Segala puji bagi Allah yang telah memberikan rahmat-Nya sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah yang menjadi tugas mata kuliah Akhlaq Taawwuf
ini. Sholawat serta salam kami haturkan kepada Rasulullah SAW, para wali, dan
pengikutnya hingga akhir zaman.
DAFTAR ISI
ABSTRAK i
KATA PENGANTAR ii
BAB I. PENDAHULUAN
Latar Belakang 1
Rumusan Masalah 1
Tujuan 1
Kesimpulan 23
Saran 23
DAFTAR PUSTAKA 24
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dalam diri manusia selalu ada yang namanya spiritualitas, karena spiritualitas
berkenaan dengan hati manusia. Manusia yang ditakdirkan memiliki hati dan
perasaan akan konsep spiritualitas yang membedakan hanyalah tingkat kekuatan
dan keyakinan akan perasaan itu muncul dari mana.
Dalam makalah ini, kami akan membahas tentang konsep pendekatan diri
kepada Allah dengan berpegang teguh pada al-Qur’an dan sunnah yang biasa
disebut tasawwuf sunni.
B. RUMUSAN MASALAH
C. TUJUAN
BAB II
PEMBAHASAN
Dari pendapat tersebut bisa diartikan bahwa tasawuf adalah semangat islam
sebab semua hukum islam berdasarkan landasan moral, ketekunan beribadah,
ketahan mental, dari berbagai macam godaan duniawi, konsisten dalam latihan
spiritual atau mujahadah dan komitmen yang tidak terbatas untuk dapat sampai
kepada Allah, Tuhan yang Maha Benar (Al-Wujud Al-Haqq).
Sedangkan kata sunni atau ahlussunnah wal jammah, adalah mereka yang
senantiasa tegak diatas islam berdasarkan alqur’an dan hadits, dengan pemahaman
para sahabat, tabiin, dan tabiut tabiin.3
Jadi dapat disimpulkan bahwa tasawuf sunni adalah tasawuf yang berorientasi
pada perbaikan akhlak, mencari hakikat kebenaran dan mewujudkan manusia
yang dapat makrifat kepada Allah, dengan metode-metode tertentu yang telah
dirumuskan. Tasawuf sunni biasa juga disebut dengan istilah tasawuf akhlaqi.
Tasawuf model ini berusaha untuk mewujudkan akhlak mulia dalam diri si sufi,
1.
taftazani, abu alwafa’ al-ghanimi al-, sufi dari zaman ke zaman, Bandung: Pustaka, 1985
hal.10
2.
hasan, muhammad tholhah, ahlussunnah wal jamaah, Jakarta : Lantabora Press, 2003, hal.158
3.
id.wikipedia.org/wiki/sunni
2
sekaligus menghindarkan diri dari akhlak mazmumah (tercela), 4 dengan
memadukan aspek hakekat dan syari’at dan berusaha sungguh-sugguh berpegang
teguh terhadap ajaran al-Qur’an, Sunnah dan Shirah para sahabat.
Dalam diri manusia ada potensi untuk menjadi baik dan ada potensi untuk
menjadi buruk. Tasawuf akhlaki tentu saja berusaha mengembangkan potensi baik
supaya manusia menjadi baik, sekaligus mengendalikan potensi yang buruk
supaya tidak berkembang menjadi perilaku (akhlak) yang buruk. Potensi untuk
menjadi baik adalah al-Aql dan al-Qalb. Sementara potensi untuk menjadi buruk
adalah an-nafs (nafsu) yang dibantu oleh syaitan. Hal ini digambarkan dalam Al-
Qur’an surat As-Syam ayat 7-8 yang artinya sebagai berikut : “dan jiwa serta
penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu
(jalan) kefasikkan dan ketakwaannya.”
