Anda di halaman 1dari 13

TAFSIR TEMATIK TERHADAP AYAT-AYAT POLITIK

Oleh: Muhamad Halwani

A. Pendahuluan.

Al-Quran tidak menyatakan secara eksplisit bagaimana sistem politik


terwujud. Tetapi ia menegaskan bahwa kekuasaan politik dijanjikan kepada orang-
orang beriman dan beramal sholeh. Ini berarti sistem politik terkait dengan kedua
faktor tersebut. Pada sisi lain keberadaan sebuah sistem politik terkait pula dengan
ruang dan waktu. Ini berarti ia adalah budaya manusia sehingga keberadaannya tidak
dapat dilepaskan dari dimensi kesejarahan. Karena itu lahirnya sistem politik islam
harus ditelusuri dari sebuah peristiwa sejarah.

Dalam hal ini peristiwa yang dimaksud adalah baiat atau mubayaah keislaman,
sebuah perikatan berisi pengakuan dan penaklukan diri kepada islam sebagai agama.
Konsekuensi dari baiat tersebut adalah terwujudnya sebuah masyarakat muslim yang
yang dikendalikan oleh kekuasaan yang dipegang Rasulullah SAW.

Perkembangan lebih lanjut dari sistem politik tersebut terjadi setelah


Rasulullah hijrah ke Madinah. Disini sistem politik tersebut memiliki supremasi atas
kota Madinah yang ditandai dengan keluarnya Piagam Madinah (1 H).

Rasulullah menjalankan sistem politik tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip


al-Quran tentang politik. Lalu bagaimanakah konsep dan prinsip politik islam dalam
pandangan al-Quran?

B. Ayat-ayat Politik.
1. Surat Ali Imron ayat 26.
             
             
Katakanlah: "Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan
kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang
yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan
Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. di tangan Engkaulah segala
kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.
2. Surat Al-Baqarah ayat 30.
              
             
 
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku
hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa
bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman:
"Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
3. Surat Al-Baqarah ayat 251.
           
              
 
Mereka (tentara Thalut) mengalahkan tentara Jalut dengan izin Allah dan (dalam
peperangan itu) Daud membunuh Jalut, kemudian Allah memberikan kepadanya
(Daud) pemerintahan dan hikmah (sesudah meninggalnya Thalut) dan
mengajarkan kepadanya apa yang dikehendaki-Nya. seandainya Allah tidak
menolak (keganasan) sebahagian umat manusia dengan sebagian yang lain, pasti
rusaklah bumi ini. tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas
semesta alam.
4. Surat Huud ayat 61.
               
            
 
Dan kepada Tsamud (kami utus) saudara mereka shaleh. Shaleh berkata: "Hai
kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia
telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya1,
karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya,
Sesungguhnya Tuhanku Amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa
hamba-Nya).”
5. Surat An-Nisaa’ ayat 58-59.

             
               
            
             
 
1
Maksudnya: manusia dijadikan penghuni dunia untuk menguasai dan memakmurkan dunia.
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara
manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi
pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
mendengar lagi Maha melihat.
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu,
Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika
kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
6. Surat Ibrahim ayat 35.
            

Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku, Jadikanlah negeri ini
(Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada
menyembah berhala-berhala.
7. Surat Al-Baqarah ayat 126.
             
             
    
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdoa: "Ya Tuhanku, Jadikanlah negeri ini,
negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezki dari buah-buahan kepada
penduduknya yang beriman diantara mereka kepada Allah dan hari kemudian.
Allah berfirman: "Dan kepada orang yang kafirpun aku beri kesenangan
sementara, kemudian aku paksa ia menjalani siksa neraka dan Itulah seburuk-
buruk tempat kembali".
8. Surat An-Naml ayat 32-33.
            
