Anda di halaman 1dari 134

EFIKASI DIRI DAN MANAJEMEN DIRI

PADA PASIEN DIABETES TIPE 2

TESIS

Oleh

NENENG ASTUTI
127046012 / KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2014

Universitas Sumatera Utara


EFIKASI DIRI DAN MANAJEMEN DIRI
PADA PASIEN DIABETES TIPE 2

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat


untuk Memperoleh Gelar Magister Keperawatan (M.Kep)
dalam Program Studi Magister Ilmu Keperawatan
Minat Studi Keperawatan Medikal Bedah
pada Fakultas Keperawatan
Universitas Sumatera Utara

Oleh

NENENG ASTUTI
127046012 / KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2014

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
Telah diuji

Pada tanggal : 27 Agustus 2014

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. dr. Sutomo Kasiman., SpPD., SpJP


Anggota : 1. Rosina Tarigan, S.Kp., M.Kep., SpKMB
2. Dr. Ir. Evawany Yunita Aritonang, M.Si
3. Yesi Ariani, S.Kep., Ns., M.Kep

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
Judul Tesis : Efikasi Diri dan Manajemen Diri pada Pasien Diabetes

Tipe 2

Nama Mahasiswa : Neneng Astuti

Program Studi : Magister Ilmu Keperawatan

Minat Studi : Keperawatan Medikal Bedah

Tahun : 2014

ABSTRAK

Diabetes tipe 2 merupakan penyakit kronis yang membutuhkan manajemen diri

diabetes lebih lanjut untuk mencegah komplikasi akut dan mengurangi risiko

komplikasi jangka panjang. Efikasi diri dan manajemen diri pada pasien diabetes

tipe 2 merupakan dua komponen penting sebagai dasar untuk meningkatkan

kemandirian pasien dalam mengelola penyakitnya, mencegah komplikasi terkait

diabetes dan mempertahankan kualitas hidup. Tujuan penelitian ini adalah untuk

mengetahui hubungan antara efikasi diri dengan manajemen diri pada pasien

diabetes tipe 2. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kuantitatif korelasi

dengan pendekatan desain cross-sectional, yang dilaksanakan di RSUD Dr.

Pirngadi Medan. Sampel penelitian adalah pasien diabetes tipe 2 yang berjumlah

92 orang yang diambil dengan teknik convenience sampling, dan menggunakan

kuesioner sebagai instrumen penelitian. Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat

hubungan yang signifikan antara efikasi diri dengan manajemen diri pada pasien

Universitas Sumatera Utara


diabetes tipe 2 (r=0,412, p<0,05), semakin tinggi tingkat efikasi diri pasien maka

semakin baik perilaku manajemen diri diabetesnya. Diharapkan pada institusi

pendidikan dan pelayanan keperawatan, serta penelitian keperawatan agar dapat

mengembangkan metode edukasi yang komprehensif untuk meningkatkan efikasi

diri dan manajemen diri pada pasien diabetes tipe 2.

Kata kunci: diabetes tipe 2, efikasi diri, manajemen diri.

Universitas Sumatera Utara


Thesis Title : Self-efficacy and Self-management in Patients with

Type 2 Diabetes

Name : Neneng Astuti

Study Program : Master of Nursing

Field of Specialization : Medical-Surgical Nursing

Year : 2014

ABSTRACT

Type 2 diabetes is a chronic disease which needs further diabetes self-

management to prevent acute complications and to decrease the risk of long-term

complications. Self-efficacy and self-management in patients with type 2 diabetes

consists of two important components as the basis for improving patients’

independence in managing their illness, preventing diabetes related complications

and maintaining the quality of life. The objective of the research was to determine

the relationship between self-efficacy with self-management in patients with type

2 diabetes. This study used a quantitative correlation method with cross-sectional

design, it was conducted in Dr. Pirngadi General Hospital, Medan. The samples

were 92 patients with type 2 diabetes, taken by using convenience sampling

technique, the data were analyzed by distributing questionnaires as the instrument

of the research. The results of this study showed that there was significant

correlation between self-efficacy with self-management in patients with type 2

Universitas Sumatera Utara


diabetes (r=0.412, p<0.05), patients with higher levels of efficacy will perform

better diabetes self-management. It is recommended that nursing education,

nursing practice, and nursing research, should develop comprehensive education

method in order to improve self-efficacy and self-management in patients with

type 2 diabetes.

Keywords: type 2 diabetes, self-efficacy, self-management.

Universitas Sumatera Utara


KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur selalu dipanjatkan kehadirat Allaah SWT yang

senantiasa melimpahkan rahmad dan karunia-Nya sehingga penulis dapat

menyelesaikan tesis dengan judul “Efikasi Diri dan Manajemen Diri pada Pasien

Diabetes Tipe 2”, sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan di

Program Studi Magister Ilmu Keperawatan Peminatan Keperawatan Medikal

Bedah Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga

kepada Bapak Prof. dr. Sutomo Kasiman, SpPD., SpJP selaku Pembimbing I dan

Ibu Rosina Tarigan, S.Kp., M.Kep., Sp.KMB selaku Pembimbing II, yang telah

memberikan arahan dan dukungan dalam penyelesaian tesis ini. Penulis juga

mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah mendukung dan

membantu proses penyelesaian tesis ini, terutama kepada yang terhormat:

1. Bapak dr. Dedi Ardinata, M.Kes., selaku Dekan Fakultas Keperawatan

Universitas Sumatera Utara,

2. Bapak Setiawan, S.Kp., MNS., PhD., selaku Ketua Program Studi Magister

Ilmu Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara,

3. Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan,

4. Ibu Dr. Ir. Evawany Yunita Aritonang, M.Si selaku Penguji I, dan Ibu Yesi

Ariani, S.Kep., Ns., M.Kep selaku Penguji II,

5. Seluruh staf dosen dan pegawai di Program Studi Magister Ilmu Keperawatan

Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara,

Universitas Sumatera Utara


6. Keluarga tercinta, Ayahanda (Alm.), Ibunda, Kakanda dan Abanganda,

7. Keluarga besar, teman dan sahabat di Fakultas MIPA dan Kesehatan

Universitas Muhammadiyah Riau, Pekanbaru,

8. Seluruh teman sejawat angkatan 2012/2013 Program Studi Magister Ilmu

Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini masih jauh dari sempurna,

sehingga masukan serta saran sangat diharapkan untuk perbaikan tesis ini di masa

yang akan datang.

Medan, 27 Agustus 2014

Penulis,

Neneng Astuti

Universitas Sumatera Utara


RIWAYAT HIDUP

Nama : Neneng Astuti

Tempat / Tanggal Lahir : Dolok Ilir / 6 September 1982

Alamat Kantor : Universitas Muhammadiyah Riau Kampus 2

Jl. Tuanku Tambusai No. 01 Pekanbaru

No. HP / e-mail : 081378573169 / go_ners@yahoo.com

Riwayat Pendidikan :

Jenjang Pendidikan Nama Institusi Tahun Lulus

SD SD Negeri 097361 Serbalawan 1994

SMP SLTP Muhammadiyah-21 Serbalawan 1997

SMA SMU Muhammadiyah-7 Serbalawan 2000

S1 Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas 2005

Kedokteran USU

Ners Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas 2006

Kedokteran USU

S2 Program Studi Magister Ilmu 2014

Keperawatan Fakultas Keperawatan USU

Universitas Sumatera Utara


Riwayat Pekerjaan :

Maret 2007 – Mei 2008 : Dosen Tetap di Akademi Keperawatan Salma Siak

Poltekkes Dep. Kes Riau

Juni 2008 – Sekarang : Dosen Tetap di Program Studi DIII Keperawatan

Fakultas MIPA dan Kesehatan Universitas

Muhammadiyah Riau

Seminar “Aplikasi Penelitian Kualitatif Sebagai Landasan Pengembangan

Pengetahuan Bidang Kesehatan”, 18 Desember 2012, Fakultas

Keperawatan Universitas Sumatera Utara, sebagai peserta.

Workshop “Menganalisis Data Kualitatif dengan Metode Content Analysis dan

Software Weft-qda”, 18 Desember 2012, Fakultas Keperawatan

Universitas Sumatera Utara, sebagai peserta.

Seminar Keperawatan “Pendekatan Holistik Keperawatan pada Perawatan

Stoma”, 6 Januari 2013, Asri Wound Care Clinic and Home Care

Management, sebagai peserta.

Seminar Keperawatan “Nursing Leadership Menyongsong ASEAN Community

2015”, 30 Januari 2013, Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera

Utara, sebagai peserta.

Medan International Nursing Conference “The Application of Caring Science in

Nursing Education, Advanced Research and Clinical Practice”, 1-2 April

2013, Faculty of Nursing University of Sumatera Utara, as participant.

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR ISI

Halaman
ABSTRAK ..................................................................................................... i
ABSTRACT .................................................................................................... iii
KATA PENGANTAR ................................................................................... v
RIWAYAT HIDUP ....................................................................................... vii
DAFTAR ISI .................................................................................................. ix
DAFTAR TABEL ......................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... xii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xiii

BAB 1. PENDAHULUAN ........................................................................... 1


1.1. Latar Belakang ........................................................................... 1
1.2. Permasalahan ............................................................................. 7
1.3. Tujuan Penelitian ....................................................................... 8
1.4. Hipotesis .................................................................................... 8
1.5. Manfaat Penelitian ..................................................................... 9

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 10


2.1. Diabetes Melitus ........................................................................ 10
2.1.1. Definisi ............................................................................. 10
2.1.2. Klasifikasi ........................................................................ 11
2.1.3. Faktor Risiko .................................................................... 11
2.1.4. Patofisiologi ..................................................................... 12
2.1.5. Manifestasi Klinis ............................................................ 14
2.1.6. Diagnosis ......................................................................... 14
2.1.7. Penatalaksanaan ............................................................... 15
2.1.8. Komplikasi ....................................................................... 18
2.2. Efikasi Diri ................................................................................. 20
2.2.1. Definisi Efikasi Diri ......................................................... 20
2.2.2. Sumber Efikasi Diri ......................................................... 21
2.2.3. Proses Pembentukan Efikasi Diri .................................... 23
2.2.4. Dimensi Efikasi Diri ........................................................ 25
2.2.5. Efikasi Diri pada Diabetes ............................................... 27
2.2.6. Pengukuran Efikasi Diri pada Diabetes Tipe 2 ................ 27
2.3. Manajemen Diri ......................................................................... 28
2.3.1. Definisi Manajemen Diri ................................................. 28
2.3.2. Manajemen Diri pada Diabetes ........................................ 28
2.3.3. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Manajemen
Diri pada Diabetes Tipe 2 ................................................ 24
2.3.4. Pengukuran Manajemen Diri pada Diabetes Tipe 2 ........ 38
2.4. Landasan Teori .......................................................................... 38
2.5. Kerangka Teori .......................................................................... 41
2.6. Kerangka Konsep Penelitian ...................................................... 43

Universitas Sumatera Utara


Halaman
BAB 3. METODE PENELITIAN ............................................................... 45
3.1. Jenis Penelitian .......................................................................... 45
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ..................................................... 46
3.3. Populasi dan Sampel Penelitian ................................................. 47
3.4. Variabel dan Definisi Operasional ............................................. 51
3.5. Metode Pengukuran Data ........................................................... 53
3.6. Metode Analisis Data ................................................................. 54
3.7. Pertimbangan Etik ...................................................................... 59

BAB 4. HASIL PENELITIAN .................................................................... 60


4.1. Analisis Univariat ...................................................................... 60
4.1.1. Karakteristik Responden .................................................. 60
4.1.2. Efikasi Diri ....................................................................... 62
4.1.3. Manajemen Diri ............................................................... 62
4.2. Analisis Bivariat ........................................................................ 63
4.2.1. Hubungan antara Efikasi Diri dengan Manajemen Diri .. 63
4.2.2. Hubungan antara Karakteristik Responden dengan
Manajemen Diri ............................................................... 64
4.3. Analisis Multivariat ................................................................... 66

BAB 5. PEMBAHASAN ............................................................................... 69


5.1. Efikasi Diri pada Pasien Diabetes Tipe 2 .................................. 69
5.2. Manajemen Diri pada Pasien Diabetes Tipe 2 ........................... 72
5.3. Hubungan antara Efikasi Diri dengan Manajemen Diri
pada Pasien Diabetes Tipe 2 ...................................................... 78
5.4. Hubungan antara Karakteristik Responden dengan
Manajemen Diri pada Pasien Diabetes Tipe 2 ........................... 79
5.5. Keterbatasan Penelitian .............................................................. 88

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................ 89


6.1. Kesimpulan ................................................................................ 89
6.2. Saran .......................................................................................... 89

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 93

LAMPIRAN

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 3.1. Definisi Operasional ..................................................................... 51
Tabel 4.1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden ............................. 61
Tabel 4.2. Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Efikasi Diri .......... 62
Tabel 4.3. Distribusi Responden berdasarkan Manajemen Diri .................... 63
Tabel 4.4. Analisis Hubungan antara Efikasi Diri dengan Manajemen Diri . 63
Tabel 4.5. Analisis Hubungan antara Karakteristik Respoden dengan
Manajemen Diri ............................................................................. 65
Tabel 4.6. Analisis Regresi Linier Ganda antara Efikasi Diri, Pendidikan,
Pekerjaan, dan Pendidikan Kesehatan tentang Diabetes dengan
Manajemen Diri ............................................................................. 67
Tabel 4.7. Model Akhir Regresi Linier Ganda antara Efikasi Diri dan
Pendidikan Kesehatan tentang Diabetes dengan Manajemen Diri.. 68

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 2.1. Conceptual Structure of the Self-Care Deficit Theory of
Nursing ....................................................................................... 39
Gambar 2.2. Kerangka Teori ........................................................................... 41
Gambar 2.3. Kerangka Konsep Penelitian ...................................................... 43

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
Lampiran 1. Instrumen Penelitian .................................................................. 100
Lampiran 2. Biodata Expert ........................................................................... 108
Lampiran 3. Izin Penelitian ............................................................................ 110

Universitas Sumatera Utara


Thesis Title : Self-efficacy and Self-management in Patients with

Type 2 Diabetes

Name : Neneng Astuti

Study Program : Master of Nursing

Field of Specialization : Medical-Surgical Nursing

Year : 2014

ABSTRACT

Type 2 diabetes is a chronic disease which needs further diabetes self-

management to prevent acute complications and to decrease the risk of long-term

complications. Self-efficacy and self-management in patients with type 2 diabetes

consists of two important components as the basis for improving patients’

independence in managing their illness, preventing diabetes related complications

and maintaining the quality of life. The objective of the research was to determine

the relationship between self-efficacy with self-management in patients with type

2 diabetes. This study used a quantitative correlation method with cross-sectional

design, it was conducted in Dr. Pirngadi General Hospital, Medan. The samples

were 92 patients with type 2 diabetes, taken by using convenience sampling

technique, the data were analyzed by distributing questionnaires as the instrument

of the research. The results of this study showed that there was significant

correlation between self-efficacy with self-management in patients with type 2

Universitas Sumatera Utara


diabetes (r=0.412, p<0.05), patients with higher levels of efficacy will perform

better diabetes self-management. It is recommended that nursing education,

nursing practice, and nursing research, should develop comprehensive education

method in order to improve self-efficacy and self-management in patients with

type 2 diabetes.

Keywords: type 2 diabetes, self-efficacy, self-management.

Universitas Sumatera Utara


BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Penyakit tidak menular saat ini sudah menjadi masalah kesehatan

masyarakat secara global, regional, nasional dan lokal. Salah satu penyakit tidak

menular yang menyita banyak perhatian adalah diabetes melitus (Depkes RI,

2013). Diabetes melitus, atau sering hanya disebut dengan diabetes, adalah

penyakit kronis yang terjadi ketika pankreas tidak mampu lagi memproduksi

insulin, atau ketika tubuh tidak dapat memanfaatkan insulin yang dihasilkan (IDF,

2013). Diabetes tipe 2 merupakan jenis yang paling umum dari diabetes, yang

mencapai 90-95% dari seluruh penderita diabetes. Diabetes tipe 2 disebut juga

dengan diabetes yang tidak bergantung pada insulin (Non-Insulin Dependent

Diabetes), yang umumnya disebabkan oleh resistensi insulin atau defek sekresi

insulin dengan defisiensi insulin relatif (ADA, 2013).

Ketidakmampuan memproduksi insulin atau penggunaannya yang tidak

efektif menyebabkan kadar glukosa menumpuk di dalam darah atau dikenal

sebagai hiperglikemia, dan kadar glukosa yang tinggi tersebut akan

mempengaruhi terjadinya kerusakan pada tubuh serta kegagalan berbagai organ

dan jaringan (IDF, 2013). Diabetes yang sering tidak terkontrol dapat

mengakibatkan komplikasi seperti penyakit jantung, stroke, tekanan darah tinggi,

kebutaan, penyakit ginjal, penyakit sistem saraf, amputasi kaki, dan kematian (Al-

Khawaldeh, Al-Hassan & Froelicher, 2012).

Universitas Sumatera Utara


Penyakit diabetes selain karena faktor keturunan, juga disebabkan pola

hidup yang salah atau pola makan yang sudah berubah, aktifitas yang kurang dan

faktor lingkungan tidak baik, sehingga penyakit tersebut semakin sulit untuk

diobati. Faktor lingkungan seperti promosi makanan atau banyaknya fast food,

karena mengkonsumsi makanan yang berlebih, kurangnya aktifitas, juga

menyebabkan prevalensi diabetes menjadi tinggi dengan persentase sekitar 60%-

70% (Lindarto, 2013b).

Selain menimbulkan banyak keluhan bagi penderitanya, diabetes juga

sangat berpotensi menimbulkan komplikasi yang berat, yang membuat penderita

tidak mampu lagi beraktivitas atau bekerja seperti biasa, dan memberikan beban

bagi keluarga, dan merupakan penyakit yang paling merugikan dari segi ekonomi,

karena memerlukan perawatan dan pengobatan seumur hidup (Kwek, 2013). Oleh

karena tingginya angka kesakitan dan kematian yang berkaitan dengan diabetes,

maka peningkatan jumlah penduduk yang menderita penyakit ini telah menjadi

masalah kesehatan yang serius dan merupakan beban ekonomi utama dalam

sistem pelayanan kesehatan (PKM-Nusapenida, 2012).

Berdasarkan data International Diabetes Federation (IDF) ditemukan

bahwa jumlah penderita diabetes tipe 2 meningkat setiap tahunnya di setiap

negara. Pada tahun 2013, ditemukan sebanyak 382 juta orang menderita diabetes,

diabetes menyebabkan 5,1 juta kematian dan penderita diabetes meninggal setiap

enam detik. Pada tahun 2035 penderita diabetes diperkirakan akan meningkat

menjadi 592 juta orang, dan Indonesia berada pada urutan ke-7 di antara sepuluh

Universitas Sumatera Utara


negara di dunia dengan penderita diabetes terbesar di bawah negara Cina, India,

Amerika Serikat, Brazil, Rusia dan Mexico (IDF, 2014).

Peningkatan kasus diabetes juga terjadi sangat pesat di kawasan ASEAN.

Prevalensi penyakit diabetes di ASEAN saat ini sekitar 8,7%, dan terdapat 51%

penderita yang tidak mengetahui dirinya mengidap diabetes. Prevalensi penyakit

diabetes di Indonesia secara nasional pada tahun 2013 yaitu 5,7%, atau sekitar 10

juta orang yang terkena diabetes dan 18 juta lainnya terancam diabetes (Subekti,

2013). Kasus yang terbanyak dari populasi diabetes di Indonesia adalah diabetes

tipe 2 yang mencapai 90%, dan pada tahun 2030 Indonesia diperkirakan akan

memiliki penyandang diabetes sebanyak 21,3 juta jiwa (Depkes RI, 2013).

Penderita diabetes di Sumatera Utara juga meningkat setiap tahunnya. Pada tahun

2013, Sumatera Utara memiliki prevalensi diabetes sebesar 5,3% atau hanya 0,4%

di bawah rata-rata nasional. Meskipun demikian, prevalensi ini harus diwaspadai

karena penderita yang telah mengetahui memiliki diabetes sebelumnya hanya

sebesar 26%, sedangkan sekitar 74% yang tidak mengetahui bahwa mereka telah

menderita diabetes (Lindarto, 2013a).

Diabetes juga merupakan penyakit yang paling banyak diderita pasien

yang berkunjung ke Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan selama

Bulan April 2011. Dari data jumlah kunjungan rawat jalan di rumah sakit tersebut

pada bulan April 2011 mencapai 4730 orang. Dari data tersebut jumlah penyakit

yang mendominasi adalah diabetes yaitu mencapai 1404 kunjungan dan jumlah

kasus baru diabetes yang ditemukan mencapai 134 orang (Perangin-angin, 2011).

Universitas Sumatera Utara


Berdasarkan data Rekam Medik pada tahun 2013, jumlah penderita diabetes tipe 2

baik di Poliklinik Endokrin dan di Ruang Rawat Inap mencapai 957 orang.

Seseorang dengan penyakit kronis akan mengalami perubahan secara

dramatis dalam kegiatan sehari-hari, dan diharapkan dapat melakukan kegiatan

manajemen diri untuk membantu menghindari komplikasi terkait penyakit dan

mempertahankan kualitas hidup. Manajemen diri merupakan seperangkat

keterampilan perilaku yang dilakukan dalam mengelola penyakit secara mandiri

(Goodall & Halford 1991; Wu et al., 2007), dan merupakan landasan manajemen

perawatan kronis, sehingga pasien dapat belajar dan mempraktekkan keterampilan

untuk melanjutkan hidup dengan kondisi emosional yang baik dalam menghadapi

penyakit kronis (Yoo et al., 2011).

Diabetes merupakan penyakit kronis yang membutuhkan manajemen diri

diabetes sebagai komponen penting bagi setiap individu dalam pengelolaan

penyakitnya dan merupakan hal terpenting untuk mengendalikan dan mencegah

komplikasi diabetes (Xu et al., 2008). Perilaku manajemen diri yang harus

dilakukan oleh penderita diabetes mencakup mengatur pola makan, latihan fisik,

minum obat, pemantauan glukosa darah, dan perawatan kaki (Shamoon et al.,

1993; Xu et al, 2008). Keberhasilan manajemen diri diabetes bergantung pada

aktivitas perawatan diri individu untuk mengontrol gejala dan menghindari

komplikasi. Jika kegiatan perawatan diri dilakukan secara teratur, maka dapat

mencegah komplikasi yang timbul akibat diabetes (Wu et al., 2007).

Manajemen diri pada diabetes merupakan tugas yang menantang yang

membutuhkan perubahan gaya hidup jangka panjang dan dedikasi yang tinggi

Universitas Sumatera Utara


(Bean; Cundy & Petrie, 2007). Perilaku dalam mengontrol diabetes ini sangat

penting, akan tetapi perilaku manajemen diri tidak dilakukan secara konsisten oleh

pasien diabetes (Xu et al., 2008). Pasien diabetes yang mendapatkan pengetahuan

tentang manajemen perawatan diri untuk penyakitnya, juga sulit melakukan

perubahan perilaku dan gaya hidup (Rapley & Fruin, 1999; Wu et al., 2007).

Pasien tidak selalu menerapkan perubahan perilaku yang diinginkan (Sharoni &

Wu, 2012), dan banyak penderita diabetes yang tidak terlibat dalam semua praktik

manajemen diri (Sarkar, Fisher & Schillinger, 2006; Xu et al., 2008; Hunt et al.,

2012; Al-Khawaldeh, Al-Hassan & Froelicher, 2012).

Dasar kesuksesan dalam manajemen perawatan diri dari penyakit apapun

adalah efikasi diri. Bandura (1994) menjelaskan bahwa efikasi diri adalah

keyakinan seseorang terhadap kemampuannya untuk mencapai suatu tingkat

kinerja yang mempengaruhi setiap peristiwa dalam hidupnya. Efikasi diri

menentukan bagaimana seseorang merasa, berpikir, memotivasi diri, dan

berperilaku dari waktu ke waktu (Beckerle & Lavin, 2013). Konsep efikasi diri

juga digambarkan sebagai rasa kontrol pribadi atas perubahan yang diinginkan

atau keyakinan bahwa individu dapat mencapai perilaku tertentu. Berkaitan

dengan manajemen diri, efikasi diri mencerminkan keyakinan kemampuan pasien

untuk mengatur dan mengintegrasikan perilaku manajemen diri baik terhadap

fisik, sosial, dan emosional guna menciptakan solusi dalam menghadapi masalah

pada kehidupan sehari-hari (Yoo et al., 2011).

