DOSEN PENGAMPU:
USTAZAH NURAENI NOVIRA, LC., S.PD.I., M.PD.I.
DISUSUN OLEH:
(KELOMPOK IV)
FITRI NURCAHYANI
KHADIJA MUTAHHARAH
MUSLIMAH
NUR HALISA
SITI NURAFNI MANOK
ZAKIYYAH
JURUSAN SYARIAH
SEKOLAH TINGGI ILMU ISLAM DAN BAHASA ARAB
(STIBA) MAKASSAR
1445H/ 2023M
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Alhamdulillah kami telah selesai menyelesaikan makalah ini walaupun tidak
sedikit hambatan dan kesulitan yang kami hadapi, tiada daya dan upaya kecuali
dengan pertologan Allah SWT.
Walaupun demikian, sudah tentu makalah ini masih terdapat kekurangan dan
belum dikatakan sempurna karena keterbatan kemampuan kami. Oleh karena itu
kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak kami harapkan agar
dalam pembuatan makalah diwaktu yang akan datang bisa lebih baik lagi.
Harapan kami semoga makalah ini berguna bagi siapa saja yang membacanya.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar Isi
Bab I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
Bab II PEMBAHASAN
A. Kaidah Pemahaman Yang Benar
B. Kepribadian Da'i Yang Sukses
Bab III KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
B. Saran
Bab IV PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dakwah adalah suatu ajakan atau panggilan yang ditujukan
kepada umat manusia untuk kembali kepada fitrahnya. 1 Demikian
bahwa dakwah Islamiyah mencakup segala kegiatan dan usaha
mengubah satu situasi tertentu ke arah situasi yang lebih baik sesuai
ajaran Islam yaitu tentang mensyiarkan amar ma’ruf nahi munkar.
Kegiatan dakwah ini menjadi hal yang sangat mendasar dalam Islam.
Melalui dakwah maka ajaran Islam sampai dan dipahami oleh umat
manusia hingga bisa menjadi pribadi yang berakhlak dan
berpengetahuan.
Pelaksanaan dakwah tentu tidak terlepas dari adanya
kaidah yang harus dipedomani sekaligus diterapkan oleh juru dakwah
dalam menjalankan tugasnya sebagai pembawa risalah bagi seluruh
umat manusia, agar selamat di dunia maupun di akhirat. Telah
menjadi fakta, bahwa realitas kehidupan masyarakat modern yang
serba praktis sekarang ini, citra dakwah kerap kali dihadapkan dengan
beragam masalah yang berkaitan dengan situasi dan kondisi di mana
dakwah berlangsung, juga kesesuaian materi dakwah dengan
kebutuhan mad’u, sampai pada penggunaan metode dalam berdakwah.
Demikian juga perubahan sosial serta perkembangan teknologi dan
informasi menjadi faktor utama sehingga kaidah dakwah penting
untuk diperhatikan oleh juru dakwah ketika berdakwahdemi
tercapainya nilai dan tujuan dakwah Islam, yakni mencerahkan,
menggerakkan dan menggembirakan.
Tanpa adanya penerapan kaidah dakwah, maka dapat
melemahkan aktivitas dakwah itu sendiri, menimbulkan kesenjangan
antara juru dakwah (da’i)dengan mad’u, karena bagaimanapun
manusia adalah masyarakat yang majemuk, memiliki latar belakang
sosial dan budaya yang beragam. Sehingga juru dakwah(da’i) dituntut
untuk mengetahui dan mengenal segala sesuatu pada diri mad’uagar
tidak terjadi penolakan dari mad’u atas materi dakwah yang
disampaikan juru dakwah. Dalam fiqh dakwah, kaidah dakwah
1
Moh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah, (Cet. VI; Jakarta: Kencana, 2017), h. 88-89
dipandang sebagai jalan agar kegiatan dakwah tidak menyimpang dari
rel khittah (garis perjuangan), sertamemungkinkan para juru dakwah
untuk mudah dalam menyampaikan materi dakwah yaitu dengan cara
yang paling sesuai bagi tiap-tiap mad’u. 2
Komposisi subjek dakwah berkembang karena sebelumnya
fokus dakwah lebih pada komunikasi lisan. Da'i sering dianggap
sebagai penceramah, sementara pengelola dakwah adalah
penyelenggara kegiatan dakwah dalam lembaga permanen atau
kepanitiaan. Subjek dakwah, lembaga, atau pusat dakwah merujuk
pada institusi atau organisasi yang mengelola kegiatan dakwah. Oleh
karena itu, lembaga dakwah perlu mengelola dan memberikan
bimbingan kepada Da'i, khususnya yang masih muda.
Kewajiban berdakwah bagi umat Islam itu sendiri adalah
suatu kewajiban yang harus dijalankan bagi setiap muslim.
Sebagaimana yang di firmankan Allah swt. dalam Q.S Ali-Imran:104.
ۚ َو ْلَتُك ْن ِم ْنُك ْم ُأَّم ٌة َيْدُع وَن ِإَلى اْلَخْيِر َو َيْأُم ُروَن ِباْلَم ْعُروِف َو َيْنَهْو َن َع ِن اْلُم ْنَك ِر
َو ُأوَٰل ِئَك ُهُم اْلُم ْفِلُحوَن
Terjemahnya:
"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf danmencegah dari
yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung."
