Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH FIKIH

“HUKUM WARIS DALAM ISLAM”

Disusun oleh kelompok 5:


1. Muhammad Ramli Apriadi
2. Muh. Khairul Hafizi
3. Nazwa Martianingsih
4. Ardelia Solehah
5. Nida’an Khopia

MAN 1 LOMBOK TIMUR


TAHUN PELAJARAN 2021/2022
KATA PENGANTAR

Syukur alhamdulillah kami panjatkan kehadirat ALLAH SWT yang telah


memberikan kekuatan dan hidayah-NYA sehingga kami dapat menyelesaikan tugas
makalah fikih tentang hukum waris dalam islam

Makalah ini disusun untuk melengkapi tugas mata pelajaran fikih dan makalah
ini disusun mengacu pada referensi-referensi yang relevan.

Harapan kami makalah yang masih sangat singkat ini dapat membantu teman-
teman dalam memahami tentang “MASALAH HUKUM WARIS DALAM
ISLAM”. Dalam penyusunan makalah ini masih begitu banyak kekurangan,maka
diharapkan kepada para pembaca khususnya bapak/ibu guru untuk memberikan
kritik dan sarannya demi kebaikan penyusunan makalah kami kedepan.

Selong, 5 April 2022

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman Judul ....................................................................................................... i


Kata Pengantar ....................................................................................................... ii
Daftar Isi ................................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................
A. Latar Belakang ........................................................................................... 1
B. Rumusan masalah ......................................................................................... 2

BAB II PERMASALAHAN .................................................................................. 3


A. Pembahasan ................................................................................................ 3
B. Sebab-sebab......................................... ....................................................... 3
C. Dampak-dampak ....................... ................................................................. 4

BAB III................ ................................................................................................... 6