            
Berkata Dia (Balqis): "Hai Para pembesar berilah aku pertimbangan dalam
urusanku (ini) aku tidak pernah memutuskan sesuatu persoalan sebelum kamu
berada dalam majelis(ku)".
Mereka menjawab: "Kita adalah orang-orang yang memiliki kekuatan dan (juga)
memiliki keberanian yang sangat (dalam peperangan), dan keputusan berada
ditanganmu: Maka pertimbangkanlah apa yang akan kamu perintahkan".
9. Surat Ali Imran Ayat 159.
                
               
 
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap
mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka
menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah
ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu.
kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-
Nya.

C. Politik.

Kata Politik berasal dari kata politic (Inggris) yang menunjukkan sifat pribadi
atau perbuatan. Secara leksikal, kata asal tersebut berarti acting or judging wisely,
well judged, prudent. Kata ini terambil dari kata Latin politicus dan Bahasa Yunani
(Greek) politicos yang berarti relating to a citizen. Kedua kata tersebut juga berasal
dari kata polis yang bermakna city “kota”.2

Politic kemudian diserap dalam Bahasa Indonesia dengan tiga arti, yaitu:
Segala urusan dan tindakan (kebijaksanaan, siasat dan sebagainya) mengenai
pemerintahan suatu negara atau terhadap negara lain, tipu muslihat atau kelicikan, dan
juga dipergunakan sebagai nama bagi sebuah disiplin pengetahuan, yaitu ilmu politik.
Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kata politik sebagai "segala urusan dan
tindakan (kebijakan, siasat, dan sebagainya) mengenai pemerintahan negara atau
terhadap negara lain." Juga dalam arti "kebijakan, cara bertindak (dalam menghadapi
atau menangani satu masalah)."3

Sebagai istilah, “politik” pertama kali dikenal melalui buku Plato yang
berjudul Politeia yang juga dikenal dengan Republik. Kemudian muncul karya
Aristoteles yang berjudul Politiea. Kedua karya ini dipandang sebagai pangkal
pemikiran politik yang berkembang kemudian. Dari karya tersebut dapat diketahui
bahwa “politik” merupakan istilah yang dipergunakan untuk konsep pengaturan
2
Abdul Munir Salim. Fiqh Siyasah, Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Quran. (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2002) h. 34
3
W.J.S Poerwadarminta. Kamus Umum Bahasa Indonesia. (Jakarta: Balai Pustaka, 1983) h. 763
masyarakat, sebab yang dibahas dalam kedua kitab tersebut adalah soal-soal yang
berkenaan dengan masalah bagaimana pemerintahan dijalankan agar terwujud sebuah
masyarakat politik atau negara yang paling baik. Dengan demikian, dalam konsep
tersebut terkandung berbagai unsur, seperti lembaga yang menjalankan aktivitas
pemerintahan, masyarakat sebagai pihak yang berkepentingan, kebijaksanaan dan
hukum-hukum yang menjadi sarana pengaturan masyarakat, dan cita-cita yang hendak
dicapai.4

Dari berbagai definisi yang ada ditemukan dua kecenderungan pendefinisian


politik. Pertama, pandangan yang mengaitkan politik dengan negara, yakni dengan
urusan pemerintahan pusat atau pemerintahan daerah. Kedua, pandangan yang
mengaitkannya dengan masalah kekuasaan, otoritas, dan atau dengan konflik.5

Dalam kaitan dengan kegiatan-kegiatan politik, Gabriel Almond


mengungkapkan kegiatan-kegiatan politik sebagai fungsi-fungsi politik dalam dua
kategori: fungsi-fungsi masukan (input functions) dan fungsi-fungsi keluaran (output
functions). Yang pertama adalah fungsi-fungsi yang sangat penting dan menentukan
cara kerjanya sistem dan yang diperlukan untuk membuat dan melaksanakan
kebijaksanaan dalam sistem politik.6

Fungsi-fungsi politik yang dimaksud adalah:

