Anda di halaman 1dari 158

PENGARUH MANAJEMEN ASUPAN MAKANAN: DIET RENDAH

GARAM TERHADAP RASA HAUS PADA PASIEN GAGAL


GINJAL KRONIK DENGAN HEMODIALISIS DI
RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

TESIS

Oleh

LISBET GURNING
157046040/ KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2018

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


THE INFLUENCE OF FOOD INTAKE MANAGEMENT: SODIUM SALT
DIET ON THIRST FELT BY PATIENTS WITH CHRONIC KIDNEY
FAILURE TREATED WITH HEMODIALYSIS IN
RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

THESIS

By:

LISBET GURNING
157046040/ MEDICAL SURGICAL NURSING

MASTER OF NURSING SCIENCE STUDY PROGRAM


FACULTY OF NURSING
UNIVERSITY OF SUMATERA UTARA
MEDAN
2018

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


PENGARUH MANAJEMEN ASUPAN MAKANAN: DIET RENDAH
GARAM TERHADAP RASA HAUS PADA PASIEN GAGAL
GINJAL KRONIK DENGAN HEMODIALISIS DI
RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat


Untuk Memperoleh Gelar Magister Keperawatan (M.Kep)
dalam Program Studi Magister Ilmu Keperawatan
Minat Studi Keperawatan Medikal Bedah
pada Fakultas Keperawatan
Universitas Sumatera Utara

Oleh

LISBET GURNING
157046040/ KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2018

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Telah diuji

Pada Tanggal 09 Pebruari 2018

KOMISI PENGUJI TESIS

Ketua : Jenny M. Purba, S.Kp., MNS., Ph.D

Anggota : 1. Cholina T. Siregar, S.Kep., M.Kep., Sp.KMB

2. Dr. dr. Dina Keumala Sari, M.Gizi, Sp.GK

3. Yesi Ariani, S.Kep., Ns., M.Kep.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


PERNYATAAN

PENGARUH MANAJEMEN ASUPAN MAKANAN: DIET RENDAH


GARAM TERHADAP RASA HAUS PADA PASIEN GAGAL
GINJAL KRONIK DENGAN HEMODIALISIS DI
RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

Dengan ini penulis menyatakan bahwa tesis ini disusun sebagai syarat
memperoleh gelar Magister Keperawatan pada Program Studi Magister Ilmu
Keperawatan Universitas Sumatera Utara adalah benar merupakan hasil karya
tulis sendiri.

Adapun pengutipan- pengutipan yang penulis lakukan pada bagian- bagian


tertentu dari hasil karya orang lain dalam penulisan tesis ini, telah dicantumkan
sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.

Apabila dikemudian hari ternyata ditemukan seluruh atau sebagian tesis


ini bukan hasil karya penulis sendiri atau adanya plagiat dalam bagian- bagian
tertentu, penulis bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang
penulis sandang dan sanksi- sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan
yang berlaku.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Judul Tesis : Pengaruh Manajemen Asupan Makanan: Diet Rendah
Garam Terhadap Rasa Haus pada Pasien Gagal
Ginjal Kronik dengan Hemodialisis di RSUP H. Adam
Malik Medan
Nama : Lisbet Gurning
NIM : 157046040
Program Studi : Magister Ilmu Keperawatan
Minat Studi : Keperawatan Medikal Bedah
Tahun : 2018

ABSTRAK

Kepatuhan akan pembatasan asupan cairan merupakan hal tersulit bagi


pasien dan dapat membuat pasien menjadi stress sehingga pasien tidak dapat
mengontrol konsumsi asupan cairan mereka. Tingkat kepatuhan pasien untuk
mengikuti pembatasan asupan makanan dan cairan merupakan kunci utama
keberhasilan hemodialisis. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi apakah
terdapat pengaruh manajemen asupan makanan: diet rendah garam terhadap rasa
haus yang dirasakan oleh pasien gagal ginjal kronik dengan hemodialisis.
Penelitian ini merupakan penelitian quasi-experiment dengan desain pre-
post test with control group dengan pemilihan sampel menggunakan consecutive
sampling dan jumlah sampel yang digunakan sebanyak 44 orang untuk masing-
masing kelompok intervensi dan kontrol. Rasa haus responden diukur dengan
menggunakan kuesioner thirst distress scale (TDS) dan intensitas haus dengan
VAS, sedangkan analisa datayang digunakandalam penelitian ini adalah Wilcoxon
test dan Mann Withney test dengan kemaknaan p < 0,05.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 37 orang responden yang
mengalami penurunan nilai TDS dan 7 orang nilai TDS-nya tetap dengan
kemaknaan 0.000 (p<0.05) setelah dilakukan perlakuan pada kelompok intervensi
dan terdapat perbedaan rasa haus yang diukur dengan TDS dengan kemaknaan
p=0.008 (p<0.05) dan VAS dengan kemaknaan p=0.048 (p<0.05) setelah
dilakukannya perlakukan manajemen asupan makanan: diet rendah garam pada
kelompok intervensi dan kontrol.
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemberian
edukasi yang dilakukan secara berkesinambungan serta dilakukannya kunjungan
rumah sebagai bentuk supervisi terhadap edukasi yang telah diberikan dapat
meningkatkan perilaku perawatan diri pasien sehari-hari yang ditunjukkan dengan
perilaku mengurangi asupan garam harian pasien, sehinggarasa haus yang sering
dirasakan pasien gagal ginjal dengan hemodialysis juga berkurang.

Kata kunci: hemodialysis, diet rendah natrium, rasa haus

i
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ii
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
KATA PENGANTAR

Penulis mengucapkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,

yang memberikan rahmat dan berkat-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat

menyelesaikan penulisan tesis ini.

Selama melakukan penelitian dan penulisan tesis ini, penulis banyak

memperoleh bantuan moril dan materil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada

kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang tulus kepada :

1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M.Hum., selaku RektorUniversitas Sumatera

Utara yang telah memberikan kesempatan untuk penulis menempuh

pendidikan di Magister Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

2. Setiawan, S.Kp., MNS., Ph.D selaku Dekan Fakultas KeperawatanUniversitas

Sumatera Utarayang telah memberikan kesempatan dan fasilitas selama

penulis menempuh pendidikan di Magister Keperawatan Universitas

Sumatera Utara.

3. Dewi Elizadiani Suza, S.Kp., MNS., Ph.D selaku Ketua Program Studi

Magister Ilmu Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera

Utara yang telah banyak memotivasi penulis dalam menempuh pendidikan di

Magister Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

4. Jenny Marlindawani Purba, S.Kp., MNS., Ph.D dan Cholina Trisa Siregar,

S.Kep., Ns., M.Kep, Sp.KMB selakudosen pembimbing yang telah banyak

meluangkan waktunya untuk membimbing, memotivasi dan mengarahkan

penulis dengan penuh kesabaran sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis

ini.

iii
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
5. Dr. dr. Dina Keumala Sari, M.Gizi, Sp.GK dan YesiAriani, S.Kep., Ns.,

M.Kep.selaku dosen penguji tesis yang telah memberikan masukan dan

arahan kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

6. Direktur RSUP H. Adam Malik Medan, Kepala Instalansi Ginjal Hipertensi

dan rekan-rekan perawat di Instalansi Ginjal Hipertensi yang telah

memberikan izin dan dukungan selama pengambilan data penelitian.

7. Orang tua, kakak dan adik-adik tercinta yang setia mendukung penulis untuk

menyelesaikan pendidikan dan penulisan tesis ini.

8. Suami tercinta, Benjamin Tambunan, Stdan anak-anak kami tersayang Jessica

Ruth, Jonathan Barmen dan Jordan Goklas yang selalu menjadi penyemangat

penulis selama menempuh pendidikan dan penulisan tesis ini.

9. Teman-teman Angkatan V Tahun 2015/2016 di Program Studi Magister

IlmuKeperawatanFakultasKeperawatanUniversitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih banyak memiliki kekurangan dan

jauh dari sempurna, namun harapan penulis semoga tesis ini bermanfaat kepada

seluruh pembaca. Semoga kiranya Tuhan Yang Maha Esa memberikan

keberkahan untuk kita semua. Amiin...

Medan, Pebruari 2018

Penulis,

Lisbet Gurning

iv
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RIWAYAT HIDUP

Nama : Lisbet Gurning

Tempat/Tanggal Lahir : Jakarta, 28 September 1978

Email : lisbet_gurning@yahoo.com

Riwayat Pendidikan :

Jenjang Pendidikan Nama Institusi Tahun Lulus

SD SD YWKA I Jakarta 1991

SMP SMP Negeri 33 Jakarta 1994

SMA SMA Negeri 37 Jakarta 1997

Sarjana Keperawatan Universitas Indonesia 2001

Magister Keperawatan Universitas Sumatera Utara 2018

Riwayat Pekerjaan

Jabatan Nama Institusi Tahun Bekerja

Ka Unit Pendidikan Akademi Keperawatan Herna Medan 2001-2003

Asst. Dir. Adm & Serv. Akademi keperawatan Glenagles Medan 2003-2005

Health & Safety Asst. PT PP London Sumatra Indonesia Medan 2007-2012

Medical Services Asst. RS Columbia Asia Medan 2015-2016

v
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Kegiatan Akademik Selama Studi :

Peserta Workshop Penelitian Kualitatif “Analisis Data Penelitian

Kualitatif: Computer-Assisted Qualitative Data Analysis Software

(CAQDAS)” Medan, 19 Desember 2015.

Peserta Seminar Nasional Keperawatan Gawat Darurat dan Bencana, di

Medan International Covention Center Medan, 22 Februari 2016

Peserta Medan International Wound Care Seminar “Wound Care Update

in Nursing” di Washington Purba Hall Medan, 14 Mei 2016

Peserta Seminar “Perencanaan Strategi Rumah Sakit” di Aula Fakultas

Keperawatan USU, 15 Juli 2016.

Peserta Seminar Keperawatan “Writing For Publication In International

Journals” di Fakultas Keperawatan USU, 20 Juli 2016.

Peserta Pelatihan Resusitasi Jantung Paru (RJP), RSUP H. Adam Malik,

20 September 2016.

Peserta Seminar Akreditasi Rumah Sakit Di Era Mea di Fakultas

Keperawatan USU Medan 22 Oktober 2016.

Peserta Pelatihan dan Sosialisasi Penulisan Artikel Ilmiah International

Bereputasi untuk Mahasiswa S2 dan S3 USU Medan 10 Agustus

2017.

vi
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DAFTAR ISI

Halaman
ABSTRAK i
ABSTRACT ii
KATA PENGANTAR iii
RIWAYAT HIDUP v
DAFTAR ISI vii
DAFTAR GAMBAR ix
DAFTAR TABEL x
DAFTAR LAMPIRAN xi

BAB I PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Permasalahan 7
Tujuan Penelitian 7
Hipotesis 8
Manfaat Penelitian 9

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 10


Konsep Penyakit Ginjal Kronik 10
Konsep Hemodialisis 21
Konsep Sensasi Haus 27
Konsep Manajemen Nutrisi 32
Landasan Teori 34

BAB 3 METODE PENELITIAN 40


Jenis Penelitian 40
Lokasi dan Waktu Penelitian 41
PopulasidanSampel 41
Metode Pengumpulan Data 42
Metode Pengukuran 46
Variabel dan Defenisi Operasional 48
Validitas dan Reabilitas 49
Metode Analisa Data 51
Analisa Data 52
Pertimbangan Etik 53

BAB 4HASIL PENELITIAN 55


Karakteristik Responden 55
Distribusi Skor TDS, VAS dan IDWG 57
Perbedaan Rasa Haus Sebelum dan Sesudah
Manajemen Asupan Makanan: Diet Rendah Garam 59
Pengaruh Manajemen Asupan Makanan: Diet Rendah
Garam terhadap Rasa Haus pada Pasien Gagal Ginjal
Kronik Dengan Hemodialisis 61

vii
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Hubungan Kenaikan Berat Badan Interdialisis (IDWG)
Dengan Rasa Haus 61
Hasil Konseling dan Kunjungan Rumah 62

BAB 5 PEMBAHASAN 64
Rasa Haus Sebelum dan SesudahManajemen Asupan
Makanan: Diet Rendah Garam 64
Kenaikan Berat Badan Interdialysis (IDWG) 71
Perbedaan Rasa Haus Sebelum dan Sesudah Manajemen
Asupan Makanan: Diet Rendah Garam 73
Pengaruh Manajemen Asupan Makanan: Diet Rendah
Garam Terhadap Rasa Haus 74
Hubungan Kenaikan Berat Badan Interdialisis Terhadap
Rasa Haus 75
Keterbatasan Penelitian 76
Implikasi Hasil Penelitian Bagi Keperawatan 77

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 79


Kesimpulan 79
Saran 79

DAFTAR PUSTAKA 81
LAMPIRAN

viii
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

2.1. Teori Individual and Family Self-Management Ryan dan Sawin 39


3.1. Kerangka Operasional Penelitian 49

ix
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

3.1. Defenisi Operasional dan Variabel Penelitian 48


3.2. Hasil Distribusi Normalitas Penelitian 53
4.1. Karakteristik Responden Penelitian 56
4.2. Distribusi TDS, VAS dan IDWG 58
4.3. Mean Rank RasaHaus Sebelum dan Sesudah Perlakuan Pada
Kelompok Intervensi 60
4.4. Mean Rank RasaHaus Setelah Perlakuan Pada Kelompok
Intervensi dan Kontrol 60
4.5. Pengaruh Manajemen Asupan Makanan: Diet Rendah Garam
Terhadap Rasa Haus 61
4.6. Hubungan Kenaikan IDWG DenganRasaHaus ` 62
4.7. Persentase Pelaksanaan Intervensi 63

x
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Instrumen Penelitian 89


Lampiran 2 Biodata Expert 104
Lampiran 3 Surat Persetujuan Komisi Etik Penelitian 105
Lampiran 4 Surat Izin Penelitian 107
Lampiran 5 Master Data 113

xi
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
BAB 1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hemodialisis merupakan terapi pengganti ginjal yang banyak digunakan

diseluruh dunia dan jumlahnya meningkat setiap tahun (Cleemput & De-Laet,

2013; Ebrahimi et al., 2016; Yusop et al., 2013). Hemodialisis dilakukan karena

adanya kerusakan ginjal yang progresif dan irreversible, sehingga ginjal tidak

dapat secara adekuat untuk menyaring toksin dan produk sampah dari darah dan

(Dorgalaleh et al., 2013).

Prevalensi hemodialisis di Amerika pada tahun 2012 sebanyak 451.000

dan diperkirakan akan meningkat menjadi 632.000 pada tahun 2025 (Wetmore &

Collins, 2016), sedangkan berdasarkan data dari Indonesian Renal Registry (IRR,

2014) terdapat 28.882 pasien yang terlapor melakukan hemodialisis di Indonesia

dengan 957 orang diantaranya berada di Propinsi Sumatera Utara. Sedangkan

berdasarkan data yang diperoleh dari RSUP H. Adam Malik Medan terdapat 166

orang pasien yang menjalani hemodialisis rutin pada tahun 2009 dan meningkat

menjadi 191 orang pada tahun 2013 (Harahap et al., 2015).

Hemodialisis sebagai terapi pengganti ginjal tidak dapat menyembuhkan

pasien, namun hemodialisis dapat memperpanjang masa hidup dan meningkatkan

kualitas hidup pasien gagal ginjal. Sacrias et al. (2015) mengatakan bahwa 69-

71% pasien hemodialisis mengalami kematian akibat berhenti melakukan terapi

dan hanya 8-10% saja yang melanjutkan hemodialisis dengan 60% diantaranya

melakukan terapi dengan tidak teratur dengan alasan biaya yang dibutuhkan untuk

1
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2

melakukan hemodialisa sangat mahal (Cleemput & De-Laet, 2013; Cristovao,

2015; Prodjosudjadi & Suhardjono, 2009).

Hemodialisis sebagai terapi juga memiliki dampak negatif bagi pasien

seperti demam (50-60%), dispnea (20-30%), emboli paru yang mengakibatkan

nyeri dada (13%), penyakit jantung iskemia (50%), hipertensi (85%), pruritus (20-

70%) dan distress haus (95%) (Sacrias et al., 2015). Selain itu, hemodialisis juga

mengakibatkan komplikasi seperti hipotensi, mual dan muntah, kram pada kaki

dan gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit.

Tingkat keberhasilan terapi hemodialisis sangat bergantung pada tingkat

kepatuhan pasien untuk mengikuti pembatasan asupan makanan dan cairan yang

direkomendasikan (Chironda & Bhengu, 2016). Berdasarkan hasil penelitian,

prevalensi tingkat ketidakpatuhan pasien terhadap pembatasan cairan berkisar

antara 68,1% sampai 87,9% (Kara, 2016). Hasil penelitian ini relevan dengan

studi yang dilakukan oleh Fitriani, Krisnansari, dan Winarsi (2016) yang

menunjukkan bahwa prevalensi angka ketidakpatuhan pasien terhadap

pembatasan cairan di RS Margono Soekarjo Purwokerto sebesar 77,1%.

Kepatuhan akan pembatasan asupan cairan merupakan hal tersulit bagi

pasien. Pembatasan asupan cairan mengakibatkan terjadinya peningkatan rasa

haus yang dapat membuat pasien menjadi stress. Pasien yang tinggal di negara

dengan temperatur diatas 35 derajat seringkali mengalami kesulitan dalam

mengontrol konsumsi asupan cairan mereka. Beberapa hasil penelitian

memperlihatkan bahwa sekitar 39-95% pasien hemodialisis memiliki pengalaman

akan rasa haus dengan enam faktor utama yang mempengaruhinya, yaitu karena

adanya deplesi terhadap kalium, adanya peningkatan plasma urea akut,

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


3

hiperglikemia, konsentrasi natrium plasma, angiotensin II dan faktor psikologis

(Kara, 2013; Sacrias et al., 2015). Bruzda-Zweich, Szczepanska dan Zwiech

(2013) juga menambahkan faktor lain yang mempengaruhi rasa haus diantaramya

karena berkurangnya sekresi air liur (saliva), perubahan biologis dan biokimia,

abnormalitas hormon dan efek samping obat.

Haus merupakan stimulus terkuat untuk meminum cairan yang dapat

mengakibatkan peningkatan IDWG (interdialytic weight gain) pada pasien.

Peningkatan IDWG akan mengakibatkan peningkatan morbilitas dan mortalitas

pada pasien hemodialisis akibat adanya komplikasi kardiovaskular seperti edema

ekstremitas, acites, pembesaran ventrikel kiri dan gagal jantung kongestif (CHF),

hipertensi, dan edema paru akut (Chironda & Bhengu, 2016; Kara, 2013;

Kristovao, 2015).

Rasa haus merupakan sumber dari ketidaknyaman pada pasien dengan

penyakit serius (Zehm et al., 2016). Rasa haus menimbulkan sensasi mulut kering

akibat penurunan aliran dan produksi saliva, sehingga kekentalan saliva

meningkat dan menimbulkan bermacam permasalahan seperti mulut terasa

terbakar, peningkatan rasa haus, berkurangnya kepekaan terhadap rasa, halitosis

oral, kesulitan mengunyah, menelan, berbicara dan bernafas melalui mulut, mulut

bau, peningkatan resiko lesi pada mukosa, gusi dan lidah, serta peningkatan resiko

kandidiasis, kerusakan gigi, penyakit periodontal, juga infeksi bakteri dan jamur

pada mulut (Al-yassiri, 2014; Bossola & Tazza, 2012).

Xerostomia adalah perasaan subyektif dari mulut kering yang umumnya

ditemukan pada pasien yang mengalami hemodialisis kronis. Persentasi pasien

hemodialisis yang mengalami xerostomia sebesar 32 – 81% (Lopez-Pintor et al.,

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


4

2017) dan data ini relevan dengan hasil penelitian yang dilakukan Al-yassiri

(2014), dimana terdapat 69,767% pasien hemodialisis kronik mengalami

xerostomia.

National Kidney Foundation (NKF) (2016) merekomendasikan beberapa

cara untuk mengatasi rasa haus dan mulut kering (xerostomia) pada pasien

hemodialisis seperti berkumur, minum dengan menggunakan gelas ukuran kecil

untuk mencegah konsumsi cairan berlebih, mengunyah permen karet atau permen

keras bebas gula, mengulum es batu dan memakan buah dingin, serta membatasi

asupan garam. Pembatasan natrium melalui diet rendah garam merupakan faktor

resiko yang dapat diubah untuk mengurangi risiko penyakit kardiovaskular akibat

retensi cairan.

Menurut Mc. Causland, Waikar, dan Brunelli (2012), pembatasan natrium

merupakan prinsip utama dalam manajemen pasien hemodialisis sejak pertama

kali pasien menerima terapi pengganti ginjal. Pembatasan natrium dapat

menurunkan IDWG, menurunkan kebutuhan akan obat hipertensi, dan

memperbaiki dampak pada pembesaran ventrikel kiri serta berkurangnya rasa

haus. National Kidney Foundation-Kidney Disease Outcomes Quality Initiative

(NK- KDOQI) Guidelines merekomendasikan bahwa jumlah asupan natrium yang

disarankan untuk pasien hemodialisis adalah sebanyak <2400 mg/hari atau setara

dengan garam menja sebanyak <6 gram/hari mencegah komplikasi kardivaskular,

sedangkan European Nutrition Guide merekomendasikan sebanyak 2000 sampai

2300 mg atau setara dengan garam dapur sebanyak 5-6 gram/hari dan menurut

Kidney Organization Guide, natrium yang direkomendasikan adalah sebesar 1500

sampai 2000 mg per hari.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


5

Hasil studi Mc. Causland, Waikar, dan Brunelli (2012) menunjukkan

bahwa rata-rata asupan garam harian pasien hemodialisis di Jepang adalah 12,6

gram (~5,5 gram atau 240 mmol natrium), sedangkan pasien hemodialisis di

Spanyol sebanyak 10 gram (~4,3 gram atau 189 mmol natrium) dan pasien

hemodialisis di Amerika sebanyak 9,7 gram (~4,2 gram atau 183 mmol natrium).

Sementara itu, penelitian Nerbass et al. (2013) mengindikasikan rata-rata natrium

harian yang dikonsumsi pasien hemodialisa di Brazil adalah sebanyak 8.6

gram/hari yang diakibatkan dari adanya penggunaan garam dan tambahan

penyedap makanan yang mengandung garam dalam makanan mereka, sehingga

terjadinya peningkatan rasa haus, IDWG dan tekanan darah.

Berdasarkan hasil wawancara dengan perawat hemodialisa di RSUP H.

Adam Malik Medan, edukasi mengenai pembatasan garam pada pasien

hemodialisis sudah dilakukan, namun pelaksanaan pembatasan tersebut selama

pasien di rumah tidak dapat terpantau. Hal ini dibuktikan dengan adanya

peningkatan IDWG di setiap sesi dialysis dan adanya peningkatan tekanan darah

yang sering dialami oleh pasien khususnya pasien yang telah menjalani

hemodialisis rutin lebih dari 6 bulan.

Besarnya konsumsi asupan natrium harian sangat dipengaruhi oleh

kemampuan pasien dalam menjaga dirinya sendiri (self-management) guna

mengontrol gejala dan proses penyakit. Li, Jiang dan Lin (2013) dalam studinya

mengatakan bahwa self-management diinterpretasikan sebagai tugas yang harus

dilakukan oleh pasien dari hari ke hari untuk mengontrol atau mengurangi

dampak penyakit terhadap status kesehatan fisiknya. Ryan dan Sawin (2009)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


6

mengatakan bahwa self-management terdiri dari tiga komponen, yaitu proses,

program dan outcomes.

Secara proses, mekanisme self-management menitikberatkan kepada

individu atau pasien sebagai subjek pelaku pengendali keberhasilan self-

management. Sedangkan secara program, intervensi dan edukasi yang diberikan

tenaga kesehatan profesional merupakan tugas yang harus dilaksanakan pasien

untuk mencapai outcomes, yaitu standar kesehatan yang diinginkan

(memaksimalkan status kesehatan) (Schulman-Green et al., 2012). Li, Jiang dan

Lin (2013) juga menjelaskan bahwa komponen dari self-management meliputi

penerimaan akan informasi, manajemen obat, manajemen gejala, manajemen

konsekuensi psikologi, perubahan gaya hidup, dukungan sosial, dan komunikasi.

Kepatuhan akan diet khusus seperti diet rendah garam dan pembatasan cairan

merupakan salah satu bentuk dari komponen manajemen gejala pada pasien

hemodialisis.

Edukasi tentang pembatasan asupan garam pada pasien hemodialisis

merupakan intervensi yang telah banyak disosialisasikan oleh perawat dan tenaga

kesehatan profesional lainnya kepada pasien sebagai intervensi untuk mengurangi

rasa haus akibat adanya pembatasan cairan. Namun pada kenyataannya masih

banyak pasien hemodialisis yang mengalami rasa haus, yang membuat mereka

tersiksa, sehingga menimbulkan ketidaknyamanan dan membuat kualitas hidup

pasien terganggu. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian

tentang pengaruh manajemen asupan makanan: diet rendah garam terhadap rasa

haus yang dirasakan oleh pasien hemodialisis.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


7

Permasalahan

Kegagalan dalam pembatasan cairan sering terjadi akibat kurangnya

kepatuhan pasien dalam menjalankan program pembatasan cairan yang telah

dirancang antara tenaga kesehatan bersama pasien. Ketidakpatuhan pasien dalam

hal pembatasan cairan memerlukan perhatian yang serius dari perawat. Edukasi

yang tepat tentang manajemen cairan dan asupan makanan sangat diperlukan.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Alharbi dan Enrione (2012)

didapatkan 58.7% pasien hemodialisa tidak patuh terhadap pembatasan cairan,

sehingga memerlukan konseling dan edukasi secara rutin dan berkelanjutan. Hal

ini juga didukung dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Haryanto (2013),

dimana 10.3% pasien hemodialisis masih mengkonsumsi ikan yang diawetkan

dengan garam dan 20.5% pasien masih mengkonsumsi makanan yang diawetkan.

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, yaitu

pembatasan cairan akan membuat pasien hemodialisis mengeluh haus dan mulut

kering, sehingga membutuhkan terapi non farmakologis untuk mengatasi masalah

tersebut, maka diperlukan kajian yang lebih dalam tentang pengaruh manajemen

asupan makanan: diet rendah garam terhadap rasa haus pada pasien hemodialisis.

Tujuan Penelitian

Tujuan umum

Tujuan umum penelitian ini adalah mengidentifikasi pengaruh manajemen

asupan makanan: diet rendah garam terhadap rasa haus pada pasien hemodialisis.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


8

Tujuan khusus

Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang telah dipaparkan

sebelumnya, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah : 1) untuk

mengetahui karakteristik pasien hemodialisis yang mengalami rasa haus (umur,

jenis kelamin, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan dan lamanya mendapatkan

terapi hemodialisis rutin), 2) untuk mengidentifikasi rasa haus sebelum dan

sesudah intervensi manajemen diet rendah garam, 3) untuk mengidentifikasi

pengaruh intervensi manajemen asupan makanan: diet rendah garam terhadap rasa

haus pada pasien gagal ginjal kronik dengan hemodialisis.

Hipotesis

Hipotesis kerja (Ha)

Hipotesis pada penelitian ini adalah terdapat pengaruh manajemen asupan

makanan: diet rendah garam terhadap rasa haus pada pasien gagal ginjal kronik

dengan hemodialisis.

Hipotesis statistic (Ho)

Hipotesis statistik pada penelitian ini adalah tidak ada pengaruh

manajemen asupan makanan: diet rendah garam terhadap rasa haus pada pasien

gagal ginjal kronik dengan hemodialisis. Adapun variabel independen pada

penelitian ini adalah diet rendah garam, sedangkan variabel dependen yaitu rasa

haus.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


9

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pelayanan

keperawatan, pendidikan keperawatan dan perkembangan penelitian keperawatan.

Pelayanan keperawatan

Hasil penelitian ini dapat menjadi pedoman dan acuan bagi perawat dalam

menjalankan perannya sebagai pemberi edukasi khususnya tentang pentingnya

diet rendah garam pada pasien hemodialisa, sehingga tujuan perawatan dapat

tercapai dan meningkatkan profesionalisme perawat dalam pemberian asuhan

keperawatan.

Pendidikan keperawatan

Hasil penelitian ini dapat menjadi panduan manajemen asupan makanan

bagi penderita gagal ginjal yang menjalani hemodialisa, sehingga peserta didik

keperawatan dapat mempelajari dan mempraktekkannya di rumah sakit maupun di

akademik saat memberikan asuhan keperawatan pada pasien gagal ginjal dengan

hemodialisa.

