Anda di halaman 1dari 26

OM SWASTIASTU

KELOMPOK 3

WAKAF DALAM HUKUM ISLAM


PENDAHULUAN

Wakaf adalah Al-habs, pengertian mengenai bahasa yang berasal dari kata
kerja habasa-yahbisu-habsan, adalah menjauhkan orang dari sesuatu atau
memenjarakan yang kemudian berkembang menjadi habbasa yang berarti
mewakafkan harta karena Allah.
Kata wakaf berasal dari kata kerja waqata (fil madi)-yaqifu (fil mudari)-
waqdan (isim masdar), yang berarti berhenti atau berdiri, sedangkan wakaf
menurut istilah syara adalah menahan harta yang mungkin diambil manfaatnya
tanpa digunakan untuk kebaikan.
Dalam Pasal 215 Ayat 1 Kompilasi Hukum Islam, wakaf adalah perbuatan
hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan
sebagian diri benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna
kepentingan ibadah atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.
Sedangkan dalam UU No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf, wakaf ialah perbuatan
hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda
miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai
dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum.
Wakaf tidak hanya berfungsi ubudiyah (tata hubungan yang mengatur
antara manusia dengan Tuhannya dalam hal ibadah) tapi juga berfungsi sosial. Ia
adalah sebagai salah satu pernyataan iman yang mantap dan rasa solidaritas yang
tinggi antara sesama manusia. Oleh karena itu, wakaf adalah salah satu usaha
mewujudkan dan memelihara hablumminallah (hubungan seorang muslim
dengan Tuhan/Allah SWT) dan hablumminannas (hubungan seorang muslim
dengan sesama manusia). Dalam fungsinya sebagai ibadah ia diharapkan akan
menjadi bekal bagi kehidupan si wakif (orang yang berwakaf) di kemudian hari.
Rasulullah Saw bersabda, yang artinya: Apabila manusia wafat, terputuslah amal
perbuatannya, kecuali dari tiga hal, yaitu shadaqah jariyah, atau ilmu
pengetahuan yang dimanfaatkan, atau anak yang saleh. Para ulama
menafsirkan sabda Rasulullah Saw: shadaqah jariyah yang diamksud adalah
wakaf.

Berdasarkan uraian diatas, dapat dikatakan bahwa wakaf ialah


perbuatan hukum yang suci dan mulia, sebagai shadaqah jariyah yang pahalanya
akan terus mengalir selama harta wakaf masih dapat dimanfaatkan, walaupun
pemberi wakaf telah meninggal dunia. Dalam paper ini kami akan membahas
lebih dalam mengenai wakaf terkhusus dari segi hukum Islam.
RUMUSAN MASALAH

1. Persyaratan apa saja yang harus dipenuhi agar


wakaf sah dalam hukum Islam (keabsahan
wakaf)?
2. Dapatkah seluruh harta kekayaan seseorang
diwakafkan dalam kaitannya
mengesampingkan hak dari ahli waris?
3. Apa permasalahan yang sering terjadi terkait
dengan wakaf?
PEMBAHASAN

A. PERSYARATAN DARI KEABSAHAN WAKAF

Keabsahan wakaf berkaitan dengan rukun wakaf yang menentukan syarat


dari wakaf itu sendiri. Dalam terminology fikih, rukun adalah sesuatu yang dianggap
menentukan suatu disiplin tertentu dengan perkataan lain rukun adalah
penyempurnaan sesuatu dimana ia merupakan bagian dari sesuatu itu. Oleh karena
itu, sempurna atau tidak sempurna wakaf telah dipengaruhi oleh unsur-unsur yang ada
dalam perbuatan wakaf itu sendiri.
Adapun rukun wakaf dijelaskan ada empat dalam kitab Raudhatuth Thalibin
oleh Al-Imam an-Nawawi Rahimahullah, yaitu:
1. Al-waqif (orang yang mewakafkan),
2. Al-mauquf (harta yang diwakafkan),
3. Al-mauquf alaih (pihak yang dituju/orang yang diserahi wakaf), dan
4. Shighah (lafadz dari yang mewakafkan/akad wakaf).
1. Syarat Orang Yang Wakaf (Wakif)

