. Hal ini


terlihat melekat pada diri dari sebagian umat Islam di seluruh dunia. Tentu
saja hidup keruhanian tidak lepas dari sejarah pertumbuhan dan
perkembangannya hingga terbentuklah ilmu tasawuf pada saat ini.

7
Syukur, Intelektualisme Tasawuf.

6
Perjalanan tasawuf ini pun kemudian dilanjutkan pada masa-masa
selanjutnya dari abad pertama Hijriyah hingga abad ketujuh Hijriyah.
Adapun lebih jelasnya dipaparkan sebagai berikut:

1. Tasawuf Pada Abad Pertama dan Kedua Hijriyah

a. Tasawuf Masa Rasulullah Saw

Pada masa ini banyak ditemui banyak contoh kehidupan


sufi yang terdapat pada diri Rasulullah Saw. Dalam kehidupan
sehari-hari yang penuh dengan kehidupan yang sangat
sederhana dan penuh dengan penderitaan, Nabi Muhammad
juga menghabiskan waktunya untuk beribadah kepada Allah
Swt. Sebelum diangkat sebagai Rasul, beliau sering melakukan
khalwat di Gua Hira’ (Bukit Nur) untuk mendapat petunjuk
dari Tuhan. Didapati beliau melakukan khalwat berulang-ulang
kali dengan bekal hanya beberapa potong roti kering dengan air
minum serta buah-buahan yang hal ini menggambarkan
makanan yang sangat sederhana bagi seorang sufi.

Di tempat itu, beliau mengasingkan dan memisahkan


diri dari masyarakat Quraisy yang sudah rusak dan
menyimpang dari ajaran Tuhannya. Beliau ingin mencari
kehidupan yang berbeda dengan kehidupan orang-orang
Quraisy tersebut menuju suatu kehidupan yang membawa
kepada kesempurnaan dan kebahagiaan dunia akhirat. Maka
dari itu, beliau hendak bertemu dengan Allah dan ingin
meminta petunjuk kepada-Nya. Setelah beliau mendapat
petunjuk melalui malaikat jibril, maka mulailah beliau
mengajak manusia agar berusaha menyempurnakan
kehidupannya dan harus memiliki pribadi yang baik dan akhlak
yang luhur demi mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.

7
Setelah beliau diangkat sebagai Rasul dan telah menjabat
sebagai pemimpin atau kepala negara di Madinah, kehidupan
beliau sangat sederhana. Dalam rumah tidak ada perabot rumah
tangga yang mewah, makanan yang enak, jarang pula terdapat
alat-alat rumah tangga. Untuk urusan makan, jangankan
makanan yang lezat, makanan yang biasa dimakan sehari-hari
belum tentu tersedia pada setiap jam makan. Aisyah ra pernah
mengatakan bahwa dalam sehari-hari Rasulullah Saw tidak
pernah makan sampai dua kali dan paling banyak makanan
yang tersimpan tidak lebih dari sepotong roti yang itupun
dimakan oleh tiga orang. Diketahui pula beliau tidur di atas
tikar sampai terdapat bekas pada pipi beliau.

Begitulah kehidupan sufisme dari seorang Rasulullah Saw,


meski sebagai pemimpin untuk umat Islam, kehidupan beliau
penuh dengan kesederhanaan. Hidup beliau digunakan untuk
berkhidmat dan berbakti kepada Allah, menyampaikan agama
Islam kepada seluruh umat manusia, tidak menghiraukan
kepentingan diri sendiri ataupun keluarganya, namun seluruh
hidupnya digunakan untuk umatnya.8

b. Tasawuf Masa Para Sahabat

Mereka para sahabat besar juga mencontoh kehidupan


Rasulullah Saw., Pada era kepemimpinan Khulafaur Rasyidin
yakni Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan
Ali bin Abu Thalib, semua kehidupan mereka penuh dengan
kesederhanaan dan fokus perhatian mereka hanya tertuju
kepada Allah dan berbakti kepada masyarakat.

Abu Bakar, adalah seorang saudagar yang kaya raya di


Makkah, ia rela meninggalkan semua harta bendanya demi
8
Noer Iskandar, Tasawuf Tarekat Para Sufi.

8
mengikuti dakwah Rasulullah Saw. Abu Bakar juga memiliki
akhlak yang tinggi dan selalu hidup saleh dan taqwa. Pada
masa kehidupannya hanya memakai pakaian sehelai kain saja.
Bahkan segala harta bendanya dikorbankan demi kepentingan
agama dan negara. Disebutkan dalam sebuah riwayat, pada saat
Rasulullah Saw masih hidup yang ketika itu akan menghadapi
perang Tabuk, beliau bertanya kepada para sahabat siapakah
yang bersedia memberikan harta bendanya di jalan Allah. Abu
Bakar kemudian menjawab bahwa dirinya akan menyerahkan
seluruh harta kekayaannya. Kemudian setelah Rasulullah Saw
bertanya kepada Abu Bakar terkait sesuatu yang akan
ditinggalkan untuk dirinya dan keluarganya, Abu Bakar
menjawab bahwa cukup baginya meninggalkan Allah dan
Rasul-Nya.

Umar bin Khattab, adalah sahabat Nabi Saw yang


memiliki ketegasan dan akhlak yang tinggi. Ada riwayat yang
mengisahkan kehidupan sufisme Umar, yang semuanya ketika
ia menjabat sebagai khalifah. Yang pertama ketika Umar naik
ke atas mimbar untuk menyampaikan pidato, sedangkan
pakaian yang ia pakai bertambal-tambal. Yang kedua, ketika
Abdullah bin Umar (anak Umar bin Khattab) masih kecil
bermain-main dengan temannya, semua temannya tersebut
mengejek karena pakaian yang dipakainya penuh tambalan. Hal
tersebut akhirnya disampaikan kepada ayahnya, Umar bin
Khattab, yang pada saat itu menjabat sebagai kepala negara.
Ayahnya pun sedih karena tidak memiliki cukup uang untuk
membelikan baju untuk anaknya. Maka ditulislah surat kepada
pegawai Baitul Mal untuk meminjam uang sebagai ganti
pemotongan gaji bulan depan. Setelah menerima surat tersebut
kemudian pegawai tersebut bertanya kepada Umar apakah

9
yakin bahwa umurnya sampai bulan depan. Mendengar hal
tersebut, Umar akhirnya tersedu sambil mengeluarkan air mata
dan akhirnya tidak jadi meminjam uang di Baitul Mal. Dan
masih banyak lagi cerita yang mengisahkan kehidupan Umar
yang sangat sufi tersebut.