1. Sosialisasi Politik. Sosialisasi antara lain berarti proses sosial yang


memungkinkan seseorang menjadi anggota kelompoknya. Dalam hal ini ia
harus mempelajari kebudayaan kelompoknya dan perannya dalam
kelompok. Sosialisasi politik dilaksanakan oleh berbagai unsur dalam
masyarakat, misalnya: keluarga, sekolah, lingkungan pergaulan dan
pekerjaan, media massa, juga oleh instansi resmi. Dengan begitu
kebudayaan politik dapat berkembang dan terpelihara dari satu generasi ke
generasi berikutnya.7
2. Rekrutmen politik. Yang dimaksud adalah proses selelsi warga masyarakat
untuk menduduki jabatan politik dan administrasi. Setiap sistem politik

4
Abdul Munir Salim. Op.cit. h. 35
5
Ibid.
6
Moechtaer Mas’oed dan McAndrews (ed). Perbandingan Sistem Politik. (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 1982) h. 29
7
Abdul Munir Salim. Op.cit. h. 41-42
memiliki cara tersendiri dalam merekrut warganya untuk menduduki
kedudukan politik dan administrasi.8
3. Artikulasi kepentingan. Fungsi ini merupakan proses penentuan
kepentingan-kepentingan yang dikehendaki dari sistem politik. Dalam hal
ini rakyat menyatakan kepentingan mereka kepada lembaga politik atau
pemerintahan melalui kelompok-kelompok kepentingan yang mereka
bentuk bersama dengan orang-orang lain yang juga memiliki kepentingan
yang sama.9
4. Agregasi kepentingan. Fungsi ini adalah perumusan proses alternatif
dengan jalan penggabungan, atau penyesuaian kepentingan-kepentingan
yang telah diartikulasikan, atau dengan merekrut calon-calon pejabat yang
menganut pola kebijaksanaan tertentu.10
5. Komunikasi politik. Fungsi ini merupakan alat untuk penyelenggaraan
fungsi-fungsi lainnya. Orang tua, guru-guru, dan pemimpin-pemimpin
agama misalnya, mengambil bagian dalam sosialisasi politik dengan
menggunakan komunikasi.11

Fungsi-fungsi keluaran meliputi fungsi-fungsi: pembuatan aturan (rule


making), pelaksanaan aturan-aturan hukum (rule application), dan pengawasan atas
pelaksanaan aturan-aturan hukum (rule adjudication).

D. Politik dalam Al-Qur’an.

Dalam kamus-kamus bahasa Arab modern, kata politik biasanya


diterjemahkan dengan kata siyasah. Kata ini terambil dari akar kata sasa-yasusu yang
biasa diartikan mengemudi, mengendalikan, mengatur, dan sebagainya. Dari akar kata
yang sama ditemukan kata sus yang berarti penuh kuman, kutu, atau rusak.12

Dalam Al-Quran tidak ditemukan kata yang terbentuk dari akar kata sasa-
yasusu, namun ini bukan berarti bahwa Al-Quran tidak menguraikan soal politik.
Sekian banyak ulama Al-Quran yang menyusun karya ilmiah dalam bidang politik
dengan menggunakan Al-Quran dan sunnah Nabi sebagai rujukan. Bahkan Ibnu
8
Ibid. h. 43
9
Ibid.
10
Ibid.
11
Ibid.
12
Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran, Tafsir Maudhu’I atas Pelbagai Persoalan Umat. (Bandung:
Penerbit Mizan, 2003)
Taimiyah (1263-1328) menamai salah satu karya ilmiahnya dengan As-siyasah Asy-
Syar'iyah (Politik Keagamaan).13

Uraian Al-Quran tentang politik secara sepintas dapat ditemukan pada ayat-
ayat yang berakar kata hukm. Kata ini pada mulanya berarti "menghalangi atau
melarang dalam rangka perbaikan". Dari akar kata yang sama terbentuk kata hikmah
yang pada mulanya berarti kendali. Makna ini sejalan dengan asal makna kata sasa-
yasusu-sais-siyasat, yang berarti mengemudi, mengendalikan, pengendali, dan cara
pengendalian.14