Orang yang wakaf, hendaknya merdeka, pemilik barang yang diwakafkan ,


berakal, baligh dan cerdas (mengerti dan tanggap). Dalilnya, tidak dicatat tiga
keadaan; orang yang tidur sehingga dia bangun, anak kecil sehingga dia baligh dan
orang gila sehingga dia sadar. [HR. Bukhari]. Hadits ini menunjukkan, bahwa
kesanggupan merupakan syarat seseorang dalam mengerjakan ibadah.
Pewakaf hendaknya tidak memberi syarat yang haram atau memadharatkan.
Ibn Taimiyah berkata: Mengingat syarat orang yang wakaf terbagi menjadi dua;
pewakaf yang sah dan yang batil menurut kesepakatan ulama. Maka, apabila pewakaf
memberikan syarat yang haram, maka syaratnya batil. Demikian berdasarkan sabda
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, Tidak boleh taat kepada mahluk yang
mengajak maksiat kepada Allah. [HR. Imam Ahmad].
2. Syarat Benda/Harta Wakaf

Ulama bersepakat, bahwa benda yang diwakafkan disyaratkan


sebagai berikut: benda yang diwakafkan kelihatan, tetap utuh sekalipun
diambil manfaatnya, dan benda tersebut merupakan milik orang yang
wakaf. Imam SyafiI berkata: Benda wakaf tidak tidak diperbolehkan,
melainkan bila bendanya tetap utuh, tidak berkurang karena diambil
manfaatnya. Oleh karenanya, tidk boleh mewakafkan makanan, karena
akan habis segera.
Adapun persyaratan bendanya harus kekal selama-lamanya
menurut ulama yang mutabar- tidaklah menjadi persyaratan, karena
Rasulullah pernah mewakafkan kendaraannya.
3. Syarat Yang Menerima Wakaf

Orang yang diserahi wakaf hendaknya orang yang mampu memiliki


manfaatnya dan mampu membelanjakannya Tidak boleh wakaf kepada binatang,
karena dia tak berakal. Tidak boleh pula kepada orang yang bodoh. Allah berfirman,
Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya,
harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok
kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah
mereka kata-kata yang baik.[QS. An Nisa : 5].
Ibn Taimiyah berkata : Ayat ini mengandung penjelasan, yaitu orang bodoh
tidak boleh membelanjakan atau mengatur dirinya atau mengatur orang lain, baik
karena diserahi (sebagai wakil) atau mengatur; karena membelanjakan harta yang
tidak bermanfaat bagi agama dan duniawinya termasuk kebodohanyang paling besar,
sehingga dilarang oleh Allah .
Lanjutan..

Selanjutnya tidak boleh wakaf, melainkan kepada orang yang dikenal, misalnya seperti
anaknya, kerabatnya, dan orang yang shalih lagi jujur, seperti diserahkan untuk
membangun masjid. Jika wakaf kepada orang yang tidak jelas, seperti diserahkan
sembarang orang laki-laki, atau orang perempuan, atau untuk maksiat, seperti wakaf
untuk gereja, kapel, maka tidak sah. Apabila mewakafkan kepada ahli dzimmah, seperti
orang Kristen, hukumnya sah. Dan boleh pula bersedekah pada mereka, karena Shafiah
binti Huyyai, isteri Nabi Shallallahu alaihi wa sallam memberikan wakaf kepada
saudaranya, yaitu orang Yahudi. Kisah wakaf sahabat Umar menunjukkan bolehnya
wakaf kepada orang kaya; karena istilah penyebutan kerabat dan tamu, tidaklah ada
ikatan, karena mereka membutuhkan bantuan atau karena kemiskinannya.
4. Ikrar/Akad Wakaf
Orang yang wakaf dapat diketahui, bila dia berikrar atau menyampaikan pernyataan.
Misalnya:
a. Perbuatan yang mengandung makna wakaf. Misalnya membangun masjid dan
orang diizinkan shalat di dalamnya.
b. Perkataan; hal ini ada dua macam. Dengan penggunaan kalimat yang jelas, seperti
aku wakafkan, atau dengan sindiran, seperti aku shadaqahkan hasilnya.
Contohnya bila ada orang berkata saya sedekahkan rumahku ini, aku abadikan
rumah ini dan aku tidak menghibahkannya.
c. Wasiat, misalnya, bila aku meninggal dunia, maka aku wakafkan rumah ini. Akad
semacam ini diperbolehkan, sebagaimana pendapat Imam Ahmad, karena kalimat
ini merupakan wasiat.
Selain rukun wakaf diatas, persaksian dan pencatatan dalam wakaf juga penting.
Wakif sebaiknya mempersaksikan barang wakafnya, agar dai tetap amanat dan dapat
menghindari khianat.
Selain rukun wakaf diatas, persaksian dan pencatatan dalam wakaf juga
penting. Wakif sebaiknya mempersaksikan barang wakafnya, agar dai tetap
amanat dan dapat menghindari khianat. Dalilnya Dan persaksikanlah apabila
kamu berjual beli.[QS. Al Baqarah. 282]
Al Mulhib berkata: Apabila ada orang berjual beli dianjurkan adanya
saksi, padahal makna jual beli adalah penukaran barang, maka wakaf dianjurkan
adanya saksi itu lebih utama. Kami tambahkan, terlepas dari pembahasan
hukum, maka bila wakaf, sebaiknya ada yang menyaksikannya, agar tidak terjadi
hal yang yang tidak diinginkan.
Lanjutan.

