Anda di halaman 1dari 160

Universitas Sumatera Utara

Repositori Institusi USU http://repositori.usu.ac.id


Fakultas Keperawatan Tesis Magister

2016

Hubungan Fungsi Manajemen Kepala


Ruang Dengan Penerapan Patient
Safety Culture Di Rumah Sakit Umum
DR. Zainoel Abidin Banda Aceh

Anwar

http://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/478
Downloaded from Repositori Institusi USU, Univsersitas Sumatera Utara
HUBUNGAN FUNGSI MANAJEMEN KEPALA RUANG
DENGAN PENERAPAN PATIENT SAFETY CULTURE
DI RUMAH SAKIT UMUM DR. ZAINOEL ABIDIN
BANDA ACEH

TESIS

Oleh

ANWAR
127046053/ADMINISTRASI KEPERAWATAN

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2016

Universitas Sumatera Utara


HUBUNGAN FUNGSI MANAJEMEN KEPALA RUANG
DENGAN PENERAPAN PATIENT SAFETY CULTURE
DI RUMAH SAKIT UMUM DR. ZAINOEL ABIDIN
BANDA ACEH

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat


untuk Memperoleh Gelar Magister Keperawatan (M.Kep)
Dalam Program Studi Magister Ilmu Keperawatan Minat
Studi Administrasi Keperawatan
pada Fakultas Keperawatan
Universitas Sumatera Utara

Oleh

ANWAR
127046053/ADMINISTRASI KEPERAWATAN

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2016

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
Telah Diuji

Pada Tanggal: 10 Februari 2016

KOMISI PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, MKM

Anggota : 1. Wardiyah Daulay, S.Kep., Ns., M.Kep

2. Prof. Dr. Dra. Erika Revida, MS

3.Achmad Fathi, S.Kep., Ns., MNS

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
Judul Tesis : Hubungan Fungsi Manajemen Kepala Ruang

dengan Penerapan Patient Safety Culture di Rumah

Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh

Nama Mahasiswa : Anwar

Program Studi : Magister Ilmu

Keperawatan Minat Studi :

Administrasi Keperawatan Tahun :

2016

ABSTRAK

Langkah awal yang harus dilakukan oleh rumah sakit untuk memperbaiki mutu

pelayanan terkait keselamatan pasien adalah dengan menerapkan patient safety

culture. Manajemen fungsi kepala ruang merupakan salah satu faktor penting yang

berperan dalam keberhasilan program patient safety culture. Penelitian ini

bertujuan untuk mengetahui hubungan fungsi manajemen kepala ruang dengan

penerapan patient safety culture oleh perawat pelaksana di Rumah Sakit Umum

Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh. Penelitian berbentuk kuantitatif dengan

desain cross- sectional. Penelitian dilaksanakan di ruang rawat inap Rumah

Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh terhadap 75 orang perawat

pelaksana (simple random sampling). Metode pengumpulan data menggunakan

kuesioner checklist dengan menyebarkan angket, analisis hubungan fungsi

manajemen kepala ruang dengan penerapan patient safety culture

menggunakan uji chi

square. Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan bermakna antara fungsi

Universitas Sumatera Utara


i

Universitas Sumatera Utara


manajemen kepala ruang pada perencanaan, pengorganisasian, pengaturan staf,

dan pengendalian dengan penerapan patient safety culture. Tidak ada hubungan

yang signifikan antara fungsi pengarahan kepala ruang dengan penerapan patient

safety culture. Kepala ruang perlu untuk selalu meningkatkan fungsi pengarahan

dan pengendalian dalam upaya membudayakan patient safety sehingga akan

terciptanya kualitas keselamatan pasien.

Kata Kunci : manajemen fungsi kepala ruang, patient safety culture, perawat

ii

Universitas Sumatera Utara


Thesis Title : The Correlation between Managerial Function of Head

Nurse with Implementation of Patient Safety Culture at

dr. Zainoel Abidin Regional General Hospital Banda

Aceh

Name : Anwar

Study Program : Master of


Nursing

Field of Specialization : Nursing


Administration

Year : 2016

ABSTRACT

The first thing that has to be done by hospitals in order to improve the service

quality related to patient safety is to implement patient safety culture. Managerial

function of head nurse is one of the essensial factors that play a role in the success

of patient safety culture program.The objective of the research was to find out the

correlation of head nurse management function with the implementation of patient

safety culture by associate nurses at dr. Zainoel Abidin Regional General Hospital

Banda Aceh. The research used quantitative method with cross sectional

design. It was conducted at dr. Zainoel Abidin Regional General Hospital Banda

Aceh on 75 associate nurses (simple random sampling). Method of data collection

using a questionnaire checklist with distribution questionnaires, analysis of the

correlation between the head nurse management function with the implementation

of patient safety culture with chi square test. The result of research shown

there was significant

Universitas Sumatera Utara


correlation between head nurse management functions on planning, organizing,

iii

Universitas Sumatera Utara


staffing, and controlling the application of patient safety culture. There was not

any significant correlation between the direction of head nurse with the

implementation of patient safety culture. It was recommended that the head nurse

improve the function of directing and controlling all the time in order to entrench

patient safety for a quality patient safety.

Keywords : managerial function of head nurses, patient safety culture, nurses

iv

Universitas Sumatera Utara


KATA PENGANTAR

Syukur alhamdulillah peneliti persembahkan kehadirat Allah SWT yang

telah melimpahkan berkah, rahmat dan hidayah-Nya serta shalawat dan salam

kepangkuan Nabi Besar Muhammad SAW sehingga peneliti dapat menyelesaikan

tesis ini dengan judul “Hubungan Fungsi Manajemen Kepala Ruang dengan

Penerapan Patient Safety Culture di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel

Abidin Banda Aceh”.

Pada kesempatan ini Penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang

sedalam- dalamnya kepada :

1. Bapak dr. Dedi Ardinata, M.Kes selaku Dekan Fakultas Keperawatan

Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Setiawan, SKp., MNS., Ph.D, selaku Ketua Program Studi Magister

Ilmu Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, MKM, dan ibu Wardiyah Daulay,

S.Kep., Ns., M.Kep, yang senantiasa memberikan motivasi, arahan dan

bimbingan kepada penulis dalam menyusun tesis ini.

4. Prof. Dr. Dra. Erika Revida, MS dan Bapak Achmad Fathi, S.Kep., Ns., MNS

sebagai Penguji yang telah memberikan masukan dan saran demi

kesempurnaan susunan tesis ini.

5. Bapak Yuswardi, S.Kep., Ns., MNS, Bapak Ardia Putra, S.Kep., Ns., MNS

dan Bapak Budi Satria, S.Kep., Ns. MNS sebagai ahli manajemen fungsi

Universitas Sumatera Utara


kepala ruang dan patient safety yang telah memberikan koreksi, saran dan

masukan pada instrumen penelitian yang digunakan.

6. Bapak Direktur Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh

dan Pemimpin Badan Layanan Umum Daerah Rumah Sakit Ibu dan Anak

Pemerintah Aceh yang telah mengizinkan penggunaan tempat pengambilan

data penelitian.

7. Para dosen dan staf Program Studi Magister Ilmu Keperawatan Jurusan

Administrasi Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera

Utara.

8. Ibunda dan ayahanda tercinta, istriku Sri Wahyuni, buah hati Arsyila Zivara

serta keluarga besarku yang menjadi sumber motivasi, semangat dan inspirasi

hidup bagiku.

9. Teman- teman seperjuangan di Program Studi Magister Ilmu Keperawatan

Fakultas Keperawatan (angkatan II tahun 2012) Universitas Sumatera Utara

yang selalu memberi dukungan dalam pembuatan tesis ini hingga selesai.

Akhir kata, penulis berharap penelitian ini dapat bermanfaat bagi dunia

kesehatan khususnya bagi pengembangan dan peningkatan ilmu pengetahuan

dalam bidang keperawatan.

Medan, 12 Februari 2016

Penulis

Anwar
12704605

vi

Universitas Sumatera Utara


RIWAYAT HIDUP

Nama Lengkap : Anwar

Tempat/ Tanggal Lahir : Samalanga, Bireuen, 19 April 1987

Alamat Rumah : Jln. Laksamana Malahati, Lambateung, Kajhu,

Baitussalam, Aceh Besar.

E-mail : aan_slg@yahoo.com

No. Telp/Hp : 085260112112

Riwayat Pendidikan

Jenjang Pendidikan Nama Institusi Tahun Lulus

SD SDN Dirui Mangat Samalanga 1999

SLTP SLTPN I Samalanga 2002

SLTA SPK Kesdam IM Banda Aceh 2005

Sarjana (S1) PSIK FK Unsyiah Banda Aceh 2009

Program Ners PSIK FK Unsyiah Banda Aceh 2011

Pasca Sarjana (S2) Magister Ilmu Keperawatan F.Kep USU 2016

Riwayat Pekerjaan

Bekerja sebagai Manajer Program di Buleun Mirah Aceh Banda Aceh Tahun 2010

Bekerja sebagai Dosen Pengajar di Program Studi Ilmu Keperawatan FK Unsyiah

Banda Aceh Tahun 2011

Bekerja sebagai Perawat di Instalasi Bedah Sentral BLUD RSIA Pemerintah

Aceh Tahun 2014 – Sekarang.

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR ISI

Halaman
ABSTRAK ...................................................................................................... i
ABSTRACT .................................................................................................... iii
KATA PENGANTAR .................................................................................... v
RIWAYAT HIDUP ........................................................................................ vii
DAFTAR ISI .................................................................................................. viii
DAFTAR TABEL .......................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xiii

BAB 1. PENDAHULUAN ............................................................................ 1


1.1. Latar Belakang.......................................................................... 1
1.2. Permasalahan ........................................................................... 11
1.3. Tujuan Penelitian ..................................................................... 11
1.4. Hipotesis ................................................................................... 12
1.5. Manfaat Penelitian ................................................................... 13

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 14


2.1. Patient Safety............................................................................ 14
2.1.1. Pengertian Patient Safety.............................................. 14
2.1.2. Standar Patient Safety................................................... 15
2.2. Patient Safety Culture .............................................................. 19
2.2.1. Pengertian Patient Safety Culture ................................ 19
2.2.2. Arti Penting Patient Safety Culture .............................. 23
2.2.3. Budaya Keselamatan Positif dan Negatif ..................... 24
2.2.4. Komponen Patient Safety Culture ................................ 25
2.2.5. Survey Budaya Keselamatan Pasien ............................ 37
2.3. Fungsi Manajemen Keperawatan Kepala Ruang ..................... 40
2.3.1. Perencanaan .................................................................. ` 41
2.3.2. Pengorganisasian .......................................................... 42
2.3.3. Pengaturan staf ............................................................. 45
2.3.4. Pengarahan ................................................................... 46
2.3.5. Pengendalian................................................................. 48
2.4. Landasan Teori ......................................................................... 49
2.5. Kerangka Konsep ..................................................................... 50

BAB 3. METODE PENELITIAN ................................................................ 51


3.1. Jenis Penelitian ......................................................................... 51
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................... 51
3.3. Populasi dan Sampel................................................................. 52
3.4. Metode Pengumpulan Data ...................................................... 56
viii

Universitas Sumatera Utara


3.5. Definisi Operasional ................................................................. 57
3.6. Metode Pengukuran .................................................................. 61
3.7. Uji Validitas dan Reliabilitas Instumen.................................... 62
3.8. Metode Analisis Data ............................................................... 63
3.9. Pertimbangan Etik .................................................................... 63

BAB 4. HASIL PENELITIAN ..................................................................... 65


4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ...................................................... 65
4.2. Data Demografi Perawat Pelaksana di Rumah Sakit ............... 66
4.3. Fungsi Manajemen Kepala Ruang............................................ 67
4.4. Penerapan Patient Safety Culture ............................................. 68
4.5. Hubungan Fungsi Manajemen Kepala Ruang Dengan
Penerapan Patient Safety Culture ............................................. 69

BAB 5. PEMBAHASAN ............................................................................... 74


5.1. Gambaran Manajemen Fungsi Kepala Ruang .......................... 74
5.2. Gambaran Penerapan Patient Safety Culture ........................... 78
5.3. Hubungan Fungsi Manajemen dengan Penerapan Patient
Safety Culture ........................................................................... 86
5.4. Hubungan Fungsi Perencanaan dengan Penerapan Patient
Safety Culture ........................................................................... 89
5.5. Hubungan Fungsi Pengorganisasian dengan Penerapan Patient
Safety Culture ........................................................................... 93
5.6. Hubungan Fungsi Pengaturan Staf dengan Penerapan Patient
Safety Culture ........................................................................... 94
5.7. Hubungan Fungsi Pengarahan dengan Penerapan Patient
Safety Culture ........................................................................... 97
5.8. Hubungan Fungsi Pengendalian dengan Penerapan Patient
Safety Culture ........................................................................... 102

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................ 105


6.1. Kesimpulan............................................................................... 105
6.2. Saran ......................................................................................... 105

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 108


LAMPIRAN.................................................................................................... 120

ix

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR TABEL

No Judul Halaman

2.1 Perbandingan Elemen Budaya Keselamatan Pada


Setiap Instrumen ....................................................................... 39
3.1 Sebaran Jumlah Populasi Penelitian ......................................... 52
3.2 Jumlah Sampel Tiap Ruangan di RSUD dr. Zainoel
Abidin Banda Aceh ................................................................... 55
3.3 Definisi Operasional ................................................................. 57
4.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Perawat Pelaksana
di RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh................................. 66
4.2 Gambaran Fungsi Manajemen Kepala Ruang di
RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh..................................... 67
4.3 Gambaran Penerapan Patient Safety Culture di
RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh..................................... 69
4.4 Hubungan Fungsi Manajemen Kepala Ruang dengan
Penerapan Patient Safety culture di RSUD dr. Zainoel
Abidin Banda Aceh ................................................................... 69
4.5 Hubungan Fungsi Perencanaan Kepala Ruang dengan
Penerapan Patient Safety Culture di RSUD dr. Zainoel
Abidin Banda Aceh ................................................................... 70
4.6 Hubungan Fungsi Pengorganisasian Kepala Ruang dengan
Penerapan Patient Safety Culture di RSUD dr. Zainoel
Abidin Banda Aceh ................................................................... 71
4.7 Hubungan Fungsi Pengaturan Staf Kepala Ruang dengan
Penerapan Patient Safety Culture di RSUD dr. Zainoel
Abidin Banda Aceh .................................................................. 72
4.8 Hubungan Fungsi Pengarahan Kepala Ruang dengan
Penerapan Patient Safety Culture di RSUD dr. Zainoel
Abidin Banda Aceh ................................................................... 72

Universitas Sumatera Utara


4.9 Hubungan Fungsi Pengendalian Kepala Ruang dengan
Penerapan Patient Safety Culture di RSUD dr. Zainoel
Abidin Banda Aceh ................................................................... 73

xi

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR GAMBAR

No Judul

Halaman

2.1 Alternatif Pertama Struktur Organisasi Tim KP ................................ 45

2.2 Alternatif Kedua Struktur Organisasi Tim KP .................................. 45

2.3 Landasan Teori ........... ...................................................................... 49

2.4 Kerangka Konsep Penelitian.............................................................. 50

xii

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Instrumen Penelitian ................................................................. 121

Lampiran 1.1 Informed Consent .............................................................. 121

Lampiran 1.2 Kuesioner A. Data Demografi ........................................... 123

Lampiran 1.3 Kuesioner B. Fungsi Manajemen Kepala Ruang ................ 124

Lampiran 1.4 Kuesioner C. Penerapan Patient Safety Culture .................. 127

Lampiran 2. Biodata Expert Penelitian ......................................................... 131

Lampiran 3. Surat Penelitian ......................................................................... 132

Lampiran 3.1 Persetujuan Komite Etik Penelitian Kesehatan Fakultas

Keperawatan USU ................................................................. 132

Lampiran 3.2 Surat Permohonan Uji Reliabilitas dari Dekan

Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara ........... 133

Lampiran 3.3 Surat Selesai Uji Reliabilitas dari Pimpinan BLUD

Rumah Sakit Ibu & Anak Pemerintah Aceh .......................... 134

Lampiran 3.4 Surat Ijin Penelitian dari Dekan Fakultas Keperawatan

Universitas Sumatera Utara .....................................................135

Lampiran 3.5 Surat Izin Penelitian dari Kepala Bidang Penelitian

dan Pengembangan RSUD dr. Zainoel Abidin ...................... 136

Lampiran 3.6 Surat Selesai Penelitian dari Direktur RSUD

dr. Zainoel Abidin Banda Aceh ............................................. 137

xiii

Universitas Sumatera Utara


BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Keselamatan pasien telah menjadi isu global yang sedang hangat dibahas

di seluruh negara. Adanya kekhawatiran mengenai keselamatan pasien, telah

meningkat secara signifikan selama dekade terakhir (Silverstone, 2013), sehingga

organisasi kesehatan dunia (WHO) tahun 2011 mengembangkan dan

mempublikasikan Kurikulum Panduan Keselamatan Pasien (Patient Safety

Curriculum Guide), yang menyoroti kebutuhan di seluruh dunia, untuk

meningkatkan keselamatan pasien dan untuk mengajarkan keterampilan yang

berorientasi pada keselamatan pasien (Tingle, 2011).

Kesalahan medis dan efek samping telah menjadi perhatian serius

dalam beberapa tahun terakhir bagi pembuat kebijakan kesehatan dan penyedia

layanan kesehatan dunia. Menurut statistik tahunan, di Amerika Serikat saja

sekitar 98.000 kasus kematian pasien dilaporkan karena kesalahan medis (Castle,

2006). Program pengamatan lima tahun yang dilaksanakan oleh Baldo et al.

(2002) mengungkapkan bahwa perawat bertanggung jawab untuk 78% dari efek

samping. Selain itu penelitian juga membuktikan bahwa kematian akibat cidera

medis 50% diantaranya sebenarnya dapat dicegah (Cahyono, 2012). Laporan yang

diterbitkan oleh Institut of Mediciene (IOM) Amerika Serikat tahun 2000 tentang

“To Err is Human, Building to Safer Health System” terungkap bahwa rumah

sakit di Utah dan Colorado ditemukan KTD (Kejadian Tidak Diharapkan) sebesar

2,9% dan 6,6% diantaranya meninggal, sedangkan di New York ditemukan 3,7%

Universitas Sumatera Utara


2

KTD dan 13,6% diantaranya meninggal. Lebih lanjut, angka kematian akibat

KTD pada pasien rawat inap di Amerika Serikat berjumlah 33,6 juta per tahun

berkisar 44.000 jiwa sampai 98.000 jiwa. Depkes, (2006) menyebutkan bahwa

pada tahun 2004 WHO mempublikasikan KTD rumah sakit di berbagai negara

yaitu Amerika, Inggris, Denmark dan Australia terjadi dengan rentang 3,2 -16,6%.

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1691 Tahun 2011 tentang

Keselamatan Pasien mendefinisikan Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) sebagai

insiden yang mengakibatkan cidera pada pasien. Pihak rumah sakit harus

melakukan langkah-langkah yang lebih mengutamakan keselamatan pasien untuk

meminimalkan terjadinya kasus Kejadian yang Tidak Diharapkan (KTD/Adverse

evenst). Craven dan Hirnle (2000) mengemukakan bahwa ketidakpedulian akibat

keselamatan pasien akan menyebakan kerugian bagi pasien dan pihak rumah sakit,

seperti biaya yang harus ditanggung pasien menjadi lebih besar, pasien semakin

lama dirawat di rumah sakit dan terjadinya resistensi obat. Kerugian bagi rumah

sakit yang harus dikeluarkan menjadi lebih besar yaitu pada upaya tindakan

pencegahan terhadap kejadian luka tekan, infeksi nosokomial, pasien jatuh dengan

cidera, kesalahan obat yang mengakibatkan cidera.

Negara-negara paling maju telah menyadari bahwa selain

memanfaatkan teknologi modern dan sistem manajerial yang canggih,

keselamatan pasien dan peningkatan perilaku keselamatan oleh tim kesehatan

dapat dilakukan dengan mengintegrasikan nilai-nilai keselamatan pada sikap

mereka, keyakinan dan praktek yaitu dengan membangun patient safety culture

(Alizadeh, 2005). Senada dengan yang diungkapkan oleh Faghihi dan Mansoori

Universitas Sumatera Utara


3

(2007) bahwa pendekatan terbaik untuk mencegah kecelakaan rumah sakit untuk

melakukan kontrol maksimum pada poros fisik, peralatan, dan perilaku orang-

orang di bertanggung jawab atas sistem kesehatan.

Rachmawati (2011) mengemukakan bahwa isu-isu patient safety

culture untuk memperbaiki upaya keselamatan pasien telah direkomendasikan

oleh berbagai hasil penelitian. Survei untuk mengukur patient safety culture di

rumah sakit kemudian berkembang dan digunakan secara rutin dan berperan

dalam memprediksi perhatian rumah sakit terhadap keselamatan pasien. Agency of

Healthcare Research and Quality (2004) mengungkapkan bahwa terdapat

beberapa aspek dimensi yang perlu diperhatikan dalam menilai patient safety

culture di rumah sakit yaitu harapan dan tindakan supervisor/manajer dalam

mempromosikan keselamatan pasien, peningkatan pembelajaran yang

berkelanjutan, keterbukaan komunikasi, umpan balik terhadap error, respon tidak

menyalahkan, staf yang adekuat, persepsi secara keseluruhan, dukungan

manajemen rumah sakit, kerjasama tim dalam unit, kerjasama tim antar unit,

penyerahan dan pemindahan pasien dan frekuensi pelaporan kejadian.

Banyak kegiatan yang difokuskan untuk mempromosikan budaya

keselamatan, namun pemahaman mengenai faktor implementasi yang paling

efektif yang dapat mempengaruhi efektivitas merupakan hal penting untuk

mencapai kemajuan yang signifikan (Weaver et al. 2013). Sejumlah kuesioner

telah dikembangkan untuk mengukur patient safety culture di rumah sakit

(Aspden ,2004; Colla, 2005; Flinn, 2006; Sexton, 2006; Singla, 2006). Salah satu

instrumen yang dikembangkan oleh Agency for Healthcare Research and Quality

Universitas Sumatera Utara


4

(AHRQ) tersebut adalah Hospital Survey on Patient safety culture (HSOPS)

(AHRQ, 2010). Kuesioner ini terdiri dari 42 item yang terbagi dalam sub-skala

untuk mengukur 12 subdimensi dari patient safety culture.

Indonesia masih belum menjadikan keselamatan pasien sebagai

prioritas utama dalam pelayanan kesehatan, terjadi perbedaan yang sangat

signifikan jika dibandingkan dengan negara tetangga yaitu Singapura dan

Malaysia. Namun dalam beberapa tahun terakhir ini, keselamatan pasien mulai

menjadi fokus perhatian seiring dengan tuntutan akreditasi rumah sakit harus

sesuai standar Joint Commission International (JCI), meskipun penerapan

keselamatan pasien masih jauh dari standar, hal ini terjadi karena para tenaga

kesehatan belum memiliki patient safety culture yang terinternalisasi dalam diri

mereka, sehingga perlu dilakukan upaya untuk menanamkan patient safety culture

(Weaver et al. 2013).

Upaya yang sangat penting untuk dilakukan dalam meningkatkan

keselamatan pasien adalah menciptakan patient safety culture. Hal tersebut sejalan

dengan apa yang diungkapkan oleh Sashkein & Kisher, dalam Tika (2006) bahwa

budaya (culture) mengandung dua komponen yaitu nilai dan keyakinan, dimana

nilai mengacu pada sesuatu yang diyakini oleh anggota organisasi untuk

mengetahui apa yang benar dan apa yang salah, sedangkan keyakinan mengacu

pada sikap tentang cara bagaimana seharusnya bekerja dalam organisasi. Dengan

adanya nilai dan keyakinan yang berkaitan dengan keselamatan pasien yang

ditanamkan pada setiap anggota organisasi, maka setiap anggota akan mengetahui

apa yang seharusnya dilakukan dalam penerapan keselamatan pasien. Dengan

Universitas Sumatera Utara


5

demikian, perilaku tersebut pada akhirnya menjadi suatu budaya yang tertanam

dalam setiap anggota organisasi berupa perilaku patient safety culture.

Langkah awal yang harus dilakukan oleh rumah sakit untuk

memperbaiki mutu pelayanan terkait keselamatan pasien adalah dengan

menerapkan patient safety culture. Komitmen pemimpin akan keselamatan

merupakan hal pertama yang harus diperhatikan dalam menerapkan patient safety

culture (Singer, 2005). Pemimpin yang efektif dalam menanamkan budaya yang

jelas, mendukung usaha staf, dan tidak bersifat menghukum sangat dibutuhkan

dalam menciptakan patient safety culture yang kuat dan menurunkan KTD. Aspek

kepemimpinan yang dimaksud di sini adalah kepemimpinan pada tingkat dasar,

seperti kepala ruangan atau kepala unit. Hal ini dikarenakan keselamatan pasien

dipengaruhi oleh kebiasaan staf atau error yang terjadi (WHO, 2009).

Patient safety culture harus dimulai dari pemimpin, hal ini sejalan

seperti yang diungkapkan oleh National Quality Forum (NQF), 2006 yaitu peran

pemimpin senior merupakan elemen kunci untuk merancang, mereboisasi, dan

memelihara budaya keselamatan, kepemimpinan sebagai subkultur penting. Cara

ini telah dicontohkan oleh National Quality Forum (NQF) dengan “meningkatkan

keselamatan pasien dengan menciptakan budaya keselamatan" dengan berfokus

pada struktur kepemimpinan dan sistem.

Kepala ruang merupakan manajer keperawatan yang langsung

berhubungan dengan kegiatan pelayanan kesehatan pada pasien. Kepala ruang

sebagai lower manager dalam keperawatan harus mampu menjalankan fungsi

manajemen sehingga tujuan organisasi dapat tercapai. Manajemen keperawatan

Universitas Sumatera Utara


6

merupakan rangkaian fungsi dan aktivitas yang secara simultan saling

berhubungan dalam menyelesaikan pekerjaan melalui anggota staf keperawatan

untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi pelayanan keperawatan yang

berkualitas (Gillies, 1996; Marquis & Huston, 2003). Kualitas pemberian asuhan

keperawatan bagi pasien dapat dilihat dari pemberian asuhan keperawatan yang

aman. Tujuan pelayanan keperawatan yang berkualitas dapat tercapai apabila

manajer keperawatan mampu melaksanakan fungsi manajemen dengan baik.

Fungsi manajemen merupakan suatu siklus untuk mencapai tujuan yang

ditetapkan oleh organisasi. Fungsi manajemen meliputi fungsi perencanaan,

pengorganisasian, pengaturan staf, pengarahan dan pengendalian (Gillies,1996;

Marquis & Huston, 2003). Kepala ruang sebagai lower manager diharapkan

menjalankan seluruh fungsi manajemen sehingga lingkungan dan kondisi kerja

akan mendukung pelayanan keperawatan dalam mencapai keselamatan bagi

pasien.

Perencanaan merupakan fungsi manajemen yang pertama. Perencanaan

merupakan tahap yang sangat penting dan menjadi prioritas diantara fungsi

manajemen yang lain. Perencanaan yang tidak adekuat akan menyebabkan proses

manajemen menemui kegagalan (Marquis & Huston, 2003). Perencanaan yang

dijalankan oleh kepala ruang antara lain merencanakan tujuan, standar, prosedur,

kebijakan maupun aturan yang berkaitan dengan keselamatan pasien. Perencanaan

ini sangat diperlukan karena menjadi acuan bagi perawat dalam bekerja. Hasil

penelitian Handiyani (2003) didapatkan bahwa kepala ruang yang kurang baik

dalam menerapkan fungsi perencanaan memiliki tingkat kegagalan dalam

Universitas Sumatera Utara


7

pengendalian infeksi nasokomial lebih besar 8,9 kali dibandingkan kepala ruang

yang baik dalam melaksanakan fungsi perencanaan.

Pengorganisasian dan pengaturan staf diperlukan untuk mendukung

pelaksanaan tugas keperawatan sehingga meminimalkan stressor karena

pekerjaan. Trinkoff et al (2007) mengatakan bahwa lingkungan kerja perawat

yang penuh dengan stressor dapat menyebabkan penyakit maupun cidera pada

perawat. Senada dengan hal itu, Gotlib (2003) berpendapat bahwa jam kerja

perawat yang panjang dapat menimbulkan kelelahan, menurunkan produktivitas

dan meningkatkan resiko terjadinya kesalahan yang dapat membahayakan pasien.

Penelitian Trinkoff (dalam trinkoff et al, 2007) didapatkan bahwa jumlah perawat

yang tidak adekuat dapat meningkatkan kejadian infeksi, perdarahan dan

kesalahan dalam pemberian obat. Penelitian Prawitasari (2009) menemukan hasil

yang serupa yaitu terdapat hubungan antara beban kerja perawat pelaksana dengan

keselamatan pasien.

Fungsi pengarahan yang dilakukan oleh kepala ruang antara lain

memberikan motivasi, membina komunikasi, menangani konflik, memfasilitasi

kerjasama dan negosiasi (Marquis & Huston, 2003). Pengarahan yang baik dapat

menciptakan kerjasama yang efektif dan efisien antara staf. Pengarahan juga

berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan keterampilan staf,

menimbulkan rasa memiliki dan menyukai pekerjaan, mengusahakan suasana

lingkungan kerja yang dapat meningkatkan motivasi dan prestasi kerja sehingga

menjamin keselamatan pasien dan perawat (Swanburg, 1993). Penelitian Warouw

(2009) menunjukkan bahwa motivasi yang diberikan oleh kepala ruang memiliki

Universitas Sumatera Utara


8

hubungan dengan kinerja perawat pelaksana. Pengarahan yang kurang optimal

yang diberikan oleh kepala ruang akan memberikan dampak negatif bagi kinerja

perawat pelaksana dalam menerapkan patient safety culture, begitu juga

sebaliknya. Disamping itu, pengarahan juga akan meningkatkan motivasi staf

dalam memberikan asuhan keperawatan yang menjamin keselamatan pasien.

