2016
Anwar
http://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/478
Downloaded from Repositori Institusi USU, Univsersitas Sumatera Utara
HUBUNGAN FUNGSI MANAJEMEN KEPALA RUANG
DENGAN PENERAPAN PATIENT SAFETY CULTURE
DI RUMAH SAKIT UMUM DR. ZAINOEL ABIDIN
BANDA ACEH
TESIS
Oleh
ANWAR
127046053/ADMINISTRASI KEPERAWATAN
TESIS
Oleh
ANWAR
127046053/ADMINISTRASI KEPERAWATAN
2016
ABSTRAK
Langkah awal yang harus dilakukan oleh rumah sakit untuk memperbaiki mutu
culture. Manajemen fungsi kepala ruang merupakan salah satu faktor penting yang
penerapan patient safety culture oleh perawat pelaksana di Rumah Sakit Umum
Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh. Penelitian berbentuk kuantitatif dengan
Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh terhadap 75 orang perawat
dan pengendalian dengan penerapan patient safety culture. Tidak ada hubungan
yang signifikan antara fungsi pengarahan kepala ruang dengan penerapan patient
safety culture. Kepala ruang perlu untuk selalu meningkatkan fungsi pengarahan
Kata Kunci : manajemen fungsi kepala ruang, patient safety culture, perawat
ii
Aceh
Name : Anwar
Year : 2016
ABSTRACT
The first thing that has to be done by hospitals in order to improve the service
function of head nurse is one of the essensial factors that play a role in the success
of patient safety culture program.The objective of the research was to find out the
safety culture by associate nurses at dr. Zainoel Abidin Regional General Hospital
Banda Aceh. The research used quantitative method with cross sectional
design. It was conducted at dr. Zainoel Abidin Regional General Hospital Banda
correlation between the head nurse management function with the implementation
of patient safety culture with chi square test. The result of research shown
iii
any significant correlation between the direction of head nurse with the
implementation of patient safety culture. It was recommended that the head nurse
improve the function of directing and controlling all the time in order to entrench
iv
telah melimpahkan berkah, rahmat dan hidayah-Nya serta shalawat dan salam
tesis ini dengan judul “Hubungan Fungsi Manajemen Kepala Ruang dengan
Penerapan Patient Safety Culture di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel
2. Bapak Setiawan, SKp., MNS., Ph.D, selaku Ketua Program Studi Magister
3. Bapak Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, MKM, dan ibu Wardiyah Daulay,
4. Prof. Dr. Dra. Erika Revida, MS dan Bapak Achmad Fathi, S.Kep., Ns., MNS
5. Bapak Yuswardi, S.Kep., Ns., MNS, Bapak Ardia Putra, S.Kep., Ns., MNS
dan Bapak Budi Satria, S.Kep., Ns. MNS sebagai ahli manajemen fungsi
6. Bapak Direktur Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh
dan Pemimpin Badan Layanan Umum Daerah Rumah Sakit Ibu dan Anak
data penelitian.
7. Para dosen dan staf Program Studi Magister Ilmu Keperawatan Jurusan
Utara.
8. Ibunda dan ayahanda tercinta, istriku Sri Wahyuni, buah hati Arsyila Zivara
serta keluarga besarku yang menjadi sumber motivasi, semangat dan inspirasi
hidup bagiku.
yang selalu memberi dukungan dalam pembuatan tesis ini hingga selesai.
Akhir kata, penulis berharap penelitian ini dapat bermanfaat bagi dunia
Penulis
Anwar
12704605
vi
E-mail : aan_slg@yahoo.com
Riwayat Pendidikan
Riwayat Pekerjaan
Bekerja sebagai Manajer Program di Buleun Mirah Aceh Banda Aceh Tahun 2010
Halaman
ABSTRAK ...................................................................................................... i
ABSTRACT .................................................................................................... iii
KATA PENGANTAR .................................................................................... v
RIWAYAT HIDUP ........................................................................................ vii
DAFTAR ISI .................................................................................................. viii
DAFTAR TABEL .......................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xiii
ix
No Judul Halaman
xi
No Judul
Halaman
xii
Halaman
xiii
PENDAHULUAN
Keselamatan pasien telah menjadi isu global yang sedang hangat dibahas
dalam beberapa tahun terakhir bagi pembuat kebijakan kesehatan dan penyedia
sekitar 98.000 kasus kematian pasien dilaporkan karena kesalahan medis (Castle,
2006). Program pengamatan lima tahun yang dilaksanakan oleh Baldo et al.
(2002) mengungkapkan bahwa perawat bertanggung jawab untuk 78% dari efek
samping. Selain itu penelitian juga membuktikan bahwa kematian akibat cidera
medis 50% diantaranya sebenarnya dapat dicegah (Cahyono, 2012). Laporan yang
diterbitkan oleh Institut of Mediciene (IOM) Amerika Serikat tahun 2000 tentang
“To Err is Human, Building to Safer Health System” terungkap bahwa rumah
sakit di Utah dan Colorado ditemukan KTD (Kejadian Tidak Diharapkan) sebesar
2,9% dan 6,6% diantaranya meninggal, sedangkan di New York ditemukan 3,7%
KTD dan 13,6% diantaranya meninggal. Lebih lanjut, angka kematian akibat
KTD pada pasien rawat inap di Amerika Serikat berjumlah 33,6 juta per tahun
berkisar 44.000 jiwa sampai 98.000 jiwa. Depkes, (2006) menyebutkan bahwa
pada tahun 2004 WHO mempublikasikan KTD rumah sakit di berbagai negara
yaitu Amerika, Inggris, Denmark dan Australia terjadi dengan rentang 3,2 -16,6%.
insiden yang mengakibatkan cidera pada pasien. Pihak rumah sakit harus
keselamatan pasien akan menyebakan kerugian bagi pasien dan pihak rumah sakit,
seperti biaya yang harus ditanggung pasien menjadi lebih besar, pasien semakin
lama dirawat di rumah sakit dan terjadinya resistensi obat. Kerugian bagi rumah
sakit yang harus dikeluarkan menjadi lebih besar yaitu pada upaya tindakan
pencegahan terhadap kejadian luka tekan, infeksi nosokomial, pasien jatuh dengan
mereka, keyakinan dan praktek yaitu dengan membangun patient safety culture
(Alizadeh, 2005). Senada dengan yang diungkapkan oleh Faghihi dan Mansoori
(2007) bahwa pendekatan terbaik untuk mencegah kecelakaan rumah sakit untuk
melakukan kontrol maksimum pada poros fisik, peralatan, dan perilaku orang-
oleh berbagai hasil penelitian. Survei untuk mengukur patient safety culture di
rumah sakit kemudian berkembang dan digunakan secara rutin dan berperan
beberapa aspek dimensi yang perlu diperhatikan dalam menilai patient safety
manajemen rumah sakit, kerjasama tim dalam unit, kerjasama tim antar unit,
(Aspden ,2004; Colla, 2005; Flinn, 2006; Sexton, 2006; Singla, 2006). Salah satu
instrumen yang dikembangkan oleh Agency for Healthcare Research and Quality
(AHRQ, 2010). Kuesioner ini terdiri dari 42 item yang terbagi dalam sub-skala
Malaysia. Namun dalam beberapa tahun terakhir ini, keselamatan pasien mulai
menjadi fokus perhatian seiring dengan tuntutan akreditasi rumah sakit harus
keselamatan pasien masih jauh dari standar, hal ini terjadi karena para tenaga
kesehatan belum memiliki patient safety culture yang terinternalisasi dalam diri
mereka, sehingga perlu dilakukan upaya untuk menanamkan patient safety culture
keselamatan pasien adalah menciptakan patient safety culture. Hal tersebut sejalan
dengan apa yang diungkapkan oleh Sashkein & Kisher, dalam Tika (2006) bahwa
budaya (culture) mengandung dua komponen yaitu nilai dan keyakinan, dimana
nilai mengacu pada sesuatu yang diyakini oleh anggota organisasi untuk
mengetahui apa yang benar dan apa yang salah, sedangkan keyakinan mengacu
pada sikap tentang cara bagaimana seharusnya bekerja dalam organisasi. Dengan
adanya nilai dan keyakinan yang berkaitan dengan keselamatan pasien yang
ditanamkan pada setiap anggota organisasi, maka setiap anggota akan mengetahui
demikian, perilaku tersebut pada akhirnya menjadi suatu budaya yang tertanam
merupakan hal pertama yang harus diperhatikan dalam menerapkan patient safety
culture (Singer, 2005). Pemimpin yang efektif dalam menanamkan budaya yang
jelas, mendukung usaha staf, dan tidak bersifat menghukum sangat dibutuhkan
dalam menciptakan patient safety culture yang kuat dan menurunkan KTD. Aspek
seperti kepala ruangan atau kepala unit. Hal ini dikarenakan keselamatan pasien
dipengaruhi oleh kebiasaan staf atau error yang terjadi (WHO, 2009).
Patient safety culture harus dimulai dari pemimpin, hal ini sejalan
seperti yang diungkapkan oleh National Quality Forum (NQF), 2006 yaitu peran
ini telah dicontohkan oleh National Quality Forum (NQF) dengan “meningkatkan
berkualitas (Gillies, 1996; Marquis & Huston, 2003). Kualitas pemberian asuhan
keperawatan bagi pasien dapat dilihat dari pemberian asuhan keperawatan yang
Marquis & Huston, 2003). Kepala ruang sebagai lower manager diharapkan
pasien.
merupakan tahap yang sangat penting dan menjadi prioritas diantara fungsi
manajemen yang lain. Perencanaan yang tidak adekuat akan menyebabkan proses
dijalankan oleh kepala ruang antara lain merencanakan tujuan, standar, prosedur,
ini sangat diperlukan karena menjadi acuan bagi perawat dalam bekerja. Hasil
penelitian Handiyani (2003) didapatkan bahwa kepala ruang yang kurang baik
pengendalian infeksi nasokomial lebih besar 8,9 kali dibandingkan kepala ruang
yang penuh dengan stressor dapat menyebabkan penyakit maupun cidera pada
perawat. Senada dengan hal itu, Gotlib (2003) berpendapat bahwa jam kerja
Penelitian Trinkoff (dalam trinkoff et al, 2007) didapatkan bahwa jumlah perawat
yang serupa yaitu terdapat hubungan antara beban kerja perawat pelaksana dengan
keselamatan pasien.
kerjasama dan negosiasi (Marquis & Huston, 2003). Pengarahan yang baik dapat
menciptakan kerjasama yang efektif dan efisien antara staf. Pengarahan juga
lingkungan kerja yang dapat meningkatkan motivasi dan prestasi kerja sehingga
(2009) menunjukkan bahwa motivasi yang diberikan oleh kepala ruang memiliki
yang diberikan oleh kepala ruang akan memberikan dampak negatif bagi kinerja
hasil yang diharapkan yaitu patient safety culture yang kuat telah tercapai.
kegiatan agar berjalan sesuai rencana, mencari jalan keluar atau pemecahan
dengan baik dapat menjamin semua tujuan dari individu atau kelompok konsisten
kinerja tidak baik dan supervisi yang dilakukan dengan baik mengakibatkan
73,6% perawat memiliki kinerja baik. Penelitian yang dilakukan oleh Nurnalia
20%. Hasil penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa kelompok yang tidak
penurunan dalam penerapan budaya keselamatan pasien sebesar 2,5 kali lebih
keperawatan.
merupakan rumah sakit Tipe A pendidikan yang berfungsi sebagai rumah sakit
rujukan di Provinsi Aceh. Pada tahun 2014 telah dibentuk Komite Mutu dan
Keselamatan Pasien (KMKP) RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh. Komite
Mutu dan Keselamatan Pasien (KMKP) yang dibentuk tersebut baru mulai aktif
pada Mei 2015 dengan struktur organisasi baru sesuai dengan Surat Keputusan
Direktur Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh Nomor
Keselamatan Pasien (KMKP) RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh pada tanggal
terjadi kesalahan pada cara pemberian obat yaitu dosis obat, jenis dan waktu
dan 4 laporan terjadi karena kesalahan komunikasi saat hand over antar unit. Dari
20 laporan tersebut, baru satu laporan yang dilakukan root cause analysis (RCA).
