TESIS
Oleh
NENENG ASTUTI
127046012 / KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
TESIS
Oleh
NENENG ASTUTI
127046012 / KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
Tipe 2
Tahun : 2014
ABSTRAK
diabetes lebih lanjut untuk mencegah komplikasi akut dan mengurangi risiko
komplikasi jangka panjang. Efikasi diri dan manajemen diri pada pasien diabetes
diabetes dan mempertahankan kualitas hidup. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui hubungan antara efikasi diri dengan manajemen diri pada pasien
Pirngadi Medan. Sampel penelitian adalah pasien diabetes tipe 2 yang berjumlah
hubungan yang signifikan antara efikasi diri dengan manajemen diri pada pasien
Type 2 Diabetes
Year : 2014
ABSTRACT
and maintaining the quality of life. The objective of the research was to determine
design, it was conducted in Dr. Pirngadi General Hospital, Medan. The samples
of the research. The results of this study showed that there was significant
type 2 diabetes.
Segala puji dan syukur selalu dipanjatkan kehadirat Allaah SWT yang
menyelesaikan tesis dengan judul “Efikasi Diri dan Manajemen Diri pada Pasien
Diabetes Tipe 2”, sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan di
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga
kepada Bapak Prof. dr. Sutomo Kasiman, SpPD., SpJP selaku Pembimbing I dan
Ibu Rosina Tarigan, S.Kp., M.Kep., Sp.KMB selaku Pembimbing II, yang telah
memberikan arahan dan dukungan dalam penyelesaian tesis ini. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah mendukung dan
2. Bapak Setiawan, S.Kp., MNS., PhD., selaku Ketua Program Studi Magister
4. Ibu Dr. Ir. Evawany Yunita Aritonang, M.Si selaku Penguji I, dan Ibu Yesi
5. Seluruh staf dosen dan pegawai di Program Studi Magister Ilmu Keperawatan
Penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini masih jauh dari sempurna,
sehingga masukan serta saran sangat diharapkan untuk perbaikan tesis ini di masa
Penulis,
Neneng Astuti
Riwayat Pendidikan :
Kedokteran USU
Kedokteran USU
Maret 2007 – Mei 2008 : Dosen Tetap di Akademi Keperawatan Salma Siak
Muhammadiyah Riau
Stoma”, 6 Januari 2013, Asri Wound Care Clinic and Home Care
Halaman
ABSTRAK ..................................................................................................... i
ABSTRACT .................................................................................................... iii
KATA PENGANTAR ................................................................................... v
RIWAYAT HIDUP ....................................................................................... vii
DAFTAR ISI .................................................................................................. ix
DAFTAR TABEL ......................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... xii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xiii
LAMPIRAN
Halaman
Tabel 3.1. Definisi Operasional ..................................................................... 51
Tabel 4.1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden ............................. 61
Tabel 4.2. Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Efikasi Diri .......... 62
Tabel 4.3. Distribusi Responden berdasarkan Manajemen Diri .................... 63
Tabel 4.4. Analisis Hubungan antara Efikasi Diri dengan Manajemen Diri . 63
Tabel 4.5. Analisis Hubungan antara Karakteristik Respoden dengan
Manajemen Diri ............................................................................. 65
Tabel 4.6. Analisis Regresi Linier Ganda antara Efikasi Diri, Pendidikan,
Pekerjaan, dan Pendidikan Kesehatan tentang Diabetes dengan
Manajemen Diri ............................................................................. 67
Tabel 4.7. Model Akhir Regresi Linier Ganda antara Efikasi Diri dan
Pendidikan Kesehatan tentang Diabetes dengan Manajemen Diri.. 68
Halaman
Gambar 2.1. Conceptual Structure of the Self-Care Deficit Theory of
Nursing ....................................................................................... 39
Gambar 2.2. Kerangka Teori ........................................................................... 41
Gambar 2.3. Kerangka Konsep Penelitian ...................................................... 43
Halaman
Lampiran 1. Instrumen Penelitian .................................................................. 100
Lampiran 2. Biodata Expert ........................................................................... 108
Lampiran 3. Izin Penelitian ............................................................................ 110
Type 2 Diabetes
Year : 2014
ABSTRACT
and maintaining the quality of life. The objective of the research was to determine
design, it was conducted in Dr. Pirngadi General Hospital, Medan. The samples
of the research. The results of this study showed that there was significant
type 2 diabetes.
PENDAHULUAN
masyarakat secara global, regional, nasional dan lokal. Salah satu penyakit tidak
menular yang menyita banyak perhatian adalah diabetes melitus (Depkes RI,
2013). Diabetes melitus, atau sering hanya disebut dengan diabetes, adalah
penyakit kronis yang terjadi ketika pankreas tidak mampu lagi memproduksi
insulin, atau ketika tubuh tidak dapat memanfaatkan insulin yang dihasilkan (IDF,
2013). Diabetes tipe 2 merupakan jenis yang paling umum dari diabetes, yang
mencapai 90-95% dari seluruh penderita diabetes. Diabetes tipe 2 disebut juga
Diabetes), yang umumnya disebabkan oleh resistensi insulin atau defek sekresi
dan jaringan (IDF, 2013). Diabetes yang sering tidak terkontrol dapat
kebutaan, penyakit ginjal, penyakit sistem saraf, amputasi kaki, dan kematian (Al-
hidup yang salah atau pola makan yang sudah berubah, aktifitas yang kurang dan
faktor lingkungan tidak baik, sehingga penyakit tersebut semakin sulit untuk
diobati. Faktor lingkungan seperti promosi makanan atau banyaknya fast food,
tidak mampu lagi beraktivitas atau bekerja seperti biasa, dan memberikan beban
bagi keluarga, dan merupakan penyakit yang paling merugikan dari segi ekonomi,
karena memerlukan perawatan dan pengobatan seumur hidup (Kwek, 2013). Oleh
karena tingginya angka kesakitan dan kematian yang berkaitan dengan diabetes,
maka peningkatan jumlah penduduk yang menderita penyakit ini telah menjadi
masalah kesehatan yang serius dan merupakan beban ekonomi utama dalam
negara. Pada tahun 2013, ditemukan sebanyak 382 juta orang menderita diabetes,
diabetes menyebabkan 5,1 juta kematian dan penderita diabetes meninggal setiap
enam detik. Pada tahun 2035 penderita diabetes diperkirakan akan meningkat
menjadi 592 juta orang, dan Indonesia berada pada urutan ke-7 di antara sepuluh
Prevalensi penyakit diabetes di ASEAN saat ini sekitar 8,7%, dan terdapat 51%
diabetes di Indonesia secara nasional pada tahun 2013 yaitu 5,7%, atau sekitar 10
juta orang yang terkena diabetes dan 18 juta lainnya terancam diabetes (Subekti,
2013). Kasus yang terbanyak dari populasi diabetes di Indonesia adalah diabetes
tipe 2 yang mencapai 90%, dan pada tahun 2030 Indonesia diperkirakan akan
memiliki penyandang diabetes sebanyak 21,3 juta jiwa (Depkes RI, 2013).
Penderita diabetes di Sumatera Utara juga meningkat setiap tahunnya. Pada tahun
2013, Sumatera Utara memiliki prevalensi diabetes sebesar 5,3% atau hanya 0,4%
sebesar 26%, sedangkan sekitar 74% yang tidak mengetahui bahwa mereka telah
yang berkunjung ke Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan selama
Bulan April 2011. Dari data jumlah kunjungan rawat jalan di rumah sakit tersebut
pada bulan April 2011 mencapai 4730 orang. Dari data tersebut jumlah penyakit
yang mendominasi adalah diabetes yaitu mencapai 1404 kunjungan dan jumlah
kasus baru diabetes yang ditemukan mencapai 134 orang (Perangin-angin, 2011).
baik di Poliklinik Endokrin dan di Ruang Rawat Inap mencapai 957 orang.
(Goodall & Halford 1991; Wu et al., 2007), dan merupakan landasan manajemen
untuk melanjutkan hidup dengan kondisi emosional yang baik dalam menghadapi
komplikasi diabetes (Xu et al., 2008). Perilaku manajemen diri yang harus
dilakukan oleh penderita diabetes mencakup mengatur pola makan, latihan fisik,
minum obat, pemantauan glukosa darah, dan perawatan kaki (Shamoon et al.,
komplikasi. Jika kegiatan perawatan diri dilakukan secara teratur, maka dapat
membutuhkan perubahan gaya hidup jangka panjang dan dedikasi yang tinggi
penting, akan tetapi perilaku manajemen diri tidak dilakukan secara konsisten oleh
pasien diabetes (Xu et al., 2008). Pasien diabetes yang mendapatkan pengetahuan
perubahan perilaku dan gaya hidup (Rapley & Fruin, 1999; Wu et al., 2007).
Pasien tidak selalu menerapkan perubahan perilaku yang diinginkan (Sharoni &
Wu, 2012), dan banyak penderita diabetes yang tidak terlibat dalam semua praktik
manajemen diri (Sarkar, Fisher & Schillinger, 2006; Xu et al., 2008; Hunt et al.,
adalah efikasi diri. Bandura (1994) menjelaskan bahwa efikasi diri adalah
berperilaku dari waktu ke waktu (Beckerle & Lavin, 2013). Konsep efikasi diri
juga digambarkan sebagai rasa kontrol pribadi atas perubahan yang diinginkan
fisik, sosial, dan emosional guna menciptakan solusi dalam menghadapi masalah
Teori efikasi diri memberikan alasan ilmiah sebagai strategi yang memiliki
bahwa efikasi diri individu berhubungan dengan situasi dan tugas tertentu, seperti
manajemen perawatan diri pada diabetes tipe 2 (Lenz & Shortridge-Baggett 2002;
Sharoni & Wu, 2012). Efikasi diri telah terbukti menjadi faktor penting dalam
perilaku kesehatan promotif (Bandura, 1995), dan merupakan faktor penting yang
mempengaruhi perilaku perawatan diri pada pasien dengan diabetes tipe 2 (Hunt
et al., 2012).