Wakaf juga sebaiknya dicatatkan, sebagaimana dijelaskan hadits diatas, yaitu kisah
sahabat Umar ketika mewakafkan tanahnya, adalah pesan Nabi Shallallahu alaihi
wa sallam , Jika engkau menghendaki, engkau wakafkan tanah itu (engkau tahan
tanahnya) dan engkau shadaqahkan hasilnya[HR. Bukhari]. Ahli ilmu menjadikan
hadits ini sebagai dalil perlunya pencatatan wakaf, sebagai bukti bila terjadi
perselisihan dan untuk maslahah pada hari kemudian.
Disebutkan dalam kitab Al Muhadzab: Apabila pemilik wakaf
memperselisihkan di dalam persyaratkan wakaf dan penggunaannya, sedangkan
tidak ada bukti, maka bila wakifnya masih hidup, yang dijadikan pegangan adalah
perkataan wakif; karena dialah yang menetapkan syarat dan penggunaannya.
B. HARTA YANG DIWAKAFKAN DAN HAK AHLI WARIS

Wakaf merupakan perbuatan yang sangat dianjurkan untuk dilaksanakan


oleh umat Islam, walaupun demikian, pelaksanaan wakaf tidak boleh berlebihan,
dalam arti bahwa wakif tidak boleh memberi wakaf yang dapat merugikan ahli waris
dari wakif itu sendiri, Misalnya wakif hanya mewakafkan harta bendanya untuk anak
laki-lakinya, sedangkan untuk anak yang perempuannya tidak.
Dalam hadits Rasulullah,




yang artinya:
Tidak ada yang dirugikan dan tidak ada yang merugikan di dalam Islam Taufiq,
Wakaf dalam Perspektif Hukum Islam.
Lanjutan..

Menurut Sayyid Sabiq berdasarkan hadits tersebut diatas,wakaf yang merugikan


kepentingan ahli waris, maka wakafnya batal. Hal tersebut, menurut Sayyid Sabiq, wakif
seperti ini berarti tidak ingin mendekatkan diri kepada Allah SWT, bahkan dia ingin
menentang hukum Allah SWT. Karena wakaf yang merugikan ahli waris atau yang
serupa, dilakukan berdasarkan nafsu atau wakaf thogut (setan). Wakaf yang tidak
merugikan ahli waris adalah sebagaimana hibah dan wasiat, yaitu 1/3 (sepertiga)
bagian dari keseluruhan harta yang dimiliki oleh wakif (orang yang wakaf). Wakaf yang
tidak terbatas atau wakaf terhadap seluruh harta yang dimiliki, itu sama halnya dengan
meninggalkan ahli waris yang lemah, dimana Islam sendiri mengajarkan kepada
umatnya agar meninggalkan ahli waris yang kuat.
Lanjutan