Hambatan dalam pelaksanaan patient safety culture yaitu masih banyak dijumpai
manajemen terhadap keselamatan pasien yang dinilai belum optimal, hal ini
bahwa pada Juni 2015 terjadi perombakan struktur organisasi diruang rawat inap,
rata- rata kepala ruang rawat inap dijadikan sebagai case manager, dan kepala
ruang yang berganti jabatan tersebut digantikan oleh wakil kepala ruang atau
perawat yang lain, sehingga mutasi ini membutuhkan proses adaptasi bagi kepala
patient safety culture. Wawancara lain yang peneliti lakukan terhadap dua orang
oleh rasa malu dan takut disalahkan, takut diberikan sanksi tertentu atau
dikucilkan oleh atasan, perawat dan profesi lain. Hambatan lainnya yaitu belum
optimalnya supervisi dan promosi keselamatan pasien baik oleh kepala ruang
maupun oleh Komite Mutu dan Keselamatan Pasien. Sedangkan Hand over,
kerjasama dalam unit dan antar unit dinilai sudah berjalan dengan baik.
1.2. Permasalahan
rumah sakit dan masih tingginya respon punitive (respon menghukum) terhadap
fungsi manajemen yang telah dijalankan oleh kepala ruang dalam menerapkan
patient safety culture, apakah terdapat hubungan fungsi manajemen kepala ruang
dengan penerapan patient safety culture yang dilakukan oleh perawat pelaksana,
patient safety culture oleh perawat pelaksana di Rumah Sakit Umum Daerah dr.
safety culture oleh perawat pelaksana di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel
culture
safety culture
safety culture
culture
safety culture
Ada hubungan fungsi manajemen kepala ruang dengan penerapan patient safety
culture di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.
1.4.2.3. Ada hubungan pengaturan staf dengan penerapan patient safety culture
1.5. Manfaat
Penelitian
Dari hasil penelitian ini dapat menjadikan bahan pengembangan ilmu pengetahuan
dan Manajemen Mutu Rumah Sakit, serta menjadikan referensi bagi peneliti
berikutnya.
1.5.2. Aspek
Praktis
Dari hasil penelitian ini dapat diperoleh gambaran tentang hubungan pelaksanaan
fungsi manajemen kepala ruang dengan penerapan patient safety culture, sehingga
menjadikan acuan untuk rekruitmen menjadi kepala ruang, dan dapat disusun
Dari hasil penelitian dapat meningkatkan perilaku patient safety culture dalam
culture.
TINJAUAN
TEORITIS
Keselamatan merupakan komponen yang paling dasar, vital dan utama dari
kualitas pelayanan kesehatan dan keperawatan (Ballard, 2003; Drosler et al, 2009;
ICN, 2002). Patient safety rumah sakit merupakan suatu sistem yang membuat
asuhan terhadap pasien lebih aman (Depkes, 2008), yaitu bebas dari cedera,
2010).
pelayanan ini berpotensi terjadi kesalahan apabila tidak dilakukan dengan baik
yang sudah direncanakan atau penggunaan rencana yang salah untuk mencapai
tujuan yang ditetapkan (IOM, 2000; Page, 2004). Kesalahan dapat terjadi karena
14
Universitas Sumatera Utara
15
diharapkan (KTD/ adverse event), kejadian sentinel, dan kejadian nyaris cedera
for Patient Safety Solutions dengan Joint Comission International pada awal Mei
2007. WHO Collaborating Centre for Patient Safety Solutions dengan Joint
safety yang dinamakan Nine Patient Safety Solutions – Preamble May 2007
telah membuat standar keselamatan pasien 2010 yang dinamakan National Patient
Safety Goal. Berikut uraian standar patient safety yang penulis uraikan yaitu
sebagai berikut:
2010 telah membuat standar pertama keselamatan pasien, yaitu identifikasi pasien.
identifikasi di semua rumah sakit dalam suatu sistem layanan kesehatan; dan
Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan bagi pasien.
Rumah sakit harus mendidik pasien dan keluarga tentang kewajiban dan tanggung
jawab pasien dalam asuhan pasien. Rumah sakit merencanakan dan mendesain
informasi internal dan eksternal dan transmisi data serta informasi harus tepat
rupa dan ucapan mirip (look – alike, sound- alike medication names);
standardisasi dari dosis, unit ukuran dan istilah serta pencegahan atas campur
ditempel di papan informasi di ruang jaga perawat, sehingga dapat dilihat dengan
safety (JACHO, 2010). WHO pada 2007 menambahkan macam tindakan dalam
upaya ketepatan tindakan yaitu memastikan tindakan yang benar pada sisi tubuh
yang benar. Tujuan ketepatan tindakan terapi adalah untuk mencegah jenis
Pemberian tanda pada sisi yang akan dibedah oleh petugas yang akan
melaksanakan prosedur dan adanya tim yang terlibat dalam prosedur juga perlu
lebih rinci jika sedang mengerjakan pemberian medikasi serta pemberian makan
(misalnya selang yang benar), dan apabila menyambung alat- alat kepada pasien
sumber air pada semua kran, pendidikan staf mengenai teknik kebersihan tangan
infeksi nasokomial lainnya adalah pencegahan luka tekan dan pencegahan pasien
2.1.2.6.Pengkajian Risiko
evaluasi dan program peningkatan patient safety. Rumah sakit harus mendesain
proses baru atau memperbaiki proses yang ada, memonitor dan mengevaluasi
pasien rawat inap. Dalam konteks populasi/ masyarakat yang dilayani, pelayanan
yang disediakan, dan fasilitasnya, rumah sakit perlu mengevaluasi risiko pasien
jatuh dan mengambil tindakan untuk mengurangi risiko cedera bila sampai jatuh.
Evaluasi bisa termasuk riwayat jatuh, obat dan telaah terhadap konsumsi alkohol,
gaya jalan dan keseimbangan, serta alat bantu berjalan yang digunakan oleh
pasien.
patient safety secara terintegrasi dalam organisasi. Pemimpin juga berperan dalam
mendidik staf tentang patient safety. Rumah sakit memiliki proses pendidikan,
pelatihan dan orientasi untuk setiap jabatan dengan patient safety secara jelas dan
interdisiplin dalam pelayanan pasien (Depkes, 2008). Perawat juga terlibat dalam
2002).
Patient safety culture adalah budaya rumah sakit yang berorientasi pada
professional dan sangat hati- hati agar Adverse Events (AEs) tidak terjadi. Patient
rumah sakit di mata pasien dan masyarakat akan meningkat (Budiharjo, 2008).
Menurut Ferguson dan Fakelman (2005), patient safety culture merupakan nilai,
kepercayaan, yang dianut bersama dan berkaitan dengan struktur organisasi, dan
culture seperti tujuan yang jelas, prosedur yang tetap, dan proses yang aman
contoh, suatu organisasi dengan suatu budaya keselamatan lemah akan membatasi
tingkat proses dan sistem yang mempromosikan suatu hal positif budaya patient
tersebut. Pernyataan ini didukung oleh Zohar (2000) dan Parket et al (2006), yang
menyatakan budaya keselamatan terdiri dari aspek nyata dan abstrak. Aspek nyata
budaya keselamatan akan tampak dan terukur. Oleh karena itu digunakan untuk
keselamatan.
Nieva dan Sora (2004) mengemukakan dua dimensi safety culture yang
dan bersedia belajar secara terus menerus demi peningkatan kinerja melalui
peniadaan AEs.
c. Team work (dalam unit rumah sakit): menunjukkan sejauh mana suatu divisi
a. Team (lintas unit): menunjukkan sejauh mana kekompakan dan kerja sama tim
menunjukkan konsep Sora dan Nieva secara umum menunjukkan bahwa tiga nilai
utama di rumah sakit Belgia adalah kerja sama dalam unit, keterbukaan dan
tindakan safety sedang tiga nilai yang memiliki skor terendah adalah staffing, non-
tersebut menunjukkan bahwa nilai- nilai yang masih perlu ditingkatkan adalah
staffing. Berbeda dengan hasil survei di rumah sakit Belgia, hasil survei yang
sedang nilai rendah adalah staffing, serah terima (transitions) dan non- punitif
menunjukkan bahwa nilai yang berskor tertinggi adalah kebersamaan antar- unit
dan komunikasi dan nilai yang berskor terendah adalah serah terima, kerja sama
tempat kerja, dan sering merefleksikan sikap, kepercayaan, persepsi dan nilai
keselamatan yang ditunjukkan pegawai dalam bekerja (Cox and Cox, 1991).
Budaya organisasi merujuk pada bentuk yang signifikan dari nilai (value)
organisasi sebagai suatu pola asumsi dasar yang diciptakan, ditemukan atau
masalah adaptasi eksternal dan integrasi internal yang resmi dan terlaksana
dengan baik dan oleh karena itu diajarkan/diwariskan kepada angota- anggota
baru sebagai cara yang tepat untuk memahami, memikirkan dan merasakan hal
sebagai kesediaan penyedia dan pasien untuk secara terbuka dan nyaman
identifikasi hal itu penting dalam rangka untuk kemudian dapat mengidentifikasi
Dalam arti negatif masalah budaya merujuk pada profesional dan sikap
persepsi, kompetensi dan pola perilaku yang menentukan komitmen untuk, dan
gaya dan kemampuan dari suatu organisasi manajemen kesehatan dan manajemen
personel rumah sakit, dan anggaran. Yang melatarbelakangi budaya patient safety
Pembelajaran lingkungan ini harus didukung oleh semua sumber daya yang ada
pelayanan. Hal ini akan memerlukan komunikasi antar staf, termasuk pelaporan
error atau kesalahan, kondisi bahaya, atau kendala lain dalam mutu pelayanan.
Hal ini juga akan memunculkan inovasi dan pembelajaran bersama melalui
program patient safety secara keseluruhan, karena apabila kita lebih fokus pada
patient safety culture maka akan lebih menghasilkan hasil keselamatan yang lebih
2006). Walshe dan Boaden (2006) menyatakan bahwa kesalahan medis sangat
jarang disebabkan oleh faktor kesalahan manusia secara individu, namun lebih
(KTD) secara terbuka. Budaya keselamatan positif lainnya yaitu, kesadaran untuk
bekerja secara tim, melakukan analisis secara sistemik apabila terjadi Kejadian
keselamatan pasien dengan baik. Walshe dan Boaden (2006) juga berpendapat
kepercayaan dan terbuka, proses dan alur informasi yang baik, persepsi bersama
tentang arti penting patient safety, perhatian pada pengenalan pada pentingnya
yaitu, adanya alat ukur yang meyakinkan tentang keselamatan pasien, identifikasi
curam antara staf medis dengan staf lain, hubungan tim kerja yang renggang, dan
negatif akan merusak keefektifan dari suatu tim dan menimbulkan efek dari desain
penting dari keselamatan pasien, ada upaya rumah sakit dalam menciptakan
issue keselamatan pasien dengan teman satu tim atau dengan manajer. Perawat
merasa yakin bahwa fokus utama dalam keterbukaan sebagai media pembelajaran
dan bukan untuk mencari kesalahan dari individu untuk mendapatkan hukuman
melibatkan pasien saat serah terima. Briefing digunakan untuk berbagi informasi
seputar issue – issue keselamatan pasien, perawat dapat bebas bertanya seputar
keselamatan pasien yang potensial terjadi dalam kegiatan sehari- hari. Ronde
keperawatan dapat dilakukan setiap minggu dan berfokus hanya pada keselamatan
penjelasan akan tindakan dan juga kejadian yang telah terjadi. Pasien
informasi terhadap hal yang bisa atau tidak bisa diterima, adanya ketakutan
Saat terjadi insiden, tidak berfokus untuk mencari kesalahan individual tetapi
dalam budaya adil yang perlu mendapat perhatian adalah keseimbangan antara
kondisi laten yang mempengaruhi dan dampak dari hukuman yang akan diberikan
patient safety culture. Perawat akan membuat laporan kejadian jika yakin bahwa
laporan tersebut tidak akan mendapatkan hukuman atas kesalahan yang terjadi.