efikasi diri merupakan prediktor kuat yang berperan penting dalam manajemen
diri pada pasien dengan diabetes tipe 2, efikasi diri yang kuat akan berhubungan
positif terhadap partisipasi dalam perilaku manajemen diri pada diabetes (Sarkar,
Fisher & Schillinger, 2006; Bean, Cundy & Petrie, 2007; Wu et al., 2007; Xu et
al., 2008; Lee, Ahn & Kim., 2009; Hunt et al., 2012; Sharoni & Wu, 2012; Al-
hanya dua pertiga saja dari yang terdiagnosis yang menjalani pengobatan, baik
(PERKENI, 2011). Hasil penelitian dari Kusniyah, Nursiswati, & Rahayu (2010)
yang rendah. Hasil penelitian dari Kusniawati (2011) juga menyimpulkan bahwa
aktivitas perawatan diri pasien diabetes tipe 2 masih rendah pada monitoring gula
praktisi pelayanan primer bekerja sama dengan perawat, ahli gizi, ahli endokrin,
(Wagner et al., 2001; Siminerio et al., 2007). Perawat merupakan salah satu
penyedia layanan kesehatan yang secara aktif terlibat dalam pencegahan dan
masalah pasien baik dari aspek fisik, emosional, mental, sosial-budaya dan
spiritual (Aalaa et al., 2012). Oleh sebab itu, penting bagi perawat untuk
memahami konsep efikasi diri dan manajemen diri pada pasien diabetes, sehingga
1.2. Permasalahan
Efikasi diri dan manajemen diri pada pasien diabetes tipe 2 merupakan dua
perilaku manajemen diri pada pasien diabetes tipe 2 masih belum optimal, dan
efikasi diri merupakan faktor paling kuat yang menentukan seseorang untuk
ingin menganalisis lebih jauh hubungan antara efikasi diri dengan manajemen diri
3) Menganalisis hubungan antara efikasi diri dengan manajemen diri pada pasien
diabetes tipe 2,
1.4. Hipotesis
tentang keterkaitan antara dua variabel atau lebih (Polit & Beck, 2012). Hipotesis
dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan antara efikasi diri dengan
yang berkaitan dengan konsep efikasi diri dan manajemen diri pada diabetes tipe
secara holistik, berkolaborasi dengan pasien dan tim kesehatan lainnya dalam
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1. Definisi
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau
resistensi insulin baik relatif atau absolut atau karena keduanya yang ditandai
menjelaskan bahwa penyakit diabetes melitus, kencing manis atau penyakit gula,
terutama pada sistem metabolisme karbohidrat, lemak, dan juga protein dalam
peningkatan kadar gula dalam darah karena tubuh sedikit atau tidak mampu
memproduksi insulin.
2.1.2. Klasifikasi
progresif sekretorik insulin akibat resistensi insulin); Tipe diabetes tertentu karena
penyebab lain, misalnya; defek genetik pada fungsi sel- (beta), defek genetik
pada kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas (seperti fibrosis kistik), dan yang
disebabkan oleh obat atau kimia (seperti dalam pengobatan HIV/AIDS atau
didiagnosis selama kehamilan dan belum menjadi penyakit diabetes secara pasti).
Menurut PERKENI (2011), faktor risiko diabetes tipe 2 terdiri dari faktor
risiko yang tidak bisa dimodifikasi dan yang bisa dimodifikasi. Faktor risiko yang
tidak bisa dimodifikasi antara lain; Ras dan etnik, riwayat keluarga dengan
diabetes), riwayat melahirkan bayi dengan berat badan lahir bayi >4000 gram atau
riwayat pernah menderita diabetes gestasional, riwayat lahir dengan berat badan
rendah kurang dari 2,5 kg (bayi yang lahir dengan berat badan rendah mempunyai
risiko yang lebih tinggi dibanding dengan bayi lahir dengan berat badan normal).
Faktor risiko yang dapat dimodifikasi yaitu; berat badan lebih (IMT >23
(HDL <35 mg/dL dan atau trigliserida >250 mg/dL), diet yang tidak sehat
(unhealthy diet), diet dengan tinggi gula dan rendah serat akan meningkatkan
yang terkait dengan risiko diabetes yaitu; penderita Polycystic Ovary Syndrome
2.1.4. Patofisiologi
lingkungan seperti gaya hidup, diet, rendahnya aktifitas fisik, obesitas, dan
umumnya disebabkan karena resistensi terhadap insulin atau defek sekresi insulin.
hormon insulin untuk bekerja secara efektif pada jaringan-jaringan target perifer
(terutama pada otot dan hati). Untuk mencapai kadar glukosa darah yang normal
dibutuhkan kadar insulin plasma yang lebih tinggi. Pada orang dengan diabetes
tipe 2, terjadi penurunan pada penggunaan maksimum insulin, yaitu lebih rendah
terjadinya hiperglikemi pada diabetes. Kelainan yang juga khas pada diabetes tipe
lambatnya pelepasan insulin fase akut. Hal ini akan dikompensasi pada fase
lambat, dimana sekresi insulin pada diabetes melitus tipe 2 terlihat lebih tinggi
kadar insulin tetap tidak mampu mengatasi hiperglikemia yang ada atau terjadi
diabetes tipe 2, namun masih terdapat insulin dengan jumlah yang adekuat untuk
Karena itu, ketoasidosis diabetik tidak terjadi pada diabetes tipe 2. Meskipun
demikian, diabetes tipe 2 yang tidak terkontrol dapat menimbulkan masalah akut
tahun) dan progresif, maka awitan diabetes tipe 2 dapat berjalan tanpa terdeteksi.
Jika gejalanya dialami pasien, gejala tersebut sering bersifat ringan, seperti;
sembuh, infeksi vagina atau pandangan kabur (jika kadar glukosanya sangat
kelainan mata, neuropati perifer, kelainan vaskuler perifer) mungkin sudah terjadi
Manifestasi klinis klasik dari semua jenis penyakit diabetes mencakup "tiga P"
polidipsia (peningkatan rasa haus) terjadi sebagai akibat dari hilangnya cairan
disebabkan oleh defisiensi insulin dan pemecahan protein dan lemak. Gejala
mendadak, kesemutan atau mati rasa pada tangan atau kaki, kulit kering, lesi kulit
atau luka yang lambat sembuh, dan infeksi berulang. Pada diabetes tipe 1 dapat
terjadi kehilangan berat badan secara tiba-tiba, mual, muntah atau sakit perut jika
2.1.6. Diagnosis
Seseorang didiagnosis diabetes jika; 1) Nilai glukosa plasma puasa ≥126 mg/dL
(7,0 mmol/L). Puasa didefinisikan sebagai tidak ada asupan kalori setidaknya 8
jam. 2) Nilai glukosa plasma 2 jam setelah tes toleransi glukosa oral 75 gr
(TTGO) ≥200 mg/dL (11,1 mmol/L). Tes harus dilakukan seperti yang dijelaskan
oleh WHO tahun 1994, menggunakan beban glukosa yang mengandung setara
Program) dan standar untuk uji DCCT (Diabetes Control and Complications
Trial). Tanpa adanya hiperglikemia yang tegas, maka hasil dari ke tiga
pemeriksaan di atas harus dikonfirmasi dengan tes ulang. 4) Pada pasien dengan
2.1.7. Penatalaksanaan
dan latihan jasmani selama beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa
hipoglikemik oral (OHO) dan atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO
dapat segera diberikan secara tunggal atau langsung kombinasi, sesuai indikasi.
berat badan yang menurun dengan cepat, adanya ketonuria, insulin dapat segera
empat pilar penatalaksanaan pada penderita diabetes tipe 2 yaitu edukasi, terapi
1) Edukasi
Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku
menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain, serta
makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan anjuran makan untuk
masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan
kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada penyandang diabetes perlu
ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis dan
jumlah makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa
darah atau insulin. Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari; karbohidrat
yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi, asupan lemak dianjurkan
sekitar 20-25% kebutuhan kalori, protein dibutuhkan sebesar 10-20% total asupan
energi, anjuran asupan natrium tidak lebih dari 3000 mg atau sama dengan 6-7
gram (1 sendok teh garam dapur), dianjurkan mengkonsumsi cukup serat ±25
gr/hari, dan pemanis aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas aman
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali
seminggu selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar dalam
untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki
jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti jalan
disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani. Untuk penderita yang
relatif sehat, intensitas latihan jasmani bisa ditingkatkan, sementara yang sudah
Penderita dianjurkan untuk menghindari kebiasaan hidup yang kurang gerak atau
bermalas-malasan.
4) Intervensi farmakologis
digunakan untuk penderita diabetes tipe 2 yaitu obat hipoglikemik oral (OHO),
insulin, dan terapi kombinasi. Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5
peptidase-4) inhibitor.
2.1.8. Komplikasi
berbagai komplikasi berat. Berikut ini diuraikan komplikasi yang terkait dengan
diabetes.
1) Komplikasi Akut
kadar glukosa darah yang tinggi (300-600 mg/dL), disertai dengan adanya tanda
dan gejala asidosis dan plasma keton (+) kuat. Osmolaritas plasma meningkat
(300-320 mOs/mL) dan terjadi peningkatan anion gap. Pada kondisi SHH terjadi
peningkatan glukosa darah sangat tinggi (600-1200 mg/dL), tanpa tanda dan
keton (+/-), anion gap normal atau sedikit meningkat. Dan pada hipoglikemia
gemetar, dan rasa lapar) dan gejala neuro-glikopenik (pusing, gelisah, kesadaran
akibat penyumbatan pada pembuluh darah kecil khususnya kapiler yang terdiri
dari retinopati diabetik dan nefropati diabetik. Retinopati diabetik dibagi dalam 2
darah kapiler, jaringan ikat dan adanya hipoksia retina. Pada nefropati diabetik
ditandai dengan adanya proteinuria persisten (>0,5 gr/24 jam), terdapat retinopati
dapat lolos ke dalam kemih (albuminuria). Akibat dari nefropati diabetik tersebut
Makroangioati tidak spesifik pada diabetes, namun dapat muncul lebih cepat,
lebih sering terjadi dan lebih serius. Berbagai studi epidemiologis menunjukkan
umumnya tidak ada hubungannya dengan kontrol kadar gula darah yang baik.
menyebabkan risiko kardiovaskular semakin tinggi pula. Kadar insulin puasa >15
saraf tulang belakang. Gejala klinis beragam dan tergantung pada lokasi sel-sel
saraf yang terkena (NIDDK, 2008; Smeltzer & Bare 2010). Neuropati pada
terjadi pada penderita diabetes, dan lebih dari 50% dari penderita diabetes
mana terjadi degenerasi serabut-serabut saraf dengan gejala-gejala nyeri atau baal.
Area yang biasanya mengalami neuropati adalah serabut saraf tungkai atau lengan
(Permana, 2009).
Konsep efikasi diri telah dikembangkan oleh Albert Bandura sebagai teori
sosial kognitif pada tahun 1977. Bandura (1994) menjelaskan bahwa efikasi diri
tingkat kinerja yang mempengaruhi setiap peristiwa dalam hidupnya. Efikasi diri
berperilaku. Efikasi diri terbentuk melalui empat proses utama yaitu kognitif,
motivasi, afektif dan proses seleksi. Pender (2004; dalam Tomey & Alligood,
akan memulai atau tidak untuk melakukan perawatan dirinya (Holman & Lorig,
1992; Nyunt et al., 2010). Dan berdasarkan beberapa definisi di atas dapat
dan dikembangkan dari empat sumber informasi. Pada dasarnya, keempat sumber
tersebut adalah stimulasi atau kejadian yang dapat memberikan inspirasi atau
memberikan pengaruh besar pada efikasi diri individu karena didasarkan pada
pengalaman orang lain sebagai proses belajar individu. Melalui model ini
kemampuan yang setara atau bahkan merasa lebih baik dari pada orang yang
mampu melakukan hal yang sama. Meningkatnya efikasi diri individu ini
efikasi diri ini akan menjadi efektif jika subyek yang menjadi model tersebut
pengaruh sugesti akan cepat lenyap jika mengalami pengalaman yang tidak
menyenangkan.
dirasakan sebagai suatu isyarat akan terjadi peristiwa yang tidak diinginkan.
dipandang individu sebagai suatu tanda ketidakmampuan karena hal itu dapat
efikasi diri yang rendah ditandai oleh tingkat stres dan kecemasan yang tinggi
pula.