Fungsi pengendalian terhadap tindakan penerapan patient safety culture

dalam pemberian asuhan keperawatan kepada pasien, diperlukan untuk menjamin

hasil yang diharapkan yaitu patient safety culture yang kuat telah tercapai.

Menurut Notoatmodjo (2003) bahwa pengendalian diperlukan untuk mengatur

kegiatan agar berjalan sesuai rencana, mencari jalan keluar atau pemecahan

apabila terjadi hambatan pelaksanaan kegiatan. Pengendalian yang dikerjakan

dengan baik dapat menjamin semua tujuan dari individu atau kelompok konsisten

dengan tujuan jangka pendek maupun jangka panjang dari organisasi.

Salah satu bagian dari fungsi pengendalian adalah supervisi (Muninjaya,

1999). Penelitian yang dilakukan oleh Wibowo (2013) menunjukkan bahwa

pelaksanaan supervisi yang kurang baik mengakibatkan 53,2% perawat memiliki

kinerja tidak baik dan supervisi yang dilakukan dengan baik mengakibatkan

73,6% perawat memiliki kinerja baik. Penelitian yang dilakukan oleh Nurnalia

(2012) mengenai pengaruh mentoring terhadap penerapan budaya keselamatan

pasien menunjukkan bahwa program mentoring keperawatan mempunyai

pengaruh dalam meningkatkan penerapan budaya keselamatan pasien sebesar

20%. Hasil penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa kelompok yang tidak

mendapatkan program mentoring keperawatan akan beresiko mengalami

Universitas Sumatera Utara


9

penurunan dalam penerapan budaya keselamatan pasien sebesar 2,5 kali lebih

besar dibandingkan dengan kelompok yang mendapatkan program mentoring

keperawatan.

Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh

merupakan rumah sakit Tipe A pendidikan yang berfungsi sebagai rumah sakit

rujukan di Provinsi Aceh. Pada tahun 2014 telah dibentuk Komite Mutu dan

Keselamatan Pasien (KMKP) RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh. Komite

Mutu dan Keselamatan Pasien (KMKP) yang dibentuk tersebut baru mulai aktif

pada Mei 2015 dengan struktur organisasi baru sesuai dengan Surat Keputusan

Direktur Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh Nomor

445/211/2015 Tertanggal 27 April 2015.

Berdasarkan wawancara dengan staf sekretariat Komite Mutu dan

Keselamatan Pasien (KMKP) RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh pada tanggal

7 September 2015 diperoleh data bahwa terdapat angka pelaporan kejadian

keselamatan pasien oleh perawat sebanyak 20 insiden keselamatan pasien yang

dilaporkan sejak Januari – Agustus 2015 dengan rincian sebanyak 6 laporan

terjadi kesalahan pada cara pemberian obat yaitu dosis obat, jenis dan waktu

pemberian, 1 laporan kesalahan dalam melakukan tindakan operasi, 3 laporan

infeksi nasokomial pasien post operasi, 4 laporan kesalahan dalam

mengidentifikasi pasien dalam pemberian tindakan medis, 2 laporan pasien jatuh

dan 4 laporan terjadi karena kesalahan komunikasi saat hand over antar unit. Dari

20 laporan tersebut, baru satu laporan yang dilakukan root cause analysis (RCA).

Hambatan dalam pelaksanaan patient safety culture yaitu masih banyak dijumpai

Universitas Sumatera Utara


10

tindakan menyalahkan terhadap perawat yang melakukan kesalahan dan dukungan

manajemen terhadap keselamatan pasien yang dinilai belum optimal, hal ini

terkait dengan minimnya pelatihan keselamatan pasien yang diberikan terhadap

kepala ruang dan perawat pelaksana.

Wawancara yang peneliti lakukan dengan salah seorang case manager,

sebelumnya yang bersangkutan menjabat sebagai kepala ruang, diperoleh data

bahwa pada Juni 2015 terjadi perombakan struktur organisasi diruang rawat inap,

rata- rata kepala ruang rawat inap dijadikan sebagai case manager, dan kepala

ruang yang berganti jabatan tersebut digantikan oleh wakil kepala ruang atau

perawat yang lain, sehingga mutasi ini membutuhkan proses adaptasi bagi kepala

ruang yang baru dalam menerapkan fungsi manajemennya terhadap penerapan

patient safety culture. Wawancara lain yang peneliti lakukan terhadap dua orang

perawat pelaksana didapatkan hasil serupa bahwa perawat belum melakukan

pelaporan insiden keselamatan pasien sebagaimana mestinya, hal ini disebabkan

oleh rasa malu dan takut disalahkan, takut diberikan sanksi tertentu atau

dikucilkan oleh atasan, perawat dan profesi lain. Hambatan lainnya yaitu belum

optimalnya supervisi dan promosi keselamatan pasien baik oleh kepala ruang

maupun oleh Komite Mutu dan Keselamatan Pasien. Sedangkan Hand over,

kerjasama dalam unit dan antar unit dinilai sudah berjalan dengan baik.

Universitas Sumatera Utara


11

1.2. Permasalahan

Ditemukannya 20 pelaporan insiden keselamatan pasien oleh perawat

mengindikasikan tingginya angka insiden keselamatan pasien yang terjadi di

rumah sakit dan masih tingginya respon punitive (respon menghukum) terhadap

perawat yang melakukan insiden keselamatan pasien menegaskan fakta bahwa

masih banyak permasalahan dalam penerapan patient safety culture.

Berdasarkan pemaparan keseluruhan latar belakang diatas, terdapat

beberapa permasalahan penelitian yaitu belum diketahui sejauh mana penerapan

fungsi manajemen yang telah dijalankan oleh kepala ruang dalam menerapkan

patient safety culture, apakah terdapat hubungan fungsi manajemen kepala ruang

dengan penerapan patient safety culture yang dilakukan oleh perawat pelaksana,

sehingga dapat disimpulkan bahwa penelitian ini akan menjawab pertanyaan

“Bagaimana hubungan fungsi manajemen kepala ruang dengan penerapan

patient safety culture oleh perawat pelaksana di Rumah Sakit Umum Daerah dr.

Zainoel Abidin Banda Aceh?”

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

Mengetahui hubungan fungsi manajemen kepala ruang dengan penerapan patient

safety culture oleh perawat pelaksana di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel

Abidin Banda Aceh.

1.3.2. Tujuan Khusus

1.3.2.1. Mengidentifikasi gambaran fungsi manajemen kepala ruang

1.3.2.2. Mengidentifikasi gambaran penerapan patient safety culture

Universitas Sumatera Utara


12

1.3.2.3. Mengidentifikasi hubungan fungsi manajemen kepala ruang dengan

penerapan patient safety culture

1.3.2.4. Mengidentifikasi hubungan perencanaan dengan penerapan patient safety

culture

1.3.2.5. Mengidentifikasi hubungan pengorganisasian dengan penerapan patient

safety culture

1.3.2.6. Mengidentifikasi hubungan pengaturan staf dengan penerapan patient

safety culture

1.3.2.7. Mengidentifikasi hubungan pengarahan dengan penerapan patient safety

culture

1.3.2.8. Mengidentifikasi hubungan pengendalian dengan penerapan patient

safety culture

1.4. Hipotesis Penelitian

Hipotesis dalam penelitian ini ada dua, yaitu:

1.4.1. Hipotesis Mayor

Ada hubungan fungsi manajemen kepala ruang dengan penerapan patient safety

culture di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.

1.4.2. Hipotesis Minor

1.4.2.1. Ada hubungan perencanaan dengan penerapan patient safety culture

1.4.2.2. Ada hubungan pengorganisasian dengan penerapan patient safety culture

1.4.2.3. Ada hubungan pengaturan staf dengan penerapan patient safety culture

1.4.2.4. Ada hubungan pengarahan dengan penerapan patient safety culture

1.4.2.5. Ada hubungan pengendalian dengan penerapan patient safety culture

Universitas Sumatera Utara


13

1.5. Manfaat
Penelitian

1.5.1. Aspek Teoritis

Dari hasil penelitian ini dapat menjadikan bahan pengembangan ilmu pengetahuan

dalam administrasi keperawatan, manajemen sumber daya manusia rumah sakit,

dan Manajemen Mutu Rumah Sakit, serta menjadikan referensi bagi peneliti

berikutnya.

1.5.2. Aspek
Praktis

1.5.2.1. Bagi Rumah Sakit

Dari hasil penelitian ini dapat diperoleh gambaran tentang hubungan pelaksanaan

fungsi manajemen kepala ruang dengan penerapan patient safety culture, sehingga

rumah sakit dapat meningkatkan kemampuan kepemimpinan kepala ruang,

menjadikan acuan untuk rekruitmen menjadi kepala ruang, dan dapat disusun

metode dalam peningkatan penerapan patient safety culture.

1.5.2.2. Bagi Perawat

Dari hasil penelitian dapat meningkatkan perilaku patient safety culture dalam

melaksanakan asuhan keperawatan kepada pasien di rumah sakit.

1.5.2.3. Bagi Peneliti

Dari penelitian ini diharapkan dapat memperluas pengetahuan dan pengalaman

serta menjadi acuan bagi peneliti selanjutnya dalam menganalisis fungsi

manajerial kepala ruang yang berhubungan dengan penerapan patient safety

culture.

Universitas Sumatera Utara


BAB 2

TINJAUAN
TEORITIS

2.1. Patient Safety

2.1.1. Pengertian Patient Safety

Patient safety merupakan hal penting dalam pelayanan kesehatan.

Rumah sakit sebagai institusi pelayanan kesehatan harus dapat memberikan

jaminan terhadap patient safety dalam setiap pelayanan yang diberikan.

Keselamatan merupakan komponen yang paling dasar, vital dan utama dari

kualitas pelayanan kesehatan dan keperawatan (Ballard, 2003; Drosler et al, 2009;

ICN, 2002). Patient safety rumah sakit merupakan suatu sistem yang membuat

asuhan terhadap pasien lebih aman (Depkes, 2008), yaitu bebas dari cedera,

meminimalkan kemungkinan kesalahan/risiko bahaya dan memaksimalkan

kemungkinan mencegah terjadinya kesalahan/insiden (IOM, 2000; Runciman,

2010).

Rumah sakit sebagai organisasi yang padat karya melibatkan banyak

unsur baik tenaga maupun teknologi kesehatan dalam memberikan pelayanan

pada pasien, sehingga pelayanan yang diberikan bersifat kompleks. Kompleksitas

pelayanan ini berpotensi terjadi kesalahan apabila tidak dilakukan dengan baik

(Depkes, 2008). Kesalahan (error) adalah kegagalan menyelesaikan tindakan

yang sudah direncanakan atau penggunaan rencana yang salah untuk mencapai

tujuan yang ditetapkan (IOM, 2000; Page, 2004). Kesalahan dapat terjadi karena

melaksanakan suatu tindakan (commission) atau tidak mengambil tindakan yang

seharusnya diambil (omission). Kesalahan dapat menyebabkan kejadian tidak

14
Universitas Sumatera Utara
15

diharapkan (KTD/ adverse event), kejadian sentinel, dan kejadian nyaris cedera

(KNC/near miss) (Aspden, Corrigan, Wolcot & Erickson, 2004).

2.1.2. Standar Patient Safety

Standar patient safety telah disusun oleh WHO Collaborating Centre

for Patient Safety Solutions dengan Joint Comission International pada awal Mei

2007. WHO Collaborating Centre for Patient Safety Solutions dengan Joint

Commission International telah meluncurkan suatu agenda mengenai patient

safety yang dinamakan Nine Patient Safety Solutions – Preamble May 2007

(WHO, 2007). Joint Accreditation Comission Health Organization (JACHO) juga

telah membuat standar keselamatan pasien 2010 yang dinamakan National Patient

Safety Goal. Berikut uraian standar patient safety yang penulis uraikan yaitu

sebagai berikut:

2.1.2.1. Identifikasi Pasien

Joint Accreditation Comission Health Organization (JACHO) pada

2010 telah membuat standar pertama keselamatan pasien, yaitu identifikasi pasien.

Rekomendasi ditekankan pada metode untuk verifikasi terhadap identitas pasien,

termasuk keterlibatan pasien dalam proses ini; standardisasi dalam metode

identifikasi di semua rumah sakit dalam suatu sistem layanan kesehatan; dan

partisipasi pasien dalam konfirmasi ini; serta penggunaan protokol untuk

membedakan identifikasi pasien dengan nama yang sama (WHO, 2007).

2.1.2.2. Peningkatan Komunikasi

Komunikasi mempunyai arti penting dalam patient safety dan

kesinambungan pelayanan. Rumah sakit menjamin kesinambungan pelayanan dan

Universitas Sumatera Utara


16

menjamin koordinasi antara tenaga kesehatan dan antara unit pelayanan.

Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan bagi pasien.

Rumah sakit harus mendidik pasien dan keluarga tentang kewajiban dan tanggung

jawab pasien dalam asuhan pasien. Rumah sakit merencanakan dan mendesain

proses manajemen informasi keselamatan pasien untuk memenuhi kebutuhan

informasi internal dan eksternal dan transmisi data serta informasi harus tepat

waktu dan akurat (Depkes, 2008).

2.1.2.3. Ketepatan Pengobatan

Standar ketepatan pengobatan yaitu dengan memperhatikan nama obat,

rupa dan ucapan mirip (look – alike, sound- alike medication names);

mengendalikan cairan elektrolit pekat. Hal ini dilakukan dengan membuat

standardisasi dari dosis, unit ukuran dan istilah serta pencegahan atas campur

aduk/kebingungan tentang cairan elektrolit pekat yang spesifik yang dapat

ditempel di papan informasi di ruang jaga perawat, sehingga dapat dilihat dengan

jelas oleh petugas (WHO, 2007).

2.1.2.4. Ketepatan Tindakan Terapi

Ketepatan tindakan terapi merupakan standar keempat dalam patient

safety (JACHO, 2010). WHO pada 2007 menambahkan macam tindakan dalam

upaya ketepatan tindakan yaitu memastikan tindakan yang benar pada sisi tubuh

yang benar. Tujuan ketepatan tindakan terapi adalah untuk mencegah jenis

kekeliruan yang tergantung pada pelaksana proses verifikasi pra-pembedahan.

Pemberian tanda pada sisi yang akan dibedah oleh petugas yang akan

melaksanakan prosedur dan adanya tim yang terlibat dalam prosedur juga perlu

Universitas Sumatera Utara


17

diperhatikan. Konsolidasi sesaat sebelum memulai prosedur untuk

mengkonfirmasikan identitas pasien, prosedur, dan sisi yang akan dibedah.

Menghindari salah kateter dan salah sambung selang (tube).

Rekomendasinya adalah menganjurkan perlunya perhatian atas medikasi secara

lebih rinci jika sedang mengerjakan pemberian medikasi serta pemberian makan

(misalnya selang yang benar), dan apabila menyambung alat- alat kepada pasien

(misalnya menggunakan sambungan dan selang yang benar) (WHO, 2007).

2.1.2.5. Pencegahan Infeksi Nasokomial

Pencegahan infeksi nasokomial dengan meningkatkan kebersihan

tangan (hand hygiene) untuk pencegahan infeksi nasokomial (JACHO, 2010;

WHO, 2007). Rekomendasinya adalah mendorong implementasi penggunaan

cairan alcohol-based hand-rubs tersedia pada titik- titik pelayanan, tersedianya

sumber air pada semua kran, pendidikan staf mengenai teknik kebersihan tangan

yang benar mengingatkan penggunaan tangan bersih ditempat kerja; dan

pengukuran kepatuhan penerapan kebersihan tangan melalui

pemantauan/observasi dan teknik-teknik yang lain (WHO, 2007). Pencegahan

infeksi nasokomial lainnya adalah pencegahan luka tekan dan pencegahan pasien

jatuh (JACHO, 2010).

2.1.2.6.Pengkajian Risiko

Pengkajian risiko merupakan standar kelima belas pada standar patient

safety (JACHO, 2010). Penggunaan metoda peningkatan kinerja untuk melakukan

evaluasi dan program peningkatan patient safety. Rumah sakit harus mendesain

proses baru atau memperbaiki proses yang ada, memonitor dan mengevaluasi

Universitas Sumatera Utara


18

kinerja melalui pengumpulan data, menganalisis secara intensif kejadian tidak

diharapkan dan melakukan perubahan untuk meningkatkan kinerja serta patient

safety (WHO, 2007).

2.1.2.7. Pengurangan Risiko Jatuh

Jumlah kasus jatuh cukup bermakna sebagai penyebab cedera bagi

pasien rawat inap. Dalam konteks populasi/ masyarakat yang dilayani, pelayanan

yang disediakan, dan fasilitasnya, rumah sakit perlu mengevaluasi risiko pasien

jatuh dan mengambil tindakan untuk mengurangi risiko cedera bila sampai jatuh.

Evaluasi bisa termasuk riwayat jatuh, obat dan telaah terhadap konsumsi alkohol,

gaya jalan dan keseimbangan, serta alat bantu berjalan yang digunakan oleh

pasien.

2.1.2.8. Pembentukan Sistem

Pembentukan sistem tidak lepas dari peran pemimpin untuk

mewujudkannya. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan patient safety

(Depkes, 2008). Pimpinan mendorong dan menjamin implementasi program

patient safety secara terintegrasi dalam organisasi. Pemimpin juga berperan dalam

mendidik staf tentang patient safety. Rumah sakit memiliki proses pendidikan,

pelatihan dan orientasi untuk setiap jabatan dengan patient safety secara jelas dan

menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan yang berkelanjutan untuk

meningkatkan dan memelihara kompetensi staf serta mendukung pendekatan

interdisiplin dalam pelayanan pasien (Depkes, 2008). Perawat juga terlibat dalam

meyusun kebijakan perawatan untuk meminimalkan terjadinya kesalahan (ICN,

2002).

Universitas Sumatera Utara


19

2.2. Patient Safety Culture

2.2.1. Pengertian Patient Safety Culture

Patient safety culture adalah budaya rumah sakit yang berorientasi pada

patient safety, dengan perkataan lain, layanan medis dijalankan secara

professional dan sangat hati- hati agar Adverse Events (AEs) tidak terjadi. Patient

safety culture akan menurunkan AEs secara signifikan sehingga akuntabilitas di

rumah sakit di mata pasien dan masyarakat akan meningkat (Budiharjo, 2008).

Menurut Ferguson dan Fakelman (2005), patient safety culture merupakan nilai,

kepercayaan, yang dianut bersama dan berkaitan dengan struktur organisasi, dan

sistem pengawasan dan pengendalian untuk menghasilkan norma- norma perilaku.

Organisasi pelayanan kesehatan harus mengembangkan patient safety

culture seperti tujuan yang jelas, prosedur yang tetap, dan proses yang aman

(WHO, 2009). Parker et al (2006) dalam Fleming (2008) mengatakan bahwa

patient safety culture dipengaruhi oleh perubahan keorganisasian, seperti

perubahan kepemimpinan atau pengenalan tentang sistem baru. Budaya

keselamatan dipengaruhi oleh sistem, praktek dan proses organisasi. Sebagai

contoh, suatu organisasi dengan suatu budaya keselamatan lemah akan membatasi

sistem keselamatan. Suatu organisasi yang memiliki budaya positif, maka

mempunyai banyak orang yang tepat untuk mempromosikan patient safety.

Argumentasi ini menyatakan bahwa haruslah mungkin untuk menilai

tingkat proses dan sistem yang mempromosikan suatu hal positif budaya patient

safety dengan mengevaluasi praktek organisasi yang mempengaruhi budaya

Universitas Sumatera Utara


20

tersebut. Pernyataan ini didukung oleh Zohar (2000) dan Parket et al (2006), yang

menyatakan budaya keselamatan terdiri dari aspek nyata dan abstrak. Aspek nyata

budaya keselamatan akan tampak dan terukur. Oleh karena itu digunakan untuk

mengembangkan kegiatan organisasi yang mendukung suatu hal positif budaya

keselamatan.

Nieva dan Sora (2004) mengemukakan dua dimensi safety culture yang

masing- masing memiliki sub dimensi yaitu:

2.2.1.1.Safety Culture Dimensions (unit level):

a. Tindakan meningkatkan safety: menunjukkan sejauh mana pihak pimpinan

rumah sakit mempromosikan serta mendukung tindakan keselamatan.

b. Organizational learning: menunjukkan sejauh mana anggota rumah sakit mau

dan bersedia belajar secara terus menerus demi peningkatan kinerja melalui

peniadaan AEs.

c. Team work (dalam unit rumah sakit): menunjukkan sejauh mana suatu divisi

rumah sakit kompak dan bekerja sama dalam tim.

d. Openness (Keterbukaan): menunjukkan sejauh mana keterbukaan antar

anggota dan pimpinan.

e. Umpan balik dan komunikasi tentang kesalahan: menunjukkan sejauh mana

umpan balik diberikan oleh pimpinan.

f. Respon non-punitif terhadap kesalahan: menunjukkan sejauh mana

pengakuan akan kesalahan tidak ditanggapi dengan hukuman.

g. Staffing (ketenaga- kerjaan): menunjukkan sejauh mana ketersediaan SDM

yang kompeten dan pengelolaannya dilakukan secara efektif.

Universitas Sumatera Utara


21

h. Management support terhadap patient safety: menunjukkan sejauh mana

manajemen memberi dukungan pada penciptaaan budaya safety.

2.2.1.2.Safety Culture Dimensions (hospital-wide):

a. Team (lintas unit): menunjukkan sejauh mana kekompakan dan kerja sama tim

lintas unit atau bagian.

b. Hospital handoffs & transitions (serah terima): menunjukkan sejauh mana

kelancaran pergantian gilir kerja.

Penelitian Hellings et.al (2007) di lima rumah sakit di Belgia yang

menunjukkan konsep Sora dan Nieva secara umum menunjukkan bahwa tiga nilai

utama di rumah sakit Belgia adalah kerja sama dalam unit, keterbukaan dan

tindakan safety sedang tiga nilai yang memiliki skor terendah adalah staffing, non-

punitif respons terhadap kesalahan dan hospital transitions. Hasil penelitian

tersebut menunjukkan bahwa nilai- nilai yang masih perlu ditingkatkan adalah

staffing. Berbeda dengan hasil survei di rumah sakit Belgia, hasil survei yang

dilakukan di Amerika menunjukkan bahwa nilai yang tertinggi adalah teamwork

(unit), peningkatan safety, dan management support terhadap patient safety

sedang nilai rendah adalah staffing, serah terima (transitions) dan non- punitif

terhadap kesalahan, sedangkan hasil survei kecil di Rumah Sakit X di Indonesia

menunjukkan bahwa nilai yang berskor tertinggi adalah kebersamaan antar- unit

dan komunikasi dan nilai yang berskor terendah adalah serah terima, kerja sama

antar bidang, dan staffing.

Langkah pertama menuju patient safety di rumah sakit adalah dengan

membangun patient safety culture. Istilah Budaya Selamat (safety

Universitas Sumatera Utara


22

culture) digunakan untuk menjelaskan cara mengelola keselamatan

tempat kerja, dan sering merefleksikan sikap, kepercayaan, persepsi dan nilai

keselamatan yang ditunjukkan pegawai dalam bekerja (Cox and Cox, 1991).

Budaya organisasi merujuk pada bentuk yang signifikan dari nilai (value)

organisasi (De Cock et al., 1986). Schein (1992) mendefinisikan budaya

organisasi sebagai suatu pola asumsi dasar yang diciptakan, ditemukan atau

dikembangkan oleh kelompok tertentu sebagai pembelajaran untuk mengatasi

masalah adaptasi eksternal dan integrasi internal yang resmi dan terlaksana

dengan baik dan oleh karena itu diajarkan/diwariskan kepada angota- anggota

baru sebagai cara yang tepat untuk memahami, memikirkan dan merasakan hal

yang terkait dengan masalah- masalah tersebut.

Perubahan budaya adalah semboyan baru dalam patient safety. Tujuan

utama dalam perubahan budaya adalah transparansi sistem, yang didefinisikan

sebagai kesediaan penyedia dan pasien untuk secara terbuka dan nyaman

mengekspresikan keprihatinan mereka tentang pemberian perawatan dengan cara

mengidentifikasi kekurangan dan mengarah ke penghapusan kesalahan, mitigasi,

atau manajemen yang tepat. Perubahan budaya, dan peningkatan dalam

identifikasi hal itu penting dalam rangka untuk kemudian dapat mengidentifikasi

dan memperbaiki sistem perawatan (Bates, Gandhi & Frankel, 2003).

Dalam arti negatif masalah budaya merujuk pada profesional dan sikap

dan perilaku yang organisasi biasanya ditandai dengan resistensi terhadap

intervensi dengan otonomi klinis dan kemampuan manajerial, dan antipati

terhadap perubahan. Sebaliknya, budaya keselamatan suatu organisasi dapat

Universitas Sumatera Utara


23

digambarkan sebagai produk dari nilai-nilai individu dan kelompok, sikap,

persepsi, kompetensi dan pola perilaku yang menentukan komitmen untuk, dan

gaya dan kemampuan dari suatu organisasi manajemen kesehatan dan manajemen

keselamatan. Organisasi dengan budaya keselamatan yang positif dicirikan oleh

komunikasi saling percaya, oleh persepsi bersama pentingnya keselamatan, dan

oleh kepercayaan dalam keberhasilan langkah-langkah pencegahan (The

Comission on Patient Safety and Quality Assurance of Irlandia, 2008).

Program patient safety dengan jelas didefinisikan dalam tujuan,

personel rumah sakit, dan anggaran. Yang melatarbelakangi budaya patient safety

adalah pembelajaran lingkungan tentang masalah kualitas dan safety pelayanan.

Pembelajaran lingkungan ini harus didukung oleh semua sumber daya yang ada

untuk memonitor dan mengevaluasi error atau ketidaksesuaian dalam pemberian

pelayanan. Hal ini akan memerlukan komunikasi antar staf, termasuk pelaporan

error atau kesalahan, kondisi bahaya, atau kendala lain dalam mutu pelayanan.

Hal ini juga akan memunculkan inovasi dan pembelajaran bersama melalui

kolaborasi dan pembandingan (Kovner dan Neuhauser, 2004).

2.2.2. Arti Penting Patient Safety Culture

Patient safety culture merupakan suatu hal yang penting karena

membangun patient safety culture merupakan suatu cara untuk membangun

program patient safety secara keseluruhan, karena apabila kita lebih fokus pada

patient safety culture maka akan lebih menghasilkan hasil keselamatan yang lebih

jika dibandingkan dengan hanya memfokuskan pada programnya saja (Fleming,

2006). Walshe dan Boaden (2006) menyatakan bahwa kesalahan medis sangat

Universitas Sumatera Utara


24

jarang disebabkan oleh faktor kesalahan manusia secara individu, namun lebih

banyak disebabkan karena kesalahan sistem di rumah sakit, yang mengakibatkan

rantai- rantai dalam sistem terputus.

2.2.3. Budaya Keselamatan Positif dan Negatif

Budaya keselamatan pasien (patient safety culture) paling tidak

mengandung unsur kepemimpinan dan komitmen tinggi akan patient safety,

keyakinan bahwa suatu Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) sebenarnya dapat

diantisipasi, melaporkan secara rutin dan membahas Kejadian Tidak Diharapkan

(KTD) secara terbuka. Budaya keselamatan positif lainnya yaitu, kesadaran untuk

bekerja secara tim, melakukan analisis secara sistemik apabila terjadi Kejadian

Tidak Diharapkan (KTD), mendukung staf terkait dengan Kejadian Tidak

Diharapkan (KTD), menjalin komunikasi dan melibatkan pasien dalam

pengambilan keputusan serta melakukan penilaian risiko sebagai langkah

preventif terjadinya Kejadian Tidak Diharapkan (Reis, 2006).

Budaya keselamatan positif menurut Pronovost et al (2003) adalah

karakteristik patient safety culture yang proaktif, meliputi komitmen dari

pimpinan untuk mendiskusikan dan belajar dari kesalahan, mendorong dan

mempraktekkan kerjasama tim, membuat sistem pelaporan kejadian (KTD, KNC,

sentinel) serta memberikan penghargaan bagi staf yang menjalankan program

keselamatan pasien dengan baik. Walshe dan Boaden (2006) juga berpendapat

patient safety culture positif meliputi komunikasi yang didasarkan pada

kepercayaan dan terbuka, proses dan alur informasi yang baik, persepsi bersama

tentang arti penting patient safety, perhatian pada pengenalan pada pentingnya

Universitas Sumatera Utara


25

kesalahan. Budaya keselamatan lainnya menurut Walshe dan Boaden (2006)

yaitu, adanya alat ukur yang meyakinkan tentang keselamatan pasien, identifikasi

proaktif terhadap ancaman laten keselamatan pasien, pembelajaran organisasi,

komitmen pemimpin dan para eksekutif, serta pendekatan tidak menyalahkan

terhadap pelaporan kejadian.

Budaya keselamatan pasien negatif meliputi tingkatan karier yang

curam antara staf medis dengan staf lain, hubungan tim kerja yang renggang, dan

keengganan mengakui kesalahan. Gibson (2006) menyatakan budaya keselamatan

pasien positif akan meningkatkan produktivitas, sedangkan budaya keselamatan

negatif akan merusak keefektifan dari suatu tim dan menimbulkan efek dari desain

organisasi yang baik.

2.2.4. Komponen Patient Safety Culture

Komponen patient safety culture menurut Reiling (2006) adalah:

2.2.4.1. Keterbukaan (Informed Culture)

Keselamatan pasien sudah diinformasikan kesemua karyawan, arti

penting dari keselamatan pasien, ada upaya rumah sakit dalam menciptakan

keselamatan pasien, adanya kebijakan yang menjadi draf/rencana strategis tentang

keselamatan pasien oleh tatanan manajerial, adanya pelatihan, pengembangan

berupa jurnal berdasarkan evidence based, informasi tentang kendala dan

hambatan dalam menciptakan keselamatan pasien.