Hukm dalam bahasa Arab tidak selalu sama artinya dengan kata "hukum"
dalam bahasa Indonesia yang oleh kamus dinyatakan antara lain berarti "putusan".
Dalam bahasa Arab kata ini berbentuk kata jadian, yang bisa mengandung berbagai
makna, bukan hanya bisa digunakan dalam arti "pelaku hukum" atau diperlakukan
atasnya hukum, tetapi juga ia dapat berarti perbuatan dan sifat. Sebagai "perbuatan"
kata hukm berarti membuat atau menjalankan putusan, dan sebagai sifat yang
menunjuk kepada sesuatu yang diputuskan. Kata tersebut jika dipahami sebagai
"membuat atau menjalankan keputusan", maka tentu pembuatan dan upaya
menjalankan itu, baru dapat tergambar jika ada sekelompok yang terhadapnya berlaku
hukum tersebut. Ini menghasilkan upaya politik.15

Kata siyasat sebagaimana dikemukakan di atas diartikan dengan politik dan


juga sebagaimana terbaca, sama dengan kata hikmat.

Di sisi lain terdapat persamaan makna antara pengertian kata hikmat dan
politik. Sementara ulama mengartikan hikmat sebagai kebijaksanaan, atau
kemampuan menangani satu masalah sehingga mendatangkan manfaat atau
menghindarkan mudarat. Pengertian ini sejalan dengan makna kedua yang
dikemukakan Kamus Besar Bahasa Indonesia tentang arti politik, sebagaimana
dikutip di atas.

13
Ibid.
14
Ibid.
15
Ibid.
Menurut Quraish Shihab, paling tidak, dari dua istilah Al-Quran dapat
dijumpai uraian tentang kekuasaan politik, serta tugas yang dibebankan Allah kepada
manusia. Kedua istilah tersebut adalah istikhlaf dan isti'mar.16

1. Istikhlaf.

Dalam surat Al-Baqarah: 30 dinyatakan “Sesungguhnya Aku (Allah) akan


mengangkat di bumi khalifah.”

Kata khalifah dalam bentuk tunggal terulang dalam Al-Quran sebanyak


dua kali, yakni ayat di atas, dan surat Shad: 26: “Wahai Daud Kami telah
menjadikan engkau khalifah di bumi.”

Bentuk jamak dari kata tersebut ada dua macam khulafa' dan khalaif.
Masing-masing mempunyai makna sesuai dengan konteksnya.

Seperti terbaca di atas, ayat-ayat yang berbicara tentang pengangkatan


khalifah dalam Al-Quran ditujukan kepada Nabi Adam dan Nabi Daud. Khalifah
pertama adalah manusia pertama (Adam) dan ketika itu belum ada masyarakat
manusia, berbeda dengan keadaan pada masa Nabi Daud. Beliau menjadi khalifah
setelah berhasil membunuh Jalut. Al-Quran dalam hal ini menginformasikan
bahwa,

“Dan Daud membunuh Jalut. Allah memberinya kekuasaan atas kerajaan,


dan hikmah serta mengajarkan apa yang dikehendaki-Nya.” (QS Al-
Baqarah: 251).

Ayat ini menunjukkan bahwa Daud memperoleh kekuasaan tertentu dalam


mengelola satu wilayah, dan dengan demikian kata khalifah pada ayat yang
membicarakan pengangkatan Daud adalah kekhalifahan dalam arti kekuasaan
mengelola wilayah atau dengan kata lain kekuasaan politik. Hal ini didukung pula
oleh surat Al-Baqarah: 251 di atas yang menjelaskan bahwa Nabi Daud as
dianugerahi hikmah yang maknanya telah dijelaskan sebelum ini. Kekhalifahan
dalam arti kekuasaan politik dipahami juga dari ayat-ayat yang menggunakan
bentuk jamak khulafa'. Perhatikan konteks ayat-ayat surat Al-A'raf: 69 dan 74,
serta Al-Naml: 62.

16
Ibid.
Surat Al-Baqarah ayat 31 menginformasikan juga unsur-unsur
kekhalifahan sekaligus kewajiban sang khalifah. Unsur-unsur tersebut adalah (1)
bumi atau wilayah, (2) khalifah (yang diberi kekuasaan politik atau mandataris),
serta (3) hubungan antara pemilik kekuasaan dengan wilayah, dan hubungannya
dengan pemberi kekuasaan (Allah Swt). Kekhalifahan itu baru dinilai baik apabila
sang khalifah memperhatikan hubungan-hubungan tersebut.17

2. Isti’mar.

Kata isti'mar dalam bahasa Arab modern diartikan penjajahan; ista'mara


adalah menjajah. Makna ini tidak dikenal dalam bahasa Al-Quran, dan memang ia
merupakan penamaan yang tidak sejalan dengan kaidah bahasa Arab dan akar
katanya.18

Dalam surat Hud: 61 Allah berfirman: “Dia Allah yang menciptakan kamu
dari bumi dan menugaskan kamu memakmurkannya.”

Kata isti'mara pada ayat di atas terdiri dari huruf sin dan ta' yang dapat
berarti meminta seperti dalam kata istighfara, yang berarti meminta maghfirah
(ampunan). Dapat juga kedua huruf tersebut berarti "menjadikan" seperti pada
kata hajar yang berarti "batu" bila digandengkan dengan sin dan ta' sehingga
terbaca istahjara yang maknanya adalah menjadi batu. Kata 'amara dapat
diartikan dengan dua makna sesuai dengan objek dan konteks uraian ayat. Surat
Al-Tawbah: 17 dan 18 yang menggunakan kata kerja masa kini ya'muru, dan
ya'muru dalam konteks uraian tentang masjid diartikan memakmurkan masjid
dengan jalan membangun, memelihara, memugar, membersihkan, shalat, atau
i'tikaf di dalamnya. Sedangkan surat Al-Rum: 9 yang mengulangi dua kali kata
kerja masa lampau 'amaru berbicara tentang bumi, diartikan sebagai membangun
bangunan, serta mengelolanya untuk memperoleh manfaatnya.19

Jika demikian, kata ista'marakum dapat berarti "menjadikan kamu" atau


"meminta/menugaskan kamu" mengolah bumi guna memperoleh manfaatnya.
Dari satu sisi, penugasan tersebut dapat merupakan pelimpahan kekuasaan politik;
di sisi lain karena yang menjadikan dan yang menugaskan itu adalah Allah Swt,

17
Ibid.
18
Ibid.
19
Ibid.
maka para petugas dalam menjalankan tugasnya harus memperhatikan kehendak
yang menugaskannya.20

E. Prinsip-prinsip Politik Al-Quran.

Prinsip Al-Quran tentang politik yang pertama berkaitan dengan persoalan


keadilan. Hal ini tersurat dalam Surat An-Nisa’ ayat 58-59 di atas yang dinilai oleh
para ulama sebagai prinsip-prinsip pokok yang menghimpun ajaran Islam tentang
kekuasaan atau pemerintahan. Bahkan Rasyid Ridha, seorang pakar tafsir,
berpendapat bahwa, "Seandainya tidak ada ayat lain yang berbicara tentang hal
permerintahan, maka ayat itu telah amat memadai." Amanat dimaksudkan berkaitan
dengan banyak hal, salah satu di antaranya adalah perlakuan adil. Keadilan yang
dituntut ini bukan hanya terhadap kelompok, golongan, atau kaum Muslim saja, tetapi
mencakup seluruh manusia bahkan seluruh makhluk.21