Menurut Bandura (1995), proses psikologis dalam efikasi diri yang turut
berperan dalam diri manusia ada 4 yakni proses kognitif, motivasional, afeksi dan
proses pemilihan/seleksi.
1) Proses kognitif
bermula dari sesuatu yang dipikirkan terlebih dahulu. Individu yang memiliki
tujuan personal juga dipengaruhi oleh penilaian akan kemampuan diri. Semakin
2) Proses motivasi
diri dapat mempengaruhi motivasi dalam beberapa hal, yakni menentukan tujuan
yang telah ditentukan individu, seberapa besar usaha yang dilakukan, seberapa
menghadapi kegagalan. Ada tiga teori yang menjelaskan tentang proses motivasi.
Teori pertama adalah causal attributions (atribusi penyebab). Teori ini fokus pada
Individu yang memiliki efikasi diri tinggi bila mengahadapi kegagalan cenderung
sesuai dengan keyakinan mereka tentang apa yang dapat mereka lakukan. Teori
ketiga, goal theory (teori tujuan), dimana dengan membentuk tujuan terlebih
stres dan depresi seseorang saat mereka menghadapi situasi yang sulit. Persepsi
yang negatif. Individu yang merasa tidak mampu mengontrol situasi cenderung
besarkan masalah kecil, dan terlalu cemas pada hal-hal kecil yang sebenarnya
jarang terjadi.
4) Proses seleksi
aktivitas dan situasi yang diluar batas kemampuan mereka. Bila individu merasa
yakin bahwa mereka mampu menangani suatu situasi, maka mereka cenderung
tidak menghindari situasi tersebut. Dengan adanya pilihan yang dibuat, individu
individu terletak pada tiga dimensi, yaitu: magnitude (tingkat kesulitan tugas),
pada individu akan mendorong untuk gigih dalam berupaya mencapai tujuan
dirinya, baik yang terbatas pada suatu aktivitas dan situasi tertentu maupun
pada serangkaian aktivitas dan situasi yang lebih luas dan bervariasi.
apa yang harus dilakukan dan benar-benar melakukannya. Selain itu, efikasi diri
berfokus pada perubahan perilaku (Van der Bijl & Shortridge-Baggett, 2001; Wu
pribadi terhadap kinerja perilaku. Dalam hal manajemen diri diabetes, efikasi diri
Efikasi diri adalah prediktor kuat terhadap perilaku manajemen diri diabetes,
seseorang yang hidup dengan diabetes yang memiliki tingkat efikasi diri yang
lebih tinggi akan berpartisipasi dalam perilaku pengelolaan diri diabetes yang
item pertanyaan untuk mengukur efikasi diri terhadap manajemen diri pada pasien
tipe 2. Skala ini juga telah dikembangkan dalam versi Australia/Inggris oleh
McDowell et al. (2005), dan dalam versi Inggris oleh Sturt, Hearnshaw dan
perawatan diri (self-care) telah didefinisikan dalam beberapa cara tergantung pada
fokus disiplin (yaitu, sosiologi, fisiologi, ekologi, medis, atau terkait dengan
perawatan atau promosi kesehatan) (Weiler & Crist, 2007). Manajemen diri
hidup dengan baik dengan satu atau lebih kondisi kronis. Tugas ini juga ternasuk
glukosa darah mandiri, dan mempertahankan perawatan kaki (Xu et al., 2010).
Manajemen diri pada diabetes juga didefinisikan sebagai perilaku manajemen diri
secara mandiri, dan minum obat, yang secara keseluruhan berhubungan dengan
perbaikan yang signifikan dalam mengontrol status metabolik (Jones et al., 2003;
pengendalian berat badan dan perencanaan makan yang sehat (Harris et al., 2012).
Pasien dengan diabetes tipe 2 harus dimotivasi untuk menerapkan perubahan pola
hidup yang lebih sehat (Amod et al., 2012). Rekomendasi diet bagi penderita
mengurangi gula, lemak jenuh, dan asupan garam (Dyson, 2002; Nair, 2007).
Meskipun setiap orang memiliki kebutuhan yang sama untuk nutrisi dasar, pasien
hiperglikemia (Lemone & Burke, 2004; Nair, 2007). Diet yang direkomendasikan
mengkonsumsi berbagai buah dan sayuran segar setiap hari, hindari jus buah,
isomalt, xylitol) <10 gr per hari, batasi total asupan fruktosa sekitar 60 gr per
hari; meningkatkan asupan serat larut dan tidak larut 25-50 gr per hari, asupan
d) Asupan lemak harus dibatasi <35% dari total asupan energi. Asupan lemak
jenuh harus dibatasi <7% dari total asupan energi, asupan lemak
asupan lemak trans, dan mengkonsumsi lemak tidak jenuh tunggal dan asam
darah.
2) Latihan fisik
mengontrol kadar glukosa darah yang lebih baik. Sebelum meningkatkan pola
aktivitas fisik dari yang biasanya, pasien diabetes harus melakukan pemeriksaan
penggunaan insulin yang lebih baik (DeCoste & Scott, 2004). Aktifitas latihan
fisik yang direkomendasikan pada pasien diabetes tipe 2 yaitu melakukan latihan
fisik selama 30 menit setiap hari. Jenis latihan yang dapat dilakukan seperti
berjalan, jogging, berenang, atau membersihkan taman (DCD, 1999; DeCoste &
Scott, 2004). Latihan fisik dapat membantu meningkatkan sirkulasi, tonus otot,
dan mengurangi berat badan (Caterson, 2005; Nair, 2007), serta meningkatkan
penyerapan glukosa dalam sel otot (Pullen, 2000; Nair, 2007), sehingga
3) Medikasi
dengan intervensi non-farmakologis seperti diet, latihan fisik, dan monitoring gula
pengobatan dengan farmakologi (DeCoste & Scott, 2004). Diabetes tipe 2 dapat
diobati dengan obat tunggal atau kombinasi obat oral dan insulin. Setiap obat
diberikan untuk salah satu ketidaknormalan kadar gula darah dan kombinasi
dengan perawatan medis yang dapat menormalkan kadar gula darah. Jika terapi
oral tidak bekerja, maka terapi insulin satu-satunya cara untuk mengontrol kondisi
hiperglikemia. Insulin hanya akan digunakan jika nilai HbA1c lebih dari 6,5%
setelah terapi oral maksimal. Insulin harus dikombinasi dengan terapi oral untuk
mengurangi risiko hipoglikemia dan peningkatan berat badan (Garber et al., 2002;
manajemen diri pasien dengan diabetes, dan disarankan pada pasien diabetes yang
menggunakan terapi obat oral. Monitoring gula darah mandiri bertujuan untuk
glukosa darah pada 4-6 mmol/L sebelum makan (preprandial) dan tidak di atas 10
mmol/L dua jam setelah makan (postprandial) (Diabetes UK, 2006; Nair, 2007).
Monitoring gula darah mandiri didasarkan pada kebutuhan individu, jadwal, dan
penggunaan data yang direncanakan. Monitoring gula darah mandiri efektif dalam
meningkatkan kontrol glikemik pada individu dengan diabetes tipe 2 yang tidak
memonitoring kadar gula darah mandiri setidaknya sekali dalam sehari (Hirsch et
al., 2008). Pada pasien diabetes tipe 2 yang menggunakan insulin, dapat
melakukan monitoring gula darah pre dan post prandial untuk membantu
yang tidak menggunakan insulin, dapat melakukan monitoring gula darah post
prandial untuk mengevaluasi status glikemik yang disebabkan oleh diet atau
Federation tentang monitoring gula darah mandiri untuk diabetes tipe 2 non-
terapi, diet dan aktivitas fisik. Pernyataan dari ADA (2009, dalam CPG on
mandiri harus dilakukan 3 atau 4 kali sehari untuk pasien menggunakan suntikan
insulin atau terapi pompa insulin. Untuk pasien yang menggunakan suntikan
insulin tidak sering, terapi non-insulin atau terapi nutrisi medis saja, monitoring
5) Perawatan kaki
dengan risiko ulkus kaki, harus memahami dasar-dasar perawatan kaki. Beberapa
kaki sangat efektif dalam pencegahan ulkus kaki diabetik (Spollett, 1998;
Culleton, 1999; Viswanathan et al., 2005; Aalaa et al., 2012). Perawat dapat
sebelum memakainya, menjaga kaki bersih dan perawatan kulit dan kuku
berkelanjutan. Pelatihan tentang memilih sepatu yang tepat juga sangat penting
Diabetes Tipe 2
1) Umur. Penderita diabetes yang lebih tua memiliki tingkat manajemen diri
yang lebih tinggi pada diet, olahraga, dan perawatan kaki daripada individu
yang lebih muda (Xu, Pan & Liu, 2010). Penderita diabetes yang lebih tua
dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi juga akan lebih baik dalam
perawatan diri daripada orang tua yang buta huruf (Bai, Chiou & Chang,
2009).
dibandingkan dengan tingkat pendidikan rendah (Bai, Chiou & Chang, 2009).
manajemen diri yang lebih tinggi terhadap diet, olahraga, dan pemeriksaan
gula darah mandiri, dan lebih mudah untuk memahami informasi kesehatan
lebih rendah untuk latihan fisik daripada penderita yang tidak bekerja.
Penderita diabetes yang lebih muda yang bekerja bisa memiliki jadwal dan
diabetesnya menjadi prioritas rendah bagi mereka (Xu, Pan & Liu, 2010).