Perawat merasa nyaman berdiskusi tentang kejadian yang terjadi dan

issue keselamatan pasien dengan teman satu tim atau dengan manajer. Perawat

merasa yakin bahwa fokus utama dalam keterbukaan sebagai media pembelajaran

Universitas Sumatera Utara


26

dan bukan untuk mencari kesalahan dari individu untuk mendapatkan hukuman

(NPSA, 2004; Reiling, 2006)

Komunikasi tentang keselamatan pasien telah menjadi standar dalam

Joint Commission Accreditation of Health Organization sejak tahun 2010.

Komunikasi terbuka dapat diwujudkan pada saat serah terima dengan

mengkomunikasikan kepada perawat yang lain tentang risiko terjadinya insiden,

melibatkan pasien saat serah terima. Briefing digunakan untuk berbagi informasi

seputar issue – issue keselamatan pasien, perawat dapat bebas bertanya seputar

keselamatan pasien yang potensial terjadi dalam kegiatan sehari- hari. Ronde

keperawatan dapat dilakukan setiap minggu dan berfokus hanya pada keselamatan

pasien (JACHO, 2010; Nazham, 2009).

Keterbukaan juga didapatkan oleh pasien. Pasien berhak mendapatkan

penjelasan akan tindakan dan juga kejadian yang telah terjadi. Pasien

mendapatkan informasi tentang kondisi yang akan menyebabkan risiko terjadinya

kesalahan. Perawat memiliki motivasi untuk memberikan setiap hal yang

berhubungan dengan keselamatan pasien.

2.2.4.2. Keadilan (Just Culture)

Staf di rumah sakit terbuka dan memiliki motivasi untuk memberikan

informasi terhadap hal yang bisa atau tidak bisa diterima, adanya ketakutan

apabila staf melaporkan kejadian kesalahan, kerjasama antar sesama staf.

Perawat dan pasien diperlakukan secara adil ketika terjadinya insiden.

Saat terjadi insiden, tidak berfokus untuk mencari kesalahan individual tetapi

lebih mempelajari secara sistem yang mengakibatkan terjadinya kesalahan. Aspek

Universitas Sumatera Utara


27

dalam budaya adil yang perlu mendapat perhatian adalah keseimbangan antara

kondisi laten yang mempengaruhi dan dampak dari hukuman yang akan diberikan

kepada individu yang bersalah. Perawat dan organisasi bertanggung jawab

terhadap tindakan yang diambil (NPSA, 2004; Reiling, 2006).

Budaya tidak menyalahkan perlu dikembangkan dalam menumbuhkan

patient safety culture. Perawat akan membuat laporan kejadian jika yakin bahwa

laporan tersebut tidak akan mendapatkan hukuman atas kesalahan yang terjadi.

Lingkungan terbuka dan adil akan membantu untuk membuat pelaporan yang

dapat menjadi pelajaran dalam keselamatan pasien.

Fokus pada kesalahan yang diperbuat perawat akan mempengaruhi

psikologis perawat. Kesalahan yang dilakukan perawat akan berdampak secara

psikologis yang dapat menurunkan kinerja (Yahya, 2006). Kesalahan yang terjadi

lebih banyak disebabkan kesalahan sistem, jadi fokus pada apa yang diperbuat,

hambatan yang mengakibatkan kesalahan serta risiko lain yang dapat terjadi dapat

dijadikan pembelajaran daripada hanya terfokus pada siapa yang melakukan

(Reason, 2000).

2.2.4.3. Pelaporan (Reporting Culture)

Adanya program evaluasi/sistem pelaporan, adanya upaya dalam

peningkatan laporan, hambatan dan kendala dalam pelaporan, adanya mekanisme

penghargaan dan sanksi yang jelas terhadap pelaporan.

Pelaporan merupakan unsur penting dari keselamatan pasien. Informasi

yang adekuat pada pelaporan akan dijadikan bahan oleh organisasi dalam

pembelajaran (Jeff, Law & Baker, 2007). Organisasi belajar dari pengalaman

Universitas Sumatera Utara


28

sebelumnya dan mempunyai kemampuan untuk mengidentifikasi faktor risiko

terjadinya insiden sehingga dapat mengurangi atau mencegah insiden yang akan

terjadi.

Hambatan atau kendala dalam pelaporan telah diidentifikasi sehingga

proses pelaporan insiden menjadi lebih mudah. Hambatan yang dapat terjadi pada

pelaporan diantaranya, perasaan takut akan disalahkan, perasaan kegagalan, takut

akan hukuman, kebingungan dalam bentuk pelaporan, kurang kepercayaan dari

organisasi, kurang menyadari keuntungan dari pelaporan (Bird, 2005; Jaw, Law,

& Baker, 2007).

Perawat akan membuat pelaporan jika merasa aman apabila membuat

laporan maka tidak akan mendapatkan hukuman. Perawat yang terlibat merasa

bebas untuk menceritakan atau terbuka terhadap kejadian yang terjadi. Perlakuan

yang adil terhadap perawat, tidak menyalahkan secara individu tetapi organisasi

lebih fokus terhadap sistem yang berjalan akan meningkatkan budaya pelaporan

(NPSA, 2004).

2.2.4.4. Budaya Belajar (Learning Culture)

Setiap lini di dalam organisasi, baik perawat maupun manajemen

menggunakan insiden yang terjadi sebagai proses belajar. Perawat dan manajemen

berkomitmen untuk mempelajari kejadian yang terjadi. Mengambil tindakan atas

kejadian tersebut untuk diterapkan sehingga dapat mencegah terulangnya

kesalahan. Umpan balik dari organisasi dan rekan satu tim merupakan suatu

bentuk dari budaya belajar (Reiling, 2006).

Universitas Sumatera Utara


29

Adanya sistem umpan balik terhadap kejadian kesalahan dan

pelaporannya, adanya pelatihan di rumah sakit yang menunjang peningkatan

SDM. Pada tahun 2004 Agency For Healthcare Research and Quality (AHRQ)

suatu komite untuk kualitas kesehatan di Amerika meluncurkan Hospital Survey

on Patient Safety Culture (HSPSC) merupakan sebuah survey bagi seluruh staf

rumah sakit yang didesain untuk membantu rumah sakit menilai budaya

keselamatan di institusinya. Sejak saat itu 100 rumah sakit di Amerika telah

mengimplementasikan survei ini (AHRQ, 2004).

Survey Hospital Survey on Patient Safety Culture mengukur budaya

keselamatan dari segi perspektif staf rumah sakit. Survei ini dapat mengukur

patient safety culture untuk seluruh staf rumah sakit dari housekeeping, bagian

kemanan, sampai dokter dan perawat. AHRQ menilai patient safety culture

dipengaruhi oleh 3 aspek yang dibagi kedalam 12 dimensi, diantaranya (AHRQ,

2004): supervisor/manager promoting safety; organizational learning – perbaikan

berkelanjutan; kerja sama dalam unit rumah sakit; komunikasi terbuka; umpan

balik dan komunikasi mengenai kesalahan; respon tidak mempermasalahkan

terhadap kesalahan (respon non-punitive); staffing; dukungan manajemen

terhadap upaya keselamatan pasien; kerja sama antar unit di rumah sakit;

handsoff/ perpindahan dan transisi pasien; persepsi keseluruhan staf di rumah

sakit terkait keselamatan pasien; frekuensi pelaporan kejadian.

Survey budaya keselamatan berguna untuk mengukur kondisi

organisasi yang dapat mengurangi Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) dan

kecelakaan pasien di rumah sakit. Rumah sakit yang ingin menilai patient safety

Universitas Sumatera Utara


30

culture di organisasinya harus menyadari pelaksanaan survei patient safety culture

dapat digunakan untuk (AHRQ, 2004): meningkatkan kesadaran staf rumah sakit

mengenai keselamatan pasien, mendiagnosa dan menilai keadaan patient safety

culture saat itu, mengidentifikasi kekuatan/kelebihan suatu area/unit untuk

pengembangan program keselamatan pasien, menguji perubahan trend patient

safety culture sepanjang waktu, mengevaluasi dampak budaya dari inisiatif dan

intervensi keselamatan pasien dan mengadakan perbandingan baik internal

maupun eksternal.

Berikut adalah penjelasan dari dimensi- dimensi yang digunakan untuk

mengukur patient safety culture (AHRQ, 2004):

a. Kerjasama di Rumah Sakit

Tim kerja dapat diartikan sebagai teamwork (Ilyas, 2003). Tim kerja

merupakan sekumpulan individu dengan keahlian yang spesifik yang bekerja

sama dan saling berinteraksi untuk mencapai tujuan yang sama yang

membutuhkan komitmen bersama, saling percaya dan saling menghormati. Tim

adalah sekelompok orang yang bekerja sama dan menghasilkan hasil yang

bermakna dalam mengkombinasikan keahlian dan kemampuan masing- masing

individu yang menjadi tanggung jawabnya.

Karakteristik dalam tim adalah tanggung jawab bersama untuk

pencapaian tujuan, interaksi diantara anggota untuk mencapai tujuan, peran

masing- masing anggota yang berbeda satu sama lain, dan identitas tim. Perawat

dapat bekerja sama dengan tenaga kesehatan lainnya seperti dokter dan apoteker

dalam keakuratan pemberian obat kepada pasien (ICN, 2002).

Universitas Sumatera Utara


31

Pembelajaran dengan orang lain dalam tim menjadi sumber yang

berpengaruh dalam penghargaan pembelajaran sendiri individu tentang isu

keselamatan pasien. Setiap disiplin ilmu yang berbeda akan memperhatikan

keselamatan pasien berdasarkan prioritas masing- masing. Tim bedah dan kamar

operasi menjadikan aspek teknis sebagai prioritas utama dalam keselamatan

pasien, apoteker dengan isu tentang keselamatan obat, perawat pada

tindakan/terapi dan penggunaan tim pendukung yang efektif untuk membentuk

jaringan keselamatan pasien. Sedangkan dokter memiliki kewenangan yang lebih

luas (Walshe & Boaden, 2006).

Walshe & Boaden (2006) juga melakukan penelitian meta analisis yang

mengidentifikasi pengaruh kerja tim dengan penampilan kinerja individu yang

menyatakan bahwa kerja tim menghasilkan penampilan kinerja individu yang

lebih baik pada komunikasi, tugas, dan matematis. Manfaat kerja tim adalah

penghargaan diri, kesejahteraan psikologis, dan dukungan sosial. Agency for

Healthcare Research and Quality (AHRQ) melakukan survey rumah sakit di

Amerika tentang pelaksanaan patient safety culture pada kerja sama sebesar 57%

(Nadzam, 2009).

b. Komunikasi Terbuka

Perawat berperan dalam meningkatkan komunikasi dengan pasien dan

tenaga kesehatan lainnya (ICN, 2002). Komunikasi adalah proses tukar menukar

pikiran, perasaan, pendapat dan saran yang terjadi antara dua manusia atau lebih

yang bekerja bersama. Komunikasi yang kurang baik dapat mengganggu

kelancaran organisasi dalam mencapai tujuan organisasi. Perawat berperan dalam

Universitas Sumatera Utara


32

siklus komunikasi dalam keselamatan pasien. Agency for Healthcare Research

and Quality (AHRQ) melakukan survey rumah sakit di Amerika tentang

pelaksanaan patient safety culture pada komunikasi terbuka sebesar 62%

(Nadzam, 2009).

Bentuk komunikasi dalam keselamatan pasien yang dilakukan perawat

antara lain briefing, dan ronde keselamatan pasien. Briefing merupakan cara

sederhana bagi staf untuk berbagi informasi tentang isu- isu keselamatan pasien

yang potensial dapat terjadi dalam kegiatan sehari- hari, ronde keselamatan

pasien. Ronde keselamatan pasien yang terdiri dari perawat senior 1-2 perawat

ruangan, dilakukan supervisi setiap minggu pada area yang berbeda di rumah sakit

dan berfokus hanya pada masalah keselamatan. Selain itu terdapat teknik

Situation Background Assessment Recommendation (SBAR) dan Situation Task

Intent Concern Calibrate (STICC) (Yahya, 2006 & Nazdam, 2009).

Survey tentang penerapan keselamatan pasien pada 4826 perawat pada

rumah sakit di Amerika Serikat dan Kanada, didapatkan hasil 94% perawat

menyatakan diskusi dengan teman membantu mencegah terjadinya kesalahan.

Diskusi ini sebagai media pembelajaran tentang kesalahan. Perawat juga menjadi

tidak nyaman untuk berdiskusi pada budaya menyalahkan orang lain. Perawat

berpikir dengan mengetahui informasi keselamatan pasien maka akan

mempengaruhi tindakan perawat dalam memberikan asuhan keperawatan sebesar

85%. Lebih dari separuh perawat menyatakan ikut terlibat dalam ronde

interdisiplin keilmuan yang teratur (Manno, Hogan, Heberlien, Nyakiti, Mee,

2006).

Universitas Sumatera Utara


33

c. Respon Tidak Menghukum Ketika Terjadi Kesalahan

Walshe and Boaden (2006) menyatakan bahwa kesalahan medis sangat

jarang disebabkan oleh faktor kesalahan manusia secara tunggal, namun lebih

banyak disebabkan karena kesalahan sistem di rumah sakit yang mengakibatkan

rantai- rantai dalam sistem terputus. Yahya (2006) berpendapat tenaga profesional

adalah perfeksionis sehingga apabila terjadi kesalahan, maka akan mengakibatkan

permasalahan psikologis sehingga akan berdampak pada penurunan kinerja,

karenanya pertanyaan individual perlu dihindari, dan fokus pada apa yang terjadi,

bukan siapa yang melakukan, hambatan dalam melakukan kerja yang baik, serta

kejadian apalagi yang mungkin bisa timbul. Survey tentang penerapan

keselamatan pasien pada 4826 perawat pada rumah sakit di Amerika Serikat dan

Kanada, perawat beranggapan rumah sakit mempromosikan keselamatan pasien

dan budaya tidak menyalahkan sebesar 74% (Manno, Heberlein, Josephine &

Mee, 2008).

d. Pelaporan Kejadian

Pelaporan kejadian merupakan suatu sistem yang penting dalam

membantu mengidentifikasi masalah keselamatan pasien dan dalam menyediakan

data pada organisasi dan sistem pembelajaran (Walshe & Boaden, 2006). Perawat

berperan dalam melaporkan kejadian kesalahan (ICN, 2002).

Beberapa hambatan dalam sistem pelaporan kejadian diantaranya takut

akan hukuman, fokus pada hukuman, fokus pada ketidakjelasan identitas,

ergonomi bentuk dari pelaporan kejadian, kebingungan dari hukum dari kejadian

tidak diharapkan/kejadian nyaris cedera, sentinel, pengaruh yang tidak signifikan

Universitas Sumatera Utara


34

dalam peningkatan kualitas pelayanan, kekurangan dukungan dari profesi, kurang

umpan balik (Josh et al, 2000: Uribe et al, 2002, & Kingstone et al, 2004 dalam

Walshe & Boaden, 2006).

NPSA (2009) menyatakan lima langkah menuju sistem pelaporan

kejadian antara lain berikan umpan balik pada staf saat mereka memberikan

pelaporan kejadian, berfokus pada pembelajaran tentang kejadian dengan akar

masalah, pelatihan tentang pelaporan kejadian, dan lomba pelaporan internal.

Lima langkah berikutnya yaitu membuat alat yang mudah untuk mencatat laporan

kejadian dapat dilakukan, membudayakan pelaporan menjadi sebagai upaya untuk

peningkatan mutu, serta budaya bukan mencari kesalahan individu.

Survey tentang penerapan keselamatan pasien pada 4826 perawat pada

rumah sakit di Amerika Serikat dan Kanada, didapatkan hasil 89% perawat

merasa nyaman ketika melaporkan Kejadian Tidak Diharapkan (KTD). Perawat

beranggapan rumah sakit mempromosikan keselamatan pasien dan pelaporan

yang salah akan di anggap objektif dan bisa dipahami sebesar 74% dan tidak

menyalahkan. Perawat memberikan laporan kepada nurse manager/supervisor

sebesar 87% (Manno, Hogan, Heberlein, Josephine & Mee, 2008).

e. Staffing

Menurut Douglas dkk (1976) dalam Beginta (2012), staffing

didefinisikan sebagai proses menegaskan pekerja yang ahli untuk mengisi struktur

organisasi melalui seleksi dan pengembangan personil. Dengan adanya staffing

diharapkan terpenuhinya jumlah dan keterampilan yang dimiliki perawat sesuai

dengan kebutuhan yang ada di tiap unit yang dibutuhkan. Jumlah perawat di

Universitas Sumatera Utara


35

rumah sakit mempengaruhi kualitas pelayanan yang diterima pasien di rumah

sakit. Karena staf yang memadai merupakan suatu hal mendasar untuk perawatan

yang berkualitas.

Terbukti dengan banyaknya perawat setara dengan keselamatan pasien

yang lebih baik. Aiken dkk (2002) menyebutkan bahwa terdapat hubungan

langsung antara staffing perawat dan dampaknya terhadap keselamatan pasien,

hasil, dan kepuasan perawat profesional di rumah sakit.

f. Kepemimpinan

Yahya (2006) dalam Konvensi Nasional Mutu rumah sakit dalam

membangun patient safety culture di rumah sakit ada dua model kepemimpinan

sekaligus yang dibutuhkan yakni kepemimpinan transaksional dan

transformasional. Kepemimpinan transaksional dapat digunakan untuk

mendorong staf melakukan pelaporan kejadian insiden dan kepemimpinan

transformasional dipakai untuk proses belajar dari kejadian dan merancang

kembali program untuk keselamatan pasien.

IOM merekomendasikan bahwa prinsip pertama dalam mendesain sistem

keselamatan dalam organisasi kesehatan adalah dengan kepemimpinan. Termasuk

di dalamnya patient safety dijadikan sebagai prioritas utama, menjadikan patient

safety menjadi tanggung jawab bersama serta menyediakan sumber daya manusia

maupun dana untuk analisis error dan merancang ulang sistem (Kohn, (2000).

Penelitian yang dilakukan Singer (2005) menyimpulkan bahwa untuk

membangun safety culure yang kuat ada 6 perilaku yang harus dimiliki oleh

senior leader yakni: membuat dan mengkomunikasikan visi safety yang jelas;

Universitas Sumatera Utara


36

mendorong personal untuk pencapaian visi, secara aktif melakukan upaya

pengembangan patient safety; memberikan contoh; fokus pada isu dibandingkan

dengan kesalahan individu dan; secara kontinyu melakukan penelitian sebagai

upaya melakukan perbaikan.

g. Organizational Learning

Organizational Learning atau perbaikan yang berkelanjutan dilakukan

tim inti untuk menentukan strategi pembudayaan nilai- nilai keselamatan pasien.

Tim tersebut secara berkala bertemu untuk menganalisis RCA (Root Cause

Analysis) serta mencari akar masalah dari setiap insiden keselamatan pasien. Tim

tersebut juga menentukan pola sosialisasi serta mengevaluasi program yang telah

dilaksanakan melalui riset- riset aplikatif. Melalui upaya perbaikan yang

berkelanjutan akan diperoleh pengetahuan yang tersirat maupun tersurat untuk

menangani persoalan kejadian insiden keselamatan pasien (Budiharjo, 2008).

Reiling (2006) berpendapat bahwa setiap lini dalam organisasi, baik

perawat maupun manajemen menggunakan insiden yang terjadi sebagai proses

belajar. Perawat dan manajemen berkomitmen untuk mempelajari kejadian yang

terjadi. Mengambil tindakan atas kejadian tersebut untuk diterapkan sehingga

dapat mencegah terulangnya kesalahan. Umpan balik dari organisasi dan rekan

satu tim merupakan suatu bentuk dari organisasi yang belajar.

h. Handsoff dan transisi

Menurut Kumar (2003) dalam Hamdani (2007), transisi merupakan

proses berpindahnya pasien dari satu lingkungan ke lingkungan yang lain.

Perpindahan pasien dari satu lingkungan ke lingkungan yang lain dapat berupa

Universitas Sumatera Utara


37

perpindahan pasien dari IGD ke unit dalam rangka mendapatkan pengobatan.

Dalam perpindahan tersebut dapat terjadi suatu kesalahan sehingga

membahayakan pasien seperti jatuhnya pasien dan kesalahan informasi ketika

terjadi pertukaran informasi mengenai pasien. Kesalahan informasi mengenai

pasien tersebut juga dapat terjadi ketika berlangsungnya pergantian shift antar

perawat.

2.2.5. Survey Patient Safety Culture

Survey patient safety culture dapat dilakukan berdasarkan elemen yang

mendasari dan berdasarkan tingkat maturitas dari organisasi dalam menerapkan

patient safety culture. Standar pengukuran patient safety culture dikembangkan

oleh beberapa organisasi AHRQ, Standford dan MapSaf. Survei tersebut

menggunakan instrumen berupa kuesioner. Instrumen tersebut sebagian besar

melihat budaya dari perspektif staf di rumah sakit (AHRQ, 2004).

Survei yang dikembangkan oleh AHRQ adalah The Hospital Survey on

Patient Safety dengan 12 elemen untuk mengukur patient safety culture, meliputi:

kerja sama dalam unit, kerja sama antar unit, ekspektasi manajer, pembelajaran

organisasi, dukungan manajemen, persepsi keselamatan pasien, umpan balik dan

komunikasi, komunikasi terbuka, pelaporan kejadian, staffing, hand over dan

transisi dan respon non-punitive (respon tidak menghukum).

Stanford mengembangkan instrumen Safety Attitudes questionare

(SAQ) mengidentifikasikan 6 elemen yang meliputi: kerja sama, iklim

keselamatan, kepuasan kerja, kondisi stres, persepsi manajemen dan kondisi kerja.

Standford Instrument (SI) melihat dari 5 elemen patient safety culture, antara lain:

Universitas Sumatera Utara


38

organisasi, departemen, produksi, pelaporan, dan kesadaran diri. Sedangkan

modifikasi dari Standford Instrument yaitu model yaitu Modified Standford

Instrument hanya mengidentifikasi 3 elemen yang mempengaruhi patient safety

culture, yaitu nilai keselamatan, takut dan reaksi negatif, persepsi keselamatan.

Walaupun instrumen yang dikembangkan menggunakan elemen yang berbeda-

beda, namun pada dasarnya elemen- elemen yang ada pada setiap instrumen

tersebut untuk mengukur 4 dimensi budaya keselamatan kerja, yaitu keterbukaan

(informed culture), keadilan (just culture), pelaporan (report culture), dan

pembelajaran dari masalah atau budaya belajar (learning culture).

Universitas Sumatera Utara


39

Tabel 2.1

Perbandingan Elemen Budaya Keselamatan Pada Setiap Instrumen

Komponen Instrumen
NO Keselamata
AHRQ- HSPSC SAQ SI MSI
n Pasien
- Komunikasi
- Nilai
- Kerjsama - Kerjasama
keselamat
Keterbukaan dalam unit - Iklim
- Kesadaran an
1 (Informed - Persepsi keselamatan
diri - Persepsi
Culture) keselamatan - Persepsi
keselamat
pasien manajemen
an
- Umpan balik
- Kepuasan
dan - Takut
Keadilan kerja - Produksi
komunikasi atau
2 (Just - Kondisi stres - Departemen
- Staffing reaksi
Culture) - Kondisi
- Respon tidak negatif
kerja
menghukum
- Pelaporan - Takut
Pelaporan - Kondisi stres
kejadian - Pelaporan atau
3 (Report - Kondisi
- Hand over reaksi
Culture) kerja
dan transisi negatif
- Pembelajara
n organisasi
Pembelajaran
- Ekspektasi - Pengorganis
4 (Learning
manajer asian
Culture)
- Dukungan
manajer
Sumber : (Carthey & Clarke, 2010; Reiling, 2006; Flemming, 2005; Reason,

1997)

Keterangan:

HSPSC = Hospital Survey on Patient Safety Culture

SAQ= Safety Attitudes Quastionnare

SI = Standford Instrument

MSI = Modified Stanford Instrument

Universitas Sumatera Utara


40

2.3. Fungsi Manajemen Keperawatan Kepala Ruang

Henri Fayol (1925) pertama sekali mengidentifikasi fungsi manajemen

terdiri dari planning, organization, command, coordination, and control. Luther

Gulick (1937) mengembangkan fungsi manajemen dari Fayol ke dalam tujuh

aktivitas dari manajemen yaitu planning, organizing, staffing, directing,

coordinating, reporting, dan budgeting yang biasa dikenal dengan singkatan

POSDCORB. Meskipun demikian, teori ini berubah dari waktu- waktu, baik

penggabungan satu elemen fungsi manajemen ke dalam elemen fungsi manajemen

yang lain, maupun mengubah sub dari fungsi manajemen tersebut.

Lyndall F. Urwick (1956) menyusun fungsi manajemen yang terdiri dari;

staffing, planning, organizing, controlling, directing, dan coordinating. George

Terry (1968) membagi fungsi manajemen ke dalam empat bagian; planning,

organization, actuating, dan controlling (POAC), sedangkan Harold Koentz

(1972) dalam Koentz, Donnell, dan Weichrich (1990) membagi fungsi manajemen

ke dalam lima bagian yaitu; planning, organizing, staffing, directing, dan

controlling (POSDC). Di sisi lain, Robbins dan Coulter (1999) menyebutkan

bahwa fungsi manajemen adalah perencanaan, pengorganisasian, kepemimpinan,

dan pengawasan.

Senada dengan yang dikemukakan oleh Harold Koentz (1972), Marquis

dan Huston (2015) menyatakan fungsi kepala ruang sebagai first line manager

meliputi fungsi manajerial yaitu fungsi perencanaan, pengorganisasian,

pengaturan staf, pengarahan, dan pengendalian. Fungsi manajemen ini cocok

Universitas Sumatera Utara


41

untuk digunakan dalam dunia keperawatan baik dalam penelitian maupun dalam

praktik.

Firth-Cozens, (2002) dalam Wagner et al, (2009) menyatakan bahwa

kepala ruang memiliki peran yang kritis dalam mendukung safety culture dan

kepemimpinan efektif telah menunjukkan arti penting dalam menciptakan

lingkungan yang positif bagi patient safety. Fungsi manajerial kepala ruang

meliputi lima fungsi yaitu:

2.3.1. Perencanaan

Perencanaan adalah keseluruhan proses pemikiran dan penentuan secara

matang hal- hal yang akan dikerjakan di masa mendatang dalam rangka

pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Perencanaan dapat juga diartikan sebagai

suatu rencana kegiatan tentang apa yang harus dilakukan, bagaimana kegiatan itu

dilaksanakan, dimana kegiatan itu dilakukan. Perencanaan yang matang akan

memberi petunjuk dan mempermudah dalam melaksanakan suatu kegiatan dan

merupakan pola pikir yang dapat menentukan keberhasilan suatu kegiatan dan

titik tolak dari kegiatan pelaksanaan kegiatan selanjutnya. Hierarki dalam

perencanaan terdiri dari perumusan visi, misi, filosofi, peraturan, kebijakan, dan

prosedur (Marquis & Huston, 2006).

Leos (2008) mengatakan bahwa untuk meningkatkan keselamatan

pasien pada perawat onkologi dengan menciptakan perencanaan lingkungan

perawatan yang aman yaitu dengan meningkatkan penyediaan cuci tangan untuk

mencegah infeksi jamur. Pendapat lain leos (2008) mengatakan bahwa

Universitas Sumatera Utara


42

kesenjangan yang dapat menyebabkan kesalahan tanpa disadari sebagai akibat

dari keputusan yang dibuat dalam perencanaan yang kurang optimal.

Perencanaan pemimpin keperawatan dalam patient safety (yahya, 2006)

adalah menyusun ‘Deklarasi/Pernyataan’ awal gerakan keselamatan pasien atau

‘pencanangan’ tentang tekad untuk memulai aktivitas keselamatan pasien. Isi

pernyataan mengandung elemen: pernyataan bahwa patient safety sangat penting

dan menjadi prioritas; komitmen tentang tanggung jawab eksekutif dalam patient

safety; aplikasikan pengetahuan dan keterampilan yang mutakhir; berlakukan

pelaporan yang jujur (blameless reporting).

Perencanaan dalam safety culture oleh seorang pemimpin keperawatan

meliputi pengembangan visi ke depan untuk memberikan pedoman kegiatan saat

ini dan juga strategi untuk mencapai visi tersebut (Callahan & Ruchlin, 2003).

Perencanaan dalam patient safety diantaranya dengan pelatihan dan pendidikan

tentang patient safety dan perencanaan sumber daya yang ada (SDM dan fasilitas)

(IOM, 2004 dalam Thomson et al, 2005).

2.3.2. Pengorganisasian

Pengorganisasian adalah pengelompokan aktivitas untuk mencapai

tujuan, penugasan suatu kelompok tenaga keperawatan, menentukan cara dari

pengkoordinasian aktivitas yang tepat, baik vertikal maupun horizontal, yang

bertanggungjawab untuk mencapai tujuan organisasi (Marquis & Huston, 2006).

Struktur organisasi adalah susunan komponen- komponen dalam suatu

organisasi. Pengertian struktur organisasi menunjukkan adanya pembagian kerja

dan menunjukkan bagaimana fungsi- fungsi atau kegiatan yang berbeda- beda

Universitas Sumatera Utara


43

diintegrasikan atau dikoordinasikan. Struktur organisasi juga menunjukkan

spesialisasi pekerjaan. Fungsi pengorganisasian pemimpin keperawatan adalah

dengan menunjuk penanggung jawab operasional patient safety, pada umumnya

ditunjuk manajer risiko atau manajer patient safety (Marquis & Huston, 2006).