Seorang da’i seharusnya mempelajari dan memiliki sifat
yang benar seperti yang diajarkan nabi Muhammad kepada umatnya
dan yang terkandung dalam Al-Qu'ran, Oleh sebab itu setiap da’i
harus mengetahui apa sahaja sifat yang harus dimilikinya dalam
menjadi da’i yang berkualitas dan dapat memastikan dakwah serta
ajaran Islam dapat tersebar dengan meluas di muka bumi ini.
Pada masa kini, peneliti melihat permasahalaan diatas
terjadi karena da’i tidak mengetahui dan tidak memiliki sifat dan
kriteria da’i sebagaimana yang dikehendaki Islam. Sifat-sifat dan
kriteria sebagai seorang da’i seperti tidak terkembang dalam
masyarakat pada hari ini sehinggakan banyak berlaku permasahalaan
2
Putriany, “Kaidah Dakwah Islam”, Institut Agama Islam Negeri Bone, (2022): h.56.
yang sepatutnya tidak terjadi dalam penyebaran dakwah Islam pada
hari ini.
Dari permasalahan yang ditimbul pada da’i masa kini, maka
penulis tertarik untuk melakukan sebuah penelitian terhadap sifat-sifat
dan kriteria da’i menurut islam. Penelitian ini kemudian penulis
rangkumkan dengan judul “Kaidah Pemahaman yang benar dan
Kepribadian Da'i Yang Sukses”.
B. Rumusan Masalah
Penulis sudah menyusun sebagian permasalahan yang
hendak dibahas dalam makalah ini. Ada pula sebagian
permasalahan yang hendak dibahas dalam karya tulis ini antara lain:
1. Bagaimana Kaidah Pemahaman Yang Benar?
2. Apa Saja Kepribadian Da'i Yang Sukses?
C. Tujuan
Bersumber pada rumusan permasalahan yang disusun oleh
penulis di atas, hingga tujuan dalam penyusunan makalah ini
merupakan bagaikan berikut:
1. Untuk mengetahui kaidah pemahaman yang benar
2. Untuk mengetahui kepribadian da'i yang sukses
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kaidah Pemahaman Yang Benar
Kaidah berasal dari kata bahasa Arab yang secara lughawi
(etimologi) yaitu qo’idah, bentuk jamaknya “al-qawa’id” yang
artinya asas, ukuran, pondasi atau nilai pengukur. 3 Adapun kaidah
dalam kamus berarti perumusan asas-asas yang menjadi hukum;
aturan tertentu; patokan; dalil.4
Sebuah definisi yang singkat dibuat oleh Soerjono Soekanto
bahwa kaidah adalah ukuran ataupun pedoman untuk perilaku atau
bertindak dalam hidupnya.5 Lain halnya dengan Sudikno
Mertokusumo, justru ia menerangkan definisi yang lebih luas,
3
Jimmly Asshiddiqie, Perihal Undang-undang, (Rajawali Pers, Jakarta 2011), h.1
4
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta, 2008), h.
615.
bahwa kaidah diartikan sebagai peraturan hidup yang menentukan
bagaimana manusia itu seyogyanya berperilaku, bersikap di dalam
masyarakat agar kepentingannya dan kepentingan orang lain
terlindungi.6 Artinya kaidah menjadi hal dasar sekaligus pedoman
atau titik tolak yang memuat tata aturan tentang benar salah, pantas
tidak pantas, baik buruk, terkait bagaimana seharusnya manusia
menjalankan perannya dalam bersikap atau berperilaku yang tidak
melanggar.
Begitupun dengan menurut Jimmly Asshiddiqie yang
menjelaskan bahwa kaidah merupakan pelembagaan nilai-nilai baik
dan buruk dalam bentuk tata aturan yang berisi kebolehan, anjuran
atau perintah. Baik anjuran maupun perintah dapat berisi kaidah
yang bersifat positif atau negatif mencakup norma anjuran untuk
mengerjakan atau anjuran untuk tidak mengerjakan sesuatu, dan
norma perintah untuk melakukan atau perintah untuk tidak
melakukan sesuatu7Sehingga kedudukan kaidah menjadi sangat
penting dipedomani dalam mengerjakan sesuatu agar tidak
menimbulkan kegagalan dalam pencapaian tujuan, baik berupa
konflik dan perpecahan. Dalam konteks dakwah, maka kaidah yang
dimaksud adalah norma- norma atau aturan yang berlaku sesuai
dengan nilai-nilai ajaran Islam, yang terkandung dalam Al-Qur’an
dan sunnah. Sebagaimana bahwa dakwah yang baik adalah dakwah
yang sesuai dengan kaidah agama.
