Anda di halaman 1dari 18

1

PARADIGMA INKLUSIVIS-PLURALIS BERAGAMA


PERSPEKTIF ALQURAN
(Analisis QS. al-Baqarah/2: 136-137 & QS. Ali Imran/3: 64)
Oleh: M. Gazali Rahman

Abstrak

Kata Kunci: beragama, inklusivis-pluralis.


I. Pendahuluan
Misi dari doktrin agama dipahami sebagai petunjuk yang mengarahkan
dan membimbing manusia kepada jalan kebenaran dan keselamatan. Namun,
realitas keberagamaan dewasa ini memperlihatkan adanya perubahan orientasi
keberagamaan yang kontras dengan misi dari doktrin tersebut. Indikasi adanya
perubahan tersebut nampak pula pada perilaku umat beragama yang cenderung
kurang menghargai moralitas dan kemanusiaan yang merupakan substansi dari
ajaran agama.
Para pengikut agama seringkali lebih mampu menangkap simbol agama
daripada substansi agama. Padahal, yang mesti dipahami dalam wacana sebuah
agama adalah bahwa kebesaran sebuah agama bukan diukur dari kuantitas
pemeluk agama tertentu, melainkan sejauhmana agama tersebut telah memberikan
sumbangan kepada nilai-nilai kemanusiaan. Dalam konteks ini, setiap pemeluk
agama seharusnya mampu menjadi mediator guna menumbuhkan kesadaran
tentang adanya perbedaan-perbedaan dan meredam klaim kebenaran yang terdapat
pada tradisi agama. Dengan demikian, keberagamaan yang berbasis kemanusiaan,
moral, dan inklusivis dapat menjadi solusi jitu di tengah situasi iklim keagamaan
yang kerap dilanda konflik antaragama.
Pluralitas dalam perspektif agama merupakan salah satu wacana yang
paling menantang terhadap kerangka kesarjanaan dan keilmuan dunia Islam dalam
berbagai perspektif. Kesadaran akan pentingnya mempertimbangkan realitas
pluralitas agama telah ada dalam dunia Islam sejak kelahirannya yang bersentuhan
dengan berbagai pluralitas budaya. Setiap orang secara inheren dalam dirinya
2

diberikan kebebasan meyakini, bertindak dalam kerangka agama berdasar


keyakinan masing-masing tanpa ada paksaan dari siapa pun.1 Pluralitas
merupakan kenyataan hidup yang meniscayakan ketundukan kepada Allah
sebagai ide sentral monoteis sejati atau tauhid. Hal itu juga menjelaskan bahwa
Tuhan tidak dapat dibandingkan dengan apa pun, tiada satu pun yang serupa
dengan-Nya.
Manusia sebagai makhluk sosial mempunyai sifat kodrati berupa sifat
ketergantungan, sesuai dengan asal kejadiannya. Sifat ketergantungan manusia
kepada sesamanya menjadi jelas apabila diperhatikan mekanisme hubungan anak
dengan orang tuanya, khususnya kepada ibunya, terutama pada awal
perkembangan kehidupannya. Ketergantungan itu tidak hanya ketika ia berada
dalam rahim ibunya, tetapi juga setelah lahir ia tetap memerlukan alam
lingkungannya, demi kelangsungan hidupnya. Hal tersebut mengasumsikan
adanya kesadaran kolektif yang perlu dikembangkan dalam wujud simbiosis
mutualisme antarsesama manusia dalam relasi kehidupannya dan di tengah
kondisi multikultural yang ada.
Hal ini juga ditegaskan oleh Ibnu Khaldun, salah seorang sosiolog, dengan
mengatakan bahwa manusia adalah makhluk sosial (madanīyah bi al-ṭaba’i).2 Ini
memberikan suatu indikasi bahwa manusia di mana pun ia berada senantiasa
merupakan bagian dari suatu komunitas bersama yang harus ikut dan melakukan
interaksi sosial dengan individu dan komunitas lainnya. Interaksi sosial manusia
terjadi dalam berbagai bentuk kehidupan, termasuk di dalamnya ialah interaksi
sosial antara umat beragama.

1
Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Postmodernisme (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1995), h. 99-105; Amin Abdullah, “Kebebasan Beragama atau Dialog Antar Agama: 50 Tahun
Hak Asasi Manusia” dalam J.B Banawiratna et. al (ed.), Hak Asasi Manusia: Tantangan Bagi
Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1999), h 55; Nurcholish Madjid, “Prinsip-prinsip Al-Quran tentang
Pluralisme dan Perdamaian” dalam Azhar Arsyad, dkk (eds), Islam dan Perdamaian Global
(Yogyakarta: Madyan Press, 2002), h. 32.
2
Ibnu Khaldun, Muqaddimah li Ibn Khaldun, Juz I (Cet. IV; Beirut: t.p., t.th.), h. 41.
3

Interaksi umat beragama antara agama semitic3 telah terjadi hampir


seumur dengan agama itu sendiri. Memasuki millenium ketiga umat beragama
diperhadapkan pada serangkaian tantangan baru yang tidak jauh berbeda dengan
apa yang telah dialami sejak awal terjadinya interaksi antar umat beragama.
Tantangan itu meliputi pluralisme agama, konflik intern dan antaragama, dan
sebagainya, termasuk diantaranya munculnya “Agama Baru” yang oleh
pengikutnya disebut sebagai agama alternatif, agama masa depan, termasuk dalam
kelompok ini ialah penganut Deisme Theistis.4 Sebagai konsekuensi dari
kenyataan, tersebut muncul berbagai pertanyaan yang menggugat pluralisme
agama, misalnya agama mana saja di antara agama-agama yang ada, khususnya di
antara rumpun semitic yang paling benar.
Pertanyaan tersebut menjadi bagian dari diskusi dalam hubungan interaksi
umat beragama, yang rawan terhadap klaim superioritas terhadap agama lain yang
dipandang inferior. Melihat fenomena interaksi pengikut suatu agama, oleh John
Cobb5 dikemukakan tiga pandangan teologis dalam berinteraksi dengan penganut
agama lainnya. Pertama, teologi ekslusivis, yang mengklaim bahwa kebahagiaan
dan keselamatan hanya dapat dicapai oleh mereka yang percaya pada agamanya;

3
Agama semitic ialah rumpun agama yang dinisbahkan kepada nabi Ibrahim as.
(Abraham Religion). Dalam hal ini yang termasuk di dalamnya ialah agama Yahudi, Kristen
(Nasrani), dan Islam. Lihat, Cryl Glesse, The Concise Encyclopedia of Islam, diterjemahkan oleh
Gufron A. Mas’adi dengan judul Ensiklopedi Islam Ringkas (Cet. II; RajaGrafindo Persada, 1999),
h. 174; Komaruddin Hidayat dan Wahyuni Nafis, Agama-agama Masa Depan: Perspektif Filsafat
Perennial (Cet. I; Jakarta: Paramadina, 1995), h. 54. Dalam hal ini keduanya mencoba
menghubungkan kronologis wahyu monoteis sejak Ibrahim (hanif), sampai pada Musa as.
(Yahudi), Isa as. (Kristen) hingga Muhammad saw. (Islam).
4
Deisme Theistis atau Faith Without Religion adalah suatu pendekatan substansial dan
spekulatif intelektual tentang hakikat keberagamaan yang berada di luar jalur teologi yang sudah
dikenal sejak zaman Yunani kuno. Di zaman modern ini, Deisme mengambil bentuk unitarianisme
dan universalisme. Deisme berpandangan bahwa agama formal (formal religion) seperti Yahudi,
Kristen dan Islam tidak memiliki masa depan. Yang bertahan adalah pesan-pesannya yang
universal namun ritus-ritusnya akan semakin dijauhi. Lihat Komaruddin Hidayat dan Wahyuni
Nafis, op.cit., h. 90-91.
5
John Cobb adalah seorang teolog kristen kenamaan yang menjabat sebagai konsultan
pada International Renewal Hartford Seminary di Connecticut-USA. Gagasan tentang teologi
transformatif ini disampaikan pada Rapat Kerja di MacDonald Center pada seminar tersebut.
Uraian selengkapnya, lihat Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama
(Cet. I; Bandung: Mizan, 1997), h. 84.
4

kedua, teologi inklusivis, yang melihat bahwa semua pengikut semua agama akan
memperoleh keselamatan; dan ketiga, teologi pluralis melihat bahwa agama-
agama besar mengajak pengikutnya pada keselamatan. Disamping itu, muncul
teologi transformatif yang lebih dari sekadar sikap hidup pluralis dan rela hidup
berdampingan secara damai dengan penganut agama lain, tetapi juga mampu
bersikap terbuka untuk membangun kedamaian dengan penganut agama lain.
Dari keempat teologi tersebut, nampaknya yang paling dominan dewasa
ini ialah teologi eksklusivis, yaitu sejenis klaim superioritas oleh suatu pemeluk
agama dan merasa agamanya lah yang paling benar. Menurut Frith Schoan,6 klaim
tersebut secara subtansial bersifat mutlak, namun secara eksoterik pada tingkat
keberagamaan manusiawi pernyataan tersebut bersifat mutlak. Dalam fenomena
keberagamaan internal, hal tersebut adalah wajar dan dapat ditolerir. Hal ini antara
lain karena dasar skriptual yang cukup kuat dipegang oleh masing-masing
penganut agama, bahkan interpretasi tekstual terhadap ayat-ayat tertentu dijadikan
legitimasi. Di dalam Islam terdapat beberapa ayat Alquran yang dipahami sebagai
dasar ekslusivisme. Di antaranya QS. Ali Imran/3: 9, yang oleh pemahaman
ekslusif seakan menafikan kebenaran yang dikandung oleh agama lainnya.
Sehubungan dengan hal tersebut, Alwi Shihab melihat bahwa Islam menerima
pluralisme keagamaan dan kesatuan iman yang menunjukkan sikap toleran yang
fundamental dari agama-agama yang awal keimanannya sama dengan keimanan
Islam. Walaupun diakui juga bahwa Alquran menyebut adanya
pertanggungjawaban sehubungan pluralisme keagamaan.7
Di Indonesia, muncul terminologi yang dekat dengan gagasan teologi
beragama yang dikemukakan oleh John Cobb, yaitu subtansial dan skriptualis.
Kelompok subtansial melihat agama sebagai subtansi, inti dari pesan moralnya,
sedangkan kelompok skriptualis memahami agama berdasarkan pemahaman

6
Frith Schuon, Islam and Perennial Philosophy (World of Islam Festival Publishing
Company LTD, 1975), h. 15.
7
Alwi Shihab, op. cit., h. 106.
5

terhadap nas secara tekstual. Kelompok yang pertama lebih bersikap toleran dan
secara psikologis bersifat pluralis, sedangkan kelompok kedua lebih bersifat
sektarian.8
Sehubungan dengan hal tersebut, maka yang menjadi pokok permasalahan
adalah bagaimana seharusnya sikap umat Islam menghadapi pluralitas
keberagamaan?
Pembahasan tentang sikap seorang muslim terhadap pluralitas adalah suatu
hal yang penting dan mendasar. Hal ini mengingat realitas yang ada bahwa umat
Islam hidup di tengah-tengah komunitas yang heterogen dari aspek agama, yang
apabila sikap interaksi agama yang dianut uncompatible and untouchable dengan
alam di mana setiap orang berada akan mengakibatkan misunderstanding terhadap
Islam yang imbasnya akan memojokkan umat Islam itu sendiri. Bahkan, di
Indonesia, masalah hubungan antaragama belakangan ini sangat kompleks.
Banyak kepentingan ekonomi, sosial, dan politik yang mewarnai ketegangan
tersebut. Belum lagi agama sering dijadikan alat pemecah belah atau disintegrasi,
karena adanya konflik-konflik di tingkat elite dan militer.