Struktur organisasi selalu menjadi faktor penting yang mempengaruhi perilaku

individu dan kelompok yang ada di organisasi (Ivancevich, Konopaske &

Matteson, 2005).

Fungsi manajemen pada pengorganisasian adalah pengetahuan tentang

struktur organisasi, termasuk uraian tugas staf dan departemen. Menyediakan staf

alur unit organisasi, jika memungkinkan mempertahankan kesatuan perintah,

klarifikasi kesatuan perintah ketika terdapat ketidakjelasan. Pengetahuan tentang

struktur organisasi, menggunakan organisasi informal untuk mencapai tujuan,

menggunakan struktur komite untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas dari

kinerja (Marquis & Huston, 2000).

Pengorganisasian pada tingkat manajerial berbeda- beda. Manajer

tingkat puncak menentukan filosofi organisasi, menyusun kebijakan, menciptakan

tujuan dan memprioritaskan dengan mempertimbangkan sumber- sumber yang

ada. Manajer puncak memiliki kebutuhan paling besar untuk kemampuan

kepemimpinan yang tidak bisa dimiliki hanya dengan kegiatan rutinitas seperti

level manajer di bawahnya. Manajer tengah mengkoordinasikan upaya manajer

tingkat bawah dan hierarki, sebagai penengah antara manajer puncak dan manajer

bawah, menjalankan kegiatan rutinitas harian, namun masih terlibat dalam

membuat perencanaan jangka panjang dan mempertahankan kebijakan. Manajer

Universitas Sumatera Utara


44

pertama berfokus pada unit kecil kerja, berhubungan dengan masalah langsung

pada pelaksanaan operasional unit kerja. Manajer pertama yang efektif sangat

berperan besar dalam organisasi dan memerlukan kemampuan manajemen yang

baik, karena mereka bekerja langsung dengan pasien dan tim kesehatan. Manajer

pertama juga harus mempunyai kesempatan yang pandai untuk melatih peran

kepemimpinannya (Marquis & Huston, 2000).

Pengorganisasian dalam patient safety culture yang dilakukan

pemimpin adalah menentukan orang- orang yang terlibat dalam kegiatan ini

(Callahan & Ruchlin, 2003). Pengorganisasian dalam patient safety adalah dengan

tim keselamatan pasien di rumah sakit (Yahya, 2006). Alternatif kedudukan tim

keselamatan pasien di rumah sakit adalah (1) Direktur Utama membawahi Tim

Keselamatan Pasien, Mutu Pelayanan, dan Manajemen Risiko; (2) Direktur Utama

membawahi Tim Keselamatan Pasien, Mutu Pelayanan, sedangkan Manajemen

Risiko terpisah; (3) Direktur Utama membawahi Tim Keselamatan Pasien,

Manajemen risiko, sedangkan Mutu Pelayanan terpisah: (4) Direktur Utama/

direktur Medis membawahi Tim Keselamatan Pasien: (5) Komite Medis

membawahi Sub Komite Keselamatan Pasien: (6) Supervisor/Penyelia

Keselamatan Pasien. Skema alternatif pengorganisasian tim keselamatan pasien di

unit rumah sakit dapat dilihat pada gambar 2.1 dan 2.2.

Universitas Sumatera Utara


45

Gambar 2.1

Alternatif Pertama Struktur Organisasi Tim Keselamatan Pasien

Departemen

Ketua
Unit/Tim
Penggerak

Bagian Bagian Bagian


Pelaporan Investigasi Diklat

Anggota Tetap

Gambar 2.2

Alternatif Kedua Struktur Organisasi Tim Keselamatan Pasien

Direktur Utama Komite


Medik
Dir/ Wadir Supervisor Dir/Wadir
Keuangan KP Medis

Tim Sub
Tim KP
KP/Mutu Komite
KP

Manajer Mutu Manajer Risiko

Tim KP Tim KP

2.3.3. Pengaturan Staf

Pengaturan staf (staffing) merupakan fase ketiga dari proses

manajemen. Suyanto (2009) mengatakan bahwa ketenagaan merupakan

pengaturan proses mobilisasi potensi dan pengembangan sumber daya manusia

Universitas Sumatera Utara


dalam memenuhi tugas untuk mencapai tujuan individu dan organisasi. Menurut

Marquis & Huston (2003), manajer merekrut, memilih, memberikan orientasi dan

meningkatkan perkembangan individu untuk mencapai tujuan organisasi. Kepala

ruang menjalankan fungsi ini antara lain dengan merencanakan kebutuhan staf

perawat, menyusun jadwal dinas, memberikan orientasi bagi staf baru mengenai

kebijakan, aturan maupun standar keselamatan yang harus ditaati dalam bekerja.

2.3.4. Pengarahan

Pengarahan yaitu penerapan perencanaan dalam bentuk tindakan dalam

rangka mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan sebelumnya. Istilah lain

yang digunakan sebagai padanan pengarahan adalah pengkoordinasian,

pengaktifan, dan pada akhirnya akan bermuara pada melaksanakan kegiatan yang

telah direncanakan sebelumnya. Fase pengarahan meliputi memotivasi staf dan

menciptakan suasana yang memotivasi, membina komunikasi organisasi,

menangani konflik, memfasilitasi kerjasama dan negosiasi (Marquis & Huston,

2006).

Pengarahan menguraikan pekerjaan dalam tugas- tugas yang mampu

dikelola, jika perlu dilakukan pendelegasian. Seorang manajer harus

memaksimalkan pelaksanaan pekerjaan oleh staf melalui upaya- upaya

menciptakan iklim motivasi, mengelola waktu secara efisien: mendemonstrasikan

keterampilan komunikasi yang terbaik; mengelola konflik dan memfasilitasi

kolaborasi; melaksanakan sistem pendelegasian dan supervisi; serta negosiasi

(Marquis & Huston, 2006).


Pengarahan dalam patient safety culture meliputi komunikasi,

pemberian inspirasi, melakukan supervisi. Komunikasi merupakan bagian penting

dalam keberhasilan penerapan patient safety culture (Callahan & Ruchlin, 2003).

Fungsi pengarahan manajer dalam pelaksanaan patient safety adalah dengan ronde

keselamatan pasien yang terdiri dari perawat senior dan 1-2 perawat ruangan,

dilakukan supervisi setiap minggu pada area yang berbeda di rumah sakit dan

berfokus hanya pada masalah keselamatan (Yahya, 2006).

Manfaat dari ronde keselamatan pasien adalah: meningkatkan

kepedulian akan masalah- masalah keselamatan pasien: memperlihatkan bahwa

keselamatan menjadi prioritas utama bagi manajer senior; membantu membangun

budaya adil dan terbuka dengan mendorong staf membicarakan insiden dengan

terbuka. Ronde keselamatan pasien merupakan suatu cara untuk mengumpulkan

informasi dan pendapat dari staf agar pelayanan pasien lebih aman, selain itu juga

sebagai cara berbagi informasi yang diperoleh dari berbagai unit di rumah sakit

(Yahya, 2006).

Bentuk lain dari fungsi pengarahan pimpinan adalah dengan melakukan

briefing tim. Yahya (2006) menyatakan bahwa briefing tim adalah cara sederhana

bagi staf untuk berbagi informasi tentang isu- isu keselamatan pasien yang

potensial dapat terjadi dalam kegiatan sehari- hari. Briefing tim sangat ideal untuk

departemen yang bekerja secara tim, pergantian atau kegiatan tertentu (misalnya

tindakan operasi, rawat inap/ rawat jalan, ambulan).

Briefing tim seharusnya membicarakan topik yang dibicarakan jelas,

misalnya patient safety; terbuka dan adil, tiap- tiap orang dihargai dan memiliki
kesempatan berbicara; singkat, paling lama 15 menit setiap pergantian shift atau

tindakan operasi; difasilitasi dengan baik, perlu pelatihan sebagai fasilitator;

diimbangi dengan kegiatan debriefing pada akhir kerja/pergantian shift. Pemimpin

bertanggung jawab menciptakan suasana kerja yang kondusif untuk bisa berbagi

isu tentang patient safety dalam suatu lingkungan yang terbuka dan perlakuan

yang adil.

2.3.5. Pengendalian

Pengendalian manajemen adalah proses untuk memastikan bahwa

aktivitas sebenarnya sesuai dengan aktivitas yang direncanakan dan berfungsi

untuk menjamin kualitas serta pengevaluasian penampilan kinerja (Callahan &

Ruchlin, 2003). Langkah- langkah yang harus dilakukan dalam

pengendalian/pengontrolan meliputi menetapkan standar dan menetapkan metode

mengukur prestasi kerja; melakukan pengukuran prestasi kerja ; menetapkan

apakah prestasi kerja sesuai dengan standar; mengambil tindakan korektif.

Peralatan atau instrument dipilih untuk mengumpulkan bukti dan untuk

menunjukkan standar yang telah ditetapkan atau tersedia. Audit merupakan

penilaian pekerjaan yang telah dilakukan (Marquis & Huston, 2006).

Terdapat tiga kategori audit keperawatan yaitu; audit struktur berfokus

pada sumber daya manusia; lingkungan perawatan, termasuk fasilitas fisik,

peralatan, organisasi, kebijakan, prosedur, standar, SOP dan rekam medik;

pelanggan (internal maupun eksternal). Audit proses merupakan pengukuran

pelaksanaan pelayanan keperawatan untuk menentukan apakah standar

keperawatan tercapai. Audit hasil adalah audit produk kerja yang dapat berupa
kondisi pasien, kondisi SDM, atau indikator mutu (Marquis & Huston, 2006).

Pengendalian dalam patient safety culture adalah dengan memberikan umpan

balik kepada staf, audit pelaporan terhadap kejadian kesalahan, pengambilan

tindakan korektif/perbaikan baik sebelum atau sesudah terjadi kesalahan

(Callahan & Ruchlin, 2003).

2.4.Landasan Teori Penelitian

Gambar 2.3

Landasan Teori Penelitian

Input Proses Output

Konsep Patient Safety Fungsi Manajemen Penerapan Patient


(Ballard, 2003; Drosler Keperawatan: (Marquis Safety Culture (Reiling,
et al, 2009; ICN, 2002; & Huston, 2015: 2006):
Depkes, 2008; IOM, - Perencanaan - Informed Culture
2000; Runciman, 2010; - Pengorganisasian - Just Culture
JACHO, 2010; WHO, - Pengaturan staf - Reporting Culture
2007) - Pengarahan - Learning Culture
- Pengendalian
Konsep Patient Safety
Culture (Flemming,
(2008); WHO, (2009);
Zohar (2000), Parket et
al (2006); Nieva &
Sora (2004); Walshe &
Boaden (2006);
Hellings (2007).

Budaya Keselamatan
Positif Negatif (Reis,
(2006); Pronovost
(2003)

12 Dimensi Budaya
Keselamatan Pasien
(AHRQ: 2004)
2.5. Kerangka Konsep

Penelitian ini akan mencari hubungan antara variabel independen (variabel

bebas) dan variabel dependen (variabel terikat). Variabel independen adalah

fungsi manajemen kepala ruang yang terdiri dari lima subvariabel yaitu

perencanaan, pengorganisasian, pengaturan staf, pengarahan dan pengendalian.

Variabel dependen meliputi penerapan patient safety culture oleh perawat

pelaksana pada aspek informed culture, reporting culture, just culture dan

learning culture. Variabel counfounding (variabel perancu) yaitu karakteristik

perawat pelaksana meliputi usia, jenis kelamin, masa kerja, tingkat pendidikan,

dan pelatihan yang pernah diikuti. Kerangka konsep penelitian ini dapat dilihat

pada gambar 2.4.

Gambar 2.4
Kerangka Konsep Penelitian

Variabel Independen Variabel Dependen

Manajemen Fungsi Kepala Patient Safety Culture (Reiling,


Ruang: (Marquis & Huston: 2006):
2006) - Keterbukaan (Informed
- Perencanaan Culturei)
- Pengorganisasian - Keadilan (Just Culture)
- Pengaturan staf - Pelaporan (Reporting
- Pengarahan Culture)
- Pengendalian - Budaya Belajar (Learning
Culture)

Karakteristik perawat
pelaksana, meliputi:
Variabel - Usia
Counfounding - Jenis Kelamin
- Masa Kerja
- Pendidikan
- Pelatihan patient
safety yang pernah
d
i
i
k
u
t
i
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian non-eksperimental, dengan

pendekatan kuantitatif dengan metode deskriptif korelasi. Desain Penelitian

berdasarkan pengamatan sewaktu (cross-sectional), dimana variabel independen

dan variabel dependen dikumpulkan pada saat bersamaan.

Variabel bebas (independen) adalah fungsi manajemen kepala ruang yang

meliputi perencanaan, pengorganisasian, pengaturan staf, pengarahan, dan

pengendalian. Variabel tergantung (dependen) adalah penerapan patient safety

culture meliputi keterbukaan (informed culture), keadilan (just culture), pelaporan

(report culture), pembelajaran (learning culture). Variabel perancu

(counfounding) adalah karakteristik perawat di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit

Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh, meliputi usia, jenis kelamin,

pendidikan, masa kerja, dan pelatihan patient safety yang pernah diikuti.

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian


3.2.1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Umum

Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh. Adapun alasan pemilihan rumah sakit

sebagai lokasi penelitian karena rumah sakit ini merupakan rumah sakit tipe

paripurna terbesar milik pemerintah Aceh, mudah dijangkau dan terletak di pusat

kota. Rumah sakit ini merupakan rumah sakit rujukan pasien dari berbagai

kabupaten di provinsi Aceh sehingga menjadi perhatian pemerintah untuk

meningkatkan mutu layanan dan menjaga serta menerapkan patient safety culture.
51

Universitas Sumatera Utara


52

3.2.2. Waktu Penelitian

Waktu penelitian dilaksanakan pada tanggal 28 Desember 2015 sampai

dengan tanggal 6 Januari 2016.

3.3. Populasi dan Sampel

3.3.1. Populasi

Populasi merupakan wilayah generalisasi yang terdiri atas objek/subjek

yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti

untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulan (Sugiyono, 2007). Populasi

penelitian ini adalah seluruh perawat pelaksana yang bekerja di ruang rawat inap

RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh sejumlah 323 perawat pelaksana (data

sekunder bulan Juli 2015). Rincian populasi dapat dilihat pada tabel 3.1.

Tabel 3.1
Sebaran Jumlah Populasi Penelitian
No Subpopulasi Jumlah
1 Ruang Jeumpa 1 18
2 Ruang Jeumpa 2 16
3 Ruang Jeumpa 3 17
4 Ruang Jeumpa 4 14
5 Ruang Mamplam 1 18
6 Ruang Mamplam 2 14
7 Ruang Mamplam 3 15
8 Ruang Geulima 1 15
9 Ruang Geulima 2 17
10 Ruang Seurune 1 15
11 Ruang Seurune 2 15
12 Ruang Seurune 3 14
13 Ruang Rawat Jantung dan Cath Lab 10
14 Pavilium Geurutee 12
15 Ruang PICU 14
53

Tabel 3.1
Lanjutan
No Subpopulasi Jumlah
16 Ruang NICU & Perinatologi 22
17 Ruang Sentral Talasemia 11
18 Ruang ICU Dewasa 23
19 Ruang ICCU 21
20 Ruang HCU 11
21 Ruang ICU Bedah Jantung 10
Jumlah 323

Populasi sampel adalah bagian populasi yang dapat dijadikan responden oleh

peneliti (Sastroasmoro & Ismail, 2008). Populasi sampel pada penelitian ini

berjumlah 323 orang.

3.3.2. Sampel

Sampel merupakan sebagian dari populasi yang nilai/karakteristiknya

dapat diukur dan nantinya dipakai untuk menduga karakteristik populasi (Sabri &

Hastono, 2006). Jumlah sampel minimal yang di ambil sebagai responden,

penulis menggunakan pengambilan sampel dengan menggunakan rumus Slovin,

(1960, dikutip dari Notoatmodjo, 2005) sebagai berikut:

N
n=
1 + N (d)2

Keterangan:
n = Jumlah sampel
N = Jumlah populasi
d = Penyimpangan terhadap populasi atau derajat ketidaktepatan yang
diinginkan (10%).
54

323
n = 2
1  323(0,1)

n =
323
1  323(0,01)

n = 76,35 (dibulatkan menjadi 76 orang perawat)

Jumlah sampel yang peneliti ambil berdasarkan rumus di atas adalah 76

orang perawat pelaksana. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan

menggunakan metode probability sampling dengan teknik simple random

sampling dimana peneliti dalam memilih sampel dengan memberikan kesempatan

yang sama kepada semua anggota populasi untuk ditetapkan sebagai anggota

sampel. Dengan teknik semacam ini maka terpilihnya individu menjadi anggota

sampel benar-benar atas dasar faktor kesempatan (chance), dalam arti memiliki

kesempatan yang sama, bukan karena adanya pertimbangan subjektif dari peneliti.

Untuk menentukan tiap ruangan berapa jumlah perawat yang dijadikan

sampel di hitung dengan menggunakan rumus Proportional Sampling dalam

Umar (2007), sebagai berikut:

Ni
ni = Xn
N
Keterangan :

ni = Besarnya sampel pada tiap strata.

Ni = Besarnya populasi per strata.

n = Besarnya sampel yang diinginkan.

N = Jumlah populasi.
Penentuan jumlah sampel berdasarkan jumlah ruang rawat inap dan jumlah

perawat pelaksana dapat dilihat dalam tabel 3.2 dibawah ini.

Tabel 3.2

Jumlah sampel tiap ruangan di RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh
No. Nama Ruang Jumlah Proportional Jumlah Sampel
Perawat Sampling Penelitian
1 Ruang Jeumpa 1 18 18/323 X 76 4
2 Ruang Jeumpa 2 16 16/323 X 76 4
3 Ruang Jeumpa 3 17 17/323 X 76 4
4 Ruang Jeumpa 4 14 14/323 X 76 3
5 Ruang Mamplam 1 18 18/323 X 76 4
6 Ruang Mamplam 2 14 14/323 X 76 3
7 Ruang Mamplam 3 15 15/323 X 76 4
8 Ruang Geulima 1 15 15/323 X 76 4
9 Ruang Geulima 2 17 17/323 X 76 4
10 Ruang Seurune 1 15 15/323 X 76 4
11 Ruang Seurune 2 15 15/323 X 76 3
12 Ruang Seurune 3 14 14/323 X 76 3
13 Ruang rawat Jantung 10 10/323 X 76 2
14 Pavilium Geurutee 12 12/323 X76 3
15 Ruang PICU 15 15/323 X 76 4
16 Ruang NICU/ Perinatologi. 22 22/323 X 76 5
17 R. Sentral Talasemia. 11 11/323 X 76 3
18 R. ICU Dewasa 23 23/323 X 76 5
19 R. ICCU 21 21/323 X 76 5
20 R. HCU 11 11/323 X 76 3
21 R. high care 10 10/323 X 76 2
Jumlah 323 76

Berdasarkan perhitungan sampel pada tabel 3.2 diatas, menunjukkan

bahwa ruang rawat inap yang jumlah perawat pelaksana lebih banyak, maka

jumlah sampel yang diambil lebih banyak daripada ruangan yang sedikit jumlah

perawatnya. Peneliti menggunakan cara undian dalam menentukan sampel per

ruangan. Langkah-langkahnya adalah sebagai berikut: peneliti mendaftar nama


semua perawat pelaksana dalam satu ruangan; setelah selesai didaftar, kemudian

masing-masing perawat pelaksana diberi nomor, masing-masing dalam satu kertas

kecil-kecil; kertas-kertas kecil yang masing-masing telah diberi nomor tersebut

kemudian digulung atau dilinting; gulungan atau lintingan kertas yang telah berisi

nomor-nomor tersebut, kemudian dimasukkan ke dalam kotak atau kaleng yang

dapat digunakan untuk mengaduk sehingga tempatnya tersusun secara acak

(sembarang); setelah proses pengadukan dianggap sudah merata, kemudian

peneliti atau orang lain yang diawasi peneliti, mengambil lintingan kertas satu per

satu sampai diperoleh sejumlah sampel yang diperlukan per ruangan, hal ini

berlaku untuk semua ruangan yang menjadi populasi dari penelitian.

3.4. Metode Pengumpulan Data

3.4.1. Data Primer.

Metode pengumpulan data yang digunakan adalah survei dengan teknik

wawancara dan penyebaran kuesioner menggunakan pertanyaan tertulis. Data

yang diharapkan adalah hubungan fungsi manajemen kepala ruang dengan

penerapan patient safety culture yang bersumber dari informasi perawat pelaksana

di rumah sakit.

3.4.2. Data Sekunder.

Pengumpulan data sekunder diperoleh dari buku arsip atau profil rumah

sakit, jadwal dinas perawat, jurnal online, media baca dan studi kepustakaan. Data

tersebut mencakup jumlah perawat, gambaran umum rumah sakit, fungsi

manajemen kepala ruang serta peran dan fungsi perawat pelaksana.


57

3.5. Definisi Operasional

Tabel 3.3
Definisi Operasional
N Skala
Variabel Definisi operasional Alat ukur Cara Ukur Hasil ukur
o. ukur
Variabel Independen
1. Fungsi Persepsi perawat pelaksana yang Kuesioner B Diukur dengan skala Dikategorikan berdasakan Ordinal
manajemen bekerja di ruang rawat inap RSUD dr. terdiri dari 40 likert. cut of point, nilai mean
kepala ruang Zainoel Abidin Banda Aceh terhadap pernyataan 5 = Selalu menjadi:
kemampuan kepala ruangan dalam 4 = Sering a. Kurang apabila < 75%
melaksanakan fungsi manajemen 3 = Kadang- kadang b. Baik apabila ≥ 75%
keperawatan terhadap penerapan 2 = Jarang
patient safety culture yang meliputi : 1 = Tidak pernah
perencanaan, pengorganisasian,
pengaturan staf, pengarahan dan
pengendalian.
1.1.Perencanaan Persepsi perawat pelaksana terhadap Kuesioner B Diukur dengan skala Dikategorikan berdasakan Ordinal
kemampuan kepala ruangan dalam terdiri dari 9 likert. cut of point, nilai mean
melaksanakan fungsi perencanaan pernyataan 5 = Selalu menjadi:
yang meliputi : menyusun aturan dan 4 = Sering a. Kurang apabila < 75%
SOP keselamatan pasien, menyusun 3 = Kadang- kadang b. Baik apabila ≥ 75%
rencana kerja dalam penerapan 2 = Jarang
keselamatan pasien. 1 = Tidak pernah

1.2.Pengorganisas Persepsi perawat pelaksana terhadap Kuesioner B Diukur dengan skala Dikategorikan berdasakan Ordinal
ian kemampuan kepala ruangan dalam terdiri dari 7 likert. cut of point, nilai mean
menerapkan fungsi pengorganisasian pernyataan 5 = Selalu menjadi:

Universitas Sumatera Utara


yang meliputi : Membuat struktur 4 = Sering a. Kurang apabila < 75%
organisasi yang sesuai dengan 3 = Kadang- kadang b. Baik apabila ≥ 75%
penerapan patient safety, menetapkan 2 = Jarang
alur dan garis koordinasi pelaporan 1 = Tidak pernah
insiden keselamatan pasien,
menetapkan uraian tugas perawat
dalam penerapan patient safety.

1.3.Pengaturan Persepsi perawat pelaksana terhadap Kuesioner B Diukur dengan skala Dikategorikan berdasakan Ordinal
Staf kepala ruang dalam: menentukan terdiri dari 6 likert. cut of point, nilai mean
perawat yang terlibat dalam penerapan pernyataan 5 = Selalu menjadi:
patient safety, menyiapkan perawat 4 = Sering a. Kurang apabila < 75%
yang berkualitas dalam praktek 3 = Kadang- kadang b. Baik apabila ≥ 75%
pengendalian infeksi melalui pelatihan, 2 = Jarang
membagi tanggung jawab secara jelas 1 = Tidak pernah
dalam penerapan keselamatan pasien.

1.4.Pengarahan Persepsi perawat pelaksana terhadap Kuesioner B Diukur dengan skala Dikategorikan berdasakan Ordinal
kemampuan kepala ruangan dalam terdiri dari 10 likert. cut of point, nilai mean
menerapkan fungsi pengarahan yang pernyataan 5 = Selalu menjadi:
meliputi : memberikan bimbingan 4 = Sering a. Kurang apabila < 75%
kepada perawat mengenai keselamatan 3 = Kadang- kadang b. Baik apabila ≥ 75%
pasien, memotivasi perawat untuk 2 = Jarang
menerapkan patient safety, melakukan 1 = Tidak pernah
supervisi langsung terkait
pengontrolan infeksi, mengadakan
rapat untuk membahas insiden
keselamatan pasien.
1.5.Pengendalian Persepsi perawat pelaksana terhadap Kuesioner B Diukur dengan skala Dikategorikan berdasakan Ordinal
kemampuan kepala ruangan dalam terdiri dari 8 likert. cut of point, nilai mean
menerapkan fungsi pengendalian yang pernyataan 5 = Selalu menjadi:
meliputi : melakukan evaluasi rutin 4 = Sering a. Kurang apabila < 75%
terkait penerapan patient safety, 3 = Kadang- kadang b. Baik apabila ≥ 75%
mengawasi laporan insiden patient 2 = Jarang
safety, menilai asuhan keperawatan 1 = Tidak pernah
terkait keselamatan pasien, memberi
teguran dan sanksi terhadap perawat
yang mengabaikan patient safety.

Variabel Dependen
2. Budaya Perilaku perawat pelaksana (ketua Kuesioner C Diukur dengan skala Dikategorikan berdasakan Ordinal
Keselamatan tim dan perawat pelaksana) yang terdiri dari 42 likert. cut of point, nilai mean
Pasien (Patient bekerja di ruang rawat inap pernyataan 5 = Selalu menjadi:
Safety Culture) RSUD dr. Zainoel Abidin Banda 4 = Sering a. Kurang apabila < 75%
Aceh yang berlandaskan 3 = Kadang- kadang b. Baik apabila ≥ 75%
keterbukaan, keadilan, pelaporan 2 = Jarang
dan budaya belajar. 1 = Tidak pernah
Variabel Perancu (Confounding)
3.1.Usia Jumlah tahun sejak responden lahir Kuesioner A Dengan - Dewasa awal (18 – 40 Ordinal
sampai ulang tahun terakhir mencantumkan tahun)
umur pada titik - Dewasa Madya (41 – 60
titik isian tahun)
- Dewasa lanjut (> 60
tahun)

3.2.Jenis Kelamin Gambaran karakteristik seksual dan Kuesioner A Dengan - Laki- laki Nominal
peran responden memberikan tanda - Wanita
√ pada kolom yang
tersedia

3.3.Tingkat Jenis pendidikan terakhir yang pernah Kuesioner A Dengan - Non Profesional untuk Ordinal
Pendidikan diselesaikan responden sampai memberikan tanda lulusan SPK
mendapatkan ijazah dan gelar √ pada kolom yang - Profesional untuk
akademik tersedia lulusan DIII, S1, S2
Keperawatan
-
3.4.Masa Kerja Jumlah tahun selama responden Kuesioner A Dengan - ≤ 5 tahun Ordinal
menjalankan tugas sebagai perawat di memberikan tanda - 6 – 10 tahun
RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh √ pada kolom yang - > 10 tahun
sampai saat penelitian tersedia
3.5.Pelatihan Gambaran pernah tidaknya responden Kuesioner A Dengan - Pernah Mengikuti Ordinal
patient safety mendapatkan pelatihan selama bekerja memberikan tanda - Tidak Pernah Mengikuti
yang pernah √ pada kolom yang
diikuti tersedia
61

3.6. Metode Pengukuran

Dalam penelitian ini pengukuran diawali dengan memberikan penjelasan

kepada responden penelitian tentang tujuan dan manfaat penelitian, petunjuk dan cara

pengisian, waktu yang diperlukan untuk mengisi kuesioner, serta kesediaan responden

terlibat dalam penelitian untuk mengisi kuesioner. Kuesioner dalam penelitian ini

meliputi:

3.6.1. Kuesioner A

Kuesioner A berisi identitas perawat ruangan terdiri dari usia, jenis kelamin,

masa kerja, tingkat pendidikan, dan pelatihan keselamatan pasien yang pernah diikuti.

3.6.2. Kuesioner B

Kuesioner B berisi fungsi manajemen kepala ruang yang meliputi

perencanaan, pengorganisasian, pengaturan staf, pengarahan dan pengendalian.

Kuesioner tersebut terdiri dari 40 pernyataan.

3.6.3. Kuesioner C

Peneliti menggunakan kuesioner C tentang penerapan budaya keselamatan

pasien (patient safety culture) yang dikeluarkan oleh AHRQ pada Hospital Survey on

Patient Safety Culture (HSPSC). Kuesioner tersebut telah digunakan oleh rumah sakit

- rumah sakit di Amerika untuk mengukur budaya keselamatan pasien di rumah sakit.

Dalam kuesioner tersebut terdapat 42 pernyataan yang mencakup 12 dimensi budaya

keselamatan pasien dari 4 komponen keselamatan pasien yang terdiri dari keterbukaan

(informed culture), keadilan (just culture), pelaporan (report culture), pembelajaran

(learning culture). Kuesioner yang digunakan oleh peneliti ini sudah diterjemahkan ke

dalam bahasa Indonesia dan telah digunakan pada penelitian sebelumnya.

Universitas Sumatera Utara


62

3.7. Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen

Sebelum dilakukan pengambilan data, terhadap kuesioner B dilakukan uji

validitas dengan melibatkan 3 orang ahli (expert). Para expert memberikan koreksi

supaya merubah item kuesioner yang bermakna ganda diuraikan menjadi beberapa

pernyataan baru. Untuk pernyataan yang sulit dipahami atau tidak ada jawaban di

lokasi penelitian disarankan para expert agar dikoreksi atau dihapus. Penilaian ini

didasari pada item kuesioner tidak relevan, tidak jelas, tidak sederhana dan bermakna

sama dengan item yang lain sehingga dari 44 item pernyataan yang dirumuskan dan

diusulkan sebelumnya menjadi 40 pernyataan. Selanjutnya dengan menjumlahkan

persilangan nilai dari expert 1, 2, dan 3, maka didapatkan nilai Content Validity Index

(CVI) sebesar 0,94. Hal ini berarti semua item pernyataan telah valid untuk digunakan

sebagai instrument penelitian.