Teori efikasi diri memberikan alasan ilmiah sebagai strategi yang memiliki

potensi untuk meningkatkan kepercayaan diri individu terhadap kemampuannya

Universitas Sumatera Utara


untuk melakukan perubahan perilaku (Wu et al., 2007). Definisi ini menjelaskan

bahwa efikasi diri individu berhubungan dengan situasi dan tugas tertentu, seperti

manajemen perawatan diri pada diabetes tipe 2 (Lenz & Shortridge-Baggett 2002;

Sharoni & Wu, 2012). Efikasi diri telah terbukti menjadi faktor penting dalam

perilaku kesehatan promotif (Bandura, 1995), dan merupakan faktor penting yang

mempengaruhi perilaku perawatan diri pada pasien dengan diabetes tipe 2 (Hunt

et al., 2012).

Sejumlah artikel yang diterbitkan secara internasional menunjukkan bahwa

efikasi diri merupakan prediktor kuat yang berperan penting dalam manajemen

diri pada pasien dengan diabetes tipe 2, efikasi diri yang kuat akan berhubungan

positif terhadap partisipasi dalam perilaku manajemen diri pada diabetes (Sarkar,

Fisher & Schillinger, 2006; Bean, Cundy & Petrie, 2007; Wu et al., 2007; Xu et

al., 2008; Lee, Ahn & Kim., 2009; Hunt et al., 2012; Sharoni & Wu, 2012; Al-

Khawaldeh, Al-Hassan & Froelicher, 2012; Gao et al., 2013).

Di Indonesia masih banyak penyandang diabetes yang belum terdiagnosis,

hanya dua pertiga saja dari yang terdiagnosis yang menjalani pengobatan, baik

non farmakologis maupun farmakologis. Dari jumlah pasien yang menjalani

pengobatan tersebut hanya sepertiganya saja yang terkendali dengan baik

(PERKENI, 2011). Hasil penelitian dari Kusniyah, Nursiswati, & Rahayu (2010)

menyimpulkan bahwa pasien diabetes tipe 2 masih memiliki tingkat self-care

yang rendah. Hasil penelitian dari Kusniawati (2011) juga menyimpulkan bahwa

aktivitas perawatan diri pasien diabetes tipe 2 masih rendah pada monitoring gula

darah mandiri dan perawatan kaki.

Universitas Sumatera Utara


Dalam perawatan diabetes, perawatan kolaboratif antar disiplin oleh

praktisi pelayanan primer bekerja sama dengan perawat, ahli gizi, ahli endokrin,

dan spesialis lainnya dapat meningkatkan status kesehatan pasien diabetes

(Wagner et al., 2001; Siminerio et al., 2007). Perawat merupakan salah satu

penyedia layanan kesehatan yang secara aktif terlibat dalam pencegahan dan

deteksi dini diabetes dan komplikasinya, serta berusaha membantu mengurangi

masalah pasien baik dari aspek fisik, emosional, mental, sosial-budaya dan

spiritual (Aalaa et al., 2012). Oleh sebab itu, penting bagi perawat untuk

memahami konsep efikasi diri dan manajemen diri pada pasien diabetes, sehingga

dapat meningkatkan kompetensi perawat dalam melakukan asuhan keperawatan

secara holistik khususnya pada pasien diabetes tipe 2.

1.2. Permasalahan

Efikasi diri dan manajemen diri pada pasien diabetes tipe 2 merupakan dua

komponen penting sebagai dasar untuk meningkatkan kemandirian pasien dalam

mengelola penyakitnya, mencegah komplikasi terkait diabetes dan

mempertahankan kualitas hidup. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa

perilaku manajemen diri pada pasien diabetes tipe 2 masih belum optimal, dan

efikasi diri merupakan faktor paling kuat yang menentukan seseorang untuk

melakukan manajemen diri diabetes. Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti

ingin menganalisis lebih jauh hubungan antara efikasi diri dengan manajemen diri

pada pasien diabetes tipe 2.

Universitas Sumatera Utara


1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara

efikasi diri dengan manajemen diri pada pasien diabetes tipe 2.

1.3.2. Tujuan Khusus

Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk:

1) Mengidentifikasi efikasi diri pada pasien diabetes tipe 2,

2) Mengidentifikasi manajemen diri pada pasien diabetes tipe 2,

3) Menganalisis hubungan antara efikasi diri dengan manajemen diri pada pasien

diabetes tipe 2,

4) Menganalisis hubungan antara karakteristik responden dengan manajemen diri

pada pasien diabetes tipe 2.

1.4. Hipotesis

Hipotesis merupakan sebuah pernyataan prediksi atau penjelasan tentatif

tentang keterkaitan antara dua variabel atau lebih (Polit & Beck, 2012). Hipotesis

dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan antara efikasi diri dengan

manajemen diri pada pasien diabetes tipe 2.

Universitas Sumatera Utara


1.5. Manfaat Penelitian

1.5.1. Bagi Pendidikan Keperawatan

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan bahan rujukan ilmiah bagi

perawat pendidik dan mahasiswa keperawatan untuk meningkatkan pengetahuan

yang berkaitan dengan konsep efikasi diri dan manajemen diri pada diabetes tipe

2, sehingga dapat mengembangkan dan meningkatkan kualitas asuhan

keperawatan pada pasien dengan diabetes tipe 2.

1.5.2. Bagi Pelayanan Keperawatan

Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan para perawat

praktisi dan perawat edukasi diabetes dalam mengaplikasikan asuhan keperawatan

secara holistik, berkolaborasi dengan pasien dan tim kesehatan lainnya dalam

mengaplikasikan praktik asuhan keperawatan untuk meningkatkan efikasi diri dan

manajemen diri pada pasien dengan diabetes tipe 2.

1.5.3. Bagi Penelitian Keperawatan

Penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah riset keperawatan dan

memfasilitasi para peneliti keperawatan untuk mengeksplorasi dan

mengembangkan riset keperawatan yang berguna bagi pengembangan manajemen

asuhan keperawatan pasien dengan diabetes tipe 2.

Universitas Sumatera Utara


BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Diabetes Melitus

2.1.1. Definisi

Menurut American Diabetes Association (ADA, 2013), diabetes melitus

merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik

hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau

kedua-duanya. Menurut Lewis et al. (2011) menyebutkan bahwa diabetes melitus

merupakan penyakit kronis yang berkaitan dengan defisiensi insulin atau

resistensi insulin baik relatif atau absolut atau karena keduanya yang ditandai

dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein sehingga gula

darah tubuh mengalami kenaikan (hiperglikemia). Lanywati (2011) juga

menjelaskan bahwa penyakit diabetes melitus, kencing manis atau penyakit gula,

merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh adanya gangguan menahun

terutama pada sistem metabolisme karbohidrat, lemak, dan juga protein dalam

tubuh. Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat dapat disimpulkan bahwa

diabetes melitus adalah suatu penyakit metabolik yang ditandai dengan

peningkatan kadar gula dalam darah karena tubuh sedikit atau tidak mampu

memproduksi insulin.

2.1.2. Klasifikasi

Menurut ADA (2014), diabetes dapat diklasifikasikan ke dalam empat

kategori klinis, yaitu; Diabetes tipe 1 (karena kerusakan sel-, biasanya

Universitas Sumatera Utara


menyebabkan kekurangan insulin absolut); Diabetes tipe 2 (karena kerusakan

progresif sekretorik insulin akibat resistensi insulin); Tipe diabetes tertentu karena

penyebab lain, misalnya; defek genetik pada fungsi sel- (beta), defek genetik

pada kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas (seperti fibrosis kistik), dan yang

disebabkan oleh obat atau kimia (seperti dalam pengobatan HIV/AIDS atau

setelah transplantasi organ); Diabetes melitus gestasional (diabetes yang

didiagnosis selama kehamilan dan belum menjadi penyakit diabetes secara pasti).

2.1.3. Faktor Risiko

Menurut PERKENI (2011), faktor risiko diabetes tipe 2 terdiri dari faktor

risiko yang tidak bisa dimodifikasi dan yang bisa dimodifikasi. Faktor risiko yang

tidak bisa dimodifikasi antara lain; Ras dan etnik, riwayat keluarga dengan

diabetes, umur (risiko untuk menderita intoleransi glukosa meningkat seiring

dengan meningkatnya umur, umur >45 tahun harus dilakukan pemeriksaan

diabetes), riwayat melahirkan bayi dengan berat badan lahir bayi >4000 gram atau

riwayat pernah menderita diabetes gestasional, riwayat lahir dengan berat badan

rendah kurang dari 2,5 kg (bayi yang lahir dengan berat badan rendah mempunyai

risiko yang lebih tinggi dibanding dengan bayi lahir dengan berat badan normal).

Faktor risiko yang dapat dimodifikasi yaitu; berat badan lebih (IMT >23

kg/m2), kurangnya aktivitas fisik, hipertensi (>140/90 mmHg), dislipidemia

(HDL <35 mg/dL dan atau trigliserida >250 mg/dL), diet yang tidak sehat

(unhealthy diet), diet dengan tinggi gula dan rendah serat akan meningkatkan

risiko menderita prediabetes/intoleransi glukosa dan diabetes tipe 2. Faktor lain

yang terkait dengan risiko diabetes yaitu; penderita Polycystic Ovary Syndrome

Universitas Sumatera Utara


(PCOS) atau keadaan klinis lain yang terkait dengan resistensi insulin, penderita

sindrom metabolik memiliki riwayat toleransi glukosa terganggu (TGT) atau

glukosa darah puasa terganggu (GDPT) sebelumnya. Memiliki riwayat penyakit

kardiovaskular, seperti stroke, penyakit jantung koroner (PJK), atau Peripheral

Arterial Diseases (PAD) (PERKENI, 2011).

2.1.4. Patofisiologi

Diabetes tipe 2 merupakan suatu kelainan dengan karakteristik utama

adalah terjadinya hiperglikemik kronik. Meskipun pola pewarisannya belum jelas,

faktor genetik dikatakan memiliki peranan yang penting dalam munculnya

diabetes tipe 2. Faktor genetik ini akan berinteraksi dengan faktor-faktor

lingkungan seperti gaya hidup, diet, rendahnya aktifitas fisik, obesitas, dan

tingginya kadar asam lemak bebas. Mekanisme terjadinya diabetes tipe 2

umumnya disebabkan karena resistensi terhadap insulin atau defek sekresi insulin.

Resistensi terhadap insulin terjadi disebabkan oleh penurunan kemampuan

hormon insulin untuk bekerja secara efektif pada jaringan-jaringan target perifer

(terutama pada otot dan hati). Untuk mencapai kadar glukosa darah yang normal

dibutuhkan kadar insulin plasma yang lebih tinggi. Pada orang dengan diabetes

tipe 2, terjadi penurunan pada penggunaan maksimum insulin, yaitu lebih rendah

30-60% daripada orang normal. Resistensi terhadap kerja insulin menyebabkan

terjadinya gangguan penggunaan insulin oleh jaringan-jaringan yang sensitif dan

meningkatkan pengeluaran glukosa hati. Kedua efek ini memberikan kontribusi

terjadinya hiperglikemi pada diabetes. Kelainan yang juga khas pada diabetes tipe

2 adalah ketidakmampuan sel beta (defek sekresi insulin) yang meningkatkan

Universitas Sumatera Utara


sekresi insulin dalam waktu 10 menit setelah pemberian glukosa oral dan

lambatnya pelepasan insulin fase akut. Hal ini akan dikompensasi pada fase

lambat, dimana sekresi insulin pada diabetes melitus tipe 2 terlihat lebih tinggi

dibandingkan dengan orang normal. Meskipun telah terjadi kompensasi, tetapi

kadar insulin tetap tidak mampu mengatasi hiperglikemia yang ada atau terjadi

defisiensi relatif yang menyebabkan keadaan hiperglikemi sepanjang hari.

Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin yang merupakan ciri khas

diabetes tipe 2, namun masih terdapat insulin dengan jumlah yang adekuat untuk

mencegah pemecahan lemak dan produksi badan keton yang menyertainya.

Karena itu, ketoasidosis diabetik tidak terjadi pada diabetes tipe 2. Meskipun

demikian, diabetes tipe 2 yang tidak terkontrol dapat menimbulkan masalah akut

lainnya yang dinamakan sindrom Hiperglikemik Hiperosmolar Non-Ketotik

(HHNK). Akibat intoleransi glukosa yang berlangsung lambat (selama bertahun-

tahun) dan progresif, maka awitan diabetes tipe 2 dapat berjalan tanpa terdeteksi.

Jika gejalanya dialami pasien, gejala tersebut sering bersifat ringan, seperti;

kelelahan, iritabilitas, poliuria, polidipsia, luka pada kulit yang lama-lama

sembuh, infeksi vagina atau pandangan kabur (jika kadar glukosanya sangat

tinggi). Salah satu konsekuensi tidak terdeteksinya penyakit diabetes selama

bertahun-tahun adalah terjadinya komplikasi diabetes jangka panjang (misalnya,

kelainan mata, neuropati perifer, kelainan vaskuler perifer) mungkin sudah terjadi

sebelum diagnosis ditegakkan (Smeltzer & Bare, 2010).

Universitas Sumatera Utara


2.1.5. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis tergantung pada tingkat hiperglikemia pasien.

Manifestasi klinis klasik dari semua jenis penyakit diabetes mencakup "tiga P"

yaitu; poliuria, polidipsia, dan polifagia. Poliuria (peningkatan urinasi) dan

polidipsia (peningkatan rasa haus) terjadi sebagai akibat dari hilangnya cairan

yang berlebihan berhubungan dengan diuresis osmotik. Pasien juga mengalami

polifagia (peningkatan nafsu makan) akibat dari keadaan katabolik yang

disebabkan oleh defisiensi insulin dan pemecahan protein dan lemak. Gejala

lainnya yaitu kelemahan dan kelelahan, perubahan fungsi penglihatan secara

mendadak, kesemutan atau mati rasa pada tangan atau kaki, kulit kering, lesi kulit

atau luka yang lambat sembuh, dan infeksi berulang. Pada diabetes tipe 1 dapat

terjadi kehilangan berat badan secara tiba-tiba, mual, muntah atau sakit perut jika

pasien telah mengalami ketoasidosis diabetik (Smeltzer & Bare, 2010).

2.1.6. Diagnosis

Diabetes didiagnosis berdasarkan kriteria glukosa plasma (ADA, 2014).

Seseorang didiagnosis diabetes jika; 1) Nilai glukosa plasma puasa ≥126 mg/dL

(7,0 mmol/L). Puasa didefinisikan sebagai tidak ada asupan kalori setidaknya 8

jam. 2) Nilai glukosa plasma 2 jam setelah tes toleransi glukosa oral 75 gr

(TTGO) ≥200 mg/dL (11,1 mmol/L). Tes harus dilakukan seperti yang dijelaskan

oleh WHO tahun 1994, menggunakan beban glukosa yang mengandung setara

dengan 75 gram glukosa anhidrat yang dilarutkan dalam air. 3) International

Expert Committee menambahkan tes hemoglobin-glikosilat/A1c sebagai pilihan

ketiga untuk mendiagnosa penyakit diabetes (terdiagnosis diabetes jika nilai

Universitas Sumatera Utara


HbA1C ≥6,5%). Tes ini harus dilakukan di laboratorium yang menggunakan

metode yang bersertifikat NGSP (National Glycohemoglobin Standardization

Program) dan standar untuk uji DCCT (Diabetes Control and Complications

Trial). Tanpa adanya hiperglikemia yang tegas, maka hasil dari ke tiga

pemeriksaan di atas harus dikonfirmasi dengan tes ulang. 4) Pada pasien dengan

gejala klasik hiperglikemia atau krisis hiperglikemia, dilakukan tes glukosa

plasma acak (sewaktu) ≥200 mg/dL (11,1 mmol/L).

2.1.7. Penatalaksanaan

Pengelolaan penyakit diabetes tipe 2 dimulai dengan pengaturan makan

dan latihan jasmani selama beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa

darah belum mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat

hipoglikemik oral (OHO) dan atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO

dapat segera diberikan secara tunggal atau langsung kombinasi, sesuai indikasi.

Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis, stres berat,

berat badan yang menurun dengan cepat, adanya ketonuria, insulin dapat segera

diberikan. Menurut Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI), ada

empat pilar penatalaksanaan pada penderita diabetes tipe 2 yaitu edukasi, terapi

nutrisi medis, latihan jasmani, dan intervensi farmakologis (PERKENI, 2011).

1) Edukasi

Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku

telah terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan

partisipasi aktif dari pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan

mendampingi pasien dalam melakukan perubahan perilaku. Untuk mencapai

Universitas Sumatera Utara


keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang komprehensif dan

upaya peningkatan motivasi. Pengetahuan tentang pemantauan mandiri, tanda dan

gejala hipoglikemia dan cara mengatasinya harus diberikan kepada pasien,

sedangkan pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri,

setelah mendapat pelatihan khusus.

2) Terapi Nutrisi Medis

Terapi Nutrisi Medis (TNM) merupakan bagian dari penatalaksanaan

diabetes secara total. Kunci keberhasilan TNM adalah keterlibatan secara

menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain, serta

pasien dan keluarganya). Setiap penyandang diabetes sebaiknya mendapat TNM

sesuai dengan kebutuhannya guna mencapai sasaran terapi. Prinsip pengaturan

makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan anjuran makan untuk

masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan

kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada penyandang diabetes perlu

ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis dan

jumlah makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa

darah atau insulin. Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari; karbohidrat

yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi, asupan lemak dianjurkan

sekitar 20-25% kebutuhan kalori, protein dibutuhkan sebesar 10-20% total asupan

energi, anjuran asupan natrium tidak lebih dari 3000 mg atau sama dengan 6-7

gram (1 sendok teh garam dapur), dianjurkan mengkonsumsi cukup serat ±25

gr/hari, dan pemanis aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas aman

(Accepted Daily Intake/ADI).

Universitas Sumatera Utara


3) Latihan jasmani

Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali

seminggu selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar dalam

pengelolaan diabetes tipe 2. Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar,

menggunakan tangga, berkebun, harus tetap dilakukan. Latihan jasmani selain

untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki

sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan

jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti jalan

kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya

disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani. Untuk penderita yang

relatif sehat, intensitas latihan jasmani bisa ditingkatkan, sementara yang sudah

mendapat komplikasi diabetes, maka intensitas latihan jasmani dapat dikurangi.

Penderita dianjurkan untuk menghindari kebiasaan hidup yang kurang gerak atau

bermalas-malasan.

4) Intervensi farmakologis

Intervensi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah belum

tercapai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani. Obat-obatan yang

digunakan untuk penderita diabetes tipe 2 yaitu obat hipoglikemik oral (OHO),

insulin, dan terapi kombinasi. Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5

golongan, antara lain; pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue), seperti

sulfonilurea dan glinid; peningkat sensitivitas terhadap insulin, seperti metformin

dan tiazolidindion; penghambat glukoneogenesis (metformin); penghambat

Universitas Sumatera Utara


absorbsi glukosa, seperti penghambat glikosidase alfa, dan DPP-IV (dipeptidyl

peptidase-4) inhibitor.

2.1.8. Komplikasi

Diabetes merupakan penyakit yang sangat berpotensi terhadap terjadinya

berbagai komplikasi berat. Berikut ini diuraikan komplikasi yang terkait dengan

diabetes.

1) Komplikasi Akut

Ada tiga komplikasi utama diabetes akut yang berhubungan dengan

ketidakseimbangan kadar glukosa darah dalam jangka pendek yaitu, Ketoasidosis

Diabetik (KAD), Status Hiperglikemik Hiperosmolar (SHH), dan hipoglikemia.

KAD merupakan komplikasi akut diabetes yang ditandai dengan peningkatan

kadar glukosa darah yang tinggi (300-600 mg/dL), disertai dengan adanya tanda

dan gejala asidosis dan plasma keton (+) kuat. Osmolaritas plasma meningkat

(300-320 mOs/mL) dan terjadi peningkatan anion gap. Pada kondisi SHH terjadi

peningkatan glukosa darah sangat tinggi (600-1200 mg/dL), tanpa tanda dan

gejala asidosis, osmolaritas plasma sangat meningkat (330-380 mOs/mL), plasma

keton (+/-), anion gap normal atau sedikit meningkat. Dan pada hipoglikemia

ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah <60 mg/dL. Gejala

hipoglikemia terdiri dari gejala adrenergik (berdebar-debar, banyak keringat,

gemetar, dan rasa lapar) dan gejala neuro-glikopenik (pusing, gelisah, kesadaran

menurun sampai koma) (PERKENI, 2011).

Universitas Sumatera Utara


2) Komplikasi Kronik

Permana (2009) menguraikan komplikasi kronis pada diabetes berkaitan

dengan gangguan vaskular, yaitu: komplikasi mikrovaskular, komplikasi

makrovaskular, dan komplikasi neurologis. Komplikasi mikrovaskular terjadi

akibat penyumbatan pada pembuluh darah kecil khususnya kapiler yang terdiri

dari retinopati diabetik dan nefropati diabetik. Retinopati diabetik dibagi dalam 2

kelompok, yaitu retinopati non proliferatif dan proliferatif. Retinopati non

proliferatif merupakan stadium awal dengan ditandai adanya mikroaneurisma,

sedangkan retinopati proliferatif, ditandai dengan adanya pertumbuhan pembuluh

darah kapiler, jaringan ikat dan adanya hipoksia retina. Pada nefropati diabetik

ditandai dengan adanya proteinuria persisten (>0,5 gr/24 jam), terdapat retinopati

dan hipertensi. Kerusakan ginjal yang spesifik pada diabetes mengakibatkan

perubahan fungsi penyaring, sehingga molekul-molekul besar seperti protein

dapat lolos ke dalam kemih (albuminuria). Akibat dari nefropati diabetik tersebut

dapat menyebabkan kegagalan ginjal yang progresif.

Komplikasi makrovaskular pada diabetes terjadi akibat aterosklerosis dari

pembuluh-pembuluh darah besar, khususnya arteri akibat timbunan plak ateroma.

Makroangioati tidak spesifik pada diabetes, namun dapat muncul lebih cepat,

lebih sering terjadi dan lebih serius. Berbagai studi epidemiologis menunjukkan

bahwa angka kematian akibat penyakit kardiovaskular dan penderita diabetes

meningkat 4-5 kali dibandingkan orang normal. Komplikasi makroangiopati

umumnya tidak ada hubungannya dengan kontrol kadar gula darah yang baik.

Tetapi telah terbukti secara epidemiologi bahwa hiperinsulinemia merupakan

Universitas Sumatera Utara


faktor resiko mortalitas kardiovaskular, di mana peninggian kadar insulin

menyebabkan risiko kardiovaskular semakin tinggi pula. Kadar insulin puasa >15

mU/mL akan meningkatkan risiko mortalitas koroner sebesar 5 kali lipat.

Hiperinsulinemia kini dikenal sebagai faktor aterogenik dan diduga berperan

penting dalam timbulnya komplikasi makrovaskular (Permana, 2009).

Neuropati diabetik mengacu pada sekelompok penyakit yang

mempengaruhi semua jenis saraf, termasuk perifer (sensorimotor), otonom, dan

saraf tulang belakang. Gejala klinis beragam dan tergantung pada lokasi sel-sel

saraf yang terkena (NIDDK, 2008; Smeltzer & Bare 2010). Neuropati pada

umumnya berupa polineuropati diabetik yang merupakan komplikasi yang sering

terjadi pada penderita diabetes, dan lebih dari 50% dari penderita diabetes

mengalami komplikasi tersebut. Manifestasi klinis dapat berupa gangguan

sensorik, motorik, dan otonom. Proses terjadinya neuropati biasanya progresif di

mana terjadi degenerasi serabut-serabut saraf dengan gejala-gejala nyeri atau baal.

Area yang biasanya mengalami neuropati adalah serabut saraf tungkai atau lengan

(Permana, 2009).

2.2. Efikasi Diri

2.2.1. Definisi Efikasi Diri

Konsep efikasi diri telah dikembangkan oleh Albert Bandura sebagai teori

sosial kognitif pada tahun 1977. Bandura (1994) menjelaskan bahwa efikasi diri

adalah keyakinan seseorang tentang kemampuan mereka untuk mencapai suatu

tingkat kinerja yang mempengaruhi setiap peristiwa dalam hidupnya. Efikasi diri

Universitas Sumatera Utara


menentukan bagaimana seseorang merasa, berfikir, memotivasi dirinya dan

berperilaku. Efikasi diri terbentuk melalui empat proses utama yaitu kognitif,

motivasi, afektif dan proses seleksi. Pender (2004; dalam Tomey & Alligood,

2006) menjelaskan efikasi diri adalah penilaian kemampuan personal untuk

mengatur dan menjalankan perilaku promosi kesehatan.