Oleh karena itu menurut hukum Islam wakafnya orang yang sedang sakit dipandang
seperti wasiat, hanya disahkan 1/3 (sepertiga) dari harta yang dimiliki, apabila lebih dari 1/3
(sepertiga) maka harus seijin ahli waris, kalau ahli waris tidak mengijinkan atau tidak setuju,
maka wakafnya tidak sah, tetapi kalau wakaf itu 1/3 (sepertiga), artinya tidak diperlukan ijin
dari ahli waris, wakaf orang sakit yang kemudian meninggal dunia dapat langsung dilaksanakan.
Di dalam shabih Muslim diriwayatkan Saad bin Abi Waqqash ra, berkata kepada
Rasulullah saw: ya Rasulullah anda lihat sendiri saya sedang sakit parah, sedangkan saya
orang berharta tetapi tidak ada yang mewarisi saya kecuali seorang anak wanita. Bagaimana
kalau saya sedekahkan 2/3 (duapertiga) harta saya ? Rasulullah menjawab, jangan, ia
tanyakan lagi, Bagaimana kalau saya sedekahkan (separuhnya) ?, beliau menjawab,
jangan. Sepertiga saja, sepertiga sudah banyak, kata Rasulullah, kau tinggalkan ahli waris
mu dalam keadaan kaya itu lebih baik, dari pada kau tinggalkan mereka dalam keadaan
miskin, lalu mereka meminta-minta kesana kemari.
Lanjutan

Mendasakan pada hadits tersebut di atas, jelaslah bahwa wakaf atau


sedekah meskipun perbuatan ibadah maliyah yang sangat dianjurkan oleh Allah
SWT dan Rasulnya, tetapi tidak boleh berlebihan, jangan sampai wakaf ataupun
sedekah menjadi sebab terlantarnya ahli waris atau keluarga, karenanya dalam hal
ini hukum Islam membatasi jumlah harta yang diwakafkan oleh wakif sebesar 1/3
(sepertiga) dari keseluruhan harta wakif, dan yang demikian ini merupakan suatu
yang diajarkan Rasulullah saw pada para sahabatnya.
C. PERMASALAHAN YANG SERING TERJADI TERKAIT DENGAN WAKAF

Wakaf dalam perspektif fikih, didefinisikan sebagai perbuatan hukum menahan


benda, yang dapat diambil manfaatnya tanpa menghabiskan bendanya untuk digunakan
di jalan kebaikan. Hak milik berupa materi, yang telah diwakafkan dianggap sebagai milik
Allah, yang harus dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat, sesuai dengan tujuan
wakaf. Sementara itu, menurut Abu Yusuf sebagaimana yang dikutip oleh Imbang J.
Mangkuto, wakaf adalah melepaskan kepemilikan individu atas suatu harta (properti),
menyerahkannya secara permanen kepada Allah SWT, dan mendedikasikan manfaatnya
untuk orang lain.
Harta wakaf pada prinsipnya adalah milik umat. Dengan demikian, manfaatnya
juga harus dirasakan oleh umat. Karena itu, pada tataran idealnya, maka harta wakaf
adalah tanggung jawab kolektif, guna menjaga keeksisannya. Dengan demikian, maka
keberadaan lembaga yang mengurusi harta wakaf, mutlak diperlukan sebagaimana yang
telah dilakukan oleh sebagian negara-negara Islam.
Lanjutan.

Secara umum, ada beberapa macam sifat permasalahan dari suatu sengketa tanah,
antara lain :
Masalah yang menyangkut prioritas dapat ditetapkan sebagai pemegang hak
yang sah atas tanah yang berstatus hak atau atas tanah yang belum ada haknya.
Bantahan terhadap sesuatu alasan hak atau bukti perolehan yang digunakan
sebagai dasar pemberian hak.
Kekeliruan / kesalahan pemberian hak yang disebabkan penerapan peraturan
yang kurang atau tidak benar.
Sengketa atau masalah lain yang mengandung aspek-aspek sosial.
Namun, dimensi konflik makin terasa meluas di masa kini, bila dibandingkan pada masa
kolonial. Beberapa penyebab terjadinya konflik pertanahan adalah :
Pemilikan/penguasaan tanah yang tidak seimbang dan tidak merata
Ketidakserasian penggunaan tanah pertanian dan tanah nonpertanian
Kurangnya keberpihakan kepada masyarakat golongan ekonomi lemah
Kurangnya pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat atas tanah (hak
ULAYAT)
Lemahnya posisi tawar masyarakat pemegang hak atas tanah dalam
pembebasan tanah.
Lanjutan.