Untuk mengetahui reliabilitas instrument ini dilakukan perhitungan dengan

menggunakan rumus uji Cronbach Alpha. Kriteria pengujian : Jika r > r tabel, berarti

item pernyataan valid, Jika r ≤ r tabel, berarti item pernyataan adalah tidak valid

(Dahlan, 2011). Pengambilan data untuk uji relibilitas dilakukan pada 30 orang

perawat pelaksana di Rumah Sakit Ibu & Anak Pemerintah Aceh pada tanggal 19- 21

Desember 2015. Hasil uji reliabilitas dengan Cronbach Alpha diperoleh hasil r >

0,822 sehingga kuesioner dikatakan reliabel.

Pada kuesioner C tidak dilakukan uji validitas dan reliabilitas karena sudah

pernah digunakan sebelumnya oleh Hamdani (2007) dengan uji nilai validitas r > r

tabel dengan Pearson Product Moment yaitu r > 0,361, sehingga kuesioner dikatakan

valid pada instrumen penerapan patient safety culture, uji reliabilitas dengan

Cronbach Alpha r > 0,889 sehingga kuesioner dikatakan reliabel.

Universitas Sumatera Utara


63

3.8. Metode Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini menggunakan uji:

3.8.1. Analisis Univariat

Variabel independen dan dependen dianalisis dengan menggunakan statistik

deskriptif. Statistik deskriptif digunakan untuk mendapatkan gambaran tentang

distribusi frekuensi dari variabel fungsi manajemen kepala ruang dan penerapan

patient safety culture serta karakteristik perawat pelaksana yang meliputi usia, jenis

kelamin, tingkat pendidikan, masa kerja dan pelatihan patient safety yang pernah

diikuti.

3.8.2. Analisis Bivariat

Untuk mencari hubungan antara variabel fungsi manajemen kepala ruang

dengan penerapan patient safety culture digunakan uji Chi Square. Uji ini digunakan

untuk mengetahui hubungan fungsi manajemen kepala ruang yang terdiri dari

perencanaan, pengorganisasian, pengaturan staf, pengarahan, dan pengendalian

dengan penerapan patient safety culture. Proses entry data (memasukkan data) ke

dalam tabel secara keseluruhan dan analisa data menggunakan sistem komputerisasi

untuk mendapatkan hasil yaitu ada atau tidak hubungan dua variabel secara signifikan.

3.9. Pertimbangan Etik

Penelitian ini dilakukan setelah mendapatkan izin atau persetujuan dari

Komite Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara,

izin menggunakan lahan penelitian dari rumah sakit dan persetujuan mengisi

kuesioner dari responden. Dengan memperhatikan aspek-aspek etika penelitian yang

meliputi informed consent, anonymity, dan confidentiality.

Universitas Sumatera Utara


64

3.9.1. Informed consent

Sebelum dilakukan pengambilan data, responden diminta untuk

menandatangani lembaran persetujuan bersedia menjadi responden setelah responden

mendapat penjelasan tentang tujuan dan prosedur pelaksanaan penelitian sebagai

bentuk bahwa penelitian ini tidak berdampak bahaya dan mengancam kenyamanan

responden.

3.9.2. Anonymity

Pada lembaran kuesioner tidak dicantumkan nama responden dan data

pribadi lain agar kerahasian responden terjaga. Hal itu merupakan upaya dalam

memberikan jaminan keamanan dan kenyamanan responden yang terlibat dalam

penelitian ini. Nama dan data pribadi lain diganti dengan kode nomor pada lembaran

kuesioner.

3.9.3. Confidentiality

Dalam melakukan penelitian ini, peneliti memberikan jaminan terhadap

kerahasiaan hasil penelitian dan masalah-masalah lain. Menyimpan data dengan baik

semata-mata untuk kepentingan penelitian ini.

Universitas Sumatera Utara


BAB 4

HASIL
PENELITIAN

4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Rumah Sakit Umum dr. Zainoel Abidin Banda Aceh merupakan rumah

sakit umum terbesar yang berada di ibukota Provinsi Aceh yaitu Kota Banda

Aceh. Rumah sakit milik pemerintah Aceh ini beralamat di Jalan Teungku Daud

Beureuh nomor 108, Lampriet, Kota Banda Aceh. Rumah Sakit Umum Daerah dr.

Zainoel Abidin Banda Aceh merupakan rumah sakit dengan tipe paripurna

pendidikan. Jumlah tenaga perawat pelaksana yang bekerja di ruang rawat inap

berkisar 323 orang.

Visi Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh adalah

terkemuka dalam pelayanan dan pendidikan yang bertaraf internasional sedangkan

misi Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh adalah

meningkatkan kompetensi sumber daya manusia (SDM) melalui pendidikan,

penelitian dan pengembangan ilmu kedokteran, keperawatan dan ilmu kesehatan

lainnya serta pengembangan sistem dan prosedur pelayanan administrasi yang

bertaraf internasional, memberikan pelayanan kesehatan individu yang

menyenangkan dan mampu memberikan kepuasan terhadap pelanggan,

mendukung upaya pemerintah Aceh dalam rangka meningkatkan derajat

kesehatan masyarakat untuk mencapai Millenium Development Goals yang di

aplikasikan melalui pencapaian Human Development Index dan menerapkan

prinsip efektifitas dalam memberikan pelayanan kesehatan dan pengelolaan

keuangan.

65
Universitas Sumatera Utara
66

4.2. Data Demografi Perawat Pelaksana di Rumah Sakit

Pengumpulan data yang dilakukan dari tanggal 28 Desember 2015 sampai

dengan 6 Januari 2016 di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda

Aceh, tentang karakteristik demografi perawat pelaksana diperoleh data seperti

pada tabel 4.1 berikut:

Tabel 4.1
Distribusi Frekuensi Karakteristik Perawat Pelaksana di Rumah Sakit Umum
Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh (n=75)
Karakteristik Perawat f %
N
Pelaksana
1. Usia :
Dewasa Awal (18 – 40 tahun) 72 96
Dewasa Madya (41 – 60 tahun) 3 4
Dewasa Lanjut (> 60 tahun) 0 0
Total 75 100
2. Jenis kelamin
Laki- Laki 18 24,0
Perempuan 57 76,0
Total 75 100
3. Masa kerja
≤ 5 tahun 43 57,3
6- 10 tahun 23 30,7
> 10 tahun 9 12,0
Total 75 100
4. Pendidikan
SPK 0 0
Diploma III Keperawatan 39 52
S1 Keperawatan 10 13,3
Ners 26 34,7
S2 Keperawatan 0 0
Total 75 100
Pernah Mengikuti Training
5.
Keselamatan Pasien :
Pernah 42 56,0
Tidak Pernah 33 44,0
Total 75 100

Universitas Sumatera Utara


67

Berdasarkan tabel 4.1 tergambar hasil penelitian tentang data demografi

perawat pelaksana di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.

Jumlah perawat pelaksana yang diukur dan menjadi responden adalah 75 orang.

Karakteristik usia perawat pelaksana paling banyak berada dalam kategori

dewasa awal, yaitu 18- 40 tahun dengan rata- rata umur 30, 52 tahun dengan jenis

kelamin didominasi oleh perempuan dibandingkan laki- laki. Lama bekerja di

Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh terbesar jumlahnya

adalah ≤ 5 tahun dengan rata- rata lama kerja sebesar 5,57 tahun dengan tingkat

pendidikan rata- rata diploma III Keperawatan. Perawat pelaksana yang pernah

mengikuti training keselamatan pasien lebih banyak dibandingkan dengan perawat

yang belum pernah mengikutinya.

4.3. Fungsi Manajemen Kepala Ruang

Hasil penelitian tentang gambaran fungsi manajemen kepala ruang dapat

dilihat secara jelas dari tabel 4.2 berikut ini yaitu:

Tabel 4.2
Gambaran fungsi manajemen kepala ruang di Rumah Sakit Umum Daerah dr.
Zainoel Abidin Banda Aceh (n=75)
No Variabel f %
1 Fungsi Manajemen Kepala
Ruang
a. Baik 69 92
b. Kurang 6 8
Total 75 100
2 Fungsi perencanaan
c. Baik 68 90,7
d. Kurang 7 9,3
Total 75 100
3 Fungsi pengorganisasian
a. Baik 60 80,0
b. Kurang 15 20,0
Total 75 100

Universitas Sumatera Utara


68

Tabel 4.2
Lanjutan
No Variabel f %
4 Fungsi pengaturan staf
a. Baik 65 86,7
b. Kurang 10 13,3
Total 75 100
5 Fungsi pengarahan
a. Baik 70 93,3
b. Kurang 5 6,7
Total 75 100
6 Fungsi Pengendalian
a. Baik 65 86,7
b. Kurang 10 13,3
Total 75 100

Dari tabel 4.2 didapatkan hasil bahwa variabel fungsi manajemen kepala

ruang dipersepsikan baik oleh 92% responden. Manajemen fungsi kepala ruang

mempunyai sub- sub variabel yang terdiri dari lima variabel meliputi fungsi

perencanaan, pengorganisasian, pengaturan staf, pengarahan, dan pengendalian.

Perawat yang memiliki persepsi baik terhadap fungsi perencanaan kepala ruang

sebanyak 90,7%. Fungsi pengorganisasian dipersepsikan baik sebesar 80%, fungsi

pengaturan staf baik sebanyak 86,7% perawat, sebanyak 93,3% perawat

mempersepsikan baik terhadap fungsi pengarahan kepala ruang dan 86% perawat

menilai baik fungsi pengendalian kepala ruang.

4.4. Penerapan Patient Safety Culture

Hasil penelitian tentang gambaran penerapan patient safety culture di

Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh dapat dilihat pada

tabel 4.3 yaitu:

Universitas Sumatera Utara


69

Tabel 4.3

Gambaran penerapan patient safety culture di Rumah Sakit Umum Daerah dr.
Zainoel Abidin Banda Aceh (n=75)
Penerapan Patient Safety
N f %
Culture
a. Baik 54 72
b. Kurang 21 28
Total 75 100

Pada tabel 4.3 menunjukkan bahwa perawat yang mempersepsikan

penerapan patient safety culture kurang lebih rendah dibandingkan perawat yang

mempersepsikan penerapan patient safety culture baik yaitu sebesar 28%.

4.5. Hubungan Fungsi Manajemen Kepala Ruang Dengan Penerapan

Patient Safety Culture

Dari hasil analisa data tentang hubungan fungsi manajemen kepala ruang

dengan penerapan patient safety culture, maka didapatkan hasil seperti pada tabel

di bawah ini yaitu:

Tabel 4.4

Hubungan fungsi manajemen kepala ruang dengan penerapan patient safety


culture di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh (n=75)
p-
Fungsi Patient Safety Culture
No Value
Manajemen
Baik Kurang
f e % f e %
a. Baik 15 19,3 20,0 54 49,7 72,0 0,000
b. Kurang 6 1,7 8,0 0 4,3 0,0
Total 21 21,0 28,0 54 54,0 72,0

Berdasarkan tabel 4.4 diatas dapat dilihat bahwa nilai p-value < 0,05 yaitu

0,000 sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa ada hubungan yang sangat

signifikan antara fungsi manajemen kepala ruang dengan penerapan patient safety

Universitas Sumatera Utara


culture di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh. Berikut

ini dijelaskan hasil penelitian tentang hubungan fungsi manajemen kepala ruang

yang terdiri dari perencanaan, pengorganisasian, pengaturan staf, pengarahan, dan

pengendalian dengan penerapan patient safety culture yaitu:

4.5.1. Hubungan fungsi perencanaan kepala ruang dengan penerapan patient

safety culture

Gambaran data hasil penelitian hubungan fungsi perencanaan kepala ruang

dengan penerapan patient safety culture di Rumah Sakit Umum Daerah dr.

Zainoel Abidin Banda Aceh dapat dilihat pada tabel 4.5

Tabel 4.5

Hubungan fungsi perencanaan kepala ruang dengan penerapan patient safety


culture di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh (n=75)
p-
Fungsi Patient Safety Culture
No Value
Perencanaan
Baik Kurang
f e % f e %
a. Baik 15 19,0 20,0 53 49,0 70,7
0,002
b. Kurang 6 2,0 8,0 1 5,0 1,3
Total 21 21 28,0 54 54 72

Hasil nilai statistik pada tabel 4.5 menunjukkan nilai p-value < 0,05, yaitu

0,002 yang berarti bahwa ada hubungan yang signifikan antara perencanaan

kepala ruang dengan penerapan patient safety culture di Rumah Sakit Umum

Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.


4.5.2. Hubungan fungsi pengorganisasian kepala ruang dengan penerapan patient

safety culture

Berdasarkan uji chi square diperoleh data hubungan fungsi perencanaan

kepala ruang dengan penerapan patient safety culture seperti tabel berikut:

Tabel 4.6

Hubungan fungsi pengorganisasian kepala ruang dengan penerapan patient


safety culture di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh
(n=75)
P-
Fungsi Patient Safety Culture
No Value
Pengorganisasian
Baik Kurang
f e % f e %
a. Baik 13 16,8 17,3 47 43,2 62,7
b. Kurang 8 4,2 10,7 7 10,8 9,3
0,023
Total 21 21 28,0 54 54 72

Pada tabel 4.6 menunjukkan nilai analisa p-value sebesar 0,023 sehingga

dapat diartikan bahwa ada hubungan yang signifikan antara fungsi

pengorganisasian kepala ruang dengan penerapan patient safety culture.

4.5.3. Hubungan fungsi pengaturan staf kepala ruang dengan penerapan patient

safety culture

Berdasarkan uji chi square yang digunakan menunjukkan hubungan fungsi

pengaturan staf kepala ruang dengan penerapan patient safety culture di Rumah

Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh dapat dilihat pada tabel 4.7

berikut:
Tabel 4.7

Hubungan fungsi pengaturan staf kepala ruang dengan penerapan patient safety
culture di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh (n=75)
Fungsi P-
Patient Safety Culture
No Pengaturan Value
Staf Baik Kurang
f e % f e %
a. Baik 15 18,2 20,0 50 46,8 66,7 0,025
Kurang 6 2,8 8,0 4 7,2 5,3
Total 21 21 28,0 54 54,0 72,0

Berdasarkan tabel 4.7 diatas dapat dilihat bahwa nilai p-value sebesar

0,025, sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa ada hubungan antara fungsi

pengaturan staf kepala ruang dengan penerapan patient safety culture di Rumah

Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.

4.5.4. Hubungan fungsi pengarahan kepala ruang dengan penerapan patient

safety culture

Pada analisa bivariat dengan menggunakan uji chi square ditemukan nilai

hubungan fungsi pengarahan kepala ruang dengan penerapan patient safety

culture secara jelas sebagai berikut:

Tabel 4.8

Hubungan fungsi pengarahan kepala ruang dengan penerapan patient safety


culture di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh (n=75)
P-
Fungsi Patient Safety Culture
No Value
Pengarahan
Baik Kurang
f e % f e %
a. Baik 18 19,6 24,0 52 50,4 69,3 0,130
b Kurang 3 1,4 4,0 2 3,6 2,7
Total 21 21,0 28,0 54 54,0 72,0
Analisa statistik pada tabel 4.8 menunjukkan nilai p-value sebesar 0,130

sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara

fungsi pengarahan kepala ruang dengan penerapan patient safety culture di

Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.

4.5.5. Hubungan fungsi pengendalian kepala ruang dengan penerapan patient

safety culture

Melihat hasil penelitian tentang hubungan fungsi pengendalian kepala

ruang dengan penerapan patient safety culture maka tergambar pada hasil analisa

data sebagai berikut:

Tabel 4.9

Hubungan fungsi pengendalian kepala ruang dengan penerapan patient safety


culture di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh (n=75)
P-
Fungsi Patient Safety Culture
No Value
Pengendalian
Baik Kurang
f e % f e %
a. Baik 12 18,2 16,0 53 46,8 70,7 0,000
b. Kurang 9 2,8 12,0 1 7,2 1,3
Total 21 21,0 28,0 54 54,0 75

Berdasarkan analisa tabel 4.9 dapat dilihat nilai p < 0,05 yaitu 0,000

sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa ada hubungan yang sangat signifikan

antara fungsi pengendalian kepala ruang dengan penerapan patient safety culture

di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.


BAB 5

PEMBAHASAN

Dalam bab ini dibahas hasil penelitian tentang variabel fungsi manajemen

kepala ruang dan hubungannya dengan variabel penerapan patient safety culture

secara jelas. Dalam penelitian ini subjek yang diteliti adalah perawat pelaksana di

Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Umum dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.

Karakteristik demografi perawat pelaksana yang diukur adalah usia, jenis kelamin,

lama bekerja, tingkat pendidikan, dan pernah mengikuti pelatihan tentang

keselamatan pasien.

Rekapitulasi data karakteristik perawat pelaksana menunjukkan bahwa

perawt pelaksana di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh

mayoritas berusia dibawah 40 tahun, didominasi oleh perempuan daripada laki-

laki, mayoritas berpendidikan diploma III Keperawatan, lebih banyak perawat

yang pernah mengikuti training tentang keselamatan pasien dibandingkan dengan

yang tidak pernah mengikuti pelatihan.

5.1. Gambaran Manajemen Fungsi Kepala Ruang

Kepala ruang adalah seseorang yang diberikan tanggung jawab dan

wewenang dalam mengatur dan mengendalikan kegiatan pelayanan keperawatan

diruang rawat. Berhasil atau tidaknya pelaksanaan asuhan keperawatan sangat

tergantung pada kepemimpinan seorang kepala ruangan, peran kepala ruangan

diantaranya adalah seorang pemimpin di ruangan yang mengendalikan dan

74

Universitas Sumatera Utara


75

menilai pelaksanaan asuhan keperawatan yang telah ditentukan, kebenaran dan

ketepatan program pengembangan pelayanan keperawatan, mengatur dan

mengkoordinasi seluruh kegiatan pelayanan diruang rawat melalui kerjasama

dengan petugas lain (Kartono, 2008).

Depkes (1999) menyebutkan bahwa kepala ruang lebih bertanggung jawab

pada hal-hal yang bersifat manajerial seperti perencanaan jumlah tenaga,

pengembangan pelayanan keperawatan, ketepatan penggunaan SOP, penentuan

dan pemantauan kebutuhan alat. Firth-Cozens (2002) dalam Wagner et al (2009)

mengemukakan kepala ruang memiliki peran yang kritis dalam mendukung safety

culture dan kepemimpinan efektif telah menunjukkan arti penting dalam

menciptakan lingkungan yang positif bagi patient safety.

Fungsi manajemen merupakan suatu siklus untuk untuk mencapai tujuan

yang ditetapkan oleh organisasi. Fungsi manajemen meliputi fungsi perencanaan,

pengorganisasian, pengaturan staf, pengarahan dan pengendalian (Gillies, 1996;

Marquis & Huston, 2003). Kepala ruang sebagai lower manager diharapkan

menjalankan seluruh fungsi manajemennya dengan baik sehingga lingkungan dan

kondisi kerja akan mendukung pelayanan keperawatan dalam mencapai

keselamatan bagi pasien.

Hasil penelitian mengindikasikan bahwa perawat lebih banyak

mempersepsikan kepala ruang telah menjalankan fungsi manajemen dengan baik.

Hal ini merupakan modal positif bagi kepala ruang dalam memimpin dan

menggerakkan perawat pelaksana untuk senantiasa memberikan asuhan

keperawatan yang menjamin keselamatan pasien. Sejalan dengan penelitian Dewi

Universitas Sumatera Utara


76

(2011) yang menyatakan bahwa lebih banyak perawat yang mempersepsikan fungsi

manajemen kepala ruang baik di banding perawat yang mempersepsikan kurang.

Persepsi seseorang dapat mempengaruhi perilakunya. Seseorang yang

memberikan penilaian atau memiliki persepsi baik terhadap orang lain akan

memiliki kecenderungan untuk mengikuti arahan dari orang yang dipersepsikan

baik tersebut. Selain itu, Mustofa (2008) menyatakan bahwa sikap dan

kepribadian perawat akan menentukan kinerjanya. Penelitian lain menyatakan

bahwa kepala ruang harus mempunyai kompetensi individual yang baik,

diantaranya adalah kepribadian (Chase 2010). Sari (2012) juga mengemukakan

bahwa kepribadian kepala ruang mempunyai hubungan yang bermakna dengan

pelaksanaan peran dan fungsi kepala ruang dalam penerapan keselamatan

perawat.

Kepala ruang sebagai pemimpin merupakan pemegang kunci perubahan.

Cahyono (2008) menyatakan bahwa pemimpin memiliki tangung jawab dalam

memimpin dan menggerakkan seluruh komponen organisasi menuju perubahan.

Selain itu, Depkes (2008) menyatakan bahwa untuk membangun kesadaran akan

nilai keselamatan pasien, diperlukan pemimpin dalam menciptakan budaya

terbuka dan adil yang merupakan langkah pertama dalam menerapkan

keselamatan pasien rumah sakit. Pemimpin harus mempunyai integritas, prinsip,

komitmen, dan kejujuran dalam menjalankan peran dan fungsinya (Dolan &

Sellwood, 2008). Pemimpin dalam mempertahankan patient safety culture

haruslah berani mengambil keputusan yang tidak populer dan mengikuti suara hati

(Welch, 2006).

Universitas Sumatera Utara


77

Pendapat lain Burns (2009) menyatakan kepala ruang sebagai manajer lini

harus memahami perilaku orang-orang tertentu agar dapat mempengaruhinya

untuk bekerja sesuai dengan yang diinginkan rumah sakit. Kepala ruang dituntut

untuk merencanakan, mengorganisir, memimpin dan mengevaluasi sarana dan

prasarana yang tersedia untuk dapat memberikan asuhan keperawatan yang

seefektif dan se-efisien mungkin bagi individu, keluarga, dan masyarakat (Huber,

2010).

Menurut Rutherford, Moen dan Taylor (2009) semakin tinggi kemampuan

yang dimiliki kepala ruangan, makin baik penyelenggaraan fungsi manajemennya.

Allan et al. dalam Hyrkas (2008) menyebutkan pengelolaan kepala ruang sebagai

komponen sumber daya manusia keperawatan akan berpengaruh terhadap

peningkatan mutu pelayanan keperawatan.

Pendapat lain dikemukakan oleh Reeleder, et al. (2006) yang mengatakan

bahwa motivasi, kemampuan, disiplin, performa, ketrampilan dan soft-skill dari

perawat sangat tergantung pada gaya kepemimpinan pemimpin. Pemimpin

memegang peranan kunci dalam menentukan prioritas kerja. Gaya kepemimpinan

yang tepat akan mempengaruhi kinerja perawat. Menurut Swansburg (1990),

semakin sesuai gaya kepemimpinan kepala ruang rawat, maka semakin baik

pelaksanaan tugas perawat diruang rawat, karena mereka menginginkan pemimpin

yang menghormati martabat, otonomi dan harga diri.

Menurut Bass dalam Yulk (2009) dalam situasi atau budaya apapun

kepemimpinan yang dianggap efektif adalah kepemimpinan transformasional.

Kepemimpinan transformasional menunjuk kepada proses membangun komitmen

Universitas Sumatera Utara


78

terhadap sasaran organisasi dan memberi kepercayaan kepada para pengikut untuk

mencapai sasaran-sasaran organisasi. Para pengikut merasakan kepercayaan,

kekaguman, kesetiaan dan penghormatan terhadap pemimpin dan mereka

termotivasi untuk melakukan lebih daripada yang semula diharapkan dari mereka.

Pemimpin mengubah dan memotivasi para pengikut dengan membuat para

pengikut lebih menyadari bahwa hasil suatu pekerjaan atau tugas adalah sangat

penting, mendorong para pengikut untuk lebih mementingkan organisasi atau tim

daripada kepentingan diri sendiri, dan mengaktifkan kebutuhan-kebutuhan para

pengikut pada yang lebih tinggi (Yulk, 1994).

5.2. Gambaran Penerapan Patient Safety Culture

Keperawatan sebagai bagian integral dari pelayanan kesehatan, berperan

penting dalam meningkatkan mutu pelayanan yang memberikan jaminan terhadap

upaya keselamatan pasien. IOM (2001) menyatakan bahwa perawat memiliki

peran yang besar dalam upaya menjamin keselamatan pasien. Komoditas utama

dalam pelayanan kesehatan di rumah sakit adalah pelayanan keperawatan. Hal ini

bukan mengesampingkan pelayanan medis, namun mayoritas perawatan yang

diperlukan oleh pasien adalah asuhan keperawatan (Ballard, 2003). Sehingga

upaya keselamatan pasien tidak dapat lepas dari peran perawat dalam memberikan

pelayanan keperawatan yang berkualitas.

Menurut Blegen (2006) budaya keselamatan pasien adalah persepsi yang

dibagikan di antara anggota organisasi ditujukan untuk melindungi pasien dari

kesalahan tata laksana maupun cidera akibat intervensi. Persepsi ini meliputi

Universitas Sumatera Utara


79

kumpulan norma, standar profesi, kebijakan, komunikasi dan tanggung jawab

dalam keselamatan pasien. Budaya ini kemudian mempengaruhi keyakinan dan

tindakan individu dalam memberikan pelayanan.

Patient safety culture merupakan suatu hal yang penting karena

membangun program keselamatan pasien merupakan suatu cara untuk

membangun program keselamatan pasien secara keseluruhan, karena apabila kita

lebih fokus pada patient safety culture maka akan lebih menghasilkan hasil

keselamatan pasien yang lebih apabila dibandingkan hanya memfokuskan pada

programnya saja (Fleming, 2006). Membangun kesadaran akan nilai keselamatan

pasien, menciptakan kepemimpinan dan budaya yang terbuka dan adil merupakan

langkah pertama dalam menerapkan keselamatan pasien rumah sakit (Depkes,

2008). Walshe dan Boaden (2006) menyatakan bahwa kesalahan medis sangat

jarang disebabkan oleh faktor kesalahan manusia secara individu, namun lebih

banyak disebabkan karena kesalahan sistem di rumah sakit, yang mengakibatkan

rantai- rantai dalam sistem terputus.

Budaya organisasi yang mengutamakan keselamatan pasien dalam

memberikan pelayanan kesehatan akan menciptakan budaya keselamatan pasien

yang tinggi di suatu rumah sakit. Drennan (1992) mengemukakan bahwa

pembentukan budaya organisasi dipengaruhi oleh pemimpin, sejarah dan tradisi

organisasi, teknologi, produk dan layanan, industri dan persaingan, pelanggan,

ekspektasi organisasi, sistem informasi dan kendali, aturan-aturan dan lingkungan

organisasi, prosedur dan kebijaksanaan, sistem penggajian, organisasi dan sumber

daya, pendidikan dan pelatihan, sasaran serta nilai-nilai yang diperlukan dalam

Universitas Sumatera Utara


80

melakukan penanaman dan sosialisai budaya organisasi. Henriksen (2006) juga

berpendapat bahwa pelatihan yang tepat dapat meningkatkan kematangan budaya

keselamatan pasien di sebuah rumah sakit.

Dari hasil penelitian, perawat yang mempersepsikan penerapan patient

safety culture baik lebih banyak dari perawat yang mempersepsikan penerapan

patient safety culture kurang yaitu sebesar 72%. Hasil ini sesuai dengan

penelitian Dewi (2011) yang menunjukkan persentase perawat perawat pelaksana

dalam menerapkan keselamatan pasien lebih banyak yang mempersepsikan baik

dibanding dengan perawat yang mempersepsikan kurang. Menurut O Toole yang

dikutip Jianhong (2004) safety culture di pelayanan kesehatan diartikan sebagai

keyakinan, nilai perilaku yang dikaitkan dengan keselamatan pasien yang secara

tidak sadar dianut oleh anggota organisasi termasuk perawat pelaksana yang

secara langsung terlibat dalam memberikan asuhan keperawatan yang aman bagi

pasien.

Hasil penelitian yang menunjukkan gambaran perawat pelaksana dalam

menerapkan patient safety culture ini perlu mendapatkan perhatian serius dari

pihak manajemen rumah sakit. Meskipun persentase perawat yang

mempersepsikan dirinya menerapkan patient safety culture secara baik lebih

tinggi daripada perawat yang mempersepsikan dirinya kurang dalam menerapkan

patient safety culture, namun masih ada 28% yang menilai dirinya menerapkan

patient safety culture kurang. Asumsi peneliti jumlah ini relatif banyak, hal ini

menandakan bahwa belum seluruh perawat pelaksana menerapkan patient safety

culture dengan baik.

Universitas Sumatera Utara


81

Karakteristik perawat juga cenderung memberi pengaruh terhadap persepsi

perawat dalam menerapkan patient safety culture. Dilihat dari usia, pada

penelitian ini usia didominasi oleh usia <40 tahun yaitu sebanyak Sebanyak 96%.

usia perawat ini merupakan usia produktif dan berada pada tahap membangun

karir. Seperti yang diutarakan oleh Shawky (2010) yang menyatakan bahwa usia

produktif bagi perawat pelaksana berkisar antara 19-59 tahun. Hal ini didukung

oleh penelitian Anugrahini (2010) yang menyatakan bahwa ada hubungan yang

bermakna antara usia dengan kepatuhan perawat dalam menerapkan pedoman

patient safety. Hasil penelitian ini juga diperkuat oleh Setiowati (2010) yang

menunjukkan usia berhubungan dengan perilaku perawat dalam menerapkan

budaya keselamatan pasien.

