Anda di halaman 1dari 19

Kepatuhan Hukum dalam Masyarakat di Tinjau dari Kebudayaan Hukum

I. Pendahuluan

Kaidah-kaidah hukum yang tumbuh dalam masyarakat tidaklah dapat


memberikan ketaatan yang secara menyuluh kepada masyarakat tersebut, baik secara
keilmuan antropologis maupun sosiologi. Karena salah satu pola kehidupan
dimasyarakat luas dalam nilai kepatuhan terhadap hukum itu di picu oleh nilai
kesadaran individu masyarakat itu sendiri yang tidak dapat di pantau secara
keseluruhan. Hal tesebut juga sering kali dikaitkan dengan hukum mendapatkan
perubahan dari masing-masing perkembangan zaman yang dilalui oleh masyarakat,
yaitu terjadinya pembangunan hukum.

Di dalam Pembangunan hukum selalu terkait dengan


perkembangan/pembangunan masyarakat yang berkelanjutan maupun
“perkembangan yang berkelanjutan dari kegiatan/aktivitas ilmiah dan perkembangan
pemikiran filosofi/ide dasar/konsepsi intelektual”. Jadi “law reform” terkait erat
dengan “sustainable society/development”, ‘sustainable intellectual activity”,
sustainable intellectual phylosophy”, sustainable intellectual consceptions/basic
ideas”.

Salah satu fungsi hukum yang diharapkan didalam pembangunan di Indonesia


adalah sebagai sarana pembaharuan masyarakat. Pembangunan bidang hukum, antara
lain, dilakukan dengan jalan peningkatan dan penyempurnaan pembinaan hukum
nasional, dengan antara lain mengadakan pembaharuan, kodifikasi serta unifikasi
hukum dibidang-bidang tertentu dengan jalan memperhatikan kesadaran hukum
dalam masyarakat
Berbicara tentang kesadaran dan kepatuhan hukum dalam masyarakat tidak pula
lepas dari nilai kebudayaan hukum yang tumbuh dalam masyarakat, terutama di
Indonesia. Budaya hukum diartikan keseluruhan sistem nilai serta sikap yang
mempengaruhi hukum. Pembagian sistem hukum ke dalam tiga komponen ini
untukmenganalisis bekerjanya suatu sistem hukum atau sistem hukum yang sedang
beroperasi dalam studi tentang hukum dan masyarakat.

Pembahasan hubungan timbal balik antara hukum dan masyarakat sangat penting
dan perlu dilakukan untuk memperoleh kejelasan mengenai pemikiran tentang hal ini
di Indonesia dewasa ini. Hal ini sangat mendesak karena pandangan atau konsepsi
hukum merupakan salah satu sarana pembaharuan dan pembangunan masyarakat.

Apabila ditilik dari proses perkembangan hukum dalam sejarah terhadap


hubungan dengan eksistensi dan peranan dari kesadaran hukum masyarakat dalam
tubuh hukum positif, terdapat suatu proses pasang surut dalam bentangan waktu yang
teramat panjang. Peranan tersebut dapat dibagi dalam beberapa kelompok berikut :

1. Hukum masyarakat primitif secara total merupakan penjelmaan dari


kesadaran hukum masyarakatnya. Kitab Undang-undang dipercaya sebagai
penjelmaan dari kehendak dan kepercayaanan masyarakat tentang perbuatan
baik atau buruk.

2. Paham Scholastic, percaya bahwa hukum berasal dari perintah Tuhan (Abad
pertengah-an). Dalam hal ini kesadaran tidak penting bagi hukum, yang
terpenting adalah titah Tuhan
3. Mahzab hukum alam moderen (abad ke-18 dan ke-19), percaya bahwa hukum
merupakan hasil renungan manusia dengan menggunakan rasionya.
4. Paham sosiologi (akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20). Kesadaran hukum
masyarakat berperan dalam pembentukan , penerapan, dan penganalisisan
hukum.

Dasar Dari Pemikiran Ini Lah Penulis Mengangkat Judul Kepatuhan Hukum
Dalam Masyarakat Di Tinjau Dari Kebudayaan Hukum dalam menyelesaikan tugas
Makalah dari mata kuliah Sosial Hukum .

II. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian Pendahuluan yang diatas, maka permasalahan yang akan


diangkat dalam tugas penulisan makalah ini adalah :
”bagaimana Peranan Kebudayaan Hukum dalam memberikan nilai Kepatuhan
hukum dalam masyarakat?”

III. Tujuan Masalah

Adapun tujuan masalah dari penulisan makalah ini adalah: “ mengetahui secara
keilmuan tentang peranan Kebudayaan Hukum dalam Memberikan Nilai Kepatuhan
hukum dalam Masyarakat”

IV. Pembahasan

1. Budaya Hukum

Koentjaraningrat , menjelaskan bahwa kata “kebudayaan” berasal dari bahasa


Sansekerta Buddhayah, ialah bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau
“akal”. Adapun istilah culture sama artinya dengan kebudayaan, yaitu berasal dari
kata latin colore, yang berarti mengolah atau mengerjakan (mengolah atau
mengerjakan tanah/bertani) Selo Sumardjan dan Soleman Soemardi merumuskan
kebudayaan adalah semua hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Karya masyarakat
menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan atau kebudayaan jasmaniah
(kebudayaan material) yang diperlukan oleh manusia untuk menguasai alam
sekitarnya, agar kekuatan serta hasilnya dapat diabadikan pada keperluan
masyarakat.

Karena luasnya pengertian yang dirumuskan dalam konsep kebudayaan,


munculah berbagai definisi kebudayaan yang diajukan oleh para ilmuwan.:

1. Herskovits dan Malinowski, memberikan definisi kebudayaan sebagai


sesuatu yang super organik. Karena kebudayaan yang turun temurun dari
generasi ke generasi tetap hidup terus atau berkesinambungan meskipun
orangorang yang menjadi anggota masyarakat senantiasa silih berganti
disebabkan karena irama kematian dan kelahiran.

2. E. B Taylor, melihat kebudayaan sebagai komplek yang mencakup


pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat, dan
kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan
manusia sebagai warga masyarakat;
3. Roucek dan Warren, mendefinisikan kebudayaan sebagai suatu cara hidup
yang dikembangkan oleh sebuah masyarakat guna memenuhi keperluan
dasarnya untuk dapat bertahan hidup, meneruskan keturunan dan mengatur
pengalaman sosialnya.

4. Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi mengemukakan bahwa


kebudayaan itu adalah semua hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat;

5. Koentjaraningrat, mengartikan kebudayaan sebagai keseluruhan gagasan dan


karya manusia, yang harus dibiasakan dengan belajar, beserta keseluruhan
dari hasil budi dan karyanya itu ;