Utsman bin Affan, adalah sosok yang diberi oleh Allah


kelapangan rezeki. Meski begitu ia tidak terlalu terpengaruh
dengan kekayaannya. Ia selalu memegang Al-Qur’an pada
tangannya. Menjelang malam hari ia hanya belajar Al-Qur’an
sampai jauh malam. Bahkan ketika dibunuh oleh pemberontak,
ia sedang membaca Al-Qur’an. Sifat sufisme yang dimiliki
Utsman yang lain ialah, ketika terjadi kemarau panjang pada
masa Khalifah Abu Bakar. Banyak penduduk Madinah yang
menderita kelaparan karena stok makanan telah menipis. Abu
Bakar hanya menyuruh sabar dan menunggu pertolongan dari
Allah. Tidak lama setelah itu, ada kira-kira seribu ekor unta
milik Utsman bin Affan datang dari Syam dengan membawa
bahan makanan dan minyak. Setelah unta-unta tersebut
berhenti di depan rumah Utsman, banyak pedagang yang ingin
membeli barang dagangannya tersebut dengan berbagai macam
tawaran, bahkan ada pedagang yang mengajukan tawarannya
hingga sepuluh kali lipat. Akan tetapi Utsman hanya
memerintahkan untuk mengumpulkan para fakir miskin pada
keesokan harinya dan memberikan hasil dagangannya itu
secara cuma-cuma.

Ali bin Abu Thalib. Sifat kesederhanaannya tidak kalah


dengan para sahabat yang lain. Ketika menjabat sebagai
khalifah, pakaian yang ia pakai banyak yang sobek, dan ketika
sobek ia sendiri yang menjahitnya. Suatu ketika ia ditanya
seseorang mengapa sampai seperti itu (pakaiannya yang

10
sobek), ia hanya menjawab untuk mengkhuyukkan hati dan
untuk menjadi teladan bagi orang-orang yang beriman.

c. Tasawuf Masa Para Tabi’in

Hasan Basri lahir di Madinah pada tahun 21 Hijriyah atau


632 Masehi, dan meninggal pada tahun 110 H. Hasan Basri
adalah salah seorang tabi’in yang terbesar dan ternama, baik
dalam ilmu pengetahuan maupun dalam kesalehan dan
kehidupan zuhudnya. Hasan Basri juga yang mula-mula
membahas ilmu-ilmu kebatinan, kemurnian akhlak, dan usaha-
usaha untuk membersihkan jiwa. Dr. Hasan Ibrahim Hasan
menerangkan dalam bukunya “Tarikhul Islam", bahwa
kehidupan tasawuf yang asli itu berada dalam kehidupan Hasan
Basri. Hasan Basri pernah bertemu dengan 70 orang yang
mengikuti perang Badar dan 300 orang sahabat yang lain.

Suatu ketika, Ali bin Abu Thalib masuk ke dalam masjid


di Basrah. Dilihatnya banyak anak-anak sedang asyik bercerita
di dalam masjid, maka Ali mendatangi mereka dan berusaha
mengusirnya keluar masjid. Namun tiba-tiba ia mendapati salah
seorang di antara mereka seorang anak yang tampan, yakni
Hasan Basri. Hasan Basri pada saat itu sedang asyik bercerita,
dan Ali sangat tertarik dengan ceritanya itu. Demi memelihara
ketenangan dan ketenteraman dalam masjid karena ramainya
anak-anak, maka Ali mengajukan pertanyaan kepada Hasan
Basri, “Hai anak muda! Aku ingin bertanya kepadamu dua
perkara. Jika engkau dapat menjawabnya, maka aku akan
biarkan engkau berbicara terus. Tetapi jika engkau tidak dapat
memberikan jawaban yang memuaskan, engkau akan
kukeluarkan dari dalam masjid ini seperti anak-anak yang
lain”. Anak muda yang bernama Hasan Basri itu pun

11
berkata, “Silakan bertanya wahai Amirul Mukminin”.
Kemudian Ali bin Abu Thalib pun bertanya, “Ceritakan
kepadaku apa kebaikan agama dan apa pula kerusakannya?”.
Dijawab oleh Hasan Basri, “Kebaikan agama itu adalah hidup
wara’, dan kerusakan agama itu adalah hidup tamak”. Setelah
dijawab demikian, maka Ali pun berkata, “Engkau benar, dan
sekarang berbicaralah”.

Dasar ajaran tasawuf Hasan Basri adalah zuhud terhadap


dunia, menolak kemegahan dunia semata-mata menuju kepada
Allah, bertawakal kepada-Nya, khauf (takut),
dan raja’ (pengharapan).

Rabiatul Adawiyah adalah seorang sufi wanita yang


besar pada masa ini. Ia bernama Rabiah binti Ismail Al-
Adawiyah, yang dikenal dengan nama Rabiatul Adawiyah.
Menurut Ibnu Hilqan, Rabiatul Adawiyah wafat sekitar tahun
135 H/796 M. Ia dikenal sebagai seorang yang hidup saleh dan
taqwa. Sepanjang hari ia menegakkan ibadah, seperti shalat dan
berpuasa. Ia memiliki murid yang terdiri dari kaum wanita.

Secara garis besar, konsep tasawuf Rabiatul Adawiyah


dikenal dengan ajaran cinta (mahabbah atau  hubbulillah).
Tingkatan zuhud yang tadinya dirintis oleh Hasan Basri, yakni
zuhud karena takut kepada kemurkaan Allah dan mengharap
kepada ampunan Allah, ditingkatkan oleh Rabi’atul Adawiyah
kepada zuhud karena cinta. Cinta yang telah suci murni itu
lebih tinggi daripada takut dan harap, karena cinta yang suci
murni tidak mengharapkan apa-apa.9

Sufyan Tsauri lahir pada tahun 97 H/602 M, dan wafat di


Basrah tahun 121 H/732 M. Ia merupakan seorang ulama hadits
9
Hamka, Tasawuf Perkembangan Dan Pemurniannya.

