A. Pendahuluan.
Dalam hal ini peristiwa yang dimaksud adalah baiat atau mubayaah keislaman,
sebuah perikatan berisi pengakuan dan penaklukan diri kepada islam sebagai agama.
Konsekuensi dari baiat tersebut adalah terwujudnya sebuah masyarakat muslim yang
yang dikendalikan oleh kekuasaan yang dipegang Rasulullah SAW.
B. Ayat-ayat Politik.
1. Surat Ali Imron ayat 26.
Katakanlah: "Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan
kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang
yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan
Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. di tangan Engkaulah segala
kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.
2. Surat Al-Baqarah ayat 30.
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku
hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa
bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman:
"Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
3. Surat Al-Baqarah ayat 251.
Mereka (tentara Thalut) mengalahkan tentara Jalut dengan izin Allah dan (dalam
peperangan itu) Daud membunuh Jalut, kemudian Allah memberikan kepadanya
(Daud) pemerintahan dan hikmah (sesudah meninggalnya Thalut) dan
mengajarkan kepadanya apa yang dikehendaki-Nya. seandainya Allah tidak
menolak (keganasan) sebahagian umat manusia dengan sebagian yang lain, pasti
rusaklah bumi ini. tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas
semesta alam.
4. Surat Huud ayat 61.
Dan kepada Tsamud (kami utus) saudara mereka shaleh. Shaleh berkata: "Hai
kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia
telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya1,
karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya,
Sesungguhnya Tuhanku Amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa
hamba-Nya).”
5. Surat An-Nisaa’ ayat 58-59.
1
Maksudnya: manusia dijadikan penghuni dunia untuk menguasai dan memakmurkan dunia.
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara
manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi
pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
mendengar lagi Maha melihat.
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu,
Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika
kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
6. Surat Ibrahim ayat 35.
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku, Jadikanlah negeri ini
(Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada
menyembah berhala-berhala.
7. Surat Al-Baqarah ayat 126.
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdoa: "Ya Tuhanku, Jadikanlah negeri ini,
negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezki dari buah-buahan kepada
penduduknya yang beriman diantara mereka kepada Allah dan hari kemudian.
Allah berfirman: "Dan kepada orang yang kafirpun aku beri kesenangan
sementara, kemudian aku paksa ia menjalani siksa neraka dan Itulah seburuk-
buruk tempat kembali".
8. Surat An-Naml ayat 32-33.
Berkata Dia (Balqis): "Hai Para pembesar berilah aku pertimbangan dalam
urusanku (ini) aku tidak pernah memutuskan sesuatu persoalan sebelum kamu
berada dalam majelis(ku)".
Mereka menjawab: "Kita adalah orang-orang yang memiliki kekuatan dan (juga)
memiliki keberanian yang sangat (dalam peperangan), dan keputusan berada
ditanganmu: Maka pertimbangkanlah apa yang akan kamu perintahkan".
9. Surat Ali Imran Ayat 159.
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap
mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka
menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah
ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu.
kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-
Nya.
C. Politik.
Kata Politik berasal dari kata politic (Inggris) yang menunjukkan sifat pribadi
atau perbuatan. Secara leksikal, kata asal tersebut berarti acting or judging wisely,
well judged, prudent. Kata ini terambil dari kata Latin politicus dan Bahasa Yunani
(Greek) politicos yang berarti relating to a citizen. Kedua kata tersebut juga berasal
dari kata polis yang bermakna city “kota”.2
Politic kemudian diserap dalam Bahasa Indonesia dengan tiga arti, yaitu:
Segala urusan dan tindakan (kebijaksanaan, siasat dan sebagainya) mengenai
pemerintahan suatu negara atau terhadap negara lain, tipu muslihat atau kelicikan, dan
juga dipergunakan sebagai nama bagi sebuah disiplin pengetahuan, yaitu ilmu politik.
Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kata politik sebagai "segala urusan dan
tindakan (kebijakan, siasat, dan sebagainya) mengenai pemerintahan negara atau
terhadap negara lain." Juga dalam arti "kebijakan, cara bertindak (dalam menghadapi
atau menangani satu masalah)."3
Sebagai istilah, “politik” pertama kali dikenal melalui buku Plato yang
berjudul Politeia yang juga dikenal dengan Republik. Kemudian muncul karya
Aristoteles yang berjudul Politiea. Kedua karya ini dipandang sebagai pangkal
pemikiran politik yang berkembang kemudian. Dari karya tersebut dapat diketahui
bahwa “politik” merupakan istilah yang dipergunakan untuk konsep pengaturan
2
Abdul Munir Salim. Fiqh Siyasah, Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Quran. (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2002) h. 34
3
W.J.S Poerwadarminta. Kamus Umum Bahasa Indonesia. (Jakarta: Balai Pustaka, 1983) h. 763
masyarakat, sebab yang dibahas dalam kedua kitab tersebut adalah soal-soal yang
berkenaan dengan masalah bagaimana pemerintahan dijalankan agar terwujud sebuah
masyarakat politik atau negara yang paling baik. Dengan demikian, dalam konsep
tersebut terkandung berbagai unsur, seperti lembaga yang menjalankan aktivitas
pemerintahan, masyarakat sebagai pihak yang berkepentingan, kebijaksanaan dan
hukum-hukum yang menjadi sarana pengaturan masyarakat, dan cita-cita yang hendak
dicapai.4
4
Abdul Munir Salim. Op.cit. h. 35
5
Ibid.
6
Moechtaer Mas’oed dan McAndrews (ed). Perbandingan Sistem Politik. (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 1982) h. 29
7
Abdul Munir Salim. Op.cit. h. 41-42
memiliki cara tersendiri dalam merekrut warganya untuk menduduki
kedudukan politik dan administrasi.8
3. Artikulasi kepentingan. Fungsi ini merupakan proses penentuan
kepentingan-kepentingan yang dikehendaki dari sistem politik. Dalam hal
ini rakyat menyatakan kepentingan mereka kepada lembaga politik atau
pemerintahan melalui kelompok-kelompok kepentingan yang mereka
bentuk bersama dengan orang-orang lain yang juga memiliki kepentingan
yang sama.9
4. Agregasi kepentingan. Fungsi ini adalah perumusan proses alternatif
dengan jalan penggabungan, atau penyesuaian kepentingan-kepentingan
yang telah diartikulasikan, atau dengan merekrut calon-calon pejabat yang
menganut pola kebijaksanaan tertentu.10
5. Komunikasi politik. Fungsi ini merupakan alat untuk penyelenggaraan
fungsi-fungsi lainnya. Orang tua, guru-guru, dan pemimpin-pemimpin
agama misalnya, mengambil bagian dalam sosialisasi politik dengan
menggunakan komunikasi.11
Dalam Al-Quran tidak ditemukan kata yang terbentuk dari akar kata sasa-
yasusu, namun ini bukan berarti bahwa Al-Quran tidak menguraikan soal politik.
Sekian banyak ulama Al-Quran yang menyusun karya ilmiah dalam bidang politik
dengan menggunakan Al-Quran dan sunnah Nabi sebagai rujukan. Bahkan Ibnu
8
Ibid. h. 43
9
Ibid.
10
Ibid.
11
Ibid.
12
Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran, Tafsir Maudhu’I atas Pelbagai Persoalan Umat. (Bandung:
Penerbit Mizan, 2003)
Taimiyah (1263-1328) menamai salah satu karya ilmiahnya dengan As-siyasah Asy-
Syar'iyah (Politik Keagamaan).13
Uraian Al-Quran tentang politik secara sepintas dapat ditemukan pada ayat-
ayat yang berakar kata hukm. Kata ini pada mulanya berarti "menghalangi atau
melarang dalam rangka perbaikan". Dari akar kata yang sama terbentuk kata hikmah
yang pada mulanya berarti kendali. Makna ini sejalan dengan asal makna kata sasa-
yasusu-sais-siyasat, yang berarti mengemudi, mengendalikan, pengendali, dan cara
pengendalian.14
Hukm dalam bahasa Arab tidak selalu sama artinya dengan kata "hukum"
dalam bahasa Indonesia yang oleh kamus dinyatakan antara lain berarti "putusan".