BAB IV KESIMPULAN ....................................................................................... 7


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Permasalahan warisan merupakan sesuatu yang penting bagi kehidupan
kita, tidak hanya untuk diri pribadi melainkan juga untuk keturunan kita
kelak. Meskipun begitu, seringkali warisan ini menimbulkan berbagai
permasalahan. Banyak orang yang mengalami putus persaudaraan karena
sengketa hak warisan. Permasalahan utamanya biasanya karena perbedaan
pendapat mengenai kesetaraan dan keadilan.
Penyelesaian sengketanya ada berbagai cara, dari mulai penyelesaian di
luar pengadilan bahkan sampai ke pengadilan di mana anggota keluarga
menggugat anggota keluarga yang lainnya tidak mengenal agama, jenis
kelamin bahkan orang yang sudah mapan secara ekonomi seolah-olah merasa
penasaran dan wajib mendapatkan harta warisan. Akumulasi kepentingan
ekonomi, adat istiadat, agama, dan pendidikan semakin membuat sengketa
waris menjadi keras, walaupun kepentingan ekonomi tampaknya lebih
dominan daripada yang lainnya.
Permasalahan waris sebenarnya sudah diatur dalam banyak peraturanperaturan. Di
antara peraturan atau hukum, baik agama maupun Negara,
permasalahan waris diatur secara jelas dan rinci bahkan dengan kepastian
akan timbulnya sengketa yang berhubungan dengan waris. Namun hukum
waris yang berlaku di Indonesia sampai saat ini masih belum merupakan
unifikasi hukum. Atas dasar peta hukum waris yang disebabkan seseorang
2
menjadi ahli waris berkaitan dengan hubungan darah atau nasab dan
dikarenakan adanya perkawinan yang masih begitu pluralistik, sehingga
pengaturan masalah kewarisan di Indonesia masih belum ada keseragaman.
Hukum waris yang berlaku di Indonesia saat ini tergantung pada hukumnya
pewaris. Hukum pewaris adalah hukum waris yang berlaku bagi orang yang
meninggal dunia atau atau pewaris termasuk golongan penduduk Indonesia,
maka yang berlaku adalah hukum waris adat, atau bisa menggunakan hukum
waris islam bagi yang beragama islam. Sedangkan apabila pewaris teremasuk
golongan penduduk Eropa atau timur asing cina, bagi mereka berlaku hukum
waris barat.
Konflik tentang waris umumnya berkisar pada dua hal yaitu tentang siapa
yang menjadi ahli waris dan berapa bagian masing-masing ahli waris.
Selebihnya merupakan turunan dari dua hal tersebut. Itulah juga mungkin
masalah waris diatur secara rinci dan jelas dalam berbagai peraturan. Paling
tidak siapapun tidak akan pernah terhindar dari masalah waris dimana
seseorang bisa menjadi pewaris (pemberi waris) dan atau menjadi ahli waris
(penerima waris). Walaupun digolongkan dalam masalah perdata 1 tidak
jarang berkembang menjadi masalah pidana.
Kenyataannya sengketa waris tidak akan pernah berhenti sampai kapanpun
dikarenakan sifat dasar manusia yang cenderung tamak, hanya saja
bagaimana sengketa itu dapat diselesaikan dengan baik tanpa konflik yang
keras apalagi kemudian berujung kepada perpecahan keluarga atau tindak pidana.
Untuk itu maka diperlukan suatu lembaga yang diharapkan bisa
menjawab harapan tadi. Suatu lembaga yang memiliki kekuatan penyelesaian
yang kuat, tidak memihak, memiliki kepastian dan tidak dapat di intervensi
oleh siapapun.
Di Indonesia lembaga yang diharapkan tersebut sudah diatur cukup jelas
dalam berbagai ketentuan yang pada akhirnya memberikan pilihan bagi warga
Negara untuk menyelesaikan masalah waris. Ada dua instrumen penyelesaian
masalah waris yaitu penyelesaian di luar pengadilan dan penyelesaian di
dalam pengadilan. Masing-masing lembaga mempunyai sifat yang tidak
sama. Ada lembaga yang tidak mempunyai kekuatan memaksa dan ada
lembaga yang memiliki kekuatan yang memaksa. Lembaga pertama disebut
lembaga non pengadilan dan lembaga kedua disebut lembaga pengadilan.
Masalah waris terkait dengan hak-hak kewarisan yaitu siapa yang menjadi
ahli waris dan berapa bagian ahli waris. Secara logis, penyelesaian masalah
sulit diharapkan jika diserahkan kepada ahli waris karena masing-masing ahli
waris mempunyai kepentingan di dalamnya. Secara praktis, masalah waris
merupakan pintu masuk ke permasalahan lain.
Penyelesaian masalah waris secara materiil dan formil menjadi suatu
kebutuhan. Secara materiil, bagaimana ahli waris dan bagian-bagiannya
menjadi terang dan jelas sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Secara
formil, dapat dijadikan dasar untuk dilakukannya pelaksanaan waris termasuk
peralihan harta peninggalanUpaya memenuhi kedua unsur tersebut, Negara sudah
menentukan apa
yang harus dilakukan apabila waris terbuka, kemana ahli waris harus datang
dan output apa yang dihasilkan. Di sini kemudian fungsi hukum yaitu
mengatur menjalankan peranannya.
Walaupun Belanda sudah meninggalkan Indonesia, tidak serta merta
pengaruhnya ikut meninggalkan Indonesia. Lamanya Belanda menjajah
Indonesia sedikit banyaknya sudah mempengaruhi kehidupan hukum yang
merupakan warisan dari Belanda yang diterapkan di Indonesia. Produk
hukum yang sekarang dipakai di Indonesia masih berasal dari zaman
penjajahan walaupun sudah dilakukan penyesuaiannya di sana sini dan
memberi warna terhadap tata hukum di Indonesia.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek),
2
yang
merupakan terjemahan dari kitab Undang-Undang hukum perdata Belanda,
dikenal penggolongan penduduk Hindia Belanda atau dikenal sebagai politik
hukum sebagaimana termuat dalam De Indische Straatsegling (IS) di mana
Belanda membagi penduduk/penghuni (bukan warga Negara)3 menjadi tiga
golongan yaitu golongan Eropa (Pasal 163 ayat 2 IS), golongan pribumi
(Pasal 163 ayat 3 IS) dan golongan Timur Asing (Pasal 163 ayat 4 IS) yang
masing-masing golongan diterapkan aturan yang berbeda-beda. Sekarang,
setelah Indonesia merdeka, penggolongan tersebut masih berlaku dan tidak
dihilangkan. Di tingkat pelaksanaannya sering menimbulkan komplikasi
sehingga menjadi masalah tersendiri. yang membutuhkan alat bukti tertulis apalagi
jika
ternyata menjadi sengketa. Upaya memenuhi kedua unsur tersebut, Negara sudah
menentukan apa
yang harus dilakukan apabila waris terbuka, kemana ahli waris harus datang
dan output apa yang dihasilkan. Di sini kemudian fungsi hukum yaitu
mengatur menjalankan peranannya.
Walaupun Belanda sudah meninggalkan Indonesia, tidak serta merta
pengaruhnya ikut meninggalkan Indonesia. Lamanya Belanda menjajah
Indonesia sedikit banyaknya sudah mempengaruhi kehidupan hukum yang
merupakan warisan dari Belanda yang diterapkan di Indonesia. Produk
hukum yang sekarang dipakai di Indonesia masih berasal dari zaman
penjajahan walaupun sudah dilakukan penyesuaiannya di sana sini dan
memberi warna terhadap tata hukum di Indonesia.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek),
2
yang
merupakan terjemahan dari kitab Undang-Undang hukum perdata Belanda,
dikenal penggolongan penduduk Hindia Belanda atau dikenal sebagai politik
hukum sebagaimana termuat dalam De Indische Straatsegling (IS) di mana
Belanda membagi penduduk/penghuni (bukan warga Negara)3 menjadi tiga
golongan yaitu golongan Eropa (Pasal 163 ayat 2 IS), golongan pribumi
(Pasal 163 ayat 3 IS) dan golongan Timur Asing (Pasal 163 ayat 4 IS) yang
masing-masing golongan diterapkan aturan yang berbeda-beda. Sekarang,
setelah Indonesia merdeka, penggolongan tersebut masih berlaku dan tidak
dihilangkan. Di tingkat pelaksanaannya sering menimbulkan komplikasi
sehingga menjadi masalah tersendiri.
Sebagian kecil masyarakat yang paham apa yang harus dilakukan ketika
suatu waris sudah terbuka, apalagi jika almarhum meninggalkan harta
warisan yang banyak untuk dibagikan. Masyarakat lebih banyak membiarkan
warisan mengendap untuk jangka waktu yang sangat lama. Disatu sisi bahwa
membicarakan apalagi mengekspos masalah waris yang notabene merupakan
masalah pribadi menjadi sensitif dan tabu bagi masyarakat Indonesia.
Salah satu masalah waris yang ada di Jepara yaitu sesuai dengan hasil
keterangan hak waris, yang telah ditandatangani oleh seorang Notaris yang
ada di Kabupaten Jepara. Di mana telah menerangkan berdasarkan keterangan
yang diberikan oleh yang berkepentingan serta telah menanyakan kepada
Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum bagian Pusat Daftar wasiat
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia bahwa pada tanggal tersebut
yang ada di tempat tersebut sebagaimana ternyata dari kutipan Akta Kematian
yang dikeluarkan oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan sipil Kabupaten
Jepara, pada tanggal dan nomor yang telah ditetapkan, menerangkan bahwa
Tuan A (selanjutnya disebut pewaris) telah meninggal dunia di tempat
tinggalnya, bahwa pewaris telah menikah secara sah untuk pertama kalinya
dan terakhir dengan Nyonya B pada tanggal tertera dalam keterangan waris
tersebut, dan dalam pernikahan itu tanpa membuat surat perjanjian nikah,
sehingga menurut hukum antara pewaris dan Nyonya B telah terjadi
percampuran harta lengkap.
Tuan A tersebut telah meninggal dunia sebagaimana ternyata dalam
kutipan akta kematian pada tanggal dan nomor tertera, bahwa pewari