Hasil penelitian Dewi (2011) bertolak belakang dengan pendapat diatas

yang mengungkapkan bahwa dari hasil analisis hubungan antara usia dengan

penerapan keselamatan pasien menggunakan chi square dengan derajat

kepercayaan 95% didapatkan p 0,572, yang berarti tidak ada hubungan yang

bermakna antara usia dengan penerapan keselamatan pasien. Sejalan dengan

penelitian Burdahyat (2009) dan Warouw (2009) yang menyatakan usia tidak

memiliki hubungan yang signifikan dengan kinerja perawat pelaksana.

Robbins dan Judge (2008) menyatakan bahwa usia 20-40 tahun

merupakan tahap dewasa muda. Tahap dewasa muda merupakan tahap saat

seseorang memiliki perkembangan puncak dari kondisi fisik. Tahap dewasa muda

ini merupakan tahap seseorang mulai memiliki karir dengan jelas. Usia memiliki

hubungan dengan produktivitas, tingkat absensi, dan kepuasan kerja individu

Universitas Sumatera Utara


82

tersebut. Produktivitas seseorang akan menurun dengan semakin bertambahnya

usia, karena dengan bertambahnya usia maka terjadi penurunan kecepatan,

kecekatan, kekuatan, koordinasi dengan berjalannya waktu dan adanya kebosanan

yang berlarut- larut serta kurangnya rangsangan intelektual. Dengan rata- rata usia

perawat pelaksana sebesar 30,52 tahun dimana usia ini merupakan tahap usia

dewasa awal dengan produktivitas yang tinggi sehingga perawat mampu

memaksimalkannya dengan melakukan penerapan patient safety culture dengan

baik.

Dilihat dari karakteristik jenis kelamin responden sebagian besar berjenis

kelamin perempuan yaitu sebesar 76%. Hal ini sesuai dengan persepsi umum

masyarakat bahwa pekerjaan perawat lebih identik dengan pekerjaan wanita.

Pekerjaan sebagai perawat membutuhkan ketelatenan, kesabaran dan sikap kasih

sayang yang lebih bisa ditunjukkan oleh perempuan. Kondisi ini didukung oleh

kenyataan bahwa sebagian besar mahasiswa keperawatan baik tingkat diploma

maupun sarjana lebih didominasi oleh perempuan.

Rolinson dan Kish (2001) menyatakan bahwa jenis kelamin perawat

didominasi oleh perempuan, karena dalam sejarahnya keperawatan muncul

sebagai peran care taking (pemberi perawatan) secara tradisional di dalam

keluarga dan masyarakatnya. Kozier, Erb, Berman, dan Synder (2004) juga

memberikan pendapat yang sama bahwa keperawatan muncul sebagai profesi

yang sejarahnya berasal dari perspektif perempuan. Peran tradisional perempuan

sebagai istri, ibu, saudara perempuan selalu dilibatkan dalam perawatan keluarga.

Perempuan sebagai gender yang tergantung dan tunduk merasa terpanggil untuk

Universitas Sumatera Utara


83

memberikan perawatan di masyarakat. Perawatan yang diberikan berhubungan

dengan kenyamanan, sehingga dalam peran perawat adalah memberikan

humanistic caring, pemeliharaan, kenyamanan dan dukungan. Ollenburg dan

Moore (2002) menambahkan bahwa perawat adalah pekerjaan sosial yang

diperankan oleh wanita yang memiliki komitmen terhadap pelayanan dan

perawatan pasien.

Menurut Burdahyat (2009) tidak ada hubungan yang bermakna antara jenis

kelamin dengan kinerja perawat pelaksana. Hasil yang sama juga disampaikan

oleh Dewi (2011) yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna

antara jenis kelamin dengan penerapan keselamatan pasien. Gibson, Ivancevich,

dan Donelly (1997) mengatakan bahwa laki- laki dan wanita memiliki

kemampuan yang sama dalam kemampuan belajar, daya ingat, kemampuan

penalaran, kreativitas, dan kecerdasan. Pada masyarakat yang memberikan

perlakuan dan kesempatan antara laki- laki dan wanita secara sama, laki- laki dan

wanita lebih sama dalam hal perilaku di tempat kerja. Hal ini sesuai dengan

kondisi kerja di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh yang

tidak membedakan antara perawat laki- laki maupun wanita, sehingga peneliti

berasumsi bahwa persepsi yang baik yang didapatkan dari penelitian ini serta

perilaku dalam penerapan patient safety culture tidak berbeda jauh antara jenis

kelamin laki- laki dan wanita.

Karakteristik masa kerja responden menunjukkan bahwa perawat memiliki

masa kerja < 10 tahun lebih banyak dibandingkan perawat dengan masa kerja di >

10 tahun. Menurut Robbins (2008) Senioritas dan produktivitas pekerjaan

Universitas Sumatera Utara


84

berkaitan secara positif, semakin lama bekerja semakin terampil dan

berpengalaman dalam melaksanakan pekerjaannya. Potter (2005) mengungkapkan

bahwa pengalaman dan kesempatan pekerjaan akan dapat meningkatkan konsep

individu, pemecahan masalah dan keterampilan motorik.

Menurut Setiowati (2010) masa kerja berhubungan positif dengan

penerapan budaya keselamatan pasien. Quinones, Ford dan Teachout (2006) juga

mengungkapkan bahwa masa kerja akan memberikan pengalaman kerja yang

lebih banyak pada seseorang. Pengalaman kerja berhubungan dengan kinerja

seseorang. Hal ini didukung oleh Marpaung (2005) yang menyatakan bahwa

terdapat hubungan bermakna antara masa kerja perawat pelaksana dengan budaya

kerja. Pendapat tersebut bertolak belakang dengan penelitian Hikmah (2008)

bahwa tidak terdapat hubungan antara masa kerja perawat di RSUP Fatmawati

dengan persepsi keselamatan pasien.

Disamping itu, Martini (2004) menyebutkan bahwa semakin lama masa

kerja maka kecakapan akan lebih baik karena sudah menyesuaikan diri dengan

pekerjaannya. Masa kerja akan memberikan pengalaman kerja yang lebih banyak

pada seseorang (Setiowati, 2010). Dengan adanya pengalaman kerja dan

penyesuaian diri dengan rutinitas pekerjaan yang dimiliki membuat individu lebih

mudah untuk menyelesaikan pekerjaan dengan baik, serta terhindar dari

kesalahan-kesalahan yang tidak diharapkan. Selain itu, pengalaman kerja dan

penyesuaian diri dengan lingkungan pekerjaan juga akan memberikan kesiapan

bagi individu dalam memberikan pelayanan kesehatan terutama yang berkaitan

dengan keselamatan pasien.

Universitas Sumatera Utara


85

Tingkat pendidikan perawat sebagian besar diploma III Keperawatan. Hal

ini sesuai dengan gambaran kondisi ketenagaan perawat di RSUDZA yang

sebagian besar memiliki latar belakang pendidikan diploma III Keperawatan.

Tenaga perawat pelaksana dengan pendidikan S1 Keperawatan dan NERS

jumlahnya masih terbatas. Hasil penelitian ini sejalan dengan pendapat Soeroso

(2003) yang menyatakan bahwa rumah sakit di kota besar, baik rumah sakit milik

pemerintah maupun swasta, banyak perawat yang berpendidikan akademi dan

sarjana bahkan pascasarjana.

Perawat yang pernah mengikuti pelatihan hanya sebanyak 56%. Hal ini

menandakan belum semua perawat pelaksana mengikuti pelatihan yang berkaitan

dengan keselamatan pasien. Latar belakang pelatihan yang pernah diikuti perawat

merupakan hal penting yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan SDM (sumber

Daya Manusia). Walshe dan Boaden (2006) menyatakan bahwa pelatihan sebagai

komponen dalam membangun keselamatan pasien. Iskandar (2014)

mengungkapkan bahwa salah satu faktor penyebab penurunan pelaporan insiden

keselamatan pasien di rumah sakit X adalah karena perawat belum mengikuti

pelatihan tentang keselamatan pasien.

Pembentukan budaya bukan merupakan suatu hal yang mudah dan cepat.

Budaya merupakan karakteristik yang abadi yang dapat dilihat dari luar organisasi

yang terefleksikan dari perilaku individu dalam organisasi (Wiegman & Tanden,

2007). Menurut peneliti, rumah sakit perlu untuk terus meningkatkan pendidikan

perawat, memberikan pelatihan- pelatihan tentang keselamatan pasien sehingga

akan terciptanya perawat dengan budaya keselamatan yang baik. Peneliti juga

Universitas Sumatera Utara


86

berasumsi bahwa secara umum perawat pelaksana belum seluruhnya menerapkan

patient safety culture dengan baik dalam asuhan keperawatan. Walaupun Rumah

Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh baru saja selesai menghadapi

akreditasi rumah sakit dan keselamatan pasien termasuk dalam indikator mutu

pelayanan keperawatan serta merupakan salah satu standar akreditasi rumah sakit,

akan tetapi hal itu belum cukup dan perlu usaha yang lebih serius dari manajemen

rumah sakit dalam upaya meningkatkan penerapan patient safety culture dengan

baik oleh perawat pelaksana.

5.3. Hubungan Fungsi Manajemen dengan Penerapan Patient Safety Culture

Parker et al (2006) dalam Fleming (2008) mengatakan bahwa patient

safety culture dipengaruhi oleh perubahan keorganisasian, seperti perubahan

kepemimpinan atau pengenalan tentang sistem baru. Budaya keselamatan

dipengaruhi oleh sistem, praktek dan proses organisasi. Sebagai contoh, suatu

organisasi dengan suatu budaya keselamatan lemah akan membatasi sistem

keselamatan. Suatu organisasi yang memiliki budaya positif, maka mempunyai

banyak orang yang tepat untuk mempromosikan patient safety.

Kepala ruang sebagai lower manager dalam keperawatan merupakan

manajer keperawatan yang langsung berhubungan dengan kegiatan pelayanan

kesehatan pada pasien di rawat inap. Kepala ruang harus mampu menjalankan

fungsi manajemen sehingga tujuan organisasi dalam hal ini rumah sakit dapat

tercapai. Manajemen keperawatan merupakan rangkaian fungsi dan aktivitas yang

secara simultan saling berhubungan dalam menyelesaikan pekerjaan melalui

Universitas Sumatera Utara


87

anggota staf keperawatan untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi pelayanan

keperawatan yang berkualitas (Gillies, 1996; Marquis & Huston, 2003).

Fungsi manajemen merupakan suatu siklus untuk mencapai tujuan yang

ditetapkan oleh organisasi. Fungsi manajemen meliputi fungsi perencanaan,

pengorganisasian, pengaturan staf, pengarahan, dan pengendalian (Gillies, 1996;

Marquis & Huston, 2003). Manajemen keperawatan harus mampu menjalankan

seluruh fungsi manajemen sehingga lingkungan dan kondisi kerja akan

mendukung pelayanan keperawatan dalam meningkatkan patient safety culture.

Kepala ruang sebagai seorang perawat memiliki wewenang dalam

mengatur dan mengendalikan kegiatan perawat pelaksana di ruang rawat serta

memiliki tanggung jawab lebih besar dibandingkan perawat pelaksana dalam

meyakinkan perawatan yang aman bagi pasien (Gillies, 2000). Kepala ruang

merupakan manajer lini pertama memiliki peran kritis dalam mendukung budaya

keselamatan pasien dengan kepemimpinan efektif dalam menciptakan lingkungan

yang positif bagi keselamatan pasien.

Dari penelitian ini, didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan yang

bermakna antara fungsi manajemen kepala ruang dengan penerapan patient safety

culture (p value= 0,000). Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat Handiyani

(2004) yang menyatakan bahwa adanya hubungan yang bermakna antara peran

dan fungsi manajemen dengan faktor keberhasilan pengendalian infeksi

nosokomial dengan presentase fungsi pengarahan mencapai 90,45 % (baik).

Nivalinda dkk (2013) juga menyatakan bahwa kepala ruang dapat

mempengaruhi strategi dan upaya menggerakkan perawat dalam lingkup

Universitas Sumatera Utara


88

wewenangnya untuk bersama- sama menerapkan budaya keselamatan pasien.

Senada dengan hasil penelitian Rosyada (2014) yang mengungkapkan bahwa

kepala ruang memiliki kemampuan dalam mengatur pekerjaan timnya walaupun

dengan beban kerja tinggi, dan dapat mengantisipasi Kejadian yang Tidak

Diharapkan (KTD) agar tidak terjadi berulang kali.

Penelitian yang dilakukan Nyoman (2002) menyatakan bahwa terdapat

hubungan kepemimpinan efektif pada enam sub variabel kepemimpinan efektif

(pengetahuan, kesadaran diri, komunikasi, energi, tujuan, dan tindakan dengan

keberhasilan pelaksanaan pencegahan infeksi nasokomial khususnya tindakan

mencuci tangan dan perawatan infus di RSUP Persahabatan Jakarta. Mulyadi

(2005) juga mengungkapkan bahwa terdapat hubungan kepemimpinan efektif

kepala ruang dengan kinerja perawat pelaksana dalam pengendalian mutu

pelayanan keperawatan di ruang rawat inap RSKM Cilegon. Hal ini semakin

diperkuat oleh Handiyani (2003) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan

peran dan fungsi kepala ruang dengan keberhasilan kegiatan upaya pengendalian

infeksi nosokomial di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta.

Menurut Anugrahini (2010) ada hubungan bermakna antara kepemimpinan

kepala ruang dengan kepatuhan perawat dalam menerapkan pedoman patient

safety di RSAB Harapan Kita Jakarta. Pendapat ini dikuatkan oleh Perwitasari

(2013) yang menyatakan bahwa ada hubungan kepemimpinan dengan penerapan

budaya patient safety di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Daerah

Panembahan Senopati Bantul, kepemimpinan berkontribusi terhadap budaya

patient safety di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Daerah

Universitas Sumatera Utara


89

Panembahan Senopati Bantul sebesar 22,9%. Hasil penelitian Pratiwi (2014) juga

mengungkapkan bahwa kepemimpinan efektif kepala ruang tergolong tinggi

dalam penerapan budaya keselamatan pasien.

Singer (2005) mengemukakan bahwa budaya keselamatan yang kuat

membutuhkan kepemimpinan yang mencakup komponen seperti mampu

menetapkan dan mengkomunikasikan visi keselamatan dengan jelas, menghargai

dan memberdayakan staf untuk mencapai visi. Komponen lainnya yaitu terlibat

aktif dalam upaya peningkatan keselamatan pasien, menjadi panutan bagi

bawahan, fokus pada masalah sistem bukan pada kesalahan individu, dan terus

melakukan perbaikan sistem. Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa

fungsi manajemen kepala ruang telah berjalan dengan baik sehingga memberikan

pengaruh yang positif bagi penerapan patient safety culture di Rumah Sakit

Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.

5.4. Hubungan fungsi perencanaan dengan penerapan patient safety culture

Perencanaan yang dilakukan oleh kepala ruang berkaitan dengan

penerapan patient safety culture dalam penelitian ini antara lain menyusun tujuan

pelayanan keperawatan yang mendukung keselamatan pasien, membuat pedoman

untuk mengidentifikasi pasien dengan benar dalam mencegah terjadinya

kesalahan pada pasien yang memiliki nama yang sama, menetapkan SOP untuk

komunikasi efektif baik komunikasi verbal atau instruksi melalui telepon.

Penerapan patient safety culture menunjukkan perbedaan jumlah prosentase

antara perawat yang memiliki persepsi baik dan kurang. Perawat yang

Universitas Sumatera Utara


90

mempersepsikan fungsi perencanaan baik lebih besar persentasenya dalam

menerapkan patient safety culture secara baik dibandingkan perawat dengan

persepsi fungsi perencanaan yang kurang.

Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara

fungsi perencanaan dengan penerapan patient safety culture (p value= 0,002). Hal

ini sesuai dengan penelitian Dewi (2011) yang menunjukkan bahwa ada hubungan

fungsi perencanaan dengan penerapan keselamatan pasien, sejalan dengan

penelitian Fenny (2007) yang menyatakan bahwa ada hubungan antara

perencanaan dengan kinerja perawat pelaksana. Namun berbeda dengan hasil

yang didapatkan dari penelitian Ratnasih (2001) yang mengemukakan bahwa

tidak ada hubungan antara fungsi perencanaan kepala ruang dengan kinerja

perawat pelaksana. Pada penelitian Ratnasih kualitas kinerja perawat pelaksana

tidak dipengaruhi oleh kemampuan kepala ruang dalam melaksanakan fungsi

perencanaan. Warsito (2006) juga menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara

persepsi perawat pelaksana tentang fungsi perencanaan kepala ruang dengan

pelaksanaan manajemen asuhan keperawatan di ruang rawat inap RSJD Dr.

Amino Gondohutomo Semarang.

Wardhani (2013) mengemukakan hasil penelitiannya yang menyatakan

terdapat hubungan antara penentuan tujuan yang dimiliki oleh kepala ruangan

dengan penerapan budaya keselamatan pasien (p=0,010). Hasil ini sesuai dengan

penelitian Setiowati (2010) yang menyatakan bahwa ada hubungan positif antara

penentuan tujuan head nurse dengan penerapan budaya keselamatan pasien.

Universitas Sumatera Utara


91

Penentuan tujuan termasuk dalam fungsi manajerial pada perencanaan.

Perencanaan yang matang akan memberi petunjuk dan mempermudah dalam

melaksanakan suatu kegiatan dan merupakan pola pikir yang dapat menentukan

keberhasilan suatu kegiatan dan titik tolak dari kegiatan pelaksanaan selanjutnya

(Marquis & Huston, 2006). Callahan & Ruchlin (2003) mengemukakan bahwa

perencanaan dalam budaya keselamatan pasien oleh seorang pemimpin

keperawatan meliputi pengembangan visi ke depan untuk memberikan pedoman

kegiaatan saat ini dan juga untuk mencapai visi tersebut.

Kepala ruang rawat inap Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin

Banda Aceh telah membangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien melalui

penentuan tujuan khusus dan berusaha agar semua bawahannya paham dengan

tujuan tersebut. Tujuan yang dirumuskan ditetapkan bersama dengan bawahannya,

sehingga tujuan semua pihak dapat terakomodasi. Kemampuan kepala ruangan

dalam menentukan tujuan khusus dalam keberhasilan program budaya

keselamatan pasien harus terus dimaksimalkan agar upaya keselamatan pasien

dapat menjadi budaya yang dapat diterima dan dijalankan oleh semua pihak,

khususnya perawat pelaksana yang memiliki hubungan langsung dengan pasien

dalam proses pemberian pelayanannya.

Perencanaan yang baik dapat menjadi pedoman dasar dalam mencapai

tujuan. Perencanaan yang dilakukan oleh kepala ruang juga menjadi acuan bagi

perawat pelaksana dalam bekerja. Gillies (1996) serta Marquis dan Huston (2003)

menyatakan bahwa perencanaan akan memberikan pandangan kedepan mengenai

hal yang akan dikerjakan dalam mencapai tujuan. Perencanaan ditujukan untuk

Universitas Sumatera Utara


92

menjawab apa yang akan dilakukan, siapa yang melakukan, bagaimana, kapan,

dan dimana hal tersebut akan dilaksanakan.

Penelitian Marpaung (2005) menyatakan terdapat hubungan yang

bermakna antara penentuan tujuan kepala ruang dengan budaya kerja (p

value=0,05). Handiyani (2003) juga menegaskan bahwa ada hubungan antara

pelaksanaan fungsi perencanaan kepala ruang dengan keberhasilan upaya kegiatan

pengendalian infeksi nasokomial di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta,

dimana kepala ruang yang menjalankan peran perencanaan dengan baik akan

meningkatkan keberhasilan pengendalian infeksi nasokomial sebesar 8,9 kali

dibandingkan kepala ruang yang kurang baik melaksanakan fungsi perencanaan.

Sedangkan mulyadi (2005) memberikan pernyataan yang berlawanan bahwa tidak

terdapat hubungan antara penentuan tujuan kepala ruang dengan kinerja perawat

pelaksana dalam pengendalian mutu pelayanan keperawatan di ruang rawat inap

RSKM Cilegon.

Teori diatas memaparkan hal yang memperkuat dan juga bisa bertolak

belakang dengan hasil penelitian. Kepala ruang perlu meningkatkan

kemampuannya dalam menentukan perencanaan dalam keberhasilan program

patient safety culture di ruang rawat masing- masing. Hal ini dilakukan dengan

pembuatan poster kecil tentang pencanangan program patient safety culture di

dinding nurse station.

Universitas Sumatera Utara


93

5.5. Hubungan Fungsi Pengorganisasian dengan Penerapan Patient Safety

Culture

Fungsi pengorganisasian kepala ruang berkaitan dengan penerapan patient

safety culture pada penelitian ini antara lain menetapkan struktur organisasi,

perawat, uraian tugas, alur dan garis koordinasi pelaporan insiden sesuai metode

asuhan yang digunakan dalam patient safety culture. Hasil penelitian

mengindikasikan persepsi perawat yang semakin baik terhadap fungsi

pengorganisasian kepala ruang akan meningkatkan penerapan patient safety

culture. Pengorganisasian adalah pengelompokan aktivitas- aktivitas untuk tujuan

mencapai objektif (Swansburg, 1993). Pada tahap pengorganisasian ini hubungan

ditetapkan, prosedur diuraikan, perlengkapan disiapkan dan tugas diberikan

(Marquis & Huston, 2003).

Menurut Callahan dan Ruchlin (2003) pengorganisasian dalam budaya

keselamatan pasien yang dilakukan oleh pemimpin adalah menentukan orang-

orang yang terlibat dalam kegiatan ini. Pengorganisasian dalam keselamatan

pasien adalah dengan tim keselamatan di rumah sakit (Yahya, 2006). Fungsi

manajemen pada pengorganisasian adalah pengetahuan tentang struktur

organisasi, termasuk uraian tugas staf dan departemen (Marquis dan Huston,

2000).

Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara

fungsi pengorganisasian dengan penerapan patient safety culture (p value= 0,023).

Fungsi pengorganisasian yang baik akan memberikan kejelasan mengenai peran,

tugas dan tanggung jawab setiap perawat pelaksana untuk mewujudkan

Universitas Sumatera Utara


94

keselamatan pasien dalam pelayanan asuhan keperawatan. Pengorganisasian yang

baik juga memungkinkan setiap staf untuk berperan serta secara aktif dalam

kegiatan.

Makinen, Kivimaki, Elovainio, Virtanen dan Bond (2003) menyatakan

bahwa fungsi pengorganisasian merupakan faktor yang berpengaruh dengan

kepuasan kerja perawat di beberapa rumah sakit Finlandia. Maryam (2009)

mengungkapkan bahwa terdapat hubungan antara penerapan patient safety dengan

kepuasan perawat pelaksana.

Kepala ruang dalam menjalankan fungsi pengorganisasiannya dibutuhkan

koordinasi yang baik dengan perawat yang dipimpinnya dalam usaha

membudayakan patient safety. Diperlukan rentang kendali dan garis komando

yang jelas dengan membentuk tim keselamatan pasien di ruang rawat masing-

masing yang menangani pelaporan insiden keselamatan pasien dan pengendalian

infeksi nasokomial. Kepala ruang juga sangat perlu untuk meningkatkan

koordinasi antar unit dan lintas bagian dalam upaya untuk mengorganisir dan

meningkatkan pelaksanaan asuhan keperawatan yang berbasis pada keselamatan

pasien.

5.6. Hubungan Fungsi Pengaturan Staf dengan Penerapan Patient Safety

Culture

Menurut Marquis & Huston (2003), manajer merekrut, memilih

memberikan orientasi dan meningkatkan perkembangan individu untuk mencapai

tujuan organisasi. Peran kepala ruang dalam fungsi pengaturan staf adalah

Universitas Sumatera Utara


95

mengatur setiap sumber daya dalam staf keperawatan untuk dapat memenuhi

tugas dan tanggung jawab sesuai peran dan fungsinya dalam mencapai tujuan

asuhan keperawatan yang bermutu.

Hasil penelitian didapatkan perawat dengan persepsi baik terhadap fungsi

pengaturan staf menunjukkan persentase lebih tinggi dalam menerapkan patient

safety culture dibandingkan dengan perawat yang berpersepsi kurang. Fungsi

pengaturan staf yang mendapat persentase baik lebih tinggi dalam penelitian ini

antara lain yaitu menentukan perawat yang terlibat dalam kegiatan penerapan

keselamatan pasien, membagi tanggung jawab secara jelas, menyiapkan perawat

yang berkualitas dalam melakukan praktek pengendalian infeksi melalui pelatihan

dan menugaskan perawat untuk mengikuti pelatihan mengenai keselamatan

pasien. Hal ini sesuai dengan pendapat Marquis dan Huston (2003) yang

menyatakan bahwa fungsi kepala ruang dalam pengaturan staf antara lain adalah

memberikan orientasi dan meningkatkan perkembangan individu untuk mencapai

tujuan organisasi.

Hasil penelitian menunjukkan hubungan yang bermakna antara fungsi

pengaturan staf kepala ruang dengan penerapan patient safety culture (p value=

0,025). Hasil ini sesuai dengan pendapat Aiken, et al. (2002) yang menyebutkan

bahwa terdapat hubungan langsung antara staffing perawat dan dampaknya

terhadap keselamatan pasien, hasil, dan kepuasan perawat profesional di rumah

sakit. Hasil penelitian Dewi (2011) juga mengungkapkan hal yang sama bahwa

terdapat hubungan yang signifikan antara pengaturan staf dengan penerapan

keselamatan pasien (p=0,008; α 0,05).

Universitas Sumatera Utara


96

Disamping itu, Gotlib (2003) berpendapat bahwa jam kerja perawat yang

panjang dapat menimbulkan kelelahan, menurunkan produktivitas dan

meningkatkan resiko terjadinya kesalahan yang dapat membahayakan pasien.

Penelitian Trinkoff (dalam trinkoff et al, 2007) didapatkan bahwa jumlah perawat

yang tidak adekuat dapat meningkatkan kejadian infeksi, perdarahan dan

kesalahan dalam pemberian obat. Penelitian Prawitasari (2009) menemukan hasil

yang serupa yaitu terdapat hubungan antara beban kerja perawat pelaksana dengan

keselamatan pasien.

Menurut Neuhauser (2011) hambatan- hambatan dalam pengaturan staf

diantaranya kemangkiran/absen dari perawat yaitu merupakan kehilangan waktu

yang berakibat kerugian secara kualitas dan ekonomi bagi instansi. Turn over ini

sangat mengganggu pelaksanaan pelayanan keperawatan yang akan

mempengaruhi kualitas pelayanan yang diberikan. Sedangkan hambatan yang

sering didapatkan pada perawat adalah kejenuhan (Burn out), yaitu keadaan

dimana perawat merasa dirinya semakin kurang kemampuannya, beban kerjanya

yang berlebihan sehingga menjadi kurang produktif. Dengan ketenagaan yang

kurang dan formasi yang tidak sesuai di setiap ruangan maka akan mempengaruhi

terhadap penurunan kualitas penerapan keselamatan pasien. Sabarguna (2011) hal

penting yang harus diperhatikan adalah upaya upaya untuk memelihara hubungan

yang kontinu dan serasi terhadap karyawan.

Penting bagi kepala ruang untuk menentukan perawat yang bertanggung

jawab terhadap keselamatan pasien yang terdiri dari perawat penanggung jawab

insiden patient safety, pelaporan insiden patient safety dan pengendalian infeksi

Universitas Sumatera Utara


97

nasokomial. Kepala ruang juga diharapkan mempersiapkan perawat yang mampu

mengaplikasikan patient safety dengan baik melalui peran aktif dalam setiap

kegiatan patient safety baik pelatihan- pelatihan, perlombaan maupun

pengaplikasiannya di masing- masing ruang rawat inap.

5.7. Hubungan fungsi pengarahan dengan penerapan patient safety culture

Hasil penelitian didapatkan persentase penerapan patient safety culture

pada perawat yang mempersepsikan fungsi pengarahan kurang lebih rendah

dibanding perawat dengan persepsi baik terhadap fungsi ini. Pengarahan yang

diberikan oleh kepala ruang secara baik akan memberikan dampak positif bagi

kinerja perawat pelaksana dalam menerapkan patient safety culture. Pengarahan

juga akan meningkatkan motivasi perawat pelaksana dalam memberikan asuhan

keperawatan yang menjamin keselamatan pasien. Bimbingan dan penghargaan

yang diberikan oleh kepala ruang dalam bentuk reinforcement positif seperti

memberikan pujian bagi staf yang bekerja dengan baik akan menimbulkan rasa

penghargaan pada staf dan motivasi untuk mempertahankan perilaku baiknya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna

antara fungsi pengarahan kepala ruang dengan penerapan patient safety culture (p

value= 0,130). Yahya (2006) menyebutkan bahwa komunikasi merupakan salah

satu bentuk fungsi pengarahan dalam fungsi manajemen keperawatan. Hasil

penelitian ini sesuai dengan penelitian Mulyadi (2005) yang menyatakan bahwa

tidak terdapat hubungan antara komunikasi dengan kinerja perawat pelaksana

dalam mengendalikan mutu pelayanan keperawatan di ruang rawat inap RSKM

Universitas Sumatera Utara


98

Cilegon. Handiyani (2003) semakin memperkuat hasil penelitian dengan

mengatakan bahwa tidak terdapat hubungan bermakna antara peran informasional

kepala ruang dengan keberhasilan kegiatan upaya pengendalian infeksi

nasokomial di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta.

Wardhani (2013) juga menegaskan bahwa hasil uji hubungan antara

komunikasi dengan penerapan budaya keselamatan pasien menunjukkan bahwa

tidak terdapat hubungan antara komunikasi yang dimiliki oleh kepala ruangan

dengan penerapan budaya keselamatan pasien (p=0,532, p>0,05). Penelian lain

oleh Hidayati (2015) juga mengungkapkan bahwa pengaruh motivasi perawat dan

bidan secara parsial tidak signifikan terhadap penerapan budaya patient safety di

RSIA Aisyiyah Klaten.