Efikasi diri merupakan keyakinan individu terhadap kemampuannya untuk

mengelola penyakit kronis secara mandiri, karena menentukan seseorang apakah

akan memulai atau tidak untuk melakukan perawatan dirinya (Holman & Lorig,

1992; Nyunt et al., 2010). Dan berdasarkan beberapa definisi di atas dapat

disimpulkan bahwa efikasi diri adalah keyakinan seseorang akan kemampuan

dirinya dalam mengatur dan melaksanakan kegiatan yang mendukung

kesehatannya berdasarkan pada tujuan dan harapan yang diinginkan.

2.2.2. Sumber Efikasi Diri

Bandura (1995) menyatakan bahwa efikasi diri dapat diperoleh, dipelajari,

dan dikembangkan dari empat sumber informasi. Pada dasarnya, keempat sumber

tersebut adalah stimulasi atau kejadian yang dapat memberikan inspirasi atau

pembangkit positif untuk berusaha menyelesaikan tugas atau masalah yang

dihadapi. Adapun sumber-sumber efikasi diri tersebut adalah:

1) Mastery Experiences (Pengalaman keberhasilan). Sumber informasi ini

memberikan pengaruh besar pada efikasi diri individu karena didasarkan pada

pengalaman-pengalaman pribadi individu secara nyata yang berupa

keberhasilan dan kegagalan. Pengalaman keberhasilan akan menaikkan

efikasi diri individu, sedangkan pengalaman kegagalan akan menurunkannya.

Universitas Sumatera Utara


Pengalaman keberhasilan individu ini meningkatkan ketekunan dan kegigihan

dalam berusaha mengatasi kesulitan, sehingga dapat mengurangi kegagalan.

2) Vicarious experience (Pengalaman orang lain), yaitu mengamati perilaku dan

pengalaman orang lain sebagai proses belajar individu. Melalui model ini

efikasi diri individu dapat meningkat, terutama jika ia merasa memiliki

kemampuan yang setara atau bahkan merasa lebih baik dari pada orang yang

menjadi subyek belajarnya. Ia akan mempunyai kecenderungan merasa

mampu melakukan hal yang sama. Meningkatnya efikasi diri individu ini

dapat meningkatkan motivasi untuk mencapai suatu prestasi. Peningkatan

efikasi diri ini akan menjadi efektif jika subyek yang menjadi model tersebut

mempunyai banyak kesamaan karakteristik antara individu dengan model,

kesamaan tingkat kesulitan tugas, kesamaan situasi dan kondisi, serta

keanekaragaman yang dicapai oleh model.

3) Verbal persuasion (Persuasi verbal). Pada persuasi verbal, individu diarahkan

dengan saran, nasihat, dan bimbingan sehingga dapat meningkatkan

keyakinannya tentang kemampuan-kemampuan yang dimiliki yang dapat

membantu mencapai tujuan yang diinginkan. Individu yang diyakinkan secara

verbal cenderung akan berusaha lebih keras untuk mencapai suatu

keberhasilan. Dalam kondisi yang menekan dan kegagalan terus-menerus,

pengaruh sugesti akan cepat lenyap jika mengalami pengalaman yang tidak

menyenangkan.

4) Physiological and emotional state (Keadaan fisiologis dan psikologis), yaitu

situasi yang menekan kondisi emosional. Gejolak emosi, kegelisahan yang

Universitas Sumatera Utara


mendalam, dan keadaan fisiologis yang lemah yang dialami individu akan

dirasakan sebagai suatu isyarat akan terjadi peristiwa yang tidak diinginkan.

Individu akan mendasarkan informasi mengenai kondisi fisiologis mereka

untuk menilai kemampuannya. Ketegangan fisik dalam situasi yang menekan

dipandang individu sebagai suatu tanda ketidakmampuan karena hal itu dapat

melemahkan perfomansi kerja individu. Karena itu, efikasi diri tinggi

biasanya ditandai oleh rendahnya tingkat stres dan kecemasan. Sebaliknya,

efikasi diri yang rendah ditandai oleh tingkat stres dan kecemasan yang tinggi

pula.

2.2.3. Proses Pembentukan Efikasi Diri

Menurut Bandura (1995), proses psikologis dalam efikasi diri yang turut

berperan dalam diri manusia ada 4 yakni proses kognitif, motivasional, afeksi dan

proses pemilihan/seleksi.

1) Proses kognitif

Proses kognitif merupakan proses berfikir, termasuk pemerolehan,

pengorganisasian, dan penggunaan informasi. Kebanyakan tindakan manusia

bermula dari sesuatu yang dipikirkan terlebih dahulu. Individu yang memiliki

efikasi diri yang tinggi lebih senang membayangkan tentang kesuksesan.

Sebaliknya individu dengan efikasi dirinya rendah lebih banyak membayangkan

kegagalan dan hal-hal yang dapat menghambat tercapainya kesuksesan. Bentuk

tujuan personal juga dipengaruhi oleh penilaian akan kemampuan diri. Semakin

seseorang mempersepsikan dirinya mampu maka individu akan semakin

Universitas Sumatera Utara


membentuk usaha-usaha dalam mencapai tujuannnya dan semakin kuat komitmen

individu terhadap tujuannya.

2) Proses motivasi

Kebanyakan motivasi manusia dibangkitkan melalui kognitif. Individu

memberi motivasi/dorongan bagi diri mereka sendiri dan mengarahkan tindakan

melalui tahap pemikiran-pemikiran sebelumnya. Kepercayaan akan kemampuan

diri dapat mempengaruhi motivasi dalam beberapa hal, yakni menentukan tujuan

yang telah ditentukan individu, seberapa besar usaha yang dilakukan, seberapa

tahan mereka dalam menghadapi kesulitan-kesulitan dan ketahanan mereka dalam

menghadapi kegagalan. Ada tiga teori yang menjelaskan tentang proses motivasi.

Teori pertama adalah causal attributions (atribusi penyebab). Teori ini fokus pada

sebab-sebab yang mempengaruhi motivasi, usaha, dan reaksi-reaksi individu.

Individu yang memiliki efikasi diri tinggi bila mengahadapi kegagalan cenderung

menganggap kegagalan tersebut diakibatkan usaha-usaha yang tidak cukup

memadai. Sebaliknya, individu yang efikasi dirinya rendah, cenderung

menganggap kegagalanya diakibatkan kemampuan mereka yang terbatas. Teori

kedua, outcomes experience (harapan akan hasil), yang menyatakan bahwa

motivasi dibentuk melalui harapan-harapan. Biasanya individu akan berperilaku

sesuai dengan keyakinan mereka tentang apa yang dapat mereka lakukan. Teori

ketiga, goal theory (teori tujuan), dimana dengan membentuk tujuan terlebih

dahulu akan dapat meningkatkan motivasi.

Universitas Sumatera Utara


3) Proses afektif

Proses afeksi merupakan proses pengaturan kondisi emosi dan reaksi

emosional. Keyakinan individu akan koping mereka turut mempengaruhi tingkat

stres dan depresi seseorang saat mereka menghadapi situasi yang sulit. Persepsi

efikasi diri tentang kemampuannya mengontrol sumber stres memiliki peranan

penting dalam timbulnya kecemasaan. Individu yang percaya akan

kemampuannya untuk mengontrol situasi cenderung tidak memikirkan hal-hal

yang negatif. Individu yang merasa tidak mampu mengontrol situasi cenderung

mengalami tingkat kecemasan yang tinggi, selalu memikirkan kekurangan

mereka, memandang lingkungan sekitar penuh dengan ancaman, membesar-

besarkan masalah kecil, dan terlalu cemas pada hal-hal kecil yang sebenarnya

jarang terjadi.

4) Proses seleksi

Kemampuan individu untuk memilih aktivitas dan situasi tertentu turut

mempengaruhi efek dari suatu kejadian. Individu cenderung menghindari

aktivitas dan situasi yang diluar batas kemampuan mereka. Bila individu merasa

yakin bahwa mereka mampu menangani suatu situasi, maka mereka cenderung

tidak menghindari situasi tersebut. Dengan adanya pilihan yang dibuat, individu

kemudian dapat meningkatkan kemampuan, minat, dan hubungan sosial mereka.

2.2.4. Dimensi Efikasi Diri

Bandura (1997) mengungkapkan bahwa perbedaan efikasi diri pada setiap

individu terletak pada tiga dimensi, yaitu: magnitude (tingkat kesulitan tugas),

strength (kekuatan keyakinan), dan generality (generalitas). Masing-masing aspek

Universitas Sumatera Utara


mempunyai implikasi penting di dalam kinerja individu yang secara lebih jelas

dapat diuraikan sebagai berikut:

1) Magnitude (tingkat kesulitan tugas), yaitu masalah yang berkaitan dengan

derajat kesulitan tugas individu. Komponen ini berimplikasi pada pemilihan

perilaku yang akan dicoba individu berdasarkan ekspektasi efikasi pada

tingkat kesulitan tugas. Individu akan berupaya melakukan tugas tertentu

yang ia persepsikan dapat dilaksanakannya dan ia akan menghindari situasi

dan perilaku yang ia persepsikan di luar batas kemampuannya.

2) Strength (kekuatan keyakinan), yaitu aspek yang berkaitan dengan kekuatan

keyakinan individu atas kemampuannya. Pengharapan yang kuat dan mantap

pada individu akan mendorong untuk gigih dalam berupaya mencapai tujuan

walaupun mungkin belum memiliki pengalaman-pengalaman yang

menunjang. Sebaliknya, pengharapan yang lemah dan ragu-ragu akan

kemampuan diri akan mudah digoyahkan oleh pengalaman-pengalaman yang

tidak menunjang. Dimensi ini biasanya berkaitan langsung dengan tingkat

dimensi, yaitu semakin tinggi tingkat kesulitan tugas, semakin lemah

keyakinan yang dirasakan untuk menyelesaikannya.

3) Generality (generalitas), yaitu hal yang berkaitan dengan luas cakupan

tingkah laku diyakini oleh individu mampu dilaksanakan. Keyakinan individu

terhadap kemampuan dirinya bergantung pada pemahaman kemampuan

dirinya, baik yang terbatas pada suatu aktivitas dan situasi tertentu maupun

pada serangkaian aktivitas dan situasi yang lebih luas dan bervariasi.

Universitas Sumatera Utara


2.2.5. Efikasi Diri pada Diabetes

Menurut Bandura (1997), efikasi diri adalah jembatan antara mengetahui

apa yang harus dilakukan dan benar-benar melakukannya. Selain itu, efikasi diri

juga menjadi dasar untuk meningkatkan efektivitas pendidikan diabetes karena

berfokus pada perubahan perilaku (Van der Bijl & Shortridge-Baggett, 2001; Wu

et al., 2007). Efikasi diri merupakan keyakinan individu tentang kemampuan

pribadi terhadap kinerja perilaku. Dalam hal manajemen diri diabetes, efikasi diri

adalah keyakinan pasien terhadap kemampuannya untuk melakukan berbagai

perilaku manajemen diri diabetes (Al-Khawaldeh, Al-Hassan & Froelicher, 2012).

Efikasi diri adalah prediktor kuat terhadap perilaku manajemen diri diabetes,

seseorang yang hidup dengan diabetes yang memiliki tingkat efikasi diri yang

lebih tinggi akan berpartisipasi dalam perilaku pengelolaan diri diabetes yang

lebih baik (Hunt et al., 2012).

2.2.6. Pengukuran Efikasi Diri pada Diabetes Tipe 2

Pengembangan instrumen Diabetes Management Self-efficacy Scale

(DMSES) Dutch/English Version untuk pasien diabetes tipe 2 telah dilakukan

oleh Bijl., Poelgeest-Eeltink, & Shortridge-Baggett (1999) yang terdiri dari 20

item pertanyaan untuk mengukur efikasi diri terhadap manajemen diri pada pasien

tipe 2. Skala ini juga telah dikembangkan dalam versi Australia/Inggris oleh

McDowell et al. (2005), dan dalam versi Inggris oleh Sturt, Hearnshaw dan

Wakelin (2010). Instrumen (DMSES) Dutch/English Version juga telah

dimodifikasi dan diterjemahkan ke dalam bahasa Cina oleh Wu et al. (2008).

Universitas Sumatera Utara


2.3. Manajemen Diri

2.3.1. Definisi Manajemen Diri

Di dalam literatur, manajemen diri (self-management) juga disebut dengan

perawatan diri (self-care) telah didefinisikan dalam beberapa cara tergantung pada

fokus disiplin (yaitu, sosiologi, fisiologi, ekologi, medis, atau terkait dengan

perawatan atau promosi kesehatan) (Weiler & Crist, 2007). Manajemen diri

mengacu pada pelaksanaan tugas-tugas dimana seseorang harus berusaha untuk

hidup dengan baik dengan satu atau lebih kondisi kronis. Tugas ini juga ternasuk

dalam mendapatkan kepercayaan untuk menangani manajemen medis, manajemen

peran, dan manajemen emosional (Adams, Greiner & Corrigan, 2004).

2.3.2. Manajemen Diri pada Diabetes

Manajemen diri pada diabetes merupakan seperangkat perilaku yang

dilakukan oleh individu dengan diabetes untuk mengelola kondisi mereka,

termasuk minum obat, mengatur diet, melakukan latihan fisik, pemantauan

glukosa darah mandiri, dan mempertahankan perawatan kaki (Xu et al., 2010).

Manajemen diri pada diabetes juga didefinisikan sebagai perilaku manajemen diri

yang mencakup pengaturan pola makan, olahraga, pemantauan glukosa darah

secara mandiri, dan minum obat, yang secara keseluruhan berhubungan dengan

perbaikan yang signifikan dalam mengontrol status metabolik (Jones et al., 2003;

Sousa et al., 2005; Hunt et al., 2012).

Seseorang dengan diabetes perlu mengetahui pemahaman dalam

pengelolaan penyakitnya. Tugas-tugas dalam manajemen diri yang diperlukan

untuk mengontrol diabetes, sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara


1) Pengaturan pola makan (diet)

Diet merupakan faktor utama dalam mengontrol diabetes, yang melibatkan

pengendalian berat badan dan perencanaan makan yang sehat (Harris et al., 2012).

Pasien dengan diabetes tipe 2 harus dimotivasi untuk menerapkan perubahan pola

hidup yang lebih sehat (Amod et al., 2012). Rekomendasi diet bagi penderita

diabetes mirip dengan rekomendasi untuk masyarakat umum, misalnya

mengurangi gula, lemak jenuh, dan asupan garam (Dyson, 2002; Nair, 2007).

Meskipun setiap orang memiliki kebutuhan yang sama untuk nutrisi dasar, pasien

diabetes akan membutuhkan diet yang lebih terstruktur untuk mencegah

hiperglikemia (Lemone & Burke, 2004; Nair, 2007). Diet yang direkomendasikan

untuk pasien diabetes tipe 2 sebagai berikut (Amod et al., 2012):

a) Mengikuti perencanaan makan yang sehat dan seimbang, yaitu;

mengkonsumsi berbagai buah dan sayuran segar setiap hari, hindari jus buah,

mengkonsumsi produk susu rendah lemak dan minuman kedelai yang

diperkaya dengan kalsium, mengkonsumsi ikan setidaknya dua kali per

minggu, gunakan alternatif pengganti daging seperti kacang-kacangan,

kedelai dan tahu, dan batasi mengkonsumsi produk olahan.

b) Karbohidrat harus mencukupi 45-60% dari total asupan energi. Pemantauan

asupan karbohidrat dapat dilakukan dengan menghitung karbohidrat, atau

melakukan pertukaran atau memperkirakan jumlah karbohidrat bagi yang

berpengalaman, batasi gula alkohol (maltitol, manitol, sorbitol, laktitol,

isomalt, xylitol) <10 gr per hari, batasi total asupan fruktosa sekitar 60 gr per

hari; meningkatkan asupan serat larut dan tidak larut 25-50 gr per hari, asupan

Universitas Sumatera Utara


sukrosa hingga 10% per hari dapat diterima, dan penggunaan pemanis buatan

dikonsumsi dalam batas harian yang ditetapkan oleh FDA.

c) Protein harus mencukupi 15-20% dari total asupan energi.

d) Asupan lemak harus dibatasi <35% dari total asupan energi. Asupan lemak

jenuh harus dibatasi <7% dari total asupan energi, asupan lemak

polysaturated harus dibatasi <10% dari total asupan energi, meminimalkan

asupan lemak trans, dan mengkonsumsi lemak tidak jenuh tunggal dan asam

lemak omega-3 yang berasal dari tumbuhan dan ikan.

e) Garam. Sumber utama natrium dalam makanan adalah garam yang

terkandung dalam makanan kemasan dan makanan olahan. Kurangi diet

natrium hingga <2300 mg per hari dapat membantu mengontrol tekanan

darah.

f) Vitamin dan mineral. Suplemen vitamin dan mineral mungkin diperlukan

pada kelompok-kelompok tertentu seperti; lansia, wanita hamil dan

menyusui, suplemen antioksidan seperti vitamin E, vitamin C, dan beta

karoten, tidak dianjurkan, karena tidak cukup bukti keberhasilan dan

keamanan jangka panjang, akan tetapi suplemen dapat dipertimbangkan pada

penderita diabetes yang merokok.

2) Latihan fisik

Latihan fisik merupakan faktor penting dalam mengelola diabetes dan

mengontrol kadar glukosa darah yang lebih baik. Sebelum meningkatkan pola

aktivitas fisik dari yang biasanya, pasien diabetes harus melakukan pemeriksaan

medis terlebih dahulu, untuk menyesuaikan kebutuhan individu dan

Universitas Sumatera Utara


mempertimbangkan adaptasi latihan terhadap adanya komplikasi diabetes.

Aktifitas fisik dapat menurunkan resistensi insulin, dan memungkinkan untuk

penggunaan insulin yang lebih baik (DeCoste & Scott, 2004). Aktifitas latihan

fisik yang direkomendasikan pada pasien diabetes tipe 2 yaitu melakukan latihan

fisik selama 30 menit setiap hari. Jenis latihan yang dapat dilakukan seperti

berjalan, jogging, berenang, atau membersihkan taman (DCD, 1999; DeCoste &

Scott, 2004). Latihan fisik dapat membantu meningkatkan sirkulasi, tonus otot,

dan mengurangi berat badan (Caterson, 2005; Nair, 2007), serta meningkatkan

penyerapan glukosa dalam sel otot (Pullen, 2000; Nair, 2007), sehingga

membantu menurunkan kadar glukosa darah (Nair, 2007).

3) Medikasi

Bagi penderita diabetes tipe 2, kontrol glikemik dapat dipertahankan

dengan intervensi non-farmakologis seperti diet, latihan fisik, dan monitoring gula

darah mandiri. Namun, sebagian besar penderita diabetes tipe 2 memerlukan

pengobatan dengan farmakologi (DeCoste & Scott, 2004). Diabetes tipe 2 dapat

diobati dengan obat tunggal atau kombinasi obat oral dan insulin. Setiap obat

diberikan untuk salah satu ketidaknormalan kadar gula darah dan kombinasi

dengan perawatan medis yang dapat menormalkan kadar gula darah. Jika terapi

oral tidak bekerja, maka terapi insulin satu-satunya cara untuk mengontrol kondisi

hiperglikemia. Insulin hanya akan digunakan jika nilai HbA1c lebih dari 6,5%

setelah terapi oral maksimal. Insulin harus dikombinasi dengan terapi oral untuk

mengurangi risiko hipoglikemia dan peningkatan berat badan (Garber et al., 2002;

Svartholm & Nylander, 2010).

Universitas Sumatera Utara


4) Monitoring gula darah mandiri

Monitoring gula darah mandiri merupakan bagian penting dalam

manajemen diri pasien dengan diabetes, dan disarankan pada pasien diabetes yang

menggunakan terapi obat oral. Monitoring gula darah mandiri bertujuan untuk

mencapai penurunan HbA1c dengan tujuan utama mengurangi risiko komplikasi,

mengidentifikasi adanya hipoglikemia (IDF, 2012), mempertahankan kadar

glukosa darah pada 4-6 mmol/L sebelum makan (preprandial) dan tidak di atas 10

mmol/L dua jam setelah makan (postprandial) (Diabetes UK, 2006; Nair, 2007).

Monitoring gula darah mandiri didasarkan pada kebutuhan individu, jadwal, dan

penggunaan data yang direncanakan. Monitoring gula darah mandiri efektif dalam

meningkatkan kontrol glikemik pada individu dengan diabetes tipe 2 yang tidak

menggunakan insulin (Welschen et al, 2005; Hirsch et al, 2008).

Pasien dengan diabetes tipe 2 non-insulin direkomendasikan untuk

memonitoring kadar gula darah mandiri setidaknya sekali dalam sehari (Hirsch et

al., 2008). Pada pasien diabetes tipe 2 yang menggunakan insulin, dapat

melakukan monitoring gula darah pre dan post prandial untuk membantu

menentukan penyesuaian insulin yang digunakan. Pada pasien diabetes tipe 2

yang tidak menggunakan insulin, dapat melakukan monitoring gula darah post

prandial untuk mengevaluasi status glikemik yang disebabkan oleh diet atau

aktivitas fisik (DeCoste & Scott, 2004). Pedoman International Diabetes

Federation tentang monitoring gula darah mandiri untuk diabetes tipe 2 non-

insulin diobati tipe 2 merekomendasikan bahwa monitoring gula darah mandiri

harus dimasukkan sebagai bagian dari pendidikan manajemen diri diabetes

Universitas Sumatera Utara


berkelanjutan untuk membantu pasien untuk lebih memahami kondisi mereka,

berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan pengobatan, dan

memodifikasi perilaku perawatan dan obat-obatan yang diperlukan (IDF, 2012).

Monitoring glukosa darah mandiri memberikan informasi mengenai efek

terapi, diet dan aktivitas fisik. Pernyataan dari ADA (2009, dalam CPG on

Management T2DM, 2009) merekomendasikan bahwa monitoring glukosa darah

mandiri harus dilakukan 3 atau 4 kali sehari untuk pasien menggunakan suntikan

insulin atau terapi pompa insulin. Untuk pasien yang menggunakan suntikan

insulin tidak sering, terapi non-insulin atau terapi nutrisi medis saja, monitoring

glukosa darah mandiri mungkin berguna dalam mencapai kontrol glikemik.

(Sumber: ADA, 2009; CPG on Management T2DM, 2009)

5) Perawatan kaki

Kaki diabetes dianggap sebagai komplikasi umum dari diabetes. Pasien

dengan risiko ulkus kaki, harus memahami dasar-dasar perawatan kaki. Beberapa

studi menunjukkan bahwa intervensi pendidikan bagi pasien tentang perawatan

kaki sangat efektif dalam pencegahan ulkus kaki diabetik (Spollett, 1998;

Culleton, 1999; Viswanathan et al., 2005; Aalaa et al., 2012). Perawat dapat

mengajarkan pasien bagaimana melakukan pemeriksaan fisik dan merawat kaki

Universitas Sumatera Utara


setiap hari (Clapham, 1997; Aalaa et al., 2012). Misalnya, perawat dapat

menganjurkan pasien untuk melaksanakan serangkaian aturan sederhana untuk

membantu mencegah kekambuhan ulkus kaki atau, seperti memeriksa sepatu

sebelum memakainya, menjaga kaki bersih dan perawatan kulit dan kuku

berkelanjutan. Pelatihan tentang memilih sepatu yang tepat juga sangat penting

(Ramachandran, 2004; Aalaa et al., 2012).

2.3.3. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Manajemen Diri pada

Diabetes Tipe 2

1) Umur. Penderita diabetes yang lebih tua memiliki tingkat manajemen diri

yang lebih tinggi pada diet, olahraga, dan perawatan kaki daripada individu

yang lebih muda (Xu, Pan & Liu, 2010). Penderita diabetes yang lebih tua

dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi juga akan lebih baik dalam

perawatan diri daripada orang tua yang buta huruf (Bai, Chiou & Chang,

2009).

2) Tingkat pendidikan. Seseorang dengan pendidikan tinggi umumnya memiliki

pemahaman yang baik tentang pentingnya perilaku perawatan diri dan

memiliki keterampilan manajemen diri yang lebih baik untuk menggunakan

informasi peduli diabetes yang diperoleh melalui berbagai media

dibandingkan dengan tingkat pendidikan rendah (Bai, Chiou & Chang, 2009).

Seseorang dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi memiliki tingkat

manajemen diri yang lebih tinggi terhadap diet, olahraga, dan pemeriksaan

gula darah mandiri, dan lebih mudah untuk memahami informasi kesehatan

Universitas Sumatera Utara


yang berhubungan dengan diet, aktivitas fisik, dan pemeriksaan gula darah

mandiri (Xu, Pan & Liu, 2010).

3) Pekerjaan. Penderita diabetes yang bekerja memiliki tingkat manajemen diri

lebih rendah untuk latihan fisik daripada penderita yang tidak bekerja.