B Rumusan Masalah
1. Permasalah ahli waris
2. Ashabah
3. Hijab
4. Tata cara pembagian ahli waris
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ashabah
Ashabah adalah orang-orang yang mendapatkan sisa harta dari peninggalan simayit
setelah ashabul furud bagian-bagian yang telah ditentukan bagi mereka dan
pembagiannya tidak ditetapkan dalam salah satu dari enam macam pembagian harta
warisan yang telah ditetapkan oleh Al-Quran. Singkatnya, yang dimaksud dengan
ashabah adalah keluarga laki-laki yang dekat dari pihak ayah. Apabila tidak ada sisa
harta dalam setelah ashabul furudh menerima bagiannya maka ashabah tidak
mendapatkan apa-apa.
Ahli waris ashabah ini harus menunggu sisa pembagian dari ahli waris yang telah
ditentukan bagiannya, dan keistimewaaan ashabah ini ia dapat menghabiskan
seluruh sisa harta simayit, apabila ahli waris yang ditentukan bagiannya sudah
mengambil apa yang menjadi hak-nya.[1]
Adapun bagian yang akan diperoleh oleh ahli waris ashobah dapat terjadi sebagai
berikut:
1. Mendapat seluruh harta warisan si mayit, dengan syarat si mayit hanya
meninggalkan ahli waris dia sendiri.
2. Berbagi sama di antara para ashobah, apabila si mayit meninggalkan beberapa
ashobah yang sederajat.
3. Mendapat seluruh sisa lebih dari ahli waris, apabila si mayit meninggalkan
ahli waris yang menurut ketentuan hukum mendapat bagian tertentu.
4. Mendapat dua bagian yang laki-laki dan yang perempuan mendapat satu
bagian apabila di dalamnya ada perempuan yang sederajat.
5. Apabila harta warisan sudah terbagi habis oleh ahli waris yang telah tertentu
bagian, maka ashobah tidak mendapat bagian sama sekali.
Berdasarkan penjabaran di atas, dapat disimpulkan bahwa ahli waris ashabah
menerima harta warisan di antara dua, yaitu menerima seluruh harta warisan atau
menerima sisa harta setelah dibagikan kepada ahli waris ashabul furudh.
Dalil Al-Quran yang menyatakan bahwa para ashabah mendapatkan harta waris
adalah surah An-nisa’ ayat 176:
‫ان فَلَهُ َما ْاثنَتَ ْي ِن كَانَتَا فَِإن ۚ َولَ ٌد‬
ِ َ‫ك ِم َّما الثُّلُث‬
َ ‫ك ۚ تَ َر‬ َ َ‫ْس هَلَكَ ْم ُرٌؤ ا ِإ ِن ۚ ْالكَاَل لَ ِة فِي يُ ْفتِي ُك ْم هَّللا ُ قُ ِل يَ ْستَ ْفتُون‬ ٌ ‫نِصْ فُ فَلَهَا ُأ ْخ‬
َ ‫ت َولَهُ َولَ ٌد لَهُ لَي‬
‫َر ا َونِ َسا ًء رِّ َجاِإًل ْخ َوةً كَانُوا وَِإن‬ َّ ِ‫ضلُّوا َأن لَ ُك ْم هَّللا ُ يُبَيِّنُ ۗ اُأْلنثَيَ ْي ِن َحظِّ ِم ْث ُل فَل‬
ِ ‫لذك‬ ِ َ‫لَّهَا يَ ُكن لَّ ْم ِإن يَ ِرثُهَا َوهُ َو ۚ تَرَكَ َما َوهَّللا ُ ۗت‬
‫َي ٍء بِ ُك ِّل‬
ْ ‫َعلِي ٌم ش‬
Artinya:
“Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi
fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak
mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang
perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-
laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak;
tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari
harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri
dari) saudara-saudara laki dan perempuan, maka bahagian seorang saudara laki-laki
sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini)
kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.
Pada surah An-nisa’ ayat 176 di atas tidak disebutkan bagian saudara
kandung. Namun, yang disebutkan justru saudara kandung akan menguasai
(mendapatkan bagian) seluruh harta peninggalan yang ada bila ternyata pewaris
tidak mempunyai keturunan.[2] . Susunan Ahli Waris Ashabah
Ahli waris yang masuk golongan ashabah ada 14 (empat belas) golongan, yaitu:[3]
1. Anak laki-laki.
2. Anak laki-laki dari anak laki-laki (cucu laki-laki) terus ke bawah.
3. Ayah.
4. Datuk laki-laki terus ke atas.
5. Saudara laki-laki kandung.
6. Saudara laki-laki se-ayah.
7. Anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung.
8. Anak laki-laki dari saudara laki-laki se-ayah.
9. Paman kandung.
10. Paman se-ayah.
11. Anak laki-laki dari paman laki-laki kandung.
12. Anak laki-laki dari paman laki-laki se-ayah.
13. Laki-laki yang memerdekakan.
14. Perempuan yang memerdekakan.
C. Pembagian Ahli Waris Ashabah
1. Ashabah Nasabiyah
Ashabah nasabiyah adalah ashabah yang disebabkan karena adanya
hubungan darah dengan sipewaris. Ashabah nasabiyah terbagi kepada tiga yaitu:
a. Ashabah bi nafsih
ü Pengertian
Ashabah bi nafsih, yaitu orang yang menjadi ashabah disebabkan oleh
dirinya sendiri, maksdunya adalah ashabah yang menjadi ashabah disebabkan