Dalam bahasa Arab kata ini berbentuk kata jadian, yang bisa mengandung berbagai
makna, bukan hanya bisa digunakan dalam arti "pelaku hukum" atau diperlakukan
atasnya hukum, tetapi juga ia dapat berarti perbuatan dan sifat. Sebagai "perbuatan"
kata hukm berarti membuat atau menjalankan putusan, dan sebagai sifat yang
menunjuk kepada sesuatu yang diputuskan. Kata tersebut jika dipahami sebagai
"membuat atau menjalankan keputusan", maka tentu pembuatan dan upaya
menjalankan itu, baru dapat tergambar jika ada sekelompok yang terhadapnya berlaku
hukum tersebut. Ini menghasilkan upaya politik.15
Di sisi lain terdapat persamaan makna antara pengertian kata hikmat dan
politik. Sementara ulama mengartikan hikmat sebagai kebijaksanaan, atau
kemampuan menangani satu masalah sehingga mendatangkan manfaat atau
menghindarkan mudarat. Pengertian ini sejalan dengan makna kedua yang
dikemukakan Kamus Besar Bahasa Indonesia tentang arti politik, sebagaimana
dikutip di atas.
13
Ibid.
14
Ibid.
15
Ibid.
Menurut Quraish Shihab, paling tidak, dari dua istilah Al-Quran dapat
dijumpai uraian tentang kekuasaan politik, serta tugas yang dibebankan Allah kepada
manusia. Kedua istilah tersebut adalah istikhlaf dan isti'mar.16
1. Istikhlaf.
Bentuk jamak dari kata tersebut ada dua macam khulafa' dan khalaif.
Masing-masing mempunyai makna sesuai dengan konteksnya.
16
Ibid.
Surat Al-Baqarah ayat 31 menginformasikan juga unsur-unsur
kekhalifahan sekaligus kewajiban sang khalifah. Unsur-unsur tersebut adalah (1)
bumi atau wilayah, (2) khalifah (yang diberi kekuasaan politik atau mandataris),
serta (3) hubungan antara pemilik kekuasaan dengan wilayah, dan hubungannya
dengan pemberi kekuasaan (Allah Swt). Kekhalifahan itu baru dinilai baik apabila
sang khalifah memperhatikan hubungan-hubungan tersebut.17
2. Isti’mar.
Dalam surat Hud: 61 Allah berfirman: “Dia Allah yang menciptakan kamu
dari bumi dan menugaskan kamu memakmurkannya.”
Kata isti'mara pada ayat di atas terdiri dari huruf sin dan ta' yang dapat
berarti meminta seperti dalam kata istighfara, yang berarti meminta maghfirah
(ampunan). Dapat juga kedua huruf tersebut berarti "menjadikan" seperti pada
kata hajar yang berarti "batu" bila digandengkan dengan sin dan ta' sehingga
terbaca istahjara yang maknanya adalah menjadi batu. Kata 'amara dapat
diartikan dengan dua makna sesuai dengan objek dan konteks uraian ayat. Surat
Al-Tawbah: 17 dan 18 yang menggunakan kata kerja masa kini ya'muru, dan
ya'muru dalam konteks uraian tentang masjid diartikan memakmurkan masjid
dengan jalan membangun, memelihara, memugar, membersihkan, shalat, atau
i'tikaf di dalamnya. Sedangkan surat Al-Rum: 9 yang mengulangi dua kali kata
kerja masa lampau 'amaru berbicara tentang bumi, diartikan sebagai membangun
bangunan, serta mengelolanya untuk memperoleh manfaatnya.19
17
Ibid.
18
Ibid.
19
Ibid.
maka para petugas dalam menjalankan tugasnya harus memperhatikan kehendak
yang menugaskannya.20
20
Ibid.
21
Ibid.
22
Budhy Munawar-Rachman (ed). Konstekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah. (Jakarta: Penerbit
Yayasan Paramadina).
satu dari lima prinsip utama al-Mabdi al-Khamsah.) dalam keyakinan atau akidah
mereka.23
Tidak disebutkannya kata taat pada ulil amr untuk memberi isyarat bahwa
ketaatan kepada mereka tidak berdiri sendiri tetapi berkaitan atau bersyarat dengan
ketaatan kepada Allah dan Rasul, dalam arti bila perintahnya bertentangan dengan
nilai-nilai ajaran Allah dan Rasul-Nya, maka tidak dibenarkan untuk taat kepada
mereka. Tetapi disisi lain, apabila perintah ulul amr tidak mengakibatkan
kemaksiatan, maka ia wajib ditaati, walaupun perintah tersebut tidak disetujui oleh
yang diperintah.24
Taat dalam bahasa Al-Quran berarti "tunduk" menerima secara tulus dan
menemani. Ini berarti ketaatan dimaksud bukan sekadar melaksanakan apa yang
diperintahkan tetapi harus ikut berpartisipasi dalam upaya-upaya yang dilakukan
penguasa politik guna mendukung usaha-usahanya.