12
yang terkenal dan seorang tabi’in yang sangat zahid dan tak
tertandingi. Dalam hal meriwayatkan hadits, ia dijuluki sebagai
‘Amirul Mukminin dalam hal hadits’.

Sifat beliau yang sangat kuat ialah tidak mau mendekati


raja-raja. Ia hidup pada zaman khalifah Al-Manshur. Setelah
menerima ilmu dari gurunya, Hasan Basri, ia pun mengembara
dari sebuah kota ke kota lain untuk menerangkan intisari agama
kepada murid-muridnya.

Sufyan Tsauri pernah mengungkapkan perihal


kesufiannya, bahwa jangan kau rusak agamamu dengan
kemewahan dan kemegahan yang berlimpah ruah, karena hal
itu akan menyebabkan umat Islam tenggelam dalam
keduniawian, dan tidak dapat lagi dibedakan mana yang halal
dan mana yang haram. Ia juga merasa tidak ada faedahnya
berbicara kepada orang-orang yang bermulut manis kepada
ulama, tetapi rakyat kian lama kian sengsara.10

2. Tasawuf Pada Abad Ketiga dan Keempat Hijriyah

Tasawuf pada abad III dan IV Hijriyah sudah mempunyai corak


yang berbeda dengan tasawuf abad sebelumnya. Pada abad ini tasawuf
sudah bercorak kefanaan (ekstase) yang menjurus ke persatuan hamba
dengan Tuhannya (wahdat al-wujud). Orang sudah ramai membahas
tentang lenyap dalam kecintaan (ittihad bi al-mahbub), kekal dengan
tuhan (baqa’ bi al-mahbub), menyaksikan tuhan (musyahadah),
bertemu dengan nya (liqa’) dan menjadi satu dengannya (ain al-
jama’).11

10
Hamka.
11
Syukur, Intelektualisme Tasawuf.

13
Lebih jauh Abu al-Wafa menegaskan, bahwa tasawuf pada abad
ini lebih mengarah kepada ciri psikomoral, dan perhatiannya
diarahkan pada moral dan tingkah laku. Sebab pada masa ini ilmu
tasawuf terbagi menjadi tiga, yaitu Ilmu Jiwa, Ilmu Akhlak, dan Ilmu
Metafisika. Ditambah pula bahwa demikian pesatnya perkembangan
tasawuf pada abad III dan IV Hijriyah ini, sehingga seolah-olah sudah
merupakan madzhab, bahkan sebagai agama yang berdiri sendiri. Pada
abad ini pula terdapat dua aliran yaitu tasawuf sunni dan tasawuf semi
falsafi.12

Beberapa di antara tokoh-tokoh sufi tersebut akan dijelaskan


profil dan pemikirannya tentang tasawuf berikut ini:

Abul Faidh Zin-Nun Al-Misri atau yang lebih dikenal dengan


Zunnun Al-Misri, berasal dari Naubah, yakni daerah di antara Sudan
dan Mesir. Ia wafat pada tahun 246 H/860 M. Ia adalah salah seorang
murid Imam Malik dan boleh dikatakan bahwa ia adalah yang pertama
kali menetapkan teori-teori di dalam ilmu tasawuf pada abad ketiga. Ia
banyak sekali memperluas pemahaman tentang jalan menuju Allah.
Tujuannya terkait ilmu tasawuf ialah bagaimana cara mencintai
Tuhan, membenci yang sedikit, menuruti garis perintah yang
diturunkan, dan takut akan berpaling jalan.

Pernah ditanya oleh seseorang apa hakikat cinta itu. Zunnun Al-
Misri menjawab, “Bahwa engkau mencintai apa yang dicintai Allah,
dan engkau membenci apa yang dibenci-Nya. Engkau memohon
ridha-Nya, dan sekalian engkau tolak yang akan menghalangimu
menuju Dia. Jangan takut akan kebencian orang yang membenci. Dan
jangan mementingkan diri dan melihatnya, karena dinding yang
sangat tebal untuk melihat-Nya ialah lantaran melihat diri sendiri.
Orang yang arif adalah bangga dalam kefakirannya. Apabila

12
Hamka, Tasawuf Perkembangan Dan Pemurniannya.

14
disebutnya nama Allah, ia merasa bangga, dan apabila disebut nama
dirinya, ia merasa miskin”.

Mengenai konsep taubat, Zunnun Al-Misri mengungkapkan


bahwa taubat terbagi menjadi dua macam, yaitu taubatnya orang
awam, yakni taubat dari dosa, dan taubatnya orang khawash, yaitu
taubat dari kelalaian. Demikian pula dengan konsep ma’rifat, olehnya
dibagi menjadi tiga macam, yaitu ma’rifat mukmin biasa (mu’miniin),
ma’rifat ahli bicara (mutakallimin) dan hukama’, dan ma’rifat
waliyullah yang dekat kepada Tuhan dan kenal akan Tuhan dalam
hatinya (muqarrabiin). Ma’rifat yang terakhir inilah setinggi-
tingginya martabat.13

Abu Yazid Al-Busthami memiliki nama kecil Thaifur.


Namanya sangat istimewa dan cukup melekat dalam hati orang-orang
sufi. Al-Busthami pernah berkata, “Kalau kamu melihat seseorang
yang sanggup melakukan pekerjaan keramat yang besar-besar,
walaupun dia sanggup terbang di udara, maka janganlah kamu
tertipu sebelum kamu melihat bagaimana dia mengikut suruh dan
menghentikan tegah dan menjaga batas-batas syariat”. Meski
perkataannya tersebut terasa sulit dimengerti, namun bisa ditangkap
sebuah pengertian bahwa tasawuf yang diamalkan tidak keluar daari
batas-batas syara’.

