Anda di halaman 1dari 167

PENGALAMAN PERAWAT PELAKSANA DALAM MENERAPKAN

BUDAYA KESELAMATAN PASIEN DI RUMAH SAKIT


UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

TESIS

Oleh

ZURAIDAH
177046019/ADMINISTRASI KEPERAWATAN

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2020

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


EXPERIENCE OF NURSES IN IMPLEMENTING PATIENT SAFETY
CULTURE AT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA HOSPITAL

THESIS

By

ZURAIDAH
177046019/NURSING ADMINISTRASION

MASTER OF NURSING SCIENCE STUDY PROGRAM


FACULTY OF NURSING
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2020

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


PENGALAMAN PERAWAT PELAKSANA DALAM MENERAPKAN
BUDAYA KESELAMATAN PASIEN DI RUMAH SAKIT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat


Untuk Memperoleh Gelar Magister Keperawatan (M.Kep)
dalam Program Studi Magister Ilmu Keperawatan
Minat Studi Administrasi Keperawatan
Pada Fakultas Keperawatan
Universitas Sumatera Utara

Oleh

ZURAIDAH
177046019/ADMINISTRASI KEPERAWATAN

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2020

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Telah diuji
Pada Tanggal 02 Maret 2020

KOMISI PENGUJI TESIS


Ketua : Dra, Nurmaini, M.K.M.,Ph.D
Anggota : 1. Roymond H. Simamora, S.Kep, Ns, M.Kep
2. Dewi Elizadiani Suza, S.Kp., MNS
3. Diah Arruum, S.Kep, Ns, M.Kep

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Tesis : Pengalaman perawat pelaksana dalam
menerapkan budaya keselamatan pasien di
Rumah Sakit Universitas Sumatera Utara
Nama Mahasiswa : Zuraidah
Nomor Induk Mahasiswa : 177046019
Program Studi : Magister Ilmu Keperawatan
Minat Studi : Adminstrasi Keperawatan
Tahun : 2020

PENGALAMAN PERAWAT PELAKSANA DALAM MENERAPKAN


BUDAYA KESELAMATAN PASIEN DI RUMAH SAKIT USU

ABSTRAK

Budaya keselamatan pasien merupakan komponen penting dan mendasar untuk


membangun program keselamatan pasien secara keseluruhan, disamping itu
budaya keselamatan pasien memainkan peran penting dalam penilaian keamanan
dan kualitas layanan rumah sakit. Sebagai upaya untuk meminimalisir kejadian
insiden keselamatan pasien dan sebagai strategi pencegahan dan mengurangi
bahaya kepada pasien, Institute of Medicine (IOM) dan Standar Nasional
Akreditasi Rumah Sakit (SNARS) merekomendasikan membangun budaya
keselamatan pasien yang harus diterapkan dalam seluruh lingkup rumah sakit.
Penelitian ini bertujuan untuk menggali secara mendalam pengalaman perawat
pelaksana dalam menerapkan budaya keselamatan pasien di Rumah Sakit USU.
Jenis penelitian yang digunakan adalah pendekatan fenomenologi deskriptif.
Instrumen yang digunakan yaitu dengan menggunakan kuesioner karakteristik
demografi dan panduan wawancara. Metode pengumpulan data dilakukan dengan
wawancara mendalam serta menggunakan field note. Metode purposive sampling
digunakan untuk memilih partisipan yang memenuhi kriteria inklusi. Partisipan
dalam penelitian ini adalah 15 orang perawat pelaksana di Rumah Sakit USU
Medan. Transkrip wawancara pengalaman perawat pelaksana dianalisis dengan
menggunakan pendekatan Colaizzi. Hasil penelitian menemukan 5 tema yang
yaitu: melaksanakan sasaran keselamatan pasien dengan dukungan dari
manajemen rumah sakit, memberikan informasi tentang asuhan pasien untuk
meningkatkan keselamatan pasien, melaporkan insiden keselamatan pasien,
hambatan perawat dalam menerapkan budaya keselamatan pasien, dan harapan
perawat dalam menerapkan budaya keselamatan. Saran bagi pelayanan
keperawatan memfasilitasi perawat dengan pelatihan budaya keselamatan pasien
secara teratur dan reguler untuk meningkatkan perilaku perawat dalam
melaporkan kejadian insiden keselamatan pasien. Bagi pendidikan keperawatan
dapat sebagai informasi bagi pendidikan keperawatan dan diterapkan kepada
mahasiswa ketika berpraktik dirumah sakit dan bagi peneliti selanjutnya dapat
dijadikan data dasar untuk melakukan penelitian selanjutnya tentang budaya
keselamatan pasien.

Kata Kunci : budaya keselamatan pasien, perawat pelaksana, pengalaman

i
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Thesis of Title : Experience of Nurses in Implementing Patient
Safety Culture at USU Hospital
Name of Student : Zuraidah
Student’s Id Number : 177046019
Study Program : Master of Nursing Science
Major in : Nursing Administration
Year : 2020

EXPERIENCE OF NURSES IN IMPLEMENTING PATIENT SAFETY


CULTURE AT USU HOSPITAL

ABSTRACT

Patient safety culture is an important and fundamental component to build


holistic patient safety program, In addition, it also plays a vital role in assessment
of safety and servive quality in hospitals. In order to minimize the prevelence rate
of patient safety incidents, to prevent and reduce patients’ risk, the institute of
Medicine and Indonesian Hospital Accreditation Standard (SNARS) recommend
that patient safety culture be developed and implemented in all scope of hospitals.
The objective of this research was to profundly study the experience of nurses in
implementing patient safety culture at USU Hospital. This is a descriptive
phenemonological reseach. The instrument used was demographic characteristics
questionnaires and in-depth interview with field note. Purposive sampling
technique was used to select partisipants that met the inclusion criteria. The
partisipants consisted of 15 nurses working at USU Hospital, Medan. The
transcript of the in-dept interviews with partisipants was analized using Collaizi
approach. The result discovered 5 themes, namely: accomplishment of patient
safety goals with the support from the hospital management, information
provision abaout patient nursing care to improve patient safety, report of patient
safety incidents, obstacles encountered by nurses in implementing patient safety
culture, and expectation that nurse implent safety culture. It suggested that
nursing services facilitate nurses with training on patient safety culture regurly to
improve their behaviors in reporting any patient safety incidents. It is also
recomended that nursing education be able to provide information and education
to be implemented by student during their practice term in hospitals. It is advised
that future researchers use the basic data in this research for further researches
on patient safety culture.

Keywords: patient safety culture, nurses, experience

ii
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah Subhana


Wata‟ala, karena berkat limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan penyusunan tesis dengan judul “Pengalaman Perawat Pelaksana
dalam Menerapkan Budaya Keselamatan Pasien di Rumah Sakit Universitas
Sumatera Utara”. Penyusunan tesis ini dapat terselesaikan dengan baik karena
bantuan dari berbagai pihak. Maka pada kesempatan ini penulis menyampaikan
penghargaan dan ucapan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum selaku Rektor Universitas Sumatera
Utara.
2. Setiawan, SKp., MNS., Ph.D selaku Dekan Fakultas Keperawatan Universitas
Sumatera Utara
3. Dewi Elizadiani Suza, SKp., MNS., Ph.D selaku Ketua Program Studi
Magister Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara dan
Penguji 1 yang telah banyak memberikan arahan dan masukan dalam tesis ini
4. Dra. Nurmaini, M.K.M., Ph.D selaku pembimbing I yang telah meluangkan
waktu dan mencurahkan perhatiannya pada penulis, sejak awal hingga penulis
dapat menyelesaikan tesis ini.
5. Roymond H, Simamora, S.Kep., Ns., M.Kep selaku pembimbing II yang
telah meluangkan waktu dan mencurahkan perhatiannya pada penulis, sejak
awal hingga penulis dapat menyelesaikan tesis inI
6. Diah Arruum, S.Kep,Ns., M.Kep, selaku penguji II yang telah banyak
memberikan arahan dan bimbingan dalam masukan dalam tesis ini.
7. Pihak Rumah Sakit USU Medan, khususnya para partisipan yang telah
membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
8. Para Dosen dan Staf Program Studi Magister Ilmu Keperawatan Fakultas
Keperawatan Universitas Sumatera Utara yang telah membantu dalam proses
penyelesaian tesis ini.
9. Orang tua yang senantiasa memberikan dukungan, semangat dan do‟a yang
berarti bagi penulis hingga akhirnya mampu menyelesaikan tesis ini.

Penulis menyadari penyusunan tesis ini jauh dari kesempurnaan, untuk itu
masukan dari semua pihak sangat penulis harapkan untuk kesempurnaa tesis ini.
Besar harapan penulis, jika penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Medan, Desember 2019

Zuraidah

iii
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ........................................................................................................ i
ABSTRACT ....................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR ...................................................................................... iii
DAFTAR ISI ..................................................................................................... iv
DAFTAR TABEL .............................................................................................. vi
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ vii
DAFTAR SKEMA ...........................................................................................viii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... ix

BAB 1. PENDAHULUAN ................................................................................ 1


Latar Belakang ....................................................................................... 1
Rumusan Masalah .................................................................................. 8
Tujuan Penelitian .................................................................................... 9
Manfaat Penelitian ................................................................................ 9

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 11


Konsep Keselamatan Pasien ................................................................. 11
Defenisi keselamatan pasien ......................................................... 11
Tujuan keselamatan pasien ........................................................... 12
Standar keselamatan pasien .......................................................... 13
Langkah menuju keselamatan pasien ........................................... 13
Insiden keselamatan pasien ........................................................... 14
Faktor yang berkontribusi dalam kesematan pasien ..................... 14
pelaporan insiden kesematan pasien ............................................. 15
Hambatan dalam keselamatan pasien ........................................... 16
Sasaran kesematan pasien ............................................................. 16
Prinsip keselamatan pasien ........................................................... 17
Peran perawat dalam keselamatan pasien ..................................... 18
Konsep Budaya Keselamatan Pasien .................................................... 19
Budaya organisasi ........................................................................ 19
Defenisi budaya keselamatan pasien ............................................ 20
Manfaat budaya keselamatan pasien.............................................. 22
Tujuan budaya keselamatan pasien ............................................... 23
Dimensi keselamatan pasien ......................................................... 24
Sub dimensi budaya kesematan pasien ......................................... 25
Langkah-langkah untuk mengembangkan budaya keselamatan ... 27
Proses langkah dan pengukuran budaya keselamatan pasien ....... 29
Mengukur budaya kesematan pasien ........................................... 30
Meningkatkan budaya kesematan pasien melalui intervensi ......... 34
Tingkat maturitas budaya kesematan pasien ................................ 35
Konsep Fenomenologi .......................................................................... 36
Konsep fenomenologi .................................................................... 36
Jenis-jenis penelitian fenomenologi ............................................... 37
Keabsahan data (trustworthiness of data) ..................................... 40

iv
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Landasan Teori Keperawatan ................................................................ 41

BAB 3. METODE PENELITIAN .................................................................. 46


Jenis Penelitian ..................................................................................... 46
Lokasi Dan Waktu Penelitian................................................................. 48
Partisipan ............................................................................................... 48
Metode Pengumpulan Data ................................................................... 50
Alat Pengumpulan Data ......................................................................... 51
Prosedur Pengumpulan Data ................................................................ 53
Variabel dan Defenisi Operasional ........................................................ 57
Metode Analisa Data .............................................................................. 57
Keabsahan Data ..................................................................................... 60
Pertimbangan Etik ................................................................................. 62

BAB 4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .................................. 64


Gambaran Umum Rumah Sakit USU .................................................. 64
Karakteristik Demografi Penelitian........................................................ 65
Hasil Analisis Penelitian ........................................................................ 66
Pembahasan ........................................................................................... 90
Keterbatasan Penelitian ..........................................................................120

BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN ...........................................................122


Kesimpulan ............................................................................................122
Saran.......................................................................................................123

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................124


LAMPIRAN

v
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel
Tabel 2.1 Tingkat maturitas budaya keselamatan pasien ..................35
Tabel 4.1 Karakteristik demografi partisipan ....................................66
Tabel 4.2 Matriks Tema .....................................................................87

vi
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar
Gambar 2.1 Kerangka konseptual; sistem interaksi dinamis.......... 42

vii
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DAFTAR SKEMA

Halaman
Skema
Skema 2.1 Relevansi Teori .............................................................. 45
Skema 4.1 Skema Tema ................................................................... 89

viii
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Instrumen Penelitian


a. Lembar Penjelasan Tentang Penelitian
b. Lembar Persetujuan Menjadi Responden
c. Kuisioner Data Demografi
d. Panduan Wawancara
e. Format Catatan Lapangan
Lampiran 2. Biodata Expert
Lampiran 3. Izin Penelitian
a. Surat Izin Penelitian dari Dekan Fakultas Keperawatan
b. Ethical Clearance
c. Surat Izin Penelitian dari Rumah Sakit Universitas Sumatera
Utara
d. Surat Selesai Penelitian dari Rumah sakit Universitas Sumatera
Utara
Lampiran 4. Dokumentasi (khusus Action Research)
Lampiran 5. Lembar Konsultasi

ix
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
BAB 1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Keselamatan pasien merupakan hal yang dianggap penting untuk

pemeliharaan kualitas perawatan kesehatan bahkan menjadi perhatian utama bagi

organisasi kesehatan diseluruh dunia (Ammaouri et al., 2015). Keselamatan

pasien menjadi bagian integral pelayanan yang berkualitas. Berbagai inisiatif dan

program akreditasi dan sertifikasi internasional telah dikembangkan dan

dimplementasikan untuk meningkatkan keselamatan pasien di Rumah Sakit di

tingkat nasional (Cho & Choi, 2018).

Paradigma pelayanan keperawatan saat ini mengarah kepada paradigma

kualitas-keamanan yaitu menjaga keselamatan pasien secara konsisten dan terus

menerus, disamping itu mutu pelayanan harus ditingkatkan karena semakin baik

kualitas layanan maka keselamatan pasien akan semakin baik (Turkmen et al.,

2013). Kualitas keperawatan merupakan faktor penting dalam memastikan

keselamatan pasien, karena perawatan dibawah standar secara langsung dapat

mengarah kepada hasil pasien yang negatif, sehingga rumah sakit sebagai institusi

pemberi pelayanan kesehatan harus dapat menjamin pelayanan kesehatan yang

diberikan kepada pasien (Hadi, 2018).

Keselamatan pasien menurut Institute of Medicine (IOM, 2000)

merupakan tindakan bebas dari kecelakaan atau bahaya yang mempunyai salah

satu tujuan adalah menurunkan angka insiden keselamatan pasien. Berdasarkan

Permenkes No.11 Tahun 2017 Insiden Keselamatan Pasien (IKP) adalah suatu

kejadian atau kondisi yang tidak disengaja yang dapat mengakibatkan cedera pada

1
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2

pasien yang dapat dicegah. Insiden Keselamatan Pasien (IKP) meliputi kejadian

yang tidak diharapkan, kejadian nyaris cedera, kejadian tidak cedera, dan kejadian

potensial cedera. Kejadian tersebut dapat dicegah dengan pelayanan yang

komprehensif dan program pelayanan yang baik dengan mengikutsertakan pasien

dan keluarga pasien karena tidak jarang insiden ini berakhir dengan tuntutan

hukum.

Adverse event adalah kejadian kegagalan yang dapat membahayakan

pasien dalam pemberian pelayanan. Kejadian yang menyebabkan bahaya tersebut

dapat terjadi disemua tahapan dimulai dari diagnosis, pengobatan dan pencegahan

yang dapat berupa kesalahan medis atau bukan kesalahan (National Patient Safety

Foundation, 2015). Kejadian yang mengakibatkan cedera pada pasien dapat

terjadi karena kelalaian petugas kesehatan seperti salah melakukan tindakan, lupa

melakukan tindakan bahkan dapat terjadi kecelakaan yang menimbulkan kerugian

bagi pasien dan keluarga yaitu biaya perawatan menjadi lebih besar, resistensi

obat dan memperpanjang masa rawatan di rumah sakit (Ramya, 2017).

Masalah kesalahan perawatan pertama kali disuarakan oleh laporan

terobosan Institute of Medicine (2000) berdasarkan laporan yang berjudul “To Err

is Human, Building to Safer Health System”. Amerika Serikat memperkirakan

kesalahan pengobatan melukai 1.000.000 pasien dan menyebabkan 98.000

kematian dalam setahun. Menurut National Patient Safety Agency tahun 2017

angka kejadian keselamatan pasien yang dilaporkan bulan Januari - Desember

2016 dari negara Inggris sebanyak 1.879.822 kejadian, Malaysia sebanyak 2.769

kejadian sedangkan Indonesia sebanyak 877 kejadian (RSUD Zainal Abidin,

2017).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


3

Di Indonesia berdasarkan data insiden keselamatan pasien yang diterbitkan

Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS) tahun 2012 sebanyak 145

insiden yang terdiri dari KTD 46%, KNC 48% dan lain- lain 6%, dan lokasi

kejadian tersebut berdasarkan provinsi ditemukan DKI Jakarta menempati urutan

tertinggi yaitu 37,9% diikuti Jawa Tengah 15,9%, DI Yogyakarta 13,8%, Jawa

Timur 11,7%, Sumatra Selatan 6,9%, Jawa Barat 2,8%, Bali 1,4%, Sulawesi

Selatan 0,69% dan Aceh 0,68%.

Prinsip etika utama dalam asuhan keperawatan adalah nonmaleficence atau

keharusan tidak membahayakan, namun kenyataannya perawatan kesehatan

belum dapat memenuhinya. Bagi perawat masalah nya penuh dengan tantangan,

perawat merasa tidak berdaya untuk menghentikan kesalahan, dapat membuat

kesalahan, dan terkadang dapat disalahkan atas kesalahan yang tidak

dilakukannya (Steelman, 2014). Oleh karena itu menerapkan budaya keselamatan

pasien pada perawat yang terlibat dalam pemberian pelayanan perawatan adalah

sangat penting.

Kejadian insiden yang berkaitan dengan area kerja banyak tidak

dilaporkan karena takut akan disalahkan (Radhakrishna, 2015). Pelaporan

merupakan dasar untuk mendeteksi masalah keselamatan pasien, menjadi sumber

informasi bagi pelayanan kesehatan. Sejalan dengan hasil penelitian Yoo dan Kim

(2017) bahwa pelaporan insiden dipengaruhi oleh lingkungan kerja maka persepsi

budaya keselamatan diperlukan sebagai dorongan kepada staf untuk melaporkan

setiap kejadian (Ali et al., 2018)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


4

Berdasarkan hasil penelitian, upaya untuk meminimalisir kejadian insiden

keselamatan pasien di rumah sakit dan sebagai strategi pencegahan dan

mengurangi bahaya kepada pasien, Institute of Medicine (IOM) dan Standar

Nasional Akreditasi Rumah Sakit (SNARS, 2017) merekomendasikan untuk

menciptakan atau membangun budaya keselamatan pasien yang harus diterapkan

dalam seluruh lingkup rumah sakit. Budaya keselamatan pasien merupakan

langkah pertama dari tujuh langkah keselamatan. Penerapan budaya keselamatan

pasien yang berfokus pada perubahan lingkungan kerja perawat dapat

meningkatkan keselamatan pasien (Turkmen et al., 2013)

Menurut SNARS (2017) menyatakan budaya keselamatan pasien adalah

komitmen dan manajemen dalam pelayanan kesehatan yang berasal dari sikap,

nilai dan perilaku dalam keselamatan pasien di rumah sakit. Berdasarkan

penelitian Mc Fadden et al. (2009) menyatakan budaya keselamatan pasien

berhubungan dengan peningkatan penerapan program keselamatan pasien yang

akan berdampak pada outcome nya. Berdasarkan hasil penelitian budaya

keselamatan pasien dipengaruhi oleh area kerja, posisi, tingkat partisipan dalam

program keselamatan pasien, manajemen keselamatan pasien dan sumber daya di

rumah sakit. Selain itu terdapat faktor untuk meningkatkan budaya keselamatan

pasien yaitu budaya organisasi yang mendorong untuk melaporkan kejadian,

menghindari menyalahkan dan peningkatan komunikasi (Wami et al., 2016).

Perawat sebagai tenaga profesional kesehatan terbesar dan sebagai

penyedia perawatan digaris depan layanan rumah sakit di masyarakat memiliki

peran besar dalam menentukan kualitas layanan kesehatan. Layanan kesehatan

selalu dikaitkan dengan tindakan medis kepada manusia. Keselamatan pasien

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


5

adalah salah satu poin penting dalam melakukan pelayanan kesehatan di rumah

sakit dan juga bagian dari akreditasi rumah sakit. Budaya keselamatan pasien

harus menjadi perhatian bagi perawat karena itu adalah tanggung jawab profesi

(Choi et al., 2019) dan penerapan budaya keselamatan pasien yang adekuat akan

menghasilkan pelayanan keperawatan yang bermutu dan membantu perawat

bekerja dengan aman (Agnew, 2013).

Penerapan budaya keselamatan pasien tidak mudah bagi perawat,

walaupun tampak strategis dan praktis untuk menciptakan budaya keselamatan

mungkin tampak sederhana, namun pelaksanaannya tidak mudah, dan perawat

merasakan mendapatkan tantangan. Berdasarkan penelitian sebelumnya

pengalaman tantangan perawat dalam mencapai budaya keselamatan pasien yang

efektif dan positif dalam organisasi pelayanan kesehatan diantaranya adalah 1)

infrastruktur organisasi yang tidak memadai, 2) efektivitas kepemimpinan yang

tidak memadai, 3) upaya yang tidak memadai untuk mengimbangi standar

nasional dan internasional, dan 4) dibayangi nilai-nilai partisipasi tim

(Farokhzadian et al., 2018)

Budaya keselamatan pasien merupakan komponen penting dan mendasar

untuk membangun program keselamatan pasien secara keseluruhan, disamping itu

budaya keselamatan pasien memainkan peran penting dalam penilaian keamanan

dan kualitas layanan rumah sakit sebagaimana World Health Organization

(WHO) telah mengusulkan keselamatan pasien sebagai konsep dasar dalam

penyediaan layanan keperawatan. Berdasarkan hasil penelitian Cho dan Choi

(2018) penerapan dimensi pada budaya keselamatan seperti kerja tim dalam unit,

kerjasama antar unit, pembelajaran dari organisasi terkait dengan keselamatan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


6

pasien, dan harapan perawat terhadap manajer dapat meningkatkan kompetensi

perawat baik dari aspek pengetahuan, sikap dan keterampilan perawat dalam

melaksanakan program keselamatan pasien di rumah sakit.

Penelitian yang dilakukan oleh Wang (2014) bahwasanya peningkatan

penerapan budaya keselamatan pasien dapat mengurangi tingkat efek samping

pengobatan yang merugikan pasien sehingga dapat menghindari terjadinya

kerugian bagi pasien dan keluarga, mengurangi masa rawatan dan meringankan

biaya perawatan karena dengan menerapkan budaya keselamatan pasien dapat

meningkatkan keamanan pasien, mencegah dan pengurangan bahaya pada pasien.

Perawat menjadi tenaga kesehatan yang berperan dalam meningkatkan

keselamatan pasien di Rumah Sakit disamping tenaga kesehatan lainnya. Perawat

memainkan peran penting dalam menjaga dan mempromosikan keselamatan

pasien di Rumah Sakit, sehingga diperlukan kemampuan perawat untuk mencegah

dan meminimalkan kesalahan (Turkmen et al., 2013). Sebagai penyedia perawatan

digaris terdepan, perawat menghabiskan sebagian besar waktu mereka dalam

kegiatan perawatan pasien langsung dari pada tenaga profesional lainnya,

sehingga perawat diharapkan sangat penting untuk menerapkan perilaku budaya

keselamatan di rumah sakit untuk memastikan keselamatan pasien (Balamurugan

& Flower, 2015).

Rumah Sakit USU adalah rumah sakit pendidikan yang dijadikan sebagai

lahan praktik bagi mahasiswa kesehatan USU dan sekolah kesehatan lain, yang

terdiri mahasiswa kedokteran, keperawatan dan kebidanan. Selain itu rumah sakit

banyak akan tenaga kesehatan termasuk dokter, perawat, bidan dan lainnya.

Angka Bed Occupancy Ratio (BOR) dalam satu tahun terakhir meningkat dimana

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


7

pada bulan Januari sampai dengan April 2018 dengan rerata 70-72 % pada setiap

ruangannya.

Berdasarkan hal tersebut kemungkinan dapat terjadi KTD atau insiden

lainnya, karena berdasarkan informasi dari Komite Mutu Rumah Sakit USU

melaporkan angka Insiden Keselamatan Pasien (IKP) tahun 2017 sebanyak 27

kejadian dimana KTD sebanyak 24 kejadian, KPC 2 kejadian dan KNC 1

kejadian. Sedangkan dari Januari sampai November 2018 sebanyak 54 kejadian

dengan rincian sebagai berikut; KTD 21 kejadian, KNC 22 kejadian, KTC 4

kejadian, dan KPC 7 kejadian. KTD diantara nya adalah perawat melakukan

kesalahan dalam menginput obat, salah prosedur dalam pemberian obat yang

terjadi di ruang perawatan anak dimana pelakunya adalah mahasiswa perawat dan

kebidanan dimana mahasiswa tersebut tanpa pendampingan dari perawat salah

memberikan obat, walaupun obat tersebut tidak jadi masuk ketubuh pasien karena

ada hambatan, sedangkan di ruang rawat inap kelas tiga pernah terjadi pasien

jatuh walaupun perawat sudah mengingatkan pasien sudah memasang pengaman,

selain itu kejadian flebitis tinggi (informasi dari perawat PPI angka flebitis diatas

standar nasional) dan pasien dengan memakai identitas gelang yang salah warna,

dimana kesalahan tersebut berasal dari perawat IGD. Angka insiden diatas adalah

insiden yang dilaporkan dan insiden itu bisa lebih banyak lagi kalau petugas

kesehatan sadar akan pentingnya pelaporan insiden keselamatan pasien. Menurut

komite mutu keselamatan pasien rumah sakit USU insiden report di Rumah Sakit

USU masih rendah karena belum ada kesadaran dari peugas kesehatan untuk

melaporkannya.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


8

Berdasarkan informasi tersebut memberikan gambaran bahwa upaya

meminimalisir terjadinya insiden keselamatan pasien yang terkait dengan aspek

keselamatan pasien di rumah sakit USU belum optimal karena angka insiden

masih tinggi, insiden report perawat masih rendah dan sampai saat ini Rumah

Sakit USU belum membuat program budaya keselamatan pasien yang

direkomensasikan oleh SNAR tahun 2017, dimana program budaya keselamatan

merupakan salah satu strategi upaya untuk menekan angka insiden keselamatan

pasien di Rumah Sakit USU. Berdasarkan hal tersebut peneliti ingin menggali

pengalaman perawat pelaksana dalam menerapkan budaya keselamatan pasien di

Rumah Sakit USU.

Penelitian ini akan dilakukan dengan pendekatan fenemonelogi deskriptif

dengan tujuan peneliti akan memperoleh informasi lebih banyak dan baru terkait

dengan pengalaman perawat dalam menerapkan budaya keselamatan pasien bukan

dengan menggunakan pendekatan penelitian lain.

Rumusan Masalah

Berdasarkan laporan Komite Mutu dan Keselamatan Pasien Rumah Sakit

USU tahun 2018 terdapat 54 insiden keselamatan pasien yang mengindikasikan

tingginya angka insiden keselamatan pasien. Dari beberapa insiden tersebut

dilakukan oleh perawat dan mahasiswa yang sedang berpraktik yang lepas dari

pengawasan perawat. Dari laporan perawat PPI dan Komite Mutu Keselamatan

Pasien Rumah Sakit USU sudah mensosialisasikan dan melaksanakan pelatihan

program keselamatan pasien tetapi belum optimal dan mensosialisasikan

pelaporan insiden kepada semua perawat, tetapi kenyataannya insiden report dari

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


9

perawat masih minim dengan alasan belum sadar untuk melaporkan insiden dan

takut untuk melaporkan karena akan disalahkan. Berdasarkan angka kejadian dan

perilaku perawat tersebut bahwasanya penerapan budaya keselamatan pasien

tersebut belum terlaksana dengan maksimal. Berdasarkan latar belakang diatas

peneliti ingin mengetahui pengalaman perawat pelaksana dalam menerapkan

budaya keselamatan pasien di Rumah Sakit USU dengan menggali secara

langsung mendalam karena sangat penting untuk meningkatkan kualitas,

keamanan, efisiensi dan efektifitas pelayanan keperawatan.

Tujuan penelitian

Penelitian ini bertujuan mengeksplorasi pengalaman perawat pelaksana

dalam menerapkan budaya keselamatan pasien di Rumah Sakit USU Kota Medan

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pelayanan

rumah sakit, pendidikan keperawatan, dan bagi peneliti selanjutnya

Pelayanan Rumah Sakit

Penelitian ini dapat berkontribusi terhadap pelayanan di rumah sakit

dimana berguna untuk meningkatkan komitmen dalam menerapkan budaya

keselamatan pasien di rumah sakit

Bagi Pendidikan Keperawatan

Penelitian ini diharapkan memiliki kontribusi terhadap pendidikan

keperawatan dalam penerapan budaya keselamatan pasien di rumah sakit sehingga

pelaksanaan program keselamatan pasien dapat berjalan secara efektif dan

maksimal

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


10

Bagi Penelitian selanjutnya

Data yang ditemukan pada penelitian ini dapat memberikan informasi

mengenai penerapan budaya keselamatan pasien di rumah sakit, dan juga

diharapkan dapat mengembangkan riset keperawatan, sebagai data dasar

penelitian selanjutnya.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


11

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Konsep Keselamatan Pasien

Pengertian Keselamatan Pasien

Keselamatan pasien adalah hal penting untuk meningkatkan kualitas

perawatan kesehatan. Keselamatan pasien Menurut IOM (2000) merupakan

pencegahan bahaya pada pasien yang dapat disebabkan karena error yang terdiri

dari kegagalan suatu perencanaan dalam mencapai tujuan. Menurut Vincent

(2011) keselamatan adalah sebagai tindakan proses perawatan kesehatan dapat

berupa menghindari dan mencegah tindakan yang berbahaya. Pencegahan bahaya

dapat dilakukan dengan: 1) menghindari kesalahan, 2) mempelajari kesalahan dan

3) membangun budaya keselamatan yang melibatkan tenaga kesehatan yang

profesional dan pasien (Stavrianopoulos, 2012).

Menurut Canadian Nursing Assosiation (2004) mendefenisikan

keselamatan pasien adalah bebas dari cedera fisik dan psikologis yang menjamin

keselamatan pasien, melalui sistem operasional, meminimalkan terjadinya

kesalahan, mengurangi rasa tidak aman pasien dalam sistem perawatan kesehatan

dan meningkatkan pelayanan yang optimal. Sejalan dengan pendapat Emanuel et.

al (2008) keselamatan pasien adalah suatu disiplin ilmu dalam perawatan

kesehatan dengan tujuan meminimalkan kejadian dan dampak dalam pelayanan

kesehatan.

11
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
12

Berdasarkan Permenkes RI No. 11 Tahun 2017 menyatakan keselamatan

pasien adalah suatu sistem yang membuat asuhan pasien lebih aman, meliputi

asesmen risiko, identifikasi dan pengelolaan risiko pasien, pelaporan dan analisis

insiden dan tindak lanjutnya, serta implementasi solusi untuk meminimalkan

timbulnya risiko dan mencegah terjadinya cedera yang yang disebabkan oleh

kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan

yang seharusnya diambil.

Pada uraian pendapat-pendapat diatas penulis menyimpulkan keselamatan

pasien merupakan bagian penting dari kualitas pelayanan perawatan kesehatan

yang berkaitan dengan penghindaran, pencegahan dan perbaikan dari hasil

tindakan yang buruk atau injury yang berasal dari proses pelayan kesehatan.