Lingkungan terbuka dan adil akan membantu untuk membuat pelaporan yang
psikologis yang dapat menurunkan kinerja (Yahya, 2006). Kesalahan yang terjadi
lebih banyak disebabkan kesalahan sistem, jadi fokus pada apa yang diperbuat,
hambatan yang mengakibatkan kesalahan serta risiko lain yang dapat terjadi dapat
(Reason, 2000).
yang adekuat pada pelaporan akan dijadikan bahan oleh organisasi dalam
pembelajaran (Jeff, Law & Baker, 2007). Organisasi belajar dari pengalaman
terjadinya insiden sehingga dapat mengurangi atau mencegah insiden yang akan
terjadi.
proses pelaporan insiden menjadi lebih mudah. Hambatan yang dapat terjadi pada
organisasi, kurang menyadari keuntungan dari pelaporan (Bird, 2005; Jaw, Law,
laporan maka tidak akan mendapatkan hukuman. Perawat yang terlibat merasa
bebas untuk menceritakan atau terbuka terhadap kejadian yang terjadi. Perlakuan
yang adil terhadap perawat, tidak menyalahkan secara individu tetapi organisasi
lebih fokus terhadap sistem yang berjalan akan meningkatkan budaya pelaporan
(NPSA, 2004).
menggunakan insiden yang terjadi sebagai proses belajar. Perawat dan manajemen
kesalahan. Umpan balik dari organisasi dan rekan satu tim merupakan suatu
SDM. Pada tahun 2004 Agency For Healthcare Research and Quality (AHRQ)
on Patient Safety Culture (HSPSC) merupakan sebuah survey bagi seluruh staf
rumah sakit yang didesain untuk membantu rumah sakit menilai budaya
keselamatan di institusinya. Sejak saat itu 100 rumah sakit di Amerika telah
keselamatan dari segi perspektif staf rumah sakit. Survei ini dapat mengukur
patient safety culture untuk seluruh staf rumah sakit dari housekeeping, bagian
kemanan, sampai dokter dan perawat. AHRQ menilai patient safety culture
berkelanjutan; kerja sama dalam unit rumah sakit; komunikasi terbuka; umpan
terhadap upaya keselamatan pasien; kerja sama antar unit di rumah sakit;
kecelakaan pasien di rumah sakit. Rumah sakit yang ingin menilai patient safety
dapat digunakan untuk (AHRQ, 2004): meningkatkan kesadaran staf rumah sakit
safety culture sepanjang waktu, mengevaluasi dampak budaya dari inisiatif dan
maupun eksternal.
Tim kerja dapat diartikan sebagai teamwork (Ilyas, 2003). Tim kerja
sama dan saling berinteraksi untuk mencapai tujuan yang sama yang
adalah sekelompok orang yang bekerja sama dan menghasilkan hasil yang
masing- masing anggota yang berbeda satu sama lain, dan identitas tim. Perawat
dapat bekerja sama dengan tenaga kesehatan lainnya seperti dokter dan apoteker
keselamatan pasien berdasarkan prioritas masing- masing. Tim bedah dan kamar
Walshe & Boaden (2006) juga melakukan penelitian meta analisis yang
lebih baik pada komunikasi, tugas, dan matematis. Manfaat kerja tim adalah
Amerika tentang pelaksanaan patient safety culture pada kerja sama sebesar 57%
(Nadzam, 2009).
b. Komunikasi Terbuka
tenaga kesehatan lainnya (ICN, 2002). Komunikasi adalah proses tukar menukar
pikiran, perasaan, pendapat dan saran yang terjadi antara dua manusia atau lebih
(Nadzam, 2009).
antara lain briefing, dan ronde keselamatan pasien. Briefing merupakan cara
sederhana bagi staf untuk berbagi informasi tentang isu- isu keselamatan pasien
yang potensial dapat terjadi dalam kegiatan sehari- hari, ronde keselamatan
pasien. Ronde keselamatan pasien yang terdiri dari perawat senior 1-2 perawat
ruangan, dilakukan supervisi setiap minggu pada area yang berbeda di rumah sakit
dan berfokus hanya pada masalah keselamatan. Selain itu terdapat teknik
rumah sakit di Amerika Serikat dan Kanada, didapatkan hasil 94% perawat
Diskusi ini sebagai media pembelajaran tentang kesalahan. Perawat juga menjadi
tidak nyaman untuk berdiskusi pada budaya menyalahkan orang lain. Perawat
85%. Lebih dari separuh perawat menyatakan ikut terlibat dalam ronde
2006).
jarang disebabkan oleh faktor kesalahan manusia secara tunggal, namun lebih
rantai- rantai dalam sistem terputus. Yahya (2006) berpendapat tenaga profesional
karenanya pertanyaan individual perlu dihindari, dan fokus pada apa yang terjadi,
bukan siapa yang melakukan, hambatan dalam melakukan kerja yang baik, serta
keselamatan pasien pada 4826 perawat pada rumah sakit di Amerika Serikat dan
dan budaya tidak menyalahkan sebesar 74% (Manno, Heberlein, Josephine &
Mee, 2008).
d. Pelaporan Kejadian
data pada organisasi dan sistem pembelajaran (Walshe & Boaden, 2006). Perawat
ergonomi bentuk dari pelaporan kejadian, kebingungan dari hukum dari kejadian
umpan balik (Josh et al, 2000: Uribe et al, 2002, & Kingstone et al, 2004 dalam
kejadian antara lain berikan umpan balik pada staf saat mereka memberikan
Lima langkah berikutnya yaitu membuat alat yang mudah untuk mencatat laporan
rumah sakit di Amerika Serikat dan Kanada, didapatkan hasil 89% perawat
yang salah akan di anggap objektif dan bisa dipahami sebesar 74% dan tidak
e. Staffing
didefinisikan sebagai proses menegaskan pekerja yang ahli untuk mengisi struktur
dengan kebutuhan yang ada di tiap unit yang dibutuhkan. Jumlah perawat di
sakit. Karena staf yang memadai merupakan suatu hal mendasar untuk perawatan
yang berkualitas.
yang lebih baik. Aiken dkk (2002) menyebutkan bahwa terdapat hubungan
f. Kepemimpinan
membangun patient safety culture di rumah sakit ada dua model kepemimpinan
safety menjadi tanggung jawab bersama serta menyediakan sumber daya manusia
maupun dana untuk analisis error dan merancang ulang sistem (Kohn, (2000).
membangun safety culure yang kuat ada 6 perilaku yang harus dimiliki oleh
senior leader yakni: membuat dan mengkomunikasikan visi safety yang jelas;
g. Organizational Learning
tim inti untuk menentukan strategi pembudayaan nilai- nilai keselamatan pasien.
Tim tersebut secara berkala bertemu untuk menganalisis RCA (Root Cause
Analysis) serta mencari akar masalah dari setiap insiden keselamatan pasien. Tim
tersebut juga menentukan pola sosialisasi serta mengevaluasi program yang telah
dapat mencegah terulangnya kesalahan. Umpan balik dari organisasi dan rekan
Perpindahan pasien dari satu lingkungan ke lingkungan yang lain dapat berupa
pasien tersebut juga dapat terjadi ketika berlangsungnya pergantian shift antar
perawat.
Patient Safety dengan 12 elemen untuk mengukur patient safety culture, meliputi:
kerja sama dalam unit, kerja sama antar unit, ekspektasi manajer, pembelajaran
keselamatan, kepuasan kerja, kondisi stres, persepsi manajemen dan kondisi kerja.
Standford Instrument (SI) melihat dari 5 elemen patient safety culture, antara lain:
culture, yaitu nilai keselamatan, takut dan reaksi negatif, persepsi keselamatan.
beda, namun pada dasarnya elemen- elemen yang ada pada setiap instrumen
Tabel 2.1
Komponen Instrumen
NO Keselamata
AHRQ- HSPSC SAQ SI MSI
n Pasien
- Komunikasi
- Nilai
- Kerjsama - Kerjasama
keselamat
Keterbukaan dalam unit - Iklim
- Kesadaran an
1 (Informed - Persepsi keselamatan
diri - Persepsi
Culture) keselamatan - Persepsi
keselamat
pasien manajemen
an
- Umpan balik
- Kepuasan
dan - Takut
Keadilan kerja - Produksi
komunikasi atau
2 (Just - Kondisi stres - Departemen
- Staffing reaksi
Culture) - Kondisi
- Respon tidak negatif
kerja
menghukum
- Pelaporan - Takut
Pelaporan - Kondisi stres
kejadian - Pelaporan atau
3 (Report - Kondisi
- Hand over reaksi
Culture) kerja
dan transisi negatif
- Pembelajara
n organisasi
Pembelajaran
- Ekspektasi - Pengorganis
4 (Learning
manajer asian
Culture)
- Dukungan
manajer
Sumber : (Carthey & Clarke, 2010; Reiling, 2006; Flemming, 2005; Reason,
1997)
Keterangan:
SI = Standford Instrument
POSDCORB. Meskipun demikian, teori ini berubah dari waktu- waktu, baik
(1972) dalam Koentz, Donnell, dan Weichrich (1990) membagi fungsi manajemen
dan pengawasan.
dan Huston (2015) menyatakan fungsi kepala ruang sebagai first line manager
untuk digunakan dalam dunia keperawatan baik dalam penelitian maupun dalam
praktik.
kepala ruang memiliki peran yang kritis dalam mendukung safety culture dan
lingkungan yang positif bagi patient safety. Fungsi manajerial kepala ruang
2.3.1. Perencanaan
matang hal- hal yang akan dikerjakan di masa mendatang dalam rangka
pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Perencanaan dapat juga diartikan sebagai
suatu rencana kegiatan tentang apa yang harus dilakukan, bagaimana kegiatan itu
merupakan pola pikir yang dapat menentukan keberhasilan suatu kegiatan dan
perencanaan terdiri dari perumusan visi, misi, filosofi, peraturan, kebijakan, dan
perawatan yang aman yaitu dengan meningkatkan penyediaan cuci tangan untuk
dan menjadi prioritas; komitmen tentang tanggung jawab eksekutif dalam patient
ini dan juga strategi untuk mencapai visi tersebut (Callahan & Ruchlin, 2003).
tentang patient safety dan perencanaan sumber daya yang ada (SDM dan fasilitas)
2.3.2. Pengorganisasian
dan menunjukkan bagaimana fungsi- fungsi atau kegiatan yang berbeda- beda
ditunjuk manajer risiko atau manajer patient safety (Marquis & Huston, 2006).
Matteson, 2005).
struktur organisasi, termasuk uraian tugas staf dan departemen. Menyediakan staf
kepemimpinan yang tidak bisa dimiliki hanya dengan kegiatan rutinitas seperti
tingkat bawah dan hierarki, sebagai penengah antara manajer puncak dan manajer
pertama berfokus pada unit kecil kerja, berhubungan dengan masalah langsung
pada pelaksanaan operasional unit kerja. Manajer pertama yang efektif sangat
baik, karena mereka bekerja langsung dengan pasien dan tim kesehatan. Manajer
pertama juga harus mempunyai kesempatan yang pandai untuk melatih peran
pemimpin adalah menentukan orang- orang yang terlibat dalam kegiatan ini
(Callahan & Ruchlin, 2003). Pengorganisasian dalam patient safety adalah dengan
tim keselamatan pasien di rumah sakit (Yahya, 2006). Alternatif kedudukan tim
keselamatan pasien di rumah sakit adalah (1) Direktur Utama membawahi Tim
Keselamatan Pasien, Mutu Pelayanan, dan Manajemen Risiko; (2) Direktur Utama
unit rumah sakit dapat dilihat pada gambar 2.1 dan 2.2.
Gambar 2.1
Departemen
Ketua
Unit/Tim
Penggerak
Anggota Tetap
Gambar 2.2
Tim Sub
Tim KP
KP/Mutu Komite
KP
Tim KP Tim KP
Marquis & Huston (2003), manajer merekrut, memilih, memberikan orientasi dan
ruang menjalankan fungsi ini antara lain dengan merencanakan kebutuhan staf
perawat, menyusun jadwal dinas, memberikan orientasi bagi staf baru mengenai
kebijakan, aturan maupun standar keselamatan yang harus ditaati dalam bekerja.
2.3.4. Pengarahan
rangka mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan sebelumnya. Istilah lain
pengaktifan, dan pada akhirnya akan bermuara pada melaksanakan kegiatan yang
2006).
dalam keberhasilan penerapan patient safety culture (Callahan & Ruchlin, 2003).
Fungsi pengarahan manajer dalam pelaksanaan patient safety adalah dengan ronde
keselamatan pasien yang terdiri dari perawat senior dan 1-2 perawat ruangan,
dilakukan supervisi setiap minggu pada area yang berbeda di rumah sakit dan
budaya adil dan terbuka dengan mendorong staf membicarakan insiden dengan
informasi dan pendapat dari staf agar pelayanan pasien lebih aman, selain itu juga
sebagai cara berbagi informasi yang diperoleh dari berbagai unit di rumah sakit
(Yahya, 2006).
briefing tim. Yahya (2006) menyatakan bahwa briefing tim adalah cara sederhana
bagi staf untuk berbagi informasi tentang isu- isu keselamatan pasien yang
potensial dapat terjadi dalam kegiatan sehari- hari. Briefing tim sangat ideal untuk
departemen yang bekerja secara tim, pergantian atau kegiatan tertentu (misalnya
misalnya patient safety; terbuka dan adil, tiap- tiap orang dihargai dan memiliki
kesempatan berbicara; singkat, paling lama 15 menit setiap pergantian shift atau
bertanggung jawab menciptakan suasana kerja yang kondusif untuk bisa berbagi
isu tentang patient safety dalam suatu lingkungan yang terbuka dan perlakuan
yang adil.