Beberapa Kaidah Tersebut diantara lain:
1. Mencintai orang orang yang sholeh Menghormati mereka dan
memuji mereka atas amal yang mereka lakukan dengan ini
dapat mendekatkan diri kita kepada allah swt sebagaimana
dalam firman allah QS. : Yunus ayat 62-64
٦٢ ۚ ۖ َاۤاَل ِاَّن َاۡو ِلَيٓاَء ِهّٰللا اَل َخۡو ٌف َع َلۡي ِهۡم َو اَل ُهۡم َيۡح َز ُنۡو َن
َلُهُم اۡل ُبۡش ٰر ى ِفى اۡل َح ٰي وِة الُّد ۡن َيا َو ِفى اٰاۡل ِخ َر ِؕة اَل َتۡب ِد ۡي َل ِلـَك ِلٰم ِت ِؕهّٰللا٦٣ اَّلِذ ۡي َن ٰا َم ُنۡو ا َو َك اُنۡو ا َيَّتُقۡو َؕن
٦٤ ٰذ ِلَك ُهَو اۡل َفۡو ُز اۡل َعِظ ۡي ُؕم
5
Purnadi Purbacaraka dan Soejono Soekanto, Perihal Kaidah Hukum, (Alumni, Bandung 1982),
h.14.
6
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum (Sebuah Pengantar), (Liberty; Yogyakarta, 2006),
h.11.
7
Jimmly Asshiddiqie, Perihal Undang-undang, h.1
Ingatlah wali-wali Allah itu, tidak ada rasa takut pada mereka dan
mereka tidak bersedih hati. Yaitu) orang-orang yang beriman dan
senantiasa bertakwa.
Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan di
akhirat. Tidak ada perubahan bagi janji-janji Allah. Demikian itulah
kemenangan yang agung.
Mencintai dan memuliakan orang shalih merupakan sarana taqarrub,
mendekatkan diri kepada Allah. Generasi sahabat adalah generasi
yang ditarbiyah oleh Rasulullah saw dan mereka adalah orang-orang
shaleh. Di antara tanda mencintai Rasulullah saw adalah dengan
mencintai dan memuliakan para sahabatnya. Menjadikan mereka
teladan dan panutan.
Bagaimana Allah memuji kaum Anshar yang mencintai saudaranya,
kaum Muhajirin seperti mencintai keluarga mereka sendiri. Firman
Allah:
“Dan orang-orang yang telah menduduki Kota Madinah dan telah
beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka
mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tidak
menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang
diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka
mengutamakan (orang-orang Muhajirin), di atas diri mereka sendiri.
Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan
siapa yang dipelihara dari kekikirannya, merekalah orang-orang yang
beruntung.” (Al-Hasyr:9)
Cenderung Cinta Padanya
Dalam sebuah atsar disebutkan,
جبلت القلوب على حب من أحسن إليها وبغض من أساء إليها
“Tabiat hati adalah cenderung mencintai orang yang berbuat baik
padanya dan membenci orang yang berbuat jelek padanya.” (HR. Al
Baihaqi dalam Syu’abul Iman 6: 2985, Abu Nu’aim dalam Al Hilyah
4: 131, Al Jami’ Ash Shogir 3580. As Suyuthi mengatakan hadits ini
dho’if). Walaupun hadits ini dho’if, namun maknanya tepat dan benar.
Cintailah Karena Allah
Kecintaan seseorang pada orang yang suka berbuat baik padanya, itu
memang boleh. Namun hendaklah kecintaan tersebut dibangun di atas
kecintaan karena Allah. Artinya, standar kecintaan pada saudaranya
seimbang dengan ketaatan saudaranya pada Allah. Jika saudaranya
termasuk kalangan orang sholeh dan bertakwa, ia akan semakin cinta.
Sebaliknya, cintanya akan semakin berkurang pada yang suka berbuat
maksiat dan durhaka. Inilah maksud kecintaan karena Allah. Berarti
kecintaan seseorang yang mencintai karena Allah akan berbeda pada
pecandu rokok dan pada pemuda yang lisannya tidak pernah lepas dari
dzikir. Kecintaan karena Allah itulah yang menuai kelezatan dan
manisnya iman.
Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
َو َأْن ُيِح َّب، َثَالٌث َم ْن ُك َّن ِفيِه َو َج َد َح َالَو َة اِإل يَم اِن َأْن َيُك وَن ُهَّللا َو َر ُسوُلُه َأَح َّب ِإَلْيِه ِمَّم ا ِس َو اُهَم ا
َو َأْن َيْك َر َه َأْن َيُعوَد ِفى اْلُك ْفِر َك َم ا َيْك َر ُه َأْن ُيْقَذ َف ِفى الَّناِر، اْلَم ْر َء َال ُيِح ُّبُه ِإَّال ِهَّلِل
“Tiga perkara yang seseorang akan merasakan manisnya iman : [1] ia
lebih mencintai Allah dan Rasul-Nya lebih dari yang lainnya, [2] ia
mencintai seseorang hanya karena Allah, [3] ia benci untuk kembali
pada kekufuran sebagaimana ia benci bila dilemparkan dalam neraka.”
(HR. Bukhari no. 6941 dan Muslim no. 43)
Begitu juga dalam hadits dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan mengenai tujuh
golongan yang akan mendapatkan naungan Allah pada hari yang tiada
naungan selain dari-Nya. Di antara golongan tersebut adalah,
َو َر ُج َالِن َتَح اَّبا ِفى ِهَّللا اْج َتَم َع ا َع َلْيِه َو َتَفَّر َقا َع َلْيِه
11
Peringatan, tidak boleh memohonkan ampunan untuk orang kafir meskipun orang tua
sendiri/kerabat. Lihat dalilnya pada QS. At-Taubah/9: 113.