Penderita diabetes yang lebih muda yang bekerja bisa memiliki jadwal dan

tanggung jawab yang sangat banyak, membuat perilaku manajemen diri

diabetesnya menjadi prioritas rendah bagi mereka (Xu, Pan & Liu, 2010).

4) Efikasi diri. Seseorang yang hidup dengan diabetes tipe 2 yang memiliki

tingkat efikasi diri yang lebih tinggi lebih berpartisipasi dalam perilaku

manajemen diri diabetes. Efikasi diri yang lebih tinggi lebih mungkin untuk

menunjukkan pengaturan diet secara optimal, olahraga, monitoring glukosa

darah mandiri, dan perawatan kaki (Sarkar, Fisher & Schillinger, 2006; Xu et

al., 2008; Hunt et al., 2012).

5) Lamanya menderita diabetes. Seseorang dengan durasi penyakit lebih lama

memiliki pengalaman dalam mengatasi penyakit mereka dan melakukan

perilaku perawatan diri yang lebih baik (Wu et al., 2007). Seseorang yang

telah didiagnosis dengan diabetes bertahun-tahun dapat menerima diagnosis

penyakitnya dan rejimen pengobatannya, serta memiliki adaptasi yang lebih

baik terhadap penyakitnya dengan mengintegrasikan gaya hidup baru dalam

kehidupan mereka sehari-hari (Xu, Pan & Liu, 2010).

6) Dukungan sosial. Dukungan sosial merupakan prediktor penting dalam

perilaku perawatan diri pada pasien diabetes. Ketika pasien didiagnosis

dengan penyakit kronis, maka pasien tersebut memerlukan bantuan perawatan

Universitas Sumatera Utara


dari teman dan keluarga. Pasien diabetes tipe 2 melakukan perilaku perawatan

diri yang lebih baik ketika mereka menerima dukungan dari keluarga dan

teman-temannya (Bai, Chiou & Chang, 2009).

7) Asuransi. Penderita diabetes yang tidak memiliki asuransi kesehatan biasanya

memiliki perilaku kurang baik dalam minum obat dan memantau kadar

glukosa darah mereka secara teratur (Xu, Pan & Liu, 2010).

8) Komunikasi antara pasien dan provider. Tujuan utama komunikasi antara

pasien dan provider adalah untuk bertukar informasi tentang penyakit dan

perawatannya. Sebuah gaya komunikasi yang positif dapat meningkatkan

pemahaman pasien dan mengingat informasi tentang penyakit (Ong et al.,

1995; Xu et al., 2008). Interaksi antara pasien dan provider dapat memperkuat

kepercayaan pasien dan dapat mempengaruhi hasil kesehatan (Kaplan,

Greenfield & Ware, 1989; Xu et al., 2008). Komunikasi antara pasien dan

provider yang lebih baik dapat membantu membangun hubungan saling

percaya, dan menjadi landasan bersama untuk mempromosikan manajemen

diri pasien dengan diabetes (Xu et al., 2008).

9) Jenis layanan perawatan. Pasien diabetes yang menerima perawatan dari

spesialis menunjukkan kecenderungan yang lebih besar untuk melaksanakan

praktek perawatan diri yang lebih baik termasuk gaya hidup yang lebih baik,

dan mengontrol diabetes lebih baik daripada pasien yang menerima

perawatan dokter umum. Para pasien yang menerima perawatan dari spesialis

cenderung untuk berolahraga lebih banyak dan mengurangi merokok. Pada

pasien yang mengunjungi dokter umum selama satu tahun terakhir lebih

Universitas Sumatera Utara


sering memiliki kecenderungan untuk menunjukkan kontrol glikemik yang

buruk (Goudswaard et al.; Lee, Ahn & Kim, 2009). Pasien yang telah

menerima pendidikan tentang perawatan kaki diabetes dan pemeriksaan kaki

oleh spesialis secara signifikan lebih mungkin untuk memeriksa kaki mereka

secara teratur dan cenderung untuk mematuhi pedoman perawatan diabetes,

serta menjaga kadar glukosa darah dalam tingkat optimal daripada pasien

yang menerima perawatan dari dokter umum (De Berardis et al., 2005; Lee,

Ahn & Kim, 2009)

10) Bahasa dan budaya. Keterbatasan bahasa dan budaya pada materi pendidikan

manajemen diri pada diabetes yang tepat dan program yang tersedia untuk

pasien dengan diabetes, misalnya pada etnis Cina-Amerika. Kebanyakan

program pendidikan manajemen diri pada diabetes tersedia dalam bahasa

Inggris dan didasarkan pada budaya Barat, seperti jenis pilihan makanan dan

membaca label, sehingga menyulitkan pasien diabetes Cina-Amerika untuk

mengikuti program tersebut (Xu, Pan & Liu, 2010).

11) Kepercayaan terhadap efektivitas pengobatan. Kepercayaan terhadap

efektivitas pengobatan merupakan faktor penting yang mempengaruhi

manajemen diri diabetes. Xu et al. (2008), mengungkapkan bahwa pada

pasien Cina dapat menggunakan pendekatan medis Barat untuk mengontrol

diabetes mereka, sementara untuk strategi manajemen penyakit, mereka

lakukan berdasarkan tradisi pengobatan Cina. Kepercayaan dalam pengobatan

Cina dapat mengurangi kepercayaan pasien dalam efektivitas pengobatan

medis Barat untuk diabetes.

Universitas Sumatera Utara


2.3.4. Pengukuran manajemen diri pada diabetes Tipe 2

Manajemen diri pada diabetes tipe 2 diukur dengan menggunakan

kuesioner Summary of Diabetes Self Care Activities-Revised (SDSCA). Instrumen

ini merupakan self-report manajemen diri secara singkat pada diabetes yang

terdiri dari item-item pertanyaan untuk menilai aspek perawatan pada diabetes

diantaranya; diet umum, diet khusus, olahraga, pemeriksaan glukosa darah,

perawatan kaki, dan merokok (Toobert, Hampson & Glasgow, 2000).

2.4. Landasan Teori

Penelitian ini menggunakan landasan teori self-care dari Dorothea E.

Orem (1991) dan teori self-efficacy dari Albert Bandura (1994) sebagai dasar

untuk pengembangan kerangka konsep penelitian untuk efikasi diri dan

manajemen diri pada pasien diabetes tipe 2.

2.4.1. Orem’s Self-Care Theory

Teori model yang diperkenalkan Dorothea E. Orem adalah Self Care

Deficit Theory of Nursing yang terdiri dari tiga teori utama yaitu teori self-care,

self-care deficit dan nusing system. Teori yang diperkenalkan oleh Orem tersebut

menekankan bahwa setiap individu mempunyai kemampuan untuk merawat

dirinya sendiri dan anggota keluarganya. Teori tentang self-care didasarkan pada

kenyataan bahwa setiap orang dewasa lebih atau kurang memiliki kapasitas penuh

untuk menjaga kesehatan mereka dan mengelola diri mereka sendiri saat sakit atau

cedera. Kapasitas ini dapat bervariasi, tergantung pada pengetahuan individu,

pendidikan, usia, pengalaman hidup, ekonomi, budaya dan status kesehatan.

Universitas Sumatera Utara


Pasien membutuhkan pendidikan, motivasi, keterampilan praktik dan kemampuan

mental untuk dapat mengatur dan melakukan perawatan diri mereka.

Keterampilan ini dapat berkembang melalui instruksi dari para profesional

perawatan kesehatan serta dengan mempraktekkan perawatan diri.

Gambar 2.1. Conceptual Structure of the Self-Care Deficit Theory of Nursing

Untuk memahami tentang teori self-care, perlu dipahami terlebih dahulu

mengenai konsep dasar perawatan diri (self-care), kemampuan perawatan diri

(self-care agency), terapi kebutuhan perawatan diri (therapeutic self-care

demand), dan syarat perawatan diri (self-care requisites). Perawatan diri (self-

care) adalah pelaksanan aktivitas individu yang berkaitan dengan pemenuhan

kebutuhan dalam mempertahankan hidup, kesehatan dan kesejahteraan. Jika

perawatan diri dapat dilakukan dengan efektif, maka dapat membantu individu

dalam mengembangkan potensi dirinya. Kemampuan perawatan diri (self-care

agency) adalah kemampuan belajar atau kekuatan untuk melakukan perawatan diri

yang digambarkan sebagai pengetahuan, keterampilan, dan motivasi untuk

Universitas Sumatera Utara


tindakan perawatan diri dalam mempertahankan hidup, kesehatan, dan

kesejahteraan. Kemampuan ini berkaitan dengan faktor pengkondisian perawatan

diri (basic conditioning factor), yang terdiri dari faktor usia, jenis kelamin, status

kesehatan, orientasi sosial budaya, sistem perawatan kesehatan, kebiasaan

keluarga, pola hidup, faktor lingkungan dan keadaan ekonomi. Terapi kebutuhan

perawatan diri (therapeutic self-care demand), yaitu semua tindakan perawatan

diri yang harus dilakukan oleh individu pada suatu titik waktu untuk menjaga

kesehatan dan meningkatkan kesejahteraan. Serta syarat perawatan diri yang

dibutuhkan (self-care requisites), yaitu tujuan yang ingin dicapai melalui

perawatan diri (Orem, 1991; Tomey & Alligood, 2006).

2.4.2. Bandura’s Self-Efficacy Theory

Menurut teori self-efficacy oleh Bandura (1994), self-efficacy (efikasi diri)

adalah bentuk kepercayaan diri atau keyakinan dalam kinerja seseorang terhadap

perilaku tertentu, serta sebagai bentuk rasa percaya diri atau keyakinan bahwa

dengan melakukan perilaku tersebut, maka akan mencapai hasil yang diinginkan.

Perubahan perilaku dan kinerja berhubungan dengan keyakinan dalam

kemampuan seseorang dan dengan harapan hasil yang akan ditimbulkan dari

perilaku tersebut. Meskipun efikasi diri merupakan dasar bagi sebagian besar

perilaku yang berhubungan dengan kesehatan, tetapi tanpa adanya kemampuan

dari individu tersebut, maka tidak akan membentuk sebuah perilaku. Ketika

pasien mampu melakukan perawatan diri yang efektif, hal tersebut menunjukkan

bahwa pasien memiliki kesadaran terhadap kondisi penyakitnya. Begitu juga pada

diabetes, pasien yang mampu melakukan perawatan dirinya dengan baik,

Universitas Sumatera Utara


menunjukkan bahwa pasien memiliki keyakinan diri terhadap kemampuannya

dalam melakukan perawatan dirinya. Oleh karena itu, landasan teori ini digunakan

sebagai kerangka berfikir dalam memahami efikasi diri pasien terhadap

kemampuannya untuk mengontrol penyakit diabetesnya dan melakukan aktivitas

perawatan dirinya.

2.5. Kerangka Teori

Gambar 2.2. Kerangka teori

(Sumber : ADA, 2014; PERKENI, 2011; Permana, 2009; Bandura, 1994; Orem,
1991; Toobert et al., 2000).

Universitas Sumatera Utara


Gambar 2.2. di atas menjelaskan bahwa diabetes merupakan suatu

kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia, yang dapat

disebabkan oleh faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi dan yang dapat

dimodifikasi. Penatalaksanaan pasien secara tepat dapat mencegah terjadinya

komplikasi diabetes akibat hiperglikemia yang tidak terkontrol. Tugas utama

pasien diabetes untuk mencegah komplikasi tersebut adalah menerapkan

manajemen diri diabetes dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam pengaturan

makanan, olah raga teratur, minum obat secara teratur, memonitor gula darah

secara mandiri, serta melakukan perawatan kaki. Dan salah satu faktor yang

sangat berpengaruh dalam pelaksanaan manajemen diri diabetes adalah efikasi diri

pasien terhadap kemampuannya untuk melakukan aktivitas perawatan dirinya

sehari-hari, dan dari waktu ke waktu. Dengan efikasi diri yang tinggi diharapkan

dapat meningkatkan perilaku manajemen diri yang baik, sehingga dapat mencapai

hasil akhir yang maksimal, baik dalam mengontrol status glikemik dan mencegah

serta meminimalkan terjadinya komplikasi akibat diabetes.

Dalam penelitian ini, teori self-care dari Dorothea E. Orem (1991) dan

teori self-efficacy dari Albert Bandura (1994) digunakan oleh peneliti sebagai

kerangka berfikir untuk memahami konsep perawatan diri yang harus dilakukan

pasien secara mandiri. Teori self-care dari Orem terdiri dari; self-care, self-care

agency, therapeutic self-care demand, dan self-care requisites. Terkait dengan

teori self-care, bahwa pasien diabetes tipe 2 harus melaksanakan aktivitas

perawatan diri secara mandiri untuk mempertahankan kesehatannya; terkait

dengan teori self-care agency, bahwa untuk melakukan manajemen diri diabetes

Universitas Sumatera Utara


maka pasien harus memiliki kemampuan atau kekuatan, hal ini juga dapat

meningkatkan efikasi dirinya; terkait dengan teori therapeutic self-care demand,

bahwa pasien diabetes harus melakukan semua tindakan perawatan diri diabetes

yang terdiri dari pengaturan makan, latihan fisik, minum obat, pemantauan gula

darah, dan perawatan kaki; dan terkait dengan teori self-care requisites, bahwa

tujuan yang dapat dicapai dari perawatan dirinya yaitu mencegah dan

meminimalkan komplikasi, status glikemik terkontrol, serta peningkatan kualitas

hidup.

2.6. Kerangka Konsep Penelitian

Kerangka konsep pada penelitian ini menggambarkan keterkaitan antar

variabel penelitian. Keterkaitan antar variabel dalam penelitian ini dapat dilihat

pada kerangka konsep berikut:

Gambar 2.3. Kerangka konsep penelitian

Universitas Sumatera Utara


Gambar 2.3. di atas merupakan kerangka konsep dalam penelitian ini yang

menjelaskan tentang variabel penelitian yang akan diteliti yaitu variabel

independen adalah efikasi diri dan karakteristik responden diabetes tipe 2 dan

variabel dependen adalah manajemen diri pasien diabetes tipe 2, yang bertujuan

untuk mengidentifikasi dan menganalisis hubungan antara efikasi diri dan

karakteristik responden dengan manajemen diri pada pasien dengan diabetes tipe

2, serta mengidentifikasi faktor utama dari variabel independen yang memiliki

hubungan paling tinggi dengan manajemen diri pada pasien diabetes tipe 2.

Universitas Sumatera Utara


BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kuantitatif dengan tujuan

analitik korelasi dan menggunakan pendekatan desain cross-sectional, yaitu di

mana data penelitian dikumpulkan pada satu kurun waktu tertentu (Polit & Beck,

2012). Desain penelitian ini bertujuan untuk mempelajari hubungan antara

variabel independen dengan variabel dependen yaitu efikasi diri dengan

manajemen diri pada pasien dengan diabetes tipe 2, dengan pengambilan data

yang dilakukan pada saat yang bersamaan atau menggunakan pendekatan satu

waktu.

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Endokrin Rumah Sakit Umum

Daerah Dr. Pirngadi Medan. Pemilihan tempat ini karena rumah sakit tersebut

merupakan rumah sakit tempat pendidikan yang mendukung pengembangan

dalam bidang penelitian sehingga sangat mungkin untuk melakukan penelitian di

rumah sakit ini, serta belum pernah dilakukan penelitian yang sama yang

berkaitan dengan hubungan antara efikasi diri dan manajemen diri pada pasien

diabetes tipe 2. Pengambilan data pada penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei

sampai dengan Juni 2014.

Universitas Sumatera Utara


3.3. Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi adalah keseluruhan dari subjek yang ingin diteliti yang memiliki

karakteristik secara umum (Polit & Beck, 2012). Dalam penelitian ini yang

menjadi populasi adalah pasien diabetes tipe 2 yang melakukan rawat jalan di

Poliklinik Endokrin Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan.

Sampel merupakan sebuah pemisahan dari populasi yang terdiri dari

orang-orang terpilih untuk berpartisipasi dalam penelitian (Polit & Beck, 2012).

Sampel dalam penelitian ini adalah sebagian dari pasien diabetes tipe 2. Besar

sampel yang dibutuhkan dalam penelitian ini ditentukan dengan menggunakan

Software Program G*power version 3.1.9.2 (Faul et al., 2009). Untuk

menentukan besar sampel dengan menggunakan power analysis, peneliti perlu

mempertimbangkan; tipe uji yang digunakan, power (1-β), level of significance

(1-), dan effect size (d) (Cohen, 1988). Langkah-langkah penentuan besar sampel

adalah sebagai berikut; Tipe uji yang digunakan adalah uji korelasi (bivariate

normal model), untuk mendapatkan nilai effect size, peneliti menggunakan hasil

penelitian sebelumnya oleh Kusniawati (2011) berdasarkan nilai koefisien

determinasi (r2) dari uji korelasi antara motivasi dengan self-care diabetes, yaitu =

0,132. Berdasarkan hasil perhitungan dengan software G*power, maka nilai effect

size (koefisien korelasi ) yang didapatkan adalah = 0.363318. Kemudian, dengan

effect size sebesar 0.363318, level of significance (1-) sebesar 0,05, power (1-β)

sebesar 0,95, maka didapatkan jumlah total sampel sebanyak 92 orang.

Sampling adalah proses pemilihan sebagian dari populasi untuk mewakili

seluruh populasi (Polit & Beck, 2012). Teknik sampling dalam penelitian ini

Universitas Sumatera Utara


dilakukan dengan teknik nonprobability sampling melalui teknik convenience

sampling atau yang disebut dengan sampling aksidental, yaitu pemilihan sampel

penelitian yang paling tersedia sebagai peserta penelitian (Polit & Beck, 2012).

Teknik convenience sampling dalam penelitian ini dilakukan dengan cara

mengambil responden dari pasien diabetes tipe 2 yang tersedia di Poliklinik

Endokrin, berdasarkan kriteria inklusi sampel penelitian.

Kriteria inklusi pada sampel penelitian ini yaitu; responden didiagnosa

diabetes tipe 2, lama menderita diabetes minimal 1 tahun, umur di atas 25 tahun,

mampu berkomunikasi dengan bahasa Indonesia yang baik, bersedia menjadi

responden penelitian dan kooperatif. Kriteria eksklusi pada sampel penelitian ini

adalah pasien diabetes tipe 2 yang mengalami gangguan fisik berat atau kondisi

ketidaknyamanan yang tidak memungkinkan untuk melanjutkan penelitian, dan

pasien yang mengundurkan diri sebagai responden.

3.4. Metode Pengumpulan Data

3.4.1. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan

menggunakan kuesioner. Peneliti mengambil calon responden yang sedang

menunggu jadwal antrian di Poliklinik Endokrin. Setelah peneliti mencoba

berkomunikasi pada salah satu calon responden kemudian peneliti

memperkenalkan diri terlebih dahulu dan menjelaskan tujuan penelitian serta

prosedur penelitian kepada calon responden. Calon responden yang telah bersedia

menjadi subjek penelitian, selanjutnya diminta untuk mengisi lembar persetujuan

Universitas Sumatera Utara


yang telah disediakan. Selanjutnya, peneliti menjelaskan cara pengisian kuesioner

dan mendampingi responden selama pengisian kuesioner sehingga hal-hal yang

kurang dimengerti responden dapat segera dijelaskan, serta meminta responden

untuk menjawab seluruh pertanyaan. Untuk responden yang tidak dapat membaca

atau yang ingin kuesionernya dibacakan, maka peneliti melakukan wawancara

terpimpin. Responden yang nomor antriannya dipanggil saat penelitian

berlangsung, maka responden dipersilahkan mengikuti pemeriksaan oleh dokter,

setelah selesai maka proses penelitian dilanjutkan kembali. Setelah semua

responden selesai mengisi kuesioner atau diwawancara, maka seluruh data

dikumpulkan kembali untuk dianalisa.

3.4.2. Alat Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan kuesioner yang

terdiri dari 3 kuesioner, yaitu kuesioner karakteristik responden, kuesioner efikasi

diri, dan kuesioner manajemen diri pada pasien dengan diabetes tipe 2.

1) Kuesioner karakteristik responden

Kuesioner karakteristik responden terdiri dari 8 item pertanyaan yaitu;

umur, jenis kelamin, suku, pendidikan, pekerjaan, lama terdiagnosis diabetes,

komplikasi diabetes, dan pendidikan kesehatan tentang diabetes. Data

karakteristik responden diisi dengan cara menuliskan jawaban singkat dan tanda

checklist (√) pada pilihan jawaban yang dipilih oleh responden.

2) Kuesioner efikasi diri

Efikasi diri diukur dengan menggunakan kuesioner Diabetes Management

Self Efficacy Scale (DMSES) versi Australia/Inggris. DMSES adalah alat ukur

Universitas Sumatera Utara


untuk menilai efikasi diri terkait manajemen diabetes pada individu dengan

diabetes tipe 2. Instrumen ini terdiri 20-item pertanyaan untuk menilai sejauh

mana tingkat keyakinan diri responden dalam melakukan aktivitas perawatan diri

diabetes, termasuk diet, aktivitas fisik, memonitor kadar gula darah mandiri, obat-

obatan, dan perawatan kaki. Reliabilitas internal dari kuesioner ini telah diteliti

dengan menggunakan semua data yang tersedia pada waktu itu dengan n=88,

didapatkan nilai koefisien Cronbach alpha adalah 0,91 (McDowell et al., 2005).

3) Kuesioner manajemen diri

Manajemen diri pada diabetes tipe 2 diukur dengan menggunakan

kuesioner Summary of Diabetes Self Care Activities (SDSCA)-Revised (Toobert,

Hampson & Glasgow, 2000). Instrumen ini terdiri dari 16 item pertanyaan untuk

menilai aspek perawatan diabetes diantaranya; diet (5 item), medikasi (2 item)

latihan fisik (2 item), monitoring glukosa darah mandiri (2 item), dan perawatan

kaki (5 item). Uji validitas dari instrumen ini adalah tinggi dengan konsistensi

internal >0,50 dan reliabilitas test-retest 0,55-0,64 (Glasgow et al., 1989; 1998;

2000). Uji validitas instrumen juga telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya yang

menggunakan SDSCA-Revised yaitu dengan Cronbach Alpha untuk instrumen

total adalah 0,72 dengan sub-skala individu berkisar antara 0,53-0,95 (Hunt et al.,

2012).

4) Adopsi dan Back Translation Instrumen

Instrumen penelitian untuk mengukur efikasi diri dan manajemen diri pada

diabetes tipe 2 diadopsi dari instrumen bahasa Inggris. Proses translasi atau

penerjemahan instrumen dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia dilakukan oleh

Universitas Sumatera Utara


Lembaga Bahasa dan Pendidikan Profesional LIA Medan, sesuai dengan bahasa

yang digunakan di masyarakat Indonesia. Kemudian dilakukan back translation

instrumen oleh Ahmad Amin Dalimunthe, untuk memastikan bahwa tidak

terdapat perubahan makna dari instrumen setelah diterjemahkan.

5) Uji Validitas dan Reliabilitas

Uji validitas konstruk dan uji reliabilitas instrumen dilakukan kepada 30

orang yang memiliki kriteria insklusi yang sama dengan responden penelitian.

Instrumen penelitian dinyatakan valid secara konstruksi apabila nilai koefisien

korelasi rhitung > rtabel (0,361). Sedangkan reliabilitas instrumen dilihat dari nilai

koefisien Cronbach alpha, reliabilitas instrumen memuaskan jika nilainya di atas

0,70, di atas 0,80 adalah baik, dan di atas 0,90 adalah ideal (Polit & beck, 2012).

Hasil uji validitas konstruk pada kuesioner efikasi diri DMSES yang

terdiri dari 20 item pernyataan, diperoleh nilai rhitung pada rentang 0,408-0,882

(dinyatakan valid dengan rhitung > rtabel). Hasil uji reliabilitas kuesioner efikasi diri

DMSES adalah 0,935 (ideal).

Hasil uji validitas konstruk pada kuesioner manajemen diri SDSCA-

Revised yang terdiri dari 16 item pertanyaan, diperoleh nilai r pada rentang 0,322-

0,687. Ada 10 item pernyataan yang memiliki nilai rhitung > 0,361 dan dinyatakan

valid, sedangkan ada 4 item pernyataan yang memiliki nilai rhitung<0,361 adalah

item nomor 7 (r=0,353), 13 (r=0,322), 15 (r=0,331), dan 16 (r=0,352). Sugiyono

(2009), menyatakan instrumen penelitian dapat dinyatakan valid secara konstruk

jika nilai koefisien korelasi >0,30. Hasil uji reliabilitas kuesioner manajemen diri

SDSCA-Revised adalah 0,715 (memuaskan).