4.
alba, cecep, tasawuf dan tarekat, hal.31
3
B. LATAR BELAKANG MUNCULNYA TASAWUF SUNNI
Latar belakang kemunculan tasawuf Sunni dipengaruhi oleh faktor
eksternal maupun internal. Faktor eksternal yang menyebabkan tasawuf ini
adalah sekitar masalah aqidah-aqidah yang menjadi masalah besar, sedangkan
faktor internalnya adalah kritik-kritik tasawuf yang ada saat itu oleh tokoh-tokoh
suffi yang dipandang menyimpang.
Sebenarnya tasawuf Sunni pada abad ke-3 dan ke-4 hijriyah telah ada,
namun disini belum terlihat jelas bentuk tasawufnya, yang jelas para tokoh yang
ada pada saat itu menggunakan Al-Qur’an dan Sunnah sebagai pedomannya. Dan
pada abad ke-5 lah, muncul masalah besar tentang aqidah dan disini banyak
muncul kaum suffi yang kembali pada Al-Qur’an dan Sunnah. Faktor eksternal
yang menjadi penyebabnya adalah munculnya pecekcokan masalah
aqidah yang melanda para ulama’ fiqh dan tasawwuf, lebih-lebih pada abad ke-5
hijriah aliran syi’ah al-islamiyah yang berusaha untuk mengembalikan
kepemimpinan kepada keturunan ali bin abi thalib. Dimana syi’ah lebih banyak
mempengaruhi para sufi dengan doktrin bahwa imam yang ghaib akan pindah
ketangan sufi yang layak menyandang gelar waliyullah, dipihak lain para sufi
banyak yang dipengaruhi oleh filsafat Neo-Platonisme yang memunculkan corak
pemikiran taawwuf falsafi yang tentunya sangat bertentangan dengan kehidupan
para sahabat dan tabi’in,5 dengan ketegangan inilah muncullah tokoh-tokok sufi,
yang menggunakan al-qur’an, sunnah, dan shiroh sahabat sebagai rujukan
ajarannya yang bercorakkan tasawuf Sunni.
5.
puncakgunung12.blogspot.2013/06/tasawufsunni.com
6.
Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, jilid.1, hal.77
4
dengan salah satu pemikiran tasawufnya yaitu Al-Ma’rifat (pengetahuan
tentangTuhan secara dekat), Hujjatul Islam Abu Hamid Al-Ghazali (450 H-505H)
dengan konsep tasawuf yang dapat dicapai melalui dua pendekatan yakni
“pendekatan ilmu pengetahuan dan pendekatan amal perbuatan” , Syekh Al-Islam
Sultan Al-Auliya Abdul Qadir Al-Jilani (470 H-561 H) yang melihat ajaran islam
dari dua aspek (lahir dan batin), Rabiah Al-Adhawiyah (-), yang terkenal dengan
konsep mahabbahnya.
5
C.BENTUK-BENTUK TASAWUF SUNNI
Bentuk tasawuf sunni, tidak terlepas dari tokoh yang membawa dan juga
mengembangkannya. Dari hal tersebut terdapat perbedaan-perbedaan unsur
pemikiran antara tokoh satu dengan tokoh lain yang lebih ditonjolkan, namun
semua itu mempunyai persamaan syariat dan hakikat, selian itu dari segi sumber
ajarannya, yaitu alqur’an dan hadits, dengan pemahaman para sahabat, tabiin, dan
tabiut tabiin.
Nama lengkap beliau adalah Abu Sa’id al-Hasan binYasar. Tokoh ini lahir
diMadinah tahun 21 H. (642 M), meninggal di Basrah pada tahun 110 H. (728 M).
Ayahnya seorang budak yang menjadi sekretaris nabi , yaitu Za’id bin Tsabit.
6
semangat dalam kebaikan segera bangkit dan jika sedikit saja melakukan
kesalahan segera ia menahan diri. Jika menyuruh orang lain beramal ia paling
dulu melakukannya, dan jika ia melarang sesuatu, ia paling dulu
meninggalkannya. Ia tidak membutuhkan orang lain, sementara orang lain
membutuhkan dirinya”.