12
HR. Muslim (no. 970 (94)), Abu Dawud (no. 3225), at-Tirmidzi (no. 1052), an-Nasa-i (IV/86),
Ahmad (III/339, 399), al-Hakim (I/370), al-Baihaqy (IV/4) dari Sahabat Jabir bin ‘Abdillah
Radhiyallahu anhu. Tambahan pertama dalam kurung diri-wayatkan oleh Abu Dawud dan an-
Nasa-i, tambahan kedua dalam kurung diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan al-Hakim. Hadits ini
dishahihkan oleh at-Tirmidzi dan al-Hakim. Lihat Ahkaamul Janaa-iz (hal. 260).
13
Tentang masalah ini lihat Ahkamul Janaa-iz wa Bida’uha (hal. 259-294) oleh Syaikh Muhammad
Nashiruddin al-Albani, Fat-hul Majiid Syarah Kitaabit Tauhiid oleh Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan
Alusy Syaikh.
Ziarah kubur yang syirik, yaitu ziarah yang bertentangan dengan
tauhid, misalnya mempersembahkan suatu macam ibadah kepada ahli
kubur, seperti berdo’a kepadanya sebagai-mana layaknya kepada
Allah, meminta bantuan dan per-tolongannya, berthawaf di
sekelilingnya, menyembelih kurban dan bernadzar untuknya dan lain
sebagainya. Seorang Mukmin tidak boleh memalingkan ibadah kepada
selain Allah, perbuatan ini adalah syirkun akbar dan mengeluarkan
seseorang dari Islam bila sudah terpenuhi syaratnya dan tidak ada
penghalangnya. Seluruh ibadah dan harus kita lakukan hanya kepada
Allah saja dengan ikhlas tidak boleh menjadikan kubur sebagai
perantara menuju kepada Allah, karena ini adalah perbuatan orang
kafir Jahiliyah.15
Sesuatu yang menjadi wasaa-il (sarana) dihukumi berdasar-kan tujuan
dan sasaran. Setiap sesuatu yang menjadi sarana me-nuju syirik dalam
ibadah kepada Allah atau menjadi sarana me-nuju bid’ah, maka wajib
dihentikan dan dilarang. Setiap perkara baru (yang tidak ada dasarnya)
dalam agama adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan.16
Di muka bumi tidak ada satu pun kuburan yang mengandung berkah
sehingga sia-sia orang yang sengaja ziarah menuju kesana untuk
mencari berkah. Dalam Islam tidak dibenarkan sengaja mengadakan
safar (perjalanan) ziarah (dengan tujuan ibadah) ke kubur-kubur
tertentu, seperti kuburan wali, kyai, habib dan lainnya dengan niat
(tujuan) mencari keramat dan berkah serta mengadakan ibadah di
sana. Hal ini tidak boleh dan tidak dibenarkan di dalam Islam, karena
perbuatan ini adalah bid’ah merupakan sarana yang menjurus kepada
kemusyrikan.
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah rahimahullah mengatakan: “Syaithan
terus menerus membisikkan kepada para penyembah kuburan, bahwa
mendirikan sesuatu bangunan dan beribadah di samping kuburan para
Nabi dan orang-orang shalih berarti mencintai mereka dan bahwa
tempat itu merupakan tempat yang mustajab (terkabulnya do’a).
14
HR. Al-Bukhari (no. 1197, 1864, 1995), Muslim (no. 827) dan yang lainnya dari Sahabat Abu
Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu. Terdapat juga di Shahih al-Bukhari (no. 1189), Muslim (no.
1397) dan yang lainnya dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu. Ha-dits ini shahih,
diriwayatkan dari beberapa Sahabat derajatnya mutawatir, lihat Irwaa-ul Ghaliil (III/226 no. 773).
15
Lihat Az-Zumar/39: 3.
16
Mujmal Ushuul Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah fil ‘Aqiidah (hal. 17).
Kemudian dari tingkat kepercayaan itu, syaithan mengalihkan mereka
menuju berdo’a (kepada Allah) melalui perantara orang shalih yang
dikubur itu dan bersumpah dengan nama Nabi atau orang shalih agar
Allah mengabulkan do’anya. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala
adalah Dzat Yang Mahaagung, tidak boleh seseorang pun dari hamba-
Nya bersumpah dengan nama makhluk-Nya dan tidak boleh seorang
pun memohon kepada makhluk-Nya, karena yang berhak
mengabulkan do’a hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala semata.
Setelah kepercayaan seperti tersebut tertanam di hati mereka, syaithan
membujuk mereka agar memanjatkan do’a dan menyembah kepada
orang shalih yang telah dikubur itu, dan memohon syafa’at darinya,
bukan dari Allah, serta menjadikan kuburannya sebagai berhala
dengan diterangi lampu/lentera dan batu nisannya diselimuti kain, lalu
dilakukan thawaf padanya, diusap, disentuh dan dicium, bahkan
dilakukan ibadah haji kepadanya dan disembelih kurban di sisinya.
Setelah keyakinan ini mantap di hati mereka, syaithan mengalihkan,
yaitu mengajak manusia agar menyembah kuburan itu dan
menjadikannya sebagai tempat perayaan dan upacara ibadah. Mereka
pun memandang bahwa hal itu lebih bermanfaat bagi kehidupan dunia
dan akhiratnya. Semua perbuatan yang telah dilakukan mereka itu,
bertentangan dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam yang memerintahkan untuk memurnikan tauhid, dan
agar tidak beribadah melainkan hanya kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala saja.