karena kedudukannya. Ashabah bi nafsih merupakan semua laki-laki yang nasabnya
dengan orang yang meninggal tidak diselingi oleh perempuan.[5]
ü Golongan dan cara pewarisannya
Ashabah bi nafsih dibagi ke dalam empat golongan, yaitu:
· Bunuwwah (keanakan) dan disebut dengan juz-ul mayyit, meliputi: anak laki-
laki dan anak laki-laki dari anak laki-laki (cucu laki-laki) dan seterusnya sampai ke
bawah.
· Ubuwwah (keayahan) dan disebut dengan ashlul mayyit, jika tidak
didapatkan jihat bunuwwah[6], maka peninggalan berpindah ke jihat ubuwwah[7]
yang meliputi ayah dan kakek shahih dan seterusnya sampai ke atas.
· Ukhuwwah (kesaudaraan) dan disebut dengan juz-‘ubabiih, bila tidak ada
jihat ubuwwah, maka peniggalan atau sisanya itu berpindah ke ukhuwwah.
Ukhuwwah ini meliputi 1) saudara laki-laki kandung, 2) saudara laki-laki se-ayah,
3) anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung, 4) anak laki-laki dari saudara laki-
laki se-ayah dan seterusnya sampai ke bawah.
b. Ashabah bi ghairih
ü Pengertian
Ashabah bi ghairih adalah perempuan yang bagiannya ½ (setengah) dalam keadaan
sendirian dan 2/3 (dua pertiga) bila bersama dengan seorang saudara perempuannya
atau lebih. Ahli waris perempuan dalam ashabah bi ghairih ini yakni: anak
perempuan, cucu perempuan, saudara perempuan kandung dan saudara perempuan
se-ayah.[8]
ü Golongan dan cara mewarisi
Adapun keadaan yang menjadikan ahli waris ashabah bi ghairih apabila:
· Anak perempuan seorang atau lebih atau bersama-sama menjadi ahli waris
(ashabah bi ghairih) dengan seorang anak laki-laki atau lebih.
· Cucu perempuan dari anak laki-laki bersama-sama menjadi ahli waris
(ashabah bi ghairih) dengan cucu laki-laki.
· Dengan adanya saudara laki-laki kandung maka saudara perempuan kandung
menjadi ashabah bi ghairih.
· Saudara perempuan se-ayah menjadi ashabah bi ghairih karena anak laki-laki
se-ayah.
Pembagian antara laki-laki dan perempuan dalam ashabah bi ghairih adalah tetap
2:1 (dua banding satu); 2 (dua) untuk laki-laki dan 1 (satu) untuk perempuan.
Meskipun dalam ashabah bi ghairih terdapat persamaan kedudukan antara ahli
waris laki-laki dan ahli perempuan perempuan dalam ashabah (ashabah bi ghairih),
namun dalam hal pembagian, tetpa menggunakan perbandingan 2:1 (dua
berbanding satu).
Dasar hukum mengenai pembagian ahli waris laki-laki yang mendapatkan dua
bagian dan ahli waris perempuan mendapat satu bagian, sehingga dua berbanding
satu, yaitu Surah An-nisa’ ayat 11:
ِ ‫َر ۖ َأوْ اَل ِد ُك ْم فِي هَّللا ُ يُو‬
ۚ ‫صي ُك ُم‬ َّ ِ‫اُأْلنثَيَي ِْن َحظِّ ِم ْث ُل ل‬
ِ ‫لذك‬
Artinya:
“Allah mewajibakan kepada kamu tentang anak-anak kamu, bahwa bagian anak
laki-laki mendapat dua bagian anak perempuan”. (QS. An-nisa’: 11)
c. Ashabah ma’a ghairih
ü Pengertian
Ashabah ma’a ghairih adalah setiap perempuan yang memerlukan perempuan lain
untuk menjadi ashabah. Yang menjadi ashabah ma’al ghairih ini adalah saudara
perempuan kandung, karena mewaris bersama dengan anak perempuan, cucu
perempuan, cicit perempuan dan seterusnya sampai ke bawah.[9]
ü Golongan dan cara mewaris
Golongan ashabah ma’a ghairih, menurut Dr. A. Hamid Sarong hanya terbagi
kepada dua bagian, yaitu:
- Saudara perempuan kandung atau saudara-saudara perempuan kandung
bersama dengan anak perempuan atau anak perempuan dari anak laki-laki.
- Saudara perempuan se-ayah atau saudara-saudara perempuan se-ayah
bersama dengan anak perempuan atau anak perempuan dari anak laki-laki.
Namun, menurut Drs. Sudarsono, S.H.,M.Si. ahli waris yang termasuk golongan
ashabah ma’a ghairih ada enam, yaitu:
- Saudara perempuan kandung seorang atau lebih bersama dengan seorang
anak perempuan atau lebih.
- Saudara perempuan se-ayah seorang atau lebih bersama dengan seorang anak
perempuan atau lebih.
- Saudara perempuan se-ayah seorang atau lebih bersama dengan seorang atau
beberapa orang cucu perempuan dari anak laki-laki.
- Saudara perempuan kandung seorang atau lebih bersama seorang anak
perempuan dan seorang cucu perempuan.
- Saudara perempuan se-ayah seorang atau lebih bersama dengan anak
perempuan dan cucu perempuan dari anak laki-laki.
ü Contoh
Seseorang meninggal dunia dan meninggalkan anak perempuan, saudara perempuan
dan saudara laki-laki se-ayah, maka pembagiannya adalah sebagai berikut:

A. DEFINISI HIJAB
Hijab menurut bahasa adalah tutup atau mencegah. Sedangkan menurut istilah
ulama ahli faraidl (ilmu waris) hijab berarti tidak bisanya seseorang mendapat
warisan yang sebenarnya bisa mendapatkan dikarenakan adanya ahli waris yang
lebih dekat dengan si mayit. Dengan pengertian di atas maka dapat dipahami
bahwa dalam bab hijab ini tercegahnya seseorang dari mendapatkan warisan bukan
karena adanya sebab-sebab yang menghalanginya mendapat warisan sebagaimana
disebutkan pada bab Penghalang Warisan, namun dikarenakan adanya ahli waris
yang lebih dekat posisinya dengan si mayit. Jadi sesungguhnya ahli waris yang
terhalang (mahjub) ini memiliki hak untuk mendapatkan harta waris si mayit, hanya
saja karena ada ahli waris yang lebih dekat ke mayit dari pada dirinya maka ia
terhalang haknya untuk mendapatkan warisan tersebut. Bila orang yang terhalang
ini disebut dengan “mahjub” maka ahli waris yang menghalangi disebut dengan
“hajib”.
Hijab ini dibagi menjadi 2 (dua) macam yakni:
1.Hijab hirmân
dimana orang yang mahjub benar-benar tidak bisa mendapatkan harta waris secara
keseluruhan. Misalnya seorang cucu laki-laki sama sekali tidak bisa mendapatkan
harta waris bila ia bersamaan dengan anak laki-lakinya si mayit. Kedua, hijab
nuqshân dimana seorang ahli waris terhalang untuk mendapatkan bagian warisnya
secara penuh. Seperti seorang suami yang tidak bisa mendapatkan bagian ½ dan
hanya bisa mendapatkan ¼ saja bila ia bersamaan dengan anak atau cucunya si
mayit.
Dari semua ahli waris yang ada hanya 6 (enam) ahli waris yang tidak bisa mahjub
dengan hijab hirmân. Keenam ahli waris itu adalah bapak, ibu, anak laki-laki, anak
perempuan, suami, dan istri. Sedangkan ahli waris selain keenam tersebut dapat
menjadi mahjub secara mutlak. Mereka adalah sebagaimana yang disebutkan oleh
Imam Muhammad bin Ali Ar-Rahabi dalam bait nadham di atas, yakni:
1. Kakek menjadi mahjub apabila bersamaan dengan bapak si mayit.
2. Nenek menjadi mahjub apabila bersamaan dengan ibu si mayit.
3. Cucu laki-laki dari anak lakilaki menjadi mahjub bila bersamaan dengan
anak laki-laki si mayit.
4. Semua saudaranya si mayit baik laki-laki maupun perempuan, baik
sekandung, sebapak, ataupun seibu menjadi mahjub apabila bersamaan dengan anak
laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki, atau bapak si mayit.
5. Waladul umm atau saudara seibu baik laki-laki ataupun perempuan, selain
menjadi mahjub bila bersamaan dengan ketiga ahli waris pada nomor 4 di atas juga
menjadi mahjub apabila bersamaan dengan kakek, anak perempuan, atau cucu
perempuan dari anak laki-laki.
6. Cucu perempuan dari anak laki-laki apabila bersamaan dengan anak
peremupan si mayit lebih dari satu maka menjadi mahjub.
Namun demikian bila ada mu’ashshib-nya (ahli waris yang mengashabahkannya)
maka ia tidak jadi mahjub, namun menjadi mendapatkan bagian ashabah bil ghair.
Adapun mu’ashshib-nya adalah cucu laki-laki dari anak laki-laki si mayit.
7. Saudara perempuan sebapak menjadi mahjub apabila bersamaan dengan
saudara perempuan sekandung si mayit lebih dari satu.