6. Ki Hadjar Dewantara, mengemukakan bahwa menurut perkataannya,


kebudayaan itu berarti: buah budi manusia, sedangkan bila kita mengingat
cara terjadinya atau lahirnya kebudayaan, dapatlah kebudayaan itu kita
namakan kemenangan atau hasil perjuangan hidup manusia. Budi itu tidak
lain ialah jiwa yang sudah masak, sudah cerdas dan oleh karenanya sanggup
dan mampu mencipta. Karena budi manusia mempunyai dua sifat yang
istimewa, yaitu sifat luhur dan sifat halus, maka segala ciptaannya senantiasa
mempunyai sifat luhur dan halus pula. Sebagai kemenangan atau hasil
perjuangan hidup manusia (perjuangan terhadap dua kekuatan yang abadi
yakni alam dan jaman), dalam perjuangan mana manusia tetap dan terus
menerus berhasrat mengatasi segala pengaruh alam dan jaman yang
menyulitkan hidupnya baik lahir maupun batin. Oleh karena itu kebudayaan
itu selain bersifat luhur dan halus, juga mempunyai sifat menggampangkan
hidupnya serta memperbesar hasil hidupnya. Ini berarti memberi kemajuan
hidup dan penghidupan baginya. Kemajuan hidup dan penghidupan manusia
pada umumnya nampak sebagai keinginan, kemampuan, dan kesanggupan
untuk mewujudkan hidup yang serba tertib dan damai.
Secara sosiologis, maka hukum merupakan bagian dari kebudayaan. Tuhan yang
Maha Esa menciptakan alam dan didalam lingkungan alam itulah manusia
menciptakan atau membentuk kebudayaan. Kebudayaan tersebut merupakan hasil
karya, rasa dan cipta manusia dalam masyarakat, yang kesemuanya disusun dan
dimanfaatkan untuk karsa.
Yang membedakan manusia dengan makhluk-makhluk lain ialah bahwa manusia
mempunyai kebudayaan. Sejak manusia dilahirkan di bumi dia sudah dikelilingi dan
diliputi oleh kepercayaan-kepercayaan dan nilai-nilai tertentu. Memang salah satu
unsur kebudayaan adalah kepercayaan-kepercayaan, anggapan-anggapan atau
prinsip-prinsip tertentu. Di samping itu masih ada unsur lain yaitu norma-norma.
Anggapan-anggapan dan kepercayaan-kepercayaan meliputi keadaan-keadaan, tetapi
norma-norma meliputi perbuatan. Antara kedua unsur ini terdapat jalinan yang erat.
Misalnya ada kepercayan, bahwa sesudah mati orang dapat dilahirkan kembali sesuai
dengan perbuatannya pada waktu hidup pertama.
Membicarakan budaya hukum tidak terlepas dari keadaan masyarakat, sistem dan
susunan masyarakat yang mengandung budaya hukum tersebut. Budaya hukum
merupakan tanggapan yang bersifat penerimaan-penerimaan atau penolakan terhadap
suatu peristiwa hukum. Ia menunjukkan sikap perilaku manusia terhadap masalah
hukum dan peristiwa hukum yang terbawa ke dalam masyarakat. Budaya hukum
adalah tanggapan umum yang sama dari masyarakat tertentu terhadap gejala-gejala
hukum. Tanggapan itu merupakan kesatuan pandangan terhadap nilai-nilai dan
perilaku hukum. Jadi suatu budaya hukum menunjukkan tentang pola perilaku
individu sebagai anggota masyarakat yang menggambarkan tanggapan (orientasi)
yang sama terhadap kehidupan hukum yang dihayati masyarakat bersangkutan.
Untuk melakukan pembangunan hukum nasional tentunya tidak terlepas dari
sistem hukum yang terdiri dari beberapa unsur yang terkait satu sama lain untuk
mencapai tujuan hukum itu sendiri. Keberadaan Indonesia yang sangat majemuk
yang beragam suku, bahasa, budaya, dan agama tentunya akan mempengaruhi
bagaimana proses pembangunan hukum nasional yang sedang diupayakan. Status
sebagai negara hukum ini tentunya menjadi acuan untuk melakukan pembangunan
hukum nasional. Setiap warga negara tentunya memiliki peran yang sangat besar di
dalam menghidupi status sebagai negara hukum.
Teori sistem hukum Friedman menyatakan ada tiga unsur pembentuk sistem
hukum yakni substansi hukum (legal substance), struktur hukum (legal structure) dan
budaya hukum (legal culture). Struktur hukum adalah komponen struktural atau
organ yang bergerak di dalam suatu mekanisme, baik dalam membuat peraturan,
maupun dalam menerapkan atau melaksanakan peraturan.
Substansi hukum adalah produk dari struktur hukum, baik peraturan yang dibuat
melalui mekanisme struktur formal atau peraturan yang lahir dari kebiasaan.
Sedangkan budaya hukum adalah nilai, pemikiran, serta harapan atas kaidah atau
norma dalam kehidupan sosial masyarakat. Ketiga unsur pembentuk sistem hukum
ini memiliki keterkaitan satu sama lain dimana diantara ketiga unsur tersebut
terharmonisasi di dalam proses pencapaian tujuan hukum itu sendiri.
Budaya parokial (parochial culture)