Penelitian keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan rujukan penelitian

selanjutnya terkait dengan manajemen asupan makanan bagi penderita gagal

ginjal yang menjalani hemodialisa.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Konsep Penyakit Gagal Ginjal Kronik

Definisi

National Kidney Foundation (NKF) Kidney Disease Outcomes Quality

Initiative (KDOQI) pada tahun 2002 menyatakan bahwa penyakit ginjal kronik

adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari 3 bulan dan berdasarkan

kelainan patologis, namun jika tidak ada tanda kerusakan ginjal, maka diagnosis

penyakit ginjal kronik tetap dapat ditegakkan apabila laju filtrasi glomerulus

(LFG) kurang dari 60 ml/menit/1.73 m2. Apabila tidak terdapat kerusakan ginjal

lebih dari 3 bulan, namun LFG sama atau lebih dari 60 ml/menit/1.73 m2, maka

keadaan ini tidak termasuk dalam kriteria penyakit ginjal kronik.

Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi

yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan pada

umumnya berakhir dengan gagal ginjal (Black & Hawk, 2005), sedangkan

menurut Price dan Wilson (2005) gagal ginjal kronik adalah suatu keadaan klinis

kerusakan ginjal yang progresif dan irreversible. Uremia adalah suatu sindroma

klinis dan laboratorik yang terjadi pada semua organ yang diakibatkan dari

penurunan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik. Smeltzer, Bare, Hinkle dan

Cheever (2010) juga mengatakan bahwa penyakit ginjal kronik (CKD) atau gagal

ginjal kronik (CRF) atau end stage renal disease (ESRD) merupakan kerusakan

fungsi ginjal yang progresif dan permanen, dimana tubuh tidak mampu

10
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
11

memelihara metabolisme dan gagal memelihara keseimbangan cairan dan

elektrolit dan berakibat peningkatan ureum (azotemia).

Angka kejadian penyakit gagal ginjal bertambah setiap tahunnya dan pada

negara-negara berkembang angka kejadian lebih tinggi 3-4 kali (Chironda &

Bhengu, 2016). Wetmore dan Collins (2016) mengatakan bahwa pada negara-

negara maju seperti Amerika dan Eropa Barat, angka kejadian ESRD sekitar

110.000 per tahunnya sejak pertengahan dekade, sedangkan berdasarkan data

Persatuan Nefrologi Indonesia (Pernefri, 2011), prevalensi ESRD di Indonesia

mencapai 200-250 per 1 juta penduduk, dan diperkirakan pada tahun 2020 akan

terdapat 1.200 kasus penyakit ESRD per satu juta penduduk diseluruh dunia

(Shahghoglian & Yousefi, 2015).

Etiologi

Gagal ginjal kronik terjadi akibat dari berbagai macam penyakit yang

merusak nefron ginjal dan sebagian besar penyebab penyakit merupakan penyakit

parenkim ginjal difus dan bilateral. Lesi obstruktif pada saluran kemih juga dapat

menyebabkan gagal ginjal kronik.

Tabel 1. Etiologi Penyakit Gagal Ginjal di Indonesia Tahun 2014

Penyebab Insiden
Nefropati diabetika 27%
Penyakit ginjal hipertensi 37%
Glumerulopati primer (GNC) 10%
Nefropati obstruksi 7%
Pielonefritis kronik (PNC) 7%
Nefropati lupus 1%
Nefropati asam urat 1%
Ginjal polikistik 1%
Penyebab tidak diketahui 2%
Lain-lain 7%
(Sumber : Indonesia Renal Registry, 2014)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


12

Patofisiologi

Patofisiologi gagal jantung kronik tergantung dari penyakit yang

mendasari yang mengakibatkan adanya pengurangan masa ginjal dan akhirnya

mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa

sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti

sitokin dan growth factor, sehingga menyebabkan terjadinya hiperfiltrasi yang

diikuti dengan peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Keadaan

ini merupakan proses adaptasi, yang terjadi sangat cepat dan diikuti dengan

dengan proses maladapatasi yaitu berupa sklerosis nefron yang masih tersisa yang

pada akhirnya akan mengakibatkan penurunan fungsi nefron secara progresif.

Hiperfiltrasi, sklerosis dan progresifitas terjadi karena adanya peningkatan

aktivitas renin-angiostensin-aldosteron intrarenal yang dipengaruhi oleh

transforming growth factor β (TGF-β). Proses progresifitas ini dipengaruhi oleh

albuminuria, hipertensi, hiperglikemia dan dislipidemia.

Pada stadium awal penyakit, ginjal akan mengalami kehilangan daya

cadangan (renal reverse), dimana laju filtrasi glomerulus (LFG) masih normal

atau mungkin meningkat, namun dengan perlahan akan terjadi penurunan fungsi

nefron yang progresif yang ditandai dengan adanya peningkatan kadar urea dan

kreatinin serum. Keluhan biasanya belum tampak (asimptomatik) sampai dengan

LFG mencapai 60%, tetapi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum sudah

terjadi. Pada saat LFG sebesar 30%, keluhan sudah mulai timbul seperti nokturia,

kelemahan, mual, nafsu makan berkurang dan terjadi penurunan berat badan.

Apabila LFG berada dibawah 30%, maka tanda dan gejala uremia secara

signifikan terjadi seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


13

metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan juga dapat terjadi

infeksi saluran perkemihan, pencernaan, pernafasan, gangguan keseimbangan

cairan dan elektrolit seperti hipovolemia, hipervolemia, natrium dan kalium. Saat

LFG kurang dari 15%, maka gejala gagal ginjal semakin berat dan memerlukan

terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara lain dialisis dan

transplantasi ginjal.

Ketidakseimbangan Cairan

Mula-mula ginjal kehilangan fungsinya sehingga tidak mampu

memekatkan urine (hipothenuria) dan kehilangan cairan yang berlebihan

(poliuria). Hipothenuria tidak disebabkan atau berhubungan dengan penurunan

jumlah nefron, tetapi oleh karena adanya peningkatan beban zat dan kelebihan air

sehingga nefron-nefron tersebut tidak dapat berfungsi lama. Oleh karena itu, maka

terjadilah osmotik diuretik yang menyebabkan seseorang mengalami dehidrasi.

Apabila jumlah nefron yang tidak berfungsi meningkat, maka ginjal tidak mampu

menyaring urine (isothenuria). Pada tahap ini, glomerulus menjadi kaku dan

plasma tidak dapat difilter dengan mudah melalui tubulus, maka akan terjadi

kelebihan cairan dengan retensi air dan natrium.

Ketidakseimbangan Natrium

Ketidakseimbangan natrium merupakan masalah yang serius pada

penyakit ginjal dimana ginjal dapat mengeluarkan sedikitnya 20-30 mEq natrium

setiap hari dan dapat meningkat sampai 200 mEg perhari. Variasi kehilangan

natrium berhubungan dengan “intact nephron theory”. Dengan kata lain, bila

terjadi kerusakan nefron, maka tidak terjadi pertukaran natrium. Nefron menerima

kelebihan natrium, sehingga menyebabkan LFG menurun dan dehidrasi.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


14

Kehilangan natrium akan meningkat bila terjadi gangguan gastrointestinal,

terutama muntah dan diare. Keadaan ini memperburuk hiponatremia dan

dehidrasi. Pada gagal ginjal kronik yang berat, keseimbangan natrium dapat

dipertahankan meskipun terjadi kehilangan yang fleksibel nilai natrium. Pada

orang sehat, ekskresi natrium dapat meningkat diatas 500 mEq/hari. Bila LFG

menurun di bawah 25-30 ml/menit, maka ekskresi natrium kurang lebih 25

mEq/hari, maksimal ekskresinya 150-200 mEq/hari. Pada keadaan ini natrium

dalam diet harus dibatasi 1-1,5 gram/hari.

Ketidakseimbangan Kalium

Apabila keseimbangan cairan dan asidosis metabolic dapat dikontrol,

maka ketidakseimbangan kalium biasanya jarang terjadi sebelum stadium 4.

Keseimbangan kalium berhubungan dengan sekresi aldostreron. Selama urine

output dapat dipertahankan, maka kadar kalium biasanya terpelihara.

Hiperkalemia terjadi karena pemasukan yang berlebihan, dampak pengobatan,

hiperkatabolik (infeksi) dan hiponatremia. Hiperkalemia juga merupakan

karakteristik dari tahap uremia.

Hipokalemia terjadi pada keadaan muntah dan diare berat. Pada penyakit

tubuler ginjal, nefron ginjal akan mereabsorbsi kalium, sehingga ekskresi kalium

meningkat. Apabila hipokalemia persisten, kemungkinan LFG menurun dan

produksi NH3 meningkat, kadar HCO3 menurun dan natrium bertahan.

Ketidakseimbangan Aasam Basa

Asidosis metabolik terjadi karena ginjal tidak mampu mengekskresi ion

hidrogen untuk menjaga keseimbangan pH darah normal. Disfungsi renal tubuler

mengakibatkan pengeluaran ion H. Pada umumnya penurunan ekskresi ion H

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


15

sebanding dengan penurunan LFG. Akibat terbentuknya asam yang terus menerus

akibat metabolisme dalam tubuh dan tidak difiltasi secara efektif saat melewati

glomerulus, maka kadar NH3 menurun dan sel tubuler menjadi tidak berfungsi.

Kegagalan pembentukan bikarbonat juga akan memperberat ketidakseimbangan.

Sebagian kelebihan hidrogen ini dibuffer oleh mineral tulang, sehingga dapat

memungkinkan terjadinya osteodistrophy

. Ketidakseimbangan Magnesium

Pada tahap awal gagal ginjal kronik, kadar magnesium biasanya normal

dan akan menurun secara progresif seiring dengan kerusakan ginjal dan

menyebabkan akumulasi. Akibat terjadinya penurunan eksresi dan terjadi intake

yang berlebihan, maka dapat terjadi henti nafas dan jantung.

Ketidakseimbangan Kalsium dan Fosfor

Kadar kalsium dan fosfor dapat dipertahankan dalam batas normal karena

adanya hormon paratiroid yang menyebabkan ginjal mereabsorpsi kalsium,

memobilisasi kalsium dari tulang dan mendepresi reabsorbsi tubuler dari fosfor.

Namun bila fungsi ginjal menurun sebesar 20-25% dari normal, maka

hiperfosfatemia dan hipokalsemia terjadi dan menimbulkan hiperparatiroid

sekunder. Oleh karena keadaan ini, maka vitamin D menjadi terganggu. Apabila

keadaan hiperparatiroidisme sekunder berlangsung dalam waktu yanng lama,

maka dapat mengakibat terjadinya osteorenaldystrophy.

Gangguan Fungsi Hematologi

Salah satu fungsi ginjal adalah memproduksi hormon eritropoetin yang

berguna untuk mengontrol produksi sel darah merah. Pada gagal ginjal, produksi

eripoetin mengalami gangguan, sehingga merangsang pembentukan sel darah

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


16

merah oleh bone marrow. Dengan adanya akumulasi racun uremia, maka akan

menekan produksi sel darah merah dalam bone marrow dan mengakibatkan masa

hidup sel darah merah menjadi lebih pendek dan mengakibatkan anemia.

Manifestasi klinis anemia yang diakibatkan diantaranya adalah terjadinya

kepucatan, takikardi, penurunan toleransi aktivitas, gangguan pendarahan seperti

epitaksis, pendarah gastrointestinal, petekhie. Walaupun produksi trombosit masih

dalam batas normal, namun pendarahan tetap dapat terjadi akibat adanya

penurunan fungsi. Peningkatan kehilangan sel darah merah juga dapat terjadi

akibat adanya pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan laboratorium dan

selama dialisis.

Retensi Ureum Kreatinin

Urea merupakan hasil metabolik protein, kadarnya akan meningkat pada

penderita gagal ginjal akibat terjadi penurunan LFG dan terjadi akumulasi urea.

Keadaan ini dapat diperparah bila tidak dilakukan pembatasan intake protein.

Oleh karena itu, BUN dan serum kreatinin merupakan indikator yang baik pada

gagal ginjal. Kadar kreatinin serum yang diseksresikan merupakan gambaran dari

kadar kreatinin yang diproduksi tubuh secara konstan.

Klasifikasi Gagal Ginjal

Penyakit gagal ginjal diklasifikasikan berdasarkan derajat penurunan

fungsi ginjal yang dinilai berdasarkan nilai Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) atau

Glomeruler Filtration Rate (GFR), yang dihitung dengan menggunakan rumus

Kockcroft-Gault. Derajat GFR normal adalah : 125 mL/min/1,73m2 (Smeltzer et

al., 2010). Berikut adalah klasifikasi penyakit ginjal kronis yang dapat dilihat

dalam tabel 2.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


17

Tabel 2. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik

LFG
Derajat Penjelasan
(ml/mnt/1,73m2
Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau
1 ≥ 90
meningkat
Kerusakan ginjal dengan LFG menurun
2 60 – 89
ringan
Kerusakan ginjal dengan LFG menurun
3 30 – 59
sedang
4 Kerusakan ginjal dengan LFG menurun berat 15 – 29
5 Gagal ginjal terminal ≤ 15 atau dialisis
(Sumber : Smeltzer et al., 2010)

Manifestasi Klinis

Manisfestasi klinis yang dapat ditimbulkan pada gagal ginjal kronik yaitu:

Gangguan Sistem Gastrointestinal

Penderita gagal ginjal kronik akan menunjukkan gejala a) anoreksia,

nausea dan vomitus, yang diakibatkan karena adanya gangguan motabolisme

protein didalam usus, terbentuknya zat-zat toksik akibat metabolisme bakteri usus

seperti amonia dan metal guanidine, serta adanya pembengkakan mukosa usus; b)

foetor uremik, yang diakibatkan dari kadar ureum yang berlebihan pada air liur

dan diubah menjadi amonia oleh bakteri di mulut, sehingga nafas berbau amonia.

Stomatitis dan parotitis dapat terjadi akibat adanya foetor uremik ini; c) cegukan

(hiccup); d) gastritis erosif, ulkus peptik dan kolitis uremik.

Kulit

Pada sistem integumen akan terjadi a) kulit berwana pucat (akibat anemia)

dan kekuning-kuningan (akibat penimbunan urokrom), gatal-gatal dengan

eksoriasi (akibat toksin uremik dan pengendapan kalsium di pori-pori kulit);

b)ekimosis, yang diakibatkan dari gangguan hematologis; c) urea fros, yang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


18

diakibatkan dari adanya kristlisasi urea pada keringat (biasanya jarang ditemui);

dan d) bekas garukkan yang diakibatkan dari rasa gatal pada kulit.

Sistem Hematologi

Anemia

Anemia yang terjadi disebabkan oleh: a) berkurangnya produksi

eritropoetin, sehingga rangsangan eritropoesis pada sumsum tulang belakang

menurun; b) hemolisis, akibat berkurangnya masa hidup eritrosit dalam suasana

uremia toksik; c) defisiensi besi, asam folat, dan lain-lain akibat nafsu makan

yang kurang; d) perdarahan, (paling sering terjadi pada saluran cerna dan kulit);

e) fibrosis sumsum tulang akibat hiperparatiroidisme sekunder.

Gangguan fungsi trombosit dan trombositopenia

Perdarahan pada gagal ginjal kronik terjadi akibat adanya agregasi dan

adhesi trombosit yang berkurang serta menurunnya faktor trombosit III dan ADP

(adenosin difosfat).

Gangguan fungsi leukosit

Fungsi limfosit menurun akibat adanya fagositosis dan kemotaksis,

sehingga imunitas penderita gagal ginjal kronik juga menurun.

Sistem Saraf dan Otot

Pada sistem ini akan terjadi: a) restless leg syndrome, yaitu keadaan

dimana pasien merasa pegal pada area kaki, sehingga kaki selalu digerakkan; b)

burning feat syndrome, yaitu keadaan dimana pasien merasa adanya sensasi

kesemutan dan seperti terbakar terutama di area telapak kaki; c) ensefalopati

metabolik, mengakibatkan rasa lemah, tidak dapat tidur, gangguan konsentrasi,

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


19

tremor, ateriksis, mioklonus dan kejang; d) miopati, mengakibatkan rasa

kelemahan dan hipotrofi otot-otot ekstremitas proksimal.

Sistem Kardiovaskular

Pada sistem kardiovakular akan terjadi: a) hipertensi, akibat adanya

penimbunan cairan dan garam atau juga dikarenakan aktivitas sistem renin-

angiostensin-aldosteron; b) Nyeri dada dan sesak nafas akibat perikarditis, efusi

perikardial, penyakit jantung koroner akibat aterosklerosis yang timbul dini, dan

gagal jantung akibat penimbunan cairan hipertensi;c)gangguan irama jantung

akibat elektrolit dan klasifikasi metafisik; d) edema akibat penimbunan cairan.

Sistem Endokrin

Manifestasi klinis yang ditimbulkan pada sistem ini meliputi: a) terjadi

gangguan seksual seperti libido, fertilitas dan ereksi pada laki-laki yang

diakibatkan dari menurunnya produksi testoteron dan spermatogenesis.

Sedangkaan pada wanita terjadi gangguan menstruasi dan ovulasi sampai dengan

amenorea; b) gangguan metabolisme glukosa, terjadinnya resistensi insulin dan

gangguan sekresi insulin; c) gangguan metabolisme lemak; d) gangguan

metabolisme vitamin D.

Gangguan Ssistem Lain

Penderita gagal ginjal kronik akan mengalami: a) masalah tulang dan

jaringan lunak seperti osteomalasia, osteitis fibrosa, osteosklerosis; b) asidosis

metabolik akibat terjadinya penimbunan asam organik sebagai hasil metabolisme;

c) gangguan elektrolit seperti hiperfosfatemia, hiperkalemia, dan hipokalsemia.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


20

Pemeriksaan Diagnostik

Pemeriksaan diagnostik yang dilakukan antara lain pemeriksaan

laboratorium dan pemeriksaan radiologi.

Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan antara lain serum natrium, serum

kalium, pH urine, serum fosfor, hemaglobin, hematokrit, urea nitrogen dalam

darah (BUN), creatinin serum dan konsentrasi creatinin urin serta urinalisis. Pada

stadium insufisiensi, analisa urine dan kreatinin urin rata-rata yang dihasilkan dari

urin tampung selama 24 jam yang bertujuan sebagai indikator untuk menilai

fungsi ginjal. Sedangkan pada stadium gagal ginjal, analisa urin dilakukan untuk

melihat kadar protein, glukosa, eristrosit, leukosit serta penurunan osmolaritas

urin. Kadar BUN dan kreatinin juga sangat penting untuk dimonitor guna melihat

adanya dehidrasi dan kelebihan intake protein, karena urea nitrogen merupakan

produk akhir dari metabolisme protein dan kreatinin adalah produk sampingan

dari hasil pemecahan fosfokreatin diotot yang dibuang melalui ginjal.

Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan radiologi yang biasa digunakan antara lain a) computer

tomography (CT) scan, yang digunakan untuk melihat secara jelas struktur

anatomi ginjal; b) interneous pyelography (IVP), untuk mengevaluasi keadaan

fungsi ginjal dengan memakai kontras; c) arteriorenal angiography, yang

digunakan untuk mengetahui sistem arteri, vena dan kapiler pada ginjal dengan

menggunakan kontras; d) magnetic resnance imaging (MRI), digunakan untuk

mengevaluasi kasus yang disebabkan oleh obstruksi uropati, proses infeksi pada

ginjal serta post transplantasi ginjal.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


21

Konsep Hemodialisis

Pengertian dan Prinsip Hemodialisis

Dialisis adalah cara yang digunakan untuk mengeluarkan air dan produk

sampah uremik dari tubuh ketika ginjal tidak mampu melakukan tugasnya

(Smeltzer et al., 2010). Terdapat tiga cara untuk melakukan dialisis ini yaitu

hemodialisa, continous renal replacement therapy (CRRT) dan dialisis peritoneal.

Hemodialisis adalah proses dimana terjadi difusi partikel terlarut (solut)

dan air secara pasif melalui satu kompartemen cair yaitu darah menuju

kompartemen cair lainnya yaitu cairan dialisat melewati membran semipermiabel

dalam dializer (Price & Wilson, 2005). Difusi merupakan proses perpindahan

molekul dari larutan dengan konsentrasi tinggi ke larutan dengan konsetrasi

rendah sampai tercapai kondisi seimbang. Proses ini dipengaruhi oleh suhu,

viskositas, dan ukuran molekul. Saat darah dipompa melalui dializer, maka

membran akan mengeluarkan tekanan positifnya, sehingga tekanan diruangan

yang berlawanan dengan membran menjadi rendah. Hal ini mengakibatkan cairan

dan larutan dengan ukuran kecil bergerak dari daerah yang bertekanan tinggi

menuju daerah yang bertekanan rendah (tekanan hidrostatik). Karena adanya

tekanan hidrostatik tersebut, maka cairan dapat bergerak menuju membran

semipermeabel dan proses ini disebut juga dengan ultrafiltrasi.

Tujuan hemodialisis adalah menghilangkan gejala yaitu mengendalikan

uremia, kelebihan cairan dan ketidakseimbangan elektrolit yang terjadi pada

pasien penyakit ginjal tahap akhir. Hemodialisis efektif mengeluarkan cairan,

elektrolit dan sisa metabolisme tubuh, sehingga secara tidak langsung bertujuan

untuk memperpanjang umur klien. Hemodialisis ditujukan pada penderita gagal

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


22

ginjal akut yang membutuhkan terapi dialisis jangka pendek (hanya beberapa

hari/minggu saja) dan pada penderita gagal ginjal tahap akhir yang membutuhkan

terapi jangka panjang atau permanen (Smeltzer et al., 2010). Secara umum

hemodialisis diindikasikan pada penderita gagal ginjal kronik dengan: 1) LFG

kurang dari dari 15 ml/mnt; 2) hiperkalsemia; 3) asidosis; 4) kegagalan terapi

konservatif; 5) kadar ureum lebih dari 200 mg/dL dan kreatinin lebih dari 6

mEq/L; 6) kelebihan cairan; 7) anuria berkepanjangan lebih dari 5 hari.

Garam Natrium pada Pasien Dialisis

Natrium merupakan komponen garam utama dalam cairan ektraselular dan

pengatur dalam osmolaritas serum. Peningkatan kadar natrium tubuh akan

mengakibatkan retensi cairan yang dapat menyebabkan terjadinya peningkatan

tekanan darah (hipertensi) dan peningkatan kerja jantung akibat peningkatan

volume dan tekanan curah jantung, sehingga dapat menyebabkan kematian.

Peningkatan kadar garam natrium tubuh juga dapat mengakibatkan rasa haus

sehingga tubuh berespon untuk meningkatkan asupan minumnya, guna

mempertahankan kadar natrium tubuh dan osmolalitas. Peningkatan konsumsi

cairan sebagai respon terhadap rasa haus akan membuat pasien hemodialisis

mengalami peningkatan berat badan kering (interdialytic weight gain/IDWG)

yang dapat mengakibatkan komplikasi dan kematian.

Hubungan antara Natrium dan Keseimbangan Cairan

Keseimbangan air tubuh dan garam (NaCl) sangat erat kaitannya,

mempengaruhi baik osmolalitas maupun volume cairan ektraseluar (ECF). Tetapi,

pengaturan keseimbangan natrium dan air melibatkan mekanisme yang berbeda

dan tumpang tindih. Keseimbangan air tubuh terutama diatur oleh rasa haus dan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


23

hormon antideuretik (ADH) untuk mempertahankan isoosmotik dari plasma

(mendekati 287 mOsmol/kg). Sebaliknya, keseimbangan natrium terutama diatur

oleh aldosteron dengan tujuan mempertahankan volume ECF dan perfusi jaringan.

Pengaturan osmotik diperantarai oleh hipotalamus, pituitaria dan tubulus

ginjal. ADH adalah hormon peptida yang disintesis di hipotalamus dan disimpan

di hipofise. Hipotalamus juga mempunyai osmoreseptor yang peka terhadap

osmolalitas darah dan pusat rasa haus. Rasa haus merangsang pemasukan air dan

merangsang ADH untuk mengubah permeabilitas duktus kolektif ginjal,

meningkatkan reabsorpsi air. Akibatnya terjadi peningkatan volume air tubuh

yang akan memulihkan osmolalitas plasma kembali normal dan terbentuk urine

yang hiperosmotik (pekat) dengan volume yang sedikit. Penurunan osmolalitas

plasma mengakibatkan hal yang sebaliknya dimana terjadi penekanan rasa haus

dan menghambat pelepasan ADH.

Mekanisme ADH begitu sensitif, sehingga osmolalitas plasma dalam

keadaan normal variasinya tidak melebihi 1-2% dari nilai normal yaitu sebesar

287 mOsmol/kg. Penurunan volume cairan ektraselular yang cukup besar (5-10%)

baru dapat menimbulkan rasa haus dan pelepasan ADH. Dengan demikian,

mekanisme ADH sangat erat kaitannya dengan pengaturan osmotik melalui

pengendalian keseimbangan cairan. Sistem renin-angiostensin-aldosteron adalah

mekanisme yang paling penting dalam mengatur volume ECF dan ekskresi

natrium oleh ginjal. Aldosteron adalah homon yang disekresi oleh daerah

glomerulo pada korteks adrenal. Produksi aldosteron dirangsang oleh baroresptor

yang ada pada arteriol aferen ginjal. Penurunan volume sirkulasi dideteksioleh

baroresptor yang mengakibatkan sel-sel jukstaglomerular ginjal memproduksi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


24

renin. Renin bekerja sebagai enzim yang melepaskan angiostensin I dari plasma

angiostensinogen. Angiostensin I kemudian diubah menjadi angiostensin II pada

paru-paru. Angiostensin II ini merangsang korteks adrenal untuk mensekresi

aldosteron yang mengakibatkan retensi natrium dan air. Selain itu, angiostensin II

untuk membantu memulihkan volume sirkulasi efektif.

Konsentrasi Natrium dalam Dialisat

Dialisat adalah cairan interstisial (plasma) sintetis yang mampu

membentuk kembali komposisi ECF melalui ekstraksi urea dengan cara

memisahkan larutan dari pelarutnya (garam dan air) untuk dapat diedarkan

kembali kedalam tubuh (Flanigan, 2000). Setiap pasien yang menerima terapi

dialisis akan menggunakan dialisat, dan komposisi kimia dari dialisat terbanyak

adalah garam dan air. Kebanyakan cairan dialisat yang digunakan adalah dialisat

natrium. Tingkat dialisat natrium menentukan tidak hanya pertukaran natrium

antara dialisat dan plasma atau plasma dengan ECF saja, tetapi juga pertukaran

antara air dialisat dan plasma, antara plasma dan ECF, dan antara ECF dan

intraselularnya.

Pada saat hemodialisis, proses ultrafiltrasi terjadi secara osmotik dan

hidrostatik. Ultrafiltrasi osmotik terjadi karena konsentrasi air dalam plasma lebih

tinggi daripada dalam dialisat, maka air akan mengalir dari plasma ke dialisat.

Oleh karena itu, bila dialisat yang digunakan adalah dialisat isonatrik, maka

hipernatremia akan selalu terjadi. Selanjutnya pada proses ultrafiltrasi hidrostatik,

diharapkan kadar natrium plasma (darah) agar tetap konstan, oleh karena itu pada

tahap ini air dan garam yang berlebih dibuang untuk tetap mempertahankan status

kering pasien.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


25

Kadar natrium pada cairan dialisat berperan penting dalam

mengembalikan volume darah dari kompartemen intrastisial. Pengembalian

volume darah dari interstisial ke dalam kompartmen intravaskular akan rendah

bila status hidasi dari interstisial juga rendah. Semakin tinggi konsentrasi natrium

pada cairan dialisat, maka cairan akan bergerak dari kompartemen intraselular,

sedangkan konsetrasi natrium yang rendah akan mengakibatkan disequilibrium

antara kompartemen intraselular dan ekstraselular akan terjadi. Oleh karena itu,

penggunaan dialisis dengan kadar natrium rendah akan mengakibatkan

pengembalian volume darah dari kompartemen interstisial akan terganggu karena

seharusnya cairan bergerak dari interstisial kedalam kompartemen intraselular,

sehingga memperngaruhi pengembalian volume dari interstisial ke dalam

kompartemen intravaskular.