7.
Hamka, Tasawuf, Perkembangan dan Pemurniannya, hal, 78
7
2. AL-MUHASIBI (W.243 H/857 M)
A. Biografi
Bentuk utama egoisme yang dianalisis al-Muhasibi adalah (1) riya yang
biasa disebut narsisisme; (2) kibr didefinisikan oleh al-Muhasibi sebagai tindakan
hamba yang menempatkan dirinya pada kedudukan Tuhan, dalam istilah
kontemporer biasa disebut megalomania, yakni seorang melihat dirinya sebagai
pusat realitas (3) ujub, maknanya seorang memperdaya dirinya sendiri dengan
melebih-lebihkan penilaiannya atas segala tindakannya,serta melupakan
kesalahan-kesalahan dirinya. (4)ghirrah, dengannya seseorang berkhayal bahwa
penolakannya untuk merubah perangi buruknya dibenarkan oleh harapannya akan
sifat rahmat rahim Allah.
Setiap bentuk egoisme ini berhubungan satu sama lain dan masing-masing
melahirkan sub bentuk egoisme baru, sepertipersaingan, permusuhan, ketamakan
serta tafakhur(membangga-banggakan diri) . masing-masing sub bentuk tersebut
memiliki suatu modalitas dalam hubungannya dengan bentuk-bentuk prinsipal.
Oleh sebabitu, terdapat persaingan yang berladaskan pada kecongkakan dan
bentuk persaingan yang berbeda berlandaskan pada kibr dan ‘ujb. Masing-masing
8
bentuk dan sub bentuk egoisme memiliki penawar dalam kehiduan manusia.
Ikhlas, misalnya adalah penawar bagi riya. Setiap penawar bersumber pada
renungan pada keesaan tuhan, Al-Qur’an , sunnah nabi dan akal sehat manusia
selama ia berpijak pada wahyu Ilahi. 8
3. AL-QUSYAIRI
A. Biografi
8
. Terbakar Cinta Tuhan Kajian Ekslusif Spiritualisme Islam awal, karya Michael A.Sells, judul
asli, Early Islamic Mysicam:sufi, Al-Qur’an , Mi’raj , oeticand Theological Writings, hal 227
9
4. AL-GHAZALI DAN BENTUK TASAWUFNYA
A. Biografi Dan Sejarah Ketasawufannya
9. taftazani, abu alwafa’ al-ghanimi al-, sufi dari zaman ke zaman, hal.150
10
Periode awal kehidupan spiritualnya tersebut merupakan persiapan psikis bagi
beliau untuk menempuh jalan tasawuf. Periode spiritualya itu sendiri ditandai
dengan berbagai kondisi intuitif, seperti keraguan, kegelisahan, rasa bosan, rasa
sedih yang mendalam, rasa takut kepada sesuatu yang tidak diketahui, upaya
memahami realitas alam dan menyingkapkan yang dibaliknya, dan perasaan-
perasaan samar lainnya, yang kesemua itu akhirnya menuju Allah.
Dalam tasawuf, pilihan Al-Ghazali jatuh pada tasawuf Sunni yang
berdasarkan doktrin Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Dari paham tasawufnya itu dia
menjauhkan semua kecenderungan gnostis yang mempengaruhi para filosof
Islam, sekte Islamiyyah dan aliran Syiah, Ikhwanus Shafa, dan lain-lainnya. Juga
beliau menjauhkan tasawufnya dari teori-teori ketuhanan menurut Aristoteles,
antara lain dari teori emanasi dan penyatuan. Sehingga dapat dikatakan bahwa
tasawuf Al-Ghazali benar-benar bercorak Islam.