 Pada masyarakat parokial (picik), cara berpikir para anggota


masyarakatnya masih terbatas, tanggapannya terhadap hukum hanya
terbatas dalam lingkungannya sendiri. Masyarakat demikian masih
bertahan pada tradisi hukumnya sendiri, kaidah-kaidah hokum yang telah
digariskan leluhur merupakan azimat yang pantang diubah. Jika ada yang
berperilaku menyimpang, akan mendapat kutukan. Masyarakat tipe ini
memiliki ketergantungan yang tinggi pada pemimpin. Apabila pemimpin
bersifat egosentris, maka ia lebih mementingkan dirinya sendiri.
Sebaliknya jika sifat pemimpinnya altruis maka warga masyarakatnya
mendapatkan perhatian, karena ia menempatkan dirinya sebagai primus
intervares, yang utama di antara yang sama. Pada umumnya, masyarakat
yang sederhana, sifat budaya hukumnya etnosentris, lebih mengutamakan
dan membanggakan budaya hukum sendiri dan menganggap hukum
sendiri lebih baik dari hukum orang lain (Kantaprawira, 1983).

Budaya subjek (subject culture)

 Dalam masyarakat budaya subjek (takluk), cara berpikir anggota


masyarakat sudah ada perhatian, sudah timbul kesadaran hukum yang
umum terhadap keluaran dari penguasa yang lebih tinggi. Masukan dari
masyarakat masih sangat kecil atau belum ada sama sekali. Ini disebabkan
pengetahuan, pengalaman dan pergaulan anggota masyarakat masih
terbatas dan ada rasa takut pada ancaman-ancaman tersembunyi dari
penguasa. Orientasi pandangan mereka terhaap aspek hukum yang baru
sudah ada, sudah ada sikap menerima atau menolak, walaupun
cara pengungkapannya bersifat pasif, tidak terang-terangan atau masih
tersembunyi. Tipe masyarakat yang bersifat menaklukkan diri ini,
menganggap dirinya tidak berdaya mempengaruhi, apalagi berusaha
mengubah sistem hukum, norma hukum yang dihadapinya, walaupun apa
yang dirasakan bertentangan dengan kepentingan pribadi dan
masyarakatnya (Kartaprawira, 1983).

Budaya partisipant (participant culture)


Pada masyarakat budaya partisipan (berperan serta), cara berpikir dan
berperilaku anggota masyarakatnya berbeda-beda. Ada yang masih
berbudaya takluk, namun sudah banyak yang merasa berhak dan
berkewajiban berperan serta karena ia merasa sebagai bagian dari
kehidupan hukum yang umum. Disini masyarakat sudah merasa
mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dalam hukum dan
pemerintahan. Ia tidak mau dikucilkan dari kegiatan tanggapan terhadap
masukan dan keluaran hukum, ikut menilai setiap peristiwa hukum dan
peradilan, merasa terlibat dalam kehidupan hukum baik yang menyangkut
kepentingan umum maupun kepentingan keluarga dan dirinya sendiri.
Biasanya dalam masyarakat demikian, pengetahuan dan pengalaman
anggotanya sudah luas, sudah ada perkumpulan organisasi, baik yang
susunannya berdiri sendiri maupun yang mempunyai hubungan dengan
daerah lain dan dari atas ke bawah (Kantaprawira, 1983).
Budaya hukum, sebagaimana diuraikan, hanya merupakan sebagian dari sikap
dan perilaku yang mempengaruhi sistem dan konsepsi hukum dalam
masyarakat setempat. Masih ada faktor-faktor lain yang juga tidak kecil
pengaruhnya terhadap budaya hukum seperti system dan susunan
kemasyarakatan, kekerabatan, keagamaan, ekonomi dan politik, lingkungan
hidup dan cara kehidupan, disamping sifat watak pribadi seseorang yang
kesemuanya saling bertautan (Hadikusuma, 1986

2. Kesadaran Hukum

Kesadaran hukum itu kiranya dapat dirumuskan sebagai kesadaran yang ada pada
setiap manusia tentang apa hukum itu atau apa hukum itu, suatu kategori tertentu dari
hidup kejiwaan kita yang membedakan antara hukum dan tidak hukum (on recht)
antara yang seyogyanya dilakukan dan tidak dilakukan.
Kesadaran hukum merupakan konsepsi abstrak didalam diri manusia, tentang
keserasian antara ketertiban dan ketentraman yang dikehendaki atau sepantasnya.
Kesadaran hukum sering dikaitkan dengan pentaatan hukum, pembentukan hukum,
dan efektivitas hukum. Kesadaran hukum merupakan kesadaran nilai-nilai yang
terdapat dalam manusia tentang hukum yang ada.