4) Efikasi diri. Seseorang yang hidup dengan diabetes tipe 2 yang memiliki
tingkat efikasi diri yang lebih tinggi lebih berpartisipasi dalam perilaku
manajemen diri diabetes. Efikasi diri yang lebih tinggi lebih mungkin untuk
darah mandiri, dan perawatan kaki (Sarkar, Fisher & Schillinger, 2006; Xu et
perilaku perawatan diri yang lebih baik (Wu et al., 2007). Seseorang yang
diri yang lebih baik ketika mereka menerima dukungan dari keluarga dan
memiliki perilaku kurang baik dalam minum obat dan memantau kadar
glukosa darah mereka secara teratur (Xu, Pan & Liu, 2010).
pasien dan provider adalah untuk bertukar informasi tentang penyakit dan
1995; Xu et al., 2008). Interaksi antara pasien dan provider dapat memperkuat
Greenfield & Ware, 1989; Xu et al., 2008). Komunikasi antara pasien dan
praktek perawatan diri yang lebih baik termasuk gaya hidup yang lebih baik,
perawatan dokter umum. Para pasien yang menerima perawatan dari spesialis
pasien yang mengunjungi dokter umum selama satu tahun terakhir lebih
buruk (Goudswaard et al.; Lee, Ahn & Kim, 2009). Pasien yang telah
oleh spesialis secara signifikan lebih mungkin untuk memeriksa kaki mereka
serta menjaga kadar glukosa darah dalam tingkat optimal daripada pasien
yang menerima perawatan dari dokter umum (De Berardis et al., 2005; Lee,
10) Bahasa dan budaya. Keterbatasan bahasa dan budaya pada materi pendidikan
manajemen diri pada diabetes yang tepat dan program yang tersedia untuk
Inggris dan didasarkan pada budaya Barat, seperti jenis pilihan makanan dan
ini merupakan self-report manajemen diri secara singkat pada diabetes yang
terdiri dari item-item pertanyaan untuk menilai aspek perawatan pada diabetes
Orem (1991) dan teori self-efficacy dari Albert Bandura (1994) sebagai dasar
Deficit Theory of Nursing yang terdiri dari tiga teori utama yaitu teori self-care,
self-care deficit dan nusing system. Teori yang diperkenalkan oleh Orem tersebut
dirinya sendiri dan anggota keluarganya. Teori tentang self-care didasarkan pada
kenyataan bahwa setiap orang dewasa lebih atau kurang memiliki kapasitas penuh
untuk menjaga kesehatan mereka dan mengelola diri mereka sendiri saat sakit atau
demand), dan syarat perawatan diri (self-care requisites). Perawatan diri (self-
perawatan diri dapat dilakukan dengan efektif, maka dapat membantu individu
agency) adalah kemampuan belajar atau kekuatan untuk melakukan perawatan diri
diri (basic conditioning factor), yang terdiri dari faktor usia, jenis kelamin, status
keluarga, pola hidup, faktor lingkungan dan keadaan ekonomi. Terapi kebutuhan
diri yang harus dilakukan oleh individu pada suatu titik waktu untuk menjaga
adalah bentuk kepercayaan diri atau keyakinan dalam kinerja seseorang terhadap
perilaku tertentu, serta sebagai bentuk rasa percaya diri atau keyakinan bahwa
dengan melakukan perilaku tersebut, maka akan mencapai hasil yang diinginkan.
kemampuan seseorang dan dengan harapan hasil yang akan ditimbulkan dari
perilaku tersebut. Meskipun efikasi diri merupakan dasar bagi sebagian besar
dari individu tersebut, maka tidak akan membentuk sebuah perilaku. Ketika
pasien mampu melakukan perawatan diri yang efektif, hal tersebut menunjukkan
bahwa pasien memiliki kesadaran terhadap kondisi penyakitnya. Begitu juga pada
dalam melakukan perawatan dirinya. Oleh karena itu, landasan teori ini digunakan
perawatan dirinya.
(Sumber : ADA, 2014; PERKENI, 2011; Permana, 2009; Bandura, 1994; Orem,
1991; Toobert et al., 2000).
disebabkan oleh faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi dan yang dapat
makanan, olah raga teratur, minum obat secara teratur, memonitor gula darah
secara mandiri, serta melakukan perawatan kaki. Dan salah satu faktor yang
sangat berpengaruh dalam pelaksanaan manajemen diri diabetes adalah efikasi diri
sehari-hari, dan dari waktu ke waktu. Dengan efikasi diri yang tinggi diharapkan
dapat meningkatkan perilaku manajemen diri yang baik, sehingga dapat mencapai
hasil akhir yang maksimal, baik dalam mengontrol status glikemik dan mencegah
Dalam penelitian ini, teori self-care dari Dorothea E. Orem (1991) dan
teori self-efficacy dari Albert Bandura (1994) digunakan oleh peneliti sebagai
kerangka berfikir untuk memahami konsep perawatan diri yang harus dilakukan
pasien secara mandiri. Teori self-care dari Orem terdiri dari; self-care, self-care
dengan teori self-care agency, bahwa untuk melakukan manajemen diri diabetes
bahwa pasien diabetes harus melakukan semua tindakan perawatan diri diabetes
yang terdiri dari pengaturan makan, latihan fisik, minum obat, pemantauan gula
darah, dan perawatan kaki; dan terkait dengan teori self-care requisites, bahwa
tujuan yang dapat dicapai dari perawatan dirinya yaitu mencegah dan
hidup.
variabel penelitian. Keterkaitan antar variabel dalam penelitian ini dapat dilihat
independen adalah efikasi diri dan karakteristik responden diabetes tipe 2 dan
variabel dependen adalah manajemen diri pasien diabetes tipe 2, yang bertujuan
karakteristik responden dengan manajemen diri pada pasien dengan diabetes tipe
hubungan paling tinggi dengan manajemen diri pada pasien diabetes tipe 2.
METODE PENELITIAN
mana data penelitian dikumpulkan pada satu kurun waktu tertentu (Polit & Beck,
manajemen diri pada pasien dengan diabetes tipe 2, dengan pengambilan data
yang dilakukan pada saat yang bersamaan atau menggunakan pendekatan satu
waktu.
Daerah Dr. Pirngadi Medan. Pemilihan tempat ini karena rumah sakit tersebut
rumah sakit ini, serta belum pernah dilakukan penelitian yang sama yang
berkaitan dengan hubungan antara efikasi diri dan manajemen diri pada pasien
diabetes tipe 2. Pengambilan data pada penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei
Populasi adalah keseluruhan dari subjek yang ingin diteliti yang memiliki
karakteristik secara umum (Polit & Beck, 2012). Dalam penelitian ini yang
menjadi populasi adalah pasien diabetes tipe 2 yang melakukan rawat jalan di
orang-orang terpilih untuk berpartisipasi dalam penelitian (Polit & Beck, 2012).
Sampel dalam penelitian ini adalah sebagian dari pasien diabetes tipe 2. Besar
(1-), dan effect size (d) (Cohen, 1988). Langkah-langkah penentuan besar sampel
adalah sebagai berikut; Tipe uji yang digunakan adalah uji korelasi (bivariate
normal model), untuk mendapatkan nilai effect size, peneliti menggunakan hasil
determinasi (r2) dari uji korelasi antara motivasi dengan self-care diabetes, yaitu =
0,132. Berdasarkan hasil perhitungan dengan software G*power, maka nilai effect
effect size sebesar 0.363318, level of significance (1-) sebesar 0,05, power (1-β)
seluruh populasi (Polit & Beck, 2012). Teknik sampling dalam penelitian ini
sampling atau yang disebut dengan sampling aksidental, yaitu pemilihan sampel
penelitian yang paling tersedia sebagai peserta penelitian (Polit & Beck, 2012).
diabetes tipe 2, lama menderita diabetes minimal 1 tahun, umur di atas 25 tahun,
responden penelitian dan kooperatif. Kriteria eksklusi pada sampel penelitian ini
adalah pasien diabetes tipe 2 yang mengalami gangguan fisik berat atau kondisi
prosedur penelitian kepada calon responden. Calon responden yang telah bersedia
untuk menjawab seluruh pertanyaan. Untuk responden yang tidak dapat membaca
diri, dan kuesioner manajemen diri pada pasien dengan diabetes tipe 2.
karakteristik responden diisi dengan cara menuliskan jawaban singkat dan tanda
Self Efficacy Scale (DMSES) versi Australia/Inggris. DMSES adalah alat ukur
diabetes tipe 2. Instrumen ini terdiri 20-item pertanyaan untuk menilai sejauh
mana tingkat keyakinan diri responden dalam melakukan aktivitas perawatan diri
diabetes, termasuk diet, aktivitas fisik, memonitor kadar gula darah mandiri, obat-
obatan, dan perawatan kaki. Reliabilitas internal dari kuesioner ini telah diteliti
dengan menggunakan semua data yang tersedia pada waktu itu dengan n=88,
didapatkan nilai koefisien Cronbach alpha adalah 0,91 (McDowell et al., 2005).
Hampson & Glasgow, 2000). Instrumen ini terdiri dari 16 item pertanyaan untuk
latihan fisik (2 item), monitoring glukosa darah mandiri (2 item), dan perawatan
kaki (5 item). Uji validitas dari instrumen ini adalah tinggi dengan konsistensi
internal >0,50 dan reliabilitas test-retest 0,55-0,64 (Glasgow et al., 1989; 1998;
2000). Uji validitas instrumen juga telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya yang
total adalah 0,72 dengan sub-skala individu berkisar antara 0,53-0,95 (Hunt et al.,
2012).
Instrumen penelitian untuk mengukur efikasi diri dan manajemen diri pada
diabetes tipe 2 diadopsi dari instrumen bahasa Inggris. Proses translasi atau
orang yang memiliki kriteria insklusi yang sama dengan responden penelitian.
korelasi rhitung > rtabel (0,361). Sedangkan reliabilitas instrumen dilihat dari nilai
0,70, di atas 0,80 adalah baik, dan di atas 0,90 adalah ideal (Polit & beck, 2012).