Tujuan keselamatan pasien

Tujuan keselamatan pasien rumah sakit menurut Kemenkes (2015) adalah;

1) terciptanya budaya keselamatan pasien dirumah sakit, 2) meningkatnya

akuntabilitas rumah sakit terhadap pasien dan masyarakat, 3) menurunkan angka

insiden keselamatan pasien di rumah sakit, 4) terlaksananya program-program

pencegahan sehingga tidak terjadi pengulangan kejadian yang tidak diharapkan.

Menurut Institute of Medicine (IOM, 2008 dalam Kemenkes, 2015) tujuan

keselamatan pasien adalah pasien aman (terhindar dari cidera), pelayanan menjadi

lebih efektif dengan adanya bukti yang kuat terhadap terapi yang perlu atau tidak

perlu diberikan kepada pasien, berfokus pada nilai dan kebutuhan pasien,

pengurangan waktu tunggu pasien dalam menerima pelayanan dan efisien dalam

penggunaan sumber-sumber yang ada.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


13

Standar Keselamatan Pasien

Standar keselamatan pasien wajib diterapkan dan merupakan acuan bagi

fasilitas pelayanan kesehatan di Indonesia untuk melaksanakan kegiatananya.

Menurut Permenkes RI No. 11 Tahun 2017 standar keselamatan pasien rumah

sakit terdiri dari yaitu: 1) Hak pasien; pasien dan keluarganya mempunyai hak

untuk mendapatkan informasi, 2) Mendidik pasien dan keluarga; runah sakit harus

mendidik pasien dan keluarganya tentang kewajiban dan tanggung jawab pasien

dalam asuhan pasien, 3) Keselamatan pasien dalam keseinambungan pelayanan;

rumah sakit menjamin kesinambungan pelayanan dan koordinasi antar tenaga dan

antar unit pelayanan, 4) Penggunaan metode-metode peningkatan kinerja untuk

melakukan evaluasi dan program peningkatan keselamatan pasien, 5) Peran

kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien, 6) Mendidik staf tentang

keselamatan pasien rumah sakit, dan 7) Komunikasi sebagai kunci bagi staf untuk

mencapai keselamatan pasien

Langkah-Langkah Menuju Keselamatan Pasien

Tujuh langkah keselamatan pasien dapat membantu fasilitas pelayanan

kesehatan. tujuh langkah terebut tidak harus berurutan dan tidak harus serentak

dan dapat memilih langkah-langkah yang strategis. Tujuh langkah keselamatan

pasien tersebut adalah: 1) Membangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien.

Dengan menciptakan budaya adil dan terbuka, 2) Memimpin dan mendukung staf,

3) Mengintegrasikan aktivitas pengelolaan risiko, 4) Mengembangkan sistem

pelaporan dengan memastikan staf mudah untuk melaporkan, 5) Melibatkan dan

berkomunikasi dengan pasien, 6) Belajar dan berbagi pengalaman tentang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


14

keselamatan pasien, dan 7) Mencegah cedera melalui implemetasi sistem

keselamatan pasien (Permenkes RI No. 11 Tahun 2017).

Insiden Keselamatan Pasien

Insiden keselamatan pasien adalah adalah setiap kejadian yang tidak

disengaja dan kondisi yang mengakibatkan atau berpotensi mengakibatkan cedera

yang dapat dicegah pada pasien. Berdasarkan Permenkes RI No. 11 Tahun 2017

jenis-jenis keselamatan pasien terdiri dari; 1) kejadian yang tidak diharapka

(KTD); suatu kejadian yang tidak diharapkan yang mengakibatkan cedera pada

pasien akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang

diambil seharusnya diambil, 2) Kejadian tidak cedera; suatu insiden yang sudah

terpapar kepasien tetapi tidak mengakibatkan cefera. 3) Kejdian nyaris cedera

(KNC); terjadinya insiden yang belum terpapar kepasien, 4) kejadian potensial

cedera; kondisi yang sangat berpotensi untuk menimbulkan cedera, tetapi belum

terjadi insiden, 5) Kejadian sentinel; adalah suatu kejadian yang tidak diharapkan

yang mengakibatkan kematian atau cedera yang serius. Biasanya dipakai untuk

kejadian yang sangat tidak diharapkan atau tidak dapat diterima seperti operasi

pada bagian tubuh yang salah.

Faktor Yang Berkontribusi Pada Insiden Keselamatan Pasien

Menurut Depkes (2008) menyatakan faktor yang berkontribusi terhadap

terjadinya insiden keselamatan pasien adalah faktor eksternal/luar rumah sakit,

faktor organisasi dan manajemen, faktor lingkungan kerja, faktor tim, faktor

petugas dan kinerja, faktor tugas, faktor pasien dan faktor komunikasi. Menurut

Agency Health Research and Quality (AHRQ) faktor yang menimbulkan insiden

keselamatan pasien adalah komunikasi, arus informasi yang tidak adekuat,

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


15

masalah sumber daya manusia (SDM), hal-hal yang berhubungan dengan pasien,

transfer pengetahuan dirumah sakit, alur kerja , kegagalan teknis, kebijakan dan

prosedur yang tidak adekuat.

Pelaporan Insiden Keselamatan Pasien

Pelaporan insiden adalah awal proses pembelajaran untuk mencegah

kejadian yang sama terulang kembali. Sistem pelaporan insiden dirumah sakit

meliputi kebijakan alur pelaporan, formulir pelaporan, dan prosedur pelaporan

yang harus disosialisasikan kepada seluruh karyawan (Ismainar, 2015). Menurut

Simamora (2018) dalam bukunya yang berjudul Keselamatan Pasien Melalui

Timbang Terim Pasien Berbasis Komunikasi Efektif: SBAR, menjelaskan prinsip

penting pelaporan insiden adalah pelapor insiden harus aman; staf tidak boleh

dihukum karena melapor, pelaporan insiden hanya akan bermanfaat kalau

menghasilkan respon yang konstruktif; minimal memberikan umpan balik tentang

data kejadian yang tidak diharapkan dan analisanya, analisa yang baik dan proses

pembelajaran yang berharga memerlukan keahlian, Tim KPPRS perlu

menyebarkan informasi, rekomendasi perubahan dan pengembangan solusi.

Hasil penelitian studi fenomenologi tentang pengalaman perawat tentang

insiden keselamatan pasien menemukan ada enam tema yaitu; Ketakutan terhadap

kondisi pasien yang disebabkan oleh kecelakaan, Konflik dalam laporan

kecelakaan, Menyalahkan orang lain dan keadaan, Merasa bersalah dan menyesal

karena kondisi pasien membaik, kecewa dengan suasana yang tidak

menyenangkan dalam berurusan dengan kecelakaan, Setelah kecelakaan, peka

dalam melakukan tugas keperawatan dan setia pada prinsip-prinsip (Lee et al.,

2014)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


16

Hasil penelitian terdahulu yang lain yaitu tentang pengalaman mahasiswa

perawat dalam keselamatan pasien dan hal yang meningkatkan rasa kekhawatiran

didapatkan tema diantaranya: 1) mahasiswa perawat berkeinginan untuk

memaparkan apa yang didapatkannya dari perilaku perawat yang kurang baik

dalam memberikan pelayanan, 2) tetapi mereka tidak berani membenarkan

perbuatan tersebut karena takut dihukum, 3) mengakui hierarki sehingga

mahasiswa perawat merasa rentan untuk menantang perawat dan 4) budaya tim,

bahwasanya tim sangat berpengaruh mereka dalam mengambil keputusan (Fisher

& Kiernan, 2019).

Hambatan Utama Untuk Menerapkan Sistem Keselamatan Pasien

Menurut Akins & Cole (2005) terdapat hambatan dalam menerapkan

sistem keselematan pasien yang meliputi: memprioritaskan persaingan untuk

menakuti sumber daya manusia dalam suatu sistem di mana keselamatan pasien

tidak dianggap sebagai prioritas utama, kekurangan sumber daya: staf yang tidak

memadai dan bekerja terlalu banyak, ketersediaan dan biaya teknologi

keselamatan pasien, bertahan untuk berubah (asumsi bahwa penyedia sudah

memberikan perawatan yang aman), budaya menyalahkan (budaya kesehatan saat

ini menghukum, kurangnya pemahaman dan keterlibatan kepemimpinan senior

dengan masalah keselamatan pasien, budaya persepsi tenaga kerja perawatan

kesehatan, serta sikap dan perilaku kesalahan yang menutup-nutupi.

Sasaran Keselamatan Pasien

Berdasarkan Permenkes RI No. 11 Tahun 2017 setiap rumah sakit wajib

mengupayakan pemenuhan sasaran keselamatan pasien yang meliputi: 1)

mengidentifikasi pasien dengan benar; untuk mengembangkan pola pendekatan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


17

agar bisa meningkatkan atau memperbaiki ketelitian dalam identifikasi pasien, 2)

meningkatkan komunikasi yang efektif; untuk mengembangkan pola pendekatan

agar komunikasi bisa berjalan dengan efektif, 3) meningkatkan keamanan obat-

obatan yang harus diwaspadai/high-alert; agar memastikan obat tetap aman untuk

diberikan kepada pasien, 4) memastikan lokasi pembedahan yang benar, prosedur

yang benar, pembedahan pada pasien yang benar; agar pasien tercatat dengan

valid sebelum mendapatkan tindakan operasi 5) mengurangi risiko infeksi akibat

perawatan kesehatan, prosedur dalam pencegahan penyakit menular dan infeksi

sesuai dengan pedomannya dan 6) mengurangi risiko cedera pasien akibat jatuh;

untuk memastikan pasien tidak mengalami risiko jatuh. Semua langkah akan

diawasi untuk memastikan keberhasilannya

Prinsip Keselamatan Pasien

Menurut Kohn et al (2000) terdapat lima prinsip untuk merancang safety

system di organisasi kesehatan yaitu: Prinsip 1 Provide Leadership. Provide

leadership meliputi: menjadikan keselamatan sebagai tujuan utama/prioritas,

menjadikan keselamatan pasien sebagai tanggung jawab bersama,

menunjuk/menugaskan seseorang yang bertanggung jawab untuk program

keselamatan, mengembangkan mekanisme yang efektif untuk mengindentifikasi

“unsafe” dokter. Prinsip 2 mempertahankan keterbatasan manusia. Pada prinsip

mempertahankan keterbatasan manusia dalam perancangan proses yaitu: design

job for safety, menyerderhanakan proses, dan membuat standar proses. Prinsip 3

mengembangkan tim yang efektif, Prinsip 4 antisipasi pada kejadian yang tak

terduga. Pada prinsip Antisipasi pada kejadian yang tak terduga dilakukan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


18

dengan: pendekatan proaktif, menyediakan antidotum dan training simulasi.

Prinsip 5 Menciptakan Atmosfer “Learning”

Peran Perawat dalam Keselamatan Pasien

Perawat adalah pemain kunci dalam pelayanan perawatan kesehatan

karena mereka kontak langsung dengan pasien dan karena itu kemungkinan

perawat memiliki informasi yang penting mengenai perasaan dan kondisi fisik

pasien, informasi yang dibutuhkan oleh anggota tim lainnya. Perawat berada

dalam peran yang sulit secara unik karena mereka harus mengkoordinasikan

kegiatan mereka dengan dokter dan administrator yang lebih bertenaga dan

memiliki status lebih dalam sistem medis. Pada saat yang sama mereka harus

berkoordinasi dengan rekan kerja mereka saat pasien dipekerjakan saat tinggal

dirumah sakit dengan berbagai anggota lainnya seperti apoteker, terapi fisik,

pencatat catatan pasien, pekerjaan sosial dan berbagai teknisi. Selain itu mereka

berada dalam hierarki departemen keperawatan mereka sendiri dan harus belajar

bagaimana membangun hubungan yang efektif dengan atasan dan bawahan

mereka sendiri (Edgar, 2017).

Menurut American Nursing Assosiation (ANA dalam Rowel 2003) salah

satu tujuan utama paling prioritas dalam menjamin keselamatan pasien adalah

dengan mempromosikan keselamatan pasien. Terkait dengan issu keselamatan

pasien, ANA telah memperkenalkan kepada perawat tentang peran penting untuk

keselamatan pasien adalah: mengembangkan dan menyebarkan dokumen dasar

tentang keselamatan pasien, mernyataan kebijakan sosial keperawatam,

pengembangan lingkup praktik dan standar, kode etik untuk perawat, advokasi

untuk pasien dan masalahnya, dokumentasi keselamatan pasien, melakukan lobi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


19

untuk peraturan perundang-undangan, dan akreditasi, sertifikasi serta mekanisme

credentialing

The American Organizations of Nurse Executive (AONE, 2007) pada

tingkat manajerial keperawatan telah melakukan berbagai perubahan pada tingkat

pimpinan keperawatan dalam upaya meningkatkan keselamatan pasien yaitu:

merubah budaya kepemipinan tentang keselamatan pasien, membangun

kepemiminan yang dapat mengayomi perawat dibawahnya, membangun

kemitraan eksternal dan mengembangkan kompetensi kepemimpinan tentang

keselamatan pasien.

Konsep Budaya keselamatan Pasien

Budaya Organisasi

Budaya adalah seperangkat nilai, kepercayaan, dan asumsi yang dimiliki

bersama oleh anggota organisasi. Tujuan budaya adalah untuk memberikan ikatan

bersama sehingga anggota tahu bagaimana berhubungan satu sama lain dan untuk

menunjukkan apa yang dihargai kepada orang lain yang berada di luar organisasi.

Budaya adalah fenomena yang beragam, sulit dipahami dan diuraikan. Rumah

sakit sebagai penyelenggara pelayanan perawatan merupakan salah satu organisasi

paling kompleks dalam lingkungan sosial kita saat ini. Hubungan perawatan

kesehatan di rumah sakit tergantung pada komunikasi dan kolaborasi antara dan di

antara pengasuh untuk memfasilitasi proses rumit terkait dengan pemberian

perawatan pasien (Huber, 2010).

Budaya organisasi menyediakan sistem kepercayaan bersama di antara

anggotanya. Menurut Schien (2004) budaya organisasi adalah pola asumsi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


20

bersama sebagai pembelajaran untuk mengatasi masalah eksternal dan integritas

internal, diajarkan kepada anggota baru sebagai cara yang utuk memahami,

berpikir, dan merasa masalah tersebut. Schien membagi berbagai aspek budaya

organisasi menjadi tiga tingkatan; 1) Tingkat artefak; elemen budaya organisasi

yang paling luar, kasat mata dan konkret yang mecerminkan nilai-nilai dan asumsi

dasar. Contohnya karakteristik yang terlihat seperti tata ruang kamar pasien,

formulir rekam pasien, dan lain-lain, 2) Keyakinan yang dianut; merupakan

elemen dasar budaya organisasi yang mengarahkan perilaku anggotanya.

Contohnya tujuan yang dinyatakan atau filosofi organisasi, 3) Asumsi yang

mendasari: keyakinan dan perasaan yang tidak disadari tetapi kuat, seperti

komitmen untuk menyembuhkan setiap pasien, tidak peduli biayanya

Budaya organisasi mempengaruhi kualitas dan kuantitas asuhan

keperawatan dan hasil pasien. Mempunyai makna bersama, praktik yang diterima

begitu saja dan asumsi kelompok unit kerja, dapat memberikan efek signifikan

pada kinerja dan hasil yang dapat memberikan efek yang kuat pada karyawan dan

orang-orang yang dilayani oleh organisasi. Budaya organisasi membentuk

perilaku orang, terutama tanggapan mereka satu sama lain, yang merupakan faktor

penting dalam perawatan kesehatan (Tappen et al., 2010)

Definisi Budaya Keselamatan Pasien

Budaya keselamatan pasien merupakan hal yang penting dalam

keselamatan pasien dan menjadi fondasi utama dalam menuju keselamatan pasien.

Budaya keselamatan pasien adalah hasil dari interaksi antara sikap, nilai,

keterampilan dan perilaku untuk berkomitmen pada manajemen keselamatan di

tempat kerja (Nieva & Sorra, 2003). Oleh karena itu budaya keselamatan adalah

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


21

kerangka multifaktorial yang bertujuan untuk mempromosikan pendekatan sistem

untuk mencegah dan mengurangi bahaya pada pasien.

Agency for Healthcare Research and Quality (AHRQ, 2016) menyatakan

budaya sebagai komponen penting dalam kualitas dan keamanan perawatan.

Budaya keselamatan suatu organisasi adalah produk dari nilai-nilai individu dan

kelompok, sikap, persepsi, kompetensi, dan pola perilaku yang menentukan

komitmen untuk, gaya dan kecakapan dari manajemen kesehatan dan keselamatan

organisasi. Organisasi dengan budaya keselamatan yang positif dicirikan oleh

komunikasi yang didirikan atas dasar kepercayaan, dengan persepsi bersama

tentang pentingnya keselamatan, dan dengan keyakinan dalam kemanjuran

langkah-langkah pencegahan.

Menurut SNARS (2017) budaya keselamatan dirumah sakit adalah sebuah

lingkungan yang kolaboratif karena staf klinis memperlakukan satu sama lain

secara hormat dengan melibatkan serta memberdayakan pasien dan keluarga.

Pimpinan mendorong staf klinis pemberi asuhan bekerjasama antar tim yang

efektif dan mendukung proses kolaborasi interprofesional dalam asuhan berfokus

pada pasien.

Budaya keselamatan juga merupakan hasil dari nilai-nilai, sikap, persepsi,

kompetensi dan pola perilaku individu maupun kelompok yang menentukan

komitmen, serta kemampuan manajemen pelayanan kesehatan maupun

keselamatan. Mempunyai ciri-ciri berkomunikasi berdasarkan atas rasa saling

percaya dengan persepsi yang sama tentang pentingnya keselamatan dan dengan

keyakinan akan manfaat langkah-langkah pencegahan.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


22

Budaya keselamatan pasien yang konstruktif adalah penting untuk

meningkatkan kualitas dan keamanan perawatan kesehatan dengan mewujudkan

perilaku yang menerapkan budaya keselamatan yang positif yaitu dengan

mendukung kerja sama dan rasa hormat terhadap sesama tanpa melihat jabatan

mereka dalam rumah sakit dengan menunjukkan perilaku yang mendukung

budaya keselamatan seperti; 1) perilaku yang tidak layak (inappropriate) seperti

kata-kata atau bahasa tubah yang merendahkan atau menyinggung perasaan, 2)

perilaku yang mengganggu (distruptive) yaitu bentuk tindakan yang

membahayakan atau mengintimidasi staf lain, 3) perilaku yang melecehkan terkait

dengan ras, agama, suku dan gender, dan 4) pelecehan seksual (KARS, 2017).

Manfaat Budaya Keselamatan Pasien

Membangun budaya keselamatan pasien merupakan hal yang sangat

penting dan suatu cara untuk mewujudkan keselamatan pasien secara keseluruhan.

Hal tersebut karena didalam budaya keselamatan pasien terkandung nilai dan

keyakinan yang menjadi patokan dalam berperilaku berdasarkan yang diyakini

oleh anggota organisasi untuk mengetahui apa yang benar dan salah dan

keyakinan yang mengacu pada sikap tentang cara bekerja yang benar. Fokus pada

budaya keselamatan pasien akan lebih berhasil apabila dibandingkan fokus pada

program keselamatan pasien. Budaya keselamatan pasien akan membantu

organisasi dalam membuat kebijakan tentang keselamatan pasien (Hadi, 2017)

Adapaun manfaat utama budaya keselamatan pasien adalah organisasi

menyadari apa yang salah dalam pembelajaran terhadap kesalahan tersebut.

Manfaat lain budaya keselamatan pasien adalah sebagai berikut: 1) Organisai

kesehatan lebih tahu jika ada kesalahan yang akan terjadi atau jika kesalahan telah

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


23

terjadi, 2) Meningkatkan laporan kejadian yang dibuat dan belajar dari kesalahan

yang terjadi akan berpotensial menurunnya kejadian yang sama akan berulang

kembali dan keparahan dari keselamatan pasien tersebut, 3) Kesadaran akan

keselamatan pasien yaitu bekerja untuk mencegah error dan melaporkan jika ada

kesalahan, 4) Berkurangnya perawat yang merasa tertekan, bersalah, malu, karena

kesalahan yang telah dibuat, 5) Berkurangnya turn over pasien, karena pasien

yang pernah mengalami insiden pada umumnya akan mengalami perpanjangan

hari perawatan dan pengobatan yang diberikan lebih dari pengobatan yang

seharusnya diterima pasien.6) Mengurangi biaya yang diakibatkan oleh kesalahan

dan penambahan terapi, dan 7) Mengurangi sumber daya yang dibutuhkan untuk

mengatasi keluhan.

Tujuan Budaya Keselamatan Pasien

Menurut Colla et al (2005) tujuan budaya keselamatan pasien adalah;

menghasilkan norma-norma perilaku, mengurangi kecelakaan dan cedera,

memastikan issu tentang keselamatan pasien menjadi perhatian seluruh anggota

organisasi, meningkatkan kemampuan anggota organisasi untuk saling berbagi

ide-ide dan keyakinan tentang risiko, kecelakaan dan kondisi keburukan

kesehatan, meningkatkan komitmen masyarakat tentang keselamatan, dan

menentukan gaya dan kemampuan merancang program kesehatan serta

keselamatan organisasi. Organisasi dengan budaya positif dikarekteristikan

dengan adanya komunikasi yang saling percaya, saling berbagi persepsi tentang

pentingnya keselamatan dan adanya keyakinan terhadap kemampuan melakukan

tindakan pencegahan. Terdapat faktor-faktor untuk menciptakan budaya

keselamatan pasien yaitu: 1) komunikasi yang efektif, 2) staf yang tepat, 3)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


24

kepatuhan terhadap prosedur, 4) keamanan lingkungan fisik dan mental, 5)

budaya, 6) kepemimpinan yang mendukung, 7) orientasi dan pelatihan, dan 8)

komunikasi terbuka tentang kesalahan medis (Ammouri et al., 2015).

Dimensi Budaya Keselamatan Pasien

Menurut Summer et al (2010) dari hasil penelitiannya mengidentifikasi

berbagai sifat budaya keselamatan yang disusun dalam tujuh subkultur meliputi:

1) Kepemimpinan: Pemimpin mengakui lingkungan perawatan kesehatan adalah

lingkungan berisiko tinggi dan berusaha menyelaraskan visi/misi, kompetensi staf,

sumber daya fiskal dan manusia dari ruang rapat ke garis depan. Intinya seorang

pemimpin yang berkomitmen untuk memprioritaskan dan membuat keselamatan

pasien terlihat melalui tindakan sehari-hari dalam menciptakan budaya

keselamatan pasien, 2) Kerja tim; Semangat kolegialitas, kolaborasi dan kerja

sama ada di antara eksekutif, staf, dan praktisi independen. Hubungan terbuka,

aman, hormat, dan fleksibel, 3) Berbasiskan bukti: Praktek perawatan pasien

didasarkan pada bukti. Standarisasi untuk mengurangi variasi terjadi di setiap

kesempatan.

Proses dirancang untuk mencapai keandalan yang tinggi, 4) Komunikasi;

Budaya komunikasi merupakan suatu kondisi dimana seorang individu/staf,

mampu menangani masalah pekerjaan, memiliki deskripsi pekerjaan, memiliki

hak dan tanggung jawab untuk berbicara bersama pasien, 5) Pembelajaran;

Rumah sakit perlu belajar dari kesalahan dan mencari peluang baru untuk

meningkatkan kinerja. Pembelajaran dihargai di antara semua staf, termasuk staf

medis, 6) Keadilan; Budaya yang mengakui kesalahan sebagai kegagalan sistem

daripada kegagalan individu dan, pada saat yang sama, tidak menyusut dari

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


25

meminta pertanggungjawaban individu atas tindakan mereka, 7) Berpusat pada

pasien; Perawatan pasien dipusatkan pada pasien dan keluarga. Pasien bukan

hanya partisipan aktif dalam perawatannya sendiri, tetapi juga bertindak sebagai

penghubung antara rumah sakit dan masyarakat.

Sub Dimensi Budaya Keselamatan Pasien

Memahami budaya keselamatan pasien itu penting. Menurut Feng et al

(2008) menyatakan perawat dan administrator yang lebih memahami tentang

budaya keselamatan pasien akan mengimplementasikan nya secara efektif untuk

meningkatkan keselamatan pasien. Terdapat empat sub dimensi dalam budaya

keselamaan pasien untuk perawat yaitu;

1. Subdimensi Pribadi;

Terdiri dari dua bagian yaitu komitmen pribadi dan kompetensi pribadi.

Komitmen pribadi adalah keterlibatan pribadi perawat dalam keputusan tentang

keselamatan pasien dan upaya apa yang dilakukan perawat untuk menjaga

keselamatan pasien. Kompetensi pribadi mengacu pada keterampilan, informasi,

dan pengetahuan, baik teknis maupun profesional, bahwa perawat harus

memberikan perawatan pasien. Satu faktor kompetensi pribadi adalah pendidikan

dan pengalaman.

2. Subdimensi Sistem

Terdiri dari dua hal penting: integritas sistem dan dukungan manajemen.

Keputusan sadar yang dibuat oleh sistem untuk mengurangi risiko akan mencakup

kepegawaian, penjadwalan, penganggaran, kebijakan keselamatan, peralatan, dan

prosedur lainnya. Misalnya, secara rutin tidak memiliki staf yang cukup dapat

menyebabkan bahaya terhadap keselamatan pasien. Atribut lainnya adalah

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


26

dukungan manajemen. Perilaku keamanan yang memperkuat dan bermanfaat

membantu mempromosikan budaya keselamatan pasien yang kuat.

3. Subdimensi yang berorientasi tugas

Mencakup nilai-nilai dan keyakinan perawat tentang keselamatan yang

berhubungan dengan tugas, jadi jika tugas itu sendiri dianggap berisiko tinggi

terhadap kehidupan pasien, perawat akan lebih mungkin terlibat dalam perilaku

yang berhubungan dengan keselamatan. Feng et al (2008) mencatat bahwa sifat

dari tugas keperawatan kemudian mempengaruhi praktik dan nilai keselamatan

perawat

4. Subdimensi interaksi

Berfokus pada interaksi yang terjadi di antara perawat, pasien, dan sistem

perawatan kesehatan. Dua hal utama dalam subdimensi ini adalah komunikasi dan

kemitraan. Perawat harus mampu melaporkan kesalahan atau potensi kesalahan

tanpa takut disalahkan. Selain itu, perawat dan lainnya harus dapat belajar dari

pengungkapan ini. Dalam kemitraan, pentingnya ditempatkan pada hubungan

antara perawat dan pasien (dan keluarga), dan memperlakukan pasien sebagai

mitra dalam perawatan kesehatan, yang dikenal sebagai perawatan yang berpusat

pada pasien. Kemitraan ini perlu mencakup penghormatan terhadap keputusan

pribadi; memberikan informasi yang tidak bias dan lengkap; dan mendorong

kolaborasi dalam pembuatan keputusan perawatan kesehatan.

Budaya keselamatan pasien mempengaruhi keselamatan pasien dengan

memotivasi para profesional perawatan untuk memilih perilaku yang

meningkatkan bukan mengurangi program keselamatan pasien. Menurut Fleming

(2005) terdapat tujuh elemen dalam budaya keselamatan pasien yang meliputi; 1)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


27

Komitmen kepemimpinan untuk keselamatan, 2) Sumber daya organisasi untuk

keselamatan pasien, 3) Prioritas keamaman dari produksi, 4) Efektivitas dan

keterbukaan organisasi, 5) Keterbukaan tentang masalah dan kesalahan, 6)

pembelajaran organisasi, dan 7) Frekuensi tindakan tidak aman.

Langkah-Langkah Untuk Mengembangkan Budaya Keselamatan

Pasien

Menurut Hasting (2006) terdapat langkah-langkah untuk mengembangkan

budaya keselamatan pasien sebagai berikut;

1. Kembali fokus pada keselamatan pasien.

Pada langkah ini keselamatan pasien harus menjadi prioritas strategis dari

rumah sakit atau unit pelayanan kesehatan lainnya, untuk itu setiap staf yang

bekerja di rumah sakit harus memberikan yang terbaik dan teraman untuk pasien

dan setiap staf perlu mendapatkan dukungan.

2. Berpikir mudah dan membuat langkah mudah untuk meningkatkan

pelayanan.

Memberikan pelayanan kesehatan yang aman bagi pasien mungkin

membutuhkan langkah-langkah yang agak kompleks, tetapi dengan memecah

kompleksitas ini dan membuat langkah-langkah yang lebih mudah mungkin akan

peningkatan yang lebih nyata.

3. Mendorong sistem pencatatan sebagai prioritas.

Belajar dari pengalaman meskipun itu sesuatu yang salah adalah

pengalaman yang berharga. Koordinator keselamatan pasien dan manajer rumah

sakit harus membuat budaya yang mendorong pelaporan. Mencatat tindakan-

tindakan yang membahayakan sama pentingnya dengan mencatat tindakan-

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


28

tindakan yang menyelamatkan pasien. Diskusi terbuka mengenai insiden-insiden

yang terjadi bisa menjadi pembelajaran bagi staf.

4. Membuat sistem pencatatan sebagai prioritas.

Dibutuhkan sistem pencatatan data yang lebih baik untuk mempelajari dan

mengikuti perkembangan dari waktu kewaktu.

5. Gunakan pendekatan sistem yang menyeluruh bukan individu.

Keselamatan pasien tidak bisa menjadi tanggung jawab individual.

Pengembangan hanya bisa terjadi jik ada sistem pendukung yang adekuat. Staf

juga harus dilatih dan didorong untuk melakukan peningkatan kualitas pelayanan

dan keselamatan terhadap pasien. Tetapi jika pendekatan keselamatan pasien tidak

diintegrasikan secara utuh kedalam sistem yang berlaku di rumah sakit, maka

peningkatan yang terjadi hany bersifat sementara.

6. Mengembangkan sistem berpikir dan implementasi program.

Staf membutuhkan motivasi dan dukungan untuk mengembangkan

metedologi, sistem berpikir, dan implementasi program. Pimpinan sebagai

pengarah jalannya program memegang peranan kunci.

7. Melibatkan pasien dalam usaha keselamatan.

Keterlibatan pasien dalam pengembangan keselamatan pasien telah

terbukti dapat memberikan pengaruh yang positif walaupun saat ini masih kecil

tapi akan terus berkembang. Dimasukkannya perwakilan masyarakat umum dalam

komite keselamatan pasien adalah salah satu bentuk kontribusi aktif dari

masyarakat (pasien).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


29

8. Mengembangkan kepemimpinan keselamatan pasien yang berkualitas.

Prioritas keselamatan pasien, pembangunan sistem untuk pengumpulan

data-data berkualitas tinggi. Mendorong tidak saling menyalahkan, memotivasi

staf, dan melibatkan pasien dalam lingkungan kerja bukanlah sesuatu hal yang

bisa tercapai dalam semalam, diperlukan kepemimpinan ynag kuat, tim yang

kompak, serta dedikasi dan komitmen yang tinggi untuk tercapainya tujuan

pengembangan budaya keselamatan pasien.

Proses 10 Langkah Untuk Pengukuran Dan Peningkatan Budaya

Keselamatan Pasien

Menurut Kreimer (2010) apabila terdapat sedikit pengalaman dalam

melaksanakan pengukuran dan perbaikan dalam bidang kesehatan, akibatnya

dapat meningkatkan risiko gagalnya intervensi budaya keselamatan pasien untuk

mencapai tujuan keselamatan pasien. Intervensi budaya keselamatan umumnya

digunakan diindustri seperti tenaga nuklir dan industri petrokimia. Adapun

pelajaran yang dipetik dari industri-industri tersebut diringkas dalam 10 langkah

sebagai berikut;

1. Membangun kapasitas; pada tahap ini membuat tim kecil yang

berisikan perwakilan dari bagian kualitas, manajemen risiko dan staf klinis.