Ada pula perkataannya yang terdengar ‘ganjil’ dan dalam, dan


seseorang (termasuk kita) harus berhati-hati dalam memahaminya.
Karena bila salah dalam memahaminya, maka tentu akan menyangka
bahwa Al-Busthami memilih jalan di luar ketentuan agama, atau
minimal dia telah tersesat. Seperti konsep ‘Hulul’ yang olehnya
dikatakan, “Hamba dan Tuhan sewaktu-waktu bisa berpadu menjadi
satu”. Atau juga perkataan yang lain yang dikutip oleh Abdul Hamid

13
Sjukur, Ilmu Tasawuf.

15
Zahrawi dalam kitabnya ‘Al-Fiqh wa At-Tasawwuf’, “Tidak ada
Tuhan melainkan saya. Sembahlah saya , amat sucilah saya.
Alangkah besar kuasaku”.

Selanjutnya terkait konsep perjalanan menuju fana’, ia


mengatakan bahwa, “Permulaan adanya aku di dalam alam
wahdaniyat-Nya, aku menjadi burung yang tubuhnya dari Ahdiyat,
dan kedua sayapnya dari daimunah (tetap dan kekal). Maka
senantiasa aku terbang di udara kaifiyat sepuluh tahun lamanya,
sehingga aku dalam udara demikian rupa 100.000.000 kali. Maka
senantiasa aku terbang dan terbang lagi di dalam medan azal. Maka
terlihatlah olehku pohon ahdiyat ….”. Pada akhirnya beliau
berkata, “Akhirnya sadarlah aku dan tahulah aku, bahwa sama sekali
itu hanyalah tipuan dan khayalan belaka”.

Kata-kata yang demikian itu disebut dengan Syathathat, artinya


ialah kata-kata yang penuh dengan khayalan. Karena itu perkataan ini
tidak dapat dikenakan hukum, sebab orang pada saat itu sedang
dimabuk oleh fana’nya, bukan mabuk karena pengaruh alkohol.
Perkataan yang tidak lazim tersebut inilah yang akhirnya
memunculkan suatu istilah ‘As-Sakar’ (mabuk) dan ‘Al-Isyq’ (rindu
dendam).14

Yahya bin Muaz adalah seorang sufi yang sezaman dengan


Abu Yazid Al-Busthami. Ia mulai memakai ilmu pengetahuan dalam
menegakkan paham tasawuf yang kelak menjadi bahan penting bagi
ahli-ahli tasawuf yang akan datang. Ia juga banyak sekali
membicarakan tentang fana’, wajdan (rindu), dan sakar (mabuk).
Pokok ajaran tasawufnya ialah melanjutkan dari tasawufnya Rabiatul
Adawiyah yang masih berkaitan dengan cinta. Intisari cinta dalam
tasawufnya ialah tunduk dan patuh secara bulat oleh Allah Swt.

14
Hamka, Tasawuf Perkembangan Dan Pemurniannya.

16
Ketundukan dan penyerahan yang membuat jiwa senentiasa
mendorong hendak mencapai derajat yang tinggi.

Mengenai ma’rifat, ia menambahkan dari dasar-dasar sufi yang


ada, yakni mengenal yang haq yang lebih tinggi daripada mengenal
sesuatu makhluk. Sedangkan lalai atau luput, ia mengemukakan
bahwa lalai adalah terputus dari haq, sedangkan mati hanya terputus
hubungan dengan sesama manusia. Untuk itu, lalai dari jalan menuju
Allah lebih berbahaya daripada mati. Baginya, apabila hubungan
dengan Tuhan telah ada, maka kematian itulah jalan yang sebahagia-
bahagianya, sebab bertemu dengan kekasih.

Zuhud menurutnya ialah memalingkan kehendak dari sesuatu


kehendak kepada yang lebih baik dan lebih bermanfaat. Maka zuhud
ini terbagi menjadi tiga perkara, (1)Sedikit, yaitu jangan terlalu
banyak harta benda yang dimiliki, karena semuanya itu akan
menghambat dalam perjalanan menuju Allah. (2)Khalwat, (merenung
atau menyendiri, bertafakkur), yaitu tidak banyak bercampur dengan
orang lain. Kalau terpaksa bergaul, maka duduklah dengan orang
banyak. (3) Al-Ju’, (lapar), yakni jangan terlalu banyak makan, karena
banyak makan menimbulkan malas dan mengantuk.15

Husain bin Mansuh Al-Hallaj lahir di Persia pada tahun 244


H/858 M, yang sebelumnya ia beragama Majusi, kemudian masuk
Islam dan terkenal dengan julukan Abu Mughis. Al-Hallaj adalah
seorang yang memiliki riwayat yang luar biasa dalam bidang tasawuf.
Pandangannya sempat membuat ramai di dunia fiqih, sebab pada masa
itu terjadi pertentangan antara ulama fiqih dengan ulama tasawuf
karena faktor salah dalam memahami konsep tasawuf. Ada ratusan
ulama fiqih pada saat itu menentang ajaran tasawufnya sehingga pada
akhir hidupnya dijatuhi hukuman mati. Berikut ajaran Tasawufnya:

15
Syukur, Intelektualisme Tasawuf.

17
a. Hulul, berarti ketuhanan (lahut) menjelma ke dalam diri
manusia (nasut). Hal ini akan terjadi ketika kebatinan seorang
manusia sudah suci bersih di dalam menempuh perjalanan
dalam hidup kebatinan, maka tingkat hidupnya akan naik dari
maqam (tingkatan) ke maqam yang lain, misalkan
dari muslimin, mukminin, shalihin, dan muqarrabin. Pada
maqam muqarrabin, orang sudah sangat dekat dengan Tuhan
sehingga timbullah penyatuan dirinya dengan Tuhan.

b. Al-Haqiqatul Muhammadiyah, yaitu Nur Muhammad sebagai


asal-usul segala kejadian amal perbuatan dan ilmu
pengetahuan. Dan dengan perantaranya lah seluruh alam ini
dijadikan. Menurut Al-Hallaj, Nabi Muhammad itu terdiri dua
rupa: Yang pertama adalah yang qadim, yaitu terjadi sebelum
terjadinya seluruh yang ada. Yang kedua adalah yang berupa
manusia, yakni sebagai Nabi dan Rasul. Rupa yang kedua
(manusia/Nabi/Rasul) ini akan menempuh kematian, dan rupa
yang pertama bersifat qadim. Rupa yang pertama inilah yang
oleh Al-Hallaj sebagai asal-usul segala sesuatu.

c. Wihdatul Adyan, yaitu kesatuan segala agama. Ia berpendapat


bahwa semua agama, baik Islam, Yahudi, Nasrani, dan lain-
lain, meski berbeda dalam hal nama, namun pada hakikatnya
adalah satu. Orang memilih suatu agama atau lahir dalam suatu
agama bukan atas dasar kehendaknya sendiri, melainkan sudah
ditentukan oleh Allah Swt melalui takdir-Nya.16

3. Tasawuf Pada Abad Kelima Hijriyah

Kematian Al-Hallaj di atas tiang kayu palang telah


menyebabkan kesan yang sangat tidak baik terhadap tasawuf. Salah
kaprahnya para sufi dalam memahami tasawuf pada abad sebelumnya
16
Sjukur, Ilmu Tasawuf.