Universitas Sumatera Utara


3.5. Variabel dan Definisi Operasional

Penelitian ini terdiri dari variabel independen yaitu efikasi diri dan

karakteristik responden yang terdiri dari; umur, jenis kelamin, suku, pendidikan,

pekerjaan, lama terdiagnosis diabetes, komplikasi diabetes, dan pendidikan

kesehatan tentang diabetes, serta variabel dependen yaitu manajemen diri.

Tabel 3.1. Definisi Operasional

Definisi Skala
Variabel Alat Ukur Hasil Ukur
Operasional Ukur
Independen:
Efikasi diri Keyakinan pasien Kuesioner Skor maksimal: 200; Interval
terhadap DMSES, Pengkategorian
kemampuannya untuk yang terdiri menggunakan
melakukan berbagai dari 20 item parameter:
perilaku manajemen pertanyaan 1. Rendah: 0-55
diri 2. Sedang : 56-139
3. Tinggi : 140-200

Karakteristik
responden:
1. Umur Umur responden Kuesioner 1. < 60 tahun Nominal
berdasarkan tanggal karakteristik 2. ≥ 60 tahun
lahir sampai dengan responden
ulang tahun terakhir

2. Jenis Jenis kelamin Kuesioner 1. Laki-laki Nominal


Kelamin responden karakteristik 2. Perempuan
responden

3. Suku Kelompok suku Kuesioner 1. Batak Nominal


bangsa responden karakteristik 2. Jawa
secara umum responden 3. Minang
4. Melayu
5. Aceh

4. Pendidikan Tingkat pendidikan Kuesioner 1. SD Nominal


formal terakhir karakteristik 2. SMP
responden responden 3. SMU
4. PT

Universitas Sumatera Utara


Tabel 3.1. (Lanjutan)

Definisi Skala
Variabel Alat Ukur Hasil Ukur
Operasional Ukur
5. Pekerjaan Jenis pekerjaan Kuesioner 1. Tidak bekerja Nominal
responden sehari-hari karakteristik 2. Bekerja (PNS,
responden pegawai swasta,
TNI/POLRI,
wiraswasta, dan
lain-lain)

6. Lama Lama waktu Kuesioner 1. ≤10 tahun Nominal


terdiagnosis didiagnosis dengan karakteristik 3. >10 tahun
diabetes diabetes responden

7. Komplikasi Penyakit penyerta Kuesioner 1. Tidak ada Nominal


diabetes yang didapat akibat karakteristik 2. Ada (retinopati,
penyakit diabetes responden gagal ginjal,
penyakit jantung,
ulkus diabetik,
dan lain-lain)

8. Pendidikan Penyuluhan kesehatan Kuesioner 1. Pernah Nominal


kesehatan tentang diabetes yang karakteristik 2. Tidak pernah
tentang pernah diperoleh responden
diabetes responden

Dependen:
Manajemen Seperangkat perilaku Kuesioner Skor : 0-7. Rasio
diri yang dilakukan oleh SDSCA- Subskala:
pasien diabetes tipe 2 Revised, 1. Diet:
untuk mengelola yang terdiri Mean & SD
penyakitnya yang dari 16 item 2. Latihan fisik:
mencakup diet, pertanyaan Mean & SD
latihan fisik, 3. Medikasi:
medikasi, monitoring Mean & SD
glukosa darah 4. Monitoring
mandiri, dan glukosa darah
perawatan kaki. mandiri:
Mean & SD
5. Perawatan kaki:
Mean & SD

Universitas Sumatera Utara


3.6. Metode Pengukuran Data

3.6.1. Efikasi Diri

Instrumen DMSES menggunakan skala Rating 11 poin yaitu skala mulai

dari 0-10, sebagai berikut; 0 (tidak dapat melakukan sama sekali), 5 (bisa ya/bisa

tidak), dan 10 (sangat mampu melakukannya), dengan total skor 0-200. Hasil skor

total dari pengukuran efikasi diri diinterpretasikan ke dalam 3 kategori yaitu;

rendah, sedang, dan tinggi dengan menggunakan paramater sebagai berikut

(McDowell et al., 2005):

1) Efikasi diri rendah, jika skor total responden yang diperoleh: 0-55,

2) Efikasi diri sedang, jika skor total responden yang diperoleh: 56-139,

3) Efikasi diri tinggi, jika skor total responden yang diperoleh: 140-200.

3.6.2. Manajemen Diri

Instrumen SDSCA-Revised menggunakan 16 item pertanyaan. Responden

diminta untuk menilai berapa banyak dari 7 hari terakhir mereka berpartisipasi

dalam setiap perilaku manajemen diri. Jika responden sakit selama 7 hari terakhir,

maka responden diminta untuk menilai aktivitas perawatan dirinya 7 hari sebelum

sakit. Instrumen ini terdiri dari 8 pilihan jawaban yaitu 0 hari sampai dengan 7

hari. Untuk pertanyaan positif (item no. 1-3, 5-16), skor yang diberikan yaitu 0

hari (skor 0), 1 hari (skor 1), 2 hari (skor 2), 3 hari (skor 3), 4 hari (skor 4), 5 hari

(skor 5), 6 hari (skor 6), dan 7 hari (skor 7). Dan untuk pertanyaan negatif (item

no. 4), skor yang diberikan yaitu 0 hari (skor 7), 1 hari (skor 6), 2 hari (skor 5), 3

hari (skor 5), 4 hari (skor 3), 5 hari (skor 2), 6 hari (skor 1), dan 7 hari (skor 0).

Hasil skor dari pengukuran dinyatakan dalam bentuk interval dengan menghitung

Universitas Sumatera Utara


jumlah skor kumulatif manajemen diri diabetes dibagi dengan jumlah item

pertanyaan. Skor terendah adalah 0 dan skor tertinggi adalah 7, selanjutnya

dianalisis untuk mengetahui nilai mean, standard deviation, minimal dan

maksimal, dengan menggunakan 95% CI. Untuk mengukur tingkat manajemen

diri pada diabetes tipe 2, dilihat dari skor tertinggi dari masing-masing subskala.

Subskala yang memiliki skor tertinggi menunjukkan perilaku manajemen diri

yang paling tinggi.

3.7. Metode Analisis Data

Setelah dilakukan pengolahan data langkah selanjutnya adalah analisis

data. Analisis data yang dilakukan pada penelitian ini terdiri dari analisis

univariat, bivariat, dan multivariat. Analisis data yang dilakukan sebagai berikut:

3.7.1. Analisis Univariat

Analisis univariat dilakukan untuk menganalisis variabel tunggal untuk

tujuan deskripsi (Polit & Beck, 2012). Bentuk penyajian hasil dari analisis

deskriptif, tergantung dari jenis skala atau data. Untuk data numerik yaitu

manajemen diri, digunakan nilai mean, standard deviation, minimal dan

maksimal, dengan 95% confidence interval (CI). Untuk data kategorik yang terdiri

dari efikasi diri, umur, jenis kelamin, suku, pendidikan, pekerjaan, lama

terdiagnosis diabetes, komplikasi diabetes, dan pendidikan kesehatan tentang

diabetes dilakukan analisis dengan menghitung frekuensi dan persentase masing-

masing kelompok. Selanjutnya data disajikan dalam tabel distribusi frekuensi.

Universitas Sumatera Utara


3.7.2. Analisis Bivariat

Analisa bivariat yaitu analisis dua variabel secara bersamaan untuk menilai

hubungan secara empiris di antara kedua variabel (Polit & Beck, 2012). Analisis

bivariat digunakan untuk membuktikan hipotesis penelitian adakah hubungan

antara efikasi diri dan karakteristik responden dengan manajemen diri pada pasien

diabetes tipe 2. Uji statistik yang digunakan yaitu uji statistik parametrik, dengan

ketentuan; data berdistribusi normal, varians sama, data homogen, serta

menganalisis data interval dan rasio. Sedangkan uji statistik non parametrik

digunakan untuk sebaran data yang tidak berdistribusi normal. Langkah-langkah

analisis bivariat sebagai berikut:

1) Uji normalitas data. Untuk menguji apakah sebaran dari data berdistribusi

normal atau tidak, maka perlu dilakukan uji statistik. Uji statistik untuk

metode analitik dengan jumlah sampel penelitian >50 orang adalah uji

Kolmogorov-Smirnov. Keluaran hasil uji adalah dengan melihat besarnya

nilai signifikasi. Apabila nilai signifikasi (p value) >0,05 maka Ho diterima,

artinya data berdistribusi normal. Apabila nilai signifikasi (p value) <0,05

maka Ho ditolak, artinya data tidak berdistribusi normal.

2) Analisis bivariat korelasi Pearson-Product Moment dengan regresi linier

sederhana. Analisis bivariat korelasi Pearson-Product Moment dengan regresi

linier sederhana digunakan untuk variabel independen berjenis numerik, yaitu

digunakan untuk membuktikan hipotesis adakah hubungan antara efikasi diri

dengan manajemen diri. Keluaran hasil uji adalah dengan melihat besarnya

nilai signifikasi. Apabila nilai signifikasi (p value) >0,05 maka Ho diterima,

Universitas Sumatera Utara


artinya tidak ada hubungan antara efikasi diri, umur, dan lama terdiagnosis

diabetes dengan manajemen diri pada pasien diabetes tipe 2. Apabila nilai

signifikasi (p value) <0,05 maka Ho ditolak, artinya ada hubungan antara

efikasi diri, umur, dan lama terdiagnosis diabetes dengan manajemen diri

pada pasien diabetes tipe 2.

3) Analisis bivariat Independent t-test dan Mann-Whitney U. Analisis bivariat

Independent t-test digunakan untuk variabel independen berjenis kategorik

dengan dua kelompok data. Dalam hal ini uji Independet t-test digunakan

untuk membuktikan hipotesis adakah hubungan antara umur, jenis kelamin,

lama terdiagnosis diabetes, dan komplikasi diabetes dengan manajemen diri,

sedangkan uji Mann-Whitney U digunakan untuk membuktikan hipotesis

adakah hubungan antara pekerjaan dan pendidikan kesehatan tentang diabetes

dengan manajemen diri dengan sebaran data yang tidak berdistribusi normal.

Keluaran hasil uji adalah dengan melihat besarnya nilai signifikasi. Apabila

nilai signifikasi (p value) >0,05 maka Ho diterima, artinya tidak ada

hubungan antara umur, jenis kelamin, pekerjaan, lama terdiagnosis diabetes,

komplikasi diabetes, dan pendidikan diabetes dengan manajemen diri pada

pasien diabetes tipe 2. Apabila nilai signifikasi (p value) <0,05 maka Ho

ditolak, artinya ada hubungan antara umur, jenis kelamin, pekerjaan, lama

terdiagnosis diabetes, komplikasi diabetes, dan pendidikan diabetes dengan

manajemen diri pada pasien diabetes tipe 2.

4) Analisis bivariat One Way ANOVA. Analisis bivariat One Way ANOVA

digunakan untuk variabel independen berjenis kategorik dengan kelompok

Universitas Sumatera Utara


data lebih dari dua, yaitu untuk membuktikan hipotesis adakah hubungan

antara suku dan pendidikan dengan manajemen diri. Keluaran hasil uji adalah

dengan melihat besarnya nilai signifikasi. Apabila nilai signifikasi (p value)

>0,05 maka Ho diterima, artinya tidak ada hubungan antara suku dan

pendidikan dengan manajemen diri pada pasien diabetes tipe 2. Apabila nilai

signifikasi (p value)<0,05 maka Ho ditolak, artinya ada hubungan antara suku

dan pendidikan dengan manajemen diri pada pasien diabetes tipe 2.

5) Analisis bivariat untuk variabel independen dengan variabel dependen

disajikan dalam tabel berikut:

Variabel Independen Variabel Dependen Uji Statistik


Efikasi Diri Manajemen Diri Korelasi Pearson
Umur Manajemen diri Independent t-test
Jenis kelamin Manajemen diri Independent t-test
Suku Manajemen diri One way ANOVA
Pendidikan Manajemen diri One way ANOVA
Pekerjaan Manajemen diri Mann Whitney U
Lama terdiagnosis diabetes Manajemen diri Independent t-test
Komplikasi diabetes Manajemen diri Independent t-test
Pendidikan kesehatan tentang
Manajemen diri Mann Whitney U
diabetes

3.7.3. Analisis Multivariat

Analisis multivariat digunakan untuk mengetahui salah satu dari variabel

independen yang menunjukkan hubungan yang paling kuat dengan variabel

dependen. Variabel dependen (manajemen diri) dalam penelitian ini merupakan

data numerik (rasio), maka uji statistik yang digunakan adalah regresi linier

ganda, dengan tahapan sebagai berikut (Hastono, 2007):

Universitas Sumatera Utara


1) Seleksi bivariat

Pemilihan model sebagai kandidat multivariat dilakukan melalui seleksi

bivariat. Pada tahap ini seleksi bivariat dilakukan pada masing-masing variabel

independen. Variabel yang dapat masuk menjadi model multivariat adalah

variabel yang pada analisis bivariat memiliki nilai p value <0,25.

2) Pemodelan multivariat

Pemodelan multivariat dilakukan pada variabel independen yang menjadi

model multivariat. Variabel dianggap valid jika memiliki nilai p value <0,05. Bila

dalam pemodelan multivariat terdapat variabel yang memiliki nilai p value >0,05,

maka variabel tersebut harus dikeluarkan dari model. Pengeluaran variabel

dilakukan secara bertahap, dimulai dari variabel yang memiliki nilai p value yang

paling besar. Jika dengan pengeluaran variabel tersebut terjadi perubahan nilai

coefficients B lebih dari 10%, maka variabel tersebut tetap dipertahankan dalam

pemodelan. Sebaliknya, jika terjadi perubahan nilai coefficients B tidak lebih dari

10%, maka variabel tersebut dikeluarkan dari pemodelan.

3) Model Akhir Analisis Multivariat

Hasil akhir dari pemodelan multivariat menentukan variabel mana yang

memiliki hubungan yang paling kuat dengan variabel dependen. Pada kolom Beta

dapat digunakan untuk mengetahui variabel independen mana yang paling besar

hubungannya dengan variabel dependen. Semakin besar nilai Beta maka semakin

besar hubungannya dengan variabel dependen.

Universitas Sumatera Utara


3.8. Pertimbangan Etik

Penelitian ini dilaksanakan dengan mempertimbangkan etika penelitian untuk

melindungi responden. Setelah mendapatkan persetujuan penelitian dari institusi

pendidikan (Program Studi Magister Ilmu Keperawatan Fakultas Keperawatan

USU), dan dinyatakan lulus persetujuan etik (Ethical Clearance) dari Komite Etik

Penelitian Kesehatan Fakultas Keperawatan USU, serta mendapatkan izin dari

institusi/lembaga tempat penelitian (RSUD Dr. Pirngadi Medan), maka peneliti

melakukan penelitian dengan menekankan pertimbangan etik yang meliputi;

Informed Consent, sebelum penelitian dilakukan peneliti memberikan informasi

lengkap tentang tujuan, manfaat, prosedur dan harapan peneliti terhadap

responden. Setelah responden memahami semua penjelasan peneliti dan bersedia

melakukan penelitian, responden diminta menandatangani lembar persetujuan

sebagai subjek penelitian, bila responden menolak maka peneliti tidak memaksa

dan tetap menghargai hak-hak responden; Anonimity (tanpa nama), untuk menjaga

kerahasiaan, maka peneliti tidak mencantumkan nama responden, tetapi lembar

tersebut diberikan kode; Confidentiality, kerahasiaan informasi responden dijamin

peneliti dan hanya kelompok data tertentu yang dilaporkan sebagai hasil

penelitian (Polit & Beck, 2012).

Universitas Sumatera Utara


BAB 4

HASIL PENELITIAN

Bab ini menguraikan tentang hasil penelitian yang telah dilakukan pada

bulan Mei-Juni 2014 di Poliklinik Endokrin Rumah Sakit Umum Daerah Dr.

Pirngadi Medan, dengan jumlah responden sebanyak 92 orang (n=92) pada pasien

diabetes tipe 2. Analisis data hasil penelitian terdiri dari analisis univariat,

bivariat, dan multivariat.

4.1. Analisis Univariat

4.1.1. Karakteristik Responden

Karakteristik responden yang didapatkan dari penelitian ini adalah

mayoritas responden berumur ≥60 tahun sebanyak 55 orang (59,8%) dengan rata-

rata umur responden adalah 60,7 tahun, jenis kelamin responden mayoritas adalah

perempuan sebanyak 60 orang (65,2%), responden mayoritas adalah suku Batak

sebanyak 72 orang (78,3%), pendidikan terakhir responden mayoritas adalah

SMA sebanyak 41 orang (44,6%), mayoritas responden tidak bekerja sebanyak 57

orang (62%), mayoritas lama terdiagnosis diabetes pada responden ≤10 tahun

sebanyak 56 orang (60,9%) dengan rata-rata 10,7 tahun, mayoritas responden

memiliki komplikasi diabetes sebanyak 58 orang (63%), dan mayoritas responden

tidak pernah mengikuti pendidikan kesehatan tentang diabetes sebanyak 53 orang

(57,6%). Deskripsi karakteristik responden secara keseluruhan ditampilkan pada

Tabel 4.1 sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara


Tabel 4.1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden di RSUD Dr.
Pirngadi Medan Bulan Mei-Juni 2014 (n=92)

Variabel Frekuensi (f) Persentase (%)


Umur
<60 tahun 37 40,2
≥60 tahun 55 59,8
Mean=60,8, SD=8,9, Min-Max=40-77
Jenis Kelamin
Laki-laki 32 34,8
Perempuan 60 65,2
Suku
Batak 72 78,3
Jawa 8 8,7
Melayu 4 4,3
Minang 6 6,5
Aceh 2 2,2
Pendidikan
SD 4 4,3
SMP 16 17,4
SMA 41 44,6
Perguruan Tinggi 31 33,7
Pekerjaan
Bekerja 35 38
Tidak Bekerja 57 62
Lama Terdiagnosis Diabetes
≤10 tahun 56 60,9
>10 tahun 36 39,1
Mean =10,7, SD=8,1, Min-Max=1-48
Komplikasi Diabetes
Ada 58 63
Tidak Ada 34 37
Pendidikan Kesehatan
tentang Diabetes
Pernah 39 42,4
Tidak Pernah 53 57,6

Universitas Sumatera Utara


4.1.2. Efikasi Diri

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mayoritas responden memiliki

tingkat efikasi diri sedang sebanyak 53 orang (57,6%), responden dengan tingkat

efikasi diri tinggi sebanyak 37 orang (40,2%), dan minoritas responden memiliki

tingkat efikasi diri rendah sebanyak 2 orang (2,2%). Deskripsi tingkat efikasi diri

secara keseluruhan ditampilkan pada Tabel 4.2 sebagai berikut:

Tabel 4.2. Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Efikasi Diri di


RSUD Dr. Pirngadi Medan Bulan Mei-Juni 2014 (n=92)

Efikasi Diri Frekuensi (f) Persentase (%)


Rendah 2 2,2
Sedang 53 57,6
Tinggi 37 40,2

4.1.3. Manajemen Diri

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan responden

(n=92) melakukan manajemen diri rata-rata 3,9 hari (SD±1,0) dalam seminggu.

Responden memiliki manajemen diri yang paling tinggi yaitu pada medikasi

dengan rata-rata 5,8 hari (SD±2,4) dalam seminggu, dan diet dengan rata-rata 5,5

hari (SD±1,4) dalam seminggu. Manajemen diri responden yang paling rendah

yaitu melakukan monitoring glukosa darah mandiri dengan rata-rata 1,3 hari

(SD±1,0) dalam seminggu, melakukan latihan fisik dengan rata-rata 1,7 hari

(SD±2,0) dalam seminggu, dan melakukan perawatan kaki dengan rata-rata 3,3

hari (SD±1,4) dalam seminggu. Deskripsi manajemen diri secara keseluruhan

ditampilkan pada Tabel 4.3 sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara


Tabel 4.3. Distribusi Responden berdasarkan Manajemen Diri di RSUD Dr.
Pirngadi Medan Bulan Mei-Juni 2014 (n=92)

Variabel Mean SD Min – Max 95% CI


Manajemen Diri 3,9 1,0 1,1 – 6,1 3,7 – 4,1
Subskala:
Diet 5,5 1,4 1,4 – 7 5,2 – 5,8
Latihan fisik 1,7 2,0 0 –7 1,3 – 2,1
Medikasi 5,8 2,4 0 –7 5,3 – 6,3
Monitoring glukosa darah mandiri 1,3 1,0 0 –7 1,1 – 1,5
Perawatan kaki 3,3 1,4 0 – 5,8 3,0 – 3,6

4.2. Analisis Bivariat

4.2.1. Hubungan antara Efikasi Diri dengan Manajemen Diri

Hasil analisis uji statistik menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang

signifikan antara efikasi diri dengan manajemen diri (p=0,0005), dengan koefisien

korelasi r=0,412 menunjukkan kekuatan hubungan yang sedang, dan berpola

positif yang artinya semakin tinggi tingkat efikasi diri responden maka semakin

tinggi manajemen dirinya. Nilai koefisien determinasi R2=0,170 menunjukkan

bahwa efikasi diri menjelaskan 17% variasi nilai manajemen diri dan sisanya

dijelaskan oleh faktor lain. Dari persamaan garis regresi menunjukkan bahwa nilai

manajemen diri dengan konstanta 1,56 akan meningkat sebesar 0,02 apabila nilai

efikasi diri bertambah satu satuan. Analisis hubungan antara efikasi diri dengan

manajemen diri ditampilkan pada Tabel 4.4 sebagai berikut:

Tabel 4.4. Analisis Hubungan antara Efikasi Diri dengan Manajemen Diri di
RSUD Dr. Pirngadi Medan Bulan Mei-Juni 2014 (n=92)

Variabel r R2 Persamaan Garis p value


Manajemen diri = 1,56 + 0,02*
Efikasi diri 0,412 0,170 0,0005*
efikasi diri
* p<0,05

Universitas Sumatera Utara


4.2.2. Hubungan antara Karakteristik Responden dengan Manajemen Diri

Hasil analisis uji statistik dalam penelitian ini menunjukkan bahwa tidak

terdapat hubungan yang signifikan antara umur dengan manajemen diri (p=0,713),

tidak terdapat hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan manajemen

diri (p=0,875), tidak terdapat hubungan yang signifikan antara suku dengan

manajemen diri (p=0,967), tidak terdapat hubungan yang signifikan antara

pendidikan dengan manajemen diri (p=0,097), terdapat hubungan yang signifikan

antara pekerjaan dengan manajemen diri (p=0,023), tidak terdapat hubungan yang

signifikan antara lama terdiagnosis diabetes dengan manajemen diri (p=0,926),

tidak terdapat hubungan yang signifikan antara komplikasi diabetes dengan

manajemen diri (p=0,393), dan terdapat hubungan yang signifikan antara

pendidikan kesehatan tentang diabetes dengan manajemen diri (p=0,001). Analisis

hubungan antara karakteristik responden dengan manajemen diri ditampilkan pada

Tabel 4.5 sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara


Tabel 4.5. Analisis Hubungan antara Karakteristik Responden dengan
Manajemen Diri di RSUD Dr. Pirngadi Medan Bulan Mei-Juni
2014 (n=92)

Manajemen Diri
Variabel
n Mean SD t/Z/F value p value
Umur
<60 tahun 37 3,8 0,9
t = -0,369 0,713
≥60 tahun 55 3,9 1,0
Jenis Kelamin
Laki-laki 32 3,9 1,1
t = 0,158 0,875
Perempuan 60 3,8 0,9
Suku
Batak 72 3,9 1,0
Jawa 8 3,9 0,6
F = 0,141 0,967
Melayu 4 3,7 0,8
Minang 6 3,6 1,3
Aceh 2 3,8 2,2
Pendidikan
SD 4 3,1 0,6
SMP 16 3,7 1,0 F = 2,173 0,097
SMA 41 3,8 1,0
PT 31 4,2 0,9
Pekerjaan
Bekerja 35 3,6 1,1
Z = -2,275 0,023*
Tidak Bekerja 57 4,0 0,8
Lama Terdiagnosis
Diabetes
≤10 tahun 56 3,9 1,0
t = 0,093 0,926
>10 tahun 36 3,8 0,9
Komplikasi Diabetes
Ada 58 3,9 1,0
t = 0,859 0,393
Tidak Ada 34 3,7 0,9
Pendidikan Kesehatan
tentang Diabetes
Pernah 39 4,2 0,6
Z = -3,256 0,001*
Tidak Pernah 53 3,6 1,1
* p<0,05

Universitas Sumatera Utara


4.3. Analisis Multivariat

Analisis multivariat yang digunakan untuk mengetahui salah satu dari

variabel independen (efikasi diri dan karakteristik responden) yang menunjukkan

hubungan yang paling kuat dengan variabel dependen (manajemen diri) adalah

regresi linier ganda, dengan tahapan sebagai berikut:

4.3.1. Seleksi bivariat

Pemilihan model sebagai kandidat multivariat dilakukan melalui seleksi

bivariat. Pada tahap ini seleksi bivariat dilakukan pada masing-masing variabel

independen. Variabel yang dapat masuk menjadi model multivariat adalah

variabel yang pada analisis bivariat memiliki nilai p value <0,25.