Semua anggota wajib mengembangkan pengetahuan mereka tentang budaya

keselamatan pasien dengan membawa referensi.

2. Pilih instrumen survei yang sesuai. Banyak tim peneliti

mengembangkan instrumen budaya keselamatan pasien. Organisasi perlu memilih

instrumen yang paling sesuai untuk tujuan mereka.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


30

3. Dukungan manajemen; dukungan manajemen diperlukan untuk suatu

intervensi. Pihak manajemen memberikan dukungan informasi yang berarti

mereka memahami proses survei, sumber daya yang dibutuhkan dan potensi

masalah dan hasil yang spesifik.

4. Libatkan staf perawatan kesehatan; Keterlibatan staf merupakan aspek

kunci dari budaya keselamatan positif dan bermanfaat melibatkan kelompok-

kelompok menjadi kunci dalam perencanaan dan pelaksanaan survei

5. Distribusi dan pengumpulan survei; Strategi distribusi dan

pengumpulan survei yang diadopsi dapat memiliki dampak respon yang besar.

Mempermudah partisipasi, aman dan relevan pada meningkatkan tingkat repon.

6. Analisis dan intrepretasi data; Melakukan survei budaya keselamatan

pasien dapat dengan mudah menghasilkan informasi yang lebih dan data yang

diperoleh dapat dianalisis.

7. Hasil umpan balik; Memberikan umpan balik dengan cepat dapat

membantu mempertahankan minat dan keterlibatan.

8. Menyetujui intervensi melalui konsultasi.

9. Mengimplementasikan intervensi; terdapat keluhan staf yang

berpartisipasi dalam survei budaya keselamatan pasien adalah kurangnya

implementasi berdasarkan survei,

10. Lacak perubahan; melacak perubahan persepsi merupakan tantangan

dalam survei.

Mengukur Budaya Keselamatan Pasien

Mengukur budaya keselamatan pasien merupakan salah satu langkah

dalam proses mengembangkan budaya keselamatan pasien. Budaya keselamatan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


31

dalam pengaturan layanan kesehatan biasanya dinilai melalui kuisoner kuantitatif

berdasarkan jumlah dan kombinasi dimensi.

Ada beberapa cara untuk mengetahui budaya keselamatan pasien rumah

sakit yaitu :

1. Bangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien.

Langkah ini merupakan langkah dari tujuh langkah menuju keselamatan

pasien (Permenkes No.11 Tahun 2017) yaitu pada langkah bangun kesadaran akan

nilai keselamatan pasien; ciptakan kepemimpinan dan budaya yang terbuka dan

adil. Pada langkah ini pastikan rumah sakit memiliki kebijakan yang menjabarkan

apa yang harus dilakukan staf segera setelah terjadi insiden, bagaimana langkah-

langkah pengumpulan fakta yang harus dilakukan dan dukungan apa yang yang

harus diberikan kepada staf, pasien dan keluarga. Pastikan rumah sakit memiliki

kebijakan yang menjabarkan peran dan akuntabilitas individual bilamana terjadi

insiden. Tumbuhkan budaya pelaporan dan belajar dari insiden yang telah terjadi

di rumah sakit. Lakukan assesmen dengan menggunakan survei penilaian

keselamatan pasien.

Bagi unit atau tim untuk memastikan rekan kerja merasa mampu untuk

berbicara mengenai kepedulian mereka dan berani melaporkan bilamana terjadi

insiden. Demontrasikan kepada tim dan ukuran-ukuran yang dipakai di rumah

sakit untuk memastikan semua laporan dibuat secara terbuka dan terjadi proses

pembelajaran serta pelaksanaan tindakan/solusi yang tepat.

2. Survei Rumah Sakit pada budaya keselamatan pasien menekankan pada

keselamatan pasien, kesalahan dan pelaporan kejadian.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


32

Survey yang dikembangkan oleh AHRQ (2016) dengan 12 komponen

dalam mengukur budaya keselamatan rumah sakit dan defenisinya yaitu: 1)

Keterbukaan komunikasi; Staf dengan bebas berbicara jika mereka melihat

sesuatu yang dapat berdampak negatif pada pasien dan merasa bebas untuk

menanyai mereka yang memiliki otoritas lebih. 2) Umpan balik dan komunikasi

tentang kesalahan; Staf diberitahu tentang kesalahan yang terjadi, diberi umpan

balik tentang perubahan yang diterapkan, dan mendiskusikan cara-cara untuk

mencegah kesalahan, 3) Frekuensi kejadian yang dilaporkan; Kesalahan dari tipe-

tipe berikut dilaporkan: kesalahan yang tertangkap dan dikoreksi sebelum

mempengaruhi pasien, kesalahan dengan tidak ada potensi untuk membahayakan

pasien, dan kesalahan yang dapat membahayakan pasien tetapi tidak,

4) Handoffs/Timbang terima dan Transisi; Informasi perawatan pasien

penting ditransfer di seluruh unit rumah sakit dan selama perubahan shift, 5)

Dukungan manajemen untuk keselamatan pasien; Manajemen rumah sakit

menyediakan iklim kerja yang meningkatkan keselamatan pasien dan

menunjukkan bahwa keselamatan pasien adalah prioritas utama, 6) Respons tidak

menguhukum terhadap kesalahan; Staf merasa bahwa kesalahan dan laporan

kejadian mereka tidak ditahan pada mereka dan kesalahan itu tidak disimpan

dalam file personel mereka, 7) Pembelajaran organisasi-perbaikan

berkesinambungan; Kesalahan telah menyebabkan perubahan positif dan

perubahan dievaluasi untuk efektivitas, 8) Persepsi keseluruhan tentang

keselamatan pasien; Prosedur dan sistem yang baik dalam mencegah kesalahan

dan mengurangi masalah keselamatan pasien, 9) Kepegawaian; Ada cukup staf

untuk menangani beban kerja dan jam kerja yang tepat untuk memberikan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


33

perawatan terbaik bagi pasien, 10) Harapan pengawas/ manajer dan tindakan

mempromosikan keselamatan pasien; Pengawas/ manajer mempertimbangkan

saran staf untuk tindakan mempromosikan keselamatan pasien yang

meningkatkan keselamatan pasien, memuji staf untuk mengikuti prosedur

keselamatan pasien, dan tidak mengabaikan masalah keselamatan pasien, 11)

Kerja Tim di Seluruh Unit; Unit rumah sakit bekerja sama dan berkoordinasi satu

sama lain untuk memberikan perawatan terbaik bagi pasien, 12) Kerja tim dalam

unit; Staf saling mendukung satu sama lain, memperlakukan satu sama lain

dengan rasa hormat, dan bekerja bersama sebagai satu tim

3. Instrumen Safety Attitudes Quistionare (SAQ)

Pada survey budaya keselamatan pasien yang terdiri dari enam elemen

keselamatan pasien utama: iklim kerja tim, iklim keselamatan, kepuasan kerja,

persepsi manajemen, kondisi kerja dan pengakuan stres (Boundevik et all, 2014)

4. Survei Organisasi Perawatan Kesehatan (PSCHO)

Pada survey budaya keselamatan pasien yang terdiri dari elemen-elemen

yaitu: 1) Keterlibatan manajer senior, 2) Sumber daya organisasi untuk keamanan,

3) Penekanan keseluruhan pada keamanan, 4) Norma keselamatan unit, 5)

Pengenalan dan dukungan unit untuk upaya keselamatan, 6) Takut malu, 7)

Penyediaan perawatan yang aman, 8) Belajar, dan 9) Takut disalahkan

5. Modified Stanford Budaya keselamatan pasien Survey Instrument (MSI)

Pada survey budaya keselamatan pasien yang terdiri dari tiga elemen yang

mempengaruhi budaya keselamatan pasien yaitu; nilai keselamatan, takut dan

reaksi negatif dan persepsi keselamatan.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


34

Meningkatkan Budaya Keselamatan Melalui Intervensi

Meningkatkan budaya keselamatan suatu organisasi belum cukup dengan

mendeskripsikannya tetapi sebaliknya meningkatkan budaya keselamatan paling

sering dicapai dengan melaksanakan sejumlah intervensi, sering menargetkan satu

atau lebih dimensi budaya keselamatan pada suatu waktu. Langkah - langkah

berikut untuk meningkatkan keandalan adalah: menilai budaya keselamatan,

memberikan pendidikan ilmu keamanan, mengidentifikasi masalah keamanan,

membangun kemitraan kepemimpinan senior dengan unit, belajar dari satu cacat

keamanan per bulan, dan menilai kembali budaya.

Menurut Halligan dan Zecevic (2014) beberapa intervensi untuk

meningkatkan keamanan yang paling sering adalah melalui; pelatihan tim,

penciptaan tim keselamatan pasien, dan program pelatihan kepemimpinan

'keselamatan' dan keselamatan pasien, sedangkan intervensi lain yang kurang

sering dilaksanakan, seperti audit keselamatan, pelaporan kejadian dan sistem

analisis, dan penyebaran informasi terkait keselamatan pasien kepada staf dan

pasien.

Berdasarkan hasil penelitian kualitatif tentang faktor-faktor yang

mempengaruhi penerapan intervensi rumah sakit untuk mendorong

profesionalisme dan membangun budaya keselamatan yaitu; 1) mempertahankan

iklim implementasi yang menguntungkan, 2) para pemimpin secara konsisten

menunjukkan perilaku yang mendukung budaya keselamatan, 3) meningkatkan

kompatibilitas kondisi kerja dengan tujuan intervensi, 4) membangun kepercayaan

dalam sistem untuk mengatasi perilaku tidak profesional, dan 5) menanggapi

kebutuhan yang berkembang (McKenzie et al., 2019)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


35

Tingkat Maturitas Budaya Keselamatan Pasien

Tingkat kematangan (maturity) organisasi dalam menerapkan budaya

keselamaan pasien terdiri dari 5 tingkatan yaitu patologis, reaktif, kalkulatif,

proaktif dan generatif.

Menurut Manchester Patient Survey Assessment Framework (MaPSaf)

mengembangkan 5 tingkatan sebagai pedoman bagi organisasi dalam

mengembangkan budaya keselamatan pasien (Fleming & Wenztel, 2008).

Tabel 2.1. Tingkat Maturitas Budaya Keselamatan Pasien (Manchester


Patient Survey Assessment Framework (MaPSaF)
No Tingkat Pendekatan dalam Peningkatan Budaya
Maturitas Keselamatan Pasien
1 Patologis Organisasi belum memiliki sistem yang mendukung
kultur keselamatan pasien dan masih menyalahkan
2 Reaktif Organisasi hanya memikirkan keselamatan setelah
insiden. hanya sekedar menjawab akreditasi organisasi
dan reaktif terhadap cedera medis yang terjadi.
3 Kalkulatif Sistem sudah terbuka namun implementasi masih
bersifat segmental
4 Proaktif Organisasi aktif meningkatkan persepsi keselamatan,
brsifat komfrehensif dan melibatkan stakeholder
5 Generatif Budaya keselamatan pasien menjadi terintegrasi dalam
organisasi, mengevaluasi efektifitas intervensi dan
selalu belajar dari kegagalan sebelumnya

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


36

Konsep Fenomenologi

Fenomenologi adalah salah satu pendekatan dalam penelitian kualitatif

yang memiliki akar disipilin ilmu filsafat maupun psikologi yang berfokus pada

pengalaman hidup manusia. Riset fenomenologi didasarkan pada falsafah

fenomenologi yang didukung oleh Edmen Husserl pada tahun 1859-1938. Husserl

menyatakan bahwa persfektif fenomenologi memberikan deskripsi, refleksi,

interpretasi dan modus riset yang menyampaikan intisari dari pengalaman

individu yang diteliti. Pengalaman individu dapat berupa persepsi individu tentang

keberadaannya didunia, kepercayaan dan nilai-nilai yang dimilikinya berdasarkan

sudut pandangnya (Van Manen, 2007). Seorang fenomenolog memiliki keyakinan

bahwa kebenaran utama tentang realitas didasarkan pada pengalaman hidup

seseorang. Pengalaman yang dimaksud adalah yang bersifat universal yang

dialami seorang individu terhadap suatu fenomena yang dialaminya dalam

kehidupan sehari-hari. Penelitian fenomenologi berusaha untuk memahami respon

seluruh manusia terhadap suatu hal atau sejumlah situasi (Polit & Beck, 2012)

Penggunaan desain penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi

bertujuan untuk mendeskripsikan, menginterpretasikan, memperoleh data lebih

komprehensif dan menganalisis data seacara mendalam, credible dan bermakna

dari pengalaman tersebut dan dibentuk dalam bentuk cerita, narasi, dan bahasa

sehingga fenomenologi dihubungkan dengan istilah hermeutics (ilmu tentang

interpretasi dan eksplanasi) (Polit & Beck, 2012).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


37

Jenis-Jenis Penelitian Fenomenologi

Menurut Polit dan Beck (2012), penelitian fenomenologi dapat dibagi

menjadi dua yaitu :

Fenomenologi Deskriptif

Fenomenologi deskriptif dikembangkan pertama kali oleh Husserl pada

tahun 1962, dimana pada penelitian ini menekankan pada deskripsi pengalaman

yang dialami oleh manusia dari pengalaman kehidupan sehari-hari berdasarkan

apa yang didengar, dilihat, diyakini, dirasakan, diingat, dievaluasi, diputuskan,

dievaluasi, dan dilakukan. Fokus utama fenomenologi deskriptif adalah „knowing.

Terdapat tahapan dalam fenomenologi deskriptif yaitu; bracketing, intuiting,

analyzing dan describing (Polit & Beck, 2012).

Bracketing merupakan proses mengidentifikasi, mensupresi dan

menyimpan berbagai asumsi, pengetahuan yang dimiliki peneliti tentang

fenomena yang diteliti. Tahap ini bertujuan untuk memperoleh data yang benar-

benar alamiah dari partisipan tanpa dipengaruhi oleh asumsi, pengetahuan dan

keyakinan peneliti.

Selanjutnya tahap Intuiting. Tahap ini peneliti secara total memahami

fenomena yang diteliti dan peneliti mengeksplorasi pengalaman partisipan dengan

cara observasi, wawancara penemuan dokumen-dokumen tertulis dan menuliskan

catatan lapangan. Selanjutnya tahap analyzing, peneliti mengidentifikasi dan

menganalisis data yang ditemukan dengan cara mengekstraksi pernyataan yang

signifikan, mengelompokkan dan memahami makna penting dari fenomena.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


38

Tahap terakhir adalah tahap describing, peneliti menuliskan

interpretasinya dalam bentuk hasil-hasil temuan dan pembahasannya dari

fenomena yang diteliti kemudian mengkomunikasikan hasil akhir kepada

pembaca dari fenomena yang diteliti

Fenomenologi Interpretative

Interpretative Phenomenology dikembangkan oleh Heidegger pada tahun

1962. Filosofi yang dianut oleh Heidegger berbeda dengan Husserl. Inti

filosofinya ditekankan pada pemahaman dan interpretif (penafsiran), tidak sekedar

mendeskripsikan pengalaman manusia. Pengalaman hidup manusia merupakan

suatu proses interpretatif dan pemahaman yang merupakan ciri dasar keberadaan

manusia. Pada pendekatan fenomenologi interpretatif peneliti tidak harus

melakukan bracketing karena tidak dimungkinkan seseorang mensupresi

keyakinan dan pengetahuannya tentang feneomena yang sedang ditelitinya

Didalam studi fenomenologi, sumber data utama berasal dari perbincangan

yang cukup dalam (in-depth interview) antara peneliti dan partisipan dimana

peneliti membantu partisipan untuk menggambarkan pengalaman hidupnya tanpa

adanya suatu diskusi. Melalui perbincangan yang cukup dalam peneliti berusaha

untuk menggali informasi sebanyak mungkin dari partisipan (Polit & Beck, 2012).

Pada proses in-depth interview peneliti mengajukan sejumlah pertanyaan kepada

partisipan dengan panduan wawancara (interview guide) yang berupa pertanyaan-

pertanyaan terbuka yang telah disiapkan oleh peneliti. Panduan wawancara akan

membantu peneliti dalam mewawancarai partisipan agar lebih fokus dan

mendalam.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


39

Teknik wawancara yang digunakan adalah teknik wawancara semi struktur

dengan pertanyaan open-ended yang dapat memberikan kebebasan umtuk

mengekspresikan apa yang dirasakan oleh partisipan. Selain dengan teknik

wawancara pengumpulan data dapat dilakukan dengan cara observasi, focus

groups discusion (FGD) sedangkan alat pengumpulan data utama adalah peneliti

sendiri, dan alat bantu lainnya seperti panduan wawancara, panduan observasi,

catatan lapangan, dan alat perekam suara atau gambar

Hasil penelitian dalam studi fenomenologi diperoleh melalui proses

analisis data. Fenomenologist dalam proses analisis data yang terkenal adalah

Colaizzi, Giorgi dan Van Kaam. Ketiga tokoh tersebut berpedoman pada filosofi

Husserl yang mana fokus utamanya adalah mengetahui gambaran sebuah

fenomena (Polit & Beck, 2012). Colaizzi (1978, dalam Polit & Beck, 2012)

menyatakan bahwa ada tujuh langkah yang harus dilalui untuk menganalisa data.

Proses analisa tersebut meliputi; 1) membaca semua transkrip wawancara untuk

mendapatkan perasaan, 2) meninjau setiap transkrip dan menarik pernyataan yang

signifikan, 3) menguraikan arti dari setiap pernyataan yang signifikan, 4)

mengelompokkan makna-makna tersebut kedalam kelompok-kelompok tema, 5)

mengintegrasikan hasil kedalam bentuk deskripsi, 6) memformulasikan deskripsi

lengkap dari fenomena yang diteliti sebagai identifikasi pernyataan setegas

mungkin 7) memvalidasi apa yang telah ditemukan kepada partisipan sebagai

tahap validasi akhir.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


40

Keabsahan Data (Trustworthiness of Data)

Tujuan uji keabsahan data adalah untuk meningkatkan derajat kepercayaan

data. Menurut Lincoln & Guba (1985, dalam Polit & Beck, 2012) untuk

memperoleh hasil penelitian yang dapat dipercaya (trustworthiness) maka data

divalidasi dengan cara uji kredibilitas (credibility), transferability, dependability,

confirmability dan authenticity.

Credibility merupakan kriteria untuk memenuhi nilai kebenaran dari data

dan informasi yang dikumpulkan. Artinya, hasil penelitian harus dapat dipercaya

oleh semua pembaca secara kritis dan dari responden sebagai informan.

Credibility termasuk validitas internal. Kredibilitas suatu penelitian dapat dicapai

ketika peneliti dapat mengembangkan dan menginterpretasikan pengalaman

partisipan yang sedang ditelitinya, dalam hal ini kesadaran peneliti merupakan

suatu hal yang esensial. Kredibilitas dapat dicapai dengan prolonged engagement,

catatan lapangan yang komprehensif, hasil rekaman dan transkrip, triangulasi data

dan member checking.

Transferability merupakan validitas eksternal yang berarti sejauhmana

penelitian ini dapat dilakukan pada situasi dan di tempat yang berbeda. Seorang

peneliti harus dapat menyediakan deskripsi data yang baik pada laporan

penelitiannya sehingga orang lain dapat mengaplikasikannya ke dalam konteks

yang berbeda.

Dependability mengacu pada kekonsistenan peneliti dalam mengumpulkan

data, membentuk dan menggunakan konsep-konsep ketika membuat interpretasi

untuk menarik kesimpulan. Kriteria ini dapat digunakan untuk menilai apakah

proses penelitian kualitatif bermutu atau tidak. Teknik terbaik adalah audit trail

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


41

yaitu meminta dependen atau independen auditor untuk memeriksa aktifitas

peneliti. Dependability menurut istilah konvensional disebut reliabilitas atau

syarat bagi validitas.

Confirmability memfokuskan apakah hasil penelitian dapat dibuktikan

kebenarannya dimana hasil penelitian sesuai dengan data yang dikumpulkan dan

dicantumkan dalam laporan lapangan. Hal ini dilakukan dengan membicarakan

hasil penelitian dengan orang yang tidak ikut dan tidak berkepentingan dalam

penelitian dengan tujuan agar hasil dapat lebih objektif. Confirmability merupakan

kriteria untuk menilai kualitas hasil penelitian.

Authenticity mengacu pada sejauh mana peneliti dengan jujur menunjukkan

kenyataan yang terjadi. Keaslian muncul dalam laporan ketika laporan tersebut

dapat menyampaikan perasaan partisipan.

Landasan Teori Keperawatan

Teori Imogene M. King menggunakan pendekatan sistem dalam

pengembangan sistem konseptual dan teori middle-range. Teori yang

dikembangkan King adalah “Teori Pencapaian Tujuan (Theory of Goal

Attainment)” dengan kerangka konsep sebagai sistem terbuka dan teori sebagai

tujuan yang dicapai (Alligood, 2017). Pada teori ini King menjelaskan hubungan

interpersonal antara perawat-klien dengan untuk mencapai tujuan dengan

menggunakan hubungan interaksi sistem terbuka yang terdiri dari sistem personal,

sistem interpersonal dan sistem sosial (Alligood, 2013)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


42

Sistem Sosial

Sistem Interpersonal

Sistem Personal

Gambar 2.1. Kerangka Konseptual; Sistem Interaksi Dinamis

1. Sistem Personal

Sistem personal meliputi persepsi, diri, pertumbungan dan perkembangan,

citra diri, ruang dan waktu. 1) Persepsi menggambarkan suatu objek atau kejadian

dan dapat berbeda antara satu orang dengan yang lainnya memiliki karakteristik

yang universal dan bersifat subjektif. 2) Diri (self). Diri adalah individu (aku)

yang dinamis, terbuka dan mempunyai tujuan. 3) Pertumbuhan dan

perkembangan (growth and development). Yang meliputi fisik dan mental yang

dipengaruhi oleh faktor genetik dan pengalaman dan akan mencapai aktualisasi

dirinya. 4) Citra diri (body image). Bersifat personal dan dinamis yang merupakan

persepsi dari seseorang bagaimana memandang tubuh dan reaksi pada dirinya. 5)

Ruang (space). Ruang bergantung pada persepsi setiap individu, bersifat subjektif

yang menggambarkan jarak atau situasi yang dialami seseorang. 6) Waktu (time).

Bersifat subjektif yang merupakan masa bagian dari kehidupan individu dari masa

lalu kemasa berikutnya.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


43

2. Sistem Interpersonal

Sistem interpersonal meliputi beberapa konsep yaitu; 1) Interaksi. Interaksi

adalah hasil hubungan seseorang yang diamati dari perilakunya. 2) Komunikasi.

Proses penyampaian informasi dari satu orang ke orang lainnya dapat dilakukan

secara langsung dan tidak langsung. Komunikasi dapat dilakukan secara verbal

dan non verbal yaitu secara lisan maupun tertulis dalam menyampaikan. 3)

Transaksi. Adalah realitas dari seseorang yang tergantung dari perspsinya. 4)

Peran. Peran adalah yang dilakukan pada kehidupan nya kadang memberi atu

menerima. 5) Stress. Stress adalah keadaan yang dialami individu dari

lingkungannya yang berguna keseimbangan petumbuhan dan perkembangannya

3. Sistem Sosial

Sistem sosial meliputi: organisasi, pembuatan keputusan, otoritas,

kekuasaan dan status. 1) Organisasi. berisikan otoritas atau wewenang, bersifat

aktif, hubungan timbal balik yang memperangaruhi posisi dalam organisasi yang

terkait dengan kekuasaan. Kekuasaan adalah sumber-sumber dalam organisasi

yang bersifat dinamis, esensial yang berorientasikan tujuan. Pembuatan

Keputusan. Yang mengatur anggota dalam organisasi dalam setiap aktivitas yang

terjadi sehingga tujuan tercapai. 3) Status. Adalah suatu posisi yang berganti,

menetap dan berubah dalam suatu organisasi yang memiliki hak-hak dan

wewenang, dan kewajiban dalam melaksanakan tugas dalam organisasi. King

menyatakan ketiga sistem tersebut mempengaruhi hubungan timbal balik antara

perawat-klien dalam asuhan keperawatan yang mana terjadinya proses interaksi

dinamis dipengaruhi oleh perilaku perawat dan klien dan lingkungan mereka

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


44

Relevansi Teori

Perawat sebagai tenaga pelayanan perawatan kesehatan di rumah sakit dan

sebagai sistem personal yang memilki sikap, nilai, keterampilan dan bahkan

perilaku untuk berkomitmen pada manajemen keselamatan pasien yang

merupakan salah faktor yang dapat mendukung budaya keselamatan pasien rumah

sakit. Untuk mewujudkan pelayanan perawatan yang aman dan efisien

mengharuskan perawat melakukan interaksi dan koordinasi dengan semua elemen

di rumah sakit baik dengan sesama perawat dan tim perawatan kesehatan lainnya.

Komunikasi diperlukan dalam hubungan perawat-klien, dimana perawat dituntut

keterampilan nya untuk mengkomunikasi tentang pelayanan yang diberikan

kepada pasien dan keluarga dan perawat juga dapat mengkomunikasi bahaya atau

laporan kejadian yang tak diinginkan yaang terjadi pada pasien kepada tim

perawatan kesehatan lainnya untuk mendukung budaya keselamatan pasien di

rumah sakit. Perawat dalam melakukan interaksi dipengaruhi lingkungan.

Lingkungan di rumah sakit merupakan dapat mempengaruhi perawat dalam

menerapkan budaya keselamatan pasien. Lingkungan kerja yang kondusif dapat

menjadi faktor yang penting untuk perilaku keselamatan perawat, meningkatkan

kepuasan kerja perawat, mengurangi stres dan kelelahan, dan menghasilkan

perawatan yang lebih berkualitas sebaliknya lingkungan kerja yang menekan

berdampak negatif bagi pasien dan perawat yang dapat dimanifestasikan dalam

peningkatan tingkat infeksi atau tingkat kematian pasien (Yoo and Kim, 2017).

Peran pimpinan organisasi diharapkan dalam membangun budaya

keselamatan pasien karena dengan adanya dukungan manajemen dapat

meningkatkan keselamatan pasien di rumah sakit. Terbentuknya budaya

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


45

keselamatan pasien yang kuat dipengaruhi dengan kinerja organisasi yang baik,

administrator, dan pembuat kebijakan di rumah sakit, maka diperlukan seorang

pemimpin yang berkomitmen untuk memprioritaskan dan membuat keselamatan

pasien melalui tindakan sehari-hari dalam menciptakan budaya keselamatan

pasien sehingga dapat mencapai tujuan yaitu insiden kejadian yang tidak

diharapkan dirumah sakit pada nilai zerro defect (tingkat insidensi 0 %) yang

merupakan tujuan dari keselamatan pasien..

Adapun skema relevansi teori pencapaian tujuan dengan budaya

keselamatan pasien dalam interaksi dinamis perawat seperti dibawah ini.

Perawat
Perawat
Tim kesehatan lain
pelaksana
Pasien/keluarga pasien

Budaya keselamatan pasien; ciptakan kepemimpinan


dan budaya yang terbuka dan adil (Permenkes No.11
Tahun 2017) dan SNARS 2017 adalah tindakan yang
dilakukan oleh perawat pelaksana yang mencerminkan
dimensi budaya keselamatan pasien yaitu;
keterbukaan dan melaporkan ketika terjadi kejadian
insiden keselamatan pasien, keadilan antara perawat
ketika terjadi insiden keselamatan pasien dan
menghindari budaya menyalahkan, serta pembelajaran
terhadap suatu kesalahan atau insiden keselamatan
pasien

Skema 2.1. Relevansi teori

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


46

BAB 3

METODE PENELITIAN

Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan

fenomenologi desktriptif yang dikembangkan oleh Husserl. Filosofi dalam

fenomenologi desktriptif yang mengeksplorasi secara langsung, menganalisis, dan

mendeskripsikan fenomena yang diteliti melalui pengungkapan intuisi peneliti

secara maksimal terhadap fenomena yang diteliti (Polit & Beck, 2012).

Pendekatan fenomenologi desktriptif merupakan suatu proses penelitian

yang berdasarkan pada metodologi yang menyelidiki fenomena sosial dan

masalah manusia, berdasarkan pada deskripsi dari pengalaman hidup sehari-hari

yang disadari oleh individu yang terdiri dari dari beberapa hal yang ada dalam

pendengaran, penglihatan, perasaan, kepercayaan, evaluasi dan tindakan (Polit &

Beck, 2012). Fenomenologi percaya bahwa pengalaman hidup pada partisipan

penelitian memberikan makna pada persepsi setiap individu.

Fenomena yang diteliti dalam penelitian ini adalah pengalaman perawat

pelaksana yang menerapkan budaya keselamatan pasien di Rumah Sakit

Universitas Sumatera Utara. Peneliti melakukan penelitian fenomenologi

deskriptif dengan tujuan untuk mengeksplorasi lebih dalam pengalaman perawat

dalam menerapkan budaya keselamatan pasien di rumah sakit USU.

Adapun tahapan-tahapan dalam penelitian fenomenologi deskriptif yaitu

bracketing, intuiting, analyzing dan describing (Polit & Beck, 2012).

Tahapan pertama yaitu bracketing. Merupakan proses mengidentifikasi,

mensupresi dan menyimpan berbagai asumsi, pengetahuan yang dimiliki peneliti

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


47

tentang fenomena yang diteliti. Untuk memenuhi tahapan ini peneliti

menggunakan pertanyaan terbuka dan tidak mengarahkan perawat untuk menggali

informasi, tidak menggunakan pengetahuan dan keyakinan peneliti sehingga

didapatkan pengalaman partisipan yang sebenarnya.

Tahapan kedua yaitu intuiting. Tahap ini peneliti secara total memahami

fenomena yang diteliti dan peneliti mengeksplorasi pengalaman partisipan dengan

cara wawancara dan menggunakan field note. Peneliti berusaha menyimak setiap

informasi yang disampaikan oleh perawat sehingga peneliti memahami dan

merasakan pengalaman perawat tersebut. Selain itu peneliti juga memperhatikan

respon non verbal perawat berupa ekspresi wajah, bahasa tubuh dan reaksi

perawat saat berbicara.

Tahapan ketiga yaitu analyzing. Peneliti membaca transkrip wawancara

berulang-ulang, mengidentifikasi dan menganalisis data yang ditemukan dengan

cara mengekstraksi pernyataan yang signifikan, mengelompokkan dan memahami

makna penting dari fenomena.

Tahapan terakhir adalah describing. Tahapan ini bertujuan

mengkomunikasi dan menggambarkan fenomena secara verbal dan tertulis.

Deskripsi fenomena pengalaman perawat pelaksana dalam menerapkan budaya

keselamatan pasien ini peneliti tuangkan dalam bentuk laporan hasil penelitian

secara rinci agar mudah difahami bagi yang membacanya.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


48

Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Universitas Sumatera Utara.

Rumah Sakit Universitas Sumatera Utara di pilih sebagai lokasi penelitian dengan

pertimbangan; Rumah Sakit USU adalah rumah sakit pendidikan yang sudah

beroperasional dari tahun 2016 dan telah melalui proses akreditasi rumah sakit.

Rumah Sakit Universitas Sumatera Utara belum dilakukan penilaian budaya

keselamatan pasien, dan kemudahan akses terhadap partisipan di rumah sakit.