2.3.5. Pengendalian
keperawatan tercapai. Audit hasil adalah audit produk kerja yang dapat berupa
kondisi pasien, kondisi SDM, atau indikator mutu (Marquis & Huston, 2006).
Gambar 2.3
Budaya Keselamatan
Positif Negatif (Reis,
(2006); Pronovost
(2003)
12 Dimensi Budaya
Keselamatan Pasien
(AHRQ: 2004)
2.5. Kerangka Konsep
fungsi manajemen kepala ruang yang terdiri dari lima subvariabel yaitu
pelaksana pada aspek informed culture, reporting culture, just culture dan
perawat pelaksana meliputi usia, jenis kelamin, masa kerja, tingkat pendidikan,
dan pelatihan yang pernah diikuti. Kerangka konsep penelitian ini dapat dilihat
Gambar 2.4
Kerangka Konsep Penelitian
Karakteristik perawat
pelaksana, meliputi:
Variabel - Usia
Counfounding - Jenis Kelamin
- Masa Kerja
- Pendidikan
- Pelatihan patient
safety yang pernah
d
i
i
k
u
t
i
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian non-eksperimental, dengan
Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh, meliputi usia, jenis kelamin,
pendidikan, masa kerja, dan pelatihan patient safety yang pernah diikuti.
Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh. Adapun alasan pemilihan rumah sakit
sebagai lokasi penelitian karena rumah sakit ini merupakan rumah sakit tipe
paripurna terbesar milik pemerintah Aceh, mudah dijangkau dan terletak di pusat
kota. Rumah sakit ini merupakan rumah sakit rujukan pasien dari berbagai
meningkatkan mutu layanan dan menjaga serta menerapkan patient safety culture.
51
3.3.1. Populasi
yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti
penelitian ini adalah seluruh perawat pelaksana yang bekerja di ruang rawat inap
RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh sejumlah 323 perawat pelaksana (data
sekunder bulan Juli 2015). Rincian populasi dapat dilihat pada tabel 3.1.
Tabel 3.1
Sebaran Jumlah Populasi Penelitian
No Subpopulasi Jumlah
1 Ruang Jeumpa 1 18
2 Ruang Jeumpa 2 16
3 Ruang Jeumpa 3 17
4 Ruang Jeumpa 4 14
5 Ruang Mamplam 1 18
6 Ruang Mamplam 2 14
7 Ruang Mamplam 3 15
8 Ruang Geulima 1 15
9 Ruang Geulima 2 17
10 Ruang Seurune 1 15
11 Ruang Seurune 2 15
12 Ruang Seurune 3 14
13 Ruang Rawat Jantung dan Cath Lab 10
14 Pavilium Geurutee 12
15 Ruang PICU 14
53
Tabel 3.1
Lanjutan
No Subpopulasi Jumlah
16 Ruang NICU & Perinatologi 22
17 Ruang Sentral Talasemia 11
18 Ruang ICU Dewasa 23
19 Ruang ICCU 21
20 Ruang HCU 11
21 Ruang ICU Bedah Jantung 10
Jumlah 323
Populasi sampel adalah bagian populasi yang dapat dijadikan responden oleh
peneliti (Sastroasmoro & Ismail, 2008). Populasi sampel pada penelitian ini
3.3.2. Sampel
dapat diukur dan nantinya dipakai untuk menduga karakteristik populasi (Sabri &
N
n=
1 + N (d)2
Keterangan:
n = Jumlah sampel
N = Jumlah populasi
d = Penyimpangan terhadap populasi atau derajat ketidaktepatan yang
diinginkan (10%).
54
323
n = 2
1 323(0,1)
n =
323
1 323(0,01)
yang sama kepada semua anggota populasi untuk ditetapkan sebagai anggota
sampel. Dengan teknik semacam ini maka terpilihnya individu menjadi anggota
sampel benar-benar atas dasar faktor kesempatan (chance), dalam arti memiliki
kesempatan yang sama, bukan karena adanya pertimbangan subjektif dari peneliti.
Ni
ni = Xn
N
Keterangan :
N = Jumlah populasi.
Penentuan jumlah sampel berdasarkan jumlah ruang rawat inap dan jumlah
Tabel 3.2
Jumlah sampel tiap ruangan di RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh
No. Nama Ruang Jumlah Proportional Jumlah Sampel
Perawat Sampling Penelitian
1 Ruang Jeumpa 1 18 18/323 X 76 4
2 Ruang Jeumpa 2 16 16/323 X 76 4
3 Ruang Jeumpa 3 17 17/323 X 76 4
4 Ruang Jeumpa 4 14 14/323 X 76 3
5 Ruang Mamplam 1 18 18/323 X 76 4
6 Ruang Mamplam 2 14 14/323 X 76 3
7 Ruang Mamplam 3 15 15/323 X 76 4
8 Ruang Geulima 1 15 15/323 X 76 4
9 Ruang Geulima 2 17 17/323 X 76 4
10 Ruang Seurune 1 15 15/323 X 76 4
11 Ruang Seurune 2 15 15/323 X 76 3
12 Ruang Seurune 3 14 14/323 X 76 3
13 Ruang rawat Jantung 10 10/323 X 76 2
14 Pavilium Geurutee 12 12/323 X76 3
15 Ruang PICU 15 15/323 X 76 4
16 Ruang NICU/ Perinatologi. 22 22/323 X 76 5
17 R. Sentral Talasemia. 11 11/323 X 76 3
18 R. ICU Dewasa 23 23/323 X 76 5
19 R. ICCU 21 21/323 X 76 5
20 R. HCU 11 11/323 X 76 3
21 R. high care 10 10/323 X 76 2
Jumlah 323 76
bahwa ruang rawat inap yang jumlah perawat pelaksana lebih banyak, maka
jumlah sampel yang diambil lebih banyak daripada ruangan yang sedikit jumlah
kemudian digulung atau dilinting; gulungan atau lintingan kertas yang telah berisi
peneliti atau orang lain yang diawasi peneliti, mengambil lintingan kertas satu per
satu sampai diperoleh sejumlah sampel yang diperlukan per ruangan, hal ini
penerapan patient safety culture yang bersumber dari informasi perawat pelaksana
di rumah sakit.
Pengumpulan data sekunder diperoleh dari buku arsip atau profil rumah
sakit, jadwal dinas perawat, jurnal online, media baca dan studi kepustakaan. Data
Tabel 3.3
Definisi Operasional
N Skala
Variabel Definisi operasional Alat ukur Cara Ukur Hasil ukur
o. ukur
Variabel Independen
1. Fungsi Persepsi perawat pelaksana yang Kuesioner B Diukur dengan skala Dikategorikan berdasakan Ordinal
manajemen bekerja di ruang rawat inap RSUD dr. terdiri dari 40 likert. cut of point, nilai mean
kepala ruang Zainoel Abidin Banda Aceh terhadap pernyataan 5 = Selalu menjadi:
kemampuan kepala ruangan dalam 4 = Sering a. Kurang apabila < 75%
melaksanakan fungsi manajemen 3 = Kadang- kadang b. Baik apabila ≥ 75%
keperawatan terhadap penerapan 2 = Jarang
patient safety culture yang meliputi : 1 = Tidak pernah
perencanaan, pengorganisasian,
pengaturan staf, pengarahan dan
pengendalian.
1.1.Perencanaan Persepsi perawat pelaksana terhadap Kuesioner B Diukur dengan skala Dikategorikan berdasakan Ordinal
kemampuan kepala ruangan dalam terdiri dari 9 likert. cut of point, nilai mean
melaksanakan fungsi perencanaan pernyataan 5 = Selalu menjadi:
yang meliputi : menyusun aturan dan 4 = Sering a. Kurang apabila < 75%
SOP keselamatan pasien, menyusun 3 = Kadang- kadang b. Baik apabila ≥ 75%
rencana kerja dalam penerapan 2 = Jarang
keselamatan pasien. 1 = Tidak pernah
1.2.Pengorganisas Persepsi perawat pelaksana terhadap Kuesioner B Diukur dengan skala Dikategorikan berdasakan Ordinal
ian kemampuan kepala ruangan dalam terdiri dari 7 likert. cut of point, nilai mean
menerapkan fungsi pengorganisasian pernyataan 5 = Selalu menjadi:
1.3.Pengaturan Persepsi perawat pelaksana terhadap Kuesioner B Diukur dengan skala Dikategorikan berdasakan Ordinal
Staf kepala ruang dalam: menentukan terdiri dari 6 likert. cut of point, nilai mean
perawat yang terlibat dalam penerapan pernyataan 5 = Selalu menjadi:
patient safety, menyiapkan perawat 4 = Sering a. Kurang apabila < 75%
yang berkualitas dalam praktek 3 = Kadang- kadang b. Baik apabila ≥ 75%
pengendalian infeksi melalui pelatihan, 2 = Jarang
membagi tanggung jawab secara jelas 1 = Tidak pernah
dalam penerapan keselamatan pasien.
1.4.Pengarahan Persepsi perawat pelaksana terhadap Kuesioner B Diukur dengan skala Dikategorikan berdasakan Ordinal
kemampuan kepala ruangan dalam terdiri dari 10 likert. cut of point, nilai mean
menerapkan fungsi pengarahan yang pernyataan 5 = Selalu menjadi:
meliputi : memberikan bimbingan 4 = Sering a. Kurang apabila < 75%
kepada perawat mengenai keselamatan 3 = Kadang- kadang b. Baik apabila ≥ 75%
pasien, memotivasi perawat untuk 2 = Jarang
menerapkan patient safety, melakukan 1 = Tidak pernah
supervisi langsung terkait
pengontrolan infeksi, mengadakan
rapat untuk membahas insiden
keselamatan pasien.
1.5.Pengendalian Persepsi perawat pelaksana terhadap Kuesioner B Diukur dengan skala Dikategorikan berdasakan Ordinal
kemampuan kepala ruangan dalam terdiri dari 8 likert. cut of point, nilai mean
menerapkan fungsi pengendalian yang pernyataan 5 = Selalu menjadi:
meliputi : melakukan evaluasi rutin 4 = Sering a. Kurang apabila < 75%
terkait penerapan patient safety, 3 = Kadang- kadang b. Baik apabila ≥ 75%
mengawasi laporan insiden patient 2 = Jarang
safety, menilai asuhan keperawatan 1 = Tidak pernah
terkait keselamatan pasien, memberi
teguran dan sanksi terhadap perawat
yang mengabaikan patient safety.
Variabel Dependen
2. Budaya Perilaku perawat pelaksana (ketua Kuesioner C Diukur dengan skala Dikategorikan berdasakan Ordinal
Keselamatan tim dan perawat pelaksana) yang terdiri dari 42 likert. cut of point, nilai mean
Pasien (Patient bekerja di ruang rawat inap pernyataan 5 = Selalu menjadi:
Safety Culture) RSUD dr. Zainoel Abidin Banda 4 = Sering a. Kurang apabila < 75%
Aceh yang berlandaskan 3 = Kadang- kadang b. Baik apabila ≥ 75%
keterbukaan, keadilan, pelaporan 2 = Jarang
dan budaya belajar. 1 = Tidak pernah
Variabel Perancu (Confounding)
3.1.Usia Jumlah tahun sejak responden lahir Kuesioner A Dengan - Dewasa awal (18 – 40 Ordinal
sampai ulang tahun terakhir mencantumkan tahun)
umur pada titik - Dewasa Madya (41 – 60
titik isian tahun)
- Dewasa lanjut (> 60
tahun)
3.2.Jenis Kelamin Gambaran karakteristik seksual dan Kuesioner A Dengan - Laki- laki Nominal
peran responden memberikan tanda - Wanita
√ pada kolom yang
tersedia
3.3.Tingkat Jenis pendidikan terakhir yang pernah Kuesioner A Dengan - Non Profesional untuk Ordinal
Pendidikan diselesaikan responden sampai memberikan tanda lulusan SPK
mendapatkan ijazah dan gelar √ pada kolom yang - Profesional untuk
akademik tersedia lulusan DIII, S1, S2
Keperawatan
-
3.4.Masa Kerja Jumlah tahun selama responden Kuesioner A Dengan - ≤ 5 tahun Ordinal
menjalankan tugas sebagai perawat di memberikan tanda - 6 – 10 tahun
RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh √ pada kolom yang - > 10 tahun
sampai saat penelitian tersedia
3.5.Pelatihan Gambaran pernah tidaknya responden Kuesioner A Dengan - Pernah Mengikuti Ordinal
patient safety mendapatkan pelatihan selama bekerja memberikan tanda - Tidak Pernah Mengikuti
yang pernah √ pada kolom yang
diikuti tersedia
61
kepada responden penelitian tentang tujuan dan manfaat penelitian, petunjuk dan cara
pengisian, waktu yang diperlukan untuk mengisi kuesioner, serta kesediaan responden
terlibat dalam penelitian untuk mengisi kuesioner. Kuesioner dalam penelitian ini
meliputi:
3.6.1. Kuesioner A
Kuesioner A berisi identitas perawat ruangan terdiri dari usia, jenis kelamin,
masa kerja, tingkat pendidikan, dan pelatihan keselamatan pasien yang pernah diikuti.