Hasil analisis bivariat dengan menggunakan korelasi Pearson didapatkan

nilai p value pada variabel efikasi diri (p=0,0005). Hasil analisis bivariat dengan

menggunakan uji Independent t-test didapatkan nilai p value pada variabel umur

(p=0,713), jenis kelamin (p=0,875), lama terdiagnosis diabetes (p=0,926), dan

komplikasi diabetes (p=0,393). Hasil analisis bivariat dengan menggunakan uji

Mann-Whitney U didapatkan nilai p value pada variabel pekerjaan (p=0,023), dan

pendidikan kesehatan tentang diabetes (p=0,001). Hasil analisis bivariat dengan

menggunakan uji One Way ANOVA didapatkan nilai p value pada variabel suku

(p=0,967), dan pendidikan (p=0,097). Berdasarkan hasil analisis bivariat di atas,

maka variabel yang masuk dalam kandidat pemodelan multivariat adalah efikasi

diri, pendidikan, pekerjaan, dan pendidikan kesehatan tentang diabetes.

Universitas Sumatera Utara


4.3.2. Pemodelan multivariat

Setelah analisis bivariat, selanjutnya dilakukan analisis multivariat

terhadap variabel independen yang menjadi model multivariat. Variabel yang

dianggap valid adalah variabel yang memiliki nilai p value <0,05. Bila dalam

pemodelan multivariat terdapat variabel yang memiliki nilai p value >0,05, maka

variabel tersebut harus dikeluarkan dari model. Pengeluaran variabel dilakukan

secara bertahap, dimulai dari variabel yang memiliki nilai p value yang paling

besar. Jika dengan pengeluaran variabel tersebut terjadi perubahan nilai

coefficients B lebih dari 10%, maka variabel tersebut tetap dipertahankan dalam

pemodelan. Sebaliknya, terjadi perubahan nilai coefficients B tidak lebih dari

10%, maka variabel tersebut dikeluarkan dari pemodelan. Hasil analisis

multivariat ditampilkan pada Tabel 4.6 sebagai berikut:

Tabel 4.6. Analisis Regresi Linier Ganda antara Efikasi Diri, Pendidikan,
Pekerjaan, dan Pendidikan Kesehatan tentang Diabetes dengan
Manajemen Diri di RSUD Dr. Pirngadi Medan Bulan Mei-Juni
2014 (n=92)

Manajemen Diri
Variabel
Coefficients B p value
Tahap 1
Efikasi Diri 0,015 0,0005
Pendidikan 0,106 0,339
Pekerjaan 0,356 0,049
Pendidikan Kesehatan tentang Diabetes -0,492 0,008
Tahap 2
Efikasi Diri 0,016 0,0005
Pekerjaan 0,350 0,052
Pendidikan Kesehatan tentang Diabetes -0,534 0,003
Tahap 3
Efikasi Diri 0,016 0,0005
Pendidikan Kesehatan tentang Diabetes -0,594 0,001

Universitas Sumatera Utara


Hasil analisis regresi linier ganda berdasarkan tahapan analisis di atas

dapat disimpulkan bahwa variabel independen yang masuk model akhir regresi

adalah efikasi diri dan pendidikan kesehatan tentang diabetes, yang ditampilkan

pada Tabel 4.7 sebagai berikut:

Tabel 4.7. Model Akhir Analisis Regresi Linier Ganda antara Efikasi Diri
dan Pendidikan Kesehatan tentang Diabetes dengan Manajemen
Diri di RSUD Dr. Pirngadi Medan Bulan Mei-Juni 2014 (n=92)

Manajemen Diri
Variabel
Coefficients B Beta p value R2
Efikasi Diri 0,016 0,402 0,0005
0,265
Pendidikan Kesehatan -0,594 -0,308 0,001
tentang Diabetes
Persamaan Garis: Y = 2,55 + 0,02X1 – 0,59X2
Manajemen diri = 2,55 + 0,02*efikasi diri – 0,59*pendidikan kesehatan tentang
diabetes

Dari hasil analisis multivariat di atas diketahui bahwa nilai Beta variabel

efikasi diri = 0,402 dan pendidikan kesehatan tentang diabetes = -0,308, sehingga

dapat disimpulkan bahwa variabel yang memiliki hubungan paling kuat dengan

manajemen diri adalah efikasi diri. Nilai koefisien determinasi R2=0,265

menunjukkan bahwa kedua variabel tersebut (efikasi diri dan pendidikan

kesehatan tentang diabetes) dapat menjelaskan variasi variabel manajemen diri

sebesar 26,5%. Dari persamaan garis regresi menunjukkan bahwa nilai

manajemen diri dengan konstanta 2,55 akan meningkat sebesar 0,02 apabila nilai

efikasi diri bertambah satu satuan setelah dikontrol variabel pendidikan kesehatan

tentang diabetes, dan nilai manajemen diri akan menurun sebesar 0,59 apabila

responden yang tidak mendapatkan pendidikan kesehatan tentang diabetes

bertambah satu satuan setelah dikontrol variabel efikasi diri.

Universitas Sumatera Utara


BAB 5

PEMBAHASAN

5.1. Efikasi Diri pada Pasien Diabetes Tipe 2

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mayoritas responden memiliki

tingkat efikasi diri sedang sebanyak 53 orang (57,6%), responden dengan tingkat

efikasi diri tinggi sebanyak 37 orang (40,2%), dan responden dengan tingkat

efikasi diri rendah sebanyak 2 orang (2,2%).

Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian dari Nyunt et al.

(2010), yang menyimpulkan bahwa responden yang memiliki tingkat efikasi diri

tinggi sebanyak 165 orang (62,0%), responden yang memiliki tingkat efikasi diri

sedang sebanyak 83 orang (31,2%), dan responden yang memiliki tingkat efikasi

diri rendah sebanyak 18 orang (6,8%). Begitu juga dengan hasil penelitian dari

Ariani (2011), yang menunjukkan bahwa lebih dari setengah responden memiliki

efikasi diri baik sebanyak 58 orang (52,7%), dan efikasi diri yang tidak baik

sebanyak 52 orang (47,3%%). Sedangkan hasil penelitian dari Aditama, Pramono,

& Rahayujati (2011), yang menunjukkan bahwa mayoritas responden memiliki

tingkat efikasi rendah sebanyak 40 orang (71,43%), dan yang memiliki tingkat

efikasi diri tinggi sebanyak 16 orang (28,57%).

Konsep efikasi diri merupakan keyakinan tentang kemampuan individu

untuk menghasilkan tingkat kinerja yang telah ditetapkan yang memiliki pengaruh

atas peristiwa dalam kehidupan mereka (Bandura, 1994). Individu dengan tingkat

efikasi diri yang tinggi memperkirakan akan sukses dalam pencapaian tujuan, dan

Universitas Sumatera Utara


individu dengan tingkat efikasi diri yang rendah akan meragukan kemampuannya

untuk mencapai tujuan (Hunt et al., 2012). Seseorang dengan rasa efikasi diri yang

cukup akan merasa percaya diri dalam kemampuan dirinya untuk melakukan

sesuatu, baik dalam hal minum obat dengan benar, mengatur pola makan sesuai

anjuran, mencegah hipoglikemia, atau berolahraga dengan tepat (Beckerle &

Lavin, 2013).

Tingkat efikasi diri pada penelitian ini terdiri dari tinggi, sedang, dan

rendah. Pada penelitian ini tidak diteliti faktor-faktor penyebab yang

mempengaruhi efikasi diri pasien. McDowell (2005), menjelaskan bahwa

seseorang dengan tingkat efikasi diri yang tinggi umumnya menghadapi masalah

secara lebih efektif daripada seseorang yang tingkat efikasi dirinya rendah.

Seseorang dengan persepsi efikasi dirinya yang kuat akan menganggap tugas-

tugas sulit sebagai tantangan yang harus dikuasai, mereka mengatur dirinya

sendiri dan mempertahankan komitmen yang kuat. Dalam menghadapi kegagalan

mereka meningkatkan berbagai usaha dan dengan cepat memulihkan kepercayaan

dirinya setelah kegagalan. Hal ini menghasilkan prestasi pribadi, mengurangi

stres, dan menurunkan kerentanan terhadap depresi (Sturt, Hearnshaw & Wakelin,

2010).

Peneliti berasumsi bahwa tingkat efikasi diri yang tinggi pada respoden

menunjukkan bahwa responden telah memiliki keyakinan diri yang tinggi dan

mampu berpartisipasi aktif dalam melakukan manajemen diri diabetes secara

maksimal. Pada responden yang memiliki tingkat efikasi diri sedang menunjukkan

bahwa dirinya masih belum cukup yakin untuk melakukan manajemen diri dengan

Universitas Sumatera Utara


maksimal, pasien dapat melakukan perilaku manajemen diri diabetesnya, akan

tetapi memiliki risiko mengalami komplikasi akut.

Sebaliknya, orang-orang yang meragukan kemampuanya sendiri akan

menghindari tugas-tugas sulit, memiliki aspirasi yang rendah dan komitmen yang

lemah terhadap tujuan yang mereka pilih. Ketika dihadapkan dengan tugas-tugas

yang sulit, mereka memikirkan kekurangan pribadi dan melemahkan upayanya

dalam menghadapi tantangan (Sturt, Hearnshaw & Wakelin, 2010). Individu

dengan persepsi efikasi diri yang rendah akan rentan terhadap stres dan depresi

(Bandura, 1994). Peneliti berasumsi bahwa pada responden yang memiliki tingkat

efikasi diri yang lebih rendah, akan menurunkan rasa percaya diri dan

menurunkan motivasi, sehingga berisiko terjadinya depresi. Jika tingkat efikasi

diri ini terus menurun, maka dapat menyebabkan ketidakpatuhan pasien dalam

melakukan manajemen diri diabetes dan meningkatkan risiko terjadinya

komplikasi diabetes baik akut maupun kronik.

Pada hasil penelitian ini menunjukkan perbedaan dengan hasil-hasil

penelitian sebelumnya. Hal ini disebabkan karena beberapa peneliti memberikan

interpretasi yang berbeda terhadap tingkat efikasi diri. Selain itu, hal ini dapat

disebabkan karena efikasi diri seseorang dapat berubah dari waktu ke waktu,

sehingga masing-masing pasien memiliki tingkat efikasi diri yang berbeda-beda.

Meskipun menunjukkan interpretasi yang berbeda, namun hasil penelitian ini

dapat menambah variasi, sehingga dapat digunakan sesuai dengan kebutuhan

penelitian selanjutnya.

Universitas Sumatera Utara


5.2. Manajemen Diri pada Pasien Diabetes Tipe 2

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan responden

melakukan manajemen diri rata-rata 3,9 hari dalam seminggu. Responden

melakukan manajemen diri yang paling tinggi pada medikasi dengan rata-rata 5,8

hari dalam seminggu, dan diet rata-rata 5,5 hari dalam seminggu. Manajemen diri

responden yang paling rendah adalah melakukan pemeriksaan glukosa darah

mandiri dengan rata-rata 1,3 hari dalam seminggu, juga lebih rendah dalam

melakukan latihan fisik dengan rata-rata 1,7 hari dalam seminggu, dan melakukan

perawatan kaki dengan rata-rata 3,3 hari dalam seminggu.

Hasil penelitian ini didukung oleh hasil penelitian dari Al-Khawaldeh, Al-

Hassan & Froelicher (2012), yang menyimpulkan bahwa perilaku manajemen diri

diabetes yang paling banyak dilakukan adalah minum obat dengan rata-rata 6,1

hari dalam seminggu, diikuti dengan perilaku manajemen diri pada diet dengan

rata-rata 4,4 hari dalam seminggu. Perilaku manajemen diri diabetes yang paling

sedikit dilakukan adalah monitoring glukosa darah mandiri dengan rata-rata 1,7

hari dalam seminggu dan latihan fisik dengan rata-rata 1,8 hari dalam seminggu.

Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian dari Kusniawati

(2011), yang menunjukkan bahwa aktivitas self-care diabetes lebih tinggi dalam

minum obat secara teratur dengan rata-rata 6,7 hari dalam seminggu, pengaturan

diet dengan rata-rata 5,9 hari dalam seminggu, latihan fisik juga tinggi dengan

rata-rata 5,1 hari dalam seminggu, dan perawatan kaki dengan rata-rata 4,9 hari

dalam seminggu. Sedangkan aktivitas self-care diabetes lebih rendah yaitu

melakukan monitoring glukosa darah dengan rata-rata 1,0 hari dalam seminggu.

Universitas Sumatera Utara


Begitu juga dengan hasil penelitian dari Xu et al. (2008), yang menyimpulkan

bahwa manajemen diri diabetes responden mayoritas adalah mengkonsumsi obat

diabetes yang diresepkan setiap hari yaitu 89,1% dan mengatur dietnya setiap hari

yaitu 71,6%, dan minoritas responden melakukan pemeriksaan glukosa darah

mandiri setiap hari yaitu 4,5% dan perawatan kaki setiap hari yaitu 18,9%. Sama

halnya dengan hasil penelitian dari Xu, Pan & Liu (2010), yang menyimpulkan

bahwa lebih dari 80% responden mengkonsumsi obat yang diresepkan setiap hari,

42% melakukan perawatan kaki setiap hari, dan 40% responden melakukan

latihan jasmani ≥5 hari per minggu, hanya 36,8% yang mengikuti rekomendasi

diet, dan hanya 26,8% yang melakukan monitoring glukosa darah mandiri setiap

hari.

Diabetes tipe 2 merupakan penyakit yang mengutamakan manajemen diri,

yang berarti bahwa penatalaksanaannya sebagian besar merupakan kombinasi dari

perilaku sehari-hari seperti diet, latihan fisik, medikasi, monitoring glukosa darah,

dan perawatan kaki (ADA, 2014). Tidak ada satu hari pun kegiatan manajemen

diri diabetes dapat diabaikan, aktivitas tersebut harus dilaksanakan 24 jam sehari,

dan 365 hari dalam setahun. Manajemen diri diabetes adalah proses seumur hidup

yang harus dilakukan setiap hari dan membutuhkan kedisiplinan diri serta

motivasi untuk mendapatkan kontrol metabolik dan mencegah komplikasi jangka

panjang. Dan telah terbukti bahwa peningkatan manajemen diri diabetes akan

mampu meningkatkan kontrol metabolik dan mencegah komplikasi diabetes

jangka panjang (IDF, 2012).

Universitas Sumatera Utara


Walaupun terdapat persamaan dan perbedaan dalam menginterpretasikan

manajemen diri diabetes, secara keseluruhan hasil penelitian di atas menunjukkan

bahwa manajemen diri pada pasien diabetes tipe 2 belum dilakukan secara

maksimal. Sama halnya dengan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara

keseluruhan responden melakukan manajemen diri rata-rata 3,9 hari dalam

seminggu, yang berarti bahwa manajemen diri diabetes belum dilakukan secara

maksimal selama 7 hari dalam seminggu. Hal ini disebabkan karena tingkat

efikasi diri pasien yang mayoritas adalah tingkat sedang, efikasi diri dengan

tingkat sedang dinilai belum dapat menumbuhkan kepercayaan diri yang tinggi,

sehingga responden belum mampu berpartisipasi dalam perilaku manajemen diri

diabetes secara maksimal. Selain itu, pasien belum memahami pentingnya setiap

perilaku manajemen diri diabetes baik dari aspek diet, latihan fisik, penggunaan

obat-obatan, monitoring gula darah mandiri, dan perawatan kaki.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan responden

melakukan diet dengan rata-rata 5,5 hari dalam seminggu, yang berarti bahwa

pasien belum melakukan diet secara maksimal. Hal ini disebabkan karena pasien

tidak sepenuhnya memahami bagaimana diet yang tepat untuk diabetes, pasien

hanya menganggap bahwa untuk menjalankan diet hanya melakukan pengurangan

pada porsi makanan, sehingga pasien tidak memahami cara pengaturan jumlah

dan jenis makanan, dan akhirnya pasien tidak mengikuti diet yang dianjurkan.

Dalam panduan PERKENI (2011), menjelaskan bahwa pada pasien diabetes perlu

ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal jadual makan, jenis dan

jumlah makanan, terutama pada pasien yang menggunakan obat penurun glukosa

Universitas Sumatera Utara


darah atau insulin. Jika pasien menunda makanan atau tidak makan dalam satu

waktu, maka akan menyebabkan terjadinya pemecahan lemak tubuh sehingga

dapat terjadi hipoglikemia (Nair, 2007). Sehingga perawat harus

mempertimbangkan kemauan pasien untuk berubah dan harus mengatasi

keinginan pribadi, mempertimbangkan aspek budaya dan agama, serta

menerapkan pola makan yang sehat setiap harinya.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan responden

melakukan latihan fisik dengan rata-rata 1,7 hari dalam seminggu, yang berarti

bahwa pasien belum melakukan latihan fisik secara maksimal. Hal ini disebabkan

karena pasien tidak memahami manfaat dari latihan fisik, sehingga pasien kurang

termotivasi untuk melakukan latihan fisik secara rutin. Pasien diabetes tipe 2

disarankan melakukan latihan fisik setidaknya 5 kali dalam seminggu atau setara

150 menit per minggu. Hasil percobaan terkontrol telah menunjukkan bahwa

latihan fisik secara teratur dapat meningkatkan kontrol glukosa darah, mengurangi

faktor risiko kardiovaskular, menurunkan gejala depresi dan meningkatkan

kualitas kesehatan (Amod et al., 2012). Perawat harus menjelaskan pentingnya

latihan fisik bagi pasien sehingga pasien termotivasi untuk meningkatkan latihan

fisik secara teratur sesuai dengan kemampuan masing-masing individu.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan responden

melakukan manajemen diri pada medikasi dengan rata-rata 5,8 hari dalam

seminggu. Nilai manajemen diri pada medikasi lebih tinggi dibandingkan dengan

manajemen diri lainnya disebabkan karena pasien memiliki pemahaman bahwa

penyakit diabetes hanya cukup dikendalikan dengan menggunakan obat diabetes,

Universitas Sumatera Utara


sehingga pasien kurang memperhatikan peran penting dari aktivitas manajemen

diri secara menyeluruh. Meskipun demikian nilai tersebut masih belum cukup

maksimal. Hal ini disebabkan karena masih terdapat beberapa pasien tidak

mematuhi rejimen pengobatan, menggunakan dosis yang salah, dan tidak

melakukan kontrol penyakit secara rutin. Rejimen pengobatan merupakan masalah

penting dalam manajemen diri diabetes. Keteraturan minum obat merupakan

sebuah keharusan bagi penderita diabetes, pasien harus mengkonsumsi obat secara

tepat sesuai dengan waktu dan dosis yang diresepkan oleh dokter, sehingga dapat

meningkatkan pengendalian diabetes dan menurunkan tingkat kejadian komplikasi

akut dan kronis (Wu, 2007). Perawat harus memberikan bimbingan dan

pendidikan pada pasien diabetes untuk membantu pasien untuk menggunakan

obat-obat lebih hati-hati dan mengajarkan cara minum obat dengan benar untuk

mencegah komplikasi lebih lanjut.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan responden

melakukan monitoring glukosa darah mandiri dengan rata-rata 1,3 hari dalam

seminggu, yang berarti bahwa pasien belum melakukan monitoring glukosa darah

mandiri secara maksimal. Hal ini disebabkan karena pasien hanya melakukan

monitoring glukosa darah hanya pada saat kontrol ke rumah sakit, misalnya 1-2

kali dalam sebulan. Selain itu, banyak pasien yang tidak memiliki alat glukometer

dengan alasan keterbatasan biaya, dan tidak punya keberanian melakukan

pemeriksaan glukosa darah sendiri sehingga pasien lebih nyaman jika diperiksa

oleh petugas kesehatan. Monitoring glukosa darah mandiri bertujuan untuk

mengidentifikasi kadar glukosa darah tinggi atau rendah dan meningkatkan

Universitas Sumatera Utara


kontrol glikemik pada pasien diabetes tipe 2 yang tidak menggunakan insulin

(Nair, 2007). Salah satu penelitian menunjukkan bahwa peningkatan dalam risiko

hipoglikemia terjadi pada pasien diabetes yang menggunakan jenis obat

sulfonylurea yang tidak memonitor glukosa darah mereka sendiri (Lowe, 2010).

Pasien dengan kadar glukosa darah kurang terkontrol lebih cenderung memiliki

komplikasi, seperti penyakit jantung iskemik dan nefropati. Dengan demikian,

perawat berperan penting dalam mendidik pasien dalam memonitoring glukosa

darah sendiri dan dalam pencegahan komplikasi jangka panjang dari diabetes

(Nair, 2007).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan responden

melakukan perawatan kaki dengan rata-rata 3,3 hari dalam seminggu, yang berarti

bahwa pasien belum melakukan perawatan kaki secara maksimal. Hal ini

disebabkan karena pasien kurang memperhatikan kondisi kaki apabila tidak

terdapat masalah pada kaki mereka. Banyak pasien diabetes yang tidak memiliki

keterampilan atau pengetahuan yang cukup untuk mengelola kondisi mereka,

termasuk perawatan kaki (Mason et al., 1999; Wu, 2007). Ulserasi dan amputasi

kaki akibat neuropati diabetes dan/atau penyakit arteri perifer, merupakan

penyebab utama morbiditas dan kecacatan pada pasien dengan diabetes (ADA,

2014). Sehingga perawat memiliki peran untuk memberikan pengenalan dini dan

manajemen faktor risiko pada masalah kaki yang dapat mencegah atau menunda

komplikasi yang merugikan.

Universitas Sumatera Utara


5.3. Hubungan antara Efikasi Diri dengan Manajemen Diri pada Pasien

Diabetes Tipe 2

Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara

efikasi diri dengan manajemen diri (r=0,412, p<0,05). Hasil penelitian ini

didukung oleh hasil penelitian dari Sarkar, Fisher & Schillinger (2006), Bean,

Cundy & Petrie (2007), Wu et al. (2007), Xu et al. (2008), Lee, Ahn & Kim

(2009), Hunt et al. (2012), Sharoni & Wu (2012), Al-Khawaldeh, Al-Hassan &

Froelicher (2012), dan Gao et al. (2013). Hasil penelitian tersebut menyimpulkan

bahwa pasien yang memiliki efikasi diri yang lebih tinggi juga memiliki perilaku

perawatan diri yang lebih tinggi.

Dari hasil analisis multivariat juga disimpulkan bahwa efikasi diri

merupakan prediktor yang memiliki hubungan paling tinggi dengan manajemen

diri (=0,402, p<0,05). Hasil penelitian ini konsisten dengan beberapa penelitian

sebelumnya yang telah menunjukkan bahwa tingkat efikasi diri merupakan

prediktor yang signifikan terhadap perilaku manajemen diri pada diabetes tipe 2.

Hasil penelitian ini didukung oleh hasil penelitian dari Wu et al. (2007), yang

menyimpulkan bahwa efikasi diri menjadi prediktor terkuat dari perilaku

perawatan diri, terhitung 23% dari total varian yang bisa menjelaskan dalam

perilaku perawatan diri. Begitu juga dengan Al-Khawaldeh, Al-Hassan &

Froelicher (2012), yang menyimpulkan bahwa efikasi diri secara signifikan lebih

besar yang memprediksi perilaku manajemen diri pada pasien diabetes tipe 2.

Semakin tinggi tingkat efikasi diri pasien diabetes tipe 2, maka akan

meningkatkan kepatuhan pasien terhadap rencana pengelolaan penyakitnya dan

Universitas Sumatera Utara


dapat mengurangi dan mencegah komplikasi. Semakin rendah tingkat efikasi diri

pasien, maka akan menurunkan kepatuhan terhadap pengelolaan penyakit mereka,

sehingga dapat menimbulkan berbagai komplikasi diabetes, serta memperburuk

kondisi kesehatannya dan menurunkan kualitas hidupnya.

Hasil penelitian ini menunjukkan persamaan dengan hasil-hasil penelitian

sebelumnya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hasil penelitian ini semakin

memperkuat adanya hubungan antara efikasi diri dengan manajemen diri pada

pasien diabetes tipe 2.