Setelah kepercayaan tadi mantap di hati mereka, syaithan
mengalihkan mereka lagi, bahwa orang yang melarang perbuatan
tersebut berarti telah merendahkan orang-orang yang memiliki derajat
dan martabat yang tinggi dan menjatuhkan mereka dari kedudukan
mereka tersebut serta menganggap mereka tidak mempunyai nilai
kekeramatan maupun kemuliaan. Akhirnya orang-orang musyrik itu
marah dan hati mereka jijik memandang orang yang mengajak kepada
tauhid, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
َو ِإَذ ا ُذ ِكَر ُهَّللا َو ْح َد ُه اْش َم َأَّزْت ُقُلوُب اَّلِذ يَن اَل ُيْؤ ِم ُنوَن ِباآْل ِخَر ِةۖ َو ِإَذ ا ُذ ِكَر اَّلِذ يَن ِم ن ُدوِنِه ِإَذ ا ُهْم
َيْسَتْبِش ُروَن
“Dan apabila Nama Allah saja yang disebut, kesallah hati orang-orang
yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat; dan apa-bila nama
sembahan-sembahan selain Allah yang disebut, tiba-tiba mereka
bergirang hati.” [Az-Zumar/39: 45]
Ini terjadi di dalam hati mayoritas orang-orang bodoh, dan juga tidak
sedikit dari kalangan orang-orang yang mengaku berilmu dan
beragama (seperti kyai, ustadz, tuan guru, dan lainnya-pen.) yang
melakukan demikian sehingga mereka memusuhi orang yang
mengajak kepada tauhid (yaitu orang yang mengajak untuk beribadah
hanya kepada Allah saja dan tidak kepada yang selain-Nya) dan
menuduh mereka dengan tuduhan-tuduhan keji. Akibatnya, banyak
orang yang menghindar dan menjauh dari orang yang mengajak
kepada tauhid dan mereka berwala’ (loyal/ setia) kepada orang yang
mengajak kepada kemusyrikan dengan mengklaim bahwa orang yang
mengajak kepada kemusyrikan adalah para wali Allah dan para
penolong agama dan Rasul-Nya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala membantah hal itu dalam firman-Nya:
َو َم ا َك اُنوا َأْو ِلَياَء ُهۚ ِإْن َأْو ِلَياُؤ ُه ِإاَّل اْلُم َّتُقوَن َو َٰل ِكَّن َأْكَثَر ُهْم اَل َيْع َلُم وَن
17
Fat-hul Majiid Syarah Kitaabit Tauhiid (bab XVIII hal. 251-252) tahqiq Dr. Walid bin
‘Abdurrahman bin Muhammad al-Furaiyan, cet. X, th. 1424 H.
Doa adalah bentuk komunikasi universal antara hamba dengan
Sang Khaliq dan cara kita meminta pertolongan dan meminta
perlindungan kepada-Nya. Allah SWT berfirman:
َو ِإَذ ا َس َأَلَك ِعَباِد ى َع ِّنى َفِإِّنى َقِر يٌب ۖ ُأِج يُب َد ْع َو َة ٱلَّد اِع ِإَذ ا َدَعاِن ۖ َفْلَيْسَتِج يُبو۟ا ِلى َو ْلُيْؤ ِم ُنو۟ا ِبى
َلَع َّلُهْم َيْر ُش ُد وَن
Artinya:
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang
Aku, maka (jawablah), bahwa Aku adalah dekat. Akumengabulkan
permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku,
maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan
hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada
dalam kebenaran.” (QS. al-Baqarah [2]: 186).
Berdakwah adalah perintah Allah, penggenggam hati semua
manusia. Seorang dai tidak mungkin berhasil dakwahnya tanpa
berdoa. Karena sehebat apa pun seorang dai, sebaik apa pun materi
dakwahnya, dan secanggih apa pun media yang digunakan, ingatlah
bahwa hidayah hanyalah milik Allah SWT. Tanpa adanya pertolongan
Allah, dakwah seorang dai tidak akan berhasil. Kekuatan doa begitu
dahsyat, karnanya doa dalam Islam disebut inti atau otak dari ibadah.
Dalam berdakwah pula, tak kalah penting doa selalu menjadi
pengawal dari sebuah dakwah.
Menurut Aa Gym, sombong namanya jika kita merasa bisa,
merasa pintar, merasa kuat, merasa kaya padahal sejatinya kita ini
bodoh, lemah tidak bisa melakukan apa pun kecuali dengan
pertolongan Allah SWT. Karna doa adalah cara kita berkomunikasi
dengan Allah. Cara kita meminta pertolongan dan meminta
perlindungan kepada-Nya.
Kisah Umar bin Khattab Masuk Islam karna dakwah dan doa
kepada Allah swt.
*Kisah Umar bin Khattab Masuk Islam*
Umar bin Khattab terkenal pemberani oleh masyarakat Arab. Pada
zaman jahiliah, Umar bin Khattab terkenal paling sengit memusuhi
Islam dan kaum muslimin. Sampai- sampai ada yang pernah berujar,
“Meski keledainya masuk Islam, Umar tidak akan masuk Islam.”
Bahkan Umar sempat membulatkan tekadnya untuk membunuh
Rasulullah saw.