Al-Qur'an menggunakan pengertian yang berbeda-beda bagi kata atau istilah


yang bersangkut-paut dengan keadilan. Bahkan kata yang digunakan untuk
menampilkan sisi atau wawasan keadilan juga tidak selalu berasal dari akar kata 'adl.
Kata-kata sinonim seperti qisth, hukm dan sebagainya digunakan oleh al-Qur'an dalam
pengertian keadilan. Sedangkan kata 'adl dalam berbagai bentuk konjugatifnya bisa
saja kehilangan kaitannya yang langsung dengan sisi keadilan itu (ta'dilu, dalam arti
mempersekutukan Tuhan dan 'adl dalam arti tebusan).22

Abdurrahman Wahid mengkategorikan beberapa pengertian yang berkaitan


dengan keadilan dalam al-Qur'an dari akar kata 'adl itu, yaitu sesuatu yang benar,
sikap yang tidak memihak, penjagaan hak-hak seseorang dan cara yang tepat dalam
mengambil keputusan ("Hendaknya kalian menghukumi atau mengambil keputusan
atas dasar keadilan"). Secara keseluruhan, pengertian-pengertian di atas terkait
langsung dengan sisi keadilan, yaitu sebagai penjabaran bentuk-bentuk keadilan
dalam kehidupan. Dari terkaitnya beberapa pengertian kata 'adl dengan wawasan atau
sisi keadilan secara langsung itu saja, sudah tampak dengan jelas betapa porsi "warna
keadilan" mendapat tempat dalam al-Qur'an, sehingga dapat dimengerti sikap
kelompok Mu'tazilah dan Syi'ah untuk menempatkan keadilan ('adalah) sebagai salah

20
Ibid.
21
Ibid.
22
Budhy Munawar-Rachman (ed). Konstekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah. (Jakarta: Penerbit
Yayasan Paramadina).
satu dari lima prinsip utama al-Mabdi al-Khamsah.) dalam keyakinan atau akidah
mereka.23

Berdampingan dengan amanat yang dibebankan kepada para penguasa,


ditekankan kewajiban taat masyarakat terhadap mereka. Perlu diperhatikan bahwa
redaksi ayat di atas menggandengkan kata "taat" kepada Allah dan Rasul, tetapi
meniadakan kata itu pada ulil amr. “Taatlah kepada Allah, taatlah kepada Rasul, dan
ulil amr antara kamu” (QS Al-Nisa': 59).

Tidak disebutkannya kata taat pada ulil amr untuk memberi isyarat bahwa
ketaatan kepada mereka tidak berdiri sendiri tetapi berkaitan atau bersyarat dengan
ketaatan kepada Allah dan Rasul, dalam arti bila perintahnya bertentangan dengan
nilai-nilai ajaran Allah dan Rasul-Nya, maka tidak dibenarkan untuk taat kepada
mereka. Tetapi disisi lain, apabila perintah ulul amr tidak mengakibatkan
kemaksiatan, maka ia wajib ditaati, walaupun perintah tersebut tidak disetujui oleh
yang diperintah.24

Taat dalam bahasa Al-Quran berarti "tunduk" menerima secara tulus dan
menemani. Ini berarti ketaatan dimaksud bukan sekadar melaksanakan apa yang
diperintahkan tetapi harus ikut berpartisipasi dalam upaya-upaya yang dilakukan
penguasa politik guna mendukung usaha-usahanya.

Prinsip kedua al-Quran tentang politik juga tergambar dalam Surat Ibrahim
ayat 35 dan Surat Al-Baqarah ayat 126, yaitu adanya prinsip yang disebut dalam doa
Nabi Ibrahim tentang visi negara yang aman dalam yang dalam bahasa al-Quran
digunakan dua terma al-balad al-amin dan baladan aminan. Medan semantik kata
amin dan aman menunjuk tentang keterlindungan warga negara atau penduduk
melalui pemenuhan kebutuhan secara fisiologis (ketersediaan pangan dan kebutuhan
material yang lain sebagainya), psikologis (tirani, kekejaman, eksploitasi) serta
kebutuhan spiritual (ajaran bertauhid).