Namun demikian bila ada mu’ashshib-nya, yakni saudara laki-laki sebapaknya si


mayit, maka tidak mahjub namun mendapat bagian ashabah bil ghair.
Pada nadham terakhir dalam Bab Hijab ini Imam Ar-Rahabi memberikan catatan
bahwa anak laki-laki dari saudara laki-lakinya si mayit tidak bisa menjadi
mu’ashshib (mengashabahkan) perempuan siapapun baik yang setingkat derajatnya
maupun yang lebih tinggi darinya.

2.Hijab Nuqshân

Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa selain hijab hirmân juga ada hijab
nuqshân di mana seorang ahli waris tidak bisa mendapatkan hak warisnya secara
penuh dikarenakan adanya ahli waris lain.

Dr. Musthafa Al-Khin dalam al-Fiqhul Manhajî-nya menyatakan bahwa hijab


nuqshân ini dapat mengenai semua ahli waris yang ada. Seorang suami yang
semestinya bisa mendapatkan bagian setengah menjadi terhalang mendapatkannya
ketika ia bersamaan dengan anak atau cucunya si mayit, sehingga ia hanya bisa
mendapatkan seerempat saja. Seorang istri yang semestinya mendapatkan hak waris
sebesar seperempat, berkurang menjadi seperdelapan manakala ia bersamaan
dengan anak atau cucunya si mayit. Seorang ibu menjadi terhalang untuk
mendapatkan bagian sepertiga ketika ia bersamaan dengan anak atau beberapa
saudaranya si mayit, maka ia hanya mendapatkan 1/6 saja.

Sementara seorang cucu perempuan dari anak laki-laki terhalang mendapatkan


bagian setengah ketika ia bersamaan dengan anak perempuannya, maka ia hanya
mendapat seperenam. Seorang saudara perempuan sebapak yang semestinya bisa
mendapatkan bagian setengah menjadi hanya mendapatkan seperenam manakala ia
berbarengan dengan saudara perempuan sekandung.

Sedangkan seorang anak laki-laki menjadi berkurang bagian warisnya manakala ia


bersamaan dengan anak laki-laki lainnya. Demikian pula dengan ahli waris lainnya.

• Terhalang Mendapat Warisan karena Sifat

Sebagaimana pernah di jelaskan sebelumnya bahwa ada orang-orang tertentu yang


semestinya menjadi ahli waris dan berhak mendapatkan warisan namun oleh
syari’at ia dicegah untuk mendapatkannya karena adanya sifat-sifat tertentu pada
diri orang tersebut. Mereka yang termasuk dalam kategori ini adalah orang yang
membunuh si mayit, orang kafir, dan budak. Seorang anak yang membunuh orang
tuanya ia tak berhak mendapatkan harta warisan yang ditinggalkan oleh orang tua
yang dibunuhnya itu. Sementara ahli waris yang tidak beragama Islam karena
kekafirannya itu ia tidak bisa mendapatkan warisan dari si mayit yang beragama
Islam meskipun sesungguhnya ia termasuk salah satu ahli warisnya. Adapun
seorang budak karena status budaknya itu tidak bisa mendapatkan warisan dari harta
yang ditinggalkan tuannya.

Dr. Musthafa Al-Khin dalam al-Fiqhul Manhaji (Damaskus, Darul Qalam, 1992, juz
V, halaman 112) mengingatkan satu hal yang mesti digaris bawahi, bahwa ketiga
orang tersebut yang tercegah mendapat warisan karena sifat keberadaannya tidak
dapat menghalangi ahli waris lain untuk mendapatkan warisan, baik secara hirmân
maupun nuqshân. Sebagai contoh, seorang anak laki-laki yang membunuh ayahnya
dan ahli waris yang ada saat itu adalah seorang istri dan anak laki-laki yang
membunuh tersebut, maka sang istri tetap mendapatkan bagian seperempat
meskipun ada anak laki-laki si mayit. Ini dikarenakan ada atau tidaknya sang anak
yang membunuh dianggap sama saja, tidak berpengaruh apapun pada ahli waris
yang lain.

TATA CARA PEMBAGIAN HARTA WARIS


Pembagian Harta Waris dalam Islam merupakan harta yang diberikan dari orang
yang telah meninggal kepada orang-orang terdekatnya seperti keluarga dan kerabat-
kerabatnya. Pembagian harta waris dalam Islam diatur dalam Al-Qur an, yaitu pada
An Nisa yang menyebutkan bahwa Pembagian harta waris dalam islam telah
ditetukan ada 6 tipe persentase pembagian harta waris, ada pihak yang mendapatkan
setengah (1/2), seperempat (1/4), seperdelapan (1/8), dua per tiga (2/3), sepertiga
(1/3), dan seperenam (1/6).
Selain itu, merujuk pada beberapa ketentuan dalam Ilmu Fiqih yang lebih spesifik
terkait dengan pembagian waris antara lain adalah:

Asal Masalah
Asal Masalah adalah: ‫أقل عدد يصح منه فرضها أو فروضها‬
Artinya: “Bilangan terkecil yang darinya bisa didapatkan bagian secara benar.”
(Musthafa Al-Khin, al-Fiqhul Manhaji, Damaskus, Darul Qalam, 2013, jilid II,
halaman 339). Adapun yang dikatakan “didapatkannya bagian secara benar” atau
dalam ilmu faraidl disebut Tashhîhul Masalah adalah:
‫أقل عدد يتأتى منه نصيب كل واحد من الورثة صحيحا من غير كسر‬
Artinya: “Bilangan terkecil yang darinya bisa didapatkan bagian masing-masing
ahli waris secara benar tanpa adanya pecahan.” (Musthafa Al-Khin, 2013:339)
Ketentuan Asal Masalah bisa disamakan dengan masing-masing bagian pasti ahli
waris yang ada.
Adadur Ru’ûs (‫)عدد الرؤوس‬
Secara bahasa ‘Adadur Ru’ûs berarti bilangan kepala.
Asal Masalah sebagaimana dijelaskan di atas ditetapkan dan digunakan apabila ahli
warisnya terdiri dari ahli waris yang memiliki bagian pasti atau dzawil furûdl.
Sedangkan apabila para ahli waris terdiri dari kaum laki-laki yang kesemuanya
menjadi ashabah maka Asal Masalah-nya dibentuk melalui jumlah kepala/orang
yang menerima warisan.
Siham (‫)سهام‬
Siham adalah nilai yang dihasilkan dari perkalian antara Asal Masalah dan bagian
pasti seorang ahli waris dzawil furûdl.
Majmu’ Siham (‫)مجموع السهام‬
Majmu’ Siham adalah jumlah keseluruhan siham dalam menghitung pembagian
warisan:
Penentuan ahli waris yang ada dan berhak menerima warisan
Penentuan bagian masing-masing ahli waris, contoh istri ¼, Ibu 1/6, anak laki-laki
sisa (ashabah) dan seterusnya.
Penentuan Asal Masalah, contoh dari penyebut 4 dan 6 Asal Masalahnya 24
Penentuan Siham masing-masing ahli waris, contoh istri 24 x ¼ = 6 dan seterusnya
Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam hukum kewarisan dijelaskan sebagai
hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan
(tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan
berapa bagiannya masing-masing.