Hasil penelitian berbeda diungkapkan oleh Warouw (2009) yang

menunjukkan bahwa motivasi yang diberikan oleh kepala ruang memiliki

hubungan dengan kinerja perawat pelaksana. Senada dengan pendapat tersebut,

Dewi (2011) juga menyatakan terdapat hubungan yang bermakna antara fungsi

pengarahan kepala ruang dengan penerapan keselamatan pasien (p=0,008; α 0,05).

Penelitian Marpaung (2005) turut menegaskan pendapat tersebut yang

menyatakan bahwa terdapat hubungan bermakna antara komunikasi kepala ruang

dengan budaya kerja perawat pelaksana (p value < 0,05).

Gillies (1994) menjelaskan bahwa pengarahan yang baik dan tepat akan

menghasilkan pemahaman dalam melakukan pekerjaan yang diperintahkan.

Perawat dapat memahami pekerjaannya, sehingga pekerjaan yang dilakukan tidak

tumpang tindih dan dapat terselesaikan sesuai tujuan yang diharapkan. Marquis

Universitas Sumatera Utara


99

dan Huston (2003) pengarahan akan menciptakan suasana yang memotivasi dan

memfasilitasi kerjasama.

Hasil penelitian lain dari Hidayat (2009) didapatkan hasil bahwa 80,9%

sentuhan motivasi dari kepala ruangan membuat suasana kerja lebih

menyenangkan. Senada dengan pendapat tersebut, Nivalinda (2013) menyebutkan

bahwa terdapat pengaruh antara motivasi perawat terhadap penerapan budaya

keselamatan pasien. Ariyani (2008) juga menyatakan ada hubungan yang

signifikan antara motivasi dengan sikap mendukung penerapan program patient

safety di instalasi perawatan intensif RSUD dr. Moewardi Surakarta. Nurnalia

(2012) ikut mempertegas pendapat sebelumnya dengan mengungkapkan hasil

penelitiannya yang menunjukkan bahwa mentoring keperawatan mempunyai

pengaruh yang signifikan terhadap penerapan patient safety culture.

Selain itu, meskipun beberapa rujukan menyebutkan bahwa pengarahan

merupakan salah satu hal yang harus diperhatikan dalam pengembangan dan

penerapan budaya keselamatan pasien, namun masih banyak faktor lain yang tidak

menjadi variabel dalam penelitian ini juga memiliki peranan yang sama. Hal ini

sesuai dengan teori Steven & John Jermier (1978) dalam Mulyadi (2005), bahwa

kadang-kadang kepemimpinan tidaklah menjadi sesuatu yang penting dalam

keberhasilan suatu proses. Hal ini dikarenakan adanya faktor Leadership subtitues

atau Leadership neutralizer, berupa variabel individu, pekerjaan, dan organisasi.

Menurut Burke dan Litwin, selain faktor kepemimpinan, faktor lain yang

menentukan keberhasilan penerapan budaya keselamatan pasien, antara lain faktor

lingkungan eksternal, struktur dan sistem, pengetahuan dan keterampilan individu,

Universitas Sumatera Utara


100

lingkungan kerja, kebutuhan dan motivasi (Mulia, 2010). Pendapat tersebut

dikuatkan oleh Buerhaus et al (2004) yang mengemukakan bahwa faktor individu

atau petugas sangat berpengaruh terhadap budaya keselamatan pasien seperti,

beban kerja, tingkat stress, tingkat kelelahan, perasaan takut disalahkan, perasaan

malu, dan keterlibatan keluarga/pasien.

Selain itu, Simamora (2004) mengemukakan bahwa salah satu faktor

peningkatan kinerja adalah melalui pelatihan dimana pelatihan tersebut

merupakan proses pembelajaran yang melibatkan perolehan keahlian, konsep atau

sikap. Nilasari (2010) membuktikannya melalui hasil penelitian yang

menunjukkan bahwa pelatihan dapat meningkatkan keterampilan klinik dalam

penerapan keselamatan pasien. Sejalan dengan pendapat sebelumnya, Dewi

(2012) mengatakan bahwa pelatihan timbang terima pasien yang diberikan kepada

perawat pelaksana berpengaruh terhadap penerapan keselamatan pasien di Rumah

Sakit Umum Daerah Raden Mattaher Jambi. Sesuai dengan hasil penelitian di

Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin dimana persentase perawat yang

pernah mengikuti pelatihan keselamatan pasien lebih tinggi dibandingkan dengan

perawat yang tidak pernah mengikutinya. Hal ini tentunya akan memberikan

pengaruh yang positif bagi penerapan patient safety culture.

Disamping itu, Swanburg (2000) menyatakan bahwa masalah dapat diatasi

dengan komunikasi, mendengarkan secara aktif. Setiowati (2010) mengemukakan

bahwa kemampuan berkomunikasi yang dimiliki oleh kepala ruang berkekuatan

lemah dengan penerapan budaya keselamatan pasien oleh perawat pelaksana.

Sejalan dengan hasil penelitian Mayasari (2009) bahwa sebesar 54,1% kepala

Universitas Sumatera Utara


101

ruangan tidak melakukan bimbingan kepada perawat dalam melaksanakan asuhan

keperawatan. Hal ini dapat terjadi ketika kepala ruang belum mempunyai

kemampuan memberikan pengarahan dengan baik, kurang mampu memotivasi

dan memberikan reward (reinforcement positif) kepada perawat pelaksana yang

melakukan asuhan keperawatan yang bebas cedera kepada pasien, kepala ruang

yang terkadang masih belum mampu menjadi pendengar yang baik, dan terkadang

menyinggung perasaan bawahannya dalam briefing keperawatan. Hal ini seperti

yang diungkapkan oleh Iskandar (2014) yang menyebutkan bahwa faktor

penyebab penurunan pelaporan insiden keselamatan pasien di rumah sakit X salah

satunya adalah karena tidak adanya reward.

Dari paparan diatas, terdapat pendapat yang mendukung dan bertolak

belakang dengan hasil penelitian sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa

tingginya persepsi baik oleh perawat pelaksana terhadap fungsi pengarahan kepala

ruang bisa saja memberikan hasil uji hubungan yang berbanding terbalik yaitu

tidak berhubungan secara signifikan antara fungsi pengarahan kepala ruang

dengan penerapan patient safety culure. Peneliti berasumsi bahwa persepsi

perawat terhadap fungsi pengarahan tidak semata- mata karena pengarahan yang

diberikan oleh kepala ruang, namun ada faktor- faktor lain yang memberikan

pengaruh seperti kecakapan individu perawat itu sendiri, pengalaman kerja, dan

kesadaran diri perawat terhadap peran dan tanggung jawabnya dalam upaya

keselamatan pasien. Pelatihan keselamatan pasien juga memberikan pengaruh

terhadap persepsi perawat dalam membangun kesadaran diri untuk selalu

mengedepankan keselamatan pasien.

Universitas Sumatera Utara


102

5.8. Hubungan fungsi pengendalian dengan penerapan patient safety culture

Pengarahan yang sudah dikerjakan oleh kepala ruangan harus dievaluasi .

pengendalian adalah fungsi yang terus menerus dari manajemen keperawatan

yang terjadi selama perencanaan, pengorganisasian, ketenagaan, pengarahan

(Swansburg, 2000). Menurut Marquis & Huston (2006) langkah- langkah yang

harus dilakukan dalam pengendalian/pengontrolan meliputi menetapkan standar

dan menetapkan metode mengukur prestasi kerja; melakukan pengukuran prestasi

kerja ; menetapkan apakah prestasi kerja sesuai dengan standar; mengambil

tindakan korektif. Peralatan atau instrument dipilih untuk mengumpulkan bukti

dan untuk menunjukkan standar yang telah ditetapkan atau tersedia. Audit

merupakan penilaian pekerjaan yang telah dilakukan.

Hasil penelitian didapatkan lebih banyak perawat yang mempersepsikan

kepala ruang telah menjalankan fungsi pengendalian dengan baik. Penerapan

patient safety culture pada perawat dengan persepsi fungsi pengendalian kurang

baik lebih rendah persentasenya dibandingkan dengan perawat yang

mempersepsikan baik. Semakin baik persepsi perawat terhadap fungsi

pengendalian, maka semakin baik pula perawat dalam menerapkan patient safety

culture. Fungsi pengendalian yang dilakukan dengan baik oleh kepala ruang akan

dapat memberikan kepastian bahwa perawat pelaksana dibawah

kepemimpinannya telah menerapkan patient safety culture dalam asuhan

keperawatan sesuai dengan pedoman.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang sangat

bermakna antara fungsi pengendalian kepala ruang dengan penerapan patient

Universitas Sumatera Utara


103

safety culture (p value= 0,000). Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat

Notoatmodjo (2003) yang menyatakan bahwa pengendalian yang dikerjakan

dengan baik dapat menjamin segala sesuatu dilaksanakan sesuai instruksi yang

telah diberikan serta prinsip- prinsip yang telah diberlakukan. Hal ini semakin

diperkuat oleh Dewi (2011) yang menyatakan bahwa hasil penelitiannya

menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara fungsi pengendalian

dengan penerapan keselamatan pasien (p=0,008; α 0,05). Berbeda dengan hasil

penelitian Warsito (2006) yang mengemukakan bahwa tidak ada hubungan antara

persepsi perawat pelaksana tentang fungsi pengendalian kepala ruang dengan

pelaksanaan manajemen asuhan keperawatan di ruang rawat inap RSJD Dr.

Amino Gondohutomo Semarang.

Seorang kepala ruangan akan merasa sulit mempertahankan mutu asuhan

keperawatan tanpa melakukan pengawasan atau pengendalian, karena masalah-

masalah yang terjadi di unit keperawatan tidak seluruhnya dapat diketahui oleh

kepala ruangan melalui informasi yang diberikan oleh staf keperawatan yang

mungkin sangat terbatas tanpa melakukan penilaian kinerja dan supervisi

keperawatan, untuk dapat menjalankan peran dan fungsinya dengan baik.

Seorang kepala ruangan harus juga memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk

melakukan pengawasan tersebut.

Depkes RI (1999) mengatakan bahwa salah satu wewenang dari kepala

ruang rawat di pelayanan kesehatan adalah mengawasi, mengendalikan dan

menilai pendayagunaan tenaga keperawatan, peralatan dan mutu asuhan

keperawatan di ruang rawat. Kepala ruangan punya tanggung jawab yang besar

Universitas Sumatera Utara


104

terhadap kegiatan keperawatan di ruangan. Menurut Bimo (2007), bahwa kepala

ruangan merupakan ujung tombak penentu tercapai atau tidaknya tujuan

pelayanan kesehatan.

Menurut Muninjaya (1999) salah satu bagian dari fungsi pengendalian

adalah supervisi. Di rumah sakit yang termasuk salah satu manager keperawatan

yang melakukan fungsi supervisi adalah kepala ruangan. Husin (2009), juga

menyatakan bahwa salah satu tugas kepala ruangan yaitu melaksanakan fungsi

pengawasan atau supervisi. Penelitian yang dilakukan oleh Wibowo (2013)

menunjukkan bahwa pelaksanaan supervisi yang kurang baik mengakibatkan

53,2% perawat memiliki kinerja tidak baik dan supervisi yang dilakukan dengan

baik mengakibatkan 73,6% perawat memiliki kinerja baik.

Kepala ruang rawat inap Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin

Banda Aceh perlu untuk meningkatkan pengendalian terhadap perawat pelaksana

dengan melakukan penilaian secara berkala terhadap kinerja perawat dalam

menerapkan asuhan keperawatan yang aman dan bebas cedera bagi pasien.

Peneliti berasumsi bahwa hasil penelitian ikut dipengaruhi oleh pengendalian dan

pengawasan yang rutin dan ketat dilakukan oleh Komite Mutu dan Keselamatan

Pasien Rumah Sakit (KMKP-RS) dan pengendalian yang gencar dilakukan oleh

tim Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Rumah Sakit (PPI-RS). Pengendalian

yang dilakukan bersama- sama ini memberikan hasil uji korelasi yang sangat

positif antara pengendalian dengan penerapan patient safety culture di Rumah

Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.

Universitas Sumatera Utara


BAB 6

KESIMPULAN DAN
SARAN

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian tentang hubungan fungsi manajemen kepala

ruang dengan penerapan patient safety culture di Rumah Sakit Umum Daerah

dr.Zainoel Abidin Banda Aceh dapat disimpulkan bahwa mayoritas perawat

mempersepsikan baik terhadap fungsi manajemen yang dilakukan oleh kepala

ruang terhadap fungsi perencanaan, pengorganisasian, pengaturan staf,

pengarahan, dan pengendalian. Gambaran perawat pelaksana yang

mempersepsikan baik dalam menerapkan patient safety culture lebih tinggi

persentasenya dibandingkan dengan perawat yang mempersepsikan kurang.

Hasil analisa uji statistik penelitian menemukan bahwa antara fungsi

manajemen kepala ruang dengan penerapan patient safety culture menunjukkan

ada hubungan yang bermakna pada fungsi perencanaan, pengorganisasian,

pengaturan staf dan pengendalian, sedangkan hasil analisa statistik pada fungsi

pengarahan menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna. Secara umum,

penelitian ini menunjukkan hasil bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara

fungsi manajemen kepala ruang dengan penerapan patient safety culture.

6.2. Saran

6.2.1. Teoritis

Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan pengembangan keilmuan dalam

administrasi keperawatan, meningkatkan keilmuan tentang peran perawat dalam

105
Universitas Sumatera Utara
106

keberhasilan program penerapan patient safety culture. Patient safety culture

supaya dapat dimasukkan menjadi bagian kurikulum administrasi keperawatan

atau pada manajemen keperawatan.

6.2.2. Bagi Rumah Sakit

Manajemen Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh

diharapkan agar menggerakkan seluruh kepala ruang untuk lebih meningkatkan

fungsi pengarahan dan pengendalian dalam upaya membudayakan patient safety

culture sehingga akan terciptanya keselamatan pasien yang akhirnya dapat

menjamin mutu pelayanan asuhan keperawatan. Bidang Keperawatan diharapkan

dapat membina pengetahuan, keterampilan dan kemampuan perawat dengan

menyediakan dan memfasilitasi adanya program pelatihan secara kontinyu tentang

budaya keselamatan pasien di rumah sakit.

6.2.3. Bagi Perawat

Perawat pelaksana diharapkan untuk melakukan asuhan keperawatan yang aman

bagi pasien, meningkatkan pengetahuan tentang keselamatan pasien melalui

pelatihan dan mengupayakan untuk meningkatkan pendidikan keperawatan

berlanjut serta membudayakan patient safety di unit ruang rawat masing- masing.

6.2.4. Bagi Peneliti Berikutnya

Hasil penelitian ini dapat memperluas pengetahuan dan pengalaman serta dapat

digunakan sebagai data awal untuk penelitian berikutnya tentang patient safety

culture dengan sampel yang lebih besar dan dengan menggunakan tehnik

observasi. Penelitian berikutnya supaya dapat meneliti secara lebih spesifik

dengan mengambil salah satu dari komponen fungsi manajemen yang terdiri dari

Universitas Sumatera Utara


107

perencanaan, pengorganisasian, pengaturan staf, pengarahan, dan atau

pengendalian yang dihubungkan dengan salah satu sub variabel penerapan patient

safety culture yaitu keterbukaan, keadilan, pelaporan, dan atau budaya belajar.

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR PUSTAKA

Aiken, L.H., Clarke, S.P., Sloane, D.M., et al. (2002). Hospital nurse staffing and
patient mortality, nurse burnout, and job dissatisfaction. JAMA. 23 – 30
Oktober. 288(16).

Agency for Healthcare Research and Quality. (2010). Indicator Patient Safety.
Diakses tanggal 12 maret 2014,dari:http://www.qualityindicators.ahrq.gov.

(2004). Patient safety culture surveys. Diakses tanggal 12 maret 2014,


dari: http://www.ahrq.gov/qual/patientsafetyculture.

Alizadeh, R. (2005). A study on the safety culture and the effect of intervening
education based on the BASNEF model and its improvement in the
personnel working in production line of kimia co. MS Thesis. Iran
University of Medical Sciences.

Anugrahini (2010) Hubungan faktor individu dan organisasi dengan kepatuhan


perawat dalam menerapkan pedoman patient safety di RSAB Harapan Kita
Jakarta. Tesis. Depok: Magister Keperawatan FIK UI. 2010.

Ariyani (2008). Analisis pengetahuan dan motivasi perawat yang mempengaruhi


sikap mendukung penerapan program patient safety di instalasi perawatan
intensif RSUD Moewardi Surakarta tahun 2008. Tesis. Semarang: MIKM
UNDIP.

Aspden P, Corrigan J. & Wolcott J. (2004). Patient Safety, Achieving a New


Standard for Care Washington, DC The National Academies Press.

Baldo V, Floreani A, Dal Vecchio L, Cristofoletti M, Carletti M, Majori S, Di T


ommaso AD. and Trivello R. (2002). Occupational risk of blood-borne
viruses in healthcare workers: A 5- Year Surveillance Program. Infect
Control Hospital Epidemiology.

Ballard, K.A. (2003). Patient safety: A shared responsibility. Online Journal of


Issues in Nursing, 8(3).

Bates, D. W., Frankel, A., & Gandhi, T. K. (2003). Improving patient safety
across a large integrated health care delivery system. International Journal
for Quality in Health care. 15 suppl. I: i31 – i40.

Beginta, R. (2012). Pengaruh budaya keselamatan pasien, gaya


kepemimpinan, tim kerja, terhadap persepsi pelaporan kesalahan
pelayanan oleh perawat di unit rawat inap rumah sakit umum daerah
kabupaten Bekasi Tahun 2011. Tesis. FKM Universitas Indonesia.

108
Universitas Sumatera Utara
109

Bimo, P. (2007). Evaluasi penerapan model praktek keperawatan primer di ruang


Maranata I Rumah Sakit Mardi Rahadi kudus.
Bird, D. (2005). Patient safety: Improving incident reporting. Journal of Nursing
Standar. 20 (14 – 16), 43.

Blegen, M et al. (2006) Safety climate in hospital hospital unit: A new measure
advance in patient safety. Vol 4.

Budiharjo, A. (2008). Pentingnya safety culture di rumah sakit – Upaya


meminimalkan adverse event. Jakarta: Prasetya Mulya Business School.

Buerhaus, P. (2004). Lucian leape on patient safety in u.s hospitals. Journal


nursing of scholarship, Volume 4 nomor 36 tahun 2004, hal 366-370.

Burdahyat (2009). Hubungan budaya organisasi dengan kinerja perawat pelaksana


di RSUD Sumedang tahun 2009. Tesis tidak dipublikasikan. Jakarta :
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.

Burns, D. (2009). Clinical leadership for general practice nurses, 3 : Leadership


mechanisms Practice Nursing, Vol 20, No 12.

Cahyono, J. B & Suhardjo B. (2012). Membangun budaya keselamatan pasien


dalam praktek kedokteran. Yogyakarta: Kanisius.

Callahan, M. A., & Ruchlin, H. (2003). The role of nursing leadership in


establishing a safety culture.Proquest Health management. 6 (21), 296
297.Diakses tanggal 24 april 2014,dari: http:/www.proquest.com/pqdauto.

Castle, N. G. (2006). Nurse aides’ ratings of the resident safety culture in nursing
homes. Int J Qual Health C, 18(5):370-76.

Chase, L.K. (2010. Nurse manager competencies. Thesis and Desertations.


University of Iowa.

Colla, J. B., Bracken, A. C., Kinney, L. M., & Weeks, W. B. (2005). Measuring
patient safety climate: a review of surveys. Quality Safety Health Care.
14:364-366.

Cox, S., & Cox, T., (1991). The structure of employee attitudes to safety: A
European example. Work and Stress 5, 93 -106.

Craven, R. F., & Hirnle, C. J. (2000). Fundamental of nursing: Human health and
function third edition. Philadelphia: Lippincott.

Universitas Sumatera Utara


110

Dahlan, S. M. (2011). Statistik untuk kedokteran dan kesehatan: deskriptif,


bivariat, dan multivariat. Edisi 5. Jakarta: Salemba Medika.

Depkes RI. (2008). Panduan nasional keselamatan pasien rumah sakit


(Patient Safety): Utamakan Keselamatan Pasien edisi 2. Jakarta: Depkes
RI.

(2006). Utamakan keselamatan pasien. Diakses tanggal 2 februari


2014, dari: http://rsbt.or.id.

(1999). Pedoman uraian tugas tenaga perawatan di rumah sakit.


Cetakan Kedua. Jakarta: Direktorat Jenderal Pelayanan Medik.

Dewi, M. (2012). Pengaruh pelatihan timbang terima pasien terhadap penerapan


keselamatan pasien oleh perawat pelaksana di RSUD Raden Mattaher
Jambi. Jurnal Health & Sport. Vol 5. No. 3. 646 – 655.
Dewi, S. C. (2011). Hubungan fungsi manajemen kepala ruang dan
karakteristik perawat dengan penerapan keselamatan pasien di IRNA I
RSUP dr. Sardjito Yogyakarta. Tesis. FIK UI.

Drennan, D. (1992). Transforming company culture. London: McGraw-Hill.

Drosler, S.E., Klazinga, N.S., Romano, P.S., Tancredi, D.J., Gogorcena, M.A.,
Hewitt, M.C, et al. (2009). Aplication of patient safety indicators
internationally: A pilot study among seven countries. International
Journal for Quality in Health Care, 21, 4.

Faghihi, A., & Mansoori, S. ( 2007). The Need to observe and apply the Laws
and Rules of Safety and Health to Emergency Units In: Second Medical
Emergency Conference. Teheran.

Fayol, H. (1925). General and industrial management. London: Pittman and


Sons.

Feng, X. Q., Acord, L., Cheng, Y. J., Zeng, J. H., & Song, J. P. (2011).'The
relationship between management safety commitment and patient safety
culture', International Nursing Review, 58( 2), 249-254.

Fenny, Y. A. (2007). Hubungan persepsi perawat tentang perencanaan jangka


pendek kepala ruangan dengan kinerja perawat pelaksana di ruangan
rawat inap RSUP Fatmawati Jakarta. Jakarta: FIK UI.

Ferguson, J., & Fakelman, R. (2005). The culture factor. Proquest Health
Management, 1(22), 33-40.

Universitas Sumatera Utara


111

Fleming, M., (2006). Patient safety culture: Sharing and learning from each other.
10 Februari 2015. http://www.capch.org.

Flemming, M. (2008). Patient safety culture improvement tool: Development and


guidelines use. Health Care Quarterly, 11, 10-15.

Flin, R., Burns, C., Mearns, K., Yule, S., & Robertson, E. M. (2006). Measuring
safety climate in health care. Quality Safety Health Care, 15, 109-115.

Gibson et al. (2006). Organization behavior structure processes twelfh edition.


New York: Mc Graw Hill Int.

Gillies, D. A. (1996). Manajemen keperawatan suatu pendekatan sistem. (2nd


Edition) Illinois.

(1994). Nursing management: A system approach. Philadelpia: W.B.


Saunders Company.

Gotlieb, S. (2003). Patient s are at risk because of nurses long hours, says report.
Diakses tanggal 27 Juni 2015, dari: http://www.bmj.com.

Gulick, L. (1937). Notes on the theory of organization, dalam Shafritz, Jay, M. &
Steven, J. O. (1987). Classic of organization theory. California:
Brooks/Cole Publishing Company Pacific Grove.

Handiyani, H. (2003). Hubungan peran dan fungsi manajemen kepala ruang


dengan keberhasilan upaya kegiatan pengendalian infeksi nasokomial di
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Tesis Tidak Dipublikasikam.
FIK UI.

Hamdani, S. (2007). Analisis budaya keselamatan pasien (patient safety


culture) di Rumah Sakit Islam Jakarta Tahun 2007. Tesis. FKM UI.

Health and Safety Commission. (1993). Third Report: Organizing for safety.
ACSNI study group on human factors HMSO, London, ACSNI Study
Group on Human Factors.

Hellings, J., Schrooten, W., Klazinga, N., & Vleugels, A. (2007). Challenging
patient safety culture: Survey results. International Journal of Health
Care Quality Assurance, 20(7), 620 – 632.

Henriksen, K. & Dayton, E. (2006). Issues in the design of training for quality
and safety. Quality and safety health care. Vol 15 nomor 1 tahun 2006,
hal 117-124.

Universitas Sumatera Utara


112

Hidayat. (2012). Pengaruh motivasi perawat dan bidan terhadap penerapan


budaya patient safety di RSIA ‘Aisyiyah Klaten. Tesis. Yogyakarta:
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Hidayati, R. I. (2015). Pengaruh pengetahuan, motivasi, sikap perawat dan bidan


terhadap penerapan budaya patient safety di RSIA ‘Aisyiyah Klaten. Tesis
Pascasarjana. Yogyakarta: UMY.

Hikmah (2008) Persepsi Staf Mengenai Patient Safety di Instalasi Rawat Darurat
RSUP Fatmawati. Jakarta: FKM-UI.

Huber. D. (2010). Leadership nursing and care management. Seven edition.


Philadelphia: W.B. Saunders Company.

Husin,dkk. (2009). Pembinaan sikap profesionalisme perawat dalam pelayanan


keperawatan di Rumah Sakit Sari Mulia Banjarmasin.
Hyrkas, K. (2008). Clinical nursing leadership: Perspektif of current issue.
Journal of Nursing Management. 16, 495. www. Proquest.com/pqdauto.

Ilyas, Y. (2003). Kiat sukses manajemen tim kerja. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.

Institute of Medicine. (2000). To err is human: Building a safer health system.


Kohn, L.T., Corrigan, J.M., Donaldson, M.S. (Ed). Washington DC:
National Academy Press.

(2001).Crossing the quality chasm: A new health system for the 21st
century.Washington DC: National Academy Press.

International Council of Nursing. (2002). Position statement of patient safety.


Diakses tanggal 20 maret 2014, dari: http://www.ic.ch.

Iskandar, H., Maksum. H., & Nafisah. (2014). Faktor penyebab penurunan
pelaporan insiden keselamatan rumah sakit. Jurnal Kedokteran Brawijaya,
Vol. 28, Suplemen No. 1, 2014.
Ivancevich, J. H., Konopaske, R & Matteson, M. T. (2005). Perilaku dan
manajemen organisasi edisi ketujuh jilid 2 (Dharma Yuwono,
Penerjemah). Jakarta; Erlangga.

Jajvandian, R., Bolandhemmat, M., Babaei, R. (2007). A study on the


occupational contact of clinical personnel with blood in Imam Reza
Hospital. in: The first state conference on the occupational risks on
medicine, nursing and obstetrics. Dezfool: Azad University of Dezful.

Universitas Sumatera Utara


113

Jeffs, L., Law, M., & Baker, G. R. (2007). Creating reporting & learning cultures
in health- care organizations. The Canadian Nurse, 103(3), 16.

Jianhong, A. (2004). Safety culture in surgical residency program across Virginia.


11 februari 2015. http://www.sysy.virgin.edu.

Joint Accreditation Commission of Health Organization (2010). National patient


safety goals.

Kartono. (2008). Pemimpin dan kepemimpinan. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.

Kohn, L. T., et al. (2000). To error human: Building a safer health system.
Washington DC: National Academy Press.
Kovner, A. R., & Neuhauser, D. (2004). Health service management.
Washington: Health Administration Press.

Kozier, B., Erb, Berman, A., & Synder, S. J (2004) Fundamentals of nursing:
Concepts, process, and practice. 7th Edition. New Jersey: Prentice Hall.

Leos, N. S. (2008). Oncology care setting design and planning part I: concepts for
the oncology nurse that improve patient safety. Diakses tanggal 16 juni
2015, dari: https://psnet.ahrq.gov

Makinen, A., Kivimaki, M., Elovainio, M., Virtanen, M., & Bond, S. (2003).
Organization of nursing care as a determinant of job satisfaction among
hospital nurses. Journal of Nurses Management, 11, 299-306

Manno, M., Hogan, P., Heberlein, V., Nyakiti, J., & Mee, C. L. (2006). Patient
safety survey report. Diakses pada tanggal 10 juni 2015, dari:
https://psnet.ahrq.gov .

Marpaung, J. (2005). Persepsi perawat pelaksana tentang kepemimpinan efektif


kepala ruang dan hubungannya dengan budaya kerja perawat pelaksana
dalam pengendalian mutu pelayanan keperawatan di ruang rawat inap
RSUP Adam Malik Medan. FIK UI. Tesis tidak dipublikasikan.

Marquis, B. L., & Huston, C. J. (2015). Leadership role and management


functions in nursing: Theory and application eight edition: Philadelphia:
Lippincott.

(2006). Leadership role and management functions in nursing: Theory


and application five edition: Philadelphia: Lippincott.

(2003). Leadership role and management functions in nursing: Theory


and application four edition: Philadelphia: Lippincott.

Universitas Sumatera Utara


114

(2000). Leadership role and management functions in nursing: Theory


and application three edition: Philadelphia: Lippincott.

Martini. (2007). Hubungan karakteristik perawat, sikap, beban kerja, ketersediaan


fasilitas dengan pendokumentasian asuhan keperawatan di rawat inap
BPRSUD Kota Salatiga. Tesis. Semarang: Undip.

Maryam, D. (2009). Hubungan antara penerapan tindakan keselamatan pasien


dengan kepuasan kerja oleh perawat pelaksana di IRNA bedah dan IRNA
medic RSU Dr Soetomo Surabaya. FIK UI. Tesis tidak dipublikasikan.

Mulia, S. (2010). Pengaruh pelatihan keselamatan pasien terhadap pemahaman


perawat pelaksana mengenai penerapan keselamatan pasien di RS Tugu
Ibu Depok. Jakarta : FIK UI.

Mulyadi. (2005). Hubungan kepemimpinan efektif kepala ruang dengan kinerja


perawat pelaksana dalam pengendalian mutu pelayanan keperawatan di
ruang rawat inap RSKM Cilegon. Tesis. Depok: Universitas Indonesia.