Waktu Penelitian

Proses pengumpulan data dan proses analisa data dilakukan dari bulan

Agustus sampai dengan Oktober 2019

Partisipan

Partisipan penelitian disebut informan yaitu seseorang yang memberikan

informasi tentang fenomena-fenomena yang ada dilapangan. Partisipan yang akan

dipilih dengan memperhatikan karakteristik tertentu sesuai dengan topik dan

fenomena yang diteliti. Partisipan yang baik dalam penelitian fenomenologi

adalah orang yang berpengetahuan luas, pandai berbicara, reflektif, dan bersedia

berbicara panjang lebar dengan peneliti (Polit & Beck, 2012)

Partisipan dalam penelitian ini adalah perawat pelaksana di Rumah Sakit

Universitas Sumatera Utara yang ditempatkan diruang rawat inap, IGD,

PICU/NICU, Instalasi Bedah Pusat (IBP), Ruang Hemodialisa dan ICU. Dalam

penelitian kualitatif pada umumnya tidak ditentukan pada tahap usulan penelitian

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


49

disebabkan karena ukuran sampel yang diperlukan pada suatu studi kualitatif

disesuaikan dengan ketercapaian kelengkapan informasi atau data yang diperlukan

atau dengan kata lain telah tercapai kejenuhan (saturated) data atau tidak terdapat

informasi baru yang ditemukan. Jumlah partisipan dari penelitian fenomenologi

dapat 10 orang atau lebih sedikit (Polit & Beck, 2012). Partisipan yang terlibat

dalam penelitian berjumlah sebanyak 15 perawat pelaksana. Pada penelitian ini

sudah terjadi saturasi data saat partisipan ke 15 yaitu informasi yang ditemukan

telah mengalami pengulangan dan mempunyai makna yang sama dengan partisipan

sebelumnya, sehingga tidak ada informasi yang baru maka pengambilan data

dihentikan dan jumlah partisipan tidak bertambah.

Pemilihan partisipan dalam penelitian ini menggunakan metode purposive

sampling yaitu metode pemilihan partisipan dalam suatu penelitian dengan

menentukan terlebih dahulu kriteria yang akan dimasukkan dalam penelitian

(Polit & Beck, 2012). Adapun kriteria partisipan dalam penelitian ini berdasarkan

kriteria inklusi adalah: 1) perawat yang sudah bekerja di Rumah Sakit USU

minimal 6 bulan, 2) bersedia untuk diwawancarai dan direkam aktifitasnya selama

wawancara atau selama penelitian berlangsung dengan menandatangi informed

consent, 3) mampu menceritakan pengalamannya dengan baik sehingga diperoleh

informasi yang lebih kaya (rich information).

Partisipan ditentukan dengan menggunakan teknik purposive sampling

yang dipilih dengan pertimbangan dan tujuan tertentu sehingga memberikan data

yang diperlukan. Pada penelitian ini peneliti memilih partisipan sesuai dengan

kriteria inklusi dan yang dapat menceritakan pengalaman dengan baik dengan cara

menanyakan kepada kepala ruang atau ketua tim yang mengenal lebih dekat

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


50

perawat pelaksana tersebut. Setelah mendapatkan informasi mengenai partisipan

tersebut peneliti mencoba mendekati partisipan tersebut dan menanyakan

kesediaannya untuk bersedia menjadi informan dalam penelitian ini.

Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan

metode wawancara secara mendalam (indepth interview) yang dilakukan oleh

peneliti sendiri selama 50-60 menit dengan tujuan untuk mendapatkan informasi

tentang fenomena dari semua partisipan penelitian. Peneliti menyiapkan

pertanyaan-pertanyaan sebagai panduan wawancara (interview guide) yang berupa

pertanyaan-pertanyaan terbuka yang telah disiapkan oleh peneliti sebanyak lima

pertanyaan untuk diajukan kepada partisipan. Panduan wawancara akan

membantu peneliti dalam mewawancarai agar lebih fokus dan mendalam untuk

mendapatkan informasi dan data lainnya di lokasi penelitian.

Teknik wawancara yang digunakan adalah teknik wawancara semi

terstruktur dengan pertanyaan open-ended yaitu pada saat wawancara peneliti

mengajukan pertanyaan yang bersifat terbuka. Pada saat pengumpulan data

peneliti sebisa mungkin tidak hanya fokus pada pedoman wawancara tetapi lebih

memfokuskan diri pada pernyataan atau jawaban dari partisipan sehingga

informasi yang diutarakan partisipan lebih dapat dipahami dan juga

memungkinkan peneliti untuk menggali lebih dalam tentang apa yang

disampaikan oleh partisipan tentang pengalamannya.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


51

Selama proses wawancara peneliti memberikan kebebasan kepada partisipan

untuk membagikan pengalamannya sehingga yang didapatkan berupa informasi

yang alami dari partisipan sendiri.

Alat Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data dalam penelitian ini adalah kuisioner data

demografi, panduan wawancara, catatan lapangan (field note) dan perekam suara

(voice recorder) Samsung Galaxy G5. Peneliti sebagai alat pengumpulan data

yang utama atau sebagai instrumen penelitian dalam penelitian ini. Peneliti

melakukan studi fenomenologi dengan menggunakan dirinya sendiri untuk

mengumpulkan data sebanyak-banyaknya dari partisipan tentang pengalamannya

dalam menerapkan budaya keselamatan pasien di rumah sakit USU dan

mengembangakan hubungan antara peneliti dan partisipan melalaui wawancara

yang intensif.

Pada saat melakukan wawancara untuk menggali pengalaman perawat

pelaksana, peneliti melakukan proses bracketing (peneliti mengurung asumsi dan

pengetahuan tentang fenomena) yaitu peneliti menyimpan pengetahuan ataupun

pemahaman peneliti tentang fenomena yang digali dari partisipan dengan tujuan

peneliti ingin mendapatkan data yang alami dari partisipan. Peneiliti

memposisikan sebagai instrumen dan berusaha mengembangkan pertanyaan

(probing) yang diajukan kepada partisipan untuk menggali lebih banyak informasi

dari partisipan.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


52

Pada penelitian ini peneliti menggunakan kuisioner demografi berisikan;

usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status menikah, dan lama bekerja di

rumah sakit dan rungan/unit bekerja di Rumah Sakit USU. Data demografi ini

peneliti jadikan sebagai pelengkap data pada penelitian ini.

Peneliti menggunakan panduan wawancara (guide interview) selama

proses pengumpulan data dalam bentuk pertanyaan terbuka dan berbentuk semi

struktur. Pertanyaan pada penelitian ini sebanyak lima butir yang dibuat oleh

peneliti sendiri berdasarkan landasan teori. Panduan wawancara dibuat untuk

memudahkan peneliti supaya jalannya wawancara terarah dan sesuai dengan

tujuan penelitian. Selain itu panduan wawancara digunakan untuk mengingatkan

peneliti terhadap pokok permasalahan yang dibahas.

Panduan wawancara telah dilakukan uji validitas (content validity) kepada

3 orang yang expert dengan tujuan untuk menilai relevansi dari setiap item dengan

ukuran yang diinginkan. Hasil content validity index (CVI) untuk panduan

wawancara pada penelitian ini bernilai 0.88 (nilai CVI > 0.8 ini bermakna bahwa

panduan wawancara memiliki isi yang valid/relevan). Berdasarkan hasil dari

validasi lima pertanyaan yang dibuat peneliti telah clear, simplicity, ambiguity dan

relevant dengan penelitian.

Alat pengumpulan data dalam penelitian ini selain panduan wawancara

juga menggunakan catatan lapangan (field note). Catatan lapangan adalah catatan

tertulis tentang apa yang didengar, dilihat, dialami, dipikirkan dalam rangka

pengumpulan data dan refleksi terhadap data dalam peneltian kualitatif. Catatan

lapangan berupa dokumentasi respon non verbal selama proses wawancara

berlangsung. Alat pengumpulan data yang lain adalah alat perekam suara (voice

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


53

recorder) untuk merekam selama proses wawancara, kemudian hasil wawancara

akan diketik dalam bentuk transkrip wawancara.

Prosedur Pengumpulan Data

Prosedur pengumpulan data dilakukan peneliti setelah mendapatkan surat

izin lulus uji etik (ethical clearence) dari Fakultas Keperawatan Universitas

Sumatera Utara. Surat tersebut diserahkan kepada Rumah Sakit USU bagian

pendidkan dan pelatihan. Setelah mendapat izin dari Rumah Sakit USU

selanjutnya peneliti melakukan pendekatan kepada perawat pelaksana sesuai

kriteria inklusi di Rumah Sakit USU.

Sebelum melakukan wawancara terhadap partisipan penelitian, peneliti

melakukan pilot study yang bertujuan sebagai latihan dalam melakukan teknik

wawancara membuat transkrip wawancara. Pilot study dilakukan dengan cara

mewawancarai seorang perawat pelaksana. Pilot study pada penelitian ini

dilakukan untuk menguji apakah peneliti sebagai instrumen sudah cukup baik

dalam melakukan wawancara dan melakukan analisa data kualitatif. Peneliti

melakukan satu kali wawancara kepada seorang partisipan dan hasil wawancara

dari pilot study dibuat dalam bentuk transkrip dan dilakukan analisa data dan

didapatkan lima tema kemudian dikonsultasikan dengan pembimbing. Setelah

mendapat persetujuan pembimbing, kemudian peneliti melanjutkan wawancara

kepada partisipan berikutnya

Tahap selanjutnya, peneliti melakukan pendekatan dengan masing-masing

partisipan sesuai dengan kriteria inklusi peneliti. Pendekatan (prolonged

engagement) dilakukan peneliti berlangsung kurang lebih dua minggu dengan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


54

tujuan untuk membangun hubungan kepercayaan, pemahaman dan hubungan

yang baik dengan partisipan. Adapun dalam tahap ini yang peneliti lakukan adalah

memperkenalkan diri, menjelaskan maksud dan tujuan dan cara mengumpulkan

data dari partisipan. Pada saat melakukan pendekatan kepada partisipan peneliti

tidak mendapatkan hambatan dan difasilitasi oleh kepala ruang dan ketua tim

ruangan. Peneliti melakukan pendekatan sebanyak 2-3 kali pertemuan kepada

partisipan. Pertemuan pertama peneliti kepada semua partisipan yaitu dengan

memperkenalkan diri, maksud dan tujuan bagi partisipan dan penelti serta cara

melakukan penelitian, selanjutnya pada pertemuan kedua peneliti membina

hubungan lebih lanjut untuk menciptakan kepercayaan partisipan kepada peneliti

dan memahami persepsi dan kondisi partisipan terkait fenomena yang diteliti, dan

pada pertemuan ketiga peneliti memberikan informed consent sebagai bukti

persetujuan partisipan terlibat dalam penelitian.

Selanjutnya membuat kontrak waktu dan tempat untuk wawancara.

Peneliti membuat kontrak waktu untuk wawancara dengan berkomunikasi

langsung saat peneliti keruangan perawat dan melalui via media sosial. Lokasi

wawancara yang dilakukan dengan kondisi tenang, nyaman dan menjaga privasi

partisipan. Pada penelitian ini peneliti menggunakan rungan perawat, ners stasiun

dan ruangan pasien yang kosong untuk dilakukan wawancara dengan tujuan untuk

menghindari dari gangguan selama proses wawancara. Selanjutnya partisipan

mengisi data demografi untuk mendapatkan data dasar kemudian peneliti

melakukan wawancara mendalam atau in-dept interview. In-depth interview

adalah salah satu cara pengumpulan data melalui percakapan dan proses tanya

jawab antara peneliti dengan partisipan yang bertujuan untuk memperoleh

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


55

pengetahuan tentang makna-makna subjektifitas yang dipahami oleh individu

(Polit & Beck, 2012).

Peneliti melakukan wawancara kepada setiap partisipan selama 50-60

menit pada wawancara pertama dan selama 20-30 menit pada wawancara yang

kedua. Peneliti melakukan wawancara yang kedua kepada partisipan untuk

mendapatkan data tambahan dan melakukan klarifikasi hasil wawancara

sebelumnya. Wawancara dilakukan dua kali kepada 9 partisipan dan enam

partisipan yang selebihnya peneliti melakukannya hanya sekali dikarenakan

peneliti sudah mendapatkan informasi yang cukup dan pengulangan informasi

atau saturasi data. Setiap selesai wawancara pada partisipan peneliti membuat

transkrip wawancara dan melakukan analisa data, dan selanjut nya melakukan

wawancara kepada partisipan berikutnya sampai mendapatkan saturasi data atau

sampai peneliti tidak memperoleh lagi informasi yang lain dari partisipan.

Saturasi data pada penelitian ini yaitu pada partisipan yang ke 15 dimana peneliti

mendapatkan informasi yang sama dari partisipan sebelumnya.

Selama wawancara peneliti mengajukan pertanyaan kepada partisipan

berdasarkan wawancara yang telah ada, kemudian melanjutkan dengan

mengajukan berbagai pertanyaan dengan menggunakan teknik probing. Teknik

probing adalah suatu cara mengembangkan pertanyaan sebelumnya. Apabila

sudah merasa yakin bahwa semua pertanyaan sudah dijawab oleh partisipan, maka

peneliti mengakhiri wawancara. Sebelum mengakhiri wawancara peneliti

menyimpukan hasil wawancara dengan tujuan untuk mengklarifikasi segera hasil

wawancara.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


56

Setelah selesai peneliti meminta izin kepada partisipan untuk mewancarai

lagi jika ada informasi yang kurang atau sebaliknya partisipan ingin

menyampaikan lagi pengalamannya yang belum disampaikan saat wawancara.

Selama wawancara peneliti menggunakan teknik diam (silent) untuk memberikan

kesempatan kepada partisipan untuk mengingat dan menceritakan

pengalamannya, disamping itu peneliti juga berupaya untuk tidak mengarahkan

jawaban partisipan.

Pada penelitian ini peneliti mengumpulkan data dengan metode

wawancara dan menggunakan catatan lapangan (field note). Catatan lapangan

yang berisikan hal-hal yang diamati dan sesuatu yang dianggap penting oleh

peneliti yaitu menjelaskan kejadian yang peneliti temukan selama proses

wawancara seperti apa yang didengar, dialami, dipikirkan oleh peneliti sebagai

refleksi dari data yang didapat. Peneliti memerlukan catatan lapangan untuk

mengetahui ekspresi wajah, bahasa tubuh dan reaksi partisipan ketika berbicara.

Hasil catatan lapangan ini peneliti masukkan kedalam transkrip wawancara

sebagai penambah data dan pelengkap pernyataan signifikan partisipan yang akan

digunakan untuk membentuk kategori, sub tema dan tema.

Data hasil wawancara dan catatan lapangan (field note) dari partisipan

yang sudah lengkap kemudian peneliti membuat transkrip hasil wawancara setiap

kali selesai wawancara. Selanjutnya peneliti melakukan analisis terhadap data

didapat dari partisipan yaitu peneliti mengelompokan data dan menguraikan data

kedalam bentuk narasi kedalam bentuk tema, sub tema dan kategori yang utama

dan penelitian terus dilanjutkan sampai dengan tercapai kelengkapan informasi

data yang diperlukan peneliti dan proses pengambilan data dihentikan bila sudah

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


57

tercapai saturasi data pada data yang diperlukan atau tidak mendapat informasi

baru dari partisipan. Selanjutnya peneliti melakukan validasi tema atau sub tema

yang didapat kepada partisipan untuk menambahkan atau mengurangi serta

meluruskan tema yang didapat, setelah itu peneliti melakukan terminasi akhir

dengan partisipan dan menyampaikan bahwa proses penelitian telah selesai.

Variabel dan Defenisi Operasional

Definisi operasional dari variabel yang diteliti dalam penelitian ini adalah

pengalaman perawat pelaksana dalam menerapkan budaya keselamatan pasien di

Rumah Sakit USU yaitu tindakan yang dilakukan oleh perawat pelaksana yang

mencerminkan budaya keselamatan pasien yaitu; keterbukaan dan melaporkan

ketika terjadi kejadian insiden keselamatan pasien, keadilan antara perawat ketika

terjadi insiden keselamatan pasien dan menghindari budaya menyalahkan, serta

pembelajaran terhadap suatu kesalahan atau insiden keselamatan

Metode Analisa Data

Pada penelitian kualitatif analisis data dan pengumpulan data terjadi pada

saat yang bersamaan, bukannya setelah seluruh data terkumpul, sehingga

pencarian akan tema dan konsep yang penting terjadi begitu data diperoleh (Polit

& Beck, 2012). Tiga metode yang sering digunakan untuk fenomenologi

deskriptif adalah metode Colaizzi (1978), Giorgi (1985), dan Van Kaam (1966).

Proses analisis data dalam penelitian ini menggunakan pendekatan Colaizzi

(1978). Pendekatan Colaizzi adalah salah satu metode yang umum untuk analisa

data dalam pendekatan fenemonelogi selain itu metode ini memiliki langkah-

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


58

langkah yang sederhana, jelas dan rinci. Metode Colaizzi merupakan satu-satunya

yang melakukan validasi hasil kepada partisipan dibandingan metode Giorgi dan

Van Kaam. Menurut Colaizzi tahap-tahap analisis data secara sistematis yang

peneliti lakukan sebagai berikut:

1. Membaca semua transkrip wawancara untuk mendapatkan perasaan

partisipan. Pada tahap ini peneliti membaca semua transkrip dan juga

mendengarkan alat perekam suara untuk mendapatkan rasa keakraban terhadap

makna ekspresi dan untuk kepekaan peneliti terhadap cara setiap partisipan

berbicara tentang pengalamannya dalam menerapkan budaya keselamatan pasien

di rumah sakit. Peneliti membuat penomoran tiap baris pada transkrip wawancara

dengan tujuan untuk memudahkan peneliti dalam mengutip pernyataan partisipan

yang terkait dengan penelitian.

2. Meninjau setiap transkrip dan menarik pernyataan yang signifikan.

Pada langkah ini, peneliti mengidentifikasi pernyataan signifikan partisipan dalam

bentuk frase atau kalimat yang menyinggung tentang pengalaman perawat

pelaksana dalam menerapkan budaya keselamatana pasien. Peneliti mengekstraksi

pernyataan signifikan dari traskrip wawancara dengan cara memberikan garis bawah

memberikan warna yang berbeda pada pernyataan signifikan.

3. Menguraikan arti dari setiap pernyataan yang signifikan. Tahap ini

pernyataan yang signifikan dikaitkan dengan tujuan penelitian. Pernyataan yang

sesuai dengan penelitian diuraikan kembali sehingga diperoleh makna yang lebih

spesifik untuk mendapatkan beberapa kata kunci (kategori) sehingga memudahkan

peneliti untuk merumuskan kelompok tema.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


59

4. Mengelompokkan makna-makna tersebut kedalam kelompok-kelompok

tema. Dalam tahap ini, peneliti mengidentifikasi tema dari makna yang

diformulasikan kedalam kelompok sub tema dan kategori.

5. Mengintegrasikan hasil kedalam bentuk deskripsi, yaitu integrasi narasi

dari semua tema, sub tema dan kategori atau sebuah deskripsi yang lengkap

dikembangkan melalui sintesis dari semua kelompok tema yang diperoleh. Dalam

analisis ini deskripsi tentang pengalaman perawat pelaksana dalam menerapkan

budaya keselamatan pasien di rumah sakit yang telah diperoleh dari partisipan.

6. Memformulasikan deskripsi lengkap dari fenomena yang diteliti

sebagai identifikasi pernyataan setegas mungkin. Peneliti merangkai tema-tema

dari proses analisis data dan menuliskan dalam sebuah deskripsi. Deskripsi hasil

penelitian ini akan dipaparkan dalam penulisan laporan hasil penelitian

7. Memvalidasi apa yang telah ditemukan kepada partisipan sebagai tahap

validasi akhir. Dalam tahap ini peneliti memvalidasi hasil matriks tema yang

didapat kepada partisipan untuk memastikan bahwa hasil temuan penelitian

merupakan pengalaman partisipan yang sesungguhnya dan disetujui oleh

partisipan tersebut. Pada tahap ini peneliti melakukan member checking kepada 14

partisipan dengan memabacakan dan menunjukkan dokumen analisa data yang

peneliti telah susun dengan tujuan untuk memastikan data yang peneliti peroleh

adalah data yang sebenarnya dari partisipan tersebut. Peneliti tidak melakukan

member checking kepada satu partisipan yang lain dikarenakan partisipan tersebut

dalam masa cuti.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


60

Keabsahan Data (Trustworthiness of Data)

Lincoln dan Guba (1994, dalam Polit & Beck, 2012) mengemukakan

bahwa tingkat keabsahan data (trustworthiness of data) hasil penelitian dapat

dipercaya dengan memvalidasi data menurut beberapa kriteria, yaitu: credibility,

dependability, transferability, confirmability dan authenticity.

Credibility merupakan kriteria untuk memenuhi nilai kebenaran dari data

dan informasi yang dikumpulkan. Artinya, hasil penelitian harus dapat dipercaya

oleh semua pembaca secara kritis dan dari responden sebagai informan.

Credibility termasuk validitas internal. Kredibilitas suatu penelitian dapat dicapai

ketika peneliti dapat mengembangkan dan menginterpretasikan pengalaman

partisipan yang sedang ditelitinya, dalam hal ini kesadaran peneliti merupakan

suatu hal yang esensial.

Credibility dapat dicapai dengan prolonged engagement, field note

(catatan lapangan) yang komprehensif, hasil rekaman dan transkrip, triangulasi

data dan member checking. Pada penelitian ini peneliti melakukan prolonged

engagement kepada partisipan selama dua minggu dengan 2-3 kali pertemuan.

Peneliti meminta ijin dan masukan kepada kepala ruang untuk melakukan

pendekatan supaya partisipan merasa percaya, aman dan bersedian untuk

dijadikan sebagai informan dalam penelitian. Selain itu peneliti membuat field

note (catatan lapangan) yaitu catatan lapangan berupa dokumentasi nonverbal

yang peneliti peroleh saat wawancara. Field note (catatan lapangan) digunakan

untuk menambah informasi selain dari hasil wawancara. Pada penelitian ini

peneliti memperoleh data selain melalui wawancara juga dengan field note

(catatan lapangan).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


61

Untuk mempertahankan credibility peneliti juga melakukan member

checking yaitu dengan menemui langsung partisipan dan mendiskusikan hasil

tematik, laporan akhir atau deskripsi tema yang telah dianalisa peneliti dan

meminta partisipan membaca dan melihat keakuratan dokumen analisa tematik

tersebut, menanyakan kepada partisipan kesesuaian ungkapan, kata kunci dan

tema yang diperoleh dengan persepsi partisipan. Partisipan diberi hak untuk

merubah, menambah atau mengurangi kata kunci atau tema yang sudah

ditentukan..

Dependability mengacu pada kekonsistenan peneliti dalam mengumpulkan

data, membentuk dan menggunakan konsep-konsep ketika membuat interpretasi

untuk menarik kesimpulan. Kriteria ini dapat digunakan untuk menilai apakah

proses penelitian kualitatif bermutu atau tidak. Dependability menurut istilah

konvensional disebut reliabilitas atau syarat bagi validitas. Pada penelitian ini

peneliti melakukan analisa data partisipan kepada pembimbing dan

mendiskusikan kategori, sub tema dan tema-tema yang sesuai dengan penelitian.

Selain itu untuk mendapatkan hasil penelitian yang objektif

Confirmability memfokuskan apakah hasil penelitian dapat dibuktikan

kebenarannya dimana hasil penelitian sesuai dengan data yang dikumpulkan dan

dicantumkan dalam laporan lapangan. Hal ini dilakukan dengan membicarakan

hasil penelitian dengan orang yang tidak ikut dan tidak berkepentingan dalam

penelitian dengan tujuan agar hasil dapat lebih objektif. Confirmability merupakan

kriteria untuk menilai kualitas hasil penelitian. Peneliti melakukan confirmability

dengan audit trail yaitu meminta dependen atau independen auditor untuk

memeriksa aktifitas peneliti. Pada penelitian ini peneliti melaporkan semua proses

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


62

penelitian kepada pembimbing dengan menyerahkan semua hasil temuan berupa

analisa data yang terdiri dari kategori, sub tema dan tema dan juga catatan

lapangan dari partisipan. Selain kepada pembimbing, peneliti juga melakukan

confirmability kepada partisipan untuk mendapatkan hasil yang objektif.

Transferability merupakan validitas eksternal yang berarti sejauhmana

penelitian ini dapat dilakukan pada situasi dan di tempat yang berbeda. Pada

penelitian ini peneliti melakukan thick description yaitu peneliti menyimpan

semua arsip dan materi dalam proses penelitian dan menyediakan deskripsi data

yang baik pada laporan penelitian sehingga orang lain dapat mengaplikasikannya

ke dalam konteks yang berbeda

Authenticity mengacu pada sejauh mana peneliti dengan jujur

menunjukkan kenyataan yang terjadi. Keaslian muncul dalam laporan ketika

laporan tersebut dapat menyampaikan perasaan partisipan. Authenticity dilakukan

dengan cara membuat beberapa pernyataan partisipan sebagai data yang

mendukung tema-tema yang dihasilkan.

Pertimbangan Etik

Peneliti perlu melakukan langkah antispatif dengan memenuhi beberapa

prinsip etika penelitian dan mempertimbangkan isue etis dalam pengumpulan

data. Sebelum melakukan pengumpulan data, peneliti terlebih dahulu mengajukan

surat ethical clearance kepada Komisi Etik Penelitian Kesehatan Fakultas

Keperawatan Universitas Sumatera Utara. Setelah mendapatkan surat ijin ethical

clearance, peneliti mengajukan surat izin penelitian ke Rumah Sakit USU untuk

mendapatkan izin meneliti. Selanjutnya peneliti menjumpai kepala ruangan untuk

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


63

meminta izin meneliti ditempat tersebut, menjelaskan proses penelitian dan

meminta pengarahan terkait perawat pelaksana yang akan menjadi partisipan

dalam penelitian.

Setelah mendapatkan izin dan pengarahan dari kepala ruang, selanjutnya

peneliti mencari partisipan sesuai dengan kriteria. Selanjutnya peneliti membina

hubungan saling percaya dengan partisipan dalam masa prolong angegement.

Peneliti menjelaskan tujuan dari penelitian dan prosedur pelaksanaan penelitian,

risiko, ketidaknyamanan dan manfaat serta harapan atas partisipasi dalam

penelitian. Setelah terbentuk rasa saling percaya antara peneliti dan partisipan,

bersedia untuk menjadi partisipan, selanjutnya partisipan dipersilahkan untuk

menandatangani informed consent. Peneliti tidak memaksa jika partisipan

menolak untuk diwawancarai dan menghormati hak-haknya sebagai partisipan

dalam penelitian ini. Untuk menjaga kerahasiaan identitas partisipan maka peneliti

tidak mencantumkan nama dari partisipan (anonymity), tetapi hanya diberi nomor

partisipan.

Selanjutnya identitas partisipan juga dirahasiakan (confidentiality) dimana

hanya informasi yang diperlukan saja yang akan dituliskan dan dicantumkan

dalam penelitian. Dalam melaksanakan prosedur penelitian, peneliti berusaha

untuk mendapatkan hasil yang bermanfaat bagi partisipan sebagai subjek

penelitian dan meminimalkan dampak yang merugikan, menjaga privasi dan

martabat partisipan dengan memperlakukan partisipan dengan keinginan mereka.

Memberikan lingkungan yang nyaman dan aman pada saat wawancara dilakukan.

partisipan mendapatkan memperlakukan dan hak yang sama baik partisipan laki-

laki dan perempuan.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


64

BAB 4

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Rumah Sakit Universitas Sumatera Utara

Pada tahun 2005 rektor Universitas Sumatera Utara mendapat

rekomendasi atau dukungan dari mentri kesehatan untuk mendirikan rumah sakit

pendidikan. Pembangunan RSP USU berlangsung antara tahun 2009–2011.“Soft

opening” RS USU dilaksanakan pada tanggal 4 Desember 2014 dan pembukaan

operasional penuh baru dapat terlaksana pada tanggal 28 Maret 2016. Rumah

Sakit USU berlokasi di Jl. Dr. T Mansur No.66 Medan yang bertepatan terletak

didepan Kampus Universitas Sumatera Utara.

Adapun visi dari Rumah Sakit USU adalah pusat pengembangan

IPTEKDOK 2025 di wilayah Indonesia Barat dan misi Rumah Sakit USU adalah

meningkatkan mutu dokter, dokter spesialis dan tenaga kesehatan serta mutu

pelayanan kesehatan khususnya di Sumatera Bagian Utara. Rumah Sakit USU

menganut nilai-nilai kesehatan pasien adalah hukum yang utama (Salus aegroti

suprema lex); dan pertama adalah tidak membahayakan pasien (Primum non

nocere).

Sesuai dengan value pertama Rumah Sakit USU adalah tidak

membahayakan pasien (Primum non nocere) pada tahun 2016 Rumah Sakit USU

membentuk Komite Mutu Keselamtan Pasien atau Komite Keselamatan Pasien

Rumah Sakit (KKPRS) dengan yang menyelenggarakan program keselamatan

pasien (patient safety) dengan tujuan untuk memenuhi standar keselamatan

pasien, melakukan program tujuh langkah menuju keselamatan pasien rumah sakit

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


65

dan penerapan sasaran keselamatan pasien dengan harapan akan tercipta

pelayanan yang paripurna. Untuk mencapai harapan tersebut Komite Mutu

Keselamtan Pasien Rumah Sakit USU membekali petugas kesehatan dengan

pengetahuan dan keterampilan/kompetensi penerapan program keselamatan

pasien rumah sakit dengan mengadakan pelatihan in house tranning dan esktra

rumah sakit dan melakukan analisa kejadian pada insiden yang terjadi di rumah

sakit walaupun sampai saat ini kegiatan tersebut masih belum optimal.

Karakteristik Demografi Partisipan

Partisipan dalam penelitian ini berjumlah 15 orang perawat pelaksana

sesuai dengan kriteria penelitian dan bersedia untuk diwawancarai yang

melaksanakan praktik keperawatan di ruang rawat inap internist, bedah, anak,

PICU/NICU, instalasi bedah pusat, hemodialisa, instalasi gawat darurat dan

ruangan intensive care unit. Salah satu dari 15 orang perawat pelaksana terdapat

satu orang perawat yang merangkap sebagai IPCLN. Karakteristik partisipan pada

penelitian ini meliputi usia, jenis kelamin, pendidikan, lama bekerja, status

menikah dan ruangan. Berdasarkan karakteristik demografi dari para partisipan

menunjukkan kebanyakan partisipan berusia 25-29 tahun sebanyak 8 orang

(53,3%), mayoritas partisipan berkelamin perempuan sebanyak 11 orang

(73,3%), partisipan yang berpendidikan D3 Keperawatan sebanyak 10 orang

(66,7%), partisipan yang bekerja selama 3 tahun sebanyak 9 orang (60%),

partisipan yang sudah menikah sebanyak 10 orang (66,7%) dan partisipan yang

banyak dari ruang rawat inap (internist, bedah dan anak) sebanyak 8 orang

(53,3%). Adapun rincian data demografi partisipan terdapat dalam tabel 4.1

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


66

Tabel 4.1 Karakteristik Demografi Partisipan

No Karakteristik Demografi Frekuensi (f) Persentase (%)

1 Usia
25-29 tahun 8 53,3
30-34 tahun 4 26,7
>34 tahun 3 20
2 Jenis Kelamin
Laki-laki 4 26,7
Perempuan 11 73,3
3 Pendidikan
D3 Keperawatan 10 66,7
Ners 5 33,3
4 Lama Bekerja
1 tahun 5 33,3
2 tahun 1 6,7
3 tahun 9 60
5 Status Menikah
Belum Menikah 5 33,3
Menikah 10 66,7
6 Ruangan
Rawat Inap (internist, bedah,
Anak) 8 53,3
ICU 2 13,3
IGD 2 13,3
PICU/NICU 1 6,7
IBP 1 6,7
Hemodialisa 1 6,7

Hasil Analisis Pengalaman Perawat dalam Menerapkan Keselamatan Pasien

di Rumah Sakit Universitas Sumatera Utara

Hasil penelitian yang diperoleh melalui wawancara mendalam dari

partisipan penelitian berupa transkrip yang tertulis kemudian dilakukan analisis

data menggunakan metode Collaizi sehingga menghasilkan tema-tema yang

menggambarkan pengalaman yang dilakukan oleh partisipan.