3.6.2. Kuesioner B
3.6.3. Kuesioner C
pasien (patient safety culture) yang dikeluarkan oleh AHRQ pada Hospital Survey on
Patient Safety Culture (HSPSC). Kuesioner tersebut telah digunakan oleh rumah sakit
- rumah sakit di Amerika untuk mengukur budaya keselamatan pasien di rumah sakit.
keselamatan pasien dari 4 komponen keselamatan pasien yang terdiri dari keterbukaan
(learning culture). Kuesioner yang digunakan oleh peneliti ini sudah diterjemahkan ke
validitas dengan melibatkan 3 orang ahli (expert). Para expert memberikan koreksi
supaya merubah item kuesioner yang bermakna ganda diuraikan menjadi beberapa
pernyataan baru. Untuk pernyataan yang sulit dipahami atau tidak ada jawaban di
lokasi penelitian disarankan para expert agar dikoreksi atau dihapus. Penilaian ini
didasari pada item kuesioner tidak relevan, tidak jelas, tidak sederhana dan bermakna
sama dengan item yang lain sehingga dari 44 item pernyataan yang dirumuskan dan
persilangan nilai dari expert 1, 2, dan 3, maka didapatkan nilai Content Validity Index
(CVI) sebesar 0,94. Hal ini berarti semua item pernyataan telah valid untuk digunakan
menggunakan rumus uji Cronbach Alpha. Kriteria pengujian : Jika r > r tabel, berarti
item pernyataan valid, Jika r ≤ r tabel, berarti item pernyataan adalah tidak valid
(Dahlan, 2011). Pengambilan data untuk uji relibilitas dilakukan pada 30 orang
perawat pelaksana di Rumah Sakit Ibu & Anak Pemerintah Aceh pada tanggal 19- 21
Desember 2015. Hasil uji reliabilitas dengan Cronbach Alpha diperoleh hasil r >
Pada kuesioner C tidak dilakukan uji validitas dan reliabilitas karena sudah
pernah digunakan sebelumnya oleh Hamdani (2007) dengan uji nilai validitas r > r
tabel dengan Pearson Product Moment yaitu r > 0,361, sehingga kuesioner dikatakan
valid pada instrumen penerapan patient safety culture, uji reliabilitas dengan
distribusi frekuensi dari variabel fungsi manajemen kepala ruang dan penerapan
patient safety culture serta karakteristik perawat pelaksana yang meliputi usia, jenis
kelamin, tingkat pendidikan, masa kerja dan pelatihan patient safety yang pernah
diikuti.
dengan penerapan patient safety culture digunakan uji Chi Square. Uji ini digunakan
untuk mengetahui hubungan fungsi manajemen kepala ruang yang terdiri dari
dengan penerapan patient safety culture. Proses entry data (memasukkan data) ke
dalam tabel secara keseluruhan dan analisa data menggunakan sistem komputerisasi
untuk mendapatkan hasil yaitu ada atau tidak hubungan dua variabel secara signifikan.
izin menggunakan lahan penelitian dari rumah sakit dan persetujuan mengisi
bentuk bahwa penelitian ini tidak berdampak bahaya dan mengancam kenyamanan
responden.
3.9.2. Anonymity
pribadi lain agar kerahasian responden terjaga. Hal itu merupakan upaya dalam
penelitian ini. Nama dan data pribadi lain diganti dengan kode nomor pada lembaran
kuesioner.
3.9.3. Confidentiality
kerahasiaan hasil penelitian dan masalah-masalah lain. Menyimpan data dengan baik
HASIL
PENELITIAN
Rumah Sakit Umum dr. Zainoel Abidin Banda Aceh merupakan rumah
sakit umum terbesar yang berada di ibukota Provinsi Aceh yaitu Kota Banda
Aceh. Rumah sakit milik pemerintah Aceh ini beralamat di Jalan Teungku Daud
Beureuh nomor 108, Lampriet, Kota Banda Aceh. Rumah Sakit Umum Daerah dr.
Zainoel Abidin Banda Aceh merupakan rumah sakit dengan tipe paripurna
pendidikan. Jumlah tenaga perawat pelaksana yang bekerja di ruang rawat inap
Visi Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh adalah
misi Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh adalah
keuangan.
65
Universitas Sumatera Utara
66
dengan 6 Januari 2016 di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda
Tabel 4.1
Distribusi Frekuensi Karakteristik Perawat Pelaksana di Rumah Sakit Umum
Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh (n=75)
Karakteristik Perawat f %
N
Pelaksana
1. Usia :
Dewasa Awal (18 – 40 tahun) 72 96
Dewasa Madya (41 – 60 tahun) 3 4
Dewasa Lanjut (> 60 tahun) 0 0
Total 75 100
2. Jenis kelamin
Laki- Laki 18 24,0
Perempuan 57 76,0
Total 75 100
3. Masa kerja
≤ 5 tahun 43 57,3
6- 10 tahun 23 30,7
> 10 tahun 9 12,0
Total 75 100
4. Pendidikan
SPK 0 0
Diploma III Keperawatan 39 52
S1 Keperawatan 10 13,3
Ners 26 34,7
S2 Keperawatan 0 0
Total 75 100
Pernah Mengikuti Training
5.
Keselamatan Pasien :
Pernah 42 56,0
Tidak Pernah 33 44,0
Total 75 100
perawat pelaksana di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.
Jumlah perawat pelaksana yang diukur dan menjadi responden adalah 75 orang.
dewasa awal, yaitu 18- 40 tahun dengan rata- rata umur 30, 52 tahun dengan jenis
Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh terbesar jumlahnya
adalah ≤ 5 tahun dengan rata- rata lama kerja sebesar 5,57 tahun dengan tingkat
pendidikan rata- rata diploma III Keperawatan. Perawat pelaksana yang pernah
Tabel 4.2
Gambaran fungsi manajemen kepala ruang di Rumah Sakit Umum Daerah dr.
Zainoel Abidin Banda Aceh (n=75)
No Variabel f %
1 Fungsi Manajemen Kepala
Ruang
a. Baik 69 92
b. Kurang 6 8
Total 75 100
2 Fungsi perencanaan
c. Baik 68 90,7
d. Kurang 7 9,3
Total 75 100
3 Fungsi pengorganisasian
a. Baik 60 80,0
b. Kurang 15 20,0
Total 75 100
Tabel 4.2
Lanjutan
No Variabel f %
4 Fungsi pengaturan staf
a. Baik 65 86,7
b. Kurang 10 13,3
Total 75 100
5 Fungsi pengarahan
a. Baik 70 93,3
b. Kurang 5 6,7
Total 75 100
6 Fungsi Pengendalian
a. Baik 65 86,7
b. Kurang 10 13,3
Total 75 100
Dari tabel 4.2 didapatkan hasil bahwa variabel fungsi manajemen kepala
ruang dipersepsikan baik oleh 92% responden. Manajemen fungsi kepala ruang
mempunyai sub- sub variabel yang terdiri dari lima variabel meliputi fungsi
Perawat yang memiliki persepsi baik terhadap fungsi perencanaan kepala ruang
mempersepsikan baik terhadap fungsi pengarahan kepala ruang dan 86% perawat
Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh dapat dilihat pada
Tabel 4.3
Gambaran penerapan patient safety culture di Rumah Sakit Umum Daerah dr.
Zainoel Abidin Banda Aceh (n=75)
Penerapan Patient Safety
N f %
Culture
a. Baik 54 72
b. Kurang 21 28
Total 75 100
penerapan patient safety culture kurang lebih rendah dibandingkan perawat yang
Dari hasil analisa data tentang hubungan fungsi manajemen kepala ruang
dengan penerapan patient safety culture, maka didapatkan hasil seperti pada tabel
Tabel 4.4
Berdasarkan tabel 4.4 diatas dapat dilihat bahwa nilai p-value < 0,05 yaitu
0,000 sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa ada hubungan yang sangat
signifikan antara fungsi manajemen kepala ruang dengan penerapan patient safety
ini dijelaskan hasil penelitian tentang hubungan fungsi manajemen kepala ruang
safety culture
dengan penerapan patient safety culture di Rumah Sakit Umum Daerah dr.
Tabel 4.5
Hasil nilai statistik pada tabel 4.5 menunjukkan nilai p-value < 0,05, yaitu
0,002 yang berarti bahwa ada hubungan yang signifikan antara perencanaan
kepala ruang dengan penerapan patient safety culture di Rumah Sakit Umum
safety culture
kepala ruang dengan penerapan patient safety culture seperti tabel berikut:
Tabel 4.6
Pada tabel 4.6 menunjukkan nilai analisa p-value sebesar 0,023 sehingga
4.5.3. Hubungan fungsi pengaturan staf kepala ruang dengan penerapan patient
safety culture
pengaturan staf kepala ruang dengan penerapan patient safety culture di Rumah
Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh dapat dilihat pada tabel 4.7
berikut:
Tabel 4.7
Hubungan fungsi pengaturan staf kepala ruang dengan penerapan patient safety
culture di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh (n=75)
Fungsi P-
Patient Safety Culture
No Pengaturan Value
Staf Baik Kurang
f e % f e %
a. Baik 15 18,2 20,0 50 46,8 66,7 0,025
Kurang 6 2,8 8,0 4 7,2 5,3
Total 21 21 28,0 54 54,0 72,0
Berdasarkan tabel 4.7 diatas dapat dilihat bahwa nilai p-value sebesar
0,025, sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa ada hubungan antara fungsi
pengaturan staf kepala ruang dengan penerapan patient safety culture di Rumah
safety culture
Pada analisa bivariat dengan menggunakan uji chi square ditemukan nilai
Tabel 4.8
sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara
safety culture
ruang dengan penerapan patient safety culture maka tergambar pada hasil analisa
Tabel 4.9
Berdasarkan analisa tabel 4.9 dapat dilihat nilai p < 0,05 yaitu 0,000
sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa ada hubungan yang sangat signifikan
antara fungsi pengendalian kepala ruang dengan penerapan patient safety culture
PEMBAHASAN
Dalam bab ini dibahas hasil penelitian tentang variabel fungsi manajemen
kepala ruang dan hubungannya dengan variabel penerapan patient safety culture
secara jelas. Dalam penelitian ini subjek yang diteliti adalah perawat pelaksana di
Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Umum dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.
Karakteristik demografi perawat pelaksana yang diukur adalah usia, jenis kelamin,
keselamatan pasien.
perawt pelaksana di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh
74
mengemukakan kepala ruang memiliki peran yang kritis dalam mendukung safety
Marquis & Huston, 2003). Kepala ruang sebagai lower manager diharapkan
Hal ini merupakan modal positif bagi kepala ruang dalam memimpin dan
(2011) yang menyatakan bahwa lebih banyak perawat yang mempersepsikan fungsi
memberikan penilaian atau memiliki persepsi baik terhadap orang lain akan
baik tersebut. Selain itu, Mustofa (2008) menyatakan bahwa sikap dan
perawat.
Selain itu, Depkes (2008) menyatakan bahwa untuk membangun kesadaran akan
komitmen, dan kejujuran dalam menjalankan peran dan fungsinya (Dolan &
haruslah berani mengambil keputusan yang tidak populer dan mengikuti suara hati
(Welch, 2006).
Pendapat lain Burns (2009) menyatakan kepala ruang sebagai manajer lini
untuk bekerja sesuai dengan yang diinginkan rumah sakit. Kepala ruang dituntut
seefektif dan se-efisien mungkin bagi individu, keluarga, dan masyarakat (Huber,
2010).