Pemodifikasian kadar natrium dialisat yang digunakan untuk dialysis

banyak dilakukan dengan tujuan mengurangi keluhan saat hemodialisis,

diantaranya modifikasi yang dilakukan oleh George Lam Sui Sang et al. (1997)

dalam Siregar (2014), dimana dalam penelitiannya tersebut kadar natrium dialisat

yang digunakan diturunkan dari 155mEq/L menjadi 140 mEq/L dan dilakukan

secara tetap, linear maupun secara bertahap pada 414 sesi hemodialisis pada 23

orang pasien yang dilakukan secara acak. Dari hasil penelitian yang dilakukannya

ini dinyatakan tidak ada perbedaan bermakna antara protokol modifikasi dengan

standar dialisis, yaitu keduanya tetap mengalami efek samping hemodialisis

seperti kram, mual, muntah dan sakit kepala. Namun keluhan interdialitik (seperti

fatique dan rasa haus), peningkatan berat badan dan hipertensi terjadi peningkatan

pada kelompok protokol. Sedangkan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


26

Davenport et al. (2008), dimana mereka melakukan penelitian dengan

membandingkan antara kelompok yang menggunakan konsentrasi natrium 140

mmol/L dan >140 mmol/L, maka didapatkan bahwa 13,5% pasien pada kelompok

dialisat tinggi natrium mengeluhkan hipotensi intradialisis dan membutuhkan

resusitasi cairan, sedangkan pada kelompok dialisat rendah natrium hanya 2,7 %

saja yang mengeluhkan hipotensi intradialisis.

Penelitian Santos dan Peixoto (2008) mengindikasikan bahwa penggunaan

dialisat rendah natrium dapat menurunkan rasa haus, IDWG dan tekanan darah

pasien dibandingkan dengan menggunakan dialisis reguler. Hasil ini juga

didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Dunlop et al. (2013) yang

menunjukkan bahwa ada penurunan signifikan terhadap IDWG, nilai haus

interdialitik, episode hipotensi intradialitik pada pasien dengan dialisat rendah

natrium dibandingkan dengan dialisis reguler.

Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Bruzda-Zwiech et al. (2013), ada

pengaruh antara rasa haus dan mulut kering (xerostomia) dengan peningkatan

gradien natrium pre-dialisis. Pada penelitian ini dijelaskan juga bahwa

hiposalivasi adalah salah satu faktor yang paling signifikan berkaitan dengan

IDWG, yaitu secara jelas menerangkan hubungan antara penurunan produksi

saliva dan peningkatan berat badan pada pasien untuk mempertahankan

hemodialisis.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


27

Konsep Sensasi Haus

Konsumsi air diatur oleh rasa haus. Rasa haus sangat berperan dalam

homeostasis cairan khususnya pada kompleks saraf dan proses hormonal agar

keseimbangan cairan dan natrium tercapai dalam tubuh.

Fisiologi Haus

Haus merupakan sensasi yang terbentuk akibat gabungan aksi beberapa

jenis sensor, baik yang berada diperifer maupun di sistem saraf pusat. Pusat

kontrol haus berada di hipotalamus. Hipotalamus terstimulasi akibat adanya

peningkatan osmolaritas, kehilangan secara berlebihan, hipovolemia, sistem renin-

angiostensin-aldosteron, penurunan kadar kalium, faktor-faktor psikologis, dan

kekeringan orofarengeal. Kehilangan cairan yang melalui intrasel maupun ektrasel

akan merangsang rasa haus, yang disebut dengan haus osmometrik dan haus

volumetrik.

Haus Osmometrik

Pusat rasa haus terangsang akibat adanya dehidrasi intrasel. Pada saat yang

bersamaan juga terjadi peningkatan osmolaritas dari cairan ektrasel, sehingga

hipotalamus terstimulasi. Kehilangan cairan secara fisiologis (urine, keringat,

penguapan saat bernafas yang merupakan hasil kerja dari sistem homeostasis

tubuh sebagai pusat pengontrol hilangnya air) akan menyebabkan kehilangan

cairan dari kompartemen ektrasel dan intrasel dan mengakibatkan terjadinya

hipertonitas osmotik. Adanya sekresi saliva yang berkurang (akibat respon

kelenjar saliva terhadap hipertonitas osmotik) akan mengakibatkan perasaan

kering di mulut dan tenggorokan, yang merupakan karakteristik rasa haus.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


28

Hipotalamus merupakan pusat pengatur keseimbangan cairan dan garam.

Sejumlah osmoreseptor di hipotalamus diaktivasi karena adanya peningkatan

konsentrasi garam intrasel. Apabila selkehilangan cairan akibat intake yang

kurang, maka timbullah rasa haus.

Haus Volumetrik

Berkurangnya volume cairan didalam rongga ektrasel akan mengaktivasi

sensor haus (strech reseptor) yang berada di dinding pembuluh darah vena yang

letaknya dekat dengan jantung. Strech reseptor juga merupakan pengatur

keseimbangan cairan dan induksi haus dalam tubuh yang berfungsi sebagai

penerus informasi ke sistem saraf pusat. Mekanisme neural ini juga didukung oleh

faktor hormonal. Adanya dehidrasi ektrasel akan menyebabkan pelepasan renin

sehingga terbentuk angiostensin II. Angiostensin II ini akan mengaktivasi pusat

rasa haus.

Proses Rehidrasi

Rasa haus akan mendorong seseorang untuk minum. Minum merupakan

mekanisme koreksional yang bertujuan untuk menggantikan simpanan tubuh yang

hilang. Perilaku minum dikontrol oleh mekanisme satiety atau kekenyangan.

Mekanisme inilah yang membedakan adanya haus akibat tubuh kekurangan cairan

menyeluruh atau haus sejati. Pada haus menyeluruh, seperti mulut yang kering

akibat berbicara, merokok, bernafas melalui mulut dan memakan makanan yang

kering, maka rasa haus yang timbul dapat dihilangkan dengan membasahi mukosa

mulut, namun pada haus sejati tindakan ini tidak dapat menghilangkan rasa haus

karena satiety yang dihasilkan reseptor-reseptor yang ada di dalam mulut tidak

berlangsung lama (Rahmawati, 2008).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


29

Pada pasien hemodialisis, mekanisme koreksional minum sangat

berpengaruh terhadap kemampuan ginjal dalam melakukan fungsinya. Oleh

karena itu, respon berkurangnya rasa haus pasien harus disesuaikan dengan nilai

interdialytic weight gain (IDWG) yang merupakan indikator dari compliance rasa

haus.

Haus pada Hemodialisis

Rasa haus yang dirasakan oleh pasien hemodialysis akibat kebijakan

pembatasan cairan digambarkan dengan 4 dimensi yaitu dimensi intensitas,

distress haus, kualitas dan waktu (Waldreus, 2016). Berdasarkan manajemen

model gejala, haus terdiri dari 2 komponen yaitu komponen respon dan komponen

evaluasi. Komponen evaluasi ini mengacu kepada penilaian terhadap gejala yang

dirasakan pasien hemodialisis seperti frekuensi haus, intersitas, durasi dan

distress. Sedangkan komponen respon meliputi psikologi, emosional dan gejala

perilaku yang diekspresikan seperti adanya perubahan fisik, kognitif dan afektif.

Intensitas rasa haus didefinisikan sebagai keparahan, kekuatan dan jumlah

rasa haus yang dirasakan pasien. Pengukuran intensitas haus dapat dilakukan

dengan menggunakan visual analog scale (VAS) dengan rentang skala 0-10 cm

secara kontinum dalam garis horisontal. Ujung paling kiri dengan nilai 0 diberikan

kategori “tidak haus” dan ujung paling kanan dengan nilai 10 diberi kategori

“haus yang sangat menyiksa” (Kara, 2016). Intepretasi hasil pengukuran visual

analog scale tersebut adalah sebagai berikut: a) Nilai 1-3: haus ringan, b) Nilai

4-6: haus sedang, c) Nilai > 7: haus berat.

Haus distress adalah derajat gangguan yang dirasakan seseorang akibat

haus atau dapat juga dihubungkan dengan ketidaknyamanan, sedangkan haus

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


30

durasi adalah lamanya waktu haus yang dirasakan seseorang dan biasanya

diekspresikan dengan lamannya episode haus. Frekuensi haus didefinisikan

sebagai seberapa sering sesorang merasakan haus. Welch (2002) dalam studinya

menyatakan distress haus sangat dipengaruhi oleh dimensi waktu dan dimensi

kualitas, oleh karena itu pengukuran distress haus telah mewakili pengukuran

dimensi kualitas dan waktu.

Pada pasien hemodialisis, pembatasan cairan akan mengakibatkan

berkurangnya jumlah produksi dan aliran saliva, sehingga saliva menjadi kental

dan mulut terasa kering dan terbakar. Thirst distress scale (TDS) merupakan alat

ukur yang tepat digunakan untuk menilai tingkat ketidaknyamanan akibat rasa

haus yang dialami pasien sejak terakhir dialisis sebagai respon (Martins &

Fonseca, 2017). TDS terdiri dari 6 item pertanyaan dengan penilaian

menggunakan skala likert 5 point, mulai dari 1 sampai 5 yaitu : 1: sangat tidak

setuju, 2: tidak setuju, 3: ragu-ragu, 4: setuju, 5: sangat setuju. Total skor yang

dihasilkan diinteprestasikan dengan skor 1-10: rasa haus ringan, 11-20: rasa haus

sedang dan 21-30: rasa haus berat.

Xerostomia

Merupakan keluhan yang bersifat subyektif dan obyektif dari mulut kering

(Zehm et al., 2016), sedangkan Al-yassiri (2014); Sugiya (2014) mengatakan

bahwa xerostomia merupakan perasaan mulut kering yang bersifat subyektif yang

diakibatkan dari berkurangnya produksi saliva dan penurunan laju aliran saliva.

Sugiya (2014) juga mengatakan bahwa secara obyektif, rasa haus dapat dilihat

dari terjadinya penurunan jumlah aliran saliva, saliva yang berbuih atau tidak

terurai (kental) dan mukosa mulut yang kering.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


31

Xerostomia terjadi karena adanya masalah pada saliva dan non saliva.

Pada non saliva, penyebab xerostomia antara lain dehidrasi, gangguan kognitif,

disfungsi neurologi, disfungsi oral sensori, gangguan psikologi, dan bernafas

melalui mulut. Hiposalivasi terjadi karena adanya disfungsi kelenjar saliva dan

karena gangguan pemekatan saliva.

Xerostomia disfungsi kelenjar saliva terjadi karena adanya gangguan

autoimun (misalnya pada penderita sindrom Sjogren), trauma pada kelenjar saliva,

akibat dampak radiasi pada kelenjar saliva, dan penyakit diabetes mellitus.

Sedangkan xerostomia akibat gangguan pemekatan saliva terjadi dampak dari efek

samping dari pengobatan, efek dari perubahan psikologis seperti stress emosional,

dan depresi psikotik

Sekresi saliva dikontrol oleg lengkung reflek. Reflek terbentuk karena

adanya impuls saraf afferent yang terprovokasi akibat adanya aktifasi reseptor

aferent yang dirangsang oleh tindakan mengunyah dan menyicipi makanan yang

diteruskan ke dalam medula oblongata. Oleh medula oblongata indormasiini

kemudian diteruskan ke kelenjar saliva melalui saraf eferent parasimpatik agar

memproduksi saliva.

Penderita xerostomia biasanya mengeluhkan adanya perubahan rasa pada

makanan yang dikonsumsinya, kesulitan dalam mengunyah dan menelan makanan

khususnya makanan yang kering dan membutuhkan cairan untuk membantu

mengunyah makanan tersebut. Keluhan lainnya yang sering dirasakan adalah

adanya halositosis, mulut dan lidah terasa terbakar (stomatodynia) dan intoleransi

terhadap makanan yanga sam dan pedas. Semua keluhan ini dapat membuat

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


32

penderita mengalami gangguan nutrisi dan mengakibatkan kualitas hidup yang

menurun.

Xerostomia dapat berkontribusi terhadap rasa haus, namun semua pasien

yang mengalami mulut kering belum tentu mengalami rasa haus. Begitu juga

sebaliknya, pasien haus belum tentu mengalami xerostomia (Zehm et al., 2016).

Konsep Manajemen Asupan Makanan (Nutrisi)

Pengertian manajemen

Manajemen berasal dari kata “manage” yang berarti mengatur/mengelola.

Pengaturan yang dilakukan melalui proses dan diatur berdasarkan fungsi

manajemen itu sendiri. Menurut Stoner (2006), manajemen adalah suatu proses

perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengendalian upaya dari anggota

organisasi serta penggunaan semua sumber daya yang ada pada organisasi untuk

mencapai tujuan. Sementara itu, Hasibuan (2000) menjelaskan manajemen

sebagai ilmu dan seni mengatur proses pemanfaatan sumber daya manusia dan

sumber-sumber lainnya secara efektif dan efisien untuk mencapai suatu tujuan.

Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa manajemen adalah ilmu dan

seni melakukan pekerjaan melalui orang lain dengan menjalankan fungsi

manajemen untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan secara efektif dan

efisien.

Manajemen sangat diperlukan dalam menjalankan proses keperawatan,

khususnya manajemen diri pada pasien hemodialisis dengan tujuan meningkatan

kualitas hidup pasien dan mencegah terjadinya komplikasi. Pasien hemodialisis

memerlukan manajemen nutrisi dan cairan dengan tujuan: 1) mempertahankan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


33

status nutrisi pasien, 2) kontrol akan tekanan darah dan mencegah komplikasi, 3)

meningkatkan kualitas dan kuantitas hidup pasien.

Pengertian Aasupan Makanan (nutrisi)

Asupan makanan atau nutrisi adalah zat yang terkandung didalam

makanan yang dibutuhkan manusia atau mahluk hidup lainnya untuk dapat

tumbuh dan berkembang dengan baik sesuai dengan fungsinya. Nutrisi dibedakan

menjadi 2 golongan, yaitu makronutrien dan mikronutrien. Makronutrien adalah

nutrisi yang dibutuhkan oleh tubuh dalam jumlah yang besar dan berfungsi

sebagai sumber energi. Yang termasuk dalam makronutrien antara lain

karbohidrat, protein, dan lemak. Sedangkan mikronutrien adalah nutrisi yang

dibutuhkan tubuh dalam jumlah kecil dan berfungsi untuk melaksanakan fungsi

fisiologis tubuh dan tidak bisa diproduksi sendiri oleh tubuh. Yang termasuk

mikronutrien antara lain vitamin dan mineral.

Asupan nutrisi yang seimbang memerlukan pola makan dan diet yang baik

dan benar, serta disiplin dalam menjalankannya. Pada penderita CKD dengan

hemodialisis terdapat aturan atau protokol yang harus dilakukna oleh pasien

secara disiplin, agar tujuan manajemen nutrisi dapat tercapai, antara lain 1)

pembatasan asupan makanan (diet) protein, 2) pembatasan diet natrium, 3)

pembatasan diet phospat, 4) pembatasan diet kalium, 5) makanan yang

mengadung polifenol, 6) pembatasan diet kalori, 7) olahraga, 8) menghindari

rokok, 9) menghindari alkohol, 10) menghindari minuman bersoda, 11)

pembatasan asupan cairan, 12) melakukan pengaturan makanan sesuai kebutuhan

tubuh yang dilakukan ahli diet, 13) melakukan diet tinggi serat (Kidney Health

Australia, 2012).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


34

Diet Rendah Garam Natrium

Kadar natrium dalam tubuh manusia adalah 135-145 mEq/L dan untuk

memenuhi kebutuhan tersebut, makan dibutuhkan sedikitnya 1000 mg natrium per

hari dengan tujuan agar fungsi tubuh tetap terpelihara (Price & Wilson, 2005).

Berdasarkan National Kidney Foundation–Kidney Disease Outcomes Quality

Initiative (NK-KDOQI) Guidelines jumlah asupan natrium yang disarankan untuk

pasien hemodialisis adalah sebanyak <2400 mg/hari atau setara dengan garam

meja (NaCl) sebanyak <6 gram/hari, sedangkan European Nutrition Guide

merekomendasikan sebanyak 2000 sampai 2300 mg atau setara dengan garam

meja sebanyak 5-6 gram/hari, dan menurut Kidney Organization Guide, natrium

yang direkomendasikan adalah sebesar 1500 sampai 2000 mg per hari atau setara

dengan 5 gram/hari atau setara dengan 1 sendok the garam meja per hari.

Diet rendah natrium dilakukan dengan tujuan untuk: 1) mencegah

terjadinya penimbunan cairan dalam tubuh yang mengakibatkan tubuh menjadi

bengkak, tekanan darah meningkat, sesak nafas dan pembengkakan jantung, 2)

mengurangi rasa haus, dan 3) mengurangi ketidaknyamanan selama dialysis.

Landasan Teori

Teori yang akan diaplikasikan pada penelitian ini adalah teori Individual

and Family Self-Management (IFSMT) yang dikembangkan oleh Ryan dan

Sawin. Konsep self-management sendiri telah digunakan lebih dari 40 tahun dan

pertama kali digunakan oleh Thomas Creer yang tertulis dalam bukunya tentang

rehabilitasi sakit kronis pada anak (Grady & Gough, 2014). Self-management

didefinisikan sebagai pengeloloaan kondisi kronis yang dilakukan oleh individu

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


35

yang dilakukan dari hari ke hari untuk mengendalikan penyakitnya (Grady &

Gough, 2014). Sedangkan Iversen et al. (2014) mengatakan bahwa self-

management adalah kemampuan individu untuk mengelola tanda, penanganan,

konsekuensi fisik dan psikososial, dan perubahan gaya hidup yang melekat dalam

hidup dengan kondisi kronis. Self-management merupakan hal terpenting dalam

pengelolaan penyakit kronis karena memungkinkan seseorang untuk menangani

gejala, cara pengobatan, dan untuk beradaptasi dengan perubahan gaya hidup

yang berhubungan dengan penyakit fisik, psikologis,dan konsekuensi sosial

(Zwerink et al., 2014)

Self-management menitik-beratkan kepada keterampilan individu dalam

mengatur diri dan mengendalikan perilaku, oleh karena itu strategi yang

digunakan dalam mengembangkan self-management adalah pendidikan

(educational), perilaku (behavioral) dan kognitif (cognitive). Self-management

banyak dipengaruhi oleh teori-teori lain seperti teori tentang efikasi diri oleh

Bandura, problem-solving oleh D’Zurilla, self-management oleh Cheer, penyakit

kronik oleh Corbin dan Straus, dan juga teori perspective chronic illness to

wellness oleh Patterson.

Ryan dan Sawin (2009) dalam teorinya Individual and Family Self-

Management (IFSMT) menjelaskan bahwa penggunaan kata self–management

mengacu kepada tiga dimensi yang berbeda, yaitu konteks, proses dan hasil

(outcomes). Secara konteks, self-management dipengaruhi oleh 1) faktor kondisi-

spesifik, 2) fisik, lingkungan sosial dan 3) karakteristik individu dan keluarga.

Yang termasuk dalam faktor kondisi-spesifik disini adalah meliputi bagaimana

kondisi fisiologis, struktur, dan karakteristik fungsi yang ditimbulkan oleh

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


36

penyakit, bagaimana cara penanganan dan pencegahan agar dampak yang

ditimbulkan penyakit tidak semakin besar, dan perilaku apa yang dibutuhkan

untuk mengatur hal tersebut. Pada teorinya ini, Ryan dan Sawin menjelaskan

bahwa kondisi spesifik dapat terjadi akibat adanya kondisi yang kompleks,

penanganan yang kompleks dan penanganan/jalan yang harus ditempuh oleh

pasien. Ini juga dipengaruhi oleh bagaimana kestabilan pasien secara fisiologis

(kondisi fisiologis transisi). Sedangkan faktor lingkungan adalah faktor yang

mempengaruhi pasien baik secara fisik maupun secara sosial. Yang termasuk

dalam faktor lingkungan disini adalah bagaimana cara mencapai layanan

kesehatan/perawatan (akses), masa transisi akibat layanan kesehatan yang

diterima, transportasi, budaya dan keadaan sosial perkotaan. Sedangkan untuk

faktor karakteristik individu dan keluarga dipengaruhi oleh fase perkembangan

individu dan keluarga, perspektif individu dan keluarga terhadap kesehatan dan

penyakit yang dialami, bagaimana informasi yang diterima dapat diproses oleh

individu/keluarga tersebut,

Secara proses, self-management ini dipengaruhioleh beberapa teori seperti

teori perilaku, teori self-regulation, dan teori social support. Dalam teorinya Ryan

dan Sawin memaparkan bahwa dimensi proses self-management dipengaruhi oleh:

1) pengetahuan dan keyakinan yang dimiliki pasien, 2) regulasi diri (self-

regulation), keterampilan dan kemampuan pasien, serta 3) fasilitas sosial yang

tersedia. Pengetahuan individu dan keluarga didapat karena adanya informasi

yang mereka terima. Ryan dan Sawin beranggapan bahwa informasi yang

diterima pasien bila dipadukan dengan keyakinan yang mereka anut akan dapat

mengubah perilaku pasien. Hal ini terjadi karena pengetahuan dan keyakinan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


37

dapat mempengaruhi efikasi diri pasien, sehingga pasien mampu membuat

harapan terhadap hasil dari program perawatan yang akan mereka capai yang

disesuaikan dengan kondisi kesehatannya saat ini. Untuk mencapai harapan

tersebut, maka dibutuhkan pengaturan diri (self-regulation). Self-regulation

adalah kemampuan untuk mengubah perilaku sehat pasien yang dipengaruhi oleh

aktivitas goal setting, kemampuan untuk self-monitoring dan berfikir reflektif,

kemampuan untuk mengambil keputusan, kemampuan merencanakan dan

melaksanakan program sesuai dengan perilaku spesifik, kemampuan untuk

mengevaluasi diri, dan mengatur respon fisik, emosi dan kognitif yang

disesuaikan dengan perubahan perilaku sehat. Sedangkan yang termasuk dalam

fasilitas sosial dalam dimensi proses self-management meliputi konsep pengaruh

sosial, konsep social support, dan konsep kolaborasi negosiasi antara individu dan

keluarga dengan tenaga kesehatan profesional.

Secara hasil (outcomes), self-management digunakan untuk menggambarkan

hasil yang akan dicapaian dari proses self-management. Dalam teori self-

management ini, Ryan & Sawin membagi hasil menjadi dua bagian yaitu hasil

jangka pendek (proximal outcomes) dan hasil jangka panjang (distal outcomes).

Hasil jangka pendek meliputi terciptanya perilaku self-management yang spesifik

(sesuai dengan kondisi, resiko atau transisi), pasien dapat mengelola gejala dan

melaksanakan terapi farmakologi serta yang berkurangnya biaya yang digunakan

untuk mendapatkan layanan perawatan kesehatan. Sedangkan pencapaian jangka

panjang meliputi status kesehatan, yaitu kondisi kesehatan pasien stabil, kualitas

hidup yang lebih baik dan berkurangnya biaya kesehatan yang dikeluarkan baik

secara langsung maupun tidak langsung.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


38

Berdasarkan teori tersebut dapat diasumsikan bahwa: 1) orang-orang yang

terlibat dalam individual-family self-management (pasien, keluarga, tenaga

kesehatan) bertujuan untuk mengoptimalisasi status kesehatan pasien baik secara

langsung maupun tidak langsung, 2) banyak faktor yang mempengaruhi perilaku,

termasuk nilai yang dianut, budaya, norma sosial, peraturan dan batasan keluarga,

3) secara kontekstual, banyak faktor yang mempengaruhi keinginan individu dan

keluarga untuk memenuhi kebutuhan self-management, 4) persepsi individu dan

keluarga tentang sumber daya mempengaruhi keterlibatan dalam perilaku

penyatuan diri, 5) self-management membutuhkan waktu, pengulangan, dan

refleksi, 6) fasilitas sosial (seperti konseling) dapat memotivasi perilaku self-

management guna mencapai hasil yang diinginkan, 7) keterlibatan keluarga dalam

intervensi sangat efektif membantu perilaku self-management sehingga tujuan

jangka panjang dan pendek dapat tercapai, 8) sikap patuh, iklas, tidak menentang

dan tidak berbohong merupakan kunci keberhasilan self-management, 9) sikap

selalu mau bekerjasama dengan tenaga kesehatan untuk meningkatkan derajat

kesehatannya.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


39

Konteks Proses Hasil Hasil


Faktor resiko dan Proses Self-management Jangka Pendek Jangka
proteksi Panjang

Faktor kondisi-spesifik Pengetahuan dan Perilaku Self Status


Persepsi Individu/ keyakinan Management Kesehatan
Keluarga:  Informasi sesuai fakta Individu &  Kondisi
 Kompleksitas kondisi  Efikasi diri Keluarga yang stabil,
dan penanganan  Perjanjian mencegah
 Harapan akan hasil yang
 Trajectory dalam terjadinya
dicapai
 Stabilitas kondisi & aktivitas/ kondisi yang
transisi  Kesesuaian tujuan rejimen semakin
treatment buruk
Lingkungan Fisik dan Keterampilan Self-  Penggunaan
Sosial Regulation dan terapi Kualitas
 Akses mencapai Kemampuan: farmakologi Hidup
perawatan kesehatan  Goal Setting, self- yang  Menerima
 Transportasi monitoring & berfikir direkomen- keadaan
reflektif
 Budaya dasikan
 Membuat keputusan,  Manajemen Biaya
 Sosial perkotaan
perencanaan & gejala Kesehatan
Faktor Individu dan
pelaksanan  pengeluaran
 Evaluasi diri Biaya akan secara
Keluarga
 Fase perkembangan  Pengontrolan emosi LayananPera langsung
 Kemampuan belajar watan dan tidak
Fasilitas Sosial Kesehatan langsung
 Kemampuan membaca
 Pengaruh sosial
 Struktur dan fungsi
 Dukungan (emosional,
keluarga
perlengkapan, informasi)
 Kapasitas untuk
 Kolaborasi negosiasi
mengatur diri

Intervensi: yang berpusat pada individu/keluarga

Gambar 2.1. Teori Individual and Family Self - Management Ryan dan Sawin
(2009, 2014)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB 3

METODE PENELITIAN

Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan jenis penelitian

quasi-experiment dengan desain pre- post test with control group yaitu melibatkan

dua kelompok partisipan yang mendapatkan perlakuan dan hasil pengukuran

sebelum dan sesudah perlakukan pada kedua kelompok dianalisa dan

dibandingkan (Polit & Beck, 2012).

Sesuai dengan tujuan dimana penelitian ini ditujukan untuk melihat

pengaruh perlakuan terhadap hasil yang diinginkan pada kelompok intervensi,

maka penelitian ini menggunakan satu kelompok intervensi dan satu kelompok

kontrol. Kelompok intervensi pada penelitian ini mendapatkan perlakukan

manajemen asupan: diet rendah garam (edukasi tentang jumlah natrium harian

yang dikonsumsi <2000 mg/hari, melakukan supervisi diet rendah natrium

(dengan cara home visit), konseling diet rendah garam) dan kelompok kontrol

hanya mendapatkan perlakuan edukasi tentang jumlah natrium harian yang

dikonsumsi <2000 mg/hari.

Untuk melihat pengaruh perlakuan, maka peneliti melakukan penilaian

dengan cara membandingkan nilai pre-test dan post-test pada kelompok intervensi

dan kelompok kontrol. Kemudian peneliti melakukan penilaian terhadap

perbandingan nilai post test antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol.

40
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
41

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Unit Hemodialisa Rumah Sakit

Umum Pusat (RSUP) H. Adam Malik Medan karena RSUP H. Adam

Malik merupakan rumah sakit rujukan utama dan merupakan rumah sakit

pendidikan. Penelitian ini dilakukan pada tanggal 11 September 2017

sampai dengan 11 Oktober 2017.

Populasi dan Sampel

Populasi merupakan suatu kelompok tertentu dari individu atau elemen

yang menjadi fokus penelitian. Populasi yaitu seluruh himpunan individu atau

elemen yang memenuhi kriteria sampling (Grove, Burns, & Gray, 2013). Populasi

dalam penelitian ini adalah semua pasien gagal ginjal yang berada di Ruang Unit

Hemodialisa (HD) RSUP H. Adam Malik Medan yang menjalani terapi

hemodialisa.