Hingga datang suatu ketika Allah SWT membuka pintu hati Umar
bin Khattab untuk menerima cahaya kebenaran agama Allah dengan
doa Nabi Muhammad, “Ya Allah, muliakanlah Islam dengan dua
orang yang paling Engkau cintai; dengan Umar bin al-Khattab atau
dengan Abu Jahal bin Hisyam.” (HR. Tirmidzi).
Ternyata yang lebih Allah cintai adalah Umar bin Khattab. Cahaya
Islam telah memenuhi rongga dada Umar bin Khattab ketika beliau
menemui Rasulullah untuk menyatakan Islamnya, dan meninggalkan
agama nenek moyangnya yang sesat.
*Umar bin Khattab dan Doa*
Umar bin Khattab ra memohon pertolongan Allah dengan doa.
Bahkan beliau menganggap doa sebagai tentara terhebat. Dalam buku
Ad-Daa wad Dawaa karya Ibnu Qayyim al-Jauziyah, beliau berkata
kepada para sahabatnya, “Kalian tidak mendapatkan pertolongan
dengan jumlah kalian yang banyak, tetapi kalian mendapatkan
pertolongan dari langit.” Umar juga berkata, “Sesungguhnya yang aku
pentingkan bukan pengabulan, tetapi doa atau permohonan itu sendiri.
Apabila kalian berdoa, maka pengabulan akan ada bersamanya.”
Allah SWT berfirman yang artinya:
Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu.
(QS. al-Gafir [40]: 60).
Doa sebelum dakwah sangat penting dilakukan sebelum memulai
kegiatan dakwah. Sebab, dakwah bukan sekedar berbicara di depan
umum, melainkan sebuah tugas mulia sebagai penebar kemanfaatan
bagi orang banyak. Oleh karena itu, doa pembuka dakwah dapat
membantu kita menjadi pemimpin dakwah yang sukses dan
memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat.
Kita perlu memahami bahwa betapa pentingnya doa dalam segala
aspek kehidupan, termasuk dalam kegiatan dakwah. Sebab, doa adalah
sarana untuk menghubungkan diri kita dengan Sang Pencipta dan
meminta bantuan-Nya dalam melakukan tugas-tugas yang
diamanahkan kepada kita. Doa juga dapat memberikan ketenangan
dan kekuatan bagi kita dalam menghadapi segala situasi dan tantangan
dalam kegiatan dakwah. Dengan melakukan doa sebelum dakwah, kita
memohon perlindungan dan bantuan-Nya untuk membantu kita
menjadi pemimpin dakwah yang sukses dan memberikan manfaat
yang besar bagi masyarakat.
4. Adat istiadat yang salah tidak mengubah hakikat lafaz lafaz
syar'iyyah. Sebaliknya, kita harus memastikan batas-batas
makna yang dimaksudkan dan berpegang teguh pada batasan-
batasan tersebut. Kita juga harus waspada terhadap penipuan
verbal dalam semua aspek dunia dan agama. Lebih penting bagi
umat Islam adalah memikirkan substansi atau inti dari sebuah
konsep. “Al-Ibratu bil musammayat la bil asma,” kata ulama
Fiqh merumuskan sebuah kaidah yang berarti sebuah perkara
dinilai darihakikatnya, bukan dari penamaannya. Dari hal
tersebut dapat diambil pelajaran bahwa porsi perhatian umat
jangan sampai lebih besar pada cover dibanding substansi.
Tidak ada perbedaan di kalangan para ulama’ Usul Fikih (ushuliyyun)
bahwa sumber /dasar/dalil hukum Islam ada 2 (dua) yaitu sumber
naqly (al-Qur’an dan as-Sunnah) dan aqly (akal). Sunber / dalil hukum
yang didasarkan atas akal, dalam metodologi hukum Islam (Usul
Fikih), dikonstruksi oleh ulama dengan istilah Ijtihad. Salah satu
metode ijtihad adalah ‘urf (penetapan hukum yang didasarkan atas
kebiasaan/tradisi/adat setempat). Penetapan hukum yang didasarkan
atas kebiasaan setempat (‘urf) ini tentu tidak boleh bertentangan
dengan prinsip-prinsip dasar syariat dan hanya digunakan dalam
bidang muamalah (diluar persoalan ibadah mahdhah/ritual).
Penyerapan adat ke dalam hukum (Islam) dilakukan juga terhadap
adat/tradisi Arab sebelum Islam. Penyerapan tersebut dapat dijelaskan
sebagai berikut :
a. Tahmil atau apresiatif diartikan sebagai sikap menerima atau
membiarkan berlakunya sebuah tradisi. Sikap ini ditunjukkan
dengan adanya ayat-ayat Al-Qur’an yang menerima dan
melanjutkan keberadaan tradisi tersebut serta menyempurnakan
aturannya. Apresiasi tersebut tercermin dalam ketentuan atau
aturan yang bersifat umum dan tidak mengubah paradigma
keberlakuannya. Bersifat umum, artinya ayat-ayat yang
mengatur.tidak menyentuh masalah yang mendasar dan
nuansanya berupa anjuran dan bukan perintah. Disisi lain,
aturannya lebih banyak menyangkut etika yang sebaiknya
dilakukan tetapi tidak mengikat. Contoh dalam masalah ini
adalah perdagangan dan penghormatan bulan-bulan haram.
b. Tahrim diartikan sebagai sikap yang menolak
keberlakuansebuah tradisi masyarakat. Sikap iniditunjukkan
dengan adanya pelarangan terhadap kebiasaan atau tradisi
dimaksud oleh ayat-ayat Al-Qur’an. Pelarangan terhadap
praktik tersebut juga dibarengi dengan ancaman bagi yang
melakukannya. Termasuk dalam kategori ini dalah kebiasaan
berjudi, minuman khamr, praktik riba, dan perbudakan.
c. Taghyir adalah sikap Al-Qur’an yang menerima tradisi Arab,
tetapi memodifikasinya sedemikian rupa sehingga berubah
karakter dasarnya. Al-Qur’an tetap menggunakan simbol-
simbol atau pranata sosial yang ada, namun keberlakuannya
disesuaikan dengan prinsip-prinsip dasar ajaran Islam, sehingga
karakter aslinya berubah. Al-Qur’an mentransformasikan nilai-
nilainya ke dalam tradisi yang ada dengan cara menambah
beberapa ketentuan dalam tradisi tersebut. Di antara adat
istiadat Arab yang termasuk dalam kelompok ini adalah :
pakaian dan aurat perempuan, hukum-hukum yang terkait
dengan perkawinan (keluarga), anak angkat, hukum waris, dan
qishash-diyat.
Metode berfikir di kalangan madzhab Syafi’i antara lain berpijak
pada kaidah ( األصل في األشياء اإلباحةHukum asal dalam segala sesuatu
adalah boleh). Sedangkan dikalangan madzhab Hanafi menggunakan
kaidah sebaliknya yaitu ( األصل في األشياء التحريمHukum asal dalam
segala sesuatu adalah dilarang) Dalam perkembangannya dua kaidah
yang kontradiktif tersebut diberikan peran masing-masing dengan cara
membedakan wilayah kajiannya. Kaidah األصل في األشياء اإلباحـــة
ditempatkan dalam kajian bidang muamalah (selain ibadah
mahdhah/ritual) dan kemudian muncul kaidah األصل في المعاملة اإلباحة
( إال أن يدل الدليل على التحريمHukum asal dalam urusan muamalah adalah
boleh dilakukan, selain hal-hal yang telah ditentukan haram oleh
dalil/nash) Sedangkan kaidah األصل في األشياء التحريمditempatkan
dalam wilayah kajian ibadah mahdhoh / ritual dan kemudian muncul
kaidah ( األصل في العبادة التحريم إال أن يدل الدليل على اإلباحــةHukum asal
dalam urusan ibadah adalah tidak boleh dilakukan, kecuali ada dalil
yang memperbolehkan/memerintahkan)
Memahami dan mencermati dua prinsip kaidah tersebut sangat penting
untuk menilai apakah tradisi/kebiasaan/adat yang ada di masyarakat
tersebut boleh atau tidak, bid’ah atau tidak bid’ah. Prinsip yang
pertama, dalam urusan/wilayah/bidang muamalah (selain ibadah)
adalah “segala sesuatu boleh dilakukan walaupun tidak ada perintah,
asalkan tidak ada larangan”, atau lebih jelasnya “seseorang boleh
melakukan sesuatu, meskipun tidak ada dalil yang memerintahkannya,
yang penting tidak ada dalil yang melarangnnya. Sedangkan prinsip
kedua, seseorang tidak boleh melakukan ibadah kalau tidak ada
perintah, atau lebih jelasnya “seseorang boleh melakukan suatu ibadah
kalau ada perintah, walaupun tidak ada larangan”.
Oleh karena itu, tradisi/kebiasaan/adat apapun yang ada dimasyarakat,
selagi tidak ada kaitannya dengan persoalan ibadah dan tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat (tidak ada nash yang
melarang) adalah boleh saja dilakukan (ibahah).
Bahkan suatu tradisi/kebiasaan/adat tertentu bisa dijadikan dasar
penetapan (legitimasi) hukum dan sekaligus sebagai dasar (legitimasi)
penyelesaian persengketaan hukum , terutama dalam bidang jual beli
(transaksi atau akad). Prinsip ini ada dalam kaidah : ( العادة محكمةadat
dapat dijadikan dasar penetapan hukum). Hal ini disebabkan karena
persoalan muamalah tidak semuanya dan tidak mungkin diatur secara
detail dalam nash (yang diatur secara rinci dalam nash sangat terbatas,
sebagian besar yang lain adalah prinsip-prisip dasarnya saja yang
diatur), tidak demikian halnya dalam masalah ibadah, sebagian besar
diatur secara detail termasuk teknis pelaksanaannya.
Salah satu prinsip penting lain yang digunakan dalam menetapkan
hukum atau menilai “sesuatu” adalah kemaslahatan atau kemnfaatan
riil. Metode ini dalam hukum Islam (Usul Fikih) disebut istishlah atau
maslahah mursalah. Oleh karena itu salah satu paramerter untuk
menilai tradisi/kebiasaan/adat yang ada di masyarakat baik atau tidak,
boleh atau tidak boleh, bid’ah atau tidak bid’ah adalah apakah
bermanfaat/ada nilai maslahat (kebaikan) nya atau tidak. Apabila
tradisi/kebiasaan/adat itu ada manfaat/ maslahatnya atau tidak
mengakibatkan madharat (efek negatif), maka minimal hukumnya
boleh (ibahah). Sekali lagi selama tradisi/kebiasaan/adat tersebut tidak
berkaitan dengan ibadah atau masuk dalam sistem/teknis ibadah, dan
selama tidak ada nash qath’iy yang melarangnya, maka tidak dilarang.