Dan akhirnya, sekalipun Al-Ghazali dalam tasawufnya mengarah pada
aliran murni, namun pengetahuannya yang luas dalam bidang filsafat membuatnya
mampu menguraikan, menganalisa, bahkan memperbandingkan masalah-masalah
tasawuf yang dikajinya. Disamping itu beliau mempunyai kecakapan dalam
mengkritik aliran-aliran yang bertentangan dengan tasawuf Sunni, serta
memancangkan persoalan-persoalan yang beliau kemukakan. Atas upayanya
tersebut, seperti dikatakan Macdonald, “ Beliau membuat tasawuf mempunyai
posisi terhormat dalam kalangan kaum muslimin yang Sunni”
11
bahwa keistimewaan khusus milik para sufi tidak mungkin tercapai hanya dengan
belajar, tapi harus dengan ketersingkapan batin, keadaan rohaniah, serta
penggantian tabiat-tabiat. Dengan demikian, menurutnya, tasawuf adalah
semacam pengalaman maupun penderitaan yang riil.
12
dan bukan pula akal budi.
Untuk mencapai tingkat ma’rifah, para sufi berusaha melakukan beberapa
tahap perjalanan rohani (suluk), antara lain yang dipandang sangat mendasar :
a.) At-Taubah
At-Taubah atau yang sering kita sebut dengan tobat terbagi menjadi 3 jenjang
dalam penempuhannya, yang pertama At-Taubah, merupakan taubatnya orang
yang takut akan siksaan dan hukuman Tuhan. Yang kedua Al-Inabah, yaitu
taubatnya orang yang mengiginkan pahala. Dan yang ketiga adalah Al-Aubah,
yaitu taubatnya orag yang mematuhi perintah Tuhannya, bukan karena takut
disiksa ataupun menginginkan pahala.
b.) Az-Zuhd
Zuhud adalah meninggalkan kesenangan duniawi dan mengharapkan kesenangan
ukhrowi. Sifat dan sikap zuhud telah dicontohkan Nabi Muhammad SAW kepada
sahabat-sahabatnya. Mereka menganggap harta dan kenikmatan duniawi ini
sebagai hal yang tidak penting, terlalu kecil dibanding kenikmatan akhirat, terlalu
rendah nilainya dibanding kekayaan akhirat.
Menurut Al-Ghazali Zuhud memunyai 3 tingkatan, pertama zuhud terhadap dunia
(barang-barang duniawi), dia merasakan hal yang berat, karena sesungguhnya dia
masih menginginkan namun berusaha untuk melawan. Orang ini disebut “Al-
Mutazahid” (belajar zuhud), yang kedua orang yang siap meninggalkan barang
duniawi dengan sukarela, orang ini disebut dengan “Az-Zahid”. Dan yang ketiga
adalah orang yang tidak merasakan adanya keberatan apapun meninggalkan
masalah dunia, karena memang dia sudah tidak lagi tertarik dengan hal dunia.
Orang ini disebut “Az-Zahid Al-Kamil” (orang yang sempurna kezuhudannya).
c.) Al-Wara’
Kata ini asalnya mempunyai arti “menahan diri” atan “pengendalian diri”. Wara’
ada tiga tingkatan, pertama wara’nya orang awam (wara’al awam), yang
menahan diri dari melakukan segala hal yang tidak layak dilakukun meskipun itu
bukan barang maksiat, termasuk menjauhkan diri dari semua barang syubhat
(Yang tidak jelas hukumnya). Kedua, wara’nya orang khas (wara’al khusus),
13
yakni menjauhkan diri dari segala apa saja yang dapat mengganggu hati-hatinya,
atau mengganggu hak orang lain. Ketiga, wara’nya orang yang sangat khusus
(wara’ khushusi al-khusus) yang menjauhi segala hal selain Allah dengan
menjelaskan bahwa Al-Wara’ itu menjauhkan diri dari segala hal berbau syubhat
dan Az-Zuhd adalah meninggalkan hal-hal yang melebihi kebutuhan pokok.