Sampel adalah bagian atau elemen dari populasi yang diharapkan dapat

mewakili karakteristik populasi tersebut (Polit & Beck, 2010). Pemilihan sampel

yang digunakan pada penelitian ini menggunakan consecutive sampling yaitu

pemilihan sampel dengan menetapkan subjek yang memenuhi kriteria inklusi

dimasukkan dalam penelitian sehingga jumlah sampel yang ditentukan dapat

terpenuhi (Polit & Beck, 2012). Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah: 1)

berusia lebih dari 18 tahun, 2) melakukan terapi modalitas hemodialisis rutin lebih

dari 6 bulan, 3) pasien dan keluarga dapat berkomunikasi dan baca tulis dengan

menggunakan bahasa Indonesia, 4) bersedia dan mau bekerjasama dalam

melakukan penelitian (yang ditujukkan dengan mengisi lebar persetujuan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


42

partisipan). Kriteria ekslusi penelitian meliputi: 1) memiliki riwayat gangguan

jiwa, 2) gangguan orientasi, 3) pengobatan dengan menggunakan psikotropika.

Perhitungan jumlah sampel memakai tabel Power Analysis dengan power

(1-β) = .80, effect size (γ) = .60 dan α = .05. Didapatkan jumlah sampel dalam

penelitian ini adalah 44 orang untuk masing-masing kelompok.

Metode Pengumpulan Data

Prosedur pengumpulan data dilakukan dalam dua tahap yaitu tahap

persiapan dan tahap pelaksanaan.

Tahap Persiapan

Tahapan persiapan pertama dimulai dari mempersiapkan instrumen untuk

pengumpulan data yaitu karakteristik responden, kuesioner rasa haus dan modul

tentang manajemen asupan makanan: diet rendah garam. Kuesioner karakteristik

responden terdiri dari umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status pernikahan,

penghasilan, pekerjaan, kebiasaan, lamanya mendapatkan terapi hemodialisis

rutin dan etiologi gagal ginjal. Kuesioner rasa haus yang digunakan adalah thirst

distress scale (TDS) yang dibuat oleh Welch (2002) yang terdiri dari 6 pertanyaan

dengan pengukuran menggunakan skala Likert 1-5 dan pengukur intensitas rasa

haus pasien dengan menggunakan visual analogue scale (VAS) 0-10. Kuesioner

TDS dan VAS dipilih sebagai kuesioner penelitian dikarenakan merupakan alat

ukur yang paling tepat dan mewakili dari setiap aspek dimensi haus yang sering

dialami pasien hemodialisis. Sedangkan booklet manajemen asupan makanan diet

rendah garam yang digunakan merupakan hasil karya peneliti sendiri berdasarkan

literatur. Alat pengumpul data lainnya adalah lembar observasi berat badan pra

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


43

dialisis dan post dialisis, lembar observasi kunjungan rumah dan lembar

wawancara.

Tahapan persiapan kedua yaitu prosedur administratif dengan mengajukan

surat lulus uji etik (ethical clearance) kepada lembaga etik penelitian yaitu komisi

etik penelitian kesehatan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

Setelah mendapatkan surat lulus etik, maka peneliti mengajukan surat

permohonan kepada Dekan Fakultas Keperawatan untuk mengeluarkan surat

permohonan izin pengambilan data di Rumah Sakit Adam Malik Medan. Setelah

mendapatkan persetujuan penelitian, maka peneliti meminta izin kepada kepala

ruangan Unit Hemodialisis RSUP H. Adam Malik Medan untuk menjelaskan

maksud dan tujuan penelitian, serta membuat kontrak kerja terhadap lamanya

penelitian. Tahap persiapan ketiga adalah merekrut asisten penelitian dengan

tujuan membantu peneliti dalam melakukan penelitian ini. Syarat asisten peneliti

yang ditetapkan oleh peneliti adalah: 1) Memiliki latar belakang minimal D3

Keperawatan, 2) memiliki pengalaman sebagai perawat hemodialisa, 3) bersedia

terlibat dalam penelitian sebagai asisten peneliti. Setelah didapatkan asisten

peneliti, kemudian penelitian menjelaskan tujuan dan tugas asisten peneliti serta

melakukan pelatihan untuk menyamakan persepsi antara peneliti dan asisten

peneliti. Hasil uji koefisien kappa intereter didapatkan nilai sebesar 0.615 dan p =

0.136. Berdasarkan hasil ini dapat diinterpretasikan bahwa tidak ada perbedaan

persepsi antara peneliti dan dengan asisten peneliti (koefisien kappa >0.6 dan

p>0.05).

Tahap selanjutnya peneliti bersama asisten peneliti melakukan identifikasi

sampel selama 1 mi nggu. Sampel yang diambil berdasarkan pada kriteria inklusi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


44

yang telah ditetapkan. Dalam tahap ini, peneliti memperkenalkan diri dan

menjelaskan tujuan penelitian serta prosedur intervensi juga meminta kesediaan

responden untuk berpartisipasi aktif mengikuti penelitian dengan cara meminta

responden untuk menandatangani lembar persetujuan (informed concent) yang

telah disediakan. Pada lembar informed concent responden diminta untuk

mencantumkan alamat lengkap nomor telepon yang bisa dihubungi sebagai media

komunikasi dan kunjungan rumah.

Tahap Pelaksanaan

Tahap pelaksanaan penelitian yang dilakukan meliputi tiga tahapan yaitu

tahap pre-test, tahap intervensi dan tahap post-test. Berikut merupakan rincian

dari setiap tahapan .

Tahap pre-test

Pengisian kuesioner pre-test ini dilakukan pada tanggal 11-13 September

2017, dimana responden pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi diminta

untuk mengisi data karakteristik responden yang terdiri dari umur, jenis kelamin,

tingkat pendidikan, status pernikahan, status sosial ekonomi, pekerjaan, dan

lamanya mendapatkan terapi hemodialisis rutin. Selain itu responden dari kedua

kelompok juga diminta untuk mengisi kuesioner rasa haus TDS dan VAS.

Selanjutnya semua responden dari kedua kelompok ditimbang untuk mengukur

berat badan pra intervensi (perlakuan).

Tahap intervensi

Intervensi manajemen asupan makanan: diet rendah garam dilakukan

selama 3 minggu. Pada minggu pertama, peneliti memberikan edukasi tentang

diet rendah garam melalui media booklet kepada seluruh responden baik dari

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


45

kelompok kontrol maupun kelompok intervensi. Ada beberapa responden dari

kelompok kontrol dan intervensi mendapatkan edukasi diet rendah garam saat

peneliti melakukan pre-test yaitu responden nomor 1, 2, 3, 18, 29 dan 33 pada

kelompok kontrol dan responden nomor 2, 3, 6, 16, 17, dan 31 pada kelompok

intervensi. Ini dilakukan karena situasi pasien yang harus mendapatkan informasi

segera dan juga ada beberapa responden yang memiliki keingintahuan yang tinggi

akan intervensi yang akan dilakukan peneliti. Selanjutnya pada minggu kedua dan

ketiga, selain melakukan edukasi berkelanjutan, peneliti juga melakukan

konseling dan kunjungan rumah hanya kepada kelompok intervensi saja. Materi

konseling yang diberikan adalah mengenai edukasi yang telah berikan peneliti

dan kendala yang dihadapi pasien dan keluarga dalam melakukan intervensi.

Kunjungan rumah dilakukan dengan tujuan mengobservasi perkembangan hasil

edukasi yang telah diberikan oleh peneliti kepada responden dan keluarga.

Kunjungan ini dilakukan 1 kali dalam seminggu untuk setiap responden dari

kelompok intervensi. Intervensi konseling dan kunjungan rumah ini tidak

dilakukan peneliti kepada kelompok kontrol.

Selain edukasi, konseling dan kunjungan rumah, juga dilakukan

pengukuran berat badan responden pada tahap intervensi ini. Pengukuran berat

badan dilakukan sebanyak 2 kali dalam seminggu yang dilakukan sebelum dan

sesudah pasien melakukan terapi hemodialisis. Pengukuran berat badan ini

dilakukan kepada seluruh responden baik dari kelompok kontrol maupun

kelompok intervensi.

Tahap post-test

Tahapan post-test dilakukan selama 3 hari yaitu pada tanggal 9-11

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


46

Oktober 2017 dengan cara semua responden dari kelompok kontrol dan kelompok

intervensi diminta untuk mengisi ulang kuesioner TDS dan VAS. Tujuan

diadakannya post-test ini adalah untuk mengevaluasi hasil perlakuan yang telah

dilakukan oleh peneliti. Hasil pengukuran ini kemudian didokumentasikan ke

dalam bentuk tabulasi data.

Metode Pengukuran

Alat ukur yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner

Thirst Distress Scale (TDS), kuesioner Intensitas Rasa Haus dengan

menggunakan VAS, Lembar Observasi Pelaksanaan Intervensi (Home Visite) dan

Lembar Observasi Berat Badan. TDS adalah alat yang digunakan untuk mengukur

ketidaknyamanan akibat rasa haus yang dialami pasien. TDS ini digunakan untuk

menggambarkan respon haus yang dirasakan pasien atau dapat juga didefinisikan

sebagai alat yang digunakan untuk mengukur tingkat kesukaran (gangguan) yang

diakibatkan oleh haus sampai dengan stress (Waldreus, et al, 2017). TDS

merupakan alat ukur terdiri dari 6 item pertanyaan dengan penilaian

menggunakan skala likert 5 point mulai dari 1 sampai 5 yaitu: 1: sangat tidak

setuju, 2: tidak setuju, 3: ragu-ragu, 4: setuju dan 5: sangat setuju. Total skor yang

dihasilkan diinterpretasikan oleh Welch (2002) dengan skor 1-10: rasa haus

ringan, 11-10: rasa haus sedang dan 21-30: rasa haus berat.

Visual Analog Scale (VAS) digunakan untuk mengukur intensitas rasa haus

yang dirasakan pasien atau lebih dikenal dengan tingkat keparahan haus

(Waldreus, et al, 2017). Prosedur penggunaan kuesioner ini adalah dengan

meminta pasien untuk mengukur rasa haus yang mereka rasakan sejak dialisis

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


47

terakhir yang mereka jalani pada lembar VAS 10 cm. Nilai 0 mengindikasikan

tidak adanya rasa haus dan nilai 10 mengindikasikan adanya rasa haus yang

sangat parah yang pernah dirasakan pasien. Skor VAS yang dihasilkan dilaporkan

dalam bentuk format kategori yang diklasifikasikan oleh Yang et al. (2010), yaitu

skala 0-3: haus ringan, 4-6: haus sedang, 7-10: haus berat. Sedangkan lembar

observasi berat badan adalah lembar isian dalam bentuk skala nominal untuk

mengukur adanya peningkatan berat badan sejak terakhir dialisis yang dijalani

pasien sampai dengan dialisis berikutnya.

Adapun kerangka operasional penelitian ini adalah sebagai berikut:

Manajemen Asupan Makanan:


diet rendah garam
1. Edukasi diet rendah garam
TDS & 2. Konseling TDS &
VAS 3. Home visite VAS
Pre-test Post-test
Kelompo Kelompo
Selisih nilai mean pre dan k
k
post intervensi manajemen Perbedaan
asupan makanan: diet rendah rerata
garam selisih
mean post-
TDS & TDS & test
VAS VAS
Pre-test Edukasi diet rendah Post-test
Kelompok garam Kelompok
Kontrol Kontrol

Selisih nilai mean pre dan


post intervensi edukasi diet
rendah garam

Gambar 3.1. Kerangka operasional penelitian

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


48

Variabel dan Definisi Operasional

Tabel 3.1. Defenisi operasional variabel penelitian

Variabel Defenisi Cara & alat ukur Hasil ukur Skala


Operasional
Manajemen Diet yang Panduan edukasi 1. Berhasil
asupan mengandung (booklet) manajemen 2. Tidak
makanan : < 2000 mg asupan: diet rendah berhasil
diet rendah natrium atau garam
garam setara dengan 1
sendok teh
garam meja

Rasa haus Sensasi kering Menggunakan Skor Ordinal


pada mulut dan kuesioner thirst maksimum 30
kerongkongan distress scale (TDS) dengan
yang yang terdiri dari 6 interpretasi
dihubungkan item pernyataan Skor total
dengan dengan dengan menggunakan 0-10: haus
keinginan skala likert dari 1-5 ringan, 11-20 :
untuk minum yaitu 1 = sangat tidak haus sedang
setuju pernah, 2 = dan 21-30:
tidak setuju, 3 = ragu- haus berat
ragu, 4 = setuju, 5 = (Welch, 2002).
sangat setuju
Menggunakan Skor Ordinal
kuesioner Intensitas maksimum 10
rasa haus dengan dengan
menggunakan visual interpretasi
analog scale di mana Skor total
nilai 0 0-3: haus
mengindikasikan ringan, 4-6:
tidak adanya rasa haus sedang
haus dan nilai10 dan 7-10: haus
mengindikasikan berat
adanya rasa haus Yang et al.
yang sangat parah (2010)
yang pernah
dirasakan pasien.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


49

Validitas dan Reliabilitas

Uji validitas

Uji validitas merupakan suatu ukuran yang menunjukan tingkat kevalidan

instrument atau sejauh mana sebuah instrument mampu mengukur apa yang

seharusnya diukur (Polit & Beck, 2012). Kuesioner yang digunakan untuk

mengukur rasa haus pada pasien hemodialisis adalah kuesioner Thirst Distress

Scale (TDS) dan kuesioner Intensitas Rasa Haus dengan menggunakan VAS yang

dikembangkan oleh Welch (2002). Penggunaan kuesioner ini telah mendapatkan

persetujuan dari Prof. Janet Welch pada tanggal 4 Agustus 2017.

Setelah mendapatkan persetujuan dari author TDS, kuesioner TDS

kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh penerjemah profesional

dari Pusat Bahasa Universitas Sumatera Utara. Kemudian TDS versi Indonesia di

review oleh 3 orang expert yang terdiri dari 1 orang dokter ahli ginjal hipertensi, 1

orang dokter gizi klinik dan 1 orang perawat senior di Unit Ginjal Hipertensi

RSUP. H. Adam Malik Medan.

Penilaian masing-masing item pertanyaan dinyatakan dalam 4 poin skala,

yaitu 1 = tidak relevan, 2 = item perlu revisi banyak, 3 = item relevan tetapi perlu

sedikit revisi, dan 4 = item sudah relevan. Dari ke-6 item pertanyaan, tidak ada

pertanyaan yang dibuang, namun ada perubahan dibeberapa item pertanyaan,

seperti a) asli item pertanyaan “rasa haus sangat mengganggu saya”, diubah

menjadi “rasa haus sangat mengganggu saya sehingga saya tidak dapat

berkonsentrasi untuk melakukan aktivitas”, b) asli item pertanyaan “air liur saya

terasa kental jika saya haus”, diubah menjadi “air liur saya terasa berkurang jika

saya haus”, c) asli item pertanyaan “jika saya kurang minum, saya merasa sangat

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


50

kehausan” diubah menjadi “jika saya kurang minum, saya merasa lebih haus”.

Kusioner TDS ini memiliki nilai CVI sebesar 0.95, oleh karena itu dapat

disimpulkan bahwa seluruh pertanyaan dalam instrument penelitian ini valid.

Uji reabilitas

Pelaksanaan pilot study uji reabilitas instrumen Thirst Distress Scale

(TDS) dan Intensitas Rasa Haus dengan menggunakan VAS dilakukan dari

tanggal 4 September 2017 sampai dengan tanggal 9 September 2017 di Rumah

Sakit Tingkat II Putri Hijau Medan. Pilot study ini melibatkan 30 orang pasien

hemodialisis yang mengalami rasa haus akibat pembatasan (restriksi) cairan.

Uji realibilitas adalah alat untuk mengukur suatu kuesioner yang merupakan

indikator dari variabel/konstruk. Suatu kuisioner dinyatakan reliabel atau handal

jika jawaban seseorang terhadap pertanyaan konsisten dan stabil dari waktu ke

waktu. Pengujian reliabilitas dilakukan untuk mengetahui konsistensi hasil sebuah

jawaban tentang tanggapan responden.

Pengukuran reabilitas instrument pada penelitian ini dilakukan dengan

membandingkan nilai cronbach alpha. Apabila nilai cronbach alpha lebih besar

atau sama 0.80, maka dapat dikatakan bahwa pernyataan instrument tersebut

reliable. Hasil uji reabilitas kuesioner TDS ini memiliki nilai cronbach alpha

sebesar 0.80, oleh karena itu kuesioner ini reliable untuk digunakan dalam

penelitian.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


51

Metode Analisis Data

Metode analisa data yang digunakan dalam penelitian terdiri dari:

Pengolahan data

Data yang telah terkumpul melalui lembar isian kuesioner dan lembar

observasi diolah melalui empat tahapan yaitu:

Editing

Proses editing dilakukan setelah pengumpulan data dilakukan dengan

memeriksa kembali kelengkapan, kejelasan dan relevansi format pengkajian

karakteristik responden dan lembar observasi sesuai dengan kebutuhan peneliti.

Proses ini dilakukan selama berada dilapangan, sehingga apabila ada data yang

meragukan, salah atau tidak diisi dapat dikonfirmasi langsung kepada responden.

Coding

Mengkode data merupakan kegiatan mengklasifikasikan data, memberikan

kode untuk masing-masing kelas terhadap data yang diperoleh dari sumber data

yang telah diperiksa kelengkapannya. Data-data yang berupa angka atau tulisan

dikategorikan dalam skor yang telah ditetapkan peneliti.

Entry Data

Setelah melakukan coding maka langkah selanjutnya adalah melakukan

entry data dari instrument penelitian kedalam komputer melalui program statistik.

Cleaning

Kegiatan membersihkan data dengan melakukan pemeriksaan kembali

terhadap data yang sudah di entri apakah ada kesalahan atau tidak.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


52

Analisa data

Metode statistik untuk analisa data dalam penelitian ini adalah analisa

univariat dan analisa bivariat.

Analisa univariat

Analisa univariat bertujuan untuk mendeskriptifkan karakteristik

responden dan karakteristik masing-masing variabel yang akan diteliti. Variabel

yang berbentuk kategorik seperti jenis kelamin, suku, tingkat pendidikan, status

pernikahan, pekerjaan, dan penghasilan ditampilkan dalam bentuk proporsi.

Sementara pada variabel yang berbentuk numerik (seperti umur, TDS, VAS dan

berat badan) disajikan berupa nilai dalam bentuk frekuensi dan persentase. Data

usia dikategorikan menurut Hurlock (2001) yaitu 18-34 tahun (dewasa awal), 35-

54 tahun (dewasa menengah), 55-64 tahun (dewasa akhir), dan >65 tahun (lansia).

Analisa bivariat

Analisis statistik bivariat digunakan dalam menggambarkan hubungan

diantara dua variabel (Polit & Beck, 2012). Sebelum dilakukan analisis bivariat

terlebih dahulu dilakukan uji asumsi yaitu uji normalitas dan homogenitas

varians tiap kelompok perlakuan. Berdasarkan hasil olah uji normalitas

didapatkan data variabel penelitian tidak berdistribusi normal, maka dapat

disimpulkan bahwa data yang dihasilkan adalah termasuk non parametrik. Oleh

karena itu, analisa bivariat yang digunakan dalam penelitian ini adalah

menggunakan uji Wilcoxon signed ranks test yang digunakan untuk menilai rasa

haus sebelum dan sesudah perlakukan manajemen asupan makanan: diet rendah

garam pada kelompok perlakukan (within group). Sedangkan untuk menilai rasa

haus antara kelompok intervensi dan kontrol (between group) menggunakan uji

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


53

non parametrik Mann Withney test dengan kemaknaan p<0,05 dengan

pengambilan keputusan sebagai berikut yaitu apabila hasil analisa diperoleh nilai

p<0,05, maka dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak. Ini berarti ada pengaruh

manajemen asupan makanan: diet rendah garam terhadap rasa haus pada pasien

gagal ginjal kronik dengan hemodialisis.

Tabel 3.2. Hasil distribusi normalitas penelitian

Kriteria Kelompok Intervensi Kelompok Kontrol


Parameter Distribusi TDS VAS TDS VAS
Normal Pre Post Pre Post Pre Post Pre Post
Koefesien
<30% 15.0 17.5 24.2 26.3 27.9 22.6 34.9 29.9
varians
Rasio
-2 s/d +2 2.07 -0.28 -0.45 0.91 -0.53 -1.33 -0.60 -0.51
Skewness
Rasio
-2 s/d +2 -1.44 0.43 -1.60 -0.50 -1.43 -0.41 -0.86 -0.51
Kurtosis
Analisa
Shapiro- >0.05 0.09 0.04 0.00 0.01 0.03 0.04 0.04 0.16
Wilk

Pertimbangan Etik

Penelitian ini memperhatikan hak asasi responden yang berpedoman dan

mempertimbangkan pada prinsip-prinsip dasar etik penelitian. Menurut Polit dan

Beck (2012) prinsip-prinsip dasar etik penelitian meliputi: 1) Beneficiency, yaitu

peneliti terlebih dahulu mendapatkan persetujuan etik dari Komite Etik Penelitian

Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara, menjelaskan tujuan penelitian,

manfaat dan prosedur penelitian serta hak dan kewajiban responden, menjelaskan

hak dan kewajiban peneliti untuk melindungi responden dan menggunakan data

atau informasi yang diberikan responden hanya sebatas untuk kegiatan penelitian,

meminta persetujuan melalui lembar informed consent kepada kelompok

intervensi dan kontrol dan menghentikan kegiatan penelitian apabila terjadi hal

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


54

yang membahayakan seperti keluhan yang mengancam nyawa responden secara

mendadak saat penelitian berlangsung. 2) Respect for human dignity yaitu peneliti

memberikan penjelasan langsung kepada responden tentang pelaksanaan

penelitian yang tertuang dalam informed consent, memberikan kesempatan untuk

bertanya tentang aspek-aspek yang belum dipahami, memberikan waktu yang

cukup untuk menentukan pilihan dan meminta responden menandatangani

formulir informed consent apabila menyetujui untuk berpartisipasi. Dalam hal ini,

peneliti mempersiapkan formulir persetujuan mencakup penjelasan tentang a)

Judul penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, b) Permintaan untuk

berpartisipasi, c) Penjelasan prosedur penelitian, d) Gambaran tentang resiko dan

ketidaknyamanan selama penelitian, e) Keuntungan yang didapat berpartisipasi, f)

Jaminan kerahasiaan dan anonimitas, g) Hak untuk mengundurkan diri sebagai

responden kapanpun sesuai keinginan responden dan, h) Persetujuan dari

responden untuk berpartisipasi dalam penelitian. 3) Justice yaitu peneliti dalam

melaksanakan kegiatan penelitian tidak membedakan-bedakan responden dengan

memperhatikan prinsip keadilan. Semua responden yang telah ditentukan

berdasarkan kriteria inklusi diperlakukan sama dengan responden lainnya. Peneliti

tidak akan mencantumkan nama subyek pada lembar pengumpulan data yang diisi

oleh subyek, lembar tersebut hanya diberi kode tertentu.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB 4

HASIL PENELITIAN

Karakteristik Responden Penelitian

Rata-rata usia responden pada penelitian ini adalah 48.68 ± 14.15 pada

kelompok intervensi dan 52.55 ± 12.27 pada kelompok kontrol. Berdasarkan

pengelompokan umur, lebih dari sepertiga responden berada pada rentang usia 35-

54 tahun yaitu36.4% pada kelompok intervensi dan 40.9% pada kelompok

kontrol. Berdasarkan jenis kelamin, responden penelitian ini didominasi oleh laki-

laki, yaitu sebanyak 52.3% pada kelompok intervensi dan 68.2% pada kelompok

kontrol. Berdasarkan latar belakang pendidikan, sebanyak 31.8% responden pada

kelompok intervensi menamatkan pendidikan sampai dengan perguruan tinggi dan

38.6% pada kelompok kontrol merupakan tamatan SMA/sederajat. Terdapat

56.8% responden berstatus tidak bekerja pada kelompok intervensi dan 40.9%

pada kelompok kontrol berstatus masih aktif bekerja. Berdasarkan status

pernikahan, sebanyak 68.2% berstatus menikah pada kelompok intervensi dan

77.3% pada kelompok kontrol. Suku terbanyak dalam penelitian ini berasal dari

suku batak yaitu sebanyak 75% pada kelompok intervensi dan 72.2% pada

kelompok kontrol. Berdasarkan penyebab kerusakan ginjal yang diderita, 38.6%

responden menjawab kerusakan diakibatkan dari penyakit hipertensi dari

kelompok intervensi dan 50% dari kelompok kontrol. Sedangkan berdasarkan

lamanya terapi hemodialisis, sebanyak 61.4% responden menjawab lebih dari 1

tahun telah menjalani terapi hemodialisis untuk masing-masing kelompok

intervensi dan kelompok kontrol.

55
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
56

Tabel 4.1. Karakteristik responden penelitian

Kelompok Kelompok
Intervensi Kontrol X2 p value
No. Karakteristik (n = 44) (n = 44)
F % F %
1 Usia 17.182 0.001
Mean: S: Mean: SD:12.2
Rata-rata
48.68 14.15 52.55 7
18 – 34 tahun 9 20.5 5 11.4
35 – 54 tahun 16 36.4 18 40.9
55 – 64 tahun 13 29.5 16 36.4
65 keatas 6 13.6 5 11.4
2 Jenis Kelamin 3.682 0055
Laki-laki 23 52.3 30 68.2
Perempuan 21 47.7 14 31.8
3 Pendidikan 10.091 0.018
SD 6 13.6 6 13.6
SMP 9 20.5 9 20.5
SMA 14 31.8 17 38.6
PT (Diploma/Sarjana) 15 34.1 12 27.3
4 Pekerjaan 6.909 0.032
Pegawai 9 20.4 18 40.9
Wiraswasta 10 23.7 11 34.1
Tidak Bekerja 25 56.8 15 25.0
5 Status Pernikahan 61.455 0.000
BelumMenikah 6 13.6 6 13.6
Menikah 30 68.2 34 77.3
Janda/Duda 8 18.2 4 9.1
6 Suku 165.545 0.000
Batak 33 75.0 32 72.2
Jawa 6 13.6 9 20.5
Minang 0 0 2 4.5
Melayu 1 2.3 0 0
Lain-lain 4 9.1 1 2.3
7 Lama Menjalani 4.149 0.042
Hemodialisa
< 1 tahun 17 38.6 17 38.6
> 1 tahun 27 61.4 27 61.4
8 Penyebab 32.091 0.000
Hipertensi 17 38.6 22 50.0
Diabetes Mellitus 16 36.4 14 31.8
Batu pada ginjal 6 13.6 8 18.2
Penyebab lainnya 5 11.4 0 0

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


57

Distribusi Skor TDS, VAS dan Berat Badan Interdialisis (IDWG)

Berdasarkan rasa haus yang diukur dengan TDS, maka pada kelompok

intervensi terdapat sebanyak 56.8% responden mengalami rasa haus sedang dan

43.2% mengalami rasa haus berat sebelum dilakukannya perlakuan manajemen

asupan makanan: diet rendah garam. Pada pada kelompok kontrol terdapat 11.4%

responden mengalami rasa haus ringan, 43.2% mengalami rasa haus sedangdan

45.4% mengalami rasa haus berat sebelum dilakukannya perlakuan. Setelah

dilakukannya perlakukan manajemen asupan makanan: diet rendah garam, maka

intensitas rasa haus yang dialami pada kelompok intervensi adalah sebanyak 2.3%

responden mengalami rasa haus ringan, 90.9% mengalami rasa haus sedang dan

6.8% mengalami rasa haus berat. Sedangkan pada kelompok kontrol adalah

sebanyak 6.8% mengalami rasa haus ringan, 52.3% mengalami rasa haus sedang

dan 40.9% mengalami rasa haus berat.

Berdasarkan skor VAS, maka terdapat 56.8% responden dari kelompok

intervensi yang mengalami rasa haus sedang dan sisanya sebanyak 43.2%

mengalami rasa haus berat sebelum dilakukannya perlakuan manajemen asupan

makanan: diet rendah garam. Sedangkan pada kelompok kontrol terdapat 11.4%

responden mengalami rasa hausringan, 47.7% mengalami rasa haus sedangdan

40.9% mengalami rasa haus berat sebelum dilakukannya perlakuan. Setelah

dilakukannya perlakuan manajemen asupan makanan: diet rendah garam kepada

seluruh responden, tingkat rasa haus pada kelompok intervensi adalah sebanyak

2.3% responden mengalami rasa haus ringan, 90.9% mengalami rasa haus sedang

dan 6.8% mengalami rasa haus berat. Sedangkan hasil perlakuan pada kelompok

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


58

kontrol adalah sebanyak 6.8% mengalami rasa haus ringan, 59.1% mengalami

rasa haus sedang dan 34.1% mengalami rasa haus berat.