Berdasarkan hasil analisis dari wawancara mendalam kepada para

partisipan didapatkan 5 tema yaitu: 1) melaksanakan sasaran keselamatan pasien

dengan dukungan dari manajemen rumah sakit, 2) Memberikan informasi tentang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


67

asuhan pasien untuk meningkatkan keselamatan pasien, 3) melaporkan insiden

keselamatan pasien, 4) hambatan perawat dalam menerapkan budaya keselamatan

pasien, dan 5) harapan perawat dalam menerapkan budaya keselamatan.

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh 5 tema, 13 sub tema, dan 28

kategori. Untuk tema 1 terdiri dari 2 sub tema dan 8 kategori, tema 2 terdiri dari 3

sub tema dan 5 kategori, tema 3 terdiri dari 3 sub tema dan 5 kategori, tema 4

terdiri dari 3 sub tema dan 4 kategori dan tema 5 terdiri dari 2 sub tema dan 6

kategori. Tema-tema ini akan dibahas dengan rinci untuk mendeskripsikan

pengalaman perawat pelaksana dalam menerapkan budaya keselamatan pasien di

Rumah Sakit Universitas Sumatera Utara

Melaksanakan Sasaran Keselamatan Pasien dengan Dukungan dari

Manajemen Rumah Sakit

Berdasarkan hasil analisis data pada tema ini didapatkan dua sub tema, sub

tema yang pertama yaitu melaksanakan sasaran keselamatan pasien dan kategori

yang didapatkan dalam tema ini adalah 1) mengidentifikasi pasien dengan tepat,

2) meningkatkan komunikasi efektif, 3) mewaspadai obat (High-alert) dan

memberi obat dengan benar, 4) mengurangi risiko infeksi, 5) mengurangi risiko

pasien jatuh, 6) penandaan tepat lokasi operasi, tepat prosedur dan tepat pasien.

Sedangkan sub tema kedua adalah manajemen rumah sakit memfasilitasi perawat

dengan pelatihan keselamatan pasien dengan kategori perawat pelaksana

difasilitasi in house tranning dan mendapatkan bimbingan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


68

Melaksanakan sasaran keselamatan pasien

Keselamatan pasien dalam pelayanan kesehatan menjadi sesuatu yang

harus diterapkan. Keselamatan pasien rumah sakit dapat dinilai dengan

melaksanakan sasaran keselamatan pasien. Pelaksanaan sasaran keselamatan

pasien oleh perawat pelaksana sudah cukup optimal dan berdasarkan SOP apalagi

saat ini rumah sakit lagi persiapan akreditasi rumah sakit. Manajemen rumah sakit

merescedul kembali pelatihan keselamatan pasien dengan tujuan agar perawat

melaksanakan sasaran keselamatan pasien sesuai dengan prosedur. Adapun

penjelasan pelaksanaan enam sasaran keselamatan pasien oleh perawat pelaksana

sebagai berikut :

Mengidentifikasi pasien dengan tepat

Berdasarkan hasil wawancara semua perawat dapat menjelaskan cara

mengidentifikasi pasien dengan tepat yaitu melakukan identifikasi pasien dengan

menggunakan minimal dua identitas pasien yang ada pada gelang pasien misalnya

nama pasien dan tanggal lahir. Perawat menganjurkan pasien untuk menyebutkan

identitasnya bukan sebaliknya perawat menyebutkan identitas pasien.

Pelaksanakan identifikasi pasien ini perawat lakukan pada saat sebelum

melakukan tindakan kepada pasien. Hal ini sesuai dengan ungkapan partisipan

sebagai berikut:

“Jadi terlebih dahulu dilihat dulu gelang pasien sudah sesuai atau tidak
sembari kita menanyakan nama bapak siapa, tanggal lahirnya berapa
sambil kita melihat gelang pasien sudah sesuai atau belum..”(perawat
memperagakan mengecek identitas pasien dengan gelang pasien)
(P2, L 19-22)

“Disini setiap pasien itu mempunyai gelang identitas.. Sebelum kita


melakukan tindakan kita tanyakan dulu namanya, tanggal lahir dan kita
sesuaikan dengan gelangnya..” (P5, L 21-23)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


69

Meningkatkan komunikasi efektif

Komunikasi merupakan proses penyampaian pesan dari seseorang kepada

orang lain. Meningkatkan komunikasi yang efektif merupakan kunci bagi staf

untuk mencapai keselamatan pasien. Pelaksanaan komunikasi efektif perawat

lakukan kepada sesama perawat, para pemberi asuhan (dokter, bagian gizi,

laboran dan farmasi), dan kepada pasien dan keluarga. Perawat memberikan

informasi dengan jelas, singkat, akurat, lengkap, dan mudah dimengerti oleh

penerima pesan. Berdasarkan hasil wawancara mayoritas perawat melakukan

komunikasi efektif kepada pasien dan keluarga dalam bentuk edukasi, sedangkan

komunikasi efektif perawat dengan sesama perawat dan PPA mengenai informasi

yang berhubungan dengan kondisi pasien dan tercatat dilembar terintegrasi. Hal

ini sesuai dengan ungkapan partisipan sebagai berikut:

“Kami memang selalu mengedukasi pasien masuk... mengedukasi


keluarga nya untuk cuci tangan.. dan fungsi-fungsinya atau kapan aja dia
cuci tangan..”(P3, L24-26)

“Ya.. komunikasi nya seputar tentang penyakit, dan edukasi..”( P8, L148)

“Dimulai menghubungi dokter seperti apa.. tulis baca konfirmasi,


kemudian TEBAK.. kalau kita ada advisenya apa distatus itu.. kebetulan
kami punya stempel readback...” (perawat berupaya menjelaskan kepada
peneliti dengan menunjukkan stempel). (P1, L220-222)

“Kalau komunikasi efektif dengan dokter, laboran itu ditulis CPPT, jadi
kalau ada instruksi dari dokter itu ada readbac knya, antar apoteker
kominukasinya seperti KOP, cek kembali obatkan.. jadi semua komunikasi
para PPA ada disini namanya lembar terintegrasi..” (”(P11, L289-292)

Mewaspadai obat (High-alert) dan memberi obat dengan benar

Pada sasaran ini diperlukan pengawasan yang tinggi terhadap pemakaian

obat yang diperlukan. Berdasarkan informasi dari partisipan untuk cairan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


70

elektrolit yang pekat dan obat yang memerlukan kewaspadaan tinggi tidak

disimpan diruangan tetapi disimpan di Depo Farmasi. Setiap pasien memiliki box

obat tersendiri tidak bercampur dengan obat pasien yang lainnya, sebelum

memberi obat perawat selalu melakukan kroscek kepada sesama perawat dan

melaksanakan prinsip benar dalam pemberian obat. Hal ini sesuai dengan

ungkapan partisipan sebagai berikut:

“Selamat siang ibu.. Ini RM dan tanggal lahirnya sekian... Saya akan
memberikan obat kepada ibu antibiotik namanya cepriaxon..saya akan
berikan per 12 jam ya bu.. kemudian saya suntikkan..”(P1, L52-54)

“Kalau obatpun double cek..kalau kita ragu kek obat-obat tertentu kek
golongan narkotik, seumpamanya ragu lah atau label nya istilah ini
cobalah tengok lagi pas gak obat nya...”.(perawat mengarahkan wajahnya
keperawat yang lain untuk menjelaskan melakukan double cek obat
dengan perawat lain). ((P13, L220-222)

Penandaan Tepat Lokasi Operasi, Tepat Prosedur dan Tepat Pasien

(site marking)

Pada sasaran ini pasien yang akan dilakukan tindakan operasi sebelumnya

harus dilakukan penandaan lokasi operasi (site marking). Perawat, dokter dan

pasien bersama-sama mengontrol tindakan pembedahan yang akan dilakukan

dengan memastikan lokasi operasi, tindakan operasi dan tepat pasien. Pada

pelaksanaannya perawat mendampingi dokter dalam melakukan site marking

dengan mengecek form site marking yang telah ditulis oleh dokter, pada ruangan

rawat inap tertentu perawat tidak dapat mendampingi dokter untuk melakukan site

marking karena saat bersamaan perawat lagi melakukan asuhan kepada pasien

yang lain, tetapi perawat akan melakukan validasi dengan melihat form site

marking distatus pasien dan melakukan pengecekan ke pasien. Tindakan site

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


71

marking menggunakan spidol khusus yang disediakan ruangan. Hampir semua

pasien telah dilakukan site marking sebelum didorong keruang operasi.

Hal ini sesuai dengan ungkapan partisipan sebagai berikut :

“..Dengan cara menceklist keselamatan pasiennya.. Kalau sudah OK ini


berarti aku sudah melakukan..cek side marking pasien..”(perawat
memperagakan mengecek form site marking untuk memastikan ketepatan
operasi pasien). (P9, L121-122)

“...Dan kami menekan dokter sebelum pasien didorong keruang operasi


harus di site marking dulu..” (P11, L144-145)

Mengurangi risiko infeksi

Mengurangi risiko infeksi terkait dalam pelayanan kesehatan dilakukan

perawat dengan melakukan hand hygiene dan menggunakan alat pelindung diri

(APD). Mayoritas perawat sudah melaksanakan hand hygiene pada five moment

dan memakai APD sesuai dengan kebutuhan perawat pada saat melakukan

tindakan kepada pasien. Perawat juga melakukan edukasi kepada pasien dan

keluarga untuk melakukan hand hygiene. Hal ini sesuai dengan ungkapan

partisipan sebagai berikut :

“Pakai five moment dua sebelum dan tiga sesudah kontak dengan
pasien.”(perawat meyakinkan peneliti tentang five moment dengan
menunjukkan jarinya dua dan tiga ). (P4, L93-94)

“Kita tak boleh memakai handscon yang sama kepada pasien yang lain..
Itu sudah SPO kita.. Jadi cuci tangan pakai handscon yang baru satu
pasien satu handscon..” (P8, L59-60)

“Kami memakai masker, pakai apron..handscon..setelah selesai dilepas..”


(P10, L130)

“Safety dari kebersihan kita dulu.. APD.. Jadi itu kan ada five moment 5
langkah cuci tangan itu.. Itu harus dilakukan dulu sebelum dan sesudah
kepasien itu wajib...” (P14, L61-62)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


72

Mengurangi risiko pasien jatuh

Pada pelaksanaan sasaran ini perawat melakukan pengkajian pasien risiko

jatuh pada pasien yang berusia diatas 70 tahun dan pada pasien yang mengalami

perubahan kondisi. Penandaan risiko jatuh pada pasien dilakukan dengan

memasang penanda atau stiker ditempat tidur pasien dan digelang pasien. Pada

ruang rawat inap tertentu penanda pasien risiko jatuh di depan pintu ruang pasien

dirawat. Memperhatikan side rail tempat tidur pasien. Selain pemberian penanda

risiko jatuh perawat melakukan edukasi kepada pasien dan keluarga untuk

mencegah terjadinya pasien jatuh. Hal ini sesuai dengan ungkapan partisipan

sebagai berikut :

“Lansia itu diatas 70 ya dikatakan risiko tinggi.. Untuk shift yang


bertugas disitu pemantauannya perjam.. Tapi risiko rendah itu minimal
dua kali dipantau pershift kek gitu untuk dewasa.. Kalau dia risiko tinggi
perjam dalam satu shift” (P4, L130-132)

“Mau kekamar mandi..o..gak bisa bu.. Ini hati-hati gak boleh kekamar
mandi pakai pispot itu untuk risiko jatuhnya..” (P8, L154-156)

“Kalau pasien-pasien gelisah kita pasang restrain atau pemasangan bed


strail..”. (perawat menunjukkan kearah bed pasien untuk menjelaskan bed
strail pda bed). (P12, L18)

“Palangnya itu kurang bagus kita ganti.. Kadangpun misalnya gak ada
sama sekali tempat tidur kita pastikan keluarga betul jaga pasien ini kalau
memang dia risiko jatuh..tapi kalau dia tidak risiko jatuh kita pastikan
keluarga ada disamping pasien itu..” (P15, L79-81)

Manajemen rumah sakit memfasilitasi perawat dengan pelatihan

keselamatan pasien

Pada sub tema kedua ini terdapat dua kategori yaitu perawat difasilitasi

dengan pelatihan keselamatan pasien in house tranning dan perawat mendapatkan

bimbingan dari rumah sakit. Pelaksanaan program keselamatan pasien rumah sakit

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


73

merupakan tanggung jawab bersama seluruh elemen dari rumah sakit.

Manajer/pimpinan memainkan peran penting dalam mengembangkan program

keselamatan pasien. Pelaksanaan sasaran keselamatan pasien dapat dilaksanakan

secara optimal dengan memfasilitasi perawat dengan pelatihan yang dibutuhkan

dan memberikan pengarahan atau bimbingan kepada perawat.

Perawat difasilitasi dengan pelatihan in house tranning

Untuk melancarkan pelaksanaan program keselamatan pasien, rumah sakit

memfasilitasi perawat dengan pelatihan keselamatan pasien berupa in house

tranning yang dilakukan oleh bagian-bagian masing. Selama ini perawat

mendapatkan pelatihan dari PPI rumah sakit berupa pelatihan pencegahan infeksi

yaitu hand hygiene, memasang APD, komunikasi efektif, transfer pasien dan dari

farmasi memberikan pelatihan tentang pemberian obat. Setiap perawat mendapat

giliran untuk difasilitasi in house tranning. Pelaksanaan pelatihan keselamatan

pasien belum optimal dilaksanakan oleh managemen rumah sakit. Hal ini sesuai

dengan ungkapan partisipan sebagai berikut :

“..kalau gak salah kemaren pas ada kejadian itu kami dikasi sosialisasi
tentang pemberian obat..” (P2, L162-163)

“..Cuci tangan, APD itu udah.. cara menyiapkan obat diruangan kemaren,
transfer pasien.. menjemput pasien dari ruangan lain, mengantar pasien
dari ruagan lain...” (perawat mencoba mengingat-ingat pelatihan yang
diikutinya dengan menghitung pakai jari). (P3, L177-178)

“..Kita ada pelatihan risiko jatuh, manajemen-manajemen lain ada..


K3RS.. dan yang lainnya...” (P8, L164)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


74

Perawat mendapatkan bimbingan

Ada dua partisipan yang mengatakan bahwa dalam melaksanakan

keselamatan pasien mendapatkan bimbingan dari atasan karena keterbatasan

mereka untuk memecahkan masalahnya.

Hal ini sesuai dengan ungkapan partisipan sebagai berikut :

“....jika ada hal yang tidak bisa dipecahkan disini konsultasi kepada
kepala ruangan, ke PPI nya atau bagian komite yang lain..” (P6, L307-
308)

“..Karu mengingatkan, katim.. ee.. terkadang kayak PPI jalan-jalan itu


patient safety juga kan..itu juga mengingatkan..”(perawat berusaha
meyakinkan informasi yang disampaikannya dengan menatap wajah
peneliti). (P13, L70-71)

Memberikan informasi tentang asuhan pasien untuk meningkatkan

keselamatan pasien.

Berdasarkan hasil analisis data pada tema ini didapatkan tiga sub tema

yaitu 1) memberikan informasi tentang asuhan pasien, 2) kerjasama antar perawat,

3) kerjasama dengan tim kesehatan.

Memberikan informasi tentang asuhan pasien

Saat melaksanakan praktik keperawatan perawat akan berinteraksi dengan

perawat dalam ruangan/unit dan perawat antar ruangan. Interaksi perawat dengan

perawat antar ruangan dilakukan pada saat transfer pasien keruangan dan perawat

melakukan operan mengenai asuhan pasien tersebut misalnya pengkajian yang

sudah dilakukan sebelumnya, terapi yang diberikan, pemeriksaan diagnostik dan

lainnya. Begitu juga interaksi perawat dengan perawat dalam unit memberikan

informasi mengenai asuhan pasien saat pertukaran shift dan selama bekerja.

Informasi disampaikan dalam bentuk lisan dan tulisan. Melalui tulisan perawat

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


75

mencatatnya dibagian catatan perkembangan pasien di lembar CPPT. Segala

sesuatu mengenai pasien dicatat dalam catatan perkembangan pasien dan semua

perawat dapat mengetahui keadaan pasien melalui catatan tersebut.

Hal ini sesuai dengan ungkapan partisipan sebagai berikut :

“..Serah terima nya nanti perawat igd ngantar pasien keruangan setelah
itu operan di ners stasiun nanti dikasi tau diagnosa pasien, obat apa yang
sudah diberikan, tindakan yang udah dilakukan apa aja...” (P2, L281-283)

“Saling kroscek mulai dari identitas pasien, sama semua obat-obatnya,


dan tindakan-tindakan yang perlu dilakukan lagi yang belum rampung
biasanya itu yang kita oper kan, terus perubahan-perubahan terapi dan
pemeriksaan lab biasanya, pokok nya semuanya deh, yang belum siap
biasanya dilanjutkan sama shift berikutnya dan semuanya harus kita
operkan perubahan dosis obat..” ..”(perawat berusaha meyakinkan
informasi yang disampaikannya dengan menatap wajah peneliti). (P6, L56-
60)

Kerjasama tim perawat

Kerjasama tim perawat merupakan bentuk perilaku perawat dalam bekerja

didalam tim dan membuat individu saling mengingatkan, mengoreksi,

berkomunikasi sehingga peluang terjadinya kesalahan dapat dihindari. Pada sub

tema ini terdapat dua kategori yaitu meminimalkan konflik dan saling berkerja

sama antar perawat

Meminimalkan konflik

Kerjasama dalam tim perawat yang perawat lakukan salah satunya adalah

meminimalkan konflik. Konflik dapat terjadi mungkin faktor dari emosi perawat

dan beban kerja yang meningkat. Perawat mengatakan berusaha meminimalkan

masalah yang muncul supaya dapat bekerja dengan baik dan tidak mengganggu

pasien dan kadang-kadang meminta bantuan kepala ruang jika masalah tidak

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


76

dapat diselesaikan oleh sesama perawat pelaksana. Hal ini sesuai dengan

ungkapan partisipan sebagai berikut :

“ ..Sampai sekarang bagus sih.. Gak ada berantam nya.. Kami kalau ada
masalah kami selesaikan bagusin satu sama lainnya..” (P1, L289--290)

“..Cuman kami bisa menetralisirnya kami perjelas saja tapi tak sampai
yang kek mana-mana gitu.... gak ada sampai merugikan pasien..”
..”(perawat berusaha meyakinkan informasi yang disampaikannya dengan
menatap wajah peneliti). (P3, L211--212)

Saling membantu sesama perawat

Perawat mengatakan tidak semua tindakan dapat dilakukan dengan baik

oleh perawat sendiri kadang-kadang dibantu oleh perawat yang lain. Misalnya ada

pekerjaan yang tidak dapat diselesaikan pada saat berakhir waktu shiftnya,

perawat tidak akan sungkan meminta perawat shift berikutnya untuk melanjutkan

pekerjaannya. Bentuk kerjasama antar perawat yang lain misalnya saling kroscek

sebelum memberikan obat kepada pasien dengan tujuan untuk menghindari

kesalahan dalam memberikan obat. Hal ini sesuai dengan ungkapan partisipan

sebagai berikut :

“..Gak sih.. lancar-lancar aja.. Kita kan shift kerjanya berkesinambungan


kadang shiftnya belum mengerjakn tugas sudah dioperkan.. mungkin dia
juga lelah dan lupa..” (P4, L165-164)

“Sepri bang coba kau baik lagi kau tengok dulu sudah dibuang belum
vialnya.. coba tengok dulu itu kayak cepo.. Soalnya itu kuning kali.. balik
lah dia.. oh iya bang cepo.. soalnya diletakkan di box sepri.. mungkin dia
lagi khilaf.. tapi kebetulan tu yang kami lihat..”(perawat menjelasksn
informasi kepada peneliti dengan memperagakan seolah-olah perawat
berbicara dengan perawat lain). (P14, L198-200)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


77

Kerjasama dengan tim kesehatan

Perawat bukan hanya bekerja sama dengan sesama perawat, tetapi bekerja

sama dengan tim kesehatan lainnya atau kepada Profesional Pemberi Asuhan

(PPA) seperti dokter, farmasi, laboran dan bagian gizi. Bentuk kerjasama perawat

dengan tim kesehatan dapat berupa kolaborasi dan mengingatkan karena kelalaian

dari petugas kesehatan.

Berkolaborasi dengan tim kesehatan

Bentuk kerjasama perawat dengan dokter yaitu dengan berkolaborasi.

Kolaborasi profesi kesehatan sebagai bentuk kerjasama tim yang sangat

diperlukan. Kolaborasi perawat lakukan dalam hal asuhan pasien misalnya

berkolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat pasien. Hal ini sesuai dengan

ungkapan partisipan sebagai berikut :

“...Biasanya kita kompress pakai aquabidest terus nanti kita kolaborasi


dengan dokter terus dikasi terapi biasanya sale..” (P6, L114-115)

“..Jadi kalau mereka kami kasi saran mereka terima.. Mereka kasi kami
saran kami terima dengan baik...” (P14, L303-304)

Memberikan pengarahan kepada tim kesehatan

Kerjasama tim yang efektif dapat berdampak positif dan meningkatkan

keselamatan pasien. kerjasama tim dapat berupa saling mengingatkan, mengoreksi

dan berkomunikasi untuk menghindari terjadinya kesalahan tindakan. Perawat

kadang mengingatkan dokter yang tidak mematuhi prosedur tindakan mungkin

dikarenakan lupa atau banyak tugas yang harus dikerjakan pada waktu bersamaan.

Hal ini sesuai dengan ungkapan partisipan sebagai berikut :

“Tetap kita ingatkan bagaimana prosedurnya dan kita ada form apa yang
harus dipakai mereka untuk melakukan tindakan.. Misalnya ini tindakan
steril nih ini tindakan non steril itu tetap ada pendampingan..prosedurnya
yang mau mereka kerjakan itu kita jelaskan..”(perawat menjelaskan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


78

dengan menggunakan tangannya untuk memilah mana yang steril dan non
steril). (P12, L76-77)

“Sudah kita lengkapi status kita panggil dokter jaga untuk melengkapi
status nya lagi..” (P15, L92)

Melaporkan Insiden Keselamatan Pasien

Pelaporan kejadian merupakan suatu sistem yang penting dalam

mengidentifikasi masalah keselamatan pasien. informasi yang adekuat pada

pelaporan akan dijadikan bahan pembelajaran bagi rumah sakit. Kejadian insiden

dirumah sakit ada yang dilaporkan dan juga ada yang merahasiakannya karena

menganggap tidak membahayakan pasien.

Pada tema ini terdapat tiga sub tema yaitu: 1) pelaporan insiden pasien, 2)

pembelajaran dari insiden keselamatan pasien, 3) pemahaman perawat tentang

keselamatan pasien

Pelaporan insiden pasien

Pelaporan merupakan unsur penting dari keselamatan pasien, dan awal

proses pembelajaran untuk mencegah kejadian yang sama terulang lagi. Kejadian

insiden yang terjadi dalam pelayanan keperawatan tidak semua dilaporkan oleh

perawat disebabkan dengan berbagai alasan. Pada sub tema ini terdapat dua

kategori yaitu kesadaran melaporkan insiden dan merahasiakan insiden

Kesadaran melaporkan insiden pasien

Sebagaian besar perawat mengatakan apabila melakukan kejadian insiden

keselamatan pasien maka akan melaporkan nya karena mempertimbangkan

dampaknya kalau tidak melaporkan bisa berakibat keperawat sendiri, pasien dan

rumah sakit dan tidak ada gunanya disembunyikan karena nanti akan ketahuan

juga.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


79

Hal ini sesuai dengan ungkapan partisipan sebagai berikut :

“setiap ada masalah kasi tau kepada kepala ruangan termasuk pasien
jatuh itu..” (P1, L98-99)

“Lebih baik dikasi tau kebenarannya walaupun pahit dari pada


disembunyikan nanti hasilnya jadi buruk semuanya..” (P6, L154-155)

Merahasiakan insiden pasien

Perawat yang melakukan kesalahan dalam tindakan merahasiakan kejadian

tersebut karena dianggapnya tidak terjadi hal yang berbahaya bagi pasien, jika

timbul bahaya maka perawat tersebut mau melaporkannya. Alasan dari perawat

yang melakukan kesalahan takut akan dihukum oleh pihak rumah sakit,

dipanggail berulang-ulang untuk diminta informasi mengenai kejadian tersebut

dan tidak ada reward bagi perawat yang melaporkan kejadian. Hal ini sesuai

dengan ungkapan partisipan sebagai berikut :

“Gak.. karena gak ada reaksinya kan.. Gitu. Kalau sempat ada reaksinya
baru dilaporkan..”(perawat mencontohkan adanya timbul reakasi obat
ditangannya dan tampak wajah perawat sedikit tegang). (P5, L108-109)

“Tidak.. Karena taulah.. Personal kita tau kan.. Makin ribet keatasnya..
Ini jujur aja nanti dipanggil diatas ditanya gimana terjadi..” (perawat
menunjukkan ekspresi wajah yang tidak menyenangkan pada saat
memberikan informasi). (P8, L120-121)

Pembelajaran dari insiden keselamatan pasien

Pada sub tema ini terdapat dua kategori yaitu tidak ada pembelajaran dari

insiden dan mendapatkan fedbeck pembelajaran dari insiden

Tidak ada pembelajaran dari insiden

Perawat mengatakan kejadian insiden yang terjadi diruangannya hanya

mengetahui pembuatan insiden report oleh kepala ruang dan kepala ruang

melaporkan ke komite mutu setelah itu perawat tidak mengetahui kelanjutan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


80

tindakan dari kejadian insiden tersebut. Hal ini sesuai dengan ungkapan partisipan

sebagai berikut :

“Kemudian dibuat insiden report nya.. tapi setelah itu tidak tau gimana
maksudnya itu kelanjutannya itu seperti apa setelah kami lakukan insiden
report..” (perawat menunjukkan sedikit ekspresi kecewa pada wajahnya
dengan mengangkat alisnya). (P1, L69-71)

Mendapatkan feedback pembelajaran dari insiden

Kejadian insiden yang terjadi diruangan kemudian dibuat pelaporannya

dan ada yang mendapatkan feedback dari laporan tersebut dan bagian manajemen

turun keruangan untuk melakukan asesment kejadian dan membuat pembelajaran

dari insiden tersebut. Hal ini sesuai dengan ungkapan partisipan sebagai berikut :

“Ya.. Ada, jadi mereka langsung kesini cari informasi yang nyata gimana
kejadiannya kok bisa terjadi dan disosialisasikan kembalilah bagaimana
penanganan risiko jatuh..” (P10, L187-189)

Persepsi perawat tentang keselamatan pasien

Persepsi perawat tentang keselamatan pasien penting untuk diketahui

karena berkaitan dengan perilaku perawat dalam menjalan manajemen

keselamatan pasien. pada sub tema ini terdapat kategori persepsi perawat tentang

keselamatan pasien.

Pemahaman perawat tentang bahaya pada pasien

Perawat mengatakan bahwa keselamatan pasien itu sangat diperlukan

untuk mencegah terjadi bahaya bagi pasien dan juga perawat karena dapat

merugikan pasien dan keluarga juga rumah sakit. Hal ini sesuai dengan ungkapan

partisipan sebagai berikut :

“Keselamatan pasien diruang rawat inap adalah salah satu mutu rumah
sakit.. Mutu rawat inap, mutu pelayanan dirumah sakit lah.. prioritas
pasien.. jauh dari risiko cedera, risiko jatuh kesalahan dalam pemberian
obat dan lain-lain lah..” (P4, L15-17)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


81

“Kitakan orang medis dimana dalam pemeriksaan medis resiko-resiko


yang lain harus kita hindari paada pasien gitu..” (P9, L17-18)

“Patient safety itu mencegah atau menghindari hal-hal yang tidak


diinginkan kepada pasien seperti KTD, KNC..” ..”(perawat berusaha
meyakinkan informasi yang disampaikannya dengan menatap wajah
peneliti). (P12, L14-15)

Hambatan dalam menerapkan budaya keselamatan pasien

Melaksanakan program keselamatan pasien dirumah sakit dijumpai

berbagai hambatan. Hambatan tersebut berasal dari rumah sakit, perilaku

perawat, dan perilaku pasien dan keluarga. Pada tema ini terdapat tiga sub tema

yaitu hambatan dari perilaku perawat, hambatan dari terbatas fasilitas dan

hambatan dari perilaku pasien dan keluarga.

Hambatan dari perilaku perawat

Hambatan dalam menerapkan budaya keselamatan pasien salah satu nya

dari perilaku perawat. Perawat mengatakan masih belum mematuhi prosedur

tindakan dan kurang mematuhi dalam pemakaian APD. Pada sub tema ini terdapat

kategori kurang kepatuhan dari perawat.

Kurang kepatuhan perawat

Perilaku kurang kepatuhan perawat saat melakukan tindakan masih belum

sepenuhnya sesuai standar atau SOP tindakan dan perawat juga masih belum

memakai APD yang lengkap dan memakai APD pada pasien yang sama. Hal ini

sesuai dengan ungkapan partisipan sebagai berikut :

“Ya udah masuk tanpa menggunakan masker.. Yang kek gitu sih.. Jadi
menilai kadang masih kurang sih...kadang-kadang sepele kali
ya..”(perawat sedikit tersenyum karena merasa bersalah dengan
tindakannya). (P11, L251-252)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


82

“Kayak pemberian obat.. Itukan biasanya kalau sop nya pakai bak
instrumen.. Itu kita karena pasien ini banyak biar cepat belum kita
lakukan sop nya..” (P12, L99-100)

“Apalagi kalau memasang kateter steril tapi disini ku lihat kebanyakan


pakainya yang bersih...” (P14, L93-95)

Hambatan dari fasilitas

Hambatan dalam melaksanakan program keselamatan pasien salah satunya

adalah terbatas nya fasilitas seperti cairan sabun cuci tangan, alat perlindungan

diri perawat dan penanda risiko pasien jatuh.

Terbatas pemenuhan dari fasilitas

Hambatan dari terbatas nya fasilitas seperti sabun cuci tangan, tissue yang

sering habis bahkan kadang-kadang ruangan mengeluarkan dana sendiri untuk

memenuhi perlengkapan aseptik diruangan. Selain itu sarana yang lain sering

habis adalah penanda pasien risiko jatuh seperti stiker atau label warna kuning.

Hal ini sesuai dengan ungkapan partisipan sebagai berikut :

“Semenjak aku kerja disini gak pernah nampak entah atau stiker kuning
atau gelang kuning gitu.. Tapi memang pasiennya risiko jatuh..”
..”(perawat berusaha meyakinkan informasi yang disampaikannya dengan
menatap wajah peneliti). (P2, L181-183)

Biasanya dari pihak PPI yang kami minta dukung karena sabun sering
tidak ada sama tissue ..”(P6, L286)

“Kendala ada sih... dari sarana dan prasarana sabunnya gak ada dan
tisunya gak ada jadi tangannya basah jadi dilapkannya ya ..”(perawat
menjelaskan kondisi diruangan yang kekurangan sabun dan mengangkat
sedikit bahun yang menunjukkan kekecewaan). (P8, L62-63)

“Sabun cair itu agak kurang kalau disini.. Kadang pun dari ruangan kita
beli sendiri..” (P15, L68)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


83

Hambatan dari keluarga dan pasien

Hambatan yang lain dalam melaksanakan program keselamatan pasien di

rumah sakit adalah berasal dari pasien dan keluarga. Adapaun kategori pada sub

tema ini adalah kurang pemahaman dari keluarga dan kurang kepatuhan.