II. Sikap Muslim terhadap Penganut Agama Lain Perspektif QS. al-
Baqarah/2: 136-137 & QS. Ali Imran/3: 64
Merujuk kepada Alquran, ditemukan beberapa ayat secara eksplisit yang
menguraikan bagaimana seharusnya sikap seorang Muslim terhadap penganut
agama lain. Ayat tersebut antara lain ditemukan pada QS. al-Baqarah/2: 136-137
dan QS. Ali Imran/3: 64 sebagai berikut:

ِ َ ‫يل َوإِ ْس َح‬ ِ ِ ‫قُولُ واْ آمنَّا بِاللّ ِه وم ا أُن ِز َل إِلَينَ ا وم ا أُن ِز َل إِىَل إِب ر ِاه‬
َ ‫األس بَاط َو َم ا أُويِت َ ُم‬
‫وس ى‬ ْ ‫وب َو‬
َ ‫اق َو َي ْع ُق‬ َ ‫يم َوإمْسَاع‬ َ َْ ََ ْ ََ َ
ِ ٍ ِ ِ ِ
َ ‫يسى َو َما أُويِت َ النَّبِيُّو َن من َّرهِّب ْم الَ نُ َفِّر ُق َبنْي َ أ‬
﴾١٣٦﴿ ‫َحد ِّمْن ُه ْم َوحَنْ ُن لَهُ ُم ْسل ُمو َن‬ َ ‫َوع‬
Terjemahnya:

Katakanlah (hai orang-orang mukmin): kami beriman kepada Allah dan apa
yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim,
Ismail, Ishaq, Ya’qub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada
8
Alwi Shihab, op. cit., h. 109.
6

Musa dan Isa serta apa yang diberikan nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak
membeda-bedakannya seorang pun diantara mereka dan kami hanya tunduk
dan patuh kepadanya.9

ِ ‫الس ِم‬ ِ ٍ ِ ِ ِ ِ ِ ِ‫مِب‬ ِ


﴿ ‫يم‬ ُ َّ ‫فَ إ ْن َآمنُ واْ ثْ ِل َم ا َآمنتُم بِه َف َق د ْاهتَ َدواْ َّوإن َت َولَّْواْ فَإمَّنَا ُه ْم يِف ش َقاق فَ َس يَكْفي َك ُه ُم اللّ هُ َو ُه َو‬
ُ ‫يع الْ َعل‬
﴾١٣٧

Artinya:

Maka jika mereka beriman apa yang kamu telah beriman kepadanya,
sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling
sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan dengan kamu maka Allah
memelihara kamu dari mereka. Dan Dialah yang Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui.10

ِ ٍ ِ َ‫قُل ي ا أ َْه ل الْ ِكت‬


ُ ‫اب َت َع الَ ْواْ إِىَل َكلَ َم ة َس َواء َبْيَننَ ا َو َبْينَ ُك ْم أَالَّ َن ْعبُ َد إِالَّ اللّ هَ َوالَ نُ ْش ِر َك بِه َش ْيئاً َوالَ َيتَّ ِخ َذ َب ْع‬
‫ض نَا‬ َ َْ
ِ ِ ِ ِ
﴾٦٤﴿ ‫َب ْعضاً أ َْربَاباً ِّمن ُدون اللّه فَِإن َت َولَّْواْ َف ُقولُواْ ا ْش َه ُدواْ بأَنَّا ُم ْسل ُمو َن‬

Artinya:

Katakanlah: Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada satu kata sepakat
antara kita yang tidak ada perselisihan di antara kami dan kamu, yakni
bahwa kita tidak menyembah kecuali kepada Allah, dan kita tidak
mempersekutukan Dia dengan sesuatu apapun, dan tidak pula sebagian kita
menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah, jika mereka
berpaling maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah (akuilah) bahwa
kami adalah orang-orang muslim (yang menyerahkan diri kepada Allah)”.11

Jika dilakukan analisa terhadap mufradat al-ayat, maka kata ‫ األسباط‬adalah


bentuk plural dari kata ‫ الس بط‬yang artinya adalah cucu dan umumnya digunakan
untuk cucu dari perempuan lawan dari kata al-hafid yaitu cucu dari laki-laki.12
Namun yang dimaksud di sini (sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Aṭīyah)

9
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Madinah al-Munawwarah:
Majma’ al-Malik Fahd li Tiba’ah al-Mushaf al-Syarif, 1990), h. 35.
10
Ibid.
11
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur'an; Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan
Umat (Cet. XI; Bandung: Mizan, 2000), h. 357.
12
Louis Ma’luf, Al-Munjid fī Al-Lughah wa Al-A’lam (Cet. XXVI; Beirut: Dar al-Masyriq,
1997), h. 318.
7

adalah cucu-cucu nabi Ya’kub yang berjumlah 12 orang yaitu: Robel, Syam’un,
Lawi, Yahuza, Rafalun, Yasyjir, Dzinah, Rahil, Dany, Neftali, Jad dan Asyra.13
Kata ‫ الش قاق‬mempunyai arti ‫ املنازع ة واحملاربة‬yaitu (pertentangan dan
permusuhan). Mengenai asal usul katanya mempunyai dua kemungkinan yaitu
adakalanya berasal dari kata ‫ الشق‬yang berarti al-janib (samping), yakni seseorang
mengenyampingkan atau berpaling dari sahabatnya bila terjadi permusuhan dan
pertentangan, atau ia berasal dari kata ‫ املشقة‬yang berarti kesulitan, yakni seseorang
biasanya saling menyulitkan kalau terjadi permusuhan dan kesalahpahaman.14
Kata ‫ أه ل الكت اب‬terulang di dalam Alquran sebanyak 31 kali, 15 dan sudah
menjadi kesepakatan ulama bahwa yang dimaksud dengan ‫ أهل الكتاب‬adalah orang
Yahudi dan Nasrani.16 Namun para ulama berbeda pendapat tentang rincian serta
cakupan istilah tersebut. Uraian secara mendetail tentang ‫ أه ل الكت اب‬yang banyak
dikemukakan oleh pakar-pakar Alquran ketika mereka menafsirkan surat al-
Maidah/5: 5 yang menguraikan tentang izin memakan sembelihan ahl al-kitāb dan
mengawini perempuan-perempuan yang memelihara kehormatannya.
Abu A’la al-Maududi menulis perbedaan pendapat para ulama tentang
cakupan makna ahl al-kitāb dalam majalah Al-Wa’yu al-Islamy sebagaimana yang
dikutip oleh M. Quraish Shihab sebagai berikut:

Imam Syafī’ī, memahami istilah ahl al-kitāb sebagai orang-orang Yahudi


dan Nasrani keturunan orang-orang Israel, tidak termasuk bangsa-bangsa
lain yang menganut agama Yahudi dan Nasrani. Alasan beliau antara lain
bahwa nabi Musa dan Isa hanya diutus kepada mereka bukan kepada
bangsa-bangsa lain. Pendapat Imam Syafi’i ini berbeda dengan pendapat
Abū Hanīfah dan mayoritas pakar-pakar hukum yang menyatakan bahwa
siapa pun yang mempercayai salah seorang nabi, atau kitab yang pernah
diturunkan oleh Allah, maka ia termasuk ahl al-kitāb. Dengan demikian ahl
al-kitāb tidak terbatas pada kelompok penganut agama Yahudi dan Nasrani.
Dengan demikian bila ada kelompok yang hanya percaya kepada Ṣuhuf
13
Abū Hayyan al-Andalusī, Al-Bahr al-Muhīṭ, Juz I, editor: Adil Ahmad Abd al-Maujud
dan Ali Muhammad Muawwad (Cet. I; Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmiyah, 1993), h. 578.
14
Abū Alī bin Fadl bin Hasan al-Ṭibrisy, Majma al-Bayān fī Tafsīr al-Qur'ān (Cet. I;
Beirut: Dār Ihyā al-Turāṡ al-Araby, 1986), h. 279.
15
Muhammad Fuad ‘Abd al-Baqi, Mu’jam Mufahras li Alfāẓ al-Qur’ān (Cet. I; Kairo: Dār
al-Hadīṡ, 1996), h. 117-118.
16
Abū Hayyan al-Andalusī, op. cit., h. 509.
8

Ibrahim atau Zabur saja, maka ia pun termasuk dalam jangkauan pengertian
ahl al-kitāb. Pendapat ketiga dianut oleh sebagian kecil ulama-ulama salaf
yang menyatakan bahwa setiap umat yang memiliki kitab yang dapat diduga
sebagai kitab suci samawi, maka mereka juga dicakup oleh pengertian ahl
al-kitāb, seperti halnya orang-orang Majusi. Pendapat terakhir ini menurut
al-Maududi diperluas lagi oleh para mujtahid kontemporer sehingga
mencakup pula penganut agama Budha dan Hindu dan dengan demikian
perempuan-perempuan mereka pun boleh dikawini oleh pria muslim, karena
mereka juga telah diberikan kitab suci (samawi).17

Dalam perspektif uslub al-ayat, dengan menganalisa kalimat perkalimat


dari ketiga ayat tersebut, maka ditemukan beberapa uslub Alquran yang sangat
indah dan memiliki kedalaman makna, pesan dan kesan tersendiri, misalnya:
- Kalimat ‫وم ا أن زل إلين ا وم ا أن زل إيل إب راهيم‬. Di dalam ayat ini ditemukan
pengulangan dari kata ‫ وم ا أن زل‬ini memberikan suatu indikasi bahwa yang
diturunkan kepada kaum muslimin yaitu Alquran berbeda dengan yang
diturunkan kepada nabi Ibrahim (Ṣuhuf) karena jika dibuang mausul-nya
maka kemungkinan maknanya bahwa apa yang diturunkan kepada nabi
Muhammad persis sama dengan yang diturunkan kepada nabi Ibrahim.
- Kalimat ‫وما أويت موسى وعيسى‬. Di dalam ayat ini memakai kata ‫ أويت‬bukan ‫أنزل‬
seakan-akan kata unzila (diturunkan) mempunyai arti yaitu hubungan
vertikal dan kata ūtiya (diberikan) mengandung makna horizontal. Namun
menurut Abū Hayyan al-Andalusi, kedua kata tersebut sama maknanya
meskipun beda lafaz atau kalimatnya. "‫وجاء وما أنزل إلينا وجاء وما أويت "موسى وعيسى‬
‫ إد لو كان كله بلفظ اإليتاء أو بلفظ اإلنزال ملا‬، ‫تنويعا يف الكالم وتصرفا يف ألفاظه وإن كان املعين واحدا‬
‫كان فيه حالوة التنوع‬.18
- Kalimat ‫ف إن آمن وا مبث ل م ا أمنتم ب ه فق د اهت دوا‬. Kalimat bi miṡli mengandung arti
persis sama dan ini dipahami dari adanya huruf ba dari kata bi miṡli.
Sehingga arti dari ayat tersebut adalah: maka jika mereka beriman persis
sama dalam hakikatnya dengan apa yang kamu telah beriman kepadanya,
sungguh mereka telah mendapat petunjuk.19

17
M. Quraisy Shihab, op. cit., h. 367.
18
Abū Hayyan al-Andalusī, op. cit., h. 580.
9

- Kalimat ‫ فس يكفيكهم اهلل‬dalam ayat ini menggunakan huruf sin yang berarti
akan, yang memberikan suatu pemaknaan bahwa meskipun pemeliharaan
Allah itu datang terlambat tetapi pasti ia datang dan diperoleh karena
Dialah Yang Maha Mendengar dan Maha Mengetahui dari apa yang
diucapkan dan yang disembunyikan.20

Adapun analisa terhadap munāsabat al-ayat (hubungan antar ayat) maka


ditemukan bahwa ayat sebelumnya menyinggung tentang ajakan kaum Yahudi
dan Nasrani untuk menganut ajarannya karena dengan mengikuti ajarannya
niscaya manusia mendapatkan petunjuk. Namun Allah swt. mengajarkan kepada
nabi Muhammad untuk mengajak kaum Yahudi dan Nasrani mengikuti ajaran
yang dibawa oleh nabi Ibrahim karena nabi Ibrahim dianggap sebagai titik temu
dari segala ajaran agama dan beliau juga bukanlah termasuk golongan orang
musyrik.21 Setelah mengajarkan jawaban itu kepada nabi-Nya Muhammad, Allah
mengarahkan pengajaran kepada setiap muslim dan mukmin pengikut nabi
Muhammad sampai akhir zaman untuk mengatakan: ‫ قولوا أمنا باهلل‬....
Dengan menganalisis dari ketiga ayat tersebut, maka ditemukan sekurang-
kurangnya ada empat hal pokok yang menjadi sikap seorang muslim dalam
berinteraksi dengan penganut agama lain, yaitu: Pertama, jangan menyalahkan
penganut agama lain; kedua, menjadikan mereka sebagai lawan jika mereka
berpaling dari kebenaran; ketiga, mengajak mereka kedalam kata sepakat yaitu
jangan menyembah sesuatu selain Allah, jangan menyekutukan-Nya dengan
sesuatu apapun dan jangan mengambil Tuhan selain Dia; keempat,
mempersaksikan kepada mereka sikap komitmen terhadap ajaran agama.
a. Jangan Menyalahkan Penganut Agama Lain
Dalam berinteraksi dengan penganut agama lain, seyogyanya seorang
Muslim memiliki netralitas sikap dan jangan saling menyalahkan selama penganut
agama lain berada dalam koridor kebenaran. Sikap tersebut tercermin dalam
prilaku Rasulullah saw. dalam berinteraksi dengan orang yang beda akidah
19
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur'an, Vol. I
(Cet. I; Ciputat: Lentera Hati, 2000), h. 317.
20
Ibid., h. 318.
21
Ibid.
10

dengannya seperti penganut agama Yahudi dan Nasrani baik yang tinggal di
Makkah maupun di Madinah. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadis yang
diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari:

‫ فقال‬،‫ كان أهل الكتاب يقرؤون التورة بالعربنبة ويفسروهنا بالعربية ألهل اإلسالم‬: ‫عن أيب هريرة رضي اهلل عنه قال‬
22
.‫ (ال تصدقوا أهل الكتاب وال تكذبوهم وقولوا أمنا باهلل وما أنزل ) األية‬: ‫رسول اهلل صلي اهلل عليه وسلم‬

Artinya:

Dari Abū Hurairah ra. berkata: Ahl al-Kitāb membaca kitab Taurat dengan
bahasa Ibrani dan menafsirkannya ke dalam bahasa Arab kepada penganut
agama Islam. Maka Rasululullah saw. bersabda: Jangan membenarkan dan
jangan menganggap bohong ahl al-kitāb akan tetapi katakan kepada mereka
kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami…(ayat).

Secara tekstual, hadis ini mengandung arti bahwa seorang Muslim jangan
langsung mempercayai ahl al-kitāb tetapi jangan pula menganggap mereka
bohong karena ahl al-kitāb dalam mengungkap sesuatu sering keluar dari rel
kebenaran akan tetapi jangan pula langsung mengklaim mereka sebagai pendusta
karena di sisi lain dari ungkapan dan perkataan mereka terdapat sisi dan unsur-
unsur kebenarannya. Sedangkan secara kontekstual, dipahami adanya anjuran
untuk tidak saling menyalahkan satu sama lain antara pemeluk agama.

b. Menjadikan mereka sebagai lawan jika keluar dari rel kebenaran


Terinspirasi dari ayat ‫( ف إن تول وا فإمنا هم يف ش قاق‬jika mereka berpaling dari
keimanan setelah diberikan penjelasan tentang hakikat kebenaran Islam) maka
mereka masuk dalam kategori lawan yang harus dimusuhi dan diperangi.
Permusuhan dan peperangan melawan orang yang tidak seakidah harus memiliki
koridor tertentu karena ungkapan ayat ini hanya bersifat ungkapan internal
(khabariyah/informasi) sebagaimana yang disinyalir Allah dalam QS. al-
Mumtahanah/60: 8-9 berikut:

22
Muhammad bin Ahmad al-Anṣary al-Qurtuby, Al-Jami’ li Aḥkām al-Qur’ān, Juz. II
(Cet. V; Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmiyah, 1996), h. 95.
11

ُّ ِ‫وه ْم َوُت ْق ِس طُوا إِلَْي ِه ْم إِ َّن اللَّهَ حُي‬ ِ ِ ِ َّ


‫ب‬ ُ ‫ين مَلْ يُ َق اتلُو ُك ْم يِف ال دِّي ِن َومَلْ خُيْ ِر ُج و ُكم ِّمن ديَ ا ِر ُك ْم أَن َتَب ُّر‬
َ ‫اَل َيْن َه ا ُك ُم اللَّهُ َع ِن الذ‬
‫اهُروا َعلَى إِ ْخ َر ِاج ُك ْم أَن‬ ِ
َ َ‫َخَر ُج و ُكم ِّمن ديَ ا ِر ُك ْم َوظ‬ ْ ‫ين قَ اَتلُو ُك ْم يِف ال دِّي ِن َوأ‬
ِ َّ ‫ِمَّن‬
َ ‫﴾ إ َ ا َيْن َه ا ُك ُم اللَّهُ َع ِن الذ‬٨﴿ ‫ني‬
ِ ِ
َ ‫الْ ُم ْقس ط‬
﴾٩﴿ ‫ك ُه ُم الظَّالِ ُمو َن‬ َ ِ‫َت َولَّْو ُه ْم َو َمن َيَت َوهَّلُ ْم فَأ ُْولَئ‬
Terjemahnya:

Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap
orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula)
mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan
sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan
mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk
mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka
mereka itulah orang-orang yang zalim.

c. Mengajak ke dalam kesepakatan atau kalimat sawa’ (ajaran tauhid)


Fungsi utama seorang Rasul yang diutus oleh Allah swt. adalah al-tabligh,
yaitu menyampaikan risalah yang diperoleh dari Allah swt. dan memberikan
petunjuk kepada manusia menuju jalan kebenaran. Fungsi utama inilah yang harus
diteladani oleh seorang Muslim yang hidup dalam masyarakat pluralistik, yaitu
senantiasa mengajak manusia ke dalam kesepakatan (kalimatun sawa’) yaitu
ajaran tauhid (mengesakan Tuhan). Ajaran tauhid yang terkandung dalam QS. Ali
Imran/3: 64 ada tiga yaitu:
a. Tidak menyembah selain Allah.
b. Tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu.
c. Tidak mempertuhankan sesama manusia.
Ketiga ajaran tauhid ini dideskripsikan dan dijabarkan secara mendetail
dalam ayat ini karena orang-orang Nasrani mengumpulkan tiga hal ini di dalam
ajaran agama mereka yaitu: pertama, mereka menyembah selain Allah yaitu mereka
menyembah Isa al-Masih; kedua, mereka menyekutukan Allah dengan sesuatu
dalam konteks ajaran Trinitas yaitu Tuhan Bapak, Tuhan Anak, dan Ruh al-Qudus;
ketiga, mereka menjadikan rahib-rahib dan pendeta-pendeta mereka sebagai Tuhan
selain Allah.23 Hal ini terbukti dengan menunjukkan beberapa alasan:

23
Fakhr al-Dīn al-Rāzi, Mafātiḥ al-Gaib, Juz VIII (Cet. I; Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmiyah,
1990), h. 77.
12

1) Mereka menaati dalam persolan halal dan haram. Yaitu anggapan bahwa penentuan
halal dan haramnya sesuatu ditentukan oleh para rahib bukan Allah swt.
2) Mereka sujud kepada pendeta-pendeta.
3) Mereka menganggap bahwa rahib dan pendetanya mampu menghidupkan
orang mati dan mampu menyembuhkan orang buta dan penyakit sopak.24

d. Mempersaksikan kepada mereka sikap komitmen terhadap ajaran


agama Islam
Dengan berpijak kepada ayat ‫ فإن تولوا فقولوا اشهدوا بأنا مسلمون‬maka seharusnya
seorang Muslim mempersaksikan kepada penganut agama lain sikap komitmen
terhadap ajaran agama yaitu sikap ketundukan dan kepatuhan dalam menjalankan
syariat Islam dalam berbagai dimensi kehidupan, karena yang dinamakan Muslim
sejati adalah orang yang melaksanakan syariat secara kaffah (paripurna), yaitu
tidak menyembah selain Allah dan tidak mempersekutukannya dengan sesuatu
apapun serta tidak mempertuhankan sesama manusia. Jika ketiga hal ini telah
terwujud dan teraplikasikan dalam kehidupan sehari-hari maka ia termasuk orang
Muslim dan jika hal ini tidak terwujud maka dia bukanlah Muslim meskipun ia
menganggap dirinya sebagai Muslim.25
Terlepas dari itu, pada dasarnya, makna terpenting dari terwujudnya
kerukunan umat beragama di negara mana pun juga adalah sebagai indikasi
kukuhnya rasa saling percaya antara sesama warga negara yang mempunyai latar
belakang keimanan yang berlainan. Dengan rasa saling percaya itu akan tercipta
kondisi yang menguntungkan untuk kerjasama seluruh lapisan dan golongan
dalam mencapai tujuan bersama. Sebaliknya, ketidakrukunan umat beragama
merupakan indikasi dari adanya suasana saling curiga dalam masyarakat. Sebagai
akibatnya timbulah kondisi yang menghambat bahkan mungkin sekali
menggagalkan setiap kehendak untuk mengadakan kerjasama antar warga negara
dalam mencapai tujuan bersama.

24
Ibid.
25
Sayyid Qutub, Fī Żilāl al-Qur’ān, Juz I (Cet. XVII; Kairo: Dār al-Syuruq, 1992), h. 407.
13

e. Menebar Rahmat dalam Pluralitas


Pemahaman terhadap ajaran Islam adalah pemahaman yang terbuka, yang
karena keterbukaannya itu ia bersikap inklusif dan benar benar mampu menjadi
rahmat bagi seluruh alam. Islam harus menjadi rahmat bagi setiap orang bahkan
untuk setiap makhluk. Artikulasi keberagamaan seperti itu akan terwujud dalam
kehidupan umat beragama yang saling mengakui, saling menghormati, dan
bahkan saling bekerjasama antar penganut-penganut agama yang tumbuh dan
berkembang di manapun. Hal itu kemudian akan dapat diwujudkan dalam
beberapa bentuk berikut:
1) Sikap saling mengakui dan menyadari pluralitas
2) Sikap saling menghormati (toleransi)
3) Sikap saling bekerjasama (resiprokal)
Atas dasar itu pula, kerukunan merupakan sebuah keharusan untuk
mencapai tujuan yang lebih besar yaitu keamanan dan kedamaian. Situasi ini amat
dibutuhkan oleh semua pihak dalam masyarakat untuk memungkinkan terciptanya
nilai-nilai spiritual dan sosial sehingga mencapai tingkat kehidupan yang lebih
baik. Manusia dalam tradisi keagamaan yang berbeda harus bertemu dalam
kerukunan dan persaudaraan daripada dalam permusuhan. Hal itu tidak sekadar
cita-cita, melainkan merupakan suatu tugas kewajiban yang semestinya
dilaksanakan dan diwujudkan dalam kenyataan kehidupan beragama. Adanya
tugas suci itu ditemukan dalam setiap agama dalam rumusan kalimat yang
berbeda namun hakikatnya satu.
Kerukunan antarumat beragama menjadi penting oleh karena beberapa
pertimbangan: Pertama, suatu komunitas agama tidak hidup dalam masyarakat
yang tertutup yang hanya satu golongan pemeluk agama saja, tetapi komunitas itu
berada dalam suatu masyarakat yang maju dimana komunikasi dan hidup bersama
dengan golongan beragama lain tidak dapat dielakkan demi kelestarian dan
kemajuan masyarakat itu sendiri. Dengan kata lain, setiap individu hidup dalam
masyarakat plural, baik aspek keberagamaan maupun aspek keberbudayaan.
14

Kedua, kebersamaan umat beragama dituntut untuk menjawab tantangan-


tantangan baru, antara lain ketidakadilan, kemiskinan, dan keterbelakangan, yang
kesemuanya tidak mungkin diatasi oleh satu golongan agama tertentu saja,
melainkan membutuhkan konsolidasi segenap potensi umat beragama berupa
kekuatan moral, spiritual, maupun material.26 Musuh agama bukanlah perbedaan
akidah ataupun ajaran, sehingga ketidakadilan, kemiskinan, dan keterbelakangan
seharusnya dapat menjadi musuh bersama semua agama. Ketiga, dalam
pandangan Islam, nilai tertinggi seorang hamba terletak pada integralitas takwa
dan kedekatannya dengan Tuhan.
Agar kerukunan tersebut dapat terbentuk dengan baik, ada beberapa hal
yang perlu dilakukan, diantaranya menawarkan perlunya membangun kesepakatan
bersama pemeluk agama,27 misalnya melalui penggiatan forum kerukunan,
menghidupkan kearifan lokal, membentuk desa binaan berbasis kerukunan,
intensitas pertemuan lintas agama, serta mensosialisasikan wawasan dan gagasan
multikultural.28
Konsep ini setidaknya bertumpu pada dua keyakinan: Pertama, secara
sosial semua kelompok budaya dapat direperentasikan dan hidup berdampingan
bersama dengan orang lain. Kedua, diskriminasi dan rasisme dapat direduksi
melalui penetapan citra positif keragaman etnik dan pengetahuan budaya-budaya
lain. Untuk itu, wawasan dan gagasan multikulturalisme perlu dikukuhkan dalam
segala ranah pendidikan.
Jadi, yang perlu menjadi kesadaran seluruh umat adalah bahwa semua
pihak ikut bertanggungjawab bagi upaya realisasi dan akselerasi terbentuknya
masyarakat yang tercerahkan, yakni masyarakat yang mampu mandiri dalam
beraktivitas dan berkembang sesuai potensi budaya, adat istiadat, dan agama

26
D. Hendropuspito, Sosiologi Agama (Cet. I; Yogyakarta: Kanisius, 1983), h. 71-72.
27
Sila, Harmoni (Jurnal Multikultutal dan Multireligius) (Jakarta: Badan Litbang dan
Diklat Depag RI., 2004), h. 119.
28
Ibnu Hasan Muhtar, Harmoni (Jurnal Multikultutal dan Multireligius) (Jakarta: Badan
Litbang dan Diklat Depag RI., 2004), h. 156-157.
15

dengan memberlakukan prinsip keadilan, persamaan, supremasi hukum,


kebebasan, jaminan kesejahteraan, pluralitas, dan perlindungan kelompok
minoritas.29 Dari sini setiap orang perlu menunjukkan saham dan potensinya untuk
menegakkan prinsip-prinsip universal tersebut tanpa terikat secara kaku oleh
afiliasi keagamaan maupun sektarian.

III. Penutup
Alquran adalah sumber inspirasi umat Islam dalam berinteraksi dengan
masyarakat yang ada di sekelilingnya. Dengan mengadakan pengkajian dan
penelitian terhadap ayat-ayat Alquran secara komprehensif akan meminimalisir
bahkan mengikis habis sikap ekslusivis beragama, karena lahirnya sikap
ekslusivis beragama tidak terlepas dari adanya misunderstanding dan kedangkalan
pemahaman terhadap ayat-ayat Alquran.
Demikianlah, baik dilihat dari ajaran normatif Alquran, sejarah panjang
zaman kejayaan Islam, maupun tuntutan kondisi obyektif nasional maupun global,
masing-masing pemeluk agama, khususnya bagi mereka yang mayoritas baik
yang di Barat maupun di Timur seharusnyalah menggali ajaran agamanya yang
mendukung perjuangan kemanusiaan, keadilan, dan demokrasi, seraya
mengembangkan faham inklusivis beragama terutama dalam masyarakat yang
pluralistik. Mengutip pendapat Abdul Aziz Sechdina, the challenge for Muslim
today, as ever, is to tap the tradition of Qur’anic pluralism to develop a culture of
restoration, of just intrareligious and interreligous relationship in a world of
cultural and religious diversity. Without restoring the principle of coexistance,
Muslim will not be able to recapture the spirit of early civil society under the

29
Nurcholish Madjid, “Islam dan Civil Society (Masyarakat Madani): Tinjauan tentang
Prinsip Human Rights, Pluralism dan Religious Tolerance,” dalam Ismail Sm-Abdul Mukti (ed.),
Pendidikan Islam, Demokrasi dan Masyarakat Madani (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), h.
120.
16

prophet. The principle of “equal in creation” can serve as the cornestone of


Muslim civil society. 30
Pengembangan wawasan dan paradigma inklusivis-pluralis diharapkan

dapat mengimbangi praktek keagamaan yang dilakukan umat beragama yang

selama ini masih relatif kaku oleh karena pemakuan ajaran agama yang diadopsi

secara normatif sehingga agama dipahami hanya sebagai media penyelamat

individu tetapi tidak sebagai media penyelamat kolektif. Melalui paradigma

tersebut, implikasi dari pemaknaan terhadap ajaran agama tidak lagi

menggunakan parameter individu, kelompok, maupun golongan secara eksklusif

hanya mencakup urusan teologi, tetapi harus dipandang sebagai modal sosial yang

mengatur perilaku umat manusia. Dalam hal ini aspek pendidikan agama perlu

secara proaktif mewarnai upaya pengembangan pemahaman keagamaan yang

berorientasi pada berkah sosial guna mereduksi perbedaan yang terdapat dalam

aturan dan prinsip agama.

30
Abdul Aziz Sechedina, The Islamic Roots of Democratic Pluralism (Cambridge: Oxford
University Press, 2001), h. 138.
17

Daftar Pustaka

Abdullah, Amin. “Kebebasan Beragama atau Dialog Antar Agama: 50 Tahun Hak
Asasi Manusia” dalam J.B Banawiratna et. al.. ed.) Hak Asasi Manusia:
Tantangan Bagi Agama. Yogyakarta: Kanisius, 1999.
___________. Falsafah Kalam di Era Postmodernisme. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1995.
Al-Andalusī, Abū Hayyan. Al-Bahr al-Muhīṭ, Juz I, editor: Adil Ahmad Abd al-
Maujud dan Ali Muhammad Muawwad. Cet. I; Beirut: Dār al-Kutub al-
Ilmiyah, 1993.
Al-Baqi, Muhammad Fuad ‘Abd. Mu’jam Mufahras li Alfāẓ al-Qur’ān. Cet. I;
Kairo: Dār al-Hadīṡ, 1996.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya. Madinah al-
Munawwarah: Majma’ al-Malik Fahd li Tiba’ah al-Mushaf al-Syarif,
1990.
Glesse, Cryl. The Concise Encyclopedia of Islam, diterjemahkan oleh Gufron A.
Mas’adi dengan judul Ensiklopedi Islam Ringkas. Cet. II; RajaGrafindo
Persada, 1999.
Hendropuspito, D. Sosiologi Agama. Cet. I; Yogyakarta: Kanisius, 1983.
Hidayat, Komaruddin dan Wahyuni Nafis, Agama-agama Masa Depan:
Perspektif Filsafat Perennial. Cet.I; Jakarta: Paramadina, 1995.
Khaldun, Ibnu. Muqaddimah li Ibn Khaldun, Juz I. Cet. IV; Beirut: t.p., t.th.
Ma’luf, Louis. Al-Munjid fī Al-Lughah wa Al-A’lam. Cet. XXVI; Beirut: Dar al-
Masyriq, 1997.
Madjid, Nurcholish. “Islam dan Civil Society. Masyarakat Madani): Tinjauan
tentang Prinsip Human Rights, Pluralism dan Religious Tolerance,” dalam
Ismail Sm-Abdul Mukti. ed.. Pendidikan Islam, Demokrasi dan
Masyarakat Madani. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
___________. “Prinsip-prinsip Al-Quran tentang Pluralisme dan Perdamaian”
dalam Azhar Arsyad, dkk.. eds.) Islam dan Perdamaian Global.
Yogyakarta: Madyan Press, 2002.
Muhtar, Ibnu Hasan. Harmoni (Jurnal Multikultutal dan Multireligius) Jakarta:
Badan Litbang dan Diklat Depag RI., 2004.
Al-Qurtuby, Muhammad bin Ahmad al-Anṣary. Al-Jami’ li Aḥkām al-Qur’ān, Juz.
II. Cet. V; Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmiyah, 1996.
Qutub, Sayyid. Fī Żilāl al-Qur’ān, Juz I. Cet. XVII; Kairo: Dār al-Syuruq, 1992.
al-Rāzi, Fakhr al-Dīn. Mafātiḥ al-Gaib, Juz VIII. Cet. I; Beirut: Dār al-Kutub al-
Ilmiyah, 1990.
18

Schuon, Frith. Islam and Perennial Philosophy. World of Islam Festival


Publishing Company LTD, 1975.
Sechedina, Abdul Aziz. The Islamic Roots of Democratic Pluralism. Cambridge:
Oxford University Press, 2001.
Shihab, Alwi. Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama. Cet. I;
Bandung: Mizan, 1997.
Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur'an,
Vol. I. Cet. I; Ciputat: Lentera Hati, 2000.
___________. Wawasan al-Qur'an; Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan
Umat. Cet. XI; Bandung: Mizan, 2000.
Sila. Harmoni (Jurnal Multikultutal dan Multireligius) Jakarta: Badan Litbang
dan Diklat Depag RI., 2004.
Al-Ṭibrisy, Abū Alī bin Fadl bin Hasan. Majma al-Bayān fī Tafsīr al-Qur'ān. Cet.
I; Beirut: Dār Ihyā al-Turāṡ al-Araby, 1986.

Anda mungkin juga menyukai