Prinsip ketiga yang dapat dianalisis adalah adalah adanya upaya mencari
pertimbangan atau musyawarah dilakukan oleh penguasa dengan melibatkan
masyarakat atau perwakilannya sebagaimana tersirat dalam Surat An-Naml ayat 32,
“Hai Para pembesar berilah aku pertimbangan dalam urusanku (ini) aku tidak
23
Ibid.
24
Quraish Shihab. Op.cit.
pernah memutuskan sesuatu persoalan sebelum kamu berada dalam majelis(ku)”.
Meski ayat ini tidak secara eksplisit menunjuk tentang musyawarah, namun upaya
untuk meminta pertimbangan dan pandangan dari pihak lain dalam memutuskan suatu
persoalan merupakan substansi dari yang disebut musyawarah.

Ayat lain yang juga menunjukkan tentang prinsip musyawarah terlihat dalam
Surat Ali Imran Ayat 159. Al-Tabari menyebut ayat ini berkaitan dengan perintah
Allah agar Nabi bermusyawarah dengan para Shahabatnya dalam persoalan strategi
perang dan taktik menghadapi musuh. Upaya ini dilakukan untuk memberikan efek
psikologis pada kaum muslimin bahwa pendapat mereka didengar oleh Nabi dan Nabi
mengandalkan pandangan mereka.25

F. Penutup.

Analisa atas ayat-ayat al-Quran yang memuat pesan politik setidaknya


menemukan beberapa poin tentang unsur dan prinsip-prinsip politik dalam islam.
Surat Al-Baqarah ayat 31 menginformasikan unsur-unsur kekhalifahan sekaligus
kewajiban khalifah atau pemimpin. Unsur-unsur tersebut adalah (1) bumi atau
wilayah, (2) khalifah (yang diberi kekuasaan politik atau mandataris), serta (3)
hubungan antara pemilik kekuasaan dengan wilayah, dan hubungannya dengan
pemberi kekuasaan (Allah Swt).

Surat An-Nisa’ ayat 58-59 yang dinilai oleh para ulama sebagai prinsip-prinsip
pokok yang menghimpun ajaran Islam tentang kekuasaan atau pemerintahan, memuat
prinsip tentang keadilan. Keadilan yang dituntut ini bukan hanya terhadap kelompok,
golongan, atau kaum Muslim saja, tetapi mencakup seluruh manusia bahkan seluruh
makhluk.

Sementara dalam Surat Ibrahim ayat 35 dan Surat Al-Baqarah ayat 126,
menunjuk kepada keterlindungan warga negara atau penduduk melalui pemenuhan
kebutuhan secara fisiologis (ketersediaan pangan dan kebutuhan material yang lain
sebagainya), psikologis (tirani, kekejaman, eksploitasi) serta kebutuhan spiritual
(ajaran bertauhid).

25
Al-Tabari. Jami’ Al-Bayan fi Tafsir Al-Quran. (Beirut: Dar Al-Fikr. 1995). Vol IV. h. 99
Prinsip selanjutnya berkaitan dengan upaya mencari pertimbangan atau
musyawarah dilakukan oleh penguasa dengan melibatkan masyarakat atau
perwakilannya terlihat dalam Surat An-Naml ayat 32 dan Surat Ali Imran Ayat 159.

DAFTAR PUSTAKA

Munir, Abdul Salim. Fiqh Siyasah, Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-
Quran. Yogyakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.

Poerwadarminta, W.J.S. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai


Pustaka, 1983.

Mas’oed, Moechtar dan McAndrews (ed). Perbandingan Sistem Politik.


Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1982.

Shihab, Quraish. Wawasan Al-Quran, Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai


Persoalan Umat. Bandung: Penerbit Mizan, 2003.

Al-Thabari, Ibnu Jarir. Jami’ Al-Bayan fi Tafsir Al-Quran. Beirut: Dar Al-
Fikr. 1995.

Rachman, Budhy Munawar (ed). Konstekstualisasi Doktrin Islam Dalam


Sejarah. Jakarta: Penerbit Yayasan Paramadina.

Anda mungkin juga menyukai