Kurang pemahaman

Perawat mengatakan setiap pasien dan keluarga pasien baru dilakukan

edukasi tetapi setelah diberikan edukasi keluarga pasien masih ada kurang patuh

dengan intruksi perawat mungkin disebabkan oleh pendidikan yang rendah dan

usia yang sudah tua. Hal ini sesuai dengan ungkapan partisipan sebagai berikut :

“Kalau pasien keluarga tidak mau kita tempel stiker kuning label segitiga
risiko jatuh kita buat dilembar intregasi menolak di catatan edukasi juga
menolak..” (perawat memperagakan seolah-olah perawat menganjurkan
keluarga pasien untuk menandatangi pernyataan penolakan). (P4, L77-79)

“Kadang-kadang saya lihat... Mungkin karena sekolahnya ya atau apa


kadang faham, ada yang faham tapi sedikitlah yang gak faham” (P5, L34-
35)

Kurang kepatuhan

Perawat mengatakan masih ada pasien dan keluarga pasien yang tidak

mematuhi apa yang sudah diinformasikan untuk keselamatan keluarganya.

Keluarga terkadang melakukan tindakan yang berisiko asalkan dapat

menyenangakan anggota keluarganya seperti melepas ikatan pasien yang

terpasang restrain. Hal ini sesuai dengan ungkapan partisipan sebagai berikut :

“Kadang pasien dengan risiko jatuh gelisah.. Kadang kita ikat.. Keluarga
bilang gak bisa begini begitu..Keluarga juga gak sanggup untuk jaga kita”
..”(perawat berusaha meyakinkan informasi yang disampaikannya dengan
menatap wajah peneliti). (P4, L154-155)

“Disini bisa dari pasang nya juga.. Pasiennya itu gak bisa menjaga
banyak pergerakan.. Terus kurang menjaga kebersihan diarea yang
diinfus..sering kadang basah..”(P7, L140-142)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


84

Harapan Perawat dalam Menerapkan Budaya Keselamatan

Perawat mengatakan mempunyai harapan dalam menerapkan budaya

keselamatan pasien di rumah sakit dan harapan tersebut merupakan suatu

keinginan perawat supaya program keselamatan pasien dapat terlaksana dengan

baik dan bermanfaat baik bagi perawat, pasien dan rumah sakit. Pada tema ini

terdapat dua sub tema yaitu harapan perawat kepada manajemen rumah sakit dan

harapan perawat kepada perawat dan tim kesehatan

Harapan kepada manajemen rumah sakit

Perawat mengatakan mempunyai harapan kepada pihak manajemen rumah

sakit dalam membangun budaya keselamatan di rumah sakit dengan memfasilitasi

pelaksanaan program keselamatan pasien. Ada lima kategori dalam sub tema ini

yaitu harapan untuk melengkapi fasilitas, harapan mengikuti pelatihan di rumah

sakit, harapan untuk di skrining dan pemberian vaksin, harapan untuk di supervisi,

dan harapan menambah SDM

Harapan untuk melengkapi fasilitas

Perawat mengatakan dalam melakukan praktik keperawatan terbatas

dalam fasilitas seperti sabun cuci tangan, tissue dan alat APD yang lain sehingga

perawat menghawatirkan risiko yang akan terjadi pada dirinya dan pasien. Selain

itu perawat juga menginginkan pemenuhan prasarana yang sesuai seperti bed

transfer di ruang IGD karena jumlah bed transfer terbatas di ruang IGD. Hal ini

sesuai dengan ungkapan partisipan sebagai berikut :

“Kadang gak ada stikernya..biasanya kami sudah di stanby kan


disitu..minta sih minta tapi kadang habis..” (wajah perawat menunjukkan
ekspresi kecewa). (P1, L324-325)

“Kepada rumah sakit lebih menyediakan stok banyak sabun terutama”


(P2, L321)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


85

“Untuk transfer pasien itu tempat tidurnya betul-betul yang transfer untuk
pasien bukan tempat tidur seperti diruangan.. memang alatnya mahal..”
..”(perawat berusaha meyakinkan informasi yang disampaikannya dengan
menatap wajah peneliti). (P8, L222-223)

Harapan mengikuti pelatihan

Pelatihan keselamatan pasien yang diadakan oleh rumah sakit masih

terbatas dan belum optimal dan ada perawat mengungkapkan tidak pernah

diikutsertakan dalam pelatihan.

“Saya ingin mendapatkan pelatihan dari rumah sakit.. Selama ini belum
pernah dapat.. dan kalau bisa rata mendapatkan kesempatan untuk
pelatihan..”(ekspresi perawat memelas ingin diikut sertakan dalam
pelatihan (P9, L127-128)

Harapan untuk di skrining dan pemberian vaksin

Perawat yang bekerja diruang yang berisiko penularan infeksi sangat

menginginkan agar pihak rumah sakit mau melakukan skrinning dan vaksin

kepada mereka seperti ruang hemodialisa, IGD dan intensive bukan pasien saja

yang diskrinning tetapi perawat juga dilakukan skrinning dan pemberian vaksin.

Hal ini sesuai dengan ungkapan partisipan sebagai berikut :

“Diperhatikanlah perawatnya.. mau nya di skrinning..” (P5, L235)

“Pemeriksaan skrinning untuk perawat itu perlu..” (P10, L369)

“Harapannya semua perawat disini dilakukan screenning karena kita gak


tau gitu ntah gak tertusukpun tapi ada luka tanpa kita sadari rupanya
pasien ini ada terkena HIV, Hepatitis untuk keselamatan pribadikan”
(P13, L277-279)

“Safety pasien pasti safety kita juga kan.. Jadi harapan kami juga sebagai
perawat safety juga sama kami.. Seperti injeksi-injeksi anti hepatitis dan
lain-lain itu sangat perlu..” (P8, L232-234)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


86

Harapan untuk di supervisi

Perawat menginginkan pihak manajemen rumah sakit agar melakukan

supervsi untuk melihat kondisi dilapangan, seperti fasilitas yang ada di rumah

sakit yang sudah habis atau kosong contohnya sabun cuci tangan, tissue, stiker

kuning untuk risiko pasien jatuh dan juga melihat kebutuhan perawat yang ada

dilapangan. Hal ini sesuai dengan ungkapan partisipan sebagai berikut :

“Maksudnya adalah yang mensupervisi keruangan kalau stiker nya sudah


habis.. Apa yang harus diperbaharui..” (P1, L333-334)

“Misalnya ada nya supervisi dari atas jadi setiap ilmu baru, ada
penerapan yang terbaru minimal pengontrollah minimal dua hari sekali
datang keruangan.. Karena kadang kita kalau kerja kepasien itu apalagi
pasiennya banyak kita jaga cuma berdua udah lelah kadang sering
terabaikan masalah keselamatan apalagi kebersihan tindakan kita.” (P12,
L137-141)

Harapan menambah SDM

Perawat mengatakan pada saat pasien ramai sedangkan tenaga perawat

terbatas sehingga mereka kadang kurang dapat menerapkan safety kepada pasien

karena terburu-buru dan harus melayani semua pasien dalam waktu bersamaan.

Hal ini sesuai dengan ungkapan partisipan sebagai berikut :

“Penambahan tenaga medisnya khusus nya perawt untuk di IGD ..


Karena cemanapun ceritanya kalau datangnya bersamaan kayak tadi itu
ceritanya gak safety lagi” (P14, L326-327)

Harapan kepada perawat dan tim kesehatan

Pada sub tema ini terdapat satu kategori yaitu harapan perawat

membangun budaya keselamatan pasien

Menerapkan budaya keselamatan pasien

Selain kepada pihak manajemen rumah sakit perawat juga mempunyai

harapan kepada sesama perawat dan tim kesehatan, karena untuk keselamatan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


87

pasien bukan hanya tanggung perawat tetapi tanggung jawab semua atau profesi

yang lain.

Hal ini sesuai dengan ungkapan partisipan sebagai berikut :

“Pasien safety itu tanggung jawab semua tim kesehatan di rumah sakit..
Kadang kesannya karena perawat yang 24 jam di pasien jadi patient
safety itu tanggung jawabnya..” ..”(perawat berusaha meyakinkan
informasi yang disampaikannya dengan menatap wajah peneliti). (P4,
L192-194)

“Semoga standarnya semakin dinaikkan..terus semakin diterapkan lah


SKP/SOP nya sesuai standartnya..” (P7, L247-248)

“Kalau ada insden-insiden report gitu disosialisasikan kesemua perawat


biar tau..terus kalau ada kesalahan dilaporkan ke karu jangan diam-
diam..” (P2, L322-323)

Tabel 4.2 Matriks Tema

Tema 1 : Melaksanakan sasaran keselamatan pasien dengan dukungan dari


manajemen rumah sakit

No Sub Tema Kategori


1 Melaksanakan sasaran keselamatan a. Mengidentifikasi pasien
pasien dengan tepat
b. Meningkatkan komunikasi
efektif,
c. Mewaspadai obat (high-alert)
dan memberi obat dengan
benar

d. Penandaan tepat lokasi


operasi, tepat prosedur dan
tepat pasien
e. Mengurangi risiko infeksi
f. Mengurangi risiko pasien jatuh

2 Manajemen rumah sakit a. Difasilitasi pelatihan/ in house


memfasilitasi perawat dengan tranning
pelatihan keselamatan pasien b. Mendapatkan bimbingan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


88

Tema 2: Memberikan informasi tentang asuhan pasien untuk meningkatkan


keselamatan pasien
No Sub Tema Kategori
1 Memberikan informasi tentang a. Memberikan informasi saat
asuhan pasien operan
2 Kerjasama antar perawat a. Meminimalkan konflik
b. Saling membantu sesama
perawat
3 Kerjasama dengan tim kesehatan a. Berkolaborasi dengan tim
kesehatan
b. Memberikan pengarahan
kepada tim kesehatan
Tema 3 : Melaporkan insiden keselamatan pasien

No Sub Tema Kategori


1 Pelaporan insiden pasien a. Kesadaran melaporkan insiden
pasien
b. Merahasiakan insiden pasien
2 Pembelajaran dari insiden a. Tidak ada pembelajaran dari
keselamatan pasien insiden
b. Mendapatkan fedbeck
pembelajaran dari insiden
3 Persepsi perawat tentang a. Pemahaman perawat tentang
keselamatan pasien bahaya pada pasien
Tema 4. Hambatan dalam menerapkan budaya keselamatan pasien

No Sub Tema Kategori


1 Hambatan dari perilaku perawat a. Kurang kepatuhan perawat

2 Hambatan dari fasilitas b. Terbatas pemenuhan dari


fasilitas
3 Hambatan dari keluarga dan pasien a. Kurang pemahaman
b. Kurang kepatuhan

Tema 5 : Harapan perawat dalam menerapkan budaya keselamatan


No Sub Tema Kategori
1 Harapan kepada manajemen rumah a. Harapan untuk melengkapi
sakit fasilitas
b. Harapan mengikuti pelatihan
c. Harapan menambah SDM
d. Harapan untuk di skrining dan
pemberian vaksin
e. Harapan untuk di supervisi
2 Harapan kepada perawat dan tim a. Harapan menerapkan budaya
kesehatan keselamatan pasien

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


89

Skema 4.1 Tema Pengalaman perawat pelaksana dalam menerapkan budaya keselamatan Pasien di Rumah Sakit USU

Pengalaman perawat pelaksana dalam menerapkan budaya keselamatan Pasien di Rumah Sakit USU

Tema Tema Tema Tema Tema


Melaksanakan sasaran keselamatan Memberikan informasi tentang
pasien dengan dukungan dari asuhan pasien untuk Melaporkan insiden Hambatan dalam menerapkan Harapan perawat dalam
manajemen rumah sakit meningkatkan keselamatan keselamatan pasien budaya keselamatan pasien menerapkan budaya
pasien keselamatan

Sub Tema Sub Tema Sub Tema Sub Sub Tema Sub Tema Sub Tema Sub Sub Tema Sub Tema
Melaksana Tema Tema Harapan Harapan
kan sasaran Manajemen rumah Memberikan Pelapo Pembelaja Hambatan Hambatan kepada kepada
keselamatan sakit memfasilitasi informasi tentang Kerjasama ran insiden ran insiden dari perilaku dari manajemen perawat dan
pasien perawat dengan asuhan pasien antar kes.pasien keselamatan perawat fasilitas rumah sakit tim
pelatihan pasien perawat pasien kesehatan
keselamatan pasien
Sub Tema Sub Tem
Sub Tema
Kerjasama dengan Hambatan
Persepsi perawat
Kategori tim kesehatan tentang dari keluarga Kategori
 Mengidentifikasi pasien keselamatan dan pasien  Melengkapi
dengan tepat Kategori pasien fasilitas
 Meningkatkan  Memini  Mengikuti
komunikasi efektif, Kategori malkan Kategori
Kategori Kategori Kategori pelatihan
 Mewaspadai obat (high- konflik  Kesadar  Tidak ada Terbatas  Harapan
Memberi Kategori
alert) dan memberi obat  Difasilitasi  Saling an pembelajar Kurang pemenuhan menambah SDM
kan melapor
dengan benar pelatihan/ in memban an dari kepatuhan dari  di skrining dan
informasi
 Penandaan tepat lokasi house tu kan insiden perawat fasilitas pemberian vaksin
saat operan insiden
sesama
operasi, tepat prosedur tranning
perawat pasien
 Mendapatk  disupervisi
dan tepat pasien  Mendapat an fedbeck Kategori
 Mengurangi risiko kan  Merahasia pembelajar  Kurang pemahaman
Kategori
infeks kan an dari Menerapkan
bimbingan  Kurang kepatuhan
 Mengurangi risiko Kategori insiden insiden budaya
pasien jatuh  Berkolaborasi dengan pasien keselamatan
tim kesehatan pasien
 Memberikan Kategori
pengarahan kepada Pemahaman perawat tentang
tim kesehatan bahaya pada pasien
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
90

Pembahasan

Pembahasan ini akan menguraikan pengalaman perawat pelaksana yang

terlibat dalam penelitian sesuai dengan kriteria inklusi penelitian. Berdasarkan

hasil penelitian dari pengalaman perawat pelaksana dalam menerapkan budaya

keselamatan pasien di Rumah Sakit Universitas Sumatera Utara didapatkan lima

tema, 13 sub tema dan 28 kategori. Adapun lima tema yang didapatkan dari

pengalaman perawat pelaksana dalam menerapkan budaya keselamatan pasien di

Rumah Sakit Universitas Sumatera Utara yaitu 1) melaksanakan sasaran

keselamatan pasien dengan dukungan dari manajemen rumah sakit, 2)

memberikan informasi tentang asuhan pasien untuk meningkatkan keselamatan

pasien, 3) melaporkan insiden keselamatan pasien, 4) hambatan dalam

menerapkan budaya keselamatan pasien, dan 5) harapan perawat dalam

menerapkan budaya keselamatan pasien.

Melaksanakan Sasaran Keselamatan Pasien dengan Dukungan dari

Manajemen Rumah Sakit

Berdasarkan hasil analisis data yang telah dilakukan peneliti mendapatkan

partisipan melaksanakan sasaran keselamatan pasien dengan dukungan dari

manajemen rumah sakit yaitu dengan melakukan 1) mengidentifikasi pasien

dengan tepat, 2) meningkatkan komunikasi efektif, 3) mewaspadai obat (High-

alert) dan memberi obat dengan benar, 4) penandaan tepat lokasi operasi, tepat

prosedur dan tepat pasien 5) mengurangi risiko infeksi, 6) mengurangi risiko

pasien jatuh dan dukungan dari manajemen rumah sakit yang perawat dapatkan

adalah manajemen rumah sakit memfasilitasi perawat dengan pelatihan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


91

keselamatan pasien yaitu pelatihan in house tranning dan mendapatkan

bimbingan.

Keselamatan pasien merupakan hal mendasar dalam mutu pelayanan

kesehatan dan pelayanan keperawatan dan menjadi suatu yang harus diterapkan.

Keselamatan pasien rumah sakit dapat dinilai dengan melaksanakan program

keselamatan pasien salah satunya adalah sasaran keselamatan pasien. Untuk

membuat pelayanan kepada pasien lebih aman selama dalam proses perawatan

setiap rumah sakit wajib mengupayakan pemenuhan sasaran keselamatan pasien

karena dengan penerapan sasaran keselamatan pasien yang baik akan tercipta

pelayanan yang paripurna. Hal ini sejalan dengan pendapat Mc Fadden et al.

(2009) menyatakan tingkat pelaksanaan pelayanan terkait keselamatan pasien

akan berdampak langsung kepada outcome keselamatan pasien yaitu frekuensi

kejadian insiden, persepsi dan kewaspadaan terhadap keselamatan pasien. Untuk

itu perlu menerapkan budaya keselamatan pasien dalam pelaksanaan program

keselamatan pasien di pelayanan keperawatan rumah sakit. Berdasarkan

manfaatnya fokus pada budaya keselamatan pasien akan lebih berhasil apabila

dibandingkan fokus pada program keselamatan pasien (Hadi, 2017).

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas perawat

pelaksana menerapkan salah satu program keselamatan pasien yaitu melaksanakan

sasaran keselamatan pasien dengan baik. Berdasarkan ungkapan yang didapatkan

perawat pelaksana melaksanakan sasaran keselamatan pasien dengan melakukan

1) mengidentifikasi pasien dengan tepat, 2) meningkatkan komunikasi efektif, 3)

mewaspadai obat (high-alert) dan memberi obat dengan benar, 4) penandaan tepat

lokasi operasi, tepat prosedur dan tepat pasien (site marking), 5) mengurangi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


92

risiko infeksi, dan 6) mengurangi risiko pasien jatuh. Sejalan dengan penelitian

Insani dan Sundari (2018) yang melakukan analisis pelaksanaan keselamatan

pasien oleh perawat menunjukkan 84 % telah telah melakukan identifikasi dengan

dua identitas pasien yaitu nama pasien sesuai tanda pengenal dan tanggal lahir

pasien, 91% perawat telah melakukan komunikasi efektif, 100% sikap

meningkatkan keamanan obat pemakaian obat dengan kewaspadaan tinggi, 100 %

operasi aman, selama ini tidak pernah terjadi kesalahan dalam operasi, 94%

perawat telah melakukan pencegahan resiko infeksi dengan melakukan hand

hygiene dengan benar dan 81% perawat mengurangi risiko pasien yang cedera

akibat jatuh. Hal ini sesuai dengan permenkes RI No. 11 tahun 2017 bahwa salah

satu tujuan dari keselamatan pasien adalah untuk menciptakan budaya

keselamatan pasien di rumah sakit yaitu dengan melaksanakan sasaran

keselamatan pasien dengan optimal.

Pelaksanaan program keselamatan pasien rumah sakit merupakan

tanggung jawab bersama seluruh elemen dari rumah sakit. Manajer/pimpinan

memainkan peran penting dalam mengembangkan program keselamatan pasien.

Berdasarkan hasil penelitian perawat dapat melaksanakan program keselamatan

pasien dengan baik karena dukungan dari manajemen rumah sakit dengan

memfasilitasi perawat untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan atau

kemampuan dalam melaksaanakan sasaran keselamatan pasien dengan pelatihan

keselamatan pasien in house training dan memberikan bimbingan kepada perawat

terkait masalah yang tidak dapat mereka selesaikan sendiri.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


93

Pelatihan merupakan proses belajar untuk meningkatkan pemahaman dan

keterampilan. Menurut Marquis dan Huston (2008) pelatihan sebagai metode

untuk memastikan bahwa individu memiliki pengetahuan dan keterampilan

tertentu. Pengetahuan tersebut dapat meningkatkan kemampuan afektif, motor,

dan kognitif sehingga akan diperoleh suatu peningkatan hasil yang baik. Adapun

pelatihan keselamatan pasien in house training yang perawat dapatkan antara lain

komunikasi efektif, hand hygiene, mentransfer pasien, menyiapkan obat dengan

benar dan banyak pelatihan yang lainnya dan sesuai dengan hasil penelitian

menunjukkan mayoritas perawat melaksanakan sasaran keselamatan dengan baik.

Sejalan dengan penelitian oleh Sithi dan Widiastuti (2016) menjelaskan bahwa

pelatihan keselamatan pasien dapat meningkatkan pemahaman perawat akan

pentingnya keselamatan pasien dan dari hasil monitoring menunjukkan kepatuhan

mencapai 97%.

Berdasarkan hasil penelitian perawat mengungkapkan difasilitasi dengan

pelatihan cuci tangan untuk mencegah risiko infeksi dan mayoritas perawat

melaksanakan cuci tangan dengan sabun dan handrub. Sejalan dengan penelitian

Solely, Handiyani dan Nuriyani (2015) perawat pelaksana yang diberkan

pelatihan kebersihan tangan dengan fluorescence lotion lebih memiliki rasa

keingintahuan, antusias dan kesadaran yang tinggi tentang pentingnya melakukan

kebersihan tangan.

Pelaksaan sasaran keselamatan pasien dapat dilaksanakan secara optimal

dengan memfasilitasi perawat dengan pelatihan secara reguler dan rutin kepada

semua perawat untuk itu perlu dukungan dari manajemen rumah sakit untuk

mengembangkan budaya keselamatan pasien.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


94

Menurut Hasting (2006) langkah-langkah dalam mengembangkan budaya

keselamatan pasien yang mendukung perawat dalam pelaksanaan keselamatan

adalah langkah pertama dan langkah kelima. Langkah pertama yaitu kembali

fokus pada keselamatan pasien. Pada langkah ini manejemen rumah sakit

memberikan dukungan kepada perawat agar memberikan pelayanan yang terbaik

dan teraman dan keselamatan pasien menjadi prioritas dalam pelayanan

keperawatan. Langkah kelima dalam mengembangkan budaya keselamatan pasien

yaitu menggunakan sistem yang menyeluruh bukan individu. Keselamatan pasien

tidak bisa menjadi tanggung jawab individual. Pada langkah ini manajemen

memberikan pelatihan dan mendorong staf dengan tujuan untuk meningkatkan

kualitas pelayanan dan keselamatan pasien.

Meningkatkan budaya keselamatan suatu organisasi dapat dicapai dengan

melaksanakan sejumlah intervensi, sering menargetkan satu atau lebih dimensi

budaya keselamatan pada suatu waktu. Salah satunya adalah dengan memberikan

pendidikan ilmu keamanan kepada staf. Berdasarkan penelitian kualitatif

sebelumnya terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan intervensi

rumah sakit untuk mendorong profesionalisme dan membangun budaya

keselamatan yaitu; 1) mempertahankan iklim implementasi yang menguntungkan,

2) para pemimpin secara konsisten menunjukkan perilaku yang mendukung

budaya keselamatan, 3) meningkatkan kompatibilitas kondisi kerja dengan tujuan

intervensi, 4) membangun kepercayaan dalam sistem untuk mengatasi perilaku

tidak profesional, dan 5) menanggapi kebutuhan yang berkembang.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


95

Menurut Halligan dan Zecevic (2014) beberapa intervensi untuk

meningkatkan keamanan yang paling sering adalah melalui; pelatihan tim,

penciptaan tim keselamatan pasien, dan program pelatihan kepemimpinan

'keselamatan' dan keselamatan pasien. Sejalan dengan penelitian Turkmen et al.

(2013) menemukan persepsi perawat tentang budaya keselamatan pasien adalah

baik. Penelitian tersebut menjelaskan persepsi perawat baik karena sebagian besar

perawat menerima dan mengaplikasikan pendidikan atau pelatihan untuk

meningkatkan kualitas layanaan kesehatan dan keselamatan pasien.

Peneliti berasumsi mayoritas perawat pelaksana telah melaksanakan

program sasaran keselamatan pasien dengan baik karena manajemen rumah sakit

telah melakukan promosi keselamatan pasien dengan membuat pelatihan-

pelatihan yang terkait dengan keselamatan pasien dan memberikan bimbingan

kepada perawat sehingga perawat memiliki kompetensi baik pengetahuan, sikap

dan keterampilan tentang keselamatan pasien dan pelayanan keperawatan di

rumah sakit dapat diberikan dengan aman dan berkualitas kepada pasien dan

keluarga.

Memberikan Informasi Tentang Asuhan Pasien Untuk Meningkatkan

Keselamatan Pasien

Berdasarkan hasil analisa data yang telah dilakukan peneliti mendapatkan

bahwa memberikan informasi tentang asuhan pasien untuk meningkatkan

keselamatan pasien dilakukan dengan memberi informasi tentang asuhan pasien

saat operan, dilakukan dengan bekerjasama dengan antar perawat dan kerjasama

dengan tim kesehatan.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


96

Komunikasi adalah proses tukar menukar pikiran, pendapat perasaan dan

saran yang terjadi antara dua orang atau lebih yang bekerjasama. Komunikasi

sangat penting untuk efisiensi kerja dan untuk koordinasi antara pelaksana, tim

dan manajer. Komunikasi saat operan adalah pemberian informasi secara lisan

mengenai pasien untuk kesinambungan asuhan yang diberikan. Dalam pemberin

asuhan keperawatan kepada pasien perawat berperan meningkatkan komunikasi

dengan pasien dan tenaga kesehatan lainnya dengan tujuan untuk mencegah

terjadinya kesalahan pemberian informasi mengenai asuhan dan meningkatkan

keselamatan pasien maka perawat harus menerapkan komunikasi efektif.

Komunikasi efektif dapat dilakukan antar teman sejawat (perawat dengan

perawat) baik dari dalam unit ataupun diluar unit rawatan pasien (Hadi, 2018).

Berdasarkan hasil penelitian mayoritas partisipan mengungkapkan pada

saat operan perawat menyampaikan informasi mengenai pasien dengan lengkap,

rinci, singkat dan jelas. Adapun informasi yang diberikan itu pengkajian yang

sudah dilakukan sebelumnya, terapi yang diberikan, pemeriksaan diagnostik dan

rencana tindakan selanjutnya. Pelaksanaannya operan antar unit misalkan dari

IGD keruangan rawat inap, hampir semua perawat rawat inap dikelas dua dan tiga

saat operan berlangsung tidak disamping pasien. setelah perawat IGD

memasukkan pasien diruangan yang telah ditentukan oleh ruangan kemudian

perawat IGD menyampaikan semua terkait mengenai informasi pasien kepada

perawat penerima yang ada di Ners Stasiun, kemudian perawat yang ada di ners

stasiun mengecek kelengkapan dokumen dan rencana tindakan berikutnya yang

akan diberikan kepada pasien. jika semua informasi telah diterima dan tidak ada

hal-hal lagi yang perlu diperjelas proses operan selesai.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


97

Selama proses serah terima informasi ini tidak pernah terjadi kesalahan

dan jika ada data yang tidak tepat segera untuk diperbaiki. Pelaksanaan operan

saat dalam unit atau antar shift jika pada pagi hari dilakukan diners stasiun di

pimpin oleh kepala ruang dengan menyampaikan infomasi mengenai pasien.

setelah itu dilakukan operan antar bed pasien. Semua pasien dikunjungi oleh

perawat yang bekerja di shift pagi dan malam. Tetapi operan antar shift siang dan

malam perawat hanya melakukannya di ruang ners stasiun. Sejalan dengan

penelitian Sohi et al. (2015) komunikasi efektif mengurangi durasi pelaksanaan

timbang terima. Berdasarkan penelitian tersebut penggunaan komunikasi efektif

dalam pelaksanaan timbang terima, dapat menghemat waktu dan informasi yang

disampaikan menjadi lebih lengkap untuk kontinuitas perawatan dan pengobatan

pasien. Salah satu bentuk komunikasi efektif adalah komunikasi saat

melaksanakan operan yang merupakan transfer informasi dan tanggung jawab

profesional untuk kelanjutan perawatan pasien. Komunikasi efektif saat operan

dapat meningkatkan kolaborasi, waktu pelaksanaan dapat diminimalkan dan

informasi yang disampaikan lebih akurat (Mairosa et al., 2019).

Operan (handover) merupakan transfer informasi dan tanggung jawab dari

satu penyedia layanan ke penyedia layanan lain dalam Abdurrahman dan Garcia,

(2016) operan merupakan proses menyampaikan informasi pasien dan transfer

tanggung jawab antar pemberi layanan. Operan dapat dilakukan seperti: operan

terima antar shift, operan antar unit keperawatan, operan antar unit rawatan

dengan unit pemeriksaaan diagnostik, operan dengan bagian obat-obatan dan

operan antar fasilitas kesehatan. Jadi operan merupakan transfer informasi dan

tanggung jawab antar pemberi layanan, antar profesi dan antar unit layanan.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


98

Operan bila dilakukan dengan baik akan memberi manfaat baik bagi

perawat dan juga bagi pasien sendiri. Menurut Simamora (2018) dalam bukunya

menjelaskan manfaat operan bagi pasien adalah pasien dapat menyampaikan

masalah secara langsung bila ada yang belum terungkap, sedangkan manfaat bagi

perawat adalah meningkatkan kemampuan komunikasi antar perawat, menjalin

hubungan kerjasama dan tanggung jawab antar perawat dan pelaksanaan asuhan

keperawatan dengan berkesinambungan dan dapat mengikuti perkembangan

pasien secara paripurna.

Memberikan informasi tentang asuhan pasien diperlukan kerjasama tim.

Kerjasama tim dapat berupa kerjasama tim sesama perawat didalam ruangan/ unit

atau diluar unit dan kerjasama tim dengan antar profesi. Kerjasama tim

merupakan bentuk perilaku perawat dalam bekerja didalam tim dan membuat

individu saling mengingatkan, mengoreksi, berkomunikasi sehingga peluang

terjadinya kesalahan dapat dihindari. Tim kerja merupakan kumpulan individu

yang dibentuk untuk mencapai tujuan bersama. Interaksi yang terjadi antar

individu dalam tim akan lebih erat daripada anggota lain diluar organisasi (Hadi,

2018).

Berdasarkan hasil penellitian perawat mengungkapkan kerjasama tim

perawat dengan melakukan saling membantu pekerjaan antar perawat dan

meminimalkan konflik. Saat melakukan pekerjaan terkadang perawat tidak dapat

melakukannya dengan baik dan butuh bantuan dari tim nya atau perawat yang

merawat banyak pasien sehingga memerlukan bantuan dari rekan kerjanya.

Disamping itu terkadang emosi perawat tidak stabil mungkin karena beban kerja

yang meningkat atau masalah pribadi perawat dan perawat tidak dapat

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


99

mengontrolnya terkadang dapat memicu konflik. Perawat berusaha untuk

meminimalkan nya dan bersabar dengan tujuan tidak mengganggu kerja dan

menggangu perawatan pasien.

Berdasarkan pendapat Laal et al. (2016) kegagalan dalam komunikasi dan

tim kerja dapat menyebabkan kesalahan medis dalam perawatan pasien. Sejalan

dengan penelitin oleh Cho dan Choi menemukan kerja tim dalam unit dapat

meningkatkan kompetensi keselamatan pasien perawat. Menurut Lee (2015)

kompetensi keselamatan pasien perawat adalah kemampuan perawat untuk

mengintegrasikan sikap, keterampilan, pengetahuan kedalam praktik keperawatan

dengan tujuan untuk meminimalkan risiko bahaya bagi pasien diunit mereka.

Kerjasama dalam tim dapat meningkatkan keselamatan dalam pemberian

asuhan kepada pasien. Berdasarkan hasil penelitian Pidada dan Darma (2018)

kerja sama tim perawat dalam meningkatkan keselamatan pasien berbasis Tri Hita

Karma ditemukan tema masih kurangnya koordinasi sesama perawat dalam

melaksanakan SPO dan kurangnya sikap komunikatif perawat dalam

menejelaskan hal-hal yang terkait dengan keselamatan pasien dan keluarga,

kurangnya sarana dan prasarana yang menunjang dalam pelaksanaan keselamatan

pasien, dan kedisiplinan dalam melaksanakan doa bersama, pengadaan untuk

sarana dan prasarana ibadah.