Kesadaran berasal dari kata sadar. yang berarti insaf, merasa, tahu atau mengerti .
Menyadari berarti mengetahui, menginsafi, merasai. Kesadaran berarti keinsafan,
keadaan mengerti, hal yang dirasakan atau dialami oleh seseorang. Kesadaran hukum
dapat berarti adanya keinsyafan, keadaan seseorang yang mengerti betul apa itu
hukum, fungsi dan peranan hukum bagi dirinya dan masyarakat sekelilingnya.

Kesadaran hukum itu berarti juga kesadaran tentang hukum, kesadaran bahwa hukum
merupakan perlindungan kepentingan manusia yang menyadari bahwa manusia
mempunyai banyak kepentingan yang memerlukan perlindungan hukum.

Kesadaran hukum perlu dibedakan dari perasaan hukum. Kalau perasaan hukum itu
merupakan penilaian yang timbul secara serta merta (spontan) maka kesadaran
hukum merupakan penilaian yang secara tidak langsung diterima dengan jalan
pemikiran secara rasional dan berargumentasi. Sering kesadaran hukum itu
dirumuskan sebagai resultante dari perasaan-perasaan hukum di dalam masyarakat.

Jadi kesadaran hukum tidak lain merupakan pandangan-pandangan yang hidup dalam
masyarakat tentang apa hukum itu. Pandangan-pandangan hidup dalam masyarakat
bukanlah semata-mata hanya merupakan produk dari pertimbangan-pertimbangan
menurut akal saja, akan tetapi berkembang di bawah pengaruh beberapa faktor seperti
agama, ekonomi, politik dan lain sebagainya.

Akhir-akhir ini banyak dipermasalahkan tentang merosotnya kesadaran hukum.


Pandangan mengenai merosotnya kesadaran hukum disebabkan karena terjadi
pelanggaran-pelanggaran hukum dan ketidakpatuhan hukum. Kalau kita mengikuti
berita-berita dalam surat kabar, maka boleh dikatakan tidak ada hati lewat dimana
tidak dimuat berita tentang terjadinya pelanggaran-pelanggaran hukum. Berita-berita
tentang penipuan, penjambretan, penodongan, pembunuhan, korupsi, kredit macet,
manipulasi dan sebagainya setiap hari dapat kita baca dalam surat kabar. Yang
menyedihkan ialah bahwa tidak sedikit orang yang seharusnya menjadi panutan,
orang yang tahu hukum melakukannya, baik ia petugas penegak hukum atau bukan.
Yang mencemaskan ialah bahwa meningkatnya kriminalitas bukan hanya dalam
kuantitas dan volumenya saja, tetapi juga dalam kualitas atau intensitas serta jensinya.
Tidak hanya pelanggaran hukum atau ketidakpatuhan hukum saja yang terjadi tetapi
juga penyalahgunaan hak dan/atau wewenang.

Akibat peristiwa-peristiwa tersebut di atas dapatlah dikatakan secara umum bahwa


kesadaran hukum masyarakat dewasa ini menurun. Pada hakekatnya kesadaran
hukum itu tidak hanya berhubungan dengan hukum tertulis. Tetapi dalam kaitannya
dengan kepatuhan hukum, maka kesadaran hukum itu timbul dalam proses penerapan
hukum positif tertulis.

Kesadaran hukum berkaitan dengan kepatuhan hukum, hal yang membedakannya


yaitu dalam kepatuhan hukum ada rasa takut akan sanksi.