Allan et al. dalam Hyrkas (2008) menyebutkan pengelolaan kepala ruang sebagai
semakin sesuai gaya kepemimpinan kepala ruang rawat, maka semakin baik
Menurut Bass dalam Yulk (2009) dalam situasi atau budaya apapun
terhadap sasaran organisasi dan memberi kepercayaan kepada para pengikut untuk
termotivasi untuk melakukan lebih daripada yang semula diharapkan dari mereka.
pengikut lebih menyadari bahwa hasil suatu pekerjaan atau tugas adalah sangat
penting, mendorong para pengikut untuk lebih mementingkan organisasi atau tim
peran yang besar dalam upaya menjamin keselamatan pasien. Komoditas utama
dalam pelayanan kesehatan di rumah sakit adalah pelayanan keperawatan. Hal ini
upaya keselamatan pasien tidak dapat lepas dari peran perawat dalam memberikan
kesalahan tata laksana maupun cidera akibat intervensi. Persepsi ini meliputi
lebih fokus pada patient safety culture maka akan lebih menghasilkan hasil
pasien, menciptakan kepemimpinan dan budaya yang terbuka dan adil merupakan
2008). Walshe dan Boaden (2006) menyatakan bahwa kesalahan medis sangat
jarang disebabkan oleh faktor kesalahan manusia secara individu, namun lebih
daya, pendidikan dan pelatihan, sasaran serta nilai-nilai yang diperlukan dalam
safety culture baik lebih banyak dari perawat yang mempersepsikan penerapan
patient safety culture kurang yaitu sebesar 72%. Hasil ini sesuai dengan
keyakinan, nilai perilaku yang dikaitkan dengan keselamatan pasien yang secara
tidak sadar dianut oleh anggota organisasi termasuk perawat pelaksana yang
secara langsung terlibat dalam memberikan asuhan keperawatan yang aman bagi
pasien.
menerapkan patient safety culture ini perlu mendapatkan perhatian serius dari
patient safety culture, namun masih ada 28% yang menilai dirinya menerapkan
patient safety culture kurang. Asumsi peneliti jumlah ini relatif banyak, hal ini
perawat dalam menerapkan patient safety culture. Dilihat dari usia, pada
penelitian ini usia didominasi oleh usia <40 tahun yaitu sebanyak Sebanyak 96%.
usia perawat ini merupakan usia produktif dan berada pada tahap membangun
karir. Seperti yang diutarakan oleh Shawky (2010) yang menyatakan bahwa usia
produktif bagi perawat pelaksana berkisar antara 19-59 tahun. Hal ini didukung
oleh penelitian Anugrahini (2010) yang menyatakan bahwa ada hubungan yang
patient safety. Hasil penelitian ini juga diperkuat oleh Setiowati (2010) yang
yang mengungkapkan bahwa dari hasil analisis hubungan antara usia dengan
kepercayaan 95% didapatkan p 0,572, yang berarti tidak ada hubungan yang
penelitian Burdahyat (2009) dan Warouw (2009) yang menyatakan usia tidak
merupakan tahap dewasa muda. Tahap dewasa muda merupakan tahap saat
seseorang memiliki perkembangan puncak dari kondisi fisik. Tahap dewasa muda
ini merupakan tahap seseorang mulai memiliki karir dengan jelas. Usia memiliki
yang berlarut- larut serta kurangnya rangsangan intelektual. Dengan rata- rata usia
perawat pelaksana sebesar 30,52 tahun dimana usia ini merupakan tahap usia
baik.
kelamin perempuan yaitu sebesar 76%. Hal ini sesuai dengan persepsi umum
sayang yang lebih bisa ditunjukkan oleh perempuan. Kondisi ini didukung oleh
keluarga dan masyarakatnya. Kozier, Erb, Berman, dan Synder (2004) juga
sebagai istri, ibu, saudara perempuan selalu dilibatkan dalam perawatan keluarga.
Perempuan sebagai gender yang tergantung dan tunduk merasa terpanggil untuk
perawatan pasien.
Menurut Burdahyat (2009) tidak ada hubungan yang bermakna antara jenis
kelamin dengan kinerja perawat pelaksana. Hasil yang sama juga disampaikan
oleh Dewi (2011) yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna
dan Donelly (1997) mengatakan bahwa laki- laki dan wanita memiliki
perlakuan dan kesempatan antara laki- laki dan wanita secara sama, laki- laki dan
wanita lebih sama dalam hal perilaku di tempat kerja. Hal ini sesuai dengan
kondisi kerja di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh yang
tidak membedakan antara perawat laki- laki maupun wanita, sehingga peneliti
berasumsi bahwa persepsi yang baik yang didapatkan dari penelitian ini serta
perilaku dalam penerapan patient safety culture tidak berbeda jauh antara jenis
masa kerja < 10 tahun lebih banyak dibandingkan perawat dengan masa kerja di >
penerapan budaya keselamatan pasien. Quinones, Ford dan Teachout (2006) juga
seseorang. Hal ini didukung oleh Marpaung (2005) yang menyatakan bahwa
terdapat hubungan bermakna antara masa kerja perawat pelaksana dengan budaya
bahwa tidak terdapat hubungan antara masa kerja perawat di RSUP Fatmawati
kerja maka kecakapan akan lebih baik karena sudah menyesuaikan diri dengan
pekerjaannya. Masa kerja akan memberikan pengalaman kerja yang lebih banyak
penyesuaian diri dengan rutinitas pekerjaan yang dimiliki membuat individu lebih
jumlahnya masih terbatas. Hasil penelitian ini sejalan dengan pendapat Soeroso
(2003) yang menyatakan bahwa rumah sakit di kota besar, baik rumah sakit milik
Perawat yang pernah mengikuti pelatihan hanya sebanyak 56%. Hal ini
dengan keselamatan pasien. Latar belakang pelatihan yang pernah diikuti perawat
merupakan hal penting yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan SDM (sumber
Daya Manusia). Walshe dan Boaden (2006) menyatakan bahwa pelatihan sebagai
Pembentukan budaya bukan merupakan suatu hal yang mudah dan cepat.
Budaya merupakan karakteristik yang abadi yang dapat dilihat dari luar organisasi
yang terefleksikan dari perilaku individu dalam organisasi (Wiegman & Tanden,
2007). Menurut peneliti, rumah sakit perlu untuk terus meningkatkan pendidikan
akan terciptanya perawat dengan budaya keselamatan yang baik. Peneliti juga
patient safety culture dengan baik dalam asuhan keperawatan. Walaupun Rumah
Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh baru saja selesai menghadapi
akreditasi rumah sakit dan keselamatan pasien termasuk dalam indikator mutu
pelayanan keperawatan serta merupakan salah satu standar akreditasi rumah sakit,
akan tetapi hal itu belum cukup dan perlu usaha yang lebih serius dari manajemen
rumah sakit dalam upaya meningkatkan penerapan patient safety culture dengan
dipengaruhi oleh sistem, praktek dan proses organisasi. Sebagai contoh, suatu
kesehatan pada pasien di rawat inap. Kepala ruang harus mampu menjalankan
fungsi manajemen sehingga tujuan organisasi dalam hal ini rumah sakit dapat
meyakinkan perawatan yang aman bagi pasien (Gillies, 2000). Kepala ruang
merupakan manajer lini pertama memiliki peran kritis dalam mendukung budaya
bermakna antara fungsi manajemen kepala ruang dengan penerapan patient safety
culture (p value= 0,000). Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat Handiyani
(2004) yang menyatakan bahwa adanya hubungan yang bermakna antara peran
dengan beban kerja tinggi, dan dapat mengantisipasi Kejadian yang Tidak
pelayanan keperawatan di ruang rawat inap RSKM Cilegon. Hal ini semakin
peran dan fungsi kepala ruang dengan keberhasilan kegiatan upaya pengendalian
safety di RSAB Harapan Kita Jakarta. Pendapat ini dikuatkan oleh Perwitasari
budaya patient safety di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Daerah
Panembahan Senopati Bantul sebesar 22,9%. Hasil penelitian Pratiwi (2014) juga
dan memberdayakan staf untuk mencapai visi. Komponen lainnya yaitu terlibat
bawahan, fokus pada masalah sistem bukan pada kesalahan individu, dan terus
fungsi manajemen kepala ruang telah berjalan dengan baik sehingga memberikan
pengaruh yang positif bagi penerapan patient safety culture di Rumah Sakit
penerapan patient safety culture dalam penelitian ini antara lain menyusun tujuan
kesalahan pada pasien yang memiliki nama yang sama, menetapkan SOP untuk
antara perawat yang memiliki persepsi baik dan kurang. Perawat yang
fungsi perencanaan dengan penerapan patient safety culture (p value= 0,002). Hal
ini sesuai dengan penelitian Dewi (2011) yang menunjukkan bahwa ada hubungan
tidak ada hubungan antara fungsi perencanaan kepala ruang dengan kinerja
perencanaan. Warsito (2006) juga menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara
terdapat hubungan antara penentuan tujuan yang dimiliki oleh kepala ruangan
dengan penerapan budaya keselamatan pasien (p=0,010). Hasil ini sesuai dengan
penelitian Setiowati (2010) yang menyatakan bahwa ada hubungan positif antara
melaksanakan suatu kegiatan dan merupakan pola pikir yang dapat menentukan
keberhasilan suatu kegiatan dan titik tolak dari kegiatan pelaksanaan selanjutnya
(Marquis & Huston, 2006). Callahan & Ruchlin (2003) mengemukakan bahwa
Kepala ruang rawat inap Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin
Banda Aceh telah membangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien melalui
penentuan tujuan khusus dan berusaha agar semua bawahannya paham dengan
dapat menjadi budaya yang dapat diterima dan dijalankan oleh semua pihak,
tujuan. Perencanaan yang dilakukan oleh kepala ruang juga menjadi acuan bagi
perawat pelaksana dalam bekerja. Gillies (1996) serta Marquis dan Huston (2003)
hal yang akan dikerjakan dalam mencapai tujuan. Perencanaan ditujukan untuk
menjawab apa yang akan dilakukan, siapa yang melakukan, bagaimana, kapan,
dimana kepala ruang yang menjalankan peran perencanaan dengan baik akan
terdapat hubungan antara penentuan tujuan kepala ruang dengan kinerja perawat
RSKM Cilegon.
Teori diatas memaparkan hal yang memperkuat dan juga bisa bertolak
patient safety culture di ruang rawat masing- masing. Hal ini dilakukan dengan
Culture
safety culture pada penelitian ini antara lain menetapkan struktur organisasi,
perawat, uraian tugas, alur dan garis koordinasi pelaporan insiden sesuai metode
pasien adalah dengan tim keselamatan di rumah sakit (Yahya, 2006). Fungsi
organisasi, termasuk uraian tugas staf dan departemen (Marquis dan Huston,
2000).
baik juga memungkinkan setiap staf untuk berperan serta secara aktif dalam
kegiatan.
yang jelas dengan membentuk tim keselamatan pasien di ruang rawat masing-
koordinasi antar unit dan lintas bagian dalam upaya untuk mengorganisir dan
pasien.
Culture
tujuan organisasi. Peran kepala ruang dalam fungsi pengaturan staf adalah
mengatur setiap sumber daya dalam staf keperawatan untuk dapat memenuhi
tugas dan tanggung jawab sesuai peran dan fungsinya dalam mencapai tujuan
pengaturan staf yang mendapat persentase baik lebih tinggi dalam penelitian ini
antara lain yaitu menentukan perawat yang terlibat dalam kegiatan penerapan
pasien. Hal ini sesuai dengan pendapat Marquis dan Huston (2003) yang
menyatakan bahwa fungsi kepala ruang dalam pengaturan staf antara lain adalah
tujuan organisasi.
pengaturan staf kepala ruang dengan penerapan patient safety culture (p value=
0,025). Hasil ini sesuai dengan pendapat Aiken, et al. (2002) yang menyebutkan
sakit. Hasil penelitian Dewi (2011) juga mengungkapkan hal yang sama bahwa
Disamping itu, Gotlib (2003) berpendapat bahwa jam kerja perawat yang
Penelitian Trinkoff (dalam trinkoff et al, 2007) didapatkan bahwa jumlah perawat
yang serupa yaitu terdapat hubungan antara beban kerja perawat pelaksana dengan
keselamatan pasien.
yang berakibat kerugian secara kualitas dan ekonomi bagi instansi. Turn over ini
sering didapatkan pada perawat adalah kejenuhan (Burn out), yaitu keadaan
kurang dan formasi yang tidak sesuai di setiap ruangan maka akan mempengaruhi
penting yang harus diperhatikan adalah upaya upaya untuk memelihara hubungan
jawab terhadap keselamatan pasien yang terdiri dari perawat penanggung jawab
insiden patient safety, pelaporan insiden patient safety dan pengendalian infeksi
mengaplikasikan patient safety dengan baik melalui peran aktif dalam setiap
dibanding perawat dengan persepsi baik terhadap fungsi ini. Pengarahan yang
diberikan oleh kepala ruang secara baik akan memberikan dampak positif bagi
yang diberikan oleh kepala ruang dalam bentuk reinforcement positif seperti
memberikan pujian bagi staf yang bekerja dengan baik akan menimbulkan rasa
antara fungsi pengarahan kepala ruang dengan penerapan patient safety culture (p
penelitian ini sesuai dengan penelitian Mulyadi (2005) yang menyatakan bahwa
tidak terdapat hubungan antara komunikasi yang dimiliki oleh kepala ruangan
oleh Hidayati (2015) juga mengungkapkan bahwa pengaruh motivasi perawat dan
bidan secara parsial tidak signifikan terhadap penerapan budaya patient safety di
Dewi (2011) juga menyatakan terdapat hubungan yang bermakna antara fungsi
Gillies (1994) menjelaskan bahwa pengarahan yang baik dan tepat akan
tumpang tindih dan dapat terselesaikan sesuai tujuan yang diharapkan. Marquis
dan Huston (2003) pengarahan akan menciptakan suasana yang memotivasi dan
memfasilitasi kerjasama.