B. Kepribadian Da'i Yang Sukses
Agar menjadi seorang da’iyah yang Sukses dunia dan
akhirat maka salah satu sifat yang perlu ditanamkan pada diri
da'iyah tersebut adalah, sebagai berikut:
- Pengharapan dan keyakinan akan pertolongan Allah.
1. Harapan dalam dakwah tersebut merupakan syarat
kesuksesan.
Dakwah adalah salah satu hal yang sangat penting dalam
Islam, dan harapan adalah salah satu elemen penting yang tidak
dapat dilupakan dalam dakwah. Harapan dalam dakwah tersebut
merupakan syarat kesuksesan seorang da’i, yang artinya bahwa
dengan adanya harapan maka akan menghasilkan kesuksesan
dalam dakwah.
DAFTAR PUSTAKA
Asshiddiqie, Jimmly. 2011. Perihal Undang-undang. Rajawali Pers:
Jakarta.
Aziz, Jum’ah Amin Abdul. 2010. Fiqh Dakwah, Studi atas Berbagai
Prinsip dan Kaidah yang Harus Dijadikan Acuan dalam Dakwah
Islamiah. Terj. Abdus Salam Masykur. Surakarta: Era Adicitra
Intermedia.
Aziz, Moh. Ali. 2017. Ilmu Dakwah. Cet. VI. Jakarta: Kencana.
Enjang dan Aliyudin. 2009. Dasar-dasar Ilmu Dakwah, Pendekatan
Filosofis dan Praktis. Bandung: Widya Padjadjaran
Faiah dan H. Lalu Muchsin Effendi. 2015. Psikologi Dakwah. Jakarta:
Prenadamedia Group.
Mertokusumo, Sudikno. 2006. Penemuan Hukum (Sebuah
Pengantar). Yogyakarta: Liberty.
Putriany, “Kaidah Dakwah Islam”, Institut Agama Islam Negeri
Bone, (2022).
Purbacaraka, Purnadi dan Soejono Soekanto. 1982. Perihal Kaidah
Hukum. Bandung: Alumni.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Bahasa
Indonesia. Jakarta.
Zulkarnaeni. 2010. Fikih Dakwah. AL-Munir Jurnal Ilmiah Dakwah
dan Komunikasi Vol. II, No. 3.
Novira Nuraeni, Buku Mata kuliah Pilihan Fiqh Dakwah dan
Tarbiyyah.
HR. Al-Hakim (I/376) dari Sahabat Anas bin Malik Radhiyallahu
anhu dengan sanad yang hasan. Lihat keterangan lebih lengkap dalam
Ahkaamul Janaa-iz wa Bida’uha (hal. 227-229) oleh Syaikh al-Albani
rahimahullah.
HR. Ahmad (III/38), al-Hakim (I/374-375), dan al-Baihaqy (IV/77).
Al-Hakim berkata: “Hadits Shahih sesuai dengan syarat Muslim dan
disepakati oleh adz-Dzahabi.”
Mujmal Ushuul Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah fil ‘Aqiidah (hal. 16).
Peringatan, tidak boleh memohonkan ampunan untuk orang kafir
meskipun orang tua sendiri/kerabat. Lihat dalilnya pada QS. At-
Taubah/9: 113.
HR. Muslim (no. 970 (94)), Abu Dawud (no. 3225), at-Tirmidzi (no.
1052), an-Nasa-i (IV/86), Ahmad (III/339, 399), al-Hakim (I/370), al-
Baihaqy (IV/4) dari Sahabat Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu.
Tambahan pertama dalam kurung diri-wayatkan oleh Abu Dawud dan
an-Nasa-i, tambahan kedua dalam kurung diriwayatkan oleh at-
Tirmidzi dan al-Hakim. Hadits ini dishahihkan oleh at-Tirmidzi dan
al-Hakim. Lihat Ahkaamul Janaa-iz (hal. 260).
Tentang masalah ini lihat Ahkamul Janaa-iz wa Bida’uha (hal. 259-
294) oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, Fat-hul Majiid
Syarah Kitaabit Tauhiid oleh Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan Alusy
Syaikh.
HR. Al-Bukhari (no. 1197, 1864, 1995), Muslim (no. 827) dan yang
lainnya dari Sahabat Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu.
Terdapat juga di Shahih al-Bukhari (no. 1189), Muslim (no. 1397) dan
yang lainnya dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu. Ha-dits
ini shahih, diriwayatkan dari beberapa Sahabat derajatnya mutawatir,
lihat Irwaa-ul Ghaliil (III/226 no. 773).
Lihat Az-Zumar/39: 3.
Mujmal Ushuul Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah fil ‘Aqiidah (hal. 17).
[10] Fat-hul Majiid Syarah Kitaabit Tauhiid (bab XVIII hal. 251-252)
tahqiq Dr. Walid bin ‘Abdurrahman bin Muhammad al-Furaiyan, cet.
X, th. 1424 H.