18
menyebabkan pertarungan sengit antara ulama fiqih dengan para sufi
sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Ditambah lagi pada
masa itu berkembang mazhab Syi’ah Ismailiyah dengan konsep
imamah-nya yang mampu mendekatkan para sufi dengan kaum
Syi’ah. Sehingga mendekatnya kaum sufi dengan kaum Syi’ah
menyebabkan semakin buruknya pandangan ulama fiqih terhadap
tasawuf[1].

Atas sebab itulah, tasawuf pada abad V Hijriyah mengadakan


konsolidasi. Sebab pada masa ini ditandai dengan kompetisi dan
pertarungan antara tasawuf sunni dan tasawuf semi falsafi, dan
dimenangkan oleh tasawuf sunni. Kemenangan tasawuf sunni
dikarenakan menangnya aliran teologi Ahlus Sunah Wal Jama’ah
yang dipelopori oleh Abu Hasan Al-Asy’ari, yang mengkritik keras
terhadap teori Abu Yazid Al-Busthami dan Al-Hallaj yang nampak
bertentangan dengan aqidah Islam. Oleh karena itu, tasawuf pada abad
ini cenderung mengadakan pembaharuan.17

Pada masa ini pula, filsafat dan ilmu kalam berkembang dengan
pesatnya, yang lambat laun ajaran tasawuf sudah mulai kemasukan
filsafat. Dr. Ibrahim Hasan Ibrahim dalam bukunya ‘Tarikhul Islam’
menerangkan bahwa tasawuf Islam berkembang dengan pesatnya di
kalangan kaum muslimin, khususnya di kalangan orang-orang Persi
yang masuk Islam. Dalam perkembangannya yang terakhir, tasawuf
Islam telah bersatu dengan ajaran filsafat, sehingga menjadi satu
model yang dinamakan Filsafat Tasawuf. Filsafat tasawuf merupakan
perpaduan antara ajaran-ajaran Neo-Platonisme, dan di pihak lain
dengan ajaran Persia dan India.18

Berikut tokoh-tokoh Tasawuf pada abad kelima Hijriyah:

17
Sjukur.
18
Hamka, Tasawuf Perkembangan Dan Pemurniannya.

19
Al-Ghazali, memiliki nama asli Abu Hamid Al-Ghazali, lahir di
desa yang bernama Thus pada tahun 450 H/1057 M, dan meninggal
pada tahun 505 H/1111 M. Al-Ghazali hidup pada zaman Nizamul
Mulk, seorang menteri besar kerajaan Bani Saljuk. Sosok Al-Ghazali
sebagai seorang pemikir yang besar telah mempererat kembali segala
perselisihan dan pertikaian yang telah timbul, terutama antara para
sufi dengan ulama fiqih.

Corak pemikiran tasawuf yang dimiliki Al-Ghazali


mengedepankan pada psikomoral yang mengutamakan pendidikan
moral. Hal ini dapat dilihat dalam karya-karyanya seperti Ihya
Ulumuddin  (Menghidupkan Ilmu-Ilmu Agama), Bidayatul
Hidayah (Pengantar Tasawuf), Al-Munziqu Minad Dhalal (Pelepasan
Diri Dari Kesesatan), Tahafutil Falasifah (Kacau Balaunya Filsafat),
dan sebagainya. Al-Ghazali mengkritik pola tasawuf pada masa
sebelumnya (bisa jadi karena kemasukan paham filsafat) karena
dianggapnya mempunyai dua kelemahan. Pertama, kurang
memperhatikan amal lahiriyah, hanya mengungkapkan kata-kata yang
sulit dipahami dan mengemukakan kesatuan dengan tuhan. Kedua,
keganjilan ungkapan yang tidak dipahami maknanya diucapkan dari
hasil pemikiran yang kacau, hasil imaginasi sendiri.

Selain kritikan tentang model orang-orang sufi sebelumnya, serta


model berpikir para filsuf, Al-Ghazali memiliki sejumlah pemikiran
yang masih berputar pada masalah kebatinan, secara garis besar antara
lain:

a. Terkait tasawuf dan filsafat

Al-Ghazali tertarik kepada tasawuf karena menurutnya, yang


ditekankan dalam tasawuf bukan semata-mata akal. Karena
apabila hanya akal, maka yang ada hanyalah kebinasaan yang
akan didapatinya. Artinya, dalam mempelajari filsafat,

20
bukannya bertambah teguh imannya, malah menimbulkan
keraguan. Oleh sebab itu kalau hanya mengandalkan akal,
maka tidak akan dapat menemukan kebenaran, keadilan,
kecintaan, dan keyakinan, sebab akal saja tidak dapat mencari
nilai. Begitu pula tentang kesalahan yang didapat pada para ahli
tasawuf seperti yang disebutkan sebelumnya, namun kesalahan
ini masih dapat diperbaiki, asalkan ada dua perkara yang tidak
boleh dipisah, yakni ‘Ilmu dan Amal’.

b. Konsep Ma’rifat

menurut Al-Ghazali ma’rifat bukan hanya didapat dengan akal.


Ilmu yang sejati atau ma’rifat yang sebenarnya adalah
mengenal Tuhan. Dari sini Al-Ghazali mengenalkan
konsep Hadrat Rububiyah, yaitu wujud Tuhan meliputi segala
wujud. Tidak ada wujud melainkan Allah dan perbuatan Allah.
Allah dan perbuatan-Nya adalah dua, bukan satu. Pendapat Al-
Ghazali ini menunjukkan pendiriannya yang berbeda dengan
para sufi sebelumnya, seperti Al-Hallaj melalui
paham Wihdatul Wujud-nya.

c. Tingkatan manusia

Menurut Al-Ghazali, kecerdasan dan kesanggupan akal


manusia itu tidaklah sama. Dalam dunia ini pasti ada orang
awam dan orang khawash. Al-Ghazali memberi nasihat kepada
orang awam yang belum sanggup berpikir seperti
orang khawash untuk tidak perlu memasuki pada persoalan
yang rumit dan dalam, yang justru akan menimbulkan keraguan
dalam hatinya sendiri. Cukuplah bagi orang awam itu
berpegang dengan Al-Qur’an dan Sunnah, tidak perlu banyak
tanya, dan tidak perlu menta’wilkan dalil yang dalam
pemahamannya.

21
d. Iman dan yakin

Dari tingkatan manusia di atas, maka Al-Ghazali membagi


iman dan yakin menjadi tiga tingkatan:

a) Iman orang awam: Orang awam itu mempercayai kabar


berita yang dibawa oleh orang yang dipercayainya

b) Iman orang ‘alim: Orang ‘alim itu orang yang mendapat


kepercayaan dari jalan membanding, meneliti, dan
memeriksa dengan segenap kekuatan akal dan mantiq-
nya (intelektualisme).

c) Iman orang ‘arifin: Orang ‘arifin itu orang yang


beriman dan tumbuh keyakinan setelah menyaksikan
sendiri akan kebenaran itu tanpa adanya
tabir/penghalang.

e. Bahagia

Manusia memiliki sifat ingin tahu, karena manusia lahir di


dunia ini berawal dari ketidaktahuan (laa ta’lamuuna syai’an).
Apabila manusia mengetahui suatu hal yang belum diketahui,
maka terasa senang lah hatinya. Kesenangan itu ada
dua: lazaat (kepuasan) dan sa’adah (kebahagiaan).

Bila seseorang bertambah banyak yang diketahuinya,


maka bertambah naiklah tingkat kepuasan dan bertambah
dalam rasa kebahagiaan. Itulah sebabnya orang yang lebih luas
pengetahuannya akan lebih berbahagia daripada orang yang
kurang berpengetahuan. Dan puncak tertinggi dari rasa puas
dan bahagia ialah ma’rifatullah (mengenal Allah Swt)

22
Demikianlah pemikiran tasawuf Al-Ghazali, yang
akhirnya membuka jalan baru bagi tasawuf Islam. Konsep
tasawuf Al-Ghazali ini bahkan menjadi ilmu baru yang bukan
hanya bagi umat Islam, namun juga orang-orang Nasrani pada
abad-abad pertengahan. Al-Ghazali dalam tasawufnya juga
berhasil menggabungkan rasa keindahan dan cinta, yang
akhirnya menghasilkan seni yang hidup dalam Islam. Hal ini
nampak pada seni arsitektur seperti pada menara masjid, kubah
masjid, ukiran Al-Qur’an, pada syair-syair yang merdu dan
mendalam dari para sufi abad-abad berikutnya, seperti
Jalaluddin Rumi, dan lain-lain.19

4. Tasawuf Pada Abad Keenam dan Ketujuh Hijriyah

Pada abad VI Hijriyah, tampillah tasawuf falsafi, yaitu tasawuf


yang bercampur dengan ajaran filsafat, kompromi dalam
pemakaian term-term filsafat yang maknanya disesuaikan dengan
tasawuf. Dr. Ibrahim Hasan Ibrahim dalam bukunya ‘Tarikhul Islam’
menamainya sinkretisme filsafat dengan tasawuf. Sehingga dalam hal
ini, perjalanan tasawuf masih sama seperti pada abad V Hijriyah.
Ditambah lagi adanya akibat dari besarnya pengaruh Tasawuf Al-
Ghazali yang berhasil mengkompromikan ilmu kebatinan dengan
filsafat. Teorinya mengenai hakikat bukan semata-mata dengan akal,
namun juga dengan perasaan.

Beberapa tokoh sufi terkenal ini akan diulas secara garis besar berikut:

Syihabuddin Abdul Futuh Al-Syuhrawardi, Ia dikenal


dengan nama lain Asy-Syaikh Al-Maqtul (Syaikh yang mati terbunuh),
dan memiliki gelar ‘Al-Mu’ayyad bil Malakut’ (mendapat sokongan
dari alam malakut). Mula-mula ia belajar filsafat dan ushul fiqih
kepada Syaikh Imam Majdudin Al-Jaili di Aleppo dan banyak bergaul
19
Hamka.

23
dan bertukar pikiran dengan para ulama disana. Lantaran
pemikirannya yang sangat bebas, akhirnya timbul pertentangan
dengan para ulama fiqih sehingga ia dituduh zindiq dan ilhad (tidak
bertuhan/keluar dari agama). Kemudian para ulama fiqih meminta
kepada Sultan Salahuddin Al-Ayyubi (Saladin) yang terkenal untuk
menangkapnya dan dijatuhi hukuman mati. Setelah mendengar
desakan dari para ulama fiqih tersebut, maka Sultan mengutus
anaknya, Malik Az-Zahir, untuk menanngkapnya dan
memasukkannya ke dalam penjara. Setelah berada di penjara, Al-
Syuhrawardi tidak mau makan dan minum sampai meninggal pada
tahun 587 H/1191 M.

Al-Syuhrawardi telah mempelajari filsafat kuno seperti filsafat


India, Persia, dan Yunani. Setelah mendalami beberapa filsafat
tersebut, maka ia berkesimpulan bahwa para filsuf adalah orang-orang
dari satu keluarga. Seperti para filsuf dari Yunani, India, dan Persia,
semuanya berjalan menuju satu maksud dan berlindung di bawah satu
bendera, yakni filsafat Isyraq, yakni menuntut cahaya kebenaran dari
cahayanya segala cahaya, yaitu Allah.