Hasil penelitian lain dari Hidayat (2009) didapatkan hasil bahwa 80,9%
merupakan salah satu hal yang harus diperhatikan dalam pengembangan dan
penerapan budaya keselamatan pasien, namun masih banyak faktor lain yang tidak
menjadi variabel dalam penelitian ini juga memiliki peranan yang sama. Hal ini
sesuai dengan teori Steven & John Jermier (1978) dalam Mulyadi (2005), bahwa
keberhasilan suatu proses. Hal ini dikarenakan adanya faktor Leadership subtitues
Menurut Burke dan Litwin, selain faktor kepemimpinan, faktor lain yang
beban kerja, tingkat stress, tingkat kelelahan, perasaan takut disalahkan, perasaan
(2012) mengatakan bahwa pelatihan timbang terima pasien yang diberikan kepada
Sakit Umum Daerah Raden Mattaher Jambi. Sesuai dengan hasil penelitian di
Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin dimana persentase perawat yang
perawat yang tidak pernah mengikutinya. Hal ini tentunya akan memberikan
Sejalan dengan hasil penelitian Mayasari (2009) bahwa sebesar 54,1% kepala
keperawatan. Hal ini dapat terjadi ketika kepala ruang belum mempunyai
melakukan asuhan keperawatan yang bebas cedera kepada pasien, kepala ruang
yang terkadang masih belum mampu menjadi pendengar yang baik, dan terkadang
tingginya persepsi baik oleh perawat pelaksana terhadap fungsi pengarahan kepala
ruang bisa saja memberikan hasil uji hubungan yang berbanding terbalik yaitu
perawat terhadap fungsi pengarahan tidak semata- mata karena pengarahan yang
diberikan oleh kepala ruang, namun ada faktor- faktor lain yang memberikan
pengaruh seperti kecakapan individu perawat itu sendiri, pengalaman kerja, dan
kesadaran diri perawat terhadap peran dan tanggung jawabnya dalam upaya
(Swansburg, 2000). Menurut Marquis & Huston (2006) langkah- langkah yang
dan untuk menunjukkan standar yang telah ditetapkan atau tersedia. Audit
patient safety culture pada perawat dengan persepsi fungsi pengendalian kurang
pengendalian, maka semakin baik pula perawat dalam menerapkan patient safety
culture. Fungsi pengendalian yang dilakukan dengan baik oleh kepala ruang akan
safety culture (p value= 0,000). Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat
dengan baik dapat menjamin segala sesuatu dilaksanakan sesuai instruksi yang
telah diberikan serta prinsip- prinsip yang telah diberlakukan. Hal ini semakin
penelitian Warsito (2006) yang mengemukakan bahwa tidak ada hubungan antara
masalah yang terjadi di unit keperawatan tidak seluruhnya dapat diketahui oleh
kepala ruangan melalui informasi yang diberikan oleh staf keperawatan yang
Seorang kepala ruangan harus juga memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk
keperawatan di ruang rawat. Kepala ruangan punya tanggung jawab yang besar
pelayanan kesehatan.
adalah supervisi. Di rumah sakit yang termasuk salah satu manager keperawatan
yang melakukan fungsi supervisi adalah kepala ruangan. Husin (2009), juga
menyatakan bahwa salah satu tugas kepala ruangan yaitu melaksanakan fungsi
53,2% perawat memiliki kinerja tidak baik dan supervisi yang dilakukan dengan
Kepala ruang rawat inap Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin
menerapkan asuhan keperawatan yang aman dan bebas cedera bagi pasien.
Peneliti berasumsi bahwa hasil penelitian ikut dipengaruhi oleh pengendalian dan
pengawasan yang rutin dan ketat dilakukan oleh Komite Mutu dan Keselamatan
Pasien Rumah Sakit (KMKP-RS) dan pengendalian yang gencar dilakukan oleh
yang dilakukan bersama- sama ini memberikan hasil uji korelasi yang sangat
KESIMPULAN DAN
SARAN
6.1. Kesimpulan
ruang dengan penerapan patient safety culture di Rumah Sakit Umum Daerah
pengaturan staf dan pengendalian, sedangkan hasil analisa statistik pada fungsi
penelitian ini menunjukkan hasil bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara
6.2. Saran
6.2.1. Teoritis
105
Universitas Sumatera Utara
106
Manajemen Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh
berlanjut serta membudayakan patient safety di unit ruang rawat masing- masing.
Hasil penelitian ini dapat memperluas pengetahuan dan pengalaman serta dapat
digunakan sebagai data awal untuk penelitian berikutnya tentang patient safety
culture dengan sampel yang lebih besar dan dengan menggunakan tehnik
dengan mengambil salah satu dari komponen fungsi manajemen yang terdiri dari
pengendalian yang dihubungkan dengan salah satu sub variabel penerapan patient
safety culture yaitu keterbukaan, keadilan, pelaporan, dan atau budaya belajar.
Aiken, L.H., Clarke, S.P., Sloane, D.M., et al. (2002). Hospital nurse staffing and
patient mortality, nurse burnout, and job dissatisfaction. JAMA. 23 – 30
Oktober. 288(16).
Agency for Healthcare Research and Quality. (2010). Indicator Patient Safety.
Diakses tanggal 12 maret 2014,dari:http://www.qualityindicators.ahrq.gov.
Alizadeh, R. (2005). A study on the safety culture and the effect of intervening
education based on the BASNEF model and its improvement in the
personnel working in production line of kimia co. MS Thesis. Iran
University of Medical Sciences.
Bates, D. W., Frankel, A., & Gandhi, T. K. (2003). Improving patient safety
across a large integrated health care delivery system. International Journal
for Quality in Health care. 15 suppl. I: i31 – i40.
108
Universitas Sumatera Utara
109
Blegen, M et al. (2006) Safety climate in hospital hospital unit: A new measure
advance in patient safety. Vol 4.
Castle, N. G. (2006). Nurse aides’ ratings of the resident safety culture in nursing
homes. Int J Qual Health C, 18(5):370-76.
Colla, J. B., Bracken, A. C., Kinney, L. M., & Weeks, W. B. (2005). Measuring
patient safety climate: a review of surveys. Quality Safety Health Care.
14:364-366.
Cox, S., & Cox, T., (1991). The structure of employee attitudes to safety: A
European example. Work and Stress 5, 93 -106.
Craven, R. F., & Hirnle, C. J. (2000). Fundamental of nursing: Human health and
function third edition. Philadelphia: Lippincott.
Drosler, S.E., Klazinga, N.S., Romano, P.S., Tancredi, D.J., Gogorcena, M.A.,
Hewitt, M.C, et al. (2009). Aplication of patient safety indicators
internationally: A pilot study among seven countries. International
Journal for Quality in Health Care, 21, 4.
Faghihi, A., & Mansoori, S. ( 2007). The Need to observe and apply the Laws
and Rules of Safety and Health to Emergency Units In: Second Medical
Emergency Conference. Teheran.
Feng, X. Q., Acord, L., Cheng, Y. J., Zeng, J. H., & Song, J. P. (2011).'The
relationship between management safety commitment and patient safety
culture', International Nursing Review, 58( 2), 249-254.
Ferguson, J., & Fakelman, R. (2005). The culture factor. Proquest Health
Management, 1(22), 33-40.
Fleming, M., (2006). Patient safety culture: Sharing and learning from each other.
10 Februari 2015. http://www.capch.org.
Flin, R., Burns, C., Mearns, K., Yule, S., & Robertson, E. M. (2006). Measuring
safety climate in health care. Quality Safety Health Care, 15, 109-115.
Gotlieb, S. (2003). Patient s are at risk because of nurses long hours, says report.
Diakses tanggal 27 Juni 2015, dari: http://www.bmj.com.
Gulick, L. (1937). Notes on the theory of organization, dalam Shafritz, Jay, M. &
Steven, J. O. (1987). Classic of organization theory. California:
Brooks/Cole Publishing Company Pacific Grove.
Health and Safety Commission. (1993). Third Report: Organizing for safety.
ACSNI study group on human factors HMSO, London, ACSNI Study
Group on Human Factors.
Hellings, J., Schrooten, W., Klazinga, N., & Vleugels, A. (2007). Challenging
patient safety culture: Survey results. International Journal of Health
Care Quality Assurance, 20(7), 620 – 632.
Henriksen, K. & Dayton, E. (2006). Issues in the design of training for quality
and safety. Quality and safety health care. Vol 15 nomor 1 tahun 2006,
hal 117-124.
Hikmah (2008) Persepsi Staf Mengenai Patient Safety di Instalasi Rawat Darurat
RSUP Fatmawati. Jakarta: FKM-UI.
Ilyas, Y. (2003). Kiat sukses manajemen tim kerja. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
(2001).Crossing the quality chasm: A new health system for the 21st
century.Washington DC: National Academy Press.
Iskandar, H., Maksum. H., & Nafisah. (2014). Faktor penyebab penurunan
pelaporan insiden keselamatan rumah sakit. Jurnal Kedokteran Brawijaya,
Vol. 28, Suplemen No. 1, 2014.
Ivancevich, J. H., Konopaske, R & Matteson, M. T. (2005). Perilaku dan
manajemen organisasi edisi ketujuh jilid 2 (Dharma Yuwono,
Penerjemah). Jakarta; Erlangga.
Jeffs, L., Law, M., & Baker, G. R. (2007). Creating reporting & learning cultures
in health- care organizations. The Canadian Nurse, 103(3), 16.
Kohn, L. T., et al. (2000). To error human: Building a safer health system.
Washington DC: National Academy Press.
Kovner, A. R., & Neuhauser, D. (2004). Health service management.
Washington: Health Administration Press.
Kozier, B., Erb, Berman, A., & Synder, S. J (2004) Fundamentals of nursing:
Concepts, process, and practice. 7th Edition. New Jersey: Prentice Hall.
Leos, N. S. (2008). Oncology care setting design and planning part I: concepts for
the oncology nurse that improve patient safety. Diakses tanggal 16 juni
2015, dari: https://psnet.ahrq.gov
Makinen, A., Kivimaki, M., Elovainio, M., Virtanen, M., & Bond, S. (2003).
Organization of nursing care as a determinant of job satisfaction among
hospital nurses. Journal of Nurses Management, 11, 299-306
Manno, M., Hogan, P., Heberlein, V., Nyakiti, J., & Mee, C. L. (2006). Patient
safety survey report. Diakses pada tanggal 10 juni 2015, dari:
https://psnet.ahrq.gov .
National Patient Safety Agency (2009). Seven step to patient safety. Diakses
27 juni 2014, dari: http://www.nspa.nhs.uk
(2004). Seven step to patient safety: the full reference guide. London:
National Patient Safety Agency.
Nieva, V. F. & Sorra, J. (2007) Safety culture assessment tool for improving
patient safety in healthcare organizations. Quality safety Health care, 12
(supl II): ii17-ii23.
Page, A. (Ed). (2004). Keeping patient safe: Transforming the work environment
of nurses. Washington DC: The National Academies Press.
Potter, P., Anne G. ((2005). Buku ajar fundamental keperawatan: Konsep, proses
dan praktik. alih bahasa Yasmin A. Edisi 4. Volume 1. Jakarta: EGC.
Quinones, M. A., Ford, J. K., & Teachout, M. S. (2006). The relationship with
job experience and job performance: A conceptual and meta- analityc
reviews. Personal Psychology. 4 (48). 887- 910.