Hasil uji validitas konstruk pada kuesioner efikasi diri DMSES yang
terdiri dari 20 item pernyataan, diperoleh nilai rhitung pada rentang 0,408-0,882
(dinyatakan valid dengan rhitung > rtabel). Hasil uji reliabilitas kuesioner efikasi diri
Revised yang terdiri dari 16 item pertanyaan, diperoleh nilai r pada rentang 0,322-
0,687. Ada 10 item pernyataan yang memiliki nilai rhitung > 0,361 dan dinyatakan
valid, sedangkan ada 4 item pernyataan yang memiliki nilai rhitung<0,361 adalah
jika nilai koefisien korelasi >0,30. Hasil uji reliabilitas kuesioner manajemen diri
Penelitian ini terdiri dari variabel independen yaitu efikasi diri dan
karakteristik responden yang terdiri dari; umur, jenis kelamin, suku, pendidikan,
Definisi Skala
Variabel Alat Ukur Hasil Ukur
Operasional Ukur
Independen:
Efikasi diri Keyakinan pasien Kuesioner Skor maksimal: 200; Interval
terhadap DMSES, Pengkategorian
kemampuannya untuk yang terdiri menggunakan
melakukan berbagai dari 20 item parameter:
perilaku manajemen pertanyaan 1. Rendah: 0-55
diri 2. Sedang : 56-139
3. Tinggi : 140-200
Karakteristik
responden:
1. Umur Umur responden Kuesioner 1. < 60 tahun Nominal
berdasarkan tanggal karakteristik 2. ≥ 60 tahun
lahir sampai dengan responden
ulang tahun terakhir
Definisi Skala
Variabel Alat Ukur Hasil Ukur
Operasional Ukur
5. Pekerjaan Jenis pekerjaan Kuesioner 1. Tidak bekerja Nominal
responden sehari-hari karakteristik 2. Bekerja (PNS,
responden pegawai swasta,
TNI/POLRI,
wiraswasta, dan
lain-lain)
Dependen:
Manajemen Seperangkat perilaku Kuesioner Skor : 0-7. Rasio
diri yang dilakukan oleh SDSCA- Subskala:
pasien diabetes tipe 2 Revised, 1. Diet:
untuk mengelola yang terdiri Mean & SD
penyakitnya yang dari 16 item 2. Latihan fisik:
mencakup diet, pertanyaan Mean & SD
latihan fisik, 3. Medikasi:
medikasi, monitoring Mean & SD
glukosa darah 4. Monitoring
mandiri, dan glukosa darah
perawatan kaki. mandiri:
Mean & SD
5. Perawatan kaki:
Mean & SD
dari 0-10, sebagai berikut; 0 (tidak dapat melakukan sama sekali), 5 (bisa ya/bisa
tidak), dan 10 (sangat mampu melakukannya), dengan total skor 0-200. Hasil skor
1) Efikasi diri rendah, jika skor total responden yang diperoleh: 0-55,
2) Efikasi diri sedang, jika skor total responden yang diperoleh: 56-139,
3) Efikasi diri tinggi, jika skor total responden yang diperoleh: 140-200.
diminta untuk menilai berapa banyak dari 7 hari terakhir mereka berpartisipasi
dalam setiap perilaku manajemen diri. Jika responden sakit selama 7 hari terakhir,
maka responden diminta untuk menilai aktivitas perawatan dirinya 7 hari sebelum
sakit. Instrumen ini terdiri dari 8 pilihan jawaban yaitu 0 hari sampai dengan 7
hari. Untuk pertanyaan positif (item no. 1-3, 5-16), skor yang diberikan yaitu 0
hari (skor 0), 1 hari (skor 1), 2 hari (skor 2), 3 hari (skor 3), 4 hari (skor 4), 5 hari
(skor 5), 6 hari (skor 6), dan 7 hari (skor 7). Dan untuk pertanyaan negatif (item
no. 4), skor yang diberikan yaitu 0 hari (skor 7), 1 hari (skor 6), 2 hari (skor 5), 3
hari (skor 5), 4 hari (skor 3), 5 hari (skor 2), 6 hari (skor 1), dan 7 hari (skor 0).
Hasil skor dari pengukuran dinyatakan dalam bentuk interval dengan menghitung
diri pada diabetes tipe 2, dilihat dari skor tertinggi dari masing-masing subskala.
data. Analisis data yang dilakukan pada penelitian ini terdiri dari analisis
univariat, bivariat, dan multivariat. Analisis data yang dilakukan sebagai berikut:
tujuan deskripsi (Polit & Beck, 2012). Bentuk penyajian hasil dari analisis
deskriptif, tergantung dari jenis skala atau data. Untuk data numerik yaitu
maksimal, dengan 95% confidence interval (CI). Untuk data kategorik yang terdiri
dari efikasi diri, umur, jenis kelamin, suku, pendidikan, pekerjaan, lama
Analisa bivariat yaitu analisis dua variabel secara bersamaan untuk menilai
hubungan secara empiris di antara kedua variabel (Polit & Beck, 2012). Analisis
antara efikasi diri dan karakteristik responden dengan manajemen diri pada pasien
diabetes tipe 2. Uji statistik yang digunakan yaitu uji statistik parametrik, dengan
menganalisis data interval dan rasio. Sedangkan uji statistik non parametrik
1) Uji normalitas data. Untuk menguji apakah sebaran dari data berdistribusi
normal atau tidak, maka perlu dilakukan uji statistik. Uji statistik untuk
metode analitik dengan jumlah sampel penelitian >50 orang adalah uji
dengan manajemen diri. Keluaran hasil uji adalah dengan melihat besarnya
diabetes dengan manajemen diri pada pasien diabetes tipe 2. Apabila nilai
efikasi diri, umur, dan lama terdiagnosis diabetes dengan manajemen diri
dengan dua kelompok data. Dalam hal ini uji Independet t-test digunakan
dengan manajemen diri dengan sebaran data yang tidak berdistribusi normal.
Keluaran hasil uji adalah dengan melihat besarnya nilai signifikasi. Apabila
ditolak, artinya ada hubungan antara umur, jenis kelamin, pekerjaan, lama
4) Analisis bivariat One Way ANOVA. Analisis bivariat One Way ANOVA
antara suku dan pendidikan dengan manajemen diri. Keluaran hasil uji adalah
>0,05 maka Ho diterima, artinya tidak ada hubungan antara suku dan
pendidikan dengan manajemen diri pada pasien diabetes tipe 2. Apabila nilai
data numerik (rasio), maka uji statistik yang digunakan adalah regresi linier
bivariat. Pada tahap ini seleksi bivariat dilakukan pada masing-masing variabel
2) Pemodelan multivariat
model multivariat. Variabel dianggap valid jika memiliki nilai p value <0,05. Bila
dalam pemodelan multivariat terdapat variabel yang memiliki nilai p value >0,05,
dilakukan secara bertahap, dimulai dari variabel yang memiliki nilai p value yang
paling besar. Jika dengan pengeluaran variabel tersebut terjadi perubahan nilai
coefficients B lebih dari 10%, maka variabel tersebut tetap dipertahankan dalam
pemodelan. Sebaliknya, jika terjadi perubahan nilai coefficients B tidak lebih dari
memiliki hubungan yang paling kuat dengan variabel dependen. Pada kolom Beta
dapat digunakan untuk mengetahui variabel independen mana yang paling besar
hubungannya dengan variabel dependen. Semakin besar nilai Beta maka semakin
USU), dan dinyatakan lulus persetujuan etik (Ethical Clearance) dari Komite Etik
sebagai subjek penelitian, bila responden menolak maka peneliti tidak memaksa
dan tetap menghargai hak-hak responden; Anonimity (tanpa nama), untuk menjaga
peneliti dan hanya kelompok data tertentu yang dilaporkan sebagai hasil
HASIL PENELITIAN
Bab ini menguraikan tentang hasil penelitian yang telah dilakukan pada
bulan Mei-Juni 2014 di Poliklinik Endokrin Rumah Sakit Umum Daerah Dr.
Pirngadi Medan, dengan jumlah responden sebanyak 92 orang (n=92) pada pasien
diabetes tipe 2. Analisis data hasil penelitian terdiri dari analisis univariat,
mayoritas responden berumur ≥60 tahun sebanyak 55 orang (59,8%) dengan rata-
rata umur responden adalah 60,7 tahun, jenis kelamin responden mayoritas adalah
orang (62%), mayoritas lama terdiagnosis diabetes pada responden ≤10 tahun
tingkat efikasi diri sedang sebanyak 53 orang (57,6%), responden dengan tingkat
efikasi diri tinggi sebanyak 37 orang (40,2%), dan minoritas responden memiliki
tingkat efikasi diri rendah sebanyak 2 orang (2,2%). Deskripsi tingkat efikasi diri
(n=92) melakukan manajemen diri rata-rata 3,9 hari (SD±1,0) dalam seminggu.
Responden memiliki manajemen diri yang paling tinggi yaitu pada medikasi
dengan rata-rata 5,8 hari (SD±2,4) dalam seminggu, dan diet dengan rata-rata 5,5
hari (SD±1,4) dalam seminggu. Manajemen diri responden yang paling rendah
yaitu melakukan monitoring glukosa darah mandiri dengan rata-rata 1,3 hari
(SD±1,0) dalam seminggu, melakukan latihan fisik dengan rata-rata 1,7 hari
(SD±2,0) dalam seminggu, dan melakukan perawatan kaki dengan rata-rata 3,3
signifikan antara efikasi diri dengan manajemen diri (p=0,0005), dengan koefisien
positif yang artinya semakin tinggi tingkat efikasi diri responden maka semakin
bahwa efikasi diri menjelaskan 17% variasi nilai manajemen diri dan sisanya
dijelaskan oleh faktor lain. Dari persamaan garis regresi menunjukkan bahwa nilai
manajemen diri dengan konstanta 1,56 akan meningkat sebesar 0,02 apabila nilai
efikasi diri bertambah satu satuan. Analisis hubungan antara efikasi diri dengan
Tabel 4.4. Analisis Hubungan antara Efikasi Diri dengan Manajemen Diri di
RSUD Dr. Pirngadi Medan Bulan Mei-Juni 2014 (n=92)
Hasil analisis uji statistik dalam penelitian ini menunjukkan bahwa tidak
terdapat hubungan yang signifikan antara umur dengan manajemen diri (p=0,713),
tidak terdapat hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan manajemen
diri (p=0,875), tidak terdapat hubungan yang signifikan antara suku dengan
antara pekerjaan dengan manajemen diri (p=0,023), tidak terdapat hubungan yang
Manajemen Diri
Variabel
n Mean SD t/Z/F value p value
Umur
<60 tahun 37 3,8 0,9
t = -0,369 0,713
≥60 tahun 55 3,9 1,0
Jenis Kelamin
Laki-laki 32 3,9 1,1
t = 0,158 0,875
Perempuan 60 3,8 0,9
Suku
Batak 72 3,9 1,0
Jawa 8 3,9 0,6
F = 0,141 0,967
Melayu 4 3,7 0,8
Minang 6 3,6 1,3
Aceh 2 3,8 2,2
Pendidikan
SD 4 3,1 0,6
SMP 16 3,7 1,0 F = 2,173 0,097
SMA 41 3,8 1,0
PT 31 4,2 0,9
Pekerjaan
Bekerja 35 3,6 1,1
Z = -2,275 0,023*
Tidak Bekerja 57 4,0 0,8
Lama Terdiagnosis
Diabetes
≤10 tahun 56 3,9 1,0
t = 0,093 0,926
>10 tahun 36 3,8 0,9
Komplikasi Diabetes
Ada 58 3,9 1,0
t = 0,859 0,393
Tidak Ada 34 3,7 0,9
Pendidikan Kesehatan
tentang Diabetes
Pernah 39 4,2 0,6
Z = -3,256 0,001*
Tidak Pernah 53 3,6 1,1
* p<0,05
hubungan yang paling kuat dengan variabel dependen (manajemen diri) adalah
bivariat. Pada tahap ini seleksi bivariat dilakukan pada masing-masing variabel
nilai p value pada variabel efikasi diri (p=0,0005). Hasil analisis bivariat dengan
menggunakan uji Independent t-test didapatkan nilai p value pada variabel umur
menggunakan uji One Way ANOVA didapatkan nilai p value pada variabel suku
maka variabel yang masuk dalam kandidat pemodelan multivariat adalah efikasi
dianggap valid adalah variabel yang memiliki nilai p value <0,05. Bila dalam
pemodelan multivariat terdapat variabel yang memiliki nilai p value >0,05, maka
secara bertahap, dimulai dari variabel yang memiliki nilai p value yang paling
coefficients B lebih dari 10%, maka variabel tersebut tetap dipertahankan dalam
Tabel 4.6. Analisis Regresi Linier Ganda antara Efikasi Diri, Pendidikan,
Pekerjaan, dan Pendidikan Kesehatan tentang Diabetes dengan
Manajemen Diri di RSUD Dr. Pirngadi Medan Bulan Mei-Juni
2014 (n=92)
Manajemen Diri
Variabel
Coefficients B p value
Tahap 1
Efikasi Diri 0,015 0,0005
Pendidikan 0,106 0,339
Pekerjaan 0,356 0,049
Pendidikan Kesehatan tentang Diabetes -0,492 0,008
Tahap 2
Efikasi Diri 0,016 0,0005
Pekerjaan 0,350 0,052
Pendidikan Kesehatan tentang Diabetes -0,534 0,003
Tahap 3
Efikasi Diri 0,016 0,0005
Pendidikan Kesehatan tentang Diabetes -0,594 0,001
dapat disimpulkan bahwa variabel independen yang masuk model akhir regresi
adalah efikasi diri dan pendidikan kesehatan tentang diabetes, yang ditampilkan
Tabel 4.7. Model Akhir Analisis Regresi Linier Ganda antara Efikasi Diri
dan Pendidikan Kesehatan tentang Diabetes dengan Manajemen
Diri di RSUD Dr. Pirngadi Medan Bulan Mei-Juni 2014 (n=92)
Manajemen Diri
Variabel
Coefficients B Beta p value R2
Efikasi Diri 0,016 0,402 0,0005
0,265
Pendidikan Kesehatan -0,594 -0,308 0,001
tentang Diabetes
Persamaan Garis: Y = 2,55 + 0,02X1 – 0,59X2
Manajemen diri = 2,55 + 0,02*efikasi diri – 0,59*pendidikan kesehatan tentang
diabetes
Dari hasil analisis multivariat di atas diketahui bahwa nilai Beta variabel
efikasi diri = 0,402 dan pendidikan kesehatan tentang diabetes = -0,308, sehingga
dapat disimpulkan bahwa variabel yang memiliki hubungan paling kuat dengan
manajemen diri dengan konstanta 2,55 akan meningkat sebesar 0,02 apabila nilai
efikasi diri bertambah satu satuan setelah dikontrol variabel pendidikan kesehatan
tentang diabetes, dan nilai manajemen diri akan menurun sebesar 0,59 apabila
PEMBAHASAN
tingkat efikasi diri sedang sebanyak 53 orang (57,6%), responden dengan tingkat
efikasi diri tinggi sebanyak 37 orang (40,2%), dan responden dengan tingkat
Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian dari Nyunt et al.