Dalam kitabnya ‘Hayakilun Nur’, ia menerangkan perlawanan


antara Nur (cahaya, merujuk pada rohani) dengan zulumat (kegelapan,
merujuk pada benda). Berbagai kekuatan akal dinamai
dengan Anwar (banyak cahaya). Akal yang mengatur perjalanan falak
dinamainya Anwarul Qahirah (cahaya yang  menguasai). Jiwa
manusia dinamainya  Anwarul Mujarradah (cahaya yang semata-
mata). Allah dinamainya Nurul Anwar (cahaya dari segala
cahaya). Jizim (tubuh) dinamainya Jauharul Muzlim (benda yang
gelap), sedangkan alam Ajzam dinamakan Barzakh. Dari sini, Al-
Syuhrawardi berusaha menjelaskan dasar filsafat tasawuf yang
dimilikinya, yakni Allah adalah cahaya dari segala cahaya dan sumber
dari segala yang ada. Dari nur Allah akan melahirkan nur-nur yang

24
lain, baik alam yang maddi (nampak) atau alam rohani. Dari kekuatan
tersebut kemudian menggerakkan segala falak dan mengatur akan
segala aturannya.

Terkait penuntut hikmah, Al-Syuhrawardi membaginya menjadi tiga


macam:

a. Ahli Filsuf, yang hanya mempergunakan akal semata.

b. Ahli Tasawuf, yang ingin mencari Tuhan.

c. Ahli filsuf ketuhanan, yakni yang menggunakan akal dan


mementingkan rasa untuk mencapai tujuan, yaitu Allah. Inilah
yang paling tinggi nilainya.20

Muhyiddin Ibnu Arabi, Nama lengkapnya Abu Bakar Muhyiddin


Muhammad bin Arabi At-Thai Al-Haitami Al-Andalusi. Lahir di
Mercia, Spanyol pada tahun 598 H/1102 M). Pada mulanya, Ibnu
Arabi menuntut ilmu fiqih dalam mazhab Zahiri di Avilla, kemudian
dilanjut dengan mencari ilmu kepada guru-guru yang sudah banyak
terpengaruh oleh filsafat Neo-Platonisme yang sedang berkembang di
Andalusia pada saat itu.

Ia memiliki konsep filsafat tasawuf yang hampir sama dengan Al-


Syuhrawardi, yaitu gabungan antara perasaan jiwa dengan renungan
akal. Karyanya juga banyak, salah satunya ialah  ‘Al-Futuhat Al-
Makiyah’, yang berisi pendirian dan buah renungan dari Ibnu Arabi.
Perihal konsep tasawuf, Ibnu Arabi memiliki tiga ajaran pokok, yaitu:

a) Wihdatul Wujud (Pantheisme)

Bagi Ibnu Arabi, wujud itu hanya satu, wujud makhluk adalah
wujud khalik (Al-khaliq huwal makhluq, wal makhluq huwal khaliq).

20
Hamka.

25
Tidak ada perbedaan di antara yang qadim (eternal) yang disebut
Khalik dengan yang baru yang disebut makhluk. Perbedaan itu hanya
rupa dan ragam dari hakikat yang satu, karena itu keduanya
mempunyai sifat yang sama. Singkatnya bagi Ibnu Arabi, hamba itu
Tuhan dan Tuhan itu hamba.

b) Al-Haqiqatul Muhammadiyah/Nur Muhammad

Kalau Al-Hallaj adalah peletak dasar teori Nur Muhammad,


maka Ibnu Arabi adalah seseorang yang memperluas dan
mengembangkan teori tersebut. Bagi Ibnu Arabi, Allah itu adalah
sesuatu dan satu. Dialah wujud yang mutlak. Maka nur (cahaya) Allah
itu sebagian dari dirinya. Itulah hakikat Muhammadiyah. Maka Nur
Muhammad itu juga bersifat qadim, sebagian dari sesuatu dan satu.
Apabila Muhammad telah mati (tubuhnya), namun Nur Muhammad
atau hakikat Muhammadiyah itu tetaplah ada. Jadi, Allah – Adam –
Muhammad adalah satu.

c) Wihdatul Adyan (Kesatuan Agama)

Sama seperti Al-Hallaj, Ibnu Arabi berkata, “Model


penyembahan yang bermacam-macam agama dengan secara khusus
menurut agamanya saja, tidak diragukan lagi hal itu adalah
kebodohan karena dianggap berpaling dari Tuhan yang disembah
mereka. Adapun Tuhan yang mutlak tidak memberi lapangan tertentu
pada sesuatu karena Dia sendiri adalah ‘ain-nya sesuatu itu”.
Dengan demikian menurut pandangan Ibnu Arabi, Tuhan itu bukan
hanya terbatas pada Tuhannya orang Islam, tetapi juga meliputi
Tuhannya setiap agama. Sebab pada hakikatnya, setiap yang disembah
itu adalah Tuhan juga.

Bila sebelumnya pertentangan antara ulama fiqih dengan kaum


sufi berada pada puncaknya pada abad III Hijriyah melalui Al-Hallaj,

26
maka dengan munculnya sosok Ibnu Arabi ini, pertentangan lama
kembali bangkit dengan hebatnya. Terkait Al-Hallaj, kemungkinan
besar masih dapat dimaafkan atau minimal dimaklumi adanya karena
perkataan yang diucapkannya itu dalam keadaan sakar (mabuk
kepayang) meski pada akhir hayatnya ia dihukum mati. Namun untuk
Ibnu Arabi, yang dipandang sebagai seorang yang berilmu, berfilsafat,
dan bertasawuf, maka para ulama fiqih tidak dapat membiarkannya
begitu saja.

Banyak para ulama besar yang menentang paham tasawuf milik


Ibnu Arabi ini melalui fatwa-fatwanya, seperti Ibnu Taimiyah, Ibnu
Qayyim Al-Jauziyah, Ibnu Khaldun, Ibnu Hajar Al-Aqshalani,
Ibrahim Al-Biqa’i.21

5. Tasawuf Pada Abad Kedelapan Hijriyah

Pada masa ini terlihat tanda-tanda keruntuhan tasawuf kian jelas,


yang disebabkan seringnya terjadi penyelewengan dan pemikiran
ganjil dalam diri kaum sufi dan sekaligus mengancam kehancuran
reputasi baik ilmu tasawuf. Tasawuf pada waktu itu telah
termasuki bid’ah, khurafat, mengabaikan syari’at, hukum-hukum
moral, dan penghinaan terhadap ilmu pengetahuan, membentengkan
diri dari dukungan awam untuk menghindarkan diri dari rasionalitas,
azimat dan ramalan serta kekuatan gaib ditonjolkan. Ada masa ini,
muncullah revivalis Islam, Syaikh Ibnu Taimiyah (w. 727 H/1329
M), yang dengan lantang menyerang penyelewengan-penyelewengan
para sufi tersebut. Dia dikenal kritis, peka terhadap lingkungan
sosialnya, polemis dan berusaha meluruskan ajaran Islam yang telah
diselewengkan para sufi tersebut.