d.) At-Tawadlu
At-Tawadlu makksudnya dalah berlaku sopan terhadap semua manusia apalagi
terhadap Allah, sebab tawadlu merupakan penjaban dari akhlaq luhur (khusnu al-
khuluq/makarimal akhlaq) yag menjadi indikasi kualitas agama seseorang maka
sifat dan sikap serta perilaku yang dinilai menjadi sumber segala dosa yakni: Al-
Kibr, Al-Hisr, Al-Hasad, Ro’su kulli khati’ah, Al-Kidzb, Al-Hibah, Fitnah, An-
Namimah
e.) Al-Muroqobah
Adalah kesadaran yang intens bahwa Allah selalu memantau dan mengawasi
segala niat, sikap dan perilaku manusia dalam segala situasi di semua tempat dan
waktu.
f.) Adz-Dzikr
Adalah mengingat Allah baik dengan lisan maupun dengan hati.
g.) Al-Istiqomah
Prinsip istiqomah menuntut perpaduan ketat antara menjalankan ketaatan, dan
menjauhi kemaksiatan yang hakikatnya hanya dapan dilakukan secara sempurna
oleh para nabi dan auliya.
Syech Abu Ali Ad-Daqaq mengatakan bahwa istiqamah itu dimulai dari At-
Taqwim (mendisiplinkan diri), kemudian Al-Iqomah (meluruskan hati), dan
setelah itu baru Al-Istiqomah (mendekatkan hati nurani terus menerus kepada
Allah.11
Dan itulah yang sering disebut dengan maqamat-maqamat yang harus ditempuh
para sufi menurut Al-Ghazali.
14
b.3 Fana dalam Tauhid atau Ilmu Mukasyafah
Adalah ketika seseorang tidak melihat yang selain Allah serta tidak tahu
yang selainnya. Yang dia tau hanyalah Allah dan kreasi-kreasiNya. Dengan itu
tidak ada yang dikenalnya kecuali Allah, tidak ada yang dicintainya kecuali
Allah.Dia juga tidak akan memandang dari dirinya sndiri, tapi dari segi
predikatnya sebagai hamba Allah.
b.4 Pengungkapan Ilmu Mukasyafah Secara Simbolis
Ilmu mukasyafah adalah ilmu yang tersembunyi, dan hanya diketahui bagi
mereka orang yang benar-benar mengenal Allah. Karena itu mereka hanya akan
menggunakan simbol-simbol khusus serta tidak akan memperbincangkannya
diluar kalangan sendiri.
b.5 Kebahagiaan
Inilah tujuan terakhir jalan para sufi, sebagai buah pengenalan terhadap
Allah.
15
Sultan al-Auliya dilahirkan pada pertengahan bulan ramadhan pada tahun
471 H di kampung Jilan. Di Jilan beliau hidup hingga berusia delapan belas tahun.
Pada tahun 488 H ia pindah ke Bagdad dan menetap disana hingga akhir
hayatnya.
Pada masa studi Sultan al-Auliya tahu bahwa mencari ilmu itu hukumnya
wajib kepada setiap muslim dan muslimat. Oleh karena itu, dalam usia yang
masih muda ia belajar berbagai disiplin ilmu daripada ulama yang mumpuni
dizamannya. Ia mulai belajar al-Qur’an dibawah bimbingan Abual-Wafa ‘Ali bin
‘Uqail al-Hanbani dan ulama yang lainnya. Ia belajar hadist melalui banyak
tangan para ahli hadist yang masyhur di zamannya, seperti Abu Ghalib
Muhammad bin Hasan al-Balaqalani dan yang lainnya. Ia mempelajari fiqih
melalui tangan ulama-ulama fiqih yang masyhur dizamannya seperti Abu Zaid al-
Muhrimi yang darinya ia mengambil hirqah yang mulia. Bahasa dan sastra
dipelajari juga dari Abu Zakaria Yahya bin Ali at-Tabrizi, Shahib Hammad Ad-
Dabbas dan dari yang tersebut terakhir ia juga mengambil tarekat.