Selanjutnya, dalam Pasal 1 butir 1 Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004,


tentang Wakaf, dinyatakan bahwa wakaf adalah perbuatan hukum wakif, untuk
memisahkan dan menyerahkan sebagian harta benda miliknya, untuk
dimanfaatkan selamanya, atau untuk jangka waktu tertentu, sesuai dengan
kepentingannya, guna keperluan ibadah atau kesejahteraan umum menurut
syariah. Dari beberapa pengertian wakaf di atas, dapat ditarik cakupan wakaf,
yaitu:
Harta benda milik seseorang atau sekelompok orang.
Harta tersebut dilepas kepemilikannya oleh pemiliknya.
Harta yang dilepas kepemilikannya tersebut, tidak bisa dihibahkan,
diwariskan, atau diperjualbelikan.
Manfaat dari harta benda tersebut untuk kepentingan umum sesuai
dengan ajaran agama Islam.
Lanjutan.

Adanya perkembangan lembaga perwakafan tanah milik, yang berkembang di Indonesia,


mengilhami pembuat/perancang UUPA di mana salah satu pasal dalam UUPA, yang
mengatur khusus mengenai Perwakafan Tanah Milik ini, yaitu Pasal 49 yang berbunyi
sebagai berikut:
Hak milik tanah benda-benda keagamaan dan sosial, sepanjang dipergunakan
untuk usaha dalam bidang keagamaan, dan sosial diakui dan dilindungi.
Badan-badan tersebut dijamin pula, akan memperoleh tanah yang cukup untuk
bangunan dan usahanya, dalam bidang keagamaan dan sosial. Untuk keperluan
peribadatan dan keperluan suci lainnya, sebagai dimaksud dalam Pasal 14 dapat
diberikan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dengan hak pakai.
Perwakafan tanah milik dilindungi, dan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
KESIMPULAN

Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan


sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka
waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau
kesejahteraan umum
Terdapat beberapa syarat keabsahan wakaf seperti yang tercantum dalam kitab
Raudhatuth Thalibin oleh Al-Imam an-Nawawi Rahimahullah, antara lain Al-waqif
(syarat terkait orang yang mewakafkan), Al-mauquf (syarat terkait harta yang
diwakafkan), Al-mauquf alaih (syarat terkait pihak yang dituju/orang yang diserahi
wakaf), dan Shighah (syarat terkait lafadz dari yang mewakafkan/akad wakaf).
Seseorang tidak dapat mewakafkan seluruh harta kekayaannya dan mengabaikan
ahli warisnya, sebab di dalam hadis Rasullah dijelaskan bahwa tidak ada yang
dirugikan dan tidak ada yang merugikan di dalam Islam. Hukum Islam membatasi
harta yang diwakafkan oleh wakif maksimal sebesar 1/3 dari hartanya secara
keseluruhan.
Permasalahan yang umum terjadi dalam wakaf adalah sengketa terkait tanah,
mengikat objek kekayaan yang sering diwakafkan adalah tanah. Sifat dari
persengketaan tanah biasanya meliputi masalah yang menyangkut a) Prioritas
dapat ditetapkan sebagai pemegang hak yang sah atas tanah yang berstatus hak
atau atas tanah yang belum ada haknya, b) Bantahan terhadap sesuatu alasan
hak atau bukti perolehan yang digunakan sebagai dasar pemberian hak, c)
kekeliruan/kesalahan pemberian hak yang disebabkan penerapan peraturan yang
kurang atau tidak benar, dan d) sengketa atau masalah lain yang mengandung
aspek-aspek sosial.
SARAN

Hendaknya dalam mewakafkan harta kekayaan, wakif menaati rukun


wakaf seperti yang tercantum dalam kitab Raudhatuth Thalibin oleh Al-Imam an-
Nawawi Rahimahullah dan tetap mempertimbangkan kondisi dari ahli warisnya.
SEKIAN DAN TERIMA KASIH
ANY QUESTION?????????

Anda mungkin juga menyukai