Reis et al. (2006). Patient safety essential for helath care. Joint Commission
International.
Robbins, S.P & Judge, T.A. (2008). Perilaku organisasi versi bahasa Indonesia:
edisi keduabelas. Jakarta; Salemba Empat.
Rolinson, D & Kish. (2001). Care concept in advanced nursing.St Louis. Mosby
A Harcourt Health Science Company.
Runciman, W.B., Baker, G.S., Michel, P., Dovey, S., Lilford, R.J. Jensen, N., et
al. (2010). Tracing the foundation of a conceptual framework for a patient
safety ontology. Quality Safety Health Care 2010; 19.
Rutherford, P., Moen, R., & Taylor, J. (2009). TCAB: The ‘how’ and the ‘what’.
American Journal of Nursing, 109 (11), 5-17.
Sabri, L., & Hastono, S. P. (2006). Statistik kesehatan: Edisi revisi 1. Jakarta:
Raja Grafindo Persada.
Sari, N. K., Handiyani, H., & Haryati, T. S. (2012). Penguatan peran dan fungsi
manajemen kepala ruang melalui faktor kepribadian dan sosial organisasi.
UI. Muhammadiyah Journal of Nursing.
Sexton, J. B., Helmreich, R. L., Neilands, T. B., Vella, K., Boyden, J., Roberts, P.
R., & Thomas, E. J. (2006). The safety attitudes questionnaire:
psychometric properties, benchmarking data, and emerging research.
BMC Health Serv. Res.6:44.
Singla, A., Kitch, B. T., Weissman, J., & Campbell, E. G. (2006). Assessing
patient safety culture: A review and synthesis of the measurement tools.
Journal of Patient Safety, 2, 105-115.
Ollenburg, J. C., & Moore, H. A. (2002). Sosiologi Wanita. Jakarta: Rineka Cipta.
Tingle, J., & Bark, P. (2011). Patient safety, law policy and practice. Routledge,
London.
Thomson, P. A., Navarra, M. B., & Antonson, N. (2005). Patient safety: The four
domains of nursing leadership. Proquest Health Management. 6(23),
331- 333.
Trinkof, A. M., Brown, J. M., Caruso, C. C., Lipscomb, J. A., Johantgen, M.,
Nelson, A. L., et al. (2007). Personal safety for nurses. Diakses tanggal 23
juni 2014 dari: http://www.ahrq.gov/.
Umar, H. (2007). Metode penelitian untuk skripsi dan tesis. Jakarta: PT.
Grafindo Persada.
Wagner et al. (2009). Nursing perceptions of safety culture in long term setting.
Journal of Nursing Scholarship. 2 (41), 184-192.
Weaver, S. J., Lubomski, L. H., Wilson, R. F., Pfoh, E. R., Martinez, K. A., & Dy,
S. M. (2013). 'Promoting a culture of safety as a patient safety strategy: A
systematic review ', Annals of Internal Medicine, 158, (5), 369-374.
Wiegmann. D. A., & Thaden. T.V., (2007). A review of safety culture theory and
its potential application to traffic safety. http://www.aaafoundation.org.
Walshe, K., & Boaden, R. (2006). Patient safety: research into practice. New
York: Open University Press.
WHO. (2009). Human factor in patient safety: reviews on topics and tool. Diakses
pada tanggal 23 februari 2014, dari: http://www.who.int.
WHO Collaborating Centre for Patient Safety Solutions. (2007). Patient safety
solutions preamble. www.who.int.
Wilson, K. (2007). Does safety culture predict clinical outcomes? PhD Thesis.
University of Central Florida. Department of Psychology.
Zohar, D. (2000). A group level model of safety climate: Testing the effect of
group climate on microaccidents in manufacturing jobs. Journal of
Applied Psychology, 85,(4), 587- 596.
Kepada Yth,
Bapak/Ibu/Saudara (i)/ Teman Sejawat
Di,-
Ruang Rawat Inap RSUD dr. Zainoel Abidin
Banda Aceh
Dengan Hormat,
Kesediaan dan partisipasi saudara sangat saya harapkan dan atas perhatian
dan bantuannya saya ucapkan terima kasih.
Peneliti
Anwar
Saya yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa bersedia untuk
berpartisipasi dalam penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa Program Studi Magister Ilmu
Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara Medan yang bernama
Anwar, NIM. 127046053, yang berjudul “Hubungan Fungsi Manajemen Kepala
Ruang dengan Penerapan Patient Safety Culture di Rumah Sakit Umum Daerah dr.
Zainoel Abidin Banda Aceh”..
Saya mengetahui informasi yang saya berikan ini sangat besar manfaatnya bagi
peningkatan dan pengembangan bidang keperawatan di masa yang akan datang.
Saya mengerti bahwa tidak ada resiko yang akan terjadi pada saya. Apabila ada
pertanyaan yang menimbulkan respon emosional yang tidak nyaman atau berakibat negatif
terhadap saya, saya berhak menghentikan atau mengundurkan diri dari penelitian ini tanpa
adanya sanksi atau kehilangan hak.
Saya mengerti bahwa catatan/data mengenai penelitian ini akan dirahasiakan. Semua
berkas yang mencantumkan identitas subjek penelitian hanya dipergunakan untuk pengolahan
data pada penelitian ini saja.
Demikian secara sukarela dan tidak ada unsur paksaan dari siapapun, saya berperan
serta dalam penelitian ini.
KUESIONER A
DATA DEMOGRAFI PERAWAT PELAKSANA
Petunjuk pengisian : Berilah tanda √ pada kolom yang disediakan dan isilah
titik di bawah ini!
A. Data Demografi
1. Usia :……..Tahun
2. jenis kelamin : Laki-Laki Perempuan
3. Masa kerja : ……Tahun ……Bulan
4. Pendidikan
SPK
D III Keperawatan
S1 Keperawatan
Ners
S2 Keperawatan
Lainnya (sebutkan).....................................
5. Pernah mengikuti training tentang keselamatan pasien
Ya
Tidak, jenis training lainnya yang pernah diikuti, sebutkan....................
.................................................................................................................
Petunjuk Pengisian :
1. Isilah daftar pernyataan dibawah ini dengan memberikan tanda ( √ ) pada kolom yang
tersedia, sesuai dengan persepsi saudara tentang fungsi manajemen yang dilaksanakan
oleh kepala ruang berkaitan dengan penerapan budaya keselamatan pasien.
2. Pilih salah satu jawaban yang menurut saudara paling sesuai, yaitu:
SL = Selalu
SR = Sering
KD = Kadang- kadang
JR = Jarang
TP = Tidak pernah
3. Sebelum kueisoner dikembalikan mohon agar diperiksa kembali kelengkapan jawaban,
sehingga tidak ada kolom jawaban yang belum terisi.
No Pernyataan SL SR KD JR TP
Perencanaan
Kepala ruang saya:
Menyusun tujuan pelayanan keperawatan yang
1.
mendukung keselamatan pasien.
Menyusun aturan penerapan keselamatan pasien dalam
2.
pemberian asuhan keperawatan.
Menyusun rencana kerja untuk mendukung pelaksanaan
3.
asuhan keperawatan yang aman.
Membuat rencana penilaian kerja perawat terkait
4.
penerapan keselamatan pasien.
Membuat pedoman untuk mengidentifikasi pasien
5 dengan benar dalam mencegah terjadinya kesalahan
pada pasien yang memiliki nama yang sama
124
Universitas Sumatera Utara
125
Pengorganisasian
Kepala ruang saya:
Menetapkan struktur organisasi ruang keperawatan
10. sesuai metode asuhan yang digunakan dalam penerapan
keselamatan pasien
Menetapkan perawat yang bertanggung jawab terhadap
11.
pelaporan insiden keselamatan pasien
Menetapkan uraian tugas perawat yang terlibat dalam
12.
kegiatan pemantauan keselamatan pasien dengan jelas
Menangani insiden keselamatan pasien tanpa melakukan
13.
koordinasi dengan bagian lain yang terkait
Mendorong komunikasi efektif saat serah terima pasien
14.
dengan menggunakan form SBAR
Menetapkan alur dan garis koordinasi pengelolaan
15.
pelaporan insiden
Membuat alur koordinasi antara perawat dengan
16. dokter/farmasi mengenai pengelolaan obat-obat yang
perlu diwaspadai
Pengaturan Staf
Kepala ruang saya:
Menentukan perawat yang terlibat dalam kegiatan
17.
penerapan keselamatan pasien
Menugaskan perawat untuk mengikuti pelatihan
18.
mengenai keselamatan pasien.
Membagi tanggung jawab perawat secara jelas dalam
19.
pemberian asuhan keperawatan
Membahas hambatan mengenai penerapan keselamatan
20.
pasien yang terjadi di ruangan
Mendiskusikan insiden keselamatan pasien pada
21.
pertemuan bulanan/ rutin
Menyiapkan perawat yang berkualitas dalam melakukan
22.
praktek pengendalian infeksi melalui pelatihan
Pengarahan
Kepala ruang saya:
Melakukan upgrade penilaian kerja perawat terkait
23.
keselamatan pasien.
Memberikan bimbingan pada perawat mengenai
24. penerapan keselamatan pasien dalam asuhan
keperawatan.
Memberikan orientasi pada perawat baru tentang
25. penerapan keselamatan pasien dalam tindakan asuhan
keperawatan.
1. Petunjuk :
a. Bacalah dengan cermat setiap item pernyataan
b. Pilihlah salah satu alternatif jawaban yang menurut anda paling tepat sesuai yang
Anda lakukan dalam bekerja baik di ruangan maupun RS tempat Anda bekerja
dengan memberikan tanda (√) pada kotak jawaban yang tersedia di sebelah kanan
c. Jawaban Anda akan kami jaga dan kami jamin kerahasiaannya dan tidak
mempengaruhi pangkat/karier dan penilaian kerja Anda.
2. Pilihan jawaban
SL = Selalu JR = Jarang
SR = Sering TP = Tidak pernah
KD = Kadang-kadang
3. Sebaran pernyataan
NO Pernyataan SL SR KD JR TP
Kami sesama perawat di unit ini saling mendukung satu
1.
sama lain
Jika banyak pekerjaan yang harus diselesaikan dengan
2.
cepat, kami saling bekerja sama sebagai tim
Saya merasa setiap orang di unit ini saling menghargai satu
3.
sama lain
Bila suatu area di unit ini sibuk, maka perawat di area lain
4.
akan membantu
Perawat di unit kami tidak pernah mengorbankan
5.
keselamatan pasien dengan alasan banyak pekerjaan
Jika ada Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) pada pasien
6.
terjadi di unit ini adalah hal yang kebetulan
7. Prosedur dan sistem kami sudah baik dalam mencegah
127
Universitas Sumatera Utara
128
Kami merasa pada unit ini kami bekerja dalam model krisis
22. dimana kami harus melakukan banyak pekerjaan dengan
terburu- buru dalam melayani pasien
Bila melakukan kesalahan dalam melayani pasien kami
23. merasa kesalahan tersebut akan memojokkan/ mengancam
kami
Bila suatu kejadian dilaporkan (baik KNC atau KTD) maka
24. yang menjadi fokus pembicaraan adalah orang yang berbuat
salah, bukan masalahnya
Kami merasa khawatir kesalahan yang kami buat akan
25.
dicatat di dokumen pribadi kami oleh pimpinan
Ketika kesalahan terjadi, tetapi hal tersebut segera diketahui
26. dan dikoreksi sebelum mempengaruhi atau berdampak pada
pasien, seberapa hal tersebut sering dilaporkan?
Ketika kesalahan terjadi, namun tidak berpotensi untuk
27. membahayakan pasien, seberapa sering hal tersebut
dilaporkan?
Ketika kesalahan terjadi, yang berpotensi membahayakan
28. pasien, walaupun hal yang buruk tidak terjadi pada pasien,
seberapa sering hal ini dilaporkan?
Masalah sering terjadi saat pemindahan pasien dari satu unit
29.
ke unit lainnya
Saat pergantian shift, informasi penting mengani pasien
30.
sering hilang
Masalah sering terjadi saat pertukaran informasi antar unit-
31.
unit di rumah sakit
Pergantian shift di rumah sakit menyebabkan masalah bagi
32.
pasien di rumah sakit ini
Kepala ruang saya memberikan pujian jika melihat
33. pekerjaan diselesaikan sesuai prosedur untuk keselamatan
pasien
Saya merasa kepala ruang saya sudah mendengar dan
34.
mempertimbangkan saran dari perawat untuk meningkatkan
Expert 1
Expert 2
Expert 3
Keperawatan
pelayanan kesehatan
131