Kerja tim yang baik adalah salah satu perilaku membentuk budaya

keselamatan konstruktif. Menurut SNARS (2017) budaya keselamatan pasien

yang konstruktif adalah penting untuk meningkatkan kualitas dan keamanan

perawatan kesehatan dengan mewujudkan perilaku yang menerapkan budaya

keselamatan yang positif yaitu dengan mendukung kerja sama dan rasa hormat

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


100

terhadap sesama tanpa melihat jabatan mereka dalam rumah sakit dengan

menunjukkan perilaku yang mendukung budaya keselamatan seperti; 1) perilaku

yang tidak layak (inappropriate) seperti kata-kata atau bahasa tubah yang

merendahkan atau menyinggung perasaan, 2) perilaku yang mengganggu

(distruptive) yaitu bentuk tindakan yang membahayakan atau mengintimidasi staf

lain, 3) perilaku yang melecehkan terkait dengan ras, agama, suku dan gender, dan

4) pelecehan seksual.

Berdasarkan dimensi keselamatan pasien kerja tim dalam unit diperlukan

untuk menciptakan budaya keselamatan pasien yaitu dengan perawat yang saling

mendukung satu sama lain, memperlakukan dengan rasa hormat dan bekerjasama

sebagai satu tim (AHRQ, 2016).

Kerjasama tim yang efektif dipelayanan kesehatan dapat berdampak positif

dan meningkatkan keselamatan pasien. Tim yang berfungsi baik berupaya untuk

meningkatkan kinerja dengan belajar. Bentuk kerjasama perawat-dokter dalam

keselamatan pasien dalam penelitian ini adalah berkolaborasi dan memberikan

pengarahan. Kolaborasi perawat-dokter misalnya dalam pemberian obat pasien

dan pengarahan yang dilakukan perawat kepda tim kesehatan yang lain berupa

mengingatkan dalam melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan SOP atau

mengingatkan hal-hal yang harus dikerjakan oleh dokter untuk memenuhi asuhan

pasien.

Perawat dan dokter adalah dua penyedia layanan kesehatan paling penting

dalam lingkungan klinis (Schneider, 2018). Mereka melakukan tugas yang

berbeda dan berbeda dalam praktik klinis, namun diharapkan berkolaborasi secara

efektif untuk memberikan layanan berkualitas bagi pasien. Kolaborasi perawat-

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


101

dokter telah didefinisikan sebagai perawat dan dokter bekerja sama, berbagi

tanggung jawab untuk menyelesaikan masalah dan membuat keputusan untuk

merumuskan dan melaksanakan rencana perawatan pasien (Ushiro, 2009).

Kolaborasi perawat-dokter sangat penting untuk memberikan perawatan yang

komprehensif, efisien dan berkualitas tinggi dan memiliki peran penting dalam

keselamatan pasien dan hasil pasien yang berkualitas.

Berdasarkan penelitian komunikasi dan kolaborasi perawat dan dokter

yang baik akan memberikan manfaat diantaranya adalah perawatan pasien yang

berkualitas seperti lebih sedikit infeksi yang didapat di rumah sakit (Boev & Xia,

2015), masa rawatan yang lebih pendek (Tschannen & Kalisch, 2009), dan tingkat

kematian menurun (De Meester, Verspuy, Monsieurs, & Van Bogaert, 2013).

Selain itu, semakin banyak bukti telah mengidentifikasi peran persepsi penyedia

layanan kesehatan kolaborasi dalam otonomi kerja staf, kepuasan kerja dan retensi

(Karanikola et al., 2014; Zhang et al., 2016). Sebaliknya akibat kolaborasi dokter

dan perawat yang buruk akan berdampak pada dapat menyebabkan risiko

kesalahan medis yang lebih tinggi.

Berdasarkan hasil penelitian kolaborasi perawat dan dokter baik dan tidak

ada hambatan, semua kebutuhan pasien dapat dipenuhi dengan baik. Sejalan

dengan penelitian Wang et al. (2018) menunjukkan persepsi perawat tentang

kolaborasi relatif positif, terutama dalam berbagi informasi pasien; Namun,

perbaikan perlu dilakukan terkait partisipasi bersama dalam proses pengambilan

keputusan untuk penyembuhan/ perawatan. Komunikasi yang efektif, rasa hormat

yang dirasakan dan keinginan untuk berkolaborasi secara signifikan

mempengaruhi persepsi perawat tentang kolaborasi perawat-dokter, dengan rasa

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


102

hormat yang dirasakan memiliki kekuatan penjelas yang lebih besar di antara

ketiga faktor interaksional.

Peneliti berasumsi perawat pelaksana berusaha untuk memberikan

pelayanan yang baik dan aman kepada pasien dengan melakukan kerja sama dan

kolaborasi yang baik kepada tim perawat dan tim kesehatan. Untuk memenuhi

kebutuhan pasien dalam asuhan keperawatan perawat melakukan operan dan

berusaha untuk meminimalkan konflik agar tidak menghambat pemberian

informasi kepada tim ksehatan yang terlibat dalam perawatan pasien.

Melaporkan Insiden Keselamatan Pasien

Berdasarkan hasil analisa data yang telah dilakukan peneliti mendapatkan

bahwa insiden keselamatan pasien yang terjadi di rumah sakit dilakukan dengan

1) pelaporan insiden keselamatan pasien (kesadaran diri melaporkan dan

merahasiakan insiden), 2) pembelajaran dari insiden keselamatan pasien (tidak

ada pembelajaran dari insiden dan mendapatkan feedback dari pembelajaran dari

insiden, 3) mengetahui persepsi perawat tentang keselamatan pasien (pemahaman

perawat tentang bahaya yang terjadi pada pasien).

Insiden keselamatan pasien merupakan setiap kejadian yang tidak

disengaja yang mengakibatkan cedera pada pasien atau merupakan akibat dari

melakukan tindakan. Setiap insiden yang terjadi harus membuat pelaporan insiden

(incident report) baik bagi perawat yang terlibat atau yang menemukan insiden

tersebut. Pelaporan merupakan suatu sistem yang penting dalam mengidentifikasi

masalah keselamatan pasien dan awal proses pembelajaran untuk mencegah

kejadian yang sama terulang kembali (Ismaidar, 2018).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


103

Pelaporan kejadian insiden bermanfaat bagi rumah sakit dan perawat karena

berdasarkan prinsip penting pelaporan insiden menjelaskan fungsi utama

pelaporan insiden adalah untuk meningkatkan keselamatan pasien melalui

pembelajaran dari kegagalan/kesalahan (Simamora, 2018).

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan mayoritas perawat apabila terlibat

insiden akan melaporkan insiden tersebut dengan kesadaran sendiri kepada kepala

ruangan atau ketua tim dengan alasan akan merugikan pasien, dan keluarga,

rumah sakit dan perawat sendiri karena bagaimanapun usaha untuk

menyembunyikannya pasti akan ketahuan juga. Berdasarkan ungkapan mayoritas

perawat tersebut belum pernah terlibat dalam kejadian insiden dan apabila terlibat

dalam kejadian insiden mereka akan melaporkannya kepada atasannya yaitu

kepada kepala ruangan atau ke ketua tim. Kejadian insiden yang terjadi diruangan

mereka bukan karena kesalahan mereka tetapi dari pasien dan keluarga atau dari

bagian lain. Contohnya pasien jatuh karena keluarga yang lalai untuk mengontrol

keluarganya dan kesalahan orederan obat dari pihak farmasi tetapi perawat

melaporkan kembali obat yang salah tersebut kepada farmasi sebelum diberikan

kepada pasien. Sejalan dengan penelitian Joolaee et al. (2011) menemukan

perawat yang terlibat dalam kejadian insiden mau melaporkan kesalahannya

sebanyak 19,5 % (selama periode tiga bulan) dan tingkat pelaporan kesalahan

rata-rata 1,3 perperawat.

Perawat dengan kesadaran melaporkan insiden dipengaruhi oleh persepsi

lingkungan kerja dan budaya keselamatan pasien. Tingkat pelaporan insiden

terkait erat dengan lingkungan tempat kerja dan peraturan internal termasuk

prosedur pelaporan. Lingkungan kerja yang menekan akan berdampak negatif

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


104

pada perawat dan pasien dan lingkungan kerja yang sehat dapat meningkatkan

kepuasan kerja perawat, mengurangi stres dan kelelahan dan menghasilkan

perawatan yang berkualitas. Berdasarkan penelitian Yoo dan Kim (2017)

menemukan perawat yang mempunyai persepsi lingkungan kerja dan budaya

keselamatan pasien yang positif akan berkolerasi positif dengan sikap pelaporan

insiden.

Perawat adalah salah satu tenaga kesehatan yang memberikan asuhan

kepada pasien. Pada saat memberikan asuhan kepada pasien perawat tidak luput

dari melakukan kesalahan. Menurut Moosazadeh et al. (2016) perawat adalah

kelompok profesional kesehatan yang tampaknya paling berisiko mengalami

kesalahan. Menurut penelitian terkait pelaporan kejadian insiden, perawat adalah

pelapor paling buruk dibandingkan dengan tenaga kesehatan yang lainnya

(Seyedin et al., 2016).

Berdasarkan hasil penelitian terdapat dua perawat yang tidak membuat

pelaporan insiden (incident report) atas kesalahan kejadian yang dilakukannya.

satu perawat melakukan kesalahan memberikan obat antibiotik dan perawat yang

lain mendapati pasien jatuh walapun sebenarnya bukan kesalahan perawat tersebut

tetapi kerena kelalaian dari keluarga untuk mengawasi pasien tersebut. Pada saat

itu perawat melakukan tindakan kepada perawat yang lain dalam kondisi darurat.

Kedua perawat tersebut menyembunyikan kejadian tersebut dan tidak membuat

laporan kejadian dengan alasan tidak terjadi bahaya atau efek yang merugikan

pada pasien, jika terjadi efek yang merugikan pada pasien kedua perawat tersebut

akan membuat laporan kejadiannya.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


105

Terdapat satu perawat yang menemukan kejadian insiden kesalahan dalam

memberikan obat kepada pasien tetapi perawat yang melakukan kesalahan

tindakan tersebut tidak membuat laporan kejadian dan bersama dengan perawat

satu shift lain mendiamkan kejadian tersebut tetapi dokter yang mengetahui

kejadian tersebut dan melaporkan kepada bagian manajemen. Sebagai sanksi atas

tindakan tersebut perawat yang melakukan kesalahan tersebut dimutasi keruang

perawatan yang lain, tetapi alasan manajemen rumah sakit memutasikan perawat

tersebut karena diruangan tersebut membutuhkan perawat yang kompetensinya

terdapat pada perawat tersebut. Alasan dari dua perawat yang terlibat dalam

insiden merahasiakan kejadian tersebut adalah tidak mau berurusan dengan bagian

manajemen, akan dipanggil-panggil untuk meminta untuk membuat kronologis

kejadian, takut disalahkan dan tidak mendapat perlindungan. Sikap perawat yang

menutup-nutupi kejadian insiden merupakan sikap dalam menghambat penerapan

sistem keselamatan pasien. Menurut Akins dan Cole (2005) salah satu

penghambatnya adalah budaya persepsi tenaga perawatan kesehatan, sikap dan

perilaku yang menutup-nutupi dari melakukan kesalahan.

Berdasarkan hasil penelitian alasan tidak melaporkan kajadian insiden

adalah ketakutan akan dampaknya, keyakinan bahwa pelaporan tidak akan

membawa perbaikan dan kurangnya umpan balik dari manajemen, kurangnya

dukungan manajemen. Perawat juga takut terlihat tidak kompeten dan diadili oleh

rekan-rekan mereka, dan tidak ada dukungan dari manajemen dan rekan kerja.

Selain itu alasan takut dari tindakan disilpiner, kemungkinan litigasi, dan

kurangnya pengetahuan tentang manfaat sistem pelaporan insiden (Moumtzoglou,

2010; Lederman et al., 2013).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


106

Sejalan dengan penelitian Lee et al. (2014) beradasarkan hasil studi

fenomenologi tentang pengalaman perawat tentang insiden keselamatan pasien

menemukan ada enam tema yaitu; Ketakutan terhadap kondisi pasien yang

disebabkan oleh kecelakaan, Konflik dalam laporan kecelakaan, Menyalahkan

orang lain dan keadaan, Merasa bersalah dan menyesal karena kondisi pasien

membaik, kecewa dengan suasana yang tidak menyenangkan dalam berurusan

dengan kecelakaan, Setelah kecelakaan, peka dalam melakukan tugas

keperawatan dan setia pada prinsip-prinsip.

Pada penelitian yang lain hambatan yang mencegah perawat ICU

melaporkan kejadian insiden atau kejadian yang tidak diinginkan adalah 1) takut

akan konsekuensi pelaporan kesalahan. Perawat takut untuk melaporkan

kesalahan karena akan disalahkan dan dikenai tindakan disipliner oleh

manajemen, perawat merasakan dianggap tidak berkompeten dan perawat tidak

mendapatkan dukungan, 2) hambatan prosedural. Tidak mempunyai pedoman

khusus tentang cara melaporkan kesalahan telah menjadi salah satu hambatan

utama untuk pelaporan dan 3) hambatan manajemen. Pandangan manajer adalah

bahwa perawat yang melakukan kesalahan harus bertanggung jawab dan

diperhitungkan (Mansouri et al., 2019).

Penelitan kualitatif sebelumnya ynag dilakukan oleh Fisher dan Kiernan

(2019) tentang pengalaan mahasiswa perawat dalam keselamatan pasien

menjelaskan bahwasanya mahasiswa perawat berkeinginan untuk memaparkan

apa yang didapatkannya dari perilaku perawat yang kurang baik dalam

memberikan pelayanan, tetapi mereka tidak berani membenarkan perbuatan

tersebut karena takut dihukum, mengakui hierarki sehingga mahasiswa perawat

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


107

merasa rentan untuk menantang perawat dan budaya tim, bahwasanya tim sangat

berpengaruh mereka dalam mengambil keputusan.

Berdasarkan Permenkes RI No. 11 Tahun 2017 dan SNARS (2017) untuk

meningkatkan pelaporan kejadian insiden dengan tujuan untuk menurunkan

kejadian insiden langkah yang tepat adalah menciptakan/membangun budaya

keselamatan pasien salah satunya adalah budaya pelaporan. keterbukaan dan

melaporkan ketika terjadi kejadian insiden keselamatan pasien, keadilan antara

perawat ketika terjadi insiden keselamatan pasien dan menghindari budaya

menyalahkan, serta pembelajaran terhadap suatu kesalahan atau insiden

keselamatan pasien

Menurut National Patient Safety Assosiation (NPSA, 2009) terdapat lima

langkah menuju sistem pelaporan kejadian insiden yaitu: 1) beri umpan balik pada

staf saat mereka memberikan pelaporan kejadian, 2) berfokus pada pembelajaran

tentang kejadian dengan akar masalah, pelatihan tentang pelaporan insiden dan

lomba pelaporan internal. Lima langkah berikutnya yaitu: membuat alat yang

mudah untuk mencatat laporan kajadian yang dapat dilakukan, membudayakan

pelaporan menjadi sebagai upaya untuk peningkatan mutu, serta menghilangkan

budaya menyalahkan.

Menurut Simamora (2018) dalam bukunya yang berjudul Keselamatan

Pasien Melalui Timbang Terim Pasien Berbasis Komunikasi Efektif: SBAR,

menjelaskan prinsip penting pelaporan insiden adalah pelapor insiden harus aman;

staf tidak boleh dihukum karena melapor, pelaporan insiden hanya akan

bermanfaat kalau menghasilkan respon yang konstruktif; minimal memberikan

umpan balik tentang data kejadian yang tidak diharapkan dan analisanya, analisa

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


108

yang baik dan proses pembelajaran yang berharga memerlukan keahlian, tim

keselamatan pasien rumah sakit (TKPRS) perlu menyebarkan informasi,

rekomendasi perubahan dan pengembangan solusi.

Kejadian insiden keselamatan pasien dirumah sakit memerlukan suatu

pembelajaran. Pembelajaran merupakan proses belajar perawat dan manajemen

untuk mempelajari kejadian yang terjadi mengambil tindakan atas kejadian

tersebut untuk diterapkan sehingga dapat mencegah terulangnya kesalahan.

Contoh umpan balik dari organisasasi atau manajemen dari insiden yang

dilaporkan perawat merupakan budaya pembelajaran yaitu dengan melakukan

pelatihan yang menunjang kompetensi perawat dalam melakukan asuhan kepada

pasien.

Berdasarkan hasil penelitian mayoritas perawat mengungkapkan bahwa

setiap kejadian insiden diruangan yang dilaporkan oleh kepala ruang tidak

mendapatkan pembelajaran dari manajemen, inciden report hanya dilaporkan dan

perawat tidak mengetahui kelanjutan dari pelaporan tersebut. Tetapi terdapat dua

perawat yang mengungkapkan terdapat feedback dari insiden yang terjadi

diruangan, kejadian insidien yang mendapatkan feedback adalah insiden pasien

jatuh akibat kurang kontrol keluarga dan kesalahan pemberian obat. Adapun

pembelajaran dari manajemen adalah melakukan analisis kejadian sampai

melakukan sosialisasi kembali tindakan pencegahan pasien jatuh dan

mensosialisasikan kembali cara memberi obat yang benar.

Pembelajaran dilakukan untuk mengambil nilai (value) dari kesalahan

yang terjadi sehingga dapat mencegah kejadian yang berulang. Pembelajaran

didukung oleh feedback dan dukungan dari organisasi serta rekan satu tim rumah

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


109

sakit. Pembelajaran efektif untuk mencegah proses yang tidak aman dan

mencegah kesalahan. Evaluasi dan proses belajar meningkatkan kesempatan

untuk berbagi ilmu yang didapat serta meningkatkan proses belajar (Summer et

al., 2009). Menurut Keliat dan Hariati (2019) dalam penelitiannya tentang budaya

belajar perawat dalam keselamatan pasien dirumah sakit menyimpulkan budaya

belajar perawat dikembangkan melalui empat tahap dengan variasi metode

pembelajaran yang berfokus pada tujuan dan budaya keselamatan melalui

dukungan manajer, kelompok, dan individu.

Berdasarkan manfaat budaya pembelajaran, organisasi menyadari apa

yang salah dalam pembelajaran terhadap kejadian tersebut dan meningkatkan

laporan kejadian yang dibuat dan belajar dari kesalahan yang akan terjadi atau

kesalahan yang telah terjadi (Hadi, 2018). Sejalan dengan hasil penelitian

Ammaori et al. (2017) salah satu faktor yang menjadi prediktor budaya

keselamatan pasien adalah pembelajaran dan perbaikan terus menerus dan umpan

balik dan komunikasi tentang kesalahan.

Perawat yang merasakan kerja tim lebih banyak dalam unit lebih banyak

umpan balik dan komunikasi tentang kesalahan frekuensi melaporkan lebih

banyak. Berdasarkan penelitian oleh Zwijnenberg et al. (2016) menjelaskan

mayoritas tenaga profesional menyatakan umpan balik pada budaya keselamatan

pasien dapat merangsang tindakan untuk meningkatkan budaya keselamatan

pasien. tetapi penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian oleh Anggreini dan

Azzuhri (2016) yang menemukan pembelajaran organisasi tidak berpengaruh

signifikan terhadap sikap melaporkan insiden keselamatan pasien.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


110

Pelaporan insiden keselamatan pasien dapat dipengaruhi persepsi perawat

tentang keselamatan pasien. Persepsi perawat sangat mempengaruhi kualitas dan

keamanan perawatan pasien. Persepsi membentuk dasar untuk semua tindakan.

Persepsi perawat menyebabkan tindakan yang mempengaruhi keselamatan pasien,

sangat penting untuk semua rumah sakit dan penyedia layanan kesehatan.

Tindakan perawat juga memengaruhi kualitas layanan, mengurangi angka

kematian dan morbiditas, meningkatkan efektivitas perawatan, mengendalikan

biaya, dan komplikasi medis dan hukum.

Berdasarkan hasil penelitian perawat mengungkapkan bahwa keselamatan

pasien itu sangat diperlukan untuk mencegah terjadi bahaya bagi pasien dan

perawat karena dapat merugikan pasien dan keluarga juga rumah sakit. Sejalan

dengan pendapat Feng et al. (2008) perawat yang memahami budaya keselamatan

akan mengimplementasikan secara efektif untuk meningkatkan keselamatan

pasien berasal dari komitmen pribadi perawat.

Berdasarkan hasil penelitian Teles et al. (2018) menemukan persepsi

perawat tentang keselamatan adalah baik. Mereka mengaitkan tingkat keselamatan

pasien saat ini dengan berbagai faktor dan percaya bahwa banyak solusi berbeda

dapat berkontribusi untuk meningkatkan keselamatan pasien di masa depan.

Untuk meningkatkan tingkat keselamatan pasien, persepsi perawat tentang

keselamatan pasien sangat penting. Untuk itu perlu membentuk suatu organisasi

dengan budaya yang positif. Menurut Colla et al. (2015) organisasi dengan budya

positif dikarekteristikan dengan adanya komunikasi saling percaya, saling berbagi

prsepsi tentang pentingnya keselamatan dan adanya keyakinan terhadap

kemampuan melakukan tindakan pencegahan.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


111

Pada penelitian ini peneliti berasumsi perawat yang melakukan kejadian

insiden tidak mau melaporkan karena persepsi untuk melaporkn kejadian insiden

jika menimbukan dampak negatif bagi pasien, belum adanya dukungan dari

manajemen rumah sakit seperti reward bagi perawat yang melaporkan insiden,

belum ada dukungan, persepsi perawat jika melakukan kesalahan, akan dihukum

dan merasa tidak aman sehingga berusaha untuk menutupinya. Berdasarkan

SNARS 2017 dalam akreditasi Rumah sakit perlu untuk menciptakan/membangun

budaya keselamatan pasien, mensosialisasikannya, dan mengevaluasi program

tersebut secara berkala.

Hambatan Dalam Menerapkan Budaya Keselamatan Pasien

Berdasarkan hasil analisa data yang telah dilakukan peneliti mendapatkan

bahwa hambatan perawat dalam menerapkan budaya keselamatan pasien adalah

hambatan dari perilaku perawat, hambatan karena keterbatasan fasilitas dan

hambatan dari perilaku pasien dan keluarga yang mana hal-hal tersebut dapat

mengjambat terciptanya budaya keselamatan pasien yang positif.

Terdapat tiga dari 15 partisipan yang mengungkapkan kurang kepatuhan

dalam memakai alat pelindung diri seperti memakai sarung tangan. Terdapat satu

perawat pada saat melakukan tindakan kepada pasien tidak sesuai dengan SOP

misalnya memberi obat pasien tetapi tidak membawa instrumen kedekat pasien

Dua dari tiga perawat tersebut adalah perawat IGD yang mengungkapkan alasan

tidak mematuhi memakai sarung tangan karena pasien yang segera memerlukan

tindakan atau dalam kondisi darurat dan biasanya hanya memakai satu sarung

tangan untuk lebih satu pasien, tetapi jika kondisi tidak dalam darurat perawat

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


112

berusaha untuk memakai sarung tangan untuk satu pasien. Sedangkan satu

perawat yang lain mengungkapkan bahwa kadang enggan memakai masker pada

saat berinteraksi kepada pasien terdiagnosa suspect infeksi, dimana perilaku

perawat tersebut berisiko untuk terjadi penularan infeksi.

Perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan kepada pasien

berupaya untuk menghindari dari bahaya misalnya terhindar dari penyebaran

infeksi nosokomial. Salah satu yang dapat dilkakukan perawat adalah dengan

menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) sesuai dengan SOP yang telah

ditetapkan oleh rumah sakit pada saat memberikan asuhan keperawatan kepada

pasien dan keluarga. APD adalah suatu alat yang mempunyai kemampuan untuk

melindungi seseorang yang fungsinya mengisolasi sebagian atau seluruh tubuh

dari potensi bahaya ditempat kerja. Menurut Harrod et al. (2019) penggunaan

APD tergantung pada jenis tindakan pencegahan, APD yang diperlukan dapat

terdiri dari penggunaan gaun, sarung tangan, pelindung mata dan masker muka

atau respirator. APD digunakan oleh petugas perawatan kesehatan bertujuan untuk

mengurangi penularan organisme menular ke diri mereka sendiri dan pasien,

namun berdasarkan hasil penelitian masih terdapat perawat yang tidak patuh

dalam memakai APD.

Berdasarkan hasil penelitian Harrod et al. (2019) keputusan petugas

kesehatan menggunakan APD dan mematuhi tindakan pencegahan tidak semata-

mata tergantung pada keberadaan patogen, tetapi dapat dipengaruhi oleh persepsi

risiko, faktor organisasi dan lingkungan. Faktor persepsi risiko petugas kesehatan

meliputi organisme tertentu, tugas dalam pekerjaan yang harus dilakukan menjadi

pertimbangan petugas kesehatan ketika memutuskan untuk menggunakan APD.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


113

Faktor organisasi seperti kebijakan yang tidak diterapkan secara seragam.

Kebijakan pendidikan dan organisasi harus didasarkan pada perawatan

interdisipliner daripada dibatasi dalam disiplin perawatan pasien, serta fakor

lingkungan seperti ruang bersih dan ruang yang terkontaminasi. Lingkungan fisik

juga harus dioptimalkan untuk mendukung perawatan pasien yang aman.

Mencegah penyebaran organisme penyebab infeksi tidak hanya bergantung pada

penggunaan APD oleh petugas kesehatan tetapi juga sebagai tanggung jawab

organisasi rumah sakiit.

Hambatan yang lainya adalah mayoritas perawat mengungkapkan

hambatan dari terbatas nya fasilitas seperti sabun cuci tangan, tissue yang sering

habis bahkan kadang-kadang ruangan mengeluarkan dana sendiri untuk

memenuhi perlengkapan aseptik diruangan. Selain itu sarana yang lain sering

habis adalah penanda pasien risiko jatuh seperti stiker atau label warna kuning.

Sejalan dengan hasil penelitian Mandriani, Hardisman dan Yetti (2019) yang

melakukan wawancara kepada informan mendapati hambatan dalam menerapkan

budaya keselamatan pasien adalah perilaku dari petugas kesehatan dan dukungan

manajemen dalam melengkapi fasilitas. Tetapi tidak sejalan dengan penelitian

Ernawati, Rachmi dan Wiyanto (2014) kelengkapan fasilitas yang disediakan

untuk hand hygiene di ruang rawat Inap tersedia dengan baik, namun tingkat

kepatuhan melakukan hand hygiene masih rendah (35%).

Hasil ini sesuai dengan penelitian kualitatif terdahulu tentang pengamalan

perawat menghadapi tantangan dalam menerapkan budaya keselamatan pasien

pada tema infrastruktur organisasi (rumah sakit) yang kurang memadai

menjelaskan salah satu yang menjadi tantangan perawat dalam menerapkan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


114

budaya keselamatan pasien adalah dari faktor sumber daya yang telah

menyebabkan kegagalan dalam inovasi program keselamatan meliputi

kekurangan sumber daya keuangan dan manusia, persediaan medis, obat-obatan,

peralatan medis, dan teknologi (Farokhzadian et al., 2018)

Berdasarkan hasil penelitian hambatan dalam menerapkan budaya

keselamatan pasien berasal dari pasien dan keluarga. Lima perawat

mengungkapkan pasien dan keluarga pasien baru dilakukan edukasi tetapi setelah

diberikan edukasi keluarga pasien masih ada kurang patuh dengan instruksi

perawat mungkin disebabkan oleh pendidikan yang rendah dan usia yang sudah

tua. Edukasi yang diberikan kepada pasien dan keluarga diantaranya adalah

mencuci tangan memakai handrub dengan tujuan untuk mencegah infeksi atau

penularan infeksi. Selain itu pasien dan keluarga kurang mematuhi instruksi dari

perawat. Keluarga terkadang melakukan tindakan yang berisiko asalkan dapat

menyenangkan anggota keluarganya seperti melepas ikatan pasien yang terpasang

restrain sehingga mengakibatkan pasien terjatuh.

Melakukan cuci tangan merupakan salah satu dari universal precaution

adalah cara yang paling efektif untuk mencegah terjadinya infeksi nosokomial di

lingkungan rumah sakit. setiap orang yang berada di rumah sakit dihadapkan pada

terjdinya risiko infeksi nosokomial. Pencegahan infeksi tidak hanya dilakukan

oleh perawat tetapi semua tenaga kesehatan dan orang-orang yang terlibat dalam

merawat pasien. Word Health Organization (WHO) tahun 2009 mencetuskan

global patient safety challenge dengan clean care is safe care, dengan

merumuskan inovasi strategi penerapan hand hygiene dengan My five moments for

hand hygiene untuk petugas kesehatan yaitu melakukan cuci tangan sebelum

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


115

bersentuhan dengan pasien, sebelum melakukan prosedur bersih dan steril, setelah

bersentuhan dengan cairan tubuh pasien, setelah bersentuhan dengan pasien,

setelah bersentuhan dengan lingkungan sekitar pasien (Kemenkes, 2015).

Berdasarkan hasil penelitian mayoritas perawat telah menerapkan hand

hygiene tetapi pasien dan keluarga belum menerapkan dengan optimal sedangkan

handrub dan washtafel tersedia diruangan. Berdasarkan penelitian Knighton et al.

(2019) menunjukkan bahwa pasien merasa penting akan kebersihan tangan (hand

hygiene) meskipun mereka memerlukan bantuan dalam melakukan hand hygiene.

Sebagian pasien mampu untuk mempertahankan melakukan hand hygiene saat

masuk rumah sakit. Beberapa pasien mempercayai bahwa hand hygiene petugas

kesehatan lebih penting daripada mereka walaupun fasilitas untuk hand hygiene

tersedia dan menganggap bahwa hand hygiene diberlakukan hanya untuk petugas

kesehatan.

Perawat sebagai penyedia perawatan digaris depan layanan rumah sakit

yang melakukan kontak secara langsung dan berinteraksi selama 24 jam dengan

pasien berkeinginan untuk memberikan pelayanan keperawatan dengan aman,

berkualitas dan menghindari cedera kepada pasien. Untuk mencapai hal tersebut

perawat tidak dapat melakukannya sendiri tetapi harus ada dukungan dan

kemitraan dengan pasien dan keluarga. Berdasarkan hasil penelitian terdapat

keluarga dan pasien yang tidak menjalankan instruksi yang disampaikan oleh

perawat sehingga beresiko terjadi hal tidak diinginkan dan merugikan pada

pasien. sejalan dengan hasil penelitian Vonnes dan Wolf (2017) tentang program

pencegahan jatuh dan perjanjian pencegahan jatuh yang melibatkan pasien dan

keluarga sebagai kemitraan untuk keselamatan pasien di Unit Onkologi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


116

menunjukkan sebelum dilakukan perjanjian rata-rata insiden jatuh 3,77 dan cedera

2,37. Setelah dilakukan perjanjian tingkat penurunan jatuh triwulanan berkisar

antara 1,52 hingga 3,32 yang merupakan penurunan 11,8% - 59,6%. Tingkat

penurunan jatuh rata-rata selama delapan kuartal terakhir adalah 2,37, mewakili

penurunan keseluruhan 37%. Tingkat kejadian cedera berkisar 0,51-1,64 yang

merupakan penurunan kejadian cedera 23,9% -76,3%. Tingkat cedera rata-rata

selama delapan kuartal terakhir adalah 0,89, mewakili penurunan cedera

keseluruhan 58,6%. Berdasarkan penelitian tersebut melibatkan dan

memberdayakan pasien dan keluarga dalam program pencegahan risiko jatuh dan

cedera sebagai mitra dapat meningkatkan komunikasi kolaboratif, mengurangi

risiko/kejadian jatuh dan merupakan sebagai komponen dalam program

keselamatan komprehensif.

Hasil penelitian kualitatif sebelumnya oleh Bishop dan Sregan (2015)

tentang pengalaman pasien dan keluarga dalam menemukan arti dalam budaya

keselamatan pasien, yaitu tentang pengalaman pasien dan keluarga ketika mereka

mencoba untuk menavigasi sistem perawatan kesehatan sambil menghadapi

sejumlah kesenjangan dalam kesinambungan perawatan. Didapatkan sebanyak

tiga tema yaitu: 1) dilewati, dimana pasien merasa terdapat kesenjangan dalam

kesinambungan pemberian perawatan, 2) tidak memiliki percakapan, ada sesuatu

yang benar-benar salah dengan kesehatan anggota keluarga mereka, tetapi mereka

merasa mereka tidak bisa mengatakan apa-apa karena mereka bukan profesional

medis, dan 3) orang di balik pasien, pasien dan keluarga merasakan bahwa

pemberi pelayanan tidak memperlakukan mereka dengan belas kasih. Dalam

penelitian ini organisasi (rumah sakit) sebagai penyedia layanan kesehatan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


117

mungkin mengharapkan pasien untuk memainkan peran yang lebih besar dalam

mengelola kesehatan mereka.

Berdasarkan penjelasan diatas peneliti berasumsi bahwa hambatan yang

ada dalam menerapkan budaya keselamatan dirumah sakit memerlukan dukungan

dan motivasi dari manajemen rumah sakit untuk perawat. Perawat dapat

melaksanakan program keselamatan pasien dengan baik dipengaruhi oleh

ketersediaan sarana dan prasana yang menunjung untuk menerapkan nya. Selain

itu perawat memerlukan dukungan dan kerjasama yang baik dengan pasien dan

keluarga agar tujuan yang diinginkan pasien dan perawat dapat tercapai dengan

optimal.

Harapan Perawat dalam Menerapkan Budaya Keselamatan

Berdasarkan hasil analisa data yang telah dilakukan peneliti mendapatkan

bahwa harapan perawat dalam menerapkan budaya keselamatan yaitu harapan

kepada manajemen rumah sakit dan harapan kepada tenaga kesehatan. Harapan

perawat kepada manajemen rumah sakit yaitu harapan untuk melengkapi fasilitas,

menambah SDM, dilakukan skrining dan pemberian vaksin, dilakukan supervisi

dan mengikuti pelatihan. Berdasarkan hasil penelitian mayoritas perawat

mempunyai harapan kepada manajemen untuk melengkapi fasilitas seperti sabun

cuci tangan, tissu, penanda risiko jatuh. Empat perawat mempunyai harapan untuk

dilakukan skrining dan pemberian vaksin, tiga perawat mempunyai harapan untuk

dilakukan supervisi, satu perawat mempunyai harapan untuk menambah SDM dan

satu perawat mempunyai harapan untuk mengikuti pelatihan keselamatan pasien.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


118

Sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ammouri et al.

(2017), menemukan perawat yang mempunyai harapan baik kepada manajemen

dan supervisor menjadi salah satu prediktor utama dalam menerapkan budaya

keselamatan pasien. Menurut Cho dan Choi (2018) dalam penelitiannya

menjelaskan bahwa harapan kepada manajer berhubungan dengan sikap dan

kompetensi perawat dalam keselamatan pasien.

Berdasarkan hasil penelitian mayoritas perawat berharap agar manajemen

rumah sakit melengkapi fasilitas untuk mendukung perawat melaksanakan

program keselamatan pasien dengan baik seperti sabun cuci tangan, tissue dan

tanda pengenal risiko jatuh untuk pasien. Sejalan dengan penelitian Mandriani et

al. (2019) pada dimensi budaya keselamatan yaitu dimensi dukungan manajemen

kategori cukup (58 %). Hasil penelitian tersebut menjelaskan petugas kesehatan

merasakan masih kurang dukungan manajemen untuk melengkapi sarana dan

prasana.

Berdasarkan hasil penelitian salah satu harapan perawat adalah manajemen

rumah sakit melakukan supervisi kelapangan supaya mengetahui kebutuhan yang

perawat perlukan dalam melaksanakan program keselamatan pasien dan juga

mengetahui tindakan perawat lakukan kepada pasien apakah sudah menerapkan

budaya keselamtan atau belum. Sejalalan dengan penelitian Surahmat et al. (2018)

menemukan bahwa terdapat hubungan antara supervisi dengan implementasi

sasaran keselamatan pasien. Pelaksanaan supervisi yang kurang baik akan

berdampak pada pelaksanaan sasaran keselamatan pasien. Penelitian yang

dihasilkan oleh Nugroho dan Sujianto (2017) menunjukkan bahwa supervisi

kepala ruang model poctor dapat berpengaruh terhadap pelaksanaan keselamatan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


119

pasien di ruang rawat inap. Rumah sakit wajib perlu meningkatkan pelaksanaan

keselamatan pasien salah satunya melalui dukungan kebijakan untuk pelaksanaan

supervisi oleh manjer rumah sakit.

Berdasarkan hasil penelitian satu perawat mempunyai harapan untuk

menambah SDM dikarenakan sulit untuk melaksanakan sasaran keselamatan

dengan baik jika staf terbatas dan dibandingkan dengan jumlah pasien yang

banyak apalagi pasien tersebut datang dalam waktu yang bersamaan. Sejalan

dengan penelitian Wang et al. (2014) dan penelitian lainnya (Ahmadi, 2010; El

Jardail et al., 2010) menemukan penerapan budaya keselamatan pada dimensi staf

masih rendah dibandingkan dengan dimensi-dimensi yang lainnya. Sekitar 70%

perawat merasa tidak cukup staf untuk menangani beban kerja pada perawat yang

bekerja pada ruangan kritis. Berdasarkan dimensi dalam budaya keselamatan

pasien yaitu pada staffing. AHRQ (2016) menjelaskan memberikan perawatan

yang terbaik bagi pasien dapat dilakukan dengan tercukupinya staf untuk

menangani beban kerja dan jam kerja yang tepat.

Harapan kepada perawat dan tim kesehatan adalah dengan menerapkan

budaya keselamatan pasien. Menerapkan budaya keselamatan pasien pada perawat

dan tim kesehatan dimulai dari kesadaran akan pentingnya keselamatan pasien.

keselamatan pasien merupakan indikator penting dari kualitas pelayanan

kesehatan. Berdasarkan hasil penelitian perawat menyatakan bahwa keselamatan

itu bukan hanya tanggung jawab perawat tetapi tanggung jawab bersama,

sehingga semua pihak didorong untuk menerapkan budaya keselamatan pasien

salah satunya dengan melaporkan kejadian insiden walaupun insiden tersebut

belum membahayakan pasien dan keluarganya.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


120

Penelitian Kim et al. (2013) yang bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-

faktor yang mempengaruhi persepsi pentingnya dan praktik manajemen

keselamatan pasien antara staf. faktor yang mempengaruhi praktik manajemen

keselaamtan pasien adalah beban kerja dan sistem konstruksi manajemen

keselaamtan pasien dan aktor yang mempengaruhi persepsi pentingnya

manajemen keselaamtan pasien apakah staf rumah sakit kontak dengan pasien saat

bertugas, jam kerja mingguan, pendidikan manajemen keselaamtan pasien dan

sistem konstruksi manajemen keselaamtan pasien. disimpulkan bahwa pentingnya

konstruksi dan praktik manajemen keselaamtan pasien.

Peneliti berasumsi harapan perawat yang disampaikan kepada peneliti

untuk menerapkan budaya keselamatan pasien. Menerapkan budaya keselamatan

pasien bukan hanya tugas dan tanggung jawab dari rumah sakit tetapi semua staf

dan tenaga kesehatan terlibat dan membangun dan meningkatkan budaya

keselamatan pasien. Diperlukan kesadaran dan komitmen dari semua elemen yang

ada dirumah sakit untuk fokus pada budaya keselamatan pasien, karena dengan

berfokus pada budaya keselamatan pasien akan berdampak pada pelaksaanaan

program keselamatan yang lebih baik sehingga menghasilkan pelayanan yang

aman dan berkualitas.

Keterbatasan Penelitian

Adapun keterbatasan penelitian ini menurut peneliti adalah 1) keterbatasan

pada diri peneliti sendiri dalam melakukan wawancara mendalam untuk

mengeksplorasi pengalaman perawat pelaksana dalam menerapkan budaya

keselamatan pasien dirumah sakit dapat dikarenakan peneliti adalah peneliti

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


121

pemula dalam melakukan penelitian kualitatif dengan indept interview, 2) Peneliti

dalam melakukan wawancara masih terdapat memberikan pengarahan jawaban

atau memberi contoh kepada partisipan, 3) peneliti sedikit kesulitan melakukan

wawancara lanjutan dan melakukan member checking kepada partisipan

dikarenakan rumah sakit sedang proses persiapan akreditasi yang mana banyak

kegiatan rumah sakit yang melibatkan perawat pelaksana, dan 4) penerapan

budaya keselamatan pasien di rumah sakit oleh perawat pelaksana masih bersifat

menerapkan kebijakan bukan suatu budaya dikarenakan berdasarkan hasil

karakteristik partisipan lama bekerja ada 5 orang partisipan partisipan dan

kebanyakan partisipan berpendidikan D3 Keperawatan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


122

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Penelitian ini adalah penelitian dengan kualitatif dengan pendekatan

fenomenologi desktriptif yang dikembangkan oleh Husserl. Pada penelitian

ini peneliti mengeksplorasi secara langsung, menganalisis, dan

mendeskripsikan fenomena pengalaman perawat pelaksana dalam

menerapkan budaya keselamatan pasien dirumah sakit USU. Berdasarkan

hasil penelitian peneliti mendapatkan lima tema, 13 sub tema dan 28 kategori.

2. Tema-tema yang peneliti dapatkan dalam penelitian ini adalah 1)

melaksanakan sasaran keselamatan pasien dengan dukungan dari manajemen

rumah sakit, 2) memberikan informasi tentang asuhan pasien untuk

meningkatkan keselamatan pasien, 3) melaporkan insiden keselamatan

pasien, 4) hambatan perawat dalam menerapkan budaya keselamatan pasien,

dan 5) harapan perawat dalam menerapkan budaya keselamatan pasien.

3. Pengalaman perawat pelaksana dalam budaya menerapkan keselamatan

pasien dirumah sakit memerlukan dukungan dari manajemen rumah sakit

dengan pemenuhan fasilitas berupa sarana dan prasana dalam melaksanakan

program keselamatan pasien dan dengan kejadian insiden keselamatan pasien

dengan menciptakan lingkungan kerja dan budaya keselamatan yang positif

dengan tidak memberi hukuman kepada yang melakukan kesalahan,

menghindari blaming culture, dan memberi reward bagi yang melaporkan

kejadian insiden keselamatan pasien.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


123

Saran

1. Bagi pelayanan keperawatan

Menerapkan budaya keselamatan dirumah sakit memerlukan keteribatan dari

pelayanan keperawatan yaitu dengan memfasilitasi perawat dengan pelatihan yang

optimal yaitu melaksanakan pelatihan budaya keselamatan pasien secara teratur

dan reguler untuk meningkatkan perilaku perawat dalam melaporkan kejadian

insiden keselamatan pasien. Melakukan survey budaya keselamatan rumah sakit

untuk mengetahui persepsi atau perilaku staf seluruh anggota rumah sakit dalam

menerapkan budaya keselamatan pasien.

2. Bagi pendidikan keperawatan

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai informasi bagi pendidikan

keperawatan dan diterapkan kepada mahasiswa ketika berpraktik dirumah sakit

agar melaksanakan program keselamatan pasien dengan optimal dan menerapkan

budaya keselamatan pasien dengan baik.

3. Bagi peneliti selanjutnya

Penelitian ini dapat dijadikan data dasar untuk melakukan penelitian

selanjutnya tentang budaya keselamatan pasien. Penelitian selanjutnya disarankan

pelatihan budaya keselamatan rumah sakit dihubungkan dengan pelaporan

kejadian insiden keselamatan pasien.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


124

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, M., & Garcia, C. (2016). Safe Clinical Handover. In On-Call


Geriatric Psychiatry (pp. 87-97). Springer, Cham.
Agency for Healthcare Research and Qualitity (AHRQ, 2016). Hospital survey on
patient safety culture user‟s guide. AHRQ Publication No.15 (16)-
0049-EF

Agency for Healthcare Research and Quality. (2017). Hospital survey on patient
safety culture. Retrieved from
https://www.ahrq.gov/professionals/qualitypatient-

Agnew, C., Flin, R., & Mearns, K. (2013). Patient safety climate and worker
safety behaviours in acute hospitals in Scotland. Journal of safety
research, 45, 95-101.

Akins, R. B., & Cole, B. R. (2005). Barriers to implementation of patient safety


systems in healthcare institutions: leadership and policy
implications. Journal of Patient Safety, 1(1), 9-16.

Alligood, M. R. (2013). Nursing Theory-E-Book:Utilization & Application.


Elsevier Health Sciences.

Alligood, M. R. (2017). Nursing theorists and their work. Elsevier Health


Sciences.

Ammouri, A.A., Tailakh, A.K., Muliira, J.K., Geethakrishnan, R., Phil, M., & Al
Kindi, S.N. (2015). Patient safety culture among nurses. International
Nursing Review 62, 102–110. doi.org/10.1111/inr.12159

Anggraeni, D., & Azzuhri, M. (2016). Pengaruh budaya keselamatan pasien


terhadap sikap melaporkan insiden pada perawat di Instalasi Rawat
Inap Rumah Sakit Tk. II dr. Soepraoen. Jurnal Aplikasi
Manajemen, 14(2), 309-321.

Balamurugan, E., & Flower, J.L. (2015). A Study On Patient Safety Culture
among Nurse in a Tertiary Care Hospital of Puducherry, Intenational
Jurnal of Nursing Education. Vol. 7, No. 1. 174-178. doi:
10.5958/0974-9357.2015.00036.7

Boev, C., & Xia, Y. (2015). Nurse-physician collaboration and hospital-acquired


infections in critical care. Critical Care Nurse, 35(2), 66-72.

Bondevik, G.T., Hofoss, D., Hansen, E.H., & Deilkas, E.C.T. (2014). The safety
attitudes questionary-ambulatory version: psychometric properties of
the Norwegian transalated version for the primary care setting. BMC
Health services Research. doi.org/10.1186/1472-6963-14-139

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


125

Canadian Nurse Assosiation. (2004). Nurses and patient safety; discussion paper.
Canadian Nurse Assosiation and University of Toronto Faculty of
Nursing. http://www.cna-nurses.ca/CNA/practice/.

Cho,S.M., & Choi, J. (2018). Patient safety culture associated with patient safety
competencies among registered nurses. Journal of Nursing Scholarship,
2018; 0:0, 1–9. doi: 10.1111/jnu.12413

Choi, E. Y., Pyo, J., Ock, M., & Lee, S. I. (2019). Nurses' perceptions regarding
disclosure of patient safety incidents in Korea: a qualitative
study. Asian nursing research.

Colla, J.B., Bracken, A.C., & Weeks, W.B. (2005). Measuring patient safety
climate: A review surveys. Qual Saf Health Care, 14, 364-366. doi:
org/10.1136/qshc.2005.014217

De Meester, K., Verspuy, M., Monsieurs, K. G., & Van Bogaert, P. (2013). SBAR
improves nurse–physician communication and reduces unexpected
death: A pre and post intervention study. Resuscitation, 84(9), 1192-
1196.

Edgar, H.S. (2017). The role of the nurse in patient safet: moving to level ii
relationship. JOJ Nurse Health Care 1(3), 3-5

Emanuel, L., Berwick, D., Conway, J., Combes, J., Hatlie, M., Leape, L., &
Walton, M. (2008). What exactly is patient safety?. In Advances in
patient safety: new directions and alternative approaches (Vol. 1:
Assessment). Agency for Healthcare Research and Quality.

Feng, X., Bobay, K., & Weiss, M. (2008). Patient safety culture in nursing: a
dimensional concept analysis. Journal of advanced nursing, 63(3), 310-
319.

Fleming, M. (2005). Patient safety culture and improvement: A “How To “ Guide.


Healthcare Quarterly. Vol.8

Fleming, M., & Wentzell, N. (2008). Patient safety culture improvement tool:
development and guidelines for use. Healthcare Quarterly, 11(Sp).

Hadi, I. (2017). Manajemen keselamatan pasien (Teori dan Praktik). Yogyakarta.


Deepublish Publisher

Halligan, M., & Zecevic, A. (2014). Safety culture in healthcare: a review of


concepts, dimensions, measures and progress. BMJ Qual Saf. 338-343.
doi: 10.1136/bmjqs.2010.040964

Harrod, M., Weston, L. E., Gregory, L., Petersen, L., Mayer, J., Drews, F. A., &
Krein, S. L. (2019). A qualitative study of factors affecting personal

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


126

protective equipment use among health care personnel. American


journal of infection control

Hastings, G. (2006). Service redesign. Eight steps to better patient safety. The
Health service journal, 116(6003), 28.

Indonesia, D. K. R. (2006). Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah


Sakit. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

Indonesia, K K. R. (2015). Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah


Sakit. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI.

Insani, T. H. N., & Sundari, S. (2018). Analisis Pelaksanaan Keselamatan Pasien


oleh Perawat. JHeS (Journal of Health Studies), 2(1), 84-95.
Institute Of Medicine. (2000). To err is human: Building a safer health system.
Copyright by the National Academy of Sciences

Joolaee, S., Hajibabaee, F., Peyrovi, H., Haghani, H., & Bahrani, N. (2011). The
relationship between incidence and report of medication errors and
working conditions. International nursing review, 58(1), 37-44.

Karanikola, M. N., Albarran, J. W., Drigo, E., Giannakopoulou, M., Kalafati, M.,
Mpouzika, M., ... & Papathanassoglou, E. D. (2014). Moral distress,
autonomy and nurse–physician collaboration among intensive care
unit nurses in Italy. Journal of nursing management, 22(4), 472-484.

Keliat, B. A., & Hariyati, R. T. S. (2019). Learning culture of nurse about patient
safety in hospital: A qualitative study. Enfermeria clinica, 29, 488-
494.

Kim, I. S., Park, M., Park, M. Y., Yoo, H., & Choi, J. (2013). Factors affecting the
perception of importance and practice of patient safety management
among hospital employees in Korea. Asian nursing research, 7(1), 26-
32.

Kim, K.J., Sook, M., & Seo, E.J (2018). Exploring the influence of nursing work
environment and patient safety culture on missed nursing care in
Korea. Asian Nursing Research. 121-126. doi:
org/10.1016/j.anr.2018.04.003

Kohn, L. T., Corrigan, J., & Donaldson, M. S. (2000). To err is human: building a
safer health system (Vol. 6). Washington, DC: National academy press.

Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS, 2012), Laporan Insiden


Keselamatan Pasien (IKP) Patient Safety Incident Tahun; 2012

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


127

Kreimer, S. (2010). 10 best practices for patient safety. AMN Healthcare, Inc

Lederman, R., Dreyfus, S., Matchan, J., Knott, J. C., & Milton, S. K. (2013).
Electronic error-reporting systems: A case study into the impact on
nurse reporting of medical errors. Nursing outlook, 61(6), 417-426.
Lee, J. Y. (2015). Effective communication for patient safety. Journal of the
Korean Medical Association, 58(2), 100-104.
Mansouri, S. F., Mohammadi, T. K., Adib, M., Lili, E. K., & Soodmand, M.
(2019). Barriers to nurses reporting errors and adverse events. British
Journal of Nursing, 28(11), 690-695.
Marquis, L.B.,& Huston J. C.(2008). Kepemimpinan dan Manajemen
Keperawatan Teori dan Aplikasi (Edisi Empat). EGC: Jakarta
McFadden, K. L., Henagan, S. C., & Gowen III, C. R. (2009). The patient safety
chain: Transformational leadership's effect on patient safety culture,
initiatives, and outcomes. Journal of Operations Management, 27(5),
390-404.

Moosazadeh, A., Marzban, S., & Ahmadi Kashkoli, S. (2016). Survey: Reasons of
nurses‟s medication errors and perspectives of nurses on barriers of
error reporting. Pajoohandeh Journal, 21(2), 107-113.
Moumtzoglou, A. (2010). Factors impeding nurses from reporting adverse
events. Journal of nursing management, 18(5), 542-547.
Mwachofi, A., Walston, S. L., & Al‐ Omar, B. A. (2011). Factors affecting
nurses' perceptions of patient safety. International journal of health
care quality assurance.
Nieva, V. F., & Sorra, J. (2003). Safety culture assessment: a tool for improving
patient safety in healthcare organizations. BMJ Quality &
Safety, 12(suppl 2), ii17-ii23.

No, P. M. K. (2017). 11 (2017). Tentang Keselamatan pasien

Nugroho, S. H. P., & Sujianto, U. (2017). Supervisi Kepala Ruang Model Proctor
untuk Meningkatkan Pelaksanaan Keselamatan Pasien. Jurnal
Keperawatan Indonesia, 20(1), 56-64.
Pidada, I. A. D. U., & Darma, G. S. (2018). Kerja Sama Tim Perawat Dalam
Meningkatkan Keselamatan Pasien Berbasis Tri Hita Karana. Jurnal
Manajemen Bisnis, 15(2), 139-150.

Polit, D.F., & Beck, C.T. (2012). Nursing research: generating and assesing
evidence for nursing practice. (9th ed). Philadelphia: Lippincott

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


128

Radhakrishna, S. (2015). Culture of blame in National Health Service ;


consequences and solutions. British journal of Anesthesia. Vol.155,
653-655

Ramya. K.R. (2017). Patient safet culture in intensive care unit. Asian J Nur.Edu.
and Research 7(4): 509-514. doi: 10.5958/2349-2996.2017.00100.8

Rowell, P. (2003). The professional nursing association‟s role in patient


safety. Online Journal of Issues in Nursing, 8(3), 3.

RSUD Zainal Abidin. “Pentingnya Pelaporan Insiden Keselamatan Pasien Di


Rumah Sakit. RSUDZA Lam Haba, 29 Desember 2017.
safety/patientsafetyculture/hospital/index.html

Sakit, K. A. R. (2017). Standar Nasional Akreditasi Rumah Sakit edisi 1. Jakarta:


KARS

Sakit, K. K. P. R. (2015). Pedoman Pelaporan Insiden Keselamatan Pasien


(IKP)(Patient Safety Incident Report).

Sammer, C.E., Lykens, K., Singh, K.P., Mains, D.A., & Lackan, N.A. (2010).
What is patient safety culture? A review of the literature. Journal of
Nursing Scholarship; 42:2, 156–165. doi: 10.1111/j.1547-
5069.2009.01330.x
Schneider, M. A. (2012). Nurse-physician collaboration: Its time has
come. Nursing2018, 42(7), 50-53.

Seyedin, S. H., Ravaghi, H., & Nikmaram, M. (2016). Applying the theory of
planned behavior to evaluate the clinical errors reported by nurses in
general hospitals affiliated to Alborz University of Medical Sciences in
Karaj in 2015. Journal of Health Administration, 19(64), 56-64.
Simamora, R.H. (2018). Buku Ajar Keselamatan Pasien Melalui Timbang Terima
Pasien Berbasis Komunikasi Efektif: SBAR.

Sithi, D. N., & Widiastuti, A. (2018). Pelatihan keselamatan pasien bagi para
perawat di rs dr. Suyoto (RSDS) JAKARTA. In Seminar Nasional
Hasil Pengabdian Kepada Masyarakat (Vol. 1, No. 1).
Sohi, D., Scotney, E., Sowerbutts, H., Barber, T., & Rao, V. (2011). Significantly
improving the efficiency of communication in paediatrics. Archives of
Disease in Childhood, 96(Suppl 1), A90-A91.
Solely, G., Handiyani, H., & Nuraini, T. (2015). Peningkatan pengetahuan dan
kepatuhan melakukan kebersihan tangan melalui pelatihan dengan
fluorescence lotion. Jurnal Keperawatan Indonesia, 18(2), 123-131.
Stavrianopoulos, T. (2012). The development of patient safety culture. Health
Science Journal. Vol. 6, 201-211

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


129

Steelman, V. M. (2014). Excellence in perioperative management: establishing a


culture of safety. AORN Journal. 100 (1), 1-3. doi:
10.1016/j.aorn.2014.04.010

Surahmat, R., Neherta, M., & Nurariati, N. (2019, February). Hubungan supervisi
dengan implementasi sasaran keselamatan pasien di Rumah Sakit
Muhammadiyah Palembang. In Seminar Nasional Keperawatan (No. 2,
pp. 173-178).
The American Organizations of Nurses Executive. (2007). Role of the nurse
executive in patient safety; Guiding principles. Publisher Juli 2007

Thoha, M. (2003). Perilaku organisasi konsep dasar dan aplikasinya. Jakarta:


Grafindo Persada.

Tschannen, D., & Kalisch, B. J. (2009). The impact of nurse/physician


collaboration on patient length of stay. Journal of Nursing
Management, 17(7), 796-803.

Turkmen, E., Baykal, U., Intepeler, S.S., & Altuntas, S. (2013). Nurses‟
perceptions of and factors promoting patient safety culture in Turkey. J
Nurs Care Qual Vol. 28, No. 4, pp. 360–367. doi:
10.1097/NCQ.0b013e31828b1a81

Ushiro, R. (2009). Nurse–Physician Collaboration Scale: development and


psychometric testing. Journal of advanced nursing, 65(7), 1497-1508.

Vincent, C. (2011). Patient safety (2nd Edition). Wiley-Blackwell: London, UK

Visnovsky, L. D., Zhang, Y., Leecaster, M. K., Safdar, N., Barko, L., Haroldsen,
C., ... & Drews, F. A. (2019). Effectiveness of a multisite personal
protective equipment (PPE)–free zone intervention in acute
care. Infection Control & Hospital Epidemiology, 40(7), 761-766.

Vonnes, C., & Wolf, D. (2017). Fall risk and prevention agreement: engaging
patients and families with a partnership for patient safety. BMJ Open
Qual, 6(2), e000038.

Wami, S.D., Demssie, A.F., Wassie, M.M., & Ahmed, A.N (2016). Patient safety
culture and associated factors: A quantitative and qualitative study of
healthcare workers‟ view in Jimma zone Hospitals, Southwest Ethopia.
BMC Health services Research. doi: 10.1186%2Fs12913-016-1757-z

Wang, X., Liu, K., You, L., Xiang, J., Hu, H., Zhang, L., & Zhu, X (2014). The
relationship between patient safety culture and adverse events: a
questionary survey. International Journal of Nursing Studies. 2333, No
of pages 9. Doi: 10.1016/j.ijnurstu.2013.12.007

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


130

Wang, Y., Wan, Q., Guo, J., Jin, X., Zhou, W., Feng, X., & Shang, S. (2018). The
influence of effective communication, perceived respect and
willingness to collaborate on nurses' perceptions of nurse–physician
collaboration in China. Applied Nursing Research, 41, 73-79.

Yoo, M.S., & Kim, K.J. (2017). Exploring influence of nurse work environment
and patient safety culture on attitudes toward incident reporting. The
Journal of Nursing Administration. Vol 00, 1-7. doi:
org/10.1097/NNA.0000000000000510

Zhang, L., Huang, L., Liu, M., Yan, H., & Li, X. (2016). Nurse–physician
collaboration impacts job satisfaction and turnover among nurses: A
hospital‐ based cross‐ sectional study in Beijing. International
journal of nursing practice, 22(3), 284-290.

Zhu, S., Kahsay, K. M., & Gui, L. (2019). Knowledge, Attitudes and Practices
related to standard precautions among nurses: a comparative
study. Journal of clinical nursing.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


131

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


132

LAMPIRAN 1

INSTRUMEN PENELITIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


133

PENJELASAN PENELITIAN

Judul penelitian :

“Pengalaman Perawat Pelaksana dalam Menerapkan Budaya


Keselamatan Pasien di Rumah Sakit Universitas Sumatera Utara”

Nama Mahasiswa : Zuraidah


No. Telepon : 082363769222

Peneliti merupakan Mahasiswa Magister Ilmu Keperawatan Fakultas


Keperawatan Universitas Sumatera Utara, bermaksud mengadakan penelitian
untuk mengetahui “Pengalaman Perawat Pelaksana dalam Menerapkan Budaya
Keselamatan Pasien di Rumah Sakit Universitas Sumatera Utara”

Hasil penelitian ini akan direkomendasikan sebagai masukan untuk dapat


meningkatkan kualitas program keselamatan pasien di Rumah Sakit. Peneliti
menjamin bahwa penelitian ini tidak akan menimbulkan dampak negatif bagi
siapapun. Peneliti berjanji akan menjunjung tinggi hak-hak responden dengan cara
: 1) menjaga kerahasiaan data yang diperoleh, baik dalam proses pengumpulan
data, pengolahan data, maupun penyajian hasil penelitian nantinya dan 2)
menghargai keinginan responden untuk tidak berpartisipasi dalam penelitian ini.

Melalui penjelasan singkat ini, peneliti mengharapkan respon saudara.


Terimakasih atas kesediaan dan partisipasinya.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


134

LEMBAR PERSETUJUAN

Setelah membaca penjelasan penelitian ini dan mendapatkan jawaban atas


pertanyaan yang saya ajukan, maka saya mengetahui manfaat dan tujuan
penelitian ini, saya mengerti bahwa peneliti menghargai dan menjunjung tinggi
hak-hak saya sebagai responden.

Saya menyadari bahwa penelitian ini tidak akan berdampak negatif bagi saya.
Saya mengerti bahwa keikutsertaan saya dalam penelitian ini sangat besar
manfaatnya bagi peningkatan pengetahuan saya sebagai perawat pelaksana dalam
Menerapkan Budaya Keselamatan Pasien di rumah sakit.

Persetujuan yang saya tanda tangani menyatakan bahwa saya bersedia


berpartisipasi dalam penelitian ini.

Medan, .....................................2019

Partisipan,

__________________________

Tanda tangan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


135

Kuesioner Data Demografi

“Pengalaman Perawat Pelaksana dalam Menerapkan Budaya Keselamatan


Pasien di Rumah Sakit Universitas Sumatera Utara”

Petunjuk Pengisian:
Dibawah ini adalah data demografi yang dibutuhkan sebagai identitas partisipan
penelitian. Isilah pertanyaan di bawah ini sesuai keadaan Bapak/Ibu yang
sebenarnya, dengan memberi tanda checklist (√) pada bagian yang telah
disediakan.

Usia partisipan : ......... tahun

Jenis kelamin : ( ) Perempuan ( ) Laki-laki

Pendidikan : ( ) Ners ( ) D3 Keperawatan

: ( ) S1 Keperawatan

Pengalaman bekerja di RS : …… Tahun

Status menikah : ( ) Menikah ( ) Belum Menikah

Ruangan/ Unit : ................................................................

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


136

PANDUAN WAWANCARA

“Pengalaman Perawat Pelaksana dalam Menerapkan Budaya Keselamatan


Pasien di Rumah Sakit Universitas Sumatera Utara”

1. Apakah saudara pernah mendengar program keselamatan pasien di rumah

sakit ?

2. Bagaimana menurut saudara tentang kejadian insiden keselamatan pasien

(KTD, KNC, KPD, KTC dan Sentinel) di rumah sakit?

3. Bagaimana interaksi saudara dengan pasien, keluarga pasien, teman sejawat

dalam satu unit, antar unit dan dengan tim kesehatan lainnya dalam

menerapkan keselamatan pasien rumah sakit ?

4. Bagaimana saudara menilai bahwa saudara sudah melakukan keselamatan

pasien di rumah sakit?

5. Apa harapan saudara dalam menerapkan keselamatan pasien rumah sakit ?

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


137

FORMAT CATATAN LAPANGAN

Nomor Partisipan : Kode Partisipan :

Tempat wawancara : Waktu wawancara:

Suasana tempat saat akan dilakukan wawancara :

Gambaran Partisipan saat akan dilakukan wawancara:

Posisi :

Non-Verbal :

Gambaran respon partisipan saat wawancara berlangsung:

Gambaran suasana tempat saat wawancara berlangsung:

Respon partisipan saat interaksi:

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


138

LAMPIRAN 2

BIODATA EXPERT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


139

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


140

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


141

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


142

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


143

LAMPIRAN 3

IZIN PENELITIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


144

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


145

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


146

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


147

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


148

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


149

LAMPIRAN 5

LEMBAR KONSULTASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


150

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


151

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


152

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Anda mungkin juga menyukai