Pewaris adalah orang yang pada saat meninggal berdasarkan putusan Pengadilan
beragama Islam, meninggalkan ahli awaris dan harta peninggalan.Ahli waris adalah
orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan
perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum
unutk menjadi ahli waris.

Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa
harta benda yang menjadi hak miliknya maupun hak-haknya.Harta warisan adalah
harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk
keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah,
pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.

Namun demikian, selain memperoleh hak waris, ahli waris juga memiliki kewajiban
menurut ketentuan pasal 175 KHI yakni untuk mengurus dan menyelesaikan sampai
pemakaman jenazah selesai. Menyelesaikan baik hutang-hutang berupa pengobatan,
perawatan termasuk kewajiban pewaris maupun menagih piutang.Menyelesaiakan
wasiat pewaris. Membagi harta warisan diantara ahli waris yang berhak.

Para ahli waris baik secara bersama-sama atau perseorangan dapat mengajukan
permintaan kepada ahli waris yang tidak menyetujui permintaan itu, maka yang
bersangkutan dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan Agama untuk
dilakukan pembagian harta warisan (pasal 188 KHI) dengan ketentuan sebagaiman
berikut ini :
• Bila pewaris tidak meninggalkan ahli waris sama sekali, atau ahli warisnya tidak
diketahui ada atau tidaknya, maka harta tersebut atas putusan Pengadilan Agama
diserahkan penguasaannya kepada Baitul Maal untuk kepentingan agama Islam dan
kesejahteraan umum (Pasal 191 KHI).
• Bagi pewaris yang beristeri dari seorang, maka masing-masing isteri berhak
mendapat bagian dagi gono-gini dari rumah tangga dengan suaminya sedangkan
keseluruhan bagian pewaris adalah menjadi hak milik para ahli warisnya (Pasal 190
KHI).
• Duda mendapat separuh bagian, bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan bila
pewaris meninggalkan anak, maka duda mendapat seperempat bagian (Pasal 179
KHI).
• Janda mendapat seperempat bagian, bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan
apabila pewaris meninggalkan anak, maka janda mendapat seperempat bagian
(Pasal 180 KHI).

Masalah waris mewaris dikalangan ummat Islam di Indonesia, secara jelas diatur
dalam pasal 49 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, bahwa Pengadilan Agama
berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara kewarisan.

Sedangkan menurut hukum Islam hak waris itu diberikan baik kepada keluarga
wanita (anak-anak perempuan, cucu-cucu perempuan, ibu dan nenek pihak
perempuan, saudara perempuan sebapak seibu, sebapak atau seibu saja). Para ahli
waris berjumlah 25 orang, yang terdiri dari 15 orang dari pihak laki-laki dan 10 dari
pihak perempuan. Ahli waris dari pihak laki-laki ialah:

Anak laki-laki (al ibn).


Cucu laki-laki, yaitu anak laki-laki dan seterusnya kebawah (ibnul ibn) .
Bapak (al ab).
Datuk, yaitu bapak dari bapak (al jad).
Saudara laki-laki seibu sebapak (al akh as syqiq).
Saudara laki-laki sebapak (al akh liab).
Saudara laki-laki seibu (al akh lium).
Keponakan laki-laki seibu sebapak (ibnul akh as syaqiq).
Keponakan laki-laki sebapak (ibnul akh liab).
Paman seibu sebapak.
Paman sebapak (al ammu liab).
Sepupu laki-laki seibu sebapak (ibnul ammy as syaqiq).
Sepupu laki-laki sebapak (ibnul ammy liab).
Suami (az zauj).
Laki-laki yang memerdekakan, maksudnya adalah orang yang memerdekakan
seorang hamba apabila sihamba tidak mempunyai ahli waris.
Sedangkan ahli waris dari pihak perempuan adalah:
Anak perempuan (al bint).
Cucu perempuan (bintul ibn).
Ibu (al um).
Nenek, yaitu ibunya ibu ( al jaddatun).
Nenek dari pihak bapak (al jaddah minal ab).
Saudara perempuan seibu sebapak (al ukhtus syaqiq).
Saudara perempuan sebapak (al ukhtu liab).
Saudara perempuan seibu (al ukhtu lium).
Isteri (az zaujah).
Perempuan yang memerdekakan (al mu’tiqah).
Sedangkan bagian masing-masing ahli waris adalah isteri mendapat ¼ bagian
apabila sipewaris mati tidak meninggalkan anak atau cucu, dan mendapat bagian
1/8 apabila si pewaris mempunyai anak atau cucu, dan isteri berhak mendapatkan
juga bagian warisnya.
Dengan demikian maka dalam Islam, pembagian waris bukan melalui pembagian
merata kepada ahli waris, akan tetapi dengan pembagian yang proporsional seperti
penjelasan diatas

Anda mungkin juga menyukai