Tabel 4.2. Distribusi skor TDS, VAS dan IDWG

Pre-test Post-test
Ringan Sedang Berat Ringan Sedang Berat
f % f % f % f % f % f %
Kelompok
Intervensi
TDS 0 0 25 56.8 19 43.2 1 2.3 40 90.9 3 6.8
VAS 0 0 25 56.8 19 43.2 1 2.3 40 90.9 3 6.8
IDWG 3 6.8 26 59.1 15 34.1 10 22.7 34 77.3 0 0

Kelompok
Kontrol
TDS 5 11.4 21 43.2 18 45.4 3 6.8 23 52.3 18 40.9
VAS 5 11.4 21 43.2 18 45.4 3 6.8 26 59.1 15 34.1
IDWG 2 4.5 36 81.8 6 13.6 2 4.5 34 77.3 8 18.2

Berdasarkan kenaikan berat badan interdialisis (IDWG), maka terdapat

6.8% responden mengalami kenaikan berat badan ringan, 59.1% responden

mengalami kenaikan berat badan sedang (rata-rata) dan 34.1% responden

mengalami kenaikan berat badan berat (buruk) pada kelompok intervensi sebelum

dilakukannya perlakuan. Sedangkan pada kelompok kontrol adalah 4.5%

responden mengalami kenaikan berat badan ringan, 81.8% responden mengalami

kenaikan berat badan sedang (rata-rata) dan 13.6% responden mengalami

kenaikan berat badan berat (buruk). Setelah dilakukannya perlakuan manajemen

asupan makanan: diet rendah garam kepada seluruh responden, maka sebanyak

22.7% mengalami kenaikan berat badan ringan, 77.3% responden mengalami

kenaikan berat badan sedang (rata-rata) pada kelompok intervensi dan pada

kelompok kontrol adalah 4.5% responden mengalami kenaikan berat badan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


59

ringan, 77.3% responden mengalami kenaikan berat badan sedang (rata-rata) dan

18.2% responden mengalami kenaikan berat badan berat (buruk).

Perbedaan Rasa Haus Sebelum dan Sesudah Manajemen Asupan Makanan:

Diet Rendah Garam

Berdasarkan hasil pengolahan data dengan uji Wilcoxon Signed Rank Test

pada tabel 4.4 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan rasa haus antara sebelum

dan sesudah dilakukannya perlakuan manajemen asupan makanan: diet rendah

garam pada kelompok intervensi baik yang diukur dengan TDS maupun dengan

VAS. Mean rank TDS pada pre-test adalah 19.00 dan post test 0.00 (p=0.00),

sedangkan mean rank VAS pada pre-test adalah 15.50 dan post-test 0.00

(p=0.000). Hasil ini berbeda dengan kelompok kontrol, dimana hasil pengolahan

data menunjukkan tidak terdapat perbedaan rasa haus antara sebelum dan sesudah

dilakukannya perlakuan manajemen asupan makanan: diet rendah garam pada

kelompok kontrol baik yang diukur dengan TDS maupun dengan VAS. Mean

rank TDS pada pre-test adalah 15.40 dan post-test 13.18 (p=0.39) dan sedangkan

mean rank VAS pada pre-test adalah 11.00 dan post-test 12.22 (p=0.57).

Pada kelompok intervensi terdapat 37 orang responden yang mengalami

penurunan nilai TDS dan 7 orang nilai TDS-nya tetap dengan kemaknaan 0.000

(p<0.05) setelah dilakukannya perlakuan manajemen asupan makanan: diet

rendah garam. Sedangkan rasa haus yang diukur dengan VAS, terdapat 30 orang

responden yang mengalami penurunan nilai VAS dan14 orang responden yang

nilai VAS-nya tetap pada kelompok intervensi dengan kemaknaan 0.000 (p<0.05)

setelah dilakukannya perlakuan manajemen asupan makanan: diet rendah garam.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


60

Pada kelompok kontrol terdapat 17 orang responden yang mengalami

peningkatan nilai TDS, 10 orang mengalami penurunan nilai TDS dan 17 orang

nilai TDS-nya tetap dengan kemaknaan 0.39 (p>0.05) setelah dilakukannya

perlakuan manajemen asupan makanan: diet rendah garam. Sedangkan hasil ukur

rasa haus dengan menggunakan VAS, terdapat 9 orang responden mengalami

peningkatan nilai VAS, 13 orang mengalami penurunan nilai VAS dan 22 orang

responden yang nilai VAS-nya tetap dengan kemaknaan 0.57 (p>0.05) setelah

dilakukannya perlakuan manajemen asupan makanan: diet rendah garam.

Tabel 4.3. Mean rank rasa haus sebelum dan sesudah perlakuan pada kelompok
intervensi

Kelompok Intervensi p value


Variabel
Pre-test Post-test
TDS 19.00 0.00 0.000
VAS 15.50 0.00 0.000

Tabel 4.4. Mean rank rasa haus setelah perlakuan pada kelompok intervensi dan
kontrol

Mean Rank
Variabel p value
Meningkat Menurun Tetap
Kelompok Intervensi
TDS 0 37 7 0.000
VAS 0 30 14 0.000

Kelompok Kontrol
TDS 17 10 17 0.399
VAS 9 13 22 0.577

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


61

Pengaruh Manajemen Asupan Makanan: Diet Rendah Garam terhadap

Rasa Haus pada Pasien Gagal Ginjal Kronik dengan Hemodialisis

Berdasarkan hasil pengolahan dengan Mann Withney Test, didapatkan

hasil bahwa terdapat pengaruh manajemen asupan makanan: diet rendah garam

terhadap rasa haus baik yang diukur dengan TDS dengankemaknaan p=0.008

(p<0.05) dan yang diukur dengan VAS dengan kemaknaan p=0.048 (p<0.05).

Tabel 4.5. Pengaruh manajemen asupan makanan: Diet rendah garam terhadap
rasa haus

Kelompok Intervensi Kelompok Kontrol


Rasa haus Nilai p
Mean Rank Mean Rank
TDS
Pre-test 47.45 41.55 0.276
Post-test 37.36 51.64 0.008

VAS 45.27 43.73 0.772


Pre-test 39.45 49.55 0.048
Post-test

Hubungan Kenaikan Berat Badan Interdialisis (IDWG) dengan Rasa Haus

Pengambilan keputusan dilakukan dengan uji korelasi Somers’d yaitu uji

yang digunakan untuk mengetahui korelasi antar variabel dependen dan

independen yang keduanya memiliki skala ordinal. Hasil pengolahan data

menunjukkan bahwa korelasi yang terbentuk adalah positif dengan kekuatan r <

0.2, maka dapat diinterpretasikan bahwa kekuatan korelasi antara rasa haus (TDS

dan VAS) dengan IDWG memiliki korelasi yang sangat lemah baik sebelum

maupun sesudah perlakukan. Berdasarkan nilai p yang ditunjukkan bahwa p>0.05,

maka dapat diintepretasikan bahwa tidak terdapat korelasi yang bermakna antara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


62

rasa haus yang diukurdengan TDS dan VAS terhadap IDWG baik sebelum dan

sesudah perlakuan.

Tabel 4.6. Hubungan kenaikan IDWG dengan rasa haus yang dirasakan pasien
hemodialisa

Rasa Haus IDWG


Total r p value
Baik Rata-rata Buruk
TDS
Ringan 0 4 1 5 0.021 0.843
Pre Sedang 5 27 12 44
Berat 0 31 8 39

Ringan 0 2 2 4 0.038 0.363


Post Sedang 11 50 2 63
Berat 1 16 4 21

VAS
Ringan 0 4 1 5 0.115 0.713
Pre Sedang 5 29 12 46
Berat 1 16 4 21

Ringan 1 5 2 8 0.136 0.298


Post Sedang 10 48 2 60
Berat 1 15 4 20

Hasil Konseling dan Kunjungan Rumah

Hasil Konseling

Berdasarkan hasil konseling dan kunjungan rumah yang dilakukan selama

2 minggu perlakuan, didapatkan hasil bahwa responden memahami informasi

yang disampaikan terkait diet rendah garam, menghindari makanan olahan,

berpengawet, asin, pedas. Responden juga menjelaskan bagaimana cara mereka

mengontrol rasa haus sehari-hari seperti dengancara menghisap es batu, minum

dengan air hangat/dingin, dan minum dengan menggunakan gelas ukuran kecil.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


63

Adapun kendala yang dialami responden selama menjalani diet rendah garam

merasa bosan dan tidak selera makan dikarenakan rasa masakan yang hambar.

Hasil kunjungan Rumah

Berdasarkan hasil supervisi kunjungan rumah untuk melihat tentang

pelaksanaan perlakuan manajemen asupan makanan: diet rendah garam

didapatkan hasil bahwa: a) terdapat 86.4% responden mengolah makanan segar

atau tidak menggunakan makanan kemasan untuk dikonsumsi, b) terdapat 84.1%

responden memasak tanpa menggunakan garam dalam makanannya c) sebanyak

20.5% responden mengganti garam dengan bahan tambahan lainnya dalam

masakan, d) 38.6% responden masih memasak dengan menggunakan kuah dalam

menyajikan makanannya, e) sebanyak 20.5% responden masih mengkonsumsi

kuah dalam makanannya.

Tabel. 4.7. Persentase pelaksanaan intervensi pada kelompok perlakuan

No. Item Ya Tidak


F % F %
1 Menggunakan bahan makanan yang 6 13.6 38 86.4
diawetkan seperti nugget, sosis,
ikan/sayuran kaleng, ikan asin, dll
2 Menambahan garam dalam masakan 7 15.9 37 84.1
3 Menambahkan bahan tambahan dalam 9 20.5 35 79.5
masakan (kecap, gula, penyedap rasa)
4 Makanan disajikan dalam bentuk 17 38.6 27 61.4
berkuah
5 Pasien masih mengkonsumsi makanan 9 20.5 35 79.5
yang berkuah

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB 5

PEMBAHASAN

Rasa Haus Sebelum dan Setelah Manajemen: Diet Rendah Garam

Rasa Haus Sebelum Perlakuan

Sebelum dilakukan intervensi manajemen asupan makanan: diet rendah

garam, data awal rasa haus yang dirasakan pasien terlebih dahulu diukur dengan

menggunakan instrumen thirst distress scale (TDS) dan thirst visual analog scale

(thirst-VAS). Hasil pengukuran menunjukkan bahwa jumlah responden yang

mengalami rasa haus berat dan sedang pada kelompok intervensi lebih banyak

dibandingkan dengan kelompok kontrol (Tabel 4.2).

Mengacu kepada usia responden, hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-

rata usia pada kelompok intervensi lebih muda bila dibandingkan dengan

kelompok kontrol, walaupun masih dalam rentang kelompok usia yang sama.

Berdasarkan rata-rata usia ini, maka dapat diinterpretasikan bahwa sebelum

dilakukannya perlakuan, rasa haus berat dan haus sedang yang banyak dirasakan

oleh responden dari kelompok intervensi dikarenakan rata-rata usia pada

kelompok intervensi lebih muda bila dibandingkan kelompok kontrol.

Bots et al. (2004) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa rasa haus berat

merupakan permasalahan yang sering dialami pada pasien muda yang mengalami

retriksi cairan. Hasil penelitian ini didukung oleh hasil studi Ahrari & Bragrami

(2014) dimana dikatakan bahwa pasien hemodialysis lansia lebih konsevatif dan

lebih patuh dibandingkan dewasa muda dan menengah. Hasil yang sama

ditunjukkan oleh Park et al. (2008) bahwa tingkat kepatuhan akan retriksi cairan

64
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
65

dan natrium pada pasien hemodialysis tua lebih tinggi dibandingkan pasien muda

(p<0.01 dan p<0.05). Hasil ini didukung oleh Chumlea et al. (1999) dimana dalam

studinya mengatakan bahwa jumlah cairan tubuh manusia akan berkurang seiring

dengan bertambahnya usia, oleh karena itu rasa haus jarang dikeluhan oleh pasien

lansia.

Hasil karakteristik responden (Tabel 4.1) menunjukkan bahwa persentase

responden laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan responden perempuan baik

dalam kelompok intervensi maupun kontrol. Berdasarkan hasil ini dapat

diinterpretasikan bahwa penderita hemodialysis terbanyak adalah laki-laki dan

yang sering mengalami rasa haus juga adalah pasien hemodialysis laki-laki. Hasil

studi ini sesuai dengan hasil studi Kunitoshi Iseki (2008) yang menunjukkan

bahwa berdasarkan survey yang dilakukan oleh Japanese Society for Dialysis

Therapy, insiden terjadinya ESRD lebih tinggi terjadi pada gender laki-laki

dibandingkan perempuan, dan rata-rata usia pasien saat menerima dialysis lebih

tinggi pada gender perempuan dibandingkan laki-laki, ini terjadi karena adanya

perbedaan gaya hidup antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki dengan kebiasaan

merokok, dan mengkonsumsi minuman beralkohol lebih dari 20 gram perhari

akan mengakibatkan resiko kerusakan ginjal lebih besar. Hal yang sama juga

terjadi pada penderita obesitas dan sindrom metabolik yang mengalami

proteinuria yang didukung dengan adanya penyakit hipertensi dan diabetes

mellitus, maka kerusakan ginjal semakin meningkat. Pernyataan yang sama juga

dikatakan Goldberg dan Krause (2016) dalam hasil studinya, dimana dikatakan

bahwa walaupun prevalensi gagal ginjal lebih tinggi terjadi pada perempuan,

namun insiden hemodialysis masih lebih tinggi terjadi pada laki-laki, karena

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


66

progresitas kerusakan ginjal lebih cepat terjadi pada laki-laki dibandingkan

perempuan. Silbiger dan Neugarten (2008) juga mengatakan bahwa berdasarkan

beberapa hasil studi menunjukkan bahwa hormon seks wanita seperti ekstradiol

berperan aktif dalam menghambat progresitas penyakit ginjal.

Bots et al. (2004) dalam studinya mengindikasikan bahwa persepsi rasa

haus yang dirasakan pasien hemodialysis laki-laki lebih berat dibandingkan pasien

perempuan, karena persentase jumlah cairan tubuh pada laki-laki lebih tinggi

dibandingkan perempuan. Hasil ini didukung oleh penelitian Chan, Zalilah dan

Ziunn Hii (2012) yang menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan akan retriksi cairan

pada perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki (β = 0.207, p<0.05).

Rasa Haus Setelah Perlakuan

Setelah dilakukannya intervensi manajemen asupan makanan: diet rendah

garam pada semua responden, maka dilakukan pengukuran ulang rasa haus pasca

perlakuan. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa jumlah responden yang

mengalami penurunan rasa haus lebih banyak pada kelompok intervensi

dibandingkan dengan kelompok kontrol. Ini disebabkan karena responden pada

kelompok intervensi menjalankan perlakuan diet rendah garam yang telah

dirancang peneliti dalam kehidupan mereka selama 3 minggu dengan pengawasan

peneliti. Selain itu, dalam 3 minggu perlakuan juga dilakukan pemberian edukasi

yang dilakukan secara berkesinambungan dimana pada minggu pertama diberikan

edukasi mengenai diet rendah garam, sedangkan pada minggu kedua diberikan

pengulangan materi tentang diet rendah garam yang difokuskan pada pengukuran

garam yang terkandung dalam makanan sesuai dengan takaran rumah tangga.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


67

Sedangkan pada minggu ketiga edukasi, materi yang diberikan difokuskan pada

pantangan makanan atau makanan yang harus dihindari oleh pasien hemodialisis.

Pada minggu kedua dan ketiga penelitian ini, peneliti juga melakukan

konseling terhadap responden dan keluarga. Pada pertemuan konseling ini, materi

konseling yang diberikan peneliti adalah mengenai edukasi yang telah berikan dan

kendala-kendala yang dihadapi pasien dan keluarga dalam melakukan intervensi

serta bagaimana cara mengatasinya. Sedangkan kunjungan rumah dilakukan

peneliti sebagai bentuk supervisi terhadap edukasi yang telah diberikan peneliti

sebelumnya untuk menilai tingkat pelaksanaan intervensi. Bentuk supervisi

terhadap pelaksanaan intervensi dinilai menggunakan lembar observasi

pelaksanaan intervensi.

Berdasarkan tabel 4.4 dapat terlihat bahwa penurunan rasa haus juga

terdapat pada kelompok kontrol, namun jumlahnya lebih sedikit dibandingkan

kelompok intervensi. Hal ini disebabkan karena semua pasien hemodialisis yang

dirawat di ruang hemodialisis RSUP H. Adam Malik Medan juga mendapatkan

informasi yang sama mengenai diet rendah garam, dari peneliti dan perawat

ruangan. Sedangkan tindakan pemberian edukasi yang dilakukan

berkesinambungan, konseling serta kunjungan rumah sebagai bentuk supervisi

terhadap edukasi yang telah diberikan tidak dilakukan oleh peneliti dalam

kelompok kontrol ini.

Edukasi yang dilakukan secara berkesinambungan dan adanya pengawasan

terhadap edukasi yang diberikan dapat meningkatkan perilaku perawatan diri

pasien sehari-hari yang ditunjukkan dengan perilaku mengurangi asupan garam

harian pasien. Perilaku mengurangi asupan garam harian merupakan salah satu

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


68

bentuk dari kepatuhan pasien terhadap rejimen pengobatan pasien dengan

hemodialisis.

Berdasarkan hasil observasi kunjungan rumah dapat terlihat bahwa 86.4%

responden menggunakan bahan segar dalam memproses masakannya dan 84.1%

tidak menambahkan garam dalam masakannya, namun sebanyak 79,5%

responden mengganti bahan lain sebagai pengganti garam dalam memberi rasa.

Sebanyak 61.4% responden memasak dengan menambah kuah, namun hanya

79.5% yang tidak mengkonsumsi kuah dari masakan tersebut.

Berdasarkan hasil studi Bland, Cottrell dan Guyler (2008) didapatkan bahwa

pasien yang menjalani pendidikan sedikitnya sampai kelas 12 memiliki tingkat

pengetahuan dan kepatuhan yang cukup, sehingga berefek positif terhadap

pengobatan. Dalam studinya ini mereka juga mengatakan bahwa sebaliknya

pasien dengan tingkat pendidikan yang kurang akan mengakibatkan

pengetahuannya juga berkurang, sehingga tingkat kepatuhan akan rejimen

pengobatan juga rendah.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat pendidikan pada kelompok

intervensi lebih tinggi dari pada kelompok kontrol, dimana pada kelompok

intervensi mayoritas responden merupakan pasien yang pernah menjalani

pendidikan sampai dengan perguruan tinggi, sedangkan pada kelompok kontrol

mayoritas responden pernah menjalani pendidikan sampai dengan sekolah

menengah atas saja. Hasil ini sejalan dengan hasil studi yang dilakukan oleh

Nasution, dkk. (2013) bahwa tingkat pendidikan sangat mempengaruhi perilaku

dan pola hidup pasien, semakin tinggi tingkat pendidikan pasien, maka semakin

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


69

mudah pasien tersebut menerima informasi, sehingga menghasilkan perilaku

hidup yang lebih baik lagi.

Ryu et al. (2014) dalam hasil studinya menyatakan bahwa pengetahuan

pasien tentang diet hemodialysis secara signifikan meningkat setelah

dilakukannya edukasi yang berkesinambungan yang ditunjukkan pasien melalui

perilaku diet sehari-hari. Pendapat yang sama juga ditunjukkan Kim et al. (2017)

pada penelitiannya bahwa peningkatan pengetahunan pasien bertambah setelah

dilakukannya re-edukasi (p=0.07) dan berdampak terhadap kepatuhan akan self-

care (p=0.01) sehingga penurunan kadar natrium tubuh juga berkurang selama

masa re-edukasi (p=0.06) dan juga terjadi penurunan berat badan.

Mc.Mahon et al. (2012) juga mengatakan dalam studinya bahwa perilaku

diet merupakan hal yang sangat kompleks dan sangat mempengaruhi pengobatan

dan penyebab dari ketidakpatuhan pasien terhadap diet pembatasan natrium

adalah kurangnya penerimaan pasien terhadap rasa yang hambar yang

diakibatkan, kurangnya pengetahuan dan penerimaan pasien akan informasi

tentang makanan rendah garam, serta kurangnya sosialisasi tenaga kesehatan

mengenai diet rendah garam. Hasil penelitian yang dilakukan Lee Chung, et al.

(2015) juga menyatakan bahwa kepatuhan pasien terhadap diet rendah garam akan

meningkat apabila pasangan atau anggota keluarga lainnya juga mengikuti atau

menerapkan aturan diet yang sama seperti pasien pada diri mereka. Hasil

penelitian ini juga membuktikan bahwa berdasarkan hasil konseling

ketidakpatuhan pasien terhadap diet pembatasan natrium adalah kurangnya

penerimaan pasien terhadap rasa yang hambar dan faktor lain yang mendukung

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


70

ketidakpatuhan pasien adalah kurangnya dukungan keluarga atau pasangan,

dimana diet rendah garam hanya berlaku bagi pasien saja.

Kepatuhan akan pembatasan garam dapat tercapai apabila terjadi sinergi

antara pasien, keluarga/caregiver dan tenaga kesehatan. Manajemen diet rendah

garam yang diterapkan oleh peneliti adalah sebuah pendekatan sinergi yang

dimaksud. Dalam manajemen diet rendah garam ini peneliti melakukan edukasi,

bimbingan konseling dan kunjungan rumah sebagai bentuk supervisi dengan

harapan perilaku yang dilakukan pasien sehari-hari sesuai dengan edukasi yang

telah diberikan sebelumnya.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan (Tabel 4.4) dapat dilihat

bahwa terdapat sejumlah responden pada kelompok kontrol yang mengalami

peningkatan rasa haus. Berdasarkan hasil karakteristik pasien dapat terlihat bahwa

mayoritas responden pada kelompok kontrol merupakan pasien yang masih aktif

bekerja, sedangkan pada kelompok intervensi sebagian besar responden tidak

bekerja. Dari perbedaan ini dapat diketahui bahwa lingkungan juga

mempengaruhi kepatuhan pasien akan perawatan diri.

Chan, Zalilah dan Ziunn Hii (2012) dalam studinya mengatakan bahwa

pasien hemodialisis yang masih bekerja memiliki tingkat kepatuhan yang tinggi

akan terapi modalitas dialisis, namun kepatuhan untuk rejimen lain seperti retriksi

cairan dan diet masih tetap buruk. Lingkungan keluarga dapat meningkatkan

kepatuhaan pada pasien hemodialysis, namun lingkungan pertemanan yang tidak

mengetahui keadaan kesehatan pasien dapat mengakibatkan tingkat

ketidakpatuhan meningkat (Ahrari & Bragrami, 2014). Dalam studinya ini, Ahrari

& Bragrami (2014) menjelaskan bahwa berdasarkan hasil penelitian yang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


71

dilakukan bahwa pasien hemodialysis mendapatkan dukungan yang rendah dari

teman-teman mereka dan merupakan faktor terpenting yang mempengaruhi

ketidakpatuhan terhadap cairan dan diet. Oleh karena itu diperlukan

pemberdayaan keluarga, teman dekat, lingkungan sosial lainnya (personel medis,

tenaga amal, atau tokoh agama) sebagai pemberi dukungan terbesar pada pasien

sehingga tingkat kepatuhan pasien terhadap retriksi cairan dan diet tetap terjaga.

Chan, Zalilah dan Ziunn Hii (2012) dalam studinya juga mengatakan bahwa

untuk pasien hemodialisis pria muda dengan status masih bekerja dan akan

memiliki pengalaman yang panjang dengan dialisis, maka diperlukan perhatian

dan support yang lebih dari tenaga kesehatan profesional karena tingkat kepatuhan

pasien sangat bergantung kepada pengetahuan dan keterampilan efikasi diri.

Pengetahuan pasien yang didapat dari informasi yang diberikan oleh tenaga

kesehatan dan penguatan pengetahuan yang berasal dari pertemuan-pertemuan

konseling yang sering dilaksanakan akan meningkatkan pemahaman pasien

tentang rejimen pengobatan dan perawatan dirinya.

Kenaikan Berat Badan Interdialysis (IDWG)

IDWG Sebelum Perlakuan

Hasil distribusi IDWG (Tabel 4.2) menunjukkan bahwa sebelum

dilakukannya perlakuan diet rendah garam mayoritas responden (lebih dari 50%)

dari kelompok intervensi dan kontrol mengalami kenaikan berat badan sedang

(atau lebih sering dikatakan kenaikan rata-rata yaitu kenaikan sampai dengan 2

kg) antar sesi dialysis.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


72

Hasil distribusi (Tabel 4.2) juga menunjukkan bahwa terdapat responden

yang mengalami kenaikan berat badan berat (IDWG >3 kg) pada kedua

kelompok, namun persetantasenya lebih banyak pada kelompok intervensi.

Berdasarkan usia, dapat dianalisa bahwa rata-rata usia pada kelompok intervensi

lebih muda dibandingkan rata-rata usia pada kelompok kontrol, oleh karena itu

dapat diinterpretasikan bahwa tingkat kepatuhan akan retriksi cairan lebih rendah

pada kelompok intervensi.

Berdasarkan studi Nerbass et al. (2011) ditemukan bahwa IDWG

berkorelasi dengan usia dan IMT (indeks massa tubuh), juga secara langsung

berkorelasi dengan tekanan darah sebelum dan saat hemodialisis dilakukan.

Dalam penelitiannya ini Nerbass et al. (2011) menemukan bahwa pasien

hemodialysis muda yang mengalami malnutrisi akan menunjukkan persentase

peningkatan IDWG lebih dari 5%. Studi yang dilakukan oleh Junne-Ming Sung

et al. (2006) juga menyatakan bahwa usia, gender dan tingkat keparahan

xerostomia berperan secara signifikan terhadap persentasi kenaikan IDWG pasien

hemodialysis baik yang diakibatkan dari diabetes mellitus maupun yang non

diabetes mellitus.

IDWG Sesudah Perlakuan

Pada table 4.2 juga menunjukkan bahwa persentase responden dengan

kenaikan IDWG yang lebih dari 3 kg (kenaikan berat) tidak ditemukan lagi pada

kelompok intervensi setelah dilakukannya perlakuan manajemen diet rendah

garam. Sedangkan pada kelompok kontrol masih terdapat 18.2% responden

mengalami kenaikan IDWG setelah perlakuan. Hasil ini menunjukkan bahwa

walaupun informasi tentang perlakuan diet rendah garam telah diberikan pada

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


73

kedua kelompok intervensi dan kontrol, namun tanpa adanya supervisi dan

edukasi yang berulang akan mengakibatkan tingkat kepatuhan pasien akan

menurun.

Hasil studi Kahraman et al. (2015) menunjukkan bahwa IDWG merupakan

indikator atas kepatuhan pasien dalam menjalankan rejimen terapi untuk waktu

yang lama dan dipengaruhi oleh lamanya hemodialisa dan status nutrisi pasien.

Hasil ini didukung dengan penelitian Ryu et al. (2014) bahwa pengulangan

edukasi secara intensif khususnya tentang diet sehari-hari sangat efektif dalam

meningkatkan kepatuhan pasien hemodialysis yang ditunjukkan dengan perilaku

diet dan penurunan IDWG abnormal.

Perbedaan Rasa Haus Sebelum dan Sesudah Diet Rendah Garam

Perbedaan rasa haus sebelum dan sesudah diet rendah garam pada penelitian

ini diidentifikasikan dengan membandingkan nilai rasa haus antara pre-test dan

post-test pada masing-masing kelompok perlakuan dengan menggunakan analisa

statistik Wilcoxon Signed Rank Test. Berdasarkan hasil analisa dapat

diinterpretasikan bahwa terdapat perbedaan rasa haus antara sebelum dan sesudah

dilakukannya perlakuan pada kelompok intervensi baik yang diukur dengan TDS

maupun dengan VAS dengan nilai signifikasi masing-masing variabel TDS:

p=0.00 dan VAS: p=0.00 (Tabel 4.3) Sedangkan pada kelompok kontrol

menunjukkan tidak adanya perbedaan rasa haus antara sebelum dan sesudah

dilakukannya perlakuan baik yang diukur dengan TDS maupun dengan VAS

dengan nilai signifikasi TDS: p=0.399 dan VAS: p=0.577 (Tabel 4.4).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


74

Hasil ini menunjukkan bahwa manajemen asupan makanan: diet rendah

garam memberikan manfaat yang lebih besar terhadap pengurangan rasa haus bila

dibandingkan dengan hanya memberi edukasi saja. Edukasi diet rendah garam

dapat mempengaruhi perilaku pasien dalam mengurangi asupan garam harian

pasien. Pemberian edukasi yang didukung dengan kontroling pelaksanaan edukasi

melalui supervisi dan konseling akan memaksimalkan peningkat kesadaran pasien

tentang perlunya self management sehingga pasien mampu untuk mengelola

kesehatan dan psikososialnya dan melakukan perubahan gaya hidup yang

mendukung kondisi kronis penyakitnya (Iversen et al, 2014).

Pengaruh Manajemen Asupan Makanan: Diet Rendah Garam Terhadap

Rasa Haus

Pengaruh manajemen asupan makanan: diet rendah garam terhadap rasa

haus pada penelitian ini diidentifikasikan dengan membandingkan nilai post-test

rasa haus antara kelompok intervensi dan kontrol dengan menggunakan analisa

statistik mann whitney test. Berdasarkan hasil analisa dapat diinterpretasikan

bahwa terdapat pengaruh manajemen asupan makanan: diet rendah garam

terhadap rasa haus berdasarkan TDS dan VAS pada kelompok intervensi dan

kontrol dengan nilai TDS: p=0.008 dan nilai VAS: p=0.048; berikan p<0.05

(Tabel 4.5).

Hasil ini sesuai dengan penelitian Stachenfeld (2008) bahwa peningkatan

asupan garam natrium yang melebihi kebutuhan tubuh akan mengakibatkan

peningkatan tekanan osmotik plasma, sehingga terjadi respon rasa haus osmotik

sebagai mekanisme terhadap keseimbangan cairan dan elektrolit. Leshem (2015)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


75

juga menyatakan bahwa selain garam dapat menyebabkan mulut kering dan

konsekuensinya adalah respon minum meningkat, perilaku diet rendah garam juga

dapat meningkatkan tekanan darah pasien hemodialysis.

Mc. Mahon et al. (2013) dalam studinya juga mengatakan bahwa asupan

natrium mempengaruhi tekanan darah dengan cara mengendalikan perubahan

volume cairan yang dimediasi oleh sistem renin-angiostensin-aldosteron, mediator

lain seperti inflamasi dan kekakuan vaskular. Cairan yang berlebih merupakan

predictor yang kuat terjadinya gangguan kardiovaskular dan fungsi renal pada

pasien gagal ginjal. Dalam studinya ini, Mc Mahon, dkk. menemukan bahwa

dengan mengurangi asupan garam harian sampai dengan 100 mmol dapat

mengurangi volume cairan ekstraselular sebanyak 0.8L atau setara dengan

penurunan tekanan darah sampai dengan 10/4 mmHg, sehingga dapat mengurangi

penggunaan obat anti hipertensi.

Studi ini juga sejalan dengan hasil studi Mc Causland et al. (2012) dimana

dikatakan bahwa kepatuhan akan diet retriksi natrium (<2000 mg/hari; <88

mmol/day) dapat mengurangi IDWG, tekanan darah dan kematian. Asupan garam

yang meningkat juga dapat mengakibatkan kejadian protenuria semakin buruk

pada pasien hemodialysis (Haddad, Shim & Hebert, 2013).

Hubungan Kenaikan Berat Badan Interdialisis (IDWG) terhadap Rasa Haus

Untuk melihat apakah rasa haus yang dialami pasien mempengaruhi IDWG,

maka peneliti melakukan analisa korelasi terhadap kedua variabel ini. Analisa

korelasi Somers’d dipilih karena syarat dari korelasi Somers’d adalah data yang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


76

digunakan adalah non parametrik dan merupakan data berskala ordinal dan

disajikan dalam bentuk tabel kontingensi.

Hasil korelasi (Tabel 4.6) menunjukkan bahwa korelasi yang dihasilkan

antara rasa haus (yang diukur dengan TDS dan VAS) dan IDWG adalah positif.

Kekuatan korelasi yang dihasilkan dari variabel-variabel ini sangat lemah, baik itu

sebelum dilakukan perlakuan maupun sesudah perlakuan (r<0.2 dan p>0.05).

Berdasarkan hasil dapat diinterpretasikan bahwa rasa haus dapat

mempengaruhi IDWG, namun sangat kecil kemungkinannya atau dalam kata lain

kenaikan IDWG tidak mutlak diakibatkan dari adanya rasa haus yang rasakan

pasien. Hasil ini sesuai dengan penelitian Jacob & Locking-Cusolito (2004)

dimana korelasi antara rasa haus dan IDWG adalah positif dengan nilai kekuatan

hubungan sangat lemah (r=0.117, p=0.05). Hasil penelitian yang sama juga

ditunjukkan oleh Porcu et al. (2007) dimana terdapat hubungan yang positif antara

rasa haus dan IDWG dengan perbedaan signifikasi menggunakan chi2 test p=0.88.

Hasil ini juga didukung oleh hasil penelitian Lopez-Pintor et al. (2017) bahwa

terdapat hubungan yang positif antara rasa haus yang diukur dengan VAS dengan

persentase IDWG (r=0.48, p=0.001).

Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini memiliki keterbatasan diantaranya yaitu: 1) keterbatasan

dalam pengumpulan data, karena belum melibatkan pemeriksaan laboratorium, 2)

rentang waktu penelitian yang singkat, oleh karena itu diharapkan penelitian ini

dapat dilakukan ditempat yang berbeda dengan sampel yang lebih besar dan

waktu yang lebih lama agar aspek manajemen diri dapat diukur.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


77

Implikasi Hasil Penelitian Bagi Keperawatan

Asupan natrium mempengaruhi tekanan darah dengan cara

mengendalikan perubahan volume cairan, dan cairan yang berlebih merupakan

predictor yang kuat terjadinya gangguan kardiovaskular dan fungsi renal pada

pasien gagal ginjal. Oleh karena itu pengendalian atau pembatasan cairan dengan

intervensi pembatasan asupan natrium sangat diperlukan. Adapun implikasi dari

hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:

Pelayanan Keperawatan

Hasil penelitian ini dapat menjadi dasar bagi perawat untuk meningkatkan

asuhan keperawatan. Berdasarkan penelitian ini, diharapkan perawat mampu

meningkatkan asuhan keperawatan yang diberikan. Edukasi tentang diet rendah

garam untuk pasien hemodialisis kiranya dilakukan secara berkesinambungan

sampai dengan pasien menunjukkan telah mampu mengimplementasikan

intervensi tersebut menjadi suatu kebiasaan dalam hidupnya. Oleh karena itu

diperlukan kerjasama yang baik antara perawat hemodialisis dengan perawat

komunitas dalam melaksanakan intervensi ini. Perawat hemodialisis yang telah

memberikan edukasi diet rendah garam kepada pasien dan keluarga agar dapat

merujuk pasien kepada perawat komunitas untuk melakukan supervisi terhadap

pelaksanaan intervensi. Oleh karena itu sangat dibutuhkan kerjasama dan

komunikasi yang intens antara perawat hemodialisis dengan perawat komunitas.

Pendidikan Keperawatan

Hasil penelitian ini sebagai dasar untuk mengembangkan intervensi

keperawatan yang lebih aplikatif dengan berfokus pada diri pasien khususnya

tentang manajemen asupan makanan pada pasien hemodialisis. Institusi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


78

pendidikan juga diharapkan mampu mengembangkan metode asuhan keperawatan

pada pasien hemodialisis yang bersifat komprehensif meliputi bio-psiko-sosio-

kultural dan spiritual. Penelitian ini sebagai dasar penelitian selanjutnya yang

berfokus pada manajemen diri terutama mengenai intervensi untuk meningkatkan

kepatuhan pasien hemodialisis terhadap manajemen makanan dan cairan.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Penelitian yang dilakukan pada September 2017 sampai dengan Oktober

2017 dengan menggunakan desain quasi eksperiment dan 88 orang pasien sebagai

responden yang terbagi menjadi 2 kelompok (intervensi dan kontrol) selama 4

minggu perlakuan menghasilkan data sebagai berikut: 1) diet rendah garam dapat

mengurangi rasa haus pada pasien hemodialysis, 2) edukasi yang dilakukan secara

berkesinambungan dan adanya pengawasan terhadap edukasi yang diberikan

dapat meningkatkan perilaku perawatan diri pasien sehari-hari, 3) penguatan

pengetahuan ditambahkan dengan pertemuan konseling dapat meningkatkan

pemahaman pasien tentang rejimen pengobatan dan perawatan diri.

Berdasarkan hasil ini, maka dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh

manajemen asupan makanan: diet rendah garam (yang terdiri dari edukasi, adanya

konseling mengenai edukasi yang telah diberikan serta dilakukannya pengawasan

lapangan dengan home visit) terhadap rasa haus yang dirasakan pasien gagal

ginjal dengan hemodialysis.

Saran

Pelayanan keperawatan

Hasil penelitianini dapat menjadi pedoman dan acuan bagi perawat dalam

menjalankan perannya sebagai pemberi edukasi khususnya tentang pentingnya

diet rendah garam pada pasien hemodialisa, sehingga tujuan perawatan dapat

tercapai dan meningkatkan profesionalisme perawat dalam pemberian asuhan

79
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
80

keperawatan. Selain itu, diperlukan kerjasama yang baik antara perawat

hemodialisis dengan perawat komunitas dalam melaksanakan intervensi edukasi

pada pasien hemodialisis.

Berdasarkan hasil penelitian ini, diharapkan kedepannya terdapat

komunikasi yang intens antara perawat hemodialisis dengan perawat komunitas

yang diwujudkan dengan kartu rujukan hemodialisis yang berisikan tentang

kondisi pasien, edukasi yang diberikan, edukasi yang telah terlaksana dan

informasi penting lainnya terkait kesehatan pasien.

Pendidikan keperawatan

Hasil penelitian ini dapat menjadi panduan manajemen asupan makanan

bagi penderita gagal ginjal yang menjalani hemodialisa, sehingga peserta didik

keperawatan dapat mempelajari dan mempraktekkannya di rumah sakit maupun di

akademik saat memberikan asuhan keperawatan pada pasien gagal ginjal dengan

hemodialisa.

Penelitian keperawatan

Bagi peneliti selanjutnya, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi

bahan rujukan penelitian selanjutnya terkait dengan manajemen asupan makanan

bagi penderita gagal ginjal yang menjalani hemodialisa seperti diet fosfat dan

kalium.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


DAFTAR PUSTAKA

Ahrari, S., Moshki, M., & Bahrami, M. (2014). The Relationship between social
support and adherence of dietary and fluids restrictions among hemodialysis
patients in Iran. Journal of Caring Science, 3(1): 11–19.
doi: 10.5681/jcs.2014.002

Alharbi, K., & Enrione, B.E. (2012). Malnutrion is prevalent among patients in
Jeddah, Saudi Arabia. Saudi of Journal Kidney Diseases and
Transplantation, 23(3) : 598-608.

Al-yassiri, A. M. H (2014). Prevalence of xerostomia in patients with chronic


hemodialysis in Babil City. Karbala Journal of Medical, Vol.7 No.1.

Black M. Joyce & Hawks H. Jane (2005). Medical Surgical Nursing Clinical
Management for Positive Outcomes. (Ed.7). St. Louis: Missouri Elsevier
Saunders

Bland, R.J., Cottrell, R.R., & Guyler L.R. (2008). Medication compliance of
hemodialysis patients and factors contributing to non-compliance. Dialysis
& Transplanation Journal.

Bruzda-Zweich, A., Szczepanska, J., &Zwiech R. (2013). Sodium gradient,


xerostomia, thirst and inter-dialytic excessive weight gain : a possible
relationship with hyposalivation in patients on maintenance hemodialysis.
International Urology Nephrology (2014) 46:1411-1417. Doi:
10.1007/s11255-013-0576-y.

Bossola, M. & Tazza, L. (2012). Xerostomia in patients in chronic hemodialysis.


Nature Review Nephrology, 17;8(3):176-82. Doi:10.1038/nrneph.2011.218.

Bots, C. P., Brand H. S., Veerman E. C., Valentjin-Benz M., Van Amerongen
BM., Valentjin R.M., Amerongen A. et al. (2004). Interdialytic weight gain
in patients on hemodialysis is associated with dry mouth and thirst. Kidney
International. Oct 2004 1;66(4):1662-8

Chironda, G. & Bhengu, B. (2016). Contributing factors non-adherence among


chronic kidney disease (CKD) patients: A systematic review of literature.
Insight Medical Publishing. Doi: 10.21767/2471-299x.1000038.

Chumlea, W.C., Guo, S.S,, Zeller, C.M., Reo, N.V., & Siervogel, R.M. (1999).
Total body water data for white adults 18 to 64 years of age: the Fels
Longitudinal Study. Kidney International Journal, 56(1):244-52. Doi:
10.1046/j.1523-1755.1999.00532.x

81
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
82

Cleemput, I., & De-Laet C. (2013). Analysis of the costs of dialysis and the
effects of an incentive mechanism for low-cost dialysis modalities. Health
Policy Vol. 110: 172-179. Doi:10.1016/j.healthpol.2013.03.001.

Cristovao, A. F. A. J. (2015). Fluid and dietary retriction’s efficacy on chronic


kidney disease patients in hemodialysis. REBEn, Nov-Des 2015, 68(6):842-
50. Doi:10.1590/0034-7167.20156806221

Chan, Y. M., Zalilah, M. S., & Ziunn Hii, S. (2012). Determinants of compliance
behaviours among patients undergoing hemodialysis in Malaysia. PLoS ON,
Vol. 7, Issue 8.

Davenport A., Cox C., & Thuraisingham R. (2008). The importance of dialysate
natrium concentration in determining interdialytic weight gains in chronic
hemodialysis patients: the pan thames renal audit. The International
Journal of Artificial Organs, 5:411-417

Dorgalaleh, A., Mahmudi, M., Tabibian, S., Khatib, Z.K., Tamaddon, G. H.,
Moghaddam, E. S., Bamedi, T, Alizadeh, S., & Moradi, E. (2013). Anemia
and thrombocytopenia on acute and chronic renal failure. International
Journal of Hematology-Oncology and Stem Cell Research (IJHOSCR), 1
October 2013. Vol.7, No. 4.

Dunlop, J.L., Vandals, A. C., & Rashme, D. Z. (2013). Rationale and design of
the natrium lowering in dialysate (SOLID) trial: a randomized controlled
trial low versus standard dialysate natrium concentration during
hemodialysis for regression of left ventricular mass. BMC Nephrology, 14:
149

Ebrahimi, H., Sadeghi, M., Amanpour, F., & Dadgari, A. (2016). Influence of
nutritional education on hemodialysis patients knowledge and quality of
life. Saudi Journal of Kidney Diseases and Transplantation, 27(2):250-255.

Fitriani, E., Krisnansari, & Winarsi, H. (2016). Faktor-faktor yang berhubungan


dengan kepatuhan asupan cairan dan natrium pada pasien GGK (Studi
kasus pada pasien yang menjalani hemodialisa di RSUD Prof. Dr.
Margono Soekarjo Purwokerto). Purwokerto: Universitas Soedirman.

Flanigan, M. J. (2000). Role of sodium in hemodialysis. Kidney International,


Vol. 58, Suppl 76, pp.72-78.

Goldberg, Idan & dan Kraus, Ilan. (2016). The role of gender in chronic kidney
disease. European Medical Journal;1(2):58-64.

Grady, P. A., & Gough L. L.. (2014). Self-management: a comprehensive


approach to management of chronic conditions. American Journal of Public
Health, 104(8):e25-31.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


83

Grove,S. K., Burns, N., & Gray, J. R. (2013). The practice of nursing research:
appraisal, synthesis, and generation of evidence, 7th edition. St. Louis:
Elsevier Saunders.

Haddad, N., Shim R., & Hebert, L.A. (2013).Nutrional management of water,
sodium, potassium, chloride, and magnesium in kidney disease and kidney
failure. Nutritional Management of Renal Disease. Doi: 10.1016/B978-
0.12-391934.2.00022-9.

Haryanto, Armiyati, Y., &Mubin F. (2013). Gambaran kepatuhan diet pasien


penyakit ginjak kronik yang menjalani hemodialisis di RSUD Kabupaten
Pekalongan. Universitas Muhammadiyah Semarang.

Harahap, S. A. Jualiantry, Yustina I., & Ardinata D. (2015). Faktor-faktor yang


berhubungan dengan tingkat kecemasan pasien hemodialisis di RSUD
Dr. Pirngadi Medan. Idea Nursing Journal Vol. VI No.3.ISSN : 2087-2879.

Iversen, M. D., Hammond, A., & Betteridge, N., (2014). Self-management of


rhemautic diseases: state of the art and future perspectives. Annals of
Rhemautic Diseases, 73 (11), pp 955-963. Doi: 10.1136/ard.2010.129270

Jacob, S. & Locking-Cusolito, H. (2004). Thirst distress and interdialytic weight


gain: how do they relate? Canadian Association of Nephrology Nurses and
Technicians Journal.

Kahraman, A., Akdam H., Alp, A., Huyut, M. A., Akgullu C., Balaban T.,
Dinleyen F., Topcu, A., Gelmez H., et al., (2015), Impact of interdialytic
weight gain (IDWG) on nutritional parameters, cardivaskular risk factors
and quality of life in hemodialysis patients, BANTAO Journal
2015;13(1):25-33; Doi:10.1515/bj-2015-006

Kallenbach, J. Z., Gutch, C. F., Martha S.H., &Corca, A.L., (2005). Review of
hemodialysis for nurses and dialysis personal, 7th edition. St. Louis:
Elsevier Mosby.

Kara, B. (2013). Validity and reliability of Turkish version of the thirst distress
scale in patients on hemodialysis. Asian Nursing Research 7(2013): 212-
218. Doi: 10.1016/j.anr.2013.10.001.

Kara, B. (2016). The importance of fluid management in patients on hemodialysis


: an overview. International Journal of Nursing Papers 2016; 1:1-2. Doi:
http://scigatejournals.com/publications/index.php/ijnp.

Kemenkes RI. (2011). Diet penyakit ginjal kronik dengan hemodialisis.


www.kemenkes.go.id

Kidney School Organization. (2015). Nutrition and fluid for people on dialysis.
www.kidneyschool.org

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


84

Kim, Sang-Suk · Jo, Hyun Sook · Kang, Meung-Sue. (2017). Retention Effects of
Dietary Education Program on Diet Knowledge, Diet Self-Care
Compliance, Physiologic Indices for Hemodialysis Patients. Journal of
Korean Biological Nursing Science, 19(2):51-59.
https://doi.org/10.7586/jkbns.2017.19.2.51

Lee Chung, M., Lennie, T.A., Mudd-Martin, G., & Moser. D.K. (2015).
Adherence to the low sodium diet in patients with heart failure is best when
family members also follow the diet: A multicenter observational study.
Journal of Cardiovascular Nursing, 30(1). Doi:
10.1097/JCN.00000000000000089

Leshem, M. (2015). Does salt increase thirst? Appetite: 85 (2015) 70–75


http://dx.doi.org/10.1016/j.appet.2014.11.014.

Li Hui, Ya-fang J., Lin, & Chiu-chu. (2013). Factors associated with self-
management by people undergoing hemodialysis: a descriptive study.
International Journal of Nursing Studies, 51(2014): 208-216.

Lopez-Pintor, Rosa-Maria, Lopex Pintor, L., Casanas, E., de Aribba, L., &
Hernandes, G. (2017). Risk factors associated with xerostomia in
hemodialysis patients. Journal Section: Oral Medicine and Pathology. Doi
: 10.4317/medoral.21612.

Martins, P. R., & Fonseca, L. F. (2017). Assessment of thirst dimension


integrative review. http://dx.doi.org/10.5216/ree.v19.40288.

Mc. Causland, F. R., Waikar S. S., & Brunelli S. M. (2012). The relevance of
dietary sodium in hemodialysis. Nephrology Dialysis Transplatasi Journal
2013; 28:797-802. Doi: 10.1093/ndf/gfs452

Mc. Causland, F. R., Waikar S. S., & Brunelli S. M.. (2013). Increase dietary
sodium in independently associated with greater mortality among prevalent
hemododialysis patients. Kidney International Vol.82:204-211.
http://www.kidney-international.org. Doi: 10.1038/ki.2012.42

Mc. Mahon, E. J., Bauer, J. D., Hawley C.M., Isabel N. M., Stowasser M.,
Johnson D. W., Hale,R. E., &Campbell K. L. (2012). The effect of
lowering salt intake on ambulatory blood pressure to reduce cardiovascular
risk in chronic kidney disease (Low SALT CKD study): Protocol of a
randomized trial. BMC Nephrology 2012,13:137.
http://www.biomedcentral.com/1471-2369/13/137.

Nasution, T. H., Ropi, H., Sitorus, R.E. (2013). Faktor-faktor yan berhubungan
dengan manajemen diri pada pasien yang menjalani hemodialisis di ruang
hemodialisa RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung. Jurnal Ilmu Keperawatan,
Vol. 1 (2) : 162-168

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


85

National Kidney Foundation. (2015). Low sodium diet for kidney disease patients
leaflet. www.kidney.org.

National Kidney Foundation. (2016). End stage renal disease in the United
States.https://www.kidney.org/news/newsroom/factsheets/End-Stage-
Renal-Disease-in-the-US.

Nerbass, F.B., Morais J. G., Dos Santos R. G, Kruger T. S., Sczip A. C., &De Luz
F. H. A. (2013). Factors associated to salt intake in chronic hemodialysis
patients. Journal of Brazilia Nephrology: 35(2):87-92. Doi: 10.5935/0101-
280.0.20130015

Park, K.A. (2008). Comparison of dietary compliance and dietary knowledge


between older and younger Korean hemodialysis patients. Journal of Renal
Nutrition.

Pergola, P. E., Habiba, N. M., &Johson, J. M. (2004). Body temperature


regulation during hemodialysis in long term patients: is it time to change
dialysate temperature prescription.

Perkumpulan Nefrologi Indonesia. (2014). 7th Report of Indonesia renal registry.

Polit, D. F. & Beck, C. T. (2010). Nursing research: appraising evidence for


nursing practice, 7th edition. Philadelphia: William & Wilkins.

Polit, D. F. & Beck, C. T.. (2012). Nursing research: generating and assessing
evidence for nursing practice, 9th edition. Philadelphia: William & Wilkins.

Porcu, M., Fanton, E., & Zampieron, A. (2007). Thirst distress and interdialytic
weight gain: a study on a sample of hemodialysis patients. Journal of Renal
Care, 33(4):179-181.
Price, S. A., & Wilson, L. M. (2005). Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses
penyakit. Edisi 6 Vol.2. Alih bahasa oleh Brahm U. Pendit. Jakarta: EGC.

ProdjosudjadiW., &Suharjomo, A. (2009). Endstage renal disease in Indonesia:


Treatment development. Etnicity & Disease Vol. 19.

Ryan P., & Sawin K. J. (2009). The individual and family self management
theory: background and perspectives on context, process and outcomes.
Nursing Outlook,57:217-225 Doi: 10.1016/j.outlook.2008.10.004.

Ryu, H. Jin, Jin H. J., Sun Hui-Kyoung, Han K.H., Whang C.G., & Han, S.Y.
(2014). Repeated education improves diet compliance in maintenance
hemodialysis patients. International Journal of Urology and Nephrology,
Vol. 2(4): 63-68.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


86

Sacrias, G.G., Rathinasamy, E. L., Elavally.S., &Arjunan, P., (2015). Effect of


nursing intervension on thirst and interdialytic weight gain of patients with
chronic kidney disease subjected to hemodialysis. Brunei Darussalam
Journal of Health,6(1):13-19.

Sameiro-Faria, M., Ribeiro, S., Costa, E., Mendonca, D., Teixiera L., Rocha P. P.,
Fernandes J., Nascimento H., Kohlova M., Reis F., Amado L., Bronze-da-
Rocha E., Miranda V., Quntanilha A., Belo L., &Santos-Silva A. (2013).
Risk factors for mortality in hemodyalisis patients: Two-year follow-up
study. Hindawi Publishing Corportion: Disease Marker Vol. 35, Issue 6:
791-798. Doi: 10.1155/2013/518945.

Santos, S. F., & Piexoto A. J. (2008), Revisitinhe dialysate natrium prescription as


a toll for better blood pressure and interdialytic weight gain management in
hemodialysis patients. CJASN, 3(2)L 522-530.

Schulman-Green, D., Jaser, S. M. F., Alonzo, A., Grey M., McCorkle, R.,
Redeker, N.S., Reynolds, N., &Whittemore R. (2012). Processes of self-
management in chronic illness. Journal of Nursing Scholarship, 44(2): 136-
144, Doi:10.1111/j.1547-5069.2012.01444.x.

Silbiger, S., & Neugarten, J. (2008). Gender and human chronic renal disease.
Gender Medicine, Vol. 5. doi:10.1016/j.genm.2008.03.002

Siregar, B. T., Lubis, A. R., Nasution, S., (2014). Hubungan modifikasi kadar
natrium dialisat dengan kualitas hidup yang yang diukur dengan SF-36
pada pasien hemodialisis reguler. Medan: FK-USU.

Smeltzer, S. C., Bare, B. G., Hinkle J. L., &Cheever K.H. (2010). Textbook of
medical surgical nursing. Philadelphia : Wolter Kluwer Lippincott William
& Wilkins.

Stachenfeld, N.S. (2008). Acute effect of sodium ingestion on thirst and


cardiovaskular fuction. Current Sports Medical Reports: S7-13. Doi:
10.1249/JSR.0b013e31817f23fc.

Sugiya, J. (2014). Xerostomia. Refence Module in Biomedical Research, 3rd


Edition. Doi: 10.1016/8978-0-12-801238-3.00036-2.

USRDS. (2012). Annual Data Repot. ESRD Vol. 2 : 216.


https://www.usrds.org/2012/view/v2_01.aspx

Waldre´us Nana, Hahn Robert G. & Jaarsma Tiny. (2013). Thirst in heart failure:
a systematic literature review. European Journal of Heart Failure (2013)
15, 141–149. doi:10.1093/eurjhf/hfs174

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


87

Waldréus N., Jaarsma T , Martje HL van der Wal, & Kato Naoko P. (2017).
Development and psychometric evaluation of the thirst distress scale for patients
with heart failure. Eroupean Journal of Cardiovascular Nursing. Doi:
10.1177/1474515117728624

Welch, J. L. (2002). Development of the thirst distress scale. Nephrology Nursing


Journal. 29(4). 337-341. Discusson 343.

Wetmore J. B., & Collins A. J. (2016). Global challenges posed by the growth of
end-stage renal disease. Renal Replacement Therapy. Vol 2: 15.
http://dx.doi.org/10.1186/s41100-016-0021-7.

www.hrcentro.com/artikel/pengertian_manajemen diakses 20 Februari 2017:21.54

Yang, L.Y., Yates, P., chin C. C. & Kao, T. K. (2010) Effect of acupressurere on
thirst in hemodialysis patients. Kidney and Blood Pressure Research, 33(4),
260-265. http://dx.doi.org/10.1159/000317933.

Yusop, N. B. M., Mun, Cahan Y., Shariff, Z. M., & Huat C. B. (2013). Factors
associated with quality of life among Hemodialysis Patients in Malaysia.
Plos One8: e84152. doi:101371/journal.pone.0084152

Zehm, A., Mullin, J., & Zhang, H. (2016). Thirst in palliative care. Journal of
Palliative Medicine, Vol. 19, No.9. Doi: 10.1089/jpm.2016.0205

Zwerink M., Brusse-Keizer M., Van der Valk P.D., Zielhuis G.A., Monninkhof
E.M., Van der Palen J., Frith P.A., &Effing T. (2014). Self-management of
patient with chronic obstructive pulmonary disease. The Cochrane
Collaboration: John Wiley & Sons, Ltd. Doi:
10.1002/14651858.CD002990.pub3

Zwiech, R., & Bruzda-Zwiech, A. (2013). The dual blockade of the rennin-
angiostensin system in hemodialysis patients requires decreased dialysate
sodium concentration. International Urology and Nephrology, 45(5), 1365-
1372. Doi: 10.1007/s11255-012-1320-z

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


88

LAMPIRAN

INSTRUMEN PENELITIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


89

PENJELASAN PENELITIAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama : Lisbet Gurning

NIM : 157046040

Mahasiswa : S2 Keperawatan Medikal Bedah Fakultas Keperawatan

Universitas Sumatera Utara

Judul Penelitian : Pengaruh Manajemen Asupan Makanan: Diet Rendah

Garam Terhadap Rasa Haus Pada Pasien Hemodialisis di

RSUP H. Adam Malik Medan

Dengan ini memohon kesediaan Bapak/Ibu/Saudara/i untuk dapat

berpartisipasi dalam penelitian ini secara sukarela. Berikut saya jelaskan terkait

dengan penelitian ini :

1. Peneliti akan melengkapi data-data Bapak/Ibu/Saudara/i sesuai dengan

pedoman yang telah dibuat peneliti sebelumnya;

2. Peneliti akan memberikan edukasi kesehatan dengan topik Diet Rendah

Garam pada Pasien Hemodialisis selama 20-30 menit, sesuai dengan

waktu kesepakatan antara Bapak/Ibu/Saudara/i dengan peneliti;

3. Peneliti akan memberikan leaflet tentang materi edukasi tentang Diet

Rendah Garam pada Pasien Hemodialisis dan membuat kesepakatan

dengan Bapak/Ibu/Saudara/i untuk melakukan pertemuan kembali guna

menindaklanjuti edukasi kesehatan yang telah diberikan dengan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


90

menggunakan metode tatap muka pada hari ke-3 setelah pertemuan

sebelumnya.