5.4. Hubungan antara Karakteristik Responden dengan Manajemen Diri

pada Pasien Diabetes Tipe 2

5.4.1. Umur

Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan

antara umur dengan manajemen diri (t=-0,369, p>0,05). Hasil penelitian ini

didukung oleh hasil penelitian dari Kusniawati (2011), yang menyimpulkan

bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara umur dengan self-care

diabetes. Begitu juga dengan hasil penelitian dari Wu et al. (2007), yang

menyimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara umur dan

perilaku self-care. Akan tetapi hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian

yang ditunjukkan oleh Xu, Pan & Liu (2010), yang menyimpulkan bahwa terdapat

hubungan antara umur dengan manajemen diri diabetes. Penderita diabetes yang

lebih tua memiliki tingkat manajemen diri yang lebih tinggi pada diet, olahraga,

dan perawatan kaki daripada individu yang lebih muda.

Universitas Sumatera Utara


Adanya persamaan dan perbedaan pada hasil penelitian di atas

menjelaskan bahwa apabila seseorang telah terdiagnosis diabetes tipe 2 baik yang

berumur lebih muda ataupun lebih tua, mereka sama-sama memiliki tanggung

jawab untuk melakukan aktivitas manajemen diri diabetes, sehingga kadar

glikemik tetap terkontrol dan mencegah terjadinya komplikasi akibat diabetes.

5.4.2. Jenis kelamin

Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan

antara jenis kelamin dengan manajemen diri (t=0,158, p>0,05). Hasil penelitian

ini didukung oleh hasil penelitian dari Kusniawati (2011), yang menyimpulkan

bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan dalam melakukan aktifitas self-care

diabetes antara laki-laki dan perempuan. Begitu juga dengan hasil penelitian dari

Skarbek (2006), yang menyimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan

antara jenis kelamin dengan salah satu komponen manajemen diri baik dari segi

diet, latihan fisik, dan pemeriksaan gula darah. Akan tetapi hasil penelitian ini

berbeda dengan hasil penelitian yang ditunjukkan oleh Bai, Chiou & Chang

(2009), yang menyimpulkan bahwa skor perilaku self-care secara signifikan

dipengaruhi oleh jenis kelamin yang berbeda, laki-laki memiliki skor perilaku

self-care lebih tinggi daripada perempuan.

Berdasarkan hasil penelitian di atas dapat diketahui bahwa penyakit

diabetes tipe 2 dapat terjadi baik pada laki-laki maupun perempuan, sehingga

tugas manajemen diri tetap menjadi prioritas dalam mengelola penyakit diabetes.

Umumnya, pasien laki-laki memiliki rasa tanggung jawab terhadap diri dan

keluarganya, yang mengharuskan mereka lebih mandiri dalam menjaga dan

Universitas Sumatera Utara


mempertahankan kesehatannya, begitu juga dalam melakukan manajemen diri

diabetesnya. Sedangkan pasien perempuan lebih memperhatikan kondisi

kesehatan keluarga dibandingkan dengan kesehatan dirinya, meskipun demikian,

pasien perempuan juga memiliki keterampilan yang baik tentang bagaimana

mereka harus merawat diri mereka sendiri, begitu juga dalam melakukan

manajemen diri diabetesnya.

5.4.3. Suku

Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan

antara suku dengan manajemen diri (F=0,141, p>0,05). Hasil penelitian ini

didukung oleh hasil penelitian dari Bean, Cundy & Petrie (2007), yang

menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara tiga kelompok

etnis dalam hal diet dan pemeriksaan glukosa darah. Responden Kepulauan

Pasifik memiliki perilaku penggunaan obat-obatan yang lebih buruk dibandingkan

dengan orang Eropa dan Asia Selatan, tidak ada perbedaan yang signifikan dalam

hal penggunaan obat-obatan antara Eropa dan Asia Selatan. Hasil penelitian yang

sama juga ditunjukkan oleh Skarbek (2006), yang menyimpulkan bahwa tidak ada

hubungan yang signifikan dari etnis pada salah satu komponen subskala dari

manajemen diri termasuk diet, latihan fisik, dan pemeriksaan gula darah. Akan

tetapi hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian dari Sarkar, Fisher &

Schillinger (2006), yang menyimpulkan bahwa terdapat hubungan antara efikasi

diri dan manajemen diri yang konsisten di seluruh ras/etnis.

Adanya persamaan dan perbedaan pada hasil penelitian di atas disebabkan

karena setiap negara memiliki beragam suku dan ras. Masing-masing suku

Universitas Sumatera Utara


memiliki adat istiadat dan kebiasaan hidup yang berbeda, baik dari bahasa,

makanan, upacara adat, ataupun tradisi lainnya. Secara genetik masyarakat

Indonesia termasuk yang rentan terkena diabetes (Tarigan, 2012). Secara

keseluruhan, suku Batak adalah suku terbanyak pada responden yang mengalami

diabetes tipe 2. Hal ini disebabkan karena suku Batak juga merupakan responden

terbanyak dalam penelitian ini dan suku terbanyak yang bermukim di Provinsi

Sumatera Utara.

5.4.4. Pendidikan

Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan

antara pendidikan dengan manajemen diri (F=2,173, p>0,05). Hasil penelitian ini

didukung oleh hasil penelitian dari Skarbek (2006), yang menyimpulkan bahwa

tidak ada hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan pada salah satu

komponen subskala dari manajemen diri termasuk diet, latihan fisik, dan

pemeriksaan gula darah. Akan tetapi hasil penelitian ini berbeda dengan hasil

penelitian dari Wu et al. (2007), yang menyimpulkan bahwa terdapat hubungan

yang signifikan antara pendidikan pasien dengan perilaku perawatan diri. Begitu

juga hasil penelitian dari Xu, Pan & Liu (2010), yang menyimpulkan bahwa

terdapat hubungan antara pendidikan dengan manajemen diri diabetes. Seseorang

dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi memiliki tingkat manajemen diri

yang lebih tinggi terhadap diet, olahraga, dan pemeriksaan gula darah mandiri,

dan lebih mudah untuk memahami informasi kesehatan yang berhubungan dengan

diet, aktivitas fisik, dan pemeriksaan gula darah mandiri.

Universitas Sumatera Utara


Hasil penelitian lainnya yang berbeda yaitu hasil penelitian dari Bai, Chiou

& Chang (2009), yang menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan

dalam skor perilaku perawatan diri berdasarkan tingkat pendidikan. Pasien yang

memiliki tingkat pendidikan SMA, tingkat perguruan tinggi, atau universitas

memiliki perawatan diri perilaku skor lebih tinggi daripada pasien yang buta

huruf. Selain itu, lulusan perguruan tinggi dan universitas memiliki skor perilaku

perawatan diri skor lebih tinggi dibandingkan dengan pendidikan sekolah dasar

saja.

Pada umumnya seseorang dengan pendidikan tinggi memiliki pemahaman

yang baik tentang pentingnya perilaku perawatan diri dan memiliki keterampilan

manajemen diri yang lebih baik untuk menggunakan informasi diabetes yang

diperoleh melalui berbagai media dibandingkan dengan tingkat pendidikan

rendah, akan tetapi dengan adanya persamaan dan perbedaan pada hasil penelitian

di atas menunjukkan bahwa pasien diabetes baik dengan tingkat pendidikan yang

tinggi maupun rendah, mereka tetap memiliki kesempatan yang sama untuk

melakukan manajemen diri diabetes yang lebih baik.

5.4.5. Pekerjaan

Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara

pekerjaan dengan manajemen diri (Z=-2,275, p<0,05), pasien yang tidak bekerja

memiliki skor rata-rata manajemen diri diabetes yang lebih tinggi daripada pasien

yang bekerja. Hasil penelitian ini didukung oleh hasil penelitian dari Xu, Pan &

Liu (2010), yang menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara

pekerjaan dengan manajemen diri diabetes. Pasien diabetes yang bekerja memiliki

Universitas Sumatera Utara


tingkat manajemen diri lebih rendah untuk latihan fisik daripada pasien yang tidak

bekerja. Akan tetapi berbeda dengan hasil penelitian dari Wu et al. (2007), yang

menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara pekerjaan

dengan perilaku perawatan diri.

Pada umumnya pasien yang bekerja memiliki waktu yang terbatas dalam

melakukan manajemen diri diabetes, dan menghabiskan waktu untuk bekerja

daripada memperhatikan kondisi kesehatannya. Sedangkan pasien yang tidak

bekerja dapat memanfaatkan waktu luang untuk memperhatikan kondisi

kesehatannya, sehingga mampu memaksimalkan kemampuannya dan mematuhi

tugasnya untuk melakukan manajemen diri diabetesnya. Dengan adanya

persamaan dan perbedaan pada hasil penelitian di atas dapat menjelaskan bahwa

pasien yang bekerja dan tidak bekerja tetap memiliki kesempatan yang sama

dalam mengatur dan menyediakan waktu untuk melakukan manajemen diri

diabetes yang lebih baik.

5.4.6. Lama Terdiagnosis Diabetes

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang

signifikan antara lama terdiagnosis diabetes dengan manajemen diri (t=0,093,

p>0,05). Hasil penelitian ini didukung oleh hasil penelitian dari Kusniawati

(2011), yang menyimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan

antara lama menderita diabetes dengan self-care diabetes. Sedangkan Wu et al.

(2007), menyimpulkan hasil penelitian yang berbeda yaitu terdapat hubungan

positif yang signifikan antara perilaku self-care dengan durasi penyakit diabetes.

Pasien yang menderita diabetes lebih lama memiliki skor perilaku perawatan diri

Universitas Sumatera Utara


yang lebih baik. Seseorang dengan durasi penyakit lebih lama memiliki

pengalaman dalam mengatasi penyakit mereka dan melakukan perilaku perawatan

diri yang lebih baik.

Begitu juga dengan hasil penelitian oleh Bai, Chiou & Chang (2009), yang

menyimpulkan bahwa terdapat hubungan antara durasi diabetes dengan perilaku

perawatan diri. Responden dengan durasi penyakit lama biasanya memiliki skor

perawatan diri yang lebih tinggi dibandingkan durasi penyakit yang singkat. Hasil

penelitian yang sama juga ditunjukkan oleh Xu, Pan & Liu (2010), yang

menyimpulkan bahwa durasi diabetes berkorelasi positif dengan perilaku

manajemen diri. Seseorang yang telah didiagnosis dengan diabetes bertahun-tahun

dapat menerima diagnosis penyakitnya dan rejimen pengobatannya, serta

memiliki adaptasi yang lebih baik terhadap penyakitnya dengan mengintegrasikan

gaya hidup baru dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Adanya persamaan dan perbedaan pada beberapa hasil penelitian di atas

menjelaskan bahwa walaupun seseorang baru terdiagnosis diabetes, akan tetapi

hal tersebut memunculkan tanggung jawab dalam menangani penyakit mereka.

Bagi penyandang diabetes yang baru, maka hal ini merupakan pengalaman

pertama dan tantangan yang harus dihadapi dan dijalani sepanjang hidupnya,

sehingga mereka dapat mengontrol status glikemik dan mencegah terjadinya

komplikasi diabetes. Sedangkan pasien yang sudah lama menderita diabetes,

mereka sudah beradaptasi dengan kondisi tersebut sehingga manajemen diri

diabetes sudah menjadi kebiasaan atau pola hidup yang sehat bagi mereka.

Universitas Sumatera Utara


5.4.7. Komplikasi Diabetes

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang

signifikan antara komplikasi diabetes dengan manajemen diri (t=0,859, p>0,05).

Hasil penelitian ini didukung oleh hasil penelitian dari Bai, Chiou & Chang

(2009) yang menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara

komplikasi diabetes dengan manajemen diri. Akan tetapi hasil penelitian ini

berbeda dengan hasil penelitian dari Wu et al. (2007), yang menyimpulkan bahwa

terdapat hubungan yang signifikan antara perilaku perawatan diri dengan

komplikasi diabetes, pasien yang tidak memiliki komplikasi diabetes

menunjukkan skor perawatan diri diabetes yang lebih tinggi daripada pasien yang

memiliki komplikasi diabetes.

Komplikasi diabetes merupakan suatu kondisi yang lebih membutuhkan

perhatian khusus. Umumnya, pasien dengan komplikasi diabetes akan lebih

banyak melakukan manajemen diri baik terkait diabetes maupun terkait penyakit

penyerta. Pasien akan selalu memperhatikan kondisi penyakitnya lebih rutin dan

lebih baik. Sedangkan pasien tanpa adanya komplikasi diabetes akan merasa

bahwa dirinya belum mengalami masalah serius, sehingga mengabaikan kontrol

dirinya untuk melakukan rutinitas manajemen diri diabetesnya. Adanya

persamaan dan perbedaan dengan hasil penelitian di atas menjelaskan bahwa pada

pasien diabetes tipe 2 baik yang telah memiliki komplikasi maupun yang belum

memiliki komplikasi memiliki tugas yang sama untuk menjaga dan

mempertahankan kesehatannya serta mencegah terjadinya komplikasi lebih lanjut

dengan melakukan manajemen diri diabetes yang lebih baik.

Universitas Sumatera Utara


5.4.8. Pendidikan Kesehatan tentang Diabetes

Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara

pendidikan diabetes dengan manajemen diri (Z=-3,256, p<0,05), pasien yang

pernah mendapatkan pendidikan kesehatan tentang diabetes memiliki skor rata-

rata manajemen diri yang lebih tinggi daripada pasien yang tidak pernah

mendapatkan pendidikan kesehatan tentang diabetes. Hasil penelitian ini didukung

oleh hasil penelitian dari Wu et al. (2007), yang menyimpulkan bahwa terdapat

hubungan yang signifikan antara perilaku perawatan diri dengan pendidikan

pasien, responden yang sebelumnya menerima pendidikan diabetes memiliki

perilaku perawatan diri diabetes lebih baik dibandingkan responden yang tidak

menerima pendidikan diabetes. Begitu juga dengan hasil penelitian dari Gumbs

(2012), yang mendukung pentingnya pendidikan diabetes dalam mempromosikan

perilaku perawatan diri pada pasien perempuan Afrika Amerika dengan diabetes

tipe 2. Pasien yang berpartisipasi dalam pendidikan manajemen diri diabetes

secara bermakna lebih mungkin untuk terlibat dalam perilaku perawatan diri

dibandingkan dengan pasien yang tidak berpartisipasi dalam pendidikan

manajemen diri diabetes. Pasien yang menerima pendidikan manajemen diri

diabetes lebih mungkin untuk memeriksa darah mereka sendiri gula dan kaki

secara teratur; untuk berpartisipasi dalam aktivitas fisik tingkat sedang,

melakukan pemeriksaan kesehatan kaki, mata, dan pengukuran kadar HbA1c

dalam satu tahun terakhir.

Adanya persamaan dengan hasil penelitian di atas menjelaskan bahwa

responden yang pernah mendapatkan pendidikan diabetes secar lengkap dan

Universitas Sumatera Utara


terpadu akan mendapatkan informasi baru dan meningkatkan pengetahuannya

dalam melakukan perawatan diabetes, sehingga responden dapat lebih termotivasi

dan meningkatkan kepatuhannya dalam melakukan manajemen diri diabetes.

Sedangkan responden yang tidak pernah mendapatkan pendidikan manajemen diri

diabetes, maka responden kurang memahami pentingnya melakukan setiap

aktivitas manajemen diri diabetes, sehingga responden kurang maksimal dalam

melaksanakan manajemen diri diabetesnya.

5.5. Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan antar lain:

1) Kuesioner penelitian yang diadopsi dari bahasa asing ke bahasa Indonesia

memiliki kelemahan untuk dapat digunakan langsung tanpa adanya

modifikasi. Hal ini menyebabkan pasien lebih banyak bertanya makna dari

masing-masing pernyataan pada instrumen, sehingga membutuhkan

penjelasan yang lebih banyak dan waktu yang cukup lama,

2) Teknik pengambilan sampel secara convenience sampling merupakan metode

yang lemah, sehingga pencapaian karakteristik responden tidak mendapatkan

variasi lebih banyak dan memungkinkan didapatkan sampel penelitian yang

kurang representatif.

Universitas Sumatera Utara


BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat dirumuskan pada penelitian ini yaitu terdapat

hubungan yang signifikan antara efikasi diri dengan manajemen diri (r=0,412,

p<0,05), semakin tinggi tingkat efikasi diri pasien maka semakin baik perilaku

manajemen diri diabetesnya. Berdasarkan hasil uji multivariat diantara empat

variabel independen yaitu efikasi diri, pendidikan, pekerjaan, dan pendidikan

kesehatan tentang diabetes diketahui bahwa efikasi diri merupakan variabel

prediktor yang memiliki hubungan paling kuat dengan manajemen diri (=0,402,

p<0,05), dan pendidikan kesehatan tentang diabetes juga merupakan variabel

prediktor yang berhubungan secara signifikan dengan manajemen diri (=-0,308,

p<0,05).

6.2. Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan di atas, maka

rekomendasi yang dapat diberikan sebagai berikut:

6.2.1. Bagi Pendidikan Keperawatan

1) Pada institusi pendidikan keperawatan khususnya dosen pendidik diharapkan

dapat meningkatkan pengetahuan dan motivasi mahasiswa calon perawat

tentang pentingnya peran perawat dalam penatalaksanaan diabetes tipe 2 baik

dari aspek promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif, serta memahami

Universitas Sumatera Utara


konsep efikasi diri dan manajemen diri pada pasien diabetes tipe 2, sehingga

dapat meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan dalam menerapkan

asuhan keperawatan pada pasien diabetes tipe 2 yang lebih holistik,

2) Pada institusi pendidikan keperawatan juga diharapkan dapat meningkatkan

sumber daya tenaga pengajar yang memiliki spesialisasi di bidang

keperawatan endokrinologi khususnya diabetes, sehingga dapat meningkatkan

kualitas Tri Dharma Perguruan Tinggi baik dari aspek pendidikan/pengajaran,

pengabdian kepada masyarakat, dan penelitian, khususnya yang terkait

dengan efikasi diri dan manajemen diri pada pasien diabetes tipe 2.

6.2.2. Bagi Pelayanan Keperawatan

1) Pada instansi pelayanan keperawatan baik rumah sakit maupun puskesmas,

khususnya instansi rumah sakit tempat penelitian diharapkan dapat

memberikan pelatihan khusus pada calon perawat edukator terkait diabetes,

dan membentuk sebuah tim edukasi kesehatan dan konsultan khusus diabetes

yang terdiri dari berbagai disiplin baik dokter, perawat, ahli gizi, ahli

fisioterapi, dan tenaga relawan, yang masing-masing anggota tim memiliki

peran dan fungsi sesuai keahliannya yang dibutuhkan oleh pasien diabetes,

serta bekerjasama dengan perawat puskesmas atau komunitas untuk

melanjutkan program penatalaksanaan pada pasien diabetes tipe 2 di rumah,

2) Perawat yang berada di Poliklinik Endokrin diharapkan dapat meningkatkan

pengetahuan dan keterampilannya dalam melakukan asuhan keperawatan

Universitas Sumatera Utara


serta mampu melaksanakan peran dan fungsinya sebagai care giver,

facilitator, maupun educator, khususnya pada pasien diabetes tipe 2,

3) Perawat yang berada di puskesmas atau komunitas diharapkan dapat

membentuk dan memandu kelompok belajar khusus diabetisi (peer group)

dan melibatkan pasien dan keluarga pasien dalam kelompok pendukung

(support group), serta memfasilitasi pasien untuk berdiskusi serta bertukar

pengalaman dan informasi terkait dengan perawatan diabetes secara mandiri

yang bertujuan untuk meningkatkan efikasi diri dan manajemen diri pada

pasien diabetes tipe 2,

4) Perawat yang berada di puskesmas atau komunitas juga diharapkan dapat

melakukan keluarga binaan untuk memberikan edukasi, dan melakukan home

visite ataupun home care secara rutin dan berkala pada pasien dan

keluarganya dengan menggunakan media edukasi yang dibuat oleh tim

terpadu, agar dapat menumbuhkan dan menciptakan pola hidup sehat,

sehingga dapat mencegah dan meminimalkan angka kejadian diabetes tipe 2

yang dimulai dari keluarga yang berisiko tinggi.

6.2.3. Bagi Penelitian Keperawatan

1) Pada penelitian selanjutnya diharapkan untuk dapat mengembangkan dan

mempublikasikan instrumen penelitian yang baku terkait efikasi diri dan

manajemen diri diabetes yang lebih sesuai dengan kondisi dan karakterisitik

populasi pasien diabetes tipe 2 di Indonesia,

Universitas Sumatera Utara


2) Melakukan berbagai pengembangan penelitian dengan metode kualitatif

seperti fenomenologi ataupun etnografi, yang mampu menggali informasi

lebih dalam tentang penerapan manajemen diri diabetes, baik dari penerapan

diet, latihan fisik, penggunaan obat-obatan, monitoring gula darah mandiri,

dan perawatan kaki, berdasarkan pengalaman positif yang telah dilakukan

oleh pasien diabetes tipe 2, serta dapat melakukan penelitian action research

yang bertujuan untuk mengembangkan intervensi keperawatan, seperti

pengembangan model edukasi manajemen diri diabetes yang bermanfaat bagi

peningkatan efikasi diri dan manajemen diri pada pasien diabetes tipe 2,

3) Melakukan penelitian dengan metode kualitatif yang mampu menggali

informasi lebih luas tentang pengalaman perawat dalam menerapkan peran

dan fungsi perawat baik sebagai care giver, educator, konselor, atau peran

lainnya yang bermanfaat dalam meningkatkan efikasi diri dan manajemen diri

pada pasien diabetes tipe 2.

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR PUSTAKA

Aalaa, M., Malazy, O. T., Sanjari, M., Peimani, M., & Mohajeri-Tehrani., M. R.
(2012). Nurses’ role in diabetic foot prevention and care; a review. Journal
of Diabetes and Metabolic Disorders, 11, 24–29. doi:10.1186/2251-6581-
11-24.

ADA. (2013). Diagnosis and classification of diabetes mellitus (Position


statement). Diabetes Care, 36(1), 67–74. doi:10.2337/dc13-S067.

_____. (2014). Standards of medical care in diabetes-2014 (Position statement).


Diabetes Care, 37(1), 14–80. doi:10.2337/dc14-S014.

Adams, K., Greiner, A. C., & Corrigan, J. M. (Eds). (2004). Report of a summit.
The 1st annual crossing the quality chasm summit: A focus on
communities. Washington, DC: National Academies Press.

Aditama, W., Pramono, B., & Rahayujati, B. (2011). The relationship of self-care,
self efficacy, and social support with glycemic control (HbA1c) among type
2 diabetes mellitus patients in Banyudono 1 and Ngemplak Public Health
Centres in Boyolali District Central Java Province. Thesis Summary.
Retrieved from http://www.ph-
gmu.org/test/wisuda/publikasi/online/foto_berita/wiwitaditama.pdf

Al-Khawaldeh, O. A., Al-Hassan, M. A., & Froelicher, E. S. (2012). Self-efficacy,


self-management, and glycemic control in adults with type 2 diabetes
mellitus. Journal of Diabetes and Its Complications, 26, 10–16.
doi:10.1016/j.jdiacomp.2011.11.002.

American Psychological Association. (2010). Publication manual of the American


Psychological Association. (6th ed.). Washington, DC: Author.

Amod, A., Ascott-Evans, BH., Berg, G. I., Blom, D. J. , Brown, S. L., & Carrihill,
M. M., et al. (2012). The 2012 JEMDSA Guideline for the management of
type 2 diabetes (revised). Journal of Endocrinology, Metabolism and
Diabetes of South Africa-JEMDSA, 17(2) (Supplement 1), 1–95.

Ariani, Y. (2011). Hubungan antara motivasi dengan efikasi diri pasien DM tipe
2 dalam konteks asuhan keperawatan di RSUP H. Adam Malik Medan.
Master Tesis. http://lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20282755-
T%20Yesi%20Ariani.pdf

Universitas Sumatera Utara


Bai, Y-L., Chiou, C-P., & Chang, Y-Y. (2009). Self-care behaviour and related
factors in older people with type 2 diabetes. Journal of Clinical Nursing,
18, 3308–3315. doi:10.1111/j.1365-2702.2009.02992.x.

Bandura, A. (1994). Self-efficacy. In V. S. Ramachaudran (Ed.), Encyclopedia of


human behavior (Vol. 4, pp. 71-81). New York: Academic Press.
(Reprinted in H. Friedman [Ed.], Encyclopedia of mental health. San
Diego: Academic Press, 1998).

_________. (1995). Self-efficacy in changing societies. United Kingdom:


Cambridge University Press.

_________. (1997). Self-efficacy: The exercise of control. New York: W. H.


Freeman and Company.