(2010), yang menyimpulkan bahwa responden yang memiliki tingkat efikasi diri
tinggi sebanyak 165 orang (62,0%), responden yang memiliki tingkat efikasi diri
sedang sebanyak 83 orang (31,2%), dan responden yang memiliki tingkat efikasi
diri rendah sebanyak 18 orang (6,8%). Begitu juga dengan hasil penelitian dari
Ariani (2011), yang menunjukkan bahwa lebih dari setengah responden memiliki
efikasi diri baik sebanyak 58 orang (52,7%), dan efikasi diri yang tidak baik
tingkat efikasi rendah sebanyak 40 orang (71,43%), dan yang memiliki tingkat
untuk menghasilkan tingkat kinerja yang telah ditetapkan yang memiliki pengaruh
atas peristiwa dalam kehidupan mereka (Bandura, 1994). Individu dengan tingkat
efikasi diri yang tinggi memperkirakan akan sukses dalam pencapaian tujuan, dan
untuk mencapai tujuan (Hunt et al., 2012). Seseorang dengan rasa efikasi diri yang
cukup akan merasa percaya diri dalam kemampuan dirinya untuk melakukan
sesuatu, baik dalam hal minum obat dengan benar, mengatur pola makan sesuai
Lavin, 2013).
Tingkat efikasi diri pada penelitian ini terdiri dari tinggi, sedang, dan
seseorang dengan tingkat efikasi diri yang tinggi umumnya menghadapi masalah
secara lebih efektif daripada seseorang yang tingkat efikasi dirinya rendah.
Seseorang dengan persepsi efikasi dirinya yang kuat akan menganggap tugas-
tugas sulit sebagai tantangan yang harus dikuasai, mereka mengatur dirinya
stres, dan menurunkan kerentanan terhadap depresi (Sturt, Hearnshaw & Wakelin,
2010).
Peneliti berasumsi bahwa tingkat efikasi diri yang tinggi pada respoden
menunjukkan bahwa responden telah memiliki keyakinan diri yang tinggi dan
maksimal. Pada responden yang memiliki tingkat efikasi diri sedang menunjukkan
bahwa dirinya masih belum cukup yakin untuk melakukan manajemen diri dengan
menghindari tugas-tugas sulit, memiliki aspirasi yang rendah dan komitmen yang
lemah terhadap tujuan yang mereka pilih. Ketika dihadapkan dengan tugas-tugas
dengan persepsi efikasi diri yang rendah akan rentan terhadap stres dan depresi
(Bandura, 1994). Peneliti berasumsi bahwa pada responden yang memiliki tingkat
efikasi diri yang lebih rendah, akan menurunkan rasa percaya diri dan
diri ini terus menurun, maka dapat menyebabkan ketidakpatuhan pasien dalam
interpretasi yang berbeda terhadap tingkat efikasi diri. Selain itu, hal ini dapat
disebabkan karena efikasi diri seseorang dapat berubah dari waktu ke waktu,
penelitian selanjutnya.
melakukan manajemen diri yang paling tinggi pada medikasi dengan rata-rata 5,8
hari dalam seminggu, dan diet rata-rata 5,5 hari dalam seminggu. Manajemen diri
mandiri dengan rata-rata 1,3 hari dalam seminggu, juga lebih rendah dalam
melakukan latihan fisik dengan rata-rata 1,7 hari dalam seminggu, dan melakukan
Hasil penelitian ini didukung oleh hasil penelitian dari Al-Khawaldeh, Al-
Hassan & Froelicher (2012), yang menyimpulkan bahwa perilaku manajemen diri
diabetes yang paling banyak dilakukan adalah minum obat dengan rata-rata 6,1
hari dalam seminggu, diikuti dengan perilaku manajemen diri pada diet dengan
rata-rata 4,4 hari dalam seminggu. Perilaku manajemen diri diabetes yang paling
sedikit dilakukan adalah monitoring glukosa darah mandiri dengan rata-rata 1,7
hari dalam seminggu dan latihan fisik dengan rata-rata 1,8 hari dalam seminggu.
(2011), yang menunjukkan bahwa aktivitas self-care diabetes lebih tinggi dalam
minum obat secara teratur dengan rata-rata 6,7 hari dalam seminggu, pengaturan
diet dengan rata-rata 5,9 hari dalam seminggu, latihan fisik juga tinggi dengan
rata-rata 5,1 hari dalam seminggu, dan perawatan kaki dengan rata-rata 4,9 hari
melakukan monitoring glukosa darah dengan rata-rata 1,0 hari dalam seminggu.
diabetes yang diresepkan setiap hari yaitu 89,1% dan mengatur dietnya setiap hari
mandiri setiap hari yaitu 4,5% dan perawatan kaki setiap hari yaitu 18,9%. Sama
halnya dengan hasil penelitian dari Xu, Pan & Liu (2010), yang menyimpulkan
bahwa lebih dari 80% responden mengkonsumsi obat yang diresepkan setiap hari,
42% melakukan perawatan kaki setiap hari, dan 40% responden melakukan
latihan jasmani ≥5 hari per minggu, hanya 36,8% yang mengikuti rekomendasi
diet, dan hanya 26,8% yang melakukan monitoring glukosa darah mandiri setiap
hari.
perilaku sehari-hari seperti diet, latihan fisik, medikasi, monitoring glukosa darah,
dan perawatan kaki (ADA, 2014). Tidak ada satu hari pun kegiatan manajemen
diri diabetes dapat diabaikan, aktivitas tersebut harus dilaksanakan 24 jam sehari,
dan 365 hari dalam setahun. Manajemen diri diabetes adalah proses seumur hidup
yang harus dilakukan setiap hari dan membutuhkan kedisiplinan diri serta
panjang. Dan telah terbukti bahwa peningkatan manajemen diri diabetes akan
bahwa manajemen diri pada pasien diabetes tipe 2 belum dilakukan secara
maksimal. Sama halnya dengan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara
seminggu, yang berarti bahwa manajemen diri diabetes belum dilakukan secara
maksimal selama 7 hari dalam seminggu. Hal ini disebabkan karena tingkat
efikasi diri pasien yang mayoritas adalah tingkat sedang, efikasi diri dengan
tingkat sedang dinilai belum dapat menumbuhkan kepercayaan diri yang tinggi,
diabetes secara maksimal. Selain itu, pasien belum memahami pentingnya setiap
perilaku manajemen diri diabetes baik dari aspek diet, latihan fisik, penggunaan
melakukan diet dengan rata-rata 5,5 hari dalam seminggu, yang berarti bahwa
pasien belum melakukan diet secara maksimal. Hal ini disebabkan karena pasien
tidak sepenuhnya memahami bagaimana diet yang tepat untuk diabetes, pasien
pada porsi makanan, sehingga pasien tidak memahami cara pengaturan jumlah
dan jenis makanan, dan akhirnya pasien tidak mengikuti diet yang dianjurkan.
Dalam panduan PERKENI (2011), menjelaskan bahwa pada pasien diabetes perlu
ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal jadual makan, jenis dan
jumlah makanan, terutama pada pasien yang menggunakan obat penurun glukosa
melakukan latihan fisik dengan rata-rata 1,7 hari dalam seminggu, yang berarti
bahwa pasien belum melakukan latihan fisik secara maksimal. Hal ini disebabkan
karena pasien tidak memahami manfaat dari latihan fisik, sehingga pasien kurang
termotivasi untuk melakukan latihan fisik secara rutin. Pasien diabetes tipe 2
disarankan melakukan latihan fisik setidaknya 5 kali dalam seminggu atau setara
150 menit per minggu. Hasil percobaan terkontrol telah menunjukkan bahwa
latihan fisik secara teratur dapat meningkatkan kontrol glukosa darah, mengurangi
latihan fisik bagi pasien sehingga pasien termotivasi untuk meningkatkan latihan
melakukan manajemen diri pada medikasi dengan rata-rata 5,8 hari dalam
seminggu. Nilai manajemen diri pada medikasi lebih tinggi dibandingkan dengan
diri secara menyeluruh. Meskipun demikian nilai tersebut masih belum cukup
maksimal. Hal ini disebabkan karena masih terdapat beberapa pasien tidak
sebuah keharusan bagi penderita diabetes, pasien harus mengkonsumsi obat secara
tepat sesuai dengan waktu dan dosis yang diresepkan oleh dokter, sehingga dapat
akut dan kronis (Wu, 2007). Perawat harus memberikan bimbingan dan
obat-obat lebih hati-hati dan mengajarkan cara minum obat dengan benar untuk
melakukan monitoring glukosa darah mandiri dengan rata-rata 1,3 hari dalam
seminggu, yang berarti bahwa pasien belum melakukan monitoring glukosa darah
mandiri secara maksimal. Hal ini disebabkan karena pasien hanya melakukan
monitoring glukosa darah hanya pada saat kontrol ke rumah sakit, misalnya 1-2
kali dalam sebulan. Selain itu, banyak pasien yang tidak memiliki alat glukometer
pemeriksaan glukosa darah sendiri sehingga pasien lebih nyaman jika diperiksa
(Nair, 2007). Salah satu penelitian menunjukkan bahwa peningkatan dalam risiko
sulfonylurea yang tidak memonitor glukosa darah mereka sendiri (Lowe, 2010).
Pasien dengan kadar glukosa darah kurang terkontrol lebih cenderung memiliki
darah sendiri dan dalam pencegahan komplikasi jangka panjang dari diabetes
(Nair, 2007).
melakukan perawatan kaki dengan rata-rata 3,3 hari dalam seminggu, yang berarti
bahwa pasien belum melakukan perawatan kaki secara maksimal. Hal ini
terdapat masalah pada kaki mereka. Banyak pasien diabetes yang tidak memiliki
termasuk perawatan kaki (Mason et al., 1999; Wu, 2007). Ulserasi dan amputasi
penyebab utama morbiditas dan kecacatan pada pasien dengan diabetes (ADA,
2014). Sehingga perawat memiliki peran untuk memberikan pengenalan dini dan
manajemen faktor risiko pada masalah kaki yang dapat mencegah atau menunda
Diabetes Tipe 2
efikasi diri dengan manajemen diri (r=0,412, p<0,05). Hasil penelitian ini
didukung oleh hasil penelitian dari Sarkar, Fisher & Schillinger (2006), Bean,
Cundy & Petrie (2007), Wu et al. (2007), Xu et al. (2008), Lee, Ahn & Kim
(2009), Hunt et al. (2012), Sharoni & Wu (2012), Al-Khawaldeh, Al-Hassan &
Froelicher (2012), dan Gao et al. (2013). Hasil penelitian tersebut menyimpulkan
bahwa pasien yang memiliki efikasi diri yang lebih tinggi juga memiliki perilaku
diri (=0,402, p<0,05). Hasil penelitian ini konsisten dengan beberapa penelitian
prediktor yang signifikan terhadap perilaku manajemen diri pada diabetes tipe 2.
Hasil penelitian ini didukung oleh hasil penelitian dari Wu et al. (2007), yang
perawatan diri, terhitung 23% dari total varian yang bisa menjelaskan dalam
Froelicher (2012), yang menyimpulkan bahwa efikasi diri secara signifikan lebih
besar yang memprediksi perilaku manajemen diri pada pasien diabetes tipe 2.
Semakin tinggi tingkat efikasi diri pasien diabetes tipe 2, maka akan
memperkuat adanya hubungan antara efikasi diri dengan manajemen diri pada
5.4.1. Umur
antara umur dengan manajemen diri (t=-0,369, p>0,05). Hasil penelitian ini
bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara umur dengan self-care
diabetes. Begitu juga dengan hasil penelitian dari Wu et al. (2007), yang
menyimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara umur dan
perilaku self-care. Akan tetapi hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian
yang ditunjukkan oleh Xu, Pan & Liu (2010), yang menyimpulkan bahwa terdapat
hubungan antara umur dengan manajemen diri diabetes. Penderita diabetes yang
lebih tua memiliki tingkat manajemen diri yang lebih tinggi pada diet, olahraga,
menjelaskan bahwa apabila seseorang telah terdiagnosis diabetes tipe 2 baik yang
berumur lebih muda ataupun lebih tua, mereka sama-sama memiliki tanggung
antara jenis kelamin dengan manajemen diri (t=0,158, p>0,05). Hasil penelitian
ini didukung oleh hasil penelitian dari Kusniawati (2011), yang menyimpulkan
bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan dalam melakukan aktifitas self-care
diabetes antara laki-laki dan perempuan. Begitu juga dengan hasil penelitian dari
Skarbek (2006), yang menyimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan
antara jenis kelamin dengan salah satu komponen manajemen diri baik dari segi
diet, latihan fisik, dan pemeriksaan gula darah. Akan tetapi hasil penelitian ini
berbeda dengan hasil penelitian yang ditunjukkan oleh Bai, Chiou & Chang
dipengaruhi oleh jenis kelamin yang berbeda, laki-laki memiliki skor perilaku
diabetes tipe 2 dapat terjadi baik pada laki-laki maupun perempuan, sehingga
tugas manajemen diri tetap menjadi prioritas dalam mengelola penyakit diabetes.
Umumnya, pasien laki-laki memiliki rasa tanggung jawab terhadap diri dan
mereka harus merawat diri mereka sendiri, begitu juga dalam melakukan
5.4.3. Suku
antara suku dengan manajemen diri (F=0,141, p>0,05). Hasil penelitian ini
didukung oleh hasil penelitian dari Bean, Cundy & Petrie (2007), yang
menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara tiga kelompok
etnis dalam hal diet dan pemeriksaan glukosa darah. Responden Kepulauan
dengan orang Eropa dan Asia Selatan, tidak ada perbedaan yang signifikan dalam
hal penggunaan obat-obatan antara Eropa dan Asia Selatan. Hasil penelitian yang
sama juga ditunjukkan oleh Skarbek (2006), yang menyimpulkan bahwa tidak ada
hubungan yang signifikan dari etnis pada salah satu komponen subskala dari
manajemen diri termasuk diet, latihan fisik, dan pemeriksaan gula darah. Akan
tetapi hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian dari Sarkar, Fisher &
karena setiap negara memiliki beragam suku dan ras. Masing-masing suku
keseluruhan, suku Batak adalah suku terbanyak pada responden yang mengalami
diabetes tipe 2. Hal ini disebabkan karena suku Batak juga merupakan responden
terbanyak dalam penelitian ini dan suku terbanyak yang bermukim di Provinsi
Sumatera Utara.
5.4.4. Pendidikan
antara pendidikan dengan manajemen diri (F=2,173, p>0,05). Hasil penelitian ini
didukung oleh hasil penelitian dari Skarbek (2006), yang menyimpulkan bahwa
tidak ada hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan pada salah satu
komponen subskala dari manajemen diri termasuk diet, latihan fisik, dan
pemeriksaan gula darah. Akan tetapi hasil penelitian ini berbeda dengan hasil
yang signifikan antara pendidikan pasien dengan perilaku perawatan diri. Begitu
juga hasil penelitian dari Xu, Pan & Liu (2010), yang menyimpulkan bahwa
dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi memiliki tingkat manajemen diri
yang lebih tinggi terhadap diet, olahraga, dan pemeriksaan gula darah mandiri,
dan lebih mudah untuk memahami informasi kesehatan yang berhubungan dengan
& Chang (2009), yang menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan
dalam skor perilaku perawatan diri berdasarkan tingkat pendidikan. Pasien yang
memiliki perawatan diri perilaku skor lebih tinggi daripada pasien yang buta
huruf. Selain itu, lulusan perguruan tinggi dan universitas memiliki skor perilaku
perawatan diri skor lebih tinggi dibandingkan dengan pendidikan sekolah dasar
saja.
yang baik tentang pentingnya perilaku perawatan diri dan memiliki keterampilan
manajemen diri yang lebih baik untuk menggunakan informasi diabetes yang
rendah, akan tetapi dengan adanya persamaan dan perbedaan pada hasil penelitian
di atas menunjukkan bahwa pasien diabetes baik dengan tingkat pendidikan yang
tinggi maupun rendah, mereka tetap memiliki kesempatan yang sama untuk
5.4.5. Pekerjaan
pekerjaan dengan manajemen diri (Z=-2,275, p<0,05), pasien yang tidak bekerja
memiliki skor rata-rata manajemen diri diabetes yang lebih tinggi daripada pasien
yang bekerja. Hasil penelitian ini didukung oleh hasil penelitian dari Xu, Pan &
Liu (2010), yang menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara
pekerjaan dengan manajemen diri diabetes. Pasien diabetes yang bekerja memiliki
bekerja. Akan tetapi berbeda dengan hasil penelitian dari Wu et al. (2007), yang
Pada umumnya pasien yang bekerja memiliki waktu yang terbatas dalam
persamaan dan perbedaan pada hasil penelitian di atas dapat menjelaskan bahwa
pasien yang bekerja dan tidak bekerja tetap memiliki kesempatan yang sama
p>0,05). Hasil penelitian ini didukung oleh hasil penelitian dari Kusniawati
positif yang signifikan antara perilaku self-care dengan durasi penyakit diabetes.
Pasien yang menderita diabetes lebih lama memiliki skor perilaku perawatan diri
Begitu juga dengan hasil penelitian oleh Bai, Chiou & Chang (2009), yang
perawatan diri. Responden dengan durasi penyakit lama biasanya memiliki skor
perawatan diri yang lebih tinggi dibandingkan durasi penyakit yang singkat. Hasil
penelitian yang sama juga ditunjukkan oleh Xu, Pan & Liu (2010), yang
Bagi penyandang diabetes yang baru, maka hal ini merupakan pengalaman
pertama dan tantangan yang harus dihadapi dan dijalani sepanjang hidupnya,
diabetes sudah menjadi kebiasaan atau pola hidup yang sehat bagi mereka.
Hasil penelitian ini didukung oleh hasil penelitian dari Bai, Chiou & Chang
(2009) yang menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara
komplikasi diabetes dengan manajemen diri. Akan tetapi hasil penelitian ini
berbeda dengan hasil penelitian dari Wu et al. (2007), yang menyimpulkan bahwa
menunjukkan skor perawatan diri diabetes yang lebih tinggi daripada pasien yang
banyak melakukan manajemen diri baik terkait diabetes maupun terkait penyakit
penyerta. Pasien akan selalu memperhatikan kondisi penyakitnya lebih rutin dan
lebih baik. Sedangkan pasien tanpa adanya komplikasi diabetes akan merasa
persamaan dan perbedaan dengan hasil penelitian di atas menjelaskan bahwa pada
pasien diabetes tipe 2 baik yang telah memiliki komplikasi maupun yang belum
rata manajemen diri yang lebih tinggi daripada pasien yang tidak pernah
oleh hasil penelitian dari Wu et al. (2007), yang menyimpulkan bahwa terdapat
perilaku perawatan diri diabetes lebih baik dibandingkan responden yang tidak
menerima pendidikan diabetes. Begitu juga dengan hasil penelitian dari Gumbs
perilaku perawatan diri pada pasien perempuan Afrika Amerika dengan diabetes
secara bermakna lebih mungkin untuk terlibat dalam perilaku perawatan diri
diabetes lebih mungkin untuk memeriksa darah mereka sendiri gula dan kaki
modifikasi. Hal ini menyebabkan pasien lebih banyak bertanya makna dari
kurang representatif.
6.1. Kesimpulan
hubungan yang signifikan antara efikasi diri dengan manajemen diri (r=0,412,
p<0,05), semakin tinggi tingkat efikasi diri pasien maka semakin baik perilaku
prediktor yang memiliki hubungan paling kuat dengan manajemen diri (=0,402,
p<0,05).
6.2. Saran
dengan efikasi diri dan manajemen diri pada pasien diabetes tipe 2.
dan membentuk sebuah tim edukasi kesehatan dan konsultan khusus diabetes
yang terdiri dari berbagai disiplin baik dokter, perawat, ahli gizi, ahli
peran dan fungsi sesuai keahliannya yang dibutuhkan oleh pasien diabetes,
yang bertujuan untuk meningkatkan efikasi diri dan manajemen diri pada
visite ataupun home care secara rutin dan berkala pada pasien dan
manajemen diri diabetes yang lebih sesuai dengan kondisi dan karakterisitik
lebih dalam tentang penerapan manajemen diri diabetes, baik dari penerapan
oleh pasien diabetes tipe 2, serta dapat melakukan penelitian action research
peningkatan efikasi diri dan manajemen diri pada pasien diabetes tipe 2,
dan fungsi perawat baik sebagai care giver, educator, konselor, atau peran
lainnya yang bermanfaat dalam meningkatkan efikasi diri dan manajemen diri
Aalaa, M., Malazy, O. T., Sanjari, M., Peimani, M., & Mohajeri-Tehrani., M. R.
(2012). Nurses’ role in diabetic foot prevention and care; a review. Journal
of Diabetes and Metabolic Disorders, 11, 24–29. doi:10.1186/2251-6581-
11-24.
Adams, K., Greiner, A. C., & Corrigan, J. M. (Eds). (2004). Report of a summit.
The 1st annual crossing the quality chasm summit: A focus on
communities. Washington, DC: National Academies Press.
Aditama, W., Pramono, B., & Rahayujati, B. (2011). The relationship of self-care,
self efficacy, and social support with glycemic control (HbA1c) among type
2 diabetes mellitus patients in Banyudono 1 and Ngemplak Public Health
Centres in Boyolali District Central Java Province. Thesis Summary.
Retrieved from http://www.ph-
gmu.org/test/wisuda/publikasi/online/foto_berita/wiwitaditama.pdf
Amod, A., Ascott-Evans, BH., Berg, G. I., Blom, D. J. , Brown, S. L., & Carrihill,
M. M., et al. (2012). The 2012 JEMDSA Guideline for the management of
type 2 diabetes (revised). Journal of Endocrinology, Metabolism and
Diabetes of South Africa-JEMDSA, 17(2) (Supplement 1), 1–95.
Ariani, Y. (2011). Hubungan antara motivasi dengan efikasi diri pasien DM tipe
2 dalam konteks asuhan keperawatan di RSUP H. Adam Malik Medan.
Master Tesis. http://lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20282755-
T%20Yesi%20Ariani.pdf
Bean, D., Cundy, T., & Petrie, K. J. (2007). Ethnic differences in illness
perceptions, self-efficacy and diabetes self-care. Psychology and Health,
22(7), 787–811. doi:10.1080/14768320600976240.
Cohen, J. (1988). Statistical power analysis for the behavioral sciences (2nd ed.).
New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Publishers.
Faul, F., Erdfelder, E., Buchner, A., & Lang, A-G. (2009). Statistical power
analyses using G*Power 3.1: Tests for correlation and regression analyses.
Behavior Research Methods, 41, 1149–1160. doi:10.3758/BRM.41.4.1149.
Harris, P., Mann, L., Phillips, P., & Webster, C. (2012). Diabetes management in
general practice: Guidelines for type 2 diabetes. (8th ed.). Sydney: Diabetes
Australia. Retrieved from
http://www.diabetesaustralia.com.au/Documents/DA/What's%20New/12.1
0.02%20Diabetes%20Management%20in%20General%20Practice.pdf
Hirsch, I. B., Bode, B. W., Childs, B. P., Close, K. L., Fisher, W. A., Gavin, J.
R., et al. (2008). Self-monitoring of blood glucose (SMBG) in insulin- and
non-insulin-using adults with diabetes: Consensus recommendations for
improving SMBG accuracy, utilization, and research. Diabetes Technology
& Therapeutics, 10(6), 419–439. doi:10.1089/dia.2008.0104.
Hunt, C. W., Wilder, B., Steele, M. M., Grant, J. S., Pryor, E. R., & Moneyham,
L. (2012). Relationships among self-efficacy, social support, social
problem solving, and self-management in a rural sample living with type 2
diabetes mellitus. Research and Theory for Nursing Practice: An
International Journal, 26(2), 126–141. doi:10.1891/1541-6577.26.2.126.
IDF. (2012). Global guideline for type 2 diabetes. Brussels, Belgium: The Author.
Retrieved from http://www.idf.org/sites/default/files/IDF-Guideline-for-
Type-2-Diabetes.pdf
Lee, H., Ahn, S., & Kim, Y. (2009). Self-care, self-efficacy, and glycemic control
of koreans with diabetes mellitus. Asian Nursing Research, 3(3), 139–146.
doi:10.1016/S1976-1317(09)60025-6.
Lewis, S. L., Dirksen, S. R., Heitkemper, M. M., & Bucher, C. (2011). Medical-
surgical nursing: assessment and managemen of clinical problems (8th ed.
Vol. 2.) St. Louis, Missouri: Mosby Elsevier, Inc.
_________. (2013b). Pola makan yang salah picu penyakit diabetes. 20 Januari
2014.http://medanbisnisdaily.com/news/read/2013/10/08/55253/pola_maka
n_yang_salah_picu_penyakit_diabetes/#.UyfcbMsW2So
Nair, M. (2007). Nursing management of the person with diabetes mellitus. Part 2.
British Journal of Nursing, 16(4), 232–235.
Polit, D. F. & Beck, C. T. (2012). Generating and assessing evidence for nursing
practice (9th ed.). Philadelphia, PA: Wolters Kluwer Health/Lippincott
Williams & Wilkins.
Sarkar, U., Fisher, L., & Schillinger, D. (2006). Is self-efficacy associated with
diabetes self-management across race/ethnicity and health literacy?.
Diabetes Care, 29, 823–829. doi:10.2337/diacare.29.04.06.dc05-1615.
Smeltzer, S. C., Bare, B. G., Hinkle, J. L., & Cheever, K. H. (2010). Brunner &
suddarth’s textbook of medical-surgical nursing (12th ed.). Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins.
Sturt, J., Hearnshaw, H., & Wakelin, M. (2012). Validity and reliability of the
DMSES UK: a measure of self-efficacy for type 2 diabetes self-
management. Primary Health Care Research & Development, 11, 374–
381. doi:10.1017/S1463423610000101.
Svartholm, E., & Nylander, E. (2010). Self care activities of patients with diabetes
mellitus type 2 in Ho Chi Minh City. Master’s Thesis. Retrieved from
http://www.diva-portal.org/smash/get/diva2:322414/FULLTEXT01.pdf
Tomey, A. M., & Alligood, M. R. (2006). Nursing theorists and their work (6th
ed.). St. Louis: Mosby Elsevier, Inc.
Wu S-F. V., Courtney, M., Edwards, H., Mcdowell, J., Shortridge-bagget, L. M.,
& Chang, P-J. (2007). Self-efficacy, outcome expectations and self-care
behaviour in people with type 2 diabetes in Taiwan. Journal of Nursing
and Healthcare of Chronic Illness in association with Journal of Clinical
Nursing, 16(11c), 250–257. doi:10.1111/j.1365-2702.2006.01930.x.
Xu, Y., Toobert, D., Savage, C., Pan, W., & Whitmer, K. (2008). Factors
Influencing Diabetes Self-Management in Chinese People With Type 2
Diabetes. Research in Nursing & Health, 31, 613–625.
doi:10.1002/nur.20293.
Yoo, H., Kim, C. J., Jang, Y., & You, M-A. (2011). Self-efficacy associated with
self-management behaviours and health status of South Koreans with
chronic diseases. International Journal of Nursing Practice, 17, 599–606.
doi:10.1111/j.1440-172X.2011.01970.x.
Lampiran 1
Instrumen Penelitian
Peneliti
Neneng Astuti
SURAT PERNYATAAN
PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN (PSP)
UNTUK MENGIKUTI PENELITIAN (INFORMED CONSENT)
Nama :
Umur :
Alamat :
Judul Penelitian : Efikasi Diri dan Manajemen Diri pada Pasien Diabetes
Tipe 2.
Nama Peneliti Utama : Neneng Astuti
Lokasi Penelitian : RSUD Dr. Pirngadi Medan
Medan, …………………
Subjek Penelitian
(_____________________)
A. Karakteristik Responden
Petunjuk pengisian
Isilah data di bawah ini sesuai dengan kondisi Anda saat ini dan berilah tanda
checklist (√) pada kotak yang disediakan pada masing-masing data berikut :
Petunjuk pengisian
Di bawah ini merupakan daftar kegiatan yang harus dilakukan untuk mengelola
diabetes. Silahkan baca masing-masing pernyataannnya dan kemudian lingkari
nomor yang paling tepat yang menggambarkan seberapa yakin Bapak/Ibu bisa
melakukan kegiatan tersebut. Misalnya, jika Bapak/Ibu sangat yakin dapat
mengecek kadar gula darah sendiri, maka lingkari angka 10. Jika Bapak/Ibu
merasa bahwa sebagian besar waktu Bapak/Ibu tidak bisa melakukannya, maka
lingkari angka 1 atau 2.
Petunjuk pengisian
Pertanyaan di bawah ini tentang kegiatan perawatan diri diabetes Bapak/Ibu
selama 7 hari terakhir. Jika Bapak/Ibu sakit selama 7 hari terakhir, coba ingat
kembali selama 7 hari sebelumnya ketika tidak sakit.
(Kuesioner “Manajemen diri pada diabetes tipe 2” diadopsi dan mendapatkan izin dari Toobert,
Hampson & Glasgow, 2000; dan diterjemahkan oleh Lembaga Bahasa dan Pendidikan Profesional
LIA Medan, 2014).
Biodata Expert
Lampiran 3
Izin Penelitian