4. Tatap muka ini akan berlangsung selama 2 minggu. Apabila dalam

pertemuan tersebut, ada hal yang belum pahami, maka

Bapak/Ibu/Saudara/i dipersilahkan untuk mengajukan pertanyaan. Namun,

apabila ada hal-hal yang ingin Bapak/Ibu/Saudara/i ketahui dan diskusikan

lebih lanjut, maka dapat dilakukan di pertemuaan selanjutnya atau dapat

menghubungi peneliti.

Melalui lebar penjelasan penelitian ini peneliti juga ingin memberitahukan bahwa

peneliti berjanji akan menjunjung tinggi hak-hak Bapak/Ibu/Saudara/i sebagai

responden dengan cara menjaga kerahasiaan data yang diperoleh dan menghargai

keputusan Bapak/Ibu/Saudara/i tetap berpartisipasi dalam penelitian ini atau

mengundurkan diri karena alasan tertentu.

Semoga dengan penjelasan singkat yang peneliti paparkan,

Bapak/Ibu/Saudara/i bersedia untuk berpartisipasi dalam penelitian ini. Atas

kesediaan Bapak/Ibu/Saudara/i, peneliti mengucapkan terima kasih.

Medan, Juni 2017

Peneliti

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


91

LEMBAR PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN

Judul Penelitian : Pengaruh Manajemen Asupan Makanan: Diet Rendah

Garam Terhadap Rasa Haus pada Pasien Hemodialisis di

RSUPH.

Adam Malik Medan

Nama : Lisbet Gurning

NIM : 157046040

Setelah membaca penjelasan tentang penelitian ini, maka saya memahami

bahwa tujuan penelitian ini akan bermanfaat bagi saya. Saya mengerti bahwa

penelitian ini menjunjung tinggi hak-hak saya sebagai responden. Saya

mempunyai hak untuk berhenti berpartisipasi dalam penelitian ini, jika suatu saat

saya merasa keberatan atau dikarenakan sesuatu hal yang membuat saya merasa

tidak dapat melanjutkan sebagai responden.

Dengan menandatangani lembar persetujuan ini, maka saya menyatakan

bahwa saya bersedia menjadi responden dalam penelitian ini.

Medan,……………….. 2017
Responden,

………………………………
No. Telp/Hp :

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


92

KARAKTERISTIK RESPONDEN

Petunjuk Pengisian :

Dibawah ini adalah data demografi yang dibutuhkan sebagai identitas responden

penelitian. Isilah pertanyaan dibawah ini sesuai dengan keadaan

Bapak/Ibu/Saudara/i yang sebenarnya dengan memberi tanda check list () pada

tempat yang disediakan.

No. Partisipan :

1. Umur : tahun

2. Jenis Kelamin : ( ) Laki-laki ( ) Perempuan

3. Pendidikan :( ) Tidak Sekolah


( ) SD
( ) SMP
( ) SMA
( ) Perguruan Tinggi

4. Status Pernikahan : ( ) Menikah


( ) Duda/janda
( ) Belum menikah

5. Suku Bangsa :( ) Batak


( ) Jawa
( ) Minang
( ) Melayu
( ) Lainnya, sebutkan ……….

6. Status Pekerjaan : ( ) Bekerja ( ) Tidak bekerja

7. Penghasilan : ( ) < 1 juta/bulan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


93

( ) 1 – 2 juta/ bulan
( ) 2,1 – 3 juta/bulan
( ) 3,1 – 4 juta/bulan
( ) > 4 juta/bulan

8. Biaya Pengobatan : ( ) Biaya sendiri/umum


( ) BPJS
( ) Asuransi lain

9. Lamanya menjalani Hemodialisa (HD) :


( ) 6 bulan – 1tahun
( ) 1 – 2 tahun
( ) 2 – 3 tahun
( ) > 3 tahun

10. Penyakit penyebab terjadinya kerusakan ginjal :


( ) Hipertensi
( ) Diabetes Mellitus
( ) Batu pada Ginjal
( ) lain-lain, sebutkan ………………………

11. Jadwal Hemodialisis : ………………………………..

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


94

KUESIONER: SKALA DISTRESS HAUS

Petunjuk Pengisian :

Isilah pertanyaan dibawah ini sesuai dengan keadaan Bapak/Ibu/Saudara/i yang

sebenarnya dengan memberi tanda check list () pada tempat yang disediakan.

No. Partisipan :
No. Item STS TS HS S SS
1 2 3 4 5
1. Rasa haus yang saya rasakan membuat
saya merasa tidak nyaman
2. Rasa haus yang saya rasakan sangat
mengganggu saya
3. Saya merasa sangat tidak nyaman ketika
saya haus
4. Mulut saya terasa sangat kering ketika
saya haus
5. Air liur saya terasa kental ketika saya
haus
6. Ketika saya minum sedikit, saya merasa
sangat haus

Keterangan :
STS : Sangat tidak setuju
TS : Tidak setuju
HS : Hampir setuju
S : Setuju
SS : Sangat setuju

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


95

VISUAL ANALOG SCALE (VAS) 0F THIRST

No. Partisipan :

Bagaimana rasa haus yang anda rasakan sekarang?

tidak sangat
haus menyiksa

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
tidak sangat
haus menyiksa

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


96

LEMBAR OBSERVASI PELAKSANAAN INTERVENSI

DIET RENDAH GARAM (HOME VISITE)

No. Partisipan :

Jadwal HD :

Tanggal Kunjungan Rumah :

No Item Ya Tidak
1 Menggunakan bahan makanan kemasan atau
yang diawetkan dalam memasak
2 Menambahan garam dalam masakan
3 Menambahkan bahan penyedap rasa dalam
masakan
4 Makanan disajikan dalam bentuk berkuah
5 Pasien masih mengkonsumsi makanan yang
berkuah

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


97

LEMBAR OBSERVASI BERAT BADAN

SEBELUM DAN SESUDAH DIALISIS

No. Partisipan :

Jadwal HD :

Tanggal HD BB Pre-dialisis BB Post-dialisis Rasa haus (VAS)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


98

PANDUAN WAWANCARA

Pertanyaan 1: Apakah pendidikan atau informasi yang diberikan bermanfaat bagi


Bapak/Ibu? Ya ( ) Tidak ( )
Alasan: ..............................................................................................................

Pertanyaan 2: Apakah dengan pendidikan ini, Bapak/Ibu sudah dapat mengontrol


asupan garam? Ya ( ) Tidak ( )
Bagaimana cara Bapak/Ibu mengontrol asupan garam?.........................................
..............................................................................................................................

Pertanyaan 3: Apakah dengan pendidikan ini, Bapak/Ibu sudah dapat mengatur


pola makan setiap hari? Ya ( ) Tidak ( )
Bagaimana cara Bapak/Ibu mengatur pola makan?..................................................
...................................................................................................................................

Pertanyaan 4:
Apakah dengan pendidikan ini Bapak/Ibu terhindar dari komplikasi akibat
peningkatan cairan seperti badan bengkak dan sesak nafas? Ya ( ) Tidak ( )
Bagaimana cara Bapak/Ibu menghindari komplikasi peningkatan cairan seperti
badan bengkak dan sesak nafas? .............................................................................

Pertanyaan 5:
Apakah dengan pendidikan ini, Bapak/Ibu sudah dapat mengendalikan rasa haus
yang dirasakan? Ya ( ) Tidak ( )
Bagaimana cara Bapak/Ibu mengendalikan rasa haus selama ini ?
..................................................................................................................................

Pertanyaan 6: Apakah ada kendala yang Ibu rasakan dalam mengikuti diet
pembatasan garam selama ini ? Ya ( ) Tidak ( )
Bagaimana cara Ibu mengatasinya ?.........................................................................

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


99

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


100

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


101

LAMPIRAN 2

BIODATA EXPERT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


102

BIODATA EXPERT

1. dr. Syafrizal Nasution, M.Ked(PD), Sp.PD-KGH

Kepala Divisi Ginjal Hipertensi Departemen Penyakit Dalam FK USU-

RSUP. H. Adam Malik Medan

2. dr. Tirta Prawita Sari, M.Sc.,Sp.GK

a. Staf Pengajar Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Universitas

Muhammadiyah Jakarta

b. Dokter Praktisi di RS Pondok Indah Jakarta

3. Suriati, S.Kep., Ns

Wakil Kepala Divisi Ginjal Hipertensi RSUP. H. Adam Malik Medan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


103

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


104

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


105

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


106

LAMPIRAN 3

SURAT PERSETUJUAN KOMISI ETIK PENELITIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


107

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


108

LAMPIRAN 4

SURAT IZIN PENELITIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


109

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


110

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


111

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


112

LAMPIRAN 5

MASTER DATA PENELITIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


113

Descriptive Statistics

N Mean Std. Deviation Minimum Maximum

Klasifikasi Umur 88 2.4773 .90943 1.00 4.00


KLasifikasi JK 88 1.40 .492 1 2
Klasifikasi Pendidikan 88 2.83 1.020 1 4
Klasifikasi Status 88 1.41 .721 1 3
KLassifikasi suku 88 1.48 1.028 1 5
Klasifikasi Kerja 88 2.14 .873 1 3
KlASIFIKASI lamA hd 87 1.61 .491 1 2
Klasifikasi Etilolgi 88 1.83 .900 1 4

Chi-Square Test

Test Statistics

Klasifik KlASIFIK
asi KLasifik Klasifikasi Klasifikasi KLassifika Klasifikasi ASI lamA Klasifikasi
Umur asi JK Pendidikan Status si suku Kerja hd Etilolgi

Chi-
17.182a 3.682b 10.091a 61.455c 166.545d 6.909c 4.149e 32.091a
Square
df 3 1 3 2 4 2 1 3
Asymp.
.001 .055 .018 .000 .000 .032 .042 .000
Sig.
a. 0 cells (.0%) have expected frequencies less than 5. The minimum expected
cell frequency is 22.0.
b. 0 cells (.0%) have expected frequencies less than 5. The minimum expected
cell frequency is 44.0.
c. 0 cells (.0%) have expected frequencies less than 5. The minimum expected
cell frequency is 29.3.
d. 0 cells (.0%) have expected frequencies less than 5. The minimum expected
cell frequency is 17.6.
e. 0 cells (.0%) have expected frequencies less than 5. The minimum expected
cell frequency is 43.5.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


114

Wilcoxon Signed Ranks Test


Ranks

N Mean Rank Sum of Ranks

TDS POST - TSD PRE Klpk Negative Ranks 37a 19.00 703.00
Intervensi Positive Ranks 0b .00 .00

Ties 7c

Total 44

VAS Post - VAS PRE Negative Ranks 30d 15.50 465.00

Positive Ranks 0e .00 .00

Ties 14f

Total 44
a. TDS POST < TSD PRE Klpk Intervensi
b. TDS POST > TSD PRE Klpk Intervensi
c. TDS POST = TSD PRE Klpk Intervensi
d. VAS Post < VAS PRE
e. VAS Post > VAS PRE
f. VAS Post = VAS PRE

Test Statisticsb

TDS POST -
TSD PRE Klpk VAS Post - VAS
Intervensi PRE

Z -5.329a -4.940a
Asymp. Sig. (2-tailed) .000 .000
a. Based on positive ranks.
b. Wilcoxon Signed Ranks Test

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


115

Ranks

N Mean Rank Sum of Ranks

TDS POST - TSD PRE Klpk Negative Ranks 10a 15.40 154.00
Kontrol Positive Ranks 17b 13.18 224.00

Ties 17c

Total 44

VAS Post - VAS PRE Negative Ranks 13d 11.00 143.00

Positive Ranks 9e 12.22 110.00

Ties 22f

Total 44
a. TDS POST < TSD PRE Klpk Kontrol
b. TDS POST > TSD PRE Klpk Kontrol
c. TDS POST = TSD PRE Klpk Kontrol
d. VAS Post < VAS PRE
e. VAS Post > VAS PRE
f. VAS Post = VAS PRE

Test Statisticsc

TDS POST -
TSD PRE Klpk VAS Post - VAS
Kontrol PRE

Z -.844a -.557b
Asymp. Sig. (2-tailed) .399 .577
a. Based on negative ranks.
b. Based on positive ranks.
c. Wilcoxon Signed Ranks Test

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


116

Mann-Whitney Test

Ranks

Kelomp
ok N Mean Rank Sum of Ranks

TDS Pre Test 1 44 47.45 2088.00

2 44 41.55 1828.00

Total 88

TDS Post Test 1 44 37.36 1644.00

2 44 51.64 2272.00

Total 88

VAS Pre Test 1 44 45.27 1992.00

2 44 43.73 1924.00

Total 88

VAS Post Test 1 44 39.45 1736.00

2 44 49.55 2180.00

Total 88

Test Statisticsa

TDS Pre Test TDS Post Test VAS Pre Test VAS Post Test

Mann-Whitney U 838.000 654.000 934.000 746.000


Wilcoxon W 1828.000 1644.000 1924.000 1736.000
Z -1.090 -2.636 -.290 -1.904
Asymp. Sig. (2-tailed) .276 .008 .772 .048
a. Grouping Variable: Kelompok

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


117

Data Hasil Wawancara

Responden yang menjadi partisipan dalam wawancara ini dipilih secara

random sampling berdasarkan hari kunjungan hemodialisis. Masing-masing hari

kunjungan diwakili oleh tiga orang partisipan. Berikut adalah hasil wawancara

dari masing-masing partisipan:

Hasil wawancara dengan responden nomor 1

Pertanyaan 1: Apakah pendidikan atau informasi yang diberikan

bermanfaat bagi Ibu? “Ya”. Alasan: “selama ini tidak tahu berapa jumlah garam

yang boleh dikonsumsi”.

Pertanyaan 2: Apakah dengan pendidikan ini, Ibu sudah dapat mengontrol

asupan garam? “Ya”. Bagaimana cara Ibu mengontrol asupan garam? “dengan

membatasainya hanya 2000 mg perhari.

Pertanyaan 3: Apakah dengan pendidikan ini, Ibu sudah dapat mengatur

pola makan setiap hari? “Ya”. Bagaimana cara Ibu mengatur pola makan?

“dengan tidak boleh makanan yang dijual di warung dan tidak boleh makan

makanan kaleng”.

Pertanyaan 4: Apakah dengan pendidikan ini Ibu terhindar dari komplikasi

akibat peningkatan cairan seperti badan bengkak dan sesak nafas? “Ya”.

Bagaimana cara Ibu menghindari komplikasi peningkatan cairan seperti badan

bengkak dan sesak nafas? “dengan mengukur minum setiap hari dan membatasi

garam”.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


118

Pertanyaan 5: Apakah dengan pendidikan ini, Ibu sudah dapat

mengendalikan rasa haus yang dirasakan? “Ya”. Bagaimana cara Ibu

mengendalikan rasa haus selama ini ? “dengan menghisap es batu”.

Pertanyaan 6: Apakah ada kendala yang Ibu rasakan dalam mengikuti diet

pembatasan garam selama ini ? “Ya”, terkadang saya bosan dengan makanan

yang hambar. Bagaimana cara Ibu mengatasinya ? “dengan menambahkan

banyak bumbu dalam makanan”.

Hasil wawancara dengan responden nomor 4

Pertanyaan 1: Apakah pendidikan atau informasi yang diberikan

bermanfaat bagi Bapak? “Ya”. Alasan: “saya jadi tahu akibat garam dapat

mengakibatkan komplikasi”.

Pertanyaan 2: Apakah dengan pendidikan ini, Bapak sudah dapat

mengontrol asupan garam? “Ya”. Bagaimana cara Bapak mengontrol asupan

garam? “dengan tidak menambahkan garam pada masakan”.

Pertanyaan 3: Apakah dengan pendidikan ini, Bapak sudah dapat mengatur

pola makan setiap hari? “Tidak”. Bagaimana cara Bapak mengatur pola makan?

“susah bagi saya menghindari makanan tanpa garam karena saya makan dikedai

selama sakit dan keluarga di kampung”.

Pertanyaan 4: Apakah dengan pendidikan ini Bapak terhindar dari

komplikasi akibat peningkatan cairan seperti badan bengkak dan sesak nafas?

“Ya”. Bagaimana cara Bapak menghindari komplikasi peningkatan cairan seperti

badan bengkak dan sesak nafas? “dengan membatasi minum setiap hari dan

menghindari makanan yang terlalu asin dan pedas”.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


119

Pertanyaan 5: Apakah dengan pendidikan ini, Bapak sudah dapat

mengendalikan rasa haus yang dirasakan? “Ya”. Bagaimana cara Bapak

mengendalikan rasa haus selama ini ? “dengan minum air hangat saat haus

sekali”.

Pertanyaan 6: Apakah ada kendala yang Bapak rasakan dalam mengikuti

diet pembatasan garam selama ini ? “Ya”, karena saya membeli makanan di kedai

selama saya sakit. Bagaimana cara Bapak mengatasinya ? “saya akan coba untuk

masak sendiri.

Hasil wawancara dengan responden nomor 6

Pertanyaan 1: Apakah pendidikan atau informasi yang diberikan

bermanfaat bagi Bapak? “Ya”. Alasan: “saya jadi tahu berapa jumlah garam

yang boleh dimakan setiap hari”.

Pertanyaan 2: Apakah dengan pendidikan ini, Bapak sudah dapat

mengontrol asupan garam? “Ya”. Bagaimana cara Bapak mengontrol asupan

garam? “dengan menakar garam untuk dimakan sesuai anjuran 2000 mg perhari.

Pertanyaan 3: Apakah dengan pendidikan ini, Bapak sudah dapat mengatur

pola makan setiap hari? “Ya”. Bagaimana cara Bapak mengatur pola makan?

“makan makanan yang segar dan dimasak sendiri”.

Pertanyaan 4: Apakah dengan pendidikan ini Bapak terhindar dari

komplikasi akibat peningkatan cairan seperti badan bengkak dan sesak nafas?

“Ya”. Bagaimana cara Bapak menghindari komplikasi peningkatan cairan seperti

badan bengkak dan sesak nafas? “dengan membatasi minum setiap hari dan

menghindari makanan yang terlalu asin dan pedas”.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


120

Pertanyaan 5: Apakah dengan pendidikan ini, Bapak sudah dapat

mengendalikan rasa haus yang dirasakan? “Ya”. Bagaimana cara Bapak

mengendalikan rasa haus selama ini ? “minum menggunakan air hangat dan

pakai gelas kecil”.

Pertanyaan 6: Apakah ada kendala yang Bapak rasakan dalam mengikuti

diet pembatasan garam selama ini ? “Tidak”, karena sudah terbiasa sebelumnya

makan hambar saya selama sakit. Bagaimana cara Bapak mengatasinya ?

“dengan menambahkan banyak bumbu dalam makanan”.

Hasil wawancara dengan responden nomor 12

Pertanyaan 1: Apakah pendidikan atau informasi yang diberikan

bermanfaat bagi Ibu? “Ya”. Alasan: “jadi tahu kalau makanan cepat saji seperti

nugget, sosis dan sarden banyak mengandung garam.”

Pertanyaan 2: Apakah dengan pendidikan ini, Ibu sudah dapat mengontrol

asupan garam? “Ya”. Bagaimana cara Ibu mengontrol asupan garam? “dengan

mengatur jumlah garam setiap hari hanya boleh sampai 2000 mg perhari.

Pertanyaan 3: Apakah dengan pendidikan ini, Ibu sudah dapat mengatur

pola makan setiap hari? “Ya”. Bagaimana cara Ibu mengatur pola makan?

“dengan tidak membeli makanan yang dijual di warung dan tidak boleh makan

makanan kaleng dan yang diawetkan lainnya”

Pertanyaan 4: Apakah dengan pendidikan ini Ibu terhindar dari komplikasi

akibat peningkatan cairan seperti badan bengkak dan sesak nafas? “Ya”.

Bagaimana cara Ibu menghindari komplikasi peningkatan cairan seperti badan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


121

bengkak dan sesak nafas? “dengan minum saat minum obat saja dan dan

menghindari makanan yang asin ”.

Pertanyaan 5: Apakah dengan pendidikan ini, Ibu sudah dapat

mengendalikan rasa haus yang dirasakan? “Ya”. Bagaimana cara Ibu

mengendalikan rasa haus selama ini ? “dengan minum sedikit-sedikit dan saat

benar-benar haus”.

Pertanyaan 6: Apakah ada kendala yang Ibu rasakan dalam mengikuti diet

pembatasan garam selama ini ? “Tidak”, karena saya mau sehat makanya saya

harus nurut. Bagaimana cara Ibu mengatasinya ? “saya tambahkan banyak

bumbu supaya masakan wangi dan tidak terlalu hambar”.

Hasil wawancara dengan responden nomor 27

Pertanyaan 1: Apakah pendidikan atau informasi yang diberikan

bermanfaat bagi Saudara? “Ya”. Alasan: “selama ini saya masih makan makanan

yang diawetkan seperti sosis dan nugget dan makan makanan cepat saji”.

Pertanyaan 2: Apakah dengan pendidikan ini, Saudara sudah dapat

mengontrol asupan garam? “Ya”. Bagaimana cara Saudara mengontrol asupan

garam? “dengan menghindari makanan berpengawet dan membeli makanan

segar”.

Pertanyaan 3: Apakah dengan pendidikan ini, Saudara sudah dapat

mengatur pola makan setiap hari? “Ya”. Bagaimana cara Saudara Ibu mengatur

pola makan? “dengan tidak membeli makanan cepat saji dan mengurangi

penggunaan garam dalam makanan saya”.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


122

Pertanyaan 4: Apakah dengan pendidikan ini Saudara terhindar dari

komplikasi akibat peningkatan cairan seperti badan bengkak dan sesak nafas?

“Ya”. Bagaimana cara Saudara menghindari komplikasi peningkatan cairan

seperti badan bengkak dan sesak nafas? “dengan tidak minum banyak dan

kurangi makanan yang mengandung garam tinggi”.

Pertanyaan 5: Apakah dengan pendidikan ini, Saudara sudah dapat

mengendalikan rasa haus yang dirasakan? “Ya”. Bagaimana cara Saudara

mengendalikan rasa haus selama ini ? “dengan minum air dingin dan

menghindari ruangan yang panas”.

Pertanyaan 6: Apakah ada kendala yang Saudara rasakan dalam mengikuti

diet pembatasan garam selama ini ? “Ya”, karena saya terkadang tidak selera

makan karena tidak ada rasa makanannya. Bagaimana cara Saudara

mengatasinya ? “saya kasih garam sedikit dalam masakan”.

Hasil wawancara dengan responden nomor 31

Pertanyaan 1: Apakah pendidikan atau informasi yang diberikan

bermanfaat bagi Ibu? “Ya”. Alasan: “mengetahui bahwa semua makanan sudah

mengandung garam”.

Pertanyaan 2: Apakah dengan pendidikan ini, Ibu sudah dapat mengontrol

asupan garam? “Ya”. Bagaimana cara Ibu mengontrol asupan garam? “dengan

menghitung semua jumlah garam yang masuk melalui makanan”

Pertanyaan 3: Apakah dengan pendidikan ini, Ibu sudah dapat mengatur

pola makan setiap hari? “Ya”. Bagaimana cara Ibu mengatur pola makan?

“dengan menghindari makanan cepat saji dan makanan kaleng”.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


123

Pertanyaan 4: Apakah dengan pendidikan ini Ibu terhindar dari komplikasi

akibat peningkatan cairan seperti badan bengkak dan sesak nafas? “Ya”.

Bagaimana cara Ibu menghindari komplikasi peningkatan cairan seperti badan

bengkak dan sesak nafas? “dengan mengukur jumlah cairan yang diminum setiap

hari dan membatasi garam”.

Pertanyaan 5: Apakah dengan pendidikan ini, Ibu sudah dapat

mengendalikan rasa haus yang dirasakan? “Ya”. Bagaimana cara Ibu

mengendalikan rasa haus selama ini ? “dengan menghindari terik matahari dan

minum air hangat”.

Pertanyaan 6: Apakah ada kendala yang Ibu rasakan dalam mengikuti diet

pembatasan garam selama ini ? “Tidak”, karena anak dan menantu saya selalu

mengingatkan untuk mengikuti aturan makanan yang disuruh. Bagaimana cara

Ibu mengatasinya ? “terkadang bila tidak selera makan saya membayangkan

sedang makan makanan yang enak-enak supaya cepat habis”.

Hasil wawancara dengan responden nomor 33

Pertanyaan 1: Apakah pendidikan atau informasi yang diberikan

bermanfaat bagi Bapak? “Ya”. Alasan: “saya jadi tahu kalau makanan kedai

banyak mengandung garam dapat mengakibatkan haus”.

Pertanyaan 2: Apakah dengan pendidikan ini, Bapak sudah dapat

mengontrol asupan garam? “Ya”. Bagaimana cara Bapak mengontrol asupan

garam? “dengan menakar garam untuk dimakan sesuai anjuran yaitu sampai

2000 mg saja perhari dan makan makanan yang dimasak dari rumah sesuai

anjuran.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


124

Pertanyaan 3: Apakah dengan pendidikan ini, Bapak sudah dapat mengatur

pola makan setiap hari? “Ya”. Bagaimana cara Bapak mengatur pola makan?

“makan makanan yang segar dan dimasak sendiri dan menghindari makanan

kedai”.

Pertanyaan 4: Apakah dengan pendidikan ini Bapak terhindar dari

komplikasi akibat peningkatan cairan seperti badan bengkak dan sesak nafas?

“Ya”. Bagaimana cara Bapak menghindari komplikasi peningkatan cairan seperti

badan bengkak dan sesak nafas? “dengan menghindari banyak minum air dan

mengurangi makanan yang terlalu asin dan pedas”.

Pertanyaan 5: Apakah dengan pendidikan ini, Ibu sudah dapat

mengendalikan rasa haus yang dirasakan? “Ya”. Bagaimana cara Bapak

mengendalikan rasa haus selama ini ? “selalu berada diruangan yang sejuk”.

Pertanyaan 6: Apakah ada kendala yang Ibu rasakan dalam mengikuti diet

pembatasan garam selama ini ? “Ya”, terkadang bosan dan ingin makan bareng

sama teman kantor dikedai. Bagaimana cara Ibu mengatasinya ? “menahankan

diri tapi kalau udah kepengen sekali ya ikutan sama teman tapi yang dimakan

hanya nasi dan ikannya saja”.

Hasil wawancara dengan responden nomor 35

Pertanyaan 1: Apakah pendidikan atau informasi yang diberikan

bermanfaat bagi Bapak? “Ya”. Alasan: “setiap makanan ternyata sudah

mengandung garam”.

Pertanyaan 2: Apakah dengan pendidikan ini, Bapak sudah dapat

mengontrol asupan garam? “Ya”. Bagaimana cara Bapak mengontrol asupan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


125

garam? “dengan membatasinya hanya sampai 2000 mg perhari dan masak tanpa

garam dan penyedap”.

Pertanyaan 3: Apakah dengan pendidikan ini, Bapak sudah dapat mengatur

pola makan setiap hari? “Ya”. Bagaimana cara Bapak mengatur pola makan?

“dengan tidak memakan makanan yang dijual di kedai nasi dan tidak boleh

makan makanan kaleng”.

Pertanyaan 4: Apakah dengan pendidikan ini Bapak terhindar dari

komplikasi akibat peningkatan cairan seperti badan bengkak dan sesak nafas?

“Ya”. Bagaimana cara Bapak menghindari komplikasi peningkatan cairan seperti

badan bengkak dan sesak nafas? “dengan membatasi minum dan menghindari

makanan yang mengandung garam tinggi”.

