Abstrak
1
Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Postmodernisme (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1995), h. 99-105; Amin Abdullah, “Kebebasan Beragama atau Dialog Antar Agama: 50 Tahun
Hak Asasi Manusia” dalam J.B Banawiratna et. al (ed.), Hak Asasi Manusia: Tantangan Bagi
Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1999), h 55; Nurcholish Madjid, “Prinsip-prinsip Al-Quran tentang
Pluralisme dan Perdamaian” dalam Azhar Arsyad, dkk (eds), Islam dan Perdamaian Global
(Yogyakarta: Madyan Press, 2002), h. 32.
2
Ibnu Khaldun, Muqaddimah li Ibn Khaldun, Juz I (Cet. IV; Beirut: t.p., t.th.), h. 41.
3
3
Agama semitic ialah rumpun agama yang dinisbahkan kepada nabi Ibrahim as.
(Abraham Religion). Dalam hal ini yang termasuk di dalamnya ialah agama Yahudi, Kristen
(Nasrani), dan Islam. Lihat, Cryl Glesse, The Concise Encyclopedia of Islam, diterjemahkan oleh
Gufron A. Mas’adi dengan judul Ensiklopedi Islam Ringkas (Cet. II; RajaGrafindo Persada, 1999),
h. 174; Komaruddin Hidayat dan Wahyuni Nafis, Agama-agama Masa Depan: Perspektif Filsafat
Perennial (Cet. I; Jakarta: Paramadina, 1995), h. 54. Dalam hal ini keduanya mencoba
menghubungkan kronologis wahyu monoteis sejak Ibrahim (hanif), sampai pada Musa as.
(Yahudi), Isa as. (Kristen) hingga Muhammad saw. (Islam).
4
Deisme Theistis atau Faith Without Religion adalah suatu pendekatan substansial dan
spekulatif intelektual tentang hakikat keberagamaan yang berada di luar jalur teologi yang sudah
dikenal sejak zaman Yunani kuno. Di zaman modern ini, Deisme mengambil bentuk unitarianisme
dan universalisme. Deisme berpandangan bahwa agama formal (formal religion) seperti Yahudi,
Kristen dan Islam tidak memiliki masa depan. Yang bertahan adalah pesan-pesannya yang
universal namun ritus-ritusnya akan semakin dijauhi. Lihat Komaruddin Hidayat dan Wahyuni
Nafis, op.cit., h. 90-91.
5
John Cobb adalah seorang teolog kristen kenamaan yang menjabat sebagai konsultan
pada International Renewal Hartford Seminary di Connecticut-USA. Gagasan tentang teologi
transformatif ini disampaikan pada Rapat Kerja di MacDonald Center pada seminar tersebut.
Uraian selengkapnya, lihat Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama
(Cet. I; Bandung: Mizan, 1997), h. 84.
4
kedua, teologi inklusivis, yang melihat bahwa semua pengikut semua agama akan
memperoleh keselamatan; dan ketiga, teologi pluralis melihat bahwa agama-
agama besar mengajak pengikutnya pada keselamatan. Disamping itu, muncul
teologi transformatif yang lebih dari sekadar sikap hidup pluralis dan rela hidup
berdampingan secara damai dengan penganut agama lain, tetapi juga mampu
bersikap terbuka untuk membangun kedamaian dengan penganut agama lain.
Dari keempat teologi tersebut, nampaknya yang paling dominan dewasa
ini ialah teologi eksklusivis, yaitu sejenis klaim superioritas oleh suatu pemeluk
agama dan merasa agamanya lah yang paling benar. Menurut Frith Schoan,6 klaim
tersebut secara subtansial bersifat mutlak, namun secara eksoterik pada tingkat
keberagamaan manusiawi pernyataan tersebut bersifat mutlak. Dalam fenomena
keberagamaan internal, hal tersebut adalah wajar dan dapat ditolerir. Hal ini antara
lain karena dasar skriptual yang cukup kuat dipegang oleh masing-masing
penganut agama, bahkan interpretasi tekstual terhadap ayat-ayat tertentu dijadikan
legitimasi. Di dalam Islam terdapat beberapa ayat Alquran yang dipahami sebagai
dasar ekslusivisme. Di antaranya QS. Ali Imran/3: 9, yang oleh pemahaman
ekslusif seakan menafikan kebenaran yang dikandung oleh agama lainnya.
Sehubungan dengan hal tersebut, Alwi Shihab melihat bahwa Islam menerima
pluralisme keagamaan dan kesatuan iman yang menunjukkan sikap toleran yang
fundamental dari agama-agama yang awal keimanannya sama dengan keimanan
Islam. Walaupun diakui juga bahwa Alquran menyebut adanya
pertanggungjawaban sehubungan pluralisme keagamaan.7
Di Indonesia, muncul terminologi yang dekat dengan gagasan teologi
beragama yang dikemukakan oleh John Cobb, yaitu subtansial dan skriptualis.
Kelompok subtansial melihat agama sebagai subtansi, inti dari pesan moralnya,
sedangkan kelompok skriptualis memahami agama berdasarkan pemahaman
6
Frith Schuon, Islam and Perennial Philosophy (World of Islam Festival Publishing
Company LTD, 1975), h. 15.
7
Alwi Shihab, op. cit., h. 106.
5
terhadap nas secara tekstual. Kelompok yang pertama lebih bersikap toleran dan
secara psikologis bersifat pluralis, sedangkan kelompok kedua lebih bersifat
sektarian.8
Sehubungan dengan hal tersebut, maka yang menjadi pokok permasalahan
adalah bagaimana seharusnya sikap umat Islam menghadapi pluralitas
keberagamaan?
Pembahasan tentang sikap seorang muslim terhadap pluralitas adalah suatu
hal yang penting dan mendasar. Hal ini mengingat realitas yang ada bahwa umat
Islam hidup di tengah-tengah komunitas yang heterogen dari aspek agama, yang
apabila sikap interaksi agama yang dianut uncompatible and untouchable dengan
alam di mana setiap orang berada akan mengakibatkan misunderstanding terhadap
Islam yang imbasnya akan memojokkan umat Islam itu sendiri. Bahkan, di
Indonesia, masalah hubungan antaragama belakangan ini sangat kompleks.
Banyak kepentingan ekonomi, sosial, dan politik yang mewarnai ketegangan
tersebut. Belum lagi agama sering dijadikan alat pemecah belah atau disintegrasi,
karena adanya konflik-konflik di tingkat elite dan militer.
II. Sikap Muslim terhadap Penganut Agama Lain Perspektif QS. al-
Baqarah/2: 136-137 & QS. Ali Imran/3: 64
Merujuk kepada Alquran, ditemukan beberapa ayat secara eksplisit yang
menguraikan bagaimana seharusnya sikap seorang Muslim terhadap penganut
agama lain. Ayat tersebut antara lain ditemukan pada QS. al-Baqarah/2: 136-137
dan QS. Ali Imran/3: 64 sebagai berikut:
ِ َ يل َوإِ ْس َح ِ ِ قُولُ واْ آمنَّا بِاللّ ِه وم ا أُن ِز َل إِلَينَ ا وم ا أُن ِز َل إِىَل إِب ر ِاه
َ األس بَاط َو َم ا أُويِت َ ُم
وس ى ْ وب َو
َ اق َو َي ْع ُق َ يم َوإمْسَاع َ َْ ََ ْ ََ َ
ِ ٍ ِ ِ ِ
َ يسى َو َما أُويِت َ النَّبِيُّو َن من َّرهِّب ْم الَ نُ َفِّر ُق َبنْي َ أ
﴾١٣٦﴿ َحد ِّمْن ُه ْم َوحَنْ ُن لَهُ ُم ْسل ُمو َن َ َوع
Terjemahnya:
Katakanlah (hai orang-orang mukmin): kami beriman kepada Allah dan apa
yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim,
Ismail, Ishaq, Ya’qub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada
8
Alwi Shihab, op. cit., h. 109.
6
Musa dan Isa serta apa yang diberikan nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak
membeda-bedakannya seorang pun diantara mereka dan kami hanya tunduk
dan patuh kepadanya.9
Artinya:
Maka jika mereka beriman apa yang kamu telah beriman kepadanya,
sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling
sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan dengan kamu maka Allah
memelihara kamu dari mereka. Dan Dialah yang Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui.10
Artinya:
Katakanlah: Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada satu kata sepakat
antara kita yang tidak ada perselisihan di antara kami dan kamu, yakni
bahwa kita tidak menyembah kecuali kepada Allah, dan kita tidak
mempersekutukan Dia dengan sesuatu apapun, dan tidak pula sebagian kita
menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah, jika mereka
berpaling maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah (akuilah) bahwa
kami adalah orang-orang muslim (yang menyerahkan diri kepada Allah)”.11
9
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Madinah al-Munawwarah:
Majma’ al-Malik Fahd li Tiba’ah al-Mushaf al-Syarif, 1990), h. 35.
10
Ibid.
11
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur'an; Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan
Umat (Cet. XI; Bandung: Mizan, 2000), h. 357.
12
Louis Ma’luf, Al-Munjid fī Al-Lughah wa Al-A’lam (Cet. XXVI; Beirut: Dar al-Masyriq,
1997), h. 318.
7
adalah cucu-cucu nabi Ya’kub yang berjumlah 12 orang yaitu: Robel, Syam’un,
Lawi, Yahuza, Rafalun, Yasyjir, Dzinah, Rahil, Dany, Neftali, Jad dan Asyra.13
Kata الش قاقmempunyai arti املنازع ة واحملاربةyaitu (pertentangan dan
permusuhan). Mengenai asal usul katanya mempunyai dua kemungkinan yaitu
adakalanya berasal dari kata الشقyang berarti al-janib (samping), yakni seseorang
mengenyampingkan atau berpaling dari sahabatnya bila terjadi permusuhan dan
pertentangan, atau ia berasal dari kata املشقةyang berarti kesulitan, yakni seseorang
biasanya saling menyulitkan kalau terjadi permusuhan dan kesalahpahaman.14
Kata أه ل الكت ابterulang di dalam Alquran sebanyak 31 kali, 15 dan sudah
menjadi kesepakatan ulama bahwa yang dimaksud dengan أهل الكتابadalah orang
Yahudi dan Nasrani.16 Namun para ulama berbeda pendapat tentang rincian serta
cakupan istilah tersebut. Uraian secara mendetail tentang أه ل الكت ابyang banyak
dikemukakan oleh pakar-pakar Alquran ketika mereka menafsirkan surat al-
Maidah/5: 5 yang menguraikan tentang izin memakan sembelihan ahl al-kitāb dan
mengawini perempuan-perempuan yang memelihara kehormatannya.
Abu A’la al-Maududi menulis perbedaan pendapat para ulama tentang
cakupan makna ahl al-kitāb dalam majalah Al-Wa’yu al-Islamy sebagaimana yang
dikutip oleh M. Quraish Shihab sebagai berikut:
Ibrahim atau Zabur saja, maka ia pun termasuk dalam jangkauan pengertian
ahl al-kitāb. Pendapat ketiga dianut oleh sebagian kecil ulama-ulama salaf
yang menyatakan bahwa setiap umat yang memiliki kitab yang dapat diduga
sebagai kitab suci samawi, maka mereka juga dicakup oleh pengertian ahl
al-kitāb, seperti halnya orang-orang Majusi. Pendapat terakhir ini menurut
al-Maududi diperluas lagi oleh para mujtahid kontemporer sehingga
mencakup pula penganut agama Budha dan Hindu dan dengan demikian
perempuan-perempuan mereka pun boleh dikawini oleh pria muslim, karena
mereka juga telah diberikan kitab suci (samawi).17
17
M. Quraisy Shihab, op. cit., h. 367.
18
Abū Hayyan al-Andalusī, op. cit., h. 580.
9
- Kalimat فس يكفيكهم اهللdalam ayat ini menggunakan huruf sin yang berarti
akan, yang memberikan suatu pemaknaan bahwa meskipun pemeliharaan
Allah itu datang terlambat tetapi pasti ia datang dan diperoleh karena
Dialah Yang Maha Mendengar dan Maha Mengetahui dari apa yang
diucapkan dan yang disembunyikan.20
dengannya seperti penganut agama Yahudi dan Nasrani baik yang tinggal di
Makkah maupun di Madinah. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadis yang
diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari:
فقال، كان أهل الكتاب يقرؤون التورة بالعربنبة ويفسروهنا بالعربية ألهل اإلسالم: عن أيب هريرة رضي اهلل عنه قال
22
. (ال تصدقوا أهل الكتاب وال تكذبوهم وقولوا أمنا باهلل وما أنزل ) األية: رسول اهلل صلي اهلل عليه وسلم
Artinya:
Dari Abū Hurairah ra. berkata: Ahl al-Kitāb membaca kitab Taurat dengan
bahasa Ibrani dan menafsirkannya ke dalam bahasa Arab kepada penganut
agama Islam. Maka Rasululullah saw. bersabda: Jangan membenarkan dan
jangan menganggap bohong ahl al-kitāb akan tetapi katakan kepada mereka
kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami…(ayat).
Secara tekstual, hadis ini mengandung arti bahwa seorang Muslim jangan
langsung mempercayai ahl al-kitāb tetapi jangan pula menganggap mereka
bohong karena ahl al-kitāb dalam mengungkap sesuatu sering keluar dari rel
kebenaran akan tetapi jangan pula langsung mengklaim mereka sebagai pendusta
karena di sisi lain dari ungkapan dan perkataan mereka terdapat sisi dan unsur-
unsur kebenarannya. Sedangkan secara kontekstual, dipahami adanya anjuran
untuk tidak saling menyalahkan satu sama lain antara pemeluk agama.
22
Muhammad bin Ahmad al-Anṣary al-Qurtuby, Al-Jami’ li Aḥkām al-Qur’ān, Juz. II
(Cet. V; Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmiyah, 1996), h. 95.
11
Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap
orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula)
mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan
sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan
mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk
mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka
mereka itulah orang-orang yang zalim.
23
Fakhr al-Dīn al-Rāzi, Mafātiḥ al-Gaib, Juz VIII (Cet. I; Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmiyah,
1990), h. 77.
12
1) Mereka menaati dalam persolan halal dan haram. Yaitu anggapan bahwa penentuan
halal dan haramnya sesuatu ditentukan oleh para rahib bukan Allah swt.
2) Mereka sujud kepada pendeta-pendeta.
3) Mereka menganggap bahwa rahib dan pendetanya mampu menghidupkan
orang mati dan mampu menyembuhkan orang buta dan penyakit sopak.24
24
Ibid.
25
Sayyid Qutub, Fī Żilāl al-Qur’ān, Juz I (Cet. XVII; Kairo: Dār al-Syuruq, 1992), h. 407.
13
26
D. Hendropuspito, Sosiologi Agama (Cet. I; Yogyakarta: Kanisius, 1983), h. 71-72.
27
Sila, Harmoni (Jurnal Multikultutal dan Multireligius) (Jakarta: Badan Litbang dan
Diklat Depag RI., 2004), h. 119.
28
Ibnu Hasan Muhtar, Harmoni (Jurnal Multikultutal dan Multireligius) (Jakarta: Badan
Litbang dan Diklat Depag RI., 2004), h. 156-157.
15
III. Penutup
Alquran adalah sumber inspirasi umat Islam dalam berinteraksi dengan
masyarakat yang ada di sekelilingnya. Dengan mengadakan pengkajian dan
penelitian terhadap ayat-ayat Alquran secara komprehensif akan meminimalisir
bahkan mengikis habis sikap ekslusivis beragama, karena lahirnya sikap
ekslusivis beragama tidak terlepas dari adanya misunderstanding dan kedangkalan
pemahaman terhadap ayat-ayat Alquran.
Demikianlah, baik dilihat dari ajaran normatif Alquran, sejarah panjang
zaman kejayaan Islam, maupun tuntutan kondisi obyektif nasional maupun global,
masing-masing pemeluk agama, khususnya bagi mereka yang mayoritas baik
yang di Barat maupun di Timur seharusnyalah menggali ajaran agamanya yang
mendukung perjuangan kemanusiaan, keadilan, dan demokrasi, seraya
mengembangkan faham inklusivis beragama terutama dalam masyarakat yang
pluralistik. Mengutip pendapat Abdul Aziz Sechdina, the challenge for Muslim
today, as ever, is to tap the tradition of Qur’anic pluralism to develop a culture of
restoration, of just intrareligious and interreligous relationship in a world of
cultural and religious diversity. Without restoring the principle of coexistance,
Muslim will not be able to recapture the spirit of early civil society under the
29
Nurcholish Madjid, “Islam dan Civil Society (Masyarakat Madani): Tinjauan tentang
Prinsip Human Rights, Pluralism dan Religious Tolerance,” dalam Ismail Sm-Abdul Mukti (ed.),
Pendidikan Islam, Demokrasi dan Masyarakat Madani (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), h.
120.
16
selama ini masih relatif kaku oleh karena pemakuan ajaran agama yang diadopsi
hanya mencakup urusan teologi, tetapi harus dipandang sebagai modal sosial yang
mengatur perilaku umat manusia. Dalam hal ini aspek pendidikan agama perlu
berorientasi pada berkah sosial guna mereduksi perbedaan yang terdapat dalam
30
Abdul Aziz Sechedina, The Islamic Roots of Democratic Pluralism (Cambridge: Oxford
University Press, 2001), h. 138.
17
Daftar Pustaka
Abdullah, Amin. “Kebebasan Beragama atau Dialog Antar Agama: 50 Tahun Hak
Asasi Manusia” dalam J.B Banawiratna et. al.. ed.) Hak Asasi Manusia:
Tantangan Bagi Agama. Yogyakarta: Kanisius, 1999.
___________. Falsafah Kalam di Era Postmodernisme. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1995.
Al-Andalusī, Abū Hayyan. Al-Bahr al-Muhīṭ, Juz I, editor: Adil Ahmad Abd al-
Maujud dan Ali Muhammad Muawwad. Cet. I; Beirut: Dār al-Kutub al-
Ilmiyah, 1993.
Al-Baqi, Muhammad Fuad ‘Abd. Mu’jam Mufahras li Alfāẓ al-Qur’ān. Cet. I;
Kairo: Dār al-Hadīṡ, 1996.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya. Madinah al-
Munawwarah: Majma’ al-Malik Fahd li Tiba’ah al-Mushaf al-Syarif,
1990.
Glesse, Cryl. The Concise Encyclopedia of Islam, diterjemahkan oleh Gufron A.
Mas’adi dengan judul Ensiklopedi Islam Ringkas. Cet. II; RajaGrafindo
Persada, 1999.
Hendropuspito, D. Sosiologi Agama. Cet. I; Yogyakarta: Kanisius, 1983.
Hidayat, Komaruddin dan Wahyuni Nafis, Agama-agama Masa Depan:
Perspektif Filsafat Perennial. Cet.I; Jakarta: Paramadina, 1995.
Khaldun, Ibnu. Muqaddimah li Ibn Khaldun, Juz I. Cet. IV; Beirut: t.p., t.th.
Ma’luf, Louis. Al-Munjid fī Al-Lughah wa Al-A’lam. Cet. XXVI; Beirut: Dar al-
Masyriq, 1997.
Madjid, Nurcholish. “Islam dan Civil Society. Masyarakat Madani): Tinjauan
tentang Prinsip Human Rights, Pluralism dan Religious Tolerance,” dalam
Ismail Sm-Abdul Mukti. ed.. Pendidikan Islam, Demokrasi dan
Masyarakat Madani. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
___________. “Prinsip-prinsip Al-Quran tentang Pluralisme dan Perdamaian”
dalam Azhar Arsyad, dkk.. eds.) Islam dan Perdamaian Global.
Yogyakarta: Madyan Press, 2002.
Muhtar, Ibnu Hasan. Harmoni (Jurnal Multikultutal dan Multireligius) Jakarta:
Badan Litbang dan Diklat Depag RI., 2004.
Al-Qurtuby, Muhammad bin Ahmad al-Anṣary. Al-Jami’ li Aḥkām al-Qur’ān, Juz.
II. Cet. V; Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmiyah, 1996.
Qutub, Sayyid. Fī Żilāl al-Qur’ān, Juz I. Cet. XVII; Kairo: Dār al-Syuruq, 1992.
al-Rāzi, Fakhr al-Dīn. Mafātiḥ al-Gaib, Juz VIII. Cet. I; Beirut: Dār al-Kutub al-
Ilmiyah, 1990.
18