Prinsip kedua al-Quran tentang politik juga tergambar dalam Surat Ibrahim
ayat 35 dan Surat Al-Baqarah ayat 126, yaitu adanya prinsip yang disebut dalam doa
Nabi Ibrahim tentang visi negara yang aman dalam yang dalam bahasa al-Quran
digunakan dua terma al-balad al-amin dan baladan aminan. Medan semantik kata
amin dan aman menunjuk tentang keterlindungan warga negara atau penduduk
melalui pemenuhan kebutuhan secara fisiologis (ketersediaan pangan dan kebutuhan
material yang lain sebagainya), psikologis (tirani, kekejaman, eksploitasi) serta
kebutuhan spiritual (ajaran bertauhid).
Prinsip ketiga yang dapat dianalisis adalah adalah adanya upaya mencari
pertimbangan atau musyawarah dilakukan oleh penguasa dengan melibatkan
masyarakat atau perwakilannya sebagaimana tersirat dalam Surat An-Naml ayat 32,
“Hai Para pembesar berilah aku pertimbangan dalam urusanku (ini) aku tidak
23
Ibid.
24
Quraish Shihab. Op.cit.
pernah memutuskan sesuatu persoalan sebelum kamu berada dalam majelis(ku)”.
Meski ayat ini tidak secara eksplisit menunjuk tentang musyawarah, namun upaya
untuk meminta pertimbangan dan pandangan dari pihak lain dalam memutuskan suatu
persoalan merupakan substansi dari yang disebut musyawarah.
Ayat lain yang juga menunjukkan tentang prinsip musyawarah terlihat dalam
Surat Ali Imran Ayat 159. Al-Tabari menyebut ayat ini berkaitan dengan perintah
Allah agar Nabi bermusyawarah dengan para Shahabatnya dalam persoalan strategi
perang dan taktik menghadapi musuh. Upaya ini dilakukan untuk memberikan efek
psikologis pada kaum muslimin bahwa pendapat mereka didengar oleh Nabi dan Nabi
mengandalkan pandangan mereka.25
F. Penutup.
Surat An-Nisa’ ayat 58-59 yang dinilai oleh para ulama sebagai prinsip-prinsip
pokok yang menghimpun ajaran Islam tentang kekuasaan atau pemerintahan, memuat
prinsip tentang keadilan. Keadilan yang dituntut ini bukan hanya terhadap kelompok,
golongan, atau kaum Muslim saja, tetapi mencakup seluruh manusia bahkan seluruh
makhluk.
Sementara dalam Surat Ibrahim ayat 35 dan Surat Al-Baqarah ayat 126,
menunjuk kepada keterlindungan warga negara atau penduduk melalui pemenuhan
kebutuhan secara fisiologis (ketersediaan pangan dan kebutuhan material yang lain
sebagainya), psikologis (tirani, kekejaman, eksploitasi) serta kebutuhan spiritual
(ajaran bertauhid).
25
Al-Tabari. Jami’ Al-Bayan fi Tafsir Al-Quran. (Beirut: Dar Al-Fikr. 1995). Vol IV. h. 99
Prinsip selanjutnya berkaitan dengan upaya mencari pertimbangan atau
musyawarah dilakukan oleh penguasa dengan melibatkan masyarakat atau
perwakilannya terlihat dalam Surat An-Naml ayat 32 dan Surat Ali Imran Ayat 159.
DAFTAR PUSTAKA
Munir, Abdul Salim. Fiqh Siyasah, Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-
Quran. Yogyakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.
Al-Thabari, Ibnu Jarir. Jami’ Al-Bayan fi Tafsir Al-Quran. Beirut: Dar Al-
Fikr. 1995.