Seperti halnya sufi yang lain Syekh Abdul Qadir al-Jilani melihat ajaran
islam dari dua aspek. Yaitu lahir dan batin, demikian juga setiap ayat dalam al-
16
Qur’an bagi nya ada yang mengandung makna lahir dan batin. Sebagai contoh,
taharah yang berarti bersuci terbagi pada dua bagian, Pertama, penyucian diri
secara lahiriah. Hal ini diperintahkan oleh agama dan caranya dengan mencuci
anggota badab atau tubuh dengan air suci, dalam bentuk wudhu maupun mandi.
Nabi SAW bersabda:
Kedua, penyucian diri secara batiniah diawali dengan adanya kesadaran akan
adanya kotorandalam wujud diri seseorang sehingga menjadi sadar terhadap dosa-
dosanya dan secara sungguh-sungguh menyesalidosa-dosa tersebut. Cara
penyucian batiniah ini harus mengambil jalan spiritual dan diajarkan serta
dibimbing oleh guru spiritual, yaitu dengan taubat, talqin az-Dzikir, tasfiah, dan
suluk.
Dalam aspek ibadah Syek bukan hanya memetingkan ibadah fardhu, yang
nawafil pun menjadi perhatian utama dalam kehidupan kesehariannya. Amal-amal
sunnah yang menjadi amalan TQN sebagaimana diamalkan di PP suryalana, itulah
ajaran tuan Syekh Adul Qadir al-Jilani.9 Sedangkan riyadoh yang tidak pernah
ditinggalkannya adalah dzikrullah. Pedoman aurad yang dipandang representasi
ajaran tuan Syekh Adul Qadir al-Jilani telah ditulis oleh Syekh Ahmad Khatib
Sambas dalam bukunya Fathul Arifin, yang kemudian dibukukan secara
komprehensif olh Abah Anon dalam kitab Uquq al-Juman.12
12.
alba, cecep, tasawuf dan tarekat, hal.31
17
6. ROBIAH AL-ADHAWIYYAH
A. Biografi
Sosok sufi perempuan ini sangat dikenal dalam dunia tasawuf. Ia hidup di
abad kedua Hijriah, dan meninggal pada tahun 185 H. Meski ia hidup di Bashrah
sebagai seorang hamba sahaya dari keluarga Atiq, hal itu tidak menghalanginya
tumbuh menjadi seorang sufi yang disegani di zamannya, bahkan hingga di zaman
modern sekarang ini.
Corak tasawuf Rabi’ah yang begitu menonjolkan cinta kepada Tuhan tanpa
pamrih apapun merupakan suatu corak tasawuf yang baru di zamannya. Pada saat
itu, tasawuf lebih didominasi corak kehidupan zuhud (asketisme) yang
sebelumnya dikembangkan oleh Hasan al-Bashri yang mendasarkan ajarannya
pada rasa takut(khauf) kepada Allah. Corak tasawuf yang dikembangkan oleh
Rabi’ah tersebut kelak membuatnya begitu dikenal dan menduduki posisi penting
dalam dunia tasawuf.
Saking besar dan tulusnya cinta Rabi’ah kepada Allah, maka seolah cintanya
telah memenuhi seluruh kalbunya. Tak ada lagi tersisa ruang di hatinya untuk
mencintai selain Allah, bahkan kepada Nabi Muhammad sekalipun. Pun, tak ada
ruang lagi di kalbunya untuk membenci apapun, bahkan kepada setan sekalipun.
Seluruh hatinya telah penuh dengan cinta kepada Tuhan semata. Hal ini juga
Rabi’ah tunjukkan dengan memutuskan untuk tidak menikah sepanjang hidupnya,
karena ia menganggap seluruh diri dan hidupnya hanya untuk Allah semata.13
13
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, hal. 74
14
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, hal. 70
18
disebutkan pada bagian sebelumnya dalam makalah ini.