Bean, D., Cundy, T., & Petrie, K. J. (2007). Ethnic differences in illness
perceptions, self-efficacy and diabetes self-care. Psychology and Health,
22(7), 787–811. doi:10.1080/14768320600976240.

Beckerle, C. M., & Lavin, M. A. (2013). Association of self-efficacy and self-care


with glycemic control in diabetes. Diabetes Spectrum, 26(3), 172–178.
doi:10.2337/diaspect.26.3.172.

Bijl, V. J., Poelgeest-Eeltink, A. V., & Shortridge-Baggett, L. (1999). The


psychometric properties of the diabetes management self-efficacy scale for
patients with type 2 diabetes mellitus. Journal of Advanced Nursing, 30,
352–59. doi:10.1046/j.1365-2648.1999.01077.x.

Cohen, J. (1988). Statistical power analysis for the behavioral sciences (2nd ed.).
New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Publishers.

CPG on Management T2DM. (2009). Management of type 2 diabetes mellitus:


Clinical practice guidelines. (4th ed.). Malaysia. Retrieved from
www.moh.gov.my/attachments/3878.pdf

DeCoste, K. C., & Scott, L. K. (2004). Diabetes update: Promoting effective


disease management. American Association of Occupational Health Nurses
Journal, 52(8),344–355.

Depkes RI. (2013). Diabetes melitus penyebab kematian nomor 6 di dunia:


kemenkes tawarkan solusi cerdik melalui posbindu. 20 September 2013.
http://www.depkes.go.id/index.php?vw=2&id=2383

Faul, F., Erdfelder, E., Buchner, A., & Lang, A-G. (2009). Statistical power
analyses using G*Power 3.1: Tests for correlation and regression analyses.
Behavior Research Methods, 41, 1149–1160. doi:10.3758/BRM.41.4.1149.

Universitas Sumatera Utara


Gao, J., Wang, J., Zheng, P., Haardörfer, R., Kegler, M. C., Zhu, Y., & Fu, H.
(2013). Effects of self-care, self-efficacy, social support on glycemic
control in adults with type 2 diabetes. BMC Family Practice, 14, 66–71.
doi:10.1186/1471-2296-14-66.

Gumbs, J. M. (2012). Relationship between diabetes self-management education


and self-care behaviors among African American women with type 2
diabetes. Journal of Cultural Diversity, 19(1), 8–22.

Gumulya, R. (2013), Warga medan, rentan diabetes. 22 September 2013.


http://medan.tribunnews.com/2013/01/31/warga-medan-rentan-diabetes

Harris, P., Mann, L., Phillips, P., & Webster, C. (2012). Diabetes management in
general practice: Guidelines for type 2 diabetes. (8th ed.). Sydney: Diabetes
Australia. Retrieved from
http://www.diabetesaustralia.com.au/Documents/DA/What's%20New/12.1
0.02%20Diabetes%20Management%20in%20General%20Practice.pdf

Hastono, S. P. (2007). Analisis data kesehatan. Jakarta: FKM UI.

Hirsch, I. B., Bode, B. W., Childs, B. P., Close, K. L., Fisher, W. A., Gavin, J.
R., et al. (2008). Self-monitoring of blood glucose (SMBG) in insulin- and
non-insulin-using adults with diabetes: Consensus recommendations for
improving SMBG accuracy, utilization, and research. Diabetes Technology
& Therapeutics, 10(6), 419–439. doi:10.1089/dia.2008.0104.

Hunt, C. W., Wilder, B., Steele, M. M., Grant, J. S., Pryor, E. R., & Moneyham,
L. (2012). Relationships among self-efficacy, social support, social
problem solving, and self-management in a rural sample living with type 2
diabetes mellitus. Research and Theory for Nursing Practice: An
International Journal, 26(2), 126–141. doi:10.1891/1541-6577.26.2.126.

IDF. (2012). Global guideline for type 2 diabetes. Brussels, Belgium: The Author.
Retrieved from http://www.idf.org/sites/default/files/IDF-Guideline-for-
Type-2-Diabetes.pdf

IDF. (2013). About diabetes. Retrieved from http://www.idf.org/about-diabetes

____. (2014). IDF diabetes atlas: Sixth edition. Retrieved from


http://www.idf.org/sites/default/files/EN_6E_Atlas_Full_0.pdf

Kusniawati. (2011). Analisis faktor yang berkontribusi terhadap self-care


diabetes pada klien diabetes melitus tipe 2 di RSU Tangerang. Master
Tesis. http://lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20281676-T%20Kusniawati.pdf

Universitas Sumatera Utara


Kusniyah, Y., Nursiswati, & Rahayu, U. (2010). Hubungan tingkat self-care dan
tingkat HbA1C pada klien diabetes melitus tipe 2 di Poliklinik Endokrin
RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung. http://pustaka.unpad.ac.id/wp-
content/uploads/2011/06/hubungan_tingkat_self_care_dengan_tingkat_hba
1c.pdf

Kwek, K. (2013). Diabetes: bukan penyakit keturunan, hapuskan seribu mitos


yang menyengsarakan Indonesia. Opini. 20 Januari 2014.
http://kesehatan.kompasiana.com/medis/2013/02/13/diabetes-bukan-
penyakit-keturunan-hapuskan-mitos-yang-menyengsarakan-indonesia-
528193.html

Lanywati, E. (2011). Diabetes mellitus, penyakit kencing manis. Yogyakarta:


Arcan.

Lee, H., Ahn, S., & Kim, Y. (2009). Self-care, self-efficacy, and glycemic control
of koreans with diabetes mellitus. Asian Nursing Research, 3(3), 139–146.
doi:10.1016/S1976-1317(09)60025-6.

Lewis, S. L., Dirksen, S. R., Heitkemper, M. M., & Bucher, C. (2011). Medical-
surgical nursing: assessment and managemen of clinical problems (8th ed.
Vol. 2.) St. Louis, Missouri: Mosby Elsevier, Inc.

Lindarto, D. (2013a). Penderita diabetes di Sumut terus meningkat. 20 September


2013. http://www.harianorbit.com/penderita-diabetes-di-sumut-terus-
meningkat-2/

_________. (2013b). Pola makan yang salah picu penyakit diabetes. 20 Januari
2014.http://medanbisnisdaily.com/news/read/2013/10/08/55253/pola_maka
n_yang_salah_picu_penyakit_diabetes/#.UyfcbMsW2So

Lowe, J. (2010). Self-monitoring of blood glucose in type 2 diabetes. Australian


Prescriber, 33, 138–40.

McDowell, J., Courtney, M., Edwards, H., & Shortridge-Baggett, L. (2005).


Validation of the Australian/English version of the Diabetes Management
Self-Efficacy Scale. International Journal of Nursing Practice, 11, 177–
184. doi:10.1111/j.1440-172X.2005.00518.x.

Mertig, R. G. (2007). The nurse’s guide to teaching diabetes self-management.


New York: Springer Publishing Company.

Nair, M. (2007). Nursing management of the person with diabetes mellitus. Part 2.
British Journal of Nursing, 16(4), 232–235.

Universitas Sumatera Utara


Nyunt, S. W., Howteerakul, N., Suwannapong, N., & Rajatanun, T. (2010). Self-
efficacy, self-care behaviors and glycemic control among type-2 diabetes
patients attending two private clinics in Yangon, Myanmar. Southeast
Asian Journal of Tropical Medicine and Public Health, 41(4), 943–951.

Odi. (2011). Daging merah picu diabetes?. 20 Januari 2014.


http://food.detik.com/read/2011/08/20/103435/1707293/900/daging-merah-
picu-diabetes

Perangin-angin, E. (2011). Penderita diabetes dominasi RSUD Pirngadi Medan.


22 September 2013. http://www.bisnis-
sumatra.com/index.php/2011/06/penderita-diabetes-dominasi-rsud-
pirngadi-medan/

PERKENI. (2011). Konsensus pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe


2 di Indonesia. Jakarta.

Permana, H. (2009). Komplikasi kronik dan penyakit penyerta pada diabetesi. 21


Januari 2014. http://pustaka.unpad.ac.id/wp-
content/uploads/2009/09/kompilasi_kronik_dan_penyakit_penyerta_pada_
diabetesi.pdf

PKM-Nusapenida. (2012). 14 Nopember, the world’s diabetes day; mengenal


diabetes mellitus. 22 September 2013.
http://nusapenida1.diskesklungkung.net/index.php/2012/11/14-nopember-
2012-the-worlds-diabetes-day-mengenal-diabetes-mellitus/

Polit, D. F. & Beck, C. T. (2012). Generating and assessing evidence for nursing
practice (9th ed.). Philadelphia, PA: Wolters Kluwer Health/Lippincott
Williams & Wilkins.

Sagala, L. M. B. (2009). Perawatan penderita hipertensi di rumah oleh keluarga


suku Batak dan suku Jawa di Kelurahan Lau Cimba Kabanjahe. Skripsi.
20 Januari 2014.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17124/5/Chapter%20I.pdf

Sarkar, U., Fisher, L., & Schillinger, D. (2006). Is self-efficacy associated with
diabetes self-management across race/ethnicity and health literacy?.
Diabetes Care, 29, 823–829. doi:10.2337/diacare.29.04.06.dc05-1615.

Sharoni, S. K. A. & Wu, S. F. V. (2012). Self-efficacy and self-care behavior of


Malaysian patients with type 2 diabetes a cross sectional survey. Nursing
and Health Sciences, 14, 38–45. doi:10.1111/j.1442-2018.2011.00658.x.

Universitas Sumatera Utara


Siminerio, L. M., Funnell, M. M., Peyrot, M., and Rubin, R. R. (2007). US
Nurses' Perceptions of Their Role in Diabetes Care: Results of the Cross-
national Diabetes Attitudes Wishes and Needs (DAWN) Study. The
Diabetes Educator, 33, 152–162. doi:10.1177/0145721706298194.

Skarbek, E. A. (2006). Psychosocial predictors of self-care behaviors in type 2


diabetes mellitus patients: Analysis of social support, self-efficacy, and
depression. Disertation. Retrieved from https://repositories.tdl.org/ttu-
ir/bitstream/handle/2346/1345/Skarbek_Edyta_Diss.pdf?sequence=1

Smeltzer, S. C., Bare, B. G., Hinkle, J. L., & Cheever, K. H. (2010). Brunner &
suddarth’s textbook of medical-surgical nursing (12th ed.). Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins.

Sturt, J., Hearnshaw, H., & Wakelin, M. (2012). Validity and reliability of the
DMSES UK: a measure of self-efficacy for type 2 diabetes self-
management. Primary Health Care Research & Development, 11, 374–
381. doi:10.1017/S1463423610000101.

Subekti. (2013). Waspada, penderita diabetes di Indonesia meningkat tiap


tahunnya. 20 September 2013.
http://health.okezone.com/read/2013/12/29/482/918839/waspada-
penderita-diabetes-di-indonesia-meningkat-tiap-tahunnya

Svartholm, E., & Nylander, E. (2010). Self care activities of patients with diabetes
mellitus type 2 in Ho Chi Minh City. Master’s Thesis. Retrieved from
http://www.diva-portal.org/smash/get/diva2:322414/FULLTEXT01.pdf

Tomey, A. M., & Alligood, M. R. (2006). Nursing theorists and their work (6th
ed.). St. Louis: Mosby Elsevier, Inc.

Toobert, D. J., Hampson, S. E., & Glasgow, R. E. (2000). The summary of


diabetes self-care activities measure: results from 7 studies and a revised
scale. Diabetes care, 23, 943–950. doi:10.2337/diacare.23.7.943.

Weiler, D. M., & Crist, J. D. (2007). Diabetes self-management in the migrant


latino population. Hispanic Health Care International, 5(1), 27–33.
doi:10.1891/154041507780851932.

Wu S-F. V., Courtney, M., Edwards, H., Mcdowell, J., Shortridge-bagget, L. M.,
& Chang, P-J. (2007). Self-efficacy, outcome expectations and self-care
behaviour in people with type 2 diabetes in Taiwan. Journal of Nursing
and Healthcare of Chronic Illness in association with Journal of Clinical
Nursing, 16(11c), 250–257. doi:10.1111/j.1365-2702.2006.01930.x.

Universitas Sumatera Utara


Xu, Y., Pan, W., & Liu, H. (2010). Self-management practices of Chinese
Americans with type 2 diabetes. Nursing and Health Sciences, 12, 228–
234. doi:10.1111/j.1442-2018.2010.00524.x.

Xu, Y., Toobert, D., Savage, C., Pan, W., & Whitmer, K. (2008). Factors
Influencing Diabetes Self-Management in Chinese People With Type 2
Diabetes. Research in Nursing & Health, 31, 613–625.
doi:10.1002/nur.20293.

Yoo, H., Kim, C. J., Jang, Y., & You, M-A. (2011). Self-efficacy associated with
self-management behaviours and health status of South Koreans with
chronic diseases. International Journal of Nursing Practice, 17, 599–606.
doi:10.1111/j.1440-172X.2011.01970.x.

Universitas Sumatera Utara


 

Lampiran 1

Instrumen Penelitian

Universitas Sumatera Utara


LEMBAR PENJELASAN KEPADA CALON SUBJEK PENELITIAN

Selamat pagi/siang Bapak/Ibu, perkenalkan nama Saya Neneng, mahasiswi


Program Studi S2 Magister Ilmu Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas
Sumatera Utara yang akan melakukan penelitian yang berjudul “Efikasi Diri dan
Manajemen diri pada Pasien Diabetes Tipe 2”. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui bagaimana tingkat efikasi diri dan manajemen diri pada pasien yang
mengalami diabetes tipe 2 pada. Manfaat penelitian ini adalah untuk memperoleh
informasi terkait tingkat keyakinan diri dan manajemen diri Bapak/Ibu yang
mengalami penyakit diabetes tipe 2. Saya akan melakukan pengambilan data dari
Bapak/Ibu dengan cara mengisi kuesioner sekitar 15-20 menit sesuai dengan
waktu yang dibutuhkan. Oleh karena itu diharapkan Bapak/Ibu dapat menjawab
semua pertanyaan sesuai dengan kondisi Bapak/Ibu yang sebenarnya.
Penelitian ini tidak bersifat paksaan, dan Bapak/Ibu dapat mundur
sewaktu-waktu jika tidak berkenan melanjutkan proses penelitian. Setelah
pengambilan data ini, maka data akan dijamin kerahasiaannya dan hanya
kelompok data tertentu yang akan dilaporkan sebagai hasil penelitian.
Demikianlah penjelasan penelitian ini dibuat, atas kerjasama dari Bapak/Ibu Saya
ucapkan terima kasih.

Peneliti

Neneng Astuti

Universitas Sumatera Utara


No. Resp :_______

SURAT PERNYATAAN
PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN (PSP)
UNTUK MENGIKUTI PENELITIAN (INFORMED CONSENT)

Saya yang bertanda tangan di bawah ini,

Nama :
Umur :
Alamat :

Setelah membaca atau mendapatkan penjelasan dan Saya memahami sepenuhnya


tentang penelitian,

Judul Penelitian : Efikasi Diri dan Manajemen Diri pada Pasien Diabetes
Tipe 2.
Nama Peneliti Utama : Neneng Astuti
Lokasi Penelitian : RSUD Dr. Pirngadi Medan

Dengan ini, Saya menyatakan bersedia mengikuti penelitian tersebut secara


sukarela sebagai subjek penelitian. Saya berhak mengundurkan diri kapan saja
tanpa tekanan apapun atau paksaan dari orang lain.

Medan, …………………
Subjek Penelitian

(_____________________)

Universitas Sumatera Utara


KUESIONER PENELITIAN

EFIKASI DIRI DAN MANAJEMEN DIRI


PADA PASIEN DIABETES TIPE 2

A. Karakteristik Responden

Petunjuk pengisian
Isilah data di bawah ini sesuai dengan kondisi Anda saat ini dan berilah tanda
checklist (√) pada kotak yang disediakan pada masing-masing data berikut :

1. Umur : ....... tahun

2. Jenis Kelamin :  Laki-laki


 Perempuan

3. Suku :  Batak  Minang


 Jawa  Aceh
 Melayu  Lain-lain,
Sebutkan :.................

4. Pendidikan :  SD  Perguruan Tinggi


 SMP  Lain- lain,
 SMA Sebutkan :..................

5. Pekerjaan :  PNS  Wiraswasta


 Pegawai Swasta  Lain-lain,
 TNI/POLRI Sebutkan :..................

6. Lama Terdiagnosis : ....... tahun


Diabetes

7. Komplikasi Diabetes :  Tidak ada


 Ada
 Retinopati
 Nefropati
 Neuropati
 Penyakit arteri koroner
 Ulkus diabetik
 Lain-lain; ....................

8. Mengikuti pendidikan/penyuluhan kesehatan tentang diabetes:


 Pernah
 Tidak pernah

Universitas Sumatera Utara


B. Kuesioer Efikasi Diri pada Diabetes Tipe 2

Petunjuk pengisian
Di bawah ini merupakan daftar kegiatan yang harus dilakukan untuk mengelola
diabetes. Silahkan baca masing-masing pernyataannnya dan kemudian lingkari
nomor yang paling tepat yang menggambarkan seberapa yakin Bapak/Ibu bisa
melakukan kegiatan tersebut. Misalnya, jika Bapak/Ibu sangat yakin dapat
mengecek kadar gula darah sendiri, maka lingkari angka 10. Jika Bapak/Ibu
merasa bahwa sebagian besar waktu Bapak/Ibu tidak bisa melakukannya, maka
lingkari angka 1 atau 2.

Lingkari salah satu nomor pada setiap baris


No. Item Pernyataan Tidak dapat
Bisa Ya/ Pasti bisa
melakukan
Bisa Tidak melakukan
sama sekali
Saya yakin bahwa:
1 Saya dapat memeriksa gula 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
darah saya jika perlu
2 Saya dapat mengatasi gula darah 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
saya ketika tingkat gula darah
terlalu tinggi (misalnya; makan
makanan yang beragam)
3 Saya dapat mengatasi gula darah 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
saya ketika tingkat gula darah
terlalu rendah (misalnya; makan
makanan yang beragam)
4 Saya dapat memilih makanan 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
yang terbaik untuk kesehatan
saya
5 Saya dapat memilih makanan 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
yang beragam dan menjaga pola
makan yang sehat
6 Saya dapat menjaga berat 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
badan saya tetap terkontrol
7 Saya dapat memeriksa kaki saya 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
(karena luka atau lecet)
8 Saya dapat melakukan aktifitas 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
fisik yang cukup (misalnya;
yoga, berkebun, latihan
merentangkan tangan)
9 Saya dapat mengatur pola 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
makan ketika saya sakit

Universitas Sumatera Utara


Lanjutan...

Lingkari salah satu nomor pada setiap baris


No. Item Pernyataan Tidak dapat
Bisa Ya/ Pasti bisa
melakukan
Bisa Tidak melakukan
sama sekali

10. Biasanya Saya dapat mengikuti 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10


pola makan yang sehat
11. Saya dapat melakukan lebih 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
banyak aktifitas fisik jika dokter
menyarankan
12. Ketika saya melakukan lebih 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
banyak olah raga, Saya dapat
menjaga pola makan Saya
13. Saya dapat mengikuti pola 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
makan yang sehat ketika jauh
dari rumah
14. Saya bisa memilih jenis 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
makanan yang bervariasi dan
mengatur pola makan ketika
Saya berpergian
15. Saya dapat menjaga pola makan 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
yang sehat ketika Saya sedang
berlibur
16. Saya dapat memilih makanan- 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
makanan yang beragam dan
menjaga pola makan yang sehat
ketika Saya makan di luar atau
di tempat pesta
17. Saya dapat menjaga pola makan 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
ketika Saya merasa stres atau
cemas
18. Saya dapat pergi ke dokter 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
sekali dalam setahun untuk
memonitor diabetes Saya
19. Saya dapat minum obat sesuai 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
dengan resep
20. Saya dapat menjaga pengobatan 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
ketika Saya sakit
(Kuesioner “Efikasi diri pada diabetes tipe 2” diadopsi dan mendapatkan izin dari Mc.Dowell et al,
2005; dan diterjemahkan oleh Lembaga Bahasa dan Pendidikan Profesional LIA Medan, 2014).

Universitas Sumatera Utara


C. Kuesioner Manajemen Diri pada Diabetes Tipe 2

Petunjuk pengisian
Pertanyaan di bawah ini tentang kegiatan perawatan diri diabetes Bapak/Ibu
selama 7 hari terakhir. Jika Bapak/Ibu sakit selama 7 hari terakhir, coba ingat
kembali selama 7 hari sebelumnya ketika tidak sakit.

Lingkari salah satu nomor


No. Item Pertanyaan
pada setiap baris (jumlah hari)
Diet
1. Dari 7 HARI terakhir berapa hari Anda 0 1 2 3 4 5 6 7
mengatur pola makan yang sehat?
2. Selama sebulan terakhir, rata-rata BERAPA 0 1 2 3 4 5 6 7
HARI DALAM SATU MINGGU Anda
mengatur pola makan Anda?
3. Dari 7 HARI terakhir berapa hari Anda makan 0 1 2 3 4 5 6 7
buah dan sayuran?
4. Dari 7 HARI terakhir berapa hari Anda makan 0 1 2 3 4 5 6 7
makanan berlemak (misalnya; daging) atau
produk susu yang berlemak tinggi?
5. Dari 7 HARI terakhir seberapa sering Anda 0 1 2 3 4 5 6 7
mengatur makanan yang mengandung
karbohidrat?
Latihan Fisik
6. Dari 7 HARI terakhir berapa hari Anda 0 1 2 3 4 5 6 7
mengikuti aktivitas fisik setidaknya 30 menit?
(Total waktu aktivitas tanpa istirahat, termasuk
berjalan kaki)
7. Dari 7 HARI terakhir berapa hari Anda 0 1 2 3 4 5 6 7
mengikuti latihan khusus (seperti berenang,
berjalan, bersepeda) selain apa yang Anda
lakukan di sekitar rumah atau selain dari
pekerjaan Anda?
Medikasi
8. Dari 7 HARI terakhir berapa hari Anda minum 0 1 2 3 4 5 6 7
obat atau menggunakan insulin yang disarankan
kepada Anda?
9. Dari 7 HARI terakhir berapa hari Anda 0 1 2 3 4 5 6 7
menggunakan obat-obatan sesuai dosis yang
disarankan kepada Anda?

Universitas Sumatera Utara


Lanjutan...

Lingkari salah satu nomor


No. Item Pertanyaan
pada setiap baris (jumlah hari)
Monitoring Glukosa Darah Mandiri
10. Dari 7 HARI terakhir berapa hari Anda 0 1 2 3 4 5 6 7
memeriksa gula darah Anda?
11. Dari 7 HARI terakhir berapa hari Anda 0 1 2 3 4 5 6 7
memeriksa gula darah sesuai dengan yang
disarankan oleh petugas kesehatan Anda?
Perawatan Kaki
12. Dari 7 HARI terakhir berapa hari Anda 0 1 2 3 4 5 6 7
memeriksa kondisi kaki Anda?
13. Dari 7 HARI terakhir berapa hari Anda 0 1 2 3 4 5 6 7
memeriksa bagian dalam sepatu Anda?
14. Dari 7 HARI terakhir berapa hari Anda mencuci 0 1 2 3 4 5 6 7
atau membersihkan kaki Anda?
15. Dari 7 HARI terakhir berapa hari Anda 0 1 2 3 4 5 6 7
merendam kaki Anda?
16. Dari 7 HARI terakhir berapa hari Anda 0 1 2 3 4 5 6 7
mengeringkan sela-sela jari kaki Anda setelah
mencuci kaki?

(Kuesioner “Manajemen diri pada diabetes tipe 2” diadopsi dan mendapatkan izin dari Toobert,
Hampson & Glasgow, 2000; dan diterjemahkan oleh Lembaga Bahasa dan Pendidikan Profesional
LIA Medan, 2014).

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 2

Biodata Expert

Universitas Sumatera Utara


BIODATA EXPERT DARI INSTRUMEN PENELITIAN

1. Dr. Jan McDowell, PhD


Research Fellow
Institute of Health and Biomedical Innovation
Queensland University of Technology
email: j.mcdowell@qut.edu.au

2. Deborah J. Toobert, PhD


Senior Research Scientist
Oregon Research Institute
1776 Millrace Drive
Eugene, Oregon 97403
http://www.ori.org/

Phone:(541) 484-4421 ext. 2407


Home office (541) 338-8037
Fax: (541) 434-1505
email: deborah@ori.org

Universitas Sumatera Utara


 

Lampiran 3

Izin Penelitian
 
 
 
 
 
 
 
 
 

Universitas Sumatera Utara


 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

Universitas Sumatera Utara


 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

Universitas Sumatera Utara


 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

Universitas Sumatera Utara


 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai