I. Pendahuluan
Pembahasan hubungan timbal balik antara hukum dan masyarakat sangat penting
dan perlu dilakukan untuk memperoleh kejelasan mengenai pemikiran tentang hal ini
di Indonesia dewasa ini. Hal ini sangat mendesak karena pandangan atau konsepsi
hukum merupakan salah satu sarana pembaharuan dan pembangunan masyarakat.
2. Paham Scholastic, percaya bahwa hukum berasal dari perintah Tuhan (Abad
pertengah-an). Dalam hal ini kesadaran tidak penting bagi hukum, yang
terpenting adalah titah Tuhan
3. Mahzab hukum alam moderen (abad ke-18 dan ke-19), percaya bahwa hukum
merupakan hasil renungan manusia dengan menggunakan rasionya.
4. Paham sosiologi (akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20). Kesadaran hukum
masyarakat berperan dalam pembentukan , penerapan, dan penganalisisan
hukum.
Dasar Dari Pemikiran Ini Lah Penulis Mengangkat Judul Kepatuhan Hukum
Dalam Masyarakat Di Tinjau Dari Kebudayaan Hukum dalam menyelesaikan tugas
Makalah dari mata kuliah Sosial Hukum .
Adapun tujuan masalah dari penulisan makalah ini adalah: “ mengetahui secara
keilmuan tentang peranan Kebudayaan Hukum dalam Memberikan Nilai Kepatuhan
hukum dalam Masyarakat”
IV. Pembahasan
1. Budaya Hukum
2. Kesadaran Hukum
Kesadaran hukum itu kiranya dapat dirumuskan sebagai kesadaran yang ada pada
setiap manusia tentang apa hukum itu atau apa hukum itu, suatu kategori tertentu dari
hidup kejiwaan kita yang membedakan antara hukum dan tidak hukum (on recht)
antara yang seyogyanya dilakukan dan tidak dilakukan.
Kesadaran hukum merupakan konsepsi abstrak didalam diri manusia, tentang
keserasian antara ketertiban dan ketentraman yang dikehendaki atau sepantasnya.
Kesadaran hukum sering dikaitkan dengan pentaatan hukum, pembentukan hukum,
dan efektivitas hukum. Kesadaran hukum merupakan kesadaran nilai-nilai yang
terdapat dalam manusia tentang hukum yang ada.
Kesadaran berasal dari kata sadar. yang berarti insaf, merasa, tahu atau mengerti .
Menyadari berarti mengetahui, menginsafi, merasai. Kesadaran berarti keinsafan,
keadaan mengerti, hal yang dirasakan atau dialami oleh seseorang. Kesadaran hukum
dapat berarti adanya keinsyafan, keadaan seseorang yang mengerti betul apa itu
hukum, fungsi dan peranan hukum bagi dirinya dan masyarakat sekelilingnya.
Kesadaran hukum itu berarti juga kesadaran tentang hukum, kesadaran bahwa hukum
merupakan perlindungan kepentingan manusia yang menyadari bahwa manusia
mempunyai banyak kepentingan yang memerlukan perlindungan hukum.
Kesadaran hukum perlu dibedakan dari perasaan hukum. Kalau perasaan hukum itu
merupakan penilaian yang timbul secara serta merta (spontan) maka kesadaran
hukum merupakan penilaian yang secara tidak langsung diterima dengan jalan
pemikiran secara rasional dan berargumentasi. Sering kesadaran hukum itu
dirumuskan sebagai resultante dari perasaan-perasaan hukum di dalam masyarakat.
Jadi kesadaran hukum tidak lain merupakan pandangan-pandangan yang hidup dalam
masyarakat tentang apa hukum itu. Pandangan-pandangan hidup dalam masyarakat
bukanlah semata-mata hanya merupakan produk dari pertimbangan-pertimbangan
menurut akal saja, akan tetapi berkembang di bawah pengaruh beberapa faktor seperti
agama, ekonomi, politik dan lain sebagainya.
Dalam konteks kesadaran hukum maka tidak ada sanksi didalamnya, hal ini
merupakan perumusan dari kalangan hukum mengenai penilaian tersebut, yang telah
dilakukan secara ilmiah, nilai nilai yang terdapat dalam manusia tentang hukum yang
ada atau tentang hukum yang diharapkan ada. Menurut Soerjono Seokanto ada empat
indikator kesadaran hukum, yaitu :
3. Kepatuhan Hukum
Kepatuhan berasal dari kata patuh, yang berarti tunduk, taat, dan turut.
Mematuhi berarti menunduk, menuruti, dan menaati. Kepatuhan berarti
ketundukan, ketaatan, keadaan seseorang tunduk menuruti sesuatu atau
seseorang. Jadi, dapatlah dikatakan kepatuhan hukum adalah keadaan
seseorang warga masyarakat yang tunduk patuh dalam satu aturan main
(hukum) yang berlaku.
Kepatuhan hukum adalah ketaatan pada hukum, dalam hal ini hukum yang
tertulis. Kepatuhan atau ketaatan ini didasarkan pada kesadaran. Hukum
dalam hal ini hukum tertulis atau peraturan perundang-undangan mempunyai
pelbagai macam kekuatan, yaitu kekuatan berlaku atau “rechtsgeltung”.
Kalau suatu undang-undang memenuhi syarat-syarat formal atau telah
mempunyai kekuatan secara yuridis, tetapi secara sosiologis dapat diterima
oleh masyarakat, kondisi itu disebut kekuatan berlaku secara sosiologis.
Masih ada kekuatan berlaku yang disebut filosofische rechtsgetung, yaitu
apabila isi undang-undang tersebut mempunyai ketiga kekuatan berlaku
sekaligus.
Di dalam konteks kepatuhan hukum, ada sanksi positif dan negatif. Ketaatan
merupakan variabel tergantung yang didasarkan kepada kepuasan diperoleh
dengan dukungan sosial. Menurut Satjipto Rahardjo, ada tiga faktor yang
menyebabkan masyarakat mematuhi hukum:
1. Kepatuhan (compliance), yaitu harapan akan suatu imbalan dan usaha untuk
menghindarkan diri dari hukuman yang mungkin timbul apabila seseorang
melanggar ketentuan hukum. Ada pengawasan yang ketat terhadap kaidah
hukum tersebut.
2. Identifikasi (identification), yaitu bila kepatuhan terhadap kaidah hukum ada
bukan karena nilai intrinsiknya, melainkan agar keanggotaan kelompok tetap
terjaga serta ada hubungan baik dengan mereka yang diberi wewenang untuk
menerapkan kaidah-kaidah hukum tersebut.
3. Internalisasi (internalization), yaitu bila seseorang mematuhi kaidah-kaidah
hukum karena secara intrinsik kepatuhan tadi mempunyai imbalan. Isinya
sesuai dengan nilai nilainya dari pribadi yang bersangkutan.
Kepatuhan merupakan sikap yang aktif yang didasarkan atas motivasi setelah
ia memperoleh pengetahuan. Dari mengetahui sesuatu, manusia sadar, setelah
menyadari ia akan tergerak untuk menentukan sikap atau bertindak. Oleh
karena itu, dasar kepatuhan itu adalah pendidikan, kebiasaan, kemanfaatan,
dan identifikasi kelompok. Karena pendidikan, kebiasaan, kesadaran akan
manfaat, dan identifikasi dirinya dalam kelompok, manusia akan patuh.
Di dalam budaya hukum masyarakat dapat pula dilihat apakah masyarakat kita dalam
kesadaran hukumnya sungguh-sungguh telah menjunjung tinggi hukum sebagai suatu
aturan main dalam hidup bersama dan sebagai dasar dalam menyelesaikan setiap
masalah yang timbul dari resiko hidup bersama. Namun kalau dilihat secara materiil,
sungguh sulit membangun budaya hukum di negeri ini. Sesungguhnya kesadaran
hukum masyarakat saja tidak cukup membangun budaya hukum di negeri ini, karena
kesadaran hukum masyarakat masih bersifat abstrak, belum merupakan bentuk
prilaku yang nyata, sekalipun masyarakat kita baik secara instinktif, maupun secara
rasional sebenarnya sadar akan perlunya kepatuhan dan penghormatan terhadap
hukum yang berlaku. Oleh karenanya sekalipun masyarakat kita sadar terhadap
hukum yang berlaku di negaranya, belum tentu masyarakat kita tersebut patuh pada
hukum tersebut.
Secara a contra-rio masyarakat tidak patuh pada hukum karena masyarakat tersebut
dihadapkan pada dua tuntutan kesetiaan dimana antara kesetiaan yang satu
bertentangan dengan kesetiaan lainnya. Misalnya masyarakat tersebut dihadapkan
pada kesetiaan terhadap hukum atau kesetiaan terhadap “kepentingan pribadinya”
yang bertentangan dengan hukum, seperti banyaknya pelanggaran lalu lintas,
korupsi, perbuatan anarkisme, dll. Apalagi masyarakat menjadi berani tidak patuh
pada hukum demi kepentingan pribadi karena hukum tidak mempunyai kewibawaan
lagi, dimana penegak hukum karena kepentingan pribadinya pula tidak lagi menjadi
penegak hukum yang baik.
Sehingga dalam hal ini, kesetiaan terhadap kepentingan pribadi menjadi pangkal tolak
mengapa manusia atau masyarakat kita tidak patuh pada hukum. Jika faktor kesetiaan
tidak dapat diandalkan lagi untuk menjadikan masyarakat patuh pada hukum, maka
negara atau pemerintah mau tidak mau harus membangun dan menjadikan rasa takut
masyarakat sebagai faktor yang membuat masyarakat patuh pada hukum.
Dalam usaha kita meningkatkan dan membina kesadaran hukum dan kepatuhan ada
tiga tindakan pokok yang dapat dilakukan.
1. Tindakan Represif, ini harus bersifat drastis, tegas. Petugas penegak hukum
dalam melaksanakan law enforcement harus lebih tegas dan konsekwen.
Pengawasan terhadap petugas penegak hukum harus lebih ditingkatkan atau
diperketat. Makin kendornya pelaksanaan law enforcement akan
menyebabkan merosotnya kesadaran hukum. Para petugas penegak hukum
tidak boleh membeda-bedakan golongan.
2. Tindakan Preventif, merupakan usaha untuk mencegah terjadinya
pelanggaran-pelanggaran hukum atau merosotnya kesadaran hukum. Dengan
memperberat ancaman hukum terhadap pelanggaran-pelanggaran hukum
tertentu diharapkan dapat dicegah pelanggaran-pelanggaran hukum tertentu.
Demikian pula ketaatan atau kepatuhan hukum para warga Negara perlu
diawasi dengan ketat.
3. Tindakan Persuasif, yaitu mendorong, memacu. Kesadaran hukum erat
kaitannya dengan hukum, sedang hukum adalah produk kebudayaan.
Kebudayaan mencakup suatu sistem tujuan dan nilai-nilai hukum merupakan
pencerminan daripada nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat.
Menanamkan kesadaran hukum berarti menanamkan nilai-nilai kebudayaan.
Jika kita sudah konsisten membangun negara ini menjadi negara hukum, siapapun
harus tunduk kepada hukum. Hukum tidak dapat diberlakukan secara diskriminatif,
tidak memihak kepada siapapun dan apapun, kecuali kepada kebenaran dan keadilan
itu sendiri. Disitulah letak keadilan hukum. Namun jika hukum diberlakukan
diskriminatif, tidak dapat dipercaya lagi sebagai sarana memperjuangkan hak dan
keadilan, maka jangan disalahkan jika masyarakat akan memperjuangkan haknya
melalui hukum rimba atau kekerasan fisik.
SOSIOLOGI HUKUM
BUDAYA HUKUM PENGARUH DALAM KEPASTIAN HUKUM
Dibuat oleh:
Nama : Annisa Ilmi Chaliza Hasibuan
Nim : 190200014
Grup : A
Universitas Sumatera Utara
Medan
2019
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah yang Maha pengasih lagi Maha Penyayang,
puji dan syukur kami panjatkan kepada-Nya, karena dengan rahmat serta hidayah-
Nya kami dapat menyusun makalah ini dengan maksimal serta mendapat bantuan dari
berbagai pihak sehingga makalah ini dapat terselesaikan pada waktunya.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari bahwa makalah kami ini masih
terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami akan menerima kritik dan saran
dari pembaca dan dari yang terhormat dosen pengampu mata kuliah pengantar ilmu
hukum dengan tangan terbuka, agar kami dapat memperbaiki kekurangan tersebut.
Medan, 27 Desember 2019
Penulis
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Persoalan ketidaktaatan terhadap hukum oleh masyarakat memang
bukan lagi berupa pelanggaran hukum oleh seseorang atau lebih yang
tak berkesadaran hukum, contoh persoalan tentang keyakinan , maka
konflik ini merupakan kinflik budaya dalam suatu masyarakat nasional
dalam pemerintahanya