Ibnu Taimiyah melancarkan kritik terhadap


ajaran Ittihad, Hullul, dan Wahdat Al–Wujud sebagai ajaran yang
21
Sjukur, Ilmu Tasawuf.

27
menuju kekufuran (atheisme). Ibnu Taimiyah membagi fana’ menjadi
tiga bagian: fana’ ibadah, fana’ syuhud al-qalb, dan fana’ wujud ma
siwa Allah. Terhadap fana’ pertama dan kedua, masih dalam batas
kewajaran, baik ditinjau dari segi psikologis maupun agamis.
Sedangkan fana’ ketiga dianggap menyeleweng dari ajaran Islam dan
dianggap kufur. Ibnu Taimiyah cenderung bertasawuf sebagaimana
yang pernah diajarkan Rasulullah Saw, yakni menghayati ajaran
Islam, tanpa mengikuti aliran thariqah tertentu sebagaimana manusia
pada umumnya. Tasawuf model ini yang cocok untuk dikembangkan
di masa modern sekarang.

Penyebab mundurnya tasawuf di dunia Islam pada abad ini antara lain:

Pada masa itu adalah masa suram-suramnya cahaya perasaan dan


pemikiran karena ada rasa keputusasaan dalam dunia Islam. Hal ini
dikarenakan Baghdad sebagai jantungnya ilmu pengetahuan telah
dihancurkan oleh bangsa Mongol. Ditambah lagi kekuasaan Islam
berpindah ke Asia Kecil (Turki) oleh Turki Utsmani. Sejak itulah
pelita timur lambat laun redup.

a. Bangsa Barat mengalami zaman Renaissance yang mendorong


kemajuan bangsa Barat dalam mengambil alih peradaban
dunia.

b. Umat Islam hanya bertaklid dalam segala bidang ilmu, yaitu


menurut saja kepada apa yang ditulis dan dijelaskan oleh
orang-orang terdahulu. Tidak hanya tasawuf, kondisi taklid ini
juga terjadi pada beberapa bidang ilmu, seperti ilmu fiqih, Al-
Qur’an, hadits, dan teologi (kalam).

c. Lebih lanjut dengan semakin surutnya perkembangan tasawuf


pada abad VIII Hijriyah ini, maka tidak ada lagi pemikiran baru
dalam dunia tasawuf. Meski ada beberapa ahli sastrawan sufi

28
seperti Al-Kassyani atau Al-Kisani (w. 739 H/1321 M) yang
telah banyak menulis buku-buku tentang tasawuf, namun dia
tidak mengeluarkan pendapat yang baru. Ada pula seorang sufi
besar pada abad ini yang bernama Abdul Karim Al-Jaili,
seorang pengarang kitab ‘Insan Kamil’. Isi bukunya sempat
membuat gempar para ulama fiqih, karena isinya memperindah
konsep-konsep pikiran Ibnu Arabi, Jalaluddin Rumi, dan lain-
lain.

Di dalam abad kesepuluh Hijriyah, muncul kembali


seorang sufi yang besar di Mesir, yaitu Abdul Wahab Sya’rani.
Ia memiliki banyak karangan, namun sebagian besar isinya
sulit diterima oleh rasa, harus memakai akal. Kemudian di abad
keduabelas Hijriyah, muncul kembali seorang sufi yang
bernama Abdul Ghani An-Nablusi (w. 1143 H/1735 M),
seorang pengikut Ibnu Arabi.22

22
Noer Iskandar.

29
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Ada dua teori mengenai lahirnya ajaran tasawuf , yaitu ajaran tasawuf
murni berasal dari ajaran Islam dan ajaran tasawuf merupakan pengaruh dari
ajaran selain Islam (Kristen, Hindu, Buddha, Filsafat Yunani). Tasawuf
berkembang mulai dari zaman Rasulullah sampai sekarang. Pada masa
perkembangannya muncul banyak tokoh-tokoh terkenal seperti Hasan Al
Basri, Rabiatul Adawiyah, Sufyan Tsauri, Husain bin Mansuh Al-Hallaj,
Abu Yazid Al Busthami, dan lain sebagainya.

Ajaran-ajaran dalam tasawuf meliputi khauf, raja’, taubat, zuhud,


tawakkal, syukur, sabar, ridha, fana, cinta, rindu, ikhlas, ketenangan jiwa
dan lain sebagainya

B. Saran

Demikian makalah yang kami buat, semoga dapat bermanfaat bagi


pembaca. Pada saat pembuatan makalah Penulis menyadari bahwa banyak
sekali kesalahan dan jauh dari kesempurnaan. Apabila ada saran dan kritik
yang ingin disampaikan, silahkan sampaikan kepada penulis dan apabila
terdapat kesalahan mohon dapat memaafkan dan memakluminya, karena
kami adalah hamba Allah yang tak luput dari salah.

30
DAFTAR PUSTAKA

Sjukur, Aswadjie. Ilmu Tasawuf. Surabaya: Bina Ilmu, 1978.


Syukur, Amir dan Masyharuddin. Intelektualisme Tasawuf. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2002.
Hamka. Tasawuf Perkembangan Dan Pemurniannya. Jakarta: Yayasan Nurul
Islam, 1980.
Noer Iskandar, Al-Barsany. Tasawuf Tarekat Para Sufi. Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2001.
Ignas Goldziher, Pengantar Teologi dan Hukum Islam (Jakarta: INIS Jakarta),
1991, hlm. 126-128
Hafiun, Muhammad. “Teori Asal Usul Tasawuf” XIII (2012).
https://media.neliti.com/media/publications/76410-ID-none.pdf.

31

Anda mungkin juga menyukai