Secara terminologis, sebagaimana dikatakan al-Ghazali, cinta adalah suatu
kecenderungan terhadap sesuatu yang memberikan manfaat. Apabila
kecenderungan itu mendalam dan menguat, maka ia dinamakan rindu. Sedangkan
sebaliknya, benci adalah kecenderungan untuk menghindari sesuatu yang
menyakiti. Apabila kecenderungan untuk menghindari itu mendalam dan
menguat, maka ia dinamakan dendam.
Menurut Abu Yazid al-Busthami mengatakan bahwa cinta adalah
menganggap sedikit milikmu yang sedikit dan menganggap banyak milik Dzat
yang kau cintai. Sementara Sahl bin Abdullah al-Tustari menyatakan bahwa cinta
adalah melakukan tindak-tanduk ketaatan dan menghindari tindak-tanduk
15
kedurhakaan. Bagi al-Junaid, cinta adalah kecenderungan hati. Artinya,
kecenderungan hati seseorang kepada Allah dan segala milik-Nya tanpa rasa
beban.
15.
Al-Hujwairi, Kasyful Mahjub, terj. Suwardjo Muthary dan Abdul Hadi WM, hal. 278-279
19
itulah yang akan mengantarkan seseorang kepada cinta sejati, yaitu cinta terhadap
Allah.
4. Tingkatan Cinta
Dilihat dari segi orangnya, menurut Abu Nashr ath-Thusi, cinta kepada
Tuhan terbagi menjadi tiga macam cinta. Pertama, cinta orang-orang awam. Cina
20
seperti ini muncul karena kebaikan dan kasih sayang Tuhan kepada mereka. Ciri-
ciri cinta ini adalah ketulusan dan keteringatan (zikir) yang terus-menerus. Karena
jika orang mencintai sesuatu, maka ia pun akan sering mengingat dan
menyebutnya.
Kedua, cinta orang-orang yang shadiq dan mutahaqqiq. Cinta mereka ini
timbul karena penglihatan mata hati mereka terhadap kekayaan, keagungan,
kebesaran, pengetahuan dan kekuasaan Tuhan. Ciri-ciri cinta ini adalah
“terkoyaknya tabir” dan “tersingkapnya rahasia” Tuhan. Selain itu, ciri lain adalah
lenyapnya kehendak serta hilangnya semua sifat (kemanusiaan dan keinginan
duniawi).
Ketiga, cinta orang-orang shiddiq dan arif. Cinta macam ini timbul dari
penglihatan dan pengenalan mereka terhadap ke-qadim-an Cinta Tuhan tanpa
sebab (illat) apapun. Menurut Zunnun al-Mishri, sifat cinta ini adalah terputusnya
cinta dari hati dan tubuh sehingga cinta tidak lagi bersemayam di dalamnya,
namun yang bersemayam hanyalah segala sesuatu dengan danuntuk Allah.
Sedangkan menurut Abu Ya’qub as-Susi, cirinya alah berpaling dari cinta menuju
kepada Yang Dicintai. Sementara al-Junaid menambahkan bahwa ciri cinta
macam ini adalah meleburnya sifat-sifat Yang Dicintai kepada yang mencintai
sebagai pengganti sifat-sifatnya.
21
D. PENGARUH MUNCULNYA TASAWUF SUNNI
Adanya tasawuf sunni membuat manusia sadar akan pentingnya
mendekatkan diri pada Allah. Dengan berpegang teguh pada al-Qur’an dan
sunnah, akan meminimalisir bahkan menjauhkan dari adanya penyelewengan
dalam bertasawwuf.
Dengan hal ini akan berpengaruh besar terhadap manusia yang akan
membawanya menuju ketentraman hati, pikiran, dan kebahagiaan dunia maupun
akhirat.
22
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
23
DAFTAR PUSTAKA
24
HALAMAN POWER POINT
PRESENTASI TASAWWUF SUNNI
Drs. Malik Ibrahim, M.Ag
25