Pertanyaan 5: Apakah dengan pendidikan ini, Bapak sudah dapat

mengendalikan rasa haus yang dirasakan? “Ya”. Bagaimana cara Bapak

mengendalikan rasa haus selama ini ? “dengan minum air hangat dengan gelas

kecil”.

Pertanyaan 6: Apakah ada kendala yang Bapak rasakan dalam mengikuti

diet pembatasan garam selama ini ? “Ya”, karena saya kerja dan walaupun

membawa makanan sendiri, terkadang jadi ikut nyicip makanan kedai karena

terkadang bosan dengan rasa hambar. Bagaimana cara Bapak mengatasinya ?

“terkadang saya tahankan diri untuk tidak memakan makanan lain selain yang

saya masak bawa dari rumah”.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


126

Hasil wawancara dengan responden nomor 41

Pertanyaan 1: Apakah pendidikan atau informasi yang diberikan

bermanfaat bagi Ibu? “Ya”. Alasan: “mengetahui bahwa semua makanan sudah

mengandung garam”.

Pertanyaan 2: Apakah dengan pendidikan ini, Ibu sudah dapat mengontrol

asupan garam? “Ya”. Bagaimana cara Ibu mengontrol asupan garam? “dengan

menghitung semua jumlah garam yang masuk melalui makanan”

Pertanyaan 3: Apakah dengan pendidikan ini, Ibu sudah dapat mengatur

pola makan setiap hari? “Ya”. Bagaimana cara Ibu mengatur pola makan?

“dengan menghindari makanan cepat saji dan makanan kaleng”.

Pertanyaan 4: Apakah dengan pendidikan ini Ibu terhindar dari komplikasi akibat

peningkatan cairan seperti badan bengkak dan sesak nafas? “Ya”. Bagaimana cara

Ibu menghindari komplikasi peningkatan cairan seperti badan bengkak dan sesak

nafas? “dengan mengukur jumlah cairan yang diminum dan membatasi garam

yang dikonsumsi setiap hari”.

Pertanyaan 5: Apakah dengan pendidikan ini, Ibu sudah dapat

mengendalikan rasa haus yang dirasakan? “Ya”. Bagaimana cara Ibu

mengendalikan rasa haus selama ini ? “dengan menghindari terik matahari dan

minum air hangat”.

Pertanyaan 6: Apakah ada kendala yang Ibu rasakan dalam mengikuti diet

pembatasan garam selama ini ? “Ya”, terkadang bosan karena rasanya hambar.

Bagaimana cara Ibu mengatasinya ? “saya memasak makanan saya saat mau

makan, jadi masih hangat-hangat tidak terasa hambarnya”.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


127

KARAKTERISTIK RESPONDEN PENELITIAN

Sta.
No. Nama Umur JK Pend Sta Suku Penghasilan Etiologi Lama HD Jadwal HD
Kerja

Kelompok Intervensi

1 Ny. ES 68 P SMP J/D Jawa TB < 1 juta/bln DM > 3 tahun Senin/Kamis


2 Tn. RH 65 L SMA M Batak TB 2-3 juta/bln DM 2-3 tahun Senin/Kamis
3 Ny. SS 65 P SD M Batak W 2-3 juta/bln DM 6 bln - 1 tahun Senin/Kamis
4 Tn. N 24 L SMA M Batak TB 2-3 juta/bln Hipertensi 2-3 tahun Senin/Kamis
5 Tn. JS 66 L SD M Batak W > 4 juta/bln Hipertensi 1-2 tahun Senin/Kamis
6 Tn. S 60 L SMA M Melayu TB < 1 juta/bln Hipertensi 1-2 tahun Senin/Kamis
7 Ny. H 53 P SMP M Jawa TB 2-3 juta/bln DM > 3 tahun Senin/Kamis
8 Tn. KS 56 L PT M Batak S 3-4 juta/bln DM 6 bln - 1 tahun Senin/Kamis
Ny.
9 61 P SMP J/D Batak TB < 1 juta/bln DM 6 bln - 1 tahun Senin/Kamis
SNS
10 Tn. SL 50 L SMA M Batak TB 1-2 juta/bln Batu ginjal 6 bln - 1 tahun Senin/Kamis
TB
11 Ny.S 48 P SD M Jawa 1-2 juta/bln Batu ginjal 6 bln - 1 tahun Senin/Kamis
TB
12 Ny. HG 39 P PT M Batak 3-4 juta/bln Lupus 1-2 tahun Selasa/Jumat

13 NY. F 35 P PT M Batak PNS 3-4 juta/bln Hipertensi 1-2 tahun Selasa/Jumat


14 Ny. L 60 P SMP J/D Batak TB < 1 juta/bln DM > 3 tahun Selasa/Jumat
15 Ny. M 57 P SMP M Melayu TB 1-2 juta/bln Hipertensi 6 bln - 1 tahun Rabu/Sabtu
16 Ny. D 66 P SD J/D Jawa TB < 1 juta/bln DM 6 bln - 1 tahun Selasa/Jumat
17 Tn. M 49 L SMP M Batak W 2-3 juta/bln Hipertensi 6 bln - 1 tahun Selasa/Jumat
18 Ny. G 45 P PT J/D Batak TB < 1 juta/bln Batu ginjal > 3 tahun Selasa/Jumat
19 Ny. AB 43 P SMA M Batak W 2-3 juta/bln Hipertensi 2-3 tahun Selasa/Jumat
TB
20 NY. EG 58 P SMA J/D Batak < 1 juta/bln Hipertensi 6 bln - 1 tahun Selasa/Jumat
TB
21 Nn. S 26 P PT BM Batak < 1 juta/bln Hipertensi 6 bln - 1 tahun Selasa/Jumat

22 NY. KS 53 P SD M Batak W 2-3 juta/bln DM 1-2 tahun Selasa/Jumat


23 Tn . H 25 L PT BM Batak PNS 2-3 juta/bln Hipertensi 6 bln - 1 tahun Selasa/Jumat
24 Tn Su 38 L SMP M Batak W > 4 juta/bln Hipertensi 1-2 tahun Selasa/Jumat
25 Tn. LS 57 L PT M Batak PNS > 4 juta/bln Hipertensi 2-3 tahun Selasa/Jumat
TB
26 TN. T 27 L SMA BM Batak < 1 juta/bln Kongenital 1-2 tahun Selasa/Jumat
TB
27 Tn F 20 L SMA BM Jawa < 1 juta/bln Kongenital 2-3 tahun Selasa/Jumat

28 Tn. AS 53 L SMA M Batak PNS 3-4 juta/bln DM > 3 tahun Selasa/Jumat


29 Tn. JK 48 L PT M Batak W 2-3 juta/bln Hipertensi > 3 tahun Selasa/Jumat
TB
30 Tn. RY 23 L SMA BM Batak 1-2 juta/bln Kongenital 6 bln - 1 tahun Selasa/Jumat
TB
31 Ny. De 32 P SMA M Batak 2-3 juta/bln Hipertensi 2-3 tahun Rabu/Sabtu

32 Tn. L 57 L PT M Batak S > 4 juta/bln DM 1-2 tahun Rabu/Sabtu


33 Tn. P 62 L PT J/D Batak TB 2-3 juta/bln Hipertensi 1-2 tahun Rabu/Sabtu
34 Ny. R 59 P SMP M Batak W 2-3 juta/bln Hipertensi 1-2 tahun Rabu/Sabtu
Tn.
35 53 L PT M Batak PNS > 4 juta/bln Batu ginjal > 3 tahun Rabu/Sabtu
MM
36 Ny. FA 24 P SMA M Jawa TB 1-2 juta/bln Kongenital 6 bln - 1 tahun Rabu/Sabtu
37 Tn. PG 47 L SMP M Batak W 2-3 juta/bln Batu ginjal 2-3 tahun Rabu/Sabtu
38 Ny. Si 39 P PT M Jawa W 2-3 juta/bln Batu ginjal 6 bln - 1 tahun Rabu/Sabtu
39 Tn. LM 61 L SMA M Batak PNS 2-3 juta/bln DM > 3 tahun Rabu/Sabtu

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


128

KARAKTERISTIK RESPONDEN PENELITIAN

TB
40 Tn. UI 66 L SMA M 1-2 juta/bln DM 1-2 tahun Rabu/Sabtu
TB
41 Nn. HS 33 P PT BM Batak < 1 juta/bln Hipertensi 2-3 tahun Rabu/Sabtu
TB
42 Tn. JM 54 L PT M Gayo 2-3 juta/bln DM 6 bln - 1 tahun Rabu/Sabtu
TB
43 Ny. SM 60 P SD J/D Batak < 1 juta/bln DM 6 bln - 1 tahun Rabu/Sabtu

44 Tn. OH 57 L PT M Batak PNS > 4 juta/bln DM 6 bln - 1 tahun Rabu/Sabtu

Kelompok Kontrol

45 Ny. Su 63 P SMA M Jawa W > 4 juta/bln DM > 3 tahun Senin/Kamis


46 Ny. Ma 69 P SD J/D Jawa W 1-2 juta/bln DM 2-3 tahun Senin/Kamis
47 Nn. P 25 P PT BM Batak TB 3-4 juta/bln Hipertensi > 3 tahun Senin/Kamis
48 Tn. JP 56 L SMA M Batak W 2-3 juta/bln Hipertensi 2-3 tahun Senin/Kamis
Tiongh
49 Tn. ES 58 L SD M W 2-3 juta/bln Hipertensi > 3 tahun Senin/Kamis
oa
TB
50 Tn. LS 58 L SMP M Jawa 1-2 juta/bln DM > 3 tahun Senin/Kamis
TB
51 Ny. UK 53 P SD M Batak 2-3 juta/bln DM > 3 tahun Senin/Kamis
TB
52 Tn. Se 58 L SD M Jawa < 1 juta/bln Hipertensi 6 bln - 1 tahun Senin/Kamis

53 Tn. UG 57 L SMP M Batak S 2-3 juta/bln Hipertensi 1-2 tahun Selasa/Jumat


54 Ny. Si 56 P PT M Batak PNS 3-4 juta/bln DM > 3 tahun Rabu/Sabtu
55 Ny. RB 47 P SMA M Batak PNS 2-3 juta/bln Hipertensi > 3 tahun Rabu/Sabtu
56 Tn. ReT 62 L PT M Batak PNS 3-4 juta/bln Hipertensi 1-2 tahun Rabu/Sabtu
57 Tn. MP 58 L PT M Batak PNS 3-4 juta/bln DM 6 bln - 1 tahun Rabu/Sabtu
58 Ny. K 66 P SMP J/D Batak TB 2-3 juta/bln Hipertensi 6 bln - 1 tahun Rabu/Sabtu
59 Tn. Mr 49 L SMA M Batak W 1-2 juta/bln Hipertensi 6 bln - 1 tahun Rabu/Sabtu
60 Ny. Sl 57 P PT M Batak PNS 2-3 juta/bln Hipertensi 6 bln - 1 tahun Selasa/Jumat
61 Ny. Sd 66 P SD J/D Batak TB < 1 juta/bln DM > 3 tahun Selasa/Jumat
62 Ny. Hi 60 P SMP M Jawa TB 1-2 juta/bln DM > 3 tahun Selasa/Jumat
63 Tn Am 60 L SMP M Batak Wi 3-4 juta/bln DM 6 bln - 1 tahun Selasa/Jumat
64 Tn. Dj 67 L SMA M Batak TB 3-4 juta/bln DM 2-3 tahun Selasa/Jumat
65 Ny. Ro 58 P SMP M Batak TB 2-3 juta/bln DM > 3 tahun Selasa/Jumat
Ny.
66 57 P SMP M Batak TB 1-2 juta/bln Hipertensi 6 bln - 1 tahun Selasa/Jumat
UmK
67 Ny. Ly 39 P PT M Batak PNS 3-4 juta/bln Hipertensi > 3 tahun Selasa/Jumat
68 Tn. Pr 48 L SMA M Jawa S 2-3 juta/bln Hipertensi 6 bln - 1 tahun Rabu/Sabtu
TB
69 Tn. IE 24 L PT BM Batak 2-3 juta/bln Hipertensi 6 bln - 1 tahun Selasa/Jumat

Minan TB
70 Tn. MN 58 L SMA M 1-2 juta/bln Batu ginjal 1-2 tahun Rabu/Sabtu
g
Minan TB
71 Tn. Bu 63 L SMP M 1-2 juta/bln Hipertensi 6 bln - 1 tahun Selasa/Jumat
g
72 Tn. D 44 L PT M Batak S 2-3 juta/bln Batu ginjal 6 bln - 1 tahun Selasa/Jumat
73 Tn. Lh.S 62 L SMP M Batak S 1-2 juta/bln Hipertensi 6 bln - 1 tahun Selasa/Jumat
74 Tn. Sa 58 L SMA M Jawa S 1-2 juta/bln Batu ginjal 1-2 tahun Selasa/Jumat
75 Tn. EyS 27 L PT BM Batak W 1-2 juta/bln Hipertensi 6 bln - 1 tahun Rabu/Sabtu
Tn.
76 51 L SMA M Batak W < 1 juta/bln Batu ginjal 2-3 tahun Rabu/Sabtu
MTS
77 Tn. MS 49 L SMA M Batak S 2-3 juta/bln Hipertensi 1-2 tahun Rabu/Sabtu

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


129

KARAKTERISTIK RESPONDEN PENELITIAN

78 Tn. RT 47 L PT M Batak W 2-3 juta/bln Batu ginjal > 3 tahun Rabu/Sabtu


79 Tn. AA 26 L PT BM Batak S 2-3 juta/bln Batu ginjal > 3 tahun Rabu/Sabtu
80 Tn. Mu 50 L SMA M Jawa S < 1 juta/bln Hipertensi 2-3 tahun Rabu/Sabtu
81 Ny. Tu 58 P SD J/D Jawa TB < 1 juta/bln Hipertensi > 3 tahun Rabu/Sabtu
82 Tn. HP 50 L SMA M Batak PNS 3-4 juta/bln DM 6 bln - 1 tahun Selasa/Jumat
83 Tn. SP 61 L PT BM Batak S 1-2 juta/bln DM > 3 tahun Selasa/Jumat
84 Tn. Ar 20 L SMA BM Batak TB < 1 juta/bln Hipertensi 6 bln - 1 tahun Selasa/Jumat
85 Tn. Sy 73 L SMA M Batak S 2-3 juta/bln DM 6 bln - 1 tahun Selasa/Jumat
86 Tn. MS 51 L SMA M Batak W 2-3 juta/bln Batu ginjal 6 bln - 1 tahun Rabu/Sabtu
87 Tn. RS 53 L SMA M Batak W 2-3 juta/bln Batu ginjal 1-2 tahun Rabu/Sabtu

88 Tn. SP 60 L SMA M Batak S 1-2 juta/bln Hipertensi 1-2 tahun Selasa/Jumat

Keterangan :
BM : Belum Menikah
M : Menikah
J/D : Janda/Duda
TB : Tidak Bekerja
S : Bekerja sebagai Pegawai Swasta
W : Wiraswasta
PNS : Bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


130

Reliability Item Statistics

Std.
Case Processing Summary
Mean Deviation N
N %
p1 3.7000 .98786 30
Cases Valid 30 100.0 p2 3.6000 .96847 30
a
Excluded 0 .0 p3 3.7333 .94443 30
Total 30 100.0 p4 4.0667 .94443 30
a. Listwise deletion based on all p5 4.2000 .84690 30
variables in the procedure. p6 4.1333 1.04166 30
total 23.4333 4.65857 30
Reliability Statistics

Cronbach's
Alpha Based
on
Cronbach's Standardized
Alpha Items N of Items

.801 .929 7

Inter-Item Correlation Matrix

p1 p2 p3 p4 p5 p6 total

p1 1.000 .735 .687 .577 .363 .677 .838

p2 .735 1.000 .746 .671 .479 .533 .858

p3 .687 .746 1.000 .601 .414 .563 .827

p4 .577 .671 .601 1.000 .716 .551 .840

p5 .363 .479 .414 .716 1.000 .516 .703

p6 .677 .533 .563 .551 .516 1.000 .798

total .838 .858 .827 .840 .703 .798 1.000

Summary Item Statistics

Maximum /
Mean Minimum Maximum Range Minimum Variance N of Items

Item Means 6.695 3.600 23.433 19.833 6.509 54.531 7

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


131

Correlations
Correlations

p1 p2 p3 p4 p5 p6 total

p1 Pearson
1 .735** .687** .577** .363* .677** .838**
Correlation

Sig. (2-tailed) .000 .000 .001 .049 .000 .000

N 30 30 30 30 30 30 30

p2 Pearson
.735** 1 .746** .671** .479** .533** .858**
Correlation

Sig. (2-tailed) .000 .000 .000 .007 .002 .000

N 30 30 30 30 30 30 30

p3 Pearson
.687** .746** 1 .601** .414* .563** .827**
Correlation

Sig. (2-tailed) .000 .000 .000 .023 .001 .000

N 30 30 30 30 30 30 30

p4 Pearson
.577** .671** .601** 1 .716** .551** .840**
Correlation

Sig. (2-tailed) .001 .000 .000 .000 .002 .000

N 30 30 30 30 30 30 30

p5 Pearson
.363* .479** .414* .716** 1 .516** .703**
Correlation

Sig. (2-tailed) .049 .007 .023 .000 .004 .000

N 30 30 30 30 30 30 30

p6 Pearson
.677** .533** .563** .551** .516** 1 .798**
Correlation

Sig. (2-tailed) .000 .002 .001 .002 .004 .000

N 30 30 30 30 30 30 30

total Pearson
.838** .858** .827** .840** .703** .798** 1
Correlation

Sig. (2-tailed) .000 .000 .000 .000 .000 .000

N 30 30 30 30 30 30 30
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


132

LEMBAR UJI VALIDITAS KUESIONER

PENGARUH MANAJEMEN ASUPAN MAKANAN: DIET RENDAH


GARAM TERHADAP RASA HAUS PADA PASIEN HEMODIALISIS
DENGAN GAGAL GINJAL KRONIK DI RSUP H. ADAM MALIK
MEDAN

Petunjuk pengisian:

Pilihlah salah satu dari beberapa pernyataan dibawah ini dengan memberikan
tanda check list ( √ )

a). Relevance ( Relevan)


1 = item tidak relevan
2 = item perlu revisi banyak
3 = item relevan tetapi perlu sedikit revisi
4 = item sudah relevan

b). Clarity (Kejelasan)


1 = item tidak jelas
2 = item perlu revisi banyak agar jelas
3 = item jelas tetapi perlu sedikit revisi
4 = item sudah relevan

c). Simplicity (Kesederhanaan)


1 = item tidak sederhana
2 = item perlu revisi banyak agar sederhana
3 = item sederhana tetapi perlu sedikit revisi
4 = item sudah sederhana

d). Ambiguity (Ambiguitas)


1 = item sangat ambigu
2 = item perlu beberapa revisi
3 = item tidak ambigu tetapi perlu sedikit revisi
4 = item sudah jelas dan tidak membingungkan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


133

N Relevance Clarity Simplicity Ambiguity Saran


Pernyataan Skor Nilai
o. 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 Perubahan
1. Rasa haus √
membuat saya
merasa tidak √ √ √ 16 1
nyaman
2. √ Membuat
Rasa haus sangat saya
mengganggu saya √ √ √ menjadi 14 0.875
sangat
terganggu
3. Saya merasa √
sangat tidak
nyaman ketika √ √ √ 16 1
saya haus
4. Mulut saya terasa √
sangat kering √ √ √ 16 1
ketika saya haus
5. Ganti
kalimat
Air liur saya terasa
terasa kental jika √ √ √ √ kental 12 0.75
saya haus dengan
terasa
berkurang
6. Ganti
kalimat
Jika saya kurang saya
minum, saya merasa
merasa sangat √ √ √ √ lebih haus 12 0.75
kehausan dengan
saya
merasa
lebih haus
Total 5.375
CVI 0.896
CVI : 0.896 + 0.979 + 0.937 = 2.812/3 = 0.937
CVI : 0.937 > 0.80  valid

Telah diperiksa
Di Medan, Tanggal 24 Agustus 2017
Oleh Expert :

(dr. Syafrizal Nasution, Sp.PD-KGH)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


134

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


135

N Relevance Clarity Simplicity Ambiguity Saran


Pernyataan Skor Nilai
o. 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 Perubahan
1. Rasa haus
membuat saya
merasa tidak V V V V 16 1
nyaman
2. Rasa haus sangat *
mengganggu saya V V V V 10 0.625

3. Saya merasa
sangat tidak
nyaman ketika V V V V 16 1
saya haus
4. Mulut saya terasa
sangat kering V V V V 16 1
ketika saya haus
5. Air liur saya
terasa kental jika V V V V 16 1
saya haus
6. Jika saya kurang
minum, saya
merasa sangat V V V V 16 1
kehausan
Total 5.625
CVI 0.937

Saran Perubahan :
* Mgkn sebaiknya disebut saja jenis gangguannya misalnya: rasa haus membuat saya
tidak bisa berkonsentrasi/fokus pada pekerjaan/atau aktivitas yg sedang saya lakukan

Telah diperiksa
Di Medan, Tanggal 24 Agustus 2017
Oleh Expert :

(dr. Tirta Prawita Sari, M.Sc.,Sp.GK )

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


136

N Relevance Clarity Simplicity Ambiguity Saran


Pernyataan Skor Nilai
o. 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 Perubahan
1. Rasa haus
membuat saya
merasa tidak √ √ √ √ 16 1
nyaman
2. Rasa haus sangat
mengganggu saya √ √ √ √ 15 0.937

3. Saya merasa
sangat tidak
nyaman ketika √ √ √ √ 16 1
saya haus
4. Mulut saya terasa
sangat kering √ √ √ √ 16 1
ketika saya haus
5. Air liur saya
terasa kental jika √ √ √ √ 15 0.937
saya haus
6. Jika saya kurang
minum, saya
merasa sangat √ √ √ √ 16 1
kehausan
Total 5.874
CVI 0.979

Telah diperiksa
Di Medan, Tanggal 24 Agustus 2017
Oleh Expert :

(Suriati, S.Kep., Ns)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


137

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


138

CROSSTABS
/TABLES=Peneliti BY Numerator
/FORMAT=AVALUE TABLES
/STATISTICS=KAPPA
/CELLS=COUNT

/COUNT ROUND CELL.

Crosstabs

[DataSet0]

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

Peneliti * Numerator 5 100.0% 0 .0% 5 100.0%

Peneliti * Numerator Crosstabulation

Count

Numerator

2 3 Total

Peneliti 2 2 1 3

3 0 2 2

Total 2 3 5

Symmetric Measures

Asymp. Std.
Value Errora Approx. Tb Approx. Sig.

Measure of Agreement Kappa .615 .318 1.491 .136

N of Valid Cases 5

a. Not assuming the null hypothesis.

b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


139

DATA UJI REABILITAS KUESIONER


THIRST DISTRESS SCALE (TDS) UNIT HEMODIALISA
RS TINGKAT II KESDAM BUKIT BARISAN MEDAN

Saya Jika saya


Rasa haus Mulut saya Air liur
merasa kurang
membuat Rasa haus terasa saya terasa
sangat minum,
saya sangat sangat kental dan
Reponden tidak saya Total
merasa mengganggu kering berkurang
nyaman merasa
tidak saya ketika saya ketika saya
ketika lebih
nyaman haus haus
saya haus haus

1 3 3 3 4 5 2 20
2 3 3 3 4 4 4 21
3 4 3 2 5 5 5 24
4 3 3 3 3 3 3 18
5 4 2 4 4 5 5 24
6 2 2 2 3 3 3 15
7 2 2 2 2 3 2 13
8 5 5 5 5 5 5 30
9 4 3 4 5 3 3 22
10 2 2 3 3 4 3 17
11 4 4 4 5 5 4 26
12 5 5 5 5 5 5 30
13 2 4 3 5 5 3 22
14 3 3 3 3 3 3 18
15 4 4 3 4 4 5 24
16 3 4 5 5 5 5 27
17 3 3 4 3 4 5 22
18 4 3 4 3 3 3 20
19 4 4 3 3 4 4 22
20 4 3 3 3 4 5 22
21 4 4 4 4 5 4 25
22 3 3 4 4 4 5 23
23 4 4 4 5 5 5 27
24 5 5 5 5 5 5 30
25 5 4 4 4 3 5 25
26 5 5 5 5 4 5 29
27 5 5 5 5 5 5 30
28 4 4 4 5 5 5 27
29 3 4 4 3 3 3 20
30 5 5 5 5 5 5 30

Kategori Haus :
Skor 1-10 : Haus ringan : 0 rang
Skor 11-20 : Haus sedang : 7 orang
Skor 21-30 : Haus berat : 23 orang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


140

DATA UJI REABILITAS KUESIONER


VISUAL ANALOG SCALE (VAS)
UNIT HEMODIALISA RS TINGKAT II KESDAM BUKIT BARISAN MEDAN

Responden Intensitas skala haus Tingkatan Haus


1 5 2
2 7 3
3 6 2
4 6 2
5 7 3
6 2 1
7 6 2
8 8 3
9 5 2
10 5 2
11 6 2
12 9 3
13 5 2
14 5 2
15 6 2
16 5 2
17 6 2
18 8 3
19 7 3
20 6 2
21 7 3
22 8 3
23 7 3
24 7 3
25 8 3
26 9 3
27 8 3
28 7 3
29 6 2
30 9 3

Kategori Haus :
Skor 1-3 : Haus Ringan
Skor 4-6 : Haus Sedang
Skor 7-10 : Haus Berat

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


141

DATA UJI REABILITAS KUESIONER


KARAKTERISTIK RESPONDEN
UNIT HEMODIALISA RS TINGKAT II KESDAM BUKIT BARISAN
MEDAN

Jadwal
No. Umur JK Pend. Status Suku Pekerjaan Lama HD
HD
1 45 L SMP Kawin Batak Tidak Kerja 2 tahun Rb/Sb
2 60 L PT Kawin Batak Pensiun 9 bulan Rb/Sb
3 49 L SMA Kawin Jawa PNS 7 bulan Rb/Sb
4 40 L SMA Kawin Jawa PNS 1 tahun Rb/Sb
5 45 L SMA Kawin Jawa Tidak Kerja 7 tahun Sn/Km
6 64 L PT Kawin Batak Pensiun 7 bulan Sn/Km
7 56 L SMA Duda Jawa Wiraswasta 1 thn 3 bln Sn/Km
8 54 P SMP Kawin Jawa Tidak Kerja 8 bulan Sn/Km
9 53 P SMA Kawin Jawa Tidak Kerja 8 tahun Sn/Km
10 56 L SMA Kawin Melayu Kerja 6 bulan Sn/Km
11 51 L SMA Kawin Melayu Tidak Kerja 2 tahun Sn/Km
12 59 L SMA Kawin Jawa Kerja 7 bulan Sn/Km
13 39 L SMA Kawin Jawa Tidak Kerja 3 tahun Sl/Jm
14 49 L SMA Kawin Melayu Wiraswasta 6 bulan Sl/Jm
15 48 P SMP Kawin Minang Tidak Kerja 8 bulan Sl/Jm
16 64 L SMP Kawin Jawa Tidak Kerja 3 tahun Sl/Jm
17 20 L SMA Lajang Nias Tidak Kerja 3 tahun Sl/Jm
18 54 P SMA Kawin Batak Tidak Kerja 6 bulan Sl/Jm
19 52 P SMP Kawin Jawa Tidak Kerja 2 tahun Sn/Km
20 56 L SMP Kawin Jawa Tidak Kerja 3 tahun Sn/Km
21 51 P SMP Janda Batak Tidak Kerja 2 tahun Sn/Km
22 54 L SMA Kawin Melayu Kerja 9 bulan Sn/Km
23 43 P SMA Kawin Jawa Tidak Kerja 1 tahun 3 bulan Sl/Jm
24 65 P SMP Janda Jawa Tidak Kerja 2 tahun 1 bulan Sl/Jm
25 35 L PT Kawin Jawa Kerja 8 bulan Sn/Km
26 58 L SMA Kawin Batak Tidak Kerja t tahun 9 bulan Rb/Sb
27 69 L PT Duda Batak Pensiun 11 bulan Rb/Sb
28 70 L SMP Kawin Minang Tidak Kerja 3 tahun Rb/Sb
29 45 L SMA Kawin Nias Kerja 2 tahun 7 bulan Rb/Sb
30 60 P SMP Janda Jawa Tidak Kerja 1 tahun 4 bulan Rb/Sb

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Anda mungkin juga menyukai