Dalam konteks kesadaran hukum maka tidak ada sanksi didalamnya, hal ini
merupakan perumusan dari kalangan hukum mengenai penilaian tersebut, yang telah
dilakukan secara ilmiah, nilai nilai yang terdapat dalam manusia tentang hukum yang
ada atau tentang hukum yang diharapkan ada. Menurut Soerjono Seokanto ada empat
indikator kesadaran hukum, yaitu :

1. Pengetahuan hukum; seseorang mengetahui bahwa perilaku-perilaku tertentu


itu telah diatur oleh hukum. Peraturan hukum yang dimaksud disini adalah
hukum tertulis maupun hukum yang tidak tertulis. Perilaku tersebut
menyangkut perilaku yang dilarang oleh hukum maupun perilaku yang
diperbolehkan oleh hukum.
2. Pemahaman hukum; seseorang warga masyarakat mempunyai pengetahuan
dan pemahaman mengenai aturan-aturan tertentu, misalnya adanya
pengetahuan dan pemahaman yang benar dari masyarakat tentang hakikat dan
arti pentingnya UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.

3. Sikap hukum; seseorang mempunyai kecenderungan untuk mengadakan


penilaian tertentu terhadap hukum.

4. Pola perilaku hukum; dimana seseorang atau dalam suatu masyarakat


warganya mematuhi peraturan yang berlaku.

Dalam membahas tentang kesadaran hukum masyarakat, terdapat hubungan yang


sangat erat antara penegak hukum, masyarakat, sarana pendukung, budaya dan
undang-undang. Sebagaimana pendapat Soerjono Soekanto tentang faktor-faktor
yang mempengaruhi penegakan hukum, yaitu :

1. Faktor hukumnya sendiri, yang dibatasi pada undang-undang.


2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun
menerapkan hukum.
3. Faktor sarana atau fasilitas, yang mendukung penegakan hukum.
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau
diterapkan.
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan
pada karsa manusia didalam pergaulan hidup.

3. Kepatuhan Hukum

Kepatuhan berasal dari kata patuh, yang berarti tunduk, taat, dan turut.
Mematuhi berarti menunduk, menuruti, dan menaati. Kepatuhan berarti
ketundukan, ketaatan, keadaan seseorang tunduk menuruti sesuatu atau
seseorang. Jadi, dapatlah dikatakan kepatuhan hukum adalah keadaan
seseorang warga masyarakat yang tunduk patuh dalam satu aturan main
(hukum) yang berlaku.
Kepatuhan hukum adalah ketaatan pada hukum, dalam hal ini hukum yang
tertulis. Kepatuhan atau ketaatan ini didasarkan pada kesadaran. Hukum
dalam hal ini hukum tertulis atau peraturan perundang-undangan mempunyai
pelbagai macam kekuatan, yaitu kekuatan berlaku atau “rechtsgeltung”.
Kalau suatu undang-undang memenuhi syarat-syarat formal atau telah
mempunyai kekuatan secara yuridis, tetapi secara sosiologis dapat diterima
oleh masyarakat, kondisi itu disebut kekuatan berlaku secara sosiologis.
Masih ada kekuatan berlaku yang disebut filosofische rechtsgetung, yaitu
apabila isi undang-undang tersebut mempunyai ketiga kekuatan berlaku
sekaligus.
Di dalam konteks kepatuhan hukum, ada sanksi positif dan negatif. Ketaatan
merupakan variabel tergantung yang didasarkan kepada kepuasan diperoleh
dengan dukungan sosial. Menurut Satjipto Rahardjo, ada tiga faktor yang
menyebabkan masyarakat mematuhi hukum:
1. Kepatuhan (compliance), yaitu harapan akan suatu imbalan dan usaha untuk
menghindarkan diri dari hukuman yang mungkin timbul apabila seseorang
melanggar ketentuan hukum. Ada pengawasan yang ketat terhadap kaidah
hukum tersebut.
2. Identifikasi (identification), yaitu bila kepatuhan terhadap kaidah hukum ada
bukan karena nilai intrinsiknya, melainkan agar keanggotaan kelompok tetap
terjaga serta ada hubungan baik dengan mereka yang diberi wewenang untuk
menerapkan kaidah-kaidah hukum tersebut.
3. Internalisasi (internalization), yaitu bila seseorang mematuhi kaidah-kaidah
hukum karena secara intrinsik kepatuhan tadi mempunyai imbalan. Isinya
sesuai dengan nilai nilainya dari pribadi yang bersangkutan.
Kepatuhan merupakan sikap yang aktif yang didasarkan atas motivasi setelah
ia memperoleh pengetahuan. Dari mengetahui sesuatu, manusia sadar, setelah
menyadari ia akan tergerak untuk menentukan sikap atau bertindak. Oleh
karena itu, dasar kepatuhan itu adalah pendidikan, kebiasaan, kemanfaatan,
dan identifikasi kelompok. Karena pendidikan, kebiasaan, kesadaran akan
manfaat, dan identifikasi dirinya dalam kelompok, manusia akan patuh.

4. Kesadaran dan Kepatuhan Hukum Dalam Budaya Hukum Indonesia

Di dalam budaya hukum masyarakat dapat pula dilihat apakah masyarakat kita dalam
kesadaran hukumnya sungguh-sungguh telah menjunjung tinggi hukum sebagai suatu
aturan main dalam hidup bersama dan sebagai dasar dalam menyelesaikan setiap
masalah yang timbul dari resiko hidup bersama. Namun kalau dilihat secara materiil,
sungguh sulit membangun budaya hukum di negeri ini. Sesungguhnya kesadaran
hukum masyarakat saja tidak cukup membangun budaya hukum di negeri ini, karena
kesadaran hukum masyarakat masih bersifat abstrak, belum merupakan bentuk
prilaku yang nyata, sekalipun masyarakat kita baik secara instinktif, maupun secara
rasional sebenarnya sadar akan perlunya kepatuhan dan penghormatan terhadap
hukum yang berlaku. Oleh karenanya sekalipun masyarakat kita sadar terhadap
hukum yang berlaku di negaranya, belum tentu masyarakat kita tersebut patuh pada
hukum tersebut.

Kepatuhan terhadap hukum adalah merupakan hal yang substansial dalam


membangun budaya hukum di negeri ini, dan apakah sebenarnya kepatuhan hukum
itu ?. kepatuhan hukum masyarakat pada hakikatnya adalah kesetiaan masyarakat
atau subyek hukum itu terhadap hukum yang kesetiaan tersebut diwujudkan dalam
bentuk prilaku yang nyata patuh pada hukum.

Secara a contra-rio masyarakat tidak patuh pada hukum karena masyarakat tersebut
dihadapkan pada dua tuntutan kesetiaan dimana antara kesetiaan yang satu
bertentangan dengan kesetiaan lainnya. Misalnya masyarakat tersebut dihadapkan
pada kesetiaan terhadap hukum atau kesetiaan terhadap “kepentingan pribadinya”
yang bertentangan dengan hukum, seperti banyaknya pelanggaran lalu lintas,
korupsi, perbuatan anarkisme, dll. Apalagi masyarakat menjadi berani tidak patuh
pada hukum demi kepentingan pribadi karena hukum tidak mempunyai kewibawaan
lagi, dimana penegak hukum karena kepentingan pribadinya pula tidak lagi menjadi
penegak hukum yang baik.

Sehingga dalam hal ini, kesetiaan terhadap kepentingan pribadi menjadi pangkal tolak
mengapa manusia atau masyarakat kita tidak patuh pada hukum. Jika faktor kesetiaan
tidak dapat diandalkan lagi untuk menjadikan masyarakat patuh pada hukum, maka
negara atau pemerintah mau tidak mau harus membangun dan menjadikan rasa takut
masyarakat sebagai faktor yang membuat masyarakat patuh pada hukum.

Dalam usaha kita meningkatkan dan membina kesadaran hukum dan kepatuhan ada
tiga tindakan pokok yang dapat dilakukan.

1. Tindakan Represif, ini harus bersifat drastis, tegas. Petugas penegak hukum
dalam melaksanakan law enforcement harus lebih tegas dan konsekwen.
Pengawasan terhadap petugas penegak hukum harus lebih ditingkatkan atau
diperketat. Makin kendornya pelaksanaan law enforcement akan
menyebabkan merosotnya kesadaran hukum. Para petugas penegak hukum
tidak boleh membeda-bedakan golongan.
2. Tindakan Preventif, merupakan usaha untuk mencegah terjadinya
pelanggaran-pelanggaran hukum atau merosotnya kesadaran hukum. Dengan
memperberat ancaman hukum terhadap pelanggaran-pelanggaran hukum
tertentu diharapkan dapat dicegah pelanggaran-pelanggaran hukum tertentu.
Demikian pula ketaatan atau kepatuhan hukum para warga Negara perlu
diawasi dengan ketat.
3. Tindakan Persuasif, yaitu mendorong, memacu. Kesadaran hukum erat
kaitannya dengan hukum, sedang hukum adalah produk kebudayaan.
Kebudayaan mencakup suatu sistem tujuan dan nilai-nilai hukum merupakan
pencerminan daripada nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat.
Menanamkan kesadaran hukum berarti menanamkan nilai-nilai kebudayaan.

Jika kita sudah konsisten membangun negara ini menjadi negara hukum, siapapun
harus tunduk kepada hukum. Hukum tidak dapat diberlakukan secara diskriminatif,
tidak memihak kepada siapapun dan apapun, kecuali kepada kebenaran dan keadilan
itu sendiri. Disitulah letak keadilan hukum. Namun jika hukum diberlakukan
diskriminatif, tidak dapat dipercaya lagi sebagai sarana memperjuangkan hak dan
keadilan, maka jangan disalahkan jika masyarakat akan memperjuangkan haknya
melalui hukum rimba atau kekerasan fisik.

Oleh karenanya hukum harus memiliki kewibawaannya dalam menegakkan


supremasi hukum agar masyarakat dapat menghormatinya dalam wujud
kepatuhannya terhadap hukum itu sendiri. Dengan demikian perlunya membangun
budaya hukum merupakan suatu hal yang hakiki dalam negara hukum, dimana
hukum harus dapat merubah masyarakat untuk menjadi lebih baik, lebih teratur, lebih
bisa dipercaya untuk memperjuangkan hak dan keadilan, lebih bisa menciptakan rasa
aman.
DAFTAR PUSTAKA
1. Barda Nawawi Arief, beberapa aspek Pengembagan Ilmu Hukum Pidana, pidato Pengkuhan
guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang 1994. Hal 15
2. Soerjono Soekanto, Kesadaran hukum dan Kepatuhan Hukum, jurnal Vol.7 No. 6 tahun
1977, hal 462
3. http://zriefmaronie.blogspot.com/2014/05/kesadaran-kepatuhan-hukum.html

SOSIOLOGI HUKUM
BUDAYA HUKUM PENGARUH DALAM KEPASTIAN HUKUM

Nama Dosen : M. Husni, SH, M.Hum


NIP : 195802021988031004

Dibuat oleh:
Nama : Annisa Ilmi Chaliza Hasibuan
Nim : 190200014
Grup : A
Universitas Sumatera Utara
Medan
2019

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah yang Maha pengasih lagi Maha Penyayang,
puji dan syukur kami panjatkan kepada-Nya, karena dengan rahmat serta hidayah-
Nya kami dapat menyusun makalah ini dengan maksimal serta mendapat bantuan dari
berbagai pihak sehingga makalah ini dapat terselesaikan pada waktunya.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari bahwa makalah kami ini masih
terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami akan menerima kritik dan saran
dari pembaca dan dari yang terhormat dosen pengampu mata kuliah pengantar ilmu
hukum dengan tangan terbuka, agar kami dapat memperbaiki kekurangan tersebut.
Medan, 27 Desember 2019

Penulis

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Persoalan ketidaktaatan terhadap hukum oleh masyarakat memang
bukan lagi berupa pelanggaran hukum oleh seseorang atau lebih yang
tak berkesadaran hukum, contoh persoalan tentang keyakinan , maka
konflik ini merupakan kinflik budaya dalam suatu masyarakat nasional
dalam pemerintahanya

Anda mungkin juga menyukai