Muninjaya, A. A. (1999). Manajemen Kesehatan. Cetakan I. Jakarta: Penerbit


Buku Kedokteran EGC.

Mustofa. (2008). Analisis pengaruh faktor individu, psikologi dan organisasi


terhadap kinerja perawat pelaksana di Rumah Sakit Jiwa Daerah dr.
Amino Gondohutomo Semarang. Tesis Pascasarjana. Semarang:
Universitas Diponegoro.

Nadzam, D. M. (2009). Celebrating nurse: operating at the sharp end of safe


patient care. Diakses 24 maret 2014, dari:
http://www.jointcommission.org/.

National Patient Safety Agency (2009). Seven step to patient safety. Diakses
27 juni 2014, dari: http://www.nspa.nhs.uk

(2004). Seven step to patient safety: the full reference guide. London:
National Patient Safety Agency.

National Quality Forum. (2006). Safe practices for better healthcare.washington


DS. National Quality Forum.

Neuhauser. (2011). Impact of staff engagement on nurse satisfaction /retention


and patient outcomes of patient satisfaction and ndnqi indicators. UMI
Number: 1490875.

Universitas Sumatera Utara


115

Nieva, V. F. & Sorra, J. (2007) Safety culture assessment tool for improving
patient safety in healthcare organizations. Quality safety Health care, 12
(supl II): ii17-ii23.

Nilasari. (2010). Pengaruh pelatihan tentang keselamatan patient safety terhadap


peningkatan pengetahuan dan keterampilan perawat klinik pada penerapan
patient safety di IRNA C RSUP Fatmawati. Tesis. Depok: FIK UI.

Nivalinda, dkk. (2013). Pengaruh motivasi perawat dan gaya kepemimpinan


kepala ruang terhadap penerapan budaya keselamatan pasien oleh perawat
pelaksana pada rumah sakit pemerintah di Semarang. Semarang: FK
UNDIP.

Notoatmodjo, S. (2003). Pengembangan sumber daya manusia. Jakarta: Rineka


Cipta.

Nurnalia, D. (2012). Pengaruh program mentoring keperawatan terhadap


penerapan budaya keselamatan pasien di ruang rawat inap RS Sultan
Agung Semarang. Tesis UI.

Nyoman, I. G. A. (2002). Hubungan kepemimpinan efektif kepala ruang dengan


perilaku kerja perawat pelaksana dalam pencegahan infeksi nasokomial di
ruang rawat inap RSUP Persahabatan Jakarta. Tesis tidak dipublikasikan.

Page, A. (Ed). (2004). Keeping patient safe: Transforming the work environment
of nurses. Washington DC: The National Academies Press.

Pratiwi.R. E. Anggraeni. R., & Maidin. A. M. (2014). Gambaran kepemimpinan


efektif kepala ruangan instalasi rawat inap dalam penerapan budaya
keselamatan pasien di RSUD Haji. Tesis. Makassar: FKM UNHAS.

Prawitasari, S. (2009). Hubungan antara beban kerja perawat pelaksana dan


keselamatan pasien di ruang rawat inap unit penyakit dalam dan bedah
Rumah Sakit Husada Jakarta. Tesis. FIK UI.

Pronovost et al. (2003). Assesing safety culture: Guidelines a


recommendation. Quality and Safety Health. 14, 231-233. Diakses 13
april 2014, dari: http://www.qsbc.bmj.com.

Potter, P., Anne G. ((2005). Buku ajar fundamental keperawatan: Konsep, proses
dan praktik. alih bahasa Yasmin A. Edisi 4. Volume 1. Jakarta: EGC.

Quinones, M. A., Ford, J. K., & Teachout, M. S. (2006). The relationship with
job experience and job performance: A conceptual and meta- analityc
reviews. Personal Psychology. 4 (48). 887- 910.

Universitas Sumatera Utara


116

Rachmawati, E. (2011). Model pengukuran budaya keselamatan pasien di RS


Muhammadiyah -‘Aisyiyah tahun 2011. Proseding Penelitian Bidang
Ilmu Eksakta. Jakarta: Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka.

Ratnasih, R. (2001). Hubungan antara kemampuan kepala ruang dalam


melaksanakan fungsi- fungsi manajemen dengan kinerja perawat
pelaksana di ruangan rawat inap RS Kepolisian Pusat Raden Said
Sukanto Jakarta. Tesis tidak diplubikasikan. Jakarta: FIK UI.

Reason, J. (2000). Human error: models and management. British Medical


Journal, 320.

Reiling, J. G. (2006). Creating a culture of patient safety through innovative


hospital design. Journal of Nursing Education.4 (47), 146-149. Diakses
tanggal 13 april 2014, dari: http://www.ahrq.gov.

Reis et al. (2006). Patient safety essential for helath care. Joint Commission
International.

Robbins, S.P. (2001). Perilaku organisasi versi bahasa indonesia edisi


kedelapan: Konsep, kontroversi, aplikasi. Jakarta: Prenhallindo.

Robbins, S.P & Judge, T.A. (2008). Perilaku organisasi versi bahasa Indonesia:
edisi keduabelas. Jakarta; Salemba Empat.

Robbins, S & Coulter, M. (1999). Manajemen. Edisi keenam, Jakarta:


Prenhallindo.

Rolinson, D & Kish. (2001). Care concept in advanced nursing.St Louis. Mosby
A Harcourt Health Science Company.

Rosyada, S. D. (2014). Gambaran budaya keselamatan pasien pada perawat ruang


rawat inap kelas III Rumah Sakit Umum Daerah Pasar Rebo bulan juni
tahun 2014. Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan. Jakarta: UIN
Syarif Hidayatullah.

Runciman, W.B., Baker, G.S., Michel, P., Dovey, S., Lilford, R.J. Jensen, N., et
al. (2010). Tracing the foundation of a conceptual framework for a patient
safety ontology. Quality Safety Health Care 2010; 19.

Rutherford, P., Moen, R., & Taylor, J. (2009). TCAB: The ‘how’ and the ‘what’.
American Journal of Nursing, 109 (11), 5-17.

Sabarguna, B. (2011). Manajemen strategik rumah sakit. Yogyakarta:


Konsorsium Rumah Sakit Islam Jateng- DIY.

Universitas Sumatera Utara


117

Sabri, L., & Hastono, S. P. (2006). Statistik kesehatan: Edisi revisi 1. Jakarta:
Raja Grafindo Persada.

Sari, N. K., Handiyani, H., & Haryati, T. S. (2012). Penguatan peran dan fungsi
manajemen kepala ruang melalui faktor kepribadian dan sosial organisasi.
UI. Muhammadiyah Journal of Nursing.

Sastroasmoro, S., Ismail, S. (2010). Dasar-dasar metodologi penelitian klinis.


Edisi 3. Jakarta: Sagung Seto.

Schein, E. (1992). Organizational culture and leadership. 2nd Edition. San


Fransisco: Jossey-Bass Publishers.

Setiowati, D. (2010). Hubungan kepemimpinan efektif head nurse dengan


penerapan budaya keselamatan pasien oleh perawat pelaksana di RSUPN
dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Tesis. Universitas Indonesia:
Jakarta.

Sexton, J. B., Helmreich, R. L., Neilands, T. B., Vella, K., Boyden, J., Roberts, P.
R., & Thomas, E. J. (2006). The safety attitudes questionnaire:
psychometric properties, benchmarking data, and emerging research.
BMC Health Serv. Res.6:44.

Shawky, S. (2010). Could employment based targeting approach save egypt in


moving toward a social health insurance models. East Mediterranian
Health Journal. WHO for Mediterranian Country. Dikutip 10 agustus
2015 dari http://www.emro.who.int.

Silverstone, P. (2013). The safe clinical assessment: A patient safety focused


approach to clinical assessment. New Open Access Journal. The
Postgraduate Medical Institute. United Kingdom: Anglia Ruskin
University.

Simamora. (2004). Manajemen sumber daya manusia. Yogyakarta: Sekolah


Tinggi Ilmu Ekonomi YKPN.

Singer, S. J., & Tucker, A. L. (2005). Creating a culture of safety in hospital.


Diakses pada tanggal 23 februari 2014, dari:
http://healthpolicy.stanford.edu.

Singla, A., Kitch, B. T., Weissman, J., & Campbell, E. G. (2006). Assessing
patient safety culture: A review and synthesis of the measurement tools.
Journal of Patient Safety, 2, 105-115.

Soeroso, S. (2003). Manajemen sumber daya manusia: Suatu pendekatan sistem.


Jakarta: EGC.

Universitas Sumatera Utara


118

Sugiyono. (2007). Metode penelitian kuantitatif dan kualitatif. Bandung: Penerbit


Alfabeta.

Suyanto. (2009). Mengenal kepemimpinan dan manajemen keperawatan di


rumah sakit. Yogyakarta: Mitra Cendikia Press.

Swanburg, R. C. (1993). Introductory management and leadership for clinical


nurses. Jones & Bartlett Publishers.

(1990). Management and leadership for nurse manager. Boston: Jones


and Barlett Publishers.

Ollenburg, J. C., & Moore, H. A. (2002). Sosiologi Wanita. Jakarta: Rineka Cipta.

Terry, G. R. (1968). Principle of management. Illionis: Homwood Illionis Richard


D Irwin, Inc.

The Comission Of Patient Safety And Quality Assurance of Irlandia. (2008).


Building a culture of patient safety. Dublin, Irlandia: The Stationary
Office.

Tingle, J., & Bark, P. (2011). Patient safety, law policy and practice. Routledge,
London.

Thomson, P. A., Navarra, M. B., & Antonson, N. (2005). Patient safety: The four
domains of nursing leadership. Proquest Health Management. 6(23),
331- 333.

Tika, M. P. (2006). Budaya Organisasi dan peningkatan kinerja perusahaan.


Jakarta: Bumi Aksara.

Trinkof, A. M., Brown, J. M., Caruso, C. C., Lipscomb, J. A., Johantgen, M.,
Nelson, A. L., et al. (2007). Personal safety for nurses. Diakses tanggal 23
juni 2014 dari: http://www.ahrq.gov/.

Umar, H. (2007). Metode penelitian untuk skripsi dan tesis. Jakarta: PT.
Grafindo Persada.

Koontz, H., Donnell, C. O., & Weihrich, H. (1990). Manajemen. Jakarta:


Erlangga.

Urwick, L. F. (1974). The manager’s span of control. Harvard Business Review


(May – June). 39-47.

Universitas Sumatera Utara


119

Wagner et al. (2009). Nursing perceptions of safety culture in long term setting.
Journal of Nursing Scholarship. 2 (41), 184-192.

Wardhani. N., Noor. B. N., Pasinringi. A. S. (2013) Hubungan kepemimpinan


efektif kepala ruangan dengan penerapan budaya keselamatan pasien di
instalasi rawat inap RS UNHAS tahun 2013. Unhas Makassar.

Warouw, H.J. (2009). Hubungan pengarahan kepala ruang dengan kinerja


perawat pelaksana di ruang rawat inap RSUD Budhi Asih Jakarta. FIK-
UI. Tesis. Jakarta.

Warsito. E. B., Mawarni. A. (2006). Pengaruh persepsi perawat pelaksana tentang


fungsi manajerial kepala ruang terhadap pelaksanaan manajemen asuhan
keperawatan di ruang rawat inap RSJD dr. Amino Gondohutomo
Semarang. Jurnal manajemen keperawatan. Vol I, no1, tahun 2007.

Weaver, S. J., Lubomski, L. H., Wilson, R. F., Pfoh, E. R., Martinez, K. A., & Dy,
S. M. (2013). 'Promoting a culture of safety as a patient safety strategy: A
systematic review ', Annals of Internal Medicine, 158, (5), 369-374.

Welch. (2006). Gawat darurat di bidang penyakit dalam. Jakarta: EGC.

Widajat, R. (2009). Being Great and Sustainable Hospital. Jakarta:


Gramedia.

Wiegmann. D. A., & Thaden. T.V., (2007). A review of safety culture theory and
its potential application to traffic safety. http://www.aaafoundation.org.

Walshe, K., & Boaden, R. (2006). Patient safety: research into practice. New
York: Open University Press.

WHO. (2009). Human factor in patient safety: reviews on topics and tool. Diakses
pada tanggal 23 februari 2014, dari: http://www.who.int.

WHO Collaborating Centre for Patient Safety Solutions. (2007). Look-alike,


sound-alike medication names. Patient safety solution. Volume 1, solution
1. http://www.ccforpatientsafety.org/. Diunduh pada tanggal 18 Oktober
2015.

WHO Collaborating Centre for Patient Safety Solutions. (2007). Patient safety
solutions preamble. www.who.int.

Wibowo. (2013). Budaya organisasi : sebuah kebutuhan untuk meningkatkan


kinerja jangka panjang. Jakarta: Rajawali Pers.

Universitas Sumatera Utara


120

Wilson, K. (2007). Does safety culture predict clinical outcomes? PhD Thesis.
University of Central Florida. Department of Psychology.

Yahya, A. (2006). Konsep dan program patient safety. Bandung: Disampaikan


pada konvensi nasional mutu rumah sakit ke VI.

Yukl, G. (2009). Leadership in organizations, 7th edition. Prentice Hall.

(1994). Kepemimpinan dalam organisasi. Leadership in organization.


Edisi bahasa Indonesia. Jakarta: Prenhalindo.

Zohar, D. (2000). A group level model of safety climate: Testing the effect of
group climate on microaccidents in manufacturing jobs. Journal of
Applied Psychology, 85,(4), 587- 596.

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 1.1

LEMBARAN PERMOHONAN MENJADI RESPONDEN

Medan, 27 Desember 2015

Kepada Yth,
Bapak/Ibu/Saudara (i)/ Teman Sejawat
Di,-
Ruang Rawat Inap RSUD dr. Zainoel Abidin
Banda Aceh

Dengan Hormat,

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :


Nama : Anwar
Nim : 127046053
Alamat : Kajhu, Baitussalam, Aceh Besar

Adalah mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Keperawatan Fakultas


Keperawatan Universitas Sumatera Utara Medan, yang akan mengadakan
penelitian untuk menyelesaikan tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Magister Keperawatan. Adapun penelitian yang dimaksud berjudul
“Hubungan Fungsi Manajemen Kepala Ruang dengan Penerapan Patient
Safety Culture di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda
Aceh”.

Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui hubungan fungsi manajemen


kepala ruang dengan penerapan patient safety culture oleh perawat pelaksana di
Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh tahun 2015.

Saudara berhak untuk berpartisipasi/tidak, namun demikian penelitian ini


sangat berdampak terhadap kemajuan dalam bidang keperawatan bila semua pihak
ikut berpartisipasi. Bila saudara setuju terlibat dalam penelitian ini, mohon
menandatangani menjadi responden pada lembar yang telah disediakan dan
mohon menjawab pertanyaan dalam kuesioner dengan sejujur-jujurnya. Penelitian
ini tidak menimbulkan kerugian bagi saudara dan kerahasiaan informasi yang
diberikan akan dijaga dan hanya digunakan untuk kepentingan penelitian.

Kesediaan dan partisipasi saudara sangat saya harapkan dan atas perhatian
dan bantuannya saya ucapkan terima kasih.

Peneliti

Anwar

Universitas Sumatera Utara


121

Universitas Sumatera Utara


122

LEMBARAN PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa bersedia untuk
berpartisipasi dalam penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa Program Studi Magister Ilmu
Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara Medan yang bernama
Anwar, NIM. 127046053, yang berjudul “Hubungan Fungsi Manajemen Kepala
Ruang dengan Penerapan Patient Safety Culture di Rumah Sakit Umum Daerah dr.
Zainoel Abidin Banda Aceh”..
Saya mengetahui informasi yang saya berikan ini sangat besar manfaatnya bagi
peningkatan dan pengembangan bidang keperawatan di masa yang akan datang.
Saya mengerti bahwa tidak ada resiko yang akan terjadi pada saya. Apabila ada
pertanyaan yang menimbulkan respon emosional yang tidak nyaman atau berakibat negatif
terhadap saya, saya berhak menghentikan atau mengundurkan diri dari penelitian ini tanpa
adanya sanksi atau kehilangan hak.
Saya mengerti bahwa catatan/data mengenai penelitian ini akan dirahasiakan. Semua
berkas yang mencantumkan identitas subjek penelitian hanya dipergunakan untuk pengolahan
data pada penelitian ini saja.
Demikian secara sukarela dan tidak ada unsur paksaan dari siapapun, saya berperan
serta dalam penelitian ini.

Banda Aceh, Desember 2015

Tanda tangan responden

Universitas Sumatera Utara


123
Lampiran 1.2

KUESIONER A
DATA DEMOGRAFI PERAWAT PELAKSANA

No. Responden : ………….. (di isi oleh peneliti)


Tanggal pengisian : ………….. (di isi oleh peneliti)

Petunjuk pengisian : Berilah tanda √ pada kolom yang disediakan dan isilah
titik di bawah ini!

A. Data Demografi
1. Usia :……..Tahun
2. jenis kelamin : Laki-Laki Perempuan
3. Masa kerja : ……Tahun ……Bulan
4. Pendidikan
SPK
D III Keperawatan
S1 Keperawatan
Ners
S2 Keperawatan
Lainnya (sebutkan).....................................
5. Pernah mengikuti training tentang keselamatan pasien
Ya
Tidak, jenis training lainnya yang pernah diikuti, sebutkan....................
.................................................................................................................

Universitas Sumatera Utara


KUESIONER B
FUNGSI MANAJEMEN

Petunjuk Pengisian :
1. Isilah daftar pernyataan dibawah ini dengan memberikan tanda ( √ ) pada kolom yang
tersedia, sesuai dengan persepsi saudara tentang fungsi manajemen yang dilaksanakan
oleh kepala ruang berkaitan dengan penerapan budaya keselamatan pasien.
2. Pilih salah satu jawaban yang menurut saudara paling sesuai, yaitu:
SL = Selalu
SR = Sering
KD = Kadang- kadang
JR = Jarang
TP = Tidak pernah
3. Sebelum kueisoner dikembalikan mohon agar diperiksa kembali kelengkapan jawaban,
sehingga tidak ada kolom jawaban yang belum terisi.
No Pernyataan SL SR KD JR TP
Perencanaan
Kepala ruang saya:
Menyusun tujuan pelayanan keperawatan yang
1.
mendukung keselamatan pasien.
Menyusun aturan penerapan keselamatan pasien dalam
2.
pemberian asuhan keperawatan.
Menyusun rencana kerja untuk mendukung pelaksanaan
3.
asuhan keperawatan yang aman.
Membuat rencana penilaian kerja perawat terkait
4.
penerapan keselamatan pasien.
Membuat pedoman untuk mengidentifikasi pasien
5 dengan benar dalam mencegah terjadinya kesalahan
pada pasien yang memiliki nama yang sama

Menetapkan SOP untuk komunikasi efektif baik


6. komunikasi verbal atau instruksi melalu telepon

Menetapkan dan menjelaskan tujuan keamanan obat-


7. obat yang perlu diwaspadai berdasarkan standar rumah
sakit

8. Membuat SOP untuk pembuangan benda-benda tajam


Membuat perencanaan untuk mengumpulkan data kasus
9.
infeksi diruangan

124
Universitas Sumatera Utara
125

Pengorganisasian
Kepala ruang saya:
Menetapkan struktur organisasi ruang keperawatan
10. sesuai metode asuhan yang digunakan dalam penerapan
keselamatan pasien
Menetapkan perawat yang bertanggung jawab terhadap
11.
pelaporan insiden keselamatan pasien
Menetapkan uraian tugas perawat yang terlibat dalam
12.
kegiatan pemantauan keselamatan pasien dengan jelas
Menangani insiden keselamatan pasien tanpa melakukan
13.
koordinasi dengan bagian lain yang terkait
Mendorong komunikasi efektif saat serah terima pasien
14.
dengan menggunakan form SBAR
Menetapkan alur dan garis koordinasi pengelolaan
15.
pelaporan insiden
Membuat alur koordinasi antara perawat dengan
16. dokter/farmasi mengenai pengelolaan obat-obat yang
perlu diwaspadai
Pengaturan Staf
Kepala ruang saya:
Menentukan perawat yang terlibat dalam kegiatan
17.
penerapan keselamatan pasien
Menugaskan perawat untuk mengikuti pelatihan
18.
mengenai keselamatan pasien.
Membagi tanggung jawab perawat secara jelas dalam
19.
pemberian asuhan keperawatan
Membahas hambatan mengenai penerapan keselamatan
20.
pasien yang terjadi di ruangan
Mendiskusikan insiden keselamatan pasien pada
21.
pertemuan bulanan/ rutin
Menyiapkan perawat yang berkualitas dalam melakukan
22.
praktek pengendalian infeksi melalui pelatihan
Pengarahan
Kepala ruang saya:
Melakukan upgrade penilaian kerja perawat terkait
23.
keselamatan pasien.
Memberikan bimbingan pada perawat mengenai
24. penerapan keselamatan pasien dalam asuhan
keperawatan.
Memberikan orientasi pada perawat baru tentang
25. penerapan keselamatan pasien dalam tindakan asuhan
keperawatan.

Universitas Sumatera Utara


126

Memotivasi perawat untuk mengikuti pelatihan


26.
mengenai keselamatan pasien
Mengadakan rapat bersama perawat untuk menemukan
27. cara yang terbaik untuk mengelola obat-obat yang perlu
diwaspadai
Melakukan supervisi mengenai mengenai pengontrolan
28.
infeksi kepada perawat
Memberikan pelatihan atau workshop kepada perawat
29. agar mereka memiliki kemampuan dalam praktek
pengontrolan infeksi
Memotivasi perawat untuk melaporkan setiap insiden
30. keselamatan pasien.

31. Memotivasi perawat untuk bekerja sesuai dengan SOP.


Tidak memberi pujian pada staf yang bekerja sesuai
32.
standar operasional prosedur
Pengendalian/Pengawasan
Kepala ruang saya:
Melakukan evaluasi bulanan/ rutin terkait penerapan
33.
keselamatan pasien yang dilakukan oleh perawat
Mengaudit kepatuhan perawat terhadap prosedur yang
34.
benar
Mengawasi laporan insiden yang terjadi disetiap
35.
tindakan
Mengevaluasi lembar dokumentasi obat pasien termasuk
36.
penggunaan metode 6 benar
Memonitor check list keamanan prosedur dengan
37.
melakukan rapat evaluasi
38. Mengevaluasi laporan insiden risiko infeksi nosokomial
Memberi teguran kepada perawat yang mengabaikan
39.
aspek keselamatan pasien.
Menilai tindakan asuhan keperawatan yang dilakukan
40.
perawat tentang keselamatan pasien

Universitas Sumatera Utara


KUISIONER C
PENERAPAN BUDAYA KESELAMATAN PASIEN

1. Petunjuk :
a. Bacalah dengan cermat setiap item pernyataan
b. Pilihlah salah satu alternatif jawaban yang menurut anda paling tepat sesuai yang
Anda lakukan dalam bekerja baik di ruangan maupun RS tempat Anda bekerja
dengan memberikan tanda (√) pada kotak jawaban yang tersedia di sebelah kanan
c. Jawaban Anda akan kami jaga dan kami jamin kerahasiaannya dan tidak
mempengaruhi pangkat/karier dan penilaian kerja Anda.

2. Pilihan jawaban
SL = Selalu JR = Jarang
SR = Sering TP = Tidak pernah
KD = Kadang-kadang

3. Sebaran pernyataan

NO Pernyataan SL SR KD JR TP
Kami sesama perawat di unit ini saling mendukung satu
1.
sama lain
Jika banyak pekerjaan yang harus diselesaikan dengan
2.
cepat, kami saling bekerja sama sebagai tim
Saya merasa setiap orang di unit ini saling menghargai satu
3.
sama lain
Bila suatu area di unit ini sibuk, maka perawat di area lain
4.
akan membantu
Perawat di unit kami tidak pernah mengorbankan
5.
keselamatan pasien dengan alasan banyak pekerjaan
Jika ada Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) pada pasien
6.
terjadi di unit ini adalah hal yang kebetulan
7. Prosedur dan sistem kami sudah baik dalam mencegah

127
Universitas Sumatera Utara
128

terjadinya kesalahan/error (KTD atau KNC)


Kami memiliki masalah mengenai keselamatan pasien di
8.
unit ini
Kami merasa takut untuk bertanya ketika mengetahui ada
9.
yang tidak beres dalam pelayanan pasien
Kami merasa bebas untuk bertanya kepada sesama perawat
10. lain/dokter tentang keputusan maupun tindakan yang
diambil di unit ini
Kami bebas mengungkapkan pendapatnya jika melihat
11.
sesuatu bisa berdampak negatif terhadap pelayanan pasien
Kami merasa ada kerja sama yang baik antar unit di rumah
12.
sakit saat menyelesaikan pekerjaan bersama
Saya seringkali merasa tidak nyaman bila harus bekerja
13.
sama dengan perawat unit lain di rumah sakit ini
Unit satu dengan unit lain di rumah sakit ini tidak
14.
berkoordinasi dengan baik
Unit- unit di rumah sakit bekerja sama dengan baik untuk
15.
memberikan pelayanan yang terbaik bagi pasien
Kepala ruang saya memberikan umpan balik ke arah
16. perbaikan berdasarkan laporan kejadian (KTD maupun
KNC)
Kami diberi tahu mengenai kesalahan- kesalahan KTD
17. (Kejadian yang Tidak Diharapkan) maupun KNC (Kejadian
Nyaris Cedera) yang terjadi di unit kami
Di unit ini kami mendiskusikan dengan sesama perawat
18. bagaimana cara untuk mencegah error/KTD dan KNC
supaya tidak terjadi kembali
Perawat di unit ini bekerja sampai lembur untuk melayani
19.
pasien
Unit ini sering menggunakan tenaga honorer/cadangan
20.
untuk melayani pasien
Kami memiliki jumlah perawat yang cukup untuk
21.
menangani beban kerja yang berat di unit ini

Universitas Sumatera Utara


129

Kami merasa pada unit ini kami bekerja dalam model krisis
22. dimana kami harus melakukan banyak pekerjaan dengan
terburu- buru dalam melayani pasien
Bila melakukan kesalahan dalam melayani pasien kami
23. merasa kesalahan tersebut akan memojokkan/ mengancam
kami
Bila suatu kejadian dilaporkan (baik KNC atau KTD) maka
24. yang menjadi fokus pembicaraan adalah orang yang berbuat
salah, bukan masalahnya
Kami merasa khawatir kesalahan yang kami buat akan
25.
dicatat di dokumen pribadi kami oleh pimpinan
Ketika kesalahan terjadi, tetapi hal tersebut segera diketahui
26. dan dikoreksi sebelum mempengaruhi atau berdampak pada
pasien, seberapa hal tersebut sering dilaporkan?
Ketika kesalahan terjadi, namun tidak berpotensi untuk
27. membahayakan pasien, seberapa sering hal tersebut
dilaporkan?
Ketika kesalahan terjadi, yang berpotensi membahayakan
28. pasien, walaupun hal yang buruk tidak terjadi pada pasien,
seberapa sering hal ini dilaporkan?
Masalah sering terjadi saat pemindahan pasien dari satu unit
29.
ke unit lainnya
Saat pergantian shift, informasi penting mengani pasien
30.
sering hilang
Masalah sering terjadi saat pertukaran informasi antar unit-
31.
unit di rumah sakit
Pergantian shift di rumah sakit menyebabkan masalah bagi
32.
pasien di rumah sakit ini
Kepala ruang saya memberikan pujian jika melihat
33. pekerjaan diselesaikan sesuai prosedur untuk keselamatan
pasien
Saya merasa kepala ruang saya sudah mendengar dan
34.
mempertimbangkan saran dari perawat untuk meningkatkan

Universitas Sumatera Utara


130

keselamatan pasien dengan serius


Bila beban kerja tinggi, maka kepala ruang kami meminta
35. kami bekerja lebih cepat walaupun harus mengambil jalan
pintas
Kepala ruang saya gagal mengantisipasi masalah
36. keselamatan pasien (KTD dan KNC) yang telah terjadi
berulang- ulang
Dalam unit ini kami secara aktif melakukan kegiatan untuk
37. keselamatan pasien (sosialisasi, bertukar informasi, diskusi
mengenai keselamatan pasien)
Kesalahan yang terjadi di unit ini dijadikan pemicu untuk
38.
perubahan ke arah yang lebih baik
Setelah kami melakukan pelayanan kepada pasien demi
39. keselamatan pasien, maka kami senantiasa mengevaluasi
keefektifannya
Manajemen rumah sakit menyediakan iklim kerja yang
40.
mendukung bagi keselamatan pasien
Kebijakan manajemen rumah sakit menunjukkan bahwa
41.
keselamatan pasien merupakan prioritas
Manajemen rumah sakit harus peduli terhadap keselamatan
42.
pasien jika terjadi KTD maupun KNC

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 2.

BIODATA EXPERT UJI VALIDITAS INSTRUMEN

Expert 1

Nama Lengkap : Yuswardi, S.Kep., Ns., MNS

Pekerjaan : Dosen Pengajar Fakultas Keperawatan

Instansi : Universitas Syiah Kuala Banda Aceh

Expert : Manajemen fungsi kepala ruang & patient safety

Expert 2

Nama Lengkap : Ardia Putra, S.Kep., Ns., MNS

Pekerjaan : Pembantu Dekan II Fakultas Keperawatan

Instansi : Universitas Syiah Kuala Banda Aceh

Expert : Manajemen Keperawatan

Expert 3

Nama Lengkap : Budi Satria, S.Kep., Ns., MNS

Pekerjaan : Sekretaris Bagian Keperawatan Jiwa Fakultas

Keperawatan

Instansi : Universitas Syiah Kuala Banda Aceh

Expert : Sikap dan perilaku perawat pelaksana di instansi

